Anda di halaman 1dari 225

i|Buku Anti-tuberkulosis

Kata Pengantar

Sepanjang sejarah, wilayah tropis (Indonesia) lebih mudah terjangkit


penyakit menular dibandingkan dengan wilayah beriklim sedang terutama
infeksi. Alasan utamanya yaitu karena faktor lingkungan dengan kelembaban
cukup tinggi, sehingga semua mahluk hidup tumbuh dengan baik, termasuk
pathogen, vector, dan host. Hal ini diperparah adanya faktor kesadaran kita
untuk mengupayakan pengendalian penyakit menular atau penyakit tropis
secara komprehensif-sistematis masih kurang. Salah satu contoh penyakit
tropis yaitu tuberculosis dan sebagai penyebab utama kematian sebagai
penyakit infeksi global. Kasus ini meningkat, bila ada interaksi antara
tuberculosis dan epidemic HIV. Di banyak daerah di dunia khususnya di
Negara kita, penyakit ini menyerang orang disegala usia dan diperburuk
dengan adanya peningkatan resistensi bakteri pathogen terhadap obat sintetik.

Pengobatan penyakit TB yang disebabkan oleh M. tuberculosis yang


masih sensitif Drug Sensitive-Tuberculosis (DS-TB) membutuhkan
kombinasi obat yang terdiri atas 4-5 jenis obat selama 6 bulan atau lebih.
Standard terapi untuk pasien DS-TB meliputi kombinasi isoniazid, rifampisin,
pirazinamid dan etambutol selama 2 bulan pertama dan kombinasi isoniazid
dan rifampisin saja untuk 4 bulan berikutnya.

Pengobatan MDR-TB membutuhkan waktu minimal 18 bulan. Pasien


dengan MDR-TB mendapatkan secondline therapy yang meliputi
aminoglikosida, antibiotik kuinolon, sikloserin, dan kapreomisin. Sayangnya,
tingkat keberhasilan terapi MDR-TB ini hanya 48% dan perlu ada upaya untuk
meningkatkannya. Tingkat keberhasilan terapi DS-TB sebesar 85%. Sekitar
9% dari pasien MDR-TB merupakan pasien dengan XDR-TB (Katsuno dkk.,
2015). Sedangkan pengobatan XDR-TB membutuhkan terapi hingga waktu 2
tahun (Sizemore dkk, 2012). Banyaknya jenis obat yang digunakan serta
lamanya waktu terapi menyebabkan rendahnya kepatuhan pasien TB di
Indonesia dalam meminum obat antituberkulosis. Hal ini pengobatan TB yang
menggunakan OAT (Obat Anti Tuberkulosis) first-line, MDR-TB (Multi Drug
Resisten Tuberculosis) (Chan dkk, 2002), extensively drug-resisten
tuberculosis (XDR-TB) menunjukkan kegagalan akibat adanya resistensi
MycobacteriumTuberculosis.

ii | B u k u A n t i - t u b e r k u l o s i s
Eksplorasi biodiversity di Indonesia terutama tanaman obat untuk
antituberkulosis menjadi tantangan sebagai jawaban dari penyakit dan kasus
resistensi obat sintetis. Sejak tahun 2010 di Farmasi UGM sudah memulai
untuk mengisolasi senyawa aktif dari tanaman obat asli Indonesia sebagai
antituberkulosis, bahkan fraksi ini dilanjutkan penelitian di Universitas
Wuerzburg Jerman tahun 2013. Masih dalam proses pemurnian isolat ini,
skrining dilakukan pada beberapa tanaman obat lainnya dari sumber banyak
keragaman tanaman.

Obat baru untuk terapi tuberkulosis sangat diperlukan, terutama obat


dengan mekanisme yang mampu mempersingkat durasi terapi, efektif
terhadap strain M. Tuberculosis sensitif dan strain resisten serta berpotensi
untuk penggunaan dalam bentuk kombinasi. Selain itu dapat digunakan secara
oral, dosis sekali sehari dan murah. Kriteria tersebut sesuai untuk penggunaan
di negara-negara dengan kasus tuberkulosis tinggi seperti negara berkembang
termasuk Indonesia.

Kami sebagai profesi apoteker dan dosen dari Fakultas Farmasi-UGM,


terpanggil untuk menuliskan tentang anti-tuberkulosis ini agar masyarakat
pada umumnya termasuk mahasiswa memperoleh informasi dengan baik.
Tentu saja penulisan buku ini jauh dari sempurna dan membutuhkan masukan
serta kritisi dari semua pembaca.

Akhir kata, kami bersyukur pada Allah SWT atas selesainya penulisan
buku ini dan mengucapkan banyak terimakasih kepada semua pihak yang
punya andil dalam penulisan buku ini khususnya Bapak Prof. Dr. Subagus
Wahyuono, M.Sc., Apt., Frau Prof. Dr. Ulrike Holzgrabe di Universitas
Wuerzburg dan Deutscher Akademischer AustauschDienst (DAAD)-Jerman.

Yogyakarta, 7 Desember 2016

Tim Penulis

iii | B u k u A n t i - t u b e r k u l o s i s
DAFTAR ISI

Halaman Judul................................................................................................i

Kata Pengantar..............................................................................................ii

Daftar Isi........................................................................................................iv

Daftar Tabel..................................................................................................vi

Daftar Gambar........................................................................................... vii

Daftar Singkatan Kata…………………………………………………….x

BAB I. TUBERKULOSIS (TB)....................................................................1


A. Kondisi Tuberkulosis Dunia…………………………………..1
B. Tuberkulosis di Indonesia…………………………………..…2
C. Bakteri........................................................................................11
BAB II. INFEKSI DAN PENYEBARAN TUBERKULOSIS…………..26
A. Penyebaran Mycobacterium Tuberculosis………………………….26
B. Faktor Penyebaran Mycobacterium tuberculosis…………………27
C. Waktu Saat TB Bersifat Menular ………………………………….30
D. LTBI dan Penyakit TB…………………………………………..31
E. Organ Tubuh yang Terinfeksi TB………………………………38
F. Faktor Risiko Terjadinya Infeksi dan Penyakit Tuberkulosis..39
BAB III. OBAT TUBERKULOSIS............................................................47
A. Terapi Tuberkulosis......................................................................47
B. Pengembangan Obat Anti-Tuberkulosis………………….......123
C. Obat Anti-Tuberkulosis pada Tahap Pengembangan Fase
Klinis…………………………………………………………… 125
D. Obat Baru ………………………………………………………127
E. Tantangan Khusus dalam Pengembangan Obat TB…………138
BAB IV. RESISTENSI …………………………….……………………141

iv | B u k u A n t i - t u b e r k u l o s i s
A. Mekanisme Terjadinya Resistensi pada Mycobacterium
tuberculosis…………………………………………………………….141
B. Mekanisme Resistensi Berdasarkan Jenis Obat……………...151
C. Penyebab TB Resisten Obat…………………………………...180
D. Pencegahan TB Resisten Obat………………………………...180
BAB V. KANDIDAT TANAMAN INDONESIA SEBAGAI OBAT
TUBERKULOSIS…………………………………………..182
A. Metodologi Uji Aktivitas Anti Tuberkulosis…………………182
B. Hasil Uji Anti-Tuberkulosis dengan Media LJ di Laboratorium
Mikrobiologi Fakultas Kedokteran, UGM…………………..185
DAFTAR PUSTAKA…………………………………………………...188

v|Buku Anti-tuberkulosis
DAFTAR TABEL

Tabel 1. Daftar mikobakteria berdasarkan kecepatan pertumbuhan………17


Tabel 2. Ringkasan perbedaan LTBI vs Penyakit TB……………………..37
Tabel 3. Kelompok obat anti-TB ………………………………………….50
Tabel 4. Perbandingan Rifampisin, rifapentin, rifabutin dan rifalazil sebagai
obat anti-TB ……………………………………………………...67
Tabel 5. Ringkasan mekanisme aksi antituberkulosis lini pertama dan lini
kedua ……………………...........................................................117
Tabel 6. Gen yang Terlibat dalam “Acquired Resistance” pada M.
tuberculosis……………………………………………………..142

vi | B u k u A n t i - t u b e r k u l o s i s
DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Proporsi kasus tuberkulosis menurut kelompok


umur tahun 2011-2015…………………………… 5
Gambar 2. Proporsi pasien tuberkulosis paru terkonfirmasi
bakteriologis di antara semua pasien tuberkulosis
paru tercatat/diobati tahun 2008-2015……………. 6
Gambar 3. Angka notifikasi kasus TB per 100.000 penduduk
tahun 2008 hingga 2015………………………….. 7
Gambar 4. Angka notifikasi semua kasus tuberkulosis per
100.000 penduduk menurut provinsi tahun 2015… 8
Gambar 5. Angka keberhasilan pengobatan pasien
tuberkulosis tahun 2008-2015……………………. 9
Gambar 6. Angka keberhasilan pengobatan pasien
tuberkulosis menurut provinsi tahun 2015……….. 10
Gambar 7. Berbagai warna spesies mikobakteria pada media
kultur padat……………………………………….. 13
Gambar 8. Tipe dasar………………………………………… 13
Gambar 9. Diagram skematik dinding sel mikobakteri……….
Gambar 10. Apusan Ziehl-Neelsen stained……………………. 16
Gambar 11. Transmission electron microscopy (TEM) dari M.
tuberculosis………………………………………. 20
Gambar 12. Sistem sekresi protein…………………………….. 21
Gambar 13. Penampakkan Mycobacterium tuberculosis
menggunakan Ziehl-Nelson stain ………………... 22
Gambar 14. Koloni M. tuberculosis pada media Lowenstein-
Jensen…………………………………………….. 23
Gambar 15. Karakteristik unik M. tuberculosis pada sistem
imun hospes manusia……………………………... 25
Gambar 16. Penyebaran TB…………………………………… 27
Gambar 17. Bersin melepaskan jutaan droplet mucus…………. 27
Gambar 18. X-ray dada pasien tuberkulosis…………………… 29
Gambar 19. Patogenesis Penyakit TB dan LTBI………………. 33
Gambar 20. Perkembangan TB………………………………... 35
Gambar 21. Obat lini pertama saat ini untuk terapi……………. 47
Gambar 22. Ilustrasi skematik tempat aksi anti tuberkulosis…... 49
Gambar 23. Tioasetazon dan turunan yang menuntun
penemuan INH…………………………………… 52

vii | B u k u A n t i - t u b e r k u l o s i s
Gambar 24. Aktivasi INH dan pembentukkan isonicotinic acyl-
NADH……………………………………………. 53
Gambar 25. Struktur INA dan sisi aktif InhA mengungkap
interaksi kunci berdasarkan struktur kristal X-rays
……………………………………………………. 54
Gambar 26. Struktur nikotinamid awal dan komponen
kelanjutannya: isoniazid, etionamid, protionamid
dan pirazinamid…………………………………... 55
Gambar 27. SAR Isoniazid……………………………………. 56
Gambar 28. Struktur pirazinamid……………………………... 59
Gambar 29. Turunan PZA hasil screening pada model murine... 62
Gambar 30. SAR Pirazinamid…………………………………. 64
Gambar 31. SAR penting kelas rifamisin……………………… 69
Gambar 32. Struktur rifampisin, rifapentin, rifabutin dan
rifalazil…………………………………………… 71
Gambar 33. Struktur etambutol………………………………... 77
Gambar 34. SAR etilendiamin………………………………… 78
Gambar 35. Struktur streptomisin……………………………... 82
Gambar 36. Struktur kanamisin……………………………….. 87
Gambar 37. Struktur amikasin………………………………… 88
Gambar 38. Struktur kapreomisin……………………………... 91
Gambar 39. Fluoroquinolon generasi pertama dan kedua……... 94
Gambar 40. SAR fluoroquinolone…………………………….. 96
Gambar 41. Struktur moksifloksasin………………………….. 103
Gambar 42. Struktur asam para-aminosalisilat………………... 104
Gambar 43. Struktur etionamid………………………………... 107
Gambar 44. Struktur protionamid……………………………... 111
Gambar 45. Struktur sikloserin………………………………... 113
Gambar 46. Struktur Tioasetazon……………………………... 116
Gambar 47. Evolusi SAR pada kelas antibakteri
oksazolidinon…………………………………….. 119
Gambar 48. Struktur Linezolid………………………………... 120
Gambar 49. Struktur clofazimin……………………………….. 123
Gambar 50. Global TB Drug Pipeline…………………………. 126
Gambar 51. Ilustrasi mekanisme obat anti-TB………………… 127
Gambar 52. Struktur bedaquilin (TMC-207)………………….. 128
Gambar 53. Struktur delamanid……………………………….. 130
Gambar 54. Struktur pretomanid……………………………… 133
Gambar 55. Struktur sutezolid………………………………… 133
Gambar 56. Struktur SQ-109………………………………….. 134

viii | B u k u A n t i - t u b e r k u l o s i s
Gambar 57. Struktur BTZ043…………………………………. 136
Gambar 58. PBTZ 169 dengan mekanisme penghambatan
kovalen DprE1…………………………………… 137
Gambar 59. Polimorfisme di protein KatG yang teridentifikasi
pada M. tuberculosis resisten INH……………….. 155
Gambar 60. Representasi skematik dari mutasi yang
teridentifikasi di lokus inhA pada isolate M.
tuberculosis resisten INH dan/atau resisten ETH… 157
Gambar 61. Penggambaran skematik struktur kirstal inhA……. 159
Gambar 62. Representasi skematik polimorfi pada pncA dari
M. tuberculosis resisten PZA……………………... 166
Gambar 63. Gambaran skematik polimorfisme pada embB
pada kodon 306 di M. tuberculosis resisten
etambutol…………………………………………. 173
Gambar 64. Ekstrak etil asetat A yang diinokulasi dengan
Mycobacterium tuberculosis dalam media LJ pada
suhu 37o C selama 3 minggu……………………... 158
Gambar 65. Positif anti-tuberkulosis dengan metode LJ untuk
ekstrak B………………………………………….. 158
Gambar 66. Positif anti-tuberkulosis dengan metode LJ untuk
ekstrak C………………………………………….. 186
Gambar 67. Positif anti-tuberkulosis dengan metode LJ untuk
ekstrak D…………………………………………. 186
Gambar 68. Positif anti-tuberkulosis dengan metode LJ untuk
ekstrak E………………………………………….. 186
Gambar 69. Positif anti-tuberkulosis dengan metode LJ untuk
ekstrak F………………………………………….. 187
Gambar 70. Positif anti-tuberkulosis dengan metode LJ untuk
ekstrak G…………………………………………. 187

ix | B u k u A n t i - t u b e r k u l o s i s
DAFTAR SINGKATAN KATA

A Alanine
Aac 2'-N-acetyltransferase
ACP Acyl carrier protein
AFB Acid-Fast Bacili
AhpC Alkil hidroperoksidase reductase
AIDS Human immunodeficiency virus infection and acquired immune deficiency
syndrome
Alr Alanine rasemase
Amk Amikasin
Amx Amoksisilin
Arg Arginin
ART Antiretroviral therapy
Asn Asparagin
Asp Aspartat
ATP Adenosine triphospate
BCG Bacille Calmette and Guerin
bp Base pair
BTA Bakteri tahan asam
BTZ Benzothiazinon
BUN Blood urea nitrogen
C Sistein
CAP Kapreomisin
CDC Centers for Disease Control and Prevention
CDR Crude Detection Rate
CFA Freund’s complete adjuvant
Cfx Ciprofloksasin
Cfz Clofazimin
CFP-10 10-kDa culture filtrate protein
Clr Klaritomisin
Clv Asam klavulanat
Cln Cilastatin
Cm Kapreomisin
CNR Case notification rate
CYP Sitokrom
D Aspartate
Dcs Sikloserin
Ddl D-alanil-D-alanin ligase
DfrA Dihidrofolat reductase
DM Diabetes melitus
DNA Deoxiribo nucleid acid
DPA Decaprenylphosphoryl-β-d-arabinose
DprE Decaprenylphosphoryl-β-d-ribose 2′-epimerase
DRS Drug Resistance Survey

x|Buku Anti-tuberkulosis
E Etambutol
E Glutamat
EBA Early bactericidal activity
EIS Enhanched intracellular survival
EMB Etambutol
Embb Arabinosil transferase
ERDR Etambutol resistance determining region
ETH Etionamid
ESAT-6 6kDaA early secreted antigen target
Eto Etionamid
F Fenilalanin
FAS Fatty acid synthase
FDA Food and Drug Agency
G Glisin
Gfx Gatifloksasin
Gln Glutamin
Gly Glisin
H Histidin
H Isoniazid
HBC High Burden Country
His Histidin
HIV Human Immunodeficiency virus
HRZE Isoniazid, rifampisin, pirazinamid dan etambutol
I Isoleusin
IGRA Interferon gamma release assay
ile Isoleusin
IFN-γ Interferon
INA Isonicotinic acyl-NADH adduct
INH Isoniazid
Ipm Imipenem
KatG Katalase-peroksidase
KHM Kadar Hambat Minimum\
Km Kanamisin
L Leusin
LAM Lipoarabinomannan
LTBI Latent Tuberculosis Infection
Leu Leusin
LFX Levofloksasin
LJ Lowenstein-Jensen
Lzd Linezolid
M Metionin
MAC M. Avium complex
MDR-TB Multi Drug Resisten Tuberculosis
Mfx Moksifloksasin
Mg Miligram
mg/kg Milligram per kilogram

xi | B u k u A n t i - t u b e r k u l o s i s
mL Messenger- ribonucleic acid
MmpL Mycobacterial membrane protein large
mRNA Messenger- ribonucleic acid
MTB Mycobacterium tuberculosis
MTC Mycobacterium tuberculosis complex
N Asparagin
NADH Nicotinamida adenine nukleotida
OBR Optimized background regiment
Ofx Ofloksasin
QT Q wave and T wave
P Prolin
P Rifapentin
Pas Asam para-aminosalisilat
PBPs Penisilin-binding-protein
PIM Phospatidilinositol mannoside
pKA Derajat disosiasi asam
POA Asam pirazinoat
Pro Prolin
Pto Protionamid
PZA Pirazinmid
PzASE Pirazinamidase
Q Glutamin
QRDR Quinolone resistance determining region
R Rifapentin
R Arginine
RFB Rifabutin
RIF Rifampisin
RIFAL KRM-1648
Rifap Rifapentin
RNA Ribo nucleic acid
ROS Reactive oxygen species
RPT Rifapentin
RRDR Rifampicin resistance-determining region
rRNA Ribosome-ribunucleic acid
S Sterptomisin
S Serin
SAR Structure-activity relationship
Ser Serin
SPS Sewaktu-pagi-sewaktu
STM Streptomisin
STR Streptomisin
T Threonin
TB Tuberkulosis
TDM Trehalose 6-6’-dimikolat
TDM Therapy drug monitoring
Thr Threonin

xii | B u k u A n t i - t u b e r k u l o s i s
ThyA Thymidylate synthase
Thz Tioazetazon
TNF Tumour necrosis factor
Trd Terizidon
tRNA Transfer ribonucleid acid
Trp Triptofan
TSR Treatment Succes Rate
TST Tuberculin skin test
V Valin
VIM Viomisin
W Triptofan
WHO World Health Organization
XDR-TB Extensively drug-resistant
Z Pirazinamid
µg/mL Mikrogram per mililiter

xiii | B u k u A n t i - t u b e r k u l o s i s
BAB I
TUBERKULOSIS

A. Kondisi Tuberkulosis Dunia


Tuberkulosis (TB) adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh
Mycobacterium tuberculosis. Hingga saat ini, tuberkulosis masih menjadi
penyakit infeksi menular yang paling berbahaya di dunia. World Health
Organization (WHO) melaporkan bahwa sebanyak 1,5 juta orang
meninggal karena TB (1.1 juta HIV negatif dan 0.4 juta HIV positif)
dengan rincian 89.000 laki-laki, 480.000 wanita dan 140.000 anak-anak.
Pada tahun 2014, kasus TB diperkirakan terjadi pada 9,6 juta orang dan
12% diantaranya adalah HIV-positif (WHO, 2015).
Berdasarkan Global Tuberculosis Report 2015 yang dirilis oleh
WHO, sebanyak 58% kasus TB baru terjadi di Asia Tenggara dan wilayah
Western Pacific pada tahun 2014. India, Indonesia dan Tiongkok menjadi
negara dengan jumlah kasus TB terbanyak di dunia, masing-masing 23%,
10% dan 10% dari total kejadian di seluruh dunia. Indonesia menempati
peringkat kedua bersama Tiongkok. Satu juta kasus baru pertahun
diperkirakan terjadi di Indonesia (WHO, 2015).
Selama ini penyakit infeksi seperti TB diatasi dengan penggunaan
antibiotik. Rifampisin (RIF), Isoniazid (INH), etambutol (EMB),
streptomisin dan pirazinamid (PZA) telah dimanfaatkan selama bertahun-
tahun sebagai anti-TB. Namun, banyak penderita telah menunjukkan
resistensi terhadap obat lini pertama ini. Sejak tahun 1980-an, kasus
tuberkulosis di seluruh dunia mengalami peningkatan karena kemunculan
MDR-TB (Multi Drug Resisten Tuberculosis) (Chan dkk, 2002). Bakteri
penyebab MDR-TB adalah strain M. tuberculosis yang resisten terhadap
obat anti-TB first-line seperti isoniazid dan rifampisin. MDR-TB

1|Buku Anti-tuberkulosis
mendorong penggunaan obat lini kedua yang lebih toksik seperti
etionamid, sikloserin, kanamisin dan kapreomisin (Tripathi dkk., 2005).
Namun extensively drug-resisten tuberculosis (XDR-TB) menyebabkan
bakteri TB resisten terhadap obat lini kedua (WHO, 2010).
Organisasi Kesehatan Dunia memperkirakan 9 juta kasus
tuberkulosis baru terjadi secara global pada tahun 2013 dan sebanyak
480.000 kasus diantaranya adalah multi drug-resistant TB (MDR-TB).
Hanya seperempat dari jumlah kasus MDR tersebut (kurang lebih
123.000) terdeteksi dan dilaporkan. Sementara itu, XDR-TB dilaporkan
terjadi di 105 negara pada tahun 2015. Sekitar 9,7% pasien dengan MDR-
TB diperkirakan memiliki XDR-TB (WHO, 2015).
Sebagian besar obat TB yang digunakan saat ini dikembangkan
lebih dari 40 tahun lalu. Kemunculan kasus resistensi terhadap obat lini
pertama dan kedua serta kerumitan dan lamanya waktu terapi TB saat ini
mendorong upaya pencarian dan penemuan obat anti-tuberkulosis baru.
Perpendekkan dan penyederhanaan durasi terapi, efektifitas terhadap
MDR dan XDR-TB dan kompatibilitas pemberian bersama antiretroviral
adalah regimen pengobatan baru yang saat ini diperlukan oleh dunia.
Beberapa dekade ini, muncul senyawa-senyawa baru yang saat ini sedang
dalam tahap percobaan preklinis maupun klinis. Senyawa-senyawa
tersebut memiliki aktivitas potensial untuk melawan strain M.
tuberculosis sensitif dan resisten. Hal ini dapat menjadi harapan bagi
kemajuan terapi TB di masa depan (Villemagne dkk., 2012).

B. Tuberkulosis di Indonesia
Indonesia adalah salah satu negara tropis. Sepanjang sejarah,
wilayah tropis lebih mudah terjangkit penyakit menular dibandingkan
dengan wilayah beriklim sedang. Penyebab utamanya adalah faktor

2|Buku Anti-tuberkulosis
lingkungan dimana wilayah tropis memiliki kelembaban cukup tinggi dan
pertumbuhan biologis sebagai pendukung keanekaragaman hayati yang
tinggi termasuk patogen, vektor, dan hospes. Hal ini diperparah oleh
faktor kesadaran masyarakat dan pengendalian penyakit menular atau
penyakit tropis yang kurang optimal (Skolnik dan Ambareen, 2010).
Salah satu contoh penyakit tropis yaitu tuberkulosis.
Meskipun Indonesia memiliki potensi tinggi terhadap penyakit
TB, Indonesia adalah negara pertama dari high burden country (HBC,
negara-negara dengan peringkat 22 besar dalam hal jumlah absolut kasus
TB sekaligus penerima perhatian khusus dari dunia sejak tahun 2000) di
wilayah WHO Asia Tenggara yang berhasil mencapai target global TB.
Target global tersebut meliputi keberhasilan dalam deteksi dan
pengobatan pada tahun 2006, yaitu Angka Penemuan Kasus (Crude
Detection Rate/CDR) di atas 70% dan Angka Keberhasilan Pengobatan
(Treatment Succes Rate/TSR) di atas 85% pada tahun 2006. Pencapaian
target global tersebut merupakan tonggak pencapaian program
pengendalian TB nasional yang utama (Kemenkes RI, 2015). Profil
Kesehatan Indonesia tahun 2015 memberikan laporan tentang kondisi
pengendalian penyakit tuberkulosis di Indonesia dengan rincian sebagai
berikut:
B.1. Prevalensi tuberkulosis
Pada tahun 2013-2014 survei prevalensi tuberkulosis
dilakukan dengan tujuan untuk menghitung prevalensi tuberkulosis
paru dengan konfirmasi bakteriologis pada populasi berusia 15 tahun
ke atas. Selain pemeriksaan dahak mikroskopis dan pemeriksaan foto
toraks, pemeriksaan x-ray, gen expert dan kultur juga dilakukan pada
survei ini. Oleh karena itu, jumlah penderita tuberkulosis terdeteksi
menjadi lebih banyak dibandingkan tahun-tahun sebelumnya.

3|Buku Anti-tuberkulosis
Angka prevalensi TB (gambaran frekuensi penderita lama dan
baru yang ditemukan pada jangka waktu tertentu di sekelompok
masyarakat tertentu) pada tahun 2014 adalah 647 per 100.000
penduduk. Angka tersebut meningkat dari tahun sebelumnya, yaitu
sebanyak 272 per 100.000 penduduk. Angka insidensi (gambaran
frekuensi penderita baru) dan mortalitas juga mengalami
peningkatan. Angka insidensi tahun 2014 sebesar 399/100.000
penduduk. Nilai insidensi tahun sebelumnya adalah sebesar
183/100.000 penduduk. Sementara itu, angka mortalitas pada tahun
2014 adalah sebesar 41/100.000 penduduk dengan nilai pada tahun
2013 adalah sebesar 25/100.000 penduduk 2013 (WHO, 2015).
B.2. Kasus tuberkulosis
Pada tahun 2015, jumlah penemuan kasus TB adalah 330.910
kasus. Jumlah tersebut meningkat dari tahun 2014, yaitu sebanyak
324.539 kasus. Kasus terbanyak dilaporkan di provinsi dengan
jumlah penduduk besar, yaitu Jawa Barat, Jawa Timur, dan Jawa
Tengah (38% dari keseluruhan kasus di Indonesia).
Berdasarkan jenis kelamin, jumlah kasus pada laki-laki adalah
1,5 kali dibandingkan pada perempuan. Berdasarkan kelompok umur
pada tahun 2015, terdapat 18,65% penderita berumur 25-34 tahun,
17,33% penderita berumur 45-54 tahun, dan 17,18% penderita
berumur 35-44 tahun. Gambar 1 menunjukkan proporsi kasus
tuberkulosis menurut kelompok umur.

4|Buku Anti-tuberkulosis
Gambar 1. Proporsi kasus tuberkulosis menurut kelompok umur tahun 2011-2015
(Ditjen P2P, Kemenkes RI, 2016)

B.3. Proporsi pasien tuberkulosis paru terkonfirmasi bakteriologis di


antara semua pasien tuberkulosis paru tercatat/diobati
Persentase pasien tuberkulosis paru terkonfirmasi
bakteriologis di antara semua pasien tuberkulosis paru tercatat
(bakteriologis dan klinis) adalah indikator yang menggambarkan
prioritas penemuan pasien tuberkulosis menular di antara seluruh
pasien tuberkulosis yang diobati. Hingga tahun 2015 (data per Juni
2016), proporsi pasien tuberkulosis paru tercatat/diobati belum
berhasil mencapai target (angka pencapaian sebesar 57,1% dari
target minimal 70%). Hal ini berarti bahwa diagnosis belum dapat
memberikan prioritas penemuan pasien menular di Indonesia.
Namun, sebanyak 8 provinsi telah mencapai target tersebut.
Kepulauan Riau menjadi provinsi dengan proporsi pasien
tubekulosis paru terkonfirmasi bakteriologis terendah, sebesar yaitu
37,0%. Sementara itu, jumlah tertinggi berhasil dicapai oleh
Sulwesi utara dengan nilai sebesar 87,9.

5|Buku Anti-tuberkulosis
Persen (%)

Tahun
Gambar 2. Proporsi pasien tuberkulosis paru terkonfirmasi bakteriologis di
antara semua pasien tuberkulosis paru tercatat/diobati tahun 2008-2015
(Ditjen P2P, Kemenkes RI, 2016)

B.4. Angka notifikasi kasus atau case notification rate (CNR)


Angka notifikasi kasus adalah angka yang menunjukkan
jumlah pasien baru ditemukan dan tercatat di antara 100.000
penduduk di suatu wilyah tertentu. Angka ini apabila
dikumpulkan serial akan menggambarkan kecenderungan
penemuan kasus dari tahun ke tahun di wilayah tersebut. Angka
notifikasi kasus berfungsi untuk menunjukkan kecenderungan
peningkatan atau penurunan penemuan pasien pada suatu
wilayah.
Pada tahun 2015, angka notifikasi kasus baru
tuberkulosis paru terkonfirmasi bakteriologis adalah sebesar 74
per 100.000 penduduk. Angka tersebut menurun dari tahun 2014
dengan nilai tahun 2014 adalah sebesar 77 per 100.000
penduduk. Sedangkan angka notifikasi seluruh kasus
tuberkulosis pada tahun 2015 adalah sebesar 130 per 100.000
penduduk. Nilai tersebut meningkat dari tahun 2014. Nilai pada

6|Buku Anti-tuberkulosis
tahun 2014 adalah sebesar 129 per 100.000 penduduk. Gambar
3 menunjukkan angka notifikasi kasus sejak tahun 2008 hingga

Per 100.000 Penduduk 2016.

Tahun
Gambar 3. Angka notifikasi kasus TB per 100.000 penduduk tahun
2008 hingga 2015 (Ditjen P2P, Kemenkes RI, 2016

Berdasarkan gambar 4, Sulawesi tenggara menjadi


provinsi dengan nilai CNR tertinggi kemudian diikuti oleh Papua
Barat (235) dan DKI Jakarta (222). Sedangkan CNR semua
kasus TB terendah dimiliki oleh provinsi Bali (70), Daerah
Istimewa Yogyakarta (73) dan Riau (91). CNR dianggap baik
jika terjadi peningkatan minimal 5% dari nilai sebelumnya.

7|Buku Anti-tuberkulosis
per 100.000 penduduk
Gambar 4. Angka notifikasi semua kasus tuberkulosis per 100.000 penduduk
menurut provinsi tahun 2015 (Ditjen P2P, Kemenkes RI, 2016)

B.5. Angka keberhasilan pengobatan


Indikator dalam evaluasi pengobatan adalah angka
keberhasilan pengobatan (succes rate). Indikator ini menunjukkn
prosentase pasien baru TB BTA positif yang menyelesaikan
pengobatan (baik sembuh atau pengobatan lengkap) diantara
pasien baru TB paru BTA positif tercatat. Angka ini dibentuk
dari penjumlahan angka kesembuhan (cure rate) dan angka
pengobatan lengkap. Gambar 5 menunjukkan angka
keberhasilan pengobatan dari tahun 2008 hingga 2015.

8|Buku Anti-tuberkulosis
Angka keberhasilan pengobatan TB di Indonesia dari
tahun 2008 hingga 2015 mengalami penurunan. Angka
keberhasilan pengobatan di tahun 2015 adalah sebesar 85,0%
(data per Juni 2016) dan telah sesuai dengan standar yang
ditetapkan oleh WHO yaitu sebesar 85%. Sementara itu, jumlah
kasus baru tuberkulosis paru dengan BTA+ dilaporkan
berjumlah 188.405 kasus (Kemenkes RI, 2016).
Persen (%)

Tahun
Gambar 5. Angka keberhasilan pengobatan pasien tuberkulosis
tahun 2008-2015 (Ditjen P2P, Kemenkes RI, 2016)

9|Buku Anti-tuberkulosis
Provinsi

Persen (%)
Gambar 6. Angka keberhasilan pengobatan pasien tuberkulosis menurut provinsi
tahun 2015 (Ditjen P2P, Kemenkes RI, 2016)

Berdasarkan gambar 6, provinsi Lampung adalah


provinsi dengan angka keberhasilan tertinggi (95,2). Sementara
itu, Kalimantan Tengah menjadi provinsi dengan angka
keberhasilan terendah (39,2).
B.6 Kasus resistensi

Indonesia berada pada peringkat 8 dari 27 negara dengan


MDR-TB terbanyak di dunia. Perkiraan jumlah pasien MDR-TB
di Indonesia adalah sebesar 6.900 jiwa atau 1% dari kasus baru
dan 12% dari kasus pengobatan ulang (WHO global repost 2013).
Hasil DRS (Drug Resistance Survey) di Jawa Tengah pada 2006
menunjukkan bahwa 1,8% MDR-TB ditemukan pada TB kasus
baru dan 17,1% ditemukan pada kasus TB yang pernah mendapat
pengobatan. Sementara itu, hasil DSR di Jawa Timur pada tahun

10 | B u k u A n t i - t u b e r k u l o s i s
2009 menunjukkan bahwa 2% MDR-TB ditemukan pada TB
kasus baru dan 9,7% pada kasus TB yang pernah mendapatkan
pengobatan. Pengobatan tidak terstandar terhadap pasien diduga
TB resisten obat atau MDR-TB yang dilakukan di rumah sakit,
klinik swasta, praktisi swasta dan fasilitas pelayanan kesehatan
lainnya memperparah situasi resistensi kuman TB (Kemenkes RI,
2016).

C. Bakteri
Mycobacterium tuberculosis merupakan bakteri penyebab
penyakit tuberkulosis. M. tuberculosis dan tujuh spesies lain yang sangat
dekat dengan mikobakteria (M. bovis, M. africanum, M. microti, M.
caprae, M. pinnipedii, M. canetti and M. mungi) bersama-sama
membentuk kompleks M. tuberculosis. Tidak semua spesies tersebut
menyebabkan penyakit pada manusia. Mayoritas kasus TB di Amerika
Serikat disebabkan oleh M. tuberculosis. M. tuberculosis juga disebut
sebagai tubercle bacili (CDC, 2016). Mycobacterium bovis (M. bovis)
adalah jenis mikobakteria lain sebagai penyebab penyakit TB pada
manusia. M.bovis paling umum ditemukan di sapi, bison, dan rusa (CDC,
2011).
C.1 Mikobakteria

Mikobakteria mewakili suatu genus bakteri yang sangat tua


karena telah berada di bumi selama berjuta-juta tahun dan telah
beradaptasi terhadap hampir semua lingkungan di bumi seperti air,
tanah, debu dan udara. Berbagai bukti dari hasil penelitian pada makam
mumi di Mesir telah tersedia untuk mendukung pernyataan tersebut
(Konomi dkk., 2002; Daniel, 2006). Mikobakteria masuk ke dalam
keluarga Mycobacteriaceae dan ordo Actinomycetales. Genus
mikobakteria memiliki hubungan dekat dengan anggota
11 | B u k u A n t i - t u b e r k u l o s i s
Actinomycetales lain seperti Corynebacterium, Nocardia dan
Rhodococcus. Berikut ini adalah klasifikasi dari mikobakteria
(Stackebrand dkk., 1997):
Kingdom : Bacteria
Phylum: Actinobacteria
Ordo: Actinomycetales
Subordo: Corynebacterineae
Keluarga: Mycobacteriaceae
Genus: Mycobacterium
Secara umum, warna dan morfologi mikobakteria yang tumbuh
di media kultur padat menjadi penanda utama mikroorganisme ini.
Kebanyakan spesies berwarna keputihan atau koloni berwarna putih
(gambar 7.a), namun khususnya pada spesies yang memiliki
pertumbuhan cepat mereka berwarna kuning terang (gambar 7.b) atau
spesies oranye karena kandungan pigmen karotenoid (gambar 7.c).
Jenis warna dan kemampuan strain dalam memproduksi warna
tersebut di kegelapan (spesies scotochromogenic) atau sebagai respon
terhadap cahaya (spesies photochromogenic) digunakan sebagai
metode untuk klasifikasi mikobakteria yang berpotensi patogenik
(Juhlin, 1967).
Morfologi koloni mikobakteria pada media kultur padat
merupakan karakter stabil dari strain, walaupun variasi sering muncul
akibat adanya mutasi spontan (Fregnan dan Smith, 1962; Vestal dan
Kubica, 1966). Tipe dasar dari koloni ada 8, yaitu “kasar” dan “rata”
(gambar 8.a dan 8.b).

12 | B u k u A n t i - t u b e r k u l o s i s
a. b. c.
Gambar 7. Berbagai warna spesies mikobakteria pada media kultur padat
))
a). Koloni kasar Mycobacterium tuberculosis
.
setelah inokulasi 2 hingga 3
minggu pada media Lowenstein-Jensen medium. akan memiliki warna krem, b).
Koloni strain photochromogenic ketika kontak dengan cahaya menjadi kuning
terang, c). Koloni strain scotochromogenic akan berwarna kuning gelap hingga
oranye terang ketika tumbuh dalam media padat dengan atau tanpa cahaya
(Velayati dan Parissa, 2016).

a. b.
Gambar 8. a). Koloni “smooth” yang tumbuh pada media Lowenstein-Jensen,
))
b). Koloni kasar yang tumbuh pada media Lowenstein-Jensen
(Velayati dan Parissa, 2016). .

Mikobakteria bersifat non motile, berbentuk batang dan sedikit


melengkung, tahan terhadap asam dan alkohol setelah pewarnaan
dengan phenicated fuchsin (Ziehl-Neelsen) (Velayati dan Parissa,
2016). Acid-fastness menjadi karakteristik terpenting mikobakteri.
Acid fast adalah kemampuan sel mikobakteri untuk tidak mengalami
dekolorisasi (perusakan warna secara buatan) pada penggunaan asam.

13 | B u k u A n t i - t u b e r k u l o s i s
Sifat ini disebabkan karena kandungan lipid dalam kadar tinggi di
dinding sel sehingga mikobakteri bersifat waxy, hidrofobik dan sulit
terwarnai (Todar, 2012).
Dinding sel mikobakteri terdiri dari kerangka dinding sel,
molekul penyusun dinding sel, lipid dan polipeptida. Kerangka dinding
sel memiliki komponen kimia berupa peptidoglikan, arabinogalaktan
dan asam mikolat. Asam mikolat adalah suatu asam lemak α-alkil, β
hidroksi dengan rantai yang sangat panjang (C30-C90). Kurang lebih
40% berat kering mikobakteri adalah asam mikolat. Selain
bertanggung jawab terhadap acid fastness, asam mikolat juga
berperang penting dalam impermeabilitas dinding sel termasuk
impermeabilitas terhadap anti-TB. Komposisi dan jumlah asam
mikolat mempengaruhi virulensi (keganasan), kecepatan
pertumbuhan, morfologi koloni dan permeabilitas M. tuberculosis.
Mikobakteria lebih mirip dengan Gram negatif daripada Gram positif
dimana sitoplasmanya dikelilingi oleh membrane plasma dan
peptidoglikan tebal. Gambar 9 menunjukkan struktur dinding sel
mikobakteri (Velayati dan Parissa, 2016).

14 | B u k u A n t i - t u b e r k u l o s i s
porin protein permukaan

lipid asil

asam mikolat

arabinogalaktan

lipoarabinomannan

peptidoglikan

PIM

membran
sitoplasma

Gambar 9. Diagram skematik dinding sel mikobakteri. Seperti membrane


luar dari dinding sel bakteri gram negatif, porin diperlukan untuk transport molekul
hidrofilik kecil melalui membrane luar. PIM (phospatidilinositol mannoside)
(Velayati dan Parissa, 2016)

Mikobakteria memiliki struktur dinding sel dengan kandungan


asam mikolat rapat. Akibat struktur tersebut, M. tuberculosis memiliki
perlindungan efisien dan kapasitas luar biasa untuk menahan berbagai
tekanan dari luar. Selain itu, dinding sel mikobakteri menunjukkan
struktur dinamis. Struktur tersebut dapat diperbaharui sepanjang
pertumbuhan bakteria pada lingkungan berbeda. Namun, pada kondisi
lingkungan yang tidak disukai oleh mikobakteria, misalnya ketika
terpapar mekanisme pertahanan hospes, mikobakteri akan
memproduksi bentuk defisiensi dinding sel atau disebut sebagai L-
form (Markova dkk., 2012). Kemampuan mikobakteri dalam
membentuk L-form berhasil didemonstrasikan oleh Markova (2012).
Perubahan morfologi M. tuberculosis dari acid fast menjadi non-acid-
fast dan bentuk coccoid pada berbagai ukuran berhasil diobservasi
15 | B u k u A n t i - t u b e r k u l o s i s
(gambar 10). M. tuberculosis biasanya berbentuk batang lurus atau
sedikit melengkung berwarna merah pada Ziehl-Neelsen. Namun, L-
form menunjukan polimorfisme dan variabilitas hasil pewarnaan. L-
form kehilangan karankteristik L-form dan menyerupai morfologi
beberapa bakteri lain (Gambar 10 b.c). Bakteri dalam bentuk L-form
dapat bertahan hidup dalam jangka waktu lama dalam kondisi dormant
di dalam makroorganisme (hiospes). L-form dapat menginduksi
manifestasi penyakit setelah diaktivasi oleh berbagai faktor tekanan
(Domingue dan Woody, 1997).

Gambar 10. Apusan Ziehl-Neelsen stained: (a) M.tuberculosis kontrol;


(b,c) non-acid fast polymorphic cells M.tuberculosis L-form (Markova, 2012)

Saat ini terdapat lebih dari 150 spesies yang memenuhi standar
untuk menjadi bagian dari genus Mycobacterium. Spesies ini biasanya
dikelompokkan ke dalam 2 divisi utama, yaitu pertumbuhan lambat
dan pertumbuhan cepat. Dasar yang digunakan adalah waktu yang
diperlukan agar koloni visibel muncul pada media padat setelah
penanaman suspensi bakteri. Penanaman suspensi tersebut dilakukan
dengan benar sehingga koloni terpisah dengan baik (asumsi koloni
yang muncul berupa sel tunggal). Kemunculan koloni membutuhkan
waktu kurang dari 7 hari untuk pertumbuhan cepat dan lebih dari 7 hari

16 | B u k u A n t i - t u b e r k u l o s i s
untuk pertumbuhan lambat. Jenis mikobakteri berdasarkan kecepatan
pertumbuhannya dapat dilihat pada tabel 1. Ziehl-Neelsen stain atau
acid fast stain adalah metode deteksi acid-fast bacilli (AFB) yang
paling jelas untuk identifikasi mikobakteria dengan cepat (Velayati
dan Parissa, 2016).

Tabel.1 Daftar mikobakteria berdasarkan kecepatan


pertumbuhan
Kecepatan
Takson
pertumbuhan
Cepat M. africanum, M. aurum, M. chelonae, M. chitae, M. cluvalii,
M. farcinogenes, M. flavescens, M. fortuitum, M. gadium, M.
gilvum, M. komossense, M. vaccae, M. thermoresistibile, M.
smegmatis, M. senegalense, M. phlei, M. parafortium, M.
neoaurum,
Lambat M. asiaticum, M. avium, M. bovis, M. gastri, M. gordonase,
M. haemophilum, M. intracellulare, M. kansasii, M. leprae,
M. lepraemurium, M. malmoense, M. marinum, M. microti,
M. nonchromogenicum, M. paratuberculosis, M.
scrofulaceum, M. simiae, M. szulgai, M. terrae, M. triviale,
M. tuberculosis, M. ulcerans, M. xenopi

C.2 Mycobacterium tuberculosis complex


Mycobacterium tuberculosis complex (MTC) adalah suatu
kelompok bakteri yang memiliki keseragaman genetik. Kesamaan
tingkat nukleotida MTC adalah sebesar 99,9%, sedangkan sekuen
16S rRNA kelompok bakteri ini identik atau sama (Boddinghaus
dkk., 1990; Sreevastan dkk., 1997). Namun, bakteri dalam MTC
memiliki perbedaan dalam hal tropisme hospes, fenotip (karakteristik
struktural, biokimiawi, fisiologi dan perilaku) dan patogenisitas
(Rastogi dan Sola, 2007; Wirth dkk., 2008). Mycobacterium
tuberculosis complex terdiri dari Mycobacterium tuberculosis,
Mycobacterium africanum, Mycobacterium bovis, Mycobacterium

17 | B u k u A n t i - t u b e r k u l o s i s
microtii, Mycobacterium canetii, Mycobacterium caprae,
Mycobacterium pinnipedii, Mycobacterium suricattae,
Mycobacterium mungi, Mycobacterium dassie dan Mycobacterium
oryx. Mycobacterium tuberculosis adalah patogen pada sistem
pernapasan mamalia yang paling dikenal karena menginfeksi lebih
dari sepertiga populasi manusia di dunia. Mycobacterium
tuberculosis juga dapat menginfeksi hewan yang telah kontak dengan
manusia (Velayati dan Parissa, 2016).
M. bovis menunjukkan infeksi inang yang paling luas karena
dapat menginfeksi manusia, sapi ternak atau sapi liar dan kambing.
M. bovis biasanya menginfeksi manusia melalui susu yang terinfeksi
walaupun bakteri ini juga dapat menyebar melalui droplet aerosol.
Berdasarkan sejarah, BCG M. bovis dikenal sebagai “Calmette
Guѐrin” dan berasal dari strain tuberkulosis bacillus sapi M. bovis
hidup yang telah dilemahkan. BCG (Baccilus Calmette Guѐrin) M.
bovis menjadi satu-satunya vaksin yang digunakan untuk pencegahan
tuberkulosis selama awal masa anak-anak. Spesies lain yang dapat
menyebabkan tuberkulosis pada manusia adalah M. canettii dan M.
africanum. Kedua spesies ini menjadi penyebab tuberkulosis pada
orang Afrika. M. canettii dan M. africanum memiliki hubungan dekat
dengan M. tuberculosis. Namun, bakteri tersebut memiliki waktu
pertumbuhan lebih pendek dari M. tuberculosis dan menampilkan
karakter glikolipid fenolik dan lipooligosakarida yang khas (Velayati
dan Parissa, 2016).
Anggota MTC lain yang dapat menyebabkan tuberkulosis pada
hewan adalah M. microti. M. microti menyebabkan tuberkulosis pada
binatang pengerat seperti tikus. Bakteri ini juga bisa menyebabkan
penyakit pada manusia dengan imunitas lemah. M. caprae banyak

18 | B u k u A n t i - t u b e r k u l o s i s
ditemukan sebagai penyebab kasus tuberkulosis pada lembu, babi
dan rusa serta celeng di Eropa. Penemuan bakteri ini pada manusia
juga pernah dilaporkan oleh Garcia-Rodriguez dkk. (2011). M.
pinnipedii, M. suricattae, M. mungi, M. dassie dan M. oryx dapat
menginfeksi anjing laut dan famili Bovidae (Velayati dan Parissa,
2016).
C.3 Mycobacterium tuberculosis
Mycobacterium tuberculosis h37Rv (MTB) adalah mikobakteri
penyebab utama tuberkulosis pada manusia. MTB terkadang disebut
sebagai tubercle bacillus. Bakteri berbentuk batang ini bersifat non-
motil (tidak dapat bergerak sendiri) dan memiliki panjang 1-4 µm dan
lebar 0,3-0,56 µm (gambar 11). M. tuberculosis merupakan
organisme obligate aerobe yang berarti membutuhkan oksigen untuk
tumbuh. Oleh karena itu, kompleks MTB banyak ditemukan di lobus
paru-paru bagian atas yang dialiri udara dengan baik. Selain itu,
bakteri ini merupakan parasit intraseluler fakultatif, yaitu patogen
yang dapat hidup dan memperbanyak diri di dalam sel hospen
maupun diluar sel hospes (sel fagositik), khususnya makrofag dan
monosit. Kemampuan MTB dalam bertahan di makrofag hospes
dikendalikan oleh proses kompleks dan terkoordinir. Sistem ini
dikontrol dengan baik ESX-1 sebagai sistem sekresi protein bakteri
(Raghavan dkk., 2008; Sorensen dkk., 1995; Stanley dkk., 2003; Wel
dkk., 2007; MacGurn dkk., 2005; Porcelli, 2008).

19 | B u k u A n t i - t u b e r k u l o s i s
Gambar 11. Transmission electron microscopy (TEM) dari M. tuberculosis.
Spesies ini pertama kali dilihat oleh Koch pada tahun 1882. M. tuberculosis
berbentuk batang dengan panjang 1-4 µm dan lebar 0,3-0,56 µm (Velayati dan
Parissa, 2016)

Sistem sekresi protein adalah faktor keganasan yang utama dari


bakteri patogen. Terdapat 5 jenis sistem sekresi pada MTB, yaitu
ESX1 hingga ESX5 seperti yang terlihat pada gambar 12 (Abdallah
dkk., 2007). ESX1 diperlukan untuk virulensi penuh dari MTB
karena ESX1 sangat penting MTB untuk translokasi dari fagosom
kedalam sitosol makrofag terinfeksi sehingga bakteri mungkin akan
tinggal pada lingkungan terlindung (Simeone dkk., 2012; Romagnoli
dkk., 2012). ESX1 mengeluarkan ESAT-6 dan CFP-10 yang
merupakan protein kecil sangat imunogenik sebagai dasar diagnosis
imunologi infeksi MTB pada metode interferon-gamma release
assay (IGRAs). IGRAs dapat digunakan untuk deteksi infeksi MTB
termasuk pada subjek yang sebelumnya telah menerima vaksin BCG
karena BCG kekurangan ESX1 dan tidak mengekspresikan ESAT-6
dan CFP-10 (Diel dkk., 2011). ESX1 telah dihilangkan pada vaksin
M. bovis strain Bacille Calmette and Guerin, (Pym dkk., 2002; Hsu
dkk., 2003).

20 | B u k u A n t i - t u b e r k u l o s i s
Ekstrusi dari fagosom
ke dalam sitoplasma
Imunomodulasi
Uptake zink dan besi

Gambar 12. Sistem sekresi protein. Terdapat 5 sistem sekresi protein pada MTB
dikode oleh kelompok gen yang disebut ESX1 sampai ESX5. ESX1 dan ESX5
mengeluarkan protein berbeda yang terlibat pada keganasan MTB. ESX1
mengeluarkan antigen penganggu integritas membrane fagosom, pemicu pecahnya
fagosom dan pengeluaran bakteri ke dalam sitosol. ESX5 hanya ada pada
mikobakteri yang tumbuh lambat (contohnya MTB dan M. marinum) dan dianggap
terlibat pada sekresi protein dengan sifat imunomodulator. ESX3 terlibat pada
uptake seng (Zn) dan besi serta homeostasis. Fungsi ESX2 dan ESX4 belum
diketahui (Delogu dkk., 2013)

M. tuberculosis tidak diklasifikasikan sebagai Gram positif


maupun Gram negatif karena dinding sel bakteri ini tidak memiliki
karakteristik membrane luar bakteri Gram negatif. Namun, M.
tuberculosis memiliki struktur peptidoglikan-arabinogalaktan-asam
mikolat sebagai barier permeabilitas eksternal (Todar, 2012). M.
tuberculosis diklasifikasikan sebagai bakteri acid-fast. Jika
pewarnaan Gram dilakukan pada M. tuberculosis, warna gram positif
yang muncul sangatlah lemah atau tidak berwarna sama sekali.
Namun ketika terwarnai, sebagai bakteri acid fast maka M.
tuberculosis akan mempertahankan pewarna saat dipanaskan dan
diberi komponen asam organik. Pada penggunaan metode Ziehl-
Neelsen stain terhadap M. tuberculosis, bakteri ini akan

21 | B u k u A n t i - t u b e r k u l o s i s
menunjukkan warna merah muda seperti pada gambar 13 (Todar,
2008).

Gambar 13. Penampakkan Mycobacterium tuberculosis menggunakan


Ziehl-Nelson stain (Velayati dan Parissa, 2016)

M. tuberculosis tumbuh lambat dengan kecepatan pembelahan


12 hingga 24 jam dan waktu kultur hingga 21 hari pada media
pertumbuhan (gambar 14). Isolasi pada medium Lowenstein-Jensen
atau Middlebrook culture medium membutuhkan waktu 3 hingga 6
minggu (Todar, 2008). Penyebab lambatnya pertumbuhan M.
tuberculosis belum diketahui. Namun, terbatasnya penyerapan
nutrien akibat dinding sel yang impermeable dan lambatnya sintesis
RNA diajukan sebagai penyebab lambatnya pertumbuhan MTB
(Harshey dan Ramakrishnan, 1977).

22 | B u k u A n t i - t u b e r k u l o s i s
Gambar 14. Koloni M. tuberculosis pada media Lowenstein-Jensen
(Velayati dan Parissa, 2016)

Struktur dinding sel M. tuberculosis bersifat unik dibandingkan


organisme prokariot lainnya karena memberikan barier berupa
kekedapan yang sangat kuat terhadap komponen berbahaya dan obat
serta memainkan peran dasar dalam keganasan bakteri ini. Kelebihan
tersebut diakibatkan kandungan lipid komples yang tinggi. Lebih dari
60% dinding sel mikobakteri adalah lipid (Todar, 2008).
M. tuberculosis tidak mengandung fosfolipid pada membran
luar. Dinding sel M. tuberculosis mengandung glikolipid dalam
jumlah besar, khususnya asam mikolat, peptidoglikan, LAM
(lipoarabinomannan), fosfatidil inositol mannosida (PIM),
phthiocerol dimycocerate, cord factor, sulfolipids dan wax-D
(Alderwick dkk., 2007; Brennan, 2003; Asano dkk., 1993; Belisle
dkk., 1997; Fratti dkk., 2003; Meena dan Rajni, 2010). Komponen
unik ini mengganggu jalur pertahanan hospes dan menentukan
pertahanan bakteri di dalam fagosom (Alderwick dkk.,2007;
Brennan, 2003; Asano dkk., 1993; Belisle dkk.,1997; Fratti dkk.,
2003; Meena dan Rajni, 2010; Rajni dan Meena, 2010; Kartmann
dkk., 1999). Asam mikolat, cord factor dan wax-D adalah 3 fraksi
komponen utama lipid MTB (Alderwick dkk., 2007; Brennan, 2003).

23 | B u k u A n t i - t u b e r k u l o s i s
a. Asam mikolat
Asam mikolat adalah penentu utama permeabilitas dinding
sel mikobakteria karena sifat hidrofobiknya yang kuat. Asam
mikolat membentuk lapisan lipid di sekeliling organisme. Lapisan
ini mempengaruhi sifat permeabilitas permukaan sel. Asam
mikolat dianggap sebagai faktor penting yang bertanggungjawab
terhadap keganasan M. tuberculosis karena komponen ini
melindungi bakteri dari serangan protein kationik, lisozim dan
radikal oksigen di dalam granul fagositik. Komponen ini juga
melindungi mikobakteria ekstraseluler dari serangan di serum
(Alderwick dkk., 2007).
b. Cord factor
Cord factor (trehalose 6-6’-dimikolat, TDM) adalah suatu
glikolipid yang memiliki 2 aktivitas. Pada bakter, TDM bersifat
non toksik dan berfungsi sebagai pelindung dari makrofag. Pada
permukaan lipid, TDM menjadi antigenik dan sangat toksik
terhadap sel mamalia. Cord factor menjadi komponen paling
berlimpah pada strain M. tuberculosis yang ganas (Hunter dkk.,
2006).
c. Wax-D
Wax-D merupakan suatu glikolipid dan peptidoglikolipid
yang diekstraksi dari fraksi wax M. tuberculosis. Wax D memiliki
karakteristik adjuvant, yaitu suatu substansi yang memperkuat
respon imun tubuh. Oleh karena itu, Wax-D dapat digunakan
untuk menggantikan mikobakteria dalam persiapan adjuvant
dalam rangka peningkatan respon imun seluler dan humoral
terhadap antigen. Wax-D menjadi komponen utama Freund’s
complete adjuvant (CFA), suatu emulsi air dalam minyak. CFA

24 | B u k u A n t i - t u b e r k u l o s i s
tersusun atas minyak mineral berbobot ringan dan mikobakteri
yang telah mati dan dikeringkan. Emulsi ini digunakan sebagai
immunogen (Julius dkk., 2010).
Kadar lipid yang tinggi pada dinding sel M. tuberculosis
berhubungan dengan sifat bakteri MTB, yaitu (Todar, 2008):
a1. Impermeabilitas terhadap stain dan dye
a2. Resistensi terhadap berbagai antibiotik
a3. Resistensi terhadap pembunuhan oleh campuran asam dan basa
a4. Resistensi terhadap lisis osmotik melalui complement deposition
a5. Resistensi terhadap oksidasi dan daya tahan di dalam makrofag

Menghambat mgrasi
PMN dan toksik terhadap
Cord sel mamalia
factor

Konsentrasi lipid
Asam mikolat yang tinggi - Impermeabilitas
terhadap pewarna
M. - Resistensi terhadap
tuberculosis banyak antibiotic
- Resistensi lisis
osmotic
Asam mikolat - -Resistensi terhadap

- Pencegahan serangan oleh


Esprr Esx-1 protein kationik, lisozim
dan radikal oksigen
factor - tempat penyimpanan kaya
sistem sekresi nutrient untuk persistensi
transkripsi gen
protein bakteri M. tuberculosis

Mendahulukan persistensi
bakteri untuk peningkatan
transmisi
Gambar 15. Karakteristik unik M. tuberculosis pada sistem imun hospes manusia (Rajni dan
Laxman, 2011)

25 | B u k u A n t i - t u b e r k u l o s i s
BAB II
INFEKSI DAN PENYEBARAN TUBERKULOSIS

A. Penyebaran Mycobacterium Tuberculosis

M. tuberculosis ditularkan melalui udara, bukan melalui kontak


permukaan. Ketika penderita TB paru aktif (BTA positif dan foto rontgen
positif) batuk, bersin, berteriak atau bernyanyi, bakteri akan terbawa keluar
dari paru-paru menuju udara. Bakteri ini akan berada di dalam gelembung
cairan bernama droplet nuclei. Partikel kecil ini dapat bertahan di udara
selama beberapa jam dan tidak dapat dilihat oleh mata karena memiliki
diameter sebesar 1-5 µm (WHO, 2004; CDC, 2016).
Penularan TB terjadi ketika seseorang menghirup droplet nuclei
seperti ilustrasi gambar 16. Droplet nuclei akan melewati mulut/saluran
hidung, saluran pernafasan atas, bronkus kemudian menuju alveolus (CDC,
2016). Setelah tubercle bacillus sampai di jaringan paru-paru, mereka akan
mulai memperbanyak diri. Lambat laun, mereka akan menyebar ke kelenjar
limfe. Proses ini disebut sebagai primary TB infection. Ketika seseorang
dikatakan penderita primary TB infection, tubercle bacillus berada di tubuh
orang tersebut. Seseorang dengan primary TB infection tidak dapat
menyebarkan penyakit ke orang lain dan juga tidak menunjukkan gejala
penyakit (WHO, 2004).
Dosis penularan droplet nuclei dilaporkan diantara 1 hingga 200
bacili per orang, dimana satu droplet dapat mengandung 1 hingga 400
bacili, namun belum jelas anggapan dosis relevan ini (Sakamoto, 2012).
Walaupun TB biasanya tidak ditularkan saat kontak singkat, siapa saja
berbagi udara dengan penderita TB paru pada tahap infeksius maka dia
berisiko tinggi tertular (CDC dkk., 1999).

26 | B u k u A n t i - t u b e r k u l o s i s
Gambar 16. PenyebaranTB (CDC, 2016)
Tuberkulosis menyebar dari satu orang ke orang lain melalui udara. Titik merah di udara
menggambarkan droplet nuclei yang mengandung tubercle bacili

Gambar 17. Bersin melepaskan jutaan droplet mucus. Partikel bakteri dan virus dari
penyakit saluran nafas dapat dibawa dalam mucus ini dan berpindah ke udara.
Seseorang yang tidak dicurigai dapat menghirup droplet ini dan menjadi sakit. Oleh
karena itu, sangat penting untuk menutup mulut dan hidung ketika bersin (Velayati
dan Parissa, 2016)

B. Faktor Penyebaran Mycobacterium tuberculosis


Ada 4 faktor penentu terjadinya penyebaran penyakit TBC (CDC,
2016), yaitu:
B.1 Daya tahan tubuh seseorang rendah
B.2 Infectiousness (tingkat penularan)
Tingkat penularan penderita TB berhubungan langsung dengan
jumlah tubercle bacillus yang dikeluarkan oleh penderita ke udara.
Penderita dengan banyak tubercle bacillus bersifat lebih menular
27 | B u k u A n t i - t u b e r k u l o s i s
dibandingkan penderita dengan sedikit pengeluaran bacilli atau tanpa
bacilli. Makin tinggi derajat positif hasil pemeriksaan dahak, makin
menular penderita tersebut. Bila hasil pemeriksaan dahak negatif (tidak
terlihat kuman), maka penderita tersebut dianggap tidak menular
(Depkes RI, 2005). Karakteristik berikut akan mempengaruhi tingkat
penularan.
B.2.a. Faktor klinis
Faktor klinis terdiri dari keberadaan batuk, khususnya batuk
selama 3 minggu atau lebih; penyakit saluran nafas, khususnya
yang berhubungan dengan laring (sangat menular), mulut dan
hidung gagal ditutup ketika batuk, serta ketidak sesuaian/
kurangnya terapi
B.2.b. Prosedur
Seseorang mengalami prosedur yang memicu batuk atau
produksi aerosol (contohnya bronchoscopy, induksi sputum,
pemberian obat bentuk aerosol).
B.2.c. Radiografi dan laboratorium
Meliputi lubang atau rongga pada radiografi dada, kultur positif
M.tuberculosis dan hasil positif dari AFB (Acid-Fast Bacilli)
sputum smear.

28 | B u k u A n t i - t u b e r k u l o s i s
Gambar 18. X-ray dada pasien tuberkulosis. Infeksi pada kedua paru-paru ditandai
dengan panah putih dan pembentukan rongga ditandai oleh panah hitam
(Wikipedia, 2016).

B.3 Lingkungan
Faktor lingkungan mempengaruhi konsentrasi M. tuberculosis. Faktor
lingkungan penyebab meningkatnya penyebaran M. tuberculosis
adalah:
B.3.a Konsentrasi droplet nuclei
Semakin banyak droplet nuclei di udara, maka kemungkinan
penyebaran M. tuberculosis semakin tinggi.
B.3.b Ruangan
Paparan di ruangan yang kecil dan tertutup.
B.3.c Ventilasi
Kurangnya ventilasi akan menyebabkan kurangnya
pelarutan/eliminasi droplet nuclei.
B.3.d Sirkulasi udara
Sirkulasi kembali udara dengan kandungan droplet nuclei.

29 | B u k u A n t i - t u b e r k u l o s i s
B.3.e Penanganan spesimen
Jika prosedur penanganan spesimen tidak memadai, maka akan
menghasilkan droplet nuclei.
B.3.f Tekanan udara
Tekanan udara positif di dalam ruangan penderita dapat
menyebabkan perpindahan M. tuberculosis menuju ruangan lain.
B.4 Kontak
B.4.a Durasi kontak dengan penderita TB menular
Semakin lama kontak, maka risiko penularan semakin tinggi.
B.4.b Frekuensi kontak dengan penderita
Semakin sering terjadi kontak dengan penderita, maka semakin
tinggi risiko penularan TB.
B.4.c Paparan fisik dengan penderita
Semakin dekat kontak, maka risiko penularan semakin tinggi.

Anak-anak dengan penyakit TB pulmonary dan laryngeal bersifat


kurang menularkan dibandingkan dengan penderita dewasa. Hal ini
disebabkan anak-anak tidak menghasilkan sputum ketika batuk. Namun,
penularan dari anak-anak masih dapat terjadi. Oleh karena itu, anak-anak
dan remaja dengan penyakit TB seharusnya dievaluasi tingkat
penularannya dengan kriteria sama dengan penderita dewasa. Kriteria ini
meliputi keberadaan batuk yang bertahan selama 3 minggu atau lebih,
lubang atau rongga pada radiografi dada, atau penyakit saluran nafas yang
melibatkan paru-paru, saluran udara atau laring (CDC, 2016).

C. Waktu Saat TB Bersifat Menular

Tuberkulosis menjadi mudah menular ketika TB terjadi pada paru-


paru atau laring. Umumnya, seseorang dengan penyakit TB di paru/laring
seharusnya dianggap mudah menular sampai orang tersebut:
30 | B u k u A n t i - t u b e r k u l o s i s
C.1. Telah menyelesaikan minimal 2 minggu standar terapi anti-TB.
Namun lebih baik jika dengan pengamatan langsung oleh tenaga
kesehatan, dan
C.2. Telah mempunyai hasil sputum smear negatif 3 kali berturut-turut pada
3 hari berbeda, dengan minimal 1 spesimen di pagi hari, dan
C.3. Memiliki peningkatan pada gejala.
Seorang dicurigai TB harus dianggap mudah menular hingga hasil
investigasi diagnostiknya selesai (CDC dkk., 1999).

D. LTBI dan Penyakit TB


D.1. Patogenesis LTBI dan Penyakit TB
Setelah infeksi pertama, sel pertahanan tubuh orang sehat
(makrofag) akan bergerak menuju tempat infeksi dan memakan
bacilli. Namun, tubercle bacilli sangatlah kuat karena struktur
dinding selnya. Perlindungan ini membuat tubercle bacilli dapat
bertahan meskipun makrofag memakannya. Setelah makrofag
memakan tubercle bacilli, bacilli kemudian menginfeksi makrofag.
Bacilli hidup di dalam makrofag hidup yang tumbuh seperti biasa.
Setelah makrofag ditaklukkan oleh tubercle bacilli, sistem
imun tubuh mencoba strategi pertahanan lain. Sejumlah sel
pertahanan sampai di kelenjar limfa dan mengelilingi area infeksi.
Sel-sel ini membentuk gumpalan sel keras dengan sebutan tubercle.
Sel ini membantu untuk membunuh bacilli melalui pembentukkan
dinding pencegah penyebaran infeksi lebih lanjut. Pada beberapa
kasus, sel pertahanan dapat merusak semua tubercle bacilli secara
permanen.
Pada beberapa kasus, sel pertahanan tidak mampu untuk
merusak semua tubercle bacilli. Tubercle bacilli yang bertahan

31 | B u k u A n t i - t u b e r k u l o s i s
masuk ke dalam status dormant dan dapat bertahan lama. Sepanjang
waktu ini, bakteri tertidur. Pasien tidak menunjukkan gejala dan tidak
dapat menularkannya ke orang lain. Kondisi tersebut dikenal dengan
TB laten. Bakteri dormant dapat bangun kembali dan merusak
dinding sel pertahanan dalam suatu proses. Proses tersebut dikenal
sebagai Secondary TB infection. Secondary TB infection dapat terjadi
ketika sistem imun tubuh menjadi lemah dan tidak mampu melawan
bakteri, atau ketika bakteri mulai untuk memperbanyak diri dan
melimpah. Secondary TB infection biasanya terjadi dalam 5 tahun
dari primary infection. Secondary TB infection sering dianggap
sebagai onset penyakit TB aktif ( kondisi ketika bakteri mulai
memenangkan perlawanan terhadap sistem pertahanan tubuh dan
mulai menyebabkan gejala) (WHO, 2004). Patogenesis LTBI dan
penyakit TB dapat dilihat pada gambar 19.

32 | B u k u A n t i - t u b e r k u l o s i s
Droplet nuclei berisi tubercle
bacilli terhirup, masuk ke dalam
paru-paru dan bergerak ke
alveolus.
droplet nuclei

bronkiolus
Tubercle bacilli memperbanyak
tubercle bacili diri di dalam alveolus

alveolus

otak Sebagian kecil tubercle bacilli


tulang masuk ke dalam aliran darah
laring
nodul limfa kemudian menyebar ke seluruh
paru-paru tubuh. Tubercle bacilli dapat
tulang belakang
Shell
mencapai setiap bagian tubuh,
rusak termasuk otak, laring, saluran
ginjaldan
tubercle limfa, paru-paru, tulang
bacilli belakang,tulang atau ginjal.
keluar
kemudian
memperba Makrofag akan mengelilingi dan
nyaksel
diri
imun memakan tubercle bacilli dalam
khusus 2 hingga 8 minggu. Makrofag
paru membentuk
akan membentuk lapisan
lapisan pelindung (granuloma) sebagai
pelindung penampung dan pengendali
tubercle bacilli (LTBI).
Jika sistem imun tidak dapat
lapisan rusak mengendalikan tubercle bacilli,
sehingga
tubercle bacilli bacilli mulai memperbanyak diri
keluar dan dengan cepat (terjadi penyakit
memperbanyak TB). Proses ini dapat terjadi pada
diri area yang berbeda di tubuh
seperti paru-paru, otak, atau
tulang

Gambar 19. Patogenesis Penyakit TB dan LTBI (CDC, 2016)

33 | B u k u A n t i - t u b e r k u l o s i s
D.2. Latent Tuberculosis Infection (LTBI)
Seseorang dengan LTBI memiliki M. tuberculosis di tubuh mereka.
Akan tetapi mereka dikatakan tidak memiliki penyakit TB dan tidak dapat
menularkannya ke orang lain. Kondisi ini sering disebut juga dengan TB
laten. Proses LTBI dimulai ketika bacilli ektraseluler dimakan oleh makrofag
dan diperkenalkan ke sel darah putih. Hal tersebut memicu respon imun
tubuh. Sel darah putih membunuh atau mengenkapsulasi sebagian besar
bacilli. Kemudian granuloma akan terbentuk. Pada kondisi ini, LTBI telah
terjadi. LTBI dapat dideteksi dengan menggunakan tuberculin skin test (TST)
atau interferon gamma release assay (IGRA). Sistem imun tubuh
memerlukan waktu selama 2 hingga 8 minggu setelah infeksi TB awal agar
mampu bereaksi terhadap tuberculin, sehingga LTBI tetap dapat dideteksi
oleh TST atau IGRA. Satu minggu setelah infeksi, sistem imun biasanya
mampu untuk menghentikan perbanyakan tubercle bacilli, sehingga
perkembangan penyakit dapat dicegah (CDC, 2016).
D.3. Penyakit TB
Pada beberapa orang, tubercle bacilli dapat mengalahkan sistem
imun tubuh dan memperbanyak diri, sehingga terjadi progresi dari LTBI
menjadi penyakit TB atau TB aktif. Seseorang dengan penyakit TB (TB aktif)
biasanya menular dan dapat menyebarkan bakteri TB ke orang lain.
Perkembangan LTBI ke penyakit TB dapat terjadi kapanpun, baik segera
maupun beberapa tahun kemudian. Cairan tubuh atau jaringan dari area
sumber penyakit harus diambil untuk AFB smear dan kultur. Kultur positif
dari M. tubcerulosis mengkonfirmasi diagnosis penyakit TB. Perkembangan
penyakit TB dan LTBI dapat dilihat pada gambar 20 (CDC, 2016).

34 | B u k u A n t i - t u b e r k u l o s i s
Seseorang terpapar M. tuberculosis

Terinfeksi
oleh M.
tuberculosis
?

hasil TST atau hasil TST atau


IGRA negatif IGRA positif

Tidak berkembang
menjadi LTBI atau Radiografi Radiografi
penyakit TB dada normal dada abnormal

Tidak menular Tidak ada Gejala


gejala
Memiliki LTBI
Mungkin
memiliki kultur
Tidak menular positif

Gejala mungkin Memiliki


muncul penyakit TB
kemudian
Mungkin
menular
Gambar 20. Perkembangan TB. Seseorang yang terpapar M. tuberculosis akan atau
tidak akan mengalami LTBI. Seseorang yang terkena LTBI akan atau tidak akan
berkembang menjadi penyakit TB (CDC, 2016).

D.4. Perbedaan Antara LTBI dan Penyakit TB


D.4.1. LTBI atau infeksi TB atau TB laten
Infeksi TB adalah suatu tahap atau kondisi dimana
terdapat sedikit jumlah bakteri M. tuberculosis di dalam
tubuh. Bakteri tersebut tidak mampu tumbuh karena adanya
35 | B u k u A n t i - t u b e r k u l o s i s
kendali dari sistem imun. Bakteri bersifat inaktif, namun tetap
hidup di dalam tubuh dan nanti dapat menjadi aktif. Kondisi
ini disebut sebagai latent TB infection (LTBI) atau TB laten.
TB laten tidak menyebabkan seseorang merasa sakit, tidak
ada gejala maupun tanda terdeteksi pada evaluasi medis.
Tuberculin skin test adalah metode utama untuk mendiagnosis
TB jenis ini. Hasil positif biasanya menunjukkan adanya
infeksi TB. Namun seseorang dengan HIV-associated
immunosuppression dan sesorang penerima vaksin BCG
dapat memberikan hasil negatif palsu pada skin test. Hanya 1
dari 10 orang dengan TB laten dan sistem imun normal akan
mengalami perkembangan menjadi penyakit TB pada masa
hidup mereka. Sedangkan seseorang dengan infeksi HIV dan
TB, 1 dari 10 orang setiap tahunnya akan mengalami
perkembangan menjadi penyakit TB. Terapi TB laten dengan
obat anti-TB isoniazid dapat mengurangi risiko
perkembangan menjadi penyakit TB, walaupun keuntungan
perlindungan hanya bertahan selama kurang lebih 2 tahun
(CDC, 2016).
D.4.2. Penyakit TB
Sebagian besar penyakit TB (TB aktif) terjadi di paru-
paru. Namun, pada seseorang dengan infeksi HIV, hampir
setengah kasus TB memiliki penyakit di bagian lain dari
tubuh. Berbeda dengan TB laten, seseorang dengan penyakit
TB di paru-paru biasanya mengalami batuk dan terkadang
batuk berdarah. Gejala umum penyakit TB atau dikenal juga
dengan TB aktif meliputi demam, berkeringat pada malam
hari, kehilangan nafsu makan, kehilangan berat badan, dan

36 | B u k u A n t i - t u b e r k u l o s i s
kelelahan. Penyakit TB dapat disembuhkan dengan terapi
standar, meskipun pada penderita dengan infeksi HIV.
Tuberkulosis tidak tertangani sering berdampak fatal,
khususnya pada penderita dengan infeksi HIV. Sputum
smears sering menghasilkan negatif pada pasien dengan TB
dan HIV. Perbedaan antara LTBI dengan penyakit TB
diringkas pada tabel 2 (CDC, 2016).

Tabel 2. Ringkasan perbedaan LTBI vs Penyakit TB (CDC, 2016)


Seseorang dengan LTBI Penyakit TB (di paru-paru)
Terdapat sedikit jumlah bakteri Terdapat banyak jumlah
TB yang hidup di dalam tubuh bakteri TB yang hidup di
dan bersifat inaktif dalam tubuh
Tidak dapat menularkan ke orang Dapat menularkan ke orang
lain lain
Tidak merasa sakit, tetapi jika Merasakan gejala sakit seperti
bakteri menjadi aktif maka dia batuk, demam dana tau
akan sakit kehilangan berat badan
Biasanya bereaksi terhadap TB bereaksi terhadap TB skin test
skin test atau TB blood test atau TB blood test
Radiografi normal Radiografi abnormal
Olesan sputum dan kultur
Olesan sputum dan kultur negatif
biasanya positif
Harus dipertimbangkan terapi
LTBI untuk pencegahan penyakit Perlu terapi
TB
Mungkin perlu isolasi
Tidak perlu isolasi pernapasan
pernapasan
Bukan kasus TB Kasus TB

D.5 Risiko Terjangkit Penyakit TB


Tanpa terapi, terdapat kurang lebih 5% orang terinfeksi oleh
M. tuberculosis akan berkembang menjadi TB aktif dalam tahun
pertama atau dua tahun setelah infeksi, dan 5% lainnya akan
berkembang menjadi TB aktif suatu saat nanti. Sebanyak kurang lebih

37 | B u k u A n t i - t u b e r k u l o s i s
10% orang dengan sistem imun normal dan terinfeksi M. tuberculosis
akan mengalami TB aktif pada waktu tertentu.

E. Organ Tubuh yang Terinfeksi TB


Paru-paru merupakan tempat infeksi TB paling umum di antara
orang dewasa. Namun, TB juga dapat menginfeksi kelenjar limfa, tulang,
sendi, otak, saluran kencing, saluran reproduksi, bahkan aliran darah.
Infeksi TB pada aliran darah akan disirkulasikan ke seluruh tubuh.
Tuberkulosis tersebut diketahui sebagai Miliary TB, suatu penyakit serius.
Miliary TB biasanya terjadi pada anak-anak dan seseorang dengan sistem
imun lemah (WHO, 2004).
Berdasarkan organ yang diserang, TB dibedakan menjadi
tuberkulosis paru dan ekstra paru. Tuberkulosis paru adalah tuberkulosis
yang menyerang jaringan parenkim paru kecuali pleura (selaput paru).
Tuberkulosis paru dibedakan lagi menjadi 2 jenis berdasarkan hasil
pemeriksaan dahak, yaitu TB paru BTA positif dan TB paru BTA negatif.
Tuberkulosis paru BTA positif merupakan TB paru dengan hasil BTA
positif pada sekurang-kurangnya 2 dari 3 spesimen ketika pemeriksaan
spesimen dahak Sewaktu-Pagi-Sewaktu (SPS). Tuberkulosis juga dapat
dikatakan TB Paru BTA positif ketika 1 spesimen dahak SPS hasilnya BTA
positif dan foto rontgen dada juga menunjukkan gambaran tuberkulosis
aktif. Sementara itu, tuberkulosis paru BTA negatif adalah TB paru dengan
hasil BTA negatif pada pemeriksaan 3 spesimen dahak SPS namun hasil
foto rontgen dada menunjukkan gambaran tuberkulosis aktif. TB paru BTA
negative namun rontgen positif dapat digolongkan berdasarkan tingkat
keparahan penyakitnya, yaitu bentuk berat dan ringan. Bentuk berat terjadi
jika gambaran foto rontgen dada memperlihatkan gambaran kerusakan paru
yang luas dan/atau keadaan umum pasien buruk (Depkes RI, 2005).

38 | B u k u A n t i - t u b e r k u l o s i s
Tuberkulosis ekstra paru adalah tuberkulosis yang menyerang
organ tubuh selain paru, misalnya selaput paru, selaput otak, selaput
jantung (pericardium), kelenjar limfe, tulang, persendian, kulit, usus, ginjal,
saluran kencing, alat kelamin dan lain-lain. Tuberkulosis ekstra paru juga
dikelompokkan berdasarkan tingkat keparahan penyakitnya, yaitu TB
ekstra paru ringan dan TB ekstra paru berat. Tuberkulosis ekstra paru
ringan misalnya adalah TB pada kelenjar limfe, pleuritis eksudativa
unilateral, tulang (kecuali tulang belakang), sendi dan kelenjar adrenal.
Sedangkan TB ekstra paru berat misalnya adalah meningitis, millier,
pericarditis, peritonitis, pleutitis eksudativa dupleks, TB tulang belakang,
TB usus, TB saluran kencing dan alat kelamin (Depkes RI, 2005).

F. Faktor Risiko Terjadinya Infeksi dan Penyakit Tuberkulosis

F.1 Faktor terkait indeks kasus


F.1.1 Muatan bacilli
Studi epidemologi pada pertengahan abad ke-20
menunjukkan bahwa kasus smear positive (BTA positif) bersifat
lebih menular dibandingkan kasus lainnya. Pasien dahak positif
yang tidak terobati dapat menginfeksi kurang lebih 10 individu
per tahun dan masing-masing kasus smear positive dapat
memicu 2 kasus TB baru. Minimal 1 diantara 2 kasus baru
tersebut akan bersifat menular (Narasimhan dkk., 2013).
Kadar bacilli di dalam dahak pasien berhubungan positif
dengan tingkat penularan pasien tersebut. Semakin tinggi
kandungan bacilli pada dahak maka kecenderungan penularan
juga tinggi. Pasien smear negative memiliki jumlah bacilli lebih
sedikit dari pasien smear positive tetapi infeksi masih dapat
ditularkan. Hasil studi di Amerika Serikat, Inggris dan India

39 | B u k u A n t i - t u b e r k u l o s i s
menggaris bawahi bahwa prevalensi infeksi dan penyakit lebih
tinggi di antara kontak dari kasus smear positive dibandingkan
smear negative namun kecepatannya lebih tinggi diantara smear
negative dibandingkan populasi umum (Narasimhan dkk.,
2013).
F.1.2 Kedekatan terhadap pasien kasus menular
Kontak yang dekat dengan kasus TB menular meliputi
kontak di dalam rumah tangga dan dengan petugas pelayanan
kesehatan. Orang-orang ini memiliki risiko lebih tinggi untuk
tertular MTB. Laten tuberculosis infection (LTBI) ditemukan
pada 51,4% orang-orang tersebut. M. tuberculosis dapat
disebarkan dalam waktu kontak yang pendek, pada lokasi yang
tidak biasa dan tingginya kesempatan untuk interaksi serta
adanya risiko lain seperti kemiskinan, kepadaran penduduk dan
tekanan infeksi tinggi (Narasimhan dkk., 2013).
F.2 Faktor terkait Individu
F.2.1 Kondisi sistem imun yang lemah
Koinfeksi HIV adalah faktor resiko immunosuppressive
(penurunan respon imun) yang paling poten terhadap
perkembangan penyakit TB aktif (Corbett dkk., 2003). Afrika
bagian selatan memiliki prevalensi infeksi HIV yang paling
tinggi. Daerah ini telah memiliki kasus TB yang paling tinggi
sebelum masa infesi HIV/AIDS. Terdapat 6 negara di Afrika
bagian selatan yang memiliki prevalensi HIV pada orang dewasa
lebih dari 20% dengan perkiraan case notification rate TB
sebesar 461 hingga 719 per 100.000 tiap tahunnya. Sebagai
pembanding, Amerika Serikat mermiliki case-notification rates
sebesar 5 per 100.000 per tahun. Koinfeksi HIV meningkatkan

40 | B u k u A n t i - t u b e r k u l o s i s
kesempatan aktivasi infeksi laten TB dan kemajuan TB yang
mengikuti infeksi primer atau infeksi kembali TB. Studi pada
negara-negara dengan prevalensi TB tinggi juga menunjukan
bahwa variasi waktu dan tempat dari kejadian TB sangat
berhubungan dengan prevalensi infeksi HIV. Studi individu pada
negara high dan low burden countries mengalami peningkatan
kejadian TB akibat infeksi HIV (Narasimhan dkk., 2013).
Koinfeksi HIV memperburuk keparahan penyakit TB
sedangkan koinfeksi TB mempercepat replikasi HIV di organ
terinfeksi termasuk paru-paru dan pleura (Collins dkk., 2002).
TB mempercepat kemajuan HIV melalui peningkatan aktivasi
sistem imun. Oleh karena itu, koinfeksi memicu peningkatan
kecepatan kemajuan penyakit dan kematian diantara pasien. Sel
sistem imun menjadi komponen penting dalam pertahanan
hospes terhadap MTB pada kasus sistem imun yang melemah
akibat infeksi HIV. Infeksi HIV ini akan meningkatkan risiko
aktivasi kembali TB dan penyebarluasan MTB sehingga TB
ekstra paru terjadi (Narasimhan dkk., 2013).
Individu dengan kelainan mekanisme inflamasi sebagai
proses imunitas juga berisiko mengalami TB aktif, khususnya
setelah penggunaan tumour necrosis factor (TNF) alfa inhibitor
untuk terapi berbagai penyakit autoimun (Smith dkk.., 2011;
Winthrop, 2006). Tumour necrosis factor merupakan respon
imun penting bagi hospes dalam pengendalian berbagai infeksi
bakteri, jamur, parasite dan mikobakteri. Studi menunjukkan
bahwa individu mengalami peningkatan risiko infeksi berbagai
organisme tersebut khususnya TB setelah terapi TNF dan ketika

41 | B u k u A n t i - t u b e r k u l o s i s
berada pada daerah dengan prevalensi TB tinggi (Narasimhan
dkk., 2013).
F.2.2 Malnutrisi
Malnutrisi baik defisiensi mikro maupun makro
meningkatkan resiko TB karena melemahnya respon imun.
Penyakit TB dapat memicu kekurangan gizi karena penurunan
nafsu makan dan perubahan proses metabolik. Hubungan antara
malnutrisi dan TB telah ditunjukkan dengan percobaan vaksin
BCG pada akhir tahun 1960 di Amerika Serikat. Hasilnya, anak-
anak kurang gizi memiliki risiko terkena penyakit TB 2 kali lebih
besar dari anak-anak dengan gizi cukup. Bukti lebih lanjut masih
diperlukan untuk mengetahui level spesifik malnutrisi terhadap
TB (Narasimhan dkk., 2013).
F.2.3 Usia muda
Anak-anak berada pada risiko lebih tinggi untuk terkena
infeksi dan penyakit TB. Studi menunjukkan bahwa 60-80%
pasien terpapar smear positive dahak menjadi terinfeksi
sedangkan ketika kontak dengan dahak smear negative, hanya
30-40% yang terinfeksi. Kebanyakan anak-anak kurang dari 2
tahun terinfeksi dari sumber rumah tangga sedangkan anak
berumur lebih dari 2 tahun lebih banyak terinfeksi dari sumber
komunitas (lingkungan bermain). Sumber dahak positif pada
rumah tangga menjadi faktor risiko paling penting terhadap
anak-anak hingga umur 10 tahun. Risiko kematian tertinggi
akibat TB terjadi mengikuti infeksi primer selama masa
kehamilan. Risiko akan menurun 1% saat usia 1 dan 4 tahun dan
kembali meningkat sebesar 2% pada umur 15 hingga 25 tahun.
Oleh karena itu, investigasi lebih difokuskan pada anak kurang

42 | B u k u A n t i - t u b e r k u l o s i s
dari 5 tahun dan pada negara berkembang serta kontak rumah
tangga di negara paling banyak kegiatan industrinya
(Narasimhan dkk., 2013).
F.2.4 Diabetes
Diabetes meningkatan risiko penyakit TB aktif. Bukti
biologi mendukung teori bahwa diabetes melemahkan secara
langsung respon imun intrinsic dan adaptif sehingga
mempercepat proliferasi TB. Studi pada hewan menunjukkan
kandungan bakteri yang lebih tinggi pada mencit diabetes yang
terinfeksi MTB (Martens dkk., 2007). Penurunan produksi IFN-
γ dan sitokin lain mengurangi imunitas sel T dan kemotaksis di
neutrophil pasien diabetes. Hal ini dianggap berperan penting
dalam peningkatan kecenderungan pasien diabetes untuk
mengalami TB aktif. Reaksi sebaliknya, TB dapat menginduksi
intoleransi glukosa dan perburukan kontrol glikemik pada pasien
diabetes (Romieu dan Trenga, 2001).
F.2.5 Petugas kesehatan
Petugas kesehatan mengalami peningkatan risiko terpapar
MTB (Narasimhan dkk., 2013).
F.3 Faktor sosial-ekonomi dan kebiasaan
Urbanisasi yang cepat di negara berkembang dan status
ekonomi individu juga mempengaruhi kerentanan seseorang terhadap
infeksi. Beban TB mengikuti tingkatan sosial-ekonomi. Seseorang
dengan status sosial-ekonomi rendah terpapar beberapa faktor risiko
seperti malnutrisi, polusi udara, alkohol dan lain-lain. Kondisi tersebut
meningkatkan risiko TB. Seseorang dengan status ekonomi lebih
rendah memiliki kecenderungan lebih tinggi untuk terpapar keramaian
atau kepadatan penduduk, kurangnya ventilasi udara dan kekurangan

43 | B u k u A n t i - t u b e r k u l o s i s
fasilitas masak yang aman. Faktor tersebut juga meningkatkan risiko
TB (Narasimhan dkk., 2013).
F.3.1 Asap rokok
Hubungan antara merokok dan TB telah dipelajari dalam
beberapa review sistematik. Bates & colleagues dalam meta
analisis dari 24 studi efek merokok pada TB mengungkapkan
tingginya risiko TB pada perokok dengan daripada non perokok.
Merokok menjadi faktor risiko infeksi dan penyakit TB serta
tambahan risiko kematian pada seseorang dengan TB aktif
(Narasimhan dkk., 2013).
Pembersihan oleh sekresi mukosa yang dilemahkan,
pengurangan kemampuan fagositik dari makrofag alveolus dan
penurunan respon imun dan/atau CD4 + limpopenia akibat
kandungan nikotin dalam rokok menjadi alasan peningkatan
kerentanan tuberkulosis paru akibat rokok (Arcavi dan
Benowitz, 2004). Akhir-akhir ini, Shand dkk., pada studi hewan
mendemonstrasikan bahwa paparan asam rokok terhadap
mencit, diikuti oleh infeksi MTB menghasilkan peningkatan
signifikan jumlah viable MTB yang diisolasi dari paru-paru dan
limpa. Selain itu, penurunan imunitas adaptif juga terjadi pada
mencit tersebut (Shang dkk., 2011).
F.3.2 Alkohol
Alkohol telah diketahui sebagai faktor risiko yang kuat
terhadap penyakit TB. Terjadi peningkatan risiko TB aktif pada
orang yang mengkonsumsi alkohol lebih dari 40 g per hari.
Perubahan sistem imun, khususnya perubahan molekul pemberi
tanda (signaling) yang bertanggung jawab produksi sitokin
menjadi penyebab peningkatan risiko TB (Szabo, 1997).

44 | B u k u A n t i - t u b e r k u l o s i s
F.3.3 Polusi udara dalam ruangan
Penggunaan bahan bakar padat untuk memasak di negara
berkembang mencapai angka lebih dari 80%. Asap pembakaran
kayu atau biomassa dikenal sebagai faktor risiko independen
untuk penyakit TB berdasarkan studi case control di India dan
Brazil. Asap kayu dapat melemahkan fungsi makrofag,
perlekatan pada permukaan dan pembersihan bakteri. Sementara
itu, asap biomassa diketahui melepaskan partikulat besar seperti
karbon monoksida, nitrogen oksida, formaldehid dan
hidrokarbon poliaromatik yang dapat terdeposit secara dalam di
alveolus sehingga menyebabkan kerusakan (Narasimhan dkk.,
2013).
F.4 Faktor demografik/etnik
F.4.1 Populasi pribumi atau aborigin
Studi dari Kanada dan Australia menunjukkan bahwa
pribumi atau aborigin memiliki risiko lebih tinggi terhadap TB
daripda non aborigin. Aborigin memiliki faktor risiko kerentanan
TB (misalnya gagal ginjal, diabetes, penyalahgunaan alkohol
dan merokok) lebih tinggi dari rata-rata. Faktor sosial-akonomi
seperti kepadatan penduduk dan kemiskinan diketahui sebagai
penyumbang beban ini. Studi terbaru menunjukkan bahwa
beberapa orang aborigin di Kanada memiliki penghilangan gen
yang mungkin berakibat pada peningkatan kecenderungan
perkembangan penyakit TB aktif (Narasimhan dkk., 2013).
F.5 Masalah sistem kesehatan
Sistem pelaporan berbasis website berhasil memberikan
keuntungn bagi Cina. Rujukan meningkat sebesar 59% hingga 87%
sedangkan kontribusi deteksi dahak positive meningkat 16% hingga

45 | B u k u A n t i - t u b e r k u l o s i s
33% di rumah sakit. Masalah sistem kesehatan lainnya adalah
penundaan diagnosis dan terapi. Kedua hal ini memiliki hubungan
positif dengan tingkat infeksi yang terjadi di rumah. Terapi lebih awal
mengurangi beban infeksi atau penularan ke komunitas. Pengurangan
infeksi akan dipersulit jika diagnosis dan terapi tidak segera
dilakukan (Narasimhan dkk., 2013).

46 | B u k u A n t i - t u b e r k u l o s i s
BAB III
OBAT ANTI -TUBERKULOSIS

A. Terapi Tuberkulosis
Saat ini, penyakit TB aktif diobati dengan terapi kombinasi yang
terdiri atas 3 atau lebih obat (biasanya 4). Selama terapi, pasien dengan
TB aktif umumnya diberikan isoniazid (INH), rifampisin (RIF),
pirazinamid (PZA) dan etambutol (EMB) selama 2 minggu yang
merupakan fase intensif (gambar 21). Kemudian terapi dilanjutkan
dengan pemberian isoniazid dan rifampisin selama 4 bulan lagi (fase
lanjutan) untuk memusnahkan sisa bakteri yang telah masuk kedalam
kondisi dormant. Tujuan awal dari terapi kombinasi tersebut adalah
untuk meminimalkan perkembangan resistensi terhadap streptomisin
setelah obat tersebut diperkenalkan pertama kali. Saat ini, standar terapi
untuk infeksi TB sensitif obat sangat efektif dalam pembersihan bakteri
(Hoagland dkk., 2016).

Pirazinamid

Isoniazid
Etambutol

Rifampisin

Gambar 21. Obat lini pertama saat ini untuk terapi MTB sensitif obat
(Hoagland dkk., 2016).

47 | B u k u A n t i - t u b e r k u l o s i s
Terapi efektif membutuhkan pemberian obat dalam jangka waktu
panjang karena berbagai karakteristik M. tuberculosis menyebabkan sifat
kronis penyakit ini (Cole dkk., 1998). Karakteristik tersebut adalah waktu
tumbuh bakteri (waktu penggandaan kurang lebih 24 jam), kondisi bakteri
dormant di dalam makrofag dan complex, permeabilitas dan kekerasan
permukaan sel bakteri. Monoterapi mengarahkan pada perkembangan
strain resisten obat. Sehingga, terapi kombinasi seharusnya menjadi satu-
satunya terapi yang digunakan kecuali untuk pencegahan TB pada pasien
HIV, terapi dengan obat tunggal berupa isoniazid dapat diberikan (WHO,
2011).
Berbagai obat dalam terapi standar memiliki target populasi M.
tuberculosis yang berbeda-beda (Mitchison, 2005). Isoniazid, suatu
inhibitor sintesis dinding sel, membunuh secara aktif bakteri yang sedang
tumbuh dan memerankan peran kunci dalam pembasmian populasi yang
sedang memperbanyak diri (replicating bacteria). Rifampisin, suatu
inhibitor sintesis RNA, aktif melawan bakteri baik yang sedang
memperbanyak diri maupun tidak (replicating dan non replicating
bacteria). Pirazinamid, diperkirakan sebagai suatu inhibitor proton
motive force, hanya muncul dalam bentuk aktif di bawah kondisi asam
selama 2 bulan pertama terapi. Rifampisin dan pirazinamid memerankan
fungsi utama dalam perpendekan durasi terapi dari lebih dari 24 bulan
menjadi hanya 6 bulan. Mekanisme aksi tiap agen menentukan peran obat
dalam terapi MTB. Namun, mekanisme beberapa obat belum dapat
diungkap sepenuhnya sehingga beberapa mekanisme aksi pada ilustrasi
gambar 22 berikut masih berupa hipotesis (Ma dkk., 2007).

48 | B u k u A n t i - t u b e r k u l o s i s
DNA gyrase
Ciprofloksasin
Ofloksasin
Levofloksasin
Metabolisme asam folat RNA polimerase
Asam para-aminosalisilat Rifampisin
Rifabutin
Asam Rifapentin
dihidro-
folat
Sintesis dinding sel
Etambutol Asam para-aminosalisilat
Ribosom
Sikloserin
mRNA Streptomisin
Isoniazid (prodrug)
Kanamisin
Etionamid (prodrug)
Amikasin
Protionamid (prodrug)
Asam pirazinoat Kapreomisin
Peptida Viomisin
PZase

Proton motive force


Pirazinamid (prodrug)

Gambar 22. Ilustrasi skematik tempat aksi anti tuberkulosis yang tersedia (Ma dkk., 2007)
Obat anti-tuberkulosis (TB) digolongkan menjadi 5 kelompok
berdasarkan bukti efikasi, potensi, kelas obat dan pengalaman
penggunaanya (WHO, 2010). Semua obat lini pertama memiliki standar
singkatan dengan 3 huruf atau 1 huruf. Daftar kelompok obat tersebut
dapat dilihat pada tabel 3 berikut.

49 | B u k u A n t i - t u b e r k u l o s i s
Tabel 3. Kelompok obat anti-TB (Zumla dkk., 2013)
Kelompok 1
Obat anti-TB lini Oral: isoniazid (INH/H), rifampisin/rifampin
pertama (RIF/R), pirazinamid (PZA/Z), etambutol (EMB/E),
rifapentin (RPT/P) atau rifabutin (RFB)
Kelompok 2
Aminoglikosida injeksi: streptomisin (STM/S),
kanamisin (Km), amikasin (Amk).
Polipeptida injeksi: kapreomisin (Cm), viomisin
(Vim)
Kelompok 3
Obat anti-TB lini
Fluoroquinolon oral dan injeksi: ciprofloksasin
kedua
(Cfx), levofloksasin (Lfx), moxifloksasin (Mfx),
ofloksasin (Ofx), gatifloksasin (Gfx)
Kelompok 4
Oral: asam para-aminosaslisilat (Pas), sikloserin
(Dcs), terizidon (Trd), etionamid (Eto), protionamid
(Pto),
Kelompok 5
Obat anti-TB lini Clofazimin (Cfz), linezolid (Lzd), amoksisilin plus
ketiga klavulanat (Amx/Clv), imipenem plus cilastatin
(Ipm/Cln), klaritomisin (Clr).

A.1 Obat Anti-Tuberkulosis Lini Pertama


Obat anti-TB lini pertama yang paling efektif adalah
isoniazid, rifampisin, pirazinamide, etambutol, rifapentin dan
rifabutin. Empat obat pertama telah digunakan selama bertahun-
tahun oleh penduduk dunia, bahkan isoniazid telah digunakan sejak
tahun 1950-an. Kemudian, dua turunan rifamisin telah diterima sejak
tahun 1990. Semua obat lini pertama ini dapat diberikan secara oral
karena mereka bersifat lipofilik.

A.1.1 Isoniazid (INH/H)


Isoniazid adalah suatu analog tiasetazon (gambar 23a)
yang merupakan obat anti-TB efektif sejak tahun 1940-an

50 | B u k u A n t i - t u b e r k u l o s i s
namun memiliki efek toksik (Fox, 1952). Upaya peningkatan
efektifitas tiasetazon dilakukan dengan penggantian cincin
fenil dengan cincin piridin karena berdasarkan penelitian,
nikotinamid (gambar 23b) memiliki efek inhibitor terhadap
M. tuberculosis. Salah satu senyawa yang dihasilkan yaitu
isonikotinaldehid tiosemicarbazon (gambar 23c) terbukti
lebih aktif daripada tiasetazon. Hal ini menginspirasi evaluasi
intermediet lain dari proses sintesis hingga pada akhirnya
terjadi penemuan asam hidrazid isonikotinat nikotinat (INH,
gambar 23d) yang merupakan obat antituberkulosis terbaik
hingga saat ini (Marriner dkk., 2011). Isoniazid pertama kali
disintesis pada tahun 1912. Kemudian aktivitas anti-TB baru
dilaporkan pada tahun 1952 (Ma dkk., 2007).
Ribuan turunan INH telah disintesis sejak penemuan
pertama INH, namun tidak ada senyawa turunan yang
memiliki peningkatan aktifitas. N-acetyl-INH, suatu
metabolit INH yang diproduksi di dalam tubuh manusia,
bersifat tidak aktif walaupun turunan N-alkil seperti
iproniazid (gambar 23e) dan hidrazon seperti verazid (gambar
23f) menunjukkan efikasi secara in vivo (Kakimoto dan Tone,
1965; Fox, 1953; Rubbo dkk., 1957; Rubbo dkk., 1958)
Isoniazid adalah salah satu obat anti-TB yang paling
luas digunakan dan salah satu komponen kunci pada terapi
lini pertama untuk penyakit aktif. Monoterapi INH selama 9
bulan digunakan untuk mengobati infeksi laten. Isoniazid
merepresentasikan agen bakterisida yang sangat efektif untuk
melawan metabolically-active replicating bacilli (aktif secara
metabolism dan mampu menggandakan diri) dan bertanggung

51 | B u k u A n t i - t u b e r k u l o s i s
jawab utamanya untuk pengurangan awal kandungan bakteri
pada fase awal terapi (Ma dkk., 2007).

Tiasetazon (a) Nikotinamid (b) Isonikotinaldehid


tiosemikarbazon (c)
(a)

Isoniazid (d) Iproniazid (e) Verazide (f)


Gambar 23. Tioasetazon
(a)dan turunan yang menuntun penemuan INH
(Ma dkk., 2007)

A.1.1.a Mekanisme aksi


Isoniazid masuk ke dalam sel MTB dalam
bentuk prodrug. Kemudian, INH akan diaktivasi
oleh enzim katalase peroksidase (KatG) yang dikode
oleh gen KatG. Spesies aktif INH kemungkinan
adalah suatu radikal isonicotinic acyl yang
selanjutnya membentuk adduct (produk dari
penambahan langsung dua atau lebih molekul
berbeda sehingga terbentuk produk reaksi tunggal
dengan kandungan semua atom dari semua
komponen (IUPAC, 1997)) dengan radikal NAD.
Adduct yang terbentuk adalah isonicotinic acyl-
NADH (dalam beberapa jurnal disebut sebagai
bentuk aktif INH). Adduct ini bersifat toksik di
dalam sel bakteri (Ma dkk., 2007; Brennan dkk.,
52 | B u k u A n t i - t u b e r k u l o s i s
2008; Zhand dkk., 1992) dan berturut-turut
mempengaruhi target intraseluler seperti biosintesis
asam mikolat yang merupakan komponen penting
pada dinding sel bakteri (Barry dkk., 1998).
Spesies aktif INH memiliki target aksi seluler
beragam (Zhang, 2003). Target utama INH adalah
InhA, suatu NADH-dependent enoyl-acyl carrier
protein (ACP)-reductase yang dikode oleh gen inhA.
Protein ini adalah enzim kunci dalam sintesis asam
mikolat. Isonicotinic acyl-NADH adduct (INA)
terikat pada InhA dan menghambat sintesis asam
mikolat yang penting bagi integritas dinding sel
mikobakteria (gambar 24). Kekurangan biosintesis
asam mikolat menghasilkan hilangnya integritas
seluler sehingga bakteri mati (Barry dkk., 1998).

KatG inhA
Isoniazid Radikal isonicotinic acyl Isonicotinic acyl-NADH

Gambar 24. Aktivasi INH dan pembentukkan isonicotinic acyl-NADH


(Ma dkk., 2007)

Struktur kristal yang terbentuk dari InhA M.


tuberculosis dan INA mengindikasikan bahwa INA
bersaing secara kompetitif dengan NADH untuk
berikatan pada InhA (gambar 25). Mutasi InhA pada
daerah ikatan NADH menyebabkan resistensi INH
diantara isolat klinis (Ma dkk., 2007).
53 | B u k u A n t i - t u b e r k u l o s i s
Gambar 25. Struktur INA dan sisi aktif InhA mengungkap interaksi kunci
berdasarkan struktur kristal X-rays (jarak dalam satuan angstroms)
(Rozwarski dkk., 1998)

A.1.1.b Hubungan struktur-aktivitas (Structure-activity


relationship/SAR)
Isoniazid diidentifikasi melalui pencarian
turunan nikotinamid, suatu anti-TB pertama.
Optimisasi nikotinamid dengan metode penelitian in
vitro dan in vivo menghasilkan 2 obat berbeda
dengan karakteristik sangat berbeda (gambar 26)
yaitu isoniazid dan pirazinamid (Murray, 2003).
Pirazinamid menunjukkan profil biologi serupa
nikotinamid dan resistensi silang dengan

54 | B u k u A n t i - t u b e r k u l o s i s
nikotinamid sedangkan INH berbeda dengan
senyawa asalnya secara mekanis (Ma dkk., 2007).

Isoniazid Etionamid Protionamid

Nikotinamid

Pirazinamid

Gambar 26. Struktur nikotinamid awal dan komponen kelanjutannya:


isoniazid, etionamid, protionamid dan pirazinamid (Ma dkk., 2007)

Kebanyakan studi kimia medisinal pada INH


diselesaikan pada tahun 1950-an. Terdapat 2 jalur
SAR yang dimiliki oleh INH. Jalur pertama berperan
dalam aktivasi prodrug sementara jalur kedua
berperan dalam interaksi spesies aktif dengan InhA.
Terdapat banyak gugus pada posisi 4 yang dapat
diaktifasi di dalam bakteri dan menjadi kemungkinan
struktur prodrug (gambar 27) (Maccari dkk., 2005).
Setelah aktivasi, kebutuhan struktural untuk ikatan
InhA sangatlah ketat. Hanya struktur inti
isonicotinoyl yang sebagian besar aktif diantara
banyak gugus aryl dan heteroaryl (Pasqualoto dkk.,
2004). Gugus isonicotinoyl dapat diganti dengan
gugus alkil yang lebih rendah dengan tetap

55 | B u k u A n t i - t u b e r k u l o s i s
mempertahankan aktivitas yang baik (Ma dkk.,
2007).
Membutuhkan gugus yang dapat diaktivasi melalui oksidasi
terhadap suatu radikal asil
X = O; R1=NH2, N=CR2R3, NHCR3R3
X = S, R=H

Gugus isonikotinoil penting


Gugus isonikotinoil dapat untuk aktivitas,
mentoleransi subtituen kecil gugus aril atau heteroaril
lainnya kurang aktif

Gambar 27. SAR Isoniazid (Ma dkk., 2007)


A.1.1.c Potensi in vitro melawan M. tuberculosis
Kadar hambat minimum (KHM) INH adalah
0,2 µM terhadap M. tuberculosis tumbuh cepat,
dengan aktifitas lebih rendah terhadap M.
tuberculosis yang tumbuh lambat dan tidak aktif
secara in vitro terhadap bakteria teradaptasi
anaerobik. Kadar hambat minimum (KHM) terhadap
M. tuberculosis (H37Rv) adalah 0.025 µg/mL
(Rastogi dkk., 1996).
A.1.1.d Spektrum aktivitas
Isoniazid adalah agen bakterisida aktif
terhadap organisme dari genus Mycobacterium,
khususnya M. tuberculosis, M. bovis dan M.
kansasii. Isoniazid adalah bakterisida bagi
mikobakteria dengan pembelahan cepat, namun
bersifat bakteristatik bagi mikobakteri dengan
pertumbuhan lambat. Isoniazid sangat spesifik
karena menjadi aktif hanya ketika melawan
56 | B u k u A n t i - t u b e r k u l o s i s
sekelompok kecil mikobakteri dan sebagian besar
tidak efektif melawan mikroorganisme lain. Hal
tersebut disebabkan beberapa aspek metabolisme
khas, contohnya adalah adanya aktifitas tinggi dari
KatG yang tidak biasa dan mekanisme efflux obat
yang tidak sempurna pada M. tuberculosis (Zhang,
2004).
A.1.1.e Efikasi pada manusia
Isoniazid memiliki aktifitas bakterisida cepat.
Isoniazid mampu membunuh bakteri sedang tumbuh
secara aktif dan menyebabkan penurunan kandungan
bacilli secara cepat di dalam dahak setelah 2 minggu
pertama terapi. Kemampuan ini kemudian melambat
terhadap populasi bakteri tidak tumbuh (Zhang,
2004). Terapi masih dianjurkan untuk pasien dengan
resistensi INH pertama yang rendah (<1% resisten
bacilli untuk 1µg/mL INH). Obat dapat diberikan
secara oral, intra vena atau intra muscular.
A.1.1.f Keamanan dan efek samping pada manusia
Isoniazid dapat ditoleransi dengan baik
walaupun efek samping akibat ketidak normalan
enzim hepar menyebabkan hepatitis pada pasien
(khususnya pada pasien lanjut usia). Selain itu,
neuritis perifer dapat terjadi namun dapat dicegah
dengan mudah melalui penggunaan piridoksin
(Marriner dkk., 2011).
Efek samping terkait neurologi adalah:
parestesia, neuritis perifer, gangguan penglihatan,

57 | B u k u A n t i - t u b e r k u l o s i s
neuritis optik, atropfi optik, tinitus, vertigo, ataksia,
somnolensi, mimpi berlebihan, insomnia, amnesia,
euforia, psikosis toksis, perubahan tingkah laku,
depresi, ingatan tak sempurna, hiperrefleksia, otot
melintir, konvulsi. Beberapa efek samping lain yang
dapat terjadi meliputi (Brennan dkk., 2008):
a. Hipersensitifitas: demam, menggigil, eropsi
kulit (bentuk morbili, mapulo papulo, purpura,
urtikaria), limfadenitis, vasculitis dan keratitis.
b. Hepatotoksik: SGOT dan SGPT meningkat,
bilirubinemia, sakit kuning dan hepatitis fatal.
c. Metabolisme dan endrokrin: defisiensi Vitamin
B6, pelagra, kenekomastia, hiperglikemia,
glukosuria, asetonuria, asidosis metabolik,
proteinurea.
d. Hematologi: agranulositosis, anemia aplastik,
atau hemolisis, anemia, trambositopenia,
eusinofilia dan methemoglobinemia.
e. Saluran cerna: mual, muntah, sakit ulu hati dan
sembelit.
f. Intoksikasi lain: sakit kepala, takikardia,
dispenia, mulut kering, retensi kandung kemih
(pria), hipotensi postura, sindrom seperti lupus,
eritemamtosus dan rematik.

A.1.2 Pirazinamid (PZA/Z)


Pirazinamid (gambar 28) merupakan analog struktural
dari nikotinamid. Obat ini dikenalkan sebagai obat TB pada

58 | B u k u A n t i - t u b e r k u l o s i s
awal tahun 1950. Pirazinamid bertanggung jawab untuk
membunuh persistent tubercle bacilli di awal terapi fase
intensif (Somoskovi dkk., 2001). Namun, selama 2 hari
pertama terapi, pirazinamid tidak memiliki aktivitas
bakterisida terhadap bacilli yang tumbuh cepat (Zhang dan
Mitchison, 2003). Meskipun demikian, akibat aktifitas
sterilisasinya dalam kondisi asam di dalam makrofag atau
jaringan yang inflamasi, pirazinamid mampu untuk
memperpendek durasi terapi dari 12 bulan menjadi 6 bulan
dan mencegah risiko kekambuhan (WHO, 2010). Aktivitas
PZA sangat spesifik terhadap M. tuberculosis karena tidak
berefek pada mikobakteria lain (Johnson dkk., 2005).

Gambar 28. Struktur pirazinamid

A.1.2.a Mekansime aksi


Pirazinamid adalah suatu prodrug sehingga
perlu dikonversi ke dalam bentuk aktifnya, yaitu
asam pirazinoat (POA), oleh enzim pirazinamidase
(PZase) atau nikotinamidase mikobakteri.
Mekanisme aksi pirazinamid masih belum jelas.
Asam pirazinoat diperkirakan bekerja melalui
penghambatan sistem enzim fatty acid synthase
(FAS) I yang berperan penting dalam sintesis asam
mikolat M. tuberculosis yang sedang memperbanyak
59 | B u k u A n t i - t u b e r k u l o s i s
diri (Steinhilber dkk., 2010). Kemungkinan
mekanisme aksi lainnya yaitu gangguan potensial
membran di bawah kondisi pH asam atau
penghambatan translasi setelah berikatan dengan
komponen S1 dari subunit 30s ribosomal (Zhang
dkk., 2003; Zumla dkk., 2013). Gangguan potensial
membrane terjadi akibat adanya akumulasi asam
pirazinoat. Asam pirazinoat diekskresi oleh pompa
effux lemah. Pada kondisi asam, asam pirazinoat
terprotonasi akan direabsorbsi ke dalam sel dan
terakumulasi di dalam sitoplasma karena pompa
efflux yang tidak efisien. Akumulasi asam pirazinoat
menghasilkan penurunan pH intraseluler hingga nilai
dimana menonaktifkan sintesis asam lemak penting
atau terjadi kerusakan seluler (Zhang dkk., 2003;
Zimhony dkk., 2004). Berdasarkan mekanisme
tersebut, pirazinamid hanya aktif melawan M.
tuberculosis pada pH asam dimana asam pirazinoat
terakumulasi di dalam sitoplasma (Zimhony dkk.,
2004). Pada jurnal lain dihipotesiskan bahwa anion
pirazinoat di bawah kondisi asam berfungsi sebagai
pembawa proton yang mentransport proton dari luar
membran ke dalam ruang intraseluler. Proses ini
mengurangi proton motive force dan berpengaruh
pada produksi energi bakteri (Ma dkk., 2007).

60 | B u k u A n t i - t u b e r k u l o s i s
A.1.2.b Hubungan struktur-aktivitas (Structure-activity
relationship/SAR)
Optimasi pirazinamid dilakukan pada tahun
1950-an sebagai kelanjutan kerja terhadap
isonikotinamid. Hubungan struktur-aktivitas dari
senyawa ini sangat sulit untuk dijelaskan karena obat
ini tidak aktif di bawah kondisi kultur normal. Oleh
karena itu, data SAR PZA diperoleh sebagian besar
dari studi in vivo pada hewan dan jumlahnya sangat
terbatas (Ma dkk., 2007).
Penelitian awal SAR dilakukan secara in vivo
pada turunan nikotinamid (gambar 29) dan PZA
pada mencit. Keberadaan pirazin heterocycle dengan
suatu carbocamide pada posisi C2 sangat penting
untuk aktivitas PZA. Modifikasi carboxamide
dengan tetrazol, nitril, hidrazid atau asam karboksilat
(Gambar 29b-e) menyebabkan obat ini menjadi tidak
aktif sepenuhnya pada kondisi in vivo. Subtitusi atau
penggantian nitrogen gugus amida dengan metil
(gambar 29f) atau gugus asetil (gambar 29g) juga
tidak baik untuk aktivitas obat. Asam pirazinoat
(gambar 29e) dianggap sebagai metabolit aktif PZA.
Oleh karena itu, beberapa turunan ester (contoh
gambar 29h) disintesis dan ditemukan bersifat aktif
secara in vitro namun tidak aktif secara in vivo. Hal
ini kemungkinan disebabkan adanya hidrolisis
sebelum waktunya atau kelarutan yang buruk. Akan
tetapi, prodrug yang lebih stabil (aminomethylene)

61 | B u k u A n t i - t u b e r k u l o s i s
tidak menunjukkan peningkatan aktifitas,
kemungkinan karena prodrug tersebut bukan
substrat untuk amidase. Sementara itu, tionamid
(29k), pirimidin nucleus (29l) dan piridazin nucleus
(29mn) bersifat tidak aktif atau aktif namun lemah
sehingga PZA adalah farmakofor (bagian dari
struktur senyawa atau gugus-gusus pada senyawa
yang berinteraksi dengan reseptor atau target obat)
minimal, subtitusi selanjutnya pada gugus amida
atau perubahan pada cincin pirazin bersifat
menurunkan aktivitas (Marriner dkk., 2011) .

29a R = CONH2; PZA 29l 29m 29n


29b R = tetrazol
29c R = CN
29d R = CONHNH2
29e R = CO2H
29f R = CONHCH3
29g R = CONHAo
29h R = CO2Pr
29 I R = CONHCH2Net2
29j R = CONH-N-(morpholinometil)
29k R = CSNH2

Gambar 29. Turunan PZA hasil screening pada model murine


(Marriner dkk., 2011).

Sebagai suatu prodrug, PZA memiliki 2 SAR


yaitu gugus terkait aktivasi oleh PZase dan gugus
untuk berikatan dengan target (gambar 30). Gugus
R1 memiliki 2 fungsi utama yaitu berperan sebagai
spesies aktif dan bertanggung jawab pada aktivitas
antibakteri. Pertama, spesies aktif (asam pirazinoat),
62 | B u k u A n t i - t u b e r k u l o s i s
biasanya berada dalam bentuk anionik pada suhu
fisiologis dan tidak permeable/bioavailable. Gugus
R1 menutupi gugus asam dan membuat obat dapat
melewati membrane sel. Kedua, efek antibakteri dari
spesies aktif tidak mungkin merupakan proses
selektif. Oleh karena itu, penghilangan gugus R1
secara selektif oleh M. tuberculosis dan spesies
bakteri lain memberikan selektifitas yang
diharapkan. Pada prinsipnya, setiap struktur yang
dapat dihilangkan secara selektif oleh mikobakteria
akan menjadi pilihan bagus untuk gugus R1.
Penambahan ester pada amida telah diteliti sebagai
suatu prodrug (Cynamon dkk., 1995). Ester
menghasilkan spektrum aktivitas lebih luas daripada
amida dan tidak menunjukkan cross-resistance
dengan amida. Hal ini mengindikasikan bahwa ester
dan amida diaktivasi oleh enzim berbeda (Speirs
dkk., 1995). Informasi terkait persyaratan struktural
untuk gugus aromatik sangat terbatas. Pada
umumnya, struktur yang mengarahkan sifat asam
dengan pKa relatif lebih rendah bersifat lebih aktif
daripada struktur yang mengarahkan pkA lebih
tinggi. Oleh karena itu, asam pirazinoat memiliki
aktivitas lebih baik daripada asam nikotinat. pKa
spesies bentuk aktif dapat mempengaruhi baik
struktur sistem aromatik maupun subtitusinya (Ma
dkk., 2007).

63 | B u k u A n t i - t u b e r k u l o s i s
Gugus R1 terbaik adalah amida (suatu gugus R1
potensial adalah suatu ester yang dapat
diaktivasi oleh esterase bakteri

Pirazinoil (X = N) lebih baik


dari nikotinoil (X = CH)
Subtitus umumnya
gugus heteroaril atau aril
tidak ditoleransi lainnya yang bersifat kurang
aktif

Gambar 30. SAR Pirazinamid (Ma dkk., 2007)

A.1.2.c Potensi in vitro melawan M. tuberculosis


Kadar hambat minimum (KHM) terhadap M.
tuberculosis dilaporkan sebesar 6-50 µg/mL pada pH
5,5 (Zhang dan Mitchison, 2003). Namun KHM >
2000 µg/mL diperlukan untuk M. smegmatid pada pH
sama (Zhang dan Mitchison, 2003;Salfinger dan
Heifets, 1988).
A.1.2.d Spektrum aktivitas
Pirazinamid dianggap spesifik untuk spesies
mikobakteria dan melaksanakan karakteristik
antibakteri di bawah kondisi spesifik (pH asam). M.
bovis dan M. leprae resisten secara intrinsik terhadap
PZA. PZAase didistribusikan secara luas di dalam
bakteri namun efikasi PZA terhadap M. tuberculosis
dan beberapa organisme lain terbatas. Semua strain
mikobakterial bovine kekurangan aktivitas PZAase
karena point mutation pada gen pncA, suatu gen
pengkode enzim pirazinamidase (PZAse). M.
smegmatis juga resisten terhadap PZA, kemungkinan
karena sistem efflux yang sangat efisien sehingga tidak
terjadi akumulasi POA di dalam sel (Zhang dan
Mitchison, 2003).
64 | B u k u A n t i - t u b e r k u l o s i s
A.1.2.e Efikasi pada manusia
Pirazinamid umumnya digunakan dalam
kombinasi bersama obat lain seperti INH dan RIF
pada terapi M. tuberculosis. Regimen terapi paling
sering digunakan adalah INH, RIF, PZA, ETH setiap
hari selama 2 bulan dilanjutkan INH dan RIF tiga kali
per minggu selama 4 bulan. Pirazinamid
memperpendek terapi dari 12 bulan menjadi 6 bulan
dengan membunuh organisme yang tidak terpengaruh
oleh obat anti-TB lain, khususnya pada lingkungan
asam. Penggunaan Pirazinamid pada 2 bulan pertama
terapi mampu mengurangi durasi terapi. Pirazinamid
juga mengurangi tingkat kekambuhan dari 22%
menjadi 8% ketika pirazinamid ditambahkan pada
kombinasi INH dan streptomisin (STR). Pirazinamid
dapat melintasi meninges. Pirazinamid menjadi
bagian penting dalam terapi meningitis tuberkulosis
(Zhang dan Mitchison, 2003; Mitchison, 2000).
A.1.2.f Keamanan dan efek samping
Keamanan penggunaan pada anak-anak belum
ditetapkan. Hati-hati penggunaan pada penderita
dengan encok atau riwayat encok keluarga atau
diabetes melitus; dan penderita dengan gangguan
fungsi ginjal; penderita dengan riwayat tukak peptik
(Depkes RI, 2005). Efek samping penggunaan PZA
meliputi luka liver, artalgia, anoreksia, mual muntah,
dysuria, malaise, demam, dan anemia sideroblastik.
Efek samping pada mekanisme penjendalan darah

65 | B u k u A n t i - t u b e r k u l o s i s
atau integritas vaskuler dan reaksi hipersensitifitas
seperti urtikaria, pruritis dan eksim kulit juga mungkin
terjadi. Pirazinamid dikontraindikasikan pada pasien
dengan kerusakan hati parah atau gout akut. PZA
meningkatkan kadar serum asam urat sehingga
menyebabkan arthralgia nongoutt. Ketika digunakan
dalam kombinasi dengan INH dan/atau RIF sering
menyebabkan hepatotoksisitas. Pirazinamid harus
dihentikan dan tidak dimulai lagi jika tanda kerusakan
hepatoseluler atau hiperurisemia bersama gout atritis
akut muncul (Brennan dkk., 2008).

A.1.3 Rifamisin
Rifamisin adalah salah satu golongan antibakteri paling
efektif dan digunakan secara luas dalam terapi TB saat ini.
Rifamisin diisolasi pertama kali pada tahun 1957 dari
Amycolatopsis (dulunya Streptomyces) mediterranei (Sensi,
1983). Awalnya kelas obat ini merupakan agen terapi yang
kurang disukai karena potensinya terlalu rendah, kelarutan
rendah, bioavailabilitasnya rendah (hanya aktif ketika
diberikan secar intra vena) dan waktu paruhnya pendek.
Namun, modifikasi struktural dari rifamisin alami
menghasilkan beberapa turunan dengan potensi tinggi dan
tersedia dalam bentuk oral. Saat ini, ada 3 senyawa semisintetik
dari kelas ini yang digunakan dalam terapi, yaitu rifampisin,
rifapentin dan rifabutin (gambar 31). Rifampisin menjadi dasar
terapi saat ini dengan tanggung jawab utama untuk mengurangi
durasi terapi dari 12 bulan hingga sekarang menjadi 6 bulan.

66 | B u k u A n t i - t u b e r k u l o s i s
Anggota terbaru kelas ini, rifapentin dan rifabutin, memiliki
beberapa keuntungan daripada rifampisin seperti waktu paruh
lebih panjang, pengurangan kemungkinan interaksi obat-obat
dan/atau aktivitas melawan beberapa strain reisten rifampisin
(Ma dkk., 2007). Perbandingan antara rifampisin, rifapentin,
rifabutin dan rifalazil sebagai obat anti-TB dapat dilihat pada
tabel 4.

Tabel 4. Perbandingan Rifampisin, rifapentin, rifabutin dan rifalazil


sebagai obat anti-TB (Ma dkk., 2007)
Kegunaan saat
Senyawa
Kunci kelebihan Kunci kekurangan ini/potensi
(dikenalkan)
penggunaan
Sebagian besar
betanggung jawab
Interaksi obat- Komponen kunci
untuk
Rifampisin (1966) obat dan resistensi regimen lini
perpendekan
obat pertama
terapi dari 12
menjadi 6 bulan
Waktu paro lebih Resistensi silang
panjang dari dengan
Agen potensial
rifampisin, hanya rifampisin,
Rifapentin (1976) untuk terapi
sedikit interaksi obat-
intermittent
mengurangi obat, efek
induksi CYP450 makanan
Kadar jaringan
lebih tinggi, Resistensi silang Terapi untuk
mengurangi sebagian dengan MAC,
Rifabutin (1979) induksi CYP450 rifampisin, penggunaan
dan aktif terhadap ketersediaan oral potensial pada ko-
beberapa strain rendah infeksi TB-HIV
resisten rifampisin
Sangat poten,
tidak ada induksi Resistensi silang
Penggunaan
CYP450, waktu sebagian dengan
potensial untuk
paro lebih panjang rifampisin,
Rifalazil (1990) terapi intermitten
dari rifapentin, perubahan warna
dan ko-infeksi
aktif terhadap kulit, gejala
TB-HIV
beberapa strain serupa flu
resisten rifampisin

67 | B u k u A n t i - t u b e r k u l o s i s
A.1.3.1 Mekanisme Aksi
Rifamisin mengandung suatu inti aromatik yang
dihubungan pada ke dua sisi oleh suatu jembatan
alifatik. Rifamisin mudah menyebar melalui
membrane sel M. tuberculosis karena obat ini bersifat
lipofil (Wade dan Zhang, 2004). Aktivitas bakterisida
dikaitkan dengan kemampuan obat ini untuk
menghambat transkripsi akibat ikatan dengan afinitas
tinggi pada DNA-dependent RNA polimerase.
Walaupun target molekuler rifampin telah
dikarakterisasi dengan baik, mekanisme tepatnya dari
kelas obat ini masih belum terlalu jelas (Anastasia
dkk., 2012).
A.1.3.2 Hubungan struktur-aktivitas (Structure-activity
relationship/SAR)
Modifikasi kimia dari produk alami
menghasilkan rifampisin sintetis yang penting untuk
peningkatan profil farmakologi. Ringkasan SAR dapat
dilihat pada gambar 31 (Ma dkk., 2007).

68 | B u k u A n t i - t u b e r k u l o s i s
C1, C8, C21 dan C23 gugus hidroksil
Penting untuk aktivitas
-Modifikasi gugus ini menghasilkan senyawa inaktif dengan kecuali
konversi C1-OH menjadi =O
-Modifikasi pada posisi lainnya yang menyebabkan perubahan
konformasi terhadap gugus hidroksi ini juga menghasilkan senyawa
inakitf

Posisi C25 C16, C19, C28, C29


Memungkinkan deasetilasi meneyebabkan
saturasimemicu
dan modifikasi
senyawa dengan potensi
-menghasilkan senyawa atau senyawa induk
dengan potensi mirip serupa
senyawa induk
-Dapat digunakan untuk
Posisi C3 dan C4
memodulasi sifat fisika
Memungkinkan subtitusi besar
kimia dan uptake obat -Penting untuk peningkatan
sifat fisika kimia dan profil
Posisi C-11 farmakokinetk
Sisi untuk modifikasi -Dapat digunakan untuk
potensial memodulasi induksi CYP450

Gambar 31. SAR penting kelas rifamisin (Ma dkk., 2007)


Empat gugus hidroksi pada posisi C1, C8, C21
dan C23 dari kerangka rifamisin sangat penting untuk
aktivitas antibakteri. Setiap modifikasi terhadap gugus
hidroksi ini (kecuali konversi C1-OH menjadi =O)
menyebabkan penurunan aktivitas. Perubahan lain
pada konformasi gugus hidroksi ini juga
menghasilkan senyawa non aktif. Berdasarkan
struktur kristal rifampisin-RNA polymerase, gugus
hidroksi ini berinteraksi langsung dengan RNA
polymerase melalui ikatan hidrogen. Setiap
modifikasi yang menganggu interaksi tersebut akan
menghasilkan senyawa dengan penurunan afinitas
ikatan (Ma dkk., 2007).
Saturasi 1 atau lebih ikatan rangkap pada
C16/C17, C18/C19 dan C28/C29 umumnya
69 | B u k u A n t i - t u b e r k u l o s i s
menghasilkan senyawa dengan aktivitas sebanding
atau hanya sedikit berkurang daripada senyawa
induknya. Modifikasi ini tidak cukup signifikan untuk
menyebabkan perubahan potensi maupun keuntungan
lain daripada senyawa induknya. Produk deasetilasi
C25 sering diteliti sebagai metabolit rifamisin.
Metabolit hidroksi C25 ini umumnya sama potennya
dengan senyawa induknya. Modifikasi lain pada
gugus asetil juga menghasilkan senyawa poten dengan
sifat fisika-kimia berbeda. Akan tetapi, setiap
modifikasi pada posisi ini dapat bersifat “sementara”
karena gugus ester pada posisi ini dapat dipotong
dengan cepat secara in vivo (Ma dkk., 2007).
Turunan rifamisin terpenting adalah senyawa
hasil modifikasi pada posisi C3 dan C4. Secara
sintesis, posisi ini sangat mudah dijangkau dan mudah
dimodifikasi. Secara struktural, posisi ini
mengarahkan pada ruang terbuka tempat ikatan RNA
polymerase dan memungkinkan modifikasi
signifikan. Modifikasi pada posisi C3 dan C4 sering
menghasilkan komponen dengan peningkatan sifat
fisika-kimia dan profil farmakokinetik yang signifikan
(Bergmann dan Woods, 1998). Modifikasi rifampisin
menghasilkan rifapentin, suatu analog siklopentil dari
rifampisin. Rifapentin memiliki waktu paro lebih
panjang dari rifamisin sehingga dapat digunakan
dalam sebagai terapi intermittent. Rifabutin
diproduksi dengan menghubungkan posisi C3 dan C4

70 | B u k u A n t i - t u b e r k u l o s i s
untuk membentuk struktur spiro. Molekul ini memiliki
keuntungan relatif terhadap rifampisin dalam hal
peningkatan penetrasi jaringan dan pengurangan
induksi enzim CYP450. Rifalazil adalah anggota lebih
baru pada kelas rifamisin yang saat ini berada pada
pengembangan klinis untuk indikasi lain. Senyawa ini
memiliki gugus benzoxazino menyatu pada posisi C3
dan C4 dan memiliki waktu paro panjang (61 jam),
tidak mengalami induksi CYP450 signifikan dan
aktivitas terhadap bakteri resisten rifampisin tertentu
(Rochstein dkk., 2003). Struktur rifampisin,
rifapentin, rifabutin dan rifalazil dapat dilihap pada
gambar 32.

Rifampisin Rifapentin

Rifabutin Rifalazil

Gambar 32. Struktur rifampisin, rifapentin, rifabutin dan rifalazil


(Ma dkk., 2007)

71 | B u k u A n t i - t u b e r k u l o s i s
A.1.3.3 Efek Samping
Efek samping utama rifamisin adalah gejala
menyerupai influenza ringan, hepatotoksisitas dan
perubahan fungsi liver. Selain itu, akibat kromofor
furanonapthoquinon di dalam struktur rifamisin,
cairan tubuh seperti keringat, air mata atau urin dapat
menjadi berwarna oranye hingga merah. Rifamisin
juga dapat berinteraksi dengan obat antiretroviral.
Rifampisin adalah induser CYP3A paling kuat
sedangkan rifabutin adalah induser paling lemah
sehingga rifabutin lebih disukai untuk pasien HIV-
TB (Li dkk., 1997; Narita dkk., 2000).
A.1.3.a Rifampisin (RIF/R)
Rifampisin adalah salah satu obat anti-TB paling
efektif. Rifampisin yang dikombinasi dengan PZA
memungkinkan perpendekkan terapi rutin dari 1 tahun
menjadi 6 bulan. Sementara itu, bersama INH, RIF
membentuk dasar regimen terapi kombinasi obat.
Rifampisin aktif melawan bacilli growing dan non-
growing (metabolism lambat) (Mitchison, 1979).
Rifampisin mampu merusak bacilli dormant baik di
lokasi seluler maupun ekstraseluler. Mekanisme aksi
rifampisin sama dengan mekanisme aksi rifamisin.
Rifampisin terikat pada β-subunit pada DNA-dependent
RNA polymerase sehingga terjadi penghambatan
transkripsi. Akibatnya organisme mati. Rifampisin
diperkirakan berikatan dengan β-subunit di dekat saluran
RNA/DNA. Secara fisik menutupi pemindahan

72 | B u k u A n t i - t u b e r k u l o s i s
perpanjangan rantai RNA setelah penambahan 2 hingga
3 nukleotida (Wehrli dkk., 1968).
A.1.3.a.1 Potensi in vitro melawan M. tuberculosis
Kadar hambat minimum terhadap M.
tuberculosis H37Rv adalah 0,4 µg/mL
(Rastogi dkk., 1996). Penulis lain melaporkan
KHM pada rentang nilai 0,1– 0,39 µg/mL
melawan H37Rv (Sasaki dkk., 2006; Reddy
dkk., 1995).
A.1.3.a.2 Spektrum aktivitas
Rifampisin adalah bakterisida spektrum
luas dengan aktifitas terhadap sebagian besar
gram positif dan beberapa organisme gram
negatif (mencakup Pseudomonas aeruginosa)
dan M. tuberculosis (Brennan dkk., 2008).
A.1.3.a.3 Efikasi pada manusia
RIF menunjukkan aktifitas sangat efektif
terhadap bakteri yang masih tersisa di fase
terapi lanjutan. Mitchison (2000) menyatakan
bahwa peningkatan dosis dari 600 mg ke 900
mg setiap hari akan mempercepat proses
sterilisasi (Brennan dkk., 2008).
A.1.3.a.4 Keamanan dan efek samping
Rifampisin umumnya jarang
menyebabkan hepatotoksisitas. Namun
penggunaan pada pasien dengan gangguan
hepar dapat diperparah oleh rifampisin.
Rifampisin 10 mg/kg dilaporkan menyebabkan
hepatotoksisitas nyata secara klinis pada 2-5%
73 | B u k u A n t i - t u b e r k u l o s i s
kasus dan uji perubahan fungsi hati pada 10-
15% (Schaberg dkk., 1995). Terdapat laporan
terjadinya hepatitis dan reaksi hipersensitifitas
serius meliputi trombositopenia, anemia
hemolitik dan gagal ginjal (Vernon, 2003).
Elevasi tidak bergejala dari serum enzim
transaminase, peningkatan serum asam
empedu dan konsentrasi bilirubin dapat terjadi.
Elevasi serum alkalin, fosfatase dan bilirubin
mengindikasikan toksisitas RIF. Efek samping
lain dari rifampisin adalah hipotensi, syok dan
nafas pendek. Selain itu, suatu kasus yang
jarang, organic brain syndrome juga telah
dilaporkan (contohnya bingung, letargi,
ataksia, pusing dan pandangan kabur). Efek
samping berupa neuropati perifer
mempengaruhi anggota badan, otot dan sendi
dalam bentuk kebas dan nyeri. Efek samping
pada gastrointestinal meliputi mual, muntah
dan diare. Rifampisin menyebabkan
pewarnaan oranye hingga merah pada seluruh
cairan tubuh (Brennan dkk., 2008).
A.1.3.b Rifapentin (Rpt/P) dan rifabutin (Rfb)
Rifapentin dan rifabutin adalah turunan baru
rifamisin. Kedua agen ini memiliki waktu paruh plasma
lebih panjang, paparan lebih baik, dan potensi untuk
memperpendek durasi terapi. Potensi hepatotoksik
kedua agen ini menurun dibandingkan rifampisin.

74 | B u k u A n t i - t u b e r k u l o s i s
Walaupun rifapentin dan rifabutin menginduksi sistem
enzim CYP3A4, mereka menunjukkan interaksi obat
lebih sedikit dibandingkan rifampisin (khususnya
dengan ART) (Steinhilber dkk., 2010; Zumla dkk.,
2013). Mekanisme aksi 2 obat ini sama dengan
rifampisin.
A.1.3.b.1 Potensi in vitro melawan M. tuberculosis
Kadar hambat minimum terhadap M.
tuberculosis H37Rv untuk Rpt adalah 0,031
µg/mL sedangkan Rfb adalah < 0,015 µg/mL
(Williams dkk., 1998).
A.1.3.b.2 Spektrum aktivitas
Rifapentin dan rifabutin aktif melawan
mikobakteria pada spektrum sama dengan
rifampisin. Rifapentin dan rifabutin lebih aktif
dibandingkan rifampisin melawan M. avium
complex (MAC), M. tuberculosis, dan M.
leprae secara in vitro (Kunin dkk., 1996).
A.1.3.b.3 Efikasi pada manusia
Penggunaan Rifapentin sebagai obat
pada manusia diterima pada tahun 1998.
Rifapentin merupakan suatu rifampisin aksi
panjang dan penggunaannya terbatas untuk
pasien HIV negatif dengan sputum negatif
pada 2 bulan pasca terapi (Veziris dkk., 2005).
Studi pada tahun 2015 melaporkan bahwa
tidak ada efek samping dari pemberian
Rifapentin sekali seminggu hingga dosis 1200

75 | B u k u A n t i - t u b e r k u l o s i s
mg. Studi tersebut bermanfaat untuk
mengevaluasi dosis tinggi. Kesimpulannya
adalah percobaan lebih lanjut perlu
dijustifikasi (Brennan dkk., 2008).
A.1.3.b.4 Keamanan dan efek samping
Gejala “flu-like” pada terapi rifampisin
tidak terjadi sesering pada terapi rifapentin
ketika rifampisin 2 x perminggu dibandingkan
dengan rifapentin 1 x perminggu. Hal tersebut
disebabkan turunnya reaksi imun terhadap
rifapentin dibandingkan rifampisin (Burman
dkk., 2001). Efek samping yang munkin terjasi
pada penggonaan obat ini adalah hepatitis,
kardiovaskuler, sistem pernapasan, sistem
saraf pusat, gastrointestinal dengan frekuensi
sama dengan rifampisin (Brennan dkk., 2008).

A.1.4 Etambutol (EMB/E)


Aktivitas anti TB dari etambutol (gambar 33) dilaporkan
pertama kali pada tahun 1961. Etambutol membunuh secara
aktif bacilli yang sedang memperbanyak diri dan memiliki
aktivitas sterilisasi sangat lemah. Obat ini hanya sedikit
berperan dalam perpendekkan waktu terapi. Fungsi utama
EMB adalah untuk mencegah munculnya resistensi terhadap
obat lain di dalam terapi kombinasi (Ma dkk., 2007) .

76 | B u k u A n t i - t u b e r k u l o s i s
Gambar 33. Struktur etambutol (Brennan dkk., 2008).

A.1.4.1 Mekanisme aksi


Obat ini menghambat enzim menghambat
arabinosil transferase (embB) yang terlibat dalam
biosintesis dinding sel (Takayama dan Kilburn, 1989).
Takayama dan Kilburn (1989) menunjukkan bahwa
EMB menghambat transfer arabinoglaktan ke dalam
dinding sel M. smegmatis sehingga terjadi akumulasi
asam mikolat. Interaksi EMB dengan target
molekulernya sangat stereospesifik, hanya 1 dari 4
enantiomer yaitu (S,S)-etambutol yang aktif melawan
M. tuberculosis. Optimisasi lebih lanjut dilakukan
sehingga menghasilkan suatu komponen baru, yaitu
SQ-109, suatu senyawa sangat lipofilik dan memiliki
mekanisme aksi berbeda dari etambutol.
A.1.4.2 Hubungan struktur-aktivitas (Structure-activity
relationship)
Penelitian awal terhadap modifiksi struktur
EMB menyimpulkan bahwa ukuran dan sifat gugus
alkil pada nitrogen etilendiamin sangat penting untuk
aktivitas EMB. Penelitian ini mengkonfirmasi bahwa
small α-branched alkyl group lebih efektif dari rantai
alkil bercabang pada posisi selain α dan bahwa rantai
alkil yang lebih panjang merugikan aktivitas

77 | B u k u A n t i - t u b e r k u l o s i s
(Shepherd dan Wilkinson, 1962). Perubahan pada
daerah penghubung molekul bersifat merugikan
karena setiap perpanjangan, pemasukkan heteroatom
atau pembuatan cabang pada penghubung etilen
menyebabkan penurunan aktivitas. Selain itu,
arildiamin dan sikloalkilamin jauh kurang efektif
daripada senyawa induknya. Penelitian ini
mengkonfirmasi bahwa unit etilendiamin adalah
farmakopor minimum yang diperlukan untuk aktivitas
anti bakteri. Setiap perubahan pada sifat basa gugus
amino menyebabkan penurunan aktivitas anti mikroba
dengan pengecualian subtitusi amina dengan amida
yang mempertahankan aktivitas parsial beberapa
analog (Hausler dkk., 2001). Rangkuman SAR dari
etilendiamin dapat dilihat pada gambar 34.
Farmakofor minimum,
bercabang dan penghubung berbahaya
Percabangan dan
stereokimia pada karbon α
sangat penting untuk
aktivitas pada kasus dimana Nitrogen basa lebih
subtitusi bersifat simetri disukai

Gambar 34. SAR etilendiamin (Marriner dkk., 2011)


A.1.4.3 Potensi in vitro melawan M. tuberculosis
Kadar hambat minimum yang diperlukan
terhadap M. tuberculosis (H37Rv) adalah 0,5 µg/Ml
(Rastogi dkk., 1996).
A.1.4.4 Spektrum aktivitas
Etambutol efektif melawan mikroorganisme
dari genus Mycobacterium. Hampir semua strain M.
tuberculosis dan M. kansasii dan sejumlah strain M.
78 | B u k u A n t i - t u b e r k u l o s i s
avium complex (MAC) sensitif terhadap etambutol
(Chan dkk., 2003).
A.1.4.5 Efikasi pada manusia
Etambutol dideskripsikan sebagai “obat ke
empat” untuk terapi empiris M. tuberculosis dan M.
avium (Peloquin dkk., 1999). Etambutol digunakan
sebagai terapi pembantu TB paru khususnya pada
kasus yang dicurigai resisten obat. Etambutol tidak
boleh digunakan sendiri karena risiko terjadinya
mutan resisten. Kombinasi etambutol dengan INH
atau streptomisin (STR) telah direkomendasikan oleh
FDA (Brennan dkk., 2008). Studi klinis terhadap 100
pasien menunjukkan bahwa EMB memiliki aktivitas
sterilisasi yang kurang dan adanya kemungkinan dapat
menghambat aktifitas sterilisasi obat anti-TB lain
paling tidak pada 14 hari pertama terapi (Jindani dkk.,
2002). Ketika EMB digunakan sebagai obat utama
dalam regimen intermitten, pasien mengalami tingkat
kekambuhan tinggi (Mitchison, 2004).
A.1.4.6 Keamanan dan efek samping
Neuropati optis dan hepatotoksisitas kadang-
kadang dapat dialami oleh pasien akibat penggunaan
obat ini. Konsentrasi di atas 10 µg/mL dapat
memperburuk penglihatan. Efek ini mungkin
berhubungan dengan dosis dan durasi terapi. Namun,
efek samping tersebut bersifat reversibel (akan
kembali normal setelah pemberian obat dihentikan).
Pada beberapa kasus, pemulihan dapat tertunda hingga

79 | B u k u A n t i - t u b e r k u l o s i s
1 tahun atau lebih. Kebutaan irreversible juga telah
dilaporkan (Brennan dkk., 2008).
Neuropati optik menjadi efek toksik etambutol
yang paling sering terjadi. Neuropati optis seperti
neuritis optis atau retrobulbar neuritis memiliki satu
atau lebih karakteristik berikut, yaitu penurunan
ketajaman penglihatan, scotoma, kebutaan warna
dan/atau kerusakan penglihatan. Kejadian tersebut
juga telah dilaporkan ketika pasien tidak memiliki
diagnosis neuritis optis ataupun retrobulbar neuritis.
Oleh karena itu, pasien perlu dinasehati agar segera
melapor kepada dokter atau apoteker jika mengalami.
Selain itu, hepatotoksisitas juga telah dilaporkan. Oleh
karena itu, penilaian fungsi hati secara baseline dan
periodik sebaiknya dilakukan selama terapi. Efek
samping lain dari EMB adalah pruritus, nyeri sendi,
gastrointestinal upset, nyeri perut, malaise, sakit
kepala, pusing, kebingungan, disorientasi dan
halusinasi juga mungkin terjadi (Brennan dkk., 2008).

A.2 Obat Anti-Tuberkulosis Lini Kedua


Obat lini kedua bersifat lebih toksik dan kurang efektif
daripada obat lini pertama (WHO, 2001). Obat ini sebagian besar
digunakan pada terapi MDR-TB dimana waktu terapi total
diperpanjang dari 6 ke 9 bulan (Cheng dkk., 2004). Obat lini kedua
dapat dikelompokkan ke dalam 3 kelompok berdasarkan prioritasnya
secara menurun, yaitu aminoglikosida injeksi dan polipeptida

80 | B u k u A n t i - t u b e r k u l o s i s
(kelompok 2), fluorokuinolon (kelompok 3) dan obat oral lain
(kelompok 4).
A.2.1 Aminoglikosida injeksi dan polipeptida
Pemberian parenteral diperlukan karena agen golongan
ini memiliki sifat polar.
A.2.1.1 Aminoglikosida
Antituberkulosis aminoglikosida adalah
antibiotik spektrum luas dengan aktivitas bakteriostatik.
Antibiotik golongan ini diisolasi dari spesies
Streptomyces. Struktur antibiotik golongan ini terdiri
dari dasar gugus fungsi aglikon dan mono atau
disakarida yang terikat oleh ikatan glikosidik.
Penggunaan terapetik dibatasi oleh adanya efek
samping nefrotoksisitas dan ototoksisitas (Steinhilber
dkk., 2010).
Streptomisin dan kanamisin (Km) adalah obat
dari golongan ini yang merupakan produk alami
sedangkan amikasin (Amk) adalah senyawa
semisintetik yang diturunkan dari kanamisin.
Aminoglikosida tidak aktif ketika diberikan secara oral
serta memiliki aktivitas intraseluler terbatas. Selain itu,
golongan ini kurang aktif terhadap mikobakteri dalam
kondisi nonreplicating. Nefrotoksisitas, ototoksisitas
dan efek samping lain juga membatasi penggunaannya.
Kanamisin (Km) dan amikasin (Amk) digunakan untuk
terapi strain M. tuberculosis resisten rifampisin dan
isoniazid (Ma dkk., 2007).

81 | B u k u A n t i - t u b e r k u l o s i s
A.2.1.1.a Streptomisin
Streptomisin merupakan aminosiklitol
glikosida dengan struktur seperti pada gambar 35.
Streptomisin (Stm/S) adalah antibiotik pertama yang
berhasil digunakan untuk tuberkulosis. Namun,
segera setelah penggunaan streptomisin sebagai agen
terapi, resistensi muncul akibat pemberiannya
sebagai monoterapi (Crofton dan Mitchison, 1948).
Streptomisin menjadi suatu alternatif lini pertama
yang direkomendasikan oleh WHO (Cooksey dkk.,
1996). Obat ini ditambahkan pada regimen lini
pertama pada pasien yang sebelumnya telah diterapi
dan ada kecurigaan mengalami resistensi obat
(Brzostek dkk., 2004). Walaupun streptomisin
direkomendasikan sebagai anti-TB, obat ini kurang
efektif dibandingkan isoniazid dan rifampisin
(Johnson dkk., 2005).

Gambar 35. Struktur streptomisin (Brennan dkk., 2008)

82 | B u k u A n t i - t u b e r k u l o s i s
A.2.1.1.a.1 Mekanisme aksi
Streptomisin aktif melawan
bacilli yang tumbuh aktif. Streptomisin
bekerja dengan menghambat inisiasi
translasi pada sintesis protein (Moazed
dan Noller, 1987). Lebih spesifiknya,
streptomisin berikatan pada 4
nukleotida 16S rRNA dan asam amino
tunggal pada ribosomal protein S12
yang masing-masing dikode oleh gen
rrs dan rpsL. Ikatan ini memicu
perubahan ribosomal sehingga terjadi
salah pembacaan mRNA dan
penghambatan sintesis protein.
Akibatnya terjadi kematian sel (Finken
dkk., 1993).
A.2.1.1.a.2 Hubungan struktur-aktivitas
(Structure-activity relationship)
Saat ini terdapat sekitar lusinan
aminoglikosida alami dan semisintetik
yang tersedia untuk terapi berbagai
infeksi bakteri. Streptomisin memiliki
gugus streptidin khas sementara
aminoglikosida lainnya memiliki
moiety 2-deoxistreptamin. Hubungan
struktur-aktivitas kelas obat ini belum
diketahui dengan baik, khususnya
terhadap M. tuberculosis. Masing-
masing anggota aminoglikosida
83 | B u k u A n t i - t u b e r k u l o s i s
memiliki binding site dan mekanisme
aksi berbeda. Studi SAR pada kelas
obat ini sulit untuk dilakukan (Ma dkk.,
2007).
A.2.1.1.a.3 Spektrum aktivitas
Aminoglikosida digunakan
terutama untuk infeksi bakteri aerobik,
gram negatif seperti Pseudomonas,
Actinobacter dan Enterobacter. M.
tuberculosis juga sensitif terhadap obat
ini. Bakteri gram positif dapat diterapi
dengan obat ini, namun alternatif
dengan toksisitas lebih rendah
cenderung lebih dimanfaatkan. Efek
sinergisme antara aminoglikosida dan
beta laktam dihasilkan pada
penggunaan terapi kombinasi pasien
dengan infeksi streptococcus,
khususnya endokartitis (Brennan dkk.,
2008).
A.2.1.1.a.4 Efikasi pada manusia
Streptomisin paling tidak toksik
diantara kedua aminoglikosida lain,
amikasin dan kanamisin. Streptomisin
bersifat efektif secara klinis sebagai
agen terapi tunggal, namun
perkembangan resistensi sangatlah
cepat. Hingga saat ini aminoglikosida

84 | B u k u A n t i - t u b e r k u l o s i s
masih menjadi obat penting dalam
terapi tuberkulosis walaupun tidak
sebagai lini pertama (Peloquin dkk.,
2004).
A.2.1.1.a.5 Keamanan dan efek samping
Perlu diperhatikan adanya efek
neurotoksik serius pada penggunaan
streptomisin. Risiko reaksi neurotoksik
berupa disfungsi cochlear dan
vestibular, disfungsi saraf optis,
neuritis perifer, arachnoiditis, dan
ensefalopati akan meningkat pada
penderita dengan fungsi ginjal lemah
atau pre-renal azotemia.
Aminoglikosida memiliki efek
ototoksisitas dengan tingkat kejadian 3
hingga 10% (Chan dkk., 2003). Reaksi
berikut biasa terjadi: vestibular
ototoxicities (mual, muntah dan
vertigo), paresthesia wajah, rash,
demam, urtikaria, angioneurotik
edema, dan eosinophilia (Brennan
dkk., 2008).
Streptomisin dikontraindikasikan
pada pasien dengan gangguan ginjal.
Toksisitas streptomisin terlihat pada
pasien dengan gangguan ginjal.
Toksisitas ini disebabkan oleh

85 | B u k u A n t i - t u b e r k u l o s i s
ketidakmampuan ginjal untuk
mengeluarkan obat pada kecepatan
yang sama seperti individu normal
(Brennan dkk., 2008). Streptomisin
adalah jenis aminoglikosida yang
paling tidak nefrotoksik namun sangat
ototoksik dibanding obat lain dari
golongan aminoglikosida (Ma dkk.,
2007).

A.2.1.1.b Kanamisin dan Amikasin


Kanamisin (gambar 36) dan amikasin
(gambar 37) tidak bisa digunakan untuk melawan M.
tuberculosis dormant. Kanamisin dan amikasin
adalah aminoglikosida yang menghambat sintesis
protein dengan menghambat fungsi normal ribosom.
Aminoglikosida terikat pada 16S rRNA subunit 30S
ribosomal bakteri sehingga mengganggu
perpanjangan rantai peptida pada bakteri. Akibatnya
sintesis protein juga terhambat (Suzuki dkk., 1998).
A.2.1.1.b.1 Kanamisin
A.2.1.1.b.1 Potensi in vitro terhadap
M. tuberculosis
Kadar hambat
minimum (KHM) kanamisin
adalah 2 µg/mL (Rastogi
dkk., 1996).
A.2.1.1.b.2 Spektrum aktivitas
Sama dengan streptomisin.

86 | B u k u A n t i - t u b e r k u l o s i s
A.2.1.1.b.3 Efikasi pada manusia
Kanamisin lebih
toksik dibandingkan
streptomisin. Kanamisin
juga memiliki aktivitas
antibakteri terlemah
dibandingkan
aminoglikosida lain (Lounis
dkk., 1996).

A: R = NH2, RI= OH
B: R = NH2, RI = NH2
C:R = OH, RI=NH2

Gambar 36. Struktur kanamisin (Brennan dkk., 2008)

A.2.1.1.b.4 Keamanan dan efek


samping
Toksisitas potensial pada
manusia obat ini sama dengan
streptomisin. Kanamisin dapat
menyebabkan eightcranial-nerve
impairment, obstruksi usus, gangguan
fungsi ginjal, lesi ulseratif usus (Brennan
dkk., 2008).

87 | B u k u A n t i - t u b e r k u l o s i s
A.2.1.1.b.1 Amikasin
A.2.1.1.b.1 Potensi in vitro melawan M.
tuberculosis
Kadar hambat minimum
terhadap M. tuberculosis adalah
0,5 – 1 µg/mL (Rastogi dkk.,
1996).
A.2.1.1.b.2 Spektrum aktivitas
Sama dengan streptomisin.
A.2.1.1.b.3 Efikasi pada manusia
Walaupun amikasin
menunjukkan aktivitas in vitro
terbaik dibandingkan anggota
aminoglikosida lainnya,
amikasin belum digunakan
secara luas pada terapi
tuberkulosis. Hal tersebut
mungkin disebabkan karena
biaya dan toksisitas yang
dimiliki obat ini (Lounis dkk.,
1996).

Gambar 37. Struktur amikasin (Brennan dkk., 2008)

88 | B u k u A n t i - t u b e r k u l o s i s
A.2.1.1.b.4 Keamanan dan efek samping
Toksisitas potensial
pada manusia sama dengan
streptomisin. Seperti
aminoglikosida lain, efek toksik
dapat terjadi karena efek
terhadap saraf kranial ke
delapan dan berakibat pada
kehilangan pendengaran,
kehilangan keseimbangan atau
keduanya. Amikasin lebih
mempengaruhi fungsi
pendengaran. Neurotoksisitas
(paralisis otot dan apnea),
nefrotoksisitas, demam, sakit
kepala, tremor, mual, anemia,
hipotensi, dan rash juga telah
dilaporkan (Brenann dkk.,
2008).
A.2.1.2 Polipeptida
Kapreomisin (Cm) dan viomisin (Vim) atau
tuberaktinomisin adalah antibiotik polipeptida siklik
dari spesies Streptomyces dengan aktifitas
bakteriostatik. Kedua obat ini secara struktural saling
terkait dan memiliki mekanisme aksi, farmakokinetik,
potensi dan profil toksisitas mirip dengan
aminoglikosida. Kapreomisin diisolasi dari
Streptomyces capreolus pada tahun 1961 sementara itu

89 | B u k u A n t i - t u b e r k u l o s i s
viomisin diproduksi dari berbagai spesies Sreeptomyces
dan pertama kali dilaporkan sebagai anti TB pada tahun
1951. Kedua obat ini adalah sediaan parenteral. Selain
itu, kapreomisin dan viomisin memiliki efek
nefrotoksik dan ototoksisitas (Ma dkk., 2007).
A.2.1.2.1 Mekanisme Aksi
Antibiotik ini juga menghambat
sintesis protein. Obat ini akan mempengaruhi
subunit ribosomal. Mekanisme aksi tersebut
bersifat unik diantara antibiotik penarget
ribosom. Tuberaktinomisin berikatan dengan
jembatan antar subunit B2a yang terbentuk
oleh interaksi antara 23S dan 16s rRNA. Hal
tersebut mencegah translokasi ribosom di
sepanjang mRNA. Aminoglikosida dan
tuberaktinomisin berbagi selektifitas terbatas
sebagai penyebab kesalahan translasi pada
ribosom mitokondrial mamalia. Hal ini juga
berhubungan dengan efek samping
ototoksisitas dan nefrotoksisitas
(Akbergenov dkk., 2011).
A.2.1.2.2 Hubungan struktur-aktivitas (Structure-
activity relationship)
Belum ada studi SAR untuk golongan ini
(Ma dkk., 2007).

A.2.1.2.a Kapreomisin
Kapreomisin (gambar 38) memiliki
aktivitas poten untuk melawan tuberkulosis

90 | B u k u A n t i - t u b e r k u l o s i s
yang sulit ditangani atau MDR-TB (Brennan
dkk., 2008).
A.2.1.2.a.1 Potensi in vitro melawan M.
tuberculosis
Kadar hambat minimum
terhadap M. tuberculosis
(H37Rv) adalah 2 µg/mL
(Rastogi dkk., 1996).

Kapreomisin

IA (R = OH)’

IB (R = H)

Gambar 38. Struktur kapreomisin (Brennan dkk., 2010)

A.2.1.2.a.2 Spektrum aktivitas


Kapreomisin efektif
melawan M. tuberculosis dan M.
avium.
A.2.1.2.a.3 Efikasi pada manusia
Kapreomisin
direkomendasikan untuk infeksi
paru akibat M. tuberculosis yang
sensitif kapreomisin jika obat
utama (INH, rifampisin,
etambutol, asam aminosalisilat,
dan streptomisin) tidak efektif.
91 | B u k u A n t i - t u b e r k u l o s i s
Kapreomisin telah digunakan
sebagai obat lini kedua sejak lebih
dari 25 tahun. Namun, penggunaan
kapreomisin dibatasi oleh
toksisitas renal dan pendengaran
(Brennan dkk., 2008).
A.2.1.2.a.4 Keamanan dan efek samping
Kapreomisin menunjukkan
banyak efek samping terhadap
pendengaran. Selain itu, 36% dari
722 pasien pengguna kapreomisin
mengalami elevasi blood urea
nitrogen (BUN) di atas 20 mg/100
mL. Adanya elevasi BUN atau
gejala kerusakan ginjal lainnya
mengindikasikan bahwa
pemberian kapreomisin harus
dikurangi dosisnya atau
dihentikan. Penentuan fungsi
ginjal secara periodik
direkomendasikan selama terapi
dengan kapreomisin.
Leuokositosis dan
leukopenia juga telah diteliti.
Sebagian besar pasien memiliki
eosinophil lebih dari 5% ketika
menerima injeksi kapreomisin
harian. Eosinofil akan menurun
dengan pengurangan dosis
92 | B u k u A n t i - t u b e r k u l o s i s
kapreomisin hingga 2 atau 3 gram
per minggu. Gejala efek samping
yang potensial akibat penggunaan
kapreomisin adalah
nefrotoksisitas, hipersensitifitas,
hypokalemia, penyumbatan
neuromuscular, ototoksisitas
pendengaran dan vestibular, nyeri,
pendarahan tidak biasa, dan nyeri
pada tempat injeksi. Luka
bernanah dan trombositipenia juga
pernah terjadi. Kemungkinan efek
samping lainnya adalah kelainan
darah, rash (reaksi alergi),
perubahan hasil uji fungsi liver,
dan gangguan konsentrasi
komponen kimia (elektrolit) dalam
darah (Brennan dkk., 2008).

A.2.2 Fluorokinolon
Fluorokinolon adalah suatu antibakteri sintesis dengan
spektrum luas. Golongan ini ditemukan oleh Sterling-Winthrop
Institute pada tahun 1962 sebagai suatu cemaran dalam sintesis
antimalaria kloroquin (Lesher dkk., 1962). Hasil sampingan ini
adalah nalidixic acid (Gambar 39a) dan diterima oleh FDA
pada tahun 1963 untuk terapi infeksi saluran kencing akibat
Gram negatif (Marriner dkk., 2011).

93 | B u k u A n t i - t u b e r k u l o s i s
Walaupun nalidixic acid memiliki bioavailabilitas baik
dan sintesis yang mudah, penggunaan klinis obat ini terbatas
karena profil farmakokinetik buruk dan spektrum antibakteri
yang sempit (Mitscher, 2005). Pada tahun 1980, suatu
antibakteri fluoroquinolone dengan spektrum luas ditemukan.
Antibakteri tersebut adalah norfloksasin. Norfloksasin
memiliki peningkatan profil farmakokinetik, perpanjangan
waktu paro dan peningkatan kelarutan dibandingkan nalidixic
acid (Koga dkk., 1980; De Souza, 2005). Norfloksasin dan
beberapa generasi kedua fluoroquinolone lain seperti
ciprofloksasin (pertama kali dilaporkan pada tahun 1982 oleh
Bayer), ofloksasin (gambar 39d) (pertama kali dilaporkan pada
tahun 1983 oleh Daiichi Pharmaceutical CO., Ltd.,) dan
levofloksasin telah terbukti relatif aman (Mitscher, 2005).

Norfloksasin Ciprofloksasin
(b) (c)

Nalidixic acid
(a)

Levofloksasin
Ofloksasin
(e)
(d)

Gambar 39. Fluoroquinolon generasi pertama dan kedua (Marriner dkk., 2011)

Fluorokuinolon yang digunakan dalam terapi TB adalah


fluorokuinolon generasi ke dua dan ketiga, yaitu ciprofloksasin
(Cfx), ofloksasin (Ofx), dan levofloksasin (Lfx), serta

94 | B u k u A n t i - t u b e r k u l o s i s
fluorokuinolon generasi ke empat yang paling efektif yaitu
moksifloksasin (Mfx) dan gatifloksasin (Gfx). Regimen terapi
dengan dua obat terakhir (Mfx dan Gfx) telah menunjukkan
potensi untuk perpendekkan waktu terapi TB. Saat ini dua obat
terakhir tersebut sedang dalam uji klinis fase III dan diajukan
sebagai antibiotik lini pertama (Steinhilber dkk., 2010; Zumla
dkk., 2013). Golongan fluoroquinolon dapat diberikan secara
oral maupun parenteral.
A.2.2.1 Mekanisme aksi
Fluoroquinolon adalah suatu agen bakterisida.
Golongan ini bekerja melalui penghambatan
topoisomerase II (DNA gyrase) dan topoisomerase IV,
2 enzim penting untuk kemampuan bertahan bakteri.
Protein tersebut dikode masing-masing oleh gen gyrA,
gyrB, parC dan parE. M. tuberculosis hanya memiliki
topoisomerase II sebagai target dari fluoroquinolon
(Aubry dkk., 2004). Topoisomerase II adalah suatu
heterotetramer yang terbentuk atas 2 subunit α dan β
yang dikode masing-masing oleh gen gyrA dan gyrB.
Fungsi topoisomerase ini adalah sebagai katalisator
DNA supercoil (Takiff dkk., 1994). Fluoroquinolon
akan terikat pada gyrase dan menghambat
supercoiling sehingga terjadi gangguan proses seluler
tergantung topologi DNA (Ramaswamy dan Musser,
1998).

95 | B u k u A n t i - t u b e r k u l o s i s
A.2.2.2 Hubungan struktur-aktivitas (Structure-activity
relationship)
Analisis hubungan struktur-aktivitas golongan
fluoroquinolon belum dilakukan terkait aktivitasnya
terhadap mikobakteria namun SAR fluoroquinolone
pada beberapa bakteri lain dapat digunakan untuk
perkiraan SAR golongan ini sebagai anti M.
tuberculosis. Hubungan struktur-aktivitas tersebut
disederhanakan dalam gambar 40.

Mengikat NDA gyrase,


Mempengaruhi potensi; lebih disukai diperlukan untuk
gugus polar kecil, mempengaruhi transport ke dalam
spektrum aktivitas bakteri

Diperlukan untuk
potensi

Mempengaruhi potensi dan Diperlukan gugus


farmakokinetik; menentukan sterically undemanding
spektrum aktivitas
Mempengaruhi spektrum aktivitas Lebih disukai electron-
dan farmakokinetik, lebih disukai deficient dan sterically strained
small, electron deficient
Gambar 40. SAR fluoroquinolone (Marriner dkk., 2011)

Modifikasi pada N1 mengendalikan potensi


terutama jika siklopropil kurang elektron dan tegang
secara sterik menjadi optimal kemudian diikuti oleh
subtituern berupa 2,4-difluorophenyl dan t-butyl
(Domagala, 1994). Subtituen ini juga mengendalikan
aktivitas Gram negatif dan Gram positif. Gugus 2,4-
difluorophenyl akan meningkatkan aktivitas terhadap
bakteri anaerob. Posisi C2 berada di dekat tempat

96 | B u k u A n t i - t u b e r k u l o s i s
ikatan DNA-gyrase dengan demikian atom hidrogen
sterik ringan pada posisi R2 bersifat optimal (Eker
dkk., 2008). Moiety (bagian atau gugus dari suatu
molekul/senyawa) dikarbonil diperlukan untuk
mengikat DNA gyrase. Tempat tersebut sangat
penting untuk aktivitas klinis. Modifikasi C5
mengendalikan potensi in vitro ketika kelas gugus
paling aktif menjadi gugus kaya electron yang kecil
seperti –NH2, - OH dan CH3 (242). Selain itu,
modifikasi C5 mempengaruhi aktivitas terhadap
organisme Gram negatif dan Gram posititf. Atom
fluor pada posisi C6 meningkatkan penghambatan
DNA gyrase (Mitscher, 2005) dan dapat
meningkatkan KHM senyawa sebesar 100 kali lipat
daripada subtitusi lain (Domagala, 1994).
Subtituen paling aktif pada posisi C7 telah
memiliki anggota heterosiklik nitrogen dengan
anggota 5 atau 6 dimana pirolidin dapat meningkatkan
aktivitas terhadap Gram negatif. Posisi C8
mengendalikan penyerapan dan waktu paro serta
mengoptimalkan modifikasi untuk efikasi in vivo
(Eker dkk., 2008). Beberapa modifikasi yang
membentuk suatu jembatan N1 ke C8 juga telah
sukses dilakukan contohnya adalah pada ofloksasin
(39d) dan levofloksasin (39e). Keduanya
menunjukkan penghambatan gyrase yang signifikan
(Gootz dan Brightly, 1996).

97 | B u k u A n t i - t u b e r k u l o s i s
A.2.2.a Levofloksasin
A.2.2.a.1 Potensi in vitro terhadap M. tuberculosis
Kadar hambat minimum (KHM)
terhadap M. tuberculosis (H37Rv) adalah 0,5
µg/mL) (Rastogi dkk., 1996).
A.2.2.a.2 Spektrum aktivitas
Lihat keterangan pada moxifloksasin.
A.2.2.a.3 Efikasi pada manusia
Levofloksasin digunakan dalam
kombinasi dengan obat lain untuk terapi TB
contohnya 750 mg/ hari secara umum
digunakan pada terapi lini kedua. Dosis ini
digunakan pada terapi lini kedua (Drlica dkk.,
2003).
A.2.2.a.4 Kemananan dan efek samping
Pasien penerima obat golongan
fluoroquinolone akan mengalami
fototoksisitas sedang hingga parah setelah
terpapar sinar matahari langsung. Seperti obat
quinolone lainnya, Lfx juga menyebabkan
gangguan kadar gula darah termasuk
hipoglikemik dan hiperglikemik simptomatik.
Hal ini terjadi khususnya pada pasien DM yang
juga mengkonsumsi terapi oral anti diabetes
(contohnya gliburid atau glibenklamid) atau
insulin. Selain itu, aritmia juga dilaporkan
terjadi pada pasien infark miokard dan
perpanjangan interval QT (penanda ventrikular

98 | B u k u A n t i - t u b e r k u l o s i s
takiaritmia potensial dan resiko kematian
mendadak) atau penggunaan obat kondisi ini
(contohnya amiodarone dan sotalol) bersama
obat golongan quinolone. Pasien lanjut usia
kemungkinan lebih rentan mengalami efek
samping berupa perpanjangan interval QT
(Brennan dkk., 2008).
Perhatian perlu diberikan pada
penggunaan Lfx bersama dengan obat dengan
efek perpanjangan interval QT seperti anti-
aritmia kelas IA atau kelas IIII atau pasien
dengan perpanjangan interval QT dan
hipokalemia tidak terkontrol. Perhatian
penggunaan Lfx juga harus diberikan pada
pasien kelainan sistem saraf pusat yang
berkencederungan mengalami kejang. Efek
samping lain dari Lfx adalah reaksi
hipersensitifitas seperti rash kulit,
angioedema, pembengkakkan bibir, lidah,
wajah, kesesakkan tenggorokan, suara serak)
atau gejala alergi lain; kelainan tendon seperti
tendonitis atau keretakkan tendon dengan
resiko tinggi kelainan tendon pasien berumur
lebih dari 65 tahun khususnya bagi pengguna
kortikosteroid (Brennan dkk., 2008).

99 | B u k u A n t i - t u b e r k u l o s i s
A.2.2.b Moksifloksasin
A.2.2.b.1 Potensi in vitro terhadap M. tuberculosis
Kadar hambat minimum (KHM)
terhadap M. tuberculosis (H37Rv) adalah 0,5
µg/mL (Hu dkk., 2005).
A.2.2.b.2 Spektrum aktivitas
Moksifloksasin memiliki aktivitas luas
terhadap Gram positif dan Gram negatif. Obat
ini menunjukkan efikasi in vitro dan klinis
terhadap Stapilococcus aerus, Streptococcus
pneumoniae, Streptococcus pyogenes,
Haemophilus influenzae, Haemophilus
parainfluenzae, Klebsiella pneumoniae,
Moraxella catarrhalis, Chlamydia
pneumoniae dan Mycoplasma pneumoniae.
Selain itu, moksifloksasin juga memiliki
aktivitas terhadap mikobakteri selain M.
tuberculosis. Obat ini lebih aktif terhadap M.
kansasii daripada MAC. Seperti quinolone
lain, moksifloksasin adalah bakterisida.
Aktivitas bakterisida terhadap M. tuberculosis
diturunkan ketika etambutol atau rifampisin
dosis tinggi dan moksifloksasin diuji bersama
karena adanya aktivitas antagonism di antara
obat ini (Lu dan Drlica, 2003). Aktivitas ini
tidak ditunjukkan pada uji in vivo namun
antagonisme antara rifampisin atau
kloramfenikol dan quinolone lain seperti

100 | B u k u A n t i - t u b e r k u l o s i s
ciprofloksasin telah dilaporkan sebelumnya
(Gradelski dkk., 2001). Suatu penelitian juga
telah dilakukan untuk membandingkan
aktifitas sterilisasi. Hasilnya, Mfx
menunjukkan aktivitas bakterisida paling kuat
terhadap slow-growing bacteria dan aktivitas
terbaik terhadap persistor (Hu dkk., 2003).
A.2.2.b.3 Kemananan dan efek samping
Quinolon dikaitkan dengan atropati.
Perpanjangan interval QT terjadi pada 0,1
hingga 3% pasien. Efek samping ini umum
terjadi pada penggunaan antibiotik golongan
quinolone sehingga penggunaan dosis
maksimal Mfx terbatas. Perpanjangan interval
QT terjadi ketika Mfx diberikan pada dosis 400
mg sekali sehari. Sementara itu, Lfx dan Cfx
tidak menunjukkan efek ini pada pemberian 2
kali sehari. Namun, pemberian pada dosis
tinggi semua fluoroquinolone menyebabkan
peningkatan interval QT (Falagas dkk., 2007).
Uji klinis pada lebih dari 7900 pasien, tidak
ada kelainan kardiovaskuler atau kematian
disebabkan peningkatan QT interval dengan
terapi Mfx (Brennan dkk.,2008).
Uji klinis dengan 6700 pasien penerima
dosis 400 mg, efek samping yang dilaporkan
terjadi pada rentang ringan, sedang hingga
parah. Moksifloksasin dihentikan karena efek

101 | B u k u A n t i - t u b e r k u l o s i s
samping terkait obat pada 3,6% pasien. Efek
samping yang mungkin terjadi diantaranya
mual (7%), diare (6%) dan sakit kepala (3%)
(Brennan dkk., 2008).

A.2.2.c Gatifloksasin
A.2.2.c.1 Potensi in vitro terhadap M. tuberculosis
Kadar hambat minimum (KHM)
terhadap M. tuberculosis (H37Rv) adalah 0,25
µg/mL (Aurby dkk., 2006).
A.2.2.c.2 Spektrum aktivitas
Lihat keterangan pada moxifloksasin.
A.2.2.c.3 Efikasi pada manusia
Gatifloksasin (gambar 41)
dibandingkan dengan obat fluoroquinolon lain
dan INH dengan dosis masing-masing Gfx
(400 mg), Mfx (400 mg), Lfx (1000 mg) atau
INH (300 mg). Obat tersebut diberikan setiap
hari selama 7 hari. Fluoroquinolon
menunjukkan early bactericidal activity
(EBA, menunjukkan kemampuan obat untuk
membunuh bakteri di dalam rongga/lobang
paru selama minggu pertama terapi) hampir
tidak berbeda dengan INH pada hari ke 0
hingga 2 namun lebih besar dari INH pada hari
ke 2-7. Gatifloksasin dan moksifloksasin
menunjukkan aktivitas yang sama pada hari ke
0 hingga 2 maupun hari ke 2 hingga ke 7 (Fish
dan North, 2001).

102 | B u k u A n t i - t u b e r k u l o s i s
Gambar 41. Struktur moksifloksasin (Marriner dkk., 2011)

A.2.2.c.4 Keamanan dan efek samping


Fluoroquinolon dikaitkan dengan
kejadian toksisitas kardiak walaupun jarang.
Gatifloksasin diperkirakan memiliki resiko
toksisitas kardiak yang serupa dengan
quinolone lain. Pemberian gatifloksasin pada
dosis meningkat (400, 800 dan 1200 mg)
pada pasien sehat dikaitkan dengan
peningkatan interval QTc (Brennan dkk.,
2008). Gatifloksasin juga dikaitkan dengan
kejadian toksisitas liver parah dan gagal liver
(Coleman dkk., 2002). Label Gfx
menyebutkan kemungkinan hipoglikemia
dan resiko ini kemungkinan meningkat pada
lansia (Owens dan Ambrose, 2005).
Gatifloksasin pada umumnya
ditoleransi dengan baik. Efek saping umum
terjadi meliputi pusing, sakit kepala, mual
dan muntah. Efek samping pada sistem saraf
pusat (pusing, sakit kepala) lebih sering

103 | B u k u A n t i - t u b e r k u l o s i s
terjadi akibat penggunaan fquinolone
daripada antibiotic sistemik lainnya.
Gatifloksasin kurang ditoleransi dengan baik
daripada Mfx atau Lfx dalam hal efek pada
gastrointestinal dan sistem saraf pusat.
Kejang adalah efek samping Gfx yang telah
dilaporkan walaupun secara umum
mekanisme Gfx, Mfx dan Lfx sulit untuk
dihubungkan dengan efek samping ini
(Owens dan Ambrose, 2005).

A.2.3 Obat oral lain


A.2.3.1 Asam para-aminosalisilat
Asam para amino salisilat (PAS) adalah suatu
senyawa sintetik yang telah diketahui lebih dari 100
tahun. Aktivitas anti TB pertama kali dilaporkan di
masa awal penemuan antibiotik pada tahun 1940an.
Penggunaan PAS telah berkurang secara signifikan
karena obat yang lebih poten dan aman telah tersedia.
Saat ini, PAS (gambar 42) digunakan untuk terapi
MDR-TB. Obat ini memiliki kegunaan terbatas untuk
terapi TB karena efikasi dan toleransinya yang lemah
(Ma dkk., 2007).

Gambar 42. Struktur asam para-aminosalisilat (Marriner dkk., 2011)

104 | B u k u A n t i - t u b e r k u l o s i s
A.2.3.1.1 Mekanisme aksi
Hingga saat ini, mekanisme aksi PAS
belum dapat dijelaskan seluruhnya.
Penelitian awal mengajukan bahwa obat ini
adalah suatu analog asam para amino
benzoat. Obat ini berkompetisi dengan asam
para amino benzoat untuk pembentukkan
dihidropteroat sintase yang merupakan target
obat sulfonamid. Akibatnya terjadi
penghambatan sintesis asam folat.
Penghambatan ini umumnya mengakibatkan
efek bakteriostatik. Namun, Nopponpunth
dkk. (1999) menunjukkan bahwa PAS adalah
inhibitor enzim dihidropteroat sintase yang
lemah. Bukti lain mengindikasikan bahwa
PAS juga dapat menggangu perolehan besi
pada oleh bakteri. Data terbaru pada
transporter ABC, virulensi M. tuberculosis
dan inhibitor karboksimikobaktin dapat
memperbaharui ketertarikan pada area
uptake besi mikobakteri sebagai target obat
(Rodriguez dan Smith, 2006).
A.2.3.1.2 Potensi in vitro terhadap M. tuberculosis
Kadar hambat minimum (KHM)
terhadap M. tuberculosis (H37Rv) adalah
0,3-1 µg/mL (Nopponpunth dkk., 1999).
A.2.3.1.3 Spektrum aktivitas
Asam para amino salisilat digunakan
dengan anti-TB lain (seringnya INH) untuk
105 | B u k u A n t i - t u b e r k u l o s i s
terapi semua bentuk TB aktif (Brennan dkk.,
2008).
A.2.3.1.4 Efikasi pada manusia
Asam para amino salisilat saat ini
lebih banyak digunakan sebagai obat lini
kedua untuk terapi MDR-TB. Obat ini
dipertimbangkan sebagai obat lini pertama
namun telah digantikan oleh etambutol pada
awal tahun 1960an (Di Perri dan Bonora,
2004). Obat ini adalah bakteriostatik namun
kemungkinan dapat menolong untuk
perlambatan perkembangan resistensi
terhadap obat lain khususnya INH dan STR
(Brennan dkk., 2008).
A.2.3.1.5 Keamanan dan efek samping
Metabolisme PAS menghasilkan
metabolit inaktif toksik di bawah kondisi
asam. Toksisitas akibat PAS paling sering
terjadi pada saluran pencernaan sehingga
mengurangi tingkat kepatuhan pasien
(Rengarajan dkk., 2004). Formulasi PAS ke
dalam bentuk sediaan granul dapat
mengurangi efek mual. Penggunaan granul
ini disarankan bersamaan dengan minuman
asam (Peloquin dkk., 1998). Toksisitas lain
yang mungkin terjadi adalah limpaadenopati,
jaundice, leukositosis, konjungtivitis, sakit
kepala dan nyeri sendi (Wilson dkk., 2003).

106 | B u k u A n t i - t u b e r k u l o s i s
Asam para amino salisilat
dikontraindikasikan untuk pasien dengan
penyakit ginjal serius karena adanya
pembentukkan metabolit toksik PAS,
khususnya bentuk terasetilasi. Asam para
amino salisilat menganggu uptake vitamin
B12. Namun, pemberian vitamin dapat
mencegah efek tersebut. Efek samping lain
PAS adalah rash kulit, eritema,
maculopapular dan lesi gatal yang sering
muncul di wajah dan leher (Wilson dkk.,
2003).

A.2.3.2 Tionamid
Etionamid (Eto) dan Protionamid (Pto) secara
struktural berhubungan dengan isoniazid. Etionamid
dan protionamid adalah agen bakterisida yang
memiliki mekanisme aksi sama (Ma dkk., 2007).
A.2.3.2.a Etionamid
Etionamid (gambar 43) merupakan turunan
asam isonikotinat.

Gambar 43. Struktur etionamid (Marriner dkk., 2011)

A.2.3.2.a.1 Mekanisme aksi


Etionamid juga
merupakan prodrug yang perlu
107 | B u k u A n t i - t u b e r k u l o s i s
aktivasi. Aktivasi dilakukan
oleh monooksigenase yang
dikode oleh gen ethA. Obat ini
akan membentuk adduct
dengan NAD sehingga terjadi
penghambatan enzim enoil-
ACP reductase. Akibatnya,
sintesis asam mikolat
terganggu. Enzim enoyl-ACP
reductase dikode oleh gen inhA
(Banerjee dkk., 1994; Johnsson
dkk., 1995). Ekspresi ethA
dikendalikan oleh gen ethR
yang mengkode repressor. ethR
mengatur secara negatif
ekspresi ethA dengan terikat
pada upstream ethA sehingga
terjadi penekanan ekspresi ethA
(Engohang-Ndong dkk., 2004).
A.2.3.2.a.2 Potensi in vitro terhadap M.
tuberculosis
Kadar hambat minimum
(KHM) terhadap M.
tuberculosis (H37Rv) adalah
0,25 µg/mL (Rastogi dkk.,
1996).
A.2.3.2.a.3 Spektrum aktivitas
Etionamid memiliki
aktivitas terhadap M.
108 | B u k u A n t i - t u b e r k u l o s i s
tuberculosis, M. bovis dan M.
smegmatis (Baulard dkk.,
2000). Selain itu, obat ini juga
aktif terhadap M. leprae
(Fajardo dkk., 2006; Wang
dkk., 2007).
A.2.3.2.a.4 Efikasi pada manusia
Pada terapi lini kedua
untuk TB resisten obat,
etionamid harus diberikan
bersama dengan obat lain
karena perkembangan resistensi
yang cepat ketika obat
digunakan sebagai monoterapi
(Brennan dkk., 2008).
A.2.3.2.a.5 Keamanan dan efek samping
Selama terapi dengan
obat ini, monitoring kadar gula
darah perlu dilakukan. Efek
samping paling umum terjadi
pada saluran pencernaan adalah
mual, muntah, diare, nyeri
perut, air liur berlebih, rasa
logam, stomatitis, anoreksia
dan pengurangan berat badan.
Efek ini terkait dengan obat
dimana sekitar 50% pasien
tidak mampu mentoleransi 1 g

109 | B u k u A n t i - t u b e r k u l o s i s
etionamid sebagai dosis tunggal
(Brennan dkk., 2008).
Efek samping
hepatotoksik juga umum terjadi
pada tingkat kejadian cukup
tinggi walaupun sifatnya tidak
separah pada penggunaan
protionamid (Di Perri dan
Bonora, 2004). Efek hepatik
kemungkinan akan berlanjut
walaupun setelah obat
dihentikkan (Chan dkk., 2003).
Efek samping lain yang dapat
terjadi akibat penggunaan
etionamid adalah hipotiroid,
neuropati perifer, dan efek
sistem saraf pusat lainnya
seperti pandangan kabur dan
sakit kepala (Chan dkk., 2003;
Drucker dkk., 1984).

A.2.3.2.b Protionamid
A.2.3.2.b.1 Mekanisme aksi
Sama dengan etionamid.
A.2.3.2.b.2 Potensi in vitro terhadap M.
tuberculosis
Kadar hambat minimum
(KHM) terhadap M.

110 | B u k u A n t i - t u b e r k u l o s i s
tuberculosis (H37Rv) adalah -
0,5 µg/mL (Wang dkk., 2007).
A.2.3.2.b.3 Spektrum aktivitas
Protionamid (gambar
44) memiliki aktivitas terhadap
spesies mikobakteria termasik
M.leprae dan M. avium namun
protionamid lebih cepat
membunuh M. leprae daripada
etionamid (Wang dkk., 2007;
Fajardo dkk., 2006).

Gambar 44. Struktur protionamid (Brennan dkk., 2008)


A.2.3.2.b.4 Efikasi pada manusia
Protionamid dan
etionamid dapat saling
menggantikan (Wang dkk.,
2007). Protionamid dilaporkan
lebih ditoleransi daripada
etionamid (Jenner dkk., 1984).
A.2.3.2.b.5 Keamanan dan efek samping
Di Perri dan Bonora
(2004) menyatakan bahwa
protionamid lebih toksik dari

111 | B u k u A n t i - t u b e r k u l o s i s
etionamid sedangkan Jenner
dkk. (1984) menyatakan bahwa
protionamid kurang toksik
daripada etionamid.
Protionamid harus dihindari
pada wanita hamil atau wanita
pada berpotensi hamil kecuali
jika keuntungan melebihi risiko
(Brennan dkk., 2008).
Efek samping paling
umum terjadi adalah gangguan
saluran pencernaan yang terkait
dosis obat, anoreksia, air liur
berlebih, rasa logam, mual,
muntah, nyeri perut dan diare.
Gangguan saraf pusat meliputi
depresi, kecemasan, psikosis,
sakit kepala, hipotensi dan
asthenia juga dapat terjadi.
Selain itu, hepatitis dapat terjadi
pada penggunaan bersama
rifampisin. Efek samping lain
yang dapat terjadi adalah reaksi
hipersensitif, dermatitis,
gangguan endokrin,
hipoglikemik dan
hipotiroidisme (Brennan dkk.,
2008).

112 | B u k u A n t i - t u b e r k u l o s i s
A.2.3.3 Isoksazolidinon
Sikloserin (Dcs) dan terizidon memiliki cincin
1,2-oksazolidinon (isoksazolidinon). Terizidon (Trd)
adalah analog struktural dari sikloserin dengan
peningkatan tolerabilitas (Ramaswamy dan Musser,
1998).
A.2.3.3.a Sikloserin
A.2.3.3.a.1 Mekanisme aksi
D-sikloserin adalah
suatu analog asam amino D-
alanin. D-sikloserin
menghambat alanine rasemase
(Alr, pengubah L-alanin ke D-
alanin) dan D-alanil-D-alanin
ligase (Ddl) yang mensintesis
inti pentapeptida menggunakan
D-alanin. Kedua enzim tersebut
(Alr dan Ddl) berperan penting
untuk sintesis peptidoglikan,
sintesis dinding sel dan
pemeliharaanya (Di Perri dan
Bonora, 2004).

Gambar 45. Struktur sikloserin (Anastasia dkk., 2012)


113 | B u k u A n t i - t u b e r k u l o s i s
A.2.3.3.a.2 Hubungans struktur-
aktivitas (Structure-activity
relationship/SAR)
Farmakopor dari D-sikloserin
adalah isoksazolidonon. Upaya
modifikasi farmakopor tersebut
dengan subtituen tambahan
gagal karena subtitusi-N
mencegah terjadinya
tautomerisasi yang penting
untuk aktivitas antibakteri.
Selain itu, penggantian
heteroatom pada cincin
isoksazolidinon menyebabkan
kehilanagan aktivitas obat (Kim
dkk., 2003). Stereokimia sangat
penting akibat tidak aktifnya L-
isomer (Ma dkk., 2007).
A.2.3.3.a.3 Potensi in vitro terhadap M.
tuberculosis
Kadar hambat minimum
(KHM) terhadap M.
tuberculosis (H37Rv) adalah 25
µg/mL (Rastogi dkk., 1996).
A.2.3.3.a.4 Spektrum aktivitas
D-sikloserin adalah
antibiotik spektrum luas.
Antibiotik ini sering digunakan
114 | B u k u A n t i - t u b e r k u l o s i s
dalam kombinasi dengan 5 obat
lain untuk terapi MAC dan TB.
D-sikloserin dapat berperan
sebagai bakterisida atau
bakteriostatik tergantung efek
kadar lokal dan efikasi terhadap
strain tertentu yang terlibat
(Brennan dkk., 2008).
A.2.3.3.a.5 Efikasi pada manusia
D-sikloserin adalah
agen bakteriostatik ketika
digunakan sebagai anti-TB.
Terapi ini diberikan dalam
dosis 250 mg 2 hingga 3 kali
sehari. Obat ini adalah agen
efektif namun toksisitas parah
membatasi penggunaannya (Di
Perri dan Bonora, 2004). D-
sikloserin diserap dengan cepat
dan hampir sempurna (70-90%)
dari usus mengikuti pemberian
oral (Brennan dkk., 2008).
A.2.3.3.a.6 Keamanan dan efek samping
Toksisitas sistem
saraf pusat umum terjadi. Obat
ini sebaiknya tidak diberikan
pada pasien dengan gangguan
ginjal. Pemberian 200 hingga

115 | B u k u A n t i - t u b e r k u l o s i s
300 mg piridoksin setiap hari
dpat membatu pencegahan
neurotoksisitas. Selain itu,
gejala overdosis sikloserin
umumnya adalah
neuropsikiatrik termasuk
kejang, paralisis,
ketidaksadaran dan pengucapan
tidak jelas (Brennan dkk.,
2008).

A.2.3.4 Tioasetazon (Thz)


Tioasetazon (gambar 46) atau tiosemikarbazon
adalah suatu obat tuberkulostatik lama yang diketahui
aktivitas anti-TB nya pada tahun 1940-an. Obat ini
memiliki mekanisme aksi penghambatan sintesis asam
mikolat. Tioasetazon digunakan di negara
berkembang karena harganya lebih murah. Akibat
efek samping parah dari tioasetazon (khususnya
hipersensitifitas kutan yaitu sindrom Stevens-
Johnson), obat ini tidak dapat diberikan kepada pasien
HIV-positif (tbonline, 2011).

Gambar 46. Struktur Tioasetazon

116 | B u k u A n t i - t u b e r k u l o s i s
Mekanisme aksi berbagai obat di atas begitu beraneka ragam.
Untuk mempermudah pemahaman, mekanisme aksi obat lini
pertama dan kedua dirangkum dalam tabel 5.
Tabel 5. Ringkasan mekanisme aksi antituberkulosis lini
pertama dan lini kedua
Obat Mekanisme aksi
Isoniazid Penghambatan biosintesis asam mikolat dan
beberapa efek lain (efek pada metabolisme
DNA, lipid, karbohidrat dan NAD)
Rifampisin Penghambatan sintesis RNA
Pirazinamid Belum terpecahkan sepenuhnya, kemungkinan
melibatkan gangguan potensial membrane
(Hoagland dkk., 2016)
Etambutol Penghambatan sintesis arabinogalaktan
Streptomisin Penghambatan sintesis protein
Amikasin/kanamisin Penghambatan sintesis protein
Kapreomisin Penghambatan sintesis protein
Quinolon Penghambatan DNA gyrase dan topoisomerase
IV
Etionamid Penghambatan sintesis asam mikolat
PAS Penghambatan asam folat dan metabolisme besi
Sikloserin Penghambatan sintesis dinding sel
Tioasetazon Penghambatan sintesis asam mikolat

A.3 Obat Antituberkulosis Lini Ketiga


Obat lini ketiga tersusun atas obat kelompok 5 atau
“repurposed drugs”, yaitu obat yang telah digunakan sebagai
antiinfeksi selain TB namun sekarang dikembangkan untuk indikasi
baru yaitu TB. Obat “repurposed” ini meliputi clofazimin (cfz, anti
lepra) atau antibakteri spektrum luas seperti: kombinasi amoksisilin
dan inhibitor β-laktamse (asam klavulanat) (Amx/Clv), kombinasi
imipenem dan inhibitor dehidropeptidase (cilastatin) (Ipm/Cln), atau
klaritomisin (Clr). Linezolid juga masuk ke dalam lini ketiga ini.
Obat lini ketiga tidak direkomendasikan untuk penggunaan rutin

117 | B u k u A n t i - t u b e r k u l o s i s
dalam terapi TB resisten obat karena efikasinya belum jelas (Zumla
dkk., 2013; WHO, 2010).
A.3.1 Oksazolidinon
Turunan 1,3-oksazolidinon mewakili suatu kelas kimia
baru agen antibakteri. Golongan ini adalah inhibitor sintesis
protein. Oksazolidin akan menghambat fase awal sintesis
protein dengan melalui ikatan dengan 23S rRNA dari 50s
subunit ribosomal (Hoagland dkk., 2016.) Target ini
merupakan target baru sehingga tidak ada resistensi silang
antara oksazolidin dan agen penarget ribosom lain. Walaupun
demikian, strain resisten dapat muncul akibat terjadinya
perubahan sisi aktif enzim (Steinhilber dkk., 2010; Portero dan
Rubio, 2007).
Oksazolidonon tidak dikembangkan secara khusus untuk
terapi TB sehingga SAR golongan ini dikembangkan
kebanyakan terhadap bakeri Gram positif dan negative serta
hanya sedikit informasi SAR spesifik untuk TB. Kesimpulan
tentang pola struktural yang diperlukan untuk aktivitas
antibakteri terdapat pada gambar 47.

118 | B u k u A n t i - t u b e r k u l o s i s
N pendonor electron,
ditoleransi baik dan dapat
meningkatkan profil
X = Subtituen penarik keamanan R harus
elektron terbaik untuk mengandung N F-meta,
F-meta, meningkatkan
aktivitas meningkatkan basa
aktifitas secara
aktifitas dramatis
secara
Memerlukan dramatis
Memerlukan
konfigurasi S konfigurasi S Memerlukan
konfigurasi S

Membutuhkan Membutuhkan
gugus N-aryl gugus N-aryl
Memerlukan gugus
Memerlukan X = gugus polar
N-asetilaminometil
gugus N-
asetilaminometil

Generasi pertama SAR Generasi kedua SAR Generasi ketiga SAR

Gambar 47. Evolusi SAR pada kelas antibakteri oksazolidinon (Ma dkk., 2007)

A.3.1.a Linezolid
Agen paling terkenal dari golongan
oksazolidinon adalah linezolid (Lzd)
(gambar 48). Linezolidin merupakan
generasi pertama oksazolidinon dan hanya
bentuk 5-S-enantiomer yang efektif. Pada
awalnya, obat ini digunakan untuk terapi
infeksi kulit dan pneumonia nosokomial
akibat bakteri Gram-positif (Leach dkk.,
2011). Pada pengobatan TB, linezolidin
mampu menembus makrofag sehingga dapat
dapat melawan bacilli intraseluler. Linezolid
akan terikat pada 23S rRNA sehingga terjadi
halangan interaksi antara tRNA pada sisi P
dan A. Lebih spesifiknya, Lzd mengganggu

119 | B u k u A n t i - t u b e r k u l o s i s
inisiasi sintesis protein dengan menghambat
pembentukkan ikatan peptide antara ujung
karboksil dari residu komplek N-
formilmetionin-tRNA pada sisi P dan ujung
amino dari asam amino-tRNA pada sisi A
(Shinabarger dkk., 1997).

Gambar 48. Struktur linezolid (Brennan dkk.,


2008)

Linezolid paling umum digunakan


pada kasus resistensi. Namun, penggunaan
jangka panjang linezolid dibatasi oleh
adanya efek toksisitas khususnya gangguan
hematologi seperti leukopeni dan
trombositopenia, neuropati perifer yang
mungkin bersifat irreversible (Anastasia
dan Petros, 2012).
Percobaan prospektif acak pada
pasien XDR-TB dengan kegagalan terapi
sebelumnya berhasil menunjukkan efikasi
saat diterapi dengan linezolid dosis 300-600
mg per hari. Hal tersebut mengkonfirmasi
120 | B u k u A n t i - t u b e r k u l o s i s
penemuan sebelumnya (Migliori dkk.,
2009) dimana sebanyak 87% dari semua
pasien terdaftar mencapai perubahan
bakteriologis dalam 6 bulan saat diterapi
dengan linezolid (Lee dkk., 2012). Terdapat
4 pasien mengalami resistensi selama terapi
tersebut (tiga diantaranya menerima dosis
300 mg per hari). Oleh karena itu bukti
tambahan diperlukan untuk penilaian dosis
optimal dan durasi terapi yang cukup obat
ini. Suatu studi menarik telah dilaksanakan
untuk pencegahan efek samping linezolid.
Studi tersebut dilaksanakan selama upaya
mempertahankan efikasi penggunaan dosis
intermitten dan peningkatan konsentrasi
linezolid ketika dikombinasi dengan
klaritomisin (Chang dkk., 2013; Bolhuis
dkk., 2013).
Sebuah studi inovatif dari Belanda
(Bolhuis dkk., 2013) menyatakan bahwa
klaritomisin dapat meningkatkan level
linezolid dalam darah sehingga pemberian
linezolid dalam dosis lebih kecil dapat
dilakukan agar terjadi pengurangan efek
samping dan biaya. Suatu data meta analisis
baru-baru ini menyediakan bukti terbaru
terkait efikasi, keamanan dan tolerabilitas.
Selain itu bukti tidak langsung terkait

121 | B u k u A n t i - t u b e r k u l o s i s
pengurangan toksisitas linezolid melalui
pendekatan pemantauan terapi obat
(therapy drug monitoring/ TDM) juga
didapatkan dari studi tersebut (Srivasta
dkk., 2013).
Efek samping linezolid yang
dilaporkan selama uji klinis fase III
umumnya tidak berbahaya (kemungkinan
karena durasi penggunaan pada uji ini lebih
pendek dari terapi TB sesungguhnya).
Lebih dari setengah pasien mengalami efek
samping pencernaan seperti konstipasi,
diare, mual dan muntah serta efek samping
berupa rash, sakit kepala, insomnia atau
pusing. Linezolid juga dapat menyebabkan
neuropati perifer dan optic (Metaxas dan
Falagas, 2009). Linezolid juga dapat
menyebabkan efek samping berupa anemia,
leukopeni dan trombositopenia terutama
ketika diberikan dalam jangka waktu
panjang (Brennan dkk., 2008).
A.3.2 Clofazimin
Clofazimin adalah suatu senyawa riminophenazin
yang dilaporkan memiliki aktivitas anti-TB sejak lama
(Barry dkk., 1957). Namun, akibat ketersediaan obat anti-
TB lain yang efektif dan adanya efek samping seperti
pigmentasi kulit maka penggunaan clofazimin terbatas
untuk terapi lepra (Browne dkk., 1962). Saat ini,

122 | B u k u A n t i - t u b e r k u l o s i s
clofazimin masuk kedalam golongan obat untuk
pengatasan MDR-TB (Palomino dan Martin, 2014).
Mekanisme aksi clofazimin belum diketahui
dengan jelas hingga saat ini. Namun Cholo dkk. (2012)
mendeteksi bahwa membran luar M. tuberculosis adalah
target yang memungkinkan bagi obat ini. Penelitian lain
menemukan bahwa dalam M. tuberculosis, clofazimin
direduksi oleh NADH dehydrogenase kemudian setelah
terjadi reoksidasi spontan maka reactive oxygen species
(ROS) dilepaskan hingga tingkat kadar efek bakterisida
(Yano dkk., 2011).

Gambar 49. Struktur clofazimin (Brennan dkk., 2008)

B. Pengembangan Obat Anti-Tuberkulosis


Penemuan streptomisin, suatu anti-TB pertama yang efektif
memberikan kegembiraan dan harapan bagi dunia (Jones dkk., 1944).
Namun, peneliti menemukan bahwa M. tuberculosis dengan cepat
mengembangkan resistensi terhadap obat ini dan kesembuhan total juga
tidak dapat dicapai dengan monoterapi. Oleh karena itu, kombinasi terapi
diperlukan untuk pencegahan terjadinya resistensi dan pencapaian
123 | B u k u A n t i - t u b e r k u l o s i s
kesembuhan total (Crofton, 1959; Fox, 1981). Sejak saat itu, penelitian
untuk terapi TB yang lebih baik telah dilaksanakan melalui 2 aktivitas
saling terkait, yaitu pencarian obat baru dan pengembangan regimen
kombinasi yang ampuh (Fox dkk., 1999).
Saat ini, jalur pengembangan klinis untuk obat tuberkulosis
standar mencakup fase 1 yaitu keamanan, toleransi, farmakokinetik, studi
rentang dosis dan interaksi obat-obat untuk menilai interaksi senyawa
baru dengan obat anti-TB yang digunakan saat ini. Studi tersebut paling
sering dilakukan pada probandus/relawan sehat. Selanjutnya, studi
dilakukan pada pasien TB (fase 2) untuk menilai aktivitas bakterisida
senyawa baru (biasanya pada berbagai dosis) dengan pembanding baik
dengan isoniazid, rifampisin atau dengan regimen standar isoniazid,
rifampisin, pirazinamid dan etambutol (HRZE) selama 7 hingga 14 hari
(disebut sebagai studi extended early bactericidal activity (EBA) (Jindani
dkk., 1980) selanjutnya diikuti studi drug combination proof-of-concept
selama 8 minggu (studi kultur bakteri 2 bulan atau studi serial sputum
colony count) (Burman dkk., 2006; Brindle dkk., 2001). Proof of concept
berarti pengembangan awal obat secara klinis secara konvensional dibagi
menjadi fase I dan IIa. Terakhir, uji fase III dilaksanakan dengan diikuti
periode follow-up untuk menilai kesembuhan tanpa kekambuhan klinis
maupun mikrobiologi. Ringkasnya, uji fase I akan menilai keamanan dan
rentang dosis, uji fase II akan menilai aktivitas bakterisida dini dan
konversi kultur sputum sedangkan uji fase III akan menilai keamanan dan
efikasi. Proses ini sangat panjang dan mahal. Untuk pemilihan kombinasi
yang baik, baik berupa penambahan obat baru atau penggantian obat baru
kedalam regimen saat ini, diperlukan waktu selama 20 hingga 30 tahun
untuk mengembangkan regimen baru dari 3 hingga 4 obat baru (Ginsberg
dan Spigelman, 2007).

124 | B u k u A n t i - t u b e r k u l o s i s
Pengembangan obat baru menjadi tantangan sekaligus peluang
untuk meningkatkan output terapi dan mengatasi permasalahan terkait
terapi yang telah ada, khusunya terkait kemunculan penyakit infeksi lain
seperti HIV dan perkembangan bakteri resisten pada kasus MDR-TB dan
XDR-TB. Hoagland dkk. (2016) menyatakan bahwa obat baru idealnya
memenuhi kriteria berikut:
1. Mekanisme aksi baru untuk memperkecil resistensi silang.
2. Aktivitas bakterisida cepat untuk mengurangi durasi terapi.
3. Mengoptimasikan karakteristik farmakokinetik/farmakodinamik
untuk pemberian oral sekali sehari.
4. Potensi interaksi obat-obat yang rendah untuk memungkinkan
pemberian terapi kombinasi khususnya dengan obat TB lain dan
terapi HIV.
5. Profil keamanan yang baik sehingga memungkinkan penggunaan
pada anak-anak dan wanita hamil.
Kriteria ideal tersebut juga diiringi dengan tujuan lainnya seperti
keterjangkauan biaya produksi, tingginya stabilitas senyawa, sempitnya
spektrum aktivitas, tingginya toleransi dan kemunculan resistensi
spontan yang rendah (Hoagland dkk., 2016).

C. Obat Anti-Tuberkulosis pada Tahap Pengembangan Fase Klinis


Pada bulan Februari tahun 2000, perwakilan dari akademia,
industri, lembaga pemerintahan, organisasi non-pemerintahan dan para
donator berkumpul di Afrika Selatan untuk mendiskusikan krisis yang
dihadapi pada terapi TB yaitu pengembangan obat yang terlihat suram.
Akhirnya, hal ini mulai diperbaiki dan hasilnya saat ini terdapat banyak
senyawa baru sedang berada pada pengembangan uji preklinis maupun
uji klinis (Zumla, 2013; Lechartier dkk., 2014). Setelah beberapa dekade
dimana pengembangan obat anti-TB hampir tidak aktif, daftar senyawa-

125 | B u k u A n t i - t u b e r k u l o s i s
senyawa potensial baru atau “repurposed” dalam proses pengembangan
telah meningkat dalam 5 tahun terakhir. Peningkatan ini dicapai melalui
repurposing (penggunaan obat yang telah diketahui untuk mengatasi
indikasi /penyakit baru) obat lama, rekayasa ulang senyawa antibakteri
yang ada saat ini dan penemuan senyawa baru. Kemajuan yang paling
cepat dicapai oleh peneliti melalui desain ulang atau redosing obat anti-
TB yang telah diketahui seperti rifapentin dan moksifloksasin. Obat-obat
ini semuanya telah memasuki studi fase 3. Gambar berikut adalah data
bulan oktober 2016 yang menggambarkan kondisi berbagai senyawa
dalam tahap pengembangan prekilinis dan klinis.

Perkembangan preklinis Perkembangan klinis

Kelas kimia: Fluoroquinolon, rifamisin,


oksazolidinon, nitromidazol, diarilquinolon,
benzotiazinon, imidazopiridin amide. Kelas
kimia baru*

Gambar 50. Global TB Drug Pipeline (www.newtbdrug.com, update Oktober 2016)

Obat baru di atas merupakan kandidat potensial terapi TB dengan


mekanisme aksi obat baru kebanyakan berbeda dengan obat anti-TB
klasik. Gambar 51 mencoba merangkum mekanisme beberapa obat baru.

126 | B u k u A n t i - t u b e r k u l o s i s
Mekanisme resistensi terhadap beberapa obat baru bahkan telah
dideskripsikan sebelum penggunaan klinis secara rutin (Ma dkk., 2007).
Target ganda: riminophenazin
Target ganda: pirazinamid mentarget membrane luar dan
Target ganda: nitroimidazol
melingkupi pengasaman kemungkinan rantai pernapasan
menghambat sintesis dinding sel
intraseluler, mengganggu bakteri dan transporter ion.
dan respirasi sel: Delamanid, PA-
membrane plasma. -clofazimin, TBI-166
824. TBA-354
-pirazinamid
Arabinosil transferase:
etambutol DNA gyrase:
Menghambat sintesis dinding sel quinolone
Menghambat
-etambutol sintesis DNA
InhA: Isoniazid -moksifloksasin,
Menghambat sintesis dinding sel gatifloksasin
RNA polymerase:
DprE1: Benzotiazinon rifamisin
dinding sel

Menghambat sintesis dinding sel Menghambat


BTZ-043, PBTZ-169 transkripsi: rifampisin,
rifapentin, rifabutin
Transpeptidase+β-laktamase- Rantai
carbapenem+asam klavulanat pernapasan
Menghambat sintesis dinding sel
-feropenem
Sintesis dinding sel: dimetilamin
Menghambat sintesis dinding sel
(transport dan pemrosesan) Kompleks
ATP-sintase: Ribosom:
-SQ-109 sitokromik bc:
diarilquinon oksazolidinon
Menghambat sintesis Imidazopiridin Menghambat
ATP Penting untuk sintesis protein
-Bedaquilin gradient proton dan -linezolid
sintesis ATP: -sutezolid
-Q203 -AZD-5847
-radezolid
-tedizolid

Gambar 51. Ilustrasi mekanisme obat anti-TB (Zumla dkk., 2014)

D. Obat Baru
Bedaquilin dan delamanid adalah 2 obat baru yang telah diterima
oleh European Medicines Agency (EMA) sebagai agen terapi MDR-TB
(Ryan dan Lo, 2014). Sementara itu U.S Food and Drug Agency (FDA)
telah menerima bedaquilin untuk MDR-TB dan delamanid sebagai terapi
pilihan pada XDR-TB dan TDR-TB (Hoagland dkk., 2016). Sejak 2014,
pretomanid telah diterima sebagai suatu bagian dari regimen terapi baru
(TB-alliance, 2015).

127 | B u k u A n t i - t u b e r k u l o s i s
D.1 Bedaquilin
Bedaquilin (gambar 52) dulu dikenal sebagai TMC-207 atau
R207910. Bedaquilin menjadi antibiotik baru dari kelas
diarilquinolin dengan aktivitas spesifik terhadap M. tuberculosis.
Antibiotik ini juga aktif melawan mikobakteria non tuberkulosis pada
uji in vitro (Andries dkk., 2005).

Gambar 52. Struktur bedaquilin (TMC-207) (Hoagland dkk., 2016)

Bedaquilin ditemukan dengan metode high throughput


evaluation, yaitu suatu metode yang memungkinkan pengujian jutaan
senyawa kimia, genetik atau farmakologi secara cepat, terhadap
ribuan senyawa menggunakan M. smegmatis pada whole cell assay
(Andries dkk., 2005). Obat ini menunjukkan aktivitas melawan M.
tuberculosis pada uji in vitro dan in vivo kemudian obat ini memasuki
evaluasi klinis untuk uji kepekaan obat dan MDR-TB. Berdasarkan
hasil 2 uji klinis fase 2, bedaquilin menerima perizinan kondisional
untuk terapi MDR-TB di bawah nama dagang “Sirturo”. Peringatan
“black box” mengiringi perizinan tersebut karena adanya laporan
kematian dan perpanjangan interval QT. Uji klinis fase III
dijadwalkan pada tahun 2013 namun masih belum dimulai.

128 | B u k u A n t i - t u b e r k u l o s i s
Bedaquilin juga dievaluasi dalam regimen kombinasi baru yang
bertujuan untuk memperpendek waktu terapi (Diacon dkk., 2012).
Bedaquilin sangat selektif menarget pompa proton ATP
synthase yang memicu kekurangan sintesis ATP yang diperlukan
untuk metabolism bakteri (Andries dkk., 2005). Bedaquilin juga
bersifat spesifik karena efek tersebut hanya mempengaruhi aktivitas
ATP synthase pada mikobakteri dorman dan aktif (replicating)
namun efek ini tidak berlaku bagi sel eukariot atau sel prokariot lain
(Koul dkk., 2007, Diacon dkk., 2009).
Kultur mutan resisten obat telah menunjukkan bahwa cincin
rotor dari F0F1 ATP synthase organisme khususnya subunit c adalah
target bedaquilin (Andries dkk., 2005). M. tuberculosis dapat
bertahan pada kondisi tidak memperbanyak diri karena menggunakan
ATP untuk mempertahankan membrane teraktivasi yang diproduksi
oleh F0F1 ATP synthase (Watanabe dkk., 2011). Hal ini membuat
bedaquilin sebagai senjata utama untuk membunuh sub populasi M.
tuberculosis laten. Mekanisme aksi yang berbeda dari RIF dan INH
ini membuat bedaquilin sebagai obat tambahan efektif pada terapi
MDR-TB.
Bedaquilin adalah obat lipofilik yang akan dimetabolisme
oleh CYP3A4 dan berinteraksi dengan induser CYP43A seperti INH.
Interaksi tersebut berakibat pada penurunan aktivitas bedaquilin
(Lounis dkk., 2008). Bedaquilin memiliki efek perpanjangan QT
sehingga penggunaan bersama obat lain harus berhati-hati. Obat lain
tersebut meliputi fluoroquinolone, makrolida, clofazimin atau obat
yang dapat meningkatkan paparan bedaquilin dengan menghambat
CYP3A4 (Cohen, 2013).

129 | B u k u A n t i - t u b e r k u l o s i s
D.2 Delamanid dan pretomanid (dulu PA-824)
Delamanid dan pretomanid merupakan prodrug yang
teraktifasi oleh nitroreduktase. Kedua obat ini termasuk ke dalam
kelas metronidazole. Saat ini, keduanya sedang menjalankan uji
klinis fase II dan fase III. Mekanisme aksi kedua obat ini diduga
berupa penghambatan biosintesis asam mikolat (Zumla dkk., 2013).
D.2.1. Delamanid
Delamanid (gambar 53) merupakan suatu turunan
nitro-dihidro-imidazooxazole yang sebelumnya dikenal
sebagai OPC-67683. Mekanisme aksi spesifik delamanid
adalah menghambat sintesis asam mikolat namun berbeda
dari isoniazid. Delamanid hanya menghambat asam mikolat
metoksi dan keto sementara isoniazid juga menghambat asam
mikolat α (Matsumoto dkk., 2006). Saat ini, delamanid
sedang melalui evaluasi klinis pada percobaan fase III
(Palomino dkk., 2013). Struktur delamanid terlihat pada
gambar berikut ini.

Gambar 53. Struktur delamanid (Hoagland dkk., 2016)

Delamanid memiliki aktivitas in vitro maupun in


vivo yang sangat bagus terhadap M. tuberculosis sensitif dan
M. tuberculosis resisten. Selain itu, delamanid juga memiliki
early bactericidal activity (EBA) yang baik daripada
rifampisin dan menunjukkan keamanan dan efikasi pada

130 | B u k u A n t i - t u b e r k u l o s i s
evaluasi klinis MDR-TB (Gler dkk., 2012; Diacon dkk.,
2011).
Pada uji fase II dengan kasus MDR-TB, pemberian
delamanid selama 2 bulan dengan 2 dosis berbeda (100 dan
200 mg 2 kali sehari) ditambahkan pada OBR (optimized
background regiment) mencapai peningkatan signifikan dari
perubahan kultur dibandingkan plasebo (45% untuk
kelompok 100 mg, 42% untuk kelompok 200 mg dan 29%
untuk kelompok plasebo). Percobaan lebih lanjut pada
MDR/XDR-TB, tingkat kematian pasien penerima delamanid
selama minimal 6 bulan adalah 1% sedangkan pasien yang
tidak diterapi selama atau kurang dari 2 bulan tingkat
kematiannya sebesar 8,3% (Gler dkk., 2012).
Berdasarkan bukti, WHO merekomendasikan
penggunaan delamanid pada dosis 100 mg 2 kali sehari
selama 6 bulan sebagai tambahan ke OBR pada pasien dewasa
ketika farmakovigilan tersedia dan izin informasi terjamin
(WHO, 2014). Analisis retrospektif terbaru dari studi klinis
menggambarkan pengurangan terbesar pada angka kematian
(sekitar 4 kali lipat) terjadi diantara pasien penerima
delamanid selama lebih dari sama dengan 6 bulan
dibandingkan dengan terapi selama kurang dari sama dengan
2 bulan (Wells dkk., 2015). Walaupun bukti anekdot
menyarankan bahwa delamanid efektif dan aman pada anak-
anak. Saat ini 2 uji klinis sedang mempelajari delamanid
untuk terapi MDR-TB anak-anak (Esposito dkk., 2014).

131 | B u k u A n t i - t u b e r k u l o s i s
D.2.2. Pretomanid
Pretomanid (gambar 54) adalah turunan nitro-
imidazooxazin. Pretomanid sebelumnya dikenal sebagai PA-
824 yang memiliki KHM rendah untuk M. tuberculosis
daripada isoniazid. Obat ini dipelajari sebagai bagian dari
regimen baru potensial. Diacon dkk. (2009, 2012, 2014, 2015)
menilai aktifitas bakterisidal pada 14 hari pertama dari
regimen berisi pretomanid, moksifloksasin dan pirazinamid.
Hasil studi membuktikan bahwa regimen ini menghasilkan
aktivitas lebih tinggi dibandingkan bedaquilin sendiri,
kombinasi bedaquilin dan pirazinamid, dan kombinasi
bedaquilin dan pretomanid. Selain itu kombinasi tersebut
menghasilkan aktivitas sebanding dengan regimen standar
terapi (isoniazid, rifampisin dan pirazinamid dengan
steptomisin atau etambutol). Menariknya, penambahan
pirazinamid meningkatkan aktivitas bedaquilin maupun
pretomanid.
Pada percobaan fase III, aktivitas bakterisida dari
regimen baru selama 8 minggu mencakup moksifloksasin,
pretomanid (100 atau 200 mg), pirazinamid dan clofazimin
dibandingkan terhadap regimen terapi standar TB untuk
pasien sputum smear positive dengan TB rentan obat dan
resisten obat. Regimen terapi baru menghasilkan aktivitas
bakterisida lebih tinggi dibandingkan regimen rekomendasi
WHO saat ini setelah 2 bulan terapi dan ditoleransi dengan
baik (Dawson dkk., 2015).

132 | B u k u A n t i - t u b e r k u l o s i s
Gambar 54. Struktur pretomanid (Hoagland dkk., 2016)

D.3 Sutezolid
Sutezolid (PNU-100480) masuk ke dalam kelas antibiotik
oksazolidinon. Antibiotik ini merupakan analog linezolid dengan
aktivitas antimikobakteri yang lebih besar dari linezolid pada uji in
vitro, beberapa model intraseluler dan hewan serta kultur darah putih
ex-vivo. Sutezolid aktif melawan M. tuberculosis non replicating
secara in vitro dan in vivo. Antibiotik ini mencegah inisiasi sintesis
protein melalui ikatan dengan 50s subunit ribosomal dari 23S rRNA.
Sutezolid (gambar 55) menunjukkan aksi kuat melawan M.
tuberculosis pada model murin (Williams dkk., 2009). Baru-baru ini,
percobaan klinis fase II (NCT01225640) telah diselesaikan. Pada fase
ini dilakukan penilaian keamanan dan efikasi menggunakan EBA
(early bactericidal activity) dan aktivitas baktersida darah lengkap
(Wallis dkk., 2014).

Gambar 55. Struktur sutezolid (Hoagland dkk., 2016)

133 | B u k u A n t i - t u b e r k u l o s i s
D.4. SQ-109
SQ-109 (gambar 56) merupakan suatu turunan dari bagian
diamin etambutol (Domenech dkk., 2005). Obat ini aktif melawan M.
tuberculosis sensitif dan resisten obat. Awalnya, usaha penemuan
SQ-109 dilakukan untuk menemukan analog etambutol dengan
peningkatan aktivitas karena etambutol merupakan agen lini pertama
yang paling lemah. Namun, analisis retrospektif dengan mutan
resisten SQ-109 menunjukkan bahwa mekanisme aksi inhibitor ini
berbeda dari etambutol. Mekanisme kerja SQ-109 adalah
penghambatan MmpL3 (Hoagland dkk., 2016).

Gambar 56. Struktur SQ-109 (Hoagland dkk., 2016)

Mycobacterial membrane protein large (MmpL) adalah


keluarga protein ekspor yang terlibat dalam transportasi metabolit
dari sitosol M. tuberculosis. Genom M. tuberculosis mengandung 12
gen pengekspresi protein MmpL, suatu protein yang dianggap
berperan penting dalam pertahanan dan patogenesis M. tuberculosis
(Domenech dkk., 2005). MmpL3 diperlukan untuk mengekspor asam
mikolat dalam bentuk trehalose monomikolat ke ruang periplasmik
atau membrane luar. Akibat penghambatan oleh SQ-109, maka
penyusunan asam mikolat ke dalam inti dinding sel bakteri terganggu
sehingga terjadi akumulasi trehalose monomikolat (Palomino dkk.,
2014).

134 | B u k u A n t i - t u b e r k u l o s i s
MmpL3 adalah protein membrane yang menjadi target obat
menarik karena MmpL3 merupakan satu-satunya protein dari
kerluarganya yang penting untuk pertahanan mikobakteri dan
merupakan druggable target (kelas protein yang diketahui atau
diprediksikan berinteraksi dengan obat). SQ-109 memiliki sifat
polifarmakologi, yaitu berefek terhadap jamur dan bakteri yang tidak
memiliki asam mikolat serta aktif melawan sel laten yang tidak
memerlukan sintesis dinding sel secara aktif (Biava dkk., 2007; Li
dkk., 2014; Poce dkk., 2013). Penelitian lebih lanjut membuka
rahasia bahwa SQ-109 menghambat sintesis menaquinon, respirasi
seluler dan sintesis ATP mikobakteri karena kehilangan gaya proton
melalui membrane sitoplasma (Li dkk., 2014). Beberapa mekanisme
anti tuberkulosis ini menunjukkan bahwa SQ-109 akan menjadi agen
efektif untuk terapi MDR-TB (Hoagland dkk., 2016). SQ-109
memiliki aktivitas in vitro sinergis ketika dikombinasikan dengan
obat lini pertama serta dengan bedaquilin dan sutezolid. Saat ini, SQ-
109 sedang dalam uji klinis fase II (Heinrich dkk., 2015).
D.5. Benzothiazon
Benzothiazinon (BTZ) atau 1,3-benzothiazin-4-one adalah
suatu antimikobakteria kelas baru (Makarov dkk., 2009). Senyawa
pertama golongan ini, 2-[2-S-methyl-1,4-dioxa-8-azaspiro[4.5]dec-
8-yl]-8-nitro-6-(trifluoromethyl)-4H-1,3-benzothiazin-4-one
(BTZ043) memiliki aktivitas in vitro, ex vivo dan in vivo terhadap M.
tuberculosis. Bukti awal menunjukkan bahwa BTZ043 bersifat poten
dan mampu melawan 240 isolat klinis dari M. tuberculosis, termasuk
strain sensitif obat, MDR-TB dan XDR TB. (Lechartier dkk., 2012).
Struktur BTZ043 digambarkan pada gambar 57.

135 | B u k u A n t i - t u b e r k u l o s i s
Gambar 57. Struktur BTZ043

BTZ043 awalnya terlihat memiliki mekanisme aksi dengan


target biogenesis dinding sel. Kemudian, berdasarkan analisis genetik
lebih lanjut menggunakan mutan in vitro buatan, gen rv3790
diidentifikasi sebagai target aksi obat ini (Mikusová dkk., 2005). Gen
ini mengkode Decaprenylphosphoryl-β-D-ribose 2′-epimerase 1
(DprE1), suatu protein katalisator. Bersama dengan DprE2, suatu
protein katalisator yang dikode gen rv3791, DprE1 mengkatalisis
proses epimerisasi decaprenylphosphoryl-β-Dribose (DPR) ke
decaprenylphosphoryl-β-D-arabinose (DPA). Proses epimerisasi ini
menghasilkan prekursor penting untuk polisakarida arabinoglaktan
yang diperlukan untuk dinding sel bakteri melalui reaksi oksidasi-
reduksi (Lee dkk., 1995; Wolucka dkk., 2008).
Penelitian baru telah mengungkapkan mekanisme aksi
BTZ043 secara lebih tepat. Obat ini diaktivasi di dalam sel bakteri
melalui reaksi reduksi gugus nitro penting ke bentuk turunan nitroso.
Turunan nitroso ini akan bereaksi dengan residu sistein di DprE1
(Trefzer dkk., 2010). Penelitian menggunakan M. smegmatis
menunjukkan adanya kemungkinan resistensi obat ini melalui
mekanisme ekspresi berlebih nitroreduktase NfnB. Ekspersi berlebih
ini memicu inaktivasi obat akibat reduksi gugus nitro penting ke
gugus amino sehingga terjadi resistensi (Manina dkk., 2010).
136 | B u k u A n t i - t u b e r k u l o s i s
Walaupun M. tuberculosis sepertinya kekurangan nitroreduktase,
penemuan ini penting untuk pengembangan analog BTZ baru dengan
peningkatan aktivitas. Baru-baru ini, seri piperazin dengan
kandungan BTZ telah dilaporkan. Senyawa pertama yaitu PBTZ 169
memiliki peningkatan aktivitas, keamanan dan efikasi pada model
hewan dan sinergitas in vitro dengan bedaquilin. Hal tersebut
mengindikasikan bahwa PBTZ169 merupakan kandidat obat menarik
untuk pengembangan klinis lebih lanjut (Makarov dkk., 2014).
PBTZ 169 (gambar 58) adalah anggota benzothiazon yang
menunjukkan aktivitas anti MTB nanomolar pada berbagai model,
seperti ex vivo dan in vivo (Makarov dkk., 2009). Obat ini sedang
dikembangkan oleh Innovative Medicine for Tuberculosis (Lusanne,
Switzerland). PBTZ 169 hanya sedikit lebih poten dan tidak
stereoselektif daripada BTZ043. Hal ini berarti bahwa obat ini dapat
dihasilkan melalui proses sintesis yang lebih mudah dan murah
(Makarov dkk., 2014).

reduksi

PBTZ 169 Intermediet nitrosoaren


adduct kovalen

Gambar 58. PBTZ 169 dengan mekanisme penghambatan kovalen DprE1


(Hoagland dkk., 2016)

Benzothiazon adalah inhibitor irreversible yang perlu aktivasi


gugus nitro aromatik untuk aktivitas anti-TB. Gugus nitro dan gugus
penarik elektron meta seperti trifluoro metil dan gugus nitro lain
(dinitro benzene) diperlukan untuk aktivitas anti-TB. Gugus nitro

137 | B u k u A n t i - t u b e r k u l o s i s
aromatik memediasi bioreduksi ke nitrosoarene reaktif. Gugus
nitroso kemudian bereaksi dengan residu sistein pada enzim DprE1
untuk membentuk semmimercaptal adduct yang berfungsi untuk
inaktivasi enzim DprE1. Akibatnya, proses biogenesis dinding sel
MTB akan terganggu. Metabolisme manusia tidak memiliki
kemampuan untuk mengaktivasi seri prodrug ini sehingga
menghasilkan jendela terapi yang aman (Hoagland dkk., 2016).

E. Tantangan Khusus dalam Pengembangan Obat TB


Salah satu isu paling besar dalam peningkatan terapi TB adalah
penggunaan RIF, obat paling efektif pada regimen obat lini pertama TB
sensitif obat untuk mengurangi beban akibat bakteri. Studi baru
mengindikasikan bahwa hasil terapi akan memburuk jika durasi terapi
dikurangi (Menzies dkk., 2009). Pengurangan terapi RIF ke dalam 1
hingga 2 bulan menyebabkan peningkatan tingkat kekambuhan dan
acquired resistance daripada ketika digunakan selama 6 bulan seperti
dalam regimen standar. Pemberian berselang-seling setiap minggu atau
dua kali setiap minggu dapat memicu kekambuhan dan acquired
resistance. Walaupun RIF adalah obat lini petama yang penting untuk
mendapatkan hasil terapi positif, penggunaan RIF dalam kombinasi
dengan berbagai obat bersifat problematik. Hal ini dikarenakan RIF
adalah inducer kuat terhadap banyak enzim CYP450. Pada proses
metabolism, enzim ini akan menonaktifkan obat lain sehingga kadar
serum efektif dan paparan obat aktif berkurang.
Rifampisin menginduksi utamanya CYP3A4, suatu enzim paling
berlimpah pada hati dan usus yang memetabolisme obat dan toksin (Zhou
dkk., 2007). Rifampisin juga berhubungan dengan upregulation
transporter membrane (P-glikoprotein). Transporter ini mengatur

138 | B u k u A n t i - t u b e r k u l o s i s
transport substansi melintasi membrane yang sering berfungsi sebagai
pompa efflux seluler sehingga terjadi pembatasan bioavailabilitas obat
(Finch dkk., 2002). Pasien TB dengan HIV menerima antiretroviral
dimana level serum obat ini dipengaruhi oleh induksi RIF terhadap
CYP3A4. Pasien tersebut kadang-kadang diberi rifabutin sebagai
pengganti RIF. Rifabutin memiliki aksi induksi CYP3A4 yang lebih
lemah sehingga menyederhanakan co-therapy. Akan tetapi, evaluasi
klinis baru tidak mendukung sepenuhnya penggantian RIF dengan
rifabutin (Davies dkk., 2000). Oleh karena itu, obat baru apapun yang
dikenalkan untuk penyakit sensitif obat akan mungkin sekali harus
diberikan dalam kombinasi dengan RIF dan tidak memiliki induksi kuat
terhadap CYP3A4.
Kesulitan selanjutnya dalam metabolisme obat TB adalah
malabsorbsi (Peloquin, 2001). Pasien TB sering mengalami kekurangan
nutrisi dan kehilangan berat badan. Dua hal ini menjadi karakteristik
penyakit TB. Terkadang gejala tersebut dikaitkan dengan penyakit HIV
dimana pasien juga mengalami kekurangan nutrisi atau diare. Namun,
kondisi tersebut juga umum terjadi pada pasien DM, sebagai komorbiditas
(kemunculan bersamaan dari 2 penyakit atau lebih) lain pada pasien TB
(Peloquin, 2001; Sen dkk., 2009, Peloquin, 2002).
Tantangan umum pada pengembangan obat baru adalah
keanekaragaman patologi TB (Barry dll., 2009). Tuberkulosis tidak hanya
menunjukkan perbedaan manifestasi klinis tetapi juga fisiologi hospes
dan patogen. Pasien TB manusia memiliki berbagai granuloma akibatnya
terjadi perbedaan lingkungan mikro untuk tempat tumbuh M.
tuberculosis. Oleh karena itu, metabolism M. tuberculosis pada setiap
penyakit sangat mungkin berbeda. Selain itu, keberadaan populasi M.
tuberculosis tersembunyi pada hospes manusia menunjukkan perbedaan

139 | B u k u A n t i - t u b e r k u l o s i s
kerentanan terhadap obat anti TB. Hal tersebut mungkin menjelaskan
gabungan aktivitas dari terapi lini pertama (Mitchison dkk., 2000). Di
samping itu, lamanya waktu terapi sebenarnya disebabkan untuk
pembasmian slowly growing dan non replicating bacilli. Pada uji in vitro,
berbagai kondisi pertumbuhan berbeda menyebabkan perubahan
kerentanan M. tuberculosis terhadap obat berbeda, contohnya fase statis
(Herbert dkk., 1996; Garcia-Tapia dkk., 2004), anoksia (keadaan uptake
oksigen yang buruk) dan kehilangan nutrient (Xie dkk., 2005; Betts dkk.,
2002). Hal tersebut memberikan model terapi-penyimpangan penyakit,
namun semua ini belum divalidasi sebagai parameter prediksi efikasi
klinis.
Walaupun data serum farmakokinetik obat dalam penggunaan
maupun pengembangan, namun penelitian kadar dalam jaringan masih
jarang dilakukan padahal bakteri TB bukanlah bakteri sistemik. Tempat
utama infeksi sulit dijenuhkan oleh obat akibat adanya kerusakan jaringan
karena penyakit dan hilangnya pembuluh darah. Dengan demikian,
penetrasi obat kemungkinan menjadi terbatas (Dartois dan Barry, 2010).
Suatu senyawa yang benar-benar efektif tidak hanya mampu menembus
dinding sel bakteri tetapi juga mampu mencapai bakteri dalam beberapa
jam di dalam fibrous, necrotic atau rongga yang mungkin mengandung
organisme presisten (Dartois dan Barry, 2010; Via dkk., 2008).

140 | B u k u A n t i - t u b e r k u l o s i s
BAB IV
RESISTENSI

A. Mekanisme Terjadinya Resistensi pada Mycobacterium tuberculosis


Penggunaan obat sama berulang-ulang dan panjangnya waktu
terapi sering menyebabkan kepatuhan pasien yang rendah. Akibatnya,
strain resisten obat pun muncul. Berdasarkan molekuler biologi
mikobakteria, mekanisme penyebab munculnya strain resisten dapat
dibagi menjadi 2, yaitu mekanisme acquired resistance dan mekanisme
resistensi intrinsik (Smith dkk., 2014).
A.1 Mekanisme acquired resistance
Bakteri patogenik termasuk M. tuberculosis mampu
mengalami resistensi terhadap antibiotik umum dimana sebelumnya
bakteri sensitif terhadap antibiotik tersebut. Konsep resistensi ini
disebut “acquired antibiotic resistance”. Jenis resistensi ini dapat
terjadi akibat mutasi maupun transfer gen horizontal. Pada M.
tuberculosis, transfer horizontal suatu gen resisten melalui plasmid
atau elemen transposon belum dilaporkan. Namun, semua “acquired
resistance” yang diketahui saat ini terjadi akibat adanya mutasi
kromosomal. Gen yang terlibat pada resistensi M. tuberculosis
dirangkum pada tabel 6

141 | B u k u A n t i - t u b e r k u l o s i s
Tabel 6. Gen yang Terlibat dalam “Acquired Resistance” pada M.
tuberculosis (Smith dkk., 2013)
Obat Gen Fungsi gen Peran
katG Katalase-peroksidase Aktivasi prodrug
inhA Enoil ACP reductase Target obat
Isoniazid
ndh NADH dehydrogenase II Modulasi aktivitas
Lini ahpC Alkil hidroperoksida Penanda resistensi
pertama Rifampisin rpoB Β-subunit RNA polimerase Target obat
PncA Pirazinamidase Aktivasi prodrug
Pirazinamid
rspA Protein ribosomal S1 Target obat
EmbCAB Arabinosil transferase Target obat
Etambutol
embR Regulator transkripsi EmbCAB Ekspresi target obat
rpsL Protein ribosomal S12 Target obat
Streptomisin Rrs 16S rRNA Target obat
gidB 16S rRNA metil transferase Modifikasi target
Amikasin/ Rrs 16S rRNA Target obat
Kanamisin EIS Asetiltransferase Modifikasi obat
Aktivasi prodrug
Lini ethA Flavin monooksigenase
Target obat
kedua inhA Enoil ACP reductase
Ekspresi activator
Etionamid eth R Penekan transkripsi ethA
prodrug
ndh NADH dehydrogenase II
Modulasi aktivitas
mshA Glikosil transferase
Aktivasi prodrug
gyrA DNA gyrase subunit A Target obat
Fluoroquinolon
gyrB DNA gyrase subunit B Ikatan obat

A.2 Mekanisme resistensi intrinsik


Selain memiliki kemampuan pengembangan resistensi baru
melalui mutasi kromosomal, M. tuberkulosis juga memiliki
mekanisme resistensi intrinsik. Mekanisme ini memungkinkan
terjadinya netralisasi aktifitas antibiotik. Resistensi jenis ini
menghasilkan tingginya background resistensi yang membatasi
penggunaan antibiotik pada pasien TB dan menghambat
perkembangan obat baru. Resistensi intrinsik ini dapat dibagi
menjadi 2 kategori, yaitu resistensi pasif dan resistensi terspesialisasi
(Smith dkk., 2013).
A.2.a Mekanisme resistensi pasif
Mekanisme ini melibatkan karakteristik dinding sel
mikobakteri. Serupa dengan masalah pada pengembangan
obat dan terapi bakteri Gram negatif, dinding sel mikobakteri

142 | B u k u A n t i - t u b e r k u l o s i s
yang impermeable berfungsi sebagai suatu barier efektif
terhadap penetrasi antibiotik. Mikobakteria memiliki dinding
sel yang sangat tebal dan terdiri dari banyak lapisan dengan
hidrofobisitas bervariasi. Lapisan ini membentuk suatu ruang
antar lapisan yang serupa dengan periplasma dinding sel
bakteri Gram negatif (Hoffmann dkk., 2008; Zuber dkk.,
2008). Peptidoglikan sacculus ditutupi oleh lapisan
arabinogalaktan dan keduanya bersifat hidrofobik sehingga
mencegah transport molekul hidrofobik (Brennan dan
Nikaido, 1995). Dua lapisan ini dihubungkan secara kovalen
ke lapisan luar asam mikolat (suatu asam lemak rantai
panjang yang membentuk barier waxy atau non fluid, yang
mencegah penetrasi molekul hidrofobik maupun hidrofilik)
(Liu dkk., 1995). Sebagai contoh, difusi β-laktam melalui
dinding sel mikobakteri 1000 kali lebih lambat daripada
penetrasi melalui dinding sel Escherichia coli (Kasik dan
Peacham, 1968; Chambers dkk., 1995).
Peran dinding sel mikobakteri dalam resistensi
antibiotik intrinsik ditunjukkan dengan jelas oleh penelitian
pada mutan dengan gangguan biosintesis dinding sel. Mutan
M. smegmatis dengan gangguan sintesis asam mikolat
menunjukkan peningkatan uptake dan sensitifitas terhadap
eritromisin, kloramfenikol, novobiosin dan rifampisin (Liu
dan Nikaido, 1999). Selain itu, studi mutasi transposon
mengkonfirmasi peran integritas dinding sel pada resistensi
intrinsik mikobakteria (Gao dkk., 2003, Philalay dkk., 2004).
Contohnya, pemasukkan transposon ke dalam operon kasB
atau virS-mymA (suatu gen yang terlibat dalam biosintesis

143 | B u k u A n t i - t u b e r k u l o s i s
asam mikolat) menyebabkan peningkatan penetrasi kimia dan
sensitifitas terhadap beberapa antibiotik (rifampisin,
ciprofloksasin, INH dan PZA) (Gao dkk., 2003; Singh dkk.,
2003; Singh dkk., 2005). Ikatan asam mikolat pada gugus
aktif gula (arabinogalaktan atau trehalose) pada dinding sel
bakteri dikatalisis oleh suatu keluarga enzim
mikoliltransferase yang dulu diketahi sebagai “kompleks
antigen 85” (Belisle dkk., 1997). Penghilangan gen fbpA
sebagai pengkode salah satu mikoliltransferase menghasilkan
penurunan level trehalose dimikolat dan peningkatan
sensitifitas terhadap antibiotik (Nguyen dkk., 2005).
Penelitian ini mengkonfirmasi bahwa dinding sel bakteri
memiliki peran penting dalam resistensi intrinsik mikobakteri
terhadap antibiotik. Walaupun demikian, akibat waktu
penggandaan mikobakteri yang sangat lama, lambatnya
kecepatan penetrasi obat pada beberapa kasus tetap dapat
menghasilkan kadar yang cukup tinggi sebagai inhibitor
sebelum terjadinya pembelahan sel. Hal ini membuat
permeabilitas dinding sel sebagai suatu hal penting namun
bukan penentu utama pada resistensi obat (Brennan dan
Nikaido, 1995; Chambers dkk., 1995; Quinting dkk., 1997).
Serupa dengan dinding sel Gram negatif, porin
mikobakteri naik ke lapisan luar dinding sel sehingga nutrien
dan molekul penting untuk pertumbuhan dapat masuk ke
dalam sel bakteri (Niederweis, 2003). Porin ini mungkin juga
berperan penting dalam pemasukkan antibiotik ke dalam sel
melalui lapisan luar dinding sel mikobakteri (Danilchanka
dkk., 2008). Peran porin dalam uptake dan kesensitifan pada

144 | B u k u A n t i - t u b e r k u l o s i s
M. tuberculosis belum dijelaskan secara langsung (Smith
dkk., 2013).
A.2.b Mekanisme resistensi terspesialisasi
Selain barier dinding sel sebagai penyebab
perlambatan penetrasi antibiotik, M. tuberculosis dan
mikobakteri lainnya juga menjalankan mekanisme resistensi
khusus yang memungkinkan detoksifikasi aktif obat ketika
mereka mencapai ruang sitoplasma. Mekanisme resistensi ini
dapat dikelompokkan melalui 5 mekanisme, yaitu modifikasi
target obat, modifikasi kimia obat, degradasi enzimatik pada
obat, peniruan molekuler suatu target obat, pengeluaran obat
dengan pompa efflux (Smith dkk., 2013).
A.2.b.1 Modifikasi target obat
Bakteri patogen mampu menghindari
aktivitas antibakteri suatu antibiotik melalui
modifikasi struktural target obat sehingga terjadi
penurunan afinitas ikatan antibiotik. Contoh dari
resistensi ini adalah resistensi intrinsik M.
tuberculosis pada antibiotik makrolida dan
linkosamid. Antibiotik ini mengentikan
pertumbuhan sel bakteri melalui aksi penghambatan
mesin sintesis protein. Antibiotik tersebut terikat
secara reversibel pada sisi spesifik dari rRNA di
dalam subunit 50S ribosomal. Akibatnya, translokasi
peptidyl-tRNA terhambat (Buriankova dkk., 2004).
Contoh lain yang menunjukkan kemampuan
M. tuberculosis dalam penetralan obat melalui
modifikasi enzimatik dari target obatnya adalah

145 | B u k u A n t i - t u b e r k u l o s i s
metilasi rRNA sebagai perantara resistensi terhadap
antibiotik peptida siklik seperti kapreomisin dan
viomisin. Kapreomisin dan viomisin biasanya
digunakan dalam terapi MDR-TB namun strain
resisten terhadap obat ini telah ditemukan. Studi
genetik dengan M. smegmatis dan M. tuberculosis
menemukan bahwa mutasi terkait resistensi
kapreomisin terjadi pada gen tlyA yang mengkode
suatu 2’-Omethyltransferase (Maus dkk., 2005). Gen
ini memetilasi 16S dan 23S rRNA masing-masing
pada nukleotida C1409 dan C1290 (Johansen dkk.,
2006). Metilasi ini memberikan sensitifitas ribosom
mikobakteri untuk terikat pada kapreomisin dan
viomisin (Maus dkk., 2005; Johansen dkk., 2006).
Inaktivasi gen tylA menyebabkan peningkatan
resistensi terhadap antibiotik peptida siklik (Maus
dkk., 2005).
A.2.b.2 Modifikasi kimia obat
Mikobakteria juga mampu menonaktifkan
antibiotik melalui modifikasi kimia langsung. Studi
terbaru menunjukkan pentingnya asetilasi pada
resistensi aminoglikosida. Aminoglikosida adalah
antibiotik spektrum luas yang beraksi sebagai
bakterisida atau bakteriostatik tergantung pada
kadarnya. Kelompok obat ini membentuk posisi
penting dalam sejarah terapi TB dimana streptomisin
adalah obat efektif pertama untuk terapi TB
sedangkan saat ini kanamisin dan amikasin

146 | B u k u A n t i - t u b e r k u l o s i s
digunakan sebagai pilihan terakhir terapi MDR-TB.
Resistensi terhadap obat tersebut pada strain MDR
menjadi penanda terjadinya XDR-TB. Studi awal
pada M. smegmatis dan M. fortuitum
mengidentifikasi adanya homolog aminoglikosida
yaitu 2'-N-acetyltransferase (aac) yang
menyebabkan resistensi gentamisin, dibekasin,
tobramisin dan netilmisin. Walaupun homolog aac
nampaknya terdapat pada M. tuberculosis, fungsi aac
pada resistensi amnioglikosida belum berhasil
dibuktikan. Menariknya, resistensi intrinsik terhadap
aminoglikosida akhir-akhir ini diketahui terkait
dengan asetiltransferasi yang berbeda (Zaunbrecher
dkk., 2009). Protein EIS (Enhanched intracellular
survival) ditemukan pertama kali sebagai penentu
pertahanan mikobakteri pada makrofag hospes (Wei
dkk., 2000).
Penelitian mengidentifikasi bahwa mutasi
pada daerah promoter EIS akan meningkatkan
transkripsi EIS 180 kali lipat. Mutasi ini ditemukan
pada 80% isolate klinis dengan resistensi tingkat
rendah terhadap kanamisin dan isolate MDR-TB
(Zaunbrecher dkk., 2009). Selain itu, penelitian in
vitro menunjukkan bahwa EIS mengasetilasi
berbagai gugus amin dalam aminoglikosida
menggunakan asetil-koenzim A sebagai suatu donor
asetil sehingga terjadi inaktivasi antibiotik (Chen
dkk., 2011).

147 | B u k u A n t i - t u b e r k u l o s i s
A.2.b.3 Degradasi enzimatik pada obat
Jalur lain yang biasa digunakan oleh bakteri
patogen untuk menurunkan aktivitas antibiotik
adalah degradasi obat secara langsung dengan
hidrolisis. Mekanisme ini paling dipahami pada
kasus β-laktam. Antibiotik ini mengikat dan
menghambat aktivitas penisilin-binding-protein
(PBPs) yang terlibat dalam penyusunan jaringan
peptidoglikan. Akibatnya sintesis dinding sel
menjadi kacau sehingga terjadi kematian sel. Protein
ini mengikat β-laktam pada kadar yang diterima
secara klinis dan mengindikasikan bahwa afinitas
target bukan penentu penting pada resistensi β-
laktam di mikobakteri (Chambers dkk., 1995; Smith
dkk., 2014).
β-laktamase menghidorlisis cincin β-laktam
dan telah terbukti menyebabkan resistensi β-laktam
pada mikobakteri (Chambers dkk., 1995). Namun β-
laktamase mikobakteri kurang aktif dibandingkan β-
laktamase bakteri patogen lainnya. Lambatnya
penetrasi β-laktam melalui dinding sel mikobateri
yang tebal menjelaskan aktivitas β-laktamase yang
lebih rendah. Namun, aktivitas β-laktamase masih
tetap cukup efektif untuk melindungi mikobakteri
dari aksi β-laktam (Jarlier dkk., 1991).
Pada kasus mikobakteri, lambatnya
kecepatan pertumbuhan M. tuberculosis
memberikan kontribusi positif dan negatif terkait

148 | B u k u A n t i - t u b e r k u l o s i s
resistensi β-laktam. Sebagai contohnya adalah
karbapenem. Antibiotik ini relatif tidak stabil
sehingga akan kehilangan aktivitas lebih cepat dari
kecepatan pertumbuhan mikobakteri. Namun,
penggunaan setiap harinya dapat menghasilkan
kadar mematikan yang cukup sebagai penghambat
mesin pembelahan sel mikobakteri. Oleh karena itu,
barier dinding sel bersifat penting namun bukan
penentu utama reisistensi β-laktam (Watt dkk., 1992;
Smith dkk., 2014).
A.2.b.4 Peniruan molekuler suatu target obat
Mekanisme ini terjadi pada kasus penetralan
aksi fluoroquinolone. Seperti bakteri lain, acquired
resistance terhadap fluoroquinolone pada M.
tuberculosis umumnya disebabkan mutasi pada gen
pengkode DNA gyrase yaitu gyrA dan gyrB. Namun,
mekanisme molekuler untuk resistensi intrinsik
fluoroquinolone pada mikobakteri belum diketahui
dengan baik. Protein M. smegmatis (MfpA)
diidentifikasi pertama kali sebagai penyebab
resistensi tingkat rendah terhadap fluoroquinolone.
Ekspresi berlebih MfpA dari multicopy plasmid
menyebabkan peningkatan resistensi terhadap
ciprofloksasin dan sparfloksasin pada M. smegmatis
dan M. bovis (Montero dkk., 2001). Sebaliknya
penghilangan MfpA menyebabkan pengurangan
resistensi fluoroquinolone. Hal tersbeut
mengindikasikan bahwa tingkat resistensi

149 | B u k u A n t i - t u b e r k u l o s i s
tergantung pada ekspresi MfpA. Sekuens MfpA
memiliki homologi paling tinggi terhadap
pengulangan protein pentaptida dimana setiap 5
asam amino adalah leusin atau fenilalanin.
Menariknya, MfpA menyerupai struktur 3 dimensi
DNA double helix (Ferber 2005; Hegde dkk., 2005)
dengan pasangan pengulangan pentapeptida melilit
di sekitar heliks kanan pada lebar sama dengan DNA
(Morais dkk., 1997). MfpA dianggap meniru struktur
DNA untuk mengisolir fluoroquinolone di dalam
sitoplasma. Hal terebut mengatur DNA agar bebas
dari serangan obat (Ferber, 2005). Akan tetapi,
fungsi fisiologis dari MfpA dan bagaimana MfpA
berkontribusi pada resistensi fluoroquinolone masih
menunggu penetapannya (Smith dkk., 2014).
A.2.b.5 Pengeluaran obat dengan pompa efflux
Mekanisme ini adalah suatu mekanisme aktif
yang biasanya menyebabkan perlindungan terhadap
antibiotik pada bakteri patogenik. Mekanisme ini
menyebabkan pengeluaran obat menggunakan
pompa efflux. Kebanyakan membrane spanning-
protein ini berperan dalam fisiologi atau
metabolisme bakteri seperti transport nutrien, toksin,
buangan atau transport molekul penanda melalui
dinding sel. Oleh karena itu, berbagai transporter
kemungkinan berperan dalam terjadinya resistensi
antibiotik (Smith dkk., 2014).

150 | B u k u A n t i - t u b e r k u l o s i s
B. Mekanisme Resistensi Obat Anti-Tuberkulosis
Resistensi dapat terjadi melalui berbagai mekanisme seperti
yang telah dijelaskan di atas. Berdasarkan jenis obatnya, mekanisme
resistensi obat dapat dijelaskan sebagai berikut.
B.1 Obat lini pertama
B.1.1 Isoniazid

Mikobakteria dapat mengalami resistensi terhadap


isoniazid melalui mutasi pada beberapa gen seperti katG,
inhA, ahpC, kasA dan ndh (Johnson dkk., 2005). Namun,
mutasi gen katG dan inhA merupakan mekanisme molekuler
resistensi isoniazid yang paling utama. Banyak penelitian
telah menemukan mutasi pada dua gen ini sebagai penyebab
paling umum resistensi isoniazid (Ramaswamy dkk., 2003;
Hazbon dkk., 2006).
B.1.1.a katG

Walaupun perubahan katG bersifat unik di


antara organisme resisten INH, kebanyakan mutasi
ditemukan di antara kodon 138 dan 238 dimana
perubahan gen atau mutasi yang paling sering teramati
berada pada kodon 315 dari gen katG seperti yang
terlihat pada gambar 59 (Slayden dan Barry, 2000).
Mutasi tersebut adalah suatu proses subtitusi atau
penggantian asam amino. Subtitusi asam amino yang
paling banyak terjadi adalah subtitusi asam amino
Ser315Thr. Subtitusi ini diperkirakan terjadi pada 30-
60% isolat resisten INH (Ramaswamy dan Musser,
1998; Musser dkk., 1996).

151 | B u k u A n t i - t u b e r k u l o s i s
Mutasi tersebut menyebabkan produk
isoniazid kurang dalam pembentukkan INH-NAD
yang diperlukan untuk aktivitas antimikroba INH
(Vilchèze, dkk., 2007; Rozwarski dkk., 1998).
Kemampuan katG lebih efisien dari enzim mutan
dalam upaya perubahan INH (prodrug) kebentuk
asam isonikotinat (INH teraktivasi). Sehingga, mutan
Ser315Thr merupakan katalase-peroksidase kompeten
dengan kemampuan metabolisme INH yang
berkurang. Oleh karena itu, subtitusi asam amino pada
posisi 315 muncul untuk menghilangkan
keseimbangan antara kebutuhan pengaturan aktivitas
katalase-peroksidase aktif dalam upaya detoksifikasi
radikal antibakteri dari hospes dan pengurangan
perubahan produg ke bentuk INH aktif, suatu proses
yang akan membunuh bakteri secara normal
(Ramaswamy dan Musser, 1998). Mutasi ini
dihubungkan dengan kasus resistensi tingkat tinggi
terhadap INH (KHM > 1µg/mL atau 200 kali KHM
normal) dan terjadi lebih sering pada strain MDR
(Hazbon dkk., 2006; Cohen-Gonsaud dkk., 2000).
Walaupun subtitusi asam amino paling
umum terjadi adalah AGC (Ser)--> ACC(Thr), namun
perubahan ACA (Thr), ATC (ile), AGA (Arg), CGC
(Arg), AAC (Asp) dan GGC (Gly) juga telah
teridentifikasi (Ramaswamy dan Musser, 1998).
Sementara itu, subtitusi asam amino katG 463 (CGC-
CTG) (Arg-Leu) merupakan polimorfisme yang

152 | B u k u A n t i - t u b e r k u l o s i s
paling biasa terjadi pada gen katG namun mutasi ini
tidak berhubungan dengan resistensi INH (Johnson
dkk., 2005).
Perubahan CGG <-> CTG menghasilkan
variasi Arg <-> Leu pada asam amino posisi 463. Pada
awal analisis perubahan ini dianggap terlibat pada
resistensi INH. Akan tetapi, studi berturut-turut
menunjukkan bahwa kebanyakan isolat dengan asam
amino ini memiliki perubahan struktural katG lain.
Hasil ini mengungkapkan bahwa varian KatG463Leu
hanya marker pengganti yang lebih mudah untuk
organisme resisten INH. Strain dengan Arg463Leu
memiliki tingkat aktivitas katalase-peroksidase sama
dengan wild-type. Keberadaan leusin pada kodon 463
sebagai pengganti arginine tidak mengubah aktivitas
katalase-peroksidase (Rouse dkk., 1996).
Subtitusi Arg463Leu muncul pada banyak
strain rentan atau sensitif INH, khususnya organisme
di daerah Cina, bekas perserikatan Uni Soviet dan
daerah Asia tertentu lainnya (Lee dkk., 1997; Musser,
1997). Penelitian kinetik dan spektroskopik lebih
detail gagal untuk mengidentifikasi perbedaan sifat
antara protein KatG463Arg dengan KatG463Leu.
Selain itu, tidak ada perbedaan signifikan antara
ativitas katalase atau peroksidase ataupun parameter
enzimatik lain antara 2 protein murni pada uji in vitro
(Johnsson dkk., 1997). Contohnya, kedua protein
sama-sama mengoksidasi INH ke bentuk aktifnya

153 | B u k u A n t i - t u b e r k u l o s i s
(asam isonikotinat) dan menampilkan ketergantungan
yang sama pada kadar INH. Akan tetapi, data dari
studi strain bacilli Calmette-Guѐrin (BCG) yang
didesain untuk mengekspresikan baik KatG463Arg
maupun 463Leu patut untuk diperhatikan karena
menunjukkan bahwa perbedaan tidak menonjol
mungkin ada di antara dua protein tersebut (Rouse
dkk., 1996). Data paling menonjol adalah KHM dari
BCG yang mengekspresikan 463Leu hampir tidak
lebih tinggi dari BCG yang mengekspresikan protein
463Arg (1,0 µg/mL versus 0,5 µg/mL). Hasil ini
selaras dengan pengamatan bahwa strain M. bovis,
yang memiiki KatG463Leu secara alami, hanya
sedikit kurang sensitif terhadap INH daripada
kebanyakan M. tuberculosis sensitif. Sebagai
tambahan, 14 organisme resisten INH tingkat rendah
dengan katalase positif dilaporkan oleh Rouse dkk.
(1996). 9 diantaranya memiliki leusin di KatG kodon
463 dan tidak satupun yang memiliki mutasi lain di
daerah KatG ataupun inhA.
Rouse dkk (1996) menggunakan mutagenesis
site-directed untuk mengubah wild-type gen katG dari
M. tuberculosis pada 13 kodon yang sebelumnya
menunjukkan mutasi pada isolat klinis resisten INH.
Efek pada sensitifitas obat akibat perubahan asam
amino ditentukan dengan complementation assay di
KatG rusak, strain M. smegmatis resisten INH dan M.
bovis BCG. 9 dari 13 varian asam amino diperlihatkan

154 | B u k u A n t i - t u b e r k u l o s i s
sebagai penyebab resistensi, mencakup Arg104Leu,
His108Gln, Asn138Ser, Leu148Arg, His270Gln.
Thr275Pro, Ser315Thr, Trp321Gly dan Asp381Gly.
Hasil ini selaras dengan studi yang mengusulkan
bahwa residu 104 dan 108 terletak pada atau di dekat
tempat katalitik dan residu 270, 275 dan 315 terlibat
dalam ikatan heme (Pelletier dkk., 1992; Winder dkk.,
1971).

Mutasi missense
Mutasi terminasi
Penyisipan
Pemotongan

Gambar 59. Polimorfisme di protein KatG yang teridentifikasi pada M. tuberculosis resisten
INH. Data disusun dari laporan mutasi sebelumnya. Varian asam amino diberi nomor secara
vertikal. Singkatan asam amino ditulis dengan satu huruf dimana A: alanine, C: sistein, D:
asam aspartat, E : asam glutamat, F: fenilalanin, G: Glisin, H: Histidin, I: isoleusin, L: leusin,
M: metionin, N: asparagin, P: prolin, Q:glutamin, R: arginine, S: serin, T: threonine, W:
triptofan, V: valin. Gambar di bawah skema adalah perubahan nukleotida dan asam amino
yang terjadi di kodon dengan 2 atau lebih varian kodon. Subtitusi KatG463 Leu<-> Arg
merupakan polimorfisme alami yang paling banyak terjadi dan tidak berhubungan dengan
tingkat kerentanan INH (Ramaswamy dan Musser, 1998).

155 | B u k u A n t i - t u b e r k u l o s i s
B.1.1.b inhA
Salah satu target dari INH aktif adalah protein
yang dikode oleh lokus inhA. inhA adalah suatu enoyl-
acyl carrier protein (ACP) reductase yang diusulkan
sebagai target utama untuk kasus resistensi INH dan
etionamid (ETH) (Banerjee dkk., 1994). Mutasi gen
inhA tidak hanya menyebabkan resistensi terhadap
isoniazid namun juga secara struktural terkait obat
etionamid yang memiliki target aksi sama (Banerjee
dkk., 1994; Larsen dkk., 2002). Etionamid merupakan
analog struktural dari INH yang juga menghambat
biosintesis asam mikolat. Beberapa penelitian telah
menunjukkan bahwa untuk strain tertentu, resistensi
INH tingkat rendah terjadi bersama dengan resistensi
ETH. Hal ini mengusulkan bahwa INH dan ETH
berbagi suatu target molekuler (Hok, 1964).
Lokus inhA memiliki 2 operon gen dengan
open reading frame berdekatan yaitu mabA dan inhA
yang mengkode produk penyebab resistensi pada INH
dan ETH (seperti gambar 60) (Lefford, 1996). inhA
dari M. tuberculosis telah dimurnikan, dikristalkan
selanjutnya menunjukkan bahwa inhA merupakan
NADH-dependent enoyl-ACP (acyl carrier protein)
reductase dengan spesifitas untuk substrat enoil
tioester rantai panjang. Sejumlah bukti mengajukan
bahwa mabA dan inhA berpartisipasi dalam
biosintesis asam mikolat. Namun, mutasi tidak

156 | B u k u A n t i - t u b e r k u l o s i s
teridentifikasi terjadi di mabA (Ramaswamy dan
Musser, 1998).

Gambar 60. Representasi skematik dari mutasi yang teridentifikasi di lokus


inhA pada isolate M. tuberculosis resisten INH dan/atau resisten ETH. Lokus
inhA tersusun atas 2 open reading frame berdekatan ditandai mabA
(pengkode 3-ketoasil-asil-carrier protein reductase) dan inhA (pengkode
enoil-asil carrier protein reductase). Pada organisme kompleks M.
tuberculosis, mabA dan inhA dipisahkan oleh 21-bp noncoding region yang
kekurangan promoter teridentifikasi dengan mudah. RBS adalah ribosome
binding site. A: alanine, I: isoleusin, P: prolin, T: threonine dan V: valin
(Ramaswamy dan Musser, 1998).

Isoniazid aktif terikat pada kompleks inhA-


NADH pada keberadaan mangan dan oksigen untuk
pembentukkan kompleks terner. Terbentuknya
kompleks ini akan menonaktifkan enoil reductase
kemudian terjadi penghambatan biosintesis asam
mikolat. Sebagai ringkasan, penggantian asam amino
pada tempat ikatan NADH dari inhA menghasilkan
resistensi INH melalui pencegahan penghambatan
biosintesis asam mikolat (Ramaswamy dan Musser,
1998).
Subtitusi Ser94Ala menghasilkan penurunan
afinitas ikatan inhA ke NADH sehingga terjadi
penghambatan sintesis asam mikolat. Walaupun
157 | B u k u A n t i - t u b e r k u l o s i s
mutasi ini dihubungkan dengan resistensi INH, namun
mutasi ini jarang dilaporkan pada isolat klinis. Mutasi
promoter inhA lebih sering dilihat dan terjadi pada
posisi -24(G-T), -16(A-G), atau -8(T-G/A) dan -15(C-
T). Mutasi promoter tersebut menghasilkan ekspresi
berlebih inhA dan memicu resistensi INH tingkat
rendah. Mutasi spesifik InhA atau ekspresi berlebih
inhA menghasilkan organisme dengan peningkatan
KHM (Kadar Hambat Minimum) terhadap INH dan
etionamid (ETA). Kadar hambat minimum menjadi 5
kali lebih tinggi dari KHM untuk wild type. Sekitar 70-
80% resistensi INH pada isolat klinis M. tuberculosis
dapat dianggap sebagai akibat mutasi gen katG dan
inhA (Ramaswamy dan Musser, 1998). Studi akhir-
akhir ini menemukan bahwa mutasi pada daerah
regulatori inhA bersama dengan mutasi daerah coding
dari inhA menghasilkan resistensi isoniazid tingkat
tinggi (KHM > 1µg/mL) dan juga resistensi silang
terhadap etionamid (Machado dkk., 2013).
Baru-baru ini, 6 isolate M. tuberculosis
resisten INH tingkat rendah diidentifikasi mengalami
mutasi missense (mutasi titik dimana nukleotida
tunggal berubah sehingga dihasilkan kodon pengkode
asam amino yang berbeda) di struktural gen inhA.
Mutasi ini menghasilkan penggantian lle16Thr,
lle21Thr, lle21Val, lle47Thr, Val8Ala dan lle95Pro
(Ramaswamy dan Musser, 1998). Bakteri sensitif INH
kekurangan atau tidak memiliki varian asam amino

158 | B u k u A n t i - t u b e r k u l o s i s
tersebut. Strain dengan subtitusi 5 asam amino
pertama tidak mengalami mutasi katG yang akan
menyebabkan resistensi INH. katG pada organisme ke
5 tidak dikarakterisasi. Pada dasar analisis struktur
kristal, semua subtitusi asam amino akan terletak di
tempat ikatan NADH (gambar 61). Semua data selaras
dengan ide bahwa resistensi INH pada strain ini
berhubungan dengan penurunan afinitas ikatan NADH
terhadap enoil reductase (Basso dkk., 1998).

Gambar 61. Penggambaran skematik struktur kirstal inhA


menunjukkan penggantian asam amino ditemukan di isolate pasien
M. tuberculosis resisten INH. Posisi asam amino tertanda telah
diidentifikasi di resisten INH. Satu molekul NADH ditunjukkan di
lipatan ikatan NADH (Ramaswamy dan Musser, 1998).

B.1.1.c ahpC

Alkil hidroperoksidase reductase (ahpC)


mengkode suatu alkil hidroperoksidase reduktase
yang terlibat dalam resistensi intermediet oksigen
reaktif (Rinder dkk., 1998). Berdasarkan penelitian,
kehilangan aktivitas katG akibat subtitusi asam amino

159 | B u k u A n t i - t u b e r k u l o s i s
Ser315Thr sering diiringi oleh peningkatan ekspresi
protein ahpC yang mampu mendetoksifikasi peroksida
organik perusak (Sherman dkk., 1996). Lima
perubahan pada nukleotida telah diidentifikasi pada
daerah promoter gen ahpC yang memicu ekspresi
berlebih ahpC dan resistensi INH (Ramaswamy dan
Musser, 1998). Ekspresi berlebih ahpC menghasilkan
efek detoksifikasi terhadap peroksida organik di
dalam sel dan melindungi bakteri dari kerusakan
oksidatif tetapi tidak memberikan perlindungan
terhadap INH. Ekspresi katG juga dapat di up
regulated di bawah kondisi tekanan oksidatif. Up
regulation adalah regulasi ekspresi gen dimana jumlah
atau aktivitas reseptor meningkat dalam rangka
meningkatkan sensitivitas.
Awalnya, resistensi akibat mutasi pada
promoter gen ahpC ini diajukan sebagai marker atau
penanda resistensi isoniazid (Rinder dkk., 1998). Saat
ini pemahaman lebih lanjut mengungkapkan bahwa
mutasi pada promoter ahpC merupakan perubahan
penyeimbang atas kehilangan aktivitas
katalase/peroksidase daripada sebagai penyebab
resistensi isoniazid (Sherman dkk., 1996). Hal ini
disebabkan karena peningkatan aktivitas ahpC dapat
mengkompensasi kehilangan aktivitas katG untuk
detoksifikasi peroksida organik. Oleh karena itu,
ekspresi berlebih dari ahpC tidak menyebabkan
resistensi terhadap isoniazid (Heyn dkk., 1997).

160 | B u k u A n t i - t u b e r k u l o s i s
B.1.1.d kasA
Terdapat banyak perdebatan mengenai peran
kasA sebagai target memungkinkan untuk resistensi
INH (Sheman dkk., 1996). Gen ini mengkode suatu β-
ketoacyl-ACP synthase yang terlibat dalam sintesis
asam mikolat. Mutasi gen ini menyebabkan resistensi
INH tingkat rendah (KHM < 1µg/mL). Analisis
genotip terhadap gen kasA mengungkapkan 4
subtitusi berbeda dari asam amino di ujunh karboksil
melibatkan kodon 66 (GAT-AAT), kodon 269 (GGT-
AGT), kodon 312 (GGC-AGC) dan kodon 413 (TTC-
TTA) (Ramaswamy dan Musser, 1998; Mdluli dkk.,
1998). Subtitusi ini mungkin mengubah interaksi
protein-protein. Mutasi serupa juga ditemukan pada
isolat rentan INH (Lee dkk., 1999; Piatek dkk., 2000).
Oleh karena itu, kemungkinan kasA membentuk
mekanisme resistensi baru seharunya tidak diacuhkan
(Johnson dkk., 2005).
B.1.1.e ndh
Gen ini mengkode NADH dehidrogenase
yang terikat ke sisi aktif inhA untuk pembentukkan
kompleks terner sebagai pengaktivasi INH. Aktivasi
INH terjadi melalui proses oksidasi NADH ke bentuk
NAD+ oleh NADH dehidrogenase. Studi struktural
menunjukkan bahwa bentuk reaktif INH menyerang
NAD(H) ko-faktor sehingga terbentuk INH-NAD
kovalen adduct. INH-NAD adduct ini terikat pada
enoil-asil carrier protein (ACP) reductase (inhA)

161 | B u k u A n t i - t u b e r k u l o s i s
yang merupakan suatu NADH-dependent dari M.
tuberculosis sebagai target isoniazid (Mahaprata dkk.,
2012; Banerjee dkk., 1994).
Beberapa studi mengusulkan bahwa ndh
penting untuk pertumbuhan M. tuberculosis. Mutasi
gen ndh pada M. smegmatis menyebabkan efek
pleiotropik yaitu, sensitivitas temperatur, auksotropi
(ketidakmampuan organisme untuk mensintesis
komponen organik tertentu yang penting untuk
pertumbuhan) asam amino dan resistensi pada INH,
analognya dan etionamid. Mutan ndh memiliki
kelainan aktivitas enzimatik NADH dehidrogenase.
Akibatnya, aktivitas oksidasi NADH ke NAD
menurun sehingga terjadi perubahan rasio
NADH/NAD di dalam sel bakteri yaitu berupa
akumulasi NADH dan kekurangan NAD (Lee dkk.,
2001). Tingginya kadar NADH memicu terjadinya
penghambatan ikatan INH-NAD adduct ke sisi aktif
enzim inhA dengan beraksi sebagai inhibitor
kompetitif. Kemudian resistensi INH terjadi
(Rozwarski dkk., 1998; Miesel dkk., 1998).
Peningkatan kadar NADH juga bertanggung jawab
pada resistensi tinggi terhadap ETH dengan
menghambat secara kompetitif ikatan ETH-NAD
adduct ke NADH-dependent enoil-ACP reductase
inhA.
Ko-resistensi adalah kemunculan resistensi
terhadap lebih dari satu kelas antibiotik pada strain

162 | B u k u A n t i - t u b e r k u l o s i s
bateri yang sama. Ko-resistensi isoniazid dan
etionamid telah dibuktikan terjadi akibat mutasi pada
ndh di M. smegmatis dan M. bovis BCG. Mutasi poin
utama gen ndh terjadi pada kodon 110 dan 268
(T110A dan R268H) dan terdeteksi pada 9,5% sampel
resisten INH. Mutasi serupa ini tidak terdeteksi pada
kelompok rentan INH (Lee dkk., 2001).
Penemuan menarik terbaru menunjukkan
bahwa isomer 4R dari isoniazid-NADP adduct
menyebabkan penghambatan dihidrofolat reduktase
(DfrA) pada M. tuberculosis. Adanya mutasi pada
DfrA mungkin dapat berkontribusi pada kasus
resistensi isoniazid (Argyrou dkk., 2006). Lebih
lanjut, analisis proteome (identifikasi dan kuantifikasi
sistematik suatu komplemen protein atau proteome
dari suatu sistem biologi pada titik waktu spesifik) dari
target INH di M. tuberculosis mengidentifikasi 16
protein lain sebagai tambahan pada inhA dan dfrA
yang terikat oleh adduct dengan afinitas tinggi.
Namun, dua studi baru telah gagal untuk
mengidentifikasi mutasi di dfrA terkait resistensi INH
(Ho dkk., 2009; Wang dkk., 2010).
B.1.2 Pirazinamid
Pirazinamid juga merupakan suatu prodrug yang perlu
diaktivasi ke bentuk aktifnya, yaitu asam pirazinoat oleh enzim
pirazinamidase atau nikotinamidase yang dikode oleh gen
pncA (Konno dkk., 1967; Scorpio dkk., 1996). Pirazinamid
membunuh tubercle bacilli semi-dormant di bawah kondisi

163 | B u k u A n t i - t u b e r k u l o s i s
asam. Hipotesis menyebutkan bahwa pada lingkungan asam
dari fagolisosom, tubercle bacilli memproduksi pirazinamidase
untuk mengaktivasi PZA (Cynnamon dan Klemens, 1992).
Selaras dengan hipotesis ini, isolate M. tuberculosis resisten
PZA mengalami kehilangan aktivitas pirazinamid (Butler dan
Kilburn, 1983; McClatchy Dkk., 1981).
Scorpio dkk. (1997) mengkloning dan
mengkarakterisasi gen M. tuberculosis (pncA) sebagai
pengkode pirazinamidase untuk memahami mekanisme
molekuler resistensi. Analisis sekuens mengungkapkan bahwa
pncA mengkode suatu protein dengan 186 asam amino dimana
35,5% identik dengan nikotinamidase (pirazinamidase) E. coli
(Jerlstrom dkk., 1989). Pengurutan DNA dari 4 isolat klinis
resisten PZA mengidentifikasi mutasi missense di kodon 63,
138 dan 141 pada ke-3 organisme dan penghilangan nukleotida
162 pada isolate ke 162, suatu perubahan yang menyebabkan
produksi polipeptida terpotong (Scorpio dkk., 1996). Ke empat
strain tersebut kekurangan aktivitas pirazinamidase dan
memiliki KHM > 500 µg/ml. Sebaliknya, organisme sensitif
memiliki sekuen identik dengan wild-type. Perubahan gen
pncA wild-type menjadi suatu mutan resisten PZA diturunkan
dari H37Rv yang dikembalikan aktivitas pirazinamidase dan
kerentanan PZA. Hasilnya memberikan bukti genetik
molekuler kuat dan bukti biokimia bahwa mutasi pncA
menyebabkan resistensi PZA (Ramaswamy dan Musser, 1998).
Sreevastan dkk. (1997) mengurutkan gen pncA pada
67 isolat klinis M. tuberculosis resisten PZA dan 51 isolat
sensitif PZA untuk menambah pengetahuan tentang peran

164 | B u k u A n t i - t u b e r k u l o s i s
mutasi pncA pada resistensi pirazinamid. Isolat tersebut berasal
dari berbagai lokasi geografis berbeda dengan keanekaragaman
subtipe IS6110. Uji kepekaan PZA dilakukan dengan BACTEC
(metode radiometrik untuk penegakkan diagnosis dan uji
kepekaan kuman TB) atau metode lain yang sebanding. Semua
isolat sensitif PZA memiliki alel pncA sama sedangkan 72%
dari isolate resisten INH memiliki mutasi pncA. Terdapat total
17 mutasi tidak terjelaskan sebelumnya meliputi perubahan
missense, mutasi hulu upstream regulatori, penyisipan (insersi)
dan pemotongan (delesi) nukleotida dan mutasi terminal
(gambar 62). Kurang lebih 40% subtitusi asam amino berbeda
terlibat pada penggantian dengan suatu residu prolin.
Walaupun signifikansi penelitian ini tidak jelas, peneliti
mencatat bahwa jika perubahan ini terjadi pada daerah alfa
heliks maka struktur protein mungkin berubah. Perubahan ini
mungkin memberikan pengaruh merugikan pada aktivitas
pirazinamidase (Ramaswamy dan Musser, 1998).

165 | B u k u A n t i - t u b e r k u l o s i s
Mutasi missense
Pemotongan
Penyisipan
Mutasi terminasi

Gambar 62. Representasi skematik polimorfi pada pncA dari M.


tuberculosis resisten PZA. Mutasi yang dilaporkan sebelumnya juga
disertakan. Huruf tunggal adalah asam amino: A: alanine,C: sistein, D: asam
aspartate, F: fenilalanin, G: glisin, H: Histidin, I: isoleusin, K: lisin, L:
leusin, M: metionin, N: asparagin, P: prolin, Q: glutamin, R: arginine,
S:serin, T: threonine, V: valin, W: triptofan, Y: tirosin (Ramaswamy dan
Musser, 1998).

Hasil serupa dilaporkan oleh Scorpio dkk. (1997).


Scorpio dkk. (1997) mengurutkan pncA pada 34 isolat klinis
resisten pirazinamid dan menemukan bahwa 33 organisme
memiliki 16 mutasi berbeda. Kebanyakan mutasi tersebut
sebelumnya belum dijelaskan. Subtitusi nukleotida,
penyisipan/insersi dan delesi atau pemotongan teridentifikasi
dan perubahan sekuens ini tersebar sepanjang gen pncA. Studi
uji in vitro menghasilkan mutan yang kehilangan aktivitas
pirazinamidase dan resistensi obat tingkat tinggi (KHM > 900

166 | B u k u A n t i - t u b e r k u l o s i s
µg/mL). Analisis sekuens di 14 laboratorium menghasilkan
strain resisten yang mengalami subtitusi nukleotida, penyisipan
dan delesi di 8 organisme. Hal ini mengindikasikan bahwa
banyak mutan ini memiliki mekanisme resistensi pirazinamid
yang sama. Hirano dkk. (1998) melaporkan bahwa 32 dari 33
strain resisten PZA yang dikultur dari pasien dari 9 negara
memiliki mutasi pncA, sedangkan strain sensitif PZA tidak
mengalami perubahan di gen ini.
Hingga saat ini, tidak ada mutan target spesifik yang
telah diisolasi. Mutasi resisten PZA biasanya ditemukan pada
enzim PZAase (Davies dkk., 2000). Mutasi jarang terlokasi
akan tetapi menyebar di seluruh gen. Namun, terdapat 3 daerah
dimana mutasi berkumpul di sekeliling asam amino 3-71, 61-
85, dan 132-142 (Scorpio dkk., 1997).
Suatu struktur kristal PZAase sekarang tersedia dari
Pyrococcus horikoshii. Walaupun bakteri tersebut hanya
berbagi 37% identitas dengan enzim M. tuberculosis, hal ini
dapat membantu pemahaman mutasi PZAase pada M.
tuberculosis (Du dkk., 2001). Kešetovič (2016) menyebutkan
bahwa mutan yang kekurangan aktivitas
nikotinamidase/PZAase akan mengalami resistensi terhadap
pirazinamid.
Isolat resisten PZA tanpa mutasi pncA juga telah
diteliti. Hal ini menambah pengetahuan baru bahwa mekanisme
lain mungkin terlibat kasus resistensi PZA. Selain itu, tidak
semua mutasi berhubungan dengan resistensi PZA.
Kompleksitas resistensi PZA membuat pengembangan metode

167 | B u k u A n t i - t u b e r k u l o s i s
molekuler untuk diagnosis cepat sulit dilaksanakan (Johnson
dkk., 2005).

B.1.3 Rifampisin

RNA polymerase tersusun atas 4 subunit berbeda (α,


β, β’ dan σ) dan dikode oleh gen rpoA, rpoB, rpoC dan rpoD.
Studi luas pada gen rpoB pada isolate M. tuberculosis resisten
RIF mengidentifiksi berbagai mutasi dan penghapusan atau
delesi pendek di gen rpoB. Terdapat total 69 perubahan
nukleotida tunggal, 3 penyisipan/insersi, 16 delesi dan 38
perubahan nukleotida ganda yang dilaporkan (Herrera dkk.,
2003). Kebanyakan isolat klinis resisten rifampisin mengalami
mutasi pada gen rpoB sehingga terjadi penurunan afinitas
terhadap obat sehingga resistensi berkembang (Telenti dkk.,
1993).
Sekitar 96% isolat M. tuberculosis resisten terhadap
rifampisin. Penyebabnya adalah mutasi pada daerah yang
disebut “hot-spot region” dari daerah inti 81-bp (rifampicin
resistance-determining region atau RRDR) dari rentang kodon
507-533 gen rpoB (Ramaswamy dan Musser, 1998). Mutasi
tersebut mengubah struktur primer rpoB. Mutasi missense di
kodon 513, 526 dan 531 adalah mutasi yang paling umum
berhubungan dengan resistensi rifampisin (Somoskovi dkk.,
2001; Caws dkk., 2006). Mutasi pada kodon tersebut
menghasilkan resistensi tingkat tinggi terhadap rifampisin,
sedangkan perubahan asam amino di posisi 514 atau 533
biasanya menghasilkan resistensi RIF tingkat rendah. Secara
spesifik, perubahan asam amino pada posisi 526 dan 531
menyebabkan resistensi tingkat tinggi terhadap rifampin,
168 | B u k u A n t i - t u b e r k u l o s i s
rifabutin dan rifapentin. Mutasi di luar “hot spot region” rpoB
telah dilaporkan walaupun lebih jarang terjadi (Heep dkk.,
2000; Siu dkk., 2011). Resistensi silang dengan rifamisin lain
juga dapat terjadi. Mutasi pada beberapa kodon (contohnya 518
atau 529) diketahui sebagai penyebab resistensi tingkat rendah
terhadap rifampisin namun masih sensitif terhadap rifamisin
lainnya seperti rifabutin atau rifalazil (Yang dkk., 1998;
Cavusoglu dkk., 2004). Hal ini penting untuk pasien TB yang
membutuhkan terapi antiretroviral karena rifabutin inducer
kurang efektif terhadap enzim oksidatif sitokrom P450 CYP3A
(Burman dkk., 2001). Mono resisten INH merupakan hal
umum, namun mono resistensi rifampisin sangat jarang.
Monoresisten adalah resistensi terhadap 1 obat lini pertama saja
(WHO, 2016). Hampir semua strain resisten rifampisin juga
resisten obat lain, khusunya isoniazid. Hal ini adalah alasan
mengapa resistensi rifampisin dianggap sebagai surrogate
marker (suatu pengukuran laboratorium atau tanda fisik
digunakan pada percobaan terapetik sebagai pengganti
endpoint klinis bermakna yang berfungsi sebagai ukuran
langsung tentang bagaimana pasien merasa, berfungsi atau
bertahan dan diharapkan dapat memprediksi efek terapi) untuk
MDR-TB (Somoskovi dkk., 2001; Traore dkk., 2000).
Studi pengurutan genom akhir-akhir ini telah
mengungkapkan terjadinya mutasi compensatory (mutasi yang
mengkoreksi kehilangan kenyamanan akibat mutasi
sebelumnya) di rpoA dan rpoC sebagai pengkode α dan β’
subunit dari RNA polymerase pada strain resisten rifampisin
dengan mutasi di gen rpoB (Comas dkk., 2011). Mutasi ini akan

169 | B u k u A n t i - t u b e r k u l o s i s
bertanggung jawab untuk pemulihan atau perbaikan
kenyamanan strain ini secara in vivo (Brandis dan Hughes,
2013; De Vos dkk., 2013).

B.1.4 Rifapentin dan Rifabutin


Kebanyakan mutasi M. tuberculosis klinis
menghasilkan resistensi terhadap rifapentin (RIFAP) dan
KRM-1648 (RIFAL) terjadi di gen rpoB, umumnya terbatas
pada rif-resistance determining region (RRDR), yaitu suatu
daerah pada residual asam amino 507-533 (81 bp) di gen rpoB
(Mboowa dkk., 2014). Beberapa mutasi menyebabkan
resistensi terhadap semua analog rifampisin sedangkan lainnya
ditemukan spesifik terhadap RIF dan RIFAP. Namun tidak
spesifik terhadap RIFAL atau rifabutin (RIFAB) (Williams
dkk., 1998). Sejumlah publikasi tentang mutasi ini dapat
ditemukan (Williams dkk., 1998; Yang dkk., 1998; Saribas
dkk., 2003). Kebanyakan penulis menyetujui bahwa kedua
posisi dan tipe substitusi berperan penting dalam sensitifitas
terhadap rifampisin. Sebagai aturan umum, mutasi pada kodon
511 dan 516 menghasilkan resistensi terhadap RIF dan RIFAP,
namun menghasilkan sensitifitas terhadap RIFAL dan RIFAB.
Sementara itu, mutasi pada kodon 531 menghasilkan resistensi
tingkat tinggi terhadap semua analog rifampisin. Sedikit mutasi
resisten rifampisin ditemukan di luar RDR. Pada Escherichia
coli terdapat beberapa titik mutasi di luar daerah inti rpoB.
Mutasi tersebut menyebabkan resistensi terhadap rifampisin.
Hal tersebut mungkin terjadi pada M. tuberculosis. Belum ada
mutasi M. tuberculosis resisten RIF yang dipetakan, namun
mutasi di luar rpoB atau perubahan pada transporter obat atau
170 | B u k u A n t i - t u b e r k u l o s i s
permeabilitas membran dicurigai pada kasus ini (Yang dkk.,
1998).

B.1.5 Etambutol
Telenti dkk. (1997) mengidentifikasi 3 gen yang
membentuk operon emb dari M. tuberculosis. Operon adalah
sekelompok gen yang diapit secara bersamaan oleh sepasang
terminator dan promotor. Operon emb terdiri dari 3 gen
berdekatan yaitu embC, embA dan embB yang menunjukkan
kemiripan satu sama lain sebesar 65% dan berfungsi untuk
mengkode enzim arabinosil transferase.
Mekanisme resistensi etambutol diketahui terkait
dengan adanya mutasi pada gen embB. Mutasi pada embB
kodon 306 (embB306) menjadi yang paling umum pada
kebanyakan penelitian (Telenti dkk., 1997; Sreevatsan dkk.,
1997). Berbagai penelitian telah mengidentifikasi adanya 5
mutasi pada kodon 306 (ATG), yaitu ATGGTG/CTG/ATA,
ATC dan ATT (gambar 63). Akibatnya metionin (ATG) diganti
oleh valin, leusin atau isoleusin (Lee dkk., 2002; Sreevastan
dkk., 1997; Mokrousov dkk., 2002, Ramaswamy dan Musser,
1998). Ke 5 mutasi ini terkait dengan 70-90% dari semua isolat
resisten etambutol (Ramaswamy dan Musser, 1998). Mutasi di
embB306 menyebabkan resistensi etambutol pada berbagai
tingkat namun tidak menyebabkan resistensi tingkat tinggi
etambutol.
Mutasi di luar kodon 306 ada namun sangat sedikit.
Mutasi missense teridentifikasi pada 3 kodon tambahan isolat
resisten etambutol, yaitu berupa Phe285Leu, Phe330Val dan
Thr630lle. Mutasi missense pada kodon 285 adalah berupa
171 | B u k u A n t i - t u b e r k u l o s i s
mutasi TTC menjadi TTA sehingga menyebabkan perubahan
asam amino fenilalanin ke asam amino leusin. Mutasi pada
kodon 330 adalah berupa mutasi TTC menjadi GTC sehingga
terjadi perubahan asam amino fenilalanin ke asam amino valin.
Sementara itu, mutasi missense pada kodon 630 mengakibatkan
mutasi ACC menjadi ATC yang menghasilkan perubahan asam
amino threonin ke asam amino isoleusin. Kadar hambat
minimum umumnya lebih tinggi (≥40 µg/mL) pada strain
dengan subtitusi Met306Leu, Met306Val, Phe330Val dan
Thr630lle daripada organisme dengan subtitusi Met306lle (20
µg/mL) (Johnson dkk., 2005). Data ini sejalan dengan
anggapan bahwa subtitusi asam amino spesifik di embB akan
mempengaruhi interaksi antara etambutol dan embB
(Ramaswamy dan Musser, 1998).
Beberapa penelitian juga menemukan adanya mutasi
di posisi embB306 pada isolat sensitif etambutol. Bahkan,
penelitian dengan jumlah isolat M. tuberculosis yang lebih
banyak menemukan bahwa mutasi pada embB306 tidak selalu
terkait dengan resistensi etambutol tetapi terkait
kecenderungan untuk mengembangkan resistensi terhadap
peningkatan jumlah obat-obatan (Hazbón dkk., 2005).
Penelitian pertukaran alel telah mengungkapkan bahwa mutasi
individu menyebabkan subtitusi asam amino tertentu yang
menghasilkan resistensi etambutol, sedangkan subtitusi asam
amino lainnya sedikit atau tidak berpengaruh pada resistensi
etambutol (Safi dkk., 2008). Terdapat sekitar 30% strain
resisten etambutol yang tidak menunjukkan adanya mutasi di
embB. Hal ini menekankan perlunya identifikasi mekanisme

172 | B u k u A n t i - t u b e r k u l o s i s
lain yang mungkin bertanggung jawab pada kasus resistensi
obat ini (Palomino dan Martin, 2014).

Gambar 63. Gambaran skematik polimorfisme pada embB pada


kodon 306 di M. tuberculosis resisten etambutol. Kromatogram DNA
sequencing menunjukkan wild-type dan 5 mutan embB di kodon 306. Kodon
wild-type dari isolat sensitif etambutol adalah ATG (Metionin) dan kodon 5
mutan strain resisten etambutol adalah GTG, valin; CTG, leusin; ATA,
isoleusin; ATT, isoleusin dan ATC, isoleusin. embB diduga suatu protein
transmembrane pada pemodelan dengan komputer. Gambar ini sangatlah
skematik. Lokasi seksama dari asam amino 306 relatif terhadap membrane
tidak diketahui (Ramaswamy dan Musser, 1998).

B. 1.6 Streptomisin
Mutasi di gen rpsL dan rrs adalah mekanisme utama
resistensi terhadap streptomisin namun hanya ditemukan pada
173 | B u k u A n t i - t u b e r k u l o s i s
60-70% strain resisten (Gillespie, 2002). Sisanya, strain
resisten streptomisin tidak mengalami mutasi di kedua gen
tersebut. Hal ini berarti terdapat kemungkinan mekanisme
resistensi tambahan.
Kebanyakan mutasi titik penghasil organisme resisten
streptomisin terjadi pada gen rpsL. Mutasi paling umum adalah
perubahan AAGAGG di kodon 43 gen rpsL sehingga terjadi
perubahan asam amino lisin menjadi arginine. Mutasi yang
lebih jarang terjadi pada kodon 43 adalah perubahan
AAGACG dimana lisin diganti threonine. Mutasi juga
terjadi pada kodon 88. Mutasi ini menghasilkan perubahan lisin
menjadi arginin (AAGAGG) atau lisin menjadi glutamin
(AAGCAG). Sementara itu, mutasi titik gen rrs paling
banyak terjadi di sekitar nukleotida 530 dan 915. Analisis
KHM pada isolate resisten streptomisin mengindikasikan
bahwa penggantian asam amino pada gen rpsL terkait dengan
terjadinya resistensi streptomisin tingkat tinggi (KHM >500
µg/mL) sedangkan mutasi di gen rrs terkait dengan terjadinya
resistensi tingkat sedang dimana KHM <250 µg/mL (Cooksey
dkk., 1996; Meier dkk., 1996). Sementara itu, resistensi
streptomisin tingkat rendah (KHM < 50 µg/Ml) diperkirakan
terjadi akibat perubahan permeabilitas sel atau mutasi di luar
gen rrs dan rpsL (Johnson dkk., 2005). Mutasi di gidB, suatu
gen pengkode 7-methylguanosine methyltransferase spesifik
untuk 16S rRNA, menyebabkan resistensi streptomisin tingkat
rendah (Okamoto dkk., 2007; Spies dkk., 2008).

174 | B u k u A n t i - t u b e r k u l o s i s
B.2 Obat lini kedua
B.2.1 Aminoglikosida (kanamisin dan amikasin)
Mutasi obat ini relatif jarang terjadi pada isolate klinis.
Hal ini mungkin disebabkan karena obat ini relatif jarang
digunakan pada terapi TB. Seperti pada kasus fluoroquinolone,
kebanyakan organisme resisten obat ini juga resisten terhadap
beberapa obat lini pertama (Ramaswamy dan Musser, 1998).
Mutasi paling umum ditemukan terjadi pada gen rrs
(pengkode 16S rRNA) pada kodon 1400 dan 1401. Mutasi ini
menyebabkan resistensi kanamisin dan amikasin tingkat tinggi.
Walaupun demikian, mutasi pada kodon 1483 juga telah
dilaporkan (Alangaden dkk., 1998; Suzuki dkk., 1998).
Perubahan pada 16rRNA M. tuberculosis dapat mengakibatkan
resistensi silang dengan anggota lain dari kelas aminoglikosida.
Namun resistensi ini tidak bersifat penuh. Contohnya,
kanamisin, amikasin dan kapreomisin (CAP) masih
menunjukkan efikasi secara in vitro ketika streptomisin
mengalami resistensi. Beberapa penelitian telah menunjukan
berbagai tingkat dan pola resistensi. Hal ini mempertegas
adanya kemungkinan mekanisme resistensi lainnya (Krüüner
dkk., 2003). Resistensi tingkat rendah terhadap kanamisin
terjadi akibat adanya mutasi di daerah promoter gen EIS yang
berfungsi sebagai pengkode aminoglikosida asetiltransferase
(Zaunbrecher dkk., 2009). Mutasi pada posisi -10 dan -35
promoter EIS memicu ekspresi protein secara berlebih dan
resistensi tingkat kanamisin tingkat rendah namun tidak terjadi
resistensi terhadap amikasin. Mutasi jenis ini ditemukan pada

175 | B u k u A n t i - t u b e r k u l o s i s
80% isolat klinis resisten kanamisin tingkat rendah
(Zaunbrecher dkk., 2009; Campbell dkk., 2011).
B.2.2 Polipeptida (Viomisin dan kapreomisin)
Resistensi viomisin pada M. smegmatis disebabkan
oleh perubahan pada subunit 30S atau 50S ribosomal. Mutasi
pada gen rrs sebagai pengkode 16S rRNA dikaitkan dengan
resistensi viomisin dan kapreomisin, khususnya perubahan
nukleotida GA atau GT pada kodon 1473 (Taniguchi dkk.,
1997). Mutasi pada gen tylA juga telah dikaitkan dengan
terjadinya resistensi viomisin dan kapreomisin. TylA adalah
suatu rRNA metiltransferase khusus untuk 2’-O-methylation
dari ribose Rrna. Mutasi gen ini menyebabkan hilangnya
aktivitas metilasi. Walaupun beberapa penelitian tidak
menemukan keterkaitan ini, suatu meta-analysis terbaru yang
mengevaluasi mutasi genetik dan resistensi obat lini kedua,
telah mengkonfirmasi adanya mutasi tylA sebagai tambahan
mutasi pada rrs dan eis (Georghiou dkk., 2012). Banyak bakteri
kekurangan tylA dan menjadi resisten secara alami terhadap
kapreomisin melalui mekanisme ini (Johansen dkk., 2006).
Resistensi silang dengan streptomisin juga mungkin
terjadi. Namun, resistensi ini tidak selalu sempurna. Ketika
resistensi terhadap streptomisin terjadi, kanamisin, amikasin
dan kapreomisin masih efektif secara in vitro. Kapreomisin
masih menunjukkan efikasi in vitro terhadap beberapa strain
resisten streptomisin, amikasin dan kanamisin. Tidak ada
kontaminasi silang antara kapreomisin dan isoniazid, asam
aminosalisilat, sikloserin, etionamid atau etambutol (Ho dkk.,
1997).

176 | B u k u A n t i - t u b e r k u l o s i s
B.2.3 Fluorokuinolon
Mekanisme utama penyebab munculnya resistensi
fluoroquinolone pada M. tuberculosis adalah terjadinya mutasi
kromosom di quinolone resistance determining region
(QRDR) dari gen gyrA atau gyrB. Quinolone resistance
determining region adalah suatu daerah terlindung di gen gyrA
(320 bp) dan gen gyrB (375 bp) yang merupakan titik interaksi
antara fluorokuinolon dan gyrase (Ginsburg dkk., 2003).
Mutasi paling sering ditemukan pada kodon 90 dan 94 gen
gyrA. Selain itu, mutasi juga dilaporkan terjadi pada kodon 74,
88 dan 91 (Cheng dkk., 2004; Sun dkk., 2008).
Penemuan menarik pada M. tuberculosis adalah
adanya polimorfisme alami di kodon 95 gen gyrA yang tidak
terkait dengan resistensi karena polimorfisme ini juga
ditemukan di strain sensitif fluoroquinolon (Musser, 1995).
Penemuan lainya melaporkan mutasi T80A dan A90G yang
muncul bersamaan di gyrA dapat memicu hipersensitivitas
terhadap beberapa quinolone (Aubry dkk., 2006). Penemuan ini
menegaskan bahwa masalah resistensi fluoroquinolone pada
M. tuberculosis mungkin lebih kompleks dari yang dipikirkan
pada awalnya.
Resistensi silang di antara fluoroquinolone adalah
suatu kasus umum. Isolat klinis M. tuberculosis resisten
fluoroquinolon biasanya juga resisten terhadap rifampisin dan
1 atau lebih obat lini pertama karena fluoroquinolone sering
digunakan untuk terapi MDR-TB (Cambau dkk., 1994). Selain
mutasi pada QRDR, mutasi di daerah lain pada gen gyrA
ataupun gyrB juga merupakan mekanisme potensial yang dapat

177 | B u k u A n t i - t u b e r k u l o s i s
mengakibatkan resistensi melalui penurunan permeabilitas
obat dan efflux aktif obat (Ramaswamy dan Musser, 1998).
B.2.4 Etionamid
Resistensi etionamid terjadi akibat adanya mutasi
pada etaA/ethA, ethR dan mutasi di gen inhA. Mutasi pada gen
inhA adalah penyebab resistensi etionamid dan isoniazid
(Morlock dkk., 2003). Perubahan gen inhA memicu penurunan
aktivitas EthA sehingga terjadi resistensi etionamid
(Engohang-Ndong dkk., 2004; Morlock dkk., 2003).
B.2.5 D-sikloserin
Walaupun target nyata sikloserin pada M. tuberculosis
belum dielusidasi sepenuhnya, pada penelitian sebelumnya
diketahui bahwa M. smegmatis mengalami ekspresi Alr
berlebih sebagai pemicu resistensi sikloserin (Cáceres DKK.,
1997). Ekspresi berlebih ini dapat disebabkan adanya transversi
(pergantian basa nitrogen yang tidak sejenis) A G  T pada
promoter Alr (Feng dan Barletta, 2003; Ramaswamy dan
Musser, 1998). Ekspresi berlebih ini juga diperkirakan sebagai
mekanisme resistensi D-sikloserin yang potensial pada isolate
M. tuberculosis manusia. Mutasi titik pada cycA sebagai gen
pengkode transporter D-alanin sebagian juga bertanggung
jawab terhadap resistensi sikloserin pada M. bovis BCG (Chen
dkk., 2012).
B.2.6 Asam para amino salisilat
Penelitian dengan mutagenesis transposon
mengidentifikasi mutasi pada gen thymidylate synthase (thyA)
sebagai penyebab resistensi PAS. Akibat mutasi tersebut
aktivitas enzim thymydilat sintase menjadi berkurang

178 | B u k u A n t i - t u b e r k u l o s i s
(Rengarajan dkk., 2004). Namun, hanya terdapat kurang dari
40% strain resisten PAS yang memiliki mutasi pada thyA. Hal
ini mengindikasikan bahwa masih ada mekanisme resistensi
lainnya yang mungkin terjadi (Mathys dkk., 2009). Suatu
penelitian lain menemukan adanya beberapa mutasi missense
pada folC yang mengkode dihidrofolat sintase. Mutasi ini juga
menyebabkan resistensi PAS pada isolate M. tuberculosis
laboratorium (Zhao dkk., 2014).

B.3 Obat lini ketiga


B.3.1 Linezolid

Resistensi linezolid pada M. tuberculosis sangat


jarang terjadi. Penelitian pada 210 strain MDR-TB menemukan
bahwa hanya 1,9% strain mengalami resistensi obat ini (Richter
dkk., 2007). Analisis in vitro terhadap mutan resisten linezolid
menemukan bahwa strain dengan mutasi pada 23S rRNA
memiliki KHM sebesar 16-32 µg/mL. Sementara itu, strain
dengan KHM 4-8 µg/ml atau strain sensitif tidak mengalami
mutasi (Hillemann dkk., 2008). Penelitian juga menemukan
mutasi pada T460C di gen rplC yang mengkode 50% ribosomal
L3 protein pada mutan in vitro dan isolate klinis M.
tuberculosis resisten linezolid (Beckert dkk., 2012).
B.3.2 Clofazimin
Resistensi clofazimin belum dikarakterisasi
sepenuhnya. Mutasi spontan pada strain H37Rv pembanding
telah ditemukan terjadi pada regulator transkripsi Rv0678.
Mutasi tersebut menyebabkan upregulation MmpL5, suatu
multisubstrate efflux pump yang tidak hanya menyebabkan

179 | B u k u A n t i - t u b e r k u l o s i s
resistensi terhadap clofazimin tetapi juga terhadap bedaquilin
(Hartkoorn dkk., 2014).

C. Penyebab TB Resisten Obat


Resisten terhadap obat anti-TB dapat terjadi karena salah
menggunakan atau salah mengelola obat. Tindakan tersebut contohnya
yaitu:
1. Pasien tidak menyelesaikan pengobatan sesuai saran
2. Petugas kesehatan memberikan pengobatan yang tidak tepat baik dalam
hal dosis ataupun lama terapi
3. Obat untuk terapi yang sesuai tidak tersedia
4. Rendahnya kualitas obat
TB resisten obat lebih sering terjadi pada pasien yang tidak menggunakan
obat secara teratur, tidak meminum semua obatnya, kembali mengidap
penyakit TB setelah terapi dan pulang dari negara dengan prevalensi TB
resisten obat yang tinggi.

D. Pencegahan TB Resisten Obat


Usaha terpenting untuk mencegah penyebaran TB resisten obat
adalah dengan menggunakan semua obat sesuai saran petugas kesehatan
(dokter atau apoteker). Semua obat harus diminum sesuai jadwal dan
instruksi, tidak boleh ada dosis terlewat maupun pengehentian
pengobatan lebih awal. Selain itu, pasien penerima pengobatan TB harus
memberitahu dokter jika mereka mengalami kesulitan dalam meminum
obat atau adanya efek samping yang dialami.
Penyedia layanan kesehatan dapat membantu pencegahan TB
resisten obat dengan berbagai cara. Petugas dapat melakukan diagnosa
kasus secara dini, pemberian pedoman pengobatan, pemantauan respon

180 | B u k u A n t i - t u b e r k u l o s i s
pasien terhadap pengobatan dan pemastian selesainya terapi. Cara lain
untuk mencegah TB resisten adalah menghindari paparan dengan pasien
TB resisten obat di tempat-tempat tertutup atau penuh sesak seperti
rumah sakit, penjara, atau tempat penampungan tunawisma. Orang-orang
yang bekerja di rumah sakit atau fasilitas pelayanan kesehatan dimana
pasien TB datang hampir setiap hari maka sebaiknya berkonsultasi terkait
pengendalian infeksi dan kesehatan kerja.

181 | B u k u A n t i - t u b e r k u l o s i s
BAB V
KANDIDAT TANAMAN INDONESIA SEBAGAI OBAT
TUBERKULOSIS

Ada 7 jenis ekstrak dari tiga group skrining yang diteliti oleh tim kerja
kami dan semuanya ekstrak etil asetat tanaman Indonesia serta sudah positif
uji aktifitas antituberkulosis di laboratorium mikrobiologi fakulatas
kedokteran UGM. Kami dalam buku ini baru bisa menampilkan gambar
gambar uji aktivitas dan belum bias memperlihatkan nama nama tanamannya
karena group pertama masih dalam proses proyek dengan TB-Alliance, dan
group ke dua masih dalam proses proyek dengan universitas Wuerzburg serta
baru dikerjakan oleh mahasiswa pascasrjana Farmasi, UGM. Sedangkan group
ke tiga masih diteliti secara kromatografi lapis tipis dan KLT preparative oleh
dua mahasiswa untuk skripsinya.
A. Metodologi Uji Aktivitas Anti Tuberculosis
A.1 Ekstrak etil asetat
Serbuk simplisia diekstraksi dengan menggunakan metode
maserasi. Maserasi bertujuan untuk menarik zat-zat berkhasiat yang
tahan pemanasan maupun tidak tahan pemanasan. Ekstraksi maserasi
dalam penelitian ini menggunakan pelarut etil asetat, karena sifatnya
yang semi-polar dan tidak beracun.
Sebanyak 1,5 kg serbuk simplisia direndam dengan 6 L pelarut
etil asetat, perbandingan 1 bagian serbuk simplisia disari dalam 4
bagian pelarut (1:4) dan didiamkan selama 24 jam untuk disaring
keesokan harinya. Hasil maserasi disaring dengan kain kemudian
dienapkan semalam untuk mengendapkan filtrat yang lolos dalam
saringan pertama. Keesokan harinya disaring kembali dengan kertas
saring untuk memastikan bahwa semua tersaring sempurna.

182 | B u k u A n t i - t u b e r k u l o s i s
Penyaringan menggunakan corong Buchner dengan penyedot udara
melalui pompa vakum sehingga filtrat terpisah dari residu dengan baik.
Serbuk kemudian diremaserasi dengan pelarut dan jumlah pelarut yang
sama. Tujuan remaserasi adalah untuk memperbesar rendemen yang
didapat. Selama proses maserasi, dilakukan pengadukan sesekali.
Pengadukan dapat mempercepat proses maserasi karena mencegah
penjenuhan cairan penyari ke dalam bahan dan difusi zat aktif dari
dalam bahan berjalan lebih efektif. Filtrat sari etil asetat diuapkan
dengan bantuan penangas air hingga didapat ekstrak kental. Kemudian
rendemen masing-masing simplisia dihitung.
A.2 Sterilisasi
Sterilisasi dilakukan pada alat, bahan, dan ruang kerja biosafety
cabinet. Untuk mensterilkan alat dan bahan digunakan metode
sterilisasi panas basah yaitu dengan autoclave. Alat yang akan
digunakan dicuci bersih dan dikeringkan. Selanjutnya bahan disiapkan
untuk dilakukan sterilisasi menggunakan autoclave. Tujuan pencucian
tersebut adalah untuk membersihkan alat-alat dari kotoran yang dapat
mempengaruhi kesterilannya.
Pada sterilisasi penelitian ini digunakan autoclave dengan suhu
121⁰C selama 15 menit dengan tekanan 1 atm. Mekanisme sterilisasi
yang digunakan yaitu dengan mendenaturasi
proteinmikroorganisme.Ruang kerja juga disterilkan dengan cara
dibersihkan dengan alkohol 70% kemudian disinari UV selama
minimal 30 menit sebelum digunakan. Alkohol 70% efektif digunakan
dalam sterilisasi dengan mekanisme memecah protein yang ada dalam
mikroorganisme.

183 | B u k u A n t i - t u b e r k u l o s i s
A.3 Suspensi mikroba uji
Pembuatan suspensi Mycobacterium tuberculosis telah
dilakukan di Laboratorium Tuberkulosis Bagian Mikrobiologi FK
UGM. Bakteri yang digunakan adalah Mycobacterium tuberculosis
dengan konsentrasi 106 CFU/mL yang merupakan koleksi
Laboratorium Mikrobiologi FK UGM.
A.4 Media Lowenstein-Jensen (LJ)
Pada pembuatan media LJ sterilitas harus terjaga dalam
prosesnya, hal tersebut agar dihasilkan media yang baik sesuai dengan
standar dan bebas dari cemaran mikroba. Sehingga harus
diminimalkan tingkat kontaminannya. Dari pembuatan media tersebut
didapatkan media LJ yang subur dan steril berwarna hijau kebiruan.
Pembuatan media dilakukan di Laboratoriun Tuberkulosis Bagian
Mikrobiologi FK UGM.
A.5 Uji antibakteri
Pada penelitian ini dilakukan uji antituberkulosis untuk ekstrak
etil asetat dan masing-masing sampel dilarutkan dalam DMSO 5%.
Selain itu juga dibuat 5 macam larutan kontrol yaitu kontrol antibiotik
rifampisin, ekstrak, media, pelarut, dan kontrol positif. Ekstrak
dicampur dengan media MB 7H9 yang telah diinokulasi dengan
bakteri uji konsentrasi 106 CFU/mL. Sehingga didapat konsentrasi
akhir sampel yaitu 800 µg/mL, 400 µg/mL, dan 200 µg/mL. Pemilihan
konsentrasi tersebut dilakukan berdasarkan referensi untuk anti-
tuberkulosis positif untuk ekstrak secara internasional. Selanjutnya
diinkubasi selama 14 hari pada suhu 37˚C. Inkubasi dilakukan pada
suhu tersebut, karena merupakan suhu optimum untuk pertumbuhan
bakteri uji. Pada penelitian ini sampel tidak langsung dikontakkan

184 | B u k u A n t i - t u b e r k u l o s i s
dengan media LJ, karena jika dikontakkan langsung dapat
menyebabkan kerusakan pada media.

B. Hasil Uji Anti-Tuberkulosis dengan Media LJ di Laboratorium


Mikrobiologi Fakultas Kedokteran, UGM
Foto-foto hasil skrining uji anti-tuberkulosis positif dengan kadar
extrak maksimal 1000 µg/mL dari 7 jenis tanaman Indonesia (lihat
gambar 64, 65, 66,67, 68, 69 dan 70).

(a) (b) (c) (d) (e) (f) (g) (h)


Gambar 64. Ekstrak etil asetat A yang diinokulasi dengan Mycobacterium tuberculosis
dalam media LJ pada suhu 37 o C selama 3 minggu. Keterangan: (a) Kontrol
negative ekstrak; (b) control media; (c) control pelarut; (d) control positif; (e)
control ekstrak; (f) ekstrak A 800µg/mL; (g) ekstrak A 400µg/mL; (h) ekstrak
A 200µg/mL.

Gambar 65. Positif anti-tuberkulosis dengan metode LJ untuk ekstrak B

185 | B u k u A n t i - t u b e r k u l o s i s
Gambar 66. Positif anti-tuberkulosis dengan metode LJ untuk ekstrak C

Gambar 67. Positif anti-tuberkulosis dengan metode LJ untuk ekstrak D

Gambar 68. Positif anti-tuberkulosis dengan metode LJ untuk ekstrak E

186 | B u k u A n t i - t u b e r k u l o s i s
Gambar 69. Positif anti-tuberkulosis dengan metode LJ untuk ekstrak F

Gambar 70. Positif anti-tuberkulosis dengan metode LJ untuk ekstrak G

187 | B u k u A n t i - t u b e r k u l o s i s
DAFTAR PUSTAKA

Abdallah, A.M., Gey van Pittius, N.C., Champion, P.A., Cox, J., Luirink, J., Vandenbroucke-
Grauls, C.M., Appelmelk, B.J. and Bitter, W., 2007, Type VII Secretion-
Mycobacteria Show The Way, Nat. Rev. Microbiol., 5, 883-891.
Akbergenov, R., Shcherbakov, D., Matt, T., Duscha, S., Meyer, M., Wilson, D. N., Böttger,
E., C., 2011, Antimicrob Agents Chemother, 55 (10): 4712 – 4717.
Alangaden, G.J., Kreiswirth, B.N., Aouad, A., Khetarpal, M., Igno, F.R., Moghazeh, S.L.,
Manavathu, E.K., Lerner, S.A., 1998, Mechanism of Resistance to Amikacin and
Kanamycin in Mycobacterium tuberculosis, Antimicrob. Agents Chemother., 42,
1295–1297.
Alderwick, L.J., H.L. Birch, A.K. Mishra, L. Eggeling & G.S. Besra, 2007, Structure,
Function and Biosynthesis of The Mycobacterium Tuberculosis Cell Wall:
Arabinoglaktan and Lipoarabinomannan Assembly with a View to Discovering
New Drug Targets, Biochem. Soc. Transact., 35, 1325-1328.
Alimuddin, I., Zumla, Gillespie, G.S., Hoelscher, M., Philips, P.P.J., Cole, S.T., Ibrahim, A.,
McHugh, T.D., dkk., 2014, New Antituberculosis Drugs, Regimens, And Adjunct
Therapies: Needs, Advances, and Future Prospects,
www.thelancet.com/infection, 14, 327-340.
Anastasia, S., Kolyva & Petros, C., 2012, Old and New TB Drugs: Mechanisms of Action and
Resistance, Understanding Tuberculosis - New Approaches to Fighting Against
Drug Resistance, dalam Dr. Pere-Joan, C. (Ed.), ISBN: 978-953-307-948-6,
InTech, Available from: http://www.intechopen.com/books/understanding-
tuberculosis-new-approaches-to-fighting-against-drugresistance/old-and-new-
tb-drugs-mechanisms-of-action-and-resistance.
Andries, K., Verhasselt, P., Guillemont, J., Göhlmann, H.W.H. , dkk., 2005, a Diarylquinoline
Drug Active on the ATP Synthase of Mycobacterium tuberculosis, Science, 307,
223–227.
Arcavi, L. & Benowitz, N. L., 2004, “Cigarette Smoking and Infection,”Archives of Internal
Medicine, 164(20), 2206–2216.
Argyrou, A., Vetting, M.W., Aladegbami, B. & Blanchard, J.S., 2006, Mycobacterium
tuberculosis dihydrofolate reductase is a target for isoniazid. Nat. Struct. Mol.
Biol., 13, 408–413.
Asano, M., A. Nakane and T. Minagawa, 1993. Endogenous Gamma Interferon is Essential
in Granuloma Formation Induced by Glycolipidcontaining Mycolic Acid in Mice,
Infect Immun., 61, 2872-2878.
Aubry, A., Pan, X.S., Fisher, L.M., Jarlier, V. & Cambau, E. , 2004, Mycobacterium
tuberculosis DNA gyrase: Interaction with Quinolones and Correlation with
Antimycobacterial Drug Activity, Antimicrob. Agents Chemother., 48, 1281–
1288.
Aubry, A., Veziris, N., Cambau, E., Truffot-Pernot, C., Jarlier, V., Fisher, L.M., 2006, Novel
Gyrase Mutations in Quinolone-Resistant and -Hypersusceptible Clinical Isolates
of Mycobacterium tuberculosis: Functional Analysis of Mutant Enzymes,
Antimicrob. Agents Chemother., 50, 104–112.
Banerjee, A., Dubnau, E., Quemard, A., Balasubramanian, V., Um, K.S., Wilson, T., Collins,
D., de Lisle, G., Jacobs, W.R., 1994, InhA, a Gene Encoding a Target for
Isoniazid and Ethionamide in Mycobacterium tuberculosis, Science, 263, 227–
230.

188 | B u k u A n t i - t u b e r k u l o s i s
Barry, C.E., III, Boshoff, H.I., Dartois, V., Dick, T., Ehrt, S., Flynn, J., Schnappinger, D.,
Wilkinson, R.J. & Young, D., 2009, The Spectrum of Latent Tuberculosis:
Rethinking the Biology and Intervention Strategies, Nat Rev Microbiol, 7, 845–
855.
Barry, V.C., Belton, J.G., Conalty, M.L., Denneny, J.M., Edward, D.W., O’Sullivan, J.F.,
Twomey, D., Winder, F, 1957, A New Series of Phenazines (Rimino-
Compounds) with High Antituberculosis Activity, Nature,179, 1013–1015.
Basso, L.A., Zheng, R., Musser, J.M., Jacobs, J.W.R, Blanchard, J.S., 1998, Mechanisms of
Isoniazid Resistance in Mycobacterium tuberculosis: Enzymatic Characterization
of Enoyl Reductase Mutants Identified in Isoniazid-Resistant Clinical Isolates, J
Infect Dis, 178: 769–775.
Baulard, A., dkk., 2000, Activation of the Pro-Drug Ethionamide is Regulated in
Mycobacteria, J Biol Chem, 275, 28326-28331.
Beckert, P., Hillemann, D., Kohl, T.A., Kalinowski, J., Richter, E., Niemann, S., Feuerriegel,
S., 2012, rplC T460C Identified as a Dominant Mutation in Linezolid-Resistant
Mycobacterium tuberculosis Strains, Antimicrob. Agents Chemother., 56, 2743–
2745.
Belanger, dkk., 1996, The embAB Genes of Mycobacterium avium Encode an Arabinosyl
Transferase Involved in Cell-Wall Arabinan Biosynthesis That is the Target for
the Antimycobacterial Drug Ethambutol, Proc Natl Acad Sci USA, 93, 11919 24.
Belisle, J.T., Vissa, V.D., Sievert, T., Takayama, K., Brennan, P.J. & Besra, G.S., 1997, Role
of the Major Antigen of Mycobacterium tuberculosis in Cell Wall Biogenesis,
Science, 276, 1420-1422.
Bergmann, J.S. & Woods, G.L., 1998, In Vitro Activity of Antimicrobial Combinations
Against Clinical Isolates of Susceptible and Resistant Mycobacterium
tuberculosis, Int J Tuberc Lung Dis, 2, 621–626.
Betts, J.C., Lukey, P.T., Robb, L.C., McAdam, R.A. & Duncan, K., 2002, Evaluation of a
Nutrient Starvation Model of Mycobacterium tuberculosis Persistence by Gene
and Protein Expression Profiling, Mol Microbiol, 43, 717–731.
Biava, M., Porretta, G.C., Manetti, F., 2007, New Derivatives of BM212: A Class of
Antimycobacterial Compounds Based on the Pyrrole Ring as a Scaffold, Mini-
Rev., Med. Chem., 7, 65–78.
Boddinghasus, B., Rogall, T., Flohr, T., dkk., 1990, Detetion and Identification of
Mycobacteria by Amplification of rRNA, J.Clin.Microbiol., 28, 1751-1759.
Bolhuis MS, Altena RV, Soolingen DV, dkk., 2013, Clarithromycin Increases Linezolid
Exposure in Multidrug-Resistant Tuberculosis Patients, Eur Respir J , 42, 1614–
1621.
Brandis, G. & Hughes, D., 2013, Genetic Characterization of Compensatory Evolution in
Strains Carrying rpoB Ser531Leu, the Rifampicin Resistance Mutation Most
Frequently Found in Clinical Isolates, J. Antimicrob. Chemother, 68, 2493–2497.
Brennan dkk, 2008, Handbook of Anti-Tuberculosis Agents, Global Alliance for TB Drug
Development, 88 (2), 85-170.
Brennan, P.J. & Nikaido, H., 1995, The Envelope of Mycobacteria, Annu Rev Biochem, 64,
29–63.
Brennan, P.J., 2003. Structure, Function and Biogenesis of The Cell Wall of Mycobacterium
tuberculosis, Tuberculos, 83, 91-97.
Brindle, R., Odhiambo, J., Mitchison, D., 2001, Serial Counts of Mycobacterium tuberculosis
in Sputum as Surrogate Markers of the Sterilising Activity of Rifampin and
Pyrazinamide in Treating Pulmonary Tuberculosis, BMC Pulm Med, 1-2.

189 | B u k u A n t i - t u b e r k u l o s i s
Browne, S.G., Hogerzeil, L.M., 1962, B 663‖ in the Treatment of Leprosy, Preliminary Report
of a Pilot Trial, Lepr. Rev., 33, 6–10.
Brzostek, A., Sajduda, A., Sliwinski, T., Augustynowicz- Kopec, E., Jaworski, A., Zwolska,
Z. & Dziadek, J., 2004, Molecular Characterisation of Streptomycinresistant
Mycobacterium tuberculosis Strains Isolated in Poland, Int. J. Tuberc. Lung Dis.,
8, 1032–1035.
Buriankova, K., Doucet-Populaire, F., Dorson, O., Gondran, A., Ghnassia, J.C., Weiser, J.,
Pernodet, J.L., 2004, Molecular Basis of Intrinsic Macrolide Resistance in the
Mycobacterium tuberculosis Complex, Antimicrob Agents Chemother., 48, 143–
150.
Burman, W., 2001, Comparative Pharmacokinetics and Pharmacodynamics of the Rifamycin
Antibacterials, Clin Pharmacokinet, 40, 327 41.
Butler, W.R. & Kilburn, J.O., 1983, Susceptibility of Mycobacterium tuberculosis to
Pyrazinamide and Its Relationship to Pyrazinamidase Activity, Antimicrob
Agents Chemother, 24, 600–601.
Cáceres, N.E., Harris, N.B., Wellehan, J.F., Feng, Z., Kapur, V., Barletta, R.G., 1997,
Overexpression of the D-alanine Racemase Gene Confers Resistance to D-
cycloserine in Mycobacterium smegmatis, J. Bacteriol., 179, 5046–5055.
Cambau, E., Sougakoff, W., Besson, M., Truffot-Pernot, C., Grosset J, Jarlier, V., 1994,
Selection of a gyrA Mutant of Mycobacterium tuberculosis Resistant to
Fluoroquinolones During Treatment with Ofloxacin, J Infect Dis, 170, 479–483.
Campbell, P.J., Morlock, G.P., Sikes, R.D., Dalton, T.L., Metchock, B., Starks, A.M., Hooks,
D.P., Cowan, L.S., Plikaytis, B.B., Posey, J.E., 2011, Molecular Detection of
Mutations Associated with First- and Second-Line Drug Resistance Compared
with Conventional Drug Susceptibility Testing of Mycobacterium tuberculosis,
Antimicrob. Agents Chemother., 55, 2032–2041.
Cavusoglu, C., Karaca-Derici, Y. & Bilgic, A., 2004, In-vitro Activity of Rifabutin Against
Rifampicin-Resistant Mycobacterium tuberculosis Isolates with Known rpoB
mutations, Clin. Microbiol. Infect., 10, 662–665.
Caws, M., Duy, P.M., Tho, D.Q., Lan, N.T., Hoa, D.V. & Farrar, J., 2006, Mutations Prevalent
Among Rifampin and Isoniazid-Resistant Mycobacterium tuberculosis Isolates
from a Hospital in Vietnam, J. Clin. Microbiol., 44, 2333–2337.
CDC, 2011, Mycobacterium bovis (Bovine Tuberculosis) in Human, http://www.cdc.gov/tb,
14 Oktober 2016.
CDC, 2016, Transmission and Pathogenesis of Tuberculosis, https://www.cdc.gov, 12
Oktober 2016.
CDC, WHO, Union, 1999, Addendum to WHO Guidelines for The Prevention of Tuberculosis
in Health Care Facilities In Resource, limited Settings.
Chambers, H.F., Moreau, D., Yajko, D., dkk., 1995, Can Penicillins and other Beta-Lactam
Antibiotics Be Used to Treat Tuberculosis?, Antimicrob Agents Chemother., 39,
2620–2624.
Chan E, dkk., 2003, Pyrazinamide, Ethambutol, Ethionamide, and Aminoglycosides, dalam
Rom, W.N., Garay, S.M. (Ed.), Tuberculosis, 2nd Ed., 773-789, Lippincott
Williams & Wilkins, Philadelphia.
Chang, K.C., Yew, W.W., Cheung, S.W., dkk., 2013, Can Intermittent Dosing Optimize
Prolonged Linezolid Treatment of Difficult Multidrug-Resistant Tuberculosis?,
Antimicrob Agents Chemother, 57, 3445–3449.
Chen, J.M., Uplekar, S., Gordon, S.V., Cole, S.T., 2012, a Point Mutation in cycA Partially
Contributes to the D-cycloserine Resistance Trait of Mycobacterium bovis BCG
Vaccine Strains, Plos One, 7, E43467.

190 | B u k u A n t i - t u b e r k u l o s i s
Chen, W., Biswas, T., Porter,V.R., Tsodikov, O.V., Garneau-Tsodikova, S., 2011, Unusual
Regioversatility of Acetyltransferase Eis, a Cause of Drug Resistance in XDR-
TB, Proceedings of the National Academy of Sciences of the United States of
America, 108, 9804–9808.
Cheng, A.F., Yew, W.W., Chan, E.W., Chin, M.L., Hui, M.M., and Chan, R.C., 2004,
Multiplex PCR Amplimer Conformation Analysis for Rapid Detection of gyrA
Mutations in Fluoroquinolone-Resistant Mycobacterium tuberculosis Clinical
Isolates, Antimicrob. Agents Chemother, 48, 596–601.
Cholo, M.C., Steel, H.C., Fourie, P.B., Germishuizen, W.A., Anderson, R., 2012,
Clofazimine: Current Status and Future Prospects, J. Antimicrob. Chemother., 67,
290–298.
Cohen, J., 2013, Approval of Novel TB Drug Celebrated—with Restraint, Science, 339, 130.
Cohen-Gonsaud, M., Ducasse, S., Hoh, F., Zerbib, D., Labesse, G. & Quemard, A., 2000,
Crystal Structure of MabA from Mycobacterium tuberculosis, a Reductase
Involved in Long-Chain Fatty Acid Biosynthesis, J.Mol.Biol., 320, 249.
Cole, S. T., Brosch, R., Parkhill, J., Garnier, T., Churcher, C., Harris, D., Gordon, S.V.,
Eiglmeier, K., Gas, S., Barry, C. E., Tekaia, F., Badcock, K., Basham, D., Brown,
D., Chillingworth, T., Connor, R., Davies, R., Devlin, K., Feltwell, T., Gentles,
S., Hamlin, N., Holroyd, S., Hornsby, T., Jagels, K., Krogh, A., McLean, J.,
Moule, S., Murphy, L., Oliver, K., Osborne, J., Quail, M. A., Rajandream, M.-
A., Rogers, J., Rutter, S., Seeger, K., Skelton, J., Squares, R., Squares, S., Sulston,
J. E., Taylor, K., Whitehead, S., Barrell, B. G., 1998, Deciphering the Biology of
Mycobacterium tuberculosis from The Complete Genome Sequence, Nature,
393: 537–544.
Coleman, C., dkk., 2002, Possible Gatifloxacin-Induced Fulminant Hepatic Failure, Ann
Pharmacother, 36, 1162-1167.
Collins, K. R., Qui˜nones-Mateu, M. E., Toossi, Z. & Arts, E. J., 2002, “Impact of tuberculosis
on HIV-1 Replication, Diversity, and Disease Progression,” AIDS Reviews, 4(3),
165–176.
Comas, I., Borrell, S., Roetzer, A., Rose, G., Malla, B., Kato-Maeda, M., Galagan, J.,
Niemann, S. & Gagneux, S., 2011, Whole-Genome Sequencing of Rifampicin-
Resistant Mycobacterium Tuberculosis Strains Identifies Compensatory
Mutations in RNA Polymerase Genes, Nat. Genet, 44, 106–110.
Cooksey, R.C., Morlock, G.P., McQueen, A., Glickman, S.E. & Crawford, J.T., 1996,
Characterization of Streptomycin Resistance Mechanisms among
Mycobacterium tuberculosis Isolates from Patients in New York City,
Antimicrob. Agents Chemother., 40, 1186–1188.
Corbett, E. L., Watt, C. J., Walker, N., dkk., 2003, “The Growing Burden of Tuberculosis:
Global Trends and Interactions with the HIV Epidemic,” Archives of Internal
Medicine, 163(9), 1009– 102.
Crofton, J., 1959, Chemotherapy of Pulmonary Tuberculosis, Br Med J,1, 1610–1664.
Crofton, J., Mitchison, D.A., 1948, Streptomycin Resistance in Pulmonary Tuberculosis, Br.
Med. J., 2, 1009–1015.
Cynamon, M.H., Girni, R., Gyenes, E., Sharpe, C.A., Bregman, K.E., Han, H.J., Gregor, L.B.,
Rapolu, R., Luciano, G., Welch, J.T., 1995, J.Med., Chem., 38, 3902-390.
Cynamon, M.H., Klemens, S.P., 1992, Antimycobacterial Activity of a Series of Pyrazinoic
Acid Esters, J Med Chem, 35, 1212–1215.
Daniel, T.M., 2006, TB Consillium, Int. J. Infect. Dis., 32, 156-160.

191 | B u k u A n t i - t u b e r k u l o s i s
Danilchanka, O., Pavlenok, M., Niederweis, M., 2008, Role of Porins for Uptake of
Antibiotics by Mycobacterium smegmatis, Antimicrobial agents and
chemotherapy, 52, 3127–3134.
Dartois, V., Barry, C.E., 2010, Clinical Pharmacology and Lesion Penetrating Properties of
Second- and Third-Line Antituberculous Agents Used in The Management of
Multidrug-Resistant (MDR) and Extensively-Drug Resistant (XDR)
Tuberculosis, Curr Clin Pharmacol, 5, 96–114.
David, H.L., Rastogi, N., Clavel-Seres, S., Clement, F., Thorel, M.F., 1987, Structure of the
Cell Envelope of Mycobacterium avium, Zentralbl Bakteriol Mikrobiol Hyg A,
264, 49–66.
Davies, A., dkk., 2000, Comparison of Phenotypic and Genotypic Methods for Pyrazinamide
Susceptibility, J Clin Microbiol, 38 (8), 3686.
Davies, G., Cerri, S., Richeldi, L., 2007, Rifabutin for Treating Pulmonary Tuberculosis,
Cochrane Database Syst Rev: CD005159.
Davis, J.M., Clay, H., Lewis, J.L., Ghori, N., Herbomel, P., Ramakrishnan, L., 2002, Real-
Time Visualization of Mycobacterium-Macrophage Interactions Leading to
Initiation of Granuloma Formation in Zebrafish Embryos, Immunity, 17, 693–
702.
Dawson, R., Diacon, A.H., Everitt, D., dkk., 2015, The Anti-Tuberculosis Activity of The
Combination of Moxifloxacin, Pretomanid (PA-824) and Pyrazinamide During
The First Eight Weeks of Therapy: a Phase 2b Open Label, Partially Randomized
Trial of Efficacy, Tolerability and Safety in Patients with Drug-Susceptible and
Drug-Resistant Pulmonary Tuberculosis, Lancet [In press DOI: 10.1016/S0140-
6736(14)62002-X].
De Souza, M.V., 2005., New Fluoroquinolones: a Class of Potent Antibiotics, Mini Rev Med
Chem, 5, 1009–1017.
De Vos, M., Müller, B., Borrell, S., Black, P.A., van Helden, P.D., Warren, R.M., Gagneux,
S. & Victor, T.C., 2013, Putative Compensatory Mutations in the rpoC Gene of
Rifampin-Resistant Mycobacterium tuberculosis are Associated with Ongoing
Transmission, Antimicrob. Agents Chemother, 57, 827–832.
Delogu, G., Sali1, M. & Giovanni, F., 2013, The Biology of Mycobacterium Tuberculosis
Infection, Mediterr J Hematol Infect Dis, 5(1), 1-8.
Depkes RI, 2005, Pharmaceutical Care, Direktorat Bina Farmasi Komunitas dan Klinik,
Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan Departemen
Kesehatan RI, Jakarta.
Di Perri, G., Bonora, S., 2004, Which Agents Should We Use for the Treatment of Multidrug-
Resistant Mycobacterium tuberculosis?, J Antimicrob Chemother, 54, 593-602.
Diacon, A.H., Dawson, R., von Groote-Bidlingmaier, F., dkk., 2015, Bactericidal Activity of
Pyrazinamide and Clofazimine Alone and in Combinations with Pretomanid and
Bedaquiline, Am J Respir Crit Care Med,\
Diacon, A.H., Pym, A., Grobusch, M.P., dkk., 2014, Multidrug-Resistant Tuberculosis and
Culture Conversion with Bedaquiline, N Engl J Med, 37 (1), 723–732.
Diacon, A.H., Dawson, R., von Groote-Bidlingmaier, F., dkk., 2012, 14-Day Bactericidal
Activity of PA-824, Bedaquiline, Pyrazinamide, and Moxifloxacin
Combinations: a Randomised Trial, Lancet, 380, 986–993.
Diacon, A.H., Dawson, R., Hanekom, M., Narunsky, K., Venter, A., Hittel, N.L., Geiter, J.,
Wells, C.D., Paccaly, A.J., Donald, P.R., 2011, Early Bactericidal Activity of
delamanid (OPC-67683) in Smear-Positive Pulmonary Tuberculosis Patients, Int.
J. Tuberc. Lung Dis., 15, 949–954.

192 | B u k u A n t i - t u b e r k u l o s i s
Diacon, A.H., Pym, A., Grobusch, M., dkk., 2009, The Diarylquinoline TMC207 for
Multidrug-Resistant Tuberculosis, N. Engl. J. Med., 360, 2397–2405
Diel, R., Goletti, D., Ferrara, G., Bothamley, G., Cirillo, D., Kampmann, B., Lange, C., Losi,
M., Markova, R., Migliori, G.B., Nienhaus, A., Ruhwald, M., Wagner, D.,
Zellweger, J.P., Huitric, E., Sandgren, A. & Manissero, D., 2011, Interferon-
{gamma} Release Assays for the Diagnosis of Latent M. tuberculosis Infection:
a Systematic Review and Meta-Analysis, Eur. Respir. J.
Doel, P., dkk.,1997, Therapeutic Efficacies of Isoniazid and Rifampin Encapsulated in Lung-
Specific Stealth Liposomes Against Mycobacterium tuberculosis Infection
Induced in Mice, Antimicrob Agents Chemother, 41, 1211-1224.
Domagala, J.M. 1994, Structure-Activity and Structure-Side-Effect Relationships for the
Quinolone Antibacterials, J.Antimicrob, Chemother, 33:685–706.
Domenech, P., Reed, M.B., Barry, C.E., 2005, Contribution of the Mycobacterium
tuberculosis MmpL Protein Family to Virulence and Drug Resistance, Infect.
Immun., 73, 3492–3501.
Domingue, G. & Woody, H., 1997, Bacterial Persistence and Expression of Disease, Clinical
Microbiology Reviews, 10(2), 320-344.
Draper, P., 1998, The Outer Parts of the Mycobacterial Envelope as Permeability Barriers,
Front Biosci, 3, 1253–1261.
Drlica, K., dkk., 2003 Fluoroquinolones as Antituberculosis Agents. In: Rom, W.N.,
Garay,S.M., (Ed.), Tuberculosis, 2nd Ed., 791-807, Philadelphia, PA: Lippincott
Williams & Wilkins.
Drucker, D., dkk., 1984, Ethionamide-Induced Goitrous Hypothyroidism, Ann Intern Med,
100, 837-839.
Du, X., dkk., 2001, Crystal Structure and Mechanism of Catalysis of a Pyrazinamidase from
Pyrococcus horikoshii, Biochemistry, 40, 14166-14172.
Eker, B., Ortmann, J., Migliori, G.B., Sotgiu, G., Muetterlein, R., Centis, R., Hoffmann, H.,
Kirsten, D., Schaberg, T., Ruesch-Gerdes, S., Lange, C. & German, T.G. 2008,
Multidrug- and Extensively Drug-Resistant Tuberculosis, Germany, Emerg
Infect Dis., 14, 1700–1706
Engohang-Ndong,. J, dkk., 2004, EthR, a Repressor of the TetR/CamR Family Implicated in
Ethionamide Resistance in Mycobacteria, Octamerizes Cooperatively on Its
Operator, Mol Microbiol, 51, 175-188.
Esposito, S., D’Ambrosio, L., Tadolini, M., dkk., 2014, ERS/WHO Tuberculosis Consilium
Assistance with Extensively Drug-Resistant Tuberculosis Management in a
Child: Case Study of Compassionate Delamanid Use, Eur Respir J, 44, 811–815.
Fajardo, T., dkk., 2006, a Clinical Trial of Ethionamide and Prothionamide for Treatment of
Lepromatous Leprosy, Am J Trop Med Hyg, 74, 457-461.
Falagas, M., dkk., 2007, Arrhythmias Associated with Fluoroquinolone Therapy, Int J
Antimicrob Agents, 29, 374-379.
Feng, Z. & Barletta, R.G., 2003, Roles of Mycobacterium smegmatis D-Alanine:D-Alanine
Ligase and D-Alanine Racemase in the Mechanisms of Action of and Resistance
to the Peptidoglycan Inhibitor D-Cycloserine. Antimicrob, Agents Chemother.,
47, 283–291.
Ferber, D., 2005, Biochemistry: Protein that Mimics DNA Helps Tuberculosis Bacteria Resist
Antibiotics, Science, 308, 1393.
Finch, C.K., Chrisman, C.R., Baciewicz, A.M., Self, T.H., 2002, Rifampin and Rifabutin Drug
Interactions: an Update, Arch Intern Med, 162, 985–992.
Finken, M., Kirschner, P., Meier, A., Wrede, A., Böttger, E.C., 1993, Molecular Basis of
Streptomycin Resistance in Mycobacterium tuberculosis: Alterations of the

193 | B u k u A n t i - t u b e r k u l o s i s
Ribosomal Protein S12 Gene and Point Mutations within a Functional 16S
Ribosomal RNA Pseudoknot, Mol. Microbiol., 9, 1239–1246
Fish, D. & North, D., 2001, Gatifloxacin, an Advanced 8-Methoxy Fluoroquinolone,
Pharmacotherapy, 21, 35-59.
Fox, H.H., 1953, The Chemical Attack on Tuberculosis, Trans NY Acad Sci, 15, 234–242.
Fox, H.H., 1952, The Chemical Approach to The Control of Tuberculosis, Science, 116, 129–
134.
Fox, W., Ellard, G.A. & Mitchison, D.A., 1999, Studies on the Treatment of Tuberculosis
Undertaken by the British Medical Research Council Tuberculosis Units, 1946–
1986, with Relevant Subsequent Publications, Int J Tuberc Lung Dis, 3: 231–279.
Fratti, R.A., J. Chua, I. Vergne dan V. Deretic, 2003. Mycobacterium tuberculosis
Glycosylated Phosphatidylinositol Causes Phagosome Maturation Arrest, Proc.
Natl. Acad. Sci., 100, 5437-5442.
Fregnan, G.N. & Smith, D.W., 1962, Description of Various Colony Forms of Mycobacteria,
J. Bacteriol., 83, 819-827.
Gao, L.Y., Laval, F., Lawson, E.H., dkk., 2003, Requirement for kasB in Mycobacterium
Mycolic Acid Biosynthesis, Cell Wall Impermeability and Intracellular Survival:
Implications for Therapy, Mol Microbiol., 49, 1547–1563.
Garcia, M.V., dkk., 2011, Extrapulmonary Tuberculosis: Epidemiology and Risk Factor.,
Enferm. Infecc. Microbiol. Clin, 29, 502-509.
Garcia-Tapia, A,, Rodriguez, J.C., Ruiz, M. & Royo, G., 2004, Action of Fluoroquinolones
and Linezolid on Logarithmic- and Stationary-Phase Culture of Mycobacterium
tuberculosis, Chemotherapy, 50, 211–213.
Georghiou, S.B., Magana, M., Garfein, R.S., Catanzaro, D.G., Catanzaro, A., Rodwell, T.C.,
2012, Evaluation of Genetic Mutations Associated with Mycobacterium
tuberculosis Resistance to Amikacin, Kanamycin and Capreomycin: a Systematic
Review, PLoS One, 7, e33275.
Gillespie, S.H., 2002, Evolution of Drug Resistance in Mycobacterium tuberculosis: Clinical
and Molecular Perspective, Antimicrob. Agents Chemother., 46, 267–274.
Ginsberg, A.M. & Spigelman, M., 2007, Challenges in Tuberculosis Drug Research
Development, Nat Med, 13, 290–294.
Gler, M.T., Skripconoka, V., Sanchez-Garavito, E., dkk., 2012, Delamanid for Multidrug
Resistant Pulmonary Tuberculosis, N Engl J Med, 366, 2151–2160.
Global TB Drug Pipeline, 2016, www.newtbdrug.com, 29 November 2016.
Gootz, T.D. & Brighty, K.E., 1996, Fluoroquinolone Antibacterials: SAR Mechanism of
Action, Resistance, and Clinical Apects, Med Res Rev, 16, 433–486.
Gradelski, E, dkk., 2001, Activity of Gatifloxacin and Ciprofloxacin in Combination with
other Antimicrobial Agents, Int J Antimicrob Agents,17, 103-107.
Harshey, R.M. & Ramakrishnan, T., 1977, Rate of Ribonucleic Acid Chain Growth in
Mycobacterium tuberculosis H37Rv, J Bacteriol, 129, 616–622.
Hartkoorn, R.C., Uplekar, S., Cole, S.T., 2014, Cross-Resistance between Clofazimine and
Bedaquiline Through Upregulation of MmpL5 in Mycobacterium tuberculosis,
Antimicrob. Agents Chemother, 58, 2979–2981.
Hausler, H., Kawakami, R.P., Mlaker, E., Severn, W.B. & Stutz, A.E., 2001, Ethambutol
Analogues as Potential Antimycobacterial Agents, Bioorg Med Chem Lett, 11,
1679–1681.
Hazbón, M.H., Bobadilla del Valle, M., Guerrero, M.I., Varma-Basil, M., Filliol, I., Cavatore,
M., Colangeli, R., Safi, H., Billman-Jacobe, H., Lavender, C., dkk., 2005, Role
of embB Codon 306 Mutations in Mycobacterium tuberculosis revisited: a Novel

194 | B u k u A n t i - t u b e r k u l o s i s
Association with Broad Drug Resistance and IS6110 Clustering Rather than
Ethambutol Resistance, Antimicrob. Agents Chemother, 49, 3794–3802.
Hazbón, M.H., Brimacombe, M., Bobadilla del Valle, M., Cavatore, M., Guerrero, M.I.,
Varma-Basil, M., Billman-Jacobe, H., Lavender, C., Fyfe, J., García-García, L.,
dkk., 2006, Population Genetics Study of Isoniazid Resistance Mutations and
Evolution of Multidrug-Resistant Mycobacterium tuberculosis, Antimicrob.
Agents Chemother., 50, 2640–2649.
Heep, M., Rieger, U., Beck, D. & Lehn, N., 2000, Mutations in the Beginning of the rpoB
Gene Can Induce Resistance to rifamycins in both Helicobacter pylori and
Mycobacterium tuberculosis, Antimicrob. Agents Chemother, 44, 1075–1077.
Hegde, S.S., Vetting, M.W., Roderick, S.L., Mitchenall, L.A., Maxwell, A., Takiff, H.E.,
Blanchard, J.S., 2005, a Fluoroquinolone Resistance Protein from
Mycobacterium tuberculosis that Mimics DNA, Science, 308, 1480–1483.
Heinrich, N., Dawson, R., du Bois, J., dkk., 2015, Early Phase Evaluation of SQ-109 Alone
and in Combination with Rifampicin in Pulmonary TB Patients, J Antimicrob
Chemother, [In press DOI: 10.1093/jac/dku553].
Herbert, D., Paramasivan, C.N., Venkatesan, P., Kubendiran, G., Prabhakar, R., Mitchison,
D.A., 1996, Bactericidal Action Of Ofloxacin, Sulbactam-Ampicillin, Rifampin,
and Isoniazid on Logarithmic- and Stationary-Phase Cultures of Mycobacterium
tuberculosis, Antimicrob. Rev Agents Chemother, 40, 2296–2299.
Herrera, L., Jimenez, S., Valverde, A., Garci, Aranda, M.A. & Saez-Nieto, J.A., 2003,
Molecular Analysis of Rifampicin-Resistant Mycobacterium tuberculosis
Isolated in Spain (1996–2001), Description of New Mutations in the rpoB Gene
and Review of the Literature, Int. J. Antimicrob. Agents, 21, 403–408.
Heym, B., Stavropoulos, E., Honoré, N., Domenech, P., Saint-Joanis, B., Wilson, T.M.,
Collins, D.M., Colston, M.J. & Cole, S.T., 1997, Effects of Overexpression of
The Alkyl Hydroperoxide Reductase AhpC on the Virulence and Isoniazid
Resistance of Mycobacterium tuberculosis, Infect. Immun., 65, 1395–1401.
Hillemann, D., Rüsch-Gerdes, S., Richter, E., 2008, In Vitro-Selected Linezolid-Resistant
Mycobacterium tuberculosis Mutants, Antimicrob. Agents Chemother., 52, 800–
801.
Hirano, K., Takahashi, M., Kazumi, Y., Fukasawa, Y. & Abe, C., 1998, Mutation in pncA is
a Major Mechanism of Pyrazinamide Resistance in Mycobacterium tuberculosis,
Tuber Lung Dis, 78, 117–122.
Ho, Y.M., Sun, Y.J., Wong, S.Y., Lee, A.S., 2009, Contribution of dfrA and inhA Mutations
to the Detection of Isoniazid-Resistant Mycobacterium tuberculosis Isolates,
Antimicrob. Agents Chemother., 53, 4010–4012.
Ho, Y., dkk., 1997, In-vitro Activities of Aminoglycoside Aminocyclitols Against
Mycobacteria, J Antimicrob Chemother, 40, 27-32.
Hoagland, D.T., Liu, J., Lee, R.B. & Lee., R.E., 2016, New Agents for the Treatment of Drug-
Resistant Mycobacterium tuberculosis, Advanced Drug Delivery Reviews, 102,
55–72.
Hoffmann, C., Leis, A., Niederweis, M., Plitzko, J.M. & Engelhardt, H., 2008, Disclosure of
the Mycobacterial Outer Membrane: Cryo-Electron Tomography and Vitreous
Sections Reveal the Lipid Bilayer Structure, Proceedings of the National
Academy of Sciences of the United States of America, 105, 3963–3967.
Hsu, T., Hingley-Wilson, S.M., Chen, M., Dai, A.Z., Morin, P.M., Marks, C.B., Padiyar, J.,
Goulding, C., Gingery, M., Eisemberg, D., Russell, R.G., Derrick, S.C., Collins,
F.M., Morris, S.L., King, C.H. & Jacobs, W.R., 2003, The Primary Mechanism
of Attenuation of Bacillus Calmette-Guerin is a Loss of Secreted Lytic Function

195 | B u k u A n t i - t u b e r k u l o s i s
Required for Invasion of Lung Interstitial Tissue, Proc. Natl. Acad. Sci. U. S. A.,
12420-12425.
Hu, Y., dkk., 2003, Sterilizing Activities of Fluoroquinolones Against Rifampin-Tolerant
Populations of Mycobacterium tuberculosis, Antimicrob Agents Chemother, 47,
653-657.
Hui, J., Gordon, N., Kajioka, R., 1977, Permeability Barrier to Rifampin in Mycobacteria,
Antimicrob Agents Chemother, 11, 773–779.
Hunter, R.L., Olsen, M.R., Jagannath, C. & Jeffrey, K.A., 2006, Multiple Roles of Cord Factor
in the Pathogenesis of Primary, Secondary, and Cavitary Tuberculosis, Including
a Revised Description of the Pathology of Secondary Disease, Ann Clin Lab Sci,
36(4), 371-386.
Jarlier, V., Nikaido, H., 1994, Mycobacterial Cell Wall: Structure and Role in Natural
Resistance Antibiotics, FEMS Microbiol Lett, 123, 11–18.
Jarlier, V. & Nikaido, H., 1990, Permeability Barrier to Hydrophilic Solutes in
Mycobacterium chelonei, J Bacteriol, 172,1418–1423.
Jarlier, V., Gutmann, L., Nikaido, H., 1991, Interplay of Cell Wall Barrier and Beta-
Lactamase Activity Determines High Resistance to Beta-Lactam Antibiotics in
Mycobacterium chelonae , Antimicrob Agents Chemother., 35:1937–1939.
Jenner, P., dkk., 1984, a Comparison of the Blood Levels and Urinary Excretion of
Ethionamide and Prothionamide in Man, J Antimicrob Chemother, 13, 267-277.
Jerlström, P.G., Bezjak, D.A., Jennings, M.P., Beacham, I.R., 1989, Structure and Expression
in Escherichia coli K-12 of the L-Asparaginase I-Encoding ansA Gene and Its
Flanking Regions, Gene, 78, 37–46.
Jindani, A., Aber, V.R., Edwards, E.A. & Mitchison, .DA., 1980, The Early Bactericidal
Activity of Drugs in Patients with Pulmonary Tuberculosis, Am Rev Respir Dis.,
121, 939–49.
Johansen, S., dkk., 2006, Capreomycin Binds Across The Ribosomal Subunit Interface Using
tlyA-encoded 2_-O-methylations in 16S and 23S rRNAs, Mol Cell, 23, 82-173.
Johansen, S.K., Maus, C.E., Plikaytis, B.B., Douthwaite, S., 2006, Capreomycin Binds Across
the Ribosomal Subunit Interface Using tlyA-Encoded 2'-O-Methylations in 16S
and 23S rRNAs, Molecular cell, 23, 173–182.
Johnson, R., Streicher, E.M., Gail E., Louw, Robin, M., Warren, Paul, D., Thomas, C. &
Victor, 2005, Drug Resistance in Mycobacterium tuberculosis, Curr. Issues Mol.
Biol, 8, 97–112.
Johnsson, K., Froland, W.A., Schultz, P.G., 1997, Overexpression, Purification, and
Characterization of the Catalase-Peroxidase KatG from Mycobacterium
tuberculosis, J Biol Chem, 272, 2834–2840.
Johnsson, K., dkk., 1995, Studies on the Mechanism of Action of Isoniazid and Ethionamide
in the Chemotherapy
Jones, D., Metzger, H.J., Schatz, A., Waksman, S.A., 1944, Control of Gram-Negative
Bacteria in Experimental Animals by Streptomycin, Science, 100, 103–105.
Juhlin, I., 1967, Contribution to the Classification of Mycobacteria and Nocardias, Acta
Oathol. Microbiol. Scand., 70 (suppl. 189), 1.
Julius, M., Cruse, M.D., Robert, E., Lewis, 2010, Atlas of Immunology, 3th Ed., CRC Press,
New York.
Kakimoto, S., Tone, I., 1965, Antituberculous Compounds, J Med Chem, 8, 868.
Kartmann, B., Stengler, S. dan M. Niederweis, 1999, Porins in The Cell Wall of
Mycobacterium tuberculosis, J. Bacterial., 181, 6543-6546.
Kasik, J.E., Peacham, L., 1968, Properties of Beta-Lactamases Produced by Three Species of
Mycobacteria, The Biochemical journal, 107, 675–682.

196 | B u k u A n t i - t u b e r k u l o s i s
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2015, Rencana Strategis Kementerian Kesehatan
Tahun 2015-2019, Jakarta, Indonesia.
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2016, Profil Kesehatan Indonesia Tahun 2015,
Jakarta, Indonesia.
Kešetovič, D., 2016, Synthesis and Biological Testing of Potential Anti-Tuberculosis Drugs
Targeting the β-ketoacyl ACP synthase, Disertasi, Naturwissenschaftlichen
Doktorgrades der Julius-Maximilians-Universität Würzburg, Jerman.
Kim, M.G., Strych, U., Krause, K., Benedik, M., Kohn, H., 2003, N(2)-Substituted D, L-
Cycloserine Derivatives: Synthesis and Evaluation as Alanine Racemase
Inhibitors, J Antibiot, 56:160–168.
Koch, R., 1882, Berliner Klinischen Wochenschrift, 15 (10): 221 – 230.
Koch, R., 1882, Pneumonology, 142, 137-164.
Koga, H., Itoh, A., Murayama, S., Suzue, S. & Irikura, T., 1980, Structure-Activity
Relationships of Antibacterial 6,7- and 7,8-Disubstituted 1-Alkyl-1,4-Dihydro-4-
Oxoquinoline-3-Carboxylic Acids, J Med Chem, 23, 1358–1363.
Konno, K., Feldmann, F.M. & McDermott, W., 1967, Pyrazinamide Susceptibility and
Amidase Activity of Tubercle Bacilli, American Review of Respiratory Diseases,
95, 461.
Konomi, N., Lebwohl, E., Mowbray, K., dkk., 2002, Fine Structures of Intracytoplasmic
Organelles of Mycobacteria, J. Biophys. Biochem. Cytol, 9, 597-608.
Koul, A., Dendouga, N., Vergauwen, K., Molenberghs, B., dkk., 2007, Diarylquinolines
Target Subunit C of Mycobacterial ATP Synthase, Nat. Chem. Biol., 3, 323–324.
Krüüner, A., Jureen, P., Levina, K., Ghebremichael, S., Hoffner, S., 2003, Discordant
Resistance to Kanamycin and Amikacin in Drug-Resistant Mycobacterium
tuberculosis, Antimicrob. Agents Chemother, 47, 2971–2973.
Kunin, C., dkk., 1996, Antimicrobial Activity of Rifabutin, Clin Infect Dis 22(1).
Larsen, M.H., Vilchèze, C., Kremer, L., Besra, G.S., Parsons, L., Salfinger, M., Heifets, L.,
Hazbon, M.H., Alland, D., Sacchettini, J.C., dkk., 2002, Overexpression of inhA,
but not kasA, Confers Resistance to Isoniazid and Ethionamide in Mycobacterium
smegmatis, M. bovis BCG and M. tuberculosis, Mol. Microbiol, 46, 453–466.
Lavollay, M., Arthur, M., Fourgeaud, M., Dubost, L., Marie, A., Veziris, N., Blanot, D.,
Gutmann, L. & Mainardi, J.L., 2008, The Peptidoglycan of Stationary-Phase
Mycobacterium tuberculosis Predominantly Contains Cross-Links Generated by
L,D-Transpeptidation, J Bacteriol, 190, 4360–4366.
Leach, K.L., Brickner, S.J., Noe, M.C., Miller, P.F., 2011, Linezolid, the First Oxazolidinone
Antibacterial Agent, Ann. NY Acad. Sci., 1222, 49–54.
Lechartier, B., Rybniker, J., Zumla, A., Cole, S., 2014, Tuberculosis Drug Discovery in the
Post-Post-Genomic Era, EMBO Mol Med, DOI: 10.1002/emmm.201201772.
Lechartier, B., Hartkoorn, R.C., Cole, S.T., 2012, In Vitro Combination Studies of
Benzothiazinone Lead Compound BTZ043 Against Mycobacterium tuberculosis,
Antimicrob Agents Chemother, 56, 5790–5793.
Lee, A., dkk., 2001, Novel Mutations in ndh in Isoniazid Resistant Mycobacterium
tuberculosis Isolates, Antimicrob Agents Chemother, 45 (9), 2157.
Lee, A.S., Lim, I.H., Tang, L.L., Telenti, A., and Wong, S.Y., 1999, Contribution of kasA
Analysis to Detection of Isoniazid-Resistant Mycobacterium tuberculosis in
Singapore, Antimicrob. Agents Chemother. 43, 2087–2089.
Lee, A.S., Tang, L., Lim, I., Ling, Tay, L., Wong, 1997, Lack of Clinical Significance for the
Common Arginine-Toleucine Substitution at Codon 463 of the katG Gene in

197 | B u k u A n t i - t u b e r k u l o s i s
Isoniazid-Resistant Mycobacterium tuberculosis in Singapore, J Infect Dis, 176,
1125–1126.
Lee, H.Y., Myoung, H.J., Bang, H.E., Bai, G.H., Kim, S.J., Kim, J.D. & Cho, S.N., 2002,
Mutations in the embB Locus Among Korean Clinical Isolates of Mycobacterium
tuberculosis Resistant to Ethambutol, Yonsei Med. J., 43, 59–64.
Lee, M., Lee, J., Carroll, M.W., dkk., 2012, Linezolid for Treatment of Chronic Extensively
Drug-Resistant Tuberculosis, N Engl J Med, 367, 1508–1518.
Lee, R.E., Mikusova, K., Brennan, P.J., Besra, G.S., 1995, Synthesis of the Arabinose Donor
Beta -D-Arabinofuranosyl-1-Monophosphoryldecaprenol, Development of a
Basic Arabinosyl-Transferase Assay, and Identification of Ethambutol as an
Arabinosyl Transferase Inhibitor, J. Am. Chem. Soc., 117, 11829–11832.
Lesher, G.Y., Froelich, E.J., Gruett, M.D., Bailey, J.H., Brundage, R.P., 1962, 1,8-
Naphthyridine Derivatives, a New Class of Chemotherapeutic Agents, J Med
Pharm Chem, 91, 1063–1065.
Li, A.P., Reith, M.K., Rasmussen, A., Gorski, J.C., Hall, S.D., Xu, L., Kaminski, D.L. &
Cheng, L.K., 1997, Primary Human Hepatocytes as a Tool for the Evaluation of
Structure-Activity Relationship in Cytochrome P450 Induction Potential of
Xenobiotics: Evaluation of Rifampin, Rifapentine and Rifabutin, Chem Biol
Interact, 107,17–30.
Li, K., Schurig-Briccio, L.A., Feng, X., Upadhyay, A., Pujari, V., dkk., 2014, Multitarget
Drug Discovery for Tuberculosis and other Infectious Diseases, J. Med. Chem.,
57, 3126–3139.
Li, W., Upadhyay, A., Fontes, F.L., North, E.J., Wang, Y., Crans, D.C., Grzegorzewicz, A.E.,
Jones, V., Franzblau, S.G., Lee, R.E., Crick, D.C., Jackson, M., 2014, Novel
Insights into the Mechanism of Inhibition of MmpL3, a Target of Multiple
Pharmacophores in Mycobacterium tuberculosis, Antimicrob. Agents Chemother,
58, 6413–6423.
Liu, J. & Nikaido, H., 1999, a Mutant of Mycobacterium smegmatis Defective in the
Biosynthesis of Mycolic Acids Accumulates Meromycolates, Proc Natl Acad Sci
U S A, 96, 4011–4016.
Liu, J., Rosenberg, E.Y., Nikaido, H., 1995, Fluidity of the Lipid Domain of Cell Wall from
Mycobacterium chelonae, Proc Natl Acad Sci, 92, 11254–11258.
Lounis, N., dkk., 1996, Which Aminoglycoside or Fluoroquinolone is More Active Against
Mycobacterium tuberculosis in Mice?, Antimicrob Agents Chemother, 41 (10),
607.
Lounis, N., Gevers, T., Van Den Berg, J., Andries, K., 2008, Impact of the Interaction of
R207910 with Rifampin on the Treatment of Tuberculosis Studied in the Mouse
Model, Antimicrob. Agents Chemother., 52, 3568–3572.
Lu, T. & Drlica, K., 2003, In vitro Activity of C-8-Methoxy Fluoroquinolones Against
Mycobacteria when Combined with Anti-Tuberculosis Agents, J Antimicrob
Chemother, 52,1025-1028.
Ma, Z., Ginsberg, A.M. & Spigelman, 2007, Antimycobacterium Agents, Global Alliance for
TB Drug Development, New York, USA.
Maccari, R., Ottanaa, R., Vigorita M.G., 2005, Bioorg. Med. Chem. Lett., 15, 2509-2513.
MacGurn, J.A., Raghavan, S., Stanley, S.A. dan J.S. Cox, 2005, a Non-RD1 Gene Cluster is
Required for Snm Secretion in Mycobacterium tuberculosis, Mol. Microbiol.,
57,1653-1663.
Machado, D., Perdigão, J., Ramos, J., Couto, I., Portugal, I.., Ritter, C., Boettger, E.C.,
Viveiros, M., 2013, High-Level Resistance to Isoniazid and Ethionamide in
Multidrug-Resistant Mycobacterium tuberculosis of the Lisboa Family is

198 | B u k u A n t i - t u b e r k u l o s i s
Asociated with inhA Double Mutations, J. Antimicrob. Chemother, 68, 1728–
1732.
Mahapatra, S., Yagi, T., Belisle, J.T., Espinosa, B.J., Hill, P.J., McNeil, M.R., Brennan, P.J.
& Crick, D.C., 2005, Mycobacterial Lipid II Is Composed of A Complex Mixture
of Modified Muramyl and Peptide Moieties Linked to Decaprenyl Phosphate, J
Bacteriol, 187, 2747–2757.
Makarov, V., Lechartier, B., Zhang, M., Neres, J., van der Sar, A.M., dkk., 2014, Towards a
New Combination Therapy for Tuberculosis with Next Generation
Benzothiazinones, EMBO Mol. Med., 6, 372–383.
Makarov, V., Manina, G., Mikusova, K., Möllmann, U., Ryabova, O., Saint-Joanis, B., Dhar,
N., Pasca, M.R. , dkk., 2009, Benzothiazinones Kill Mycobacterium tuberculosis
by Blocking Arabinan Synthesis, Science, 324, 801–804.
Manina, G., Bellinzoni, M., Pasca, M.R., Neres, J., Milano, A., Ribeiro, A.L., Buroni, S.,
Skovierová, H., Dianišková, P., Mikušová, K., dkk., 2010, Biological and
Structural Characterization of the Mycobacterium smegmatis Nitroreductase
NfnB, and its Role in Benzothiazinone Resistance, Mol. Microbiol., 77, 1172–
1185.
Markova, N., 2012, Cell Wall Deficiency in Mycobacteria: Latency and Persistence,
Understanding Tuberculosis - Deciphering the Secret Life of the Bacilli, dalam
Cardona, P.J. (Ed.), ISBN: 978-953-30.
Markova, N., Slavchev, G. & Lilia, M., 2012, Unique Biological Properties of Mycobacterium
tuberculosis L-form Variants: Impact for Survival under Stress, International
Microbiology, 15, 61-68.
Marriner, G.A., Nayyar, A., Eugene, U., Sharon, Y., Wong, Mukherjee, T., Laura, E., Via,
M.C., Rachel, L. E.,Todd, D., Gruber, Choi, I., Lee, J., Arora, K., Kathleen, D.
E., Helena I.M., Clifton, E. & Barry, 2011, The Medicinal Chemistry of
Tuberculosis Chemotherapy, Top Med Chem, 7, 47–124.
Martens, G. W., Arikan, M. C., Lee, J., Ren, F., Greiner, D. & H. Kornfeld, 2007,
“Tuberculosis Susceptibility of Diabetic Mice,” American Journal of Respiratory
Cell and Molecular Biology, 37(5), 518–524.
Mathys, V., Wintjens, R., Lefevre, P., Bertout, J., Singhal, A., Kiass, M., Kurepina, N., Wang,
X.M., Mathema, B., Baulard, A., dkk., 2009, Molecular Genetics of Para-
Aminosalicylic Acid Resistance in Clinical Isolates and Spontaneous Mutants of
Mycobacterium tuberculosis, Antimicrob. Agents Chemother., 53, 2100–2109.
Matsumoto, M., Hashizume, H., Tomishige, T., Kawasaki, M., Tsubouchi, H., Sasaki, H.,
Shimokawa, Y., Komatsu, M., 2006, OPC-67683, a Nitro-Dihydro-
Imidazooxazole Derivative with Promising Action Against Tuberculosis In Vitro
and in Mice, PLoS Med., 3, 466.
Maus, C.E., Plikaytis, B.B., Shinnick, T.M., 2005, Mutation of tlyA Confers Capreomycin
Resistance in Mycobacterium tuberculosis, Antimicrobial agents and
chemotherapy, 49:571–577.
Mboowa, G., Namaganda, C., dan SSengooba, W., 2014, Rifampicin Resistance Mutations in
The 81 Bp RRDR of Rpob Gene in Mycobacterium tuberculosis Clinical Isolates
Using Xpert® MTB/RIF in Kampala, Uganda: a retrospective study, BMC
Infectious Disease, 14, 481.
McClatchy, J.K., Tsang, A.Y. & Cernich, M.S., 1981, Use of Pyrazinamidase Activity in
Mycobacterium tuberculosis as a Rapid Method for Determination of
Pyrazinamide Susceptibility, Antimicrob Agents Chemother, 20, 556–557.
Medical Journal, 2, 1009-1015.
Meena, L.S. dan Rajni, 2010, Survival Mechanisms of Pathogenic Mycobacterium
tuberculosis H37Rv, FEBS J., 277, 2416-2427.
199 | B u k u A n t i - t u b e r k u l o s i s
Meier, A., Sander, P., Schaper, K.J., Scholz, M. & Bottger, E.C.,1996, Correlation of
Molecular Resistance Mechanisms and Phenotypic Resistance Levels in
Streptomycin-Resistant Mycobacterium tuberculosis, Antimicrob. Agents
Chemother, 40, 2452–2454.
Menzies, D., Benedetti, A., Paydar, A., Martin, I., dkk., 2009, Effect of Duration and
Intermittency of Rifampin on Tuberculosis Treatment Outcomes: a Systematic
Review and Meta-Analysis, PLoS Med 6:e1000146.
Metaxas, E.I., Falagas, M.E., 2009, Update on the Safety of Linezolid, Expert Opin Drug Saf.,
8, 485–491.
Miesel, L., Rozwarski, D. A., Sacchettini, J. C, Jacobs, W. R., 1998, Novartis Found Symp,
217, 209 – 221.
Miesel, L., Weisbrod, T.R., Marcinkeviciene, J.A., Bittman, R., Jacobs, W.R., Jr. 1998,
NADH Dehydrogenase Defects Confer Isoniazid Resistance and Conditional
Lethality in Mycobacterium smegmatis, J. Bacteriol., 180, 2459–2467.
Migliori, G.B., Dara, M., de Colombani, P., dkk., 2012, Multidrug-Resistant Tuberculosis in
Eastern Europe: still on the increase?, Eur Respir J, 39, 1290–1291.
Migliori, G.B., Eker, B., Richardson, M.D., dkk., 2009, a Retrospective TBNET Assessment
of Linezolid Safety, Tolerability and Efficacy in Multidrug-Resistant
Tuberculosis, Eur Respir J, 34, 387–393.
Migliori, G.B., Sotgiu, G., Gandhi, N.R., dkk., 2013, Drug Resistance beyond Extensively
Drug-Resistant Tuberculosis: Individual Patient Data Meta-Analysis, Eur Respir
J, 42, 169–179.
Mikusová, K., Slayden, R.A., Besra, G.S., Brennan, P.J., 1995, Biogenesis of the
Mycobacterial Cell Wall and the Site of Action of Ethambutol, Antimicrob.
Agents Chemother., 39, 2484–2489.
Mitchison, D., 2000, Role of Individual Drugs in The Chemotherapy of Tuberculosis, Int J
Tuberc Lung Dis, 4, 796-806.
Mitchison, D., 2005, Antimicrobial Therapy of Tuberculosis: Justification for Currently
Recommended Treatment Regimens, Semin Respir Crit Care Med, 25, 307-315.
Mitchison, D.A., 1950, Development of Streptomycin Resistant Isolates of Tubercle Bacilli
in Pulmonary Tuberculosis, Thorax, 4, 144.
Mitchison, D.A., 1968, Natural Sensitivity of M. tuberculosis to Thiacetazone, Tubercle, 49,
38.
Mitchison, D.A., 1979, Basic Mechanisms of Chemotherapy, Chest, 76, 771–781.
Mitchison, D.A., 2000, Role of Individual Drugs in the Chemotherapy of Tuberculosis, Int J
Tuberc Lung Dis, 4, 796-806.
Mitchison, D.A., 2005, Am.J. Respir., 171, 699-706.
Mitscher, L.A., 2005, Bacterial Topoisomerase Inhibitors: Quinolone and Pyridone
Antibacterial Agents, Chem Rev, 105, 559–592.
Mizuguchi, Y., Udou, T., Yamada, T., 1983, Mechanism of Antibiotic Resistance in
Mycobacterium Intracellulare, Microbiol Immunol, 27, 425–431.
Moazed, D., Noller, H.F., 1987, Interaction of Antibiotics with Functional Sites in 16S
ribosomal RNA, Nature, 327, 389–394.
Mokrousov, I., Narvskaya, O., Limeschenko, E., Otten, T. & Vyshnevskiy, B., 2002,
Detection of Ethambutol Resistant Mycobacterium tuberculosis Strains by
Multiplex Allele-Specific PCR Assay Targeting embB306 Mutations, J. Clin.
Microbiol., 40, 1617–1620.
Montero, C., Mateu, G., Rodriguez, R., Takiff, H., 2001, Intrinsic Resistance of
Mycobacterium smegmatis to Fluoroquinolones May be Influenced by New
Pentapeptide Protein MfpA, Antimicrob Agents Chemother., 45, 3387–3392.

200 | B u k u A n t i - t u b e r k u l o s i s
Morlock, G.P., Metchock, B., Sikes, D., Crawford, J.T. & Cooksey, R.C., 2003, ethA, inhA,
and katG Loci of Ethionamide-Resistant Clinical Mycobacterium tuberculosis
Isolates, Antimicrob. Agents Chemother., 47, 3799–3805.
Murray, M.E., 2003, Clin. Inf. Dis., 36, 453-460.
Musser, J.M., 1995, Antimicrobial Agent Resistance in Mycobacteria: Molecular Genetic
Insights., Clin Microbiol Rev, 8, 496–514.
Musser, J.M., 1997, Reply, J Infect Dis, 176, 1126–1127.
Nakamura, S., Nakata, K., Katae, H., Minami, A., Kashimoto, S. dkk., 1983, Activity of AT-
2266 Compared with those of Norfloxacin, Pipemidic Acid, Nalidixic Acid, and
Gentamicin Against Various Experimental Infections in Mice, Antimicrob Agents
Chemother, 23, 742–749.
Narasimhan, P., Wood, J., RainaMacIntyre, J. & Dilip M., 2013, Review Article: Risk Factors
for Tuberculosis, Pulmonary Medicine, Article ID 828939, 11 pages.
Narita, M., Stambaugh, J.J., Hollender, E.S., Jones, D., Pitchenik, A.E. & Ashkin, D., 2000)
Use of Rifabutin with Protease Inhibitors for Human Immunodeficiency Virus-
Infected Patients With Tuberculosis, Clin Infect Dis, 30, 779–783.
Neuhaus, F., 1967, D-cycloserine and O-carbamoyl-D-serine, dalam Gottlieb, D., Shaw, P.
(Ed.), Antibiotics I (Mode of Action), 40-83, Springer-Verlag, New York.
Nguyen, L. & Thompson, C.J., 2006, Foundations of Antibiotic Resistance in Bacterial
Physiology: the Mycobacterial Paradigm, Trends Microbiol, 14, 304–312.
Nguyen, L., Chinnapapagari, S., Thompson, C.J., 2005, FbpA-Dependent Biosynthesis of
Trehalose Dimycolate is Required for the intrinsic Multidrug Resistance, Cell
Wall Structure, and Colonial Morphology of Mycobacterium smegmatis, J
Bacteriol., 187, 6603–6611.
Niederweis, M., 2003, Mycobacterial Porins - New Channel Proteins in Unique Outer
Membranes, Mol Microbiol., 49, 1167–1177.
Nopponpunth, V., dkk., 1999, Cloning and Expression of Mycobacterium tuberculosis and
Mycobacterium leprae of Mycobacterium tuberculosis: Functional Analysis of
Mutant Enzymes, Antimicrob Agents Chemother, 50, 104-112.
Okamoto, S., Tamaru, A., Nakajima, C., Nishimura, K., Tanaka, Y., Tokuyama, S., Suzuki,
Y., Ochi, K., 2007, Loss of a Conserved 7-Methylguanosine Modification in 16S
rRNA Confers Low-Level Streptomycin Resistance in Bacteria, Mol. Microbiol.,
63, 1096–1106.
Owens, R. & Ambrose, P., 2005, Antimicrobial Safety: Focus on Fluoroquinolones, Clin
Infect Dis., 41(Suppl 2), 144-157.
Palomino, J.C., Martin, A. 2013, Tuberculosis Clinical Trial Update and the Current Anti-
Tuberculosis Drug Portfolio, Curr. Med. Chem., 20, 3785–3796.
Pasqualoto, K.E.M., Ferreira, E.l., Sntos-Filho., O.A., Hopfinger, A.J., 2004, J. Med. chem,
47, 3755-3764.
Pelletier, H. & Kraut, J., 1992, Crystal Structure of a Complex Between Electron Transfer
Partners, Cytochrome C Peroxidase and Cytochrome C, 258, 1748–1755.
Peloquin, C., dkk., 2004, Aminoglycoside Toxicity: Daily Versus Thrice-Weekly Dosing for
Treatment of Mycobacterial Diseases, Clin Infect Dis, 38, 1538-1544.
Peloquin, C.A., 2001, Pharmacological Issues in the Treatment of Tuberculosis, Ann NY Acad.
Sci, 953, 157–164.
Peloquin, C.A., 2002, Therapeutic Drug Monitoring in the Treatment of Tuberculosis, Drugs,
62, 2169–2183.
Peloquin, C., dkk., 1999, Pharmacokinetics of Ethambutol under Fasting Conditions, with
Food, and with Antacids, Antimicrob Agents Chemother, 43, 568-572.

201 | B u k u A n t i - t u b e r k u l o s i s
Peloquin, C., dkk., 1998, Once-Daily and Twice-Daily Dosing of P-Aminosalicylic Acid
Granules, Am J Respir Crit Care Med, 159, 932-934.
Philalay, J.S., Palermo, C.O., Hauge, K.A., Rustad, T.R. & Cangelosi, G.A., 2004, Genes
Required for Intrinsic Multidrug Resistance in Mycobacterium avium,
Antimicrob Agents Chemother, 48, 3412–3418.
Piatek, A.S., Tyagi, S., Pol, A.C., Telenti, A., Miller, L.P.,Kramer, F.R. & Alland, D., 1998,
Molecular beacon sequence analysis for detecting drug resistance in
Mycobacterium tuberculosis., Nat. Biotechnol., 16, 359–363.
Poce, G., Bates, R.H., Alfonso, S., Cocozza, M., Porretta, G.C., dkk., 2013, Improved
BM212MmpL3 Inhibitor Analogue Shows Efficacy in Acutemurine Model of
Tuberculosis Infection, PLoS One, 8, e56980
Porcelli, S.A., 2008, Tuberculosis: Shrewd Survival Strategy, Nature., 454, 702-703.
Portero, J.L., Rubio, M., 2007, New Anti-Tuberculosis Therapies, Expert Opin Ther Patents,
17 (6): 617 – 637.
Pym, A.S., Brodin, P., Brosch, R., Huerre, M. & Cole, S.T., 2002, Loss of RD1 Contributed
to the Attenuation of the Live Tuberculosis Vaccines Mycobacterium bovis BCG
and Mycobacterium microti, Mol. Microbiol., 46, 709-717.
Quinting, B., Reyrat, J.M., Monnaie, D., dkk., 1997, Contribution of Beta-Lactamase
Production to the Resistance of Mycobacteria to Beta-Lactam Antibiotics, FEBS
letters, 406, 275–278.
Raghavan, S., Manzanillo, P., Chan, K., Dovey, C. dan J.S. Cox, 2008, Secreted Transcription
Factor Controls Mycobacterium tuberculosis Virulence, Nature, 454, 717-721.
Rajni & Meena, L.S., 2011, Unique Characteristic Features of Mycobacterium Tuberculosis
in Relation to Immune System, American Journal of Immunology, 7 (1), 1-8.
Rajni dan L.S. Meena, 2010, Guanosine Triphosphatases as Novel Therapeutic Targets in
Tuberculosis, Int. J. infect. Dis., 14, 682-687.
Ramaswamy, S., dkk., 2000, Molecular Genetic Analysis of Nucleotide Polymorphisms
Associated with Ethambutol Resistance in Human Isolates of Mycobacterium
tuberculosis, Antimicrob Agents Chemother, 44, 326-336.
Ramaswamy, S. & Musser, J.M., 1998, Molecular Genetic Basis of Antimicrobial Agent
Resistance in Mycobacterium tuberculosis, Tuber Lung Dis, 79, 3–29.
Rastogi, N. & Sola., C, 2007, Molecular Evolution of the Mycobacterium tuberculosis
Complex, dalam Palomino, J.C., Leao, S.C., Ritacco, V. (Ed.), 2007,
Tuberculosis, from Basic Science to Patient Care., Amedeo Flying Publisher, 53-
91.
Rastogi, N., dkk., 1996, In Vitro Activities of Fourteen Antimicrobial Agents Against Drug
Susceptible and Resistant Clinical Isolates of Mycobacterium tuberculosis and
Comparative Intracellular Activities Against the Virulen H37Rv Strain in Human
Macrophages, Curr Microbiol, 33, 167-175.
Rastogi, N., Goh, K.S., David, H.L., 1990, Enhancement of Drug Susceptibility of
Mycobacterium avium by Inhibitors of Cell Envelope Synthesis, Antimicrob
Agents Chemother, 34, 759–764.
Reddy, V., dkk., 1995, Antimycobacterial Activity of a New Rifamycin Derivative, 3-(4
Cinnamylpiperazinyl Iminomethyl) Rifamycin SV (T9), Antimicrob Agents
Chemother, 39, 2320-2324.
Rengarajan, J., dkk., 2004, The Folate Pathway is a Target for Resistance to the Drug Para-
Aminosalicylic Acid (PAS) in Mycobacteria, Mol Microbiol, 53, 275-282.
Richter, E., Rüsch-Gerdes, S., Hillemann, D., 2007, First Linezolid-Resistant Clinical Isolates
of Mycobacterium tuberculosis, Antimicrob. Agents Chemother., 51, 1534–1536.

202 | B u k u A n t i - t u b e r k u l o s i s
Rinder, H., Thomschke, A., Rüsch-Gerdes, S., Bretzel, G., Feldmann, K., Rifai, M., Löscher,
T., 1998, Significance of ahpC Promoter Mutations for the Prediction of Isoniazid
Resistance in Mycobacterium tuberculosis, Eur. J. Clin. Microbiol. Infect. Dis.,
17, 508–511.
Robert, L., Hunter, Margaret, R., Olsen, Jagannath, C. & Jeffrey, K. A., 2006, Review:
Multiple Roles of Cord Factor in the Pathogenesis of Primary, Secondary, and
Cavitary Tuberculosis, Including a Revised Description of the Pathology of
Secondary Disease, Annals of Clinical & Laboratory Science, 36(4).
Rochstein, D.M., Hartman, A.D., Cynamon, M.H. & Eisenstein, B.I., 2003, Expert Opin.
Invest. Drugs, 12, 225-271.
Rodriguez, G., Smith, I., 2006, Identification of an ABC Transporter Required for Iron
Acquisition and Virulence in Mycobacterium tuberculosis, J Bacteriol, 188, 424-
430.
Romagnoli, A., Etna, M.P., Giacomini, E., Pardini, M., Remoli, M.E., Corazzari, M., Falasca,
L., Goletti, D., Gafa, V., Simeone, R., Delogu, G., Piacentini, M., Brosch, R.,
Fimia, G.M. & Coccia, E.M. ESX-1 Dependent Impairment of Autophagic Flux
by Mycobacterium Tuberculosis in Human Dendritic Cells, Autophagy, 8, 1357-
1370.
Romieu, I. & Trenga, C., 2001, “Fromexposure to Disease: the Role of Environmental Factors
in Susceptibility to and Development of Tuberculosis,” Epidemiologic Reviews,
23(2), 288–301.
Rouse, D.A., DeVito J.A., Li, Z., Byer, H., Morris, S.L., 1996, Site-Directed Mutagenesis of
the katG gene of Mycobacterium tuberculosis:Effects on Catalase-Peroxidase
Activities and Isoniazid Resistance, Mol. Microbiol, 22, 583–592.
Rozwarski, D.A., Grant, G.A., Barton, D.H., Jacobs, W.R., Sacchettini, J.C., 1998,
Modification of the NADH of the Isoniazid Target (InhA) from Mycobacterium
tuberculosis, Science, 279, 98–102.
Rubbo, S.D., Edgar, J. & Vaughan, G., 1957, Chemotherapy of Tuberculosis, Antituberculous
Activity of Verazide and Related Hydrazones, Am Rev Tuberc, 76, 331–345.
Rubbo, S.D., Rouch, L.C., Egan, J.B., Waddington, A.L. & Tellesson ,W.G., 1958,
Chemotherapy of Tuberculosis, III. Verazide in the Treatment of Pulmonary
Tuberculosis. Am Rev Tuberc, 78, 251–258.
Ryan, N., 2014, Delamanid: First Global Approval, Drugs, 74, 1041–1045.
Safi, H., Sayers, B., Hazbón, M.H. & Alland, D., 2008, Transfer of embB Codon 306
Mutations into Clinical Mycobacterium tuberculosis Strains Alters Susceptibility
to Ethambutol, Isoniazid, and Rifampin, Antimicrob. Agents Chemother, 52,
2027–2034.
Sakamoto, K., 2012, The pathology of Myobacterium tuberculosis Infection, Veterinary
Pathology, 49(3), 423-439.
Salfinger, M. & Heifets,L., 1988, Determination of Pyrazinamide MICs for Mycobacterium
tuberculosis at Different pHs by the Radiometric Method, Antimicrob Agents
Chemother, 32, 1002-1004.
Sasaki, H., dkk., 2006, Synthesis and Antituberculosis Activity of A Novel Series of Optically
Active 6-nitro-2,3-dihydroimidazo[2,1-b]oxazoles, J Med Chem, 49, 7854-7860.
Schaberg, T., dkk., 1995, Risk Factors for Side-Effects of Isoniazid, Rifampin and
Pyrazinamide in Patients Hospitalized for Pulmonary Tuberculosis, Eur Respir
Rev, 4, 1247-1249.
Scorpio, A., dkk., 1997, Characterization of pncA Mutations in Pyrazinamide-Resistant
Mycobacterium tuberculosis, Antimicrob Agents Chemother, 41, 540-543.

203 | B u k u A n t i - t u b e r k u l o s i s
Scorpio, A. & Zhang, Y., 1996, Mutations In pncA, A Gene Encoding
Pyrazinamidase/Nicotinamidase, Cause Resistance to the Antituberculous Drug
Pyrazinamide in Tubercle Bacillus, Nature Med, 2, 662–667.
Sen, T., Joshi, S.R. & Udwadia, Z.F., 2009, Tuberculosis and Diabetes Mellitus: Merging
Epidemics, J Assoc Physicians India, 57, 399–404.
Sensi, P., 1983, History of the Development of Rifampin, Rev Infect Dis, 5(3), 402-406.
Shang, S., Ordway, D., Henao-Tamayo, M., dkk., 2011, “Cigarette Smoke Increases
Susceptibility to Tuberculosis-Evidence From In Vivo and In Vitro Models,”
Journal of Infectious Diseases, 203(9), 1240–1248.
Shepherd, R.G. & Wilkinson, R.G., 1962, Antituberculous agents. II. N, N’-
Diisopropylethylenediamine and Analogs, J Med Pharm Chem, 91, 823–835.
Sherman, D.R., Mdluli, K., Hickey, M.J., Arain, T.M., Morris, S.L., Barry, C.E., 1996,
Compensatory ahpC Gene Expression in Isoniazid-Resistant Mycobacterium
tuberculosis, Science, 272, 1641–1643.
Shinabarger, D.L., Marotti, K.R., Murray, R.W., Lin, A.H., Melchior, E.P., Swaney, S.M.,
Dunyak, D.S., Demyan, W.F., Buysse, J.M., 1997, Mechanism of Action of
Oxazolidinones: Effects of Linezolid and Eperezolid on Translation Reactions,
Antimicrob Agents Chemother, 41, 2132–2136.
Simeone, R., Bobard, A., Lippmann, J., Bitter, W., Majlessi, L., Brosch, R. and Enninga, J.,
2012, Phagosomal Rupture by Mycobacterium tuberculosis Results in Toxicity
and Host Cell Death, PLoS. Pathog., 8, e1002507.
http://dx.doi.org/10.1371/journal.ppat.1002507.
Singh, A., Gupta, R., Vishwakarma, R.A., Narayanan, P.R., Paramasivan, C.N., Ramanathan,
V.D. & Tyagi, A.K., 2005, Requirement of the mymA Operon for Appropriate
Cell Wall Ultrastructure and Persistence of Mycobacterium tuberculosis in the
Spleens of Guinea Pigs, J Bacteriol., 187, 4173–4186.
Singh, A., Jain, S., Gupta, S., Das, T., Tyagi, A.K., 2003, mymA Operon of Mycobacterium
tuberculosis: Its Regulation and Importance in the Cell Envelope, FEMS
Microbiol Lett., 227, 53–63.
Siu, G.K., Zhang, Y., Lau, T.C., Lau, R.W., Ho, P.L., Yew, W.W., Tsui, S.K., Cheng, V.C.,
Yuen, K.Y. & Yam, W.C., 2011, Mutations outside the Rifampicin Resistance-
Determining Region Associated with Rifampicin Resistance in Mycobacterium
tuberculosis, J. Antimicrob. Chemother., 66, 730–733.
Skolnik, Richard., dan Ambareen Ahmed, 2010, Ending the Neglect of Neglected Tropical
Disease, Article, http://www.prb.org/pdf10/neglectedtropicaldiseases.pdf, 20
Oktober 2016.
Skripconoka, V., Danilovits, M., Pehme, L., dkk., 2013, Delamanid Improves Outcomes and
Reduces Mortality in Multidrug-Resistant Tuberculosis, Eur Respir J, 41, 1393–
1400.
Slayden, R.A. & Barry, C.E., III, 2000, The Genetics and Biochemistry of Isoniazid
Resistance in Mycobacterium tuberculosis, Microbes. Infect., 2, 659–669.
Smith, T., Kerstin, A., Wolff & Liem, N., 2013, Molecular Biology of Drug Resistance in
Mycobacterium tuberculosis, Curr Top Microbiol Immunol., 374, 53–80.
Somoskovi, A., Parsons, L.M. & Salfinger, M., 2001, The Molecular Basis of Resistance to
Isoniazid, Rifampin, and Pyrazinamide in Mycobacterium tuberculosis, Respir.
Res., 2, 164–168.
Sorensen, A.L., Nagai, S., Houen, G., Anderse, P. dan A.B. Andersen, 1995, Purification and
Characterization of a Low-Molecular-Mass T-Cell Antigen Secreted by
Mycobacterium tuberculosis, Infect. Immun., 63, 1710-1717.

204 | B u k u A n t i - t u b e r k u l o s i s
Speirs, R.J., Welch, J.Y. & Cynamon, M.H, 1995, Antimicrob. Agents. Chemother, 39, 1269-
1271.
Spies, F.S., da Silva, P.E., Ribeiro, M.O., Rossetti, M.L., Zaha, A., 2008, Identification of
Mutations Related to Streptomycin Resistance in Clinical Isolates of
Mycobacterium tuberculosis and Possible Involvement of Efflux Mechanism,
Antimicrob. Agents Chemother., 52, 2947–2949.
Sreevatsan, S., Pan, X., Stockbauer, K.E., Connell, N.D., Kreiswirth, B.N., Whittam,
T.S.&Musser, J.M., 1997, Restricted Structural Gene Polymorphism in the
Mycobacterium tuberculosis Complex Indicates Evolutionarily Recent Global
Dissemination. Proc. Natl.Acad. Sci. USA, 94, 9869–9874
Sreevatsan, S., Pan, X., Zhang, Y., Kreiswirth, B.N. & Musser, J.M., 1997, Mutations
Associated with Pyrazinamide Resistance in pncA of Mycobacterium
tuberculosis Complex Organisms, Antimicrob Agents Chemother, 41, 636-640.
Sreevatsan, S., Stockbauer, K.E., Pan, X., Kreiswirth, B.N., Moghazeh, S.L., Jacobs, W.R.,
Jr., Telenti, A., & Musser, J.M., 1997, Ethambutol Resistance in Mycobacterium
tuberculosis: Critical Role of embB Mutations, Antimicrob. Agents Chemother.,
41, 1677–1681.
Stackebrandt, E., Smida, J., Kazda, J., 1997, Adaptation of Mycobacterium smegmatis to
Stationary phase, J. Bacteriol., 181, 270-283.
Stanley, S.A., Raghavan, S., Hwang, W.W. dan J.S. Cox, 2003, Acute Infection and
Macrophage Subversion by Mycobacterium Tuberculosis Require a Specialized
Secretion System, Proc. Natl. Acad. Sci., 100, 13001-13006.
Steinhilber, D., Schubert-Zsilavecz, M., Roth, H. J., 2010, Medizinische Chemie, 2nd Ed.,
Deutscher Apotheker Verlag, Jerman.
Sun, Z., Zhang, J., Zhang, X., Wang, S., Zhang, Y., Li, C., 2008, Comparison of gyrA Gene
Mutations Between Laboratory-Selected Ofloxacin-Resistant Mycobacterium
tuberculosis Strains and Clinical Isolates, Int. J. Antimicrob. Agents, 31, 115–
121.
Suzuki, Y., Katsukawa, C., Tamaru, A., Abe, C., Makino, M., Mizuguchi, Y., and Taniguchi,
H., 1998, Detection of Kanamycin-Resistant Mycobacterium tuberculosis by
Identifying Mutations in the 16S rRNA Gene, J. Clin. Microbiol, 36, 1220–1225.
Szabo, G., 1997, “Alcohol’s Contribution to Compromised Immunity,” Alcohol Research and
Health, 21(1), 30–38.
Takayama, K. & Kilburn, J.O., 1989, Inhibition of Synthesis of Arabinogalactan by
Ethambutol in Mycobacterium smegmatis, Antimicrob. Agents Chemother, 33,
1493–1499.
Takiff, H.E., Salazar, L., Guerrero, C., Philipp, W., Huang, W.M., Kreiswirth, B., Cole, S.T.,
Jacobs, W.R., Jr., Telenti, A., 1994, Cloning and Nucleotide Sequence of
Mycobacterium tuberculosis gyrA and gyrB Genes and Detection of Quinolone
Resistance Mutations, Antimicrob. Agents Chemother., 38, 773–780.
Taniguchi, H., Chang, B., Abe, C., Nikaido, Y., Mizuguchi, Y., Yoshida, S., 1997, Molecular
Analysis of Kanamycin and Viomycin Resistance in Mycobacterium smegmatis
by use of the Conjugation System, J Bacteriol, 179, 4795–4801.
TB-alliance, 2015, PA-824 has a New Generic Name: Pretomanid,
http://www.tballiance.org/newscenter/view-brief.php?id=1109, 15 Oktober
2016.
Telenti, A., Imboden, P., Marchesi, F., Lowrie, D., Cole, S., Colston, M.J., Matter, L.,
Schopfer, K. & Bodmer, T., 1993, Detection of Rifampicin-Resistance Mutations
in Mycobacterium tuberculosis, Lancet, 341, 647–650.

205 | B u k u A n t i - t u b e r k u l o s i s
Telenti, A., Philipp, W.J., Sreevatsan, S., Bernasconi, C., Stockbauer, K.E., Wieles, B.,
Musser, J.M., Jacobs, W.R., Jr., 1997, The emb Operon, a Gene Cluster of
Mycobacterium tuberculosis Involved in Resistance to Ethambutol, Nat. Med., 3,
567–570.
Traore, H., Fissette, K., Bastian, I., Devleeschouwer, M. & Portaels, F., 2000, Detection of
Rifampicin Resistance in Mycobacterium Tuberculosis Isolates from Diverse
Countries by a Commercial Line Probe Assay as an Initial Indicator of Multidrug
Resistance, Int. J. Tuberc. Lung Dis., 4, 481–484.
Trefzer, C., Rengifo-Gonzalez, M., Hinner, M.J., Schneider, P., Makarov, V., Cole, S.T.,
Johnsson, K., 2010, Benzothiazinones: Prodrugs that Covalently Modify the
Decaprenylphosphoryl-β-D-Ribose 2'-Epimerase DprE1 of Mycobacterium
tuberculosis., J. Am. Chem. Soc., 132, 13663–13665.
Tripathi, R.P., Tewari, N., Dwivedi, N., Tiwari, V. K., 2005, Fighting Tuberculosis: an Old
Disease with New Challenges, Medical Research Reviews, 25, 93-131.
Van der, W.N., Hava, D., Houben, D., Fluitsma, D., van, Z.M., Pierson, J., Brenner, M. &
Peters, P.J., M. tuberculosis and M. leprae Translocate from the Phagolysosome
to the Cytosol in Myeloid Cells. Cell 129, 1287-1298.
Velayati, A.A. & Parissa, F., 2016, Atlas of Mycobacterium Tuberculosis, Academic Press,
London, United Kingdom.
Vernon, A.A., 2003, Rifamycin Antibiotics, with A Focus on Newer Agents, dalam Rom,
W.N., & Garay, S.M., (Ed.), Tuberculosis, 2nd Ed., 759-771, Lippincott Williams
& Wilkins, Philadelphia.
Vestal, A.L., Kubica, G.P., 1966, Differential Colonical Characteristic of Mycobacteria on
Middebrook and Cohn 7H11 Agar-Base Medium, Am. Rev. Respir. Dis., 94.
Veziris, N., dkk., 2005, Efficient Intermittent Rifapentine Moxifloxacin-Containing Short-
Course Regimen for Treatment of Tuberculosis in Mice, Antimicrob Agents
Chemother, 49, 4015-4019.
Via, L.E., Lin, P.L., Ray, S.M., Carrillo, J., Allen, S.S., Eum, S.Y., Taylor, K., Klein, E.,
Manjunatha, U., dkk., 2008, Tuberculous Granulomas are Hypoxic in Guinea
Pigs, Rabbits, and Nonhuman Primates, Infect Immun, 76, 2333–2340.
Vilchèze, C., Jacobs, W.R., 2007, The Mechanism of Isoniazid Killing: Clarity Through the
Scope of Genetics, Annu. Rev. Microbiol, 61, 35–50.
Wade, M. M. & Zhang, Y., 2004, Mechanisms of Drug Resistance in Mycobacterim
tuberculosis, Front Biosci, 9, 975-994.
Wallis, R.S., Dawson, R., Friedrich, S.O., dkk., 2014, Mycobactericidal Activity of Sutezolid
(PNU-100480) in Sputum (EBA) and Blood (WBA) of Patients with Pulmonary
Tuberculosis, PLoS One, 9, 94462.
Wang, F., dkk., 2007, Mechanism of Thioamide Drug Action Against Tuberculosis and
Leprosy, J Exp Med, 204, 73-78.
Wang, F., Jain, P., Gulten, G., Liu, Z., Feng, Y., Ganesula, K., Motiwala, A.S., Ioerger, T.R.,
Alland, D., Vilchèze, C., dkk., 2010, Mycobacterium tuberculosis Dihydrofolate
Reductase is not a Target Relevant to the Antitubercular Activity of Isoniazid,
Antimicrob. Agents Chemother., 54, 3776–3782.
Watanabe, S., Zimmermann, M., Goodwin, M.B., Sauer, U., Barry III, C.E., Boshoff, H.I.,
2011, Fumarate Reductase Activity Maintains an Energized Membrane in
Anaerobic Mycobacterium tuberculosis, PLoS Pathog, 7, e1002287.
Watt, B., Edwards, J.R., Rayner, A., Grindey, A.J., Harris, G., 1992, In vitro Activity of
Meropenem and Imipenem Against Mycobacteria: Development of a Daily
Antibiotic Dosing Schedule, Tuber Lung Dis., 73, 134–136.

206 | B u k u A n t i - t u b e r k u l o s i s
Wehrli, W., dkk., 1968, Interaction of Rifamycin with Bacterial RNA Polymerase, Proc Natl
Acad Sci, 61, 667-673.
Wei, J., Dahl, J.L., Moulder, J.W., Roberts, E.A., O'Gaora, P., Young, D.B. & Friedman, R.L.,
2000, Identification of a Mycobacterium tuberculosis Gene that Enhances
Mycobacterial Survival in Macrophages, J Bacteriol., 182, 377–384.
Wel, N.V.D., Hava, D., Houben, D., Fluitsma, D., Zon, M.V., dkk., 2007, M. tuberculosis
and M. leprae Translocate from The Phagolysosome to The Cytosol in Myeloid
Cells, Cell., 129, 1287-1298.
Wikipedia, 2016, Tuberculosis, https://en.wikipedia.org/wiki/World_Health_Organization,
29 November 2016.

Williams, D., dkk., 1998, Contribution of rpoB Mutations to Development of Rifamycin


Cross-Resistance in Mycobacterium tuberculosis, Antimicrob Agents Chemother,
42, 1853-1857.
Williams, K.N., Stover, C.K., Zhu, T., dkk., 2009, Promising Antituberculosis Activity of The
Oxazolidinone PNU-100480 Relative to That of Linezolid in a Murine Model,
Antimicrob Agents Chemother, 53, 1314–1319.
Wilson, J., dkk., 2003, Para-Aminosalicylic Acid (PAS) Desensitization Review in a Case of
Multidrug-Resistant
Winder, F.G., Collins, P.B. & Whelan, D., 1971, Effects of Ethionamide and Isoxyl on
Mycolic Acid Synthesis in Mycobacterium tuberculosis BCG, J Gen Microbiol,
66, 379–380.
Wirth, T., Hidelbrand, F., Allix-Beguec, C., dkk, 2008, Origin, Spread and Demography of
Mycobacterium tuberculosis Complex. PLoS Pathog.
Wise, R., 1984, Norfloxacin – a Review of Pharmacology and Tissue Penetration, J
Antimicrob Chemother, 13, 59–64.
Wolucka, B.A., 2008, Biosynthesis of D-arabinose in Mycobacteria—a Novel Bacterial
Pathway with Implications for Antimycobacterial Therapy, FEBS J., 275, 2691–
2711.
World Health Organization, 2000, Anti-Tuberculosis Drug Resistance in The World: The
WHO/IUATLD Global Project on Anti-Tuberculosis Dug Resistance
Surveillance, Report 2: Prevalence And Trends, Geneva.
World Health Organization, 2001, Guidelines for Drug Susceptibility Testing for Second-Line
Anti-Tuberculosis Drugs for DOTS-Plus.
World Health Organization, 2001, Involving Private Practitioners in Tuberculosis Control:
Issues, Interventions, and Emerging Policy Framework, Geneva,
(WHO/CDS/TB/2001.285).
World Health Organization, 2001, WHO Global Strategy for Containment of Antimicrobial
Resistance, Geneva.
World Health Organization, 2003, Guidelines for Surveillance of Drug Resistance in
Tuberculosis, Geneva, (WHO/CDS/CSR/DRS/2001.2).
World Health Organization, 2004, The Health Academy Avoiding Tuberculosis, Geneva,
Switzerland.
World Health Organization, 2010, Treatment of Tuberculosis Guidelines, 4th Ed.
World Health Organization, 2010, Treatment of tuberculosis, WHO guidelines, 4.ed., (2010):
http://whqlibdoc.who.int/publications/2010/9789241547833_eng.pdf?ua=1, 12
Oktober 2016.
World Health Organization, 2011, Guidelines for Intensified Tuberculosis Case-Finding and
Isoniazid Preventive Therapy for People Living with HIV in Resource
Constrained Settings,

207 | B u k u A n t i - t u b e r k u l o s i s
http://whqlibdoc.who.int/publications/2011/9789241500708_eng.pdf?ua=1, 12
Oktober 2016.
World Health Organization, 2014, The Use of Delamanid in The Treatment of Multidrug-
Resistant Tuberculosis, Interimpolicy guidance, Geneva, Switzerland.
World Health Organization, 2015, WHO Global Tuberculosis Report 2015,
http://www.who.int/tb/publications/global_report/en/, 12 Oktober 2016.
Xie, Z., Siddiqi, N., Rubin, E.J., 2005, Differential Antibiotic Susceptibilities of Starved
Mycobacterium tuberculosis Isolates, Antimicrob Agents Chemother, 49, 4778–
4780.
Yang, B., dkk., 1998, Relationship between Antimycobacterial Activities of Rifampicin,
Rifabutin and KRM-1648 and rpoB mutations of Mycobacterium tuberculosis, J
Antimicrob Chemother, 42, 621-628.
Yang, B., Koga, H., Ohno, H., Ogawa, K., Fukuda, M., Hirakata, Y., Maesaki, S., Tomono,
K., Tashiro, T. & Kohno, S., 1998, Relationship between Antimycobacterial
Activities of Rifampicin, Rifabutin and KRM-1648 and rpoB Mutations of
Mycobacterium tuberculosis, J. Antimicrob. Chemother, 42, 621–628.
Yano, T., Kassovska-Bratinova, S., The, J.S., Winkler, J., Sullivan, K., Isaacs, A., Schechter,
N.M., Rubin, H., 2011, Reduction of Clofazimine by Mycobacterial Type 2
NADH: Quinone Oxidoreductase: a Pathway for the Generation of Bactericidal
Levels of Reactive Oxygen Species., J. Biol. Chem., 286, 10276–10287.
Zaunbrecher, M.A., Sikes, R.D., Metchock, B., Shinnick, T.M., Posey, J.E., 2009,
Overexpression of the Chromosomally Encoded Aminoglycoside
Acetyltransferase eis Confers Kanamycin Resistance in Mycobacterium
tuberculosis, Proceedings of the National Academy of Sciences of the United
States of America, 106, 20004–20009.
Zhang, Y. & Mitchison, D., 2003, The Curious Characteristics of Pyrazinamide: a Review,
Int. J. Tuberc. Lung Dis., 7, 6–21.
Scorpio, A., dkk., 1997, Characterization of pncA Mutations in Pyrazinamide-Resistant
Mycobacterium tuberculosis, Antimicrob Agents Chemother, 41, 540-543.
Zhang, Y., 2003, Isoniazid, dalam Rom, W.N. & Garay, S.M. (Ed.), Tuberculosis, 2nd Ed.,
739-758, Lippincott Williams & Wilkins, Philadelphia.
Zhang, Y., 2004, Isoniazid, dalam Rom, W.N., Gatay, S.M. (Ed.), Tuberculosis, 2 nd Ed., 739-
758, Lippincott Williams & Wilkins: Philadelphia.
Zhao, F., Wang, X.D., Erber, L.N., Luo, M., Guo, A.Z., Yang, S.S., Gu, J., Turman, B.J., Gao,
Y.R., Li, D.F., dkk., 2014, Binding Pocket Alterations in Dihydrofolate Synthase
Confer Resistance to Para-Aminosalicylic Acid in Clinical Isolates of
Mycobacterium tuberculosis, Antimicrob. Agents Chemother., 58, 1479–1487.
Zhou, S.F., Xue, C.C., Yu, X.Q., Li, C., Wang, G., 2007, Clinically Important Drug
Interactions Potentially Involving Mechanism-Based Inhibition of Cytochrome
P450 3A4 and the Role of Therapeutic Drug Monitoring, Ther Drug Monit, 29,
687–710.
Zuber, B., Chami, M., Houssin, C., Dubochet, J., Griffiths, G. & Daffe, M., 2008, Direct
Visualization of the Outer Membrane of Mycobacteria and Corynebacteria in
Their Native State, Journal of Bacteriology, 190, 5672–5680.
Zumla, A., Nahid, P. & Cole, S.T., 2013, Advances in the Development of New Tuberculosis
Drugs And Treatment Regimens, Nat. Rev. Drug Discov., 12, 388–404.
Zumla, A., Nahid, P., Cole, S. T., 2013, Nature Reviews, Drug Discovery, 12: 388 – 404.

208 | B u k u A n t i - t u b e r k u l o s i s
INDEKS

A Acid-fast bacilli Ciprofloksasin


Acid-fastness Clofazimin
Acquired resistance Cord factor
Adduct CYP3A4
Adjuvant CYP450
Aerob
Afinitas D
Alanine rasemase/Alr Ddl
Alkohol Degradasi
Amikasin Delamanid
Aminoglikosida DfrA
Amoksisilin Diabetes
Analog Diarilquinolin
Antibiotik Diarilquinon
Antiretroviral Dihidropteroat sintase
Arabinogalaktan Dimetilamin
Arginin Dinding sel
Asam amino DM
Asam folat DNA gyrase
Asam isonikotinat DNA-dependent RNA
Asam klavulanat polymerase
Asam mikolat Dormant
Asam pirazinoat Droplet nuclei
arabinosil transferase Druggable target
ATP
E
B EBA
Bakteriostatik Efflux
Bakterisida Efikasi
BCG Ekstrak
Bedaqulin Epimerisasi
Benzotiazinon ESAT
Bioavailabilitas ESX
BTA positif ESX-1
BTZ043 Etambutol
ethA
C ethR
CFA Etionamid
CFP-10
Cilastatin

209 | B u k u A n t i - t u b e r k u l o s i s
F Fakultatif Isoleusin
Fagositik Isoniazid
Farmakofor Isonicotinic acyl-NADH
Farmakokinetik
FAS K
Fenilalanin Kanamisin
Feropenem Kapreomisin
Fluoroquinolone kasA
folC Katalase
Fototoksisitas Katalisator
katG
G Keamanan
Gen KHM
gidB Klaritomisin
glutamin Kloroquin
Gram negatif Kodon
Gram positif Kombinasi
gyrA
gyrB L
L-form
H Linezolid
Hepatotoksik LTBI
Hipersensitifitas Levofloksasin
Hiv Leusin
Hospes Levofloksasin
HRZE Lowenstein-Jensen

I M
IGRA M. africanum
Imidazopiridin M. bovis
Imipenem M. canetti
Impermeable M. caprae
In vitro M. microti
In vivo M. pinnipedii
Indeks M. smegmatis
Inducer M. tuberculosis
Influenza MAC
Integritas Makrofag
Intraseluler Malabsorbsi
Irreversible Malnutrisi
Isoksazolidinon Marker

210 | B u k u A n t i - t u b e r k u l o s i s
MDR-TB Non-motil
Membrane Nonreplicating
Menaquinon Norfloksasin
Metionin
Metronidazole O
MfpA Ofloksasin
Mikobakteria Obligate
Miliary ofloksasin
Missense Oksazolidinon
MmpL Oksidasi
Modifikasi Operon
Moiety Ototoksisitas
Moksifloksasin
Monoterapi P
MTC Pasif
Mutan Parenteral
Mutasi PAS
Mycobacteriaceae Pathogenesis
Mycobacterium africanum PBTZ 169
Mycobacterium bovis Pemotongan
Mycobacterium canetii Penetrasi
Mycobacterium caprae Penyebaran
Mycobacterium dassie Penyisipan
Mycobacterium microtii Peptidoglikan
Mycobacterium mungi Permeabilitas
Mycobacterium oryx Peroksida
Mycobacterium pinnipedii Photochromogenic
Mycobacterium suricattae Pirazinamid
Mycobacterium tuberculosis Pirazinamidase
Mycobacterium tuberculosis Piridoksin
complex pncA
POA
N Polipeptida
nadh Polusi
Nalidixic acid Porin
Nefrotoksisitas Pretomanid
Neuropati Prevalensi
Neurotoksik Primary
Nikotinamid Prodrug
Nitroimidazol Protein
Nitro-imidazooxazin Protionamid
Nitroreduktase Proton

211 | B u k u A n t i - t u b e r k u l o s i s
Q Tedizolid
QT Terizidon
Tioasetazon
R Topoisomerase
Redezolid Transkripsi
Redosing Translokasi
Reduksi Transporter
Replicating Transposon
Repurposed TST
Resistensi Tuberaktinomisin
Respirasi Tubercle bacilli
Reversible Turunan
Ribosom tylA
Ribosomal
Rifabutin U
Rifalazil Upregulation
Rifamisin
Rifampisin V
Rifapentin Valin
Riminophenazin Viomisin
RNA
rRNA W
Rokok Wax-D
RRDR Wild-type

S X
SAR XDR-TB
Scotochromogenic
Secondary Z
Sikloserin Ziehl-Neelsen
Sitoplasma
Spektrum
SPS
SQ-109
Sterilisasi
Stevens-Johnson
Streptomisin
Streptomyces
Sutezolid
T
TB

212 | B u k u A n t i - t u b e r k u l o s i s

Anda mungkin juga menyukai