Anda di halaman 1dari 3

A.

KECOHAN LANTARAN ASPEK MANUSIA

Terdapat banyak permasalahan dalam penalaran. Tidak semua asersi dapat ditentukan
kebenarannya secara objektif dan tuntas, disamping itu manusia tidak selalu rasional dan
bersedia berargumen sementara itu . Kecohan (fallacy) selain disebabkan oleh stratagem dan
salah nalar juga dapat disebabkan oleh aspek manusia. Faktor-faktor manusia seperti psikologis
dan emosional, kekuasaan, dan kepentingan pribadi atau kelompok juga berperan dan dapat
menghalangi terjadinya argumen yang sehat.

Pada bagian ini kami akan membahas beberapa aspek manusia yang dapat menjadi penghalang
penalaran, khususnya yang relevan dalam dunia akademik atau ilmiah.

1. Puas dengan Penjelasan Sederhana

Rasa ingin tahu merupakan modal utama seorang peneliti. Sifat ini merupakan landan
perkembangan ilmu pengetahuan. Teori-teori maupun penjelasan yang ada perlu dikaji terus
menerus untuk memperoleh penjelasan yang lebih mendasar atau dalam rangka menemukan
fakta yang sebenarnya.

Namun, pada kenyataannya kadang manusia dihadapkan oleh perasaan puas atas penjelasan
yang sudah ada atau bahkan penjelasan yang sederhana. Rasa puas ini menghalangi terjadinya
evaluasi yang lebih mendalam atas kelayakan penjelasan atau bahkan usaha-usaha untuk
memperoleh fakta-fakta baru. Dengan kata lain, orang menjadi tidak kritis dalam menerima
penjelasan. Sehingga, argumen dan pencarian kebenaran akan terhenti sehingga pengembangan
ilmu pengetahuan akan terhambat.

2. Kepentingan Mengalahkan Nalar

Tidak ada yang abadi di dunia ini, kecuali kepentingan. Kepentingan sering memaksa orang
untuk memihak suatu posisi (keputusan) meskipun posisi tersebut sangat lemah dari segi
argumen. Kepentingan memposisikan dirinya untuk selalu lebih tinggi daripada kebenaran,
bahkan atas kebenaran yang membangunnya.

Gagasan baru, meskipun berseberangan dengan kepentingan, tetap perlu diapresiasi dengan
membawanya kepada diskusi ilmiah untuk memahami argumen-argumen yang mendukung
gagasan tersebut. Ketidaksetujuan atas gagasan tersebut harus didasari oleh argumen yang
bernalar dan valid, tentu hal ini hanya dapat dilakukan setelah kita memahai argumen-argumen
yang mendukung gagasan baru tersebut.

Menerima gagasan baru untuk didiskusikan lebih lanjut tidak berarti persetujuan atasnya.
Menolak gagasan baru tersebut sama saja dengan menutup peluang munculnya pemahaman
atas fakta-fakta baru. Jika gagasan baru tersebut memang benar, tentu kita harus bersedia
menerimanya atau menjadikannya sebagai landasan untuk menemukan gagasan-gagasan baru
lainnya.

3. Sindroma Tes Klinis

Sindroma ini tes klinis menggambarkan fenomena dimana seseorang enggan untuk
memeriksakan diri dan menjalani tes klinis karena takut bahwa dugaan tentang penyakitnya
tersebut benar. Pada akhirnya, karena ketakutan tersebut, dia tidak memeriksakan diri ke dokter
dan mengatakan pada orang lain bahwa dirinya sehat, meskipun dia merasa terdapat
ketidakberesan dalam tubuhnya.
Dalam dunia akademik hal ini dapat dimanifestasikan sebagai berikut.

a. Seseorang menolak untuk mendalami gagasan-gagasan baru karena ketakutan atas


penemuan fakta bahwa gagasan yang selama ini ia pegang adalah salah.
b. Seseorang menerima argumen secara pribadi, tetapi bersikap sebaliknya di lingkungan
akademis.
c. Seseorang mengisolasi gagasan baru agar orang lain tidak mengetahui gagasan tersebut,
atau untuk menutupi kelemahan gagasan lama yang dianutnya.

4. Mentalitas Djoko Tingkir

Kisah mengenai Joko Tingkir tentang perekayasaan fakta yang dilakukannya untuk mengukuhkan
dirinya sebagai penguasa memiliki manifestasi yang menarik dalam bidang akademis. Seringkali
kita menemui kasus dimana seorang pakar dianggap memiliki argumen yang lebih benar
meskipun sebenarnya salah. Kesalahan dalam penalaran ini diakibatkan oleh persepsi bahwa
seorang pakar selalu benar. Padahal, bisa jadi seorang pakar tersebut melakukan kesalahan.
Dunia akademik harus mengembangkan ilmu atas dasar validitas argumen dan bukan atas dasar
kekuasaan politik/jabatan.

5. Merasionalkan daripada Menalar

Jika dalam suatu diskusi atau perdebatan, seseorang pada akhirnya menyadari dirinya berada di
posisi yang salah, kadang yang dilakukan pada tahap selanjutnya adalah pencarian justifikasi
untuk membenarkan posisinya. Orang tersebut sebenarnya tidak lagi menalar (to reason) tetapi
merasionalkan (to rationalize).

Pembenaran ini dilakukan untuk membela diri atau menutupi rasa malu atas kesalahan yang
diambilnya. Sehingga, tujuan diskusi bukan lagi mencari solusi tetapi mencari kemenangan.
Padahal, memenangkan perdebatan (selisih pendapat) dan meyakinkan suatu gagasan adalah
dua hal yang sangat berbeda. Dalam memenangkan perdebatan, faktor emosi lebih dibutuhkan.
Sedangkan dalam meyakinkan suatu gagasan faktor argumen yang rasional lebih dibutuhkan.

6. Persistensi

Seseorang kadang sulit melepaskan gagasan yang salah dan menggantinya dengan gagasan baru
yang benar. Hal ini bisa terjadi karena adanya kepentingan tertentu atau seseorang tersebut sudah
terlalu lama memegang gagasan lama tersebut. Sehingga, orang tersebut tetap memegang kuat
gagasan yang salah meskipun sebenarnya dia seharusnya melepaskan gagasan yang lama tersbut.
Tidak selayaknyalah suatu keyakinan atau paradigma dipertahankan kalau memang terdapat bukti
yang sangat meyakinkan bahwa tia salah.

7. Fiksasi Fungsional

Fiksasi fungsional adalah gejala psikologis atau perilaku manusia untuk terpaku pada makna
suatu simbol atau objek dan kemudian menjadikan orang tidak mampu melihat makna
alternatif atau objek alternatif. Orang secara intuitif melekatkan makna atau fungsi pada
suatu objek berdasarkan pengalamannya dan sering tidak menyadari bahwa makna atau
fungsi tersebut bersifat kontekstual di masa lalu dan tidak lagi relevan dengan situasi yang
baru.
Contohnya adalah seseorang yang membutuhkan kamus bahasa untuk keperluan
perkuliahan. Namun, dia hanya memiliki smartphone. Namun, orang tersebut lupa bahwa
smartphone tersebut bisa digunakan untuk kamus bahasa. Alih-alih menggunakan
smartphone, orang tersebut justru membeli kamus bahasa elektrinik yang cukup mahal.
Sesuai dengan pengalamannya, bagi orang tersebut handphone memiliki fungsi untuk
menelefon saja. Orang tersebut tidak menyadari bahwa smartphone dapat diinstall dengan
aplikasi kamus bahasa.

Contohnya dalam bidang akuntansi, orang hanya melihat angka laba (bottom line) dalam
statemen laba-rugi tanpa memperhatikan bagaimana laba tersebut ditentukan atau
terpengaruh oleh perubahan metoda (proses) akuntansi. Padahal, informasi yang
membentuk laba jauh lebih penting dalam pengambilan keputusan.

Anda mungkin juga menyukai