Anda di halaman 1dari 17

PRAKTIKUM FITOKIMIA

TUGAS 2
UJI KLT DENGAN BERBAGAI ELUEN

Disusun Untuk Memenuhi Tugas Praktikum Fitokimia

KELOMPOK: 4

KELAS: G

1. Alfi Nurma Cahyani (201810410311315)


2. Dicky Wahyudi (201810410311313)
3. Atina Setianingsih (201810410311314)
4. Indah (201810410311316)
5. Faiz Nur Rendra Safira(201810410311317)

DOSEN PEMBIMBING:
apt. Siti Rofida, M. Farm.
apt. Amaliyah Dina A., M. Farm.

PROGRAM STUDI FARMASI


FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG
2021
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Tumbuhan menghasilkan berbagai macam senyawa kimia organik,
senyawa kimia ini bisa berupa metabolit primer maupun metabolit sekunder.
Berdasarkan asal biosintetiknya, metabolit sekunder dapat dibagi ke dalam tiga
kelompok besar yakni terpenoid (triterpenoid, steroid, dan saponin) alkaloid dan
senyawa-senyawa fenol (flavonoid dan tanin) (Simbala, 2009).
Senyawa metabolit sekunder diproduksi oleh tumbuhan salah satunya
untuk mempertahankan diri dari kondisi lingkungan yang kurang menguntungkan
seperti suhu, iklim, maupun gangguan hama dan penyakit tanaman. Untuk
mengetahui kandungan senyawa metabolit pada tanaman perlu dilakukan uji
skrining fitokimia.
Skrining fitokimia dilakukan untuk memberikan gambaran tentang
golongan senyawa yang terkandung dalam tanaman yang diteliti. Metode skrining
fitokimia dilakukan dengan pengujian warna dengan menggunakan suatu pereaksi
warna (Widayanti dkk., 2009). Hal yang berperan penting dalam skrining
fitokimia adalah pemilihan pelarut dan metode ekstraksi (Kristianti dkk., 2008).
Skrining fitokimia dapat dilakukan dengan uji Kromatografi Lapis Tipis
(KLT). KLT adalah uji dengan cara menotolkan larutan uji pada plat dan dieluasi
dengan eluen yang tepat, sehingga didapat nilai Rf yang dapat dibandingkan
dengan literatur yang ada.
Pada praktikum ini digunakan berbagai macam eluen agar didapat hasil
eluasi yang beragam dan dapat dibandingkan antara satu dengan yang lain. Dari
hasil perbandingan tersebut, didapat perbedaan indeks eluen dengan cara
membandingkan nilai Rf nya.

1.2 Tujuan

Mahasiswa mampu menjelaskan tentang kaitan antara polaritas eluen dengan


harga Rf.

2
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Kolesterol

Kolesterol adalah suatu zat lemak yang terdapat pada seluruh produk
binatang (contoh: daging, produk susu dan telur). Kolesterol merupakan lipid
amfipatik yang penting dalam pengaturan permeabilitas dan fluiditas membran,
dan juga sebagai lapisan luar lipoprotein plasma (Murray, 2012).
Kolesterol adalah senyawa lemak kompleks, yang 80% dihasilkan dari
dalam tubuh (organ hati) dan 20% sisanya dari luar tubuh (zat makanan).
Kolesterol yang terdapat dalam makanan berasal dari hewan seperi kuning telur,
daging, hati dan otak (Murray et al., 1999).
Kolesterol secara normal diproduksi sendiri oleh tubuh dalam jumlah yang
tepat. Tetapi ia bisa meningkat jumlahnya karena asupan makanan yang berasal
dari lemak hewani seperti daging ayam, usus ayam, telur ayam, burung dara, telur
puyuh, daging bebek, telur bebek, daging kambing, daging sapi, sosis daging,
babat, ampela, paru, hati, bakso sapi, gajih sapi, susu sapi, ikan air tawar, kepiting,
udang, kerang, belut, cumi-cumi (Welborn, 2007; Wang, 2005).
Kolesterol sangat dibutuhkan bagi tubuh dan digunakan untuk membentuk
membran sel, memproduksi hormon seks dan membentuk asam empedu, yang
diperlukan untuk mencerna lemak. Kolesterol sangat dibutuhkan untuk
memperoleh kesehataan yang optimal. Kadar kolesterol normal dalam darah <
200 mg/ dl dan apabila kadar kolesterol dalam darah sudah mencapai >240 mg/ dl
dapat dikatakan kadar kolesterol tinggi (Vella, 2009). Kolesterol sangat larut
dalam lemak, tetapi hanya sedikit larut dalam air dan mampu membentuk ester
dengan asam lemak (Guyton & Hall, 2007).

2.2 Struktur Kolesterol

Kolesterol merupakan sebuah struktur organik yang mempunyai berat


molekul 386 Da dan memiliki 27 atom karbon, dimana 17 diantaranya tergolong
kepada empat cincin yang tergabung, dua termasuk kepada kelompok metil

3
bersegi yang lengket pada pertemuan cincin AB dan CD, dan delapan adalah pada
rantai sisi perifer. Kolesterol tersusun oleh karbon hidrogen dan karbon, dengan
kelompok hidroksil soliter berlekatan pada C3. Kolesterol juga hampir jenuh
secara sempurna, memiliki hanya satu ikatan ganda C5 dan C6 (Dominick dan
Wallace, 2009).

2.3 Manfaat Kolesterol

Manfaat kolesterol nonmembran yang paling banyak dalam tubuh adalah


untuk membentuk asam kolat di dalam hati. Sebanyak 80% kolesterol dikonversi
menjadi asam kolat. Kolesterol berkonjugasi dengan zat lain membentuk garam
empedu, yang membantu pencernaan dan absorbsi lemak. Sebagian kecil dari
kolesterol dipakai oleh kelenjar adrenal untuk membentuk hormon adrenokortikal;
ovarium, untuk membentuk progesteron dan estrogen; dan oleh testis untuk
membentuk testosteron. Kelenjar-kelenjar ini juga dapat membentuk sterol sendiri
dan kemudian membentuk hormon dari sterol tersebut. (Guyton dan Hall, 2006).

2.4 Katabolisme Kolesterol

a. Gliserol, memasuki sel dan diubah oleh enzim menjadi gliseraldehid-3


yang masuk kedalam jalur glikolisis. Gliserol kemudia dapat terlibat
dalam siklus asam sitrat atau dapat dipakai dalam sintesis ulang glukosa.
b. Asam lemak, memasuki sel dan ditransport menuju mitokondria oleh
protein Carrier. Dalam matriks mitokondria asam lemak diubah melalui
proses oksidasi beta menjadi asetil KoA yang kemudian akan
dimetabolisme melalui siklus asam sitrat.
c. Badan keton, molekul dapat berkondensasi untuk membentuk asam
asetoasetat yang diubah menjadi asam hidroksibutirat-beta dan aseton.

2.5 Kromatografi Lapis Tipis

Kromatografi lapis tipis termasuk kromatografi adsorpsi, dimana sebagai


fase diam digunakan zat padat yang disebut adsorben (penyerap) dan fase gerak
adalah zat cair yang disebut sebagai larutan pengembang (Gritter dkk., 1991).

Kromatografi lapis tipis merupakan salah satu metode yang paling banyak
digunakan dan paling mudah untuk memurnikan sejumlah kecil komponen.
Metode ini menggunakan lempeng kaca atau aluminium yang telah dilapisi
dengan penyerap (misalnya silica gel) dengan ketebalan tertentu tergantung pada
jumlah bahan yang akan dimuat ke dala lempeng (Heinrich, dkk. 2010).

4
2.6 Metode Pemisahan Pada Kromatografi

Menurut Lestyo Wulandari, 2011. Metode pemisahan pada kromatografi


sangat tergantung dari jenis fase diam yang digunakan. Jenis fase diam yang
digunakan menentukan interaksi yang terjadi antara analit dengan fase diam dan
fase gerak. Metode pemisahan pada kromatografi terbagi menjadi:

a. Pemisahan berdasarkan polaritas


Metode pemisahan berdasarkan polaritas, senyawa-senyawa terpisah
karena perbedaan polaritas. Afinitas analit tehadap fase diam dan fase
gerak tergantung kedekatan polaritas analit terhadap fase diam dan fase
gerak (like dissolve like). Analit akan cenderung larut dalam fase dengan
polaritas sama. Analit akan berpartisi diantara dua fase yaitu fase padat-
cair dan fase cair-cair. Ketika analit berpartisi antara fase padat dan cair
faktor utama pemisahan adalah adsorbsi. Sedangkan bila analit berpartisi
antara fase cair dan fase cair, faktor utama pemisahan adalah kelarutan.
Prinsip pemisahan dimana analit terpisah karena afinitas terhadap fase
padat dan fase cair biasa disebut dengan adsorbs dan metode
kromatografinya biasa disebut kromatografi adsorbsi. Sedangkan prinsip
pemisahan dimana analit terpisah karena afinitas terhadap fase cair dan
fase cair disebut dengan partisi dan metode kromatografinya biasa
disebut kromatografi cair.

b. Pemisahan berdasarkan muatan ion


Pemisahan berdasarkan muatan ion dipengaruhi oleh jumlah ionisasi
senyawa, pH lingkungan dan keberadaan ion lain. Pemisahan yang
disebabkan oleh kompetisi senyawa-senyawa dalam sampel dengan sisi
resin yang bermuatan sehingga terjadi penggabungan ion-ion dengan
muatan yang berlawanan disebut kromatografi penukar ion. Pemisahan
yang terjadi karena perbedaan arah dan kecepatan pergerakan senyawa-
senyawa dalam sampel karena perbedaan jenis dan intensitas muatan ion
dalam medan listrik disebut elektroforesis.

c. Pemisahan berdasarkan ukuran molekul


Ukuran molekul suatu senyawa mempengaruhi difusi senyawa-senyawa
melewati pori-pori fase diam. Pemisahan terjadi karena perbedaan difusi
senyawa-senyawa melewati pori-pori fase diam dengan ukuran pori-pori
yang bervariasi. Senyawa dengan ukuran molekul besar hanya berdifusi
kedalam pori-pori fase diam yang berukuran besar, sedangkan senyawa
dengan ukuran molekul kecil akan berdifusi ke dalam semua pori-pori
fase diam, sehingga terjadi perbedaan kecepatan pergerakan molekul
melewati fase diam. Senyawa dengan ukuran molekul besar memiliki
kecepatan yang lebih besar dibanding senyawa dengan ukuran molekul

5
kecil. Metode pemisahan ini biasa disebut dengan kromatografi permeasi
gel.

d. Pemisahan berdasarkan bentukan spesifik


Pemisahan senyawa berdasarkan bentukan yang spesifik melibatkan
ikatan kompleks yang spesifik antara senyawa sampel dengan fase diam.
Ikatan ini sangat selektif seperti ikatan antara antigen dan antibodi atau
ikatan antara enzim dengan substrat.

2.7 Macam-Macam Eluen (Fase Gerak)

Pemilihan eluen merupakan faktor yang paling berpengaruh pada sistem


KLT. Eluen dapat terdiri dari satu pelarut atau campuran dua sampai enam
pelarut. Fase gerak atau eluen biasanya terdiri atas campuran pelarut yang dapat
bercampur yang secara keseluruhan berperan dalam daya elusi dan resolusi. Daya
elusi dan resolusi ini ditentukan oleh polaritas keseluruhan pelarut, polaritas fase
diam, dan sifat komponen-komponen sampel (Johnson, 1991).

a. n-Heksan
Heksana (C6H14) atau (CH3-CH2-CH2-CH2-CH2-CH3)
merupakan pelarut non-polar yang tidak berwarna dan mudah menguap
dengan titik didih 69°C, pada T dan P normal berbentuk cair. Senyawa
ini merupakan fraksi petroleum eter yang ditemukan oleh Castille da
Henri. Secara umum heksana dengan 6 rantai karbon lurus yang
didapatkan dari gas alam dan minyak mentah. Heksana biasanya
digunakan dalam pembuatan makanan termasuk ekstraksi dari minyak
nabati (Mursiti, 2013).
N-heksana merupakan jenis pelarut organik. Fungsi dari heksana adalah
untuk mengekstraksi lemak atau untuk melarutkan lemak, sehingga
merubah warna dari kuning menjadi jernih. n-Heksana merupakan cairan
tak berwarna dan dapat dibakar (Tiwari, et al., 2011).
b. Etil Asetat
Etil asetat adalah senyawa organik dengan rumus empiris
CH3COOC2H5. Senyawa ini merupakan ester dari ethanol dan asam
asetat. Senyawa ini berwujud cairan tak berwarna, memiliki aroma khas.
Etil asetat adalah pelarut polar menengah yang volatil (mudah menguap),
tidak beracun, dan tidak higroskopis. Etil asetat dibuat melalui reaksi
esterifikasi Fischer dari asam asetat dan etanol. Reaksi esterifikasi
Fischer adalah reaksi pembentukan ester dengan cara merefluks asam
karboksilat bersama etanol dengan katalis asam (Mursiti dan Mustofa,
2013).

6
c. Methanol
Metanol, juga dikenal sebagai metil alkohol, wood alcohol atau
spiritus, adalah senyawa kimia dengan rumus kimia CH3OH. Ia
merupakan bentuk alkohol paling sederhana. Pada "keadaan atmosfer" ia
berbentuk cairan yang ringan, mudah menguap, tidak berwarna, mudah
terbakar, dan beracun dengan bau yang khas (berbau lebih ringan
daripada etanol). Metanol digunakan sebagai bahan pendingin anti beku,
pelarut, bahan bakar dan sebagai bahan aditif bagi etanol industri.
Metanol diproduksi secara alami oleh metabolisme anaerobik oleh
bakteri. Hasil proses tersebut adalah uap metanol (dalam jumlah kecil) di
udara. Setelah beberapa hari, uap metanol tersebut akan teroksidasi oleh
oksigen dengan bantuan sinar matahari menjadi karbon dioksida dan air
(Rusnaeni, 2017).
d. Kloroform
Kloroform merupakan turunan asam format dan termasuk senyawa
polihalogen yaitu senyawa turunan karboksilat yang mengikat lebih dari
satu atom halogen. Kata kloroform berasal dari kata halogen dan formiat
yang artinya struktur senyawa dapat diturunkan dari asam formiat dengan
menggantinya dengan atom halogen (Rusnaeni, 2016).

2.8 Indeks Polaritas Pelarut

Parameter kelarutan menunjukkan kemampuannya untuk berkombinasi


dengan beragam pelarut lain. Indeks polaritas menunjukkan besaran empiris yang
digunakan untuk mengukut ketertarikan antar molekul dalam solute dengan
molekul solvent pada parameter kelarutan solvent yang bersangkutan dalam
keadaan murninya. Sementara kekuatan pelarut dinyatakan sebagai bilangan yang
berkisar antara -0,25 sampai +1,3 yang ditentukan melalui energi adsorpsi oleh
molekul solvent pada solvent yang bersangkutan (Wulandari, 2009)

7
2.9 Metode Kromatografi Lapis Tipis

Metode dalam KLT dapat dihitung nilai Retention factor (Rf) dengan
persamaan:

Jarak yang ditempuh senyawa


Rf =
Jarak yang ditempuh oleh pelarut

Tetapi pada gugus-gugus yang besar dari senyawa-senyawa yang


susunannya mirip, sering kali harga Rf berdekatan satu sama lainnya
(Sastrohamidjojo, 2002).

Faktor yang mempengaruhi harga Rf:

1. Struktur kimia dari senyawa yang sedang dipisahkan


2. Sifat dan penyerap, derajat aktivitasnya
3. Tebal dan kerataan dari lapisan penyerap
4. Pelarut fase gerak
5. Derajat kejenuhan dan uap dalam bejana pengembangan yang digunakan
6. Teknik percobaan
7. Jumlah campuran yang digunakan
8. Suhu
9. Kesetimbangan

2.10 Cara Penggunaan KLT

1. Totolkan larutan uji dan larutan pembanding dengan jarak antara 1,5 cm –
2 cm dari tepi bawah lempeng, dan birkan mengering
2. Tempatkan lempeng pada alat penyangga, hingga tempat penotolan
terletak disebelah bawah, dan masukkan rak kedalam bejana kromatrografi
3. Larutan pengembang dalam bejana harus mencapai tepi bawah lapisan
penjerap totolan jangan sampai terendam
4. Letakkan tutup bejana pada tempatnya dan biarkan sistem hingga fase
gerak merambat sampai batas jarak rambat
5. Keluarkan lempeng dan keringkan di udara dan amati bercak dengan sinar
tampak, ultraviolet gelombang pendek (254 nm), kemudian dengan
ultraviolet gelombang panjang 366 nm)
6. Ukur dan catat jarak tiap bercak yang diamati
7. Tentukan harga Rf atau Rx
8. Jika diperlukan semprot bercak dengan pereaksi penampak bercak, amati
dan bandingkan kromatografi bahan uji dengan kromatogram pembanding
(DEPKES, 2008).

8
BAB III

PROSEDUR KERJA

3.1 Bagan Alir

Larutkan sedikit kolesterol ke dalam kloroform

Totolkan pada 4 plat KLT (Kiesel Gel 254)

Siapkan 4 macam eluen (fase gerak) yaitu :


n-Heksan – Etil asetat (1:1)
n-Heksan – Etil asetat (4:1)
Kloroform – Metanol (4:1)
Kloroform – Etil asetat (4:1)

Eluasi 4 KLT tersebut dengan eluen yang dibuat

Semprot dengan penampak noda anisaldehid asam sulfat

Panaskan 100o C sampai timbul noda berwarna merah ungu atau ungu

Hitung harga Rf pada masing-masing plat KLT

9
3.2 Skema Kerja

Ditotolkan pada 4 plat KLT

Larutan kolestrol dalam kloroform

Eluasi plat dalam masing-masing eluen

Eluen 1  Eluen 2  Eluen 3  Eluen 4 


n-Heksan - Etil n-Heksan - Etil Kloroform - Kloroform - Etil
asetat (1:1) asetat (4:1) metanol (4:1) asetat (4:1)

Eluasi 4 plat KLT tersebut dengan eluen yang dibuat

Semprot dengan penampak noda anisaldehid asam sulfat

Panaskan 100oC sampai timbul noda berwarna merah ungu / ungu

Hitung nilai Rf pada masing-masing plat KLT

10
3.2 Deskripsi Prosedur Kerja

Larutkan sedikit kolesterol kedalam kloroform  totolkan pada 4 plat


KLT (Kiesel Gel 254)  siapkan 4 macam eluen (fase gerak)  n-Heksan – etil
asetat (1:1); n-Heksan – etil asetat (4:1); kloroform – methanol (4:1); kloroform –
etil asetat (4:1)  eluasi 4 plat KLT dengan eluen yang dibuat  semprot dengan
anisaldehid asam sulfat  panaskan 100o C sampai timbul noda ungu  hitung
harga Rf pada masing-masing plat KLT.

11
BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil

Plat KLT yang baru saja


dikeluarkan dari chamber.

Selanjutnya, plat KLT


diamati dibawah sinar UV
dengan panjang gelombang
254 nm.

Diamati di bawah sinar UV


dengan panjang gelombang
365 nm.

Penampakan plat KLT (E1, E2, E3, dan


E4) setelah diberi penampak noda
anisaldehid asam sulfat dan dipanaskan
nampak noda berubah warna menjadi
merah keunguan. Setelah diukur,
didapatkan hasil Rf pada masing-
masing plat.

Penampakan plat KLT E1 dibawah UV


365 nm setelah diberi penampak noda

12
Penampakan plat KLT E2 di bawah
UV 365 nm setelah diberi penampak
noda

Penampakan plat KLT E3 di bawah


UV 365 nm setelah diberi penampak
noda

Penampakan plat KLT E4 di bawah


UV 365 nm setelah diberi penampak
noda

A. Hasil Nilai Rf
1. E1 n-Heksana & etil asetat (1:1) = 0,1
2. E2 Kloroform & etil asetat (4:1) = 0,46
3. E3 n-Heksana & etil asetat (4:1) = 0,69
4. E4 Kloroform & Methanol (4:1) = 0,18

B. Konstanta Dielektrik Eluen


 n-Heksan : 2.0
 Etil Asetat : 6.0
 Kloroform : 4.8
 Metanol : 3.3
C. Konstanta Dielektrik Campuran
1. N-Heksana & Etil asetat (1:1) Chamber 1
Konstanta dielektrik campuran = (50% x 2.0) + (50% x 6.0) = 4
2. N-Heksana & Etil asetat (4:1) Chamber 2
Konstanta dielektrik campuran = (80% x 2.0) + (20% x 6.0) = 2,8

13
3. Kloroform & Methanol (4:1) Chamber 3
Konstanta dielektrik campuran = (80% x 4,8) + (20% x 3.3) = 10,44
4. Kloroform & Etil asetat (4:1) Chamber 4
Konstanta dielektrik campuran = (80% x 4.8) + (20% x 6.0) = 5,04

4.2 Pembahasan

Pada praktikum kali ini, dilakukan uji Kromatografi Lapis Tipis (KLT)
dengan empat model campuran eluen. KLT adalah yang metode kromatografi
paling sederhana yang banyak digunakan. Peralatan dan bahan yang dibutuhkan
untuk melaksanakan pemisahan dan analisis sampel dengan metode KLT cukup
sederhana yaitu bejana tertutup (chamber) yang berisi fase gerak atau eluen, dan
lempeng KLT yang telah ditotolkan sampel atau analit yang ingin di uji. Metode
pemisahan pada kromatografi sangat tergantung dari jenis fase diam yang
digunakan. Jenis fase diam yang digunakan menentukan interaksi yang terjadi
antara analit dengan fase diam dan fase gerak. Metode pemisahan pada
kromatografi terbagi menjadi 4 yaitu; Pemisahan berdasarkan polaritas,
pemisahan berdasarkan muatan ion, pemisahan berdasarkan ukuran molekul, dan
pemisahan berdasarkan bentukan spesifik.

Dalam KLT, fase diam yang sering digunakan adalah silika gel, alumina,
tanah diatom, dan selulosa. Silika yang dimodifikasi untuk KLT ada yang
mengandung gugus polar atau nonpolar, sehingga pemisahan lapisan tipis dan
normal dan fase terbalik dapat dilakukan (Nielsen, 1977). Dalam praktikum ini,
fase diam yang digunakan adalah Kiesel gel 254 yang dilapisi dengan indikator
fluorescent F254 agar ketika diamati dibawah UV 254 nm, plat yang tidak
terdapat titik sampel dapat berfluorensi menjadi hijau dan titik sampel akan
berwarna gelap (Asra, Zulharmita and Amrul, 2017), sehingga memudahkan
pengamatan.
Pada plat E3 dan E4, digunakan eluen kloroform-metanol (4:1) dan
kloroform-etil asetat (4:1). Nilai Rf yang dihasilkan berturut-turut adalah 0,69 dan
0,18. Nilai Rf plat E3 adalah yang paling tinggi diantara plat yang lain, sedangkan
plat E4 memiliki nilai Rf yang rendah. Namun kedua nilai tersebut tidak ideal
karena jauh diatas dan dibawah rentang 0,3-0,4, sehingga senyawa tidak terpisah

14
secara baik. Afinitas analit terhadap fase gerak sangat tinggi pada plat E3, nampak
dari jauhnya jarak noda yang ditempuh. Dilihat dari indeks polaritasnya, plat E3
menghasilkan indeks polaritas tertinggi yaitu 10,388 lalu disusul dengan plat E4
dengan indeks polaritas 5,025.
Pada plat E1, digunakan eluen n-heksan-etilasetat dengan perbandingan 1:1.
Nilai Rf yag dihasilkan adalah 0,1, dibawah rentang Rf ideal yaitu 0,3-0,4.
Dengan nilai Rf 0,3-0,4 dapat memisahkan senyawa-senyawa polar, non polar,
dan semi polar. Ketika analit berpartisi antara fase padat dan cair, faktor utama
pemisahan adalah adsorbsi (Wulandari, 2011). Kolesterol yang merupakan
senyawa non polar, memiliki afinitas lebih tinggi terhadap fase gerak (n-heksan)
yang juga merupakan senyawa non polar, sehingga akan dielusi terlebih dahulu
(Nielsen, 1977). Dilihat dari indeks polaritasnya, senyawa dengan indeks polaritas
yang tinggi memiliki polaritas yang tinggi pula, sehingga plat E1 dengan indeks
polaritas sebesar 3,95, menempati posisi ke-3.
Pada plat E2, digunakan eluen n-heksan-etilasetat dengan perbandingan 4:1.
Nilai Rf yang dihasilkan adalah cukup bagus yakni 0,46, sehingga nilai ini
termasuk ideal (0,3-0,4) dalam memisahkan senyawa polar, semi polar dan non
polar. Kolesterol yang merupakan senyawa non polar, memiliki afinitas lebih
tinggi terhadap fase gerak (n-heksan) yang juga merupakan senyawa non polar,
sehingga akan dielusi terlebih dahulu (Nielsen, 1977). Terlihat secara kasat mata,
noda yang dihasilkan menempuh jarak yang lebih jauh dibanding dengan plat E1.
Meskipun nilai Rf plat E2 lebih besar dari plat E1 dan E4, namun lat E2 memiliki
indeks polaritas paling kecil yaitu 2,708 dengan begitu plat ini memiliki tingkat
polaritas paling rendah diantara plat yang lain.

15
BAB V

KESIMPULAN

1. plat E3 dengan eluen kloroform-methanol (4:1) menghasilkan nilai Rf dan


indeks polaritas yang paling tinggi yaitu 0,69 dan 10,388, sehingga
menandakan kekuatan pelarut atau polaritasnya paling tinggi.
2. plat E4 dan E1 menghasilkan nilai Rf yang hampir sama yakni 0,18 dan 0,1,
Sedangkan indeks polaritasnya berturut-turut yakni 5,025 dan 3,95, sehingga
plat E4 dan E1 berada pada urutan 2 dan 3.
3. Plat E2 dengan eluen n-heksan-etil asetat (4:1) merupakan eluen proses
fraksinasi yang ideal dengan nilai Rf 0,46 yang mendekati rentang 0,3-0,4,
namun indeks polaritasnya paling rendah yaitu 2,708 sehingga plat E2
memiliki polaritas paling rendah.
4. Dari keempat data tersebut mencerminkan bahwa terdapat hubungan antara
polaritas pelarut dengan nilai Rf, yaitu semakin besar nilai Rf yang dihasilkan
maka semakin tinggi polaritasnya.

16
DAFTAR PUSTAKA

Depkes RI. 2008. Farmakope Herba Indonesia. Jilid I. Jakarta: Badan Pengawas
Obat dan Makanan.
Gritter, R. J., J. M. Bobbit, and A. E. Schwarting. 1991. Pengantar Kromatografi
Ed. 2. Terjemahan Kosasih Padmawinata. Bandung: Penerbit Institut
Teknologi Bandung.
Guyton, A. C. Hall, J. E. 2006. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Jakarta: Buku
Kedokteran EGC.
Johnson, E.L., Robert Stevenson. 1991. Dasar Kromatografi Cair. Terjemahan
Dari Basic Liquid Chromatoghraphy. Bandung: Institut Teknologi
Bandung.
Murray, R. K., Granner, D. K., & Rodwell, V. W. 2012. Biokimia Harper.
Jakarta: Buku Kedokteran EGC.
Mursiti, Jumina dan Mustofa. 2013. Isolasi, Identifikasi dan Elusidasi Struktur
Senyawa Alkloid Ekstrak Metanol-Asam Nitrat dari Biji Mahoni. Jurnal
MIPA. Vol: 36 (2).
Rusnaeni, Ilmawati Desy dan Fitria. 2016. Identifikasi Asam Mafenamat Dalam
Jamu Rematik Yang Beredar Di Distrik Heram Kota Jayapura. Jurnal
Pharmacy, Vol: 13 (1).
Rofida, Siti dan Anggraeni, Amaliyah Dina. 2021. Buku Petunjuk Praktikum
Fitokimia. Malang: Universitas Muhammadiyah Malang. Halaman 4.
Sastrohamidjojo, H. 2002. Kromatografi. Yogyakarta: Liberty. Halaman 35-36.
Simbala, H. E. I., 2009. Analisis Senyawa Alkaloid Beberapa Jenis Tumbuhan
Obat sebagai Bahan Aktif Fitofarmaka. Pasific Journal. Vol. 1 (4): 489-
94.
Tiwari, P. Kumar, B. Kaur, G. Kaur H. 2011. Phytochemical screening and
extraction: A Review. Internationale Pharmaceutica Sciencia. Vol. I,
Issue, I.
Welborn, T.A. 2007. Preferred clinical measures of central obesity for predicting

mortality. European Journal of Clinical Nutrition, 61: 1373–1379

Wulandari, Lestyo. 2011. Kromatografi lapis Tipis. Cetakan Pertama. Jember : PT


Taman Kampus Presindo. ISBN : 978-979-17068-1-0.

17

Anda mungkin juga menyukai