Perencanaan PDF Free
Perencanaan PDF Free
Kompetensi Pendukung :
2.1 Mampu menganalisis, merencanakan dan mengevaluasi program pembangunan (Kompetensi FHut No.7 )
2.2. Mampu bekerjasama dengan orang lain (Kompetensi FHut No.14)
Kompetensi Lainnya :
3.1 Mampu berkomunikasi, bermitra dan bersinergi dengan orang lain (masyarakat) (Kompetensi FHut No.3 )
Sasaran Belajar : Mampu menganalisis, merencanakan dan mengevaluasi program pembangunan kehutanan
Kemampuan akhir yang Materi/Pokok Bahasan Strategi Unit Tugas Kriteria Penilaian
Minggu diharapkan Pembelajaran Mahasiswa (Indikator) Bobot
3-4 Mampu menjelaskan Prinsip- Konsep Dasar Kuliah Menuliskan Ketepatan penjelasan &
Prinsip Perencanaan Hutan Perencanaan ulang konsep ketepatan contoh
Pengelolaan Hutan Diskusi dasar PPH 16%
K-MK 1.1, 1.2, & 1.3 (PPH) kelompok Keaktifan individu
Kemampuan akhir yang Materi/Pokok Strategi Unit Tugas Mahasiswa Kriteria Penilaian
Minggu diharapkan Bahasan Pembelajaran (Indikator) Bobot
5-6 Mampu merumuskan tujuan Perumusan Tujuan Kuliah Menganalisis persoalan Ketepatan analisis
pengelolaan hutan, dan dan Kegiatan pengelolaan hutan Ketepatan rumusan
Prioritas dalam Diskusi
Mampu menetapkan skala Pengelolaan Hutan kelompok Merumuskan tujuan tujuan
prioritas kegiatan pengelolaan pengelolaan hutan
hutan PBL Ketepatan skala 30%
Menetapkan skala prioritas
K-MK No.1.1, 1.3 & 2.1 Presentasi prioritas kegiatan
pengelolaan hutan Kerjasama kelompok
Keaktifan individu
7-8 Mampu menjelaskan sistem Perencanaan Kuliah Mendiskusikan, menulis- Ketepatan penjelasan /
dan bentuk-bentuk kegiatan Hutan di Indonesia kan ulang, dan mempre- presentasi
perencanaan hutan Diskusi sentasikan sistem dan
kelompok bentuk-bentuk kegiatan
K-MK No.1.1, 1.3, & 2.1 Kelengkapan bahan 20%
Presentasi perencanaan hutan di presentasi
Inodenesia
Keaktifan individu
9 - 10 Mampu menjelaskan konsepsi, Konsepsi & Metode Kuliah Mendiskusikan, menulis- Ketepatan penjelasan /
kebijakan dan metode Pelaksanaan kan ulang dan mempre- peresentasi
prencanaan kehutanan, (kegiatan-kegiatan) Diskusi sentasikan konsepsi dan
beserta bentuk-bentuk Perencanaan kelompok metode pelaksanaan Kelengkapan bahan 22%
penerapannya Kehutanan kegiatan perencanaan presentasi
Presentasi
kehutanan Keaktifan individu
K-MK No.1.1, 1.3, 2.2, 3.1
MODUL PEMBELAJARAN
Mata Kuliah :
PERENCANAAN HUTAN
Disusun oleh :
Prof. Dr. Daud Malamassam
September, 2009
KATA PENGANTAR
Pembuat Modul,
ii
PETA KEDUDUKAN MODUL
Mata Kuliah Perencanaan Hutan
SASARAN
BELAJAR
MODUL V
Konsepsi, Kebijakan & Metode
Pelaksanaan Kegiatan
Perencanaan serta Monev
Pengelolaan Hutan
MODUL IV
Perencanaan Hutan di
Indonesia
PANDUAN PANDUAN
TUTOR TUGAS
MODUL III
Penetapan Tujuan dan Alternatif
Prioritas Kegiatan Pengelolaan
Hutan
MODUL II
Konsep Dasar Perencanaan
Pengelolaan Hutan Berbasis
Ekosistem
MODUL I
Pengertian dan Ruang Lingkup
iii
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL ..................................................................................... i
KATA PENGANTAR ................................................................................... ii
PETA KEDUDUKAN MODUL ..................................................................... iii
DAFTAR ISI ............................................................................................... iv
MODUL - 1 Pengertian dan Ruang Lingkup ..................................... M1 - 1
A. Pendahuluan ........................................................... 1
B. Materi Pembelajaran ............................................... 2
C. Indikator Penilaian ................................................... 10
D. Penutup .................................................................. 10
MODUL - 2 Konsep Dasar Perencanaan Pengelolaan Hutan
Berbasis Ekosistem ...................................................... M2 - 1
A. Pendahuluan ........................................................... 1
B. Materi Pembelajaran ............................................... 2
C. Indikator Penilaian ................................................... 22
D. Penutup .................................................................... 22
MODUL - 3 Penetapan Tujuan dan Alternatif Prioritas Kegiatan
Pengelolaan Hutan ...................................................... M3 - 1
A. Pendahuluan ........................................................... 1
B. Materi Pembelajaran ............................................... 2
C. Indikator Penilaian ................................................... 39
D. Penutup .................................................................... 40
MODUL - 4 Perencanaan Hutan di Indonesia ................................ M4 - 1
A. Pendahuluan ........................................................... 1
B. Materi Pembelajaran ............................................... 2
C. Indikator Penilaian ................................................... 11
D. Penutup .................................................................... 12
MODUL - 5 Konsepsi dan Metode Pelaksanaan Kegiatan
Perencanaan Kehutanan ............................................... M5 - 1
A. Pendahuluan ........................................................... 1
B. Materi Pembelajaran ............................................... 2
C. Indikator Penilaian ................................................... 21
D. Penutup ................................................................... 21
Tinjauan Pustaka ................................................................................ TP -1
LAMPIRAN
Lampiran 1. Rancangan Pembelajaran Berbasis SCL ....................... L-1
iv
Modul Perencanaan Hutan
MODUL - 1
PENGERTIAN DAN RUANG LINGKUP
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pertanyaan pertama yang muncul dalam benak setiap mahasiswa
(peserta didik), pada saat akan mempelajari suatu cabang ilmu tertentu, adalah
apa saja yang dipelajari dalam cabang ilmu itu, dan bagaimana keterkaitan
cabang ilmu tersebut dengan cabang ilmu yang lain atau bagaimana posisi
relatif cabang ilmu tersebut dalam khasana bidang ilmu tertentu. Pertanyaan
yang sama, patut diduga, akan dikemukakan oleh peserta mata kuliah
Perencanaan Hutan, khususnya oleh mahasiswa yang tergolong cukup kritis.
Jawaban terhadap pertanyaan ini, diharapkan dapat menjadi sumber
motivasi atau pendorong bagi mahasiswa untuk mempelajari mata kuliah
Perencanaan Hutan termaksud secara lebih bersungguh-sungguh. Dengan
memahami pengertian dan posisi relatif mata kulian (cabang ilmu)
Perencanaan Hutan dalam khasana ilmu-ilmu di bidang kehutanan, maka
setiap mahasiswa diharapkan dapat lebih serius dalam membelajari cabang
ilmu atau mata kuliah ini.
‘Lebih serius’ disini dimaksudkan bahwa setiap mahasiswa tidak hanya
bertumpu pada (hanya mengandalkan) bahan yang tercantum di dalam modul-
modul mata kuliah Perencanaan Hutan, tetapi juga berusaha untuk mencari
bahan-bahan lain dari berbagai sumber belajar yang tersedia, baik bahan-
bahan yang berwujud cetakan (buku-buku teks ataupun dokumen-dokumen
perencanaan), maupun bahan yang dapat di akses melalui media internet.
Pemahaman tentang posisi relatif ilmu atau mata kuliah Perencanaan
Hutan, dalam khasana ilmu-ilmu di bidang kehutanan, juga akan memberi
gambaran tentang kontribusi perencanaan hutan bagi pembangunan dan atau
pendayagunaan sumberdaya hutan, langsung atapun tidak langsung. Modul ini
berisi pembahasan tentang hal-hal yang telah dikemukakan di atas.
B. Ruang Lingkup Isi
Isi dari modul ini secara garis besar meliputi : (1) Pengertian Rencana
dan Perencanaan, dan (2) Ilmu Perencanaan Hutan beserta Ilmu-Ilmu
Pembentuknya.
C. Sasaran Pembelajaran Modul
Setelah mempelajari modul ini, mahasiswa diharapkan dapat memiliki
kompetensi yang diindikasikan oleh kemampuan dalam menjelaskan : (1)
Pengertian Perencanaan Hutan, dan (2) Posisi relatif Ilmu Perencanaan Hutan
dalam khasana Ilmu-Ilmu Kehutanan.
Optimalisasi Hasil
& Minimisasi
Dampak Negatif
PHL
(SFM
Gambar 2. Posisi relatif Ilmu Perencanaan Hutan dalam hirarki abstrak ilmu-ilmu
dasar dan ilmu-ilmu terapan dalam bidang kehutanan
2. Pengukuhan Kawasan
2. Ekonomi 2. Pengambilan hutan
Keputusan
3. Sosial 3. Penatagunaan
Kawasan Hutan
3. Pelaksanaan 4. Pembentukan
4. Analisis Keputusan Wilayah Pengelolaan
Kuantitatif Hutan
IV. PENUTUP
Modul ini diharapkan dapat menjadi acuan bagi para pihak yang terkait
dengan proses pembelajaran mata kuliah Perencanaan Hutan, khususnya yang
terkait dengan materi “Peranan Ilmu Perencanaan Hutan dalam mendukung
pengelolaan hutan”, untuk selanjutnya melakukan penelusuran berbagai
sumber belajar, baik dalam bentuk Buku teks, Dokumen-dokumen atau Laporan
hasil penelitian, Internet ataupun sumber-sumber lain. Dengan mengacu pada
modul ini maka proses pembelajaran diharapkan dapat berjalan secara efisien
dan efektif melalui peran aktif dari semua pihak terkait, khususnya mahasiswa.
MODUL - 2
KONSEP DASAR PERENCANAAN PENGELOLAAN HUTAN
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pada Modul terdahulu telah dijelaskan bahwa perencanaan hutan merupakan
bagian utama dan terutama dari pengelolaan hutan. Pengelolaan hutan yang optimal,
pada hakekatnya, hanya mungkin dilaksanakan jika didasarkan pada suatu perencanaan
yang baik dan benar, sedang perencanaan yang baik dan benar adalah perencanaan
yang dapat mengakomodir dan merefleksikan potensi atau daya dukung dari sumberdaya
hutan yang menjadi obyek pengelolaan.
Dengan pemahaman bahwa sumberdaya hutan, pada dasarnya, merupakan
salah satu bagian dari suatau ekosistem bentang alam, maka potensi ataupun daya
dukung dari sumberdaya hutan tidak bisa dipandang sebagai sesuatu yang berdiri sendiri,
melainkan harus dilihat dalam konteks keterkaitannya dengan ekosistem lain yang dapat
dipengaruhi dan atau dapat mempengaruhinya. Pengelolaan hutan harus memperhatikan
bentuk-bentuk keterkaitan termaksud, dan karena itu pula pengelolaan hutan harus
didasarkan pada prinsip-prinsip pengelolaan ekosistem bentang alam.
Sehubungan dengan itu pula, perencanaan hutan sejatinya dilandasi dengan
pemahaman atau pengetahuan tentang kondisi ekosistem bentang alam dimana hutan
yang menjadi obyek pengelolaan berada. Pemahaman atau pengetahauan termaksud
harus didasarkan pada hasil penelurusan secara menyeluruh dan hasil analisis yang
saksama terhadap komponen-komponen ekosistem hutan. Perpaduan antara
pengetahuan tentang potensi hutan dengan prinsip-prinsip pengelolaan hutan yang
sekaligus menjadi prinsip-prinsip perencanaan hutan, akan memungkinkan terlaksananya
perencanaan dan pengelolaan hutan secara optimum dan berkelanjutan. Modul ini berisi
pembahasan tentang hal-hal yang telah dikemukakan di atas.
B. Ruang Lingkup Isi
Isi dari modul ini secara garis besar meliputi : (1) Konsep pengelolaan hutan
berbasis ekosistem, (2) Prinsip-prinsip pengelolaan hutan, dan (3) Perencanaan Hutan
yang mendukung pengelolaan hutan berbasis ekosistem.
C. Sasaran Pembelajaran Modul
Setelah mempelajari modul ini, mahasiswa diharapkan dapat memiliki
kompetensi yang diindikasikan oleh kemampuan dalam menjelaskan konsep dasar
perencanaan pengelolaan hutan, dengan materi yang meliputi : (1) pengelolaan hutan
berbasis ekosistem, dan (2) prinsip-prinsip pengelolaan hutan, serta (3) perencanaan
hutan dan kaitannya dengan pengelolaan hutan berbasis ekosistem.
Gadow et. al. (2000) merumuskan beberapa prinsip pengelolaan hutan yang sejalan
dengan pengelolaan sumberdaya alam untuk pembangunan berkelanjutan, untuk lebih
melengkapi konsep PHL, sebagai berikut :
1. Pengelolaan hutan diarahkan untuk penggunaan sumberdaya ekosistem yang
berkelanjutan (sustainable use of ecosystem resources)
2. Pengelolaan hutan bersifat menyeluruh (holistic)
3. Pengelolaan hutan berbasis ekosistem (ecosystem based forest management)
4. Pengelolaan hutan dilakukan berlandaskan perspektif bentang alam (landscape
perspective)
5. Pengelolaan hutan diarahkan pada pencapaian tujuan multikriteria (multiple
objectives)
6. Pengelolaan hutan dilaksanakan dengan berlandaskan keterpaduan (integrated)
7. Pengelolaan hutan melibatkan partisipasi seluruh pihak terkait (includes participation
of all stakeholders)
8. Pengelolaan hutan berlandaskan pada proses monitoring (based on monitoring resuls)
9. Pengelolaan hutan bersifat adaptif (adaptive)
10. Pengelolaan hutan berlandaskan ilmu pengetahuan yang logis dan penilaian yang baik
(based on sound science and good judgement)
11. Pengelolaan hutan dilakukan dengan mempertimbangkan pengetahuan, emosi, dan
reaksi moral para pihak dalam pengambilan keputusan (takes cognitive, emotional and
moral reactions into account in decision making proces)
12. Pengelolaan hutan berlandaskan pada prinsip pencegahan dan kehati-hatian (based
on the precautionary principle)
Menurut Schlaepfer dan Elliot (2000) dalam von Gadow et al. (2000) keterpaduan dalam
pengelolaan sumber daya hutan mengandung beberapa makna sebagai berikut :
1. Mengembangkan kesepahaman tentang permasalahan dan kesepakatan tentang
tujuan-tujuan dengan mempertimbangkan cara pandang dan kepentingan yang
berbeda-beda mengenai aspek-aspek ekologi, ekonomi dan social,
2. Mengembangkan pemahaman bersama tentang kondisi sumberdaya yang terdapat
dalam kesatuan pengelolaan hutan, termasuk proses-proses dan interaksi di dalam
dan antar ekosistem dalam kesatuan pengelolaan,
3. Menghubungkan persoalan-persoalan yang muncul pada kesatuan skala kecil dengan
persoalan-persoalan pada kesatuan skala besar,
4. Memutuskan setiap tindakan berdasarkan hasil evaluasi terhadap seluruh
kemungkinan perkembangan kondisi ekologi, ekonomi dan sosial dalam setiap
kesatuan pengelolaan beserta lingkungannya dalam jangka panjang,
5. Menelaah akibat-akibat yang akan muncul dalam jangka menengah dan jangka
panjang dari suatu rencana tindakan jangka pendek,
6. Mensintesiskan konsep-konsep ilmu pengetahuan terkini yang tersedia dari berbagai
disiplin ilmu yang sejalan,
7. Menselaraskan kepentingan dan harapan para pemangku kepentingan seperti :
manajer, pengambil atau pembuat keputusan, ilmuwan dan masyarakat.
(4) Memahami kondisi lingkungan pada suatu waktu tertentu berdasarkan hasil evaluasi
tentang perkembangan populasi organisme kunci tertentu sebagai petunjuk bagi
kualitas lingkungan
(5) Mengembangkan pengetahuan tentang dinamika ekosistem.
(6) Meletakkan dasar bagi pengembangan alat atau teknologi yang efektif dalam
pengendalian serangga hama pertanian dan kehutanan.
Burrmann et al. (1966) mengibaratkan pengelolaan tanpa monitoring sama dengan
bermain sepak bola tanpa pencatatan skor pertandingan. Monitoring yang efektif akan :
(1) membantu pengelola untuk menindaklanjuti konsekuensi terhadap suatu tindakan
manajemen tertentu,
(2) mendapatkan informasi-informasi tentang kejadian-kejadian yang tidak diharapkan,
serta
(3) mengukur besarnya penyimpangan dari tujuan pengelolaan yang telah ditetapkan.
Dalam pengelolaan yang bersifat adaptif, monitoring berfungsi sebagai suatu proses
pembelajaran yang luas.
Monitoring dan evaluasi harus dapat dipertanggungjawabkan, baik secara ilmiah maupun
secara yuridis. Kualitas dan relevansi monitoring akan sangat tergantung pada tujuan,
rancangan dan metode pengukuran variabel, variabel yang digunakan, metode analisis
data, interpretasi hasil, dan metode desiminasi hasil yang diperoleh.
tiga macam fungsi utama dari setiap kesatuan hamparan lahan hutan yaitu : Hutan
Konservasi, Hutan Lindung dan Hutan Produksi.
Hutan Konservasi adalah kawasan hutan dengan ciri khas tertentu, yang mempunyai
fungsi pokok untuk pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa beserta
ekosistemnya. Hutan Lindung adalah kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok
sebagai perlindungan sistem penyangga kehidupan untuk mengatur tata air, mencegah
intrusi air laut dan memelihara kesuburan tanah. Hutan Produksi adalah kawasan hutan
yang fungsinya pokok memproduksi hasil hutan.
Agar setiap kawasan hutan tersebut di atas dapat berperan secara optimal, maka
penetapan luas dan letaknya harus dilakukan untuk setiap kesatuan bentang alam atau
wilayah yang sesuai. Dalam hal ini tingkat (level) kesatuan bentang alam yang
dipergunakan tidak harus sama, tetapi disesuaikan dengan fungsi pokok hutannya.
a. Penetapan letak dan keterwakilan hutan konservasi
Hutan konservasi berfungsi untuk pelestarian keanekaragaman tumbuhan dan satwa
serta ekosistemnya. Ketepatan letak dan kecukupan dalam hal macam, jumlah, dan
luasnya haruslah memenuhi syarat-syarat keterwakilan dari tingkat kesatuan bentang
alam tertentu yang memiliki ciri-ciri kesamaan dalam keanekaragaman tumbuhan, satwa
dan tipe ekosistemnya. Kesatuan bentang alam yang cocok untuk ini adalah kesatuan
wilayah ekologis (ecoregion), yaitu kesatuan bentang alam yang memiliki kesamaan
dalam keanekaragaman tumbuhan, satwa dan tipe ekosistemnya.
b. Penetapan letak dan kecukupan luas hutan lindung
Hutan lindung berfungsi untuk perlindungan sistem penyangga kehidupan dan
pengaturan tata air, pencegahan banjir, pengendalian erosi, pencegahan intrusi air laut
dan pemeliharaan kesuburan tanah. Ketepatan letak hutan lindung didasarkan atas sifat-
sifat fisik hutan yang meliputi : ketinggian tempat dari muka laut, tingkat kepekaan tanah
terhadap erosi, kemiringan lapangan dan intensitas hujan, serta posisi spesifik dari suatu
hamparan lahan tertentu, seperti sempadan sungai atau sumber mata air. Selain
kecukupan berdasarkan letaknya, luas hutan lindung juga harus mencukupi luas minimal
tertentu.
Kesatuan bentang alam yang dapat dimanfaatkan untuk keperluan ini adalah kesatuan
wilayah kehidupan (bioregion), yaitu kesatuan bentang alam yang kompak dan memiliki
karakteristik biofasik sama, sehingga memerlukan satu sistem penyangga kehidupan
yang sama dalam hal pengaturan tata air, pencegahan banjir, pengendalian erosi,
pencegahan intrusi air laut dan pemeliharaan kesuburan tanah. Kesatuan bentang alam
yang cocok untuk ini adalah DAS, yaitu suatu kesatuan daerah atau lahan yang dialiri
oleh satu sungai utama atau satu jaringan sungai-sungai dengan satu sungai utama
(Helms, 1998)
4. Memadukan ilmu pengetahuan yang cukup dan tepat dengan kearifan lokal
melalui proses pembelajaran yang bersifat dinamis
Setiap kesatuan ekosistem hutan memiliki karakteristik biofisik dan keadaan
ekonomi serta sosial budaya masyarakat yang bersifat spesifik. Sejalan dengan itu,
permasalahan yang muncul dalam setiap kesatuan ini akan bersifat kompleks dan
berbeda dengan permasalahan yang muncul dalam kesatuan ekosistem di luarnya.
Perencanaan Pengelolaan Hutan Berbasis Ekosistem M2 - 17
Modul Mata Kuliah Perencanaan Hutan
Untuk menjawab permasalahan dalam setiap kesatuan ekosistem hutan diperlukan ilmu
pengetahuan dalam bidang-bidang yang sesuai. Namun ilmu pengetahuan yang tersedia
seringkali tidak cukup memadai untuk menjawab keseluruhan permasalahan yang
dihadapi. Sehubungan dengan itu diperlukan informasi mengenai kearifan lokal
masyarakat (local knowledge) yang diharapkan dapat melengkapi ilmu pengetahuan yang
ada dalam menjawab permasalahan yang dihadapi. Jawaban yang tepat terhadap
semua persoalan yang dihadapi tidak mungkin diperoleh secara pasti melalui proses
yang bersifat statis. Untuk itu diperlukan suatu proses pembelajaran bersama (pengelola,
pengambil keputusan dan masyarakat) yang bersifat berkelanjutan (terus menerus) dan
dinamis.
fungsi penggunaan hutan, kebutuhan bahan baku industri kehutanan, keadaan dan
kepentingan masyarakat, serta arah dan program pembangunan daerah.
Gambar 4 hanya memperlihatkan sebagian dari kesatuan-kesatuan analisis yang
digunakan dalam penentuan preskripsi pengelolaan hutan.
Untuk mendapatkan gambaran umum mengenai peran setiap kesatuan analisis dalam
mendukung setiap tahapan dalam kegiatan Perencanaan Hutan di Indonesia, pada Tabel
2 disajikan deskripsi ringkas tentang kesatuan analisis, wujud fisik kesatuan analisis,
fungsi setiap unit analisis dalam pengelolaan hutan, serta tahapan kegiatan dalam
perencanaan kehutanan yang berhubungan dengan kesatuan analisis tersebut.
Denah Ven pada Gambar 4 merupakan sebuah contoh hipotesis penerapan konsep
mengenai ciri-ciri perencanaan hutan yang sejalan dengan prinsip pengelolaan hutan
berbasis ekosistem.
Konsepsi dan tahapan analisis dalam perencanaan hutan yang dikemukakan di depan
merupakan konsepsi dan tahapan ideal, yang hanya dapat digunakan pada wilayah-
wilayah yang sama sekali belum dilakukan penetapan status yuridis tanah dan penataan
ruang (wilayah). Pada keadaan ini, pengukuhan hutan (penetapan hutan tetap) baru
dapat dilakukan setelah penatagunaan hutan selesai dilakukan dalam setiap bentang
alam yang sesuai.
Pendekatan seperti ini bersifat fungsional dan merupakan pendekatan ideal dalam
mendapatkan fungsi optimal ekosistem hutan. Dalam prakteknya penetapan fungsi
penggunaan hutan dilakukan setelah status lahan secara yuridis selesai dilakukan atau
status yuridis lahan sudah ditentukan. Dengan demikian penetapan fungsi penggunaan
hutan hanya dilakukan pada lahan milik negara yang ditetapkan sebagai hutan.
Sementara penetapan lahan negara sebagai hutan tidak sepenuhnya berdasarkan
kebutuhan yang ditentukan dengan pendekatan fungsional sebagaimana disebutkan di
depan. Dalam keadaan seperti ini, fungsi ekosistem hutan dalam mendukung sistem
kehidupan dari suatu bentang alam tertentu menjadi terbatas. Pendekatan seperti ini
bersifat yuridis oleh karena dimulai dari status yuridis kepemilikan lahannya.
Keadaan di Indonesia merupakan perpaduan dari kedua keadaan yang dikemukakan di
atas. Penetapan fungsi penggunaan hutan dilakukan setelah penetapan status lahan
hutan secara yuridis. Jadi penatagunaan hutan dilakukan hanya pada hutan negara saja.
Namun status lahan sebagai hutan negara pun pada sebagian besar lahan hutan negara
belum dikukuhkan. Dengan demikian batas-batas kawasan hutan negara secara yuridis
belum memiliki kekuatan dan secara fisik di lapangan juga tidak ada. Batas-batas
kawasan hutan hanya ada di peta, itulah sebabnya kegiatan pengukuhan hutan dan
penatagunaan hutan di Indonesia dilakukan secara bersamaan.
Tabel 2. Deskripsi ringkas tentang peran berbagai kesatuan analisis dalam Perencanaan
Kehutanan
- Penyesuaian kegi-
Wilayah adminis- atan pengelolaan Penetapan preskripsi
5. Kesatuan Wilayah
trasi pemerintahan hutan dgn Propeda pengelolaan seluruh
Administrasi
tkt provinsi & atau kesatuan KPH (KPHK,
Pemerintahan - Penunjang efekti-
kabupaten/kota KPHL dan KPHP)
vitas pengelolaan
IV. PENUTUP
Modul ini diharapkan dapat menjadi acuan bagi para pihak yang
terkait dengan proses pembelajaran mata kuliah Perencanaan Hutan,
khususnya yang terkait dengan materi “Konsep Dasar Perencanaan
Pengelolaan Hutan”, dalam melakukan penelusuran berbagai sumber
belajar, baik dalam bentuk Buku teks, Dokumen-dokumen atau Laporan
hasil penelitian, Internet ataupun sumber-sumber lain. Dengan mengacu
pada modul ini maka proses pembelajaran diharapkan dapat berjalan secara
efisien dan efektif melalui peran aktif dari semua pihak terkait, khususnya
mahasiswa.
MODUL - 3
PENETAPAN TUJUAN DAN ALTERNATIF PRIORITAS
KEGIATAN PENGELOLAAN HUTAN
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Hal yang pertama harus ditentukan dalam suatu proses perencanaan adalah
tujuan. Tujuan akan mendasari potensi atau sumberdaya apa saja yang dapat digunakan
dan kegiatan apa saja yang dapat dilakukan untuk mencapai tujuan tersebut. Hal inipun
berlaku dalam perencanaan pengelolaan hutan. Tujuan pengelolaan hutan pada
dasarnya diarahkan pada pencapaian fungsi dan manfaat hutan yang optimal, dimana
fungsi dan manfaat optimal termaksud hanya mungkin dicapai atau diwujudkan jika
pengelolaan dan atau pendayagunaan sumberdaya hutan diselenggarakan tanpa
melampaui potensi atau daya dukungnya.
Untuk mewujudkan pemanfaatan sumberdaya hutan yang optimum termaksud
di atas, secara umum terdapat sejumlah alternatif kegiatan atau rangkaian kegiatan yang
dapat dipilih untuk dilakukan oleh pihak pengelola. Dalam kaitan dengan hal ini, pihak
pengelola akan memilih kegiatan atau rangkaian kegiatan yang diyakininya merupakan
pilihan prioritas yang dapat menjamin tercapainya tujuan pengelolaan yang diinginkan.
Mudah dipahami bahwa kesalahan dalam memilih dan menentukan kegiatan
pengelolaan hutan yang perlu diberi skala prioritas yang lebih tinggi, pada dasarnya akan
berkonsekuensi pada tidak tercapainya tujuan pengelolaan hutan secara optimal. Modul
ini berisi pembahasan tentang metode-metode yang dapat digunakan atau kriteria yang
dapat mendasari pemilihan kegiatan (rangkain kegiatan) pengelolaan hutan yang
seharusnya diberi prioritas utama untuk dilaksanakan, agar tujuan pengelolaan
termaksud dapat diwujudkan secara optimal
B. Ruang Lingkup Isi
Isi dari modul ini secara garis besar meliputi : (1) Penetapan Tujuan
Pengelolaan Hutan, (2) Identifikasi Alternatif kegiatan Pengelolaan Hutan, dan (3)
Preskripsi pengelolaan Hutan.
C. Sasaran Pembelajaran
Setelah mempelajari modul ini, mahasiswa diharapkan dapat memiliki
kompetensi yang diindikasikan oleh kemampuan dalam : (1) menjelaskan dengan
contoh metode-metode penetapan tujuan, (2) menjelaskan faktor-faktor yang
dipertimbangkan dalam mengidentifikasi alternatif kegiatan pengelolaan hutan, dan (3)
menjelaskan dengan contoh penetapan preskripsi pengelolaan hutan.
c. Hutan Produksi : Kawasan hutan dengan fungsi pokok untuk memproduksi hasil
hutan, yaitu benda-benda hayati, non hayati dan turunannya, serta jasa yang berasal
dari hutan. Hutan Produksi dibedakan atas Hutan Produksi Terbatas, Hutan Produksi
Biasa dan Hutan Produksi yang Dapat Dikonversi, dengan fungsi pokok masing-
masing sebagai berikut :
c1. Hutan Produksi Terbatas : hutan produksi yang dapat dimanfaatkan secara
terbatas (intensitas tertentu), yaitu pada tingkat pemanfaatan yang masih
meninggalkan keadaan tegakan hutan dengan kualitas minimal tertentu yang
dapat berfungsi dalam memberikan perlindungan terhadap tata air, erosi tanah,
dan pemeliharaan kesuburan tanah pada wilayah di sekitarnya.
c2. Hutan Produksi Biasa : hutan produksi yang dapat dimanfaatkan secara
maksimal pada tingkat yang masih dapat menjamin kelestarian hutan
c2. Hutan Produksi yang Dapat Dikonversi : hutan produksi yang dapat dimanfaatkan
dan dikonversi peruntukannya untuk keperluan di luar kehutanan, misalnya untuk
perkebunan, transmigrasi dll
Fungsi-fungsi hutan yang uraikan di atas adalah fungsi-fungsi utama dari masing-
masing KPH sesuai dengan peruntukannya. Selain fungsi-fungsi utama tersebut,
setiap KPH pada dasarnya dituntut untuk memberikan fungsi-fungsi ekonomi, ekologi
dan sosial secara simultan. Sehubungan dengan itu, perumusan tujuan pengelolaan
hutan pada hakekatnya diarahkan pada optimalisasi fungsi ekosistem hutan, yang
meliputi fungsi ekonomi, ekologi dan sosial.
Pohon pinus ditanam dan dijual secara berkelompok pada setiap petak yang luasnya
0,7Ha dan berisi 1.000 pohon, sedang untuk penggemukan setiap satu ekor sapi
dibutuhkan 1,85 Ha.
Pak Jack adalah petani yang memiliki banyak kesibukan, sehingga hanya dapat
menyediakan 200 jam per tahun untuk mengurus tanah miliknya
Berdasarkan pengalaman diketahui bahwa pengurusan pohon per petak (menanam,
memelihara, memanen dan mengemas) membutuhkan waktu 20 jam, sedang
pemeliharaan/penggemukan setiap ekor sapi memerlukan waktu 20 jam.
Total anggaran yang tersedia untuk membiayai kegiatan ini adalah Rp.120.000.000,-
Biaya tahunan untuk budidaya pohon adalah Rp.300.000,- per petak tanaman dan untuk
penggemukan sapi dibutukan biaya sebesar Rp.2.400.000,- per ekor
Untuk pemasaran sapi, Pak Jack telah membuat kesepakatan untuk memasok minimal 2
ekor sapi per tahun kepada tetangganya.
Berdasarkan tingkat harga yang berlaku pada saat penyusunan rencana diperkirakan
bahwa keuntungan bersih yang akan diperoleh adalah adalah sebesar Rp.5.000,- per
pohon atau Rp.5.000.000,- per petak tanaman pinus, dan Rp.10.000.000,- per ekor sapi.
Dari kasus / permasalahan tersebut di atas dapat dibuat identifisikasi dan pernyataan
permasalahan secara matematis sebagai berikut :
1. Pembuat keputusan : Pak Jack
2. Tujuan : Memaksimalkan pendapatan dari kegiatan usaha
3. Kriterium Tujuan : Nilai uang (Rp) dari pendapatan bersih per tahun
4. Kegiatan dan Peubah Keputusan :
• Kegiatan Penggemukan sapi
Peubah Keputusan : X1 = jumlah sapi yang dibesarkan per tahun
• Kegiatan budidaya pinus
Peubah Keputusan : X2 = Jumlah petak tanaman yang berisi 1.000 pohon pinus
yang dibudidayakan per tahun
5. Fungsi Tujuan :
Maksimumkan Z = pendapatan bersih per tahun (Rp.1000.000) per tahun
dimana Z = 10 X1 + 5 X2
6. Kendala-kendala
• Kendalah lahan : tersedia 11,5 Ha
□ Penggemukan sapi : 1,85 Ha per ekor
□ Budidaya pinus : 0,7 Ha per petak tanaman Æ1.000 phn per petak
Pernyataan matematis : 1,85 X1 + 0,7 X2 ≤ 11,15
• Kendala anggaran : tersedia Rp.120.000.000 per tahun
□ Penggemukan sapi : Rp.2.400.000,- per ekor per tahun
□ Budidaya pinus : Rp. 300.000,- per petak tanaman per tahun
Pernyataan matematis : 2.400.000 X1 + 300.000 X2 ≤ 120.000.000
Berdasarkan hal-hal yang telah dipaparkan di atas, dapat dibuat ringkasan pernyataan
permasalahan ini sebagai berikut :
Maksimumkan Z untuk Z = 10.000.000 X1 + 5.000.000 X2
dimana X1 = jumlah sapi yang digemukkan (ekor per tahun)
X2 = jumlah tanaman pinus yang dibudidayakan (petak per tahun)
Dengan kendala-kendala sebagai berikut :
a) Lahan : 1,85 X1 + 0,70 X2 ≤ 11,15
b) Anggaran : 2.400.000 X1 + 300.000 X2 ≤ 120.000.000
c) Waktu : 20 X1 + 20 X2 ≤ 200
d) Kontrak : X2 ≥ 2
e) Non negatif : X1 ≥ 0 dan X2 ≥ 0
Dari hasil inventarisasi diperoleh data luas dan volume tegakan sebagai berikut :
1. Luas Areal
Tegakan Tipe-1 (Tanaman) = 2.000 Ha
Tegakan Tipe-2 (Tegakan kayu pertukangan tua) = 4.000 Ha
Tegakan Tipe-3 (Tegakan kayu pertukangan lewat masak tebang = 1.200 Ha
Total luas = 7.200 Ha
Berdasarkan hasil inventarisasi ditetapkan pula bahwa dalam rangka lebih menjamin
kondisi habitat yang dapat mendukung upaya pelestarian populasi satwa liar yang
ada maka perlu ada pembatasan penebangan pada setiap tegakan dalam setiap
periode penebangan, yaitu masing-masing sebagai berikut : Tipe-1 tidak lebih dari
800 Ha, Tipe-2 tidak lebih dari 1.800 Ha dan Tipe-3 tidak lebih dari 500 Ha.
Identifikasi dan perumusan masalah secara matematis :
a) Pembuat Keputusan : Kadishut
b) Tujuan-Tujuan :
• Memaksimumkan hasil panen kayu secara lestari
• Mengelola habitat untuk pemeliharaan satwa liar
c) Kriteria Tujuan
• Total kayu yang dihasilkan dalam setiap periode penebangan 10 tahunan
sama, selama rotasi tebang (30 tahun)
• Sebaran tegakan menurut umur dan tipe tegakan memenuhi standar untuk
habitat satwa liar
d) Kegiatan dan Peubah Keputusan
X11 = Luas areal tebangan (Ha) pada Tipe-1 dalam periode penebangan 1
X21 = Luas areal tebangan (Ha) pada Tipe-2 dalam periode penebangan 1
X31 = Luas areal tebangan (Ha) pada Tipe-3 dalam periode penebangan 1
X12 = Luas areal tebangan (Ha) pada Tipe-1 dalam periode penebangan 2
X22 = Luas areal tebangan (Ha) pada Tipe-2 dalam periode penebangan 2
X32 = Luas areal tebangan (Ha) pada Tipe-3 dalam periode penebangan 2
X13 = Luas areal tebangan (Ha) pada Tipe-1 dalam periode penebangan 3
X23 = Luas areal tebangan (Ha) pada Tipe-2 dalam periode penebangan 3
X33 = Luas areal tebangan (Ha) pada Tipe-2 dalam periode penebangan 3
Fungsi Tujuan
Maksimumkan Z (Total hasil tebangan dalam m3), untuk :
Z = 30X11 + 120X21 + 250X31 + 100X12 + 170X22 + 220X32 + 300X13 + 200X23 +
180X33
e) Kendala-Kendala :
• Total luas tebangan (Ha) pada setiap tipe tegakan
Tipe-1 : X11 + X12 + X13 ≤ 2.000
Tipe-2 : X21 + X22 + X23 ≤ 4.000
Tipe-3 : X31 + X32 + X33 ≤ 1.200
• Volume hasil tebangan (m3) dalam setiap periode penebangan
Periode 1 ( 0 – 10 tahun) : 30X11 + 120X21 + 250X31 = 400.000
Periode 1 (11 – 20 tahun) : 100X12 + 170X22 + 220X32 = 400.000
Periode 1 (21 – 30 tahun) : 300X13 + 200X23 + 180X33 = 400.000
• Luas tebangan (Ha) dalam setiap periode penebangan
Periode 1 ( 0 – 10 tahun) : X11 + X21 + X31 = 2.400
Periode 1 (11 – 20 tahun) : X12 + X22 + X32 = 2.400
Periode 1 (21 – 30 tahun) : X13 + X23 + X33 = 2.400
• Pembatasan luas penebangan (Ha) per tipe hutan per periode penebangan
Periode 1 ( 0 – 10 tahun) : X11 ≤ 800 ; X21 ≤ 1.800 ; X31 ≤ 500
Periode 1 (11 – 20 tahun) : X11 ≤ 800 ; X21 ≤ 1.800 ; X31 ≤ 500
Periode 1 (21 – 30 tahun) : X11 ≤ 800 ; X21 ≤ 1.800 ; X31 ≤ 500
• Syarat non negatif untuk peubah keputusan :
Xij ≥ 0 , untuk i = 1, 2, 3 dan j = 1, 2, 3
tentang peluang masing-masing tidak diketahui maka tidak ada alasan untuk
menyatakan bahwa peluang untuk masing-masing kegiatan adalah tidak sama. Atas
dasar itulah, maka menurut prinsip ini, besarnya peluang untuk setiap kejadian adalah
sama yaitu 1/n , sehingga :
p(θ1) = p(θ2) = p(θ3) = .................... = p(θn) = 1/n
Ilustrasi tentang kriterium dapat dilihat pada contoh kasus berikut ini :
Jumlah fasilitas yang harus disediakan suatu perusahan rekreasi harus ditetapkan
berdasarkan tingkat persediaan yang harus tersedia untuk dapat memenuhi kebutuhan
pengunjung (wisatawan) pada setiap hari (atau hari-hari) libur tertentu. Jumlah
konsumen yang akan datang dalam setiap hari libur tidak diketahui secara pasti, akan
tetapi diharapkan akan berkisar antara empat besaran harapan tingkat pengunjung (θ)
yaitu : θ1 = 200 orang, θ2 = 250 orang, θ3 = 300 orang, dan θ4 = 350 orang, dimana
peluang setiap tingkat pengunjung tidak diketahui.
Untuk mengantisipasi setiap kemungkinan banyaknya pengunjung ini dapat dipilih salah
satu dari empat tingkat persediaan fasilitas yang ideal, yaitu jumlah fasilitas yang sesuai
dengan jumlah pengunjung.
Perbedaan antara jumlah fasilitas dengan jumlah pengunjung akan berkonsekuensi pada
pertambahan biaya, baik ketika jumlah fasilitas kurang maupun ketika jumlah fasiltas
berlebih
Misalkan jumlah biaya tambahan yang mungkin timbul sebagai akibat dari terjadinya
perbedaan tersebut di atas untuk semua kombinasi tingkat persediaan fasilitas (a1 =
rendah, a2 = sedang, a3 = tinggi dan a4 = sangat tinggi) dengan kemungkinan kejadian
tingkat pengunjung (θ1, θ2, θ3, dan θ4) adalah seperti pada tabel berikut :
Tabel. Biaya tambahan (Rp.1jt) untuk setiap kombinasi tingkat persediaan fasilitas dan
tingkat pengunjung harapan
Kategori Pengunjung
Tingkat Persediaan Fasilitas
θ1 θ2 θ3 θ4
a1 5 10 18 25
a2 8 7 8 23
a3 21 18 12 21
a4 30 22 19 15
Berdasarkan prinsip Laplace dapat dihitung nilai harapan biaya untuk setiap alternatif
tingkat persediaan fasilitas adalah :
Alternatif a1 : E(ca1, θ) = ¼ ( 5 + 10 + 18 + 25) = 14,5
Kriterium Minimaks
Kriterium ini dapat dijelaskan dengan menggunakan contoh kasus ’biaya persediaan
fasilitas (dalam jutaan rupiah)’ yang telah dikemukan sebelumnya, seperti yang tersaji
pada tabel berikut ini
Kriterium Maksimin
Kriterium ini dapat dijelaskan dengan merubah konteks contoh kasus di atas dengan
’tingkat keuntungan atau perolehan bersih dari usaha penyediaan fasilitas (dalam jutaan
rupiah)’, seperti yang tersaji pada tabel berikut ini
Untuk menjelaskan penerapan kriterium ini, dapat digunakan mariks asal (C) pada
permasalahan penentuan tingkat persediaan fasilitas rekreasi sebagai berikut :
Dari matriks asal tersebut dapat dibuat matriks penyesalan R sebagai berikut :
Nilai R utk ai & θj θ1 θ2 θ3 θ4 Maks {R(ai,θj)}
a1 0 3 10 10 10
a2 3 0 0 8 8
a3 16 11 4 6 16
a4 25 15 11 0 25
Maksimum ( 0, 3, 10, 10) = 10
Maksimum ( 3, 0, 0, 8) = 8 Minimum (10, 8, 16, 25) = 8
Maksimum (16, 11, 4, 6) = 16 ÆKriterium Minimaks Penyesalan
Maksimum (25, 15, 11, 0) = 15
Jadi solusi optimum untuk permasalahan ini berdasarkan kriterium Minimaks Penyesalan
adalah a2
Kriterium Hurwicz
Kriterium ini merupakan pengambilan keputusan yang didasarkan pada sikap yang
berada diantara sikap optimistik dan sikap pesimistik. Sikap optimisktik akan memilih
Kriterium Masksimaks, sedang sikap pesimistik lebih memilih Kriterium Maksimin.
Penerapan Kriterium Hurwicz dilakukan dengan cara memberi bobot pada sikap
optimistik dan sikap pesimistik. Faktor pembobot untuk sikap optimistik adalah α, sedang
faktor pembobot untuk sikap pesimistik adalah 1- α.
Faktor pembobot α disebut indeks optimistik (index of optimism). Nilai α = 1 bermakna
kriterium menjadi sangat optimistik, sebaliknya nilai α = 0 bermakna Kriterium menjadi
sangat pesimistik.
c) Kelompok rasionalis memilih a1 (maksimum nilai harapan NPV dengan peluang sama
untuk setiap sj); yaitu Maksimum E{g(ai,sj}
a1. E ( 20, 60, 100) = 60
a2. E ( -50, 80, 130) = 53,3 Æ Maksimum (60, 53,3, -150) = 60
a3. E (-400,-200, 150) = -150
d) Kelompok politikus memilih a1 (minimum dari kemungkinan penyesalan terhadap nilai
yang bersifat maksimum untuk setiap sj ;
a1. Maksimum (0, 20, 50) = 50
a2. Maksimum (70, 0, 20) = 70 Æ Minimum (50, 70, 420) = 50
a3. Maksimum (420, 280, 0) = 420
Hasil-hasil di atas menunjukkan bahwa keputusan optimal untuk dua kelompok
pengambil keputusan dapat saja sama. Namun patut dicatat bahwa kesamaan tersebut
tidaklah merupakan suatu keharusan tetapi hanya terjadi secara kebetulan.
Gambaran tentang pohon keputusan ini dapat diilustrasikan dengan contoh sebagai
berikut (Taha, 1982) :
Sebuah perusahaan akan membangun hutan tanaman (semacam Hutan Rakyat) pada
sebidang lahan. Sekaitan dengan itu, ada dua pilihan, yaitu (1) penanaman seluruh lahan
secara sekaligus atau (2) penanaman sebagian lahan pada tahap-1 untuk kemudian
dikembangkan pada tahap berikutnya.
Keputusan tentang tingkat penanaman ini dibuat berdasarkan tingkat permintaan
terhadap kayu yang akan dihasilkan (besar atau kecil) pada saat pemanenan.
Penanaman seluruh lahan secara sekaligus dapat dibenarkan jika tingkat permintaan
terhadap kayu yang dihasilkan kelak akan tinggi. Sebaliknya apabila tingkat permintaan
kayu nantinya rendah, maka penanaman secara bertahap akan merupakan keputusan
yang optimal, dimana pada tahap-1 dilakukan penanaman pada sebagian kecil lahan,
dan setelah dua tahun dilakukan evaluasi untuk pengambilan keputusan tahap-2, yaitu
apakah penanaman perlu dikembangkan atau tidak. Periode kegiatan ditetapkan 10
tahun.
Proses pengambilan keputusan secara keseluruhan untuk permasalahana seperti ini
dapat digambarkan secara skhematis dalam bentuk pohon keputusan. Untuk dapat
membuat pohon keputusan diperlukan dua macam (tipe) simpul, yaitu :
a) Simpul untuk titik atau proses pengambilan keputusan (decision making process),
dilambangkaan dengan bujur sangkar (▢). Simpul ini akan menghasilkan sejumlah
alternatif kegiatan yang dapat dipilih dan dilambangkan dengan tanda panah (Æ).
b) Simpul untuk menggambarkan kemungkinan keadaan atau kejadian (event chance),
digambarkan dengan lingkaran (o). Simpul ini akan menghasilkan sejumlah
kemungkinan keadaan di masa yang akan datang yang dilambangkan dengan tanda
panah (Æ).
Dengan menggunakan simpul dan lambang tersebut di atas maka selanjutnya dapat
digambarkan hubungan antar alternatif kegiatan dan kemungkinan keadaan di masa
mendatang dalam satu periode keputusan seperti pada gambar berikut ini.
Untuk pembuatan keputusan melalui teknik denah pohon diperlukan informasi tentang :
a) Peluang terjadinya setiap kemungkinan keadaan di masa yang akan datang, yaitu
masa setelah jangka waktu tertentu setelah pengambilan keputusan
b) Biaya dan pendapatan untuk setiap alternatif kegiatan yang akan dipilih
Misalkan untuk contoh permasalahan di atas diketahui bahwa nilai peluang, biaya dan
pendapatan adalah sebagai berikut :
a) Peluang terjadinya tingkat permintaan tinggi dan tingkat pendapatan rendah selama
periode usaha (10 tahun ke depan) adalah masing-masing 0,75 dan 0,25
2
1 5
4
3 6
b) Kebutuhan biaya :
• Pembangunan tanaman skala besar (sekaligus) : Rp.50 milyar
• Pembangunan tanaman secara bertahap
9 Tahap pertama : Rp.10 milyar
9 Tahap kedua (dua tahun setelah pembangnan tahap pertama) : Rp.42 milyar
c) Prakiraan pendapatan tahunan untuk setiap alternatif kegiatan adalah :
• Pembangunan tanaman skala besar
9 Permintaan tinggi : Rp.10 milyar
9 Permintaan rendah : Rp.3,0 milyar
2
1 5
4
3 6
Gambar 3.2. Diagram pohon keputusan, dilengkapi dengan biaya dan pendapatan
Berdasarkan informasi di atas, maka diagram pohon keputusan untuk permasalahan ini
dapat dilengkapi seperti yang tersaji pada Gambar 3.2.
Berdasarkan nilai-nilai pada diagram keputusan, maka selanjutnya dapat dilakukan
evaluasi pada simpul keputusan tahap pertama dan simpul keputusan tahap kedua.
Selanjutnya keputusan dibuat dengan menggunakan kriterium nilai harapan (untuk
keuntungan bersih).
Evaluasi dilakukan mulai dari tahapan ”bernomor besar” dan secara berturut-turut diikuti
dengan tahapan yang lebih kecil. Untuk permasalahan di atas evaluasi dimulai dari tahap
kedua, baru kemudian dilanjutkan dengan evaluasi tahap pertama.
Evaluasi Tahap Kedua
Evaluasi dilakukan untuk membandingkan penanaman dengan pengembangan dengan
penanaman tanpa pengembangan, pada pembangunan tanaman skala kecil (bertahap).
Nilai harapan keuntungan (E) dapat diketahui melalui perhitungan sebagai berikut :
E(keuntungan bersih\ pengembangan) = 8 x (9M x 0,75 + 2M x 0,25) – 42M = Rp.16M
E(keuntungan bersih\ tanpa pengembangan) = 8 (2,5M x 0,75 + 2M x 0,25 ) = Rp.19M
Berdasarkan nilai harapan keuntungan bersih yang diperoleh maka dapat ditetapkan
bahwa penanaman tanpa pengembangan merupakan keputusan optimum pada tahap
Kedua, dengan nilai harapan keuntungan sebesar Rp.19M
(1) Peubah-peubah apa sajakah yang harus diperhatikan sebagai representasi dari
aspek-aspek ekonomi, ekologi, dan sosial-budaya ekosistem hutan yang akan
dikelola ?
(2) Berapa besar peran (nilai dan tingkat kepentingan) yang diharapkan dari setiap
peubah yang diperhatikan itu harus diberikan untuk mendapatkan tujuan
pengelolaan yang bersifat optimal ?
(3) Kegiatan-kegiatan apa sajakah yang perlu dikembangkan dalam pengelolaan hutan
untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan ?
Informasi yang diperlukan untuk menjawab permasalahan tersebut, yaitu berupa data
empiris hasil berbagai penelitian atau pengalaman, pada tempat-tempat tertentu mungkin
sudah diketahui sehingga dapat dipergunakan sebagai dasar pembuatan keputusan
dengan menggunakan teknik pengambilan keputusan yang sudah dibicarakan. Akan
tetapi pada sebagian besar lokasi hutan(dengan karakteristik yang bersifat spesifik) bisa
dipastikan belum banyak diketahui. Sebagaimana telah diutarakan di muka,
penyelesaian permasalahan seperti ini dapat dipergunakan dengan bantuan pakar.
Ada banyak permasalahan mendasar yang perlu diperhatikan dalam proses pembuatan
keputusan dengan bantuan pakar, misalnya :
(1) Kelompok-kelompok mana saja yang harus dilibatkan sebagai pakar dalam proses
pengambilan keputusan agar kelompok-kelompok yang berkepentingan terhadap
permasalahan yang dihadapi terwakili ?
(2) Berapa banyak dan bagaimana cara pemilihan tokoh pakar yang akan dilibatkan
dalam proses pengambilan keputusan agar persepsi, harapan dan keinginan
masyarakat dalam setiap kelompok tersebut terwakili? Dan banyak lagi
permasalahan dasar seperti ini !
Permasalahan-permasalahan dasar seperti itu banyak dibahas dalam sejumlah buku-
buku teks bidang sosial, dan secara khusus dalam Metode Penelitian Sosial. Dalam
kaitan dengan Ilmu Perencanaan Hutan salah satu teknik pengambilan keputusan yang
digunakan adalah teknik pengambilan keputusan multikriteria, yang disebut teknik
Analitic Hierarchy Process (AHP)
Proses pengambilan keputusan dengan melibatkan pakar sebenarnya dapat dilakukan
dengan cara diskusi atau pengambilan suara terbanyak (voting). Namun kedua cara ini
dapat bersifat tidak obyektif apabila terjadi dua hal sebagai berikut :
(1) Sikap atau perhatian para pakar yang terlibat berbeda-beda. Sikap dan perhatian
pakar terhadap permasalahan yang dibahas akan menentukan kegigihan, atau
bahkan tingkat kengototan pakar dalam diskusi. Padahal dalam diskusi,
kesimpulan-kesimpulan diskusi akan sangat ditentukan oleh pendapat pakar-pakar
Penetapan Tujuan dan Prioritas Alternatif Kegiatan Pengelolaan Hutan M3 - 61
Modul Mata Kuliah Perencanaan Hutan
yang cenderung lebih gigih dari pada pakar yang bersikap pasif karena kurang
tertarik pada permasalahan yang didiskusikan, walaupun pakar yang termaksud
terakhir ini sebenarnya lebih mengetahui dan lebih memahami permasalahan dari
pakar yang aktif dan gigih. Apabila keadaan ini terjadi maka kesimpulan diskusi
dapat bersifat tidak obyektif oleh karena akan berbias kepada pengetahuan,
pemahaman dan kepentingan kelompok pakar yang aktif dan gigih tetapi
sebenarnya kuran memahami permasalahan yang dibahas.
(2) Pengetahuan, pemahaman terhadap informasi serta daya nalar para pakar sangat
beragam dengan perbedaan yang sangat besar. Keadaan kumpulan pakar seperti
ini akan menjadi kelemahan dalam proses pengambilan keputusan dengan prinsip
suara terbanyak (voting). Dalam pengambilan keputusan dengan suara terbanyak,
prinsip dasar yang lazim dianut adalah one-man one-vote, sehingga suara dihitung
dalam pengambilan keputusan sama untuk semua pakar. Akibatnya, kualitas
kebutusan akan berbias terhadap persepsi, pengetahuan, pemahaman dan
kepentingan pakar yang sebetulnya tidak menguasai permasalahan yang dihadapi.
Besarnya nias yang terjadi tentu akan bergantung pada proporsi anggota-amggota
pakar yang terdapat dalam setiap kelompok, yaitu pakar yang menguasai dan yang
tidak menguasai permasalahan yang dihadapi, yang terlibat dalam proses
pengambilan keputusan.
Salah satu cara yang dapat digunakan untuk mengatasi kedua kelemahan dalam proses
pengambilan keputusan sebagaimana diutarakan di muka adalah dengan menggunakan
metode AHP.
Metode AHP dikembangkan oleh Prof. Thomas Saaty, guru besar di Wharton School,
University of Pensylvania pada tahun 1972 (Saaty, 1990). Saat pertama kali
mengembangkan metode ini pada saat ia bekerja untuk menyusun Rencana Kontingensi
(contingency planning) untuk Departemen Pertahanan Amerika Serikat (1971) dan
kemudian dikembangkan dalam penerapan metode ini untuk menentukan rancangan
alternatif masa depan dalam pembangunan di negara berkembang (Sudan).
Menurut Saaty (1990) hirarki adalah sebuah abstraksi dari struktur sistem yang dibuat
untuk mempelajari interaksi fungsional antar komponen-komponen di dalam sistem
berikut dampaknya pada keseluruhan sistem. Dalam kuliah Ilmu Perencanaan Hutan,
kompetensi yang diharapkan dimiliki oleh mahasiswa kemampuan dalam menyusun
hirarki permasalahan untuk permasalahan-permasalahan yang terdapat dalam bidang
pengelolaan hutan. Contoh-contoh penyelesaian program matematik dari hirarki
permasalahan akan dibahas dalam praktikum. Mahasiswa yang ingin mengetahui
metode ini secara lebih mendalam dapat membaca buku teks asli (Saaty, T.L 1990.
Penetapan Tujuan dan Prioritas Alternatif Kegiatan Pengelolaan Hutan M3 - 62
Modul Mata Kuliah Perencanaan Hutan
a) Aksioma resiprokal
AHP berlandaskan kepada matriks perbandingan berpasangan (pairwais comparative
matrix) dari variabel-veriabel (kriteria) yang diperhatikan. Dengan aksioma repsiprokal
dimaksudkan bahwa matriks perbandingan berpasangan yang terbentuk harus kebalikan
Apabila variabel-variabel yang diperhatikan adalah A, B dan C maka perbandingan
berpasangan yang terbentuk adalah A vs B, A vs C dan B vs C. Sifat resiprokal
perbandingan A vs B berarti : apabila diketahui A merupakan variabel yang dinilai
memiliki tingkat kepentingan5 (lima) kali tingkat kepentingan B, maka dikatakan A vs B =
5. Sebaliknya, tentu saja tingkat kepentingan B menjadi 1/5 kali tingkat kepentingan A
atau B vs A = 1/5. Hal yang sama berlaku untuk pasangan variabel yang lain
b) Aksioma homogenitas
Matriks perbandingan berpasangan berisi unsur-unsur (nilai) yang merupakan hasil
perbandingan tingkat kepentingan peran setiap variabel dalam menetapkan skenario
(alternatif) kegiatan untuk mencapai tujuan utama. Dalam membuat perbandingan antar
variabel ini, harus dipergunakan ukuran yang sama dan relevan. Sebagai contoh, untuk
membandingkan tingkat kepentingan variabel jenis pohon jati dengan jenis pohon pinus
dalam mendukung fungsi hutan untuk mencegah erosi tanah, misalnya, harus
diperbandingkan sistem perakaran kedua jenis pohon itu. Perbandingan harga (Rp/m3)
kayu dari kedua jenis pohon ini tidak relevan untuk menerangkan tujuan ini. Akan tetapi
variabel harga kayu ini menjadi relevan apabila tujuannya adalah untuk mendapatkan
keuntungan bersih dari hasil penjualan kayu dari hutan yang dikelola.
c) Aksioma ketergantungan
Hirarki dalam AHP merupakan alat utama yang diperlukan untuk membuat matriks
perbandingan berpasangan untuk mendapatkan solusi optimal dari permasalahan yang
dihadapi. Hirarki dalam AHP umumnya terdiri atas banyak tingkat (level) dari tujuan
utama (level 1) sampai skenario alternatif kegiatan sebagai jawaban permasalahan yang
dihadapi (level k, k ≥ 2). Diantara level 1 dengan level k, terdapat level 2, level 3
.................. level k-2, dan level k-1. Banyaknya level yang terdapat dalam sebuah
hirarki tergantung kepada permasalahan yang dihadapi serta kerangka pemikiran yang
dikembangkan oleh pembuat keputusan dalam menghadapi permasalahan tersebut.
Aksioma ketergantungan mengandung arti bahwa antara setiap variabel pada setiap
level dalam setiap hirarki harus terdapat keterkaitan walaupun tidak selamanya harus
merupakan hubungan antar level yang bersifat sempurna. Hubungan antara dua level
yang berurutan dikatakan sempurna apabila variabel (unsur) dalam level tertentu (level k)
memiliki hubungan dengan seluruh variabel (unsur) yang terdapat dalam level satu
tingkat lebih rendah (level k+1). Catatan : penomoran level dalam hirarki dilakukan
dengan memberi lambang level 1 pada level yang paling tinggi (tujuan utama), sedang
level yang paling rendah diberi lambang level k (k > 1)
d) Aksioma ekspektasi (harapan)
Unsur-unsur dalam matriks perbandingan berpasangan merupakan nilai-nilai skor
tingkat kepentingan suatu variabel dibandingkan dengan variabel lain secara
berpasangan. Dengan aksioma ekspektasi dimaksudkan bahwa nilai-nilai yang diberikan
oleh anggota pakar yang terlibat tersebut merupakan ekspresi dari harapan, persepsi
atau keinginan sesuai dengan kepentingan masing-masing. Dengan demikian maka nilai
yang dihasilkan tidak dituntut untuk terlalu rasional, atau bahkan mungkin bersifat
subyektif. Yang dituntut adalah konsistensi hasil penilaian dari setiap pakar. Konsistensi
hasil penilaian ini diukur berdasarkan konsistensi hasil perbandingan antar variabel-
variabel yang diperhatikan. Misalkan ada tiga variabel A, B dan C yang akan
dibandingkan ; jika A tiga kali lebih penting dari B (A vs B =3) dan B dua kali lebih
penting dari C (B vs C = 2), maka hasil perbandingan dikatakan sangat konsisten jika A
enam kali lebih penting dari C (A vs C = 6). Pada kenyataannya, sangat sulit untuk
melakukan perbandingan yang benar-benar konsisten karena banyaknya variabel yang
harus diperhatikan. Karena itu, dalam AHP dikembangkan sebuah uji numerik untuk
mengukur tingkat konsistensi hasil perbandingan anggota pakar.
2) Langkah-langkah AHP
a) Dekomposisi
Pengambilan keputusan dalam suatu permasalahan pada dasarnya merupakan
upaya untuk menentukan alternatif tindakan atau kegiatan (upaya) yang bersifat optimal
(optimum solution) untuk mencapai suatu tujuan tertentu. Tujuan akhir yang ingin
dicapai dalam AHP disebut tujuan utama. Antara tujuan utama dengan tujuan skenario
alternatif solusi dihubungkan oleh langkah-langkah kriteria pengambilan keputusan.
Setiap langkah kriteria pengambilan keputusan ini dinamakan level (tingkatan) yang
terdiri dari beberapa variabel sebagai unsur dari kriteria tersebut. Dalam AHP, level di
bawah tujuan utama (level 1) atau level 2 dinamakan khusus sebagai kriteria, sedang
Penetapan Tujuan dan Prioritas Alternatif Kegiatan Pengelolaan Hutan M3 - 64
Modul Mata Kuliah Perencanaan Hutan
level di bawahnya (level 3) dinamakan sub-kriteria, dan level di bawahnya lagi (level 4)
dinamakan su-sub kriteria, begitu seterusnya. Level terendah adalah skenario alternatif
solusi permasalahan yang dihadapi. Level-level yang terbentuk ini harus memiliki
keterkaitan satu sama lain. Keterkaitan ini dinyatakan dalam bentuk hubungan antar
unsur dalam dua level yang berurutan. Jaringan antar level dari keseluruhan yang
terdapat dari suatu permasalahan yaitu dari tujuan utama (level teratas atau level 1)
samapai level terendah, yaitu skenario alternatif solusi dinamakan hirarki permasalahan
atau biasa disebut hirarki.
Memilih alternatif solusi
Level 1 : Tujuan Utama terbaik / optimum
Level 2 : Kriteria K1 K2 K3
Berdasarkan sifat hubungan antar unsur dalam setiap level yang terdapat dalam sebuah
hirarki, hirarki permasalahan dapat dikategorikan kedalam hirarki lengkap dan hirarki
tidak lengkap. Hirarki lengkap adalah hirarki yang terbentuk oleh level-level hirarki yang
setiap komponen dalam setiap level tertentu berhubungan (tergantung) dengan seluruh
kompenen yang terdapat dalam level satu tingkat di bawahnya (level 1 dengan level 2,
level 2 dengan level 3 dst). Apabila tidak semua komponen dalam level tertentu
berhubungan dengan seluruh komponen dalam level satu tingkat di bawahnya, maka
hirarki permasalahan, dinamakan hirarki tidak lengkap.
Langkah-langkah kegiatan dalam tahapan dekomposisi untuk membuat hirarki
permasalahanadalah sebagai berikut :
(1) Menetapkan tujuan utama dari permasalahan yang dihadapai
(2) Menetapkan alternatif solusi (kegiatan, barang, harapan) yang ditetapkan untuk
mencapai tujuan yang telah ditetapkan
(3) Menetapkan kriteria dan komponen-komponen dalam kriteria (indikator, variabel)
yang akan digunakan untuk menetapkan alternatif solusi yang akan dipilih (solusi
optimal). Apabila diperlukan maka kriteria ini dapat dipecah lagi ke dalam sub
kriteria, sub-sub kriteria, dst
(4) Menetapkan hubungan antar kompenen dalam setiap level dengan komponen pada
level di bawahnya
(5) Menggambarkan keseluruhan jaringan antara tujuan utama, kriteria (sub kriteria,
sub-sub kriteria, dst, apabila diperlukan) dan skenario alternatif solusi dalam bentuk
suatu hirarki permaslahan.
Level 2 : Kriteria K1 K2 K3
Gambar 2. Contoh hirarki permasalahan hipotetis yang tidak lengkap (hirarki yang
tidak lengkap)
.2
1 1
.
S1, S2, ...... Sq = Skor untuk tingkat prioritas alternatif ke-1, ke-2 ........... dan ke-q
Skor Si dinyatakan dalam nilai proporsi (0≤Si≤1; untuk i = 1, 2, ..., q); ∑Si = 1.
tegakan hutan, budidaya lebah madu, dan atau pengembangan kawasan rekreasi pada
bagian-bagian kawasan tertentu.
Informasi mengenai kegiatan-kegiatan yang sejalan dengan tujuan khusus dalam
pengelolaan hutan dapat diperoleh melalui hasil-hasil penelitian ilmiah atau berdasarkan
pengalaman di tempat lain, atau berdasarkan kearifan lokal masyarakat di sekitar hutan.
Dalam pegelolaan hutan berbasis ekosistem, alternatif kegiatan yang dipilih haruslah
merupakan alternatif kegiatan yang sudah teruji secara ilmiah melalui penelitian yang
bersifat dinamis dan iteratif di tempat itu, sehingga kegiatannya akan bersifat spesifik dan
sesuai dengan karasteristik biofisik ekosistem hutan dan keadaan sosial ekonomi
masyarakat setempat. Keterujian kegiatan yang dipilih juga harus didasarkan pada
umpan balik (feed back) dari komponen ekosistem hutan setempat terhadap setiap
perlakuan yang dicobakan atau diteliti, yang dapat dilakukan melalui suatu pendekatan
sistem dengan teknik simulasi.
2. Kelengkapan informasi setiap kegiatan
Setiap kegiatan atau teknologi yang terpilih untuk diterapkan, harus memenuhi syarat-
syarat kelayakan, baik dari aspek ekologi dan aspek teknis, maupun dari aspek ekonomi
dan sosial. Untuk menilai kelayakan kegiatan tersebut, diperlukan berbagai informasi
dasar yang berkenaan dengan peranan kegiatan dalam mendukung upaya pencapaian
tujuan, beserta dampaknya terhadap lingkungan. Informasi dasar ini dapat diperoleh
melalui publikasi hasil penelitian ilmiah, pengalaman-pengalaman di tempat lain dan
kearifan lokal masyarakat di sekitar hutan. Kegiatan yang dipilih untuk diterapkan
seharusnya merupakan kegiatan yang memang layak, dimana penilaian kelayakan
termaksud didasarkan pada informasi tentang berbagai aspek yang lengkap. Kegiatan
atau pilihan teknologi yang dinilai akan relevan dengan tujuan yang ditetapkan, serta
layak secara ekologis, teknis ekonomi, dan sosial, tetapi masih belum teruji
kebenarannya, sebelum diterapkan terlebih dahulu perlu diuji melalui kaji tindak (pilot
project) di tempat atau lokasi pengelolaan
3. Kesejalanan dengan norma, tata nilai dan kepentingan masyarakat lokal
Pengelolaan hutan, pada hakekatnya, diharapkan dapat menunjang peningkatan
kesejahteraan masyarakat di sekitar hutan. Sehubungan dengan itu, teknologi atau
kegiatan pengelolaan hutan harus diupayakan untuk tidak menimbulkan gejolak sosial
dalam masyarakat setempat, yaitu melalui upaya-upaya menselaraskan setiap kegiatan
atau teknologi yang dipilih dengan norma, tata nilai dan kebutuhan atau kepentingan
masyarakat di sekitar hutan. Dengan demikian, informasi mengenai sistem nilai dan
kepentingan atau kebutuhan yang berkembang dalam masyarakat sangat penting untuk
diketahui oleh pihak pengelola atau pihak perencana dan pelaksana kegiatan-kegiatan
pengelolaan. Informasi termaksud dapat diperoleh melalui pelaksanaan survei sosial dan
Tiga buah preskripsi pengelolaan hutan ini dibuat untuk tegakan pinus yang
bersifat hipotetis untuk memberikan illustrasi yang rinci dan lengkap dalam penyusunan
preskripsi dan proyeksi keadaan tegakan dan hasil di mas yang akan datang. Deskripsi
keadaan tegakan hutan pinus adalah sebagai berikut :
Keadaan tegakan hutan pada saat ini terdiri atas tegakan-tegakan :
a. Lahan terbuka bekas tebangandengan sistem tebang habis
b. Tegakan permudaan secara alami
c. Tegakan berumur 60 tahun dengan indeks tempat tumbuh 80 ft (sekitar 24 m) pada
umur dasar 25 tahun (catatan : indeks tempat tumbuh = peninggi tegakan pada umur
dasar tertentu. Untuk tegakan pinus di Amerika Serikat umur dasar ditetapkan 25
tahun)
Dalam tegakan rata-rata terdapat 12 pohon (per hektar) pinus berukuran besar
untuk kayu gergajian, 35 pohon (per hektar) pinus berukuran sedang (tiang), serta
permudaan pinus dan kayu dalam lebar. Secara keseluruhan, 60% dari tegakan hutan
yang ada ditumbuhi oleh pinus. Proyeksi hasil ditetapkan untuk priode 60 tahun.
Untuk keadaan tegakan seperti itu, dapat dibuat tiga alternatif preskripsi
pengelolaan hutan hipotetis sebagaimana diuraikan berikut ini
Preskripsi 1
a. Tujuan pemilik lahan hutan : menyediakan kayu pulp untuk pasokan ke pabrik pulp
miliknya
b. Perlakuan (uraian kegiatan)
Menebang habis secara serentak seluruh tegakan umure tua yang ada, persiapan
lahan (sebelum penanaman kembali) berupa pemotongan dan pembakaran sisa-sisa
kayu, penanaman dengan jarak 10 ft x 10 ft dengan jenis pinus, tanpa perlakuan antara,
tebang habis pada umur 20 tahun
c. Proyeksi hasil
Tahun
Komponen
1985 2005 2025 2045
1. Umur tegakan sebelum panen (tahun) 60 20 20 20
2. Umur tegakan setelah panen (tahun) 0 0 0 0
3. Volume hasil panen (cords / acre) 12 20 20 20
Catatan : 1) Cord = satuan volume untuk kayu bakar
1 cord = 128 cubic feet = 3,6 m3 ; suatu tumpukan kayu berukuran
8 feet x 4 feet x 4 feet = 2,4 m x 1,2 m x 1,2 m
2) 1 acre = 0,405 hektar
Preskripsi 2
a. Tujuan pemilik lahan hutan : menjual tegakan kayu gergajian. Menyediakan tempat
berburu burung, menerapkan pengelolaan intensif.
b. Perlakuan (uraian kegiatan) :
Tebang habis secara serentak seluruh tegakan umur tua yang tersedia, penyiapan
lahan untuk penanaman kembali dengan cara :
• pemotongan sisa-sisa pohon, penumpukan potongan kayu, dan pembakaran,
• pembajakan dan penanaman dengan jarak tanam 7ft x 7ft dengan jenis pinus,
• penggunaan herbisida untuk tumbuhan pengganggu,
• penjarangan pertama pada umur 10 tahun (non-commercial thinning),
• penjarangan untuk menghasilkan kayu serat dan kayu pertukangan pada umur
20 tahun, 30 tahun, 40 tahun dan 50 tahun,
• tebang akhir pada umur 60 tahun.
• pengulangan pembakaran untuk mengurangi bahan bakar dalam hutan, dan
• pemeliharaan habitat burung setiap 5 tahun sejak tegakan berumur 10 tahun.
c. Proyeksi hasil
Tahun
Komponen
1985 1995 2005 2015 2025 2035 2045
Preskripsi 3
a. Tujuan pemilik lahan (lahan merupakan milik publik) :
Menyediakan jasa sosial ekosistem hutan berupa kombinasi terbaik berbagai hasil
yang dapat diperoleh. Untuk mendapatkan hasil yang memuaskan, diperlukan adanya
pohon-pohon besar dan pengelolaan hutan untuk tegakan tidak seumur agar diperoleh
keragaman jenis satwa liar yang tinggi.
Dari ketiga ilustrasi di atas dapat diperoleh beberapa kunci dalam menyusun sebuah
preskripsi dalam pengelolaan hutan, yaitu :
1. Jumlah rincian informasi, ukuran kuantitatif, keragamannya dan tingkat kompleksitas
informasi yang diprediksikan tergantung pada tingkat kepuasan pengelola (pemilik
atau pemegang hak). Makin tinggi tingkat kepastian gambaran hasil yang
dikehendaki, makin rinci informasi yang diperlukan
2. Jumlah rincian informasi dan ukuran kuantitatif yang diperlukan tergantung pada
ruang lingkup tujuan yang ditetapkan. Makin spesifik atau makin sempit tujuan
pengelolaan yang ditetapkan, makin sedikit rincian informasi yang diperlukan.
3. Untuk tegakan hutan atau ekosistem yang sama dapat saja dibuat beberapa
preskripsi pengelolaan hutan yang berbeda-beda, bergantung pada besar-kecilnya
ruang lingkup tujuan yang ditetapkan.
Berdasarkan contoh-contoh preskripsi pengelolaan di depan, maka dapat pula dibuat
preskripsi pengelolaan hutan untuk kesatuan pengelolaan hutan lainnya, seperti :
1. Hutan Tanaman Industri (HTI) atau hutan tanaman pada kawasan Hutan Produksi
2. Hutan Alam Produksi 3. Hutan Lindung 4. Hutan Konservasi
5. Kawasan Hutan dengan Tujuan Khusus 6. Hutan Rakyat, dll
IV. PENUTUP
Modul ini diharapkan dapat menjadi acuan bagi para pihak yang terkait dengan
proses pembelajaran mata kuliah Perencanaan Hutan, khususnya yang terkait dengan
materi “Penetapan Tujuan dan Kegiatan Prioritas dalam Pengelolaan Hutan”, dalam
melakukan penelusuran berbagai sumber belajar, baik dalam bentuk Buku teks,
Dokumen-dokumen atau Laporan hasil penelitian, Internet ataupun sumber-sumber lain.
Dengan mengacu pada modul ini maka proses pembelajaran diharapkan dapat berjalan
secara efisien dan efektif melalui peran aktif dari semua pihak terkait, khususnya
mahasiswa.
MODUL - 4
PERENCANAAN PENGELOLAAN HUTAN DI INDONESIA
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Ilmu Perencanaan kehutanan adalah salah satu cabang dari ilmu
Manajemen hutan. Sebagai ilmu terapan, perencanaan kehutanan dapat
pula menunjuk pada kegiatan perencanaan hutan yang juga merupakan
bagian dari rangkaian kegiatan manajemen hutan. Dalam konteks yang
termaksud terakhir inilah maka perencanaan kehutanan yang yang harus
terpola dalam suatu sistem, dan terdiri atas serangkaian kegiatan yang
merupakan suatu kesatauan yang utuh.
Sebagai suatu rangkaian kegiatan yang utuh, perencanaan
kehutanan harus dilaksanakan secara keseluruhan (tuntas) melalui tata urut
atau prosedur yang (sedapat mungkin) terpola secara bersistem dengan
mengacu pada kesepahaman dan kesepakatan bersama. Kesepahaman
atau kesepakatan yang umumnya dituangkan dalam peraturan perundang-
undangan termaksud, dibuat atau disusun berdasarkan hakekat, fungsi dan
peranan dari masing-masing tahapan (komponen) kegiatan, serta hubungan
ketergantungan antara komponen kegiatan yang satu dengan komponen
kegiatan lainnya dalam suatu rangkaian upaya untuk mewujudkan tujuan
pengelolaan.
Modul ini berisi pembahasan tentang sistem perencanaan
kehutanan dan tahapan kegiatan perencanaan kehutanan sebagaimana
diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia.
Melalui pelaksanaan tahapan kegiatan perencanaan tersebut, maka
pengelolaan hutan secara optimum dan lestari, dapat diwujudkan.
B. Ruang Lingkup Isi
Isi dari modul ini secara garis besar meliputi : (1) Sistem
perencanaan kehutanan, serta (2) Kegiatan-kegiatan perencanaan
kehutanan, yang meliputi (a) Inventarisasi hutan, (b) Pengukuhan kawasan
hutan, (c) Penatagunaan hutan, (d) Pembentukan wilayah pengelolaan
hutan, dan (e) Penyusunan rencana kehutanan.
C. Sasaran Pembelajaran Modul
Setelah mempelajari modul ini, mahasiswa diharapkan dapat
memiliki kompetensi yang diindikasikan oleh kemampuan dalam : (1)
menjelaskan sistem perencanaan kehutanan dan (2) menjelaskan tahapan
kegiatan perencanaan kehutanan di Indonesia.
Hutan Lindung harus memenuhi salah satu dari kriteria berikut ini :
(a) Mempunyai faktor-faktor lereng, jenis tanah dan intensitas hujan yang
setelah masing-masing dikalikan dengan angka penimbang akan
menghasilkan jumlah nilai skor sebesar 175 atau lebih ;
(b) Mempunyai tingkat kelerengan 40% atau lebih ;
(c) Berada pada ketinggian 2.000 meter atau lebih di atas permukaan laut ;
(d) Mempunyai jenis tanah yang tergolong sangat peka terhadap erosi
dengan kelerengan lapangan lebih dari 15% ;
(e) Merupakan daerah resapan air ; atau
(f) Merupakan daerah perlindungan pantai.
Hutan Produksi adalah kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok
memproduksi hasil hutan
Hutan produksi terbatas (HPT) adalah hutan produksi yang memiliki faktor-
faktor kelas lereng, jenis tanah dan intensitas hujan yang setelah masing-
masing dikalikan dengan angka penimbang akan menghasilkan nilai skor
antara 125 dan 174.
Hutan produksi tetap adalah hutan produksi yang memiliki faktor-faktor
kelas lereng, jenis tanah dan intensitas hujan yang setelah masing-masing
dikalikan dengan angka penimbang akan menghasilkan nilai skor ≤ 124.
Hutan produksi yang dapat dikonversi adalah hutan produksi yang memiliki
faktor-faktor kelas lereng, jenis tanah dan intensitas hujan yang setelah
masing-masing dikalikan dengan angka penimbang akan menghasilkan nilai
skor ≤ 124, dan secara keruangan dicadangkan untuk digunakan bagi
pengembangan transmigrasi, pemukinan, pertanian dan perkebunan.
Penggunaan kawasan hutan untuk kepentingan pembangunan di luar kegiatan
kehutanan hanya dapat dilakukan di dalam kawasan hutan produksi dan kawasan
hutan lindung dan diatur dengan keputusan Presiden.
IV. PENUTUP
Modul ini diharapkan dapat menjadi acuan bagi para pihak yang
terkait dengan proses pembelajaran mata kuliah Perencanaan Hutan,
khususnya yang terkait dengan materi “Perencanaan Pengelolaan Hutan
(Perencanaan Kehutanan) di Indonesia”, dalam melakukan penelusuran
berbagai sumber belajar, baik dalam bentuk Buku teks, Dokumen-dokumen
atau Laporan hasil penelitian, Internet ataupun sumber-sumber lain.
Dengan mengacu pada modul ini maka proses pembelajaran diharapkan
dapat berjalan secara efisien dan efektif melalui peran aktif dari semua
pihak terkait, khususnya mahasiswa.
MODUL - 5
KONSEPSI, KEBIJAKAN, DAN METODE PELAKSANAAN KEGIATAN
PERENCANAAN SERTA MONITORING DAN EVALUASI
PENGELOLAAN HUTAN
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pemahaman secara tepat dan benar tentang konsepsi, kebijakan dan metode
pelaksanaan sesuatu kegiatan oleh pelaksana kegiatannya, merupakan suatu keharusan
jika kita ingin mewujudkan tujuan dari kegiatan termaksud secara optimal. Pemahaman
tentang konsepsi, kebijakan dan metode pelaksanaan kegiatan-kegiatan perencanaan
hutan oleh semua pihak yang terkait juga menjadi suatu tuntutan atau suatu keharusan,
jika kita ingin mewujudkan tujuan perencanaan hutan tersebut secara optimal. Hanya
melalui pemahaman termaksud, pihak pelaksana dapat mengembangkan pilihan-pilihan
yang mungkin dilakukan, termasuk pilihan optimal, untuk setiap perubahan kondisi dan
situasi yang dihadapi.
Berhubung karena kegiatan perencanaan tidak bisa dipisahkan dengan
kegiatan monitoring dan evaluasi, maka pemahaman tentang konsepsi, kebijakan dan
metode pelaksanaan kegiatan-kegiatan perencanaan harus pula diikuti dengan
pemahaman tentang konsepsi dan metode monitoring dan evaluasi. Dengan kata lain,
pemahaman tentang konsepsi, kebijakan dan metode pelaksanaan kegiatan-kegiatan
perencanaan seharusnya sejalan dengan (dan atau didukung oleh) pemahaman tentang
konsepsi, kebijakan dan metode monitoring dan evaluasi.
B. Ruang Lingkup Isi
Modul ini membahas tentang : (1) Konsepsi, kebijakan dan metode pelaksanaan
kegiatan-kegiatan perencanaan kehutanan yang meliputi : (a) Inventarisasi hutan, (b)
Pengukuhan kawasan hutan, (c) Penatagunaan kawasan hutan, (d) Pembentukan
wilayah pengelolaan hutan, dan (e) Penyusunan rencana pengelolaan hutan, serta (2)
Konsepsi, kebijakan dan metode monitoring dan evaluasi dalam pengelolaan hutan.
C. Sasaran Pembelajaran Modul
Setelah mempelajari modul ini, mahasiswa diharapkan dapat memiliki
kompetensi yang diindikasikan oleh kemampuan dalam : (1) menjelaskan konsepsi,
kebijakan dan metode pelaksanaan kegiatan perencanaan kehutanan, serta (2)
menjelaskan konsepsi, kebijakan dan metode pelaksanaan monitoring dan evaluasi
pengelolaan hutan
Teknik Sampling
1. Teknik sampling (pengambilan contoh) ; sering menggunakan systemic
strip with random start
2. Intensitas sampling (IS) ; tergantung pada tujuan inventarisasi dan
ketersediaan informasi awal.
Untuk penyusunan Rencana Karya KPHP, misalnya, digunakan intensi-
tas sampling (IS) sebagai berikut :
a. Jika ada peta hasil penafsiran potret udara, IS cukup sebesar 0,05%
b. Jika tersedia peta hasil penafsiran citra satelit Landsat TM atau MSS
atau SPOT atau citra lain yang setara dengan citra TM, IS yang
digunakan adalah sebesar 0,1%
c. Jika tidak tersedia baik peta hasil penafsiran potret udara maupun
hasil penafsiran citra satelit, IS yang digunakan adalah sebesar 0,5%.
3. Penentuan arah jalur coba disesuaikan dengan kondisi topografi, arah
Timur-Barat atau Utara-Selatan
9. Kawasan sekitar mata air adalah kawasan di sekeliling mata air yang
mempunyai manfaat penting untuk mempertahankan kelestarian fungsi
mata air
10. Kawasan suaka alam adalah kawasan dengan ciri khas tertentu baik di
darat maupun di perairan yang mempunyai fungsi pokok sebagai
kawasan pengawetan keragaman jenis tumbuhan dan satwa beserta
ekosistemnya
11. Kawasan suaka alam laut dan perairan lainnya adalah daerah yang
mewakili ekosistemnya khas di lautan maupun perairan lainnya, yang
merupakan habitat alami yang memberikan tempat maupun perlindungan
bagi perkembangan keanekaragaman tumbuhan dan satwa yang ada
12. Kawasan pantai berhutan bakau adalah kawasan pesisir laut yang
merupakan habitat alami hutan bakau (mangrove) yang berfungsi
memberi perlindungan kepada perikehidupan pantai dan laut
13. Taman nasional adalah kawasan pelestarian alam yang dikelola dengan
sistem zonasi yang dimanfaatkan untuk tujuan pengembangan ilmu
pengetahuan, pendidikan, pariwisata dan rekreasi
14. Taman hutan raya adalah kawasan pelestarian yang terutama
dimanfaatkan untuk tujuan koleksi tumbuhan dan/atau satwa, alami atau
buatan, jenis asli dan/atau bukan asli, pengembangan ilmu pengetahuan,
pendidikan dan latihan, serta budaya, pariwisata dan rekreasi
15. Taman wisata alam adalah kawasan pelestarian alam di darat maupun di
laut yang terutama dimanfaatkan untuk pariwisata dan rekreasi alam
16. Kawasan cagar budaya dan ilmu pengetahuan adalah kawasan yang
merupakan lokasi bangunan hasil budaya manusia yang bernilai tinggi
maupun bentukan geologi alami yang khas
17. Kawasan rawan bencana alam adalah kawasan yang sering atau
berpotensi tinggi mengalami bencana alam
Faktor-faktor yang diperhatikan dalam penatagunaan hutan
1. Kondisi biofisik kawasan (konfigurasi lapangan, jenis tanah, iklim/curah
hujan, geomorfolopgi, flora dan fauna)
2. Kondisi sosial ekonomi di sekitar dan di dalam kawasan hutan
3. Luas kawasan hutan
Metode pelaksanaan kegiatan penatagunaan hutan
Menurut PP Nomor 44 Tahun 2004, menegaskan bahwa penatagunaan
hutan pada hakekatnya terdiri dari kelompok kegiatan :
Prinsip Dasar
Pembentukan kesatuan pengelolaan hutan ini pada dasarnya diarahkan
pada upaya untuk mewujudkan kelestarian fungsi produksi, fungsi ekologis,
dan fungsi sosial dengan tetap mempertimbangkan hasil perbandingan
antara biaya yang dikeluarkan dengan penghasilan pengelola.
Pembentukan wilayah pengeloalaan hutan provinsi dan kabupaten/kota
mencakup kegiatan-kegiatan:
1. Perencanaan kehutanan
2. Pengelolaan hutan
3. Penelitian dan pengembangan, pendidikan dan latihan serta penyuluhan
kehutanan, dan
4. Pengawasan
yang ditetapkan. Evaluasi juga dapat dikatakan sebagai suatu usaha untuk
mengukur dan memberi nilai secara obyektif terhadap pencapaian hasil-
hasil yang direncanakan sebelumnya. Hasil-hasil evaluasi dapat dijadikan
sebagai umpan balik bagi kegiatan-kegiatan perencanaan selanjutnya.
Menurut Aji dan Sirait (1984), Evaluasi pada hakekatnya bermakna
mempertanyakan aktualitas atau validitas secara teknis dari rencana
sesudah dilaksanakan. Evaluasi bersifat teknis dan berorientasi pada
pencapaian tujuan dan atau pemecahan masalah, yang berbeda dengan
pemeriksaan.
Komponen Kegiatan
Evaluasi sering digunakan untuk menunjukkan capaian pada setiap tahapan
dalam siklus pengelolaan hutan. Evaluasi dimaksudkan untuk memperoleh
umban balik untuk menjadi bahan dalam upaya perbaikan perencanaan dan
pelaksanaan kegiatan pengelolaaan selanjutnya. Evaluasi dilakukan
terhadap semua komponen penyelenggaraan pengelolaan hutan yang
mencakup :
1. Evaluasi tata hutan dan rencana pengelolaan hutan
2. Evaluasi pemanfaatan hutan dan penggunaan kawasan
3. Evaluasi reklamasi dan rehabilitasi hutan
4. Evaluasi perlindungan hutan dan konservasi alam
Agar pelaksanaan evaluasi dapat berlangsung dengan baik, maka perlu
dibuat suatu rencana evaluasi untuk menjadi pedoman atau petunjuk dan
pemberi arah bagi pelaksana dalam berpikir dan bertindak. Rencana
evaluasi, dapat disajikan dalam bentuk pertanyaan yang perlu dijawab
melalui pelaksanaan evaluasi. Berikut disajikan pertanyaan- pertanyaan
yang perlu dijawab dalam perencanaan dan pelaksanaan kegiatan evaluasi.
1. Berapa kali evaluasi akan dilakukan dalam kurun waktu tertentu dan
kapan evaluasi dilakukan :
a. Evaluasi kegiatan sekali dalam setahun, untuk kegiatan yang akan
dilaksanakan sebagaimana tercantum dalam RKT
b. Evaluasi kegiatan sekali dalam 5 tahuni, untuk kegiatan yang
tercantum dalam RKL
c. Evaluasi kegiatan sekali dalam 20 tahun, untuk kegiatan yang
dilakukan pada setiap pembaharuan RKPH
2. Mengapa kegiatan evaluasi perlu dilakukan (Alasan apa kenapa kegiatan
dievaluasi diperlukan) :
a. Kenapa tata hutan dan rencana pengelolaan hutan perlu dilakukan
Alasan Evaluasi :
Obyek Evaluasi :
Metode Evaluasi :
Evaluator :
Anggaran Evaluasi :
IV. PENUTUP
Modul ini diharapkan dapat menjadi acuan bagi para pihak yang
terkait dengan proses pembelajaran mata kuliah Perencanaan Hutan,
khususnya yang terkait dengan materi “Konsepsi, Kebijakan dan Metode
Pelaksanaan (kegiatan-kegiatan) Perencanaan serta Konsepsi, Kebijakan
dan Metode Monitoring dan Evaluasi kegiatan pengelolaan hutan”, dalam
melakukan penelusuran berbagai sumber belajar, baik dalam bentuk Buku
teks, Dokumen-dokumen atau Laporan hasil penelitian, Internet ataupun
sumber-sumber lain. Dengan mengacu pada modul ini maka proses
pembelajaran diharapkan dapat berjalan secara efisien dan efektif melalui
peran aktif dari semua pihak terkait, khususnya mahasiswa.
DAFTAR PUSTAKA
Aji, F. dan B. Sirait. 1984. PDE – Perencanaan Dan Evaluasi. Suatu Sistem
untuk Proyek Pembangunan. Bina Aksara Jakarta.
Ali, T.H. 1989. Prinsip-prinsip Network Planning. PT. Gramedia, Jakarta.
Arney, J.D. and K.S. Milner. 2000. Biometrics of Forest Inventory, Forest
Growth, and Forest Planning. Forest Biometrics Library, St Regis-
Montana.
Buongiorno, J. and J.K. Gilles. 2003. Decision Methods for Forest Resources
Management. Academic Press, New York.
Davis, L.S. and K.N. Johnson. 1987. Forest Management. Third Edition.
McGraw-Hill Book Co., New York.
Departemen Kehutanan RI. 1986a. Sejarah Kehutanan Indonesia I.
Departemen Kehutanan RI, Jakarta.
Departemen Kehutanan RI. 1986b. Sejarah Kehutanan Indonesia II - III.
Departemen Kehutanan RI, Jakarta.
Helms, J.A. Editor. 1998. The Dictionary of Forestry. The Society of American
Foresters and CABI Publishining, Bethesda.
Johnston, D.R., A.J. Grayson, and R.T. Bradley. 1967. Forest Planning. Faber
and Faber Limited, London.
MacKinnon, J., K. Mackinnon, G. Child dan J. Thorsell. 1986. Pengelolaan
Kawasan yang Dilindungi di Daerah Tropika. Gadjah Mada University
Press, Yogyakarta.
Oliver, C.D. and B.C. Larson. 1990. Forest Stand Dynamics. McGraw-Hill, Inc.
New York.
Saaty, T.L. 1990. Multicriteria Decision Making : the analytic hierarchy
process. Second Edition. University of Pittsburgh, Pittsburgh.
Shiver, B.D. and B.E. Borders. 1996. Sampling Techniques for Forest
Resources Inventory. John Wiley & Sons. Inc. New York, 356 p.
Taha, H.A. 1982. Operation Research : an Instroduction. Third Edition.
Macmillan Publishing Co., Inc., New York.
Tjokroamidjojo, B. 1982. Perencanaan Pembangunan. Gunung Agung,
Jakarta MCMLXXXII.
Von Gadow, K., and G. Hui. 1999. Modelling Forest Development. Klower
Academic Publishers, Dordrecht.
Von Gadow, K., T. Pukkala, and M. Tone (Editors). 2000. Sustainable Forest
Management. Klower Academic Publishers, Dordrecht.
Daftar Pustaka TP - 1
Modul Perencanaan Hutan
Peraturan Perundangan :
1. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan.
2. Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2004 tentang Perencanaan
Kehutanan.
3. Manual KPHP Buku I : Manual Pembentukan Kesatuan Pengusahaan
Hutan Produksi (Edisi Pertama).
4. Manual KPHP Buku II : Manual Perencanaan Kesatuan Pengusahaan
Hutan Produksi (Edisi Pertama)
5. Keputusan Presiden No. 32 Tahun 1990 tentang Pengelolaan Kawasan
Hutan Lindung.
6. Surat Keputusan Menteri Pertanian No. 837/Kpts/ Um/II/1980 tentang
Kriteria Penetapan Hutan Lindung.
Daftar Pustaka TP - 2