Anda di halaman 1dari 13

Pengkajian Spondilitis TB

1. Pemeriksan fisik
Pada kasus spondylitis TB, anamnesis dilakukan untuk mengetahui keluhan nyeri pada tulang
belakang, gangguan neurologis,deformitas (Bongkok,benjolan,atau gibus). Adanay sinus/
fistula di punggung,pinggang atau lipat oaha hingga kelumpuhan . untuk memudahkan
anamnesis,gejala gejala tersebut dapat dieksplorasi secara berkelompok menjadi gejala
sistemik TB (penurunan berat badan), gejala local akibat destriksi vertebra dan gejala
nuerolgis akibata keterkiban saraf . tanda tanda spondylitis TB dapat muncul secara greadual
atau mendadak akibat kolapsnya vertebra. Gejala awal dapat berupa nyeri radikuler di sekitar
tulang belakang yang menjalar ke dad atau perut,kemudian diikuti parapresi yang lambat laun
semakin memberat menjadi paraplegia,hiperrefleks dan reflex Babinski positif bilateral.
Nyeri kertuk dan gangguan motoric dapat ditemukan pada ksusus spondylitis TB yang telah
melibatkan deformitas dan adanya penekenan syaraf.
Untk mendapatkan diagnosi yang akurat tentunya perlu anamnesis dan pemeriksaan fisik
yang cermat sehingga memperoleh gambaran untuh bagaimana bakteri mycobacterium
tuberculosis masuk ke tubuh hinge menetap di lingkunganmikro tubuh,seperti di tulang
belakang ataupun organ lainnya. Seleuruh proses itu akan diikiuti oleh keluhan subjektif yang
dirasakan oleh pasien seperti panas,rasa tidak enak badan,menggigil ,nyeri dan sebagainya.
Berikut ini adalah beberapa hal yang dilakukan pada pemeriksaan fisik pasien dengan
spondylitis TB yaitu :
a. Inspeksi
Inspeksi ini dilakukan saat pasien dalam posisi berdiri,berjalan,duduk dan tidur . pertama
tama didahului dengan inspeksi umum untuk melihat apakah pasien dalam kondisi
baik,apakah tampak kurus,apakah cara berjalnnya normal dan sebagainya. Selanjutya
inspeksi local dilakukan untuk melihat adanaya benjolan ,gibus,abses ,sinus,asietri kiri
kanan atas bawah . Berikut hal hal yang harus diperhatikan saat inspeksi :
Gambar 1. Hal yang diperhatikan saat inspeksi
b. Palpasi
Pada psosi tengkurap atau duduk dokter dapat meraba gibus, abses, rasa panas atau
hangat, dan menentukan dimana level temuan itu. Pada saat bersamaan, dokter mengamati
ekspresi pasien apakah tampak nyeri atau tidak .

Gambar 2. Tehnik palpasi


c. Gerakan
Minta pasien bungkuk ( eksi anterior), eksi lateral, dan rotasi badannya. Pemeriksaan
ini dapat menilai dampak proses infeksi pada gangguan neurologis. Pasien diminta duduk,
berdiri, dan berjalan, kemudian hasilnya dinyatakan dalam skala Frankel, yakni A (tidak
bisa sama sekali) hingga E (normal).
Gambar 3. Gerakan saat pemeriksaan fisik

Gambar 4. Frankel grading for spinal cord injury

d. Pemriksaan sensorik
Pemeriksaan sensorik menilai rabaan halus, kasar, panas, dan dingin. Hasilnya
kemudian dibandingkan atas dan bawah, Apabila ada gangguan, tentukan level dermatom
yang terlibat. Lakukan tes sensasi propioseptif untuk menentukan apakah pasien dapat
menentukan arah gerakan jempol oleh dokter saat matanya tertutup.
Gambar 5. Tehnik dan lokasi pemeriksaan dermatom (Sensorik).
2. Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan penunjang turut memegang peran krusial dalam keberhasilan
penegakkan diagnosis TB Spinal. Pemeriksaan penunjang diharapkan dapat memperdalam
dan mempertajam level diagnosis. Selain itu, pemeriksaan penunjang mampu
memvisualisasikan langsung kondisi tulang belakang yang kemudian harus disesuaikan
kembali dengan hasil anamnesis dan pemeriksaan sik sebelumnya. Terdapat beberapa
modalitas pemeriksaan penunjang yang bisa dipilih, mulai dari pemeriksaan non-invasive
hingga pemeriksaan yang memerlukan tindakan invasif.
Prinsip pemeriksaan penunjang pada TB Spinal ada dua, yaitu observasi kerusakan
struktur (menggunakan pencitraan dan pemeriksaan histopatologi) dan melihat dampak
sistemik yang ditimbulkan (menggunakan pemeriksaan laboratorium, biomolekuler, dan
mikrobiologi).
a. Pemeriksaan radiologi (Imaging)
Terdapat dua prinsip pencitraan pada tulang belakang, antara lain membantu
visualisasi kelainan tulang belakang serta melihat dampak atau kerusakan akibat
proses infeksi yang menyebabkan perubahan struktur di sekitar tulang belakang,
antara lain pada korda spinalis, medula spinalis, pembuluh darah, otot, dan
paravertebral.
Terdapat tiga modalitas utama yang digunakan dalam pencitraan struktur tulang
belakang. Foto polos X-ray, modalitas yang paling direkomendasikan, mengambil
gambar sesuai level tulang belakang yang sesuai. Pada tahap awal spondilitis TB,
pencitraan tampak normal. Selanjutnya, foto polos digunakan untuk skrining ketika
dicurigai terdapat spondilitis infeksi.
Foto polos dapat menilai struktur tulang dan kondisi jaringan lunak di sekitar tulang.
Kerusakan yang dapat dilihat, antara lain kompresi, burst atau pecah, pergeseran,
gibus, pendorongan struktur tulang ke kanal spinalis, abses di daerah paravertebral
(paravertebral abses). Selain itu, dapat juga digunakan untuk mengevaluasi struktur di
posterior tulang belakang (prosesus spinosus dan lamina). Pada foto rontgen, proyeksi
anteroposterior dan lateral digunakan untuk melihat adanya gambaran infeksi di satu
atau lebih ruas vertebra, kerusakan tulang vertebra, gibus, kifosis, dan abses. Pada
daerah servikal, biasanya digunakan foto anteroposterior dan lateral. Pada daerah
torakal foto diambil dari lateral. Untuk melihat infeksi pada lumbosakral, foto diambil
setinggi torakolumbal dari anteroposterior dan lateral.
Temuan awal pada foto polos adalah gambaran radiolusen dan hilangnya plate
margin, destruksi korpus vertebra terutama di anterior, hilangnya ketinggian diskus,
erosi lempeng akhir, geode vertebra, sekuestrasi tulang, massa skeloris dan
paravertebral. Adanya kalsi kasi pada paraspinal dapat dicurigai disebabkan TB.
Selanjutnya, infeksi dapat berlanjut hingga ke segmen vertebra lainnya sehingga
tampak beberapa level vertebra terlibat. Ketinggian diskus yang berkurang dapat
menetap. Pada tahap akhir, dapat ditemukan sclerosis, ankilosis tulang, kolaps
vertebra, dan pelebaran anterior yang menyebabkan terjadinya kifosis dan gibus.
Modalitas selanjutnya yang dapat digunakan adalah pemeriksaan CT yang dapat
memperlihatkan struktur tiga dimensi kerusakan tulang belakang akibat proses infeksi
dengan lebih detail dibanding foto polos X-ray. Selain itu, pemeriksaan CT juga
menggambarkan ekstensi lesi karena resolusinya yang kontras. Pemeriksaan CT
dilakukan untuk melihat gambaran dekstruksi pada tulang belakang, osteoporosis,
penyempitan kanal yang mengakibatkan penekanan saraf, abses, dan deformitas, serta
keterlibatan infeksi tulang dan jaringan lunak. Fase awal penyakit dapat ditemukan
massa paraspinal dan abses yang berada di anterolateral korpus vertebra dan
menyebar ke jaringan dan epidural. Pada pemeriksaan CT, dilakukan deskripsi
terhadap destruksi tulang (fragmentasi, osteolitik, subperiosteal, atau terlokalisir).
Kombinasi foto polos dan pemeriksaan CT dapat membuat klinisi yakin bahwa
terdapat suatu kelainan pada tulang.
MRI, modalitas dengan sensitivitas tinggi (namun tidak spesi k), adalah modalitas
yang digunakan untuk menggambarkan kelainan struktur dan jaringan lunak pada
tulang dengan lebih detail. MRI sangat direkomendasikan terutama pada awal kasus
dengan kecurigaan spondilitis tanpa komplikasi spinal dan neurologis. Adapun MRI
juga membantu dalam mengidenti kasi komplikasi yang terjadi. Setiap perubahan
pada perkembangan penyakit dapat tertangkap MRI saat modalitas lain tidak dapat
menggambarkannya. MRI dapat menggambarkan ukuran abses serta kerusakan otot
dan medulla spinalis. Dengan pemeriksaan MRI, dapat diperoleh gambaran lebih
detail struktur anatomi dan jaringan lunak yang terkena, misalnya medula spinalis,
ligamentum avum, diskus intervertebra, ligamentum longitudinal, dan jaringan lunak
lain disekitarnya. MRI mampu melokalisir lokasi lesi dan deteksi awal destruksi
tulang. MRI juga dapat menggambarkan struktur di sekitar tulang belakang, antara
lain pembuluh darah dan perluasan abses ke paravertebral.
Modalitas lainnya yang dapat digunakan pada pasien spondilitis TB, yaitu USG,
pemeriksaan PET, dan bone scan. Ketiganya jarang digunakan untuk diagnosis
spondilitis TB, namun lebih sering digunakan jika curiga terdapat neoplasma.
Sejatinya, pemeriksaan radiologi, seperti radiogra polos, bone scan, pemeriksaan CT,
dan MRI bisa digunakan namun tidak mampu mendiagnosis TB Spinal secara pasti.
Hal ini disebabkan oleh banyaknya diagnosis banding yang menunjukkan gambaran
serupa dengan TB Spinal pada gambaran radiologi, seperti osteomielitis akibat jamur,
tumor tulang, dan tumor metastasis. Radiogra polos dan pemeriksaan CT bisa
menggambarkan gangguan struktural pada tulang belakang.
gambar 5. Foto radiologi spondilitis TB

b. Pemeriksaan mikrobiologi
Pemeriksaan mikrobiologi dilakukan untuk memastikan apakah infeksi disebabkan
oleh Mycobacterium tuberculosis saja atau bakteri lainnya, seperti bakteri Gram positif
(Staphylococcus aureus, Streptococcus epidermidis, dan lain-lain) atau bakteri anaerob.
Sebelum mengumpulkan sampel, dokter perlu mengomunikasikan dengan mikobiolog
bahwa akan melakukan kultur dan pemeriksaan resistensi antibiotik, serta sampaikan
pula jenis antibiotik apa saja yang digunakan di rumah sakit tersebut. Selanjutnya,
komunikasikan jaringan apa yang akan diambil dan apakah diambil dengan core needle
biopsy, ne-needle aspiration biopsy (FNAB), ataukah saat operasi. Penting untuk
menanyakan apakah mikrobiolog dapat hadir saat pengambilan sampel dan memastikan
medium transport ke laboratorium. Pada prinsipnya, ada dua jenis pemeriksaan yang
dilakukan:
 Kultur/biakan
Kultur bakteri Mycobacterium tuberculosis merupakan gold standard dalam
diagnosis karena dapat membuktikan keberadaan bakteri hidup dari spesimen.
Kultur Mycobacterium tuberculosis bisa dilakukan pada media tertentu, seperti
Lowenstein Jensen (media padat) dan Middlebrook (media cair). Hasil biakan
diperoleh setelah 4–6 minggu. Hasil kultur bakteri positif menunjukkan infeksi
yang aktif pada pasien dan membutuhkan setidaknya konsentrasi 103 basil per
mililiter spesimen. Infeksi Mycobacterium tuberculosis dikatakan aktif apabila
hasil kultur positif, dan sebaliknya. Adapun hasil uji resistensi biakan baru
diperoleh 2–4 minggu sesudahnya. Media yang digunakan untuk kultur adalah
medium berbasis telur, media Lowenstein-Jensen dan media berbasis cairan seperti
Bexton-Dikinson dan BACTEC. Sebelum kultur, pasien dianjurkan untuk
menurunkan atau melepas kebiasaan merokok. Selain itu, konsumsi oroquinolone
juga perlu dihentikan karena dapat menyebabkan bakteri kultur tumbuh lebih
lambat .
 Pewarnaan basil tahan asam (BTA)
Pemeriksaan mikroskopis BTA adalah pewarnaan dengan Ziehl Neelsen untuk
mendapat informasiMycobacterium tuberculosisyangmatidarispesimen secara
cepat. Pemeriksaan ini membutuhkan 104 basil per mililiter spesimen. Walaupun
hasil BTA dapat diperoleh cepat, BTA memerlukan cukup banyak mikroorganisme
dalam spesimen dan spesi sitas BTA kurang. Sementara itu, hasil kultur diperoleh
cukup lama, minimal sebulan. Pemeriksaan biomolekular Polymerase Chain
Reaction (PCR) kemudian menjadi pilihan alternatif yang unggul dalam hal
sensitivitas dan spesi tas dengan waktu yang diperlukan pun relatif cepat.

Gambar 6. Hasil pewarnaan BTA

c. Pemeriksaan Histopatologi
Pemeriksaan histopatologi merupakan pemeriksaan yang bertujuan untuk
melihat dan menilai reaksi jaringan atau respons imun tubuh terhadap suatu proses
patologis yang memiliki gambaran khas pada masing- masing penyakit. Pengambilan
sampel untuk pemeriksaan histopatologi dilakukan dengan aspirasi menggunakan ne-
needle atau biopsi jaringan yang dibantu dengan uoroskopi atau pemeriksaan CT.
Pengambilan sampel tersebut dapat juga dilakukan saat operasi.
Pada kasus dengan hasil pewarnaan BTA dan kultur negatif, perlu dilakukan
biopsi tulang belakang atau aspirasi abses untuk mengon rmasi diagnosis dan
mengeliminasi diagnosis banding lainnya. Biopsi tulang dapat dilakukan secara
perkutan dengan dipandu dengan CT scan atau uoroskopi, lalu dikirim ke beberapa
laboratorium untuk pemeriksaan tambahan, salah satunya adalah pemeriksaan
histopatologi. Pengiriman spesimen oleh tenaga kesehatan ke laboratorium perlu
disertai dengan formulir yang memuat identitas pasien, jenis dan lokasi spesimen,
rincian klinis yang relevan dan riwayat aspirasi jarum halus. Spesimen untuk
pemeriksaan histopatologi spondilitis tuberkulosa (TB spinal) adalah biopsi tulang,
biasanya dengan biopsi jarum. Apabila diagnosis tidak dapat dipastikan dengan biopsi
jarum, dapat dipertimbangkan biopsi bedah yang disertai dengan kultur. Kultur
umumnya memerlukan waktu yang relatif lama.
Gambaran khas dari pemeriksaan histopatologi spondilitis tuberkulosis adalah
sebagai berikut. Infeksi spondilitis TB pada jaringan tulang akan menginduksi reaksi
radang granulomatosis dan nekrosis dengan karakteristik yang cukup khas sehingga
dapat membantu penegakkan diagnosis. Ditemukannya tuberkel memberikan nilai
diagnostik paling tinggi dibandingkan temuan histopatologi lainnnya. Adapun
tuberkel merupakan struktur yang dibentuk oleh sel epiteloid, sel datia Langhans,
limfosit, dan nekrosis perkijuan di pusatnya. Untuk menegakkan diagnosis, gambaran
histopatologi perlu dihubungkan dengan penemuan klinis dan radiologis pasien.

Gambar 7. Foto gambaran histopatologi granuloma,sel datia lengerhans, dan sel sel
epitloid dari jaringan spondilitis TB.
d. Pemeriksaan laboratorium
Pemeriksaan laboratorium yang bisa dilakukan, meliputi tuberculin skin test
(TST), complete blood count (CBC), pemeriksaanlajuendapandarah(LED),dan
pemeriksaan CRP (C-reactive protein).
 Uji tuberkulin
Uji Mantoux atau yang dikenal pula dengan istilah uji tuberkulin merupakan
salah satu metode yang digunakan untuk mendeteksi infeksi laten TB. Uji
Mantoux dilakukan dengan cara menginjeksikan zat derivat protein tuberkulin
yang dipuri kasi (tuberculine puri ed protein derivate) sebanyak 0,1 ml melalui
jalur intrakutan ke lengan pasien. Hasil dapat diketahui setelah 48-72 jam. Hasil
dikatakan positif jika indurasi >10 mm. Jika indurasi <5 mm, hasil dikatakan
negatif. Indurasi yang berkisar antara 5-9 mm dikatakan meragukan dan perlu
diulang. Hasil dapat menunjukkan positif palsu jika pasien baru saja
memperoleh vaksinasi BCG. Uji Mantoux memiliki keterbatasan dalam hal
sensiti tas dan spesi sitas. Di daerah dengan tingkat tuberkulosis tinggi,
sebanyak 20% dari populasi dapat menunjukkan hasil negatif pada uji Mantoux.
Sensiti tas dari uji Mantoux juga menurun pada pasien dengan
immunocompromised.
 Pemeriksaan CBC
CBC dilakukan dengan berfokus pada hitung total limfosit dan limfosit CD4.
Kadar CD4 yang menurun secara signi kan dapat menggambarkan kondisi
infeksi yang aktif. Pemeriksaan LED bersifat sensitif tetapi tidak spesi k. Laju
endap darah pada pasien dengan TB spinal umumnya akan meningkat. Laju
endap darah dapat meningkat sebesar >20 mm/jam. Laju endap darah akan
kembali normal ketika lesi aktif tuberkulosis terkontrol. Pada infeksi piogenik,
peningkatan laju endap darah dapat disertai leukositosis, tetapi pada pasien
dengan TB spinal, peningkatan laju endap darah umumnya tidak disertai dengan
peningkatan kadar leukosit (leukositosis)
 Pemeriksaan CRP
CRP merupakan protein serum fase akut yang dihasilkan oleh hati, otot polos,
endotel, dan jaringan adiposa. CRP dapat dikatakan normal jika berada dalam
rentang 0-10 mg/L. Peningkatan kadar CRP (>10 mg/L) mengindikasikan
adanya in amasi, nekrosis, atau infeksi. Indikasi ini menyebabkan pemeriksaan
CRP kurang spesi k dalam menegakkan diagnosis TB Spinal. Berdasarkan hasil
penelitian, diketahui bahwa sekitar 66% dari 35 sampel penderita TB
menunjukkan kadar CRP yang meningkat. Peningkatan CRP ini berhubungan
dengan pembentukan abses.
e. Pemeriksaan Biomolekular
Pemeriksaan biomolekuler TB Spinal difokuskan pada deteksi antibodi dan
antigen spesi k. Deteksi interferon-gamma release assays (IGRAs) dan ICT
tuberkulosis (Immunochromatographic assays) dapat dilakukan sebagai deteksi
dini antibodi pada TB Spinal. Untuk pemeriksaan ICT sendiri memiliki spesi sitas
hingga 98%. Deteksi antigen M. tuberculosis bisa dilakukan dengan prosedur
enzyme- linked immunoadsorbent assay (ELISA) dan polymerase chain reaction
(PCR). ELISA menggunakan antigen spesi k ESAT-6 dan CFP-10 sebagai
stimulan. Adapun pemeriksaan PCR berfokus pada pembentukan 123 pasang basa
dengan pengulangan pada segmen IS6110.
 IGRAs
Interferon-Gamma Release Assays (IGRAs) merupakan salah satu pemeriksaan
darah yang dapat digunakan untuk diagnosis infeksi Mycobacterium
tuberculosis. Pemeriksaan ini memanfaatkan reaksi imunologis. Pada pasien
dengan infeksi Mycobacterium tuberculosis, sel darah putih pasien akan
melepaskan interferon- gamma ketika terdapat antigen dari Mycobacterium
tuberculosis. Antigen yang digunakan untuk menginduksi pelepasan IFN-y
dalam IGRAs adalah ESAT-6 dan CFP-10. Kedua antigen tersebut tidak dapat
ditemukan pada vaksin BCG sehingga hasil IGRAs lebih spesi k daripada uji
Mantoux. Hasil dari IGRAs dapat diperoleh dalam kurun waktu kurang dari 24
jam. Kekurangan dari pemeriksaan ini adalah tidak dapat membedakan antara
infeksi laten dan infeksi aktif .
 ICT Tuberkulosis
ICT Tuberkulosis merupakan pemeriksaan serodiagnostik untuk mendeteksi
antibodi yang dihasilkan oleh pasien terinfeksi Mycobacterium tuberculosis.
Pemeriksaan ini menggunakan strip nitroselulosa yang telah disensitisasi
dengan antigen. Strip dapat dibaca menggunakan densitometer atau secara
manual. Antigen yang sering digunakan adalah antigen 38 kDa dengan sensiti
tas 45%-85% dan spesi sitas sebesar 98%. Teknik ini cukup mudah dan cepat.
 ELISA
ELISA merupakan teknik yang menggabungkan sensitivitas uji enzim dengan
spesi sitas antibodi secara sederhana. ELISA dapat digunakan untuk mendeteksi
adanya antigen yang dikenali oleh antibodi atau sebaliknya. Hasil diperoleh
dengan melakukan pengukuran nilai absorbansi. Pada diagnosis TB spinal,
ELISA dapat digunakan untuk mendeteksi antigen mikobakterial A60.
Pemeriksaan ini memiliki sensiti tas sebesar 63% dan spesi sitas sebesar 96%.
Meskipun demikian, pemeriksaan ini tidak dapat membedakan antara infeksi
aktif dan infeksi laten.
 PCR
PCR merupakan metode untuk memperbanyak segmen DNA spesi k suatu
bakteri. PCR dilakukan dalam tiga tahapan reaksi dengan suhu yang berbeda,
yaitu denaturasi cetakan DNA, penempelan primer (annealing), dan elongasi/
pemanjangan primer. Keterbatasan jumlah bakteri dalam spesimen bukanlah
suatu masalah jika metode ini digunakan. Hal tersebut dikarenakan setelah
ekstraksi DNA, DNA tersebut akan diperbanyak dengan bantuan enzim DNA
polimerase. Identifikasi bakteri Mycobacterium tuberculosis menggunakan
metode PCR lebih mudah dilakukan dan hasilnya lebih akurat. Sensiti tas
pemeriksaan PCR pada TB spinal sebesar 94,7% dengan spesi sitas sebesar
83,3% dan akurasi sebesar 92%. Akan tetapi, kekurangan dari metode ini adalah
bakteri yang hidup dan bakteri yang mati tidak dapat dibedakan. Dengan
demikian, kita tidak dapat mengetahui kondisi infeksi, apakah telah sembuh,
atau masih aktif. Di sisi lain, metode ini memerlukan instrumen yang cukup
mahal serta tenaga pelaksana yang terlatih dan terampil sehingga biaya
pemeriksaan pun menjadi mahal.

Anda mungkin juga menyukai