Anda di halaman 1dari 13

LAPORAN PENDAHULUAN

VITRECTOMY

Untuk Menyelesaikan Tugas Profesi Keperawatan Medikal Bedah


Program Profesi Ners
Di Ruang OK Sentral RSUD Ulin Banjarmasin

Disusun Oleh:
Eka Shandika Ade Pratiwi
11194692110099

PROGRAM STUDI PROFESI NERS


FAKULTAS KESEHATAN
UNIVERSITAS SARI MULIA
BANJARMASIN
2021
I. Konsep Vitrektomi

1.1 Definisi

Vitrektomi adalah tindakan pembedahan yang dilakukan untuk mengangkat cairan


mata, vitreous, yang ada di mata bagian tengah. Vitrektomi adalah prosedur bedah
mata di mana cairan seperti agar-agar (jeli) yang bening dihapus dari ruang posterior
mata (vitreous body) dan diganti dengan minyak silikon bening untuk mendorong
kembali bagian retina yang terpisah ke tempat perlekatannya.
1.2 Tujuan

a. Menyingkirkan cairan vitreous agar dapat melihat bagian belakang mata dengan
lebih jelas.
b. Mengobati beberapa kondisi mata yang serius dan memulihkan penglihatan
c. Membuang darah di dalam cairan vitreous (vitreous hemoragik) yang tidak dapat
diserap sendiri oleh tubuh.
d. Memperbaiki atau mencegah terjadinya ablasio retina, terutama bila telah
mengancam makula
e. Memperbaiki robekan yang sangat besar di dalam retina
f. Mengobati retinopati proliferatif berat yang menyebabkan terbentuknya jaringan
ikat parah atau bila pertumbuhan pembuluh darah baru pada permukaan retina
(neovaskularisasi) terus berlanjut walaupun telah dilakukan terapi laser berulang
kali

1.3 Indikasi

a. Ablasio retina (retinal detachment). Ablasio retina umumnya disebabkan oleh


robekan pada retina akibat: faktor bawaan, benturan, dan lain lain. Ablasio retina
dapat menyebabkan kebutaan apabila retina tidak dilekatkan kembali dalam waktu
relatif singkat.
b. Mengkerutnya makula (macular pucker). Makula adalah bagian retina yang
digunakan untuk membaca dan penglihatan halus. Pada penderita macular
pucker, tumbuh jaringan ikat pada permukaan makula yang menyebabkan
pengkerutan makula. Akibatnya penglihatan mengalami distorsi sehingga garis
lurus akan tampak berkelok-kelok.
c. Retinopati diabetik (diabetic retinopathy) adalah penyakit retina akibat diabetes
mellitus atau kencing manis. Pada fase awal, retinopati diabetik dapat diatasi
dengan laser saja. Pada kasus lanjut, kadang-kadang perlu dilakukan operasi
vitrektomi untuk membersihkan vitreus yang keruh akibat perdarahan, dan untuk
mengupas jaringan ikat pada permukaan retina.
d. Infeksi bola mata (endophthalmitis). Infeksi bakteri yang masuk kedalam rongga
bola mata sangat berbahaya bagi penglihatan dan memerlukan penanganan
cepat. Pada kasus yang berat mungkin diperlukan operasi vitrektomi untuk
mengeluarkan vitreous yang terinfeksi dan untuk menyuntikkan antibiotika
kedalam bola mata.
e. Trauma mata (benturan atau luka pada bola mata). Pada kasus trauma mata
dimana terjadi perdarahan vitreous atau ablasio retina mungkin diperlukan operasi
vitrektomi untuk membersihkan darah dan melekatkan kembali retina. Bila ada
benda asing yang masuk kedalam rongga bola mata, umumnya disepakati bahwa
perlu dikeluarkan dengan operasi vitrektomi.
1.4 Komplikasi Vitrektomi
Vitrektomi seperti prosedur bedah lainnya, membawa beberapa risiko dan
komplikasi di antaranya:
a. Reaksi yang merugikan dari obat bius : mual dan muntah-muntah.
b. Perdarahan retina atau vitreous
c. Lepasnya retina, yang dapat menyebabkan masalah penglihatan serius
d. Peningkatan tekanan intraokular untuk pasien dengan glaukoma, yang dapat
memperburuk kondisi mata
e. Endophthalmitis atau infeksi di dalam mata
f. Infeksi
g. Atrofi nervus optikus (matinya syaraf mata)
h. Katarak
i. Mata bengkak, berair dan sakit adalah komplikasi yang umum terjadi akibat
pasien mempertahankan posisi tengkurap.
j. Kadang-kadang satu atau dua hari setelah operasi tekanan bola mata
meningkat akibat ekspansi gas berlebihan. Dalam keadaan ini sebagian gas
tersebut perlu diisap dengan jarum suntik.

1.5 Penatalaksanaan
Pasien diberikan dengan obat bius sebelum sayatan kecil dibuat di sclera (bagian
putih mata) di mana beberapa alat bedah khusus dimasukkan sementara ahli
bedah menjalani pembedahan dengan gambar yang dihasilkan oleh mikroskop.
Sebuah pipa cahaya juga digunakan untuk memberikan pencahayaan di dalam
mata. Sementara vitreous gel adalah dikeluarkan menggunakan vitrector, alat
khusus yang dirancang untuk mengurangi traksi untuk menghindari cedera retina.
Alat tambahan seperti tang dan gunting juga dapat digunakan untuk
menghilangkan jaringan parut pada permukaan retina, jika ada. Setelah vitreous
gel dikeluarkan, port infus dimasukkan untuk menggantikan cairan dalam vitreous
dengan larutan garam. Hal ini dilakukan untuk mempertahankan tekanan yang
memadai dan menjaga retina dan bagian mata lainnya tetap pada tempatnya.
Dalam beberapa kasus, spesialis bedah menggunakan gas atau udara untuk
menggantikan cairan di dalam vitreous. Setelah beberapa saat, cairan akan terisi
kembali dengan alami ke rongga mata. Ada juga kasus, di mana vitreous untuk
diisi dengan minyak silikon yang dikeluarkan nantinya. Gelembung minyak
kemungkinan besar tetap pada tempatnya dan akan membantu dalam pemulihan
lebih cepat, terutama pada pasien anak-anak yang mungkin tidak dapat menjaga
mata mereka di posisi yang tepat setelah bedah.
a. Penatalaksanaan Intraoperatif
Fakoemulsifikasi sebaiknya dilakukan transcorneal, mengingat perdarahan
dan sikatrik konjungtiva maupun episklera yang sering ditemui pasca scleral
buckle akan menyulitkan pada saat membuat scleral tunnel. Hidrodiseksi hingga
implantasi IOL harus dilakukan dengan gentle dan hati-
hati. Durante operasi sering terbentuk BMD yang sangat dalam serta juga untuk
mengantisipasi ketidakutuhan zonular zinii maka dilakukan pengurangan tinggi
botol irigasi disertai peningkatan flow rate pada saat memulai operasi
fakoemulsifikasi dengan tetap memperhatikan keseimbangan dari kedua
parameter tersebut. 
b. Penatalaksanaan Pasca Operatif
Sebaiknya dilakukan follow up rutin dan ketat untuk mengetahui terjadinya
komplikasi berupa cystoid macular edema (CME), progresifitas retinopati diabetik
pada penyulit diabetes mellitus, inflamasi dan  glaukoma sekunder. Dapat
diberikan steroid topikal, NSAID dan sikloplegik. Komplikasi pasca operasi dapat
terjadi awal atau lebih lambat. Pada minggu-minggu awal waspada terjadinya
blefaroptosis, edema kornea sedang sampai berat, peningkatan tekanan
intraokular, kebocoran luka insisi, iritis ataupun endoftalmitis. Sedangkan
komplikasi jangka panjang dapat terjadi pseudophakic bullous keratopathy, iritis
kronis, neovaskularisasi iris, posterior capsular opacification (PCO), edema
makula persisten, retinal detachment dan perdarahan vitreous.

1.6 Perawatan Pasca operasi


a. Menjaga kestabilan jalan nafas
b. Mengawasi keadaan umum pasien
c. Mengawasi tanda-tanda vital
d. Mengatur posisi sesuai kebutuhan kondisi pasien
e. Mengawasi intake dan output cairan
f. Menilai aldrette skor
g. Melaksanakan serah terima pasien dengan petugas ruangan

1.7 Pemeriksaan Penunjang


a. Oftalmoskopi : mengkaji struktur internal okuler, edema retina, bentuk pupil dan
kornea
b. B-scan USG 
c. Penghitungan axial length 
d. Penghitungan IOL power 
e. Kartu mata snellen (tes ketajaman penglihatan) : mungkin terganggu akibat kerusakan
kornea, aqueus humor, iris dan retina
f. Lapang penglihatan : penurunan mungkin disebabkan oleh patologi vaskuler okuler,
glukoma
g. Pengukuran tonografi : mengkaji tekanan intra okuler normal 12-25 mmHg
h. Darah lengkap, laju sedimentasi LED : menunjukkan anemia sistemik/infeksi
i. Tes toleransi glokosa : menentukan adanya/kontrol diabetes
1.8 Pathway

Pre Intra Post

Insisi bedah
Pembiusan Pembedahan
Penurunan
ketajaman dan
kejelasan
penglihatan Terputusnya
Lingkungan Insisi
jaringan
dingin

Gangguan persepsi Terputusnya Merangsang area


sensori penglihatan Hipotermi
mobilitas jaringan sensorik
pembuluh darah

Tindakan diagnostik Nyeri


pembedahan
Resiko
perdarahan

Ansietas
II. Rencana asuhan keperawatan pada klien dengan vitrektomi
2.1 Diagnosa Keperawatan yang mungkin muncul
2.1.1 Pre Operasi
a. Ansietas b.d tindakan diagnostik pembedahan
2.1.2 Intra Operasi
a. Hipotermi b.d pemajanan lingkungan, penggunaan zat anastesi
b. Resiko perdarahan, faktor resiko efek samping terkait pembedahan
2.1.3 Post Operasi
a. Nyeri akut b.d luka post operasi ( vitrektomi)

2.2 Intervensi
DIANGOSA
NO SIKI
KEPERAWATAN SLKI

1. Nyeri akut b.d kondisi Tingkat Nyeri (L.08066) Menejemen nyeri (i. 08238)
pembedahan (D.0077)
Setelah dilakukan asuhan keperawatan Observasi
selama 3x24 jam diharapkan Tingkat
nyeri Menurun dengan kriteria hasil:
1. Identifikasi lokasi,
1. Keluhan nyeri dari skala 1 karakteristik, durasi,
(meningkat) ke skala 5 (menurun) frekuensi, kualitas,
2. Ekspresi meringis dari skala 1 intensitas nyeri
(meningkat) ke skala 5 (menurun) 2. Identifikasi skala nyeri
3. Rasa gelisah dari skala 1 3. Identifikasi respon nyeri
(meningkat) ke skala 5 (menurun) non verbal
4. Tanda-tanda vital dari skala 1 4. Identifikasi faktor yang
(memburuk) ke skala 5 (membaik) memperberat dan
memperingan nyeri
5. Identifikasi pengetahuan
dan keyakinan tentang
nyeri
6. Identifikasi pengaruh
budaya terhadap respon
nyeri
7. Identifikasi pengaruh nyeri
pada kualitas hidup
8. Monitor keberhasilan
terapi komplementer yang
sudah diberikan
9. Monitor efek samping
penggunaan analgetik

Terapeutik

1. Berikan teknik
nonfarmakologis untuk
mengurangi rasa nyeri
(mis. TENS, hypnosis,
akupresur, terapi musik,
biofeedback, terapi pijat,
aroma terapi, teknik
imajinasi terbimbing,
kompres hangat/dingin,
terapi bermain)
2. Kontrol lingkungan yang
memperberat rasa nyeri
(mis. Suhu ruangan,
pencahayaan,
kebisingan)
3. Fasilitasi istirahat dan
tidur
4. Pertimbangkan jenis dan
sumber nyeri dalam
pemilihan strategi
meredakan nyeri

Edukasi

1. Jelaskan penyebab,
periode, dan pemicu
nyeri
2. Jelaskan strategi
meredakan nyeri
3. Anjurkan memonitor nyri
secara mandiri
4. Anjurkan menggunakan
analgetik secara tepat
5. Ajarkan teknik
nonfarmakologis untuk
mengurangi rasa nyeri

Kolaborasi

Kolaborasi pemberian
analgetik, jika perlu

2. Hipotermi b.d pemajanan Setelah dilakukan asuhan keperawatan Manajemen Hipotermia


lingkungan, penggunaan selama 1x24 jam suhu tubuh berada Observasi
zat anastesi pada rentang normal dengan kriteria hasil - Monitor suhu tubuh
- Identifikasi penyebab
Termogulasi
hipotermia (mis. terpapar

- Tidak ada tanda menggigil suhu lingkungan rendah,

- Pucat menurun pakaian tipis, kerusakan

- Suhu tubuh dalam batas normal hipotalamus, penurunan laju

- Suhu kulit membaik metabolisme, kekurangan

- Ventilasi membaik lemak subkutan)


Teraupetik
- Sediakan lingkungan yang
hangat
- Ganti pakaian/linen yang
basah
- Lakukan pengahatan pasif
(mis. selimut, menutup
kepala, pakaian tebal)
- Lakukan penghangatan aktif
eksternal (mis. kompres
hangat, selimut hangat,
Edukasi

Anjurkan makan/minum hangat

3. Defisit Nutrisi b/d faktor Status Nutrisi Manajemen Nutrisi


psikologis ( keengganan
diharapkan Defisit Nutrisi yang dialami Observasi
untuk makan)
pasien dapat menurun dengan kriteria Identifikasi status nutrisi
hasil: Identifikasi alergi dan
-Nafsu makan meningkat intoleransi makanan
-Frekuensi makanmeingkat Monitor asupan makanan
-Porsi makan yang dihabiskan meningkat Monitor berat badan
-Kekuatan otot menelan meningkat Terapeutik
Sajikan makanan secara
menarik dan suhu yang sesuai
Berikan makanan tinggi kalori
dan tinggi protein
Berikan suplemen makanan,
jika perlu
Edukasi
Ajarkan diet yang
diprogramkan
Kolaborasi
Kolaborasi pemberian medikasi
sebelum makan (mis. Pereda
nyeri, antiemetik), jika perlu
Kolaborasi dengan ahli gizi
untuk
menentukan jumlah kalori dan
jenis nutrient yang dibutuhkan,
jika perlu
4. Ansietas b.d tindakan Standar Luaran Reduksi Anxietas (I.09314)
diagnostik pembedahan
Tingkat Ansietas (L.09093)
(D.0080)  Observasi
- Verbalisasi khawatir akibat kondisi
yang dihadapi dari skala 2 cukup 1. Identifikasi
saat tingkat anxietas
meningkat menjadi skala 4 cukup berubah (mis. Kondisi,
menurun waktu, stressor)
2. Identifikasi
- Perilaku gelisah dari skala 2 cukup kemampuan mengambil
meningkat menjadi skala 4 cukup keputusan
3. Monitor tanda
menurun anxietas (verbal dan non
- Perilaku tegang dari skala 2 cukup verbal)
meningkat menjadi skala 4 cukup
Terapeutik
menurun
- Pucat dari skala 2 cukup meningkat 1. Ciptakan suasana 
terapeutik untuk
menjadi skala 3 sedang menumbuhkan
 TTV dari sekala 2 cukup kepercayaan
memburuk menjadi sekala 4 2. Temani pasien untuk
mengurangi kecemasan ,
cukup membaik jika memungkinkan
3. Pahami situasi yang
membuat anxietas
4. Dengarkan dengan
penuh perhatian
5. Gunakan pedekatan
yang tenang dan
meyakinkan
6. Motivasi
mengidentifikasi situasi
yang memicu kecemasan
7. Diskusikan
perencanaan  realistis
tentang peristiwa yang
akan datang

Edukasi

1. Jelaskan
prosedur, termasuk
sensasi yang mungkin
dialami
2. Informasikan
secara factual mengenai
diagnosis, pengobatan,
dan prognosis
3. Anjurkan
keluarga untuk tetap
bersama pasien, jika perlu
4. Anjurkan
melakukan kegiatan yang
tidak kompetitif, sesuai
kebutuhan
5. Anjurkan
mengungkapkan
perasaan dan persepsi
6. Latih kegiatan
pengalihan, untuk
mengurangi ketegangan
7. Latih
penggunaan mekanisme
pertahanan diri yang tepat
8. Latih teknik
relaksasi

Kolaborasi

Kolaborasi pemberian obat anti


anxietas, jika perlu
5. Resiko Perdarahan TINGKAT PERDARAHAN (L.02017) Pencegahan pendarahan
(I.02067)
Setelah dilakukan asuhan keperawatan
selama 3x 24 jam diharapakan Tingkat Observasi
Pendarahan Menurun, dengan kriteria
hasil: 1. Monitor tanda
dan gejala perdarahan
1. Kelembapan Membran mukosa dari 2. Monitor nilai
skala 1 (menurun) ke skala 5 hematokrit/homoglobin
(meningkat) sebelum dan setelah
2. Kelembapan kulit dari skala 1 kehilangan darah
(menurun) ke skala 5 (meningkat) 3. Monitor tanda-
3. Distensi abdomen dari skala 1 tanda vital ortostatik
(meningkat) ke skala 5 (menurun) 4. Monitor
4. Tanda-tanda vital dari skala 1 koagulasi (mis.
(memburuk) ke skala 5 (membaik) Prothombin time (TM),
partial thromboplastin
time (PTT), fibrinogen,
degradsi fibrin dan atau
platelet)

Terapeutik

1. Pertahankan
bed rest selama
perdarahan
2. Batasi
tindakan invasif, jika
perlu
3. Gunakan kasur
pencegah dikubitus
4. Hindari
pengukuran suhu rektal

Edukasi

1. Jelaskan tanda
dan gejala perdarahan
2. Anjurkan
mengunakan kaus kaki
saat ambulasi
3. Anjurkan
meningkatkan asupan
cairan untuk
menghindari konstipasi
4. Anjurkan
menghindari aspirin atau
antikoagulan
5. Anjurkan
meningkatkan asupan
makan dan vitamin K
6. Anjrkan segera
melapor jika terjadi
perdarahan

Kolaborasi

1. Kolaborasi
pemberian obat dan
mengontrol perdarhan,
jika perlu
2. Kolaborasi
pemberian prodok
darah, jika perlu
3. Kolaborasi
pemberian pelunak tinja,
jika perlu

6. Resiko Infeksi (D.0142) Status Cairan (L.03028) Pemantauan Cairan (I.03121)

Kriteria Hasil :
Observasi
Setelah dilakukan tindakan keperawatan
2x24 jam diharapkan masalah resiko 1. Monitor frekuensi dan
perdarahan tidak terjadi dengan kriteria kekuatan nadi
hasil : 2. Monitor frekuensi napas
- Kekuatan nadi (2) cukup menurun 3. Monitor berat badan
menjadi (4) cukup meningkat 4. Monitor elastisitas atau
- Turgor kulit (2) cukup memburuk turgor kulit
menjadi (4) cukup meningkat 5. Monitor hasil pemeriksaan
- Hemoglobin (2) cukup memburuk serum
menjadi (4) sedang 6. Monitor intake dan output
- Hematokrit 2) cukup memburuk cairan
menjadi (4) sedang
- Berat badan (2) cukup memburuk Teraupetik

menjadi (3) sedang


1. Atur interval waktu
1.
pemantauan sesuai
dengan kondisi pasien
2. Dokumentasikan hasil
pemantauan

DAFTAR PUSTAKA

American Cancer Society. Colorectal Cancer. Atlanta, Ga: American Cancer Society;

2012

Brunner & Suddarth (2002). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah, Edisi 8, Jakarta:

EGC.

Carpenito, (2001). Buku saku diagnosa keperawatan. Edisi 8. Jakarta : EGC

Doenges et. al (2000). Rencana Asuhan Keperawatan, Ed.3, Jakarta : EGC.

PPNI (2018). Standar Diagnosa Keperawatan Indonesia:Definisi dan Indikator

Diagnostik, Edisi 1. Jakarta: DPP PPNI

PPNI (2018). Standar Luaran Keperawatan Indonesia:Definisi dan kriteria hasil

keperawatan, Edisi 1. Jakarta: DPP PPNI

PPNI (2018). Standar Intervensi Keperawatan Indonesia:Definisi dan tindakan

keperawatan, Edisi 1. Jakarta: DPP PPNI

Price SA., Wilson L.M., 1995, Patofisiologi Konsep Klinis Proses – Proses Penyakit,

Buku I, Edisi 4, Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta

Rahman, Fadhlur.2009. Karsinoma Rektum. Fakultas Kedokteran Universitas Mataram.

http://semaraputraadjoezt.wordpress.com/2012/11/06/laporan-pendahuluan-pada-

pasien-dengan-ca-recti/ diakses tanggal 30 Juni 2013.

C. Smeltzer, Suzanne. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah (Brunner &

Suddart) . Edisi 8. Volume 3. Jakarta : EGC


Doenges, M, E. 2000.Rencana Asuhan Keperawatan : Pedoman untuk Perencanaan

dan pendokumentasian Perawatan Pasien. Edisi 3 Alih bahasa I Made Kariasa

Jakarta : EGC

Ilyas, Sidarta. 2010. Ilmu Penyakit Mata edisi ketiga , Jakarta : Widya Medika

Vaughan, D. 2010. Opthalmologi Umum edisi 14. Jakarta: Widya Medika

Anda mungkin juga menyukai