Anda di halaman 1dari 99

Motivasi sangat penting artinya dalam kegiatan belajar, sebab adanya motivasi mendorong

semangat belajar dan sebaliknya kurang adanya motivasi akan melemahkan semangat belajar.
Motivasi merupakan syarat mutlak dalam belajar; seorang siswa yang belajar tanpa motivasi
(atau kurang motivasi) tidak akan berhasil dengan maksimal.

Menurut model ini, motivasi seorang individu sangat dipengaruhi oleh berbagai faktor,
baik yang bersifat internal maupun eksternal. Termasuk pada faktor internal adalah : (a)
persepsi seseorang mengenai diri sendiri; (b) harga diri; (c) harapan pribadi; (d) kebutuhaan;
(e) keinginan; (f) kepuasan kerja; (g) prestasi kerja yang dihasilkan.

Sedangkan faktor eksternal mempengaruhi motivasi seseorang, antara lain ialah : (a) jenis
dan sifat pekerjaan; (b) kelompok kerja dimana seseorang bergabung; (c) organisasi tempat
bekerja; (d) situasi lingkungan pada umumnya; (e) sistem imbalan yang berlaku dan cara
penerapannya.

A. MOTIVASI EKSTRINSIK DAN INTRINSIK

Motivasi dapat dideskripsikan ke dalam 2 kategori yaitu :

 Motivasi ekstrinsik adalah mmotivasi yang ikut atau terbawa kegiatan untuk mencapai
tujuan akhir.
 Motivasi intrinsik adalah motivasi dari dalam diri yakni motivasi yang menyangkut
kegiatan (Pintrich dan Schunt).

Ada beberapa strategi yang bisa digunakan oleh guru untuk menumbuhkan motivasi belajar
siswa, sebagai berikut:
1. Menjelaskan tujuan belajar ke peserta didik. Pada permulaan belajar mengajar hendaknya
seorang guru menjelaskan mengenai Tujuan Instruksional Khusus (TIK) yang akan dicapai
siswa. Tidak cukup sampai di situ saja, tapi guru juga bisa memberikan penjelasan tentang
pentingnya ilmu yang akan sangat berguna bagi masa depan seseorang, baik dengan norma
agama maupun sosial. Makin jelas tujuan, maka makin besar pula motivasi dalam belajar.
2. Hadiah. Berikan hadian untuk siswa-siwa yang berprestasi. Hal ini akan sangat memacu siswa
untuk lebih giat dalam berprestasi, dan bagi siswa yang belum berprestasi akan termotivasi untuk
mengejar atau bahkan mengungguli siswa yang telah berprestasi. Hadiah di sini tidak perlu harus
yang besar dan mahal, tapi bisa menimbulkan rasa senag pada murid, sebab merasa dihargai
karena prestasinya. Kecuali pada setiap akhir semester, guru bisa memberikan hadiah yang lebih
istimewa (seperti buku bacaan) bagi siswa ranking 1-3.

3. Saingan/kompetisi. Guru berusaha mengadakan persaingan di antara siswanya untuk


meningkatkan prestasi belajarnya, berusaha memperbaiki hasil prestasi yang telah dicapai
sebelumnya.

4. Pujian. Sudah sepantasnya siswa yang berprestasi untuk diberikan penghargaan atau pujian.
Tentunya pujian yang bersifat membangun. Bisa dimulai dari hal yang paling kecil seperti, “beri
tepuk tangan bagi si Budi…”, “kerja yang bagus…”, “wah itu kamu bisa…”.

5. Hukuman. Hukuman diberikan kepada siswa yang berbuat kesalahan saat proses belajar
mengajar. Hukuman ini diberikan dengan harapan agar siswa tersebut mau merubah diri dan
berusaha memacu motivasi belajarnya. Hukuman di sini hendaknya yang mendidik, seperti
menghafal, mengerjakan soal, ataupun membuat rangkuaman. Hendaknya jangan yang bersifat
fisik, seperti menyapu kelas, berdiri di depan kelas, atau lari memutari halaman sekolah. Karena
ini jelas akan menganggu psikis siswa.

6. Membangkitkan dorongan kepada anak didik untuk belajar. Strateginya adalah dengan
memberikan perhatian maksimal ke peserta didik, khususnya bagi mereka yang secara prestasi
tertinggal oleh siswa lainnya. Di sini guru dituntut untuk bisa lebih jeli terhadap kondisi anak
didiknya. Ingat ini bukan hanya tugas guru bimbingan konseling (BK) saja, tapi merupakan
kewajiban setiap guru, sebagai orang yang telah dipercaya orang tua siswa untuk mendidik anak
mereka.

7. Membentuk kebiasaan belajar yang baik. Ajarkan kepada siswa cara belajar yang baik,
entah itu ketika siswa belajar sendiri maupun secara kelompok. Dengan cara ini siswa
diharapkan untuk lebih termotivasi dalam mengulan-ulang pelajaran ataupun menambah
pemahaman dengan buku-buku yang mendukung.

8. Membantu kesulitan belajar anak didik secara individual maupun kelompok. Ini bisa
dilakukan seperti pada nomor 6.

9. Menggunakan metode yang bervariasi. Guru hendaknya memilih metode belajar yang tepat
dan berfariasi, yang bisa membangkitkan semangat siswa, yang tidak membuat siswa merasa
jenuh, dan yang tak kalah penting adalah bisa menampung semua kepentingan siswa. Sperti
Cooperative Learning, Contectual Teaching & Learning (CTL), Quantum Teaching, PAKEM,
mapun yang lainnya. Karena siswa memiliki tingkat intelegensi yang berbeda-beda satu sama
lainnya. Ada siswa yang hanya butuh 5 menit untuk memahami suatu materi, tapi ada siswa yang
membutuhkan 25 menit baru ia bisa mencerna materi. Itu contoh mudahnya. Semakin banyak
metode mengajar yang dikuasai oleh seorang guru, maka ia akan semakin berhasil meningkatkan
motivasi belajar siswa.

10. Menggunakan media yang baik dan sesuai dengan tujuan pembelajaran. Baik itu media
visual maupun audio visual.
Pandangan teori behavioristik telah cukup lama dianut
oleh para pendidik. Namun dari semua teori yang ada,
teori Skinnerlah yang paling besar pengaruhnya terhadap
perkembangan teori belajar behavioristik. Program-
program pembelajaran seperti Teaching Machine,
Pembelajaran berprogram, modul dan program-program
pembelajaran lain yang berpijak pada konsep hubungan
stimulus-respons serta mementingkan faktor-faktor
penguat (reinforcement), merupakan program
pembelajaran yang menerapkan teori belajar yang
dikemukakan Skiner.

Teori behavioristik banyak dikritik karena seringkali tidak


mampu menjelaskan situasi belajar yang kompleks, sebab
banyak variabel atau hal-hal yang berkaitan dengan
pendidikan dan/atau belajar yang dapat diubah menjadi
sekedar hubungan stimulus dan respon. Teori ini tidak
mampu menjelaskan penyimpangan-penyimpangan yang
terjadi dalam hubungan stimulus dan respon.

Pandangan behavioristik juga kurang dapat menjelaskan


adanya variasi tingkat emosi pebelajar, walaupun mereka
memiliki pengalaman penguatan yang sama. Pandangan
ini tidak dapat menjelaskan mengapa dua anak yang
mempunyai kemampuan dan pengalaman penguatan yang
relatif sama, ternyata perilakunya terhadap suatu pelajaran
berbeda, juga dalam memilih tugas sangat berbeda tingkat
kesulitannya. Pandangan behavioristik hanya mengakui
adanya stimulus dan respon yang dapat diamati. Mereka
tidak memperhatikan adanya pengaruh pikiran atau
perasaan yang mempertemukan unsur-unsur yang diamati
tersebut.

Teori behavioristik juga cenderung mengarahkan


pebelajar untuk berfikir linier, konvergen, tidak kreatif
dan tidak produktif. Pandangan teori ini bahwa belajar
merupakan proses pembentukan atau shaping, yaitu
membawa pebelajar menuju atau mencapai target tertentu,
sehingga menjadikan peserta didik tidak bebas berkreasi
dan berimajinasi. Padahal banyak faktor yang
mempengaruhi proses belajar, proses belajar tidak sekedar
pembentukan atau shaping.

Skinner dan tokoh-tokoh lain pendukung teori


behavioristik memang tidak menganjurkan digunakannya
hukuman dalam kegiatan pembelajaran. Namun apa yang
mereka sebut dengan penguat negatif (negative
reinforcement) cenderung membatasi pebelajar untuk
berpikir dan berimajinasi.
Secara luas teori belajar selalu dikaitkan dengan ruang
lingkup bidang psikologi atau bagaimanapun juga
membicarakan masalah belajar ialah membicarakan sosok
manusia. Ini dapat diartikan bahwa ada beberapa ranah
yang harus mendapat perhatian. anah-ranah itu ialah ranah
kognitif, ranah afektif dan ranah psikomotor. Akan tetapi
manusia sebagai makhluk yang berpikir, berbeda dengan
binatang. Binatang adalah juga makhluk yang dapat diberi
pelajaran, tetapi tidak menggunakan pikiran dan akal
budi. Ivan Petrovich Pavlov, ahli psikologi Rusia
berpengalaman dalam melakukan serangkaian percobaan.
Dalam percobaan itu ia melatih anjingnya untuk
mengeluarkan air liur karena stimulus yang dikaitkan
dengan makanan. Proses belajar ini terdiri atas
pembentukan asosiasi (pembentukan hubungan antara
gagasan, ingatan atau kegiatan pancaindra) dengan
makanan. Proses belajar yang digambarkan seperti itu
menurut Pavlov terdiri atas pembentukan asosiasi antara
stimulus dan respons refleksif.
Dasar penemuan Pavlov tersebut, menurut J.B. Watson
diberi istilah behaviorisme. Watson berpendapat bahwa
perilaku manusia harus dipelajari secara objektif. la
menolak gagasan mentalistik yang bertalian dengan
bawaan dan naluri. Watson menggunakan teori classical
conditioning untuk semuanya yang bertalian dengan
pembelajaran. Pada umumnya ahli psikologi mendukung
proses mekanistik. Maksudnya kejadian lingkungan
secara otomatis akan menghasilkan tanggapan. Proses
pembelajaran itu bergerak dengan pandangan secara
menyeluruh dari situasi menuju segmen (satuan bahasa
yang diabstraksikan dari kesatuan wicara atau teks)
bahasa tertentu. Materi yang disajikan mirip dengan
metode dengar ucap.

1.2 Rumusan Masalah

1. Kemukaka konsep dasar teori belajar Behavioristik,


Kognitif, Konstruktivistik, dan Humanistic? Sebutkan
pula tokmoh penggagasnya untuk setiap teori belajar
terasebut!
2. Apakah perbedaan antara responden Conditioning,
Operant Conditioning, dan Observational Learning?

3. Jelaskan teori pendukung kognuitif? Mengenai teori


perkembangan kognitif, teori kognisi social dan teori
pemerosesan informasi.

4. Berikan contoh konkrit konstruktif dan humanistic


untuk konteks SMP atau SMP?

5. Bagaimana implikasi dalam proses pembelajaran nyata


di sekolah? Kecenderungan teori belajar yang mana yang
seringkali di lkakukan oleh para guru di kelas?

1.3 Hipotesa

Implementasi dalam proses pembelajaran nyata di sekolah


cenderung menggunakan teori belajar humanistik, karena
tujuan belajarnya adalah untuk memanusiakan manusia.
Guru mamfasilitasi pengalaman belajar kepada siswa dan
mendampingi siswa untuk memperoleh tujuan
pembelajaran. Siswa dalam proses belajarnya harus
berusaha agar lambat laun ia mampu mencapai aktualisasi
diri dengan sebaik- baiknya. Siswa berperan sebagai
pelaku utama yang memaknai proses pengalaman
belajarnya sendiri.

1.4 Tujuan Penelitian

· Untuk mengetahui prinsip-prinsip dri berbagai teori


belajar dan pembelajaran

· Untuk mengetahui kelebihan dan kelemahan dari


berbagai teori belajar dan pembelajaran

· Mendiskusikan aplikasi berbagai teori belajar dan


pembelajaran dalam pelaksanaan tugas guru dalam
praktik
· Untuk mengetahui bagaimana cara menerapkan teori-
teori belajar dala pendidikan

1.5 Manfaat Penyusunan

Adapun penyusunan makalah ini bermanfaat secara:

a. Teoretis, untuk mengkaji ilmu pendidikan khususnya


dalam memahami implikasi pendidikan, pembelajaran,
pengajaran, prinsip-prinsip pembelajaran, dan
perkembangan teori pembelajaran.

b. Praktis, bermanfaat bagi:

1) para pendidik agar pendidik tidak salah persepsi


tentang pendidikan, pembelajaran, dan pengajaran, serta
dapat menerapkan prinsip-prinsip pembelajaran dan teori
pembelajaran yang sesungguhnya,
2) mahasiswa agar memahami tentang pengertian, prinsip,
dan perkembangan teori pembelajaran.

1.6 Sistematika Penulisan

Adapun sistematika penulisan laporan ini adalah:

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang masalah berisi tentang masalah yanbg


akan di pecahkan

1.2 Rumusan masalah berisi tentang masalah-masalah


yang di persempit

1.3 Hipotesa berisi tentang dugaan sementara

1.4 Tujuan penelitian berisi tentang tujuan penelitian


1.5 Manfaat penyusunan berisi tentang manfaat-manfaat
penyusunan

1.6 Sistematika penulisan

BAB II PEMBAHASAN

Beisi tentang penjabaran dari konsep dasar teori-teoti


belajar pembelajaran

BAB III KESIMPULAN

Berisi tentang kesimpulan dari hasil penelitian

BAB II

PEMBAHASAN
2.1 Konsep Dasar Teori-teori Belajar Behaviorisme,
Kognitif, Kontruktivisme, dan Humanisme

2.1.1 Konsep Dasar Teori Belajar Behaviorisme

Behaviorisme adalah teori perkembangan perilaku, yang


dapat diukur, diamati dan dihasilkan oleh respons pelajar
terhadap rangsangan. Tanggapan terhadap rangsangan
dapat diperkuat dengan umpan balik positif atau negatif
terhadap perilaku kondisi yang diinginkan. Hukuman
kadang-kadang digunakan dalam menghilangkan atau
mengurangi tindakan tidak benar, diikuti dengan
menjelaskan tindakan yang diinginkan. Pendidikan
behaviorisme merupakan kunci dalam mengembangkan
keterampilan dasar dan dasar-dasar pemahaman dalam
semua bidang subjek dan manajemen kelas. Ada ahli yang
menyebutkan bahwa teori belajar behavioristik adalah
perubahan perilaku yang dapat diamati, diukur dan dinilai
secara konkret.
Premis dasar teori belajar behavioristik menyatakan
bahwa interaksi antara stimulus respons dan penguatan
terjadi dalam suatu proses belajar. Teori belajar
behavioristik sangat menekankan pada hasil belajar, yaitu
perubahan tingkah laku yang dapat dilihat. Hasil belajar
diperoleh dari proses penguatan atas respons yang muncul
terhadap stimulus yang bervariasi.

Salah satu teori belajar behavioristik adalah teori classical


conditioning dari Pavlov yang didasarkan pada reaksi
sistem tak terkondisi dalam diri seseorng serta gerak
refleks setelah menerima stimulus. Menurut Pavlov,
penguatan berperan penting dalam mengkondisikan
munculnya respons yang diharapkan. Jika penguatan tidak
dimunculkan, dan stimulus hanya ditampilkan sendiri,
maka respons terkondisi akan menurun dan atau
menghilang. Namun, suatu saat respons tersebut dapat
muncul kembali.

Sementara itu, connectionism dari Thorndike menyatakan


bahwa belajar merupakan proses coba-coba sebagai reaksi
terhadap stimulus. Respons yang benar akan semakin
diperkuat melalui serangkaian proses coba-coba,
sementara respons yang tidak benar akan menghilang.
Akibat menyenangkan dari suatu respons akan
memperkuat kemungkinan munculnya respons. Respons
yang benar diperoleh dari proses yang berulang kali yang
dapat terjadi hanya jika siswa dalam keadaan siap.

Teori behaviorism dari Watson menyatakan bahwa


stimulus dan respons yang menjadi konsep dasar dalam
teori perilaku haruslah berbentuk tingkah laku yang dapat
diamati. Interaksi stimulus dan respons merupakan proses
pengkondisian yang akan terjadi berulang-ulang untuk
mencapai hasil yang cukup kompleks.

Ciri dari teori behavioristik adalah mengutamakan unsur-


unsur dan bagian kecil, bersifat mekanistis, menekankan
peranan lingkungan, mementingkan pembentukan reaksi
atau respon, menekankan pentingnya latihan,
mementingkan mekanisme hasil belajar,mementingkan
peranan kemampuan dan hasil belajar yang diperoleh
adalah munculnya perilaku yang diinginkan. Guru yang
menganut pandangan ini berpandapat bahwa tingkahlaku
siswa merupakan reaksi terhadap lingkungan dan tingkahl
laku adalah hasil belajar.
Dalam hal konsep pembelajaran, proses cenderung pasif
berkenaan dengan teori behavioris. Pelajar menggunakan
tingkat keterampilan pengolahan rendah untuk memahami
materi dan material sering terisolasi dari konteks dunia
nyata atau situasi. Little tanggung jawab ditempatkan
pada pembelajar mengenai pendidikannya sendiri.

2.1.1.1 Prinsip Dasar Behaviorisme

Ø Perilaku nyata dan terukur memiliki makna tersendiri,


bukan sebagai perwujudan dari jiwa atau mental yang
abstrak

Ø Aspek mental dari kesadaran yang tidak memiliki


bentuk fisik adalah pseudo problem untuk sciene, harus
dihindari.

Ø Penganjur utama adalah Watson : overt, observable


behavior, adalah satu-satunya subyek yang sah dari ilmu
psikologi yang benar.
Ø Dalam perkembangannya, pandangan Watson yang
ekstrem ini dikembangkan lagi oleh para behaviorist
dengan memperluas ruang lingkup studi behaviorisme dan
akhirnya pandangan behaviorisme juga menjadi tidak
seekstrem Watson, dengan mengikutsertakan faktor-
faktor internal juga, meskipun fokus pada overt behavior
tetap terjadi.

Ø Aliran behaviorisme juga menyumbangkan metodenya


yang terkontrol dan bersifat positivistik dalam
perkembangan ilmu psikologi.

Ø Banyak ahli (a.l. Lundin, 1991 dan Leahey, 1991)


membagi behaviorisme ke dalam dua periode, yaitu
behaviorisme awal dan yang lebih belakangan.

2.1.1.2 Analisis Tentang Teori Behavioristik

Kaum behavioris menjelaskan bahwa belajar sebagai


suatu proses perubahan tingkah laku dimana
reinforcement dan punishment menjadi stimulus untuk
merangsang pebelajar dalam berperilaku. Pendidik yang
masih menggunakan kerangka behavioristik biasanya
merencanakan kurikulum dengan menyusun isi
pengetahuan menjadi bagian-bagian kecil yang ditandai
dengan suatu keterampilan tertentu. Kemudian, bagian-
bagian tersebut disusun secara hirarki, dari yang
sederhana sampai yang komplek (Paul, 1997).

Pandangan teori behavioristik telah cukup lama dianut


oleh para pendidik. Namun dari semua teori yang ada,
teori Skinnerlah yang paling besar pengaruhnya terhadap
perkembangan teori belajar behavioristik. Program-
program pembelajaran seperti Teaching Machine,
Pembelajaran berprogram, modul dan program-program
pembelajaran lain yang berpijak pada konsep hubungan
stimulus-respons serta mementingkan faktor-faktor
penguat (reinforcement), merupakan program
pembelajaran yang menerapkan teori belajar yang
dikemukakan Skiner.

Teori behavioristik banyak dikritik karena seringkali tidak


mampu menjelaskan situasi belajar yang kompleks, sebab
banyak variabel atau hal-hal yang berkaitan dengan
pendidikan dan/atau belajar yang dapat diubah menjadi
sekedar hubungan stimulus dan respon. Teori ini tidak
mampu menjelaskan penyimpangan-penyimpangan yang
terjadi dalam hubungan stimulus dan respon.

Pandangan behavioristik juga kurang dapat menjelaskan


adanya variasi tingkat emosi pebelajar, walaupun mereka
memiliki pengalaman penguatan yang sama. Pandangan
ini tidak dapat menjelaskan mengapa dua anak yang
mempunyai kemampuan dan pengalaman penguatan yang
relatif sama, ternyata perilakunya terhadap suatu pelajaran
berbeda, juga dalam memilih tugas sangat berbeda tingkat
kesulitannya. Pandangan behavioristik hanya mengakui
adanya stimulus dan respon yang dapat diamati. Mereka
tidak memperhatikan adanya pengaruh pikiran atau
perasaan yang mempertemukan unsur-unsur yang diamati
tersebut.

Teori behavioristik juga cenderung mengarahkan


pebelajar untuk berfikir linier, konvergen, tidak kreatif
dan tidak produktif. Pandangan teori ini bahwa belajar
merupakan proses pembentukan atau shaping, yaitu
membawa pebelajar menuju atau mencapai target tertentu,
sehingga menjadikan peserta didik tidak bebas berkreasi
dan berimajinasi. Padahal banyak faktor yang
mempengaruhi proses belajar, proses belajar tidak sekedar
pembentukan atau shaping.

Skinner dan tokoh-tokoh lain pendukung teori


behavioristik memang tidak menganjurkan digunakannya
hukuman dalam kegiatan pembelajaran. Namun apa yang
mereka sebut dengan penguat negatif (negative
reinforcement) cenderung membatasi pebelajar untuk
berpikir dan berimajinasi.

Menurut Guthrie hukuman memegang peranan penting


dalam proses belajar. Namun ada beberapa alasan
mengapa Skinner tidak sependapat dengan Guthrie, yaitu:

v Pengaruh hukuman terhadap perubahan tingkah laku


sangat bersifat sementara;
v Dampak psikologis yang buruk mungkin akan
terkondisi (menjadi bagian dari jiwa si terhukum) bila
hukuman berlangsung lama;

v Hukuman yang mendorong si terhukum untuk mencari


cara lain (meskipun salah dan buruk) agar ia terbebas dari
hukuman. Dengan kata lain, hukuman dapat mendorong si
terhukum melakukan hal-hal lain yang kadangkala lebih
buruk daripada kesalahan yang diperbuatnya.

Skinner lebih percaya kepada apa yang disebut sebagai


penguat negatif. Penguat negatif tidak sama dengan
hukuman. Ketidaksamaannya terletak pada bila hukuman
harus diberikan (sebagai stimulus) agar respon yang
muncul berbeda dengan respon yang sudah ada,
sedangkan penguat negatif (sebagai stimulus) harus
dikurangi agar respon yang sama menjadi semakin kuat.
Misalnya, seorang pebelajar perlu dihukum karena
melakukan kesalahan. Jika pebelajar tersebut masih saja
melakukan kesalahan, maka hukuman harus ditambahkan.
Tetapi jika sesuatu tidak mengenakkan pebelajar
(sehingga ia melakukan kesalahan) dikurangi (bukan
malah ditambah) dan pengurangan ini mendorong
pebelajar untuk memperbaiki kesalahannya, maka inilah
yang disebut penguatan negatif. Lawan dari penguatan
negatif adalah penguatan positif (positive reinforcement).
Keduanya bertujuan untuk memperkuat respon. Namun
bedanya adalah penguat positif menambah, sedangkan
penguat negatif adalah mengurangi agar memperkuat
respons.

2.1.1.3 Aplikasi Teori Behavioristik dalam Pembelajaran

Aliran psikologi belajar yang sangat besar pengaruhnya


terhadap arah pengembangan teori dan praktek
pendidikan dan pembelajaran hingga kini adalah aliran
behavioristik. Aliran ini menekankan pada terbentuknya
perilaku yang tampak sebagai hasil belajar. Teori
behavioristik dengan model hubungan stimulus
responnya, mendudukkan orang yang belajar sebagai
individu yang pasif. Respon atau perilaku tertentu dengan
menggunakan metode drill atau pembiasaan semata.
Munculnya perilaku akan semakin kuat bila diberikan
reinforcement dan akan menghilang bila dikenai
hukuman.
Aplikasi teori behavioristik dalam kegiatan pembelajaran
tergantung dari beberapa hal seperti: tujuan pembelajaran,
sifat materi pelajaran, karakteristik pebelajar, media dan
fasilitas pembelajaran yang tersedia. Pembelajaran yang
dirancang dan berpijak pada teori behavioristik
memandang bahwa pengetahuan adalah obyektif, pasti,
tetap, tidak berubah. Pengetahuan telah terstruktur dengan
rapi, sehingga belajar adalah perolehan pengetahuan,
sedangkan mengajar adalah memindahkan pengetahuan
(transfer of knowledge) ke orang yang belajar atau
pebelajar. Fungsi mind atau pikiran adalah untuk
menjiplak struktur pengetahuan yag sudah ada melalui
proses berpikir yang dapat dianalisis dan dipilah, sehingga
makna yang dihasilkan dari proses berpikir seperti ini
ditentukan oleh karakteristik struktur pengetahuan
tersebut. Pebelajar diharapkan akan memiliki pemahaman
yang sama terhadap pengetahuan yang diajarkan. Artinya,
apa yang dipahami oleh pengajar atau guru itulah yang
harus dipahami oleh murid.

Demikian halnya dalam pembelajaran, pebelajar dianggap


sebagai objek pasif yang selalu membutuhkan motivasi
dan penguatan dari pendidik. Oleh karena itu, para
pendidik mengembangkan kurikulum yang terstruktur
dengan menggunakan standar-standar tertentu dalam
proses pembelajaran yang harus dicapai oleh para
pebelajar. Begitu juga dalam proses evaluasi belajar
pebelajar diukur hanya pada hal-hal yang nyata dan dapat
diamati sehingga hal-hal yang bersifat tidak teramati
kurang dijangkau dalam proses evaluasi.

Implikasi dari teori behavioristik dalam proses


pembelajaran dirasakan kurang memberikan ruang gerak
yang bebas bagi pebelajar untuk berkreasi,
bereksperimentasi dan mengembangkan kemampuannya
sendiri. Karena sistem pembelajaran tersebut bersifat
otomatis-mekanis dalam menghubungkan stimulus dan
respon sehingga terkesan seperti kinerja mesin atau robot.
Akibatnya pebelajar kurang mampu untuk berkembang
sesuai dengan potensi yang ada pada diri mereka.

Karena teori behavioristik memandang bahwa


pengetahuan telah terstruktur rapi dan teratur, maka
pebelajar atau orang yang belajar harus dihadapkan pada
aturan-aturan yang jelas dan ditetapkan terlebih dulu
secara ketat. Pembiasaan dan disiplin menjadi sangat
esensial dalam belajar, sehingga pembelajaran lebih
banyak dikaitkan dengan penegakan disiplin. Kegagalan
atau ketidakmampuan dalam penambahan pengetahuan
dikategorikan sebagai kesalahan yang perlu dihukum dan
keberhasilan belajar atau kemampuan dikategorikan
sebagai bentuk perilaku yang pantas diberi hadiah.
Demikian juga, ketaatan pada aturan dipandang sebagai
penentu keberhasilan belajar. Pebelajar atau peserta didik
adalah objek yang berperilaku sesuai dengan aturan,
sehingga kontrol belajar harus dipegang oleh sistem yang
berada di luar diri pebelajar.

Tujuan pembelajaran menurut teori behavioristik


ditekankan pada penambahan pengetahuan, sedangkan
belajar sebagi aktivitas “mimetic”, yang menuntut
pebelajar untuk mengungkapkan kembali pengetahuan
yang sudah dipelajari dalam bentuk laporan, kuis, atau
tes. Penyajian isi atau materi pelajaran menekankan pada
ketrampian yang terisolasi atau akumulasi fakta mengikuti
urutan dari bagian ke keseluruhan. Pembelajaran
mengikuti urutan kurikulum secara ketat, sehingga
aktivitas belajar lebih banyak didasarkan pada buku
teks/buku wajib dengan penekanan pada ketrampilan
mengungkapkan kembali isi buku teks/buku wajib
tersebut. Pembelajaran dan evaluasi menekankan pada
hasil belajar.

Evaluasi menekankan pada respon pasif, ketrampilan


secara terpisah, dan biasanya menggunakan paper and
pencil test. Evaluasi hasil belajar menuntut jawaban yang
benar. Maksudnya bila pebelajar menjawab secara
“benar” sesuai dengan keinginan guru, hal ini
menunjukkan bahwa pebelajar telah menyelesaikan tugas
belajarnya. Evaluasi belajar dipandang sebagi bagian
yang terpisah dari kegiatan pembelajaran, dan biasanya
dilakukan setelah selesai kegiatan pembelajaran. Teori ini
menekankan evaluasi pada kemampuan pebelajar secara
individual.

Ada beberapa tokoh teori behavioristik. Tokoh-tokoh


aliran behavioristik tersebut antaranya adalah Thorndike,
Watson, Clark Hull, Edwin Guthrie, dan Skinner. Berikut
akan dibahas karya-karya para tokoh aliran behavioristik
dan analisis serta peranannya dalam pembelajaran.
1) Teori Belajar Menurut Thorndike

Menurut Thorndike, belajar adalah proses interaksi antara


stimulus dan respon. Stimulus adalah apa yang
merangsang terjadinya kegiatan belajar seperti pikiran,
perasaan, atau hal-hal lain yang dapat ditangkap melalui
alat indera. Sedangkan respon adalah reaksi yang
dimunculkan peserta didik ketika belajar, yang dapat pula
berupa pikiran, perasaan, atau gerakan/tindakan. Jadi
perubahan tingkah laku akibat kegiatan belajar dapat
berwujud konkrit, yaitu yang dapat diamati, atau tidak
konkrit yaitu yang tidak dapat diamati. Meskipun aliran
behaviorisme sangat mengutamakan pengukuran, tetapi
tidak dapat menjelaskan bagaimana cara mengukur
tingkah laku yang tidak dapat diamati. Teori Thorndike
ini disebut pula dengan teori koneksionisme (Slavin,
2000).

Ada tiga hukum belajar yang utama, menurut Thorndike


yakni (1) hukum efek; (2) hukum latihan dan (3) hukum
kesiapan (Bell, Gredler, 1991). Ketiga hukum ini
menjelaskan bagaimana hal-hal tertentu dapat
memperkuat respon.

2) Teori Belajar Menurut Watson

Watson mendefinisikan belajar sebagai proses interaksi


antara stimulus dan respon, namun stimulus dan respon
yang dimaksud harus dapat diamati (observable) dan
dapat diukur. Jadi walaupun dia mengakui adanya
perubahan-perubahan mental dalam diri seseorang selama
proses belajar, namun dia menganggap faktor tersebut
sebagai hal yang tidak perlu diperhitungkan karena tidak
dapat diamati. Watson adalah seorang behavioris murni,
karena kajiannya tentang belajar disejajarkan dengan
ilmu-ilmu lain seperi Fisika atau Biologi yang sangat
berorientasi pada pengalaman empirik semata, yaitu
sejauh mana dapat diamati dan diukur.

3) Teori Belajar Menurut Clark Hull


Clark Hull juga menggunakan variabel hubungan antara
stimulus dan respon untuk menjelaskan pengertian
belajar. Namun dia sangat terpengaruh oleh teori evolusi
Charles Darwin. Bagi Hull, seperti halnya teori evolusi,
semua fungsi tingkah laku bermanfaat terutama untuk
menjaga agar organisme tetap bertahan hidup. Oleh sebab
itu Hull mengatakan kebutuhan biologis (drive) dan
pemuasan kebutuhan biologis (drive reduction) adalah
penting dan menempati posisi sentral dalam seluruh
kegiatan manusia, sehingga stimulus (stimulus dorongan)
dalam belajarpun hampir selalu dikaitkan dengan
kebutuhan biologis, walaupun respon yang akan muncul
mungkin dapat berwujud macam-macam. Penguatan
tingkah laku juga masuk dalam teori ini, tetapi juga
dikaitkan dengan kondisi biologis (Bell, Gredler, 1991).

4) Teori Belajar Menurut Edwin Guthrie

Azas belajar Guthrie yang utama adalah hukum


kontiguiti. Yaitu gabungan stimulus-stimulus yang
disertai suatu gerakan, pada waktu timbul kembali
cenderung akan diikuti oleh gerakan yang sama (Bell,
Gredler, 1991). Guthrie juga menggunakan variabel
hubungan stimulus dan respon untuk menjelaskan
terjadinya proses belajar. Belajar terjadi karena gerakan
terakhir yang dilakukan mengubah situasi stimulus
sedangkan tidak ada respon lain yang dapat terjadi.
Penguatan sekedar hanya melindungi hasil belajar yang
baru agar tidak hilang dengan jalan mencegah perolehan
respon yang baru. Hubungan antara stimulus dan respon
bersifat sementara, oleh karena dalam kegiatan belajar
peserta didik perlu sesering mungkin diberi stimulus agar
hubungan stimulus dan respon bersifat lebih kuat dan
menetap. Guthrie juga percaya bahwa hukuman
(punishment) memegang peranan penting dalam proses
belajar. Hukuman yang diberikan pada saat yang tepat
akan mampu mengubah tingkah laku seseorang.

Saran utama dari teori ini adalah guru harus dapat


mengasosiasi stimulus respon secara tepat. Pebelajar
harus dibimbing melakukan apa yang harus dipelajari.
Dalam mengelola kelas guru tidak boleh memberikan
tugas yang mungkin diabaikan oleh anak (Bell, Gredler,
1991).

5) Teori Belajar Menurut Skinner


Konsep-konsep yang dikemukanan Skinner tentang
belajar lebih mengungguli konsep para tokoh sebelumnya.
Ia mampu menjelaskan konsep belajar secara sederhana,
namun lebihkomprehensif. Menurut Skinner hubungan
antara stimulus dan respon yang terjadi melalui interaksi
dengan lingkungannya, yang kemudian menimbulkan
perubahan tingkah laku, tidaklah sesederhana yang
dikemukakan oleh tokoh tokoh sebelumnya. Menurutnya
respon yang diterima seseorang tidak sesederhana itu,
karena stimulus-stimulus yang diberikan akan saling
berinteraksi dan interaksi antar stimulus itu akan
mempengaruhi respon yang dihasilkan. Respon yang
diberikan ini memiliki konsekuensi-konsekuensi.
Konsekuensi-konsekuensi inilah yang nantinya
mempengaruhi munculnya perilaku (Slavin, 2000). Oleh
karena itu dalam memahami tingkah laku seseorang
secara benar harus memahami hubungan antara stimulus
yang satu dengan lainnya, serta memahami konsep yang
mungkin dimunculkan dan berbagai konsekuensi yang
mungkin timbul akibat respon tersebut. Skinner juga
mengemukakan bahwa dengan menggunakan perubahan-
perubahan mental sebagai alat untuk menjelaskan tingkah
laku hanya akan menambah rumitnya masalah. Sebab
setiap alat yang digunakan perlu penjelasan lagi, demikian
seterusnya.

Aliran psikologi belajar yang sangat besar pengaruhnya


terhadap arah pengembangan teori dan praktek
pendidikan dan pembelajaran hingga kini adalah aliran
behavioristik. Aliran ini menekankan pada terbentuknya
perilaku yang tampak sebagai hasil belajar. Teori
behavioristik dengan model hubungan stimulus
responnya, mendudukkan orang yang belajar sebagai
individu yang pasif. Respon atau perilaku tertentu dengan
menggunakan metode drill atau pembiasaan semata.
Munculnya perilaku akan semakin kuat bila diberikan
reinforcement dan akan menghilang bila dikenai
hukuman.

2.1.2 Konsep Dasar Teori Belajar Kognitif

Belajar seharusnya menjadi kegiatan yang tak terpisahkan


dari kehidupan manusia. Belajar merupakan salah satu
kebutuhan hidup manusia yang paling penting dalam
upaya mempertahankan hidup dan mengembangkan diri.
Dalam dunia pendidikan belajar merupakan aktivitas
pokok dalam penyelenggaraan proses belajar-mengajar.
Melalui belajar seseorang dapat memahami sesuatu
konsep yang baru, dan atau mengalami perubahan tingkah
laku, sikap, dan ketrampilan.

Pada dasarnya terdapat dua pendapat tentang teori belajar


yaitu teori belajar aliran behavioristik dan teori belajar
kognitif. Teori belajar behavioristik menekankan pada
pengertian belajar merupakan perubahan tingkah laku,
sehingga hasil belajar adalah sesuatu yang dapat diamati
dengan indra manusia langsung tertuangkan dalam
tingkah laku. Seperti yang dikemukakan oleh Ahmadi dan
Supriono (1991: 121) bahwa belajar adalah suatu proses
usaha yang dilakukan individu untuk memperoleh suatu
perubahan tingkah laku yang baru secara keseluruhan
sebagai hasil pengalaman individu itu sendiri dalam
interaksi dengan lingkungannya”.

Sedangkan teori belajar kognitif lebih menekankan pada


belajar merupakan suatu proses yang terjadi dalam akal
pikiran manusia. Seperti juga diungkapkan oleh Winkel
(1996: 53) bahwa “Belajar adalah suatu aktivitas mental
atau psikis yang berlangsung dalam interaksi aktif dengan
lingkungan yang menghasilkan perubahan-perubahan
dalam pengetahuan pemahaman, ketrampilan dan nilai
sikap. Perubahan itu bersifat secara relatif dan berbekas”.

Sehingga dapat disimpulkan bahwa pada dasarnya belajar


adalah suatu proses usaha yang melibatkan aktivitas
mental yang terjadi dalam diri manusia sebagai akibat dari
proses interaksi aktif dengan lingkungannya untuk
memperoleh suatu perubahan dalam bentuk pengetahuan,
pemahaman, tingkah laku, ketrampilan dan nilai sikap
yang bersifat relatif dan berbekas.

Sesuai dengan karakteristik matematika maka belajar


matematika lebih cenderung termasuk ke dalam aliran
belajar kognitif yang proses dan hasilnya tidak dapat
dilihat langsung dalam konteks perubahan tingkah laku.
Berikut adalah beberapa teori belajar kognitif menurut
beberapa pakar teori belajar kognitif:

Menuru teori belajar kognitif pada dasarnya setiap orang


dalam bertingkah laku dan mengerjakan segala sesuatu
senantiasa dipengaruhi oleh tingkat-tingkat perkembangan
dan pemahamannya atas dirinya sendiri. Setiap orang
memiliki kepercayaan, ide-ide dan prinsip yang dipilih
untuk kepentingan dirinya.

Teori kognitif berasal dari teori kognitif dan teori


psikologi. Aspek kognitif mempersoalkan bagaimana
seseorang memperoleh pemahaman mengenai dirinya dan
lingkungannya dan bagaimana ia berhubungan dengan
lingkungan secara sadar. Sedangkan aspek psikologis
membahas masalah hubungan atau interaksi antara orang
dan lingkungan psikologisnya secara bersamaan.
Psikologi kognitif menekankan pada penting proses
internal atau proses-proses mental.

Menurut teori belajar kognitif, belajar merupakan proses-


proses internal yang tidak dapat diamati secara langsung.
Adapun tujuan teori ini adalah:

a. Membentuk hubungan yang teruji, teramalkan dari


tingkah laku orang-orang pada ruang kehidupan mereka
sendiri secara spesifik sesuai dengan situasi
psikologisnya.

b. Membantu guru u Menuru teori belajar kognitif pada


dasarnya setiap orang dalam bertingkah laku dan
mengerjakan segala sesuatu senantiasa dipengaruhi oleh
tingkat-tingkat perkembangan dan pemahamannya atas
dirinya sendiri. Setiap orang memiliki kepercayaan, ide-
ide dan prinsip yang dipilih untuk kepentingan dirinya.

Teori kognitif berasal dari teori kognitif dan teori


psikologi. Aspek kognitif mempersoalkan bagaimana
seseorang memperoleh pemahaman mengenai dirinya dan
lingkungannya dan bagaimana ia berhubungan dengan
lingkungan secara sadar. Sedangkan aspek psikologis
membahas masalah hubungan atau interaksi antara orang
dan lingkungan psikologisnya secara bersamaan.
Psikologi kognitif menekankan pada penting proses
internal atau proses-proses mental.
Menurut teori belajar kognitif, belajar merupakan proses-
proses internal yang tidak dapat diamati secara langsung.
Adapun tujuan teori ini adalah

a. Membentuk hubungan yang teruji, teramalkan dari


tingkah laku orang-orang pada ruang kehidupan mereka
sendiri secara spesifik sesuai dengan situasi
psikologisnya.

b. Membantu guru untuk memahami orang lain, terutama


muridnya, dan membantu dirinya sendiri

c. Mengkonstruksi prinsip-prinsip ilmiah yang dapat


diterapkan dalam kelas dan untuk menghasilkan prosedur
yang memungkinkan belajar menjadi produktif.

d. Teori belajar kognitif menjelaskan bagaimana


seseorang mencapai pemahaman atas diri dan
lingkungannya lalu menafsirkan bahwa diri dan
lingkungannya merupakan faktor yang saling berkaitan.
Insight adalah pemahaman dasar yang dapat diaplikasikan
pada beberapa situasi yang sama atau hamper sama.
Dapat juga dikatakan insight adalah pemahaman terhadap
suatu situasi secara mendalam. Insight terjadi dengan
malihat kasus-kasus/kejadian yang terpisah, kemudian
manggeneralisasikannya sehingga timbul pemahaman.

Perbedaan pandangan teori kognitif dan teori conditioning


stimulus-respons adalah sebagai berikut.

a. Teori kognitif menekankan pada fungsi-fungsi


psikologis, sedangkan teori behaviorisme pada segi
fisiknya saja.

b. Teori kognitif berfokus pada situasi saat ini, sedangkan


teori behaviorisme pada sejarah masa lalu.

c. Dalam proses kognitif terjadi interaksi antara manusia


dengan lingkungannya secara simultan dan saling
membutuhkan.
Prinsip-prinsip dasar teori belajar kognitif dapat
dirumuskan sebagai berikut.

a. Belajar merupakan peristiwa mental yang berhubungan


dengan berpikir, perhatian, persepsi, pemecahan masalah,
dan kesadaran

b. Sehubungan dengan pembelajaran, teori belajar


perilaku dan kognitif pada akhirnya sepakat bahwa guru
harus memperhatikan perilaku siswa yang tampak, seperti
penyelesaian tugas rumah, hasil tes, disamping itu juga
harus memperhatikan faktor manusia dan lingkungan
psikologisnya.

c. Ahli kognitif percaya bahwa kemampuan berpikir


setiap orang tidak sama dan tidak tetap dari waktu ke
waktu.

Model teori belajar kognitif yang banyak diterapkan


dalam dunia pendidikan adalah model belajar penemuan
dari Brunner, model belajar bermakna dari Ausebel,
model pemrosesan informasi dan model peristiwa
pembelajaran dari Rober Gagne, dan model
“perkembangan intelektual” dari Jean Piaget.

Tokoh teori belajar kognitif diantaranya:

1) Teori Belajar Kognitif Gestalt

Teori kognitif mulai berkembang dengan lahirnya teori


belajar gestalt. Peletak dasar teori gestalt adalah Merx
Wertheimer (1880-1943) yang meneliti tentang
pengamatan dan problem solving. Sumbangannya diikuti
oleh Kurt Koffka (1886-1941) yang menguraikan secara
terperinci tentang hokum-hukum pengamatan, kemudian
Wolfgang Kohler (1887-1959) yang meneliti tentang
insight pada simpase. Kaum gestaltis berpendapat bahwa
pengalaman itu berstuktur yang terbentuk dalam suatu
keseluruhan. Menurut pandangan gestaltis, semua
kegiatan belajar menggunakan pemahaman terhadap
hubungan hubungan, terutama hubungan antara bagian
dan keseluruhan. Intinya, menurut mereka, tingkat
kejelasan dan keberartian dari apa yang diamati dalam
situasi belajar adalah lebih meningkatkan kemampuan
belajar seseorang dari pada dengan hukuman dan
ganjaran.

2) Teori Belajar Cognitive-Field Dari Lewin

Kurt Lewin (1892-1947) mengembangkan suatu teori


belajar kognitif-field dengan menaruh perhatian kepada
kepribadian dan psikologi social. Lewin memandang
masing-masing individu berada di dalam suatu medan
kekuatan yang bersifat psikologis. Medan dimana
individu bereaksi disebut life space. Life space
mencankup perwujudan lingkungan di mana individu
bereaksi, misalnya ; orang – orang yang dijumpainya,
objek material yang ia hadapi serta fungsi kejiwaan yang
ia miliki. Jadi menurut Lewin, belajar berlangsung
sebagai akibat dari perubahan dalam struktur kognitif.
Perubahan sruktur kognitif itu adalah hasil dari dua
macam kekuatan, satu dari stuktur medan kognisi itu
sendiri, yang lainya dari kebutuhan motivasi internal
individu. Lewin memberikan peranan lebih penting pada
motivasi dari reward.
3) Teori Belajar Cognitive Developmental Dari Piaget

Dalam teorinya, Piaget memandang bahwa proses


berpikir sebagai aktivitas gradual dari fungsi intelektual
dari konkret menuju abstrak. Piaget adalah ahli psikolog
developmentat karena penelitiannya mengenai tahap
tahap perkembangan pribadi serta perubahan umur yang
mempengaruhi kemampuan belajar individu. Menurut
Piaget, pertumbuhan kapasitas mental memberikan
kemampuan-kemapuan mental yang sebelumnya tidak
ada. Pertumbuhan intelektuan adalah tidak kuantitatif,
melainkan kualitatif. Pada intinya, perkembangan kognitif
bergantung kepada akomodasi. Kepada siswa harus
diberikan suatu area yang belum diketahui agar ia dapat
belajar, karena ia tak daapat belajar dari apa yang telah
diketahuinya.

4) Jerome Bruner Dengan Discovery Learningnya


Yang menjadikan dasar ide J. Bruner ialah pendapat dari
Piaget yang menyatakan bahwa anak harus berperan
secara aktif di dalam belajar di kelas. Untuk itu bruner
memakai cara dengan apa yang disebutnya discovery
learning, yaitu dimana murid mengorganisasi bahan
pelajaran yang dipelajarai dengan suatu bentuk akhir yang
sesuai dengan tingkat kemajuan anak tersebut. Bruner
menyebutkan hendaknya guru harus memberikan
kesempatan kepada muridnya untuk menjadi seorang
problem solver, seorang scientist, historian atau ahli
matematika. Biarkan murid kita menemukan arti bagi diri
mereka sendiri dan memungkinkan mereka mempelajari
konsep-konsep di dalam bahasa yang mereka mengerti

5) Teori Belajar Vygostky

Tokoh kontruktivis lain adalah Vygotsky. Sumbangan


penting teori Vygotsky adalah penekanan pada
hakekatnya pembelajaran sosiokultural. Inti teori
Vygotsky adalah menekankan interaksi antara aspek
“internal” dan “eksternal” dari pebelajaran dan
penekanannya pada lingkungan sosial pebelajaran.
Menurut teori Vygotsky, fungsi kognitif berasal dari
interaksi sosial masing – masing individu dalam konsep
budaya. Vygotsky juga yakin bahwa pembelajaran terjadi
saat siswa bekerja menangani tugas – tugas yang belum
dipelajari namun tugas- tugas itu berada dalam “zone of
proximal development” mereka. Zone of proximal
development adalah jarak antara tingkat perkembangan
sesungguhnya yang ditunjukkan dalam kemampuan
pemecahan masalah secara mandiri dan tingkat
kemampuan perkembangan potensial yang ditunjukkan
dalam kemampuan pemecahan masalah di bawah
bimbingan orang dewasa atau teman sebaya yang lebih
mampu.

Teori Vygotsky yang lain adalah “scaffolding“.


Scaffolding adalah memberikan kepada seseorang anak
sejumlah besar bantuan selama tahap – tahap awal
pembelajaran dan kemudian mengurangi bantuan tersebut
dan memberikan kesempatan kepada anak tersebut
mengambil alih tanggung jawab yang semakin besar
segera setelah ia mampu mengerjakan sendiri. Bantuan
yang diberikan guru dapat berupa petunjuk, peringatan,
dorongan menguraikan masalah ke dalam bentuk lain
yang memungkinkan siswa dapat mandiri.
Vygotsky menjabarkan implikasi utama teori
pembelajarannya yaitu 1) menghendaki setting kelas
kooperatif, sehingga siswa dapat saling berinteraksi dan
saling memunculkan strategi – strategi pemecahan
masalah yang efektif dalam masing – masing zone of
proximal development mereka; 2) Pendekatan Vygotsky
dalam pembelajaran menekankan scaffolding. Jadi teori
belajar Vygotsky adalah salah satu teori belajar sosial
sehingga sangat sesuai dengan model pembelajaran
kooperatif karena dalam model pembelajaran kooperatif
terjadi interaktif sosial yaitu interaksi antara siswa dengan
siswa dan antara siswa dengan guru dalam usaha
menemukan konsep – konsep dan pemecahan masalah.

2.1.2.1 Pandangan-Pandangan Teori Kognitif

Tidak seperti halnya belajar menurut perspektif behavioris


dimana perilaku manusia tunduk pada peneguhan dan
hukuman, pada perspektif kognitif ternyata ditemui tiap
individu justru merencakan respons perilakunya,
menggunakan berbagai cara yang bisa membantu dia
mengingat serta mengelola pengetahuan secara unik dan
lebih berarti. Teori belajar yang berasal dari aliran
psikologi kognitif ini menelaah bagaimana orang berpikir,
mempelajari konsep dan menyelesaikan masalah. Hal
yang menjadi pembahasan sehubungan dengan teori
belajar ini adalah tentang jenis pengetahuan dan memori.

Jenis Pengetahuan

Menurut pendekatan kognitif yang mutakhir, elemen


terpenting dalam proses belajar adalah pengetahuan yang
dimiliki oleh tiap individu kepada situasi belajar. Dengan
kata lain apa yang telah kita diketahui akan sangat
menentukan apa yang akan menjadi perhatian, dipersepsi,
dipelajari, diingat ataupun dilupakan. Pengetahuan bukan
hanya hasil dari proses belajar sebelumnya, tapi juga akan
membimbing proses belajar berikutnya. Berbagai riset
terapan tentang hal ini telah banyak dilakukan dan makin
membuktikan bahwa pengetahuan dasar yang luas
ternyata lebih penting dibanding strategi belajar yang
terbaik yang tersedia sekalipun. Terlebih bila pengetahuan
dan wawasan yang luas ini disertai dengan strategi yang
baik tentu akan membawa hasil lebih baik lagi tentunya.
Perspektif kognitif membagi jenis pengetahuan menjadi
tiga bagian, yaitu:

v Pengetahuan Deklaratif, yaitu pengetahuan yang bisa


dideklarasikan biasanya dalam bentuk kata atau
singkatnya pengetahuan konseptual.

v Pengetahuan Prosedural, yaitu pengetahuan tentang


tahapan yang harus dilakukan misalnya dalam hal
pembagian satu bilangan ataupun cara kita
mengemudikan sepeda, singkatnya “pengetahuan
bagaimana”.

v Pengetahuan Kondisional, adalah pengetahuan dalam


hal “kapan dan mengapa” pengetahuan deklaratif dan
prosedural digunakan.

Pengetahuan deklaratif rentangnya sangat beragam, bisa


berupa pengetahuan tentang fakta (misalnya, bumi
berputar mengelingi matahari dalam kurun waktu
tertentu), generalisasi (setiap benda yang di lempar ke
angkasa akan jatuh ke bumi karena adanya gaya
gravitasi), pengalaman pribadi (apa yang diajarkan oleh
guru sains secara menyenangkan) atau aturan (untuk
melakukan operasi penjumlahan dan pengurangan pada
pecahan maka pembilang harus disamakan terlebih
dahulu).

2.1.3 Konsep Dasar Teori Belajar Konstruktivisme

Pandangan konstruktivis mengemukakan bahwa belajar


merupakan usaha memberi makna oleh siswa terhadap
pengalamannya melalui asimilasi dan akomodasi yang
menuju kepada pembentukan struktur kognitifnya. Proses
belajar sebagai usaha pemberian makna oleh siswa
kepada pengalamnnya melalui proes asimilasi dan
akomdasi, akan membentuk suatu konstruksi pengetahuan
yang menuju kepada kemutakhiran struktur kognitifnya.
Guru-guru konsytruktivistik yang mengakui dan
menghargai dorongan diri manusia/siswa untuk
mengkonstruksi pengetahuannya sendiri, kegaiata
pembelajaran yang dilakukannya akan diarahkan agar
terjadi aktivitas konstruksi pengetahuan oleh siswa secara
optimal.

Konstruktivisme merupakan teori belajar dari piaget.


Konstruktivisme juga bagian dari teori kognitif (Muchith,
2008:71). Teori konstruktivisme dikembangkan oleh
Piaget pada pertengahan abad 20 (Sanjaya,2009:123).
Konstruktivisme adalah sebuah gerakan besar yang
memiliki posisi filosofis sebesar strategi pendidikan.
Konstruktivisme sangat berpengaruh di bidang
pendidikan, dan memunculkan metode dan strategi
mengajar baru (Muijs dan Reynolds, 2008:95).

1) Teori Belajar Kontruktivisme Jean Piaget

Jean piaget adalah psikolog pertama yang menggunakan


filsafat kontruktivisme, yang teori pengetahuannya
dikenal dengan adaptasi kognitif. Manusia berhapadan
dengan tantangan, pengalaman, gejala baru, dan persoalan
yang harus ditanggapi secara kognitif (mental). Untuk itu,
manusia harus mengembangkankan skema pikirannya
lebih umum atau rinci, atau perlu perubahan, menjawab
dan menginterpretasikan pengalaman-pengalaman
tersebut.

Piaget (1967, 1970) mengembangkan konsep dan metode


teori dasar untuk mengkaji proses kognitif. Teori dan
penelitian Piaget (1967) mengenai perkembangan kognitif
menyarankan bahwa anak-anak tumbuh melalui beberapa
tingkatan (stages) yang berbeda dalam perkembangan
kognitif dan bayi sampai dewasa. Menurut Piaget tingkat
pertama perkembangan kognitif membangun fondasi
untuk perkembangan konsepual dalam tindakan, dimulai
dengan tindakan sensori motorik dan refleksi. Tingkatan
selanjutnya membangun tingkat kognisi yang lebih tinggi
pada skema yang terbentuk sebelumnya. Piaget
menawarkan statement ringkas pada teorinya tentang
meaning making: “otak mengorganisasi dunia dengan
mengorganisasi dirinya”. (Piaget, 1937/1971, hlm.311).
(Robert, 2004:70).

Selain itu, Piaget juga berpendapat bahwa pada dasarnya


setiap individu sejak kecil sudah memiliki kemampuan
untuk menngkontruksi pengetahuannya sendiri.
Pengethuan yang dikonstruksi oleh anak sebagai subjek,
maka akan menjadi pengetahuan yang bermakna;
sedangkan pengetahuan yang hanya diperoleh melalui
pemberitahuan tidak akan menjadi pengetahuan yang
bermakna. pengethauan tersebut hanya untuk diingat
sementara setelah itu dilupakan (Sanjaya, 2009:124).

Menurut Piaget, mengkonstruksi pengetahuan dilakukan


melalui proses asimilasi dan akomodasi. Proses merespon
lingkungan sesuai dengan struktur kognitif seseorang
dinamakan assimilation (asimilasi), yakni sejenis
pencocokan atau penyesuaian antara struktur kognitif
dengan lingkungan fisik. Struktur kognitif yang eksis
pada momen tertentu akan dapat diasimilasikan oleh
organisme. Misalnya, jika skema mngisap, menatap,
menggapai, dan memegang sudah tersedia bagi si anak,
maka segala sesuatu yang dialami anak akan
diasimilasikan ke skemata itu. Saat struktur berubah maka
anak mungkin bisa mengasimilasikan aspek-aspek yang
berbeda dari lingklungan fisik. Skema yang dimaksud
oleh Piaget dalam hal ini adalah potensi umum untuk
melakukan satu kelompok prilaku. Skema adalah istilah
yang amat penting dalam teori piaget. Suatu skema dapat
dianggap sebagai elemen dalam struktur kognitif
organisme. Skemata (istilah jamak dari skema) yang ada
dalam organisme akan menentukan bagaimana ia akan
merespon lingkungan fisik (Hergenhan dan Olson, 2008:
314-315).

Jelas, jika asimilasi adalah satu-satunya proses kognitif,


maka tak akan ada perkembangan intelektual sebab
organisme hanya akan mengasimilasikan pengalamnnya
ke dalam struktur kognitif. Namun, proses penting kedua
menghasilkan mekanisme untuk perkembangan
intelektual yaitu accomodation (akomodasi), proses
memodifikasi struktur kognitif.

Setiap pengalaman yang dialami seseorang akan


melibatkan asimilasi dan akomodasi. kejadian-kejadian
yang berkoresponden dengan skemata oragnisme
membutuhkan akomodasi. Jadi, semua pengalaman
melibatkan dua proses yang sama-sama penting:
pengenalan atau mengetahui, yang berhubungan dengan
asimilasi dan akomodasi, yang menghasilkan modifikasi
struktur kognitif. modifikasi ini dapat disamakan dengan
proses belajar. dengan kata lain, kita merespon dunia
berdasarkan pengalaman yang kita alami sebelaumnya.
Aspek unik dari pengalaman ini menyebabkan perubahan
dalam struktur kogniti (akomodasi). Akomodasi
karenanya menyediakan sarana utama bagi perkembangan
intelektual.

2) Jhon Dewey dan Von Graselfeld.

Jhon Dewey dan Von Graselfeld. Dalam hal ini seperti


dikemukakan oleh Robert B. Innes (2004:1) bahwa
“Constructivist views of learning include a range of
theories that share the general perspective that knowledge
is constructed by learners rather than transmitted to
learners. Most of these theories trace their philosophical
roots to John Dewey”. Maksudnya adalah bahwa
pandangan penganut konstruktivisme mengenai belajar
meliputi serangkaian teori yang membagi perespektif
umum bahwa pengetahuan dikonstruksi oleh pembelajar
bukan ditransfer ke pembelajar. Kebanyakan dari teori
seperti ini berakar dari filsafat Jhon Dewey.

Dalam hal ini seperti dikemukakan oleh Robert B. Innes


(2004:1) bahwa “Constructivist views of learning include
a range of theories that share the general perspective that
knowledge is constructed by learners rather than
transmitted to learners. Most of these theories trace their
philosophical roots to John Dewey”. Maksudnya adalah
bahwa pandangan penganut konstruktivisme mengenai
belajar meliputi serangkaian teori yang membagi
perespektif umum bahwa pengetahuan dikonstruksi oleh
pembelajar bukan ditransfer ke pembelajar. Kebanyakan
dari teori seperti ini berakar dari filsafat Jhon Dewey.

Dewey menjelaskan bahwa manusia tidak selayaknya


dibagi ke dalam dua bagian, satunya emotional dan yang
lainnya intelektual—yang satunya materi nyata, lainnya
imajinatif. Pembagian seperti ini sesungguhnya seringkali
membangun, tetapi hal itu selalu karena metode yang
salah dalam pendidikan. Sebenarnya dan biasanya,
personalitas berkerja sebagai keseluruhan. Tidak ada
integrasi karakter dan otak kecuali ada penyatuan
intelektual dan emosional, makna dan nilai, kenyataan
dan imajinasi yang berjalan diluar kenyataan menuju
kecendrungan terhadap kemungkinan yang diinginkan
(Robert, 2004: 36)
Dewey memperkenalkan bahwa struktur internal
pengetahuan dan hubungannya dengan bagian masalah
adalah dasar dalam pengembangan pengetahuan yang
berguna. Orientasi terhadap pembelajaran untuk belajar
ketimbang mengumpulkan pengetahuan difasilitasi
dengan memfokuskan tentang apa yang oleh Brown dan
Campione (1996) sebut “big ideas and deep principles”
(ide-ide besar dan prinsip yang dalam)”. Kontruktivisme
menyakini bahwa belajar mencakup proses pengetahuan
yang lebih mendalam ketimbang menghafalkan materi.
Belajar meliputi restruktur atau menciptakan
keterhubungan dari sistem yang terintegrasi (misalnya,
menciptakan atau memodifikasi skema dengan suatu cara
yang memiliki efek yang kuat tentang apa yang
diperhatikan dan dipelajari dari hal tersebut; Bransford,
Frank, Vye & Sherwood, 1989) (Robbert B. Innes,
2004:38)

Prinsip dasar yang mendasari filsafat konstruktivis adalah


bahwa semua pengetahuan dikonstruksikan (dibangun)
dan bukan dipersepsi secara langsung oleh indera
(pemciuman, penglihatan, perabaan,…). Seperti dikatakan
oleh Von Glasersfeld (1984), salah satu pendiri gerakan
konstruktivis, bahwa konstruktivisme berakar pada
asumsi bahwa pengetahuan, tidak peduli bagaimana
pengetahuan itu didefinisikan, terbentuk di dalam otak
manusia, dan subjek yang berpikir tidak memiliki
alternatif selain mengkonstruksikan apa yang
diketahuinya berdasarkan pengalamannya sendiri. Semua
pikiran kita didasarkan oleh pada penglaman kita sendiri,
dan oleh karenanya bersifat subjektif (Muijs dan
Reynolds, 2008:96).

3) Von Galserfeld (dalam Paul, S., 1996)

Sebagaimana dikutif oleh Asri Budiningsih (2005:57)


mengemukakan bahwa ada beberapa kemampuan yang
diperlukan dalam proses mengkonstruksi pengetahuan,
yaitu; 1) kemampuan mengingat dan mengungkapkan
kembali pengalaman, 2) kemampuan membandingkan dan
mengambil keputusan akan kesamaan dan perbedaan dan
3) kemampuan untuk lebih menyukai suatu pengetahuan
yang satu daripada yang lainnya.
Setara dengan di atas, Budingsih juga mengemukakan
bahwa faktor-faktor yang juga mempengaruhi proses
mengkonstruksi pengetahuan adalah konstruksi
pengetahuan seseorang yang telah ada, domain
pengalaman, dan jaringan struktur kognitif yang
dimilikinya. Proses dan hasil konstruksi pengetahuan
yang telah dimiliki seseorang akan menjadi pembatas
konstruksi pengetahuan yang akan datang. Pengalaman
akan fenomena yang baru menjadi unsur penting dalam
membentuk dan mengembangkan pengetahuan.
keterbatasan pengalaman seseorang pada suatu hal juga
akan membatasi pengetahuannya akan hal tersebut.
pengetahuan yang telah dimiliki orang tersebut akan
membentuk suatu jaringan struktur kognitif dirinya.

Semua kalangan dari paham konstruktivis menyetujui


bahwa pengetahuan secara aktif dikonstruksi oleh
manusia, entah secara individual ataupun dalam
kelompok, bukannya diterima dari sumber natural atau
supranatural (atau bahkan dari seorang professor; Philips
1995). Selain ini, definisi kontruktivisme beragam
menurut permasalahan yang diperdebatkan bersama
dengan perubahan konstruktivis. Bidang perdebatan yang
paling dasar dipresentasikan oleh suatu rangkaian dalam
memandang belajar sebagai suatu tindakan instruksi
secara individual untuk melihat belajar sebagai sebuah
kontruksi sosial. Rangkaian ini dipusatkan pada satu
posisi yang dikenal sebagai konstruktivisme radikal atau
psikologikal, yang menggambarkan konstruksi
pengetahuan sebagai suatu proses yang terjadi dalam
mind dari individu. Pada sisi lain dari rangkaian tersebut
diberlakukan dengan posisi yang dikenal sebagai “social
constructivism or sociocultural posistion” yang melihat
“mind” sebagai hampir secara keseluruhan melekat pada
social practice of the culture (kenyataan sosial budaya)
(Robert, 2004: xiii)

Dengan demikian, kontruktivisme seperti dikatakan oleh


Von Glasefeld adalah salah satu filsafat pengetahuan yang
menekankan bahwa pengetahuan adalah bentukan
(kontruksi) kita sendiri. pengetahuan bukan juga
gambaran dari dunia kenyataan yang ada. Pengetahuan
merupakan hasil dari kontruksi kognitif melalui melalui
kegiatan seseorang dengan membuat struktur, kategori,
konsep, dan sekma yang diperlukan untuk membentuk
pengetahuan baru. Padangan kontruktivistik
mengemukakan bahwa realitas ada pada pikiran
seseorang. Manusia mengkonstruksi pengalamnnya.
konstruktivistik mengarahkan perhatiannya pada
bagaimana seseorang mengkonstruksi pengetahuan dari
pengalamnnya, struktur mental, dan keyakinan yang
digunakan untuk menginterpretasikan objek dan
peristiwa-peristiwa. Pandangan konstruktivistik mengakui
bahwa pikiran dalah instrumen penting dalam
menginterpretasikan kejadian, objek, dan pandangan
dunia nyata, di mana interpretasi tersebut terdiri dari
pengetahuan dasar manusia secara individual.

4) Paul Suparno SJ (Muchith, 2008:73)

Paul Suparno SJ (Muchith, 2008:73) menyatakan bahwa


model pembelajaran yang dianggap tepat menurut teori
konstruktivisme adalah model pembelajaran yang
demokratis dan dialogis. Pembelajaran harus memberikan
ruang kebebasan kepada siswa untuk melakukan kritik,
memiliki peluang yang luas untuk mengungkapkan ide
atau gagasannya, guru tidak memiliki jiwa otoriter dan
diktator.
Dengan dmemikian secara konseptual, Budiningsih
(2005: 58) mengemukakan bahwa belajar jika dipandang
dari segi kognitif, bukan sebagai peroleh informasi yang
berlangsung satu arah dari luar ke dalam diri siswa
melainkan sebagai pemberian makna oleh siswa kepada
pengalamnnya melalui proses asimilasi dan akomodasi
yang bermuara kepada oemutakhiran struktur kognitif.
Kegiatan belajar lebih dipandang dari segi prosesnya dari
pada segi perolehan pengetahuan dari fakta-fakta yang
terlepas-lepas. Proses tersebut berupa “…constructing and
restructuring of knowledge and skills (schemata) within
the individual in a complex network of increasing
conceptual consistency…”. pemberian makna terhadap
objek dan pengalaman oleh dindividu tersebut tidak
dilakukan seccara sendiri-sendiri oleh siswa, melainkan
melalui interaksi dalam jaringan sosial yang unik, yang
terbentuk baik dalam budaya kelas maupun di luar kelas.

2.1.3.1 Proses Belajar Menurut Teori Konstruktivisme


Menurut cara pandang teori konstruktivisme bahwa
belajar adalah proses untuk membangun pengetahuan
melalui pengalaman nyata dari lapangan. Artinya siswa
akan cepat memiliki pengalaman jika pengetahuan itu
dibangun atas dasar realitas yang ada di dalam
masyarakat. Penekanan teori konstruktivisme bukan pada
membangun kualitas kognitif, tetapi lebih pada proses
untuk menemukan teori yang dibangun dari realitas
lapangan (Muchith, 2008: 71).

Belajar bukanlah proses tekonologisasi (robot) bagi siswa,


melainkan proses untuk membangun penghayatan
terhadap suatu materi yang disampaikan sehingga proses
pembelajaran tidak hanya meyampaikan materi yang
bersifat normatif (tekstual) tetapi juga harus juga
menyampaikan materi yang bersifat kontekstual.

Teori konstruktivisme membawa implikasi dalam


pembelajaran yang harus bersifat kolektif atau kelompok.
Proses sosial masing-masing siswa harus diwujudkan. C.
Asri Budiningsih menyatakan bahwa keberhasilan belajar
sangat ditentukan oleh peran sosial yang ada pada diri
siswa. Dalam situasi sosial akan terjadi situasi saling
berhubungan, terdapat tata hubungan, tata tingkah laku
dan sikap di antara sesama manusia. konsekuensinya,
siswa harus memiliki keterampilan untuk menyesuaikan
diri (adaptasi) secara tepat (Muchith, 2008: 72).

Dalam kaitannya dengan ini, Bettencourt (1989)


mengemukakan bahwa ada tiga penekanan dalam teori
belajar kontruktivisme yaitu:

v peran katif siswa dalam mengkonstruksi pengetahuan


secara makna

v pentingnya membuat kaitan antara gagasan dalam


pengkonstruksian secara bermakna

v mengaitkan antara gagasan dengan informasi baru yang


diterima

Peran guru dalam pembelajaran menurut teori


kontruktivisme adalah lebih sebagai fasilitator atau
moderator. Artinya guru bukanlah satu-satunya sumber
belajar yang harus selalu ditiru dan segala ucapandan
tindakannya selalu benar, sedang murid sosok manusia
yang bodoh, segala ucapan dan tindakannya tidak selalu
dapat dipercaya atau salah. Proses pembelajaran seperti
ini, cendrung menempatkan siswa sebagai sosok manusia
yang pasif, statis dan tidak memiliki kepekaan dalam
memahami persoalan (Muchith, 2008:72-73).

Sebagai fasilitator, guru berperan dalam memberikan


pelayanan untuk memudahkan siswa dalam kegiatan
proses pembelajaran. Agar dapat melaksanakan peran
sebagai fasilitator dalam proses pembelajaran, Sanjaya
(2008: 23-24) berpendapat bahwa ada beberapa yang
harus dipahami, khususnya hal-hal yang berhubungan
dengan pemanfaatan berbagai media dan sumber
pembelajaran yaitu:

1. Guru perlu memahami berbagai jenis media dan


sumber belajar beserta fungsi masing-masing media
tersebut. Pemahaman akan fungsi media tersebut
diperlukan, belum tentu semua media cocok digunakan
untuk mengajarkan semua semua bahan pelajaran. Setiap
media memiliki karakteristik tersendiri

2. Guru perlu mempunyai keterampilan dalam merancang


suatu media. Dengan perancangan media yang dianggap
cocok akan memudahkan proses pembelajaran, sehingga
akan tercapai secara optimal.

3. Guru dituntut untuk mampu mengorganisasikan


berbagai jenis media serta dapat memanfaatkan berbagai
sumber belajar.

4. Guru dituntut agar mempunyai kemampuan dalam


berkomunikasi dan berinteraksi dengan siswa.
Kemampuan berkomunikasi secara efektif dapat
memudahkan siswa menangkap pesan sehingga dapat
meningkatkan motivasi belajar mereka.

Posisi siswa dalam pembelajaran menurut falsafah atau


teori konstruktivisme adalah siswa harus aktif, kreatif dan
kritis. konsekuensi utamanya guru sebelum memberikan
materi pembelajaran harus mengetahui kemampuan awal
siswa, jangan siswa dalam belajar berawal dari pemhaman
yang kosong.

Peran guru dan siswa dalam pembelajaran


konstruktivtistik harus diubah. Dalam hal ini, guru atau
pendidik berperan sebagai seseorang yang berperan
memberdayakan seluruh potensi siswa agar siswa mampu
melaksanakan proses pembelajaran. Guru bertugas tidak
mentransferkan pengetahuan yang telah dimilikinya,
melainkan berusaha memberdayakan seluruh potensi dan
sarana yang dapat membantu siswa untuk membentuk
pengetahuannya sendiri.

Menurut Muchith (2008:74) bahwa secara rinci peran


guru perlu dilakukan dengan cara sebagai berikut:

1. Mampu membangun atau menumbuhkan semangat atau


jiwa kemandirian dengan cara memberikan kesempatan
kepada siswa untuk mengambil inisiatif dalam memahami
pengetahuan atau teori;
2. Mampu membangun atau memimbing siswa dalam
memahami pengetahuan dan mampu berprilaku atau
bertindak sesuai dengan kenyataan yang ada dalam
realitas masyarakat;

3. mengkondisikan atau mewujudkan sistem pembelajaran


yang mendukung kemudahan belajar bagi siswa sehingga
mempunyai peluang optimal berlatih untuk memperoleh
kompetensi.

Sementara itu, peran siswa menurut pandangan


konstruktivisme bahwa siswa dalam proses pembelajaran
harus aktif melakukan kegiatan, aktif berfikir, menyusun
konsep dan memberikan makna tentang hal-hal yang
sedang dipelajari. Paradigma konstruktivisme
memandang bahwa siswa sebagai pribadi yang sudah
memiliki kemampuan awal sebelum mempelajari sesuatu.
Siswa dipahami pribadi yang memiliki kebebasan untuk
membangun ide atau gagasan tanpa harus diintervensi
oleh siapapun, siswa diposisikan manusia dewasa yang
sudah memiliki modal awal pengetahuan.
2.1.3.2 Aspek-aspek Pembelajaran Konstruktivistik

Fornot mengemukakan aaspek-aspek konstruktivitik


sebagai berikut: adaptasi (adaptation), konsep pada
lingkungan (the concept of envieronmet), dan
pembentukan makna (the construction of meaning). Dari
ketiga aspek tersebut oleh J. Piaget bermakna yaitu
adaptasi terhadap lingkungan dilakukan melalui dua
proses yaitu asimilasi dan akomodasi.

Asimilasi adalah proses kognitif dimana seseorang


mengintegrasikan persepsi, konsep ataupun pengalaman
baru ke dalam skema atau pola yang sudah ada dalam
pikirannya. Asimilasi dipandang sebagai suatu proses
kognitif yang menempatkan dan mengklasifikasikan
kejadian atau rangsangan baru dalam skema yang telah
ada. Proses asimilasi ini berjalan terus. Asimilasi tidak
akan menyebabkan perubahan/pergantian skemata
melainkan perkembangan skemata. Asimilasi adalah salah
satu proses individu dalam mengadaptasikan dan
mengorganisasikan diri dengan lingkungan baru
perngertian orang itu berkembang.

Akomodasi, dalam menghadapi rangsangan atau


pengalaman baru seseorang tidak dapat mengasimilasikan
pengalaman yang baru dengan skemata yang telah
dipunyai. Pengalaman yang baru itu bias jadi sama sekali
tidak cocok dengan skema yang telah ada. Dalam keadaan
demikian orang akan mengadakan akomodasi. Akomodasi
terjadi untuk membentuk skema baru yang cocok dengan
rangsangan yang baru atau memodifikasi skema yang
telah ada sehingga cocok dengan rangsangan itu. Bagi
Piaget adaptasi merupakan suatu kesetimbangan antara
asimilasi dan akomodasi. Bila dalam proses asimilasi
seseorang tidak dapat mengadakan adaptasi terhadap
lingkungannya maka terjadilah ketidaksetimbangan
(disequilibrium). Akibat ketidaksetimbangan itu maka
tercapailah akomodasi dan struktur kognitif yang ada
yang akan mengalami atau munculnya struktur yang baru.
Pertumbuhan intelektual ini merupakan proses terus
menerus tentang keadaan ketidaksetimbangan dan
keadaan setimbang (disequilibrium-equilibrium). Tetapi
bila terjadi kesetimbangan maka individu akan berada
pada tingkat yang lebih tinggi daripada sebelumnya.

Tingkatan pengetahuan atau pengetahuan berjenjang ini


oleh Vygotskian disebutnya sebagai scaffolding.
Scaffolding, berarti membrikan kepada seorang individu
sejumlah besar bantuan selama tahap-tahap awal
pembelajaran dan kemudian mengurangi bantuan tersebut
dan memberikan kesempatan kepada anak tersebut
mengambil alih tanggung jawab yang semakin besar
segera setelah mampu mengerjakan sendiri. Bantuan yang
diberikan pembelajar dapat berupa petunjuk, peringatan,
dorongan, menguraikan masalah ke dalam bentuk lain
yang memungkinkan siswa dapat mandiri. Vygotsky
mengemukakan tiga kategori pencapaian siswa dalam
upayanya memecahkan permasalahan, yaitu (1) siswa
mencapai keberhasilan dengan baik, (2) siswa mencapai
keberhasilan dengan bantuan, (3) siswa gagal meraih
keberhasilan. Scaffolding, berarti upaya pembelajar untuk
membimbing siswa dalam upayanya mencapai
keberhasilan. Dorongan guru sangat dibutuhkan agar
pencapaian siswa ke jenjang yang lebih tinggi menjadi
optimum.
Konstruktivisme Vygotskian memandang bahwa
pengetahuan dikonstruksi secara kolaboratif antar
individual dan keadaan tersebut dapat disesuaikan oleh
setiap individu. Proses dalam kognisi diarahkan memalui
adaptasi intelektual dalam konteks social budaya. Proses
penyesuaian itu equivalent dengan pengkonstruksian
pengetahuan secara intra individual yakni melalui proses
regulasi diri internal. Dalam hubungan ini, para
konstruktivis Vygotskian lebih menekankan pada
penerapan teknik saling tukar gagasan antar individual.

Dua prinsip penting yang diturunkan dari teori Vygotsky


adalah: (1), mengenai fungsi dan pentingnya bahasa
dalam komunikasi social yang dimulai proses
pencanderaan terhadap tanda (sign) sampai kepada tukar
menukar informasi dan pengetahuan, (2) zona of proximal
development. Pembelajar sebagai mediator memiliki
peran mendorong dan menjembatani siswa dalam
upayanya membangun pengetahuan, pengertian dan
kompetensi.
Sumbangan penting teori Vygotsky adalah penekanan
pada hakikat pembelajaran sosiakultural. Inti teori
Vygotsky adalah menekankan interaksi antara aspek
internal dan eksternal dari pembelajaran dan
penekanannya pada lingkungan social pembelajaran.
Menurut teori Vygotsky, funsi kognitif manusia berasal
dari interaksi social masing-masing individu dalam
konteks budaya. Vygotsky juga yakin bahwa
pembelajaran terjadi saat siswa bekerja menangani tugas-
tugas yang belum dipelajari namun tugas-tugas tersebut
masih dalam jangkauan kemampuannya atau tugas-tugas
itu berada dalam zona of proximal development mereka.
Zona of proximal development adalah daerah antar
tingkat perkembangan sesungguhnya yang didefinisikan
sebagai kemampuan memecahkan masalah secara mandiri
dan tingkat perkembangan potensial yang didefinisikan
sebagai kemampuan pemecahan masalah di bawah
bimbingan orang dewasa atau teman sebaya yang lebih
mampu. Pengetahuan berjenjang tersebut seperti pada
sekema berikut.
Pengetahuan dan pengertian dikonstruksi bila seseorang
terlibat secara social dalam dialog dan aktif dalam
percobaan-percobaan dan pengalaman. Pembentukan
makna adalah dialog antar pribadi.dalam hal ini pebelajar
tidak hanya memerlukan akses pengalaman fisik tetapi
juga interaksi dengan pengalaman yang dimiliki oleh
individu lain. Pembelajaran yang sifatnya kooperatif
(cooperative learning) ini muncul ketika siswa bekerja
sama untuk mencapai tujuan belajar yang diinginka oleh
siswa. Pengelolaan kelas menurut cooperative learning
bertujuan membantu siswa untuk mengembangkan niat
dan kiat bekerja sama dan berinteraksi dengna siswa yang
lain. Ada tiga hal penting yang perlu diperhatikan dalam
pengelolaan kelas yaitu: pengelompokan, semangar
kooperatif dan penataan kelas.

Pengetahuan berjenjang tersebut dapat digambarkan


seperti pada skema berikut:Secara singkat teori Peaget
dan Vygotsky dapat dikemukakan dalam table berikut ini.
Pembelajaran konstruktivistik dan pembelajaran
behavioristik yang dikemukakan oleh Degeng dapat
dilihat pada table-tabel berikut.

Pandangan Konstruktivistik dan behavioristik tentang


belajar dan pembelajaran.

Konstruktivistik

Behavioristik

Pengtahuan adalah non-objective, bersifat temporer,


selalu berubah dan tidak menentu.

Pengetahuan adalah objektif, pasti, dan tetap , tidak


berubah. Pengetahuan telah terstruktur dengan rapi.
Belajar adalah penyusunan pengetahuan dari pengalaman
konkrit, aktivitas kolaboratif, dan refleksi serta
interpretasi. Mengajar adalah menata lingkungan agar si
belajar termotivasi dalam menggali makna seta
menghargai ketidakmenentuan.

Belajar adalah perolehan pengetahuan, sedangkan


mengajar adalah memindahkan pengetahuan ke orang
yang belajar.

Si belajar akan memiliki pemahaman yang berbeda


terhadap pengetahuan tergantung pada pengalamannya,
dan perspektif yang dipakai dalam
menginterpretasikannya.

Si belajar akan memiliki pemahaman yang sama terhadap


pengetahuan yang diajarkan. Artinya, apa yang dipahami
oleh pengajar itulah yang harus dipahami oleh si belajar.
Mind berfungsi sebagai alat untuk menginterpretasi
peristiwa, objek, atau perspektif yang ada dalam dunia
nyata sehingga makna yang dihasilkan bersifat unik dan
individualistic.

Fungsi mind adalah menjiplak struktur pengetahuan


melalui proses berpikir yang dapat dianalisis dan dipilah
sehingga makna yang dihasilkan dari proses berpikir
seperti ini ditentukan oleh karakteristik struktur
pengetahuan.

Pandangan Konstruktivistik dan Behavioristik tentang


penataan lingkungan belajar

Konstruktivistik

Behavioristik
Ketidakteraturan, ketidakpastian, kesemrawutan,

Keteraturan, kepastian, ketertiban

Si belajar harus bebas. Kebebasan menjadi unsure yang


esensial dalam lingkungna belajar.

Si belajar harus dihadapkan pada aturan-aturan yang jelas


dan ditetapkan lebih dahulu secara ketat. Pembiasaan dan
disiplin menjadi sangat esensial. Pembelajaran lebih
banyak dikaitkan dengan penegakan disiplin.

Kegagalan atau keberhasilan, kemampuan atau


ketidakmampuan dilihat sebagai interpretasi yang berbeda
yang perlu dihargai.
Kegagalan atau ketidakmampuan dalam penambahan
pengetahuan dikategorikan sebagai kesalahan yang perlu
dihukum, dan keberhasilan atau kemampuan
dikategorikan sebagai bentuk perilaku yang pantas diberi
hadiah.

Kebebasan dipandang sebagai penentu keberhasilan


belajar. Si belajar adalah subjek yang harus memapu
menggunakan kebebasan untuk melakukan pengaturan
diri dalam belajar.

Ketaatan pada aturan dipandang sebagai penentu


keberhasilan belajar. Si belajar adalah objek yang harus
berperilaku sesuai dengan aturan.

Control belajar dipegang oleh si belajar.

Control belajar dipegang oleh system yang berada di luar


diri si belajar.
Pandangan Konstruktivistik dan behavioristik tentang
Tujuan Pembelajaran

Konstruktivistik

Behavioristik

Tujuan pembelajaran ditekankan pada belajar bagaimana


belajar (learn how to learn)

Tujuan belajar ditekankan pada penambahan


pengetahuan.

Pandangan Konstruktivistik dan behavioristik tentang


strategi pembelajaran
Konstruktivistik

Behavioristik

Penyejian isi menekankan pada penggunaan pengetahuan


secara bermakna mengikuti urutan dari keseluruhan-ke-
bagian.

Pembelajaran lebih banyak diarahkan untuk meladeni


pertanyaan atau pandangan si belajar.

Aktivitas belajar lebih banyak didasarkan pada data


primer dan bahan manipulatif dengan penekanan pada
keterampilan berpikir kritis.

Pembelajaran menekankan pada proses.


Penyajian isi menekankan pada keterampilan yang
terisolasi dan akumulasi fakta mengikuti urutan dari
bagian-ke-keseluruhan.

Pembelajaran mengikuti urutan kurikulum secara ketat.

Aktivitas belajar lebih banyak didasarkan pada buku teks


dengan penekanan pada keterampilan mengungkapkan
kembali isi buku teks.

Pembelajaran menekankan pada hasil

Pandangan Konstruktivistik dan Behavioristik tentang


evaluasi

Konstruktivistik

Behavioristik
Evaluasi menekankan pada penyusunan makna secara
aktif yang melibatkan keterampilan terintegrasi, dengan
menggunakan masalah dalam konsteks nyata.

Evaluasi yang menggali munculnya berpikir divergent,


pemecahan ganda, bukan hanya satu jawaban benar

Evaluasi merupakan bagian utuh dari belajar dengan cara


memberikan tugas-tugas yang menuntut aktivitas belajar
yang bermkana serta menerapkan apa yang dipelajari
dalam konteks nyata. evaluasi menekankan pad
aketerampilan proses dalam kelompok.

Evaluasi menekankan pada respon pasif, keterampilan


secara terpisah, dan biasanya menggunakan ‘paper and
pencil test’
Evaluasi yang menuntu satu jawaban benar. Jawaban
benar menunjukkan bahwa si-belajar telah menyelesaikan
tugas belajar.

Evaluasi belajar dipandang sebagai bagian terpisah dari


kegiatan pembelajaran, dan biasnaya dilakukan setelah
kegiatan belajar dengan penekanan pada evaluasi
individual.

2.1.3.3 Rancangan Pembelajaran Konstruktivistik

Berdasarkan teori J. Peaget dan Vygotsky yang telah


dikemukakan di atas maka pembelajaran dapat
dirancang/didesain model pembelajaran konstruktivis di
kelas sebagai berikut:

Pertama, identifikasi prior knowledge dan miskonsepsi.


Identifikasi awal terhadap gagasan intuitif yang mereka
miliki terhadap lingkungannya dijaring untuk mengetahui
kemungkinan-kemungkinan akan munculnya miskonsepsi
yang menghinggapi struktur kognitif siswa. Identifikasi
ini dilakukan dengan tes awal, interview

Kedua, penyusunan program pembelajaran. Program


pembelajaran dijabarkan dalam bentuk satuan pelajaran.

Ketiga orientasi dan elicitasi, situasi pembelajaran yang


kondusif dan mengasyikkan sangatlah perlu diciptakan
pada awal-awal pembelajaran untuk membangkitkan
minat mereka terhadap topic yang akan dibahas. Siswa
dituntun agar mereka mau mengemukakan gagasan
intuitifnya sebanyak mungkin tentang gejala-gejala fisika
yang mereka amati dalam lingkungan hidupnya sehari-
hari. Oengungkapan gagasan tersebut dapat memalui
diskusi, menulis, ilustrasi gambar dan sebagainya.
Gagasan-gagasan tersebut kemudian dipertimbangkan
bersama. Suasana pembelajaran dibuat santai dan tidak
menakutkan agar siswa tidak khawatir dicemooh dan
ditertawakan bila gagasan-gagasannya salah. Guru harus
menahan diri untuk tidak menghakiminya. Kebenaran
akan gagasan siswa akan terjawab dan terungkap dengan
sendirinya melalui penalarannya dalam tahap konflik
kognitif.
Keempat, refleksi. Dalam tahap ini, berbagai macam
gagasan-gagasan yang bersifat miskonsepsi yang muncul
pada tahap orientasi dan elicitasi direflesikan dengan
miskonsepsi yang telah dijaring pada tahap awal.
Miskonsepsi ini diklasifikasi berdasarkan tingkat
kesalahan dan kekonsistenannya untuk memudahkan
merestrukturisasikannya.

Kelima, resrtukturisasi ide, (a) tantangan, siswa diberikan


pertanyaan-pertany
TUGAS MANDIRI
Mata kuliah matrikulasi
dasar-dasar pendidikan mipa

NAMA MAHASISWA : HJ.YUSRAWITA BAHAR,S.Pt

KELAS : BULUKUMBA
Program mipa bersama
Pasca sarjana
universitas negeri Makassar
2012/2013

TUJUAN INSTITUSIONAL MTs :

1. MTs bertujuan memberikan bekal kemampuan dasar sebagai perluasan

dan peningkatan pengetahuan, agama dan keterampilan yang diperoleh di

Madrasah Ibtidaiyah atau Sekolah Dasar yang bermamfaat bagi siswa untuk

mengembangkan kehidupannya sebagai pribadi muslim, anggota

masyarakat, warga Negara dan sesuai dengan tingkat perkembangannya

serta mempersiapkan mereka untuk mengikuti pendidikan menengah dan

atau mempersiapkan mereka untuk hidup dalam masyarakat.


2. Untuk mencapai tujuan sebagaimana dimaksud dalam

ayat(1),penyelenggaraan pendidikan di MTs berpodoman pada tujuan

pendidikan nasional.

TUJUAN KURIKULER IPA :

1. Meningkatkan keyakinan terhadap kebesaran Tuhan Yang Maha Esa

berdasarkan keberadaan, keindahan dan keteraturan alam ciptaannya.

2. Mengembangkan pemahaman tentang berbagai macam gejala alam,

konsep dan prinsip IPA yang bermamfaat dan dapat diterapkan dalam

kehidupan sehari-hari.

3. Mengembangkan rasa ingin tahu, sikap positif, dan kesadaran terhadap

adanya hubungan yang saling mempengaruhi antara IPA, lingkungan,

teknologi, dan masyarakat.

4. Melakukan inkuiri ilmiah untuk menumbuhkan kemampuan berpikir,

bersikap dan bertindak ilmiah serta berkomunikasi.

5. Meningkatkan kesadaran untuk berperan serta dalam memelihara,

menjaga, dan melestarikan lingkungan serta sumber daya alam.

6. Meningkatkan kesadaran untuk menghargai alam dan segala

keteraturannya sebagai salah satu ciptaan Tuhan.


7. Meningkatkan pengetahuan konsep, dan keterampilan IPA sebagai dasar

untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang selanjutnya.

ILMU PENGETAHUAN ALAM (IPA)

1. Memberikan pengetahuan tentang lingkungan alam, ,mengembangkan

keterampilan, wawasan dan kesadaran teknologi dalam kaitan

pemamfaatannya bagi kehidupan sehari-hari.

2. Diperkenalkan pada pengertian dasar keilmuan, seperti hukum sebab

akibat dan cara-cara pengamatan obyektif dengan menggunakan alat-alat

yang dapat memperluas jangkauan panca indera manusia.

3. Diperkenalkan rekayasa sederhana untuk menumbuhkan dan memupuk

kreatifitas produk dalam mendayagunakan sumber daya alam yang tersedia

4. Agar menggunakan metode pendekatan agamis Al-Qurani.


DAFTAR HADIR GURU/PEGAWAI PADA UPACARA HAB KEMENAG YANG KE

MTs NEGERI BONTOTIRO KAB BULUKUMBA

NO NAMA PANGKAT/GOL JABATAN TANDA TANGAN


1 DRS.H.AWALUDDIN PEMBINA/IV/a KEPALA SEK

DRA NIRWATI MASRI PEMBINA/IV/a GURU

DRA SUHRIATI PEMBINA/IV/a

DRA SARDIANA PEMBINA/IV/a

DRA AGUS MADIANA PEMBINA/IV/a

MUH SALEH,S.Ag PENATA TK I/III/d

SUDARMIN,S.Ag.M.Pd PENATA/III/c

ROSNAWI, S.Ag PENATA MUDA TKI/III/b

NURHAYATI, S.Ag PENATA MUDA TK I/III/b


MURSALIM, S.Pd PENATA MUDA TK I/III/b

HASIRAH, S.Pd PENATA MUDA TK I/III/b

ROSNAENI, S.PdI PENATA MUDA TK I/III/b

SAFIA NUR, S.Ag PENATA MUDA TK I/III/b

IDA ASTANTI, S.Ag PENATA MUDA TK I/III/b

SUPRIADI, S.S PENATA MUDA TK I/III/b

HARTATIAH, S.Ag -

SYAMSIAH, S.Pd -

SYAHIRUDDIN, S.Ag -

A.ARIF RAHMAN, S.Pd -

SISRAWATI,S.PdI -

SURIANTI, S.PdI -

TAUFIK FIRDAUS, S.Pd -

NURLAELA, S.Pd -

HJ ANDI SOMPA, S.PdI PENATA MUDA/III/a KEP TU

RUSNAEDAH PENATA MUDA/III/a PEGAWAI

NADIRAH PENATA MUDA/III/a

KARTINI IDRUS, S.PdI PENATA MUDA/III/a

RATNAH SARI -
RAHMIATI -

BULUKUMBA,3 JANUARI 2013

MENGETAHUI

KEPALA MTsN BONTOTIRO

DRS.H.AWALUDDIN, M.Si

NIP.10660402 199703 1 001


Menurut model ini, motivasi seorang individu sangat dipengaruhi oleh berbagai faktor,
baik yang bersifat internal maupun eksternal. Termasuk pada faktor internal adalah : (a)
persepsi seseorang mengenai diri sendiri; (b) harga diri; (c) harapan pribadi; (d) kebutuhaan;
(e) keinginan; (f) kepuasan kerja; (g) prestasi kerja yang dihasilkan.
Sedangkan faktor eksternal mempengaruhi motivasi seseorang, antara lain ialah : (a) jenis
dan sifat pekerjaan; (b) kelompok kerja dimana seseorang bergabung; (c) organisasi tempat
bekerja; (d) situasi lingkungan pada umumnya; (e) sistem imbalan yang berlaku dan cara
penerapannya.

B. MOTIVASI EKSTRINSIK DAN INTRINSIK

Motivasi dapat dideskripsikan ke dalam 2 kategori yaitu :

 Motivasi ekstrinsik adalah mmotivasi yang ikut atau terbawa kegiatan untuk mencapai
tujuan akhir.
 Motivasi intrinsik adalah motivasi dari dalam diri yakni motivasi yang menyangkut
kegiatan (Pintrich dan Schunt).
1. Perencanaan Pembelajaran (Plan)
Peneliti sebagai dosen pendamping kegiatan lesson study mata pelajaran
biologi yang telah kurang lebih selama 2 tahun mendampingi kegiatan lesson
study di homebase VIII wilayah Pleret dan Sewon, banyak mendapatkan berbagai
permasalahan yang berkaitan dengan proses dan hasil pembelajaran IPA Biologi
di SMP. Kegiatan utama pada tahap plan ini adalah mengidentifikasi masalah
yang ada di kelas yang akan digunakan untuk kegiatan open class dan
perencanaan alternatif pemecahannya. Identifikasi masalah dalam rangka
perencanaan pemecahan masalah tersebut berkaitan dengan pokok bahasan
(materi pelajaran) yang relevan dengan kelas dan jadwal pelajaran, karakteristik
siswa dan suasana kelas, metode/pendekatan pembelajaran, media, alat peraga,
dan evaluasi proses dan hasil belajar.
1) Hasil pengamatan awal kinerja guru yang diperoleh dari hasil observasi
menggunakan instrumen pengamatan, dapat diidentifikasi beberapa masalah
konkret yang berkaitan dengan proses dan hasil pembelajaran biologi di SMP
5
antara lain: (1) proses pembelajaran dalam pelaksanaannya lebih didominasi
dengan metode ceramah, (2) berpusat pada guru (teacher centered learning),
(3) berorientasi pada target penyelesaian materi yang harus dikejar oleh guru
sehingga perhatiannya cenderung pada bagaimana menyelesaikan materi
tersebut sesuai waktu yang disediakan (tepat waktu), (4) berorientasi pada
aspek kognitif saja, kurang mengembangkan kompetensi afektif dan
psikomotorik siswa.
2) Hasil pengamatan awal kinerja siswa yang diperoleh dari hasil observasi
menggunakan instrumen pengamatan, catatan-catatan dan data-data hasil
belajar siswa, dapat diidentifikasi beberapa masalah konkret yang berkaitan
dengan proses dan hasil pembelajaran biologi di SMP antara lain: (1) siswa
tampak bosan dan kurang berminat dalam mengikuti pelajaran biologi, (2)
siswa tidak mengerjakan tugas dan/atau pekerjaan rumah, (3) keingintahuan
siswa belum tersalurkan karena kurangnya pelibatan aktif siswa dalam
pembelajaran, (4) siswa kurang berani mengemukakan pendapat, dan (5)
siswa kurang menguasai materi yang seharusnya menjadi kompetensinya.
Berdasarkan hasil pengamatan awal di atas, kemudian didiskusikan dengan
guru pengampu mata pelajaran biologi untuk merancang open class dalam rangka
mengatasi permasalahan tersebut di atas. Selanjutnya, pembelajaran biologi di
SMP dirancang dengan cermat dan tepat yang meliputi seluruh komponen
pembelajaran seperti; strategi, metode, media, sumber belajar, dan karakter siswa.
Karakter siswa dengan rasa ingin tahunya, menuntut untuk dilakukan
pengembangan pembelajaran yang dapat mewadahi potensi positif siswa tersebut,
sehingga pembelajaran biologi dapat menumbuhkan dan mengembangkan
kecakapan siswa dalam hidup bermasyarakat, bukan hanya menguasai materi
hafalan pengetahuan yang berupa konsep dan prinsip belaka. Usaha perbaikan
strategi pembelajaran biologi yang dimaksud adalah menerapkan strategi
pembelajaran “kooperatif” yang sesuai dengan kondisi fisik maupun mental
siswa. Dengan strategi pembelajaran kooperatif, diharapkan akan menimbulkan
minat belajar yang nantinya dapat meningkatkan pencapaian tujuan pembelajaran
biologi yang kaya dan penuh arti (meaningful learning) yang diimpikan oleh
banyak kalangan pendidik.
2. Pelaksanaan Pembelajaran (Do)
Pada tahap pelaksanaan open class, guru model yang telah ditunjuk oleh
kelompoknya, melakukan proses mengajar belajar di kelas dengan berpedoman
pada rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP) yang kemudian dijabarkan lebih
rinci dalam skenario pembelajaran (SP). Walaupun demikian, karena kegiatan
open class ini menggunakan pendekatan kualitatif, maka dalam pelaksanaannya
masih memungkinkan untuk dapat berubah menyesuaikan kondisi dan situasi
yang terjadi di kelas. Ketika guru model mengajar, maka dosen pendamping
(peneliti) dan guru-guru lainnya melakukan observasi dengan menggunakan
lembar observasi yang telah dipersiapkan dan perangkat lain yang diperlukan.
Para observer ini mencatat hal-hal positif dan negatif dalam proses pembelajaran,
terutama dilihat dari segi tingkah laku siswa. Selain itu, ketika kegiatan ini sedang
dilaksanakan baik pada awal, tengah, dan akhir seluruh kegiatan direkam dengan
menggunakan alat rekam audio visual dan kamera yang memfokuskan pada
6
kejadian-kejadian khusus terutama interaksi antara guru dan siswa selama
pelaksanaan pembelajaran.
Sesuai dengan RPP dan SP, pelaksanaan pembelajaran untuk pokok
bahasan “Fotosintesis”, dilaksanakan dengan menerapkan strategi pembelajaran
kooperatif, dengan menggunakan metode praktik dan diskusi, dengan alokasi
waktu 2x50 menit. Adapun urutan kegiatan pelaksanaan pembelajaran sebagai
berikut:
(1) Penjelasan dari guru dalam rangka menyampaikan tujuan pembelajaran yang
meliputi: Menyamakan persepsi dan sosialisasi kepada siswa tentang strategi
pembelajaran kooperatif dan bagaimana siswa seharusnya belajar
menggunakan strategi pembelajaran tersebut. Pengertian fotosintesis, dan
jaringan penyusun organ tumbuhan yang berperan dalam fotosintesis.
(2) Membagi siswa ke dalam kelompok kecil, tiap kelompok terdiri dari 5 siswa.
(3) Siswa melakukan kerja kelompok untuk membuktikan bahwa tumbuhan hijau
melakukan fotosintesis dengan mengerjakan tugas seperti yang terdapat dalam
LKS.
(4) Siswa mempresentasikan hasil kerja kelompok dalam diskusi kelas, dan
merangkum hasil diskusi serta membuat kesimpulan hasil pembelajaran.
(5) Guru mengamati dan mencatat pelaksanaan diskusi kelas, memfasilitasi
kesulitan siswa dalam melaksanakan diskusi kelas, mengklarifikasi dan
merangkum hasil diskusi kelas, memberi evaluasi pelaksanaan pembelajaran,
dan memberi tugas terstruktur untuk pertemuan yang akan datang mengenai
integrasi sosial.
3. Refleksi dan Evaluasi Pembelajaran (See)
Setelah pelaksanaan open class selesai, maka guru dan kolaborator
mengevaluasi dan mendiskusikan hasil pembelajaran yang telah dilakukan.
Evaluasi pertama kali dilakukan oleh guru model sebagai bentuk evaluasi kinerja
sendiri (self evaluation) dan menyatakan kesan-kesannya selama melaksanakan
pembelajaran, baik terhadap dirinya maupun terhadap siswa yang dihadapi.
Berikutnya dilakukan evaluasi oleh dosen pendamping dan guru-guru lain teman
sejawat sebagai pengamat (observer), terutama yang menyangkut kegiatan siswa
◄ Gambar 1: Susana kelas ketika
sedang pelaksanaan pembelajaran
(Do),tampak siswa penuh
perhatian dan aktif belajar
7
selama berlangsung pembelajaran yang disertai dengan pemutaran video hasil
rekaman pembelajaran. Selanjutnya, guru yang melakukan implementasi tersebut
akan memberikan tanggapan balik atas komentar para observer. Hal yang penting
pula dalam tahap refleksi ini adalah mempertimbangkan kembali rencana
pembelajaran yang telah disusun sebagai dasar untuk perbaikan rencana
pembelajaran berikutnya. Apakah rencana pembelajaran tersebut telah sesuai dan
dapat meningkatkan performance keaktifan belajar siswa. Jika belum ada
kesesuaian, hal-hal apa saja yang belum sesuai, metode pembelajarannya, materi
dalam LKS, media atau alat peraga, atau lainnya. Pertimbangan-pertimbangan ini
digunakan untuk perbaikan rencana pembelajaran selanjutnya.
5. Dampak Lesson study terhadap Ko

6.

Anda mungkin juga menyukai