Anda di halaman 1dari 31

Case Report Session

Gizi Buruk

Oleh:

Delila Maharani 1740312269


Septriyan Dwi Malta 1740312288

Preseptor:

dr. Fitri Rahmadani, Sp.A, M.Biomed

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS

BAGIAN ILMU KESEHATAN ANAK RS AHMAD MUCHTAR

BUKITTINGGI

2019

1
KATA PENGANTAR

Alhamdulillahirabbil’alamiin, puji dan syukur atas kehadirat Allah S.W.T

dan shalawat beserta salam untuk Nabi Muhammad S.A.W, berkat rahmat dan

karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan makalah case report session dengan

judul “Gizi Buruk”. Makalah ini diajukan untuk melengkapi tugas kepaniteraan

klinik senior Departemen Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas

Andalas.

Pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada

preceptor dr. Fitri Rahmadani, Sp.A, M.Biomed yang telah membimbing penulis

dalam menyelesaikan makalah ini. Akhir kata, penulis memohon maaf apabila

terdapat kesalahan dalam penulisan makalah ini. Untuk itu, penulis menerima

kritik dan saran dari berbagai pihak untuk menyempurnakan makalah ini.

Padang, 22 Januari 2019

Penulis

2
DAFTAR ISI

Halaman

Sampul Depan i
Kata Pengantar ii
Daftar Isi iii
Daftar Tabel iv
Daftar Singkatan v

BAB 1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang 1
1.2 Tujuan Penulisan 3
1.3 Manfaat Penulisan 3
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi Gizi Buruk 4
2.2 Klasifikasi Gizi Buruk 4
2.3 Patofisiologi Gizi Buruk 6
2.4 Kriteria Diagnostik Gizi Buruk 9
2.5 Faktor Risiko pada gizi buruk 10
2.6 Defisiensi Mikronutrien yang Berhubungan dengan Gizi Buruk 12
2.7 Manajemen Gizi Buruk 14
BAB 3 KESIMPULAN 29

DAFTAR KEPUSTAKAAN 30

3
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Gizi buruk adalah suatu bentuk malnutrisi dengan tampilan klinis tampak
sangat kurus dan atau edema pada kedua punggung kaki sampai seluruh tubuh
atau data antropometri BB/TB(PB) < -3 SD (standar deviasi). 1 Gizi merupakan
salah satu faktor penentu utama kualitas sumber daya manusia karena
mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan seseoarang. Status gizi anak
dinilai menurut empat indeks, yaitu Berat Badan menurut Umur (BB/U), Tinggi
Badan menurut Umur (TB/U), Berat Badan menurut Tinggi Badan (BB/TB) dan
LILA menurut Umur (LILA/U).1,2
Gizi buruk merupakan salah satu masalah kesehatan yang perlu
mendapatkan perhatian. Pada tahun 2016, jumlah anak yang mengalami gizi
buruk sebesar 192 juta per tahun.3 Data WHO tahun 2011 melaporkan bahwa 45%
kematian balita di seluruh dunia terkait dengan malnutrisi.4 Penurunan berat badan
pada malnutrisi mulai terjadi pada usia 4-6 bulan saat periode penyapihan. Dua
per tiga balita yang meninggal mempunyai pola makan bayi yang salah antara lain
tidak mendapatkan air susu ibu (ASI) eksklusif serta mendapat makanan
pendamping ASI (MPASI) yang terlalu dini atau terlambat disertai komposisi zat
gizi yang tidak lengkap, tidak seimbang dan tidak higienis.5
Angka kejadian gizi buruk di Indonesia juga masih tinggi, yaitu sebesar
18,8% pada kelompok balita dan 14,9% pada kelompok baduta. Menurut laporan
hasil pemantauan status gizi tahun 2017, insiden gizi buruk pada balita usia 0-23
tahun secara nasional sebesar 3,5%, dengan presentase tertinggi di Nusa Tenggara
Barat sebesar 6,8%. Sumatera Barat telah mencapai angka 3,4%, namun hanya
berbeda tipis dengan angka secara nasional. Kota Bukittinggi mencapai persentase
kasus 12,5 % dari seluruh kasus di Sumatera Barat.2
Pertumbuhan dan perkembangan pada anak sangat dipengaruhi oleh status
gizi buruk yang diderita oleh anak. Selain itu, juga dapat dipengaruhi oleh
keadaan hipotiroid.1,

4
Salah satu kasus hipotiroid yang sering ditemukan pada balita adalah
hipotiroid kongenital. Hipotiroid kongenital merupakan gangguan hormon tiroid
berupa penurunan atau tidak berfungsinya kelenjar tiroid sejak lahir. Hal ini
terjadi karena kelainan anatomi atau gangguan metabolisme pembentukan hormon
tiroid atau defisiensi iodium.6 Penelitian Gilberg, tahun 2009 mengatakan bahwa
angka hipotiroid kongenital di dunia adalah 1: 3000 kelahiran. Di Asia insiden
hipotiroid kongenital dilaporkan 1 : 2.720 kelahiran di daerah non endemik dan
1:1000 kelahiran di daerah endemik.7
Hipotiroid kongenital dapat menyebabkan perawakan dismorfik, gangguan
pertumbuhan, dan gangguan perkembangan. Penegakan diagnosis hipotiroid
kongenital dilakukan dengan pengukuran Thyroid Stimulating Hormone (TSH)
dan Free Tetraiodotironin (FT4) yang digunakan sebagai parameter diagnosis
kelainan pada tiroid.7
Pada laporan kasus ini didapatkan keadaan gizi buruk dan hipotiroid yang
disertai dengan gangguan perkembangan pada anak usia 1 tahun.

1.2 Tujuan Penulisan


Tujuan penulisan laporan kasus ini yaitu untuk memahami dan menambah
pengetahuan tentang gizi buruk dan penyakit penyertanya.

1.3 Batasan Masalah


Batasan penulisan laporan kasus ini membahas mengenai definisi,
klasifikasi, epidemiologi, etiologi, patogenesis, manifestasi klinis, diagnosis,
penatalaksanaan, pencegahan, komplikasi, dan prognosis gizi buruk serta penyakit
penyertanya.
1.4 Metode Penulisan
Penulisan laporan kasus ini menggunakan metode penulisan tinjauan
kepustakaan merujuk pada berbagai literatur dan hasil pemeriksaan pasien.

5
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Gizi Buruk


2.1.1 Definisi
Gizi buruk adalah suatu bentuk malnutrisi dengan tampilan klinis tampak
sangat kurus dan atau edema pada kedua punggung kaki sampai seluruh tubuh
atau data antropometri BB/TB(PB) < -3SD.1

2.1.2 Klasifikasi
Gizi buruk berdasarkan gejala klinisnya dapat dibagi menjadi 3, yaitu :
1. Marasmus
Marasmus adalah salah satu bentuk gizi buruk yang paling sering
ditemukan pada balita. Tipe marasmus ditandai dengan gejala tampak
sangat kurus, wajah seperti orang tua, cengeng dan rewel meskipun setelah
makan, kulit keriput yang disebabkan oleh berkurangnya lemak di bawah
kulit, perut cekung, rambut tipis, jarang dan kusam, tulang iga tampak
jelas, pantat kendur dan keriput (baggy pant).8
2. Kwashiorkor
Kwashiorkor adalah salah satu bentuk malnutrisi protein yang berat
disebabkan oleh asupan karbohidrat yang normal atau tinggi namun
asupan protein yang inadekuat.9 Tipe kwashiorkor ditandai dengan gejala
tampak sangat kurus dan atau edema pada kedua punggung kaki sampai
seluruh, pertumbuhan terganggu, perubahan status mental, gejala
gastrointestinal, rambut tipis kemerahan seperti warna rambut jagung,
mudah dicabut tanpa rasa sakit, rontok, wajah membulat dan sembab, kulit
penderita biasanya kering dengan menunjukkan garis-garis kulit yang
lebih mendalam dan lebar, sering ditemukan hiperpigmentasi dan persikan
kulit, pembesaran hati serta anemia ringan. Gangguan metabolik dan
perubahan sel dapat menyebabkan perlemakan hati dan edema.
3. Marasmiks-Kwashiorkor
Tipe marasmik-kwashiorkor merupakan gabungan beberapa gejala klinik
kwashiorkor dan marasmus dengan Berat Badan menurut umur (BB/U)

6
<60% baku median WHO-NCHS yang disertai oedema yang tidak
mencolok.8

2.1.3 Patofisiologi Gizi Buruk


Ketika asupan masuk anak tidak mencukupi, tubuh melakukan mekanisme
adaptasi dengan menghasilkan energi dari cadangan lemak, selanjutnya jika
cadangan lemak tidak mencukupi makan protein dari otot, kulit, saluran cerna
akan dipecah untuk menghasilkan energi. Energi dihasilkan dengan mengurangi
aktivitas fisik dan pertumbuhan, laju metabolisme basal, dan mengurangi respon
imun dan inflamasi yang berakibat pada:10
 Produksi glukosa oleh hati akan berkurang sehingga anak akan lebih
rentan untuk mengalami hipoglikemi. Selain itu produksi albumin,
transferin dan protein-protein transport lainnya oleh hati juga akan
berkurang. Hal ini menyebabkan berkurangnya kemampuan hati untuk
menanggulangi diet tinggi protein dan untuk mengeksresikan toksin.
 Produksi panas berkurang, sehingga anak lebih rentan terkena hipotermia.
 Kemampuan ginjal untuk mengeksresikan kelebihan cairan dan natrium
berkurang sehingga terjadi akumulasi cairan di sirkulasi dan meningkatkan
resiko kelebihan cairan.
 Jantung menjadi lebih kecil dan lemah, menyebabkan penurunan output,
kelebihan cairan yang menyebabkan gagal jantung.
 Berkurangnya aktivitas pompa natrium-kalium sehingga menyebabkan
kelebihan kadar natrium, retensi cairan dan edema.
 Kalium bocor keluar sel dan diekresikan ke urin menyebabkan
ketidakseimbangan elektrolit, retensi cairan, edema dan anoreksia.
 Hilangnya kadar protein otot, kalium, magnesium, seng, copper.
 Produksi asam dan enzim lambung berkurang. Motilitas berkurang
sehingga kolonisasi kuman meningkatdi lambung dan usus halus, sehingga
menyebabkan kerusakan mukosa dan menyebabkan dekonjugasi garam
empedu sehingga proses pencernaan dan absorbsi terganggu.
 Replikasi dan perbaikan sel berkurang sehingga meningkatkan resiko
translokasi bakteri melalui mukosa lambung.

7
 Fungsi imun terganggu, terutama fungsi sel yang yang berhubungan
dengan imunitas. Respon terhadap infeksi menghilang bahkab pada sakit
parah, sehingga sulit mendiagnosa infeksi.

2.1.4 Diagnosis
Dalam menegakkan suatu diagnosis gizi buruk terdapat alur pemeriksaan
yang dapat diikuti untuk dapat menentukan gizi buruk dengan atau tanpa
komplikasi atau gizi kurang.

Gambar 1. Alur pemeriksaan anak gizi buruk.1

Pengukuran antropometri lebih ditujukan untuk menemukan status gizi.


Pada pemeriksaan antropometri, dilakukan pengukuran-pengukuran fisik anak
(berat, tinggi, dan lain-lain) dan dibandingkan dengan angka standar (anak
normal). Untuk anak, terdapat tiga parameter yang biasa digunakan, yaitu berat
badan dibandingkan dengan umur anak, tinggi dibandingkan dengan umur anak,
dan berat badan dibandingkan dengan tinggi/panjang badan anak. Parameter
tersebut lalu dibandingkan dengan tabel standar yang ada.11

8
Tabel 2.1 Penilaian status gizi berdasarkan indeks BB/U,TB/U, BB/TB
menggunakan standar baku antropometeri WHO-NCHS.11
Indeks yang Batas
Nomor Sebutan Status Gizi
Dipakai Pengelompokan
1 BB/U < -3 SD Gizi buruk
  - 3 s/d <-2 SD Gizi kurang
  - 2 s/d +2 SD Gizi baik
  > +2 SD Gizi lebih
2 TB/U < -3 SD Sangat pendek
- 3 s/d <-2 SD Pendek
- 2 s/d +2 SD Normal
> +2 SD Tinggi
3 BB/TB < -3 SD Sangat kurus
- 3 s/d <-2 SD Kurus
- 2 s/d +2 SD Normal
> +2 SD Gemuk

2.1.5 Penyakit Penyerta pada Anak Gizi Buruk


1. Campak
Anak-anak gizi buruk sangat berisiko tinggi menghadapi komplikasi medis
dan kematian karena serangan campak. Penyakit ini bisa memperburuk
defisiensi vitamin A. Morbiditas dan mortalitas campak pada populasi gizi
buruk mudah dicegah dengan memberi vaksinasi pada anak berusia 6
bulan sampai 14 tahun. Suplemen vitamin A juga diperlukan pada anak
yang berusia di bawah 5 tahun karena meminimalkan komplikasi campak
seperti kebutaan, pneumonia dan diare.12
2. Diare
Menyediakan air bersih dan sanitasi yang baik, serta edukasi masyarakat
tentang keamanan pangan di rumah tangga merupakan langkah penting
untuk mengurangi terjadinya penyakit diare. Tindakan yang paling penting
dalam tatalaksana penyakit diare pada anak balita adalah memastikan ibu
terus menyusui anaknya, selama dan setelah diare. Suplemen zinc
diberikan selama 10-14 hari untuk anak-anak dengan diare akut (20 mg
sehari dan 10 mg untuk bayi di bawah 6 bulan) dapat mengurangi tingkat
keparahan diare dan mencegah kejadian lebih lanjut dalam 2-3 bulan ke
depan.13
3. Tuberkulosis

9
Meski bukan penyebab utama kematian pada fase darurat, tuberkulosis
sering muncul sebagai masalah kritis begitu penyakit campak dan diare
cukup memadai untuk dikendalikan. Tuberkulosis, yang seringkali terjadi
bersamaan dengan HIV / AIDS, sering terjadi pada populasi orang dengan
kekurangan gizi. Disfungsi sistem kekebalan tubuh dapat meningkatkan
kerentanan terhadap infeksi tuberkulosis. Temuan kasus TB dapat
dikonfirmasi melalui pemeriksaan mikroskopik sputum. Pengobatan yang
tepat untuk pasien TB yaitu sesuai dengan persyaratan pada sistem
directly observed tuberculosis short course (DOTS).13
4. Xeroftalmia
Penyakit ini sering ditemukan pada malnutrisi yang berat terutama pada
tipe marasmus-kwashiokor. Pada kasus malnutrisi ini, vitamin A serum
sangat rendah sehingga dapat menyebabkan kebutaan. Oleh sebab itu,
setiap anak dengan malnutrisi sebaiknya diberikan vitamin A baik secara
parenteral maupun oral, ditambah dengan diet makanan yang mengandung
vitamin A.13
2.1.7 Tatalaksana
Anak yang terdeteksi memiliki gizi buruk harus dilakukan pemeriksaan
klinis secara keseluruhan terlebih dahulu untuk mengonfirmasi adanya
kemungkinan komplikasi. Selain itu, nafsu makan anak juga perlu diidentifikasi.
Jika anak memiliki nafsu makan serta keadaan umum yang baik, maka anak dapat
dirawat jalan. Sedangkan jika telah terdapat komplikasi, edema berat atau nafsu
makan yang buruk, maka anak akan dirawat inap. Anak harus dipisahkan dari
pasien infeksi dan ditempatkan diruangan yang hangat (25-30oC).1,14

10
Tabel 2.2 Fase tatalaksana gizi buruk.14
No Stabilisasi Rehabilitasi
Hari 1-2 Hari 3-7 Minggu 2-6
1. Pencegahan atau
tatalaksana
hipoglikemia
2. Pencegahan atau
tatalaksana hipotermia
3. Tatalaksana atau
pencegahan dehidrasi
4. Memperbaiki gangguan
keseimbangan elektrolit
5. Mengobati infeksi
6. Koreksi defisiensi non zat besi Dengan zat besi
mikronutrien
7. Mulai memberikan
makanan dengan
perlahan
8. Memberikan makanan
untuk tumbuh kejar
9. Memberikan stimulasi
untuk tumbuh kembang
10. Mempersiapkan untuk
tindak lanjut di rumah

Berdasarkan tabel diatas, dapat diketahui bahwa penatalaksanaan gizi


buruk dilakukan melalui dua fase yaitu fase stabilisasi dan fase rehabilitasi.1,14

1. Fase stabilisasi
Fase stabilisasi berlangsung selama 7 hari dengan tujuan untuk
memperbaiki fungsi seluler, fungsi cairan, ketidakseimbangan elektrolit,
homeostasis serta mencegah infeksi. Pada fase ini dillakukan pencegahan
atau tatalaksana terhadap hipoglikemia, hipotermia dan dehidrasi. Selain
itu, juga dilakukan koreksi terhadap gangguan keseimbangan elektrolit,
mengobati infeksi, koreksi defisiensi mikronutrien, serta memberikan
stimulasi untuk tumbuh kembang.14
a. Hipoglikemia
Hipoglikemia adalah keadaan dimana kadar glukosa darah jauh dibawah
nilai normal yaitu <3mmol/L atau < 54mg%. Klinis yang dijumpai pada

11
hipoglikemia umumnya adalah letargi. Penatalaksanaan hipoglikemia
adalah sebagai berikut:13,14
1) Apabila anak sadar dan tidak ada letargi, maka diberikan larutan
glukosa 10% atau larutan gula pasir 10% secara oral atau melalui
nasogastric tube (NGT), kemudian diberikan bolus sebanyak 50ml.13,14
2) Apabila anak tidak sadar dan tampak letargi, maka diberikan larutan
glukosa 10% secara intravena, dibolus sebanyak 5ml/kgBB.
Selanjutnya diberikan larutan glukosa 10% atau larutan gula pasir
10% secara oral atau melalui nasogastric tube (NGT) sebanyak
50ml.13,14
3) Apabila terdapat renjatan (syok), maka diberikan ringer laktat dan
dektrosa/glukosa 10% dengan perbandingan 1:1 (sama dengan RLG
5%). Larutan tersebut diberikan sebanyak 15ml/kgBB selama 1 jam
pertama atau 5 tetes/menit/kgBB. Selanjutnya diberikan larutan
glukosa 10% melalui intravena sebanyak 5ml/kgBB.13,14
Pencegahan hipoglikemia dilakukan dengan segera memberikan
makanan pada anak, makanan diberikan setiap 3 jam baik pada siang
maupun malam hari. Kehangatan juga diberikan agar anak tidak
hipotermi.13,14

b. Hipotermia
Hipotermia adalah keadaan dimana suhu aksila <350C atau suhu rektal
<35,50C. Hipotermia biasanya bersamaan dengan hipoglikemia.
Pencegahan terhadap hipotermia dapat dilakukan dengan beberapa hal
berikut, yaitu:13,14
1) Menyelimuti anak atau bayi termasuk kepalanya
2) Menghindari hembusan angin berlebihan didalam ruang rawatan
3) Mempertahankan suhu ruangan dalam rentang 25-300C
4) Jika bayi akan diperiksa, tangan di hangatkan terlebih dahulu
5) Pakaian bayi atau anak segera diganti jika sudah basah
6) Suhu tubuh di monitor setiap 30 menit untuk memastikan suhu pasien
tidak terlalu tinggi

12
7) Tindakan penghangatan dihentikan apabila suhu tubuh sudah
mencapai 370C
c. Dehidrasi
Anak dengan dehidrasi ditandai dengan letargi, gelisah, rewel, tidak ada air
mata, mata cekung, mulut dan lidah kering, haus serta turgor kulit yang
lambat. Keseimbangan cairan pada dehidrasi diberikan dengan pemberian
rehydration solution for malnutrition (ReSoMal) sampai defisit berat
badannya terkoreksi. Cairan dihentikan jika anak sudah mengalami
rehidrasi. Pemberian pertama yaitu sebanyak 10ml/kgBB/2jam pertama,
melalui nasogastric tube (NGT). Evaluasi yang dilakukan setelah
pemberian cairan yaitu:1,13,14
1) Apabila terdapat penambahan berat badan tetapi terjadi perburukan
kondisi klinis, menunjukkan diagnosis dehidrasi yang ditegakkan
adalah suatu hal yang salah. Oleh karena itu, pemberian cairan
dihentikan dan pemberian formula 75 (F-75) dimulai.
2) Apabila terdapat penambahan berat badan dan tidak ada perbaikan
maupun perburukan klinis, kemungkinan diagnosis dehidrasinya
salah, maka diberikan salah satu dari F-75 atau sebagai alternatif F-75
dan ReSoMal.
3) Apabila terdapat penambahan berat badan dan terjadi perbaikan klinis
tetapi masih ada tanda-tanda dehidrasi, maka pemberian cairan
dilanjutkan sampai target berat badan terpenuhi. Formula 75 dan
ReSoMal diberikan atau ReSoMal saja yang dilanjutkan.
4) Apabila terdapat penambahan berat badan dan terjadi resolusi pada
dehidrasinya, maka semua terapi cairan dihentikan dan F-75 mulai
diberikan.
5) Apabila berat badan terus mengalami penurunan, maka pemberian
cairan ReSoMal ditingkatkan menjadi 10ml/kgBB/jam, kemudian
evaluasi lagi setelah 1 jam.
6) Apabila tidak terdapat penambahan berat badan, maka laju pemberian
ReSoMal ditingkatkan menjadi 5ml/kgBB/jam, kemudian evaluasi
lagi setelah 1 jam.

13
d. Koreksi keseimbangan elektrolit
Pada anak dengan gizi buruk dapat terjadi gangguan keseimbangan
elektrolit yang meliputi natrium, kalium maupun magnesium. Seluruh anak
dengan gizi buruk memiliki kadar natrium yang berlebih didalam tubuhnya,
meskipun kadar natrium di plasma bisa saja rendah. Untuk kalium dan
magnesium dapat terjadi defisiensi dan membutuhkan waktu paling kurang
2 minggu untuk melakukan koreksi. Gangguan keseimbangan elektrolit
inilah yang menyebabkan edema pada anak dengan gizi buruk, oleh karena
itu diuretik tidak boleh diberikan pada anak gizi buruk yang mengalami
edema.1,13
e. Mencegah dan mengobati infeksi
Infeksi yang terjadi pada anak dengan gizi buruk diobati dengan antibiotik
spektrum luas. Pemilihan antibiotiknya tergantung kepada kondisi anak,
yaitu:1,13
1) Apabila anak sakit parah (apatis, letargi) atau memiliki komplikasi
(hipoglikemia, hipotermia, gangguan kulit, meningitis, infeksi pada
saluran napas serta saluran kemih) dan dicurigai adanya sepsis, maka
diberikan seftriakson. Antibiotik ini diberikan dengan dosis
100mg/kgBB/hari selama 7 hari dan diberikan melaui jalur intra vena
atau intramuskular.
2) Apabila anak memiliki komplikasi tanpa adanya sepsis yang berat dan
bukan merupakan suatu keadaan yang gawat, maka diberikan
ampisilin atau gentamisin. Ampisilin diberikan dengan dosis
50mg/kgBB, 6 kali pemberian dalam sehari dan diberikan selama 7
hari. Setelah 2 hari, ampisilin diberikan melalui oral dengan dosis
30mg/kgBB, diberikan 3 kali sehari selama 7 hari. Gentamisin juga
dapat diberikan dengan dosis 7,5mg/kgBB, diberikan secara intravena
ataupun intamuskular dengan frekuensi satu kali sehari selama 7 hari.
3) Apabila anak tidak memiliki komplikasi, berikan antibiotik oral yaitu
amoksisilin 15mg/kgBB dengan frekuensi 3x/hari selama 5 hari.
f. Pemberian makan secara perlahan

14
Pemberian makanan harus dimulai sesegera mungkin pada anak dengan
gizi buruk. Makanan yang diberikan adalah F-75. Ketentuan pemberian
makannya adalah:1,13
1) Makanan diberikan dalam porsi kecil tapi sering, rendah osmolaritas
dan rendah laktosa
2) Makanan diberikan secara oral atau melalui NGT
3) Energi yang diberikan yaitu 100kkal/kg/hari
4) Protein yang diberikan yaitu 0,9-1 gram/kg/hari
5) Volume makanan yang diberikan adalah 30ml/kg/hari jika tidak ada
edema atau terdapat edema ringan, akan tetapi 100ml/kg/hari jika
terdapat edema yang hebat
6) Bayi yang masih menyusui tetap diberikan air susu ibu (ASI)

Selama pemberian makan, dilakukan monitoring terahadap


toleransi makan anak dengan beberapa hal berikut yaitu:1,13
1) Jumlah makanan yang dapat dihabiskan
2) Muntah
3) Buang air besar
4) Berat badan
Apabila nafsu makan anak sudah baik, biasanya dalam seminggu
dan atau edema sudah hilang atau berkurang, tatalaksana gizi buruk dapat
diubah menjadi fase rehabilitasi dan mengubah F-75 menjadi formula 100
(F-100).8

15
Tabel 2.3 Formula WHO 13
Formula WHO
Bahan Makanan Per 1000 ml F75 F100
Formula WHO
Susu skin bubuk G 25 85
Gula pasir G 100 50
Minyak sayur G 30 60
Larutan elektrolit Ml 20 20
Teoung beras G
Tambahan air s/d Ml 1000 1000
Nilai Gizi
Energi Kkal 750 1000
Protein G 9 29
Laktosa G 13 42
Kalium Mmol 36 59
Natrium Mmol 6 19
Magnesium Mmol 4,3 7,3
Seng Mg 20 23
Tembaga Mg 2,5 2,5
% energi protein - 5 12
% energi lemak - 36 53
Osmolaritas mOsm/L 413 419

Berdasarkan tabel diatas dapat diketahui komposisi dan takaran masing-


masing formula. Formula 75 diberikan pada fase stabilisasi, sedangkan F-100
diberikan pada fase rehabilitasi. Anak dengan gizi buruk memerlukan perawatan
karena terdapat berbagai komplikasi yang membahayakan hidupnya. Tindakan
yang dilakukan berdasarkan pada ada atau tidaknya tanda bahaya dan tanda
penting, yang dikelompokkan menjadi 5, yaitu:1

a. Kondisi I
Kondisi I yaitu apabila ditemukan renjatan (syok), letargis, muntah atau
diare atau dehidrasi. Pada kondisi ini dilakukan rencana I, dengan tindakan
segera, yaitu, memberikan oksigen (O2) 1-2L/menit, memasang infus
ringer laktat dan dextrose atau glukosa 10% dengan perbandingan 1:1
(RLG 5%), memberikan glukosa 10% intravena (IV) bolus dengan dosis
5ml/kgBB bersamaan dengan ReSoMal 5ml/kgBB melalui NGT. 7 Pada 1
jam pertama, dilanjutkan dengan pemberikan cairan RLG 5% sebanyak
15ml/kgBB selama 1 jam atau 5 tetes/menit/kgBB (infus tetes makro
20cc/menit) dan mencatat nadi dan frekuensi nafas setiap 10 menit.1

16
Apabila pada jam kedua, denyut nadi tetap lemah dan frekuensinya
tetap tinggi serta frekuensi nafas tetap tinggi, maka pemberian cairan
intravena diteruskan dengan dosis diturunkan menjadi 1 tetes
makro/menit/kgBB (4ml/kgBB/jam), namun apabila nadi menguat dan
frekuensi nafas menurun maka infus diteruskan dengan cairan dan tetesan
yang sama selama 1 jam. Jika rehidrasi belum selesai dan anak minta
minum, maka berikan ReSoMal sesuai dengan kemampuan anak.
Frekuensi nadi dan nafas dicatat setiap 10 menit.1
Sepuluh jam berikutnya, frekuensi nadi dan nafas tetap dicatat
setiap 1 jam. Larutan ReSoMal dan F-75 diberikan berselang-seling setiap
1 jam. Jika sudah terjadi rehidrasi dan tidak ada diare, maka pemberian
ReSoMal dihentikan dan F-75 diteruskan setiap 2 jam. Frekuensi nadi dan
nafas dicatat setiap 1 jam. Harus diperhatikan tanda-tanda over rehidrasi
yang dapat menyebabkan gagal jantung. Apabila anak diare, maka setiap
diare diberikan ReSoMal.1
Jika diare/muntah berkurang dan anak dapat menghabiskan sebagian besar
F-75, maka F-75 diberikan setiap 3 jam dengan sisanya diberikan lewat
NGT. Akan tetapi, jika tidak ada diare/muntah dan anak dapat
menghabiskan F-75, maka pemberian F-75 diganti menjadi setiap 4 jam.1

b. Kondisi II
Kondisi II yaitu apabila ditemukan letargis dan muntah atau diare atau
dehidrasi. Pada kondisi ini dilakukan rencana II, dengan tindakan segera,
yaitu memberikan bolus glukosa 10 % intravena (5ml/kgBB). Pemberian
selanjutnya dengan glukosa atau larutan gula pasir 10% melalui NGT
sebanyak 50ml.1
Pada dua jam pertama diberikan ReSoMal secara oral/NGT setiap
30 menit sebanyak 5ml/kgBB setiap pemberian. Frekuensi nadi, nafas dan
pemberian ReSoMal dicatat setiap 30 menit. Jika setelah 2 jam pertama
keadaan anak memburuk (renjatan/syok), maka infus segera dipasang,
kembali ke rencana I tanpa memberikan bolus glukosa.1
Jika setelah 2 jam keadaan anak membaik, maka 10 jam berikutnya
pemberian ReSoMal diteruskan berselang-seling dengan F-75 setiap 1

17
jam. Frekuensi nadi dan napas dicatat setiap 1 jam. Jika diare dan muntah
berkurang, anak mampu menghabiskan sebagian besar F-75, maka F-75
diberikan setiap 3 jam. Apabila tidak ada diare/muntah dan anak dapat
menghabiskan F-75, maka pemberian F-75 diganti menjadi setiap 4 jam.1

c. Kondisi III
Kondisi III yaitu apabila ditemukan muntah dan atau diare atau dehidrasi.
Pada kondisi ini dilakukan rencana III, dengan tindakan segera, yaitu
memberikan 50ml glukosa atau larutan gula pasir 10% (oral/NGT). Pada 2
jam pertama, ReSoMal diberikan secara oral / NGT setiap 30 menit,
sebanyak 5ml/kgBB setiap pemberian. Frekuensi nadi, nafas dicatat setiap
30 menit. Jika keadaan memburuk (renjatan/syok) maka infus segera
dipasang, kembali ke rencana I tanpa memberikan bolus glukosa. Jika
membaik, maka 10 jam berikutnya, pemberian ReSoMal diteruskan
berselang-seling dengan F-75 setiap 1 jam. Frekuensi nadi dan napas tetap
dicatat.28 Apabila diare dan muntah berkurang, anak mampu menghabiskan
F-75, berikan F-75 setiap 3 jam. Apabila tidak ada diare/muntah dan anak
dapat menghabiskan F-75, ubah pemberian F-75 menjadi setiap 4 jam.1

d. Kondisi IV
Kondisi IV yaitu apabila ditemukan letargis. Pada kondisi ini dilakukan
rencana IV, dengan tindakan segera yaitu memberikan bolus glukosa 10%
intravena sebanyak 5ml/kgBB. Kemudian dilanjutkan dengan glukosa atau
larutan gula pasir 10% melalui NGT sebanyak 50ml. Pada 2 jam pertama,
diberikan F-75 setiap 30 menit, satu per empat dari dosis untuk 2 jam
sesuai dengan berat badan (NGT). Apabila anak belum sadar (masih
letargi), maka pemberian F-75 diulangi setiap 30 menit, satu per empat
dari dosis untuk 2 jam sesuai dengan berat badan (NGT). Kemungkinan
penyebab lain dipikirkan jika anak masih belum sadar. Frekuensi nadi,
napas serta kesadaran dicatat setiap 30 menit.1
Apabila anak sudah sadar, maka pada 10 jam berikutnya pemberian
F-75 tetap dilanjutkan setiap 2 jam (oral/NGT). Frekuensi nadi dan napas
dicatat setiap 1 jam. Apabila anak mampu menghabiskan sebagian besar F-

18
75, pemberian diganti menjadi setiap 3 jam dan apabila anak dapat
menghabiskan F-75, pemberian diganti menjadi setiap 4 jam.1

e. Kondisi V
Kondisi V yaitu apabila tidak ditemukan renjatan (syok), letargis, muntah
dan atau diare atau dehidrasi. Pada kondisi ini dilakukan rencana V,
dengan tindakan segera yaitu memberikan 50ml glukosa atau larutan gula
pasir 10% oral serta mencatat frekuensi nadi, nafas dan kesadaran.1
Pada 2 jam pertama diberikan F-75 setiap 30 menit satu per empat dari
dosis untuk 2 jam sesuai berat badan. Frekuensi nadi, nafas, kesadaran dan
asupan F-75 dicatat setiap 30 menit.1
Sepuluh jam berikutnya diteruskan pemberian F-75 setiap 2
jam.frekuensi nadi, nafas dan asupan F-75 dicatat. Apabila anak dapat
menghabiskan sebagian besar F-75, maka pemberian diganti menjadi
setiap 3 jam. Apabila anak dapat menghabiskan F-75, maka pemberian
diganti menjadi setiap 4 jam. Pada rencana I-V, jika anak masih menyusu,
maka ASI tetap diberikan diantara F-75.1

2. Fase Rehabilitasi
Fase rehabilitasi adalah suatu terapi gizi buruk yang bertujuan untuk
mengembalikan jaringan yang hilang atau catch-up growth. Fase ini
ditandai dengan kembalinya nafsu makan, tidak ada hipoglikemi serta
edema berkurang atau menghilang. Fase ini penting karena akan terjadi
perbaikan sistem metabolik sehingga dapat terjadi peningkatan berat
badan.1
Peningkatan berat badan harus dilakukan secara bertahap karena
peningkatan berat badan yang terlalu cepat berpotensi terjadi “refeeding
syndrome”. Oleh karena itu, diperlukan transisi bertahap dari F75 menjadi
F100 atau menjadi RUTF (Ready to use therapeutic food) selama lebih
dari 2-3 hari. Setelah itu, dapat diberikan susu formula tinggi kalori tinggi
protein yaitu F100 (100 kkal dan 3g protein per 100 cc) atau RUTF atau
makanan keluarga yang telah dimodifikasi sesuai dengan kebutuhan.
Selanjutnya, F100 dinaikkan sebanyak 10 mL sampai makanan bersisa.1

19
Pemberian makanan setelah fase transisi selesai dilakukan sesering
mungkin dengan jumlah tidak terbatas (maksimal 200 mL/kgBB/hari).
F100 diberikan sebanyak 150-220 kkal/kgBB/hari dan 4-6 gram
protein/kgBB/hari dan dilanjutkan dengan pemberian kalium, magnesium
serta mikronutrien lainnya. Zat besi dapat ditambahkan 3mg/kgBB/hari.
Pemberian ASI tetap dilanjutkan apabila bayi dapat menyusu.1
RUTF diberikan sedikit tetapi teratur dan anak harus didorong
untuk makan sesering mungkin (awalnya 8 kali makan sehari dan setelah
itu 5-6 kali makan sehari). Jika anak tidak dapat menghabiskan semua
RUTF, dapat ditambahkan F75 hingga anak dapat menghabiskan semua
makanan. Jika anak tidak dapat menghabiskan sebagian RUTF dalam 12
jam, RUTF dapat dihentikan dan kemudian diberi F75. Setelah itu, RUTF
dapat diulangi dalam 1 sampai 2 hari.1
Perkembangan anak setelah fase transisi harus dimonitor dengan
mengukur berat badan setiap pagi sebelum diberi makan. Penambahan
berat badan tersebut dicatat setiap 3 hari (g/kg per hari). Jika penambahan
berat badan kurang dari 5g/kgBB/hari, pemeriksaan ulang harus dilakukan.
Jika 5-10 kgBB/hari, dapat diperiksa apakah intake target sudah tercapai
atau belum atau apakah ada infeksi yang terlewatkan. Jika besar dari
10kgBB/hari maka dapat dikatakan bahwa penambahan berat badannya
baik.1

2.2 Hipotiroid Kongenital


2.2.1 Definisi
Hipotiroid kongenital adalah suatu keadaan hormon tiroid yang tidak
adekuat pada bayi baru lahir sehingga tidak mampu memenuhi kebutuhan tubuh
yang dapat disebabkan oleh kelainan anatomi kelenjar tiroid, kelainan genetik,
kesalahan biosintesis tiroksin serta pengaruh lingkungan.15

2.2.2 Epidemiologi
Insiden hipotiroid kongenital bervariasi antar negara, umumnya sebesar 1 :
3000 – 4000 kelahiran hidup. Dengan penyebab tersering adalah, disgenesis tiroid
yang mencakup 80% kasus. Lebih sering ditemukan pada anak perempuan

20
daripada laki-laki dengan perbandingan 2:1. Anak dengan sindrom Down
memiliki resiko 35 kali lebih tinggi untuk menderita hipotiroid kongenital
dibanding anak normal. Insiden hipotiroid di Indonesia diperkirakan jauh lebih
tinggi yaitu sebesar 1:1500 kelahiran hidup. Prevalensi ini lebih rendah pada
Amerika Negro (1 dalam 32.000), dan lebih tinggi pada keturunan Spanyol dan
Amerika asli (1 dalam 2000).15,16
Penyebab hiptiroid yang paling sering di dunia ialah defisiensi Iodium
yang merupakan komponen pokok tiroksin (T4) dan triiodotrionin (T3). Anak
yang lahir dari ibu dengan defisinsi Iodium berat akan mengalami hipotiroid yang
tidak terkompensasi karena hormon tiroid ibu tidak dapat melewati plasenta.16
Banyak faktor yang berperan pada hipotiroid sehingga gambaran klinisnya
bervariasi. Terjadinya hipotiroid tidak dipengaruhi oleh faktor geografis, sosial
ekonomi, maupun iklim dan tidak terdapat predileksi untuk golongan etnis
tertentu. Umumnya kasus tiroid kongenital timbul secara sporadik. Faktor genetik
hanya berperan pada hipotiroid tipe tertentu yang diturunkan secara autosomal
resesif.16

2.2.5 Etiologi dan Patogenesis


Hipotiroid dapat terjadi melalui jalur berikut
Jalur 1
Agenesis tiroid dan keadaan lain yang sejenis menyebabkan sintesis dan
sekresi hormon tiroid menurun sehingga terjadi hipotiroid primer dengan
peningkatan kadar TSH tanpa adanya struma.16
Jalur 2
Defisiensi iodium berat menyebabkan sintesis dan sekresi hormon tiroid
menurun, sehingga hipofisis non sekresi TSH lebih banyak untuk memacu
kelenjar tiroid mensintesis dan mensekresi hormon tiroid agar sesuai dengan
kebutuhan. Akibatnya kadar TSH meningkat dan kelenjer tiroid membesar
(stadium kompensasi). Walaupun pada stadium ini terdapat struma difusa dan
peningkatan kadar TSH, tetapi kadar tiroid tetap normal. Bila kompensasi ini
gagal, maka akan terjadi stadium dekompensasi, yaitu terdapatnya struma difusa,
peningktan kadar TSH, dan kadar hormon tiroid rendah.16

21
Jalur 3
Semua hal yang terjadi pada kelenjer tiroid dapat mengganggu atau
menurunkan sintesis hormon tiroid (bahan/ obat goitrogenik, tiroiditis, pasca
tiroidektomi, pasca terapi dengan iodium radioaktif, dan adanya kelainan enzim
didalam jalur sintesis hormon tiroid) disebut dishormogenesis yang
mengakibatkan sekresi hormon tiroid menurun, sehingga terjadi hipotiroid dengan
kadar TSH tinggi, dengan/tanpa struma tergantung pada penyebabnya.16
Jalur 4A
Semua keadaan yang menyebabkan penurunan kadar TSH akibat kelainan
hipofisis akan mengakibatkan hipotiroid tanpa struma dengan kadar TSH yang
sangat rendah atau tidak terukur.16
Jalur 4B
Semua kelainan hipotalamus yang mengakibatkan yang menyebabkan
sekresi TSH ynag menurun akan menyebabkan hipotiroid dengan kadar TSH
rendah dan tanpa struma.16
Jalur 1, 2, dan 3 adalah patogenesis hipotiroid primer dengan kadar TSH
yang tinggi. Jalur 1 tanpa desertai struma, jalur 2 disertai struma, dan jalur 3
dapat dengan atau tanpa struma. Jalur 4A dan 4B adalah patogenesis hipotiroid
sekunder dengan kadar TSH yang tidak terukur atau rendah dan tidak ditemukan
struma.16

2.2.3 Diagnosis
Diagnosis dibuat berdasarkan anamnesis, gejala klinis, pemeriksaan
laboratorium, pemeriksaan radiologis dan skrining.16
Anamnesis
Anamnesis yang cermat pada keluarga dapat membantu menegakkan
diagnosis dengan menanyakan apakah ibu berasal dari daerah gondok endemik,
riwayat struma pada ibu, riwayat pengobatan anti tiroid waktu hamil atau tidak,
riwayat struma pada keluarga dan perkembangan anak. 16,17

22
Gejala Klinis
Kebanyakan anak dengan hipotiroid kongenital, gejala klinis pada periode
neonatal sangatlah jarang atau ringan dan tidak spesifik, meskipun terdapat
agenesis kelenjar tiroid komplit.15
Berat badan dan panjang lahir adalah normal, tetapi ukuran kepala dapat
sedikit meningkat karena miksedema otak. Ikterus fisiologis yang
berkepanjangan, yang disebabkan oleh maturasi glukoronid konjugasi yang
terlambat, mungkin merupakan gejala paling awal. Kesulitan memberi makan,
terutama kelambanan, kurang minat, somnolen, dan serangan tersedak saat
dirawat, sering muncul selama umur bulan pertama. Kesulitan bernapas, sebagian
karena lidah yang besar, termasuk episode apnea, pernapasan berbunyi, dan
hidung tersumbat. Sindrom distres pernapasan yang khas juga dapat terjadi. Bayi
yang terkena sedikit menangis, banyak tidur, tidak selera makan, dan biasanya
lamban. Mungkin ada konstipasi yang biasanya tidak berespon terhadap
pengobatan. Perut besar dan biasanya ada hernia umbilikalis. Suhu badan
subnormal, sering dibawah 350C, dan kulit terutama tungkai, mungkin dingin dan
burik (mottled). Edema genital dan tungkai mungkin ada. Nadi lambat, bising
jantung, kardiomegali, dan efusi perikardium asimptomatik biasanya ada. Anemia
makrositik sering ada dan refrakter terhadap pengobatan dengan hematinik.
Karena gejala-gejala muncul secara bertahap, diagnosis sering kali terlambat.17
Manifestasi ini terus berkembang. Retardasi perkembangan fisik dan
mental menjadi lebih besar selama bulan-bulan berikutnya, dan pada usia 3-6
bulan, gambaran klinis berkembang sepenuhnya. Bila hanya ada defisiensi
hormon tiroid parsial, gejalanya dapat lebih ringan, dan onsetnya terlambat.
Meskipun air susu ibu mengandung sejumlah hormon tiroid, terutama T3, hormon
ini tidak cukup untuk melindungi bayi yang menyusu dengan hipotiroidisme
kongenital, dan tidak mempunyai pengaruh pada uji skrining tiroid neonatus.7,17
Pertumbuhan anak tersendat, ekstremitas pendek, dan ukuran kepala
normal atau bahkan meningkat. Fontanella anterior dan posterior terbuka lebar.
Pengamatan tanda ini pada saat lahir dapat berperan sebagai pedoman awal untuk
mengenali hipotiroidisme kongenital. Hanya 3% bayi baru lahir normal memiliki
fontanella posterior yang lebih besar dari 0,5cm. Matanya tampak terpisah lebar,
dan jembatan hidung yang lebar terlihat cekung. Fisura palpebra sempit dan
kelopak mata membengkak. Mulut terbuka, dan lidah yang tebal serta lebar
terjulur ke luar. Pertumbuhan gigi terlambat. Leher pendek dan tebal, terdapat
endapan lemak di atas klavikula dan diantara leher dan bahu. Tangan lebar dan
jari pendek. Kulit kering dan bersisik, dan sedikit keringat. Miksedema tampak,
terutama pada kulit kelopak mata, punggung tangan, dan genitalia eksterna.
Karotenemia dapat menyebabkan warna kulit menjadi kuning, tetapi skleranya
tetap putih. Kulit kepala tebal dan rambut kasar, mudah patah dan tipis. Garis
rambut menurun jauh ke bagian bawah dahi, yang biasanya tampak mengerut,
terutama ketika bayi menangis.7
Perkembangan biasanya terlambat. Bayi hipotiroid tampak letargi dan
lamban dalam belajar duduk dan berdiri. Suaranya serak dan bayi tidak mau
belajar berbicara. Tingkat retardasi fisik dan mental meningkat sejalan dengan
usianya. Maturasi seksual dapat terlambat atau tidak terjadi sama sekali.17
Otot biasanya hipotonik, tetapi pada keadaan yang jarang, terjadi
pseudohipertrofi otot menyeluruh (sindrom Kocher-Debre-Semelaigne sindrome).
Anak yang terkena dapat berpenampilan atletis karena pseudohipertrofi, terutama
pada otot betis. Patogenesisnya belum diketahui. Perubahan ultrastruktural dan
histokimia yang tidak spesifik tampak pada biopsi otot yang kembali normal
dengan pengobatan. Sindrom ini cenderung berkembang pada anak laki-laki, yang
telah diamati pada saudara kandung yang lahir dari perkawinan sedarah. Penderita
menderita hipotiroidisme yang lebih lama dan lebih berat. 17
Tabel 2.4. Gejala Hipotiroid Kongenital 17

Sistem organ Manifestasi Klinis


Kulit dan jaringan ikat Kulit dingin, kering dan pucat, rambut
kasar, kering dan rapuh, kuku tebal, lambat
tumbuh.
Miksedema, carotenemia, Puffy face,
makroglosi, erupsi gigi lambat, hipoplasia
enamel.
Kardiovaskuler Bradikardi, efusi perikardial, kardiomegali,
tekanan darah rendah.
Neuromuskuler Lamban (mental dan fisik), gangguan
neurologis dan fisik, refleks tendon lambat,
hipotonia, hernia umbilikalis, retardasi ental,
disfungsi serebelum (pada bayi), tuli.
Pernafasan Efusi pleura, sindrom sleep apnoe (obstruksi
saluran nafas karena lidah besar, hipotoni
otot faring), sindrom distress nafas.
Ginjal dan metabolisme elektrolit Retensi air, edema, hiponatremia,
hipokalsemia
Metabolisme karbohidrat,
lemak dan protein Gemuk, intoleransi terhadap dingin, absorbsi
glukosa lambat, hiperlipidemia, sintesis
proteolipid dan protein pada susunan saraf
bayi menurun.
Saluran cerna dan hepar Obstpasi (menurunnya gerakan usus),
ikterus berkepanjangan (fungsi konjugasi
hepar menurun)
Hematopoetik Anemia karena menurunnya eritropoesis,
kemampuan absorbsi zat besi rendah.
Skelet/somatik Produksi GH dan IGF 1 menurun,
menyebabkan hambatan pertumbuhan, pusat
osifikasi sekunder terhambat, maturitas dan
aktifitas sel-sel tulang menurun.
Reproduksi Pubertas terlambat, pubertas precoks,
gangguan haid.

Pemeriksaan Laboratorium
Pada pemeriksaan hipotiroid kongenital ditemukan nilai TSH meningkat,
dan T3 serta T4 menurun. Kadar T4 serum rendah, kadar T3 serum dapat normal
dan tidak bermanfaat pada diagnosis. Jika defeknya terutama pada tiroid, kadar
TSH meningkat, sering diatas 100µU/mL. Kadar prolaktin serum meningkat,
berkorelasi dengan kadar TSH serum. Kadar Tg serum biasanya rendah pada bayi
dengan disgenesis tiroid atau defek sintesis atau sekresi Tg. Kadar Tg yang tidak
dapat dideteksi biasanya menunjukkan aplasia tiroid.15
Pemeriksaan Radiologis
Retardasi perkembangan tulang dapat ditunjukkan dengan roentgenographi
saat lahir dan sekitar 60% bayi hipotiroid kongenital menunjukkan kekurangan
hormon tiroid selama kehidupan intrauterine. Contohnya, distal femoral epiphysis,
yang biasanya ada saat lahir, sering tidak ada. Pada pasien yang tidak diobati,
ketidaksesuaian antara umur kronologis dan umur osseus meningkat. Epiphyses
sering memiliki beberapa fokus penulangan (epifisis disgenesis), deformitas
(retak) dari vertebra thorakalis 12 atau ruas lumbal 1 atau 2 sering ditemukan.
Foto tengkorak menunjukkan fontanela besar dan sutura lebar, tulang antar sutura
biasanya ada. Sella tursica sering besar dan bulat, dalam kasus-kasus langka
mungkin ada erosi dan menipis. Keterlambatan pada pembentukan dan erupsi
gigi dapat terjadi. Pembesaran jantung atau efusi perikardial mungkin ada.17
Skintigraphy dapat membantu menentukan penyebab pada bayi dengan
hipotiroid bawaan, tetapi pengobatan tidak boleh ditunda karena pemeriksaan ini.
123 99m
Pemeriksaan I-natrium iodida lebih unggul dari Tc-natrium pertechnetate
untuk tujuan ini. Ultrasonographic tiroid sangat membantu, tapi penelitian
menunjukkan jaringan tiroid ektopik yang tidak terdeteksi dengan USG tiroid dan
ini dapat ditunjukkan oleh skintigrapI. Rendahnya level TG serum menunjukkan
agenesis dan peningkatan Tg serum ada pada kelenjar ektopik dan gondok, tetapi
ada tumpang tindih dengan rentang luas. Adanya jaringan tiroid ektopik adalah
diagnostik untuk disgenesis tiroid yang membutuhkan pengobatan seumur hidup
dengan T4. Kegagalan menemukan jaringan tiroid menunjukkan tiroid aplasia,
tetapi hal ini juga terjadi pada bayi dengan defek trapping- iodida. Kelenjar tiroid
yang normal dengan ambilan radionuklida yang normal atau meningkat
menunjukkan cacat dalam biosintesis hormon tiroid. Pasien dengan goiter
hipotiroidisme memerlukan evaluasi lebih lanjut yaitu pemeriksaan radioiodine,
uji cairan perklorat, penelitian kinetik, kromatografi, dan pemeriksaan jaringan
tiroid, jika sifat biokimia defek harus ditentukan.15,17
Elektrokardiogram mungkin menunjukkan gelombang P dan T voltase
rendah dengan amplitudo kompleks QRS yang berkurang dan menunjukkan
fungsi ventrikel kiri jelek dan efusi perikardial. Elektroensefalogram sering
menunjukkan voltase rendah. Pada anak-anak yang berumur lebih dari 2 tahun,
tingkat kolesterol serum biasanya meningkat. MRI otak sebelum pengobatan
dilaporkan normal, meskipun spektroskopi resonansi magnetik proton
menunjukkan tingkat tinggi yang mengandung senyawa kolin, yang mungkin
mencerminkan blok di pematangan myelin.15,17

2.2.7 Tatalaksana
Walaupun pengobatan hipotiroid efisien, mudah, murah dan memberikan
hasil yang sangat memuaskan, namun perlu dilakukan pemantauan dan
pengawasan yang ketat mengingat pentingnya masa depan anak, khususnya
perkembangan mentalnya.16

Medikamentosa
Terapi harus dimulai segera setelah diagnosis hipotiroid kongenital
ditegakkan. Natrium L-tiroksin (sodium L-thyroxin) merupakan obat yang tepat
untuk pengobatan hipotiroid kongenital. Karena 80% T3 dalam sirkulasi darah
berasal dari monodeiodinasi dari T4 maka dengan dosis yang tepat kadar T4 dan T3
akan segera kembali normal. Dalam prakteknya pemberian dosis inisial berkisar
antara 25, 37,5 atau 50 g per hari. Tiroksin sebaiknya tidak diberikan bersama-
sama dengan protein kedele atau zat besi atau makanan tinggi serat karena
makanan ini akan mengikat T4 dan atau menghambat penyerapannya.15,16
Dosis tiroksin
Pada umumnya dosis bervariasi tergantung dari berat badan dan
disesuaikan dengan respons masing-masing anak dalam menormalkan kadar T 4.
Sebagai pedoman, dosis yang umum digunakan adalah :
Tabel 2.5 Dosis tiroksin
0 – 6 bulan 25-50 g/hari atau 8-15 g/kg/hari
6 – 12 bulan 50-75 g/hari atau 7-10 g/kg/hari
1 – 5 tahun 50-100 g/hari atau 5-7 g/kg/hari
5 – 10 tahun 100-150 g/hari atau 3-5 g/kg/hari
>10-12 tahun 100-200 g/hari atau 2-4 g/kg/hari
Untuk neonatus yang terdeteksi pada minggu awal kehidupan
direkomendasikan untuk diberikan dosis inisial sebesar 10-15 µg/kg/hari karena
lebih cepat dalam normalisasi kadar T4 dan TSH. Bayi-bayi dengan hipotiroidisme
berat ( kadar T4 sangat rendah, TSH sangat tinggi, dan hilangnya epifise femoral
distal dan tibia proksimal pada gambaran radiologi lutut) harus dimulai dengan
dosis 15 µg/kgBB/hari.16
Terapi Dengan Dosis Penuh Atau Bertahap 16
Secara umum pengobatan langsung dengan dosis penuh aman bagi
neonatus. Bila ada tanda-tanda kelainan jantung atau tanda-tanda dekompensasi
jantung, maka pengobatan dianjurkan dimulai dengan dosis rendah, yaitu 1/3
dosis, dan setelah selang beberapa hari dinaikkan 1/3 dosis lagi sampai dosis
penuh yang dianjurkan tercapai.
Monitoring 16
Untuk menentukan dosis pengobatan yang diberikan, harus dilakukan
pemantauan kemajuan klinis maupun kimiawi secara berkala karena terapi setiap
kasus bersifat individual.
Pemantauan pada pasien dengan hipotiroid kongenital antara lain:
1. Pertumbuhan dan perkembangan
2. Pemantauan kadar T4 bebas dan TSH
Kadar T4 harus dijaga dalam batas normal ( 10-16 µg/dl) atau T 4 bebas
dalam rentang 1,4-2,3 ng/dl dengan TSH ditekan dalam batas normal. Jadwal
pemeriksaan kadar T4 dan TSH, yaitu setiap 1-2 bulan selama 6 bulan pertama
kehidupan, tiap 3-4 bulan pada usia 6 bulan - 3 tahun, selanjutnya tiap 6-12 bulan.
Bone-age diperiksa tiap tahun.
Suplementasi Iodium sangat dibutuhkan terutama di daerah defisiensi
Iodium. Umumnya anak yang menderita hipotiroid kongenital dan mendapat
replacement hormon tiroid, asupan makanan yang mengandung goitrogen harus
dibatasi seperti asparagus, bayam, brokoli, kubis, kacang-kacangan, lobak, salada,
dan susu kedelai karena dapat rnenurunkan absorbsi Sodium-L-Tiroksin.15
Di negara maju program skrining hipotiroid kongenital pada neonatus
sudah dilakukan. Sedangkan untuk negara berkembang seperti Indonesia masih
menjadi kebijakan nasional. Tujuannya adalah untuk eradikasi retardasi mental
akibat hipotirod kogenital. Skrining dilakukan dengan mengukur kadar T4 atau
TSH yang dilakukan pada kertas saring pada usia 3-4 hari. Bayi yang memiliki
kadar TSH awal > 50 µU/mL memiliki kemungkinan sangat besar untuk
menderita hipotiroid kongenital permanen, sedangkan kadar TSH 20-49 µU/mL
dapat menunujukkan hipotiroid transien atau positif palsu.16

2.8 Prognosis 15,16


Dengan adanya program skrining neonatus untuk mendeteksi hipotiorid
kongenital, prognosis bayi hipotiroid kongenital lebih baik dari sebelumnya.
Diagnosis awal dan pengobatan yang cukup sejak umur minggu pertama
kehidupan memungkinkan pertumbuhan linier yang normal dan intelegensinya
setingkat dengan saudara kandung yang tidak terkena. Tanpa pengobatan bayi
yang terkena menjadi cebol dan defisiensi mental. Pada pemeriksaan di usia 36
bulan didapatkan “hearing speech” dan “practical reasoning” lebih rendah dari
populasi control. Pada sebagian kecil kasus dengan IQ normal dapat dijumpai
kelainan neurologis, antara lain gangguan koordinasi motorik kasar dan halus,
ataksia, tonus otot meningggi atau menurun, gangguan pemusatan perhatian dan
gangguan bicara. Tuli sensorineural ditemukan pada 20% kasus hipotiroid
kongenital.
DAFTAR PUSTAKA

1. Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. Bagan Tatalaksana Anak


Gizi Buruk Buku I. Direktorat Bina Gizi. 2011
2. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Hasil pemantauan status
gizi (psg) dan penjelasannya. Jakarta: Direktorat Gizi Masyarakat; 2017
3. Abay A, Alderman H, Balaban D, Barrere B, Beecher J, Blencowe H.
From promise to impact ending malnutrition by 2030. Washington DC:
Global Nutrition Report; 2016
4. WHO Fact Sheet No.178, updated September 2013. Children: reducing
mortality. Diunduh dari http://www.who.int/mediacentre/factsheets/
fs178/en/
5. WHO. Global strategy for infant and young child feeding. Geneva:
World Health Organization; 2003.
6. Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. Permenkes No. 78 tahun
2014 tentang Skrinning Hipotiroid Kongenital. 2014
7. Larson, Cecilia A. Congenital Hypothyroidism. Dalam: Radovick, S,
MD, MacGilivray, MH, MD, editor. Pediatric Endocrinology : A
Practical Clinical Guide. New Jersey : Humana Press Inc. 2003.hal. 275-
284.
8. Dewi NA. Faktor-faktor risiko kejadian gizi buruk pada balita yang
dirawat di RSUP Dr.Kariadi Semarang. Semarang: Fakultas Kedokteran
Universitas Diponegoro; 2012
9. Anorital, Sundari S, Soetiarto F, Sudirman H, Mulyadi, Sari DI. Kinerja
dua tahun kementrian kesehatan Republik Indonesia tahun 2009-
2011:menuju masyarakat sehat yang mandiri dan berkeadilan. Jakarta:
Kementerian Kesehatan; 2011.
10. Grover Z, Ee LC. Protein energy malnutrion. Pediatr Clin N Am. 2009;
56(5):301-2
11. World Health Organization. WHO child growth standards: length/height-
for-age, weight-for-age, weight-for-length, weight-for-height and body
mass index-for-age: methods and development. Geneva: World Health
Organization; 2006.
12. WHO. Communicable Disease Control in Emergencies - A Manual.
Geneva, World Health Organization, 2005.
13. Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. Bagan Tatalaksana Anak
Gizi Buruk Buku II. Direktorat Bina Gizi. 2011
14. Ashworth A. Nutrition food security, and Health. Dalam: Kliegman MR.
Nelson: Textbook of pediatrics, Edition 20. Philadhelphia: Elsevier Inc.
2016;295-305.
15. La Franchi, Stephen. Hypothyroidism. Dalam: Behrman RE, Kliegman
RM, Jenson HB, editor. Nelson textbook of pediatrics 18th ed.
Philadelphia: Saunders, 2007.hal. 2319-25.
16. Batubara, Jose RL, dkk. Ganggguan Kelenjar Tiroid. Dalam : Buku Ajar
Endokrinologi Anak Edisi 1. Jakarta: Badan Penerbit IDAI, 2010.
hal.205-212.
17. Van vliet, G, Polak, M. Pediatric Endocrinology Fifth Edition volume 2.
Thyroid Disorders In Infancy. New York : Informa Healthcare USA Inc.
2007.hal. 392-8.

Anda mungkin juga menyukai