Anda di halaman 1dari 112

RENCANA PEMBELAJARAN BERBASIS KOMPETENSI

MATAKULIAH : PERENCANAAN HUTAN


Kompetensi Utama :
1.1 Memahami prinsip-prinsip manajemen hutan lestari (Kompetensi FHut No. 2)
1.2 Mampu mendata potensi dan daya dukung lahan hutan, serta menganalisisnya untuk kepentingan
pengelolaan hutan lestari (Kompetensi FHut No. 9)
1.3 Senantiasa peka dan peduli terhadap isu-isu dan permasalahan kehutanan dan lingkungan (Kompetensi FHut No.12)

Kompetensi Pendukung :
2.1 Mampu menganalisis, merencanakan dan mengevaluasi program pembangunan (Kompetensi FHut No.7 )
2.2. Mampu bekerjasama dengan orang lain (Kompetensi FHut No.14)

Kompetensi Lainnya :
3.1 Mampu berkomunikasi, bermitra dan bersinergi dengan orang lain (masyarakat) (Kompetensi FHut No.3 )
Sasaran Belajar : Mampu menganalisis, merencanakan dan mengevaluasi program pembangunan kehutanan
Kemampuan akhir yang Materi/Pokok Bahasan Strategi Unit Tugas Kriteria Penilaian
Minggu diharapkan Pembelajaran Mahasiswa (Indikator) Bobot

1. Membentuk Kelompok & Kontrak dan Rencana Kuliah


memilih Ketua Kelompok Pembelajaran Keberlangsungan secara
Diskusi demokratis -
K-MK No.2.2 & 3.1
Kelompok
2. Mampu menjelaskan peranan - Pengertian dan Ruang Kuliah Menuliskan
Ilmu Perencanaan Hutan lingkup ulang penger- Ketepatan penjelasan
dalam mendukung Diskusi tian & peranan
- Posisi & Peranan Imu kelompok Ilmu Perenca- Keaktifan individu 12%
Pengelolaan Hutan Perencanaan Hutan naan Hutan
K-MK No.1.1 & 2.1

3-4 Mampu menjelaskan Prinsip- Konsep Dasar Kuliah Menuliskan Ketepatan penjelasan &
Prinsip Perencanaan Hutan Perencanaan ulang konsep ketepatan contoh
Pengelolaan Hutan Diskusi dasar PPH 16%
K-MK 1.1, 1.2, & 1.3 (PPH) kelompok Keaktifan individu
Kemampuan akhir yang Materi/Pokok Strategi Unit Tugas Mahasiswa Kriteria Penilaian
Minggu diharapkan Bahasan Pembelajaran (Indikator) Bobot

5-6 Mampu merumuskan tujuan Perumusan Tujuan Kuliah Menganalisis persoalan Ketepatan analisis
pengelolaan hutan, dan dan Kegiatan pengelolaan hutan Ketepatan rumusan
Prioritas dalam Diskusi
Mampu menetapkan skala Pengelolaan Hutan kelompok Merumuskan tujuan tujuan
prioritas kegiatan pengelolaan pengelolaan hutan
hutan PBL Ketepatan skala 30%
Menetapkan skala prioritas
K-MK No.1.1, 1.3 & 2.1 Presentasi prioritas kegiatan
pengelolaan hutan Kerjasama kelompok
Keaktifan individu
7-8 Mampu menjelaskan sistem Perencanaan Kuliah Mendiskusikan, menulis- Ketepatan penjelasan /
dan bentuk-bentuk kegiatan Hutan di Indonesia kan ulang, dan mempre- presentasi
perencanaan hutan Diskusi sentasikan sistem dan
kelompok bentuk-bentuk kegiatan
K-MK No.1.1, 1.3, & 2.1 Kelengkapan bahan 20%
Presentasi perencanaan hutan di presentasi
Inodenesia
Keaktifan individu
9 - 10 Mampu menjelaskan konsepsi, Konsepsi & Metode Kuliah Mendiskusikan, menulis- Ketepatan penjelasan /
kebijakan dan metode Pelaksanaan kan ulang dan mempre- peresentasi
prencanaan kehutanan, (kegiatan-kegiatan) Diskusi sentasikan konsepsi dan
beserta bentuk-bentuk Perencanaan kelompok metode pelaksanaan Kelengkapan bahan 22%
penerapannya Kehutanan kegiatan perencanaan presentasi
Presentasi
kehutanan Keaktifan individu
K-MK No.1.1, 1.3, 2.2, 3.1
MODUL PEMBELAJARAN
Mata Kuliah :
PERENCANAAN HUTAN

Disusun oleh :
Prof. Dr. Daud Malamassam

PROGRAM STUDI KEHUTANAN


FAKULTAS KEHUTANAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN

September, 2009
KATA PENGANTAR

Penyusunan Modul Pembelajaran Mata Kuliah Perencanaan Hutan ini


merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari upaya untuk mewujudkan
Student Centered Learning di Universitas Hasanuddin.

Selesainya penyusunan laporan modul pembelajaran ini tidak terlepas


dari bantuan dan dukungan dari berbagai pihak, baik secara langsung
maupun secara tidak langsung, yang penulis tidak dapat sebutkan namanya
satu persatu. Sehubungan dengan itu, maka melalui kesempatan ini penulis
ingin menyampaikan terima kasih dan penghargaan kepada pihak-pihak
termaksud.

Penulis sepenuhnya menyadari bahwa modul ini belum sempurna.


Sehubungan dengan itu, saran-saran yang bersifat konstruktif dari berbagai
pihak, tetap penulis nantikan. Semoga modul ini dapat memberi kontribusi
yang bermakna bagi peningkatan efektivitas proses dan optimalisasi hasil
pembelajaran dalam lingkup Universitas Hasanuddin, dan khususnya dalam
lingkup Fakultas Kehutanan, pada masa mendatang.

Makasar, 09 September 2009

Pembuat Modul,

Prof. Dr. Daud Malamassam

ii
PETA KEDUDUKAN MODUL
Mata Kuliah Perencanaan Hutan

SASARAN
BELAJAR

MODUL V
Konsepsi, Kebijakan & Metode
Pelaksanaan Kegiatan
Perencanaan serta Monev
Pengelolaan Hutan

MODUL IV
Perencanaan Hutan di
Indonesia
PANDUAN PANDUAN
TUTOR TUGAS

MODUL III
Penetapan Tujuan dan Alternatif
Prioritas Kegiatan Pengelolaan
Hutan

MODUL II
Konsep Dasar Perencanaan
Pengelolaan Hutan Berbasis
Ekosistem

MODUL I
Pengertian dan Ruang Lingkup

iii
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL ..................................................................................... i
KATA PENGANTAR ................................................................................... ii
PETA KEDUDUKAN MODUL ..................................................................... iii
DAFTAR ISI ............................................................................................... iv
MODUL - 1 Pengertian dan Ruang Lingkup ..................................... M1 - 1
A. Pendahuluan ........................................................... 1
B. Materi Pembelajaran ............................................... 2
C. Indikator Penilaian ................................................... 10
D. Penutup .................................................................. 10
MODUL - 2 Konsep Dasar Perencanaan Pengelolaan Hutan
Berbasis Ekosistem ...................................................... M2 - 1
A. Pendahuluan ........................................................... 1
B. Materi Pembelajaran ............................................... 2
C. Indikator Penilaian ................................................... 22
D. Penutup .................................................................... 22
MODUL - 3 Penetapan Tujuan dan Alternatif Prioritas Kegiatan
Pengelolaan Hutan ...................................................... M3 - 1
A. Pendahuluan ........................................................... 1
B. Materi Pembelajaran ............................................... 2
C. Indikator Penilaian ................................................... 39
D. Penutup .................................................................... 40
MODUL - 4 Perencanaan Hutan di Indonesia ................................ M4 - 1
A. Pendahuluan ........................................................... 1
B. Materi Pembelajaran ............................................... 2
C. Indikator Penilaian ................................................... 11
D. Penutup .................................................................... 12
MODUL - 5 Konsepsi dan Metode Pelaksanaan Kegiatan
Perencanaan Kehutanan ............................................... M5 - 1
A. Pendahuluan ........................................................... 1
B. Materi Pembelajaran ............................................... 2
C. Indikator Penilaian ................................................... 21
D. Penutup ................................................................... 21
Tinjauan Pustaka ................................................................................ TP -1
LAMPIRAN
Lampiran 1. Rancangan Pembelajaran Berbasis SCL ....................... L-1

iv
Modul Perencanaan Hutan

MODUL - 1
PENGERTIAN DAN RUANG LINGKUP
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pertanyaan pertama yang muncul dalam benak setiap mahasiswa
(peserta didik), pada saat akan mempelajari suatu cabang ilmu tertentu, adalah
apa saja yang dipelajari dalam cabang ilmu itu, dan bagaimana keterkaitan
cabang ilmu tersebut dengan cabang ilmu yang lain atau bagaimana posisi
relatif cabang ilmu tersebut dalam khasana bidang ilmu tertentu. Pertanyaan
yang sama, patut diduga, akan dikemukakan oleh peserta mata kuliah
Perencanaan Hutan, khususnya oleh mahasiswa yang tergolong cukup kritis.
Jawaban terhadap pertanyaan ini, diharapkan dapat menjadi sumber
motivasi atau pendorong bagi mahasiswa untuk mempelajari mata kuliah
Perencanaan Hutan termaksud secara lebih bersungguh-sungguh. Dengan
memahami pengertian dan posisi relatif mata kulian (cabang ilmu)
Perencanaan Hutan dalam khasana ilmu-ilmu di bidang kehutanan, maka
setiap mahasiswa diharapkan dapat lebih serius dalam membelajari cabang
ilmu atau mata kuliah ini.
‘Lebih serius’ disini dimaksudkan bahwa setiap mahasiswa tidak hanya
bertumpu pada (hanya mengandalkan) bahan yang tercantum di dalam modul-
modul mata kuliah Perencanaan Hutan, tetapi juga berusaha untuk mencari
bahan-bahan lain dari berbagai sumber belajar yang tersedia, baik bahan-
bahan yang berwujud cetakan (buku-buku teks ataupun dokumen-dokumen
perencanaan), maupun bahan yang dapat di akses melalui media internet.
Pemahaman tentang posisi relatif ilmu atau mata kuliah Perencanaan
Hutan, dalam khasana ilmu-ilmu di bidang kehutanan, juga akan memberi
gambaran tentang kontribusi perencanaan hutan bagi pembangunan dan atau
pendayagunaan sumberdaya hutan, langsung atapun tidak langsung. Modul ini
berisi pembahasan tentang hal-hal yang telah dikemukakan di atas.
B. Ruang Lingkup Isi
Isi dari modul ini secara garis besar meliputi : (1) Pengertian Rencana
dan Perencanaan, dan (2) Ilmu Perencanaan Hutan beserta Ilmu-Ilmu
Pembentuknya.
C. Sasaran Pembelajaran Modul
Setelah mempelajari modul ini, mahasiswa diharapkan dapat memiliki
kompetensi yang diindikasikan oleh kemampuan dalam menjelaskan : (1)
Pengertian Perencanaan Hutan, dan (2) Posisi relatif Ilmu Perencanaan Hutan
dalam khasana Ilmu-Ilmu Kehutanan.

Pengertian dan Ruang Lingkup M1 -1


Modul Perencanaan Hutan

II. MATERI PEMBELAJARAN


A. Pengertian Rencana dan Perencanaan
Rencana (Plan) dapat didefenisikan sebagai :
1. Sebuah ide atau rancangan yang rinci tentang masa depan
2. Sebuah keputusan tentang masa depan
3. Sebuah metode atau cara pengaturan pendayagunaan sumberdaya
4. Serangkaian kegiatan yang akan dilakukan untuk mendapatkan hasil
tertentu, yang dirumuskan secara spesifik dalam bentuk tujuan, sasaran dan
kebijakan
Perencanaan (Planning); merupakan salah satu dari 4 fungsi manajemen,
yaitu : Planning atau Perencanaan
Organizing atau Pengorganisasian
Directing (Actuating) atau Pengarahan (Penggerakan)
Controlling atau Pengawasan
Perencanaan dapat didefenisikan sebagai :
1. Perencanaan adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan perumusan,
pemilihan dan penentuan tindakan-tindakan yang dapat dilakukan untuk
mewujudkan masa depan, yang didasarkan atas fakta-fakta dan hasil
analisis hubungan fakta-fakta termaksud antara satu dengan yang lainnya
2. Perencanaan adalah kemampuan untuk melihat ke depan serta memba-
yangkan hal-hal yang diinginkan dan yang dapat diwujudkan di masa depan
3. Perencanaan adalah penentuan tujuan beserta tindakan-tindakan yang
dilakukan untuk mencapai tujuan tersebut dengan mempertimbangkan
berbagai faktor yang dapat mempengaruhi pencapaian tujuan
4. Perencanaan adalah fungsi manajer untuk menentukan apa yang harus
dilakukan dan bagaimana melakukannya, baik secara berkelompok maupun
secara perorangan, untuk mewujudkan tujuan-tujuan yang diinginkan dan
ditetapkan bersama
Sebagai bagian dari manajemen, komponen-komponen perencanaan meliputi :
1. Proses Perencanaan, yaitu serangkaian kegiatan yang diperlukan untuk
membangun dan mengembangkan informasi, merumuskan opsi-opsi
strategis, keinginan-keinginan, pilihan-pilihan kegiatan dan rekomendasi-
rekomendasi dalam rangka pengambilan keputusan
Tahapan-tahapan kegiatan dalam proses perencanaan terdiri atas :
a. Identifikasi permasalahan dan peluang
b. Pengumpulan, analisis dan presentasi data
c. Perumusan alternatif tindakan yang potensial dan tepat

Pengertian dan Ruang Lingkup M1 -2


Modul Perencanaan Hutan
d. Evaluasi akibat dan resiko-resiko untuk setiap alternatif tindakan
e. Pemilihan rencana
f. Penerapan / pelaksanaan rencana
g. Monitoring dan penyesuaian rencana
2. Wilayah perencanaan (planning area), menyatakan keseluruhan wilayah
yang menjadi cakupan perencanaan. Hal ini sangat tergantung pada
tingkatan perencanaan (planning level) yang akan dibuat
3. Jangka waktu perencanaan (planning horizon), menyatakan keseluruhan
periode waktu yang dibutuhkan untuk melaksanakan semua kegiatan dalam
rangka merealisasikan keadaan yang diinginkan.
4. Tingkatan perencanaan (planning level) : menyatakan ukuran atau skala
usaha-usaha yang dilakukan dalam perencanaan. Ukuran tersebut dapat
didasarkan atas cakupan wilayah perencanaan dan atau tingkatan organisasi
yang akan melaksanakannya
5. Periode perencanaan (planning period), menyatakan interval waktu tertentu
dalam jangka waktu perencanaan (planning horizon). Periode perencanaan
biasanya digunakan untuk melihat perubahan-perubahan capaian, biaya,
dampak dan manfaat dalam pelaksanaan rencana tertentu sebagai bagian
dari keseluruhan rencana
Komponen Keputusan Utama dalam Perencanaan
Di atas telah dikemukakan bahwa sebagai sebuah proses, perencanaan
mencakup keseluruhan proses membangun dan mengembangkan informasi,
merumuskan opsi-opsi strategis, keinginan-keinginan, pilihan-pilihan kegiatan
dan rekomendasi untuk membuat keputusan
Adapun keputusan-keputusan yang harus dibuat dalam tahapan perencanaan
meliputi : a. Tujuan, sasaran dan target
b. Strategi, program dan kegiatan
c. Metode dan mekanisme pengawasan
ad a. Tujuan, sasaran dan target
Tujuan (goal) adalah suatu wujud dari keadaan akhir yang diharapkan oleh
pembuat keputusan (decision maker). Tujuan umumnya dinyatakan dalam
suatu bentuk pernyataan yang luas, menggunakan terminologi umum.
Contoh : Untuk meningkatkan pendapatan masyarakat
Untuk menjamin kestabilan ekonomi lokal
Tujuan terkadang pula dinyatakan dalam bentuk kalimat yang lebih
spesifik, misalnya :
Untuk mencapai IPK ≥3,25 dengan masa studi maksimal 5 tahun
Untuk menekan biaya studi pada program S1, menjadi hanya
sekitar 40 juta dengan lama studi 4 tahun

Pengertian dan Ruang Lingkup M1 -3


Modul Perencanaan Hutan
Sasaran (Objective) adalah suatu pernyataan ringkas tentang capaian yang
lebih terukur yang diharapkan dapat diperoleh dalam suatu periode waktu
tertentu. Sasaran merupakan bagian dari tujuan. Satu tujuan umumnya
mengandung dua atau lebih sasaran, dengan catatan bahwa sasaran-
sasaran tersebut bersifat koheren (konsisten satu sama lain)
Target (target) adalah satuan terkecil dari tujuan yang menyatakan besaran
tahapan kegiatan yang akan diselesaikan dan atau besaran hasil yang
ingin dicapai, dinyatakan dalam satuan volume hasil / kegiatan per satuan
waktu tertentu
Contoh 1 :
a. Tujuan : Meningkatkan pendapatan domestik bruto
b. Sasaran : 1. Meningkatkan pendapatan dari usaha pertanian
2. Meningkatkan pendapatan dari usaha industri pengolahan
3. Meningkatkan pendapatan dari usaha pertambangan
c. Target : 1. Tahun I PDRB meningkat 1,0%
2. Tahun II PDRB meningkat 2,5%
3. Tahun III PDRB meningkat 4,5%
4. Tahun IV PDRB meningkat 7,0%
5. Tahun V PDRB meningkat 10% ; dari tahun dasar
Contoh 2 :
a. Tujuan : Mengoptimalkan fungsi produksi, ekologi dan sosial dari
Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung
b. Sasaran : 1. Memanfaatkan hasil hutan bukan kayu secara lestari
2. Mempertahankan luas penutupan tajuk hutan yang optimal
3. Mempertahankan keutuhan vegetasi dan satwa dlm hutan
4. Memelihara situs-situs keramat di sekitar hutan
c. Target : 1. Menghasilkan Hasil Hutan Bukan Kayu pada tingkat yang
menjamin kelestarian
2. Luas penutupan tajuk hutan tidak kurang dari ambang batas
terendah
3. Jenis-jenis tanaman dan satwa dlm hutan tidak berkurang
4. Situs-situs yang dikeramatkan masyarakat sekitar hutan tidak
berkurang
ad b. Strategi, Program dan Kegiatan
Strategi (strategy) adalah cara atau pendekatan yang dapat dilakukan untuk
meminimalkan hambatan dan atau kesulitan dalam upaya pencapaian
tujuan
Strategi biasanya dibuat dengan mempertimbangkan faktor internal
(kekuatan dan kelemahan) dan faktor eksternal (peluang dan ancaman)

Pengertian dan Ruang Lingkup M1 -4


Modul Perencanaan Hutan
Program adalah suatu rencana pendayagunaan sejumlah sumberdaya yang
terpola dalam urutan-urutan tindakan beserta tata waktunya, untuk
mencapai satu atau sejumlah tujuan yang telah ditetapkan
Sebuah program memuat rincian kegiatan beserta lokasi dan tata waktu
pelaksanaannya, para pelaksana dan atau penanggung jawab kegiatan-
kegiatan, serta rincian fasilitas yang diperlukan, dalam rangka pencapaian
tujuan atau tujuan-tujuan yang telah ditetapkan
Kegiatan (activity) ; adalah bentuk tindakan yang dapat dilakukan dalam
rangka pencapaian tujuan yang telah ditetapkan. Kegiatan merupakan
bagian terkecil dari program yang memerlukan masukan berupa
sumberdaya (bahan, tenaga, waktu dan tempat) untuk menghasilkan
keluaran tertentu sebagai bagian dari tahapan pencapaian tujuan
Ad c. Metode dan Mekanisme Pengawasan
Pengawasan adalah serangkaian tindakan penyelidikan terhadap
pelaksanaan kegiatan-kegiatan untuk membandingkan hasil yang diperoleh
dengan hasil yang diharapkan. Jika hasil pengawasan mengindikasikan bahwa
hasil yang diperoleh tidak sesuai dengan yang diharapkan maka harus
dilakukan upaya penyempurnaan. Untuk melaksanakan pengawasan tersebut
maka dibutuhan metode dan mekanisme yang harus dipahami oleh semua
pihak terkait.

B. Ilmu Perencanaan Hutan beserta Ilmu-Ilmu Pembentuknya


Ilmu Perencanaan Hutan merupakan ilmu terapan yang bersifat interdisiplin.
Ilmu Perencanaan Hutan merupakan cabang dari Ilmu Kehutanan yang
membahas tentang pendayagunaan sumberdaya hutan beserta faktor-faktor
pendukungnya. Pendayagunaan termaksud mempersyaratkan adanya
pemahaman yang mendalam tentang ekosistem hutan serta pemahaman
tentang ilmu-ilmu pendukungnya seperti biologi, ekonomi, ilmu-ilmu sosial serta
metode-metode analisis kuantitatif untuk menganalisis dan mensintesis data
dan informasi yang relevan dengan penyusunan rencana pengelolaan hutan.
Ilmu Perencanaan Hutan dapat didefenisikan sebagai ilmu yang membahas
tentang penerapan konsep dan teori ilmu-ilmu biologi, ekonomi, sosial dan
analisis kuantitatif dalam pengelolaan sumberdaya hutan. Pengelolaan yang
dimaksudkan harus didasarkan atas hasil analisis yang mendalam terhadap
kondisi biofisik, ekonomi dan kondisi sosial-budaya pada dan di sekitar hutan,
dalam rangka menetapkan hasil berupa barang dan jasa yang akan diperoleh,
serta dampak yang mungkin ditimbulkan oleh kegiatan-kegiatan pengelolaan
terhadap lingkungan, baik terhadap lingkungan biofisik maupun terhadap
lingkungan sosial, ekonomi dan budaya.

Pengertian dan Ruang Lingkup M1 -5


Modul Perencanaan Hutan
Terdapat empat komponen kegiatan perencanaan dalam pengelolaan hutan,
sebagaimana yang tertera pada Gambar 1, yaitu :
(1) Analisis potensi dan permasalahan,
(2) Pengambilan keputusan,
(3) Pelaksanaan keputusan, serta
(4) Monitoring dan evaluasi (monev).

Sumberdaya Hutan &


Lingkungannya
Analisis Potensi &
Permasalahan
Informasi Fakta dan Gejala :
• Potensi / Nilai Manfaat
• Faktor-Faktor Pendukung
• Faktor-Faktor Penghambat
Pengambilan
Keputusan
Preskripsi Pengelolaan :
Tujuan, Kegiatan, Proyeksi
Hasil dan Prakiraan Dampak
Pelaksanaan
Keputusan
Hasil dan Dampak
Monitoring dan
Evaluasi

Optimalisasi Hasil
& Minimisasi
Dampak Negatif

Gambar 1. Proses Perencanaan Hutan


Pada Gambar 1 dapat dilihat bahwa fokus dan sekaligus obyek utama adalah
Sumberdaya Hutan beserta lingkungannya (meliputi lingungan biofisik dan
lingkungan ekonomi, sosial dan budaya). Selanjutnya dapat dilihat bahwa
komponen kegiatan pertama, yaitu ‘Analisis Potensi‘ sumberdaya hutan dan
lingungannya, beserta ‘potensi permasalahan’ yang berpeluang muncul dalam
upaya pendayagunaan tersebut akan menghasilkan :
“Informasi tentang berbagai Fakta dan Gejala” yang antara lain meliputi :
(1) Potensi dan nilai manfaat sumberdaya hutan,
(2) Faktor-faktor pendukung, dan
(3) Faktor-faktor penghambat upaya pendayagunaan sumberdaya
hutan yang bersangkutan.

Pengertian dan Ruang Lingkup M1 -6


Modul Perencanaan Hutan
Informasi tersebut di atas akan menjadi dasar dalam penyusunan atau
pembuatan keputusan tentang Preskripsi Pengelolaan atau rumusan-rumusan
tentang : (1) tujuan perencanaan yang ingin dicapai,
(2) cara untuk mencapai tujuan yang dimaksudkan,
(3) rumusan sasaran dan target (hasil) yang diharapkan dapat
dicapai dalam waktu tertentu, dan
(4) prakiraan-prakiran dampak yang mungkin timbul, beserta
(5) rumusan upaya penanggulangan dampak termaksud.
Tabel 1. Deskripsi peranan setiap bidang ilmu pembentuk Ilmu Perencanaan Hutan
Bidang Ilmu Komponen Peran dalam membentuk Ilmu Perencanaan Hutan
Bidang Ilmu (dalam wujud dukungan Informasi)
1. Identifikasi jenis pohon dan vegetasi lain
1. Dendrologi 2. Bentuk morpologi tumbuhan dan kemungkinan peng-
gunaannya
3. Penyebaran geografi tumbuhan
1. Karasteristik ekosistem hutan
2. Ekologi 2. Dinamika tegakan dan ekosistem hutan
1. Biologi Hutan 3. Bentuk-bentuk interaksi antar-komponen (biotis dan
abiotis) dalam hutan dan lingkungannya
4. Bentuk-bentuk dampak ekologis kegiatan kehutanan
1. Pertumbuhan pohon dan tegakan
3. Silvika & 2. Bentuk-bentuk respon pohon dan tegakan hutan terhdp
Silvikultur tindakan silvikultur
3. Karasteristik tempat tumbuh tegakan hutan
1. Ilmu 1. Karasteristik lahan hutan
Pengukuran 2. Karasteristik tegakan hutan
Hutan 3. Karasteristik ekosistem hutan
2. Analisis 1. Potensi sumberdaya hutan dan bentuk hubungan antar-
Kuantitatif peubah ekosistem hutan
2. Biometrika 2. Prakiraan keadaan masa depan (forcasting)
Hutan 3. Analisis penetapan tujuan
4. Analisis prioritas pilihan
1. Penilaian kekayaan ekosistem hutan
1. Ekonomi 2. Persediaan dan permintaan barang dan jasa ekosistem
3. Ekonomi Sumberdaya sumberdaya hutan
Hutan 3. Analisis biaya produksi kegiatan kehutanan
4. Bentuk-bentuk dampak ekonomi kegiatan kehutanan
1. Karasteristik fungsi sosial-budaya ekosistem hutan
1. Sosial 2. Manfaat sosial budaya hutan
Kehutanan 3. Tata nilai dan sistem pengetahuan masyarakat lokal
4. Sosial 4. Bentuk-bentuk dampak sosial-budaya kegiatan
Budaya kehutanan
2. Kehutanan 1. Bentuk-bentuk program Kehutanan Masyarakat
Masyarakat
1. Landasan peraturan perundang-undangan Kehutanan
5. Analisis 1. Analisis dan Lingkungan Hidup
Kebijakan Kebijakan 2. Penetapan tujuan, sasaran dan target
Kehutanan 3. Penetapan strategi, program dan kegiatan
4. Metode dan mekanisme pengawasan

Pengertian dan Ruang Lingkup M1 -7


Modul Perencanaan Hutan
Preskripsi pengelolaan akan menjadi acuan bagi semua pihak yang terlibat
dalam pelaksanaan keputusan atau penyelenggaraan aktivitas pengelolaan
hutan.
Penyelenggaraan aktivitas pengelolaan hutan (pelaksanaan keputusan), selain
menghasilkan hasil-hasil yang memang diharapkan, tidak jarang pula
menimbulkan sejumlah dampak yang tidak dikehendaki.
Komponen kegiatan keempat (monitoring dan evaluasi) berperan dalam
mengoptimalkan hasil-hasil yang diinginkan dan meminimalkan atau jika
mungkin menghindari atau meniadakan dampak-dampak negatif yang mungkin
timbul dalam pelaksanaan keputusan (kegiatan pengelolaan hutan).
Sekaitan dengan komponen-komponen kegiatan perencanaan yang telah
diuraikan di atas (Gambar 1), maka dapat dikemukakan bahwa ilmu-ilmu yang
diperlukan sebagai komponen pembentuk Ilmu Perencanaan Hutan adalah
biologi sebagai inti, dengan ilmu-ilmu pendukung yang meliputi : ilmu ekonomi,
ilmu sosial, analisis kuantitatif (matematika) dan analisis kebijakan.

PHL
(SFM

Ilmu Terapan Ilmu Terapan


Pengolahan Hasil Hutan
Pemanenan Hutan
Perencanaan Hutan - Manajemen Hutan
Silvikultur - Ekonomi Kehutanan - Sosiologi Kehutanan
Ekologi Hutan
Ilmu Tanah Hutan – Inventarisasi Hutan
Dendrologi - Ilmu Ukur Hutan - Silvika
Ilmu Dasar Biologi - Kimia - Fisika Ilmu Dasar
Matematika

Gambar 2. Posisi relatif Ilmu Perencanaan Hutan dalam hirarki abstrak ilmu-ilmu
dasar dan ilmu-ilmu terapan dalam bidang kehutanan

Pengertian dan Ruang Lingkup M1 -8


Modul Perencanaan Hutan

Peran masing-masing ilmu yang dikemukakan di atas dalam membentuk Ilmu


Perencanaan Hutan diperlihatkan pada Tabel 1. Selanjutnya, posisi relatif Ilmu
Perencanaan Hutan dalam hirarki abstrak ilmu-ilmu dasar dan ilmu-ilmu terapan
dalam bidang kehutanan (dapat juga disebut sebagai himpunan ilmu
kehutanan), secara diagramatik diperlihatkan pada Gambar 2. Sementara itu,
keterkaitan atau hubungan antara bidang ilmu pendukung atau pembentuk ilmu
perencanaan hutan, dengan proses perencanaan dan kegiatan-kegiatan
perencanaan kehutanan (Berdasarkan UU No.41/1999), secara diagramatik
diperlihatkan pada Gambar 3.

Bidang Ilmu dalam Kegiatan dalam


ilmu Perencanaan Proses dalam ruang lingkup Perencanaan Kehutanan
Hutan Perencanaan (UU No.41 Thn 1999)
1. Analisis potensi
& Permasalahan 1. Inventarisasi Hutan
1. Biologi

2. Pengukuhan Kawasan
2. Ekonomi 2. Pengambilan hutan
Keputusan

3. Sosial 3. Penatagunaan
Kawasan Hutan

3. Pelaksanaan 4. Pembentukan
4. Analisis Keputusan Wilayah Pengelolaan
Kuantitatif Hutan

5. Analisis 5. Penyusunan Rencana


Kebijakan 4. Monitoring Kehutanan
& Evaluasi

Gambar 3. Hubungan antara bidang ilmu pembentuk ilmu perencanaan hutan,


dengan proses perencanaan dan kegiatan perencanaan hutan

Pengertian dan Ruang Lingkup M1 -9


Modul Perencanaan Hutan

III. INDIKATOR PENILAIAN


Melalui pemahaman tentang materi bahasan yang telah dikemukakan di
atas, setiap peserta didik atau pembelajar atau mahasiswa diharapkan memiliki
kemampuan atau kompetensi dalam menjelaskan peranan Ilmu Perencanaan
Hutan dalam mendukung Pengelolaan Hutan.
Indikator penilaian kemampuan atau kompetensi peserta didik adalah
ketepatan penjelasan dan keaktifan individu. Bobot nilai dari modul ini adalah
sebesar 12% dari total nilai mata kuliah, dengan rincian : ketepatan penjelasan
melalui presentasi dengan bobot nilai sebesar 8%, dan keaktifan individu
dengan bobot nilai sebesar 4%. Penilaian dilakukan selama proses
pembelajaran berlangsung, baik pada waktu penyelenggaraan kuliah maupun
melalui laporan pelaksanaan unit-unit tugas mahasiswa, baik dalam
berkelompok maupun secara individu.

IV. PENUTUP
Modul ini diharapkan dapat menjadi acuan bagi para pihak yang terkait
dengan proses pembelajaran mata kuliah Perencanaan Hutan, khususnya yang
terkait dengan materi “Peranan Ilmu Perencanaan Hutan dalam mendukung
pengelolaan hutan”, untuk selanjutnya melakukan penelusuran berbagai
sumber belajar, baik dalam bentuk Buku teks, Dokumen-dokumen atau Laporan
hasil penelitian, Internet ataupun sumber-sumber lain. Dengan mengacu pada
modul ini maka proses pembelajaran diharapkan dapat berjalan secara efisien
dan efektif melalui peran aktif dari semua pihak terkait, khususnya mahasiswa.

Pengertian dan Ruang Lingkup M1 -10


Modul Mata Kuliah Perencanaan Hutan

MODUL - 2
KONSEP DASAR PERENCANAAN PENGELOLAAN HUTAN
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pada Modul terdahulu telah dijelaskan bahwa perencanaan hutan merupakan
bagian utama dan terutama dari pengelolaan hutan. Pengelolaan hutan yang optimal,
pada hakekatnya, hanya mungkin dilaksanakan jika didasarkan pada suatu perencanaan
yang baik dan benar, sedang perencanaan yang baik dan benar adalah perencanaan
yang dapat mengakomodir dan merefleksikan potensi atau daya dukung dari sumberdaya
hutan yang menjadi obyek pengelolaan.
Dengan pemahaman bahwa sumberdaya hutan, pada dasarnya, merupakan
salah satu bagian dari suatau ekosistem bentang alam, maka potensi ataupun daya
dukung dari sumberdaya hutan tidak bisa dipandang sebagai sesuatu yang berdiri sendiri,
melainkan harus dilihat dalam konteks keterkaitannya dengan ekosistem lain yang dapat
dipengaruhi dan atau dapat mempengaruhinya. Pengelolaan hutan harus memperhatikan
bentuk-bentuk keterkaitan termaksud, dan karena itu pula pengelolaan hutan harus
didasarkan pada prinsip-prinsip pengelolaan ekosistem bentang alam.
Sehubungan dengan itu pula, perencanaan hutan sejatinya dilandasi dengan
pemahaman atau pengetahuan tentang kondisi ekosistem bentang alam dimana hutan
yang menjadi obyek pengelolaan berada. Pemahaman atau pengetahauan termaksud
harus didasarkan pada hasil penelurusan secara menyeluruh dan hasil analisis yang
saksama terhadap komponen-komponen ekosistem hutan. Perpaduan antara
pengetahuan tentang potensi hutan dengan prinsip-prinsip pengelolaan hutan yang
sekaligus menjadi prinsip-prinsip perencanaan hutan, akan memungkinkan terlaksananya
perencanaan dan pengelolaan hutan secara optimum dan berkelanjutan. Modul ini berisi
pembahasan tentang hal-hal yang telah dikemukakan di atas.
B. Ruang Lingkup Isi
Isi dari modul ini secara garis besar meliputi : (1) Konsep pengelolaan hutan
berbasis ekosistem, (2) Prinsip-prinsip pengelolaan hutan, dan (3) Perencanaan Hutan
yang mendukung pengelolaan hutan berbasis ekosistem.
C. Sasaran Pembelajaran Modul
Setelah mempelajari modul ini, mahasiswa diharapkan dapat memiliki
kompetensi yang diindikasikan oleh kemampuan dalam menjelaskan konsep dasar
perencanaan pengelolaan hutan, dengan materi yang meliputi : (1) pengelolaan hutan
berbasis ekosistem, dan (2) prinsip-prinsip pengelolaan hutan, serta (3) perencanaan
hutan dan kaitannya dengan pengelolaan hutan berbasis ekosistem.

Perencanaan Pengelolaan Hutan Berbasis Ekosistem M2 - 1


Modul Mata Kuliah Perencanaan Hutan

II. MATERI PEMBELAJARAN


A. Konsep Pengelolaan Hutan Berbasis Ekosistem
Pengelolaan Hutan berbasis ekosistem merupakan pengembangan dari Pengelolaan
Ekosistem. Pengertian pengelolaan ekosistem dapat dikemukakan sebagai berikut :
1. Pengelolaan yang dilakukan dalam suatu kesatuan bentang alam yang dibatasi oleh
batas-batas ekologis, bukan batas-batas wilayah administrasi pemerintahan atau
politik. Kesatuan bentang alam yang dimaksud adalah kesatuan ekosistem, antara
lain seperti Daerah Aliran Sungai (DAS), tipe hutan atau formasi hutan dalam suatu
kesatuan wilayah yang kompak.
2. Pengelolaan yang berlandaskan pada interaksi (hubungan ketergantungan) di antara
komponen-komponen pembentuk ekosistem (hayati dan non hayati) dengan
komponen-komponen lingkungannya (hayati dan non hayati).
3. Pengelolaan yang memperhatikan keseluruhan fungsi ekosistem, mencakup fungsi-
fungsi ekologis, ekonomi dan sosial
4. Pengelolaan yang mencakup tindakan-tindakan pemulihan, pembinaan, pelestarian
kualitas (kesehatan) ekosistem, serta pemanfaatannya untuk kepentingan ekonomi
dan sosial secara lestari.
Pengelolaan ekosistem menekankan beberapa hal sebagai berikut :
1. Faktor-faktor ekologi dan manusia merupakan unsur dasar dalam Pengelolaan
Ekosistem. Manusia merupakan bagian penting dari ekosistem
2. Melestarikan kualitas (kesehatan) ekosistem merupakan prioritas utama, sedang
menyediakan keperluan manusia dari beranekaragam manfaat serta pilihan-pilihan
nilai ekosistem yang mereka harapkan merupakan prioritas kedua, dan bukan
sebaliknya
3. Pengelolaan ekosistem merupakan tipe pengelolaan yang meng-integrasikan berbagai
disiplin ilmu dan karena itu sangat diperlukan adanya monitoring terhadap kontribusi
setiap ilmu yang relevan
4. Pengelolaan Ekosistem memerlukan pendekatan yang bersifat spesifik lokasi melalui
proses yang bersifat dinamis (adaptif), yang menuntut adanya pemahaman yang
mendalam tentang interaksi dan proses ekologis yang diperlukan untuk melestarikan
komposisi, struktur, dan fungsi ekosistem
Hal-hal yang telah dikemukakan di atas merupakan falsafah dasar dalam konsep
Pengelolaan Ekosistem. Dalam kenyataan atau dalam praktek, kita tidak mungkin
mengelola seluruh komponen, interaksi dan proses dalam suatu ekosistem. Hal yang
mungkin kita lakukan adalah memanipulasi aspek-aspek tertentu dari ekosistem dan

Perencanaan Pengelolaan Hutan Berbasis Ekosistem M2 - 2


Modul Mata Kuliah Perencanaan Hutan

tetap mempertahankan atau melestarikan sifat-sifat tertentu yang diperlukan, serta


memperhitungkan kesemuanya sebagai hal-hal yang akan mempengaruhi masukan,
proses, interaksi dan keluaran ekosistem.
Contoh : seorang manajer dapat menentukan komposisi dan struktur ekosistem yang
diperlukan untuk menghasilkan berbagai barang dan jasa yang diharapkan dari
ekosistem, seperti hasil hutan kayu dan atau bukan kayu, konservasi kehidupan liar,
perlindungan terhadap erosi, kualitas air dan atau jasa rekreasi dan memasukkan semua
faktor terkait dalam rancangan pola pengelolaan ekosistem yang bersangkutan.
Berdsarkan pertimbangan di atas, Schlaepfer (1977) lebih memilih menggu-nakan istilah
Pengelolaan Berbasis Ekosistem dari pada Pengelolaan Ekosistem. Istilah Pengelolaan
Berbasis Ekosistem dapat digunakan untuk pengelolaan setiap tipe sumberdaya alam,
seperti : (1) Pengelolaan tata guna lahan berbasis ekosistem
(Ecosystem based landused management)
(2) Pengelolaan sumberdaya hutan berbasis ekosistem
(Ecosystem based forest resorces management)
(3) Pengelolaan kehidupan liar berbasis ekosistem
(Ecosystem based wildlife management)
(4) Pengelolaan sumberdaya air berbasis ekosistem
(Ecosystem based water resources management)
(5) Pengelolaan lahan basah berbasis ekosistem
(Ecosystem based wetland management)
(6) Pengelolaan daerah aliran sungai berbasis ekosistem
(Ecosystem based watershed management)
(7) Pengelolaan sumberdaya air berbasis ekosistem
(Ecosystem based water resources management)
Schlaepfer mendefenisikan Pengelolaan Berbasis Ekosistem sebagai suatu proses yang
sistematis berdasarkan pertimbangan yang lengkap dan ilmu pengetahuan yang utuh
dengan sasaran suatu wilayah tetentu yang telah diberi batasan, untuk mencapai
penggunaan lestari suatu sumberdaya alam, dengan meningkatkan kepekaan ekologis
dan intensitas praktek pengelolaan, serta dengan memadukan pertimbangan-
pertimbangan ekonomi, ekologi, sosial dan teknologi, mencakup jangka pendek dan
jangka panjang, dari skala tempat tumbuh sampai skala ekosistem bentang alam.
Pengelolaan Berbasis Ekosistem memungkinkan kita untuk mendayagunakan
sumberdaya alam dengan tetap mempertahankan produktivitasnya untuk kepentingan
generesi mendatang, untuk melindungi komponen bernilai khusus dari ekosistem, untuk
memulihkan habitat yang terdegradasi, atau untuk merehabilitasi ekosistem yang sudah
rusak .

Perencanaan Pengelolaan Hutan Berbasis Ekosistem M2 - 3


Modul Mata Kuliah Perencanaan Hutan

Konsep “Pengelolaan smberdaya hutan berbasis ekosistem” disepakati untuk disebut


sebagai Konsep Pengelolaan Hutan Lestari atau PHL (Sustainable Forest Management
atau SFM). Dalam konsep ini, setiap ekosistem hutan dipandang sebagai satu atau
beberapa bagian bentang alam, sehingga pengelolaan hutan pada dasarnya merupakan
bagian dari pengelolaan suatu kesatuan bentang alam (tempat ekosistem tersebut
berada), dan karena itu prinsip dasar pengelolaan hutan harus sejalan dengan prinsip
dasar dalam pengelolaan ekosistem bentang alam.
Prinsip dasar dalam pengelolaan bentang alam yang juga berlaku dalam PHL (menurut
Franklin, 1993) meliputi lima komponan penting, yaitu :
1. Pemikiran holistik : menekankan pada kesatuan ekosistem, tidak hanya kepada
spesies atau produk tertentu saja
2. Perencanaan pada skala ruang yang besar atau luas (bentang alam atau wilayah)
3. Pengenalan terhadap kepentingan pemeliharaan habitat
4. Pengelolaan terhadap peran ganda komponen-komponen ekosistem yang paling
meluas (melimpah) dalam mengkonservasi keanekaragaman dan paling banyak
berinteraksi dengan komponen yang lain sehingga memiliki peranan sangat dominan
(penting) dalam menentukan fungsi suatu bentang alam.
5. Adanya kesadaran bahwa tidak semua unsur dalam suatu bentang alam memiliki
peran yang sama, dan tidak selalu diperlukan adanya keanekaragam yang tinggi
dalam suatu bentang alam.
Disamping kelima prinsip dasar tersebut di atas, terdapat pula bentuk prinsip-prinsip
khusus yang disesuaikan dengan karasteristik ekosistem hutan sebagai sumberdaya
alam terbarukan (renewable resources). Terdapat beberapa karasteristik utama
penglolaan hutan yang perlu diperhatikan, yaitu antara lain seperti :
1. Berlandaskan pendekatan ekosistem dengan jasa lingkungan sebagai bentuk manfaat
yang mutlak harus dihasilkan sebagai keluaran pengelolaannya, seperti manfaat atau
fungsi hidroorologis, penciptaan iklim mikro dan pemeliharaan keanekaragaman hayati
2. Bersifat multifungsi, sehingga memerlukan pendekatan optimalisasi fungsi-fungsi
ekonomi, ekologi dan sosial
3. Khusus untuk pengelolaan hutan dengan tujuan untuk menghasilkan kayu secara
lestari, maka hasil dari proses produksi kayu akan melekat pada pohon pembentuk
tegakan yang sekaligus juga berfungsi sebagai pabrik dalam proses produksi tersebut.
4. Dimensi waktu pengelolaan yang tidak terhingga (infinite). Dalam pengelolaan hutan
dipegang prinsip kelestarian (sustainable), baik hasil utama yang lazimnya berupa
barang dan jasa ekonomi, maupun fungsi-fungsi ekologi dan sosial. Hal ini bermakna
bahwa apabila sebidang lahan ditetapkan sebagai hutan dan dikelola secara lestari,
maka lahan tersebut akan terus dipertahankan dan dikelola sebagai hutan.

Perencanaan Pengelolaan Hutan Berbasis Ekosistem M2 - 4


Modul Mata Kuliah Perencanaan Hutan

5. Dalam pengelolaan hutan yang bersifat konvensional, proses pemulihan tegakan


setelah mengalami gangguan, baik gangguan alami maupun buatan berupa tindakan
silvikultur (penjarangan, pemangkasan dan pembebasan) lebih mengandalkan faktor-
faktor alami. Namun seiring dengan tuntutan untuk meningkatkan produktivitas hutan
maka peningkatan tindakan-tindakan pembinaan terhadap tegakan hutan pada saat ini
merupakan suatu kebutuhan.
Perumusan berbagai preskripsi pengelolaan hutan yang mencakup : penetapan tujuan,
sasaran dan target; penetapan kegiatan-kegiatan pengelolaan hutan, serta alokasi
sumberdaya dan penjadwalannya, harus dilandaskan pada karasteristik ekosistem hutan
dan lingkungannya
Sehubungan dengan itu, pengembangan teori dan metode yang diperlukan dalam
tindakan penglolaan hutan menuntut pemahaman yang mendalam tentang karasteristik
biofisik serta dinamika ekosistem hutan beserta lingkungannya. Teori dan metode ini
juga menjadi pokok bahasan dari ilmu-ilmu terapan yang berbasis ekosistem hutan,
antara lain seperti Biometrika hutan, Ekonomi Sumberdaya Hutan, Hidrologi Hutan, Ilmu
Tanah Hutan, Inventarisasi Hutan, Perencanaan Hutan dan Manajemen Hutan.
B. Prinsip-Prinsip Pengelolaan Hutan
Di atas telah dikemukakan bahwa Pengelolaan Hutan Berbasis Ekosistem
sudah diakomodasi dalam konsep Pengelolaan Hutan Lestari (PHL). Berikut
dikemukakan tiga defenisi tentang PHL (Helms, 1998), yaitu :
1. PHL adalah suatu praktek pengelolaan hutan untuk mendapatkan manfaat dan nilai-
nilai sumberdaya hutan bagi generasi sekarang dengan tidak mengorbankan
produktivitas dan kualitasnya bagi kepentingan generasi yang akan datang (Hasil
UNCED, United Nation Conference on Environment and Development di Rio de
Janeiro, Brasil, 1992)
2. PHL adalah pengurusan dan penggunaan hutan dan lahan hutan melalui cara dan
pada tingkat yang dapat mempertahankan keanekaragaman hayati, beserta
produktivitas, kapasitas regenerasi, serta kemampuan mempertahankan hidup dan
potensinya, untuk memenuhi fungsi-fungsi ekologi yang sesuai, ekonomi dan sosial
pada saat ini dan di masa mendatang, serta tidak menyebabkan kerusakan bagi
ekosistem lainnya (Hasil Konferensi Perlindungan Hutan Tingkat Menteri di Eropa,
Helsinki, 1993)
3. PHL adalah proses mengelola hutan untuk mencapai satu atau lebih tujuan
pengelolaan tertentu secara tegas, dalam menghasilkan barang dan jasa hutan yang
diperlukan secara berkelanjutan, tanpa menyebabkan pengurangan nilai dan
produktivitas hutan di masa yang datang dan tanpa menimbulkan dampak yang tidak
diharapkan terhadap lingkungan fisik dan sosial (Internastional Tropical Timber
Organization, ITTO, 1998)
Perencanaan Pengelolaan Hutan Berbasis Ekosistem M2 - 5
Modul Mata Kuliah Perencanaan Hutan

Gadow et. al. (2000) merumuskan beberapa prinsip pengelolaan hutan yang sejalan
dengan pengelolaan sumberdaya alam untuk pembangunan berkelanjutan, untuk lebih
melengkapi konsep PHL, sebagai berikut :
1. Pengelolaan hutan diarahkan untuk penggunaan sumberdaya ekosistem yang
berkelanjutan (sustainable use of ecosystem resources)
2. Pengelolaan hutan bersifat menyeluruh (holistic)
3. Pengelolaan hutan berbasis ekosistem (ecosystem based forest management)
4. Pengelolaan hutan dilakukan berlandaskan perspektif bentang alam (landscape
perspective)
5. Pengelolaan hutan diarahkan pada pencapaian tujuan multikriteria (multiple
objectives)
6. Pengelolaan hutan dilaksanakan dengan berlandaskan keterpaduan (integrated)
7. Pengelolaan hutan melibatkan partisipasi seluruh pihak terkait (includes participation
of all stakeholders)
8. Pengelolaan hutan berlandaskan pada proses monitoring (based on monitoring resuls)
9. Pengelolaan hutan bersifat adaptif (adaptive)
10. Pengelolaan hutan berlandaskan ilmu pengetahuan yang logis dan penilaian yang baik
(based on sound science and good judgement)
11. Pengelolaan hutan dilakukan dengan mempertimbangkan pengetahuan, emosi, dan
reaksi moral para pihak dalam pengambilan keputusan (takes cognitive, emotional and
moral reactions into account in decision making proces)
12. Pengelolaan hutan berlandaskan pada prinsip pencegahan dan kehati-hatian (based
on the precautionary principle)

Prinsip 1. Pengelolaan hutan merupakan penggunaan sumberdaya ekosistem


secara berkelanjutan
Prinsip penggunaan sumberdaya hutan secara berkelanjutan atau lestari
(sustainable use of ecosystem resources), merupakan prinsip yang sangat penting dan
harus diberi prioritas utama. Salah satu hal yang menjadi landasan bagi terwujudnya
prinsip keberlanjutan ini adalah kewajiban untuk menjamin kualitas kehidupan untuk
generasi mendatang. Hal ini mengandung konsekuensi perlunya menghindari pemecahan
masalah jangka pendek dengan cara-cara yang dapat berakibat pada kemungkinan
munculnya permasalahan yang berjangka panjang. Penerapan prinsip ini masih
mengalami sejumlah hambatan. Dalam kaitan dengan pengelolaan hutan penerapan
prinsip keberlanjutan sering lebih ditekankan pada upaya-upaya perbaikan kualitas
ekosistem, meskipun hal tersebut belum tentu dapat menjamin tercapainya keberlanjutan
kualitas dan fungsi awal dan fungsi utama ekosistem yang bersangkutan

Perencanaan Pengelolaan Hutan Berbasis Ekosistem M2 - 6


Modul Mata Kuliah Perencanaan Hutan

Prinsip 2. Pengelolaan hutan bersifat menyeluruh


Pendekatan menyeluruh (holistic) adalah suatu pendekatan yang memandang
bahwa manusia dan lingkungannya harus diperlakukan sebagai suatu kesatuan.
Pandangan ini bisa benar jika bumi dianggap sebagai suatu kesatuan ekosistem. Dalam
pengelolaan sumberdaya alam, termasuk sumberdaya hutan, bumi merupakan kesatuan
ekosistem terbesar yang ingin dilestarikan, sama halnya dengan kesatuan-kesatuan
ekosistem yang lebih kecil yang dicakupinya. Komonen-komponen manusia, binatang,
tumbuhan, mikroorganisme beserta seluruh lingkungannya, pada hakekatnya, saling
berhubungan dalam suatu jaringan yang besar dan kompleks. Pelestarian bumi
bermakna pelestarian setiap komponen tersebut beserta hubungan timbal balik antar
komponen, yang terjelma melalui empat proses mendasar yaitu : perkembangan makluk
hidup (suksesi), siklus hara, siklus air dan aliran energi mata hari.
Ada lima hal yang perlu diperhatikan sebagai konsekuensi dari pemberlakuan prinsip
pengelolaan yang bersifat menyeluruh yaitu :
1. Pertimbangan keseimbangan isu-isu ekologi, ekonomi dan sosial
2. Pertimbangan keseimbangan kepentingan jangka pendek, menengah dan panjang
3. Pertimbangan skala ruang yg berbeda, yaitu dari tegakan sampai kesatuan bentang
alam
4. Pertimbangan interaksi antarkomponen yang berbeda dalam setiap kesatuan
pengelolaan hutan dan interaksi antar kesatuan pengelolaan hutan dengqn lingkungan
luarnya
5. Pemaduan informasi berdasarkan pengalaman (empiris) dengan informasi ilmiah

Prinsip 3. Pengelolaan hutan berbasis ekosistem


Prinsip pengelolaan hutan berbasis ekosistem (ecosystem based management)
berkaitan secara erat dengan Prinsip pengelolaan yang bersifat menyeluruh (holistic),
dimana holistic principle (Prinsip 2) tersebut merupakan bagian inti dari ecosystem
based principle.
Ekosistem pada hakekatnya adalah keterkaitan dan interaksi antar komponen-kompnen
penyusun ekosistem dengan lingkungannya. Sekaitan dengan itu, Intervensi manusia
terhadap ekosistem tidak hanya berpengaruh terhadap satu aspek ekosistem saja akan
tetapi dapat menimbulkan suatu rangkaian pengaruh terhadap sejumlah komponen dan
sejumlah proses dalam ekosistem yang bersangkutan. Pemanenan kayu dari dalam
suatu ekosistem hutan tidak hanya menyebabkan penurunan tegakan persediaan tetapi
dapat mempengaruhi kondisi tanah, siklus air dan kehidupan satwa liar. Sehubungan
dengan itulah, maka pengambilan keputusan tentang pengelolaan ekosistem hutan harus
didasarkan atas hasil evaluasi menyeluruh terhadap berbagai kemungkinan yang dapat
Perencanaan Pengelolaan Hutan Berbasis Ekosistem M2 - 7
Modul Mata Kuliah Perencanaan Hutan

timbul sebagai akibat dari tindakan-tindakan pengelolaan, baik terhadap komponen-


komponen dan proses dalam ekosistem yang bersangkutan maupun terhadap
komponen-komponen dan proses dalam ekosistem-ekosistem lain.

Prinsip 4. Pengelolaan hutan dilakukan berlandaskan perspektif bentang alam


Sebuah ekosistem lokal pada hakekatnya tidaklah bersifat tertutup, melainkan
merupakan sebuah bagian dari ekosistem yang lebih besar dan berada dalam suatu
tatanan interaksi dengan sejumlah ekosistem lain di dalam suatu kesatuan bentang alam.
Dengan demikian adanya tindakan manusia terhadap sebuah ekosistem lokal potensil
menimbulkan akumulasi dampak terhadap bentang alam dan pada akhirnya akan
berpengaruh pada suatu wilayah tertentu. Sehubungan dengan itulah maka pengelolaan
hutan tidak boleh hanya didasarkan pada perspektif ekosistem hutan semata, tetapi harus
didasarkan pada perspektif bentang alam (landscape perspective).

Prinsip 5. Pengelolaan hutan diarahkan pada pencapaian tujuan ganda


Pengelolaan ekosistem hutan pada dasarnya bertujuan untuk memperoleh
manfaat ekologi, ekonomi dan sosial (multiple objectives). Manfaat optimum hanya
dimungkinkan jika pengelolaan ekosistem dilakukan berdasarkan daya dukung dari
ekosistem yang bersangkutan. Sebuah ekosistem hutan tertentu tidak mungkin
memberikan semua manfaat atau hasil yang diharapkan secara utuh, karena itu tujuan
pengelolaan hutan biasanya memberi penekanan pada aspek-aspek tertentu untuk
memperoleh hasil dan manfaat tertentu secara optimal.
Untuk penentuan aspek mana yang layak diberi penekanan inilah diperlukan sejumlah
kriteria (multicriteria), untuk menjamin agar ekosistem yang bersangkutan benar-benar
dapat dikelola melalui pendayagunaan potensinya secara optimum. Sekaitan dengan hal
termaksud biasanya dilakukan zonasi pendayagunaan wilayah berdasarkan potensi
unggulan dari setiap bagian / sub-ekosistem hutan.

Prinsip 6. Pengelolaan hutan dilaksanakan dengan berlandaskan keterpaduan


Pengelolaan sumberdaya alam pada dasarnya diperhadapkan pada sejumlah
permasalahan antara lain berupa :
(1) perbedaan persepsi dan sistem nilai diantara pihak-pihak yang berkepentingan,
(2) tumpang tindih dan konflik penggunaan, dan
(3) kemungkinan munculnya dampak bagi lingkungan alam dan lingkungan hidup
manusia.
Sekaitan dengan itu, diperlukan pendekatan yang bersifat terpadu (integrated) dalam
pengelolaan yang ditujukan untuk mendapatkan sebanyak-banyaknya manfaat dari yang
mungkin diperoleh, dalam batas-batas dampak sosial dan lingkungan yang masih dapat
diterima serta dengan meminimalkan terjadinya resiko konflik dan biaya (Lang, 1990).

Perencanaan Pengelolaan Hutan Berbasis Ekosistem M2 - 8


Modul Mata Kuliah Perencanaan Hutan

Menurut Schlaepfer dan Elliot (2000) dalam von Gadow et al. (2000) keterpaduan dalam
pengelolaan sumber daya hutan mengandung beberapa makna sebagai berikut :
1. Mengembangkan kesepahaman tentang permasalahan dan kesepakatan tentang
tujuan-tujuan dengan mempertimbangkan cara pandang dan kepentingan yang
berbeda-beda mengenai aspek-aspek ekologi, ekonomi dan social,
2. Mengembangkan pemahaman bersama tentang kondisi sumberdaya yang terdapat
dalam kesatuan pengelolaan hutan, termasuk proses-proses dan interaksi di dalam
dan antar ekosistem dalam kesatuan pengelolaan,
3. Menghubungkan persoalan-persoalan yang muncul pada kesatuan skala kecil dengan
persoalan-persoalan pada kesatuan skala besar,
4. Memutuskan setiap tindakan berdasarkan hasil evaluasi terhadap seluruh
kemungkinan perkembangan kondisi ekologi, ekonomi dan sosial dalam setiap
kesatuan pengelolaan beserta lingkungannya dalam jangka panjang,
5. Menelaah akibat-akibat yang akan muncul dalam jangka menengah dan jangka
panjang dari suatu rencana tindakan jangka pendek,
6. Mensintesiskan konsep-konsep ilmu pengetahuan terkini yang tersedia dari berbagai
disiplin ilmu yang sejalan,
7. Menselaraskan kepentingan dan harapan para pemangku kepentingan seperti :
manajer, pengambil atau pembuat keputusan, ilmuwan dan masyarakat.

Prinsip 7. Pengelolaan hutan adalah pelibatan partisipasi seluruh pihak terkait


Keterlibatan para pihak (stakeholders) dalam pengelolaan hutan diperlukan
untuk lebih menjamin tercapainya kepuasan pihak-pihak yang berkepentingan pada
tingkat tertentu, khususnya dalam perumusan keseimbangan fungsi-fungsi ekologi,
ekonomi, dan sosial dari ekosistem hutan. Dalam kaitan dengan hal tersebut, para pihak
dapat dilibatkan dalam penentuan tujuan-tujuan yang ingin dicapai, analisis keadaan,
serta pemecahan masalah dan pengembangan upaya-upaya perbaikan. Tingkat
keberhasilan partisipasi para pihak, menurut Shindler dan Neburka (1996) antara lain
ditentukan oleh :
1. Cara pemilihan wakil para pihak yang dilibatkan dalam proses partisipatif
Pengalaman membuktikan bahwa proses partisipatif yang lebih efektif akan dihasilkan
jika anggota yang dipilih dan diutus untuk mewakili lembaga atau kelompoknya dalam
proses diskusi adalah mereka yang selain memahami permasalahan bersama dan
keinginan para anggota, juga berkomitmen untuk senantiasa mengedepankan
kepentingan bersama.

Perencanaan Pengelolaan Hutan Berbasis Ekosistem M2 - 9


Modul Mata Kuliah Perencanaan Hutan

2. Bentuk interaksi antar anggota dalam kelompok


Pertemuan yang bersifat terstruktur yang memungkinkan terjadinya interaksi di antara
seluruh anggota kelompok terbukti lebih produktif dari pada pertemuan yang hanya
bersifat mengundang kontribusi pendapat peserta atau hanya sekedar memberikan
feedback.
Dalam kaitan dengan proses pelibatan para pihak (stakeholder) maka hal-hal yang perlu
diidentifikasi antara lain adalah :
1. Siapakah yang termasuk stakeholder ?
2. Apakah seluruh stakeholder harus dilibatkan dengan peran yang sama ?
3. Apakah kepentingan masyarakat lokal harus lebih diperhatikan atau lebih diutamakan
daripada kepentingan masyarakat pendatang ?
4. Bagaimana pengambilan keputusan tentang bentuk tindakan terbaik apabila tidak
dicapai kesepakatan diantara para stakeholder ?
Jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan tersebut dicari melalui penelitian-penelitian
yang dilakukan secara sistematis dan berkelanjutan dalam setiap lingkungan sosial yang
spesifik.

Prinsip 8. Pengelolaan hutan berlandaskan hasil monitoring


Monitoring mengandung dua pengertian (Canadian Forestry Terminology,
1988), yaitu :
1. Kegiatan pengukuran dan penilaian data yang berhubungan dengan variabel kunci
dalam menerangkan terpenuhi-tidaknya atau tercapai-tidaknya suatu tujuan atau
standar-standar tertentu yang telah ditetapkan.
2. Pengumpulan data dengan tujuan untuk memeriksa atau mempelajari kecenderungan
atau pemahaman tentang bagaimana dan seberapa besar suatu sistem dapat
berfungsi.
Spellenberg (1991) membuat rincian tujuan monitoring biologis dan ekologis sebagai
berikut :
(1) Meletakkan dasar bagi pengelolaan sumberdaya hayati dalam rangka penilaian
sumberdaya dan pembangunan berkelanjutan
(2) Mendukung terlaksananya pengelolaan dan konservasi ekosistem secara efektif
(3) Meletakkan dasar bagi petatagunaan lahan dan bentang alam yang lebih baik,
melalui kombinasi konservasi dengan bentuk-bentuk penggunaan lainnya.

Perencanaan Pengelolaan Hutan Berbasis Ekosistem M2 - 10


Modul Mata Kuliah Perencanaan Hutan

(4) Memahami kondisi lingkungan pada suatu waktu tertentu berdasarkan hasil evaluasi
tentang perkembangan populasi organisme kunci tertentu sebagai petunjuk bagi
kualitas lingkungan
(5) Mengembangkan pengetahuan tentang dinamika ekosistem.
(6) Meletakkan dasar bagi pengembangan alat atau teknologi yang efektif dalam
pengendalian serangga hama pertanian dan kehutanan.
Burrmann et al. (1966) mengibaratkan pengelolaan tanpa monitoring sama dengan
bermain sepak bola tanpa pencatatan skor pertandingan. Monitoring yang efektif akan :
(1) membantu pengelola untuk menindaklanjuti konsekuensi terhadap suatu tindakan
manajemen tertentu,
(2) mendapatkan informasi-informasi tentang kejadian-kejadian yang tidak diharapkan,
serta
(3) mengukur besarnya penyimpangan dari tujuan pengelolaan yang telah ditetapkan.
Dalam pengelolaan yang bersifat adaptif, monitoring berfungsi sebagai suatu proses
pembelajaran yang luas.
Monitoring dan evaluasi harus dapat dipertanggungjawabkan, baik secara ilmiah maupun
secara yuridis. Kualitas dan relevansi monitoring akan sangat tergantung pada tujuan,
rancangan dan metode pengukuran variabel, variabel yang digunakan, metode analisis
data, interpretasi hasil, dan metode desiminasi hasil yang diperoleh.

Prinsip 9. Pengelolaan hutan bersifat adaptif (adaptive)


Pengelolaan sumberdaya alam hayati senantiasa diperhadapkan pada
permasalahan-permasalahan yang berkenaan dengan kompleksitas ekosistem, proses
yang bersifat jangka panjang, serta adanya gangguan alam dan pengaruh tindakan
manusia yang tidak dapat diprediksi.
Jawaban terhadap setiap permasalahan termaksud diharapkan dapat memberi makna
pada kegiatan pengelolaan menjadi suatu proses pembelajaran yang bersifat adaptif.
Dalam pengelolaan yang bersifat adaptif, tindakan pengelolaan dijadikan sebagai alat
pembelajaran utama (Walters, 1986). Holling (1978) mendefinisikan pengelolaan adaptif
sebagai suatu proses interaktif melalui penggunaan teknik yang diharapkan dapat
mengurangi ketidakpastian. Pengelolaan adaptif diharapkan dapat meningkatkan
pemahaman terhadap sistem pengelolaan yang penuh dengan ketidakpastian, informasi
hasil penelitian yang terbatas, dan tekanan terhadap sumberdaya alam yang terus
menerus mengalami peningkatan melalui eksploitasi yang makin intensif.
Burmann et al. (1996) mengartikan pengelolaan adaptif sebagai suatu pendekatan dalam
mengelola sistem alam yang kompleks berdasarkan pemikiran sehat (daya nalar) dan
Perencanaan Pengelolaan Hutan Berbasis Ekosistem M2 - 11
Modul Mata Kuliah Perencanaan Hutan

pembelajaran dari pengalaman melalui proses percobaan, monitoring, dan praktek


penyesuaian terhadap hasil-hasil pembelajaran. Pengelolaan adaptif merupakan sebuah
kombinasi antara seni manajemen dengan metode ilmiah, yang diharapkan dapat
mengatasi keterbatasan metode ilmiah dan seni manajemen jika diterapkan secara
sendiri-sendiri. Selanjutnya dinyatakan bahwa pengelolaan adaptif dapat dipandang
sebagai sebuah upaya bersama di antara pengelola, ilmuwan, dan masyarakat untuk
belajar bersama dalam menentukan kepentingan dan harapan masyarakat terhadap
ekosistem hutan dengan tetap mempertahankan kualitas dan prodiktivitasnya.
Prinsip 10. Pengelolaan hutan berlandaskan ilmu pengetahuan yang logis dan
penilaian yang baik
Menurut Thomas dan Huke (1996), kualitas kebijakan dan keputusan-keputusan
dalam pengelolaan ekosistem sangat tergantung pada :
(1) kuantitas dan kualitas informasi tentang ekosistem yag menjadi obyek atau sasaran
pengelolaan, yang tersedia, serta
(2) konsep ilmu pengetahuan yang dipahami dan dikuasai yang dapat digunakan unhtuk
melandasi sebagai kebijakan dan keputusan-keputusan yang akan dibuat.
Upaya-upaya penyeimbangan fungsi ekologi, fungsi ekonomi dan dungsi sosial dalam
pelaksanaan kegiatan pengelolaan suatu ekosistem hutan akan dihadapkan pada
kenyataan tentang adanya perbedaan dampak (positif ataupun negatif), yang malahan
mungkin bertentangan satu sama lain. Hal ini menuntut adanya konsensus dalam
penetapan tujuan-tujuan dan sasaran-sasaran dalam penggunaan ekosistem tersebut,
serta pengembangan pemahaman bersama mengenai bentuk-bentuk keterlibatan dan
dukungan yang diperlukan dari semua kelompok yang berkepentingan. Dengan demikian,
tugas-tugas para pengelola dan pembuat kebijakan yang paling sulit dan paling kritis
akan dapat dipecahakan dan dihadapi secara bersama-sama.
Pembangunan landasan pengelolaan berbasis ekosistem memerlukan dukungan ilmu
pengetahuan yang lengkap dan tepat (Thomas & Huke, 1996) agar landasan tersebut
dapat :
(1) mendukung pengembangan pemahaman tentang fungsi utama ekosistem,
(2) memberi penjelasan tentang daya dukung dan toleransi ekosistem terhadap tindakan-
tindakan pengelolaan yang dilakukan, dan
(3) memberi penjelasan tentang dampak kebijakan serta keputusan-keputusan
pengelolaan yang dibuat terhadap sumberdaya hutan dan lingkungan serta prakiraan
kemampuan pemulihannya.

Perencanaan Pengelolaan Hutan Berbasis Ekosistem M2 - 12


Modul Mata Kuliah Perencanaan Hutan

Prinsip 11. Pengelolaan hutan mempertimbangkan pengetahuan, emosi dan reaksi


moral para pihak dalam pengambilan keputusan
Pengelolaan hutan yang bertujuan untuk mendapatkan barang dan jasa serta
menciptakan keadaan yang diharapkan biasanya memerlukan adanya manipulasi
ekosistem melalui serangkaian tindakan, seperti pemanenan, pembuatan jalan,
pembuatan bangunan-bangunan yang diperlukan dan lain-lain. Manipulasi ekosistem
termaksud seringkali diperhadapkan pada hambatan-hambatan pengetahuan, emosi dan
moral yang dapat mempengaruhi proses pengelolaan. Yankelovich (1991) mendefinisikan
hambatan-hambatan pengetahuan, emosi dan moral sebagai berikut :
a. Hambatan pengetahuan : kesulitan yang diakibatkan oleh adanya kekeliruan atau
perbedaan persepsi, pemikiran, penilaian, cara menghubung-hubungkan, cara
memilah-milah, atau daya serap berbagai informasi yang berhubungan dengan
pengelolaan hutan
b. Hambatan emosional : kesulitan yang diakibatkan oleh adanya sikap keras dari para
pemangku kepentingan dalam mempertahankan perasaan dan pembelaan yang
berhubungan dengan : harapan, rasa takut atau kuatir, kemarahan, penolakan,
penghindaran, kebencian, keinginan untuk meningkatkan kekuasaan, serta keinginan
untuk dihargai dalam pengambilan keputusan tentang hal-hal yang berhubungan
dengan kegiatan, keluaran dan dampak dari pengelolaan hutan.
c. Hambatan moral : kesulitan yang diakibatkan oleh adanya konflik kepentingan antar
kepentingan individu dengan komitmen terhadap pihak lain (masyarakat).
Untuk mengatasi berbagai hambatan tersebut, diperlukan upaya peningkatan efektivitas
pengelolaan melalui identifikasi berbagai hambatan yang mungkin dihadapi dan bila
diperlukan, memasukkannya ke dalam proses pengambilan keputusan (takes into
account cognitive, emotional and moral reactions in decision making process). Salah
satu upaya yang dapat dilakukan untuk keperluan ini adalah pengembangan sistem
informasi yang tepat dan dengan melibatkan pakar ilmu sosial dalam proses pengambilan
keputusan.
Prinsip 12. Pengelolaan hutan mengedepankan pencegahan dan kehati-hatian
Prinsip pencegahan dan kehati-hatian (the precautionary principle) dalam
pengelolaan hutan, pada dasarnya mewajibkan setiap negara, dengan kewenangan dan
kemampuan yang dimiliki untuk melakukan pencegahan degradasi dan perlindungan
terhadap lingkungan dalam wilayahnya. Bila terdapat ancaman yang serius terhadap
lingkungan atau terdapat kemungkinan terjadinya kerusakan yang bersifat tidak dapat
dipulihkan (permanen), maka kelangkaan atau ketidaklengkapan ilmu pengetahuan yang
dikuasai suatu negara tidak dapat dijadikan alasan untuk tidak mencegah terjadinya
degradasi lingkungan (Prinsip 15 Deklarasi Rio). Prinsip pencegahan menuntut

Perencanaan Pengelolaan Hutan Berbasis Ekosistem M2 - 13


Modul Mata Kuliah Perencanaan Hutan

penerapan teknik manajemen ‘resiko dan ketidakpastian’ dalam memecahkan persoalan-


persoalan yang bersifat kompleks. Dalam jangka panjang penerapan teknik manajemen
dalam pengelolaan sumberdaya alam, termasuk ekosistem hutan, akan dapat membantu
optimalisasi pencapaian peluang (kesempatan) untuk melestarikan fungsi-fungsi
ekosistem yang berbeda-beda.

C. Perencanaan Hutan yang Mendukung Pengelolaan Hutan Berbasis Ekosistem


Dalam uraian di muka telah dibahas prinsip-prinsip yang seyogyanya dipegang
dalam pengelolaan hutan yang sejalan dengan pengelolaan sumber daya alam dalam
pembangunan berkelanjutan. Dari berbagai prinsip yang diisyaratkan (seluruhnya ada 12
prinsip), dapat dilihat bahwa pengelolaan hutan berbasis ekosistem merupakan prinsip
kunci yang menjadi landasan bagi prinsip-prinsip lainnya. Oleh karenanya maka dalam
merumuskan perncanaan hutan yang dapat mendukung pengelolaan sumber daya alam
berkelanjutan seyogyanya berlandaskan kepada syarat-syarat perencanaan hutan yang
dapat menunjang pengelolaan hutan berbasis ekosistem. Ciri-ciri perencanaan hutan
berbasis ekosistem hutan adalah :
• Menjadikan kesatuan bentang alam ekologis sebagai kesatuan analisis dalam
penetapan kebutuhan luas kawasan hutan.
• Memadukan kepentingan-kepentingan ekologi, ekonomi dan sosial.
• Berperspektif jangka panjang dan berkelanjutan.
• Memadukan ilmu pengetahuan yang cukup dan tepat dengan kearifan lokal melalui
proses pembelajaran yang bersifat dinamis.
• Memperhatikan karakteristik spesifik dan kepentingan lokal.

1. Menjadikan kesatuan bentang alam ekologis sebagai kesatuan analisis dalam


penetapan kebutuhan luas kawasan hutan
Secara umum hutan berfungsi untuk memproduksi hasil hutan, mengawetkan
keanekaragaman tumbuhan, satwa dan ekosistemnya, serta melindungi sistem
penyangga kehidupan untuk mengatur tata air, mencegah banjir, mengendalikan erosi,
mencegah intrusi air laut, dan memelihara kesuburan tanah. Pada dasarnya setiap
kesatuan ekosistem hutan harus dapat memberikan seluruh fungsi-fungsi tersebut. Besar
kecilnya peran setiap kesatuan ekosistem hutan dalam memberikan setiap macam fungsi
akan sangat bergantung pada karakteristik biofisik hutan dan tindakan pengelolaan yang
diberikan.
Pada kenyataannya penetapan tindakan pengelolaan yang dapat memaksimalkan
seluruh macam fungsi hutan dalam setiap kesatuan ekosistem hutan adalah suatu hal
yang sangat sulit. Hal yang paling mungkin dan umum dilakukan adalah penetapan fungsi
utama (fungsi pokok) yang diharapkan dapat diberikan oleh setiap kesatuan ekosistem
hutan. Di Indosesia (menurut UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan) telah ditetapkan
Perencanaan Pengelolaan Hutan Berbasis Ekosistem M2 - 14
Modul Mata Kuliah Perencanaan Hutan

tiga macam fungsi utama dari setiap kesatuan hamparan lahan hutan yaitu : Hutan
Konservasi, Hutan Lindung dan Hutan Produksi.
Hutan Konservasi adalah kawasan hutan dengan ciri khas tertentu, yang mempunyai
fungsi pokok untuk pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa beserta
ekosistemnya. Hutan Lindung adalah kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok
sebagai perlindungan sistem penyangga kehidupan untuk mengatur tata air, mencegah
intrusi air laut dan memelihara kesuburan tanah. Hutan Produksi adalah kawasan hutan
yang fungsinya pokok memproduksi hasil hutan.
Agar setiap kawasan hutan tersebut di atas dapat berperan secara optimal, maka
penetapan luas dan letaknya harus dilakukan untuk setiap kesatuan bentang alam atau
wilayah yang sesuai. Dalam hal ini tingkat (level) kesatuan bentang alam yang
dipergunakan tidak harus sama, tetapi disesuaikan dengan fungsi pokok hutannya.
a. Penetapan letak dan keterwakilan hutan konservasi
Hutan konservasi berfungsi untuk pelestarian keanekaragaman tumbuhan dan satwa
serta ekosistemnya. Ketepatan letak dan kecukupan dalam hal macam, jumlah, dan
luasnya haruslah memenuhi syarat-syarat keterwakilan dari tingkat kesatuan bentang
alam tertentu yang memiliki ciri-ciri kesamaan dalam keanekaragaman tumbuhan, satwa
dan tipe ekosistemnya. Kesatuan bentang alam yang cocok untuk ini adalah kesatuan
wilayah ekologis (ecoregion), yaitu kesatuan bentang alam yang memiliki kesamaan
dalam keanekaragaman tumbuhan, satwa dan tipe ekosistemnya.
b. Penetapan letak dan kecukupan luas hutan lindung
Hutan lindung berfungsi untuk perlindungan sistem penyangga kehidupan dan
pengaturan tata air, pencegahan banjir, pengendalian erosi, pencegahan intrusi air laut
dan pemeliharaan kesuburan tanah. Ketepatan letak hutan lindung didasarkan atas sifat-
sifat fisik hutan yang meliputi : ketinggian tempat dari muka laut, tingkat kepekaan tanah
terhadap erosi, kemiringan lapangan dan intensitas hujan, serta posisi spesifik dari suatu
hamparan lahan tertentu, seperti sempadan sungai atau sumber mata air. Selain
kecukupan berdasarkan letaknya, luas hutan lindung juga harus mencukupi luas minimal
tertentu.
Kesatuan bentang alam yang dapat dimanfaatkan untuk keperluan ini adalah kesatuan
wilayah kehidupan (bioregion), yaitu kesatuan bentang alam yang kompak dan memiliki
karakteristik biofasik sama, sehingga memerlukan satu sistem penyangga kehidupan
yang sama dalam hal pengaturan tata air, pencegahan banjir, pengendalian erosi,
pencegahan intrusi air laut dan pemeliharaan kesuburan tanah. Kesatuan bentang alam
yang cocok untuk ini adalah DAS, yaitu suatu kesatuan daerah atau lahan yang dialiri
oleh satu sungai utama atau satu jaringan sungai-sungai dengan satu sungai utama
(Helms, 1998)

Perencanaan Pengelolaan Hutan Berbasis Ekosistem M2 - 15


Modul Mata Kuliah Perencanaan Hutan

2. Memadukan kepentingan-kepentingan ekologi, ekonomi dan sosial


a. Penetapan keperluan setiap macam fungsi penggunaan hutan
(1) Kepentingan ekologi
Dipertimbangkan dalam penetapan keperluan hutan lindung dalam setiap DAS
dan penetapan keperluan hutan konservasi dalam setiap kesatuan wilayah ekologis
(ecorogion)
(2) Kepentingan ekonomi
Penetapan hutan produksi, yaitu kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok
memproduksi hasil hutan. Hasil hutan adalah benda-benda hayati, nonhayati dan
turunannya, serta jasa yang berasal dari hutan. Keperluan hutan produksi harus
didasarkan kepada pertimbangan keperluan penyediaan hasil hutan untuk berbagai
keperluannya untuk memenuhi bahan baku industri untuk keperluan ekspor, konsumsi
dalam negeri dan keperluan masyarakat sekitar hutan. Oleh karenanya maka penetapan
hutan produksi seyogyanya dilakukan dalam setiap kesatuan pengembangan industri
kehutanan dan kesatuan masyarakat yang kehidupannya tergantung kepada hutan.
(3) Kepentingan sosial
Dilihat dari kepentingan sosial, diperlukan adanya hutan yang berfungsi untuk
memenuhi kepentingan umum berupa kepentingan penelitian dan pengembangan,
pendidikan dan latihan, serta religi dan budaya. Kawasan hutan yang berfungsi untuk ini
adalah kawasan hutan dengan tujuan khusus. Oleh karenanya maka penetapan
keperluan kawasan hutan dengan tujuan khusus seyogyanya ditetapkan pada setiap
kesatuan wilayah masyarakat hukum adat dan wilayah-wilayah tertentu yang menjadi
pusat penelitian dan pengembangan serta pendidikan dan pelatihan dalam bidang
kehutanan.
b. Penetapan preskripsi pengelolaan hutan tapan
Preskripsi pengelolaan hutan merupakan deskripsi mengenai tujuan, macam dan
volume kegiatan, tata waktu dan tata letak kegiatan-kegiatan yang dilakukan dalam
rangka pengelolaan hutan, serta proyeksi hasil yang diharapkan. Agar keseimbangan
fungsi-fungsi ekologi, ekonomi, dan sosial hutan dapat dicapai, maka semua pihak yang
berkepentingan dengan pengelolaan hutan meliputi : pengelola, pemerintah, pelaku
usaha yang terkait, ilmuwan dan berbagai kelompok kepentingan dalam masyarakat perlu
dilibatkan dalam proses penetapan preskripsi pengelolaan hutan. Untuk keperluan ini,
maka pelaksanaan perencanaan yang harus dilakukan secara transparan, bertanggung
jawab, partisipatif, terpadu, serta memperhatikan kekhasan dan aspirasi daerah seperti
diatur dalam Pasal 11 Ayat (2) UU No.41 Thn 1999 tentang Kehutanan.

Perencanaan Pengelolaan Hutan Berbasis Ekosistem M2 - 16


Modul Mata Kuliah Perencanaan Hutan

3. Berperspektif jangka panjang dan berkelanjutan


Perencanaan hutan yang menunjang pengelolaan hutan berbasis ekosistem
harus mendasarkan kegiatannya pada pemikiran atau anggapan dasar yang memiliki
perspektif jangka panjang dan berkelanjutan. Untuk itu diperlukan adanya kemantapan
dalam hal : kawasan hutan, keberadaan hutan dan fungsi ekosistem hutan.
a. Kemantapan kawasan hutan
Kawasan hutan merupakan wilayah yang diperuntukkan sebagai hutan, terdiri dari
lahan yang berhutan dan lahan yang tidak berhutan yang akan dibangun dan
dipertahankan sebagai hutan. Kawasan hutan ditunjuk dan ditetapkan oleh pemerintah
dan dipertahankan keberadaannya sebagai hutan tetap. Keberadaan hutan tetap
merupakan suatu keharusan untuk menjamin pengelolaan hutan berkelanjutan.
b. Kemantapan keberadaan hutan
Hutan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumberdaya
alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya, yang
satu dengan lainnya tidak dapat dipisahkan. Pengelolaan hutan berkelanjutan
mempersyaratkan keberadaan hutan dengan luasan tertentu pada setiap satuan waktu
tertentu. Untuk hutan produksi areal berhutan boleh dirubah keadaannya, melalui
tindakan penjarangan atau penebangan yang sesuai dengan rencana yang benar. Setiap
areal bekas penebangan tersebut harus ditanami kembali dan dibina sehingga pada akhir
daur akan pulih kembali dan memiliki potensi minimal sama dengan potensi sebelum
ditebang. Untuk hutan lindung dan hutan konservasi, sejatinya tetap berpenutupan hutan
sepanjang waktu.
c. Kemantapan fungsi ekosistem hutan
Pengelolaan hutan berkelanjutan mempersyaratkan tidak berkurangnya peran fungsi
ekosistem dalam mendukung sistem kehidupan pada setiap kesatuan bentang alam, dari
satu generasi ke generasi penerusnya. Hal ini mengandung arti bahwa fungsi ekosistem
hutan tersebut haruslah tetap setiap saat. Berhubung karena luas hutan pada setiap saat
adalah sama atau bahkan cenderung berkurang, sedang total kebutuhan terhadap
barang dan jasa dari ekosistem hutan untuk menyangga sistem kehidupan selalu
meningkat, maka kualitas dan produktivitas ekosistem hutan setiap saat seharusnya tidak
berkurang atau jika dapat lebih meningkat.

4. Memadukan ilmu pengetahuan yang cukup dan tepat dengan kearifan lokal
melalui proses pembelajaran yang bersifat dinamis
Setiap kesatuan ekosistem hutan memiliki karakteristik biofisik dan keadaan
ekonomi serta sosial budaya masyarakat yang bersifat spesifik. Sejalan dengan itu,
permasalahan yang muncul dalam setiap kesatuan ini akan bersifat kompleks dan
berbeda dengan permasalahan yang muncul dalam kesatuan ekosistem di luarnya.
Perencanaan Pengelolaan Hutan Berbasis Ekosistem M2 - 17
Modul Mata Kuliah Perencanaan Hutan

Untuk menjawab permasalahan dalam setiap kesatuan ekosistem hutan diperlukan ilmu
pengetahuan dalam bidang-bidang yang sesuai. Namun ilmu pengetahuan yang tersedia
seringkali tidak cukup memadai untuk menjawab keseluruhan permasalahan yang
dihadapi. Sehubungan dengan itu diperlukan informasi mengenai kearifan lokal
masyarakat (local knowledge) yang diharapkan dapat melengkapi ilmu pengetahuan yang
ada dalam menjawab permasalahan yang dihadapi. Jawaban yang tepat terhadap
semua persoalan yang dihadapi tidak mungkin diperoleh secara pasti melalui proses
yang bersifat statis. Untuk itu diperlukan suatu proses pembelajaran bersama (pengelola,
pengambil keputusan dan masyarakat) yang bersifat berkelanjutan (terus menerus) dan
dinamis.

5. Memperhatikan karakteristik spesifik dan kepentingan lokal


Hasil akhir proses perencanaan adalah diperolehnya preskripsi pengelolaan
hutan untuk setiap kesatuan pengelolaan. Preskripsi pengelolaan dalam setiap kesatuan
pengelolaan harus mampu menjawab permasalahan yang dihadapi dalam setiap
kesatuan pengelolaannya dan memenuhi syarat-syarat pendekatan pengelolaan berbasis
ekosistem. Untuk keperluan ini maka perencanaan pengelolaan hutan harus
memperhatikan karakteristik spesifik dan kepentingan lokal tempat ekosistem hutan
berada. Kepentingan lokal ini terutama ditentukan oleh dua kelompok kepentingan, yaitu :
a. Pemerintah daerah beserta jajarannya sampai pada tingkat desa untuk kepentingan
pelaksanaan program-program pembangunan dalam wilayahnya
b. Masyarakat, terutama masyarakat hukum adat dan masyarakat di sekitar kesatuan
pengelolaan hutan untuk memenuhi berbagai kebutuhan hidup mereka
Dengan demikian, preskripsi pengelolaan dalam setiap kesatuan pengelolaan hutan
harus berlandaskan kepada :
a. Fungsi penggunaan hutan : hutan konservasi, hutan lindung, hutan produksi, hutan
dengan tujuan khusus
b. Arah pengembanagan industri kehutanan dalam arti luas, termasuk industri pariwisata
alam (ekowisata)
c. Arah pembangunan daerah (provinsi, kabupaten / kota)
d. Adat istiadat masyarakat dalam setiap masyarakat hukum adat
Gambaran mengenai faktor-faktor yang perlu dipertimbangkan dan keterkaitannya dalam
penetapan preskripsi pengelolaan pada setiap kesatuan pengelolaan hutan diperlihatkan
melalui Denah Ven pada Gambar 4.
Dalam contoh ini ditunjukkan cara penetapan preskripsi pengelolaan untuk setiap fungsi
penggunaan hutan dalam kegiatan perencanaan hutan dengan mempertimbangkan :

Perencanaan Pengelolaan Hutan Berbasis Ekosistem M2 - 18


Modul Mata Kuliah Perencanaan Hutan

fungsi penggunaan hutan, kebutuhan bahan baku industri kehutanan, keadaan dan
kepentingan masyarakat, serta arah dan program pembangunan daerah.
Gambar 4 hanya memperlihatkan sebagian dari kesatuan-kesatuan analisis yang
digunakan dalam penentuan preskripsi pengelolaan hutan.
Untuk mendapatkan gambaran umum mengenai peran setiap kesatuan analisis dalam
mendukung setiap tahapan dalam kegiatan Perencanaan Hutan di Indonesia, pada Tabel
2 disajikan deskripsi ringkas tentang kesatuan analisis, wujud fisik kesatuan analisis,
fungsi setiap unit analisis dalam pengelolaan hutan, serta tahapan kegiatan dalam
perencanaan kehutanan yang berhubungan dengan kesatuan analisis tersebut.
Denah Ven pada Gambar 4 merupakan sebuah contoh hipotesis penerapan konsep
mengenai ciri-ciri perencanaan hutan yang sejalan dengan prinsip pengelolaan hutan
berbasis ekosistem.

Gambar 4. Dena Ven kesatuan-kesatuan analisis dalam penetapan


preskripsi penngelolaan hutan
Keterangan gambar :
= batas ecoregion (A) ; = batas DAS (B) ;
= batas wilayah asal bahan baku utama industri kehutanan tertentu (C) ;
= batas wilayah sosial masyarakat atau masyarakat hukum adat (D) ;
= batas wilayah administrasi pemerintahan (E) ;
= wilayah hutan yang memiliki preskripsi pengelolaan yang sama untuk
setiap macam fungsi penggunaan hutan yang sama. Preskripsi
pengelolaan hutan dibuat untuk setiap kesatuan pengelolaan hutan,
sedang kesatuan pengelolaan dibuat untuk setiap fungsi penggunaannya.

Perencanaan Pengelolaan Hutan Berbasis Ekosistem M2 - 19


Modul Mata Kuliah Perencanaan Hutan

Konsepsi dan tahapan analisis dalam perencanaan hutan yang dikemukakan di depan
merupakan konsepsi dan tahapan ideal, yang hanya dapat digunakan pada wilayah-
wilayah yang sama sekali belum dilakukan penetapan status yuridis tanah dan penataan
ruang (wilayah). Pada keadaan ini, pengukuhan hutan (penetapan hutan tetap) baru
dapat dilakukan setelah penatagunaan hutan selesai dilakukan dalam setiap bentang
alam yang sesuai.
Pendekatan seperti ini bersifat fungsional dan merupakan pendekatan ideal dalam
mendapatkan fungsi optimal ekosistem hutan. Dalam prakteknya penetapan fungsi
penggunaan hutan dilakukan setelah status lahan secara yuridis selesai dilakukan atau
status yuridis lahan sudah ditentukan. Dengan demikian penetapan fungsi penggunaan
hutan hanya dilakukan pada lahan milik negara yang ditetapkan sebagai hutan.
Sementara penetapan lahan negara sebagai hutan tidak sepenuhnya berdasarkan
kebutuhan yang ditentukan dengan pendekatan fungsional sebagaimana disebutkan di
depan. Dalam keadaan seperti ini, fungsi ekosistem hutan dalam mendukung sistem
kehidupan dari suatu bentang alam tertentu menjadi terbatas. Pendekatan seperti ini
bersifat yuridis oleh karena dimulai dari status yuridis kepemilikan lahannya.
Keadaan di Indonesia merupakan perpaduan dari kedua keadaan yang dikemukakan di
atas. Penetapan fungsi penggunaan hutan dilakukan setelah penetapan status lahan
hutan secara yuridis. Jadi penatagunaan hutan dilakukan hanya pada hutan negara saja.
Namun status lahan sebagai hutan negara pun pada sebagian besar lahan hutan negara
belum dikukuhkan. Dengan demikian batas-batas kawasan hutan negara secara yuridis
belum memiliki kekuatan dan secara fisik di lapangan juga tidak ada. Batas-batas
kawasan hutan hanya ada di peta, itulah sebabnya kegiatan pengukuhan hutan dan
penatagunaan hutan di Indonesia dilakukan secara bersamaan.

Perencanaan Pengelolaan Hutan Berbasis Ekosistem M2 - 20


Modul Mata Kuliah Perencanaan Hutan

Tabel 2. Deskripsi ringkas tentang peran berbagai kesatuan analisis dalam Perencanaan
Kehutanan

Fungsi Ekosistem Tahapan Kegiatan


Kesatuan Analisis dan Wujud Fisik Perencanaan
Hutan yang Kehutanan yang
Deskripsinya Kesatuan Wilayah
diperhatikan Memerlukan

1. Kesatuan Wilayah - Penatagunaan dan


Ekologis (Ecoregion) : pengukuhan hutan
Kesatuan bentang alam untuk penetapan HK
- Pulau Pelestarian
yg memiliki homogenitas - Penetapan KPHK
- Bagian dari keanekaragaman Konserfvasi
dalam hal :
Pulau hayati
- Komposisi flora - Penetapan
- Komposisi fauna preskripsi
- Tipe ekosistem pengelolaan KPHK

Kesatuan wilayah - Pengendalian - Penatagunaan dan


2. DAS daratan yang diba- siklus air pengukuhan hutan
Kesatuan bentang alam tasi oleh punggung utk penetapan KPHL
- Pengendalian
yang memiliki satu sistem bukit dengan satu
sungai utama yang erosi - Penetapan
aliran air ke sungai utama
mengalir ke laut - Pemeliharaan preskripsi
atau danau kesuburan tanah pengelolaan KPHL

3. Kesatuan Wilayah Hamparan lahan


Pengembangan Industri - Penatagunaan dan
hutan dalam suatu Penyedia (sumber) pengukuhan hutan
Kehutanan
wilayah yg dituju- hasil hutan utk ber- utk penetapan KPHP
Kesatuan bentang alam
tempat asal sumber kan utk mengasil- bagai bahan baku
- Penetapan preskripsi
bahan baku industri kan bahan baku industri kehutanan
pengelolaan KPHP
kehutanan tertentu industri kehutanan

Wilayah tempat - Pemenuhan


berlakuknya norma kepentingan
dan adat istiadat budaya dan atau - Penetapan kawasan
4. Kesatuan Wilayah Masya- dalam masyarakat religi masyarakat hutan untuk tujuan
rakat Adat tertentu, atau - Penunjang efekti- khusus
masya-rakat hukum vitas pengelolaan
adat hutan

- Penyesuaian kegi-
Wilayah adminis- atan pengelolaan Penetapan preskripsi
5. Kesatuan Wilayah
trasi pemerintahan hutan dgn Propeda pengelolaan seluruh
Administrasi
tkt provinsi & atau kesatuan KPH (KPHK,
Pemerintahan - Penunjang efekti-
kabupaten/kota KPHL dan KPHP)
vitas pengelolaan

Perencanaan Pengelolaan Hutan Berbasis Ekosistem M2 - 21


Modul Mata Kuliah Perencanaan Hutan

III. INDIKATOR PENILAIAN


Melalui pemahaman tentang materi bahasan yang telah dikemukakan
di atas, setiap mahasiswa diharapkan memiliki kemampuan atau
kompetensi dalam menjelaskan konsep dasar perencanaan pengelolaan
hutan, yang meliputi : (1) menjelaskan dengan contoh metode-metode
penetapan tujuan, (2) menjelaskan faktor-faktor yang dipertimbangkan
dalam mengidentifikasi alternatif kegiatan pengelolaan hutan, dan (3)
menjelaskan dengan contoh penetapan preskripsi pengelolaan hutan.
Indikator penilaian kemampuan atau kompetensi peserta didik adalah
ketepatan penjelasan dan kepatan contoh yang diberikan, serta keaktifan
individu. Bobot nilai dari modul ini adalah sebesar 16% dari total nilai mata
kuliah, dengan rincian : ketepatan penjelasan dengan bobot nilai sebesar
5%, ketepatan contoh yang diberikan dengan bobot nilai sebesar 5%, dan
keaktifan individu dengan bobot nilai sebesar 6%. Penilaian dilakukan
selama proses pembelajaran berlangsung, baik pada waktu
penyelenggaraan kuliah maupun melalui laporan pelaksanaan unit-unit
tugas mahasiswa, baik dalam berkelompok maupun secara individu.

IV. PENUTUP
Modul ini diharapkan dapat menjadi acuan bagi para pihak yang
terkait dengan proses pembelajaran mata kuliah Perencanaan Hutan,
khususnya yang terkait dengan materi “Konsep Dasar Perencanaan
Pengelolaan Hutan”, dalam melakukan penelusuran berbagai sumber
belajar, baik dalam bentuk Buku teks, Dokumen-dokumen atau Laporan
hasil penelitian, Internet ataupun sumber-sumber lain. Dengan mengacu
pada modul ini maka proses pembelajaran diharapkan dapat berjalan secara
efisien dan efektif melalui peran aktif dari semua pihak terkait, khususnya
mahasiswa.

Perencanaan Pengelolaan Hutan Berbasis Ekosistem M2 - 22


Modul Mata Kuliah Perencanaan Hutan

MODUL - 3
PENETAPAN TUJUAN DAN ALTERNATIF PRIORITAS
KEGIATAN PENGELOLAAN HUTAN
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang

Hal yang pertama harus ditentukan dalam suatu proses perencanaan adalah
tujuan. Tujuan akan mendasari potensi atau sumberdaya apa saja yang dapat digunakan
dan kegiatan apa saja yang dapat dilakukan untuk mencapai tujuan tersebut. Hal inipun
berlaku dalam perencanaan pengelolaan hutan. Tujuan pengelolaan hutan pada
dasarnya diarahkan pada pencapaian fungsi dan manfaat hutan yang optimal, dimana
fungsi dan manfaat optimal termaksud hanya mungkin dicapai atau diwujudkan jika
pengelolaan dan atau pendayagunaan sumberdaya hutan diselenggarakan tanpa
melampaui potensi atau daya dukungnya.
Untuk mewujudkan pemanfaatan sumberdaya hutan yang optimum termaksud
di atas, secara umum terdapat sejumlah alternatif kegiatan atau rangkaian kegiatan yang
dapat dipilih untuk dilakukan oleh pihak pengelola. Dalam kaitan dengan hal ini, pihak
pengelola akan memilih kegiatan atau rangkaian kegiatan yang diyakininya merupakan
pilihan prioritas yang dapat menjamin tercapainya tujuan pengelolaan yang diinginkan.
Mudah dipahami bahwa kesalahan dalam memilih dan menentukan kegiatan
pengelolaan hutan yang perlu diberi skala prioritas yang lebih tinggi, pada dasarnya akan
berkonsekuensi pada tidak tercapainya tujuan pengelolaan hutan secara optimal. Modul
ini berisi pembahasan tentang metode-metode yang dapat digunakan atau kriteria yang
dapat mendasari pemilihan kegiatan (rangkain kegiatan) pengelolaan hutan yang
seharusnya diberi prioritas utama untuk dilaksanakan, agar tujuan pengelolaan
termaksud dapat diwujudkan secara optimal
B. Ruang Lingkup Isi
Isi dari modul ini secara garis besar meliputi : (1) Penetapan Tujuan
Pengelolaan Hutan, (2) Identifikasi Alternatif kegiatan Pengelolaan Hutan, dan (3)
Preskripsi pengelolaan Hutan.
C. Sasaran Pembelajaran
Setelah mempelajari modul ini, mahasiswa diharapkan dapat memiliki
kompetensi yang diindikasikan oleh kemampuan dalam : (1) menjelaskan dengan
contoh metode-metode penetapan tujuan, (2) menjelaskan faktor-faktor yang
dipertimbangkan dalam mengidentifikasi alternatif kegiatan pengelolaan hutan, dan (3)
menjelaskan dengan contoh penetapan preskripsi pengelolaan hutan.

Penetapan Tujuan dan Prioritas Alternatif Kegiatan Pengelolaan Hutan M3 - 1


Modul Mata Kuliah Perencanaan Hutan

II. MATERI PEMBELAJARAN


A. PENETAPAN TUJUAN PENGELOLAAN HUTAN
1. Pertimbangan-Pertimbangan dalam Penetapan Tujuan
Tujuan pengelolaan hutan perlu dibuat untuk setiap kesatuan pengelolaan
hutan (KPH) pada masing-masing fungsi penggunaan hutan. Jadi KPH Produksi, KPH
Lindung dan KPH Konservasi, masing-masing harus memiliki tujuan pengelolaan yang
bersifat mandiri, terlepas dari kesatuan pengelolaan hutan yang lainnya meskipun
dengan fungsí penggunaan hutan yang sama. Ada kemungkinan bahwa terdapat
kesamaan rumusan tujuan untuk beberapa kesatuan pengelolaan hutan yang memiliki
fungsi penggunaan yang sama, namun paket tujuan pengelolaan dari setiap KPH
tersebut tetap harus bersifat mandiri. Proses penetapan tujuan pengelolaan harus
dilakukan untuk setiap kesatuan pengelolaan.
Tujuan pengelolaan setiap KPH umumnya ditetapkan berdasarkan pada
pertimbangan-pertimbangan : (1) Fungsi penggunaan hutan, (2) Peranan ekologis hutan,
dan (3) Peranan hutan dalam menopang pembangunan daerah.
1.1 Bentuk Fungsi penggunaan hutan
Berdasarkan fungsí penggunaannya, hutan dikelompokkan atas : Hutan Lindung,
Hutan Konservasi, dan Hutan Produksi. Setiap bentuk fungsi penggunaan hutan
tersebut memiliki fungsi pokok (fungsi utama) tertentu sebagai berikut :
a. Hutan Lindung : memiliki fungsi pokok untuk perlindungan sistem penyangga
kehidupan, yaitu untuk mengatur tata air, mencegah banjir, mengendalikan erosi,
mencegah intrusi air laut, dan memelihara kesuburan tanah
b. Hutan Konservasi : memiliki fungsi pokok sebagai kawasan tempat pelestarian
keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta ekosistemnya.
Hutan Konservasi terdiri atas : Kawasan Hutan Suaka Alam, Kawasan Pelestarian
Alam dan Taman Buru.
b1. Kawasan HSA adalah kawasan untuk pengawetan keanekaragaman tumbuhan
dan satwa serta ekosistemnya, yang juga berfungsi sebagai wilayah sistem
penyangga kehidupan. HSA dibedakan lagi atas Cagar Alam dan Suaka
Margasatwa
b2. Kawasan Hutan Pelestarian Alam adalah kawasan untuk perlindungan sistem
penyangga kehidupan, pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa,
serta pemanfaatan secara lestari sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya.
KHPA dibedakan atas Taman Nasional, Taman Hutan Raya dan Taman Wisata
Alam.
b3. Taman Buru : kawasan hutan konservasi yang diperuntukkan bagi kepentingan
wisata buru

Penetapan Tujuan dan Prioritas Alternatif Kegiatan Pengelolaan Hutan M3 - 2


Modul Mata Kuliah Perencanaan Hutan

c. Hutan Produksi : Kawasan hutan dengan fungsi pokok untuk memproduksi hasil
hutan, yaitu benda-benda hayati, non hayati dan turunannya, serta jasa yang berasal
dari hutan. Hutan Produksi dibedakan atas Hutan Produksi Terbatas, Hutan Produksi
Biasa dan Hutan Produksi yang Dapat Dikonversi, dengan fungsi pokok masing-
masing sebagai berikut :
c1. Hutan Produksi Terbatas : hutan produksi yang dapat dimanfaatkan secara
terbatas (intensitas tertentu), yaitu pada tingkat pemanfaatan yang masih
meninggalkan keadaan tegakan hutan dengan kualitas minimal tertentu yang
dapat berfungsi dalam memberikan perlindungan terhadap tata air, erosi tanah,
dan pemeliharaan kesuburan tanah pada wilayah di sekitarnya.
c2. Hutan Produksi Biasa : hutan produksi yang dapat dimanfaatkan secara
maksimal pada tingkat yang masih dapat menjamin kelestarian hutan
c2. Hutan Produksi yang Dapat Dikonversi : hutan produksi yang dapat dimanfaatkan
dan dikonversi peruntukannya untuk keperluan di luar kehutanan, misalnya untuk
perkebunan, transmigrasi dll
Fungsi-fungsi hutan yang uraikan di atas adalah fungsi-fungsi utama dari masing-
masing KPH sesuai dengan peruntukannya. Selain fungsi-fungsi utama tersebut,
setiap KPH pada dasarnya dituntut untuk memberikan fungsi-fungsi ekonomi, ekologi
dan sosial secara simultan. Sehubungan dengan itu, perumusan tujuan pengelolaan
hutan pada hakekatnya diarahkan pada optimalisasi fungsi ekosistem hutan, yang
meliputi fungsi ekonomi, ekologi dan sosial.

1.2 Peranan ekologis hutan


Salah satu komponen yang diperlukan dalam pengelolaan bentang alam berbasis
ekosistem adalah adanya skenario penggunaan lahan (dan atau ruang) dalam setiap
kesatuan bentang alam tersebut (landscape scenario). Dengan melihat macam-macam
dan tingkat kepentingan dari penggunaan lahan dalam kesatuan bentang alam tersebut
akan dapat ditentukan bentuk tujuan pemanfaatan utama dari kesatuan bentang alam
tersebut, misalnya : campuran untuk pengembangan industri dan pertanian, kombinasi
penggunaan lahan milik dengan kepemilikan publik, dll.
Contoh skenario lain misalnya : tata ruang dalam suatu wilayah DAS untuk tujuan
mendukung kegiatan perekonomian di pusat kota dan perlindungan terhadap banjir di
daerah hilir DAS.
Apabila skenario tujuan pemanfaatan lahan dalam kesatuan bentang alam tertentu
diketahui (telah ditetapkan) maka besarnya peran hutan dalam menunjang skenario
tersebut dapat ditentukan, misalnya dengan menetapkan kadar peran tertentu untuk
setiap macam fungsi ekosistem hutan tersebut. Kadar peran setiap macam fungsi ini
selanjutnya dapat dinyatakan dalam nilai kuantitatif pada saat penetapan persamaan
Penetapan Tujuan dan Prioritas Alternatif Kegiatan Pengelolaan Hutan M3 - 3
Modul Mata Kuliah Perencanaan Hutan

tujuan dan persamaan-persamaan kendala untuk mendapatkan tingkat yang optimal


fungsi-fungsi ekonomi, ekologi dan sosial dari ekosistem hutan yang bersangkutan.

1.3 Peranan hutan dalam menopang pembangunan daerah


Peran hutan dalam menopang pembangunan daerah, khususnya untuk
pembangunan ekonomi daerah, dapat berupa : penyediaan barang yang dapat
dihasilkan oleh ekosistem hutan untuk pemenuhan bahan baku berbagai industri
kehutanan dan pemenuhan kebutuhan konsumsi masyarakat, jasa lingkungan ekosistem
hutan dalam menunjang berbagai aktivitas pembangunan dan untuk pemenuhan
kepentingan umum, yaitu untuk kepentingan pendidikan, pelatihan dan penyuluhan,
penelitian dan pengembangan, serta untuk kepentingan budaya dan keagamaan.
Pemenuhan keperluan tersebut dapat dilakukan melalui penetapan Kawasan Hutan
dengan Tujuan Khusus (KHDTK). Selain itu, dapat pula dilakukan dengan
memperhitungkan serta memasukkan ke dalam model optimalisasi tujuan (tujuan-tujuan)
pengelolaan hutan pada tingkat kesatuan pengelolaan hutan.
2. Teknik Optimalisasi dalam Penetapan Tujuan
Optimalisasi fungsi-fungsi ekosistem hutan ditentukan berdasarkan faktor-faktor
yang merupakan representasi (pewakil) dari fungsi-fungsi ekonomi, ekologi dan sosial-
bidaya. Faktor-faktor ini selanjutnya dijabarkan lebih lanjut ke dalam (peubah-peubah
(variables), baik yang bersifat kuantitatif maupun yang bersifat kualitatif. Melalui
penggunaan peubah-peubah inilah dapat dibuat persamanan-persamaan tujuan (goal)
dan persamaan-persamaan pembatas atau kendala (constraint). Untuk dapat
merumuskan persamaan-persamaan tujuan dan persamaan kendala diperlukan besaran
yang menyatakan berapa besar perubahan yang akan terjadi pada tujuan atau kendala,
akibat berubahnya satu satuan peubah bebas dalam persamaan tujuan dan persamaan
kendala. Besaran ini dinamakan koefisien untuk peubah bebas tersebut. Besaran
koefisien setiap peubah bebas ini hanya dapat diketahui jika tersedia data yang cukup
berdasarkan hasil penelitian yang bersifat empiris. Apabila informasi ini tidak ada maka
persamaan tujuan dan persamaan kendala tidak dapat dibuat. Informasi seperti ini akan
tersedia apabila tindakan atau kegiatan pengelolaan yang sama atau sejenis sudah
pernah dilakukan pada lokasi-lokasi yang kondisinya diketahui. Untuk tindakan atau
kegiatan pengelolaan yang baru (belum pernah dilakukan), dan atau keadaan lokasinya
bersifat spesifik, maka informasi yang diperlukan tidak tersedia.
Berdasarkan ketersediaan informasi yang diperlukan dalam merumuskan
model pengambilan keputusan untuk optimalisasi fungsi-fungsi ekosistem hutan dalam
kesatuan pengelolaan hutannya, teknik optimalisasi dapat dikelompokkan atas :
a. Teknik optimalisasi berdasarkan informasi yang tersedia
b. Teknik optimalisasi berdasarkan informasi yang tidak tersedia

Penetapan Tujuan dan Prioritas Alternatif Kegiatan Pengelolaan Hutan M3 - 4


Modul Mata Kuliah Perencanaan Hutan

Teknik optimalisasi berdasarkan informasi yang tersedia antara lain :


1) Teknik optimalisasi (Pengambilan keputusan) berdasarkan data yang bersifat pasti
(deterministic) atau tetap (fixed). Pengambilan untuk kondisi persoalan yang demikian
ini umumnya dilakukan dengan menggunakan Linier Programming
2) Teknik optimalisasi (Pengambilan keputusan) berdasarkan data yang bersifat
mengandung peluang atau beresiko (probabilistic)
Pengambilan keputusan untuk kondisi yang demikian dilakukan dengan
menggunakan : (a) Kriterium Nilai harapan, (b) Kriterium Nilai harapan dan
keragaman, dan (c) Kriterium Keadaan yang paling mungkin terjadi
3) Teknik optimalisasi (Pengambilan keputusan) berdasarkan data yang bersifat tidak
pasti (undeterministic). Pengambilan keputusan untuk kondisi yang demikian
dilakukan dengan menggunakan : (a) Kriterium Laplaceae, (b) Kriterium Minimaks
atau Maximin, (c) Kriterium Minimaks Penyesalan, dan (d) Kriterium Hurwics
Teknik optimalisasi berdasarkan informasi yang tidak tersedia, dilakukan dengan
menggunakan bantuan para pakar. Salah satu teknik yang dalam digolongkan ke dalam
kelompok ini adalah teknik Analytic Hirarchy Process (AHP), sebuah Teknik pengambilan
keputusan multikriteria.
2.1. Teknik optimalisasi berdasarkan informasi yang tersedia
Kelompok 1. Teknik optimalisasi (Pengambilan keputusan) berdasarkan data yang
bersifat pasti (deterministic) atau tetap (fixed)
Data yang pasti : data yang hanya memiliki satu nilai yang bersifat pasti, memiliki
peluang untuk muncul sebesar 1 (satu) dan keragaman sebesar 0 (nol).
Contoh : Harga kayu gelondongan Rp.6jt, Luas areal HPH PT.Silvalestari Rp.54.000 Ha,
Jumlah polisi hutan pada KPHK Sinambung 25 orang, dll.
Sebagian besar data yang diperlukan/digunakan untuk menyusun perencanaan hutan
bersifat tidak pasti (bisa berubah-ubah), namun untuk memudahkan pengolahan dan
analisisnya, sering diasumsikan sebagai data yang bersifat pasti.
Kasus 1. Permasalahan penggemukan sapi dan budidaya pinus (Gambaran
keadaan permasalahan dalam pengelolaan hutan milik)
Pak Jack adalah seorang petani yang memiliki sebidang lahan kosong seluas 11,15
Ha Tanah ini dapat ditanami dengan pinus yang diharapkan dapat dipanen pada umur
satu tahun untuk memasok kebutuhan pohon natal. Tanah yang sama juga dapat
dijadikan sebagai lahan tempat penggemukan sapi.

Penetapan Tujuan dan Prioritas Alternatif Kegiatan Pengelolaan Hutan M3 - 5


Modul Mata Kuliah Perencanaan Hutan

Pohon pinus ditanam dan dijual secara berkelompok pada setiap petak yang luasnya
0,7Ha dan berisi 1.000 pohon, sedang untuk penggemukan setiap satu ekor sapi
dibutuhkan 1,85 Ha.
Pak Jack adalah petani yang memiliki banyak kesibukan, sehingga hanya dapat
menyediakan 200 jam per tahun untuk mengurus tanah miliknya
Berdasarkan pengalaman diketahui bahwa pengurusan pohon per petak (menanam,
memelihara, memanen dan mengemas) membutuhkan waktu 20 jam, sedang
pemeliharaan/penggemukan setiap ekor sapi memerlukan waktu 20 jam.
Total anggaran yang tersedia untuk membiayai kegiatan ini adalah Rp.120.000.000,-
Biaya tahunan untuk budidaya pohon adalah Rp.300.000,- per petak tanaman dan untuk
penggemukan sapi dibutukan biaya sebesar Rp.2.400.000,- per ekor
Untuk pemasaran sapi, Pak Jack telah membuat kesepakatan untuk memasok minimal 2
ekor sapi per tahun kepada tetangganya.
Berdasarkan tingkat harga yang berlaku pada saat penyusunan rencana diperkirakan
bahwa keuntungan bersih yang akan diperoleh adalah adalah sebesar Rp.5.000,- per
pohon atau Rp.5.000.000,- per petak tanaman pinus, dan Rp.10.000.000,- per ekor sapi.
Dari kasus / permasalahan tersebut di atas dapat dibuat identifisikasi dan pernyataan
permasalahan secara matematis sebagai berikut :
1. Pembuat keputusan : Pak Jack
2. Tujuan : Memaksimalkan pendapatan dari kegiatan usaha
3. Kriterium Tujuan : Nilai uang (Rp) dari pendapatan bersih per tahun
4. Kegiatan dan Peubah Keputusan :
• Kegiatan Penggemukan sapi
Peubah Keputusan : X1 = jumlah sapi yang dibesarkan per tahun
• Kegiatan budidaya pinus
Peubah Keputusan : X2 = Jumlah petak tanaman yang berisi 1.000 pohon pinus
yang dibudidayakan per tahun
5. Fungsi Tujuan :
Maksimumkan Z = pendapatan bersih per tahun (Rp.1000.000) per tahun
dimana Z = 10 X1 + 5 X2
6. Kendala-kendala
• Kendalah lahan : tersedia 11,5 Ha
□ Penggemukan sapi : 1,85 Ha per ekor
□ Budidaya pinus : 0,7 Ha per petak tanaman Æ1.000 phn per petak
Pernyataan matematis : 1,85 X1 + 0,7 X2 ≤ 11,15
• Kendala anggaran : tersedia Rp.120.000.000 per tahun
□ Penggemukan sapi : Rp.2.400.000,- per ekor per tahun
□ Budidaya pinus : Rp. 300.000,- per petak tanaman per tahun
Pernyataan matematis : 2.400.000 X1 + 300.000 X2 ≤ 120.000.000

Penetapan Tujuan dan Prioritas Alternatif Kegiatan Pengelolaan Hutan M3 - 6


Modul Mata Kuliah Perencanaan Hutan

• Kendala waktu kerja : tersedia 200 jam per tahun


□ Penggemukan sapi : 20 jam per ekor per tahun
□ Budidaya pinus : 20 jam per petak tanaman per tahun
Pernyataan matematis : 20 X1 + 20 X2 ≤ 200
• Kendala kesepakan (kontrak kerja) : minimal 2 ekor sapi per tahun
Pernyataan matematis : X2 ≥ 2
• Kendala non negatif peubah keputusan (semua peubah keputusan minimal bernilai
nol)
Pernyataan matematis : X1 ≥ 0 dan X2 ≥ 0

Berdasarkan hal-hal yang telah dipaparkan di atas, dapat dibuat ringkasan pernyataan
permasalahan ini sebagai berikut :
Maksimumkan Z untuk Z = 10.000.000 X1 + 5.000.000 X2
dimana X1 = jumlah sapi yang digemukkan (ekor per tahun)
X2 = jumlah tanaman pinus yang dibudidayakan (petak per tahun)
Dengan kendala-kendala sebagai berikut :
a) Lahan : 1,85 X1 + 0,70 X2 ≤ 11,15
b) Anggaran : 2.400.000 X1 + 300.000 X2 ≤ 120.000.000
c) Waktu : 20 X1 + 20 X2 ≤ 200
d) Kontrak : X2 ≥ 2
e) Non negatif : X1 ≥ 0 dan X2 ≥ 0

Kasus 2. Permasalahan Kombinasi antara Pemanenan Kayu dengan


Pemeliharaan Satwa Liar
Sebuah kawasan hutan memiliki luas 12.000 Ha. Sekitar 3.000 Ha dari hutan ini
terletak di lembah yang dilewati sungai dan dipergunakan untuk keperluan tempat
rekreasi, sedang 9.000 Ha sisanya dan digunakan untuk memproduksi kayu disamping
untuk pemeliharaan habitat satwa liar. Sekitar 80% dari lahan hutan ini ditumbuhi pinus
yang dapat dikelola untuk kepentingan pruduksi kayu, sedang 20% diantaranya
merupakan hutan campuran dari jenis daun lebar yang tetap harus dipertahankan untuk
kepentingan perlindungan kehidupan satwa liar yang ada disana. Dinas Kehutanan
setempat berencana untuk mengelola kawasan hutan ini dengan tujuan
memaksimumkan hasil hutan utama berupa kayu secara lestari, tetapi tetap dapat
menjamin terpeliharanya populasi satwa liar di hutan itu sebagai hasil sekunder.
Hasil kayu diharapkan dapat diperoleh dari areal tebangan dengan luas yang relatif sama
setiap tahunnya, melalui penerapan sistem tebang habis.
Melalui inventarisasi petak permanen diketahui pula riap tegakan, dan berdasarkan itu,
ditetapkan ”siklus tebang” selama 30 tahun yang dibagi atas 3 periode penebangan
dimana masing-masing periode penebangan berjangka 10 tahun. Kegiatan dasar
pengelolaan adalah penebangan pada tegakan tertentu dalam setiap periode
penebangan.

Penetapan Tujuan dan Prioritas Alternatif Kegiatan Pengelolaan Hutan M3 - 7


Modul Mata Kuliah Perencanaan Hutan

Dari hasil inventarisasi diperoleh data luas dan volume tegakan sebagai berikut :
1. Luas Areal
Tegakan Tipe-1 (Tanaman) = 2.000 Ha
Tegakan Tipe-2 (Tegakan kayu pertukangan tua) = 4.000 Ha
Tegakan Tipe-3 (Tegakan kayu pertukangan lewat masak tebang = 1.200 Ha
Total luas = 7.200 Ha

2. Volume tegakan per Ha


Tipe Volume tegakan saat ditebang (m3 per Ha)
Tegakan
Periode I (0-10 tahun) Periode II (11- 20 tahun) Periode III (21- 30 tahun)
1 30 100 300
2 120 170 200
3 250 220 180

Berdasarkan hasil inventarisasi ditetapkan pula bahwa dalam rangka lebih menjamin
kondisi habitat yang dapat mendukung upaya pelestarian populasi satwa liar yang
ada maka perlu ada pembatasan penebangan pada setiap tegakan dalam setiap
periode penebangan, yaitu masing-masing sebagai berikut : Tipe-1 tidak lebih dari
800 Ha, Tipe-2 tidak lebih dari 1.800 Ha dan Tipe-3 tidak lebih dari 500 Ha.
Identifikasi dan perumusan masalah secara matematis :
a) Pembuat Keputusan : Kadishut
b) Tujuan-Tujuan :
• Memaksimumkan hasil panen kayu secara lestari
• Mengelola habitat untuk pemeliharaan satwa liar

c) Kriteria Tujuan
• Total kayu yang dihasilkan dalam setiap periode penebangan 10 tahunan
sama, selama rotasi tebang (30 tahun)
• Sebaran tegakan menurut umur dan tipe tegakan memenuhi standar untuk
habitat satwa liar
d) Kegiatan dan Peubah Keputusan
X11 = Luas areal tebangan (Ha) pada Tipe-1 dalam periode penebangan 1
X21 = Luas areal tebangan (Ha) pada Tipe-2 dalam periode penebangan 1
X31 = Luas areal tebangan (Ha) pada Tipe-3 dalam periode penebangan 1
X12 = Luas areal tebangan (Ha) pada Tipe-1 dalam periode penebangan 2
X22 = Luas areal tebangan (Ha) pada Tipe-2 dalam periode penebangan 2
X32 = Luas areal tebangan (Ha) pada Tipe-3 dalam periode penebangan 2
X13 = Luas areal tebangan (Ha) pada Tipe-1 dalam periode penebangan 3
X23 = Luas areal tebangan (Ha) pada Tipe-2 dalam periode penebangan 3
X33 = Luas areal tebangan (Ha) pada Tipe-2 dalam periode penebangan 3

Penetapan Tujuan dan Prioritas Alternatif Kegiatan Pengelolaan Hutan M3 - 8


Modul Mata Kuliah Perencanaan Hutan

Fungsi Tujuan
Maksimumkan Z (Total hasil tebangan dalam m3), untuk :
Z = 30X11 + 120X21 + 250X31 + 100X12 + 170X22 + 220X32 + 300X13 + 200X23 +
180X33
e) Kendala-Kendala :
• Total luas tebangan (Ha) pada setiap tipe tegakan
Tipe-1 : X11 + X12 + X13 ≤ 2.000
Tipe-2 : X21 + X22 + X23 ≤ 4.000
Tipe-3 : X31 + X32 + X33 ≤ 1.200
• Volume hasil tebangan (m3) dalam setiap periode penebangan
Periode 1 ( 0 – 10 tahun) : 30X11 + 120X21 + 250X31 = 400.000
Periode 1 (11 – 20 tahun) : 100X12 + 170X22 + 220X32 = 400.000
Periode 1 (21 – 30 tahun) : 300X13 + 200X23 + 180X33 = 400.000
• Luas tebangan (Ha) dalam setiap periode penebangan
Periode 1 ( 0 – 10 tahun) : X11 + X21 + X31 = 2.400
Periode 1 (11 – 20 tahun) : X12 + X22 + X32 = 2.400
Periode 1 (21 – 30 tahun) : X13 + X23 + X33 = 2.400
• Pembatasan luas penebangan (Ha) per tipe hutan per periode penebangan
Periode 1 ( 0 – 10 tahun) : X11 ≤ 800 ; X21 ≤ 1.800 ; X31 ≤ 500
Periode 1 (11 – 20 tahun) : X11 ≤ 800 ; X21 ≤ 1.800 ; X31 ≤ 500
Periode 1 (21 – 30 tahun) : X11 ≤ 800 ; X21 ≤ 1.800 ; X31 ≤ 500
• Syarat non negatif untuk peubah keputusan :
Xij ≥ 0 , untuk i = 1, 2, 3 dan j = 1, 2, 3

Perhitungan Volume hasil tebangan per periode penebangan (pada kendala b) :


Periode Luas per Volume Tika kali Total Volume Vol tebangan
Penebangan tipe hutan (m3/Ha) dalam setiap periode per periode
1 1. 2000 30 60.000
2. 4000 120 480.000
3. 1200 250 300.000 840.000 280.000

2 1. 2000 100 200.000


2. 4000 170 680.000
3. 1200 220 264.000 1.144.000 381.333

3 1. 2000 300 600.000


2. 4000 200 800.000
3. 1200 180 216.000 1.616.000 538.667
Jumlah tebangan selama tiga periode 1.200.000
Rata-rata tebangan dalam satu periode 400.000

Penetapan Tujuan dan Prioritas Alternatif Kegiatan Pengelolaan Hutan M3 - 9


Modul Mata Kuliah Perencanaan Hutan

Kelompok 2. Teknik optimalisasi (Pengambilan keputusan) berdasarkan data yang


bersifat mengandung peluang atau beresiko (probabilistic)
Data yang bersifat mengandung peluang adalah data yang memiliki lebih dari satu
nilai dan nilai peluang munculnya setiap nilai diketahui (fungsi sebarannya diketahui).
Dengan demikian nilai tengah dan keragaman nilai data tersebut diketahui.
Contoh : Volume produksi tebangan HPH PT. Silvolestari pada bulan Juli mendatang
sangat dipengaruhi oleh hari hujan pada bulan tersebut, yakni sebagai berikut :
100 m3 apabila jumlah hari hujan kurang dari 10 hari,
80 m3 apabila jumlah hari hujan 10 – 15 hari, dan
50 m3 apabila jumlah hari hujan lebih dari 15 hari.
Berdasarkan data produksi selama beberapa tahun terakhir diketahui bahwa peluang
untuk masing-masing kategori jumlah hari hujan dan volume tebangan adalah masing-
masing sebagai berikut :

Jumlah hari hujan (hh) <10 10 - 15 >15


Volume tebangan (m3) 100 80 50
Peluang (hh) = Peluang (V) 0,2 0,3 0,5
Berdasarkan nilai-nilai pada tabel di atas dapat dihitung parameter keputusan antara lain
sebagai berikut :
Æ Nilai Harapan Volume Tebangan, E(V) = µV = Σ(Vi × pi ) = 100 × 0,2 + 75 × 0,3 + 50 × 0,5
= 20 + 22,5 + 25 = 67,5 m3
Æ Ragam Volume Tebangan : σ2(V) = E(Vi- µV)2 = Σ{pi × (Vi - µV)2}
= 0,2x(100-67,5)2 + 0,3x(75-67,5)2 + 0,3x(75-67,5)2
= 381,25
D = E(V) ± Kxσ(V) : ÆE(V) – K.σ(V) digunakan untuk keuntungan Æ maksimalisasi
ÆE(V) + K.σ(V) digunakan untuk biaya Æ minimalisasi
Kasus
Pada sebuah areal bekas tebangan akan dilakukan penanaman kembali, untuk
menghasilkan tegakan yang bernilai ekonomi tinggi (memberikan NPV yang tinggi).
Berdasarkan pengalaman diketahui bahwa pada areal tersebut terdapat benih-benih
alami tumbuhan semak. Jika tidak dilakukan perlakuan khusus sebelum penanaman
benih-benih tumbuhan semak tersebut akan tumbuh dengan cepat paska penebangan
dan potensil menjadi pesaing bagi bibit tanaman pokok, yang pada akhirnya akan
mempengarui hasil akhir dari tanaman.
Diketahui bahwa keadaan kandungan alami biji-biji semak dalam tanah ada tiga kategori,
masing-masing dengan peluang terjadinya sebagai berikut :

Penetapan Tujuan dan Prioritas Alternatif Kegiatan Pengelolaan Hutan M3 - 46


Modul Mata Kuliah Perencanaan Hutan

Kandungan s1 (tinggi) s2 (sedang) s3 (rendah)


Peluang 0,20 0,30 0,50
Sehubungan dengan itu terdapat tiga pilihan perlakuan sebelum penanaman, yaitu
masing-masing sebagai berikut :
t1 = semak dibakar, kemudian disemprot dengan herbisida (biaya Rp.1.4jt per Ha)
t2 = semak dibakar tanpa penyemprotan (biaya Rp.600.000,- per Ha)
t3 = tanpa perlakuan (tanpa biaya)
Berdasarkan hasil analisis dengan assumsi biaya, harga dan suku bunga tertentu
diperoleh nilai NPV untuk setiap kombinasi alternatif kegiatan dan keadaan kandungan
biji semak di dalam tanah seperti pada tabel berikut :
Tabel. Nilai NPV (Rp.10.000 per Ha) untuk setiap alternatif perlakuan dan keadaan
kandungan biji semak dalam tanah
NPV pada setiap tingkat kandungan biji semak dlm tanah
Alternatif Perlakuan
s1 s2 s3
t1 20 60 100
t2 -50 80 130
t3 -400 -200 150
Peluang 0,20 0,30 0,50

a. Kriterium nilai harapan


Berdasarkan rumus E(NPV) = µNPV = Σ(NPVi × pi ), dapat dihitung nilai harapan NPV
untuk masing-masing alternatif perlakuan yang hasilnya adalah sebagai berikut :
µNPV(T1) = 20 x 0,20 + 60 x 0,30 + 100 x 0,50 = 72
µNPV(T2) = -50 x 0,20 + 80 x 0,30 + 130 x 0,50 = 79
µNPV(T3) = -400 x 0,20 - 200 x 0,30 + 150 x 0,50 = -65
Solusi optimum berdasarkan kriterium ini adalah perlakuan yang menghasilkan nilai
harapan terbesar atau Maksimum µNPV (72, 79, -65) = 79, yaitu perlakuan t2.

b. Kriteria kombinasi nilai harapan dengan keragaman


Berdasarkan rumus : σ2NPV = E(NPVi- µNPV)2 = Σ{pi . (NPVi - µNPV)2}, dapat diperoleh
ragam dan nilai D yaitu E(NPV) - K x σ2(NPV) untuk K =1
σ2NPV(T1) = 202 x 0,20 + 602 x 0,30 + 1002 x 0,50 - (72)2 = 976
σ2NPV(T2) = -502 x 0,20 + 802 x 0,30 + 1302 x 0,50 - (79)2 = 4.629
σ2NPV(T3) = -4002 x 0,20 -2002 x 0,30 + 1502 x 0,50 - (-65)2 = 51.025

Penetapan Tujuan dan Prioritas Alternatif Kegiatan Pengelolaan Hutan M3 - 47


Modul Mata Kuliah Perencanaan Hutan

Simpangan baku (akar dari ragam)


σNPV(T1) = = 31,241 ; D1 = µNPV (T1) - K x σNPV(T1) = 40,759
σNPV(T2) = = 68,037 ; D2 = µNPV (T1) - K x σNPV(T1) = 10,963
σNPV(T3) = = 225,887 ; D3 = µNPV (T1) - K x σNPV(T1) = -290,887
Dalam perhitungan ini K diassumsikan bernilai 1 atau pengambil keputusan memberi
bobot yang sama untuk nilai tengah dan simpangan bakunya
Solusi optimum berdasarkan kriterium ini adalah perlakuan yang menghasilkan
Maksimum D (40,759 ; 10,963 ; -290,887) = 40,759, yaitu perlakuan t1.
c. Kriterium keadaan masa mendatang yang paling mungkin
Solusi optimum berdasarkan kriterium keadaan yang paling mungkin adalah NPV
terbesar pada kondisi yang memiliki peluang terbesar, yaitu :
Maksimum NPV (100, 130, 150) = 150, yaitu perlakuan t3.

Kelompok 3. Teknik optimalisasi (Pengambilan keputusan) berdasarkan data


yang bersifat tidak pasti (undeterministic)
Data yang bersifat tidak pasti adalah data yang memiliki kemungkinan nilai lebih dari
satu, akan tetapi besarnya peluang bagi munculnya setiap nilai data tersebut, tidak
diketahui.
Contoh : Volume produksi tebangan HPH PT.Silvolestari pada bulan Juli mendatang
adalah 100 m3 apabila jumlah hari hujan pada bulan yang bersangkutan kurang dari 10
hari, 75 m3 apabila jumlah hari hujan pada bulan itu 10 – 15 hari, dan 50 m3 apabila
jumlah hari hujan pada bulan itu lebih dari 15 hari, seperti telah dikemukakan di depan.
Namun besaran nilai p1, p2 dan p3 tidak diketahui, yang diketahui hanya bahwa Σpi = 1
Dalam kasus demikian ini, besaran nilai harapan dan keragaman setiap alternatif
kegiatan atau perlakuan tidak dapat diketahui. Terdapat empat kriteria pengambilan
keputusan sekaitan dengan kasus semacam ini, yaitu :
a. Kriterium Laplace (The Laplace Criterion)
b. Kriterium Minimaks atau Maksimin (the Minimax or Maximin Criterion)
c. Kriterium Minimaks Penyesalan (the Savage Minimax Regret Criterion)
d. Kriterium Hurwicz (the Hurwicz Criterion)

Kriterium Laplace (The Laplace Criterion)


Kriterium ini menggunakan konsep peluang Laplace, yaitu suatu konsep peluang yang
mengacu pada prinsip ketidakcukupan informasi untuk mendasari penentuan nilai
peluang suatu kejadian. Menurut Laplace, apabila kita berhadapan dengan n buah
kemungkinan keadaan di masa yang akan datang, yaitu θ1, θ2, …… θn, dan informasi
Penetapan Tujuan dan Prioritas Alternatif Kegiatan Pengelolaan Hutan M3 - 48
Modul Mata Kuliah Perencanaan Hutan

tentang peluang masing-masing tidak diketahui maka tidak ada alasan untuk
menyatakan bahwa peluang untuk masing-masing kegiatan adalah tidak sama. Atas
dasar itulah, maka menurut prinsip ini, besarnya peluang untuk setiap kejadian adalah
sama yaitu 1/n , sehingga :
p(θ1) = p(θ2) = p(θ3) = .................... = p(θn) = 1/n
Ilustrasi tentang kriterium dapat dilihat pada contoh kasus berikut ini :
Jumlah fasilitas yang harus disediakan suatu perusahan rekreasi harus ditetapkan
berdasarkan tingkat persediaan yang harus tersedia untuk dapat memenuhi kebutuhan
pengunjung (wisatawan) pada setiap hari (atau hari-hari) libur tertentu. Jumlah
konsumen yang akan datang dalam setiap hari libur tidak diketahui secara pasti, akan
tetapi diharapkan akan berkisar antara empat besaran harapan tingkat pengunjung (θ)
yaitu : θ1 = 200 orang, θ2 = 250 orang, θ3 = 300 orang, dan θ4 = 350 orang, dimana
peluang setiap tingkat pengunjung tidak diketahui.
Untuk mengantisipasi setiap kemungkinan banyaknya pengunjung ini dapat dipilih salah
satu dari empat tingkat persediaan fasilitas yang ideal, yaitu jumlah fasilitas yang sesuai
dengan jumlah pengunjung.
Perbedaan antara jumlah fasilitas dengan jumlah pengunjung akan berkonsekuensi pada
pertambahan biaya, baik ketika jumlah fasilitas kurang maupun ketika jumlah fasiltas
berlebih
Misalkan jumlah biaya tambahan yang mungkin timbul sebagai akibat dari terjadinya
perbedaan tersebut di atas untuk semua kombinasi tingkat persediaan fasilitas (a1 =
rendah, a2 = sedang, a3 = tinggi dan a4 = sangat tinggi) dengan kemungkinan kejadian
tingkat pengunjung (θ1, θ2, θ3, dan θ4) adalah seperti pada tabel berikut :
Tabel. Biaya tambahan (Rp.1jt) untuk setiap kombinasi tingkat persediaan fasilitas dan
tingkat pengunjung harapan
Kategori Pengunjung
Tingkat Persediaan Fasilitas
θ1 θ2 θ3 θ4
a1 5 10 18 25
a2 8 7 8 23
a3 21 18 12 21
a4 30 22 19 15
Berdasarkan prinsip Laplace dapat dihitung nilai harapan biaya untuk setiap alternatif
tingkat persediaan fasilitas adalah :
Alternatif a1 : E(ca1, θ) = ¼ ( 5 + 10 + 18 + 25) = 14,5

Penetapan Tujuan dan Prioritas Alternatif Kegiatan Pengelolaan Hutan M3 - 49


Modul Mata Kuliah Perencanaan Hutan

Alternatif a2 : E(ca2, θ) = ¼ ( 8 + 7 + 8 + 23) = 11,5


Alternatif a3 : E(ca3, θ) = ¼ (21 + 18 + 12 + 21) = 18,0
Alternatif a4 : E(ca4, θ) = ¼ (30 + 22 + 19 + 15) = 21,5
Berhubung karena permasalahan ini adalah permasalahan biaya, maka yang menjadi
keputusan optimal adalah alternatif keputusan yang memberikan jumlah biaya minimal.
Dengan demikian keputusan optimal untuk permasalahan ini adalah :
Minimum (Rp.14,5jt, Rp.11,5jt, Rp.18jt, Rp.21,5jt) = 11,5jt

Kriterium Minimaks (utk biaya) atau Maksimin (utk keuntungan)


Minimaks adalah kependekan dari Minimum-Maksimum, yang bermakna nilai biaya
terendah dari nilai-niali biaya maksimum yang ada. Sedang Maksimin adalah
kependekan dari Maksimum-Minimum, yang bermakna nilai keuntungan maksimum dari
nilai-nilai keuntungan minimum yang ada.
Kriterum Minimaks digunakan juga matriks hasil berisi sejumlah nilai biaya (kehilangan),
sedang Kriterium Maksimin digunakan jika matriks berisi sejumlah nilai keuntungan
(penerimaan).

Kriterium Minimaks
Kriterium ini dapat dijelaskan dengan menggunakan contoh kasus ’biaya persediaan
fasilitas (dalam jutaan rupiah)’ yang telah dikemukan sebelumnya, seperti yang tersaji
pada tabel berikut ini

Tingkat Perse- Tambahan Biaya pada setiap Kategori Pengunjung Maks


diaan Fasilitas θ1 θ2 θ3 θ4 {c(ai,θj)}
a1 5 10 18 25 25
a2 8 7 8 23 23
a3 21 18 12 21 21
a4 30 22 19 15 30
Maksimum ( 5, 10, 18, 25) = 25
Maksimum ( 8, 7, 8, 23) = 23 Minimum (25, 23, 21, 30) = 21
Maksimum (21, 18, 12, 21) = 21 ÆKriterium Minimaks
Maksimum (30, 22, 19, 15) = 30
Jadi solusi optimum untuk permasalahan ini berdasarkan kriterium Minimaks adalah a3
(tingkat persediaan fasilitas tinggi)

Penetapan Tujuan dan Prioritas Alternatif Kegiatan Pengelolaan Hutan M3 - 50


Modul Mata Kuliah Perencanaan Hutan

Kriterium Maksimin
Kriterium ini dapat dijelaskan dengan merubah konteks contoh kasus di atas dengan
’tingkat keuntungan atau perolehan bersih dari usaha penyediaan fasilitas (dalam jutaan
rupiah)’, seperti yang tersaji pada tabel berikut ini

Tingkat Perse- Tingkat Keuntungan pada setiap Kategori Pengunjung Min


diaan Fasilitas θ1 θ2 θ3 θ4 {c(ai,θj)}
a1 35 30 22 15 15
a2 32 23 32 20 20
a3 19 22 28 17 17
a4 10 18 21 25 10
Minimum (35, 30, 22, 15) = 15
Minimum (32, 23, 32, 17) = 17 Maksimum (15, 20, 17, 10) = 20
Minimum (19, 22, 28, 19) = 19 ÆKriterium Maksimin
Minimum (10, 18, 21, 25) = 10
Jadi solusi optimum untuk permasalahan ini berdasarkan kriterium Maksimin adalah a2
(tingkat persediaan fasilitas sedang)
Kriterium Minimaks Penyesalan
Misalkan ada sebuah matriks kehilangan atau matriks biaya (nilai dalam ribuan rupiah)
sebagai berikut :
θ1 θ2 Maksimum {c(ai,θj)}
a1 15.000 6.000 15.000
a2 12.000 12.000 12.000
Melalui penerapan kriterium minimaks terhadap kondisi ini, akan diperoleh kesimpulan
bahwa solusi optimumnya adalah a2 karena oleh Minimum (15.000, 12.000) = 12.000.
Namun secara intuitif kita akan lebih cenderung memilih a1 oleh karena jika yang terjadi
adalah θ2 (θ = θ2) maka kita hanya akan kehilangan 6.000. Sementara itu, kehilangan
yang akan dialami apabila pilihan jatuh pada a2 adalah sebesar 12.000.
Untuk mengatasi ketidakkonsistenan antara kesimpulan berdasarkan kriterium obyektif
dan cara berpikir logis pada permasalahan yang bersifat ekstrim seperti ini, maka perlu
dilakukan modifikasi terhadap matriks asal menjadi matrik baru yang lasim disebut
sebagai matriks penyesalan (regret matrix). Unsur-unsur matriks penyesalan
menyatakan ukuran tingkat penyesalan yang mungkin terjadi / dialami jika kita salah pilih.
Nilai unsur-unsur tersebut dihitung dengan rumus :

Penetapan Tujuan dan Prioritas Alternatif Kegiatan Pengelolaan Hutan M3 - 51


Modul Mata Kuliah Perencanaan Hutan

Maksimum c(ak,θj) - c(ai,θj) untuk keuntungan


r(ai,θj) =
c(ai,θj) - Minimum c(ak,θj) untuk kehilangan (biaya)

Untuk menjelaskan penerapan kriterium ini, dapat digunakan mariks asal (C) pada
permasalahan penentuan tingkat persediaan fasilitas rekreasi sebagai berikut :

Nilai C utk ai & θj θ1 θ2 θ3 θ4 Maks {C(ai,θj)}


a1 5 10 18 25 25
a2 8 7 8 23 23
a3 21 18 12 21 21
a4 30 22 19 15 30
Minimum c(ak,θj) 5 7 8 15

Dari matriks asal tersebut dapat dibuat matriks penyesalan R sebagai berikut :
Nilai R utk ai & θj θ1 θ2 θ3 θ4 Maks {R(ai,θj)}
a1 0 3 10 10 10
a2 3 0 0 8 8
a3 16 11 4 6 16
a4 25 15 11 0 25
Maksimum ( 0, 3, 10, 10) = 10
Maksimum ( 3, 0, 0, 8) = 8 Minimum (10, 8, 16, 25) = 8
Maksimum (16, 11, 4, 6) = 16 ÆKriterium Minimaks Penyesalan
Maksimum (25, 15, 11, 0) = 15
Jadi solusi optimum untuk permasalahan ini berdasarkan kriterium Minimaks Penyesalan
adalah a2

Kriterium Hurwicz
Kriterium ini merupakan pengambilan keputusan yang didasarkan pada sikap yang
berada diantara sikap optimistik dan sikap pesimistik. Sikap optimisktik akan memilih
Kriterium Masksimaks, sedang sikap pesimistik lebih memilih Kriterium Maksimin.
Penerapan Kriterium Hurwicz dilakukan dengan cara memberi bobot pada sikap
optimistik dan sikap pesimistik. Faktor pembobot untuk sikap optimistik adalah α, sedang
faktor pembobot untuk sikap pesimistik adalah 1- α.
Faktor pembobot α disebut indeks optimistik (index of optimism). Nilai α = 1 bermakna
kriterium menjadi sangat optimistik, sebaliknya nilai α = 0 bermakna Kriterium menjadi
sangat pesimistik.

Penetapan Tujuan dan Prioritas Alternatif Kegiatan Pengelolaan Hutan M3 - 52


Modul Mata Kuliah Perencanaan Hutan

Kriterium Hurwicz menggunakan besaran H yang diperoleh dengan rumus :


H = α x maksimum c(ai,θj) + (1- α) x minimum c(ai,θj)
Untuk menjelaskan penerapan kriterium ini, dapat digunakan data pada permasalahan
penentuan tingkat persediaan fasilitas rekreasi sebagai berikut :
Alternatif tingkat Min Maks
persediaan fasilitas θ1 θ2 θ3 θ4 c(ai,θj) c(ai,θj) H
a1 5 10 18 25 5 25 15
a2 8 7 8 23 7 23 15
a3 21 18 12 21 12 21 16,5
a4 30 22 19 15 15 30 22,5
Catatan : Nilai H dihitung dengan menggunakan α = 0,5
Solusi optimum untuk permasalahan ini berdasarkan Kriterium Hurwicz adalah
persediaan fasilitas pada tingkat a1 atau a2
Davis dan Johnson (1987) menggolongkan kecendrungan cara berpikir para pengambil
keputusan dalam kondisi tidak menentu (decision under uncertainty) atas :
a) Kelompok rasionalis
b) Kelompok optimistik dan pesimistik
c) Kelompok polotikus atau administratur yang bersifat konservatif
a) Kelompok Rasionalis
Para pengambil keputusan yang tergolong dalam kelompok ini berargumen bahwa
keadaan masa depan adalah hal yang belum diketahui, sehingga sangatlah tidak
rasional jika kita menganggap (apalagi menyakini) bahwa sesuatu keadaan memiliki
kecendrungan (kemungkinan) untuk terjadi lebih besar dari pada keadaan lainnya.
Menurut kelompok ini, yang paling rasional adalah anggapan bahwa semua keadaan
yang mungkin terjadi memiliki peluang yang sama. Kelompok ini menggunakan Kriterium
(nilai harapan) Laplace.
b) Kelompok Optimistik dan Kelompok Pesismistik
Kelompok optimistik berpendapat bahwa alternatif apapun yang kita pilih, alam tidak
pernah memiliki keinginan untuk menundukkan (mengalahkan) kita dan karena itu
keadaan paling menguntungkanlah yang akan terjadi pada masa mendatang, sepanjang
kita mengupayakannya. Atas dasar pemikiran demikian ini, kelompok optimistik selalu
memilih alternatif yang memberikan keuntungan maksimum diantara keuntungan
maksimum yang dicapai pada setiap alternatif yang ada (Maksimaks).
Sebaliknya, kelompok pesimistik selalu melihat bahwa kemungkinan paling merugi-
kanlah yang akan terjadi. Akibatnya, kelompok ini cenderung memilih alternatif yang

Penetapan Tujuan dan Prioritas Alternatif Kegiatan Pengelolaan Hutan M3 - 53


Modul Mata Kuliah Perencanaan Hutan

menghasilkan keuntungan atau kehilangan masksimum dari minimum keuntungan atau


kehilangan yang dicapai pada setiap alternatif yang ada (Maksimin)
c) Kelompok Politikus atau Administratur yang bersifat Konservatif
Kelompok ini sangat kuatir terhadap kemungkinan terjadinya penyesalan akibat
terjadinya suatu kemungkinan keadaan di masa yang akan datang. Berdasarkan cara
berpikir seperti ini, kelompok ini cenderung mengambil keputusan berlandaskan
kemungkinan penyesalan maksimal yang paling minimum (Savage Regret Minimax
Criterion)
Untuk ilustrasi di bawah ini disajikan matriks hasil berupa NPV (Rp.1jt) pada program
penanaman kembali tegakan pinus di suatu wilayah
Perlakuan Tingkat kandungan biji E(NPV)
terhadap lokasi semak dalam tanah Minimum Maksimum peluang sama
penanaman s1 s2 s3 E{g(ai,sj}
a1 20 60 100 20 a) 100 60 c)
a2 -50 80 130 -50 130 53,3
a3 -400 -200 150 -400 150 b) -150
Peluang sama
(p = ⅓) ⅓ ⅓ ⅓

NPV maksimum 20 80 150

Matriks penyesalan untuk permasalahan ini adalah sebagai berikut :


Perlakuan terhadap Tingkat kandungan biji semak dalam tanah Maksimum sj
lokasi penanaman s1 s2 s3 g(ai,sj)
a1 0 20 50 50 d)
a2 70 0 20 70
a3 420 280 0 420
Keputusan optimal untuk setiap klp pengambil keputusan adalah sebagai berikut :
a) Kelompok pesimistik memilih a1 (maksimum dari pendapatan minimum); yaitu
a1. Minimum ( 20, 60, 100) = 20
a2. Minimum ( -50, 80, 130) = -50 Æ Maksimum NPV(20, -50, -400) = 20
a3. Minimum (-400,-200, 150) = -400
b) Kelompok optimistik memilih a3 (maksimum dari seluruh hasil) ; yaitu Maksimum
a1. Maksimum ( 20, 60, 100) = 100
a2. Maksimum ( -50, 80, 130) = 130 Æ Maksimum (100, 130, 150) = 150
a3. Maksimum (-400,-200, 150) = 150

Penetapan Tujuan dan Prioritas Alternatif Kegiatan Pengelolaan Hutan M3 - 54


Modul Mata Kuliah Perencanaan Hutan

c) Kelompok rasionalis memilih a1 (maksimum nilai harapan NPV dengan peluang sama
untuk setiap sj); yaitu Maksimum E{g(ai,sj}
a1. E ( 20, 60, 100) = 60
a2. E ( -50, 80, 130) = 53,3 Æ Maksimum (60, 53,3, -150) = 60
a3. E (-400,-200, 150) = -150
d) Kelompok politikus memilih a1 (minimum dari kemungkinan penyesalan terhadap nilai
yang bersifat maksimum untuk setiap sj ;
a1. Maksimum (0, 20, 50) = 50
a2. Maksimum (70, 0, 20) = 70 Æ Minimum (50, 70, 420) = 50
a3. Maksimum (420, 280, 0) = 420
Hasil-hasil di atas menunjukkan bahwa keputusan optimal untuk dua kelompok
pengambil keputusan dapat saja sama. Namun patut dicatat bahwa kesamaan tersebut
tidaklah merupakan suatu keharusan tetapi hanya terjadi secara kebetulan.

Kelompok 4. Teknik pengambilan keputusan bertahap ganda


Ketiga kelompok teknik pengambilan keputusan yang diuraikan di muka (decision
under certainty, decision untr risk, & decision under unsertainty) merupakan
pengambilan keputusan satu tahap, dimana pengambilan keputusan hanya dilakukan
satu kali saja yaitu sebelum kegiatan dilakukan. Setelah itu kegiatan dilaksanakan
berdasarkan keputusan yang dibuat oleh pembuat keputusan. Proses keputusan seperti
ini sesuai untuk pengambilan keputusan dalam pengelolaan hutan yang bertujuan untuk
mendapatkan maanfaat yang bersifat lestari atau berkelanjutan. Dimensi waktu
pelaksanaan keputusan dalam hal ini berjangka panjang dengan frekuensi pengulangan
kegiatan diasumsikan tidak terhingga.
Pada sejumlah macam kegiatan proses pengambilan keputusan dapat pula
dilakukan secara bertahap. Keputusan yang diambil pada kesempatan pertama (Tahap-
1) bukanlah keputusan akhir yang harus diikuti sampai keseluruhan kegiatan selesai
dilakukan. Keputusan tahap-2 harus diambil sampai pada tahap kegiatan tertentu dalam
pelaksanaan keputusan tahap-1. Dengan demikian keputusan tahap-2 akan sangat
tergantung pada hasil yang dicapai dalam pelaksanaan keputusan tahap-1 dengan
mempertimbangkan kemungkinan (hasil prediksi) keadaan yang akan terjadi pada masa
mendatang. Proses pengambilan keputusan demikian ini dinamakan proses
pengambilan keputusan bertahap ganda (multi-stage decision process). Teknik yang
dapat digunakan untuk membuat tipe keputusan ini adalah dengan cara membuat
’Pohon Keputusan’ (decision tree).

Penetapan Tujuan dan Prioritas Alternatif Kegiatan Pengelolaan Hutan M3 - 55


Modul Mata Kuliah Perencanaan Hutan

Gambaran tentang pohon keputusan ini dapat diilustrasikan dengan contoh sebagai
berikut (Taha, 1982) :
Sebuah perusahaan akan membangun hutan tanaman (semacam Hutan Rakyat) pada
sebidang lahan. Sekaitan dengan itu, ada dua pilihan, yaitu (1) penanaman seluruh lahan
secara sekaligus atau (2) penanaman sebagian lahan pada tahap-1 untuk kemudian
dikembangkan pada tahap berikutnya.
Keputusan tentang tingkat penanaman ini dibuat berdasarkan tingkat permintaan
terhadap kayu yang akan dihasilkan (besar atau kecil) pada saat pemanenan.
Penanaman seluruh lahan secara sekaligus dapat dibenarkan jika tingkat permintaan
terhadap kayu yang dihasilkan kelak akan tinggi. Sebaliknya apabila tingkat permintaan
kayu nantinya rendah, maka penanaman secara bertahap akan merupakan keputusan
yang optimal, dimana pada tahap-1 dilakukan penanaman pada sebagian kecil lahan,
dan setelah dua tahun dilakukan evaluasi untuk pengambilan keputusan tahap-2, yaitu
apakah penanaman perlu dikembangkan atau tidak. Periode kegiatan ditetapkan 10
tahun.
Proses pengambilan keputusan secara keseluruhan untuk permasalahana seperti ini
dapat digambarkan secara skhematis dalam bentuk pohon keputusan. Untuk dapat
membuat pohon keputusan diperlukan dua macam (tipe) simpul, yaitu :
a) Simpul untuk titik atau proses pengambilan keputusan (decision making process),
dilambangkaan dengan bujur sangkar (▢). Simpul ini akan menghasilkan sejumlah
alternatif kegiatan yang dapat dipilih dan dilambangkan dengan tanda panah (Æ).
b) Simpul untuk menggambarkan kemungkinan keadaan atau kejadian (event chance),
digambarkan dengan lingkaran (o). Simpul ini akan menghasilkan sejumlah
kemungkinan keadaan di masa yang akan datang yang dilambangkan dengan tanda
panah (Æ).
Dengan menggunakan simpul dan lambang tersebut di atas maka selanjutnya dapat
digambarkan hubungan antar alternatif kegiatan dan kemungkinan keadaan di masa
mendatang dalam satu periode keputusan seperti pada gambar berikut ini.
Untuk pembuatan keputusan melalui teknik denah pohon diperlukan informasi tentang :
a) Peluang terjadinya setiap kemungkinan keadaan di masa yang akan datang, yaitu
masa setelah jangka waktu tertentu setelah pengambilan keputusan
b) Biaya dan pendapatan untuk setiap alternatif kegiatan yang akan dipilih
Misalkan untuk contoh permasalahan di atas diketahui bahwa nilai peluang, biaya dan
pendapatan adalah sebagai berikut :

Penetapan Tujuan dan Prioritas Alternatif Kegiatan Pengelolaan Hutan M3 - 56


Modul Mata Kuliah Perencanaan Hutan

a) Peluang terjadinya tingkat permintaan tinggi dan tingkat pendapatan rendah selama
periode usaha (10 tahun ke depan) adalah masing-masing 0,75 dan 0,25

2
   

   
 
1 5
     
   
4
    

    3 6
   
   
   
   

Gambar 3.1. Diagram pohon keputusan untuk permasalahan pembangunan tanaman


Keterangan gambar : = Pengambilan keputusan tahap pertama
= Pengambilan keputusan tahap-2, dua tahun setelah
pengambilan keputusan tahap-1
a = Pembangunan tanaman skala besar (sekaligus)
b = Pembangunan tanaman skala kecil (bertahap)
c = Pembangunan dikembangkan
d = Pembangunan tidak dikembangkan (diberhentikan)
1) = Tingkat permintahan terhadap hasil tanaman (kayu) tinggi
2) = Tingkat permintaan terhadap hasil tanaman rendah

b) Kebutuhan biaya :
• Pembangunan tanaman skala besar (sekaligus) : Rp.50 milyar
• Pembangunan tanaman secara bertahap
9 Tahap pertama : Rp.10 milyar
9 Tahap kedua (dua tahun setelah pembangnan tahap pertama) : Rp.42 milyar
c) Prakiraan pendapatan tahunan untuk setiap alternatif kegiatan adalah :
• Pembangunan tanaman skala besar
9 Permintaan tinggi : Rp.10 milyar
9 Permintaan rendah : Rp.3,0 milyar

Penetapan Tujuan dan Prioritas Alternatif Kegiatan Pengelolaan Hutan M3 - 57


Modul Mata Kuliah Perencanaan Hutan

• Pembangunan tanaman skala kecil tahap pertama


9 Permintaan tinggi : Rp.2,5 milyar per tahun
9 Permintaan rendah : Rp.2,0 milyar per tahun
• Pembangunan tanaman skala kecil tahap kedua (hasil pengembangan)
9 Permintaan tinggi : Rp.9,0 milyar per tahun
9 Permintaan rendah : Rp.2,0 milyar per tahun
• Pembangunan tanaman skala kecil tanpa diikuti pengembangan
9 Permintaan rendah : Rp.2,0 milyar per tahun

2
   

   
 
1 5
     
   
4
    

    3 6
   
   
   
   
   

Gambar 3.2. Diagram pohon keputusan, dilengkapi dengan biaya dan pendapatan

Berdasarkan informasi di atas, maka diagram pohon keputusan untuk permasalahan ini
dapat dilengkapi seperti yang tersaji pada Gambar 3.2.
Berdasarkan nilai-nilai pada diagram keputusan, maka selanjutnya dapat dilakukan
evaluasi pada simpul keputusan tahap pertama dan simpul keputusan tahap kedua.
Selanjutnya keputusan dibuat dengan menggunakan kriterium nilai harapan (untuk
keuntungan bersih).
Evaluasi dilakukan mulai dari tahapan ”bernomor besar” dan secara berturut-turut diikuti
dengan tahapan yang lebih kecil. Untuk permasalahan di atas evaluasi dimulai dari tahap
kedua, baru kemudian dilanjutkan dengan evaluasi tahap pertama.
Evaluasi Tahap Kedua
Evaluasi dilakukan untuk membandingkan penanaman dengan pengembangan dengan
penanaman tanpa pengembangan, pada pembangunan tanaman skala kecil (bertahap).

Penetapan Tujuan dan Prioritas Alternatif Kegiatan Pengelolaan Hutan M3 - 58


Modul Mata Kuliah Perencanaan Hutan

Nilai harapan keuntungan (E) dapat diketahui melalui perhitungan sebagai berikut :
E(keuntungan bersih\ pengembangan) = 8 x (9M x 0,75 + 2M x 0,25) – 42M = Rp.16M
E(keuntungan bersih\ tanpa pengembangan) = 8 (2,5M x 0,75 + 2M x 0,25 ) = Rp.19M
Berdasarkan nilai harapan keuntungan bersih yang diperoleh maka dapat ditetapkan
bahwa penanaman tanpa pengembangan merupakan keputusan optimum pada tahap
Kedua, dengan nilai harapan keuntungan sebesar Rp.19M

Evaluasi Tahap Pertama


Evaluasi disini dilakukan untuk membandingkan keuntungan bersih pada penanaman
skala besar dengan keuntungan bersih pada penanaman skala kecil yang masing-
masing dapat diperoleh dengan perhitungan sebagai berikut :
E(keuntungan bersih \ penanaman skala besar) =
10 x (10M x 0,75 + 3M x 0,25) – 50M = Rp.32,5M
E(keuntungan bersih \ penanaman skala kecil) =
[{19M + (2 x 2,5M) x 0,75} + (10 x 2M x 0,25)] – 10M = Rp.13M
Berdasarkan nilai harapan keuntungan bersih yang diperoleh maka dapat ditetapkan
bahwa penanaman dengan skala besar merupakan keputusan optimum pada tahap
pertama, dengan nilai harapan keuntungan sebesar Rp.32,5M
Hal ini sekaligus bermakna bahwa keputusan tahap kedua tidak diperlukan lagi.

Penetapan Tujuan dan Prioritas Alternatif Kegiatan Pengelolaan Hutan M3 - 59


Modul Mata Kuliah Perencanaan Hutan

2.2 Teknik Pengambilan Keputusan Berdasarkan Informasi yang Sangat


Miminim atau Sama Sekali Tanpa Informasi
Dalam kelompok pengambilan keputusan ini kita berhadapan dengan permasalahan
yang untuk membuat keputusannya sangat sedikit atau bahkan mungkin tidak ada sama
sekali informasi yang dapat dijadikan dasar dalam proses pengambilan keputusan.
Ketiadaan informasi ini tidak berarti tidak ada sama sekali yang relevan, akan tetapi
informasi yang ada tidak dapat menerangkan langsung atau persis sama dengan
informasi yang diperlukan. Sebenarnya informasi yang kira-kira sama dengan informasi
yang diperlukan tersedia, akan tetapi untuk dapat menggunakannya perlu dilakukan
analogi atau penafsiran-penafsiran agar menjadi sesuai dengan permasalahan yang
dihadapi. Oleh karenanya untuk membuat keputusan dalam permasalahan yang
dihadapi diperlukan bantuan pakar yang dianggap mengetahui informasi dan
permasalahan yang dihadapi. Pakar yang dimaksud disini dapat berarti pakar yang
lazim dikenal selama ini, yaitu ahli dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknilogi, akan
tetapi dapat pula berarti orang-orang yang memahami betul lokasi dan adat istiadat
masyarakat tempat sumber permasalahan yang dihadapi, atau pihak-pihak yang terlibat
dan berkepentingan atau akan terkena dampak akibat dibuatnya kebijakan sebagai
tindak lanjut dibuatnya kebutusan. Permasalahan yang sesuai dengan ciri-ciri
permaslahan yang memerlukan teknik pembuatan keputusan seperti ini adalah setiap
permasalahan baru yang terbentuk akibat karakteristik lokasinya yang bersifat khusus
(spesifik) atau dapat pula akibat kegiatan-kegiatan yang diperlukan untuk
menyelesaikannya merupakan kegiatan baru.
Tipe permasalahan yang dihadapi dalam pengelolaan hutan, lebih-lebih apabila
pengelolaan berlandaskan pada pendekatan ekosistem (forest ecosystem based
management), sebagian besar akan termasuk ke dalam kategori permasalahan yang
terakhir ini. Sebagaimana diketahui, dalam pengelolaan hutan berbasis ekosistem maka
kerangka pendekatan dan tindakan pengelolaan harus berlandaskan pada pengelolaan
yang bersifat adaptif, rumusan-rumusan pengelolaan (prescriptions) dean bentuk-bentuk
tindakan dalam pengelolaan hutan harus disesuaikan dengan keadaan biofisik, ekonomi
dan sosial-budaya spesifik di tempat hutan tersebut berada. Oleh karenanya maka
permasalahan yang dihadapi dalam pengelolaan hutannya akan bersifat spesifik,
berbeda satu dengan lainnya. Dengan demikian, maka jawaban terhadap pertanyaan-
pertanyaan yang berkaitan dengan permaslahan dalam pengelolaan hutan berbasis
ekosistem akan berbeda satu sama lainnya. Beberapa contoh pertanyaan dimaksud
antara lain, adalah :

Penetapan Tujuan dan Prioritas Alternatif Kegiatan Pengelolaan Hutan M3 - 60


Modul Mata Kuliah Perencanaan Hutan

(1) Peubah-peubah apa sajakah yang harus diperhatikan sebagai representasi dari
aspek-aspek ekonomi, ekologi, dan sosial-budaya ekosistem hutan yang akan
dikelola ?
(2) Berapa besar peran (nilai dan tingkat kepentingan) yang diharapkan dari setiap
peubah yang diperhatikan itu harus diberikan untuk mendapatkan tujuan
pengelolaan yang bersifat optimal ?
(3) Kegiatan-kegiatan apa sajakah yang perlu dikembangkan dalam pengelolaan hutan
untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan ?
Informasi yang diperlukan untuk menjawab permasalahan tersebut, yaitu berupa data
empiris hasil berbagai penelitian atau pengalaman, pada tempat-tempat tertentu mungkin
sudah diketahui sehingga dapat dipergunakan sebagai dasar pembuatan keputusan
dengan menggunakan teknik pengambilan keputusan yang sudah dibicarakan. Akan
tetapi pada sebagian besar lokasi hutan(dengan karakteristik yang bersifat spesifik) bisa
dipastikan belum banyak diketahui. Sebagaimana telah diutarakan di muka,
penyelesaian permasalahan seperti ini dapat dipergunakan dengan bantuan pakar.
Ada banyak permasalahan mendasar yang perlu diperhatikan dalam proses pembuatan
keputusan dengan bantuan pakar, misalnya :
(1) Kelompok-kelompok mana saja yang harus dilibatkan sebagai pakar dalam proses
pengambilan keputusan agar kelompok-kelompok yang berkepentingan terhadap
permasalahan yang dihadapi terwakili ?
(2) Berapa banyak dan bagaimana cara pemilihan tokoh pakar yang akan dilibatkan
dalam proses pengambilan keputusan agar persepsi, harapan dan keinginan
masyarakat dalam setiap kelompok tersebut terwakili? Dan banyak lagi
permasalahan dasar seperti ini !
Permasalahan-permasalahan dasar seperti itu banyak dibahas dalam sejumlah buku-
buku teks bidang sosial, dan secara khusus dalam Metode Penelitian Sosial. Dalam
kaitan dengan Ilmu Perencanaan Hutan salah satu teknik pengambilan keputusan yang
digunakan adalah teknik pengambilan keputusan multikriteria, yang disebut teknik
Analitic Hierarchy Process (AHP)
Proses pengambilan keputusan dengan melibatkan pakar sebenarnya dapat dilakukan
dengan cara diskusi atau pengambilan suara terbanyak (voting). Namun kedua cara ini
dapat bersifat tidak obyektif apabila terjadi dua hal sebagai berikut :
(1) Sikap atau perhatian para pakar yang terlibat berbeda-beda. Sikap dan perhatian
pakar terhadap permasalahan yang dibahas akan menentukan kegigihan, atau
bahkan tingkat kengototan pakar dalam diskusi. Padahal dalam diskusi,
kesimpulan-kesimpulan diskusi akan sangat ditentukan oleh pendapat pakar-pakar
Penetapan Tujuan dan Prioritas Alternatif Kegiatan Pengelolaan Hutan M3 - 61
Modul Mata Kuliah Perencanaan Hutan

yang cenderung lebih gigih dari pada pakar yang bersikap pasif karena kurang
tertarik pada permasalahan yang didiskusikan, walaupun pakar yang termaksud
terakhir ini sebenarnya lebih mengetahui dan lebih memahami permasalahan dari
pakar yang aktif dan gigih. Apabila keadaan ini terjadi maka kesimpulan diskusi
dapat bersifat tidak obyektif oleh karena akan berbias kepada pengetahuan,
pemahaman dan kepentingan kelompok pakar yang aktif dan gigih tetapi
sebenarnya kuran memahami permasalahan yang dibahas.
(2) Pengetahuan, pemahaman terhadap informasi serta daya nalar para pakar sangat
beragam dengan perbedaan yang sangat besar. Keadaan kumpulan pakar seperti
ini akan menjadi kelemahan dalam proses pengambilan keputusan dengan prinsip
suara terbanyak (voting). Dalam pengambilan keputusan dengan suara terbanyak,
prinsip dasar yang lazim dianut adalah one-man one-vote, sehingga suara dihitung
dalam pengambilan keputusan sama untuk semua pakar. Akibatnya, kualitas
kebutusan akan berbias terhadap persepsi, pengetahuan, pemahaman dan
kepentingan pakar yang sebetulnya tidak menguasai permasalahan yang dihadapi.
Besarnya nias yang terjadi tentu akan bergantung pada proporsi anggota-amggota
pakar yang terdapat dalam setiap kelompok, yaitu pakar yang menguasai dan yang
tidak menguasai permasalahan yang dihadapi, yang terlibat dalam proses
pengambilan keputusan.
Salah satu cara yang dapat digunakan untuk mengatasi kedua kelemahan dalam proses
pengambilan keputusan sebagaimana diutarakan di muka adalah dengan menggunakan
metode AHP.
Metode AHP dikembangkan oleh Prof. Thomas Saaty, guru besar di Wharton School,
University of Pensylvania pada tahun 1972 (Saaty, 1990). Saat pertama kali
mengembangkan metode ini pada saat ia bekerja untuk menyusun Rencana Kontingensi
(contingency planning) untuk Departemen Pertahanan Amerika Serikat (1971) dan
kemudian dikembangkan dalam penerapan metode ini untuk menentukan rancangan
alternatif masa depan dalam pembangunan di negara berkembang (Sudan).
Menurut Saaty (1990) hirarki adalah sebuah abstraksi dari struktur sistem yang dibuat
untuk mempelajari interaksi fungsional antar komponen-komponen di dalam sistem
berikut dampaknya pada keseluruhan sistem. Dalam kuliah Ilmu Perencanaan Hutan,
kompetensi yang diharapkan dimiliki oleh mahasiswa kemampuan dalam menyusun
hirarki permasalahan untuk permasalahan-permasalahan yang terdapat dalam bidang
pengelolaan hutan. Contoh-contoh penyelesaian program matematik dari hirarki
permasalahan akan dibahas dalam praktikum. Mahasiswa yang ingin mengetahui
metode ini secara lebih mendalam dapat membaca buku teks asli (Saaty, T.L 1990.
Penetapan Tujuan dan Prioritas Alternatif Kegiatan Pengelolaan Hutan M3 - 62
Modul Mata Kuliah Perencanaan Hutan

Multicriteria Decision Making : the analytic hierarchy process university of Pittsburg,


Pittsburg).
Uraian berikut adalah butir-butir penting mengenai : aksioma, langkah-langkah dan
contoh penggunaan AHP sebagaimana diuraikan oleh Saaty (1980) yang ringkasannya
dibuat oleh Mahi (tanpa tahun) yang disarikan dan diperkaya lebih lanjut oleh penyusun.
1) Aksioma dalam AHP

a) Aksioma resiprokal
AHP berlandaskan kepada matriks perbandingan berpasangan (pairwais comparative
matrix) dari variabel-veriabel (kriteria) yang diperhatikan. Dengan aksioma repsiprokal
dimaksudkan bahwa matriks perbandingan berpasangan yang terbentuk harus kebalikan
Apabila variabel-variabel yang diperhatikan adalah A, B dan C maka perbandingan
berpasangan yang terbentuk adalah A vs B, A vs C dan B vs C. Sifat resiprokal
perbandingan A vs B berarti : apabila diketahui A merupakan variabel yang dinilai
memiliki tingkat kepentingan5 (lima) kali tingkat kepentingan B, maka dikatakan A vs B =
5. Sebaliknya, tentu saja tingkat kepentingan B menjadi 1/5 kali tingkat kepentingan A
atau B vs A = 1/5. Hal yang sama berlaku untuk pasangan variabel yang lain
b) Aksioma homogenitas
Matriks perbandingan berpasangan berisi unsur-unsur (nilai) yang merupakan hasil
perbandingan tingkat kepentingan peran setiap variabel dalam menetapkan skenario
(alternatif) kegiatan untuk mencapai tujuan utama. Dalam membuat perbandingan antar
variabel ini, harus dipergunakan ukuran yang sama dan relevan. Sebagai contoh, untuk
membandingkan tingkat kepentingan variabel jenis pohon jati dengan jenis pohon pinus
dalam mendukung fungsi hutan untuk mencegah erosi tanah, misalnya, harus
diperbandingkan sistem perakaran kedua jenis pohon itu. Perbandingan harga (Rp/m3)
kayu dari kedua jenis pohon ini tidak relevan untuk menerangkan tujuan ini. Akan tetapi
variabel harga kayu ini menjadi relevan apabila tujuannya adalah untuk mendapatkan
keuntungan bersih dari hasil penjualan kayu dari hutan yang dikelola.
c) Aksioma ketergantungan
Hirarki dalam AHP merupakan alat utama yang diperlukan untuk membuat matriks
perbandingan berpasangan untuk mendapatkan solusi optimal dari permasalahan yang
dihadapi. Hirarki dalam AHP umumnya terdiri atas banyak tingkat (level) dari tujuan
utama (level 1) sampai skenario alternatif kegiatan sebagai jawaban permasalahan yang
dihadapi (level k, k ≥ 2). Diantara level 1 dengan level k, terdapat level 2, level 3
.................. level k-2, dan level k-1. Banyaknya level yang terdapat dalam sebuah

Penetapan Tujuan dan Prioritas Alternatif Kegiatan Pengelolaan Hutan M3 - 63


Modul Mata Kuliah Perencanaan Hutan

hirarki tergantung kepada permasalahan yang dihadapi serta kerangka pemikiran yang
dikembangkan oleh pembuat keputusan dalam menghadapi permasalahan tersebut.
Aksioma ketergantungan mengandung arti bahwa antara setiap variabel pada setiap
level dalam setiap hirarki harus terdapat keterkaitan walaupun tidak selamanya harus
merupakan hubungan antar level yang bersifat sempurna. Hubungan antara dua level
yang berurutan dikatakan sempurna apabila variabel (unsur) dalam level tertentu (level k)
memiliki hubungan dengan seluruh variabel (unsur) yang terdapat dalam level satu
tingkat lebih rendah (level k+1). Catatan : penomoran level dalam hirarki dilakukan
dengan memberi lambang level 1 pada level yang paling tinggi (tujuan utama), sedang
level yang paling rendah diberi lambang level k (k > 1)
d) Aksioma ekspektasi (harapan)
Unsur-unsur dalam matriks perbandingan berpasangan merupakan nilai-nilai skor
tingkat kepentingan suatu variabel dibandingkan dengan variabel lain secara
berpasangan. Dengan aksioma ekspektasi dimaksudkan bahwa nilai-nilai yang diberikan
oleh anggota pakar yang terlibat tersebut merupakan ekspresi dari harapan, persepsi
atau keinginan sesuai dengan kepentingan masing-masing. Dengan demikian maka nilai
yang dihasilkan tidak dituntut untuk terlalu rasional, atau bahkan mungkin bersifat
subyektif. Yang dituntut adalah konsistensi hasil penilaian dari setiap pakar. Konsistensi
hasil penilaian ini diukur berdasarkan konsistensi hasil perbandingan antar variabel-
variabel yang diperhatikan. Misalkan ada tiga variabel A, B dan C yang akan
dibandingkan ; jika A tiga kali lebih penting dari B (A vs B =3) dan B dua kali lebih
penting dari C (B vs C = 2), maka hasil perbandingan dikatakan sangat konsisten jika A
enam kali lebih penting dari C (A vs C = 6). Pada kenyataannya, sangat sulit untuk
melakukan perbandingan yang benar-benar konsisten karena banyaknya variabel yang
harus diperhatikan. Karena itu, dalam AHP dikembangkan sebuah uji numerik untuk
mengukur tingkat konsistensi hasil perbandingan anggota pakar.

2) Langkah-langkah AHP
a) Dekomposisi
Pengambilan keputusan dalam suatu permasalahan pada dasarnya merupakan
upaya untuk menentukan alternatif tindakan atau kegiatan (upaya) yang bersifat optimal
(optimum solution) untuk mencapai suatu tujuan tertentu. Tujuan akhir yang ingin
dicapai dalam AHP disebut tujuan utama. Antara tujuan utama dengan tujuan skenario
alternatif solusi dihubungkan oleh langkah-langkah kriteria pengambilan keputusan.
Setiap langkah kriteria pengambilan keputusan ini dinamakan level (tingkatan) yang
terdiri dari beberapa variabel sebagai unsur dari kriteria tersebut. Dalam AHP, level di
bawah tujuan utama (level 1) atau level 2 dinamakan khusus sebagai kriteria, sedang
Penetapan Tujuan dan Prioritas Alternatif Kegiatan Pengelolaan Hutan M3 - 64
Modul Mata Kuliah Perencanaan Hutan

level di bawahnya (level 3) dinamakan sub-kriteria, dan level di bawahnya lagi (level 4)
dinamakan su-sub kriteria, begitu seterusnya. Level terendah adalah skenario alternatif
solusi permasalahan yang dihadapi. Level-level yang terbentuk ini harus memiliki
keterkaitan satu sama lain. Keterkaitan ini dinyatakan dalam bentuk hubungan antar
unsur dalam dua level yang berurutan. Jaringan antar level dari keseluruhan yang
terdapat dari suatu permasalahan yaitu dari tujuan utama (level teratas atau level 1)
samapai level terendah, yaitu skenario alternatif solusi dinamakan hirarki permasalahan
atau biasa disebut hirarki.
Memilih alternatif solusi
Level 1 : Tujuan Utama terbaik / optimum

Level 2 : Kriteria K1 K2 K3

Level 3 : Alternatif solusi Solusi 1 Solusi 2

Gambar 1. Contoh hirarki permasalahan hipotetis yang lengkap (hirarki lengkap)

Berdasarkan sifat hubungan antar unsur dalam setiap level yang terdapat dalam sebuah
hirarki, hirarki permasalahan dapat dikategorikan kedalam hirarki lengkap dan hirarki
tidak lengkap. Hirarki lengkap adalah hirarki yang terbentuk oleh level-level hirarki yang
setiap komponen dalam setiap level tertentu berhubungan (tergantung) dengan seluruh
kompenen yang terdapat dalam level satu tingkat di bawahnya (level 1 dengan level 2,
level 2 dengan level 3 dst). Apabila tidak semua komponen dalam level tertentu
berhubungan dengan seluruh komponen dalam level satu tingkat di bawahnya, maka
hirarki permasalahan, dinamakan hirarki tidak lengkap.
Langkah-langkah kegiatan dalam tahapan dekomposisi untuk membuat hirarki
permasalahanadalah sebagai berikut :
(1) Menetapkan tujuan utama dari permasalahan yang dihadapai
(2) Menetapkan alternatif solusi (kegiatan, barang, harapan) yang ditetapkan untuk
mencapai tujuan yang telah ditetapkan
(3) Menetapkan kriteria dan komponen-komponen dalam kriteria (indikator, variabel)
yang akan digunakan untuk menetapkan alternatif solusi yang akan dipilih (solusi
optimal). Apabila diperlukan maka kriteria ini dapat dipecah lagi ke dalam sub
kriteria, sub-sub kriteria, dst

Penetapan Tujuan dan Prioritas Alternatif Kegiatan Pengelolaan Hutan M3 - 65


Modul Mata Kuliah Perencanaan Hutan

(4) Menetapkan hubungan antar kompenen dalam setiap level dengan komponen pada
level di bawahnya
(5) Menggambarkan keseluruhan jaringan antara tujuan utama, kriteria (sub kriteria,
sub-sub kriteria, dst, apabila diperlukan) dan skenario alternatif solusi dalam bentuk
suatu hirarki permaslahan.

Memilih alternatif solusi


Level 1 : Tujuan Utama
terbaik / optimum

Level 2 : Kriteria K1 K2 K3

Level 3 : Alternatif solusi Solusi 1 Solusi 2

Gambar 2. Contoh hirarki permasalahan hipotetis yang tidak lengkap (hirarki yang
tidak lengkap)

b) Pembentukan Matriks Perbandingan Berpasangan


PCM (Pairwais Comparative Matrix) merupakan sebuah matriks segi berukuran
sama dengan jumlah komponen dalam sebuah kriteria. Jadi PCM dibuat untuk setiap
kriteria dan apabila jumlah komponen dari suatu kriteria adalah p, maka ukuran PCM
adalah p x p. Unsur dalam PCM adalah hasil penilaian berpasangan (dua-dua) dari
setiap komponen yang terdapat dalam setiap kriteria. Nilai perbandingan merupakan
bobot tingkat kepentingan (peran) suatu variabel dibandingkan dengan variabel lain
dalam kriteria yang sama dalam penetapan alternatif solusi yang ditetapkan. Dalam AHP
bobot kepentingan variabel dinyatakan dalam nilai skor sebagai berikut :
1 = sama pentingnya 3 = sedeikit lebih penting 5 = agak lebih penting
7 = jauh lebih penting 9 = mutlak lebih penting
Skor 2, 4, 6 dan 8 merupakan ukuran tingkat kepentingan di antara nilai-nilai di atas.
Tahapan pembentukan PCM yang diperlukan untuk menentukan alternatif optimal
dengan metode AHP adalah :
(1) Pembuatan PCM antar komponen dalam setiap kriteria untuk menentukan besarnya
bobot setiap variabel (komponen) kriteria dalam menentukan macam alternatif solusi
yang akan dipilih

Penetapan Tujuan dan Prioritas Alternatif Kegiatan Pengelolaan Hutan M3 - 66


Modul Mata Kuliah Perencanaan Hutan

(2) Pengujian tingkat kekonsistenan unsur-unsur dalam PCM


(3) Pembuatan PCM untuk menentukan nilai setiap variabel dalam kriteria untuk setiap
alternatif solusi yang akan dipilih
(4) Melakukan sintesa antara PCM untuk menentukan bobot kepentingan variabel
kriteria (PCM1) dengan solusi yang dibuat (PCM2), dengan tahapan sbb :
(a) Tentukan vektor ciri dari PCM1, sehingga diperoleh vektor bobot kepentingan
setiap variabel dalam kriteria, misalkan V (Catatan : apabila PCM1 berukuran p x
p, maka vektor ciri V akan berukuran p x 1)
(b) Kalikan PCM2 dengan vektor V, sehingga diperoleh vektor S yang merupakan
skor tingkat prioritas pilihan untuk setiap alternatif solusi yang dibuat. Dari vektor
ini dapat ditentukan solusi optimal, yaitu alternatif solusi yang memiliki nilai skor
tertinggi.
Apabila PCM2 = M dengan jumlah baris q ( q = jumlah alternatif solusi) dan jumlah lajur p,
maka :
1

  .2  
1 1
.

S1, S2, ...... Sq = Skor untuk tingkat prioritas alternatif ke-1, ke-2 ........... dan ke-q
Skor Si dinyatakan dalam nilai proporsi (0≤Si≤1; untuk i = 1, 2, ..., q); ∑Si = 1.

Penetapan Tujuan dan Prioritas Alternatif Kegiatan Pengelolaan Hutan M3 - 67


Modul Mata Kuliah Perencanaan Hutan

B. Identifikasi Alternatif Kegiatan dalam Pengelolaan Hutan


Alternatif kegiatan pengelolaan hutan sangat tergantung dan melekat pada
tujuan pengelolaan yang ingin diwujudkan. Dengan kata lain, solusi optimal bagi alternatif
tujuan (maksimum atau minimum fungsi tujuan) akan menentukan atau melandasi
alternatif kegiatan yang akan dilaksanakan. Solusi optimum dari suatu permasalahan
pengelolaan hutan, sekaligus dapat memberi gambaran atau mencerminkan kuantitas,
kualitas dan atau nilai dari tujuan yang dapat diwujudkan melalui rangkaian alternatif
kegiatan yang dipilih dan dtitetapkan untuk dilaksanakan. Sekaitan dengan itu, suatu hal
yang perlu diketahui adalah bagaimana melakukan identifikasi terhadap semua alternatif
kegiatan yang mungkin untuk sampai pada penentuan kegiatan yang terpilih untuk
dilaksanakan.
Uraian berikut membahas tentang proses identifikasi alternatif-alternatif
kegiatan atau rangkaian kegiatan yang mungkin dilakukan untuk mewujudkan tujuan
pengelolaan yang telah ditetapkan. Dengan kata lain, tujuan (tujuan-tujuan) pengelolaan
hutan yang telah ditetapkan akan mendasari pelaksanaan identifikasi semua alternatif
kegiatan atau rangkaian kegiatan yang mungkin dilakukan dan sekaligus menjadi dasar
dalam memilih dan menetapkan kegiatan yang akan diterapkan untuk mencapai tujuan
(tujuan-tujuan) pengelolaan. Berikut ini diberikan beberapa faktor yang perlu
dipertimbangkan dalam rangka identifikasi semua alternatif kegiatan atau rangkaian
kegiatan yang mungkin dilakukan dan pemilihan atau penentuan kegiatan atau rangkaian
kegiatan yang dinilai dapat menjamin optimalisasi pencapaian tujuan pengelolaan hutan.
1. Kesejalanan (relevansi) dengan tujuan khusus
Sebuah kegiatan atau rangkaian kegiatan yang dipilih untuk dilaksanakan dalam
rangka mencapai tujuan pengelolaan hutan yang telah ditetapkan, haruslah merupakan
kegiatan atau rangkaian kegiatan yang diyakini dapat menjamin pencapaian tujuan
pengelolaan tersebut secara optimum. apabila kegiatan atau rangkaian kegiatan tersebut
memiliki hubungan ketergantungan yang kuat dengan tujuan yang bersangkutan. Hal ini
mengindikasikan bahwa jika suatu tujuan ataupun rangkaian tujuan pengelolaan telah
ditetapkan maka alternatif kegiatan yang dapat dipilih untuk dilaksanakan menjadi lebih
terbatas, yaitu kegiatan atau rangkaian kegiatan yang memang mendukung upaya
pencapaian tujuan termaksud secara optimal. Contoh : jika pengelolaan sebuah hutan
lindung terutama diperuntukkan atau ditujukan bagi perlindungan permukaan tanah dari
erosi yang melebihi tingkat erosi diperkenankan, maka kegiatan-kegiatan yang potensil
menyebabkan penurunan luas penutupan tajuk tegakan, seperti penebangan, harus
dihindari atau tidak dapat ditetapkan sebagai kegiatan pengelolaan hutan yang akan
diterapkan. Untuk itu perlu diidentifikasi kegiatan lain yang lebih sesuai dan atau
mendukung tujuan pengelolaan hutan, seperti budidaya tanaman obaat-obatan di bawah

Penetapan Tujuan dan Prioritas Alternatif Kegiatan Pengelolaan Hutan M3 - 33


Modul Mata Kuliah Perencanaan Hutan

tegakan hutan, budidaya lebah madu, dan atau pengembangan kawasan rekreasi pada
bagian-bagian kawasan tertentu.
Informasi mengenai kegiatan-kegiatan yang sejalan dengan tujuan khusus dalam
pengelolaan hutan dapat diperoleh melalui hasil-hasil penelitian ilmiah atau berdasarkan
pengalaman di tempat lain, atau berdasarkan kearifan lokal masyarakat di sekitar hutan.
Dalam pegelolaan hutan berbasis ekosistem, alternatif kegiatan yang dipilih haruslah
merupakan alternatif kegiatan yang sudah teruji secara ilmiah melalui penelitian yang
bersifat dinamis dan iteratif di tempat itu, sehingga kegiatannya akan bersifat spesifik dan
sesuai dengan karasteristik biofisik ekosistem hutan dan keadaan sosial ekonomi
masyarakat setempat. Keterujian kegiatan yang dipilih juga harus didasarkan pada
umpan balik (feed back) dari komponen ekosistem hutan setempat terhadap setiap
perlakuan yang dicobakan atau diteliti, yang dapat dilakukan melalui suatu pendekatan
sistem dengan teknik simulasi.
2. Kelengkapan informasi setiap kegiatan
Setiap kegiatan atau teknologi yang terpilih untuk diterapkan, harus memenuhi syarat-
syarat kelayakan, baik dari aspek ekologi dan aspek teknis, maupun dari aspek ekonomi
dan sosial. Untuk menilai kelayakan kegiatan tersebut, diperlukan berbagai informasi
dasar yang berkenaan dengan peranan kegiatan dalam mendukung upaya pencapaian
tujuan, beserta dampaknya terhadap lingkungan. Informasi dasar ini dapat diperoleh
melalui publikasi hasil penelitian ilmiah, pengalaman-pengalaman di tempat lain dan
kearifan lokal masyarakat di sekitar hutan. Kegiatan yang dipilih untuk diterapkan
seharusnya merupakan kegiatan yang memang layak, dimana penilaian kelayakan
termaksud didasarkan pada informasi tentang berbagai aspek yang lengkap. Kegiatan
atau pilihan teknologi yang dinilai akan relevan dengan tujuan yang ditetapkan, serta
layak secara ekologis, teknis ekonomi, dan sosial, tetapi masih belum teruji
kebenarannya, sebelum diterapkan terlebih dahulu perlu diuji melalui kaji tindak (pilot
project) di tempat atau lokasi pengelolaan
3. Kesejalanan dengan norma, tata nilai dan kepentingan masyarakat lokal
Pengelolaan hutan, pada hakekatnya, diharapkan dapat menunjang peningkatan
kesejahteraan masyarakat di sekitar hutan. Sehubungan dengan itu, teknologi atau
kegiatan pengelolaan hutan harus diupayakan untuk tidak menimbulkan gejolak sosial
dalam masyarakat setempat, yaitu melalui upaya-upaya menselaraskan setiap kegiatan
atau teknologi yang dipilih dengan norma, tata nilai dan kebutuhan atau kepentingan
masyarakat di sekitar hutan. Dengan demikian, informasi mengenai sistem nilai dan
kepentingan atau kebutuhan yang berkembang dalam masyarakat sangat penting untuk
diketahui oleh pihak pengelola atau pihak perencana dan pelaksana kegiatan-kegiatan
pengelolaan. Informasi termaksud dapat diperoleh melalui pelaksanaan survei sosial dan

Penetapan Tujuan dan Prioritas Alternatif Kegiatan Pengelolaan Hutan M3 - 34


Modul Mata Kuliah Perencanaan Hutan

hasilnya harus dipertimbangkan dalam penyusunan rencana pengelolaan hutan sangat


diperlukan. Sejalan dengan itu, pemahaman dan penguasaan tentang kegiatan atau
teknologi yang diterapkan beserta potensi dampaknya merupakan suatu keharusan bagi
perencana dan pelaksana kegiatan pengelolaan. Pemahaman dan penguasaan tentang
dampak dari kegiatan atau teknologi yang diterapkan akan memungkinkan pengelola
merumuskan langkah-langkah atau strategi yang dapat diambil untuk memaksimalkan
dampak positif dan sebaliknya meminimalkan atau jika mungkin menghindari dampak
negatif yang potensil muncul dalam penerapan teknologi atau pelaksanaan kegiatan
pengelolaan yang bersangkutan. Terkait dengan hal ini, kegiatan-kegiatan yang dapat
membuka / memperluas lapangan pekerjaan dan atau peluang berusaha bagi
masyarakat di sekitar hutan seharusnya diberi skala prioritas yang tinggi dalam pemilihan
kegiatan pengelolaan hutan.

C. Preskripsi Pengelolaan Hutan


Sebuah preskripsi (prescription =resep) pengelolaan hutan adalah suatu
rangkaian uraian lengkap mengenai tujuan khusus (objective), tata waktu kegiatan atau
aktivitas (treatment schedule), dan perkiraan atau proyeksi hasil (projection).
Preskripsi pengelolaan hutan merupakan unsur penting yang mutlak harsu ada
agar perencanaan pengelolaan hutan dapat dibuat. Tanpa ada preskripsi pengelolaan
hutan yang rinci dan tegas, maka gambaran mengenai kegiatan-kegiatan yang harus
dilakukan untuk melaksanakan pengelolaan hutan tidak akan dapat didefenisikan dengan
baik. Secara ringkas dapat dikatakan bahwa proses pengambilan keputusan yang
dilakukan dalam rangka perencanaan pengelolaan hutan adalah untuk mendapatkan
preskripsi pengelolaan hutan yang akan diterapkan dalam suatu kesatuan pengelolaan
hutan.
Menurut Davis dan Johnson (1987), untuk dapat membuat preskripsi
pengelolaan hutan yang terandalkan, maka kita harus mampu untuk menduga atau
memperkirakan secara kuantitatif mengenai sifat-sifat tegakan hutan di masa yang akan
datang dari seluruh tegakan hutan yang telah ada sekarang maupun tegakan baru hasil
penanaman kembali (regenerasi). Tanpa informasi kuantitatif hasil dugaan keadaan
tegakan tersebut, kita tidak akan pernah mengetahui apakah tujuan khusus yang telah
kita tetapkan akan dapat dicapai atau tidak.
Untuk mendapatkan gambaran tentang bentuk preskripsi kegiatan dalam
pengelolaan hutan, dapat dipelajari tiga contoh preskripsi tegakan hutandan proyeksi
pertumbuhannya dalam pengelolaan hutan dengan tujuan utama menghasilkan kayu
secara lestari yang dibuat oleh Davis dab Johnson (1987), sebagaimana diuraikan
berikut ini.

Penetapan Tujuan dan Prioritas Alternatif Kegiatan Pengelolaan Hutan M3 - 35


Modul Mata Kuliah Perencanaan Hutan

Tiga buah preskripsi pengelolaan hutan ini dibuat untuk tegakan pinus yang
bersifat hipotetis untuk memberikan illustrasi yang rinci dan lengkap dalam penyusunan
preskripsi dan proyeksi keadaan tegakan dan hasil di mas yang akan datang. Deskripsi
keadaan tegakan hutan pinus adalah sebagai berikut :
Keadaan tegakan hutan pada saat ini terdiri atas tegakan-tegakan :
a. Lahan terbuka bekas tebangandengan sistem tebang habis
b. Tegakan permudaan secara alami
c. Tegakan berumur 60 tahun dengan indeks tempat tumbuh 80 ft (sekitar 24 m) pada
umur dasar 25 tahun (catatan : indeks tempat tumbuh = peninggi tegakan pada umur
dasar tertentu. Untuk tegakan pinus di Amerika Serikat umur dasar ditetapkan 25
tahun)
Dalam tegakan rata-rata terdapat 12 pohon (per hektar) pinus berukuran besar
untuk kayu gergajian, 35 pohon (per hektar) pinus berukuran sedang (tiang), serta
permudaan pinus dan kayu dalam lebar. Secara keseluruhan, 60% dari tegakan hutan
yang ada ditumbuhi oleh pinus. Proyeksi hasil ditetapkan untuk priode 60 tahun.
Untuk keadaan tegakan seperti itu, dapat dibuat tiga alternatif preskripsi
pengelolaan hutan hipotetis sebagaimana diuraikan berikut ini

Preskripsi 1
a. Tujuan pemilik lahan hutan : menyediakan kayu pulp untuk pasokan ke pabrik pulp
miliknya
b. Perlakuan (uraian kegiatan)
Menebang habis secara serentak seluruh tegakan umure tua yang ada, persiapan
lahan (sebelum penanaman kembali) berupa pemotongan dan pembakaran sisa-sisa
kayu, penanaman dengan jarak 10 ft x 10 ft dengan jenis pinus, tanpa perlakuan antara,
tebang habis pada umur 20 tahun
c. Proyeksi hasil
Tahun
Komponen
1985 2005 2025 2045
1. Umur tegakan sebelum panen (tahun) 60 20 20 20
2. Umur tegakan setelah panen (tahun) 0 0 0 0
3. Volume hasil panen (cords / acre) 12 20 20 20
Catatan : 1) Cord = satuan volume untuk kayu bakar
1 cord = 128 cubic feet = 3,6 m3 ; suatu tumpukan kayu berukuran
8 feet x 4 feet x 4 feet = 2,4 m x 1,2 m x 1,2 m
2) 1 acre = 0,405 hektar

Penetapan Tujuan dan Prioritas Alternatif Kegiatan Pengelolaan Hutan M3 - 36


Modul Mata Kuliah Perencanaan Hutan

Preskripsi 2

a. Tujuan pemilik lahan hutan : menjual tegakan kayu gergajian. Menyediakan tempat
berburu burung, menerapkan pengelolaan intensif.
b. Perlakuan (uraian kegiatan) :
Tebang habis secara serentak seluruh tegakan umur tua yang tersedia, penyiapan
lahan untuk penanaman kembali dengan cara :
• pemotongan sisa-sisa pohon, penumpukan potongan kayu, dan pembakaran,
• pembajakan dan penanaman dengan jarak tanam 7ft x 7ft dengan jenis pinus,
• penggunaan herbisida untuk tumbuhan pengganggu,
• penjarangan pertama pada umur 10 tahun (non-commercial thinning),
• penjarangan untuk menghasilkan kayu serat dan kayu pertukangan pada umur
20 tahun, 30 tahun, 40 tahun dan 50 tahun,
• tebang akhir pada umur 60 tahun.
• pengulangan pembakaran untuk mengurangi bahan bakar dalam hutan, dan
• pemeliharaan habitat burung setiap 5 tahun sejak tegakan berumur 10 tahun.

c. Proyeksi hasil
Tahun
Komponen
1985 1995 2005 2015 2025 2035 2045

1. Umur tegakan (tahun) 60/0 10 20 30 40 50 60


2. Hasil inventarisasi (sebelum panen)
a. Kayu pertukangan (Mbdft/acre) 6 0 2 10 18 23 25
b. Kayu pulp atau kayu serat (cord / acre) 8 4 13 18 16 10 6
c. Rata-rata DBH tegakan (inch) 9 4 12 16 19 22 25
3. Hasil Panen
a. Kayu pertukangan (Mbdft/acre) 6 0 0 0 3 5 25
b. Kayu pulp atau kayu serat (cord / acre) 8 0 3 10 10 6 6
4. Hasil burung yang dapat dipanen (*) 0,01 0,05 0,03 0,03 0,03 0,03 0,02

Catatan : 1 Mbft = 1 x 1.000 x 1 ft2 x 1 inch = 0,3048 m3 x 2,54 cm = 7,74 m2


1 Mbdft / acre = 19,11 m3 / ha
(*) = kawanan burung berisi 20 ekor / acre

Penetapan Tujuan dan Prioritas Alternatif Kegiatan Pengelolaan Hutan M3 - 37


Modul Mata Kuliah Perencanaan Hutan

Preskripsi 3
a. Tujuan pemilik lahan (lahan merupakan milik publik) :
Menyediakan jasa sosial ekosistem hutan berupa kombinasi terbaik berbagai hasil
yang dapat diperoleh. Untuk mendapatkan hasil yang memuaskan, diperlukan adanya
pohon-pohon besar dan pengelolaan hutan untuk tegakan tidak seumur agar diperoleh
keragaman jenis satwa liar yang tinggi.

b. Perlakuan (uraian kegiatan)


Bekerja berdasarkan tegakan yang ada pada saat ini. Pembersihan terhadap
tegakan awal, penyelamatan dari kebakaran hutan (melalui pembersihan serasah agar
mengurangi bahan bakar), penjarangan yang bersifat tidak komersial. Pemeliharaan
terhadap tegakan dengan komposisi 60% pinus dan 40% kayu daun lebar. Tebang
habis pada areal-areal yang sempit (berukuran 1 sampai 2 acre atau sekitar 0,405
sampai 0,810 hektar), dan regenerasi secara alami. Melakukan pembakaran terkendali
untuk pengendalian bahan bakar dalam hutan, peningkatan kualitas habitat satwa liar,
dan pengendalian kayu daun lebar.
c. Proyeksi hasil
Tahun
Komponen
1985 1995 2005 2015 2025 2035 2045

1. Umur tegakan (tahun) 60 70 80 90 100 100 100


2. Hasil inventarisasi
a. Kayu pertukangan pinus (Mbdft/acre) 6 9 11 12 14 13 14
b. Kayu pertukangan daun lebar (Mbdft/acre) 0 1 3 4 5 7 6
c. LBDS tegakan pinus (inch / acre) 40 55 75 80 95 85 90
d. LBDS tegakan daun lebar (inch / acre) 5 10 20 25 20 40 50
3. Hasil Panen
a. Pinus (Mbdft/acre) 0 2 2 0 4 5 2
b. Kayu Pertukangan (Mbdft/acre) 0 1 0 0 2 1 3
c. Kayu serat (cord / acre) 0 5 5 0 6 4 4
4. Hasil lain-lain
a. Kayu bakar ( ton / acre ) 30 20 18 15 15 15 15
b. Produksi ternak (AUMs / acre) 0,10 0,15 0,20 0,20 0,20 0,20 0,20
c. Indeks keragaman habitat (skala 1 - 10) 6 6 7 7 7 8 8
d. Kualitas relatif habitat rusa (skala 0 - 1) 0,6 0,5 0,5 0,4 0,3 0,3 0,3
e. Kualitas relatif habitat burung (skala 0 - 1) 0,2 0,3 0,3 0,4 0,5 0,5 0,6
f. Kualitas keindahan visual (skala 1 - 10) 5 5 6 6 7 7 7
Catatan : AUM = Animal Unit Months

Penetapan Tujuan dan Prioritas Alternatif Kegiatan Pengelolaan Hutan M3 - 38


Modul Mata Kuliah Perencanaan Hutan

Dari ketiga ilustrasi di atas dapat diperoleh beberapa kunci dalam menyusun sebuah
preskripsi dalam pengelolaan hutan, yaitu :
1. Jumlah rincian informasi, ukuran kuantitatif, keragamannya dan tingkat kompleksitas
informasi yang diprediksikan tergantung pada tingkat kepuasan pengelola (pemilik
atau pemegang hak). Makin tinggi tingkat kepastian gambaran hasil yang
dikehendaki, makin rinci informasi yang diperlukan
2. Jumlah rincian informasi dan ukuran kuantitatif yang diperlukan tergantung pada
ruang lingkup tujuan yang ditetapkan. Makin spesifik atau makin sempit tujuan
pengelolaan yang ditetapkan, makin sedikit rincian informasi yang diperlukan.
3. Untuk tegakan hutan atau ekosistem yang sama dapat saja dibuat beberapa
preskripsi pengelolaan hutan yang berbeda-beda, bergantung pada besar-kecilnya
ruang lingkup tujuan yang ditetapkan.
Berdasarkan contoh-contoh preskripsi pengelolaan di depan, maka dapat pula dibuat
preskripsi pengelolaan hutan untuk kesatuan pengelolaan hutan lainnya, seperti :
1. Hutan Tanaman Industri (HTI) atau hutan tanaman pada kawasan Hutan Produksi
2. Hutan Alam Produksi 3. Hutan Lindung 4. Hutan Konservasi
5. Kawasan Hutan dengan Tujuan Khusus 6. Hutan Rakyat, dll

III. INDIKATOR PENILAIAN


Melalui pemahaman tentang materi bahasan yang telah dikemukakan di atas,
setiap mahasiswa diharapkan memiliki kemampuan atau kompetensi dalam : (1)
menjelaskan dengan contoh metode-metode penetapan tujuan, (2) menjelaskan faktor-
faktor yang dipertimbangkan dalam mengidentifikasi alternatif kegiatan pengelolaan
hutan, dan (3) menjelaskan dengan contoh penetapan preskripsi pengelolaan hutan.
Indikator penilaian kemampuan atau kompetensi peserta didik adalah : (1)
ketepatan analisis, (2) ketepatan rumusan tujuan, (3) ketepatan skala prioritas
(preskripsi pengelolaan hutan) yang dibuat, (4) kerjasama kelompok, dan (5) keaktifan
individu, dengan total bobot nilai modul sebesar 30% dari total nilai mata kuliah.
Adapun perincian bobot nilai tersebut adalah : ketepatan analisis dan ketepatan
rumusan tujuan masing-masing dengan bobot nilai 6%, ketepatan skala prioritas
(preskripsi pengelolaan hutan) yang dibuat dengan bobot nilai sebesar 10%, serta
kerjasama kelompok dan keaktifan individu masing-masing dengan bobot nilai 4%.

Penetapan Tujuan dan Prioritas Alternatif Kegiatan Pengelolaan Hutan M3 - 39


Modul Mata Kuliah Perencanaan Hutan

Penilaian dilakukan selama proses pembelajaran berlangsung, baik pada waktu


penyelenggaraan kuliah maupun melalui laporan pelaksanaan unit-unit tugas
mahasiswa, baik dalam berkelompok maupun secara individu.

IV. PENUTUP
Modul ini diharapkan dapat menjadi acuan bagi para pihak yang terkait dengan
proses pembelajaran mata kuliah Perencanaan Hutan, khususnya yang terkait dengan
materi “Penetapan Tujuan dan Kegiatan Prioritas dalam Pengelolaan Hutan”, dalam
melakukan penelusuran berbagai sumber belajar, baik dalam bentuk Buku teks,
Dokumen-dokumen atau Laporan hasil penelitian, Internet ataupun sumber-sumber lain.
Dengan mengacu pada modul ini maka proses pembelajaran diharapkan dapat berjalan
secara efisien dan efektif melalui peran aktif dari semua pihak terkait, khususnya
mahasiswa.

Penetapan Tujuan dan Prioritas Alternatif Kegiatan Pengelolaan Hutan M3 - 40


Modul Mata Kuliah Perencanaan Hutan

MODUL - 4
PERENCANAAN PENGELOLAAN HUTAN DI INDONESIA
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Ilmu Perencanaan kehutanan adalah salah satu cabang dari ilmu
Manajemen hutan. Sebagai ilmu terapan, perencanaan kehutanan dapat
pula menunjuk pada kegiatan perencanaan hutan yang juga merupakan
bagian dari rangkaian kegiatan manajemen hutan. Dalam konteks yang
termaksud terakhir inilah maka perencanaan kehutanan yang yang harus
terpola dalam suatu sistem, dan terdiri atas serangkaian kegiatan yang
merupakan suatu kesatauan yang utuh.
Sebagai suatu rangkaian kegiatan yang utuh, perencanaan
kehutanan harus dilaksanakan secara keseluruhan (tuntas) melalui tata urut
atau prosedur yang (sedapat mungkin) terpola secara bersistem dengan
mengacu pada kesepahaman dan kesepakatan bersama. Kesepahaman
atau kesepakatan yang umumnya dituangkan dalam peraturan perundang-
undangan termaksud, dibuat atau disusun berdasarkan hakekat, fungsi dan
peranan dari masing-masing tahapan (komponen) kegiatan, serta hubungan
ketergantungan antara komponen kegiatan yang satu dengan komponen
kegiatan lainnya dalam suatu rangkaian upaya untuk mewujudkan tujuan
pengelolaan.
Modul ini berisi pembahasan tentang sistem perencanaan
kehutanan dan tahapan kegiatan perencanaan kehutanan sebagaimana
diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia.
Melalui pelaksanaan tahapan kegiatan perencanaan tersebut, maka
pengelolaan hutan secara optimum dan lestari, dapat diwujudkan.
B. Ruang Lingkup Isi
Isi dari modul ini secara garis besar meliputi : (1) Sistem
perencanaan kehutanan, serta (2) Kegiatan-kegiatan perencanaan
kehutanan, yang meliputi (a) Inventarisasi hutan, (b) Pengukuhan kawasan
hutan, (c) Penatagunaan hutan, (d) Pembentukan wilayah pengelolaan
hutan, dan (e) Penyusunan rencana kehutanan.
C. Sasaran Pembelajaran Modul
Setelah mempelajari modul ini, mahasiswa diharapkan dapat
memiliki kompetensi yang diindikasikan oleh kemampuan dalam : (1)
menjelaskan sistem perencanaan kehutanan dan (2) menjelaskan tahapan
kegiatan perencanaan kehutanan di Indonesia.

Ruang Lingkup Perencanaan Pengelolaan Hutan di Indonesia M4 - 1


Modul Mata Kuliah Perencanaan Hutan

II. MATERI PEMBELAJARAN


A. Sistem Perencanaan Kehutanan
Perencanaan kehutanan adalah proses penetapan tujuan,
penentuan kegiatan dan perangkat yang diperlukan untuk memberi
pedoman dan arah bagi pengurusan hutan, dalam rangka menjamin
tercapainya tujuan penyelenggaraan kehutanan, yang sebesar-besarnya
untuk kemakmuran rakyat, secara berkeadilan dan berkelanjutan.
Tujuan perencanaan kehutanan adalah mewujudkan penyelenggaraan
kehutanan yang efektif dan efisien untuk mencapai manfaat dan fungsi
hutan secara optimum dan lestari
Perencanaan kehutanan meliputi kegiatan-kegiatan sebagai berikut :
1. Inventarisasi hutan
2. Pengukuhan kawasan hutan
3. Penatagunaan kawasan hutan
4. Pembentukan wilayah pengelolaan hutan
5. Penyusunan rencana kehutanan
Perencanaan kehutanan harus dilaksanakan prinsip-prinsip :
1. Transparan, partisipatif dan bertanggung-gugat
2. Terpadu dengan memperhatikan kepentingan nasional, sektor terkait dan
masyarakat serta mempertimbangkan aspek ekonomi, ekologi, sosial
budaya dan berwawasan global.
3. Memperhatikan kekhasan dan aspirasi daerah termasuk kearifan lokal /
tradisional.
B. Kegiatan-Kegiatan Perencanaan Kehutanan
B1. Inventarisasi Hutan
Inventarisasi hutan (juga biasa disebut sebagai penaksiran potensi hutan)
adalah kegiatan yang dilaksanakan untuk mengetahui dan memperoleh
data serta informasi tentang potensi atau kekayaan sumberdaya hutan
beserta lingkungannya, secara lengkap
Berdasarkan wilayah cakupannya, kegiatan inventarisasi hutan terdiri atas :
(1) Inventarisasi hutan tingkat nasional
(2) Inventarisasi hutan tingkat wilayah provinsi
(3) Inventarisasi hutan tingkat wilayah kabupaten / kota
(4) Inventarisasi hutan tingkat Daerah Aliran Sungai
(5) Inventarisasi hutan tingkat unit pengelolaan

Ruang Lingkup Perencanaan Pengelolaan Hutan di Indonesia M4 - 2


Modul Mata Kuliah Perencanaan Hutan

Inventarisasi Hutan Tingkat Nasional


Inventarisasi Hutan Tingkat Nasional (IH-TN) diselenggarakan dengan ketentuan
sebagai berikut :
(a) Kriteria dan standar pelaksanaan kegiatan IH-TN yang manjadi acuan
atau pedoman dalam perencanaan kegiatan IH-TN ditetapkan oleh
Menteri
(b) Penyelenggara kegiatan IH-TN adalah Menteri
(c) Penyelenggaraan kegiatan IH-TN meliputi seluruh wilayah Indonesia
yang bertujuan untuk memperoleh data dan informasi tentang potensi
atau kekayaan sumberdaya hutan Indonesia beserta lingkungannya
(d) IH-TN dilaksanakan minimal sekali dalam lima tahun
(e) Hasil IH-TN menjadi acuan dalam perencanaan dan pelaksanaan
inventarisasi tingkat yang lebih rendah

Inventarisasi Hutan Tingkat Wilayah Provpinsi


Inventarisasi Hutan Tingkat Wilayah Provinsi (IH-TWP) diselenggarakan dengan
ketentuan sebagai berikut :
(a) Pedoman pelaksanaan IH-TWP ditetapkan oleh Gubernur berdasarkan
kriteria dan standar inventarisasi hutan yang ditetapkan oleh Menteri
(b) Penyelenggara kegiatan IH-TWP adalah Gubernur
(c) Penyelenggaraan IH-TWP meliputi seluruh wilayah provinsi yang
bersangkutan dengan tujuan untuk memperoleh data dan informasi
tentang potensi atau kekayaan sumberdaya hutan di wilayah provinsi
tersebut. Inventarisasi ini dilakukan dengan mengacu pada hasil IH-TN,
dan apabila hasil IH-TN belum tersedia, maka Gubernur dapat
menyelenggarakan inventarisasi hutan untuk mengetahui potensi
sumberdaya hutan terbaru yang ada di wilayahnya
(d) IHTWP dilaksanakan minimal sekali dalam lima tahun

Inventarisasi Hutan Tingkat Wilayah Kebupaten / Kota


(a) Inventarisasi hutan tingkat wilayah kabupaten / kota (IH-TWKK)
diselenggarakan oleh Bupati / Walikota dengan mengacu pada
pedoman pelaksanaan inventarisasi hutan yang disusun berdasarkan
kriteria dan standar inventarisasi hutan yang ditetapkan oleh Menteri

Ruang Lingkup Perencanaan Pengelolaan Hutan di Indonesia M4 - 3


Modul Mata Kuliah Perencanaan Hutan

(b) Penyelenggaraan IH-TWKK meliputi seluruh wilayah kabupaten / kota


yang bersangkutan dengan menngacu pada hasil IH-TWP tingkat
provinsi, dan apabila hasil IH-TWP belum tersedia, Gubernur dapat
menyelenggarakan inventarisasi hutan untuk mengetahui potensi
sumberdaya hutan terbaru yang ada di wilayahnya
(c) Inventarisasi hutan tingkat wilayah kabupaten / kota dilaksanakan
minimal sekali dalam lima tahun
Inventarisasi Hutan Tingkat DAS
(a) Penyelenggara inventarisasi hutan tingkat DAS (IH-TDAS)disesuaikan
dengan wilayah DAS yang bersangkutan, sebagai berikut :
- Menteri untuk DAS yang wilayahnya lintas provinsi
- Gubernur untuk DAS yang wilayahnya lintas kabupaten / kota
- Bupati / Walikota untuk DAS yang wilayahnya hanya meliputi
kabupaten / kota tertentu.
(b) Penyelenggaraan IH-TDAS dimaksudkan untuk memperoleh data
potensi hutan yang akan mendasari penyusunan rencana pengelolaan
DAS.
(c) IH-TDAS yang wilayahnya lintas provinsi, diselenggarakan dengan
mengacu pada podoman inventarisasi hutan yang ditetapkan oleh
Menteri dan hasil inventarisasi hutan tingkat nasional.
(d) IH-TDAS yang wilayahnya lintas kabupaten / kota diselenggarakan
dengan mengacu pada podoman inventarisasi hutan yang ditetapkan
oleh Gubernur dan hasil inventarisasi hutan tingkat nasional dan tingkat
provinsi.
(e) IH-TDAS yang wilayahnya berada dalam satu kabupaten / kota tertentu,
diselenggarakan dengan mengacu pada pedoman inventarisasi hutan
yang ditetapkan oleh Gubernur dan hasil inventarisasi hutan tingkat
wilayah provinsi dan tingkat kabupaten / kota.
(f) IH-TDAS dilaksanakan minimal satu kali dalam lima tahun

Ruang Lingkup Perencanaan Pengelolaan Hutan di Indonesia M4 - 4


Modul Mata Kuliah Perencanaan Hutan

Inventarisasi Hutan Tingkat Unit Pengelolaan


(a) Penyelenggaraan inventarisasi hutan tingkat unit pengelolaan (IH-TUP)
bertujuan untuk memperoleh data potensi hutan yang akan mendasari
penyusunan rencana pengelolaan hutan pada tingkat unit pengelolaan
hutan yang bersangkutan
(b) Penyelenggara IH-TUP adalah pengelola, dengan mengacu pada
pedoman penyelenggaraan inventarisasi hutan yang ditetapkan oleh
Gubernur
(c) IH-TUP dilaksanakan minimal satu kali dalam lima tahun, sedang
inventarisasi hutan untuk mendukung penyusunan rencana kegiatan
tahunan pada blok operasional dilaksanakan setiap tahun.
B2. Pengukuhan kawasan hutan
Pengukuhan kawasan hutan adalah kegiatan yang berhubungan dengan
penetapan batas suatu wilayah hutan, dengan tujuan untuk mewujudkan
kepastian hukum mengenai status, batas dan luas wilayah hutan
Tahapan kegiatan pengukuhan kawasan hutan adalah sebagai berikut :
1. Penunjukan kawasan hutan
2. Pengukuran dan penataan batas kawasan hutan
3. Pemetaan kawasan hutan, dan
4. Penetapan kawasan hutan
Penunjukan kawasan hutan
Penunjukan kawasan hutan adalah penetapan awal peruntukan suatu
wilayah tertentu sebagai kawasan hutan, yang meliputi wilayah provinsi dan
wilayah tertentu secara parsial.
Penunjukan kawasan hutan dalam wilayah provinsi dilakukan oleh Menteri
dengan memperhatikan Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi (RTRWP)
dan atau pemaduserasian TGHK dengan RTRWP.
Penunjukan wilayah tertentu secara parsial menjadi kawasan hutan harus
memenuhi syarat-syarat sebagai berikut :
(a) Usulan atau rekomendasi Gubernur dan atau Bupati / Walikota
(b) Secara teknis dapat dijadikan hutan
Penataan batas kawasan hutan
Penataan batas kawasan hutan adalah kegiatan yang meliputi proyeksi
batas, pemancangan patok batas, pengumuman, inventarisasi dan
penyelesaian hak-hak pihak ketiga, pengukuran dan pemetaan,
pemasangan pal batas, serta pembuatan Berita Acara Tata Batas.

Ruang Lingkup Perencanaan Pengelolaan Hutan di Indonesia M4 - 5


Modul Mata Kuliah Perencanaan Hutan

Penataan batas kawasan hutan dilaksanakan dengan tahapan-tahapan


sebagai berikut :
(a) Pengukuran batas dan pemetaan batas sementara
(b) Pemancangan patok batas sementara
(c) Pengumuman hasil pemancangan patok batas sementara
(d) Inventarisasi dan penyelesaian hak-hak pihak ketiga yang berada di
sepanjang trayek batas dan di dalam kawasan hutan
(e) Penyusunan Berita Acara Pengakuan oleh masyarakat di sekitar trayek
batas atas hasil pemancangan batas sementara
(f) Penyusunan Berita Acara Pemancangan batas sementara yang disertai
dengan peta pemancangan patok batas sementara
(g) Pemasangan pal batas yang dilengkapi dengan lorong batas
(h) Pemetaan hasil penataan batas
(i) Pembuatan dan penandatanganan Beritas Acara Tata Batas dan Peta
Tata Batas, serat
(j) Pelaporan kepada Menteri dengan tembusan kepada Gubernur
Gubernur menetapkan pedoman penyelenggaraan penataan batas,
selanjutnya Bupati / Walikota menetapkan petunjuk pelaksanaan penataan
batas. Bupati / Walikota bertanggung jawab atas penyelenggaraan
penataan batas kawasan hutan di wilayahnya.
Bupati / Walikota membentuk Panitia Tata Batas Kawasan Hutan yang
bertugas untuk :
(a) Mempersiapkan pelaksanaan kegiatan penataan batas
(b) Menyelesaikan masalah-masalah yang terkait dengan :
- Hak-hak atas lahan / tanah di sepanjang trayek batas
- Hak-hak atas lahan / tanah di dalam kawasan hutan
(c) Memantau pekerjaan dan memeriksa hasil-hasil pelaksanaan pekerjaan
tata batas di lapangan
(d) Membuat dan menandatangani Berita Acara Tata Batas Kawsan Hutan
dan Peta Tata Batas Kawasan Hutan
Penetapan (Pengukuhan) Kawasan Hutan
Penetapan kawasan hutan adalah suatu penegasan tentang kepastian
hukum mengenai status, batas dan luas suatu kawasan hutan menjadi
kawasan hutan tetap yang didasarkan atas Berita Acara Tata Batas
Kawasan Hutan dan Peta Tata Batas Kawasan Hutan yang telah
dirampungkan (temu gelang). Jika masih terdapat hak-hak pihak ketiga
yang belum diselesaikan, maka kawasan hutan tersebut ditetapkan oleh
Menteri dengan membuat penjelasan tentang hak-hak yang ada di
dalamnya untuk diselesaikan oleh Panitia Tata Batas.
Ruang Lingkup Perencanaan Pengelolaan Hutan di Indonesia M4 - 6
Modul Mata Kuliah Perencanaan Hutan

B3. Penatagunaan Hutan


Penatagunaan kawasan hutan adalah rangkaian kegiatan yang
diselenggarakan untuk menetapkan fungsi dan peruntukan kawasan hutan.
Penatagunaan kawasan hutan diselenggarakan dengan mengacu pada
hasil pengukuhan kawasan hutan
Kawasan hutan, menurut fungsi dan peruntukannya, dibedakan atas :
1. Hutan Konservasi, yang terdiri atas : (a) Hutan Suaka Alam (Cagar Alam
dan Suaka Margasatwa), (b) Hutan Pelestarian Alam (Taman Nasional,
Taman Hutan Raya, Taman Wisata Alam), dan (c) Taman Buru
2. Hutan Lindung
3. Hutan Produksi, yang dapat dibedakan atas : (a) Hutan Produksi
Terbatas, (b) Hutan Produksi Biasa, dan (c) Hutan Produksi yang dapat
dikonversi
Kawasan Hutan Konservasi adalah kawasan hutan, yang memiliki ciri khas
tertentu, dengan fungsi pokok sebagai sebagai kawasan pengawetan
keanekaragaman tumbuhan dan satwa beserta ekosistemnya
Kawasan Hutan Suaka Alam adalah kawasan hutan, yang memiliki ciri khas
tertentu, dengan fungsi pokok sebagai sebagai kawasan pengawetan
keanekaragaman tumbuhan dan satwa beserta ekosistemnya, yang juga
berfungsi sebagai wilayah sistem penyangga kehidupan
Kawasan Hutan Pelestarian Alam adalah kawasan hutan, yang memiliki ciri
khas tertentu, dengan fungsi pokok untuk perlindungan sistem penyangga
kehidupan, pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa, serta
pemanfaatannya secara lestari sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya
Taman Buru adalah kawasan hutan yang ditetapkan sebagai tempat wisata
berburu.
Kawasan hutan yang dapat ditetapkan sebagai Taman Buru harus
memenuhi kriteria sebagai berikut :
(a) Mempunyai luas yang cukup dan lapangannya tidak membahayakan ;
dan atau
(b) Memiliki potensi satwa buru yang dapat dikembangkan sehingga
memungkinkan perburuhan secara teratur dengan mengutamakan segi
rekreasi, dan kelestarian satwa.
Hutan Lindung adalah kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok untuk
perlindungan sistem penyangga kehidupan untuk mengatur tata air,
mencegah banjir, mengendalikan erosi, mencegah intrusi air laut dan
memelihara kesuburan tanah

Ruang Lingkup Perencanaan Pengelolaan Hutan di Indonesia M4 - 7


Modul Mata Kuliah Perencanaan Hutan

Hutan Lindung harus memenuhi salah satu dari kriteria berikut ini :
(a) Mempunyai faktor-faktor lereng, jenis tanah dan intensitas hujan yang
setelah masing-masing dikalikan dengan angka penimbang akan
menghasilkan jumlah nilai skor sebesar 175 atau lebih ;
(b) Mempunyai tingkat kelerengan 40% atau lebih ;
(c) Berada pada ketinggian 2.000 meter atau lebih di atas permukaan laut ;
(d) Mempunyai jenis tanah yang tergolong sangat peka terhadap erosi
dengan kelerengan lapangan lebih dari 15% ;
(e) Merupakan daerah resapan air ; atau
(f) Merupakan daerah perlindungan pantai.
Hutan Produksi adalah kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok
memproduksi hasil hutan
Hutan produksi terbatas (HPT) adalah hutan produksi yang memiliki faktor-
faktor kelas lereng, jenis tanah dan intensitas hujan yang setelah masing-
masing dikalikan dengan angka penimbang akan menghasilkan nilai skor
antara 125 dan 174.
Hutan produksi tetap adalah hutan produksi yang memiliki faktor-faktor
kelas lereng, jenis tanah dan intensitas hujan yang setelah masing-masing
dikalikan dengan angka penimbang akan menghasilkan nilai skor ≤ 124.
Hutan produksi yang dapat dikonversi adalah hutan produksi yang memiliki
faktor-faktor kelas lereng, jenis tanah dan intensitas hujan yang setelah
masing-masing dikalikan dengan angka penimbang akan menghasilkan nilai
skor ≤ 124, dan secara keruangan dicadangkan untuk digunakan bagi
pengembangan transmigrasi, pemukinan, pertanian dan perkebunan.
Penggunaan kawasan hutan untuk kepentingan pembangunan di luar kegiatan
kehutanan hanya dapat dilakukan di dalam kawasan hutan produksi dan kawasan
hutan lindung dan diatur dengan keputusan Presiden.

B4. Pembentukan Wilayah Pengelolaan Hutan


Pembentukan wilayah pengelolaan hutan adalah kegiatan yang bertujuan
untuk membentuk unit-unit pengelolaan hutan dengan mempertimbangkan
karakteristik lahan, tipe hutan, fungsi hutan, kondisi DAS, sosial budaya,
ekonomi, kelembagaan masyarakaat setempat termasuk masyarakat
hukum adat dan batas administrasi pemerintahan.
Pembentukan wilayah pengelolaan hutan dilaksanakan pada tingkat
provinsi, tingkat kabupaten / kota dan tingkat unit pengelolaan.

Ruang Lingkup Perencanaan Pengelolaan Hutan di Indonesia M4 - 8


Modul Mata Kuliah Perencanaan Hutan

Pembentukan wilayah pengelolaan hutan bertujuan untuk mewujudkan


pengelolaan hutan yang efisien dan lestari
Unit pengelolaan hutan dibentuk berdasarkan kriteria dan standar yang
ditetapkan oleh menteri. Unit (kesatuan) pengelolaan hutan terdiri atas :
(1) Unit atau KPH konservasi pada hutan konservasi
(2) Unit atau KPH lindung pada hutan lindung, dan
(3) Unit atau KPH produksi pada hutan produksi
Prosedur pembentukan ketiga jenis kesatuan pengelolaan hutan (KPH) di
atas sebagai berikut :
Kesatuan Pengelolaan Hutan Konservasi (KPHK)
Instansi kehutanan pusat di daerah yang bertanggung jawab di bidang
konservasi membuat dan mengusulkan kepada Menteri rancang bangun
unit pengelolaan hutan konservasi (KPHK) sesuai dengan kriteria dan
standar yang ditetapkan oleh Menteri. Berdasarkan usulan tersebut Menteri
menetapkan arahan pencadangan pengelolaan hutan konservasi.
Selanjutnya dengan mengacu pada arahan pencadangan ini, instanti
kehutanan pusat di daerah yang terkait membentuk Unit Pengelolaan HK
untuk kembali diusulkan kepada Menteri. Pada tahap akhir, berdasarkan
usulan dari instansi kehutanan pusat di daerah tersebut, Menteri
menetapkan KPHK,
Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung dan Hutan Produksi (KPHL dan KPHP)
Gubernur dengan pertimbangan Bupati / Walikota menyusun rancang
bangun Unit Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL) dan Unit Pengelolaan
Hutan Produksi (KPHP) berdasarkan kriteria dan standar yang ditetapkan
oleh Menteri, dan selanjutnya diusulkan kepada Menteri. Berdasarkan
usulan tersebut, Menteri menetapkan arahan pencadangan KPHL dan
KPHK, yang dijadikan dasar oleh Gubernur untuk membuat KPHL dan
KPHP, untuk selanjutnya kembali diusulkan kepada Menteri. Berdasarkan
usulan tersebut Menteri menetapkan KPHL dan KPHP termaksud.
B5. Penyusunan Rencana Kehutanan
Penyusunan rencana kehutanan adalah pembuatan dokumen perencanaan
pembangunan kehutanan menurut jangka waktu perencanaan, skala
geografis dan menurut fungsi pokok kawasan hutan
Berdasarkan skala geografis, rencana kehutanan meliputi : rencana tingkat
nasional, rencana tingkat provinsi dan rencana tingkat kabupaten/kota.
Penyusunan rencana kehutanan disusun sebagai berikut :

Ruang Lingkup Perencanaan Pengelolaan Hutan di Indonesia M4 - 9


Modul Mata Kuliah Perencanaan Hutan

(1) Rencana kehutanan tingkat nasional disusun dengan mengacu pada


hasil inventarisasi hutan tingkat nasional dan dengan memperhatikan
aspek lingkungan strategis
(2) Rencana kehutanan tingkat provinsi disusun berdasarkan hasil
inventarisasi hutan tingkat provinsi dengan memperhatikan rencana
kehutanan tingkat nasional
(3) Rencana kehutanan tingkat kabupaten/kota disusun berdasarkan hasil
inventarisasi hutan tingkat kabupaten/kota dengan memperhatikan
rencana kehutanan tingkat provinsi

Berdasarkan fungsi pokok kawasan hutan, rencana kehutanan meliputi


rencana pengelolaan hutan konservasi, rencana pengelolaan hutan
produksi dan rencana pengelolaan hutan linding. Sedang berdasarkan
jangka waktu pelaksanaannya, rencana kehutanan meliputi rencana jangka
panjang, rencana jangka menengah dan rencana jangka pendek.

Penyusunan rencana kehutanan pada setiap tingkatan meliputi seluruh


fungsi pokok kawasan hutan dan jangka waktu perencanaan. Sedang
rencana yang lebih tinggi tingkatannya baik dalam cakupan wilayah maupun
jangka waktunya menjadi acuan bagi rencana yang lebih rendah
tingkatannya.

Rencana kehutanan meliputi seluruh aspek pengurusan kehutanan yang


mencakup kegiatan penyelenggaraan :
(1) Perencanaan kehutanan
(2) Pengelolaan hutan
(3) Penelitian dan pengembangan pendidikan dan latihan, penyuluhan
kehutanan, serta
(4) Pengawasan (evaluasi dan pengendalian).

Tata cara penyusunan rencana kehutanan adalah sebagai berikut :


(1) Rencana kehutanan tingkat nasional disusun oleh instansi perencana
kehutanan nasional, yang dinilai melalui konsultasi para pihak, dan
disahkan oleh menteri
(2) Rencana kehutanan tingkat provinsi disusun oleh instansi kehutanan
provinsi, yang dinilai melalui konsultasi para pihak, dan disahkan oleh
gubernur

Ruang Lingkup Perencanaan Pengelolaan Hutan di Indonesia M4 - 10


Modul Mata Kuliah Perencanaan Hutan

(3) Rencana kehutanan tingkat kabupaten/kota disusun oleh instansi


kehutanan kabupaten/kota, yang dinilai melalui konsultasi para pihak,
dan disahkan oleh bupati/walikota

Evaluasi dan pengendalian pelaksanaan rencana kehutanan bertujuan


untuk mengukur efektivitas dan efisiensi pelaksanaan kegiatan dari rencana
yang telah ditetapkan. Evaluasi dan pengendalian termaksud, pada setiap
tingkatan (cakupan) rencana, diselenggarakan pejabat terkait, yaitu masing-
masing oleh :
(1) Menteri untuk :
(a) Rencana kehutanan pada tingkat nasional
(b) Rencana pengelolaan KPH konservasi
(c) Rencana pengelolaan KPH lindung dan KPH produksi lintas provinsi
(2) Gubernur untuk :
(a) Rencana kehutanan pada tingkat provinsi
(b) Rencana pengelolaan KPH lindung dan KPH produksi lintas
kabupaten/kota
(3) Bupati/walikota untuk :
(a) Rencana kehutanan pada tingkat kabupaten/kota
(b) Rencana pengelolaan KPH lindung dan KPH produksi dalam
wilayah kabupaten/kota

III. INDIKATOR PENILAIAN


Melalui pemahaman tentang materi bahasan yang telah
dikemukakan di atas, setiap mahasiswa diharapkan memiliki kemampuan
atau kompetensi dalam : (1) menjelaskan sistem perencanaan hutan di
Indonesia, dan (2) menjelaskan kegiatan-kegiatan perencanaan kehutanan
di Indonesia ; untuk mewujudkan pengelolaan hutan secara optimum dan
lestari.
Indikator penilaian kemampuan atau kompetensi peserta didik
adalah : (1) ketepatan penjelasan / presentasi, (2) kelengkapan bahan
presentasi, dan (3) keaktifan individu, dengan total bobot nilai modul
sebesar 20% dari total nilai mata kuliah.

Ruang Lingkup Perencanaan Pengelolaan Hutan di Indonesia M4 - 11


Modul Mata Kuliah Perencanaan Hutan

Adapun perincian bobot nilai tersebut adalah : ketepatan penjelasan /


presentasi dengan bobot nilai 8%, kelengkapan bahan presentasi dengan
bobot nilai sebesar 8%, serta keaktifan individu dengan bobot nilai 4%.
Penilaian dilakukan selama proses pembelajaran berlangsung, baik pada
waktu penyelenggaraan kuliah maupun melalui laporan pelaksanaan unit-
unit tugas mahasiswa, baik dalam berkelompok maupun secara individu.

IV. PENUTUP
Modul ini diharapkan dapat menjadi acuan bagi para pihak yang
terkait dengan proses pembelajaran mata kuliah Perencanaan Hutan,
khususnya yang terkait dengan materi “Perencanaan Pengelolaan Hutan
(Perencanaan Kehutanan) di Indonesia”, dalam melakukan penelusuran
berbagai sumber belajar, baik dalam bentuk Buku teks, Dokumen-dokumen
atau Laporan hasil penelitian, Internet ataupun sumber-sumber lain.
Dengan mengacu pada modul ini maka proses pembelajaran diharapkan
dapat berjalan secara efisien dan efektif melalui peran aktif dari semua
pihak terkait, khususnya mahasiswa.

Ruang Lingkup Perencanaan Pengelolaan Hutan di Indonesia M4 - 12


Modul Mata Kuliah Perencanaan Hutan

MODUL - 5
KONSEPSI, KEBIJAKAN, DAN METODE PELAKSANAAN KEGIATAN
PERENCANAAN SERTA MONITORING DAN EVALUASI
PENGELOLAAN HUTAN
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pemahaman secara tepat dan benar tentang konsepsi, kebijakan dan metode
pelaksanaan sesuatu kegiatan oleh pelaksana kegiatannya, merupakan suatu keharusan
jika kita ingin mewujudkan tujuan dari kegiatan termaksud secara optimal. Pemahaman
tentang konsepsi, kebijakan dan metode pelaksanaan kegiatan-kegiatan perencanaan
hutan oleh semua pihak yang terkait juga menjadi suatu tuntutan atau suatu keharusan,
jika kita ingin mewujudkan tujuan perencanaan hutan tersebut secara optimal. Hanya
melalui pemahaman termaksud, pihak pelaksana dapat mengembangkan pilihan-pilihan
yang mungkin dilakukan, termasuk pilihan optimal, untuk setiap perubahan kondisi dan
situasi yang dihadapi.
Berhubung karena kegiatan perencanaan tidak bisa dipisahkan dengan
kegiatan monitoring dan evaluasi, maka pemahaman tentang konsepsi, kebijakan dan
metode pelaksanaan kegiatan-kegiatan perencanaan harus pula diikuti dengan
pemahaman tentang konsepsi dan metode monitoring dan evaluasi. Dengan kata lain,
pemahaman tentang konsepsi, kebijakan dan metode pelaksanaan kegiatan-kegiatan
perencanaan seharusnya sejalan dengan (dan atau didukung oleh) pemahaman tentang
konsepsi, kebijakan dan metode monitoring dan evaluasi.
B. Ruang Lingkup Isi
Modul ini membahas tentang : (1) Konsepsi, kebijakan dan metode pelaksanaan
kegiatan-kegiatan perencanaan kehutanan yang meliputi : (a) Inventarisasi hutan, (b)
Pengukuhan kawasan hutan, (c) Penatagunaan kawasan hutan, (d) Pembentukan
wilayah pengelolaan hutan, dan (e) Penyusunan rencana pengelolaan hutan, serta (2)
Konsepsi, kebijakan dan metode monitoring dan evaluasi dalam pengelolaan hutan.
C. Sasaran Pembelajaran Modul
Setelah mempelajari modul ini, mahasiswa diharapkan dapat memiliki
kompetensi yang diindikasikan oleh kemampuan dalam : (1) menjelaskan konsepsi,
kebijakan dan metode pelaksanaan kegiatan perencanaan kehutanan, serta (2)
menjelaskan konsepsi, kebijakan dan metode pelaksanaan monitoring dan evaluasi
pengelolaan hutan

Konsepsi dan Metode Pelaksanaan Kegiatan Perencanaan Kehutanan M5 - 1


Modul Mata Kuliah Perencanaan Hutan

II. MATERI PEMBELAJARAN


A. Kegiatan Perencanaan Hutan
A1. Inventarisasi Hutan
Pengertian
Inventarisai hutan adalah kegiatan yang dilakukan untuk mengumpulkan
data dan informasi tentang potensi atau kekayaan sumberdaya hutan
beserta kondisi lingkungannya secara lengkap. Data dan informasi yang
dimaksud mencakup status dan keadaan fisik hutan, flora dan fauna,
sumberdaya manusia serta kondisi sosial ekonomi masyarakat di sekitar
hutan
Inventarisasi hutan dapat pula didefenisikan sebagai upaya pendeskripsian
kuantitas dan kualitas pepohonan, spesifikai dan kuantitas organisme lain
yang hidup di dalam hutan, beserta kondisi lahan yang merupakan tapak
dari hutan itu sendiri. Dengan demikian, tujuan dari inventarisasi hutan
dapat mencakup penaksiran volume atau nilai dari kayu, jumlah flora langka
dan jumlah satwa tertentu yang ada di dalam kawasan hutan yang menjadi
obyek kegiatan inventarisasi hutan.
Prinsip Dasar
Inventarisasi hutan merupakan salah satu kegiatan yang sangat penting
dalam perencanaan hutan. Hasil inventarisasi hutan sangat diperlukan
dalam kegiatan pengukuhan hutan, penatagunaan hutan, pembentukan
wilayah pengelolaan serta dalam rangka penyusunan rencana kehutanan.
Berdasarkan obyeknya, inventarisasi hutan dibedakan atas inventarisasi
potensi kayu dan inventarisasi potensi bukan kayu. Kegiatan inventarisasi
hutan ini dilakukan di dalam kawasan hutan, di sekitar kawasan hutan yaitu
di sekitar wilayah pemukiman masyarakat dimana masyarakat mempunyai
ketergantungan terhadap hasil hutan serta keberadaan hutan dan
kawasannya.
Inventarisasi potensi hutan berupa kayu adalah suatu kegiatan untuk
mengetahui potensi dan sebaran kayu dalam hutan. Mengingat hasil hutan
kayu umumnya hanya diperbolehkan dari kawasan hutan produksi, maka
inventarisasi potensi kayu dilakukan di dalam hutan produksi atau kawasan
hutan yang akan dimutasi atau akan mengalami perubahan fungsi untuk
kepentingan non kehutanan. Inventarisasi potensi hutan bukan kayu
merupakan suatu kegiatan untuk mengetahui potensi hutan bukan kayu
beserta penyebarannya, baik yang berada di dalam maupun di sekitar
kawasan hutan.
Konsepsi dan Metode Pelaksanaan Kegiatan Perencanaan Kehutanan M5 - 2
Modul Mata Kuliah Perencanaan Hutan

Berdasarkan cakupan dan tingkat ketelitian obyek yang diinventarisir,


inventarisasi hutan dapat dibedakan atas :
1. Inventarisasi hutan tingkat nasional, yaitu inventarisasi yang dilakukan di
seluruh wilayah Republik Indonesia, untuk mendapatkan data dan
informasi yang lengkap tentang kondisi dan potensi sumberdaya hutan
beserta lingkungannya. Inventarisasi ini harus dilakukan secara periodik,
dan menurut PP No.44 Tahun 2004 tentang Perencanaan Kehutanan,
inventarisasi hutan tingkat nasional dilakukan satu kali dalam lima tahun.
2. Inventarisasi hutan tingkat wilayah, yaitu kegiatan inventarisasi hutan
yang meliputi kawasan hutan di wilayah provinsi dan atau kabupaten.
Inventarisasi hutan tingkat wilayah mengacu pada pelaksanaan dan hasil
inventarisaasi hutan tingkat nasional, yang dilakukan paling sedikit satu
kali dalam lima tahun.
3. Inventarisasi hutan tingkat daerah aliran sungai, yaitu inventarisasi yang
dilakukan untuk mendukung atau memfasilitasi penyusunan rencana
pengelolaan hutan pada suatu DAS. Inventarisasi hutan tingkat DAS
dilaksanakan dengan mengacu pada hasil inventarisasi hutan tingkat
provinsi dan tingkat nasional.
4. Inventarisasi hutan tingkat unit pengelolaan, yaitu inventarisasi yang
dilakukan untuk mendukung atau memfasiltasi penyusunan rencana
kegiatan tahunan pada blok operasinal setiap tahun, dan dilakukan
minimal sekali lima tahun.
Pada prinsipnya, kegiatan inventarisai hutan dilakukan untuk menyediakan
data dan informasi tentang jenis, potensi serta penyebaran potensi hutan
berupa kayu dan bukan kayu yang diperlukan bagi kegiatan
penyelenggaraan pengelolaan hutan, mulai dari pengukuhan kawasan
hutan, penyusunan neraca sumberdaya hutan, penyusunan rencana
kehutanan dan pembangunan sistem informasi kehutanan.
Beberapa Metode dan Teknik Inventarisasi
Inventarisasi hutan yang umum dilakukan adalah inventarisasi untuk
penyusunan rancana karya, baik rencana karya jangka panjang dan
menengah maupun jangka pendek. Sehubungan dengan itu dikenal :
1. Inventarisasi hutan untuk penyusunan Rencana Karya Pengusahaan Hutan
2. Inventarisasi hutan untuk penyusunan Rencana Karya Lima Tahunan
3. Inventarisasi hutan untuk penyusunan Rencana Karya Tahunan

Konsepsi dan Metode Pelaksanaan Kegiatan Perencanaan Kehutanan M5 - 3


Modul Mata Kuliah Perencanaan Hutan

Secara umum, tahapan pelaksanaan kegiatan inventarisasi hutan adalah


sebagai berikut :
1. Persiapan, meliputi pengurusan ijin, konsultasi dengan Kepala Daerah
tentang keikutsertaannya
2. Penetapan populasi, satuan analisis dan intensitas sampling. Petak dan
anak petak dapat dijadikan satuan analisis atau satuan penilaian
(assessment unit) dalam inventarisasi hutan. Metode dan intensitas
sampling disesuaikan dengan keadaan areal hutan yang diinventarisasi.
3. Penentuan satuan contoh, yaitu dapat berupa lingkaran, empat persegi
panjang, jalur atau PPS (plot proportion to size) dengan alat relaskop.
Dengan PPS, pengukur tidak perlu malakukan pengukuran batas plot di
lapangan, kecuali ada keraguan pada pohon-pohon batas (border line
tree). Dengan PPS diharapkan pengukuran pohon dapat terlaksana
secara lebih efisien dan lebih teliti
4. Penetapan Teknik pengambilan contoh ; bisa tanpa stratifikasi ataupun
dengan stratifikasi
5. Sasaran pengamatan ; dapat meliputi lapangan, tanah, tumbuhan bawah,
permudaan, pohon, hasil hutan bukan kayu
6. Pelatihan pelaksana dan pembentukan tim pelaksana
7. Perencanaan jadwal kegiatan
8. Pelaksanaan inventarisasi, serta
9. Pengolahan dan analisis data

Teknik Sampling
1. Teknik sampling (pengambilan contoh) ; sering menggunakan systemic
strip with random start
2. Intensitas sampling (IS) ; tergantung pada tujuan inventarisasi dan
ketersediaan informasi awal.
Untuk penyusunan Rencana Karya KPHP, misalnya, digunakan intensi-
tas sampling (IS) sebagai berikut :
a. Jika ada peta hasil penafsiran potret udara, IS cukup sebesar 0,05%
b. Jika tersedia peta hasil penafsiran citra satelit Landsat TM atau MSS
atau SPOT atau citra lain yang setara dengan citra TM, IS yang
digunakan adalah sebesar 0,1%
c. Jika tidak tersedia baik peta hasil penafsiran potret udara maupun
hasil penafsiran citra satelit, IS yang digunakan adalah sebesar 0,5%.
3. Penentuan arah jalur coba disesuaikan dengan kondisi topografi, arah
Timur-Barat atau Utara-Selatan

Konsepsi dan Metode Pelaksanaan Kegiatan Perencanaan Kehutanan M5 - 4


Modul Mata Kuliah Perencanaan Hutan

4. Pengamatan pohon dilakukan pada sepanjang jalur yang lebarnya 20 m


(line plot sampling), pengamatan permudaan tingkat tiang dilakukan pada
sub-plot berukuran 10m x 10m, sedang permudaan tingkat pancang dan
tingkat semai, masing-masing dilakukan pada sub-plot berukuran 5m x
5m dan 2m x 2m.
5. Jarak antar jalur : 1/IS x Lebar jalur (jika bentuk arealnya persegi empat),
dimana IS = Intensitas sampling
Jika arealnya berbentuk tidak beraturan : Pj = Lh x IS x 0,5
JAJ = Lk / Pj
dimana : Pj = panjang jalur (km)
Lk = luas areal kerja (km2)
Lh = luas areal kerja (ha)
JAJ = jarak antar jalur (km)
Data dan informasi hasil Inventarisasi Hutan akan mendasari semua
aktivitas pengelolaan hutan, seperti antara lain : Pengukuhan Hutan,
Penatagunaan Hutan dan Pembentukan Wilayah Pengelolaan, Penyusunan
Rencana Kehutanan dan Pembangunan Sistem Informasi Kehutanan.
Melalui inventarisasi berulang (setiap 5-10 tahun) dapat pula diketahui
perkembangan atau pertumbuhan hutan dari waktu ke waktu, sehingga
rencana pendayagunaan hutan dapat disusun secara lebih baik.

A2. Pengukuhan Kawasan Hutan


Pengertian
Pengukuhan kawasan hutan adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan
untuk memberi kepastian hukum mengenai status, fungsi, letak dan luasan
dari suatu kawasan hutan. Pengukuhan hutan meliputi kegiatan-kegiatan
penunjukan, penataan batas, pemetaan kawasan hutan dan pengesahan
batas-batas, letak, luas, fungsi dan status hukum suatu kawasan hutan
tertentu.
Prinsip Dasar
Kepastian hukum tentang status kawasan hutan tertentu harus didasarkan
pada pengakuan dari semua stakeholder. Untuk itu diperlukan kejelasan
tentang batas-batas wilayah hutan, batas administrasi pemerintahan, dan
kondisi biofisik kawasan hutan serta kondisi sosial ekonomi masyarakat di
sekitar hutan. Pengukuhan kawasan hutan harus melibatkan semua
stakeholder, khususnya pemerintah daerah dan masyarakat yang ada di
dalam dan di sekitar kawasan hutan, agar di kemudian hari tidak
menimbulkan perselisihan diantara para stakeholder yang bersangkutan.

Konsepsi dan Metode Pelaksanaan Kegiatan Perencanaan Kehutanan M5 - 5


Modul Mata Kuliah Perencanaan Hutan

Informasi dan atau Dokumen Perencanaan yang Diperlukan


Pengukuhan hutan harus diselaraskan dengan perencanaan wilayah atau
tata ruang yang cakupannya lebih luas. Sehubungan dengan itu,
pelaksanaan pengukuhan hutan perlu memperhatikan hal-hal sebagai
berikut :
9 Rencana Tata Ruang Wilayah Propinsi (RTRWP)
9 Batas administrasi pemerintahan propinsi dan kabupaten
9 Pemaduserasian antara TGHK dengan RTRWP atau TGH
9 Usulan atau rekomendasi Gubernur dan atau Bupati/walikota
9 Kondisi wilayah yang secara teknis dapat dijadikan hutan

Metode Pelaksanaan Kegiatan Pengukuhan Hutan


Secara umum, terdapat empat tahapan dalam Pengukuhan hutan, yaitu :
1. Penunjukan kawasan hutan ; yang dapat meliputi wilayah beberapa
propinsi, wilayah satu provinsi, wilayah beberapa kabupaten / kota atau
wilayah satu kabupaten / kota tertentu saja.
2. Penataan batas kawasan hutan, mencakup:
a. Pengukuran dan pemancangan patok batas sementara
b. Pengumuman hasil pemancangan batas patok sementara
c. Inventarisasi dan penyelesaian hak-hak pihak ketiga yang berada di
sepanjang trayek batas dan yang ada di dalam kawasan hutan
d. Penyusunan Berita Acara Pengakuan oleh masyarakat sekitar trayek
batas dan di dalam kawasan hutan
e. Penyusunan Berita Acara Pemancangan Batas Sementara yang
disertai dengan peta pemancangan patok batas sementara
f. Pemasangan pal batas yang dilengkapi dengan lorong batas
g. Pemetaan hasil penataan batas
h. Pembuatan dan penandatanganan Berita Acara Tata Batas dan Peta
Tata Batas
i. Pelaporan kepada Menteri dengan tembusan Gubernur
3. Pemetaan kawasan hutan ; yang harus dilakukan secara partisipatif
(yaitu dengan melibatkan wakil-wakil masyarakat), dan hasilnya memuat
atau menggambarkan posisi atau lokasi dari setiap pal batas yang telah
dipasang.
4. Penetapan kawasan hutan. Hasil penataan batas kawasan hutan yang
telah ditandatangani oleh Panitia Tata Batas selanjutnya dilakukan
disahkan oleh Menteri.

Konsepsi dan Metode Pelaksanaan Kegiatan Perencanaan Kehutanan M5 - 6


Modul Mata Kuliah Perencanaan Hutan

A3. Penatagunaan Kawasan Hutan


Pengertian
Penatagunaan kawasan hutan adalah pembagian kawasan hutan menurut
fungsi dan penggunaannya, untuk mewujudkan suatu pengelolaan hutan
yang dapat memberikan manfaat yang sebesar-besarnya secara serbaguna
dan lestari bagi kemakmuran rakyat. Pasal 12 UU No 41 Tahun 1999
tentang Kehutanan, menegaskan bahwa Penatagunaan kawasan hutan
merupakan salah satu bagian kegiatan penting dari perencanaan
kehutanan.
Secara prosedural, kegiatan penatagunaan suatu kawasan hutan tertentu
sebaiknya dilaksanakan setelah kawasan hutan tersebut memiliki kepastian
hukum melalui pengukuhan. Namun, berhubung proses pengukuhan hutan
memerlukan waktu yang relatif lama, maka kegiatan penatagunaan hutan
ini tidak mutlak harus didahului dengan kegiatan pengukuhan hutan.
Penatagunaan hutan umumnya diatur oleh suatu peraturan pemerintah
yang memuat tentang kriteria atau persyaratan kawasan hutan sesuai
dengan fungsi pokoknya.
Pasal 6 UU No 41 tahun 1999, menjelaskan bahwa hutan mempunyai tiga
fungsi yaitu fungsi lindung, fungsi konservasi dan fungsi produksi.
Berdasarkan fungsi tersebut, Pemerintah selanjutnya mengelompokkan
kawasan hutan menurut fungsi pokoknya, yaitu :
1. Hutan konservasi ; yang dapat lagi dibedakan atas :
a. Hutan Suaka Alam (Cagar Alam dan Suaka Marga Satwa)
b. Hutan Pelestarian Alam (Taman Nasional, Taman Hutan Raya dan
Taman Wisata Alam)
c. Taman Buru
2. Hutan lindung, dan
3. Hutan produksi :
a. Hutan Produksi Terbatas
b. Hutan Produksi Biasa
c. Hutan Produksi yang dapat dikonversi

Untuk lebih memahami hal-hal yang terkait dengan penatagunaan hutan,


maka berikut ini disajikan beberapa pengertian atau terminologi dari
sejumlah istilah. Alokasi penggunaan kawasan hutan secara garis besar
pada dasarnya dapat dibedakan atas dua kelompok : yaitu kawasan untuk
kepentingan produksi dan kawasan lindung. Keputusan Presiden Republik
Indonesia (Keppres) No. 32 Tahun 1990 tentang Pengelolaan Kawasan
Hutan Lindung, menjelaskan beberapa pengertian sebagai berikut :

Konsepsi dan Metode Pelaksanaan Kegiatan Perencanaan Kehutanan M5 - 7


Modul Mata Kuliah Perencanaan Hutan

1. Kawasan Lindung adalah kawasan yang ditetapkan dengan fungsi utama


melindungi kelestarian lingkungan hidup yang mencakup sumber alam,
sumber daya buatan dan nilai sejarah, serta budaya bangsa guna
kepentingan pembangunan berkelanjutan. Dengan pengertian ini, maka
kawasan lindung mencakup :
a. Kawasan yang memberikan perlindungan kawasan bawahannya, yaitu
kawasan hutan lindung, kawasan bergambut dan kawasan resapan air
b. Kawasan perlindungan setempat yaitu sempadan pantai, sungai,
waduk atau danau dan mata air
c. Kawasan suaka alam dan cagar budaya, yang terdiri atas kawasan
suaka alam, kawasan suaka alam laut dan perairan lainnya, kawasan
pantai berhutan bakau, taman nasional, taman hutan raya dan taman
wisata alam, serta cagar budaya dan ilmu pengetahuan
d. Kawasan rawan bencana alam
2. Kawasan hutan lindung adalah kawasan hutan yang mempunyai fungsi
pokok sebagai perlindungan sistem penyangga kehidupan untuk
mengatur tata air, mencegah banjir, mengendalikan erosi, mencegah
intrusi air laut dan memelihara kesuburan tanah (UU No 41 Tahun 1999)
3. Kawasan bergambut adalah kawasan yang unsur pembentuk tanahnya
sebagian besar berupa sisa bahan organik yang tertimbun dalam waktu
yang lama
4. Hutan konservasi adalah hutan dengan ciri khas tertentu yang
mempunyai fungsi pokok untuk pengawetan keanekaragaman tumbuhan,
satwa dan ekosistemnya (UU No 41 Tahun 1999)
5. Kawasan resapan air adalah daerah-daerah yang mempunyai
kemampuan tinggi untuk meresapkan air hujan sehingga merupakan
tempat pengisian air bumi (akifer) yang berguna sebagai sumber air.
6. Sempadan pantai adalah kawasan tertentu sepanjang pantai yang
mempunyai manfaat penting untuk mempertahankan kelestarian fungsi
pantai
7. Sempadan sungai adalah kawasan sepanjang kiri kanan sungai,
termasuk sungai buatan/kanal/saluran irigasi primer, gang mempunyai
manfaat penting untuk mempertahankan kelestarian fungsi sungai.
8. Kawasan sekitar danau/waduk adalah kawasan tertentu di sekeliling
danau/waduk yang mempunyai manfaat penting untuk mempertahankan
kelestarian fungsi danau/waduk

Konsepsi dan Metode Pelaksanaan Kegiatan Perencanaan Kehutanan M5 - 8


Modul Mata Kuliah Perencanaan Hutan

9. Kawasan sekitar mata air adalah kawasan di sekeliling mata air yang
mempunyai manfaat penting untuk mempertahankan kelestarian fungsi
mata air
10. Kawasan suaka alam adalah kawasan dengan ciri khas tertentu baik di
darat maupun di perairan yang mempunyai fungsi pokok sebagai
kawasan pengawetan keragaman jenis tumbuhan dan satwa beserta
ekosistemnya
11. Kawasan suaka alam laut dan perairan lainnya adalah daerah yang
mewakili ekosistemnya khas di lautan maupun perairan lainnya, yang
merupakan habitat alami yang memberikan tempat maupun perlindungan
bagi perkembangan keanekaragaman tumbuhan dan satwa yang ada
12. Kawasan pantai berhutan bakau adalah kawasan pesisir laut yang
merupakan habitat alami hutan bakau (mangrove) yang berfungsi
memberi perlindungan kepada perikehidupan pantai dan laut
13. Taman nasional adalah kawasan pelestarian alam yang dikelola dengan
sistem zonasi yang dimanfaatkan untuk tujuan pengembangan ilmu
pengetahuan, pendidikan, pariwisata dan rekreasi
14. Taman hutan raya adalah kawasan pelestarian yang terutama
dimanfaatkan untuk tujuan koleksi tumbuhan dan/atau satwa, alami atau
buatan, jenis asli dan/atau bukan asli, pengembangan ilmu pengetahuan,
pendidikan dan latihan, serta budaya, pariwisata dan rekreasi
15. Taman wisata alam adalah kawasan pelestarian alam di darat maupun di
laut yang terutama dimanfaatkan untuk pariwisata dan rekreasi alam
16. Kawasan cagar budaya dan ilmu pengetahuan adalah kawasan yang
merupakan lokasi bangunan hasil budaya manusia yang bernilai tinggi
maupun bentukan geologi alami yang khas
17. Kawasan rawan bencana alam adalah kawasan yang sering atau
berpotensi tinggi mengalami bencana alam
Faktor-faktor yang diperhatikan dalam penatagunaan hutan
1. Kondisi biofisik kawasan (konfigurasi lapangan, jenis tanah, iklim/curah
hujan, geomorfolopgi, flora dan fauna)
2. Kondisi sosial ekonomi di sekitar dan di dalam kawasan hutan
3. Luas kawasan hutan
Metode pelaksanaan kegiatan penatagunaan hutan
Menurut PP Nomor 44 Tahun 2004, menegaskan bahwa penatagunaan
hutan pada hakekatnya terdiri dari kelompok kegiatan :

Konsepsi dan Metode Pelaksanaan Kegiatan Perencanaan Kehutanan M5 - 9


Modul Mata Kuliah Perencanaan Hutan

1. Penetapan fungsi kawasan hutan


2. Penetapan penggunaan kawasan hutan untuk kepentingan pemba-
ngunan di luar kehutanan yang mencakup :
a. Penggunaan untuk tujuan strategis (kepentingan religi, pertahanan
keamanan, pertambangan, pembangunan ketenegalistrikan dan
instalasi energi terbarukan, pembangunan jaringan telekomunikasi dan
atau pembangunan instalasi air)
b. Penggunaan untuk kepentingan umum terbatas (jalan umum, kereta
api, saluran air bersih dan atau air limbah, pengairan, bak
penampungan air, fasilitas umum, repiter telekomunikasi, stasiun
pemancar radio dan atau stasiun relay televisi)

A4. Pembentukan Wilayah Pengelolaan Hutan


Pengertian
Pasal 12 Undang-undang No. 41 Tahun 1999, menyebutkan bahwa salah
satu kegiatan dalam perencanaan kehutanan adalah pembentukan wilayah
pengelolaan hutan. Pembentukan wilayah pengelolaan hutan dilaksanakan
untuk tingkat (a) provinsi, (b) kabupaten dan (c) unit pengelolaan.
Wilayah pengelolaan hutan di tingkat provinsi adalah seluruh hutan di
wilayah provinsi yang dapat dikelola secara lestari. Wilayah pengelolaan
hutan di tingkat kabupaten atau kota adalah seluruh hutan di wilayah
kabupaten/kota yang dapat di kelola secara lestari. Wilayah pengelolaan
hutan tingkat unit pengelolaan adalah kesatuan pengelolaan hutan terkecil
sesuai dengan fungsi pokok dan peruntukkannya yang dapat dikelola
secara efisien dan lestari. Bentuk kesatuan pengelolaan adalah :
1. Kesatuan pengelolaan hutan produksi (KPHP) : merupakan kesatuan
pengelolaan hutan dengan fungsi pokok sebagai penghasil benda-benda
ekonomi berupa kayu ataupun bukan kayu.
2. Kesatuan pengelolaan hutan lindung (KPHL) : merupakan kesatuan
pengelolaan hutan dengan fungsi pokok sebagai pengatur tata air, tetapi
juga sekaligus sebagai penghasil jasa lingkungan, jasa pemanfaatan
kawasan, serta penghasil benda-benda ekonomi berupa hasil hutan
bukan kayu, sepanjang pemanfaatan jasa dan manfaat tersebut tidak
mengganggu fungsi pokok dari hutan lindung yang bersangkutan.
3. Kesatuan pengelolaan hutan konservasi (KPHK) : merupakan kesatuan
pengelolaan hutan dengan fungsi pokok berupa salah satu atau
kombinasi dari : cagar alam, suaka margasatwa, taman nasional, taman
wisata alam, taman hutan raya dan taman buru.

Konsepsi dan Metode Pelaksanaan Kegiatan Perencanaan Kehutanan M5 - 10


Modul Mata Kuliah Perencanaan Hutan

4. Kesatuan pengelolaan hutan kemasyarakatan (KPHKM)


5. Kesatuan pengelolaan hutan adat (KPHA), dan
6. Kesatuan pengelolaan hutan daerah aliran sungai (KPDAS)
Pembentukan wilayah pengelolaan di tingkat unit pengelolaan dilaksanakan
dengan mempertimbangkan faktor-faktor sebagai berikut :
1. Karakterisitik hutan
2. Tipe hutan
3. Fungsi hutan
4. Daerah aliran sungai
5. Kondisi sosial budaya (hubungan antar masyarakat dengan hutan,
aspirasi masyarakat lokal, serta kearifan tradisional)
6. Kondisi ekonomi
7. Kelembagaan masyarakat setempat termasuk masyarakat hukum adat
dan batas administrasi pemerintahan.
Pembentukan wilayah pengelolaan hutan, yang karena karakteristik tipe
hutan dan kondisinya, melampaui batas administrasi pemerintahan, harus
diatur dan atau ditetapkan oleh Menteri. Pedoman teknis yang ada
menguraikan tentang pembentukan wilayah pengelolaan hutan produksi.
Pembentukan wilayah pengelolaan yang lain seperti KPHL, KPHK, KPHKM,
KPDAS dan KPHA, pada dasarnya dama dengan pembentukan KPHP,
yang atas empat tahapan yaitu tahapan identifikasi, delineasi, penyusunan
rencana pembentukan wilayah pengelolaan tingkat propinsi dan
penetapannya. Perbedaannya hanya terletak pada pertimbangan atas
fungsi pokok hutannya dan jenis pemanfaatan yang diijinkan tanpa
mengurangi fungsi pokok dari hutan yang bersangkutan.
Pemanfaatan kawasan hutan dapat dilakukan pada semua kawasan hutan
kecuali pada hutan cagar alam serta pada wilayah zona inti dan zona rimba
pada taman nasional. Pemanfaatan hutan dimaksudkan untuk memperoleh
manfaat yang optimal bagi kesejahteraan seluruh masyarakat secara
berkeadilan dengan tetap menjaga kelestarianya baik kelestarian
lingkungan (ekologi), maupun kelestarian fungsi produksi dan fungsi
sosialnya. Pemanfaatan setiap fungsi hutan adalah sebagai berikut :
1. Pemanfaatan hutan produksi dapat berupa pemanfaatan kawasan,
pemanfaatan jasa lingkungan, pemanfaatan hasil hutan kayu dan hasil
hutan bukan kayu, serta pemungutan hasil hutan kayu dan bukan kayu.
Pemanfaatan hutan produksi hanya bisa dilakukan oleh pihak yang
memiliki ijin, seperti ijin usaha pemanfaatan kawasan hutan (IUPKH), ijin

Konsepsi dan Metode Pelaksanaan Kegiatan Perencanaan Kehutanan M5 - 11


Modul Mata Kuliah Perencanaan Hutan

usaha pemanfaatan jasa lingkungan (IUPJL), ijin usaha pemanfaatan


hasil hutan kayu (IUPHHK), ijin usaha pemanfaatan hasil hutan bukan
kayu (IUPHHBK), atau ijin usaha pemungutan hasil hutan kayu dan
bukan kayu.
2. Pemanfaatan hutan lindung juga dapat berupa pemanfaatan kawasan,
pemanfaatan jasa lingkungan dan pemungutan hasil hutan bukan kayu
(yang tidak mengganggu fungsi pokok). Dengan demikian, pemanfaatan
hutan lindung hanya dapat dilaksanakan oleh pihak yang memiliki ijin
usaha pemanfaatan kawasan hutan, ijin usaha pemanfaatan jasa
lingkungan dan ijin pemungutan hasil hutan bukan kayu.
3. Pemanfaatan kawasan hutan pelestarian alam dan kawasan hutan suaka
alam serta taman buru diatur sesuai dengan peraturan perundang-
undangan yang berlaku.

Tujuan dan Fungsi


Pembentukan wilayah pengelolaan hutan produksi bertujuan untuk
mewujudkan pengolaan hutan yang efisien dan lestari. Pembentukan
kesatuan pengelolaan hutan lindung bertujuan untuk mengoptimalkan
fungsi pokok hutan lindung sebagai pengatur tata air, serta untuk menjamin
pemanfaatan kawasan, pemanfaatan jasa lingkungan maupun pemanfaatan
hasil hutan bukan kayu, secara lestari, tanpa menggagu fungsi pokok hutan
lindung yang bersangkutan. Hal ini mengindikasikan bahwa pembentukan
wilayah pengelolaan hutan harus menjamin kelestarian atau kontinyutas
fungsi pokok hutan (sesuai dengan peruntukannya), sedang kelestarian
fungsi pokok harus tetap dalam keseimbangan yang proporsional dengan
fungsi-fungsi lainnya.
Untuk hutan produksi, misalnya, kelestarian hasil kayu dan atau bukan kayu
(kelestarian fungsi produksi / fungsi ekonomi) harus didukung atau harus
diupayakan secara selaras dengan kelestarian fungsi ekologis dan fungsi
sosial. Demikian pula halnya dengan hutan lindung, kelestarian fungsi
sebagai pengawet tata air (kelestarian fungsi lindung), harus didukung dan
diupayakan secara selaras dengan kelestarian fungsi sosial dan fungsi
ekonomi dari hutan lindung yang bersangkutan.
Pembentukan wilayah pengelolaan hutan dilaksanakan untuk tingkat
provinsi, tingkat kabupaten/kota dan tingkat unit pengelolaan. Wilayah
pengelolaan hutan pada Tingkat Unit Pengelolaan dibedakan atas :
1. Kesatuan Pengelolaan Hutan Produksi (KPHP)
2. Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL) dan
3. Kesatuan Pengelolaan Hutan Konservasi (KPHK)

Konsepsi dan Metode Pelaksanaan Kegiatan Perencanaan Kehutanan M5 - 12


Modul Mata Kuliah Perencanaan Hutan

Prinsip Dasar
Pembentukan kesatuan pengelolaan hutan ini pada dasarnya diarahkan
pada upaya untuk mewujudkan kelestarian fungsi produksi, fungsi ekologis,
dan fungsi sosial dengan tetap mempertimbangkan hasil perbandingan
antara biaya yang dikeluarkan dengan penghasilan pengelola.
Pembentukan wilayah pengeloalaan hutan provinsi dan kabupaten/kota
mencakup kegiatan-kegiatan:
1. Perencanaan kehutanan
2. Pengelolaan hutan
3. Penelitian dan pengembangan, pendidikan dan latihan serta penyuluhan
kehutanan, dan
4. Pengawasan

Informasi yang Perlu Dipertimbangkan


Terdapat beberapa hal / informasi yang perlu diperhatikan dalam rangka
pembentukan unit pengelolaan hutan, sebagai unit pengelolaan hutan
terkecil pada hamparan lahan hutan, untuk mencapai tujuan yang telah
ditetapkan. Hal atau informasi termaksud adalah sebagai berikut :
1. Karakteristik lahan
2. Tipe hutan
3. Fungsi hutan
4. Kondisi daerah aliran sungai
5. Kondisi sosial ekonomi masyarakat di sekitar dan di dalam kawasan
hutan
6. Kelembagaan masyarakat setempat termasuk masyarakat hukum adat
7. Batas administrasi pemerintahan
8. Hamparan yang secara geografis merupakan satu kesatuan
9. Batas alam dan atau buatan yang bersifat permanen
10. Penggunaan lahan

Konsepsi dan Metode Pelaksanaan Kegiatan Perencanaan Kehutanan M5 - 13


Modul Mata Kuliah Perencanaan Hutan

A5. Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan


Berdasarkan Wilayah Pengelolaan
Pengelolaan hutan sebagaimana yang tercantum dalam UU No 41 Tahun
1999 meliputi kegiatan (a) tata hutan dan penyusunan rencana pengelolaan
hutan, (b) pemanfaatan hutan dan penggunaan kawasan hutan, (c)
rehabilitasi dan reklamasi hutan, serta (d) perlindungan dan konservasi
alam.
Tata hutan adalah kegiatan yang meliputi pembagian kawasan hutan dalam
blok-blok berdasarkan ekosistem, tipe, fungsi dan rencana pemanfaatan
dengan tujuan untuk memperoleh manfaat yang sebesar-besarnya bagi
masyarakat secara lestari. Blok-blok selanjutnya dibagi lagi menjadi petak-
petak.
Berdasarkan blok-blok dan petak-petak tersebut selanjutnya dibuat
rencana-rencana pengelolaan untuk jangka waktu tertentu. Penyusunan
rencana pengelolaan yang dilaksanakan dengan memperhatikan aspirasi,
nilai budaya masyarakat dan kondisi lingkungan.
Penyusunan rencana kehutanan menurut fungsi pokok kawasan meliputi :
1. Rencana pengelolaan hutan produksi
Berdasarkan wilayah pengelolaannya, kawasan hutan produksi dapat
kelola sebagai suatu kesatuan pengusahaan hutan terkecil (Kesatuan
Pengelolaan Hutan Produksi, disingkat KPHP), sepanjang kawasan
hutan produksi tersebut yang layak diusahakan dengan fungsi pokok
sebagai penghasil benda-benda ekonomi (fungsi ekonomi) secara lestari.
Rencana pengelolaan KPHP adalah rencana strategi pengelolaan unit-
unit pengusahaan dalam KPHP yang meliputi sistem pengusahaan
beserta pengorganisasiannya berdasarkan karakteristik kawasan dan
kondisi sumber daya hutan yang bersangkutan. Rencana KPHP Provinsi
merupakan rencana pembangunan KPHP yang memuat letak, jumlah,
luas dan penyebaran serta arahan strategi pengelolaannya. Rencana
karya unit pengusahaan hutan dalam KPHP disusun dengan mengacu
kepada rencana pengelolaan KPHP yang bersangkutan.
Adapun tujuan dari rencana pengelolaan KPHP adalah tertatanya
kawasan hutan produksi dalam unit-unit kelestarian usaha yang rasional
dan menguntungkan serta dapat menjamin tersedianya hasil hutan dan
manfaat-manfaat lain bagi pembangunan nasional, pembangunan daerah
dan masyarakat sekitar hutan secara berkelanjutan.
Konsepsi dan Metode Pelaksanaan Kegiatan Perencanaan Kehutanan M5 - 14
Modul Mata Kuliah Perencanaan Hutan

2. Rencana pengelolaan hutan lindung


Rencana pengelolaan hutan lindung mencakup rencana pemanfaatan
hutan lindung, yang juga meliputi rencana pemanfaatan kawasan, jasa
lingkungan dan pemungutan hasil hutan bukan kayu (yang tidak
mengganggu fungsi pokok hutan lindung yang bersangkutan).
3. Rencana pengelolaan hutan konservasi
Rencana pengelolaan hutan konservasi mencakup rencana pemanfaatan
kawasan hutan pelestarian alam dan kawasan hutan suaka alam serta
taman buru yang disusun dengan mengacu pada peraturan perundang-
undangan yang berlaku.
Berdasarkan Jangka Waktu dan Fungsi Rencana
Berdasarkan hasil penataan hutan, pada setiap unit atau kesatuan
pengelolaan hutan disusun rencana pengelolaan hutan dengan
memperhatikan aspirasi, partisipasi dan nilai budaya masyarakat serta
kondisi lingkungan.
Rencana pengelolaan hutan tersebut meliputi :
1. Rencana pengelolaan hutan jangka panjang (RPH-JP) yang memuat
rencana kegiatan secara makro tentang pedoman, arahan serta dasar-
dasar pengelolaan hutan untuk mencapai tujuan pengelolaan hutan
dalam jangka waktu 20 (dua puluh) tahun. RPH-JP disusun oleh instusi
yang bertanggung jawab di bidang kehutanan pada tingkat Provinsi dan
disahkan oleh Menteri.
2. Rencana pengelolaan hutan jangka menengah (RPH-JM) memuat
rencana yang berisi penjabaran rencana pengelolaan hutan jangka
panjang ke dalam rencana yang berjangka jangka waktu 5 (lima) tahun,
disusun oleh instusi yang bertanggung jawab di bidang kehutanan
Provinsi dan disahkan oleh Menteri.
3. Rencana pengelolaan hutan jangka pendek atau Rencana pengelolaan
hutan tahunan (RPH-JT) memuat rencana operasional secara detail yang
merupakan penjabaran dari rencana pengelolaan hutan dalam jangka
waktu 1 (satu) tahun yang disusun oleh instansi yang bertanggung jawab
di bidang kehutanan dan disahkan oleh Gubernur.
Semua rencana pengelolaan hutan tersebut di atas memuat perencanaan,
pengorganisasian, pelaksanaan, evaluasi, pengendalian, dan pengawasan
sebagai dasar penyelenggaran kegiatan pengelolaan hutan.
Bagi pemegang izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu pada hutan alam
atau pada hutan tanaman serta pemegang izin usaha pemanfaatan hasil

Konsepsi dan Metode Pelaksanaan Kegiatan Perencanaan Kehutanan M5 - 15


Modul Mata Kuliah Perencanaan Hutan

hutan bukan kayu diwajibkan atau diharuskan membuat beberapa jenis


rencana. Jenis rencana yang harus dibuat oleh Pemegang izin usaha
pemanfaatan hasil hutan kayu meliputi :
1. Rencana Kerja Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (RKUPHHK) untuk
seluruh areal kerja selama jangka waktu berlakunya izin, yang dibuat dan
diajukan selambat-lambatnya satu tahun setelah izin diberikan.
2. Rencana kerja lima tahun yang pertama, yang dibuat dan diajukan
selambat-lambatnya 3 bulan sejak RKUPHHK disahkan
3. Rencana kerja tahunan (RKT), disajikan selambat-lambatnya 2 bulan
sebelum RKT tahun berjalan untuk diajukan kepada Menteri guna
mendapatkan persetujuannya.
Jenis rencana yang harus dibuat oleh Pemegang izin usaha pemanfaatan
hasil hutan bukan kayu meliputi :
1. Rencana kerja usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Bukan Kayu
(RKUPHHBK) 10 tahun, dibuat dan diajukan selambat-lambatnya satu
tahun setelah izin diberikan
2. Rencana Kerja Lima Tahun yang pertama, dibuat dan diajukan selambat-
lambatnya 3 bulan sejak RKUPHHBK disahkan.
3. Rencana Kerja Tahunan (RKT), diajukan selambat-lambatnya 2 bulan
sebelum RKT tahun berjalan.

B. Monitoring dan Evaluasi dalam Pengelolaan Hutan


Pengertian dan Tujuan
Agar pengelolaan hutan dapat dilaksanakan sebagaimana perencanaan
hutan yang telah disusun, maka perlu dilakukan suatu kegiatan pemonitoran
(monitoring). Kegiatan monitoring ini dilakukan dalam rangka mengawasi,
mengamati, atau mengecek dengan cernat apakah pelaksanaan
pengelolaan hutan telah dilaksanakan sesuai dengan perencanaan hutan
yang telah dibuta atau apakah pengelolaan hutan tersebut masih dalam
koridor pencapaian tujuan pengelolaan hutan. Fungsi dari monitoring adalah
untuk mencatat atau mengetahui apa yang terjadi dalam pelaksanaan suatu
pengelolaan hutan ‘tanpa’ mempertanyakan mengapa hal tersebut terjadi
dan tidak melihat adanya hubungan sebab-akibat mengapa hal tersebut
terjadi.
Sedangkan tujuan dari evaluasi dalam pengelolaan hutan dimaksudkan
untuk mengukur efektifitas dan efisiensi pelaksanaan dari rencana kegiatan

Konsepsi dan Metode Pelaksanaan Kegiatan Perencanaan Kehutanan M5 - 16


Modul Mata Kuliah Perencanaan Hutan

yang ditetapkan. Evaluasi juga dapat dikatakan sebagai suatu usaha untuk
mengukur dan memberi nilai secara obyektif terhadap pencapaian hasil-
hasil yang direncanakan sebelumnya. Hasil-hasil evaluasi dapat dijadikan
sebagai umpan balik bagi kegiatan-kegiatan perencanaan selanjutnya.
Menurut Aji dan Sirait (1984), Evaluasi pada hakekatnya bermakna
mempertanyakan aktualitas atau validitas secara teknis dari rencana
sesudah dilaksanakan. Evaluasi bersifat teknis dan berorientasi pada
pencapaian tujuan dan atau pemecahan masalah, yang berbeda dengan
pemeriksaan.
Komponen Kegiatan
Evaluasi sering digunakan untuk menunjukkan capaian pada setiap tahapan
dalam siklus pengelolaan hutan. Evaluasi dimaksudkan untuk memperoleh
umban balik untuk menjadi bahan dalam upaya perbaikan perencanaan dan
pelaksanaan kegiatan pengelolaaan selanjutnya. Evaluasi dilakukan
terhadap semua komponen penyelenggaraan pengelolaan hutan yang
mencakup :
1. Evaluasi tata hutan dan rencana pengelolaan hutan
2. Evaluasi pemanfaatan hutan dan penggunaan kawasan
3. Evaluasi reklamasi dan rehabilitasi hutan
4. Evaluasi perlindungan hutan dan konservasi alam
Agar pelaksanaan evaluasi dapat berlangsung dengan baik, maka perlu
dibuat suatu rencana evaluasi untuk menjadi pedoman atau petunjuk dan
pemberi arah bagi pelaksana dalam berpikir dan bertindak. Rencana
evaluasi, dapat disajikan dalam bentuk pertanyaan yang perlu dijawab
melalui pelaksanaan evaluasi. Berikut disajikan pertanyaan- pertanyaan
yang perlu dijawab dalam perencanaan dan pelaksanaan kegiatan evaluasi.
1. Berapa kali evaluasi akan dilakukan dalam kurun waktu tertentu dan
kapan evaluasi dilakukan :
a. Evaluasi kegiatan sekali dalam setahun, untuk kegiatan yang akan
dilaksanakan sebagaimana tercantum dalam RKT
b. Evaluasi kegiatan sekali dalam 5 tahuni, untuk kegiatan yang
tercantum dalam RKL
c. Evaluasi kegiatan sekali dalam 20 tahun, untuk kegiatan yang
dilakukan pada setiap pembaharuan RKPH
2. Mengapa kegiatan evaluasi perlu dilakukan (Alasan apa kenapa kegiatan
dievaluasi diperlukan) :
a. Kenapa tata hutan dan rencana pengelolaan hutan perlu dilakukan

Konsepsi dan Metode Pelaksanaan Kegiatan Perencanaan Kehutanan M5 - 17


Modul Mata Kuliah Perencanaan Hutan

b. Kenapa pemanfaatan hutan dan penggunaan kawasan perlu


dievaluasi
c. Kenapa kegiatan rehabilitasi, reklamasi, perlindungan hutan dan
konservasi alam perlu dievaluasi?
3. Kegiatan apa saja dalam pengelolaan hutan yang perlu dievaluasi
4. Bagaimana kegiatan evaluasi tersebut dapat dievaluasi, apakah
dilakuakn dengan pengamatan terestris, penggunaan sarana inderaja,
kombinasi antara pengamatan terestris dengan inderaja, melalui
penulusuran dokumen dan atau dengan wawancara.
5. Siapa yang melakukan evaluasi, apakah pelaksanan pengelola hutan itu
sendiri (self assessment), pihak ketiga (konsultan atau universitas) atau
pemerintah (pemerintah pusay atau pemerintah daerah).
6. Berapa biaya yang disediakan untuk melakukan evaluasi. Ini sangat
terkait dengan metode pengambilan data yang akan dilakukan. Evaluasi
dengan pengamatan terestris membutuhkan biaya yang lebih besar
dibandingkan dengan hanya menggunakan inderaja atau kombinasi dari
keduanya.
Pertanyaan-pertanyaan tersebut dapat disajikan dalam bentuk matrik,
dimana item-item pada kolom pertama menyatakan jenis pertanyaan yang
harus dijawab sedangkan item pada kolom kedua dan seterusnya
menyatakan urutan (penjadwalan) pelaksanaan evaluasi. Contoh matriks
rencana evaluasi dikemukakan oleh Aji dan Sirait (1984) dalam sistem PDE
(Perencanaan dan Evaluasi) seperti yang tersajikan pada tabel berikut ini.

Tabel. Matriks Rencana Evaluasi


Deskripsi Komponen Evaluasi Evaluasi Evaluasi ....... Evaluasi
pertama kedua ke-n
Jadwal dan Frekuensi pelaksanaan evaluasi (sekali dalam
setahun ataukah sekali dalam lima tahun

Alasan Evaluasi :

Obyek Evaluasi :

Metode Evaluasi :

Evaluator :

Anggaran Evaluasi :

Konsepsi dan Metode Pelaksanaan Kegiatan Perencanaan Kehutanan M5 - 18


Modul Mata Kuliah Perencanaan Hutan

Evaluasi dalam pengelolaan hutan dilakukan dengan pendekatan goal


oriented dan bukan budget-oriented
Evaluasi, secara umum, dibagi menjadi tiga kategori, sebagai berikut :
1. Evaluasi tahap perencanaan ; yaitu evaluasi dilakukan dalam rangka
memilih dan menentukan skala prioritas terhadap beberapa alternatif
atau kemungkinan yang dapat ditempuh / dilakukan untuk mencapai
tujuan yang telah dirumuskan sebelumnya.
2. Evaluasi tahap pelaksanaan ; yaitu evaluasi yang dilakukan untuk
mengetahui tingkat perkembangan atau tingkat kemajuan pelaksanaan
pekerjaan, dibanding dengan target rencana yang telah disusun. Evaluasi
pada tahapan ini digunakan untuk menilai apakah tujuan perencanaan
masih tetap akan dapat dicapai.
3. Evaluasi tahap purna pelaksanaan ; yaitu evaluasi yang dilakukan untuk
membandingkan hasil akhir pelaksanaan rangkaian kegiatan pengelolaan
dengan perencanaan (hasil akhir yang direncanakan).
Evaluasi dan monitoring perencanaan hutan diselenggarakan dengan
tingkatan sebagai berikut :
1. Evaluasi dan monitoring perencanaan hutan tingkat nasional diseleng-
garakan oleh Menteri Kehutanan
2. Evaluasi perencanaan hutan tingkat provinsi diselenggarakan oleh
Gubernur
3. Evaluasi dan monitoring perencanaan hutan tingkat kabupaten/kota
dilakukan diselenggarakan oleh Bupati/Walikots
4. Evaluasi dan monitoring perencanaan hutan pada Kesatuan Hutan
Konservasi diselenggarakan oleh Menteri Kehutanan
5. Evaluasi dan monitoring perencanaan hutan pada Kesatuan Pengelolaan
Hutan Lindung dan Hutan Produksi dalam wilayah Kabupaten
diselenggarakan oleh Bupati/Walikota
6. Evaluasi dan monitoring perencanaan hutan pada Kesatuan Pengelolaan
Hutan Lindung dan Kesatuan Pengelolaan Hutan Produksi yang lintas
kabupaten diselenggarakan oleh Gubernur, dan
7. Evaluasi dan monitoring perencanaan hutan pada Kesatuan Pengelolaan
Hutan Lindung dan Hutan Produksi yang lintas Provinsi diselanggarakan
oleh Menteri Kehutanan.
Teknik Pengendalian Proyek
Pengendalian proyek meliputi monitoring dan evaluasi proyek. Monitoring
merupakan kegiatan untuk memperoleh data dan informasi tentang
kebijakan dan pelaksanaan pengelolaan hutan. Sedang evaluasi
merupakan kegiatan untuk menilai keberhasilan pelaksanaan tahapan
Konsepsi dan Metode Pelaksanaan Kegiatan Perencanaan Kehutanan M5 - 19
Modul Mata Kuliah Perencanaan Hutan

kegiatan pengelolaan hutan, yang dilakukan secara periodik sesuai dengan


jenis dan jangka waktu perijinannya. Berdasarkan hasil monitoring dan
evaluasi, dilakukan tindak lanjut berupa upaya penyempurnaan kebijakan
dan pelaksanaan pengelolaan hutan.
Dalam perencanaan suatu proyek, penyelenggara proyek selalu diper-
hadapkan pada keterbatasan waktu, tenaga dan biaya. Atas dasar itu maka
suatu rencana haruslah sedapat mungkin didasarkan dan berorientasi pada
efisiensi penggunaan waktu, tenaga dan biaya tersebut.
Pada perencanaan tradisional kegiatan-kegiatan digambarkan dalam wujud
diagram yang merefleksikan tata urut kegiatan dalam suatu kesatuan waktu.
Semua kegiatan disajikan dalam bentuk daftar dan dibelakang setiap
kegiatan dicantumkan garis ( atau tepatnya : balok) yang mengindikasikan
waktu dimulainya dan waktu selesainya kegiatan yang bersangkutan.
Diagram balok semacam ini dengan mudah dapat memberi informasi dan
pemahaman tentang waktu dimulai serta prakiraan dan realisasi waktu
selesainya setiap tahapan kegiatan. Namun diagram balok termaksud tidak
dapat memberi semua informasi yang diperlukan secara lengkap untuk
mendukung pelaksanaan dan penyelesaian rangkaian kegiatan proyek
secara optimal. Keterbatasan diagram balok tersebut akibat dari tidak
tergambarkannya, dalam diagram, hubungan dan saling ketergantungan
antara setiap tahapan kegiatan proyek. Dengan demikian, akibat yang
muncul apabila salah satu tahapan kegiatan proyek terlambat dimulai dan
atau terlambat selesai, tidak dapat diketahui. Konsekuensi lanjutan dari hal
ini adalah terbatasnya pengetahuan dan sekaligus bermakna terbatasnya
kemungkinan untuk melakukan perbaikan dan penyempurnaan secara tepat
waktu jika terjadi kesalahan yang berkonsekuensi pada keterlambatan
dimulainya atau selesainya suatu tahapan kegiatan tertentu, yang pada
khirnya akan berakibat pada keterlambatan penyelesaian proyek secara
keseluruhan.
Network planning adalah suatu teknik perencanaan, yang menggunakan
diagram atau grafik, yang sekaligus dapat menggambarkan hubungan dan
saling ketergantungan antara satu tahapan kegiatan dengan tahapan
kegiatan lainnya dari suatu proyek. Diagram atau grafik termaksud
dianalisis dengan waktu sebagai unit analisis dan hasil analisnya digunakan
sebagai dasar pengambilan keputusan. Teknik-teknik network planning
yang sudah dikenal antara lain adalah :
1. Metode CPM (Critical Path Method)
2. Metode PERT (Program Evaluation and Review Technique)
3. Metode PM (Precendence Method)

Konsepsi dan Metode Pelaksanaan Kegiatan Perencanaan Kehutanan M5 - 20


Modul Mata Kuliah Perencanaan Hutan

III. INDIKATOR PENILAIAN


Melalui pemahaman tentang materi bahasan yang telah dikemukakan
di atas, setiap mahasiswa diharapkan memiliki kemampuan atau
kompetensi dalam : (1) menjelaskan konsepsi, kebijakan dan metode
perencanaan kehutanan dan (2) menjelaskan konsepsi, kebijakan dan
metode monitoring dan evaluasi serta bentuk-bentuk penerapannya.

Indikator penilaian kemampuan atau kompetensi peserta didik adalah


ketepatan penjelasan dan kepatan contoh yang diberikan, serta keaktifan
individu. Bobot nilai dari modul ini adalah sebesar 22% dari total nilai mata
kuliah, dengan rincian : ketepatan penjelasan / presentasi dengan bobot
nilai sebesar 8%, kelengkapan bahan presentasi dengan bobot nilai
sebesar 8%, dan keaktifan individu dengan bobot nilai sebesar 6%.
Penilaian dilakukan selama proses pembelajaran berlangsung, baik pada
waktu penyelenggaraan kuliah maupun melalui laporan pelaksanaan unit-
unit tugas mahasiswa, baik dalam berkelompok maupun secara individu.

IV. PENUTUP
Modul ini diharapkan dapat menjadi acuan bagi para pihak yang
terkait dengan proses pembelajaran mata kuliah Perencanaan Hutan,
khususnya yang terkait dengan materi “Konsepsi, Kebijakan dan Metode
Pelaksanaan (kegiatan-kegiatan) Perencanaan serta Konsepsi, Kebijakan
dan Metode Monitoring dan Evaluasi kegiatan pengelolaan hutan”, dalam
melakukan penelusuran berbagai sumber belajar, baik dalam bentuk Buku
teks, Dokumen-dokumen atau Laporan hasil penelitian, Internet ataupun
sumber-sumber lain. Dengan mengacu pada modul ini maka proses
pembelajaran diharapkan dapat berjalan secara efisien dan efektif melalui
peran aktif dari semua pihak terkait, khususnya mahasiswa.

Konsepsi dan Metode Pelaksanaan Kegiatan Perencanaan Kehutanan M5 - 21


Modul Perencanaan Hutan

DAFTAR PUSTAKA
Aji, F. dan B. Sirait. 1984. PDE – Perencanaan Dan Evaluasi. Suatu Sistem
untuk Proyek Pembangunan. Bina Aksara Jakarta.
Ali, T.H. 1989. Prinsip-prinsip Network Planning. PT. Gramedia, Jakarta.
Arney, J.D. and K.S. Milner. 2000. Biometrics of Forest Inventory, Forest
Growth, and Forest Planning. Forest Biometrics Library, St Regis-
Montana.
Buongiorno, J. and J.K. Gilles. 2003. Decision Methods for Forest Resources
Management. Academic Press, New York.
Davis, L.S. and K.N. Johnson. 1987. Forest Management. Third Edition.
McGraw-Hill Book Co., New York.
Departemen Kehutanan RI. 1986a. Sejarah Kehutanan Indonesia I.
Departemen Kehutanan RI, Jakarta.
Departemen Kehutanan RI. 1986b. Sejarah Kehutanan Indonesia II - III.
Departemen Kehutanan RI, Jakarta.
Helms, J.A. Editor. 1998. The Dictionary of Forestry. The Society of American
Foresters and CABI Publishining, Bethesda.
Johnston, D.R., A.J. Grayson, and R.T. Bradley. 1967. Forest Planning. Faber
and Faber Limited, London.
MacKinnon, J., K. Mackinnon, G. Child dan J. Thorsell. 1986. Pengelolaan
Kawasan yang Dilindungi di Daerah Tropika. Gadjah Mada University
Press, Yogyakarta.
Oliver, C.D. and B.C. Larson. 1990. Forest Stand Dynamics. McGraw-Hill, Inc.
New York.
Saaty, T.L. 1990. Multicriteria Decision Making : the analytic hierarchy
process. Second Edition. University of Pittsburgh, Pittsburgh.
Shiver, B.D. and B.E. Borders. 1996. Sampling Techniques for Forest
Resources Inventory. John Wiley & Sons. Inc. New York, 356 p.
Taha, H.A. 1982. Operation Research : an Instroduction. Third Edition.
Macmillan Publishing Co., Inc., New York.
Tjokroamidjojo, B. 1982. Perencanaan Pembangunan. Gunung Agung,
Jakarta MCMLXXXII.
Von Gadow, K., and G. Hui. 1999. Modelling Forest Development. Klower
Academic Publishers, Dordrecht.
Von Gadow, K., T. Pukkala, and M. Tone (Editors). 2000. Sustainable Forest
Management. Klower Academic Publishers, Dordrecht.

Daftar Pustaka TP - 1
Modul Perencanaan Hutan

Peraturan Perundangan :
1. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan.
2. Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2004 tentang Perencanaan
Kehutanan.
3. Manual KPHP Buku I : Manual Pembentukan Kesatuan Pengusahaan
Hutan Produksi (Edisi Pertama).
4. Manual KPHP Buku II : Manual Perencanaan Kesatuan Pengusahaan
Hutan Produksi (Edisi Pertama)
5. Keputusan Presiden No. 32 Tahun 1990 tentang Pengelolaan Kawasan
Hutan Lindung.
6. Surat Keputusan Menteri Pertanian No. 837/Kpts/ Um/II/1980 tentang
Kriteria Penetapan Hutan Lindung.
 

Daftar Pustaka TP - 2

Anda mungkin juga menyukai