Epigrafi Bahasa Jawa Sebagai Ilmu Bantu Studi Penelitian Artefak
Epigrafi Bahasa Jawa Sebagai Ilmu Bantu Studi Penelitian Artefak
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sejarawan tidak dapat bersitegang untuk bekerja sendirian, dan hanya berkubang
dalam ilmu sejarah semata. Sejarawan tidak dapat demikian saja mengabaikan hubungan
dan bantuan dari ilmu-ilmu lainnya yang koheren dengan pokok studi atau pokok
kajiannya. Dalam hal ini sejarawan tidak bekerja sendirian, dan sejumlah ilmu dapat
memberikan bantuan atau bahkan ada yang sepenuhnya mengabdikan diri bagi kepentingan
ilmu sejarah (seperti arkeologi), lazim disebut dengan istilah ilmu bantu sejarah.
1
B. Rumusan Masalah
1. Apakah definisi Sastra Jawa?
2. Bagaimana konsep Bahasa Jawa ?
3. Bagaimana Periodesasi Bahasa Jawa?
C. Tujuan
2
BAB II
PEMBAHASAN
1. Sastra Jawa
Terdapat pula kategori Sastra Jawa-Bali, yang berkembang dari Sastra Jawa
Tengahan. Selain itu, ada pulaSastra Jawa-Lombok, Sastra Jawa-Sunda, Sastra
Jawa-Madura, dan Sastra Jawa-Palembang.
Dari semua sastra tradisional Nusantara, sastra Jawa adalah yang paling
berkembang dan paling banyak tersimpan karya sastranya. Tetapi setelah
proklamasi RI, tahun 1945 sastra Jawa agak dianaktirikan karena di Negara
Kesatuan RI, kesatuan yang diutamakan.
3
berkembangnya agama Islam pada abad ke-15 dan ke-16, huruf Arab juga
dipergunakan untuk menulis bahasa Jawa; huruf ini disebut dengan nama huruf
pegon. Ketika bangsa Eropa datang ke Jawa, abjad Latin pun digunakan untuk
menulis bahasa Jawa.
Berbicara tentang sastra jawa, ternyata sastra Jawa tumbuh melalui beberapa
fase, dari Jawa kuno, Jawa menengah, hingga Jawa modern. Wujudnya juga
beraneka ragam, di antaranya berupa naskah filsafat dan keagamaan yang berbentuk
prosa dan kakawin yang berbentuk puisi. Tidak mudah untuk memahami karya
sastra Jawa kuno dan Jawa menengah. Itu memerlukan studi khusus karena berupa
naskah kuno.
Cabang ilmu yang khusus tersebut adalah filologi. Menurut buku berjudul
Kalangwan, karya Prof. Dr. P.J. Zoetmulder, filologi Jawa kuno selama ini masih
tetap terbentur pada kekurangan pengetahuan kita tentang bahasa dan latar belakang
sosial kulturalnya, sehingga banyak kata susah dipahami. Lewat karya-karya seni
inilah, para nenek moyang suku Jawa mengungkapkan ide-ide religius beserta
pandangan mereka mengenai manusia dan semesta alam.
Dahulu, seni menulis puisi di Jawa disebut kalangwan atau kalangon, yang
jika diartikan ke bahasa Indonesia berarti ‘keindahan’. Dinamakan keindahan
karena dengan menciptakan dan menikmati karya-karya sastra, orang akan
terhanyut akan pesona untaian kata-kata, jiwa seakan melayang ke luar dari dalam
dirinya (ekstasis – ‘lango’).
4
lima), saniscara(hari keempat dalam minggu yang memiliki jumlah hari tujuh) …”
dan seterusnya.
Prasasti Sukabumi dibuat pada tanggal 25 Maret 804 Masehi dan merupakan
prasasti tertua yang menggunakan bahasa Jawa kuno yang ditemukan sampai saat
ini. Maka dari itu, tanggal tersebut merupakan tonggak yang mengawali sejarah
bahasa Jawa kuno. Sejak saat itu bahasa Jawa kuno dipakai dalam kebanyakkan
dokumen resmi.
2. Bahasa Jawa
Bahasa Jawa kuno termasuk rumpun bahasa yang dikenal sebagai bahasa-
bahasa Nusantara dan merupakan sub-bagian dari kelompok linguistik Austronesia.
Di antara bahasa-bahasa Nusantara yang berjumlah sekitar 250 macam, bahasa
Jawa menduduki tempat istimewa karena karya-karya sastranya berasal dari abad
ke-9 dan ke-10.
Ada dua sifat yang nampak dalam bahasa Jawa kuno, yaitu adanya kata-kata
yang berasal dari bahasa Sansekerta, bahasa yang secara linguistik termasuk suatu
rumpun bahasa yang lain sama sekali. Sifat kedua, walaupun pengaruh Sansekerta
cukup besar, dalam segala susunan dan ciri-ciri pokok, bahasa Jawa kuno tetap
merupakan suatu bahasa Nusantara.
5
Sansekerta serta sejumlah kecil kata-kata Indo-Arya yang lebih muda.” Selanjutnya,
menurut Gonda, puisi bahasa Jawa yang disusun dalam bentuk kakawin
mengandung sekitar 25% sampai 30% kesatuan kata yang berasal dari bahasa
Sansekerta.
Memakai kata-kata Sansekerta pada saat itu merupakan suatu mode, untuk
menaikkan status atau gengsi karena Sansekerta dianggap berasal dari kebudayaan
yang lebih tinggi. Alasan lain yang mendorong para pengarang memasukkan kata-
kata Sansekerta khususnya dalam puisi ialah keinginan mereka untuk memperkaya
kosakata juga untuk mematuhi kaidah-kaidah dalam puisi. Kaidah-kaidah itu seperti
metrum dan naik turunnya suara.
Pada waktu dokumen-dokuemen itu ditulis, yaitu pada abad ke-9, pusat
kekuasan politis dan kehidupan kebudayaan terdapat di Jawa Tengah. Sekitar tahun
930 Masehi, pusat itu bergeser ke arah timur dan sejarah Jawa Tengah berabad-abad
lamanya tidak dapat diketahui karena tidak ada karya seni atau karya arsitektur yang
dapat menceritakan kondisi pada waktu itu.
6
oleh para juru tulis. Selain itu disebabkan banyaknya karya sastra yang musnah
pada saat pergantian kekuasaan Hindu ke Islam.
Pada masa pancaroba itu hanya sedikit karya sastra yang dapat bertahan, di
antaranya Ramayana dan Arjunawiwaha. Kemudian, pada akhir abad ke-18 di
kalangan kraton Surakarta terjadi suatu gerakan satra yang menghasilkan berbagai
karya sastra seni yang bermutu. Namun di Jawa, perhatian terhadap sastra Jawa
kuno telah surut. Pusat-pusat yang dahulu memancarkan gairah bagi aktivitas
kesusastraan telah tiada. Kita patut berterima kasih kepada Majapahit. Kerajaan ini
mengekspansi Bali dan karya sastra Jawa kuno juga banyak tersebar di pulau ini. Di
Bali, keraton-keraton tetap menjadi warisan kebudayaan Hindu-Jawa dan tetap
memperhatikan serta mempelajari tulisan-tulisan keagamaan kuno itu.
Pada sastra Jawa kuno – dalam arti luas – ada dua macam puisi, yaitu
kakawin dan kidung. Kakawin menggunakan metrum-metrum dari India, sedangkan
kidung menggunakan metrum-metrum asli Jawa. Dalam bahasanya pun terdapat
perbedaan. Kakawin menggunakan bahasa Jawa kuno dalam arti sebenarnya,
sedangkan kidung menggunakan bahasa Jawa pertengahan. Namun, kalimat
7
tersebut tidak dapat dibalik, seolah-olah Jawa kuno merupakan bahasa yang dipakai
dalam kakawin dan Jawa pertengahan ialah bahasa yang dipakai dalam kidung.
Istilah Jawa kuno, Jawa pertengahan, dan Jawa modern jika ditilik dari
linguistik benar-benar membingungkan. Seolah-olah perioderisasi ini dibuat hanya
berdasarkan masa atau kejadian tertentu. Istilah Jawa modern biasanya dipakai
untuk menunjukkan bahasa yang dipakai dalam sastra Jawa padaawal abad ke-19.
8
itu pecah menjadi dua, yaitu bahasa Jawa yang dipergunakan di Bali dan disebut
Jawa pertengahan, dan bahasa yang digunakan masyarakat Islam selanjutnya yang
disebut Jawa modern. Memang teori ini masih memiliki kelemahan-kelemahan,
namun secara rasional dapat diterima.
9
usaha kita sebagai bangsa yang mencintai budaya untuk tetap melestarikan karya-
karya langka ini. Memang upaya ini tidak bisa dipaksakan ke generasi muda
mengingat banyaknya hal-hal yang mungkin lebih menarik minat mereka. Namun
pasti di antara mereka masih banyak yang sadar dan mencintai budaya, mungkin
perlu adanya suatu badan yang mengkoordinasi upaya pelestari sastra Jawa, dimana
kegiatan-kegiatannya dapat menarik minat para pemuda-pemudi bangsa.
Sastra Jawa Kuno atau seringkali dieja sebagai Sastra Jawa Kuna meliputi
sastra yang ditulis dalambahasa Jawa Kuna pada periode kurang-lebih ditulis dari
abad ke-9 sampai abad ke-14 Masehi, dimulai denganPrasasti Sukabumi. Karya
sastra ini ditulis baik dalam bentuk prosa (gancaran) maupun puisi (kakawin). Karya-
karya ini mencakup genre seperti sajak wiracarita, undang-undang hukum, kronik
(babad), dan kitab-kitab keagamaan.
Karya-karya sastra Jawa penting yang ditulis pada periode ini termasuk
Candakarana, Kakawin Ramayana dan terjemahan Mahabharata dalam bahasa Jawa
Kuno.
Karya sastra Jawa Kuno sebagian besar terlestarikan di Bali dan ditulis pada
naskah-naskah manuskrip lontar. Walau sebagian besar sastra Jawa Kuno
terlestarikan di Bali, di Jawa dan Madura ada pula sastra Jawa Kuno yang
terlestarikan. Bahkan di Jawa terdapat pula teks-teks Jawa Kuno yang tidak dikenal
di Bali.
Penelitian ilmiah mengenai sastra Jawa Kuno mulai berkembang pada abad
ke-19 awal dan mulanya dirintis oleh Stamford Raffles, Gubernur-Jenderal dari
10
Britania Raya yang memerintah di pulau Jawa. Selain sebagai seorang negarawan
beliau juga tertarik dengan kebudayaan setempat. Bersama asistennya, Kolonel Colin
Mackenzie beliau mengumpulkan dan meneliti naskah-naskah Jawa Kuno.
Istilah sastra Jawa Kuno agak sedikit rancu. Istilah ini bisa berarti sastra
dalam bahasa Jawa sebelum masuknya pengaruh Islam atau pembagian yang lebih
halus lagi: sastra Jawa yang terlama. Jadi merupakan sastra Jawa sebelum masa sastra
Jawa Pertengahan. Sastra Jawa Pertengahan adalah masa transisi antara sastra Jawa
Kuno dan sastra Jawa Baru. Di dalam artikel ini, pengertian terakhir inilah yang
dipakai
1. Candakarana
2. Sang Hyang Kamahayanikan
3. Brahmandapurana
4. Agastyaparwa
5. Uttarakanda
6. Adiparwa
7. Sabhaparwa
8. Wirataparwa, 996
9. Udyogaparwa
10. Bhismaparwa
11. Asramawasanaparwa
12. Mosalaparwa
13. Prasthanikaparwa
14. Swargarohanaparwa
15. Kunjarakarna
11
3. Kakawin Arjunawiwaha, mpu Kanwa, ~ 1030
4. Kakawin Kresnayana
5. Kakawin Sumanasantaka
6. Kakawin Smaradahana
7. Kakawin Bhomakawya
8. Kakawin Bharatayuddha, mpu Sedah dan mpu Panuluh, 1157
9. Kakawin Hariwangsa
10. Kakawin Gatotkacasraya
11. Kakawin Wrettasañcaya
12. Kakawin Wrettayana
13. Kakawin Brahmandapurana
14. Kakawin Kunjarakarna, mpu "Dusun"
15. Kakawin Nagarakretagama, mpu Prapanca, 1365
16. Kakawin Arjunawijaya, mpu Tantular
17. Kakawin Sutasoma, mpu Tantular
18. Kakawin Siwaratrikalpa, Kakawin Lubdhaka
19. Kakawin Parthayajna
20. Kakawin Nitisastra
21. Kakawin Nirarthaprakreta
22. Kakawin Dharmasunya
23. Kakawin Harisraya
24. Kakawin Banawa Sekar Tanakung
Sastra Jawa Pertengahan muncul di Kerajaan Majapahit, mulai dari abad ke-
13 sampai kira-kira abad ke-16. Setelah ini, sastra Jawa Tengahan diteruskan di Bali
menjadi Sastra Jawa-Bali. Pada masa ini muncul karya-karya puisi yang
berdasarkan metrum Jawa atau Indonesia asli. Karya-karya ini disebut kidung.
12
Daftar Prosa Sastra Jawa Tengahan
Tantu Panggelaran
Calon Arang
Tantri Kamandaka
Korawasrama
Pararaton
Kakawin Dewaruci
Kidung Sudamala
Kidung Subrata
Kidung Sunda
Kidung Panji Angreni
Kidung Sri Tanjung
Dengan masuknya agama Islam, orang Jawa mendapatkan ilham baru dalam
menulis karya sastra mereka. Maka, pada masa-masa awal, zaman Sastra Jawa Baru,
banyak pula digubah karya-karya sastra mengenai agama Islam. Suluk Malang
Sumirang adalah salah satu yang terpenting.
13
Gaya bahasa pada masa-masa awal masih mirip dengan Bahasa Jawa
Tengahan. Setelah tahun ~ 1650,bahasa Jawa gaya Surakarta menjadi semakin
dominan. Setelah masa ini, ada pula renaisans Sastra Jawa Kuna. Kitab-kitab kuna
yang bernapaskan agama Hindu-Buddha mulai dipelajari lagi dan digubah dalam
bahasa Jawa Baru.
Sebuah jenis karya yang khusus adalah babad, yang menceritakan sejarah.
Jenis ini juga didapati pada Sastra Jawa-Bali.
Masa Islam
14
Masa Renaisans dan sesudahnya
Babad-Babad
Babad Giyanti
Babad Prayut
Babad Pakepung
Babad Tanah Jawi
15
Sastra Jawa Modern muncul setelah pengaruh penjajah Belanda dan semakin
terasa di Pulau Jawa sejak abad kesembilan belas Masehi.
Gaya bahasa pada masa ini masih mirip dengan Bahasa Jawa Baru.
Perbedaan utamanya ialah semakin banyak digunakannya kata-kata Melayu, dan juga
kata-kata Belanda.
Pada masa ini (tahun 1839, oleh Taco Roorda) juga diciptakan huruf cetak
berdasarkan aksara Jawa gayaSurakarta untuk Bahasa Jawa, yang kemudian menjadi
standar di pulau Jawa.
Hal ini terjadi karena para pujangga tersebut jelas beragama Islam. Kualitas
keislaman para pujangga saat ini tentunya berbeda dengan kualitas saat sekarang ini.
Jadi, para pembaca seharusnya menyadari bahwa pengetahuan ajaran Islam saat itu
(abad 18-19) belum sebanyak seperti sekarang ini, sehingga dalam menyampaikan
petunjuk/nasehat para pujangga melengkapi diri dari kekurangannya mengenai
pengetahuan ke-islaman dengan mengambil hal-hal yang dianggap baik dan tidak
bertentangan dengan ajaran Islam. Artinya, munculnya tembang/sekar macapat ini
16
berbarengan dengan munculnya Islam di Jawa, yaitu setelah kejatuhan kerajaan
Majapahit yang hindu.
Dengan kata lain, Islam mewarnai dan menjiwai karya-karya sastra para
pujangga keraton Surakarta sehingga semua karya-karya sastranya itu berupa puisi
yang berbentuk tembang/sekar Macapat.
Unsur ketaukhidan (upaya mendekatkan diri kepada Tuhan Yang Maha Kuasa)
Maksud dari keterkaitan antara Islam dengan karya-karya sastra Jawa adalah
keterkaitan yang sifatnya imperative moral. Artinya, keterkaitan itu menunjukkan
warna keseluruhan/corak yang mendominasi karya-karya sastra tersebut. Karya-karya
sastra Jawa adalah karya sastra para pujangga keraton Surakarta yang hidup pada
zaman periode Jawa baru yang memiliki metrum Islam. Memiliki corak jihad,
masalah ketauhidan, moral/perilaku yang baik dan sebagainya.
17
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Khusus untuk bahasa jawa yang memiliki cukup banyak ragam bahasa dan
karya sastra, mengetahui ragam bahasanya dapat menunjukkan kapan tulisan
tersebut dibuat. Maka dari itu, identifikasi tentang bahasa yang digunakan untuk
menuliskan karya sastra ini dapat diketahui dengan mengetahui kapan bahasa yang
digunakan untuk menulis karya sastra dipakai pada masa tertentu.
18
Daftar Pustaka
Amin, Drs, Darori, Islam dan Kebudayaan Jawa, Yogyakarta: Gama Media,
2000.
Hasan, M, Tholhah, Islam dalam Perspektif Sosial Cultural, Jakarta: Lata Bora
Pers, 1987.
http://www.geocities.com/sesotya_pita/basa/wangsalan.html
19
http://hanacaraka.fateback.com/wangsalan.html
http://wikipedia.co.id
20