Anda di halaman 1dari 17

LAPORAN PENDAHULUAN

SPONDILITIS TUBERKULOSIS

OLEH

MAHASISWA PRESEPTOR

( Fitria (R014201018) ) (Tuti Seniwati , S.Kep.,Ns., M.Kes)

PROGRAM STUDI PROFESI NERS

FAKULTAS KEPERAWATAN

UNIVERSITAS HASANUDDIN

MAKASSAR

2021
BAB I
KONSEP MEDIS
A. Definisi
Spondilitis tuberkulosis adalah infeksi Mycobacterium tuberculosis pada tulang belakang.
Spondilitis tuberkulosis memiliki perjalanan penyakit yang relatif indolen, sehingga sulit
untuk didiagnosis secara dini. Seringkali penderita mendapatkan pengobatan pada keadaan
lanjut dimana deformitas kifosis dan kecacatan neurologis sudah relatif ireversibel
[ CITATION Zuw12 \l 1057 ].

Infeksi spinal oleh tuberkulosis, atau yang biasa disebut sebagai spondilitis tuberkulosis
(TB), sangat berpotensi menyebabkan morbiditas serius, termasuk defi sit neurologis dan
deformitas tulang belakang yang permanen, oleh karena itu diagnosis dini sangatlah penting.
Diagnosis dini spondilitis TB sulit ditegakkan dan sering disalahartikan sebagai neoplasma
spinal atau spondilitis piogenik lainnya [ CITATION Zuw12 \l 1057 ]. Spondilitis tuberkulosa
merupakan penyakit kronik dan lambat berkembang dengan gejala yang telah berlangsung
lama. Riwayat penyakit dan gejala klinis pasien adalah hal yang penting, namun tidak selalu
dapat diandalkan untuk diagnosis dini [ CITATION Sah15 \l 1057 ].

B. Etiologi
Tuberkulosis merupakan penyakit infeksi yang disebabkan oleh kuman Mycobacterium
tuberculosis yang merupakan anggota ordo Actinomicetales dan famili Mycobacteriase.
Basil tuberkel berbentuk batang lengkung, gram positif lemah yaitu sulit untuk diwarnai
tetapi sekali berhasil diwarnai sulit untuk dihapus walaupun dengan zat asam, sehingga
disebut sebagai kuman batang tahan asam. Hal ini disebabkan oleh karena kuman bakterium
memiliki dinding sel yang tebal yang terdiri dari lapisan lilin dan lemak (asam lemak
mikolat). Selain itu bersifat pleimorfik, tidak bergerak dan tidak membentuk spora serta
memiliki panjang sekitar 2-4 μm [ CITATION Sah15 \l 1057 ]

C. Manifestasi klinis
Adapun tanda dan gejala dari spondilitis tuberklosis,[ CITATION Sah15 \l 1057 ]:

1. Nyeri

1
2. Demam
3. Malaise
4. Penurunan berat badan
5. Fatigue
6. Deformitas spinal
7. Kaku dan kram otot
8. Keterbatasan gerak ruang sendir

D. Komplikasi
1. Cedera corda spinalis (spinal cord injury). Dapat terjadi karena adanya tekanan
ekstradural sekunder karena pus tuberkulosa, sekuestra tulang, sekuester dari diskus
intervertebralis (contoh : Pott’s paraplegia – prognosa baik) atau dapat juga langsung
karena keterlibatan korda spinalis oleh jaringan granulasi tuberkulosa (contoh :
menigomyelitis – prognosa buruk). Jika cepat diterapi sering berespon baik (berbeda
dengan kondisi paralisis pada tumor). MRI dan mielografi dapat membantu membedakan
paraplegi karena tekanan atau karena invasi dura dan corda spinalis.
2. Empyema tuberkulosa karena rupturnya abses paravertebral di torakal ke dalam pleura.

E. Pemeriksaan penunjang
1. Pemeriksaan Radiologi
Radiologi hingga saat ini merupakan pemeriksaan yang paling menunjang untuk
diagnosis dini spondilitis TB karena memvisualisasi langsung kelainan fi sik pada tulang
belakang. Terdapat beberapa pemeriksaan radiologis yang dapat digunakan seperti sinar-
X, Computed Tomography Scan (CTscan),
dan Magnetic Resonance Imaging (MRI).
a. Sinar-X
Sinar-X merupakan pemeriksaan radiologis awal yang paling sering dilakukan
dan berguna untuk penapisan awal. Proyeksi yang diambil sebaiknya dua jenis,
proyeksi AP dan lateral. Pada fase awal, akan tampak lesi osteolitik pada bagian
anterior badan vertebra dan osteoporosis regional. Penyempitan ruang diskus
intervertebralis menandakan terjadinya kerusakan diskus. Pembengkakan jaringan
lunak sekitarnya memberikan gambaran

2
Fusiformis.
Pada fse lanjut, kerusakan bagian anterior semakin memberat dan membentuk
angulasi kifotik (gibbus). Bayangan opak yang memanjang
paravertebral dapat terlihat, yang merupakan cold abscess. Namun, sayangnya sinar-
X tidak dapat mencitrakan cold abscess dengan baik. Dengan proyeksi lateral, klinisi
dapat menilai angulasi kifotik diukur dengan metode Konstam.
b. CT Scan
CT-scan dapat memperlihatkan dengan jelas sklerosis tulang, destruksi badan
vertebra, abses epidural, fragmentasi tulang, dan penyempitan kanalis spinalis. CT
myelography juga dapat menilai dengan akurat kompresi medula spinalis apabila
tidak tersedia pemeriksaan MRI. Pemeriksaan ini meliputi penyuntikan kontras
melalui punksi lumbal ke dalam rongga subdural, lalu dilanjutkan dengan CT scan.
Selain hal yang disebutkan di atas, CT scan dapat juga berguna untuk memandu
tindakan biopsi perkutan dan menentukan luas kerusakan jaringan tulang.
Penggunaan CT scan sebaiknya diikuti dengan pencitraan MRI untuk visualisasi
jaringan lunak.
c. MRI
Magnetic resonance imaging (MRI) dilaksanakan untuk mendeteksi massa
jaringan, appendicular TB, luas penyakit, dan penyebaran subligamentous dari debris
tuberculous [ CITATION LiY07 \l 1057 ]. Untuk mengevaluasi spondilitis TB, sebaiknya
dilakukan pencitraan MRI aksial, dan sagital yang meliputi seluruh vertebra untuk
mencegah terlewatkannya lesi noncontiguous. MRI juga dapat digunakan untuk
mengevaluasi perbaikan jaringan. Peningkatan sinyal- T1 pada sumsum tulang
mengindikasikan pergantian jaringan radang granulomatosa oleh jaringan lemak dan
perubahan MRI ini berkorelasi dengan gejala klinis [ CITATION Zuw13 \l 1033 ].
2. Laboraturium
a. Darah
Secara umum, sama dengan penderita penyakit kronik lainnya,sering ditemukan
anemia hipokrom. Hitung-jumlah lekosit dapat normal atau meningkat sedikit, pada
hitung jenis ditemukan monositosis. Laju endap darah meningkat tetapi tidak dapat
menjadi indicator aktivitas penyakit.

3
b. Tes Tuberkulin
Dengan cara Mantoux, disuntikkan PPD 5 TU (0.1 ml) intrakutan. Reaksi pada
tubuh dibaca setelah 48-72 jam. Jika indurasi < 5 mm dikatakan tes Mantoux negatif.
Indurasi > 10 mm , tes Mantoux positif ; sedangkan indurasi 5 – 9 mm meragukan
dan perlu diulang.
c. Bakteriologi
Untuk pemeriksaan balteriologik dan histopatologik diperlukan pengambilan
bahan melalui biopsi atau operasi. Biopsi dapat dilakukan dengan cara fine needle
aspiration dengan tuntunan CT atau video assisted thoracoscopy. Pemeriksaan
terhadap bahan pemeriksaan yang diambil dengan biopsi dapat dilakukan dengan
pemeriksaan mikroskopik biasa, mikroskopik fluoresen atau biakan. Pada
pemeriksaan mikroskopik dapat dilakukan pewarnaan Ziehl Nielsen, Tan Thiam Hok,
Kinyoun-Gabbet atau denagn metoda fluorokrom yang memakai pewarnaan
auramine dan rhodamine.
Pemeriksaan ini membutuhkan sedikitnya 5 x 103 kuman per ml sputum.. Hasil
pemeriksaan ini dipengaruhi oleh : jenis spesimen, ketebalan sediaan apus yang
dihasilkan, ketebalan pewarnaan, kemampuan dan keahlian pemeriksa. Beberapa cara
yang dilakukan untuk meningkatkan sensitifitas hasil pemeriksaan sediaan apus
secara mikroskopik, yaitu: cytocentrifugation dari bahan pemeriksaan sputum,
mencairkan sputum dengan sodium hypochloride diikuti dengan sedimentasi selama
satu malam.
Jumlah basil tuberkulosis yang didapatkan pada spondilitis tuberkulosa lebih
rendah bila dibandingkan dengan tuberkulosis paru. Juga pada pewarnaan biasa hanya
sanggup mendiagnosa sekitar separuhnya.
1. Kultur
Semua spesimen yang mengandung mikobakteria harus di inokulasi
melalui media kultur, karena : kultur lebih sensitif dari pada pemeriksaan
mikroskopis, dapat mendeteksi hingga 10 bakteri per ml ; kultur dapat melihat

4
perkembangan organisme yang diperlukan untuk identifikasi yang akurat dan
dengan pembiakan kuman dapat dilakukan resistensi tes terhadap obat-obat anti
tuberkulosa.
2. Histopatologi
Secara histopatologik, hasil biopsi member gambaran granuloma epiteloid
yang khas dan sel datia Langhans, suatu giant cell multinukleotid yang khas.
3. PCR
Prinsip kerja PCR adalah 3 tahapan reaksi yang dilakukan pada suhu yang
berbeda. Yaitu: denaturasi, aneling primer, dan polimerase. Ini adalah suatu
proses amplifikasi DNA yang dilakukan berulangkali. Produk yang dihasilkan
bertindak sebagai template untuk siklus berikutnya sehingga setiap siklus
menghasilkan produk secara eksponensial. Dengan kemampuan ini PCR dapat
mendeteksi basil tuberkulosa yang jumlahnya tidak cukup untuk bisa diperiksa
secara mikroskopis atau bakteriologis. Jumlah kuman 10 – 1000 sudah dapat
dideteksi dengan pemeriksaan ini.

F. Penatalaksanaan
Pada prinsipnya pengobatan Spondilitis Tuberkulosis harus dilakukan sesegera mungkin
untuk menghentikan progresivitas penyakit serta mencegah paraplegia. Zuwanda & Jannitra
(2018)

a. Prinsip pengobatan Paraplegia Pott sebagai berikut :


1) Pemberian obat antituberkulosis
2) Dekompresi medulla spinalis
3) Stabilisasi vertebra dengan graft tulang (bone graft)
b. Pengobatan terdiri atas :
1) Terapi konservatif berupa:
a) Tirah baring (bed rest)
b) Memberi korset yang mencegah gerakan vertebra /membatasi gerak vertebra
c) Memperbaiki keadaan umum penderita
d) Pengobatan antituberkulosa
2) Terapi operatif

5
Indikasi operasi yaitu:
a) Bila dengan terapi konservatif tidak terjadi perbaikan paraplegia atau malah semakin
berat.
b) Biasanya tiga minggu sebelum tindakan operasi dilakukan, setiap spondilitis
tuberkulosa diberikan obat tuberkulostatik.
c) Adanya abses yang besar sehingga diperlukan drainase abses secara terbuka dan
sekaligus debrideman serta bone graft.
d) Pada pemeriksaan radiologis baik dengan foto polos, mielografi ataupun pemeriksaan
CT dan MRI ditemukan adanya penekanan langsung pada medulla spinalis.

6
BAB II
ASUHAN KEPERAWATAN
A. Pengkajian keperawatan
1. Anamnesa
a. Data biografi: nama, umur, jenis kelamin, pendidikan, agama, pekerjaan, alamat, suku
bangsa, status perkawinan, sumber biaya, sumber informasi.
b. Riwayat kesehatan masa lalu: Riwayat menjalani perawatan dirumah sakit, obat-
obatan yang pernah diminum
c. Riwayat kesehatan sekarang: Alasan masuk rumah sakit, keluhan utama, kronologis
keluhan
d. Riwayat kesehatan keluarga: Penyakit keturunan Penyakit keluarga yang berhubungan
dengan kondisi penyakit yang dialami
e. Riwayat psikososial: Orang terdekat dengan klien, interaksi dalam keluarga, dampak
penyakit terhadap keluarga, masalah yang mempengaruhi klien, mekanisme koping
terhadap penyakitnya, persepsi klien terhadap penyakitnya, sistem nilai kepercayaan
f. Pola kebersihan sehari- hari sebelum sakit dan selama sakit: pola nutrisi, pola
eliminasi, pola Personal hygiene, pola istirahat dan tidur, pola aktifitas dan latihan,
pola kebiasaan yang mempengaruhi kesehatan,
2. Data Pengkajian Pasien
a. Aktivitas/Istirahat
Gejala: adanya kelemahan dan paralysis secara simetris yang biasanya dimulai dari
ekstremitas bawah dan selanjutnya berkembang dengan cepat ke arah atas, hilangnya
kontrol motorik halus tangan. Tanda : kelemahan otot, paralysis plaksid (simetris),
cara berjalan tidak mantap.
b. Sirkulasi
Tanda: perubahan tekanan darah (hipertensi/hipotensi), disritmia,
takikardia/brakikardia, wajah kemerahan, diaforesis.
c. Integritas ego

7
Gejala : perasaan cemas dan terlalu berkonsentrasi pada masalah yang dihadapi. Tanda
: tampak takut dan bingung.
d. Eliminasi
Gejala : adanya perubahan pola eliminasi. Tanda : kelemahan pada otot-otot abdomen,
hilangnya sensasi anal (anus) atau berkemih dan refleks sfingter.
e. Makanan/cairan
Gejala : kesulitan dalam mengunyah dan menelan. Tanda : gangguan pada refleks
menelan atau refleks gag.
f. Neurosensori
Gejala: kebas, kesemutan dimulai dari kaki atau jari-jari kaki dan terus naik,
perubahan rasa terhadap posisi tubuh, vibrasi, sensasi nyeri, sensasi suhu, perubahan
dalam ketajaman penglihatan. Tanda : hilangnya/menurunnya refleks tendon dalam,
hilangnya tonus otot, adanya masalah dengan keseimbangan, adanya kelemahan pada
otot-otot wajah, terjadi ptoris kelopak mata, kehilangan kemampuan untuk berbicara.
g. Nyeri/kenyamanan
Gejala: nyeri tekan otot, seperti terbakar, mengganggu, sakit, nyeri (terutama pada
bahu, pelvis, pinggang, punggung dan bokong). Hiposensitif terhadap sentuhan.
h. Pernafasan
Gejala: kesulitan dalam bernafas. Tanda : pernafasan perut, menggunakan otot bantu
nafas, apnea, penurunan bunyi nafas, menurunnya kapasitas vital paru, pucat/sianosis,
gangaun refleks gag/menelan/batuk.
i. Keamanan
Gejala: infeksi virus nonspesifik (seperti ISPA) kira-kira dua minggu sebelum
munculnya tanda serangan, adanya riwayat terkena herpes zoster, sitomegalovirus.
Tanda: suhu tubuh yang berfluktuasi, penurunan kekuatan/tonus otot,
paralysis/parestesia.
B. Diagosa keperawatan
1. Nyeri akut
2. Kerusakan integritas kulit
3. Hambatan mobilitas fisik
4. Ketidakseimbangan Nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh

8
9
C. Intetervensi keperawatan

N DIAGNOSA RENCANA KEPERAWATAN


O KEPERAWATAN TUJUAN INTERVENSI
1 Nyeri Akut NOC: NIC :
Setelah dilakukan intervensi selama 3x24 jam Pengaturan posisi
nyeri berkurang atau teratasi dengan kriteria 1. Berikan posisi yang tidak menyebabkan nyeri
hasil:
bertambah
klien dapat
1. mengenali kapan terjadi nyeri 2. Tinggikan kepala tempat tidur
2. mengenali faktor penyebab nyeri 3. Posisikan pasien untuk meningkatkan drainase urin
3. melaporkan nyeri terkontrol 4. Meminimalisir gesekan dan cedera ketikan
4. melaporkan jika mengalami nyeri memposisikan atau membalikkan tubuh pasien
5. mengambil tindakan untuk mengurangi nyeri5. Jangan berikan posisi yang dapat menyebabkan
6. melakukan manajemen nyeri penekanan pada luka
Terapi relaksasi
1. minta klien untuk rileks
2. gambarkan rasionalisasi dan manfaat relaksasi
serta jenis relaksasi yang tersebut.
3. ajarkan teknik relaksasi napas dalam
4. Ciptakan lingkungan yang tenang
5. Berikan waktu yang tidak terganggu
2 Kerusakan NOC NIC:
integritas kulit Integritas jaringan : kulit & membran mukosa Perawatan Luka Tekan
Setelah dilakukan intervensi selama 1. Catat karakteristik luka tekan setiap hari, (panjang
3x24 jam dengan kriteria hasil x lebar x dalam), tingkatan luka (I-IV), lokasi,

8
- Luka ulkus dekubitus mulai eksudat, granulasi jaringan nekrotik dan epitelisasi
membentuk jaringan epitel, 2. Monitor warna , suhu, udem, kelembaban, dan
- Pertumbuhan jaringan nekrotik tidak kondisi area sekitar luka
ada 3. Jaga agar luka tetap lembab untuk membantu
- Eksudat berkurang. proses penyembuhan
4. Berikan pelembab yang hangat di sekitar areah
luka untuk meningkatkan perfusi darah dan suplai
oksigen
5. Bersihkan luka dengan cairan Nacl 0,9 % dengan
gerakan sirkuler dari dalam keluar
6. Lakukan debridement jika diperlukan
7. Cata karakteristik luka
8. Berikan salep
9. Berikan balutan dengan tepat
10. Gunakan kasur dekubitus
Kontrol Infeksi
1. Ajarkan cuci tangan
2. Gunakan sabun antimikroba untuk cuci tangan
yang sesuai
3. Dorong untuk istirahat
4. Berikan terapi anntibiotik yang sesuai
Perawatan Tirah Baring

9
1. Jaga kain linen kasur tetap bersih, kering dan bebas
dari kerutan
2. Gunakan alat ditempat tidur untuk melindungi
pasien
3. Letakkan meja disamping tempat tidur berada
dalam jangkauan pasien
4. Balikan pasien sesuai kondisi luka
5. Menganjurkan pasien untuk mobilisasi setiap 2 jam
6. Monitor kondisi kulit
Perlindungan infeksi
1. Monitor granulosit (WBC)
2. Pertahankan asepsis untuk pasien yang beresiko
3. Tingkatkan asupan cairan dengan tepat
4. Pantau adanya tingkat energi atau malasie
3 Hambatan Setelah dilakukan tindakan keperawatan Aktivitas-aktivitas yang dilakukan untuk mencapai
Mobilitas Fisik terkait pergerakan, kemampuan untuk bisa kriteria hasil adalah sebagai berikut:
bergerak di tempat tidur dapat meningkat Terapi Latihan: Kontrol Otot
selama 2x24 jam dengan kriteria hasil sebagai a. Berikan instruksi yang dilakukan pada pasien
berikut mengenai cara yang tepat dalam melakukan
a. Pasien dapat menggerakkan otot jari kaki latihan untuk meminimalkan cedera dan
dan ekstermitas yang tidak nyeri memaksimalkan efeknya
b. Pasien dapat menggerakkan sendi jari kaki b. Instruksikan pasien untuk mengulangi gerakan
dan ekstermitas yang tidak nyeri setiap kali latihan selesai
10
c. Pasien dapat bergerak dengan mudah di c. Lakukan latihan ROM pasif atau ROM dengan
tempat tidur (mika-miki) bantuan, sesuai indikasi
d. Bantu untuk melakuan pergerakan sendi yang
ritmis dan teratur sesuai kadar nyei yang bisa
ditoleransi, ketahanan dan pergerakan sendi
4 Ketidakseimbanga Status Nutrisi
n nutrisi kurang a. Nutritional status: Adequacy of nutrient a. Kaji adanya alergi makanan
dari kebutuhan b. Nutritional Status : food and Fluid Intake b. Kolaborasi dengan ahli gizi untuk menentukan
tubuh c. Weight Control jumlah kalori dan nutrisi yang dibutuhkan pasien
Setelah dilakukan tindakan keperawatan c. Yakinkan diet yang dimakan mengandung tinggi
selama 4x24 jam, nutrisi kurang teratasi serat untuk mencegah konstipasi
dengan indikator: d. Ajarkan pasien bagaimana membuat catatan
- Albumin serum makanan harian.
- Pre albumin serum e. Monitor adanya penurunan BB dan gula darah
- Hematokrit f. Monitor lingkungan selama makan

- Hemoglobin g. Jadwalkan pengobatan dan tindakan tidak selama

- Total iron binding capacity jam makan


h. Monitor turgor kulit
- Jumlah limfosit
i. Monitor kekeringan, rambut kusam, total protein,
Hb dan kadar Ht
j. Monitor mual dan muntah
k. Monitor pucat, kemerahan, dan kekeringan jaringan
konjungtiva
11
l. Monitor intake nuntrisi
m. Informasikan pada klien dan keluarga tentang
manfaat nutrisi
n. Kolaborasi dengan dokter tentang kebutuhan
suplemen makanan seperti NGT/ TPN sehingga
intake cairan yang adekuat dapat dipertahankan.
o. Atur posisi semi fowler atau fowler tinggi selama
makan
p. Anjurkan banyak minum
q. Pertahankan terapi IV line
r. Catat adanya edema, hiperemik, hipertonik papila
lidah dan cavitas oval

12
BAB III
WOC ( WEB OF CAUTION)

Bakteri Mycobacterium
Tuberculosa
Terhirup lewat saluran nafas

Masuk ke paru (alveoli)

Fagositosis bakteri oleh makrofag gagal

Tuberculosis Paru

Penyebaran basil melalui arteri intercostal

Menyebar ke korpus vertebra diskus intervertebralis

Perusakan tulang dan penjalaran infeksi keruang


diskus vertebre yang berdekatan

SPONDILITIS TUBERKULOSIS

Infeksi pada bagian sentral, bagian


depan atau daerah apifisal korpus
vertebra

Perubahan pada Perubahan pada vertebra Perubahan pada vertebra servikal


vertebra torakal lumbal
Kerusakan korpus vertebra dan
Kerusakan pada Penekenanan korda dan terjadi angulasi vertebra
korteks epifises & Kompresi saraf radiks karena abses tulang kedepan
discuss vertebra
sekitar NYERI AKUT Ligamnet tertembus dan Perubahan diskus invertebralis
Abses vertebra menyebar ke lig.yang lemah servikal
torakal
Paraplegi GANGGUAN Abses vertebra lumbal Abses pada faring
MOBILITAS FISIK

Adanya tekanan tonjolan Abses mengikuti otot psoas Gangguan menelan


tulang
Muncul dibawah ligament inguinal Asupan nutrisi tidak
KERUSAKAN adekuat
INTEGRITAS KULIT Menyebar ke pembuluh darah
15
femuralis NUTRISI KURANG
DARI KEBUTUHAN
TUBUH
DAFTAR PUSTAKA

Bulechek, G. M., Butcher, H. K., Dochterman, J. M., & Wagner, C. M. (2016). Nursing
interventions classification (NIC) (Keenam). Philadelphia: Elsevier.

Herdman, T. H., & Kamitsuru, S. (2018). Diagnosis keperawatan definisi dan klasifikasi 2018-
2020. Jakarta: EGC.

Li, Y., & Fung, Y. (2007). A case of cervical tuberculous spondylitis: an uncomon cause of neck
pain. Hong Kong Journal Emergency Medicine,Vol.12, No.2, 105-106.

Moorhead, S., Johnson, M., Maas, M., & Swanson, E. (2016). Nursing outcomes classification
(NOC) (Kelima). Philadelphia: Elsevier.

Sahputra, R. E., & Munandar, I. (2015). Spondilitis tuberkulosa cervical. Junral Kesehatan
Andalas , 640.
Zuwanda, & Janitra, R. (2012). Diagnosis dan penatalaksanaan spondilitis tuberkulosis.
KelbeMed, 1.

Anda mungkin juga menyukai