Mereka pun menyusun Berebut Hutan Siberut: Orang Mentawai, Kekuasaaan, dan Politik Ekologi (2012).
Buku ini terdiri dari sepuluh bab. Masing-masing bab memiliki satu pembahasan yang utuh dan dapat
dibaca secara terpisah. Namun penempatan urutan bab memudahkan pembaca mengenal Siberut
beserta kompleksitasnya secara sistematik dan lebih mendalam.
Pembaca akan mengenal sejarah panjang Siberut pada lima bab awal. Sedangkan pada lima bab
setelahnya, lebih banyak menceritakan Orang Siberut serta interaksinya terhadap kekuasaan lain.
Darmanto dan Abidah menjabarkan kondisi alam Siberut dengan proporsional. Sehingga pembaca yang
buta mengenai pulau ini bisa meraba suasana hutan lewat penjelasannya. Meski tidak terfokus pada
penelitian berbasis geologi maupun biologi, tetapi tidak serta merta melepaskan aspek tersebut pada
pembentukan keunikan Pulau Siberut. Ini menjadi nilai lebih karena tak banyak buku yang menjelaskan
sejarah Sisberut secara tuntas.
Di sisi lain, Orang Siberut digambarkan secara polos dan apa adanya. Penulis tidak melebih-lebihkan atau
menutupi kenyataan, bahwa Orang Siberut tidak memiliki tujuan mulia untuk melestarikan hutan.
Mereka hidup dengan adat dan roh-roh yang selama ini mereka percayai. Mereka memiliki penguasaan
hutan yang dikelola secara tradisional.
Semua hubungan tersebut tercampur baur dalam politik ekologi. Di mana hutan tidak akan pernah lepas
dari kehidupan manusia, begitu juga sebaliknya. Namun yang harus diperhatikan adalah bagaimana
manusia memperlakukan hutan tersebut. Apa yang terjadi dengan Siberut tentu masih sangat relevan
dengan kondisi Indonesia saat ini. Di mana kekuasaan memegang peran besar dalam kendali terhadap
hutan maupun lahan.
Orang Siberut, pemerintah, maupun perusahaan memiliki kepentingan tersendiri terhadap hutan. Mana
yang harus dibela? Buku ini tidak mengungkapkannya. Ia hanya memaparkan kondisi sebenarnya
sehingga pembaca dapat menyimpulkan sendiri.
Buku ini baik dalam mengungkapkan seluk-beluk suatu wilayah secara gamblang. Ia mengungkapan
suatu hubungan antara hutan dan kekuasaan yang membayanginya. Baik itu kekuasaan oleh penduduk
asli, pemerintah, perusahaan, atau lainnya. Namun, masih terdapat beberapa narasi yang kering.
Mungkin itu karena ada beberapa kutipan panjang yang ditampilkan dalam satu paragraf, tanpa narasi
yang lebih detail. Kurang lebih bentuknya sama seperti tesis. Tentu hal ini tidak mengurangi kecukupan
informasi pembaca mengenai Siberut. Namun, untuk ukuran buku, narasi yang menarik tentu akan
sangat membantu.
Apa yang Darmanto dan Abidah suguhkan dalam buku ini sangat berguna bagi mereka yang bergelut
dalam gerakan masyarakat, reforma agraria, serta ketegangan antar kekuasaan bekerja. Pembacaan
yang gamblang pada suatu perebutan hutan, menjadi pelajaran penting untuk menentukan
keberpihakan.