Anda di halaman 1dari 20

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Sejarawan tidak dapat bersitegang untuk bekerja sendirian, dan hanya berkubang
dalam ilmu sejarah semata. Sejarawan tidak dapat demikian saja mengabaikan hubungan
dan bantuan dari ilmu-ilmu lainnya yang koheren dengan pokok studi atau pokok
kajiannya. Dalam hal ini sejarawan tidak bekerja sendirian, dan sejumlah ilmu dapat
memberikan bantuan atau bahkan ada yang sepenuhnya mengabdikan diri bagi kepentingan
ilmu sejarah (seperti arkeologi), lazim disebut dengan istilah ilmu bantu sejarah.

Studi tentang sejarah bukankah pekerjaan mudah, dan sederhana seperti


menghafalkannya tatkala masih duduk di bangku sekolah dasar atau sekolah menengah.
Untuk membaca sumber sejarah, apalagi yang memakai bermacam aksara, Pallawa Jawa
Kuna, jawa Tengahan, Jawa Baru, Arab Pegon, Bali, Bugis, Cina dan lain-lain dengan
bahasa yang berbeda-beda pula memerlukan piranti serta keahlian tersendiri. Belum lagi
yang ada hubungannya dengan isi atau kandungan sumber sejarah yang berkaitan dengan
berbagai segi kehidupan seperti masalah politik, ekonomi, sosial, budaya, ilmu
pengetahuan, agama, birokrasi, pemerintahan, ataupun tokoh-tokoh pemegang peran.

Dalam dunia pengetahuan, untuk mempelajari sejarah, sejarawan tidak mungkin


lepas dari bantuan ilmu bantu sejarah. Sejarawan pasti memerlukan ilmu-ilmu bantu lain
untuk mengkaji sumber-sumber sejarah Semisal Etnografi untuk membantu studi
masyarakat, kelompok etnis dan formasi etnis lainnya, etnogenesis, komposisi,
perpindahan tempat tinggal, karakteristik kesejahteraan sosial, juga budaya material dan
spiritual mereka. Maka untuk itu, bagi sejarawan, bahasa jawa yang merupakan bahasa
lokal pulau jawa sangat berperan penting untuk mempelajari sejarah pulau jawa. Sehingga
penguasaan identifikasi bahasa jawa yang merujuk pada kapan masa tulisan itu dibuat
sangat dibutuhkan untuk mengunggkap temporal data artefak temuan ekskavasi.

1
B.      Rumusan Masalah
1. Apakah definisi Sastra Jawa?
2. Bagaimana konsep Bahasa Jawa ?
3. Bagaimana Periodesasi Bahasa Jawa?

C.      Tujuan

1. Mengetahui definisi Sastra Jawa


2. Mengetahui konsep Bahasa Jawa
3. Mengetahui Periodesasi Bahasa Jawa

2
BAB II
PEMBAHASAN

1. Sastra Jawa

Sejarah Sastra Jawa dimulai dengan sebuah prasasti yang ditemukan di


daerah Sukabumi (Sukobumi), Pare, Kediri Jawa Timur. Prasasti yang biasa disebut
dengan nama Prasasti Sukabumi ini bertarikh 25 Maret tahun 804 Masehi. Isinya
ditulis dalam bahasa Jawa Kuna.

Setelah prasasti Sukabumi, ditemukan prasasti lainnya dari tahun 856 M


yang berisikan sebuah sajak yang disebut kakawin. Kakawin yang tidak lengkap ini
adalah sajak tertua dalam bahasa Jawa (Kuna).

Biasanya sejarah sastra Jawa dibagi dalam empat masa:

· Sastra Jawa Kuna


· Sastra Jawa Tengahan
· Sastra Jawa Baru
· Sastra Jawa Modern

Terdapat pula kategori Sastra Jawa-Bali, yang berkembang dari Sastra Jawa
Tengahan. Selain itu, ada pulaSastra Jawa-Lombok, Sastra Jawa-Sunda, Sastra
Jawa-Madura, dan Sastra Jawa-Palembang.

Dari semua sastra tradisional Nusantara, sastra Jawa adalah yang paling
berkembang dan paling banyak tersimpan karya sastranya. Tetapi setelah
proklamasi RI, tahun 1945 sastra Jawa agak dianaktirikan karena di Negara
Kesatuan RI, kesatuan yang diutamakan.

Bahasa Jawa pertama-tama ditulis dalam aksara turunan aksara Pallawa


yang berasal dari India Selatan. Aksara ini yang menjadi cikal bakal aksara Jawa
modern atau Hanacaraka yang masih dipakai sampai sekarang. Dengan

3
berkembangnya agama Islam pada abad ke-15 dan ke-16, huruf Arab juga
dipergunakan untuk menulis bahasa Jawa; huruf ini disebut dengan nama huruf
pegon. Ketika bangsa Eropa datang ke Jawa, abjad Latin pun digunakan untuk
menulis bahasa Jawa.

Berbicara tentang sastra jawa, ternyata sastra Jawa tumbuh melalui beberapa
fase, dari Jawa kuno, Jawa menengah, hingga Jawa modern. Wujudnya juga
beraneka ragam, di antaranya berupa naskah filsafat dan keagamaan yang berbentuk
prosa dan kakawin yang berbentuk puisi. Tidak mudah untuk memahami karya
sastra Jawa kuno dan Jawa menengah. Itu memerlukan studi khusus karena berupa
naskah kuno.

Cabang ilmu yang khusus tersebut adalah filologi. Menurut buku berjudul
Kalangwan, karya Prof. Dr. P.J. Zoetmulder, filologi Jawa kuno selama ini masih
tetap terbentur pada kekurangan pengetahuan kita tentang bahasa dan latar belakang
sosial kulturalnya, sehingga banyak kata susah dipahami. Lewat karya-karya seni
inilah, para nenek moyang suku Jawa mengungkapkan ide-ide religius beserta
pandangan mereka mengenai manusia dan semesta alam.

Dahulu, seni menulis puisi di Jawa disebut kalangwan atau kalangon, yang
jika diartikan ke bahasa Indonesia berarti ‘keindahan’. Dinamakan keindahan
karena dengan menciptakan dan menikmati karya-karya sastra, orang akan
terhanyut akan pesona untaian kata-kata, jiwa seakan melayang ke luar dari dalam
dirinya (ekstasis – ‘lango’).

Pengetahuan kita mengenai sejarah Jawa kuno terutama berdasarkan


piagam-piagam dan prasasti-prasasti lama, yang ditulis di atas batu atau lempeng-
lempeng dari perunggu. Tanggal yang tercantum di tulisan tersebut merupakan
rangkaian kata yang mengungkapkan gejala-gejala astronomis, misalnya prasasti
Sukabumi:”Pada tahun 726 penanggalan Saka, dalam bulan Caitra, pada hari
kesebelas paro terang, pada hari haryang(hari kedua dalam minggu yang memiliki
jumlah hari enam), wage(hari keempat dalam minggu yang memiliki jumlah hari

4
lima), saniscara(hari keempat dalam minggu yang memiliki jumlah hari tujuh) …”
dan seterusnya.

Dalam prasasti-prasasti berikutnya, sistem penyebutan tanggal


disempurnakan lagi, sehingga juga menyebut tinggi bulan, sebuah planet tertentu,
dan konstelasi maupun konjunksi dua bintang.

Prasasti Sukabumi dibuat pada tanggal 25 Maret 804 Masehi dan merupakan
prasasti tertua yang menggunakan bahasa Jawa kuno yang ditemukan sampai saat
ini. Maka dari itu, tanggal tersebut merupakan tonggak yang mengawali sejarah
bahasa Jawa kuno. Sejak saat itu bahasa Jawa kuno dipakai dalam kebanyakkan
dokumen resmi.

2. Bahasa Jawa

Bahasa Jawa kuno termasuk rumpun bahasa yang dikenal sebagai bahasa-
bahasa Nusantara dan merupakan sub-bagian dari kelompok linguistik Austronesia.
Di antara bahasa-bahasa Nusantara yang berjumlah sekitar 250 macam, bahasa
Jawa menduduki tempat istimewa karena karya-karya sastranya berasal dari abad
ke-9 dan ke-10.

Ada dua sifat yang nampak dalam bahasa Jawa kuno, yaitu adanya kata-kata
yang berasal dari bahasa Sansekerta, bahasa yang secara linguistik termasuk suatu
rumpun bahasa yang lain sama sekali. Sifat kedua, walaupun pengaruh Sansekerta
cukup besar, dalam segala susunan dan ciri-ciri pokok, bahasa Jawa kuno tetap
merupakan suatu bahasa Nusantara.

Dalam buku Sanskrit in Indonesia, J Gonda membahas pengaruh bahasa


Sansekerta terhadap bahasa-bahasa nusantara. Dalam sebuah tinjauan umum dia
mencatat: “Secara linguistik pengaruh India terhadap daerah-daerah Indonesia yang
mengalami proses Hinduisasi tidak mengakibatkan semacam pembauran antara
bahasa India sehari-hari dan salah satu idiom bahasa Nusantara, melainkan suatu
bahasa Nusantara yang diperkaya dengan penambahan dan pencampuran kata-kata

5
Sansekerta serta sejumlah kecil kata-kata Indo-Arya yang lebih muda.” Selanjutnya,
menurut Gonda, puisi bahasa Jawa yang disusun dalam bentuk kakawin
mengandung sekitar 25% sampai 30% kesatuan kata yang berasal dari bahasa
Sansekerta.

Walaupun persentase bahasa Sansekerta cukup besar dalam bahasa Jawa


kuno, namun melalui penelitian tidak dapat dibuktikan bahwa ini disebabkan
adanya hubungan perdagangan India-Indonesia dan penyebaran agama Hindu di
Jawa. Bahasa Sansekerta bukan bahasa sehari-hari, namun merupakan bahasa ilmu
sastra, bahasa sastra keagamaan Hindu, dan bahasa yang dipakai dalam lapisan atas,
khususnya istana.

Memakai kata-kata Sansekerta pada saat itu merupakan suatu mode, untuk
menaikkan status atau gengsi karena Sansekerta dianggap berasal dari kebudayaan
yang lebih tinggi. Alasan lain yang mendorong para pengarang memasukkan kata-
kata Sansekerta khususnya dalam puisi ialah keinginan mereka untuk memperkaya
kosakata juga untuk mematuhi kaidah-kaidah dalam puisi. Kaidah-kaidah itu seperti
metrum dan naik turunnya suara.

Pada waktu dokumen-dokuemen itu ditulis, yaitu pada abad ke-9, pusat
kekuasan politis dan kehidupan kebudayaan terdapat di Jawa Tengah. Sekitar tahun
930 Masehi, pusat itu bergeser ke arah timur dan sejarah Jawa Tengah berabad-abad
lamanya tidak dapat diketahui karena tidak ada karya seni atau karya arsitektur yang
dapat menceritakan kondisi pada waktu itu.

Jawa kuno mewujudkan kebudayaan Hindu-Jawa, Ketika pada akhir abad


ke-17 Kerajaan Blambangan musnah dan kekuasaan Jawa dipegang oleh kekuasaan
Islam, maka tamatlah sastra Jawa kuno. Kondisi-kondisi agar sastra Jawa kuno
dapat bertahan dan melangsungkan eksistensinya sebagai peninggalan dari masa
silam telah lenyap. Ini disebabkan karena lenyapnya keraton-keraton, baik sentral
maupun regional, dimana karya sastra dipelihara dan terus-menerus diperbaharui

6
oleh para juru tulis. Selain itu disebabkan banyaknya karya sastra yang musnah
pada saat pergantian kekuasaan Hindu ke Islam.

Pada masa pancaroba itu hanya sedikit karya sastra yang dapat bertahan, di
antaranya Ramayana dan Arjunawiwaha. Kemudian, pada akhir abad ke-18 di
kalangan kraton Surakarta terjadi suatu gerakan satra yang menghasilkan berbagai
karya sastra seni yang bermutu. Namun di Jawa, perhatian terhadap sastra Jawa
kuno telah surut. Pusat-pusat yang dahulu memancarkan gairah bagi aktivitas
kesusastraan telah tiada. Kita patut berterima kasih kepada Majapahit. Kerajaan ini
mengekspansi Bali dan karya sastra Jawa kuno juga banyak tersebar di pulau ini. Di
Bali, keraton-keraton tetap menjadi warisan kebudayaan Hindu-Jawa dan tetap
memperhatikan serta mempelajari tulisan-tulisan keagamaan kuno itu.

Sastra-sastra yang termasuk sastra Jawa kuno dalam perkembangannya


mengalami banyak perubahan. Ada kata-kata yang tidak dipakai, banyak kata-kata
baru, perubahan semantis juga terjadi. Ini dapat kita amati setelah membanding-
bandingkan berbagai karya sastra. Namun bila kita membandingkan karya pada
akhir abad ke-11, Arjunawiwaha, dengan karya pada akhir abad ke-15,
Siwaratrikalpa (Lubdhaka), ternyata sedikit sekali perbedaan dalam fonetika dan
gramatikal. Hanya karena Arjunawiwaha ditulis lebih dahulu dan Lubdhaka ditulis
kemudian, maka karya kedua itu disebut karya Jawa pertengahan. Istilah tersebut
seolah-olah menggambarkan bahwa Jawa pertengahan merupakan bentuk bahasa
pada akhir jaman Hindu-Jawa dan suatu tahap peralihan antara Jawa kuno yang
sering kita jumpai dalam kakawin klasik dan bahasa Jawa modern pada abad-abad
kemudian.

Pada sastra Jawa kuno – dalam arti luas – ada dua macam puisi, yaitu
kakawin dan kidung. Kakawin menggunakan metrum-metrum dari India, sedangkan
kidung menggunakan metrum-metrum asli Jawa. Dalam bahasanya pun terdapat
perbedaan. Kakawin menggunakan bahasa Jawa kuno dalam arti sebenarnya,
sedangkan kidung menggunakan bahasa Jawa pertengahan. Namun, kalimat

7
tersebut tidak dapat dibalik, seolah-olah Jawa kuno merupakan bahasa yang dipakai
dalam kakawin dan Jawa pertengahan ialah bahasa yang dipakai dalam kidung.

3. Periodesasi Sastra Jawa

Perioderisasi sastra Jawa masih merupakan bahan menarik untuk dikaji,


terutama jawa kuno dan jawa pertengahan. Kakawin walaupun digolongkan ke
dalam sastra Jawa kuno ternyata dapat bertahan hingga seribu tahun, karena adanya
kaidah yang ketat dalam penulisannya. Kakawin ditulis dalam satu bentuk sastra
Jawa kuno yang khusus, dan setiap orang yang menulis sebuah syair sejenis itu
berkewajiban untuk meniru bahasa tradisional, walaupun bahasa itu dalam
perputaran waktu telah manjadi bahasa yang mati. Di Bali, setelah Majapahit
runtuh, juga masih ditulis, sehingga tradisi lokal di Bali menganggap beberapa
kakawin sebagai hasil penulisan pada abad ke-19. Ini menyebabkan kita tidak dapat
menyimpulkan bahwa sastra kakawin mencerminkan bahasa jamannya. Ini juga
dialami oleh sastra Jawa pertengahan. Pada kidung tidak dapat ditentukan tanggal
penulisan. Kebiasaan penulis kakawin yang menyebut nama raja serta tanggal
kejadian, tidak ditemui di kidung.

Sedikit sebagai patokan dalam perioderisasi sastra Jawa, kebanyakkan


kidung ditulis di Bali. Berdasarkan karya-karya yang kita miliki, semua karya sastra
Jawa pertengahan berasal dari Bali, tetapi tidak berarti bahwa karya ini tidak
dikenal di Jawa sebelum runtuhnya Majapahit.

Istilah Jawa kuno, Jawa pertengahan, dan Jawa modern jika ditilik dari
linguistik benar-benar membingungkan. Seolah-olah perioderisasi ini dibuat hanya
berdasarkan masa atau kejadian tertentu. Istilah Jawa modern biasanya dipakai
untuk menunjukkan bahasa yang dipakai dalam sastra Jawa padaawal abad ke-19.

Menurut sebuah teori, perioderisasi sastra tersebut berdasarkan rangkaian-


rangkaian peristiwa. Hingga masa kekuasaan Majapahit, selain bahasa Jawa kuno
yang digunakan menulis kakawin, jugaada bahasa Jawa lain, yang juga digunakan
untuk menulis karya sastra lain. Setelah muncul kekuasaan Islam, bahasa Jawa lain

8
itu pecah menjadi dua, yaitu bahasa Jawa yang dipergunakan di Bali dan disebut
Jawa pertengahan, dan bahasa yang digunakan masyarakat Islam selanjutnya yang
disebut Jawa modern. Memang teori ini masih memiliki kelemahan-kelemahan,
namun secara rasional dapat diterima.

Dahulu, sastrawan Jawa menulis karyanya di lempengan batu dan prasasti,


namun ada juga yang menggunakan daun lontar. Lontar tersebut diproses hingga
menjadi kaku dan siap ditulisi. Jika berupa cerita, biasanya lontar tersebut dipotong-
potong berukuran panjang 40-60 cm dan 3-5 cm untuk lebarnya. Bagian ujung
dilubangi sehingga dapat dibendel kemudian diberi cover dari bahan yang lebih
tebal. Sayangnya daun lontar tidak dapat bertahan lama. Kerusakan umumnya
disebabkan karena serangga. Jarang ada daun lontar yang sanggup bertahan
berabad-abad, Indonesia hanya memiliki daun lontar yang berumur 1-1.5 abad.
Koleksi karya sastra kuno tersebut ada di tiga tempat, yaitu: Perpustakaan nasional
di Jakarta, perpustakaan Universitas negeri Liden, Belanda, dan perpustakaan
Kirtya di Singaraja. Koleksi terbanyak ada di Leiden. Ini tidak mengherankan
karena pada saat itu pemerhati budaya Jawa banyak berasal dari Belanda.

Karya-karya sastra Jawa turut andil dalam perkembangan sastra Nusantara,


karya-karya pujangga besar seperti Negarakertagama yang ditulis oleh Mpu
Prapanca, Arjunawiwaha-Mpu Kanwa, Sutasoma, Ramayana, Desawarnana,
Porusadasanta, Kidung Sunda, dan masih banyak lagi yang lain. Adanya karya-
karya sastra tersebut hingga sekarang juga karena jasa juru salin, yang
mengawetkan karya sastra tersebut dari tahun ke tahun. Kemungkinan kesalahan
tulis dapat terjadi. Bisa dikarenakan kekurangtelitian atau kemiripan huruf,
kesalahan itu dapat terjadi.

Karya-karya sastra tersebut merupakan salah satu kekayaan bangsa kita,


dimana kita dapat mengetahui suatu sejarah dan pemikiran nenek moyang kita. Dari
uraian di atas dapat diketahui bahwa penelitian di bidang ini masih terbuka luas.
Masih banyak hal-hal yang tidak kita ketahui, misal perdebatan akan perioderisasi
sastra Jawa, dan masih banyaknya karya yang sulit dibaca. Perlu adanya tekad dan

9
usaha kita sebagai bangsa yang mencintai budaya untuk tetap melestarikan karya-
karya langka ini. Memang upaya ini tidak bisa dipaksakan ke generasi muda
mengingat banyaknya hal-hal yang mungkin lebih menarik minat mereka. Namun
pasti di antara mereka masih banyak yang sadar dan mencintai budaya, mungkin
perlu adanya suatu badan yang mengkoordinasi upaya pelestari sastra Jawa, dimana
kegiatan-kegiatannya dapat menarik minat para pemuda-pemudi bangsa.

A. Periode sastra jawa kuno

Sastra Jawa Kuno atau seringkali dieja sebagai Sastra Jawa Kuna meliputi
sastra yang ditulis dalambahasa Jawa Kuna pada periode kurang-lebih ditulis dari
abad ke-9 sampai abad ke-14 Masehi, dimulai denganPrasasti Sukabumi. Karya
sastra ini ditulis baik dalam bentuk prosa (gancaran) maupun puisi (kakawin). Karya-
karya ini mencakup genre seperti sajak wiracarita, undang-undang hukum, kronik
(babad), dan kitab-kitab keagamaan.

Sastra Jawa Kuno diwariskan dalam bentuk manuskrip dan prasasti.


Manuskrip-manuskrip yang memuat teks Jawa Kuno jumlahnya sampai ribuan
sementara prasasti-prasasti ada puluhan dan bahkan ratusan jumlahnya. Meski di sini
harus diberi catatan bahwa tidak semua prasasti memuat teks kesusastraan.

Karya-karya sastra Jawa penting yang ditulis pada periode ini termasuk
Candakarana, Kakawin Ramayana dan terjemahan Mahabharata dalam bahasa Jawa
Kuno.

Karya sastra Jawa Kuno sebagian besar terlestarikan di Bali dan ditulis pada
naskah-naskah manuskrip lontar. Walau sebagian besar sastra Jawa Kuno
terlestarikan di Bali, di Jawa dan Madura ada pula sastra Jawa Kuno yang
terlestarikan. Bahkan di Jawa terdapat pula teks-teks Jawa Kuno yang tidak dikenal
di Bali.

Penelitian ilmiah mengenai sastra Jawa Kuno mulai berkembang pada abad
ke-19 awal dan mulanya dirintis oleh Stamford Raffles, Gubernur-Jenderal dari

10
Britania Raya yang memerintah di pulau Jawa. Selain sebagai seorang negarawan
beliau juga tertarik dengan kebudayaan setempat. Bersama asistennya, Kolonel Colin
Mackenzie beliau mengumpulkan dan meneliti naskah-naskah Jawa Kuno.

Istilah sastra Jawa Kuno agak sedikit rancu. Istilah ini bisa berarti sastra
dalam bahasa Jawa sebelum masuknya pengaruh Islam atau pembagian yang lebih
halus lagi: sastra Jawa yang terlama. Jadi merupakan sastra Jawa sebelum masa sastra
Jawa Pertengahan. Sastra Jawa Pertengahan adalah masa transisi antara sastra Jawa
Kuno dan sastra Jawa Baru. Di dalam artikel ini, pengertian terakhir inilah yang
dipakai

Daftar Karya Sastra Jawa Kuno dalam bentuk prosa

1. Candakarana
2. Sang Hyang Kamahayanikan
3. Brahmandapurana
4. Agastyaparwa
5. Uttarakanda
6. Adiparwa
7. Sabhaparwa
8. Wirataparwa, 996
9. Udyogaparwa
10. Bhismaparwa
11. Asramawasanaparwa
12. Mosalaparwa
13. Prasthanikaparwa
14. Swargarohanaparwa
15. Kunjarakarna

Daftar Karya Sastra Jawa Kuno dalam bentuk puisi (kakawin)

1. Kakawin Tertua Jawa, 856


2. Kakawin Ramayana ~ 870

11
3. Kakawin Arjunawiwaha, mpu Kanwa, ~ 1030
4. Kakawin Kresnayana
5. Kakawin Sumanasantaka
6. Kakawin Smaradahana
7. Kakawin Bhomakawya
8. Kakawin Bharatayuddha, mpu Sedah dan mpu Panuluh, 1157
9. Kakawin Hariwangsa
10. Kakawin Gatotkacasraya
11. Kakawin Wrettasañcaya
12. Kakawin Wrettayana
13. Kakawin Brahmandapurana
14. Kakawin Kunjarakarna, mpu "Dusun"
15. Kakawin Nagarakretagama, mpu Prapanca, 1365
16. Kakawin Arjunawijaya, mpu Tantular
17. Kakawin Sutasoma, mpu Tantular
18. Kakawin Siwaratrikalpa, Kakawin Lubdhaka
19. Kakawin Parthayajna
20. Kakawin Nitisastra
21. Kakawin Nirarthaprakreta
22. Kakawin Dharmasunya
23. Kakawin Harisraya
24. Kakawin Banawa Sekar Tanakung

B. Periode sastra jawa pertengahan

Sastra Jawa Pertengahan muncul di Kerajaan Majapahit, mulai dari abad ke-
13 sampai kira-kira abad ke-16. Setelah ini, sastra Jawa Tengahan diteruskan di Bali
menjadi Sastra Jawa-Bali. Pada masa ini muncul karya-karya puisi yang
berdasarkan metrum Jawa atau Indonesia asli. Karya-karya ini disebut kidung.

12
Daftar Prosa Sastra Jawa Tengahan

 Tantu Panggelaran
 Calon Arang
 Tantri Kamandaka
 Korawasrama
 Pararaton

Daftar Puisi Sastra Jawa Tengahan

 Kakawin Dewaruci
 Kidung Sudamala
 Kidung Subrata
 Kidung Sunda
 Kidung Panji Angreni
 Kidung Sri Tanjung

C. Periode sastra jawa baru

Sastra Jawa Baru kurang-lebih muncul setelah masuknya agama Islam di


pulau Jawa dari Demak antara abad kelima belas dan keenam belas Masehi.

Dengan masuknya agama Islam, orang Jawa mendapatkan ilham baru dalam
menulis karya sastra mereka. Maka, pada masa-masa awal, zaman Sastra Jawa Baru,
banyak pula digubah karya-karya sastra mengenai agama Islam. Suluk Malang
Sumirang adalah salah satu yang terpenting.

Kemudian pada masa ini muncul pula karya-karya sastra bersifat


ensiklopedis seperti Serat Jatiswara dan Serat Centhini. Para penulis ‘ensiklopedia’
ini rupanya ingin mengumpulkan dan melestarikan semua ilmu yang (masih) ada di
pulau Jawa, sebab karya-karya sastra ini mengandung banyak pengetahuan dari masa
yang lebih lampau, yaitu masa sastra Jawa Kuna.

13
Gaya bahasa pada masa-masa awal masih mirip dengan Bahasa Jawa
Tengahan. Setelah tahun ~ 1650,bahasa Jawa gaya Surakarta menjadi semakin
dominan. Setelah masa ini, ada pula renaisans Sastra Jawa Kuna. Kitab-kitab kuna
yang bernapaskan agama Hindu-Buddha mulai dipelajari lagi dan digubah dalam
bahasa Jawa Baru.

Sebuah jenis karya yang khusus adalah babad, yang menceritakan sejarah.
Jenis ini juga didapati pada Sastra Jawa-Bali.

Daftar Cuplikan Karya Sastra Jawa Baru

Masa Islam

 Kidung Rumeksa ing Wengi


 Kitab Sunan Bonang
 Primbon Islam
 Suluk Sukarsa
 Serat Koja Jajahan
 Suluk Wujil
 Suluk Malang Sumirang
 Serat Nitisruti
 Serat Nitipraja
 Serat Sewaka
 Serat Menak
 Serat Yusup
 Serat Rengganis
 Serat Manik Maya
 Serat Ambiya
 Serat Kandha

14
Masa Renaisans dan sesudahnya

 Serat Rama Kawi


 Serat Bratayuda, Kyai Yasadipura
 Serat Panitisastra
 Serat Arjunasasra
 Serat Mintaraga, Ingkang Sinuwun Pakubuwana III
 Serat Darmasunya
 Serat Dewaruci
 Serat Ambiya Yasadipuran, Kyai Yasadipura
 Serat Tajusalatin
 Serat Cebolek
 Serat Sasanasunu
 Serat Wicara Keras
 Serat Kalatidha, Raden Ngabehi Ranggawarsita
 Serat Paramayoga, Raden Ngabehi Ranggawarsita
 Serat Jitapsara
 Serat Pustaka Raja
 Serat Cemporet
 Serat Damar Wulan, Raden Panji Jayasubrata, 1871
 Serat Darmagandhul

Babad-Babad

 Babad Giyanti
 Babad Prayut
 Babad Pakepung
 Babad Tanah Jawi

D. Periodesasi sastra jawa moderen

15
Sastra Jawa Modern muncul setelah pengaruh penjajah Belanda dan semakin
terasa di Pulau Jawa sejak abad kesembilan belas Masehi.

Para cendekiawan Belanda memberi saran para pujangga Jawa untuk


menulis cerita atau kisah mirip orangBarat dan tidak selalu berdasarkan mitologi,
cerita wayang, dan sebagainya. Maka, lalu muncullah karyasastra seperti di Dunia
Barat; esai, roman, novel, dan sebagainya. Genre yang cukup populer adalah
tentangperjalanan.

Gaya bahasa pada masa ini masih mirip dengan Bahasa Jawa Baru.
Perbedaan utamanya ialah semakin banyak digunakannya kata-kata Melayu, dan juga
kata-kata Belanda.

Pada masa ini (tahun 1839, oleh Taco Roorda) juga diciptakan huruf cetak
berdasarkan aksara Jawa gayaSurakarta untuk Bahasa Jawa, yang kemudian menjadi
standar di pulau Jawa.

4. Pengaruh Islam Dalam Sastra Jawa

Maksud keterkaitan antara Islam dengan karya sastra Jawa adalah


keterkaitan yang bersifat imperative moral atau mewarnai. Islam mewarnai dan
menjiwai karya-karya sastra Jawa baru, sedangkan puisi (tembang/sekar macapat)
dipakai untuk sarana memberikan berbagai petunjuk/nasehat yang secara subtansial
merupakan petunjuk/nasehat yang bersumber pada ajaran Islam.

Hal ini terjadi karena para pujangga tersebut jelas beragama Islam. Kualitas
keislaman para pujangga saat ini tentunya berbeda dengan kualitas saat sekarang ini.
Jadi, para pembaca seharusnya menyadari bahwa pengetahuan ajaran Islam saat itu
(abad 18-19) belum sebanyak seperti sekarang ini, sehingga dalam menyampaikan
petunjuk/nasehat para pujangga melengkapi diri dari kekurangannya mengenai
pengetahuan ke-islaman dengan mengambil hal-hal yang dianggap baik dan tidak
bertentangan dengan ajaran Islam. Artinya, munculnya tembang/sekar macapat ini

16
berbarengan dengan munculnya Islam di Jawa, yaitu setelah kejatuhan kerajaan
Majapahit yang hindu.

Dengan kata lain, Islam mewarnai dan menjiwai karya-karya sastra para
pujangga keraton Surakarta sehingga semua karya-karya sastranya itu berupa puisi
yang berbentuk tembang/sekar Macapat.

Istilah ‘interelasi’ (dalam topik) artinya Islam di-Jawakan, sedangkan Jawa


di-Islamkan. Walaupun demikian, warna Islam terlihat sekali dalam substansinya,
yaitu :

Unsur ketaukhidan (upaya mendekatkan diri kepada Tuhan Yang Maha Kuasa)

Unsur kebajikan (upaya memberikan petunjuk/nasehat) kepada siapapun (petunjuk


agar berbuat kebajikan dan petunjuk untuk tidak berbuat tercela).

Maksud dari keterkaitan antara Islam dengan karya-karya sastra Jawa adalah
keterkaitan yang sifatnya imperative moral. Artinya, keterkaitan itu menunjukkan
warna keseluruhan/corak yang mendominasi karya-karya sastra tersebut. Karya-karya
sastra Jawa adalah karya sastra para pujangga keraton Surakarta yang hidup pada
zaman periode Jawa baru yang memiliki metrum Islam. Memiliki corak jihad,
masalah ketauhidan, moral/perilaku yang baik dan sebagainya.

17
BAB III

PENUTUP

Kesimpulan

Berbagai ilmu bantu sejarah telah dicetuskan dan memberikan banyak


kotribusi dalam mengungkapkan sejarah. Dengan mempelajari satu sendi ilmu
tersebut, sejarawan dapat terbantu untuk mengungkap data-data yang berkaitan
dengan temuan/artefak sejarah.

Bahasa jawa merupakan Ragam bahasa yang banyak dijumpai pada


berbagai artefak yang ditemukan di Indonesia. Bahasa jawa mendapatkan banyak
serapan bahasa seperti Pallawa, Islam dan Indonesia. Dalam serapan-serapan ini
menunjukkan kapan dan bagaimana kondisi interaksi Bangsa-bangsa. Interaksi
tersebut berkaitan dengan tahun-tahun dan pihak yang melakukan interaksi. Jadi
dengan adanya interkasi ini, Sejarawan dapat memperkirakan kapan dan bagaimana
kejadian dalam sejarah yang sedang berlangsung dalam keterangan tertulis.

Khusus untuk bahasa jawa yang memiliki cukup banyak ragam bahasa dan
karya sastra, mengetahui ragam bahasanya dapat menunjukkan kapan tulisan
tersebut dibuat. Maka dari itu, identifikasi tentang bahasa yang digunakan untuk
menuliskan karya sastra ini dapat diketahui dengan mengetahui kapan bahasa yang
digunakan untuk menulis karya sastra dipakai pada masa tertentu.

18
Daftar Pustaka
Amin, Drs, Darori, Islam dan Kebudayaan Jawa, Yogyakarta: Gama Media,
2000.

Astianto, Henny, Filsafat Jawa, Yogyakarta: Warta Pustaka, 2006.

Faruqi, Ismail R, Islam dan Kebudayaan, Bandung: MIZAN, 1984.

Hasan, M, Tholhah, Islam dalam Perspektif Sosial Cultural, Jakarta: Lata Bora
Pers, 1987.

Padmosoekotjo, Ngengrengan Kasusastran Djawa. Jogjakarta: Hien Hoo Sing,


1960.

Subalidinata, Kawruh Kasusastran Jawa, Yogyakarta: Yayasan Pustaka


Nusatama, 1994,

Suryadi, Linus, Dari Pujangga ke Pengarang Jawa, Yogyakarta: Pustaka


Belajar, 1995.

R. Ng. Poerbatjaraka dan Tardjan Hadidjaja. 1952. Kepustakaan Djawa.


Djakarta/Amsterdam: Djambatan.

Tajdrasasmita, Dr. H. Uka, Kajian Naskah-Naskah Klasik, Jakarta: Puslitbang


Lektur Keagamaan Badan Litbang dan Diklat DEPAG RI, 2006.

http://www.geocities.com/sesotya_pita/basa/wangsalan.html

19
http://hanacaraka.fateback.com/wangsalan.html

http://wikipedia.co.id

20

Anda mungkin juga menyukai