Anda di halaman 1dari 3

Resensi Novel Ibuk

Oleh : Dwi Gita Noramalia

“Seperti sepatumu ini, Nduk. Kadang kita mesti berpijak dengan sesuatu yang tak sempurna. Tapi
kamu mesti kuat. Buatlah pijakanmu kuat.”

-Ibuk-
Judul buku : Ibuk

Penulis : Iwan Setyawan

Jenis buku : Fiksi

Nama penerbit : PT. Gramedia Pustaka Utama

Tahun penerbit. : Juli 2012

Tebal : 293 halaman

Sinopsis

Masih belia usia Tinah saat itu. Suatu pagi di pasar Batu telah mengubah hidupnya. Sim, seorang
kenek angkot, seorang playboy pasar yang berambut selalu klimis dan bersandal jepit, hadir dalam
hidup Tinah lewat sebuah tatapan mata. Keduanya menikah, mereka pun menjadi Ibuk dan Bapak.

Lima anak terlahir sebagai buah cinta. Hidup yang semakin meriah juga semakin penuh perjuangan.
Angkot yang sering rusak, rumah mungil yang bocor di kala hujan, biaya pendidikan anak-anak yang
besar, dan pernak-pernik permasalahan kehidupan dihadapi Ibuk dengan tabah. Air matanya
membuat garis-garis hidup semakin indah.

Ibuk, novel karya penulis national best seller Iwan Setyawan, berkisah tentang sebuah pesta
kehidupan yang dipimpin oleh seorang perempuan sederhana yang perkasa. Tentang sosok
perempuan bening dan hijau seperti pepohonan yang menutupi kegersangan, yang memberi nafas
bagi kehidupan.

Review

Ibuku sayang masih terus berjalan

Walau tapak kaki penuh darah

Penuh nanah

Syair di atas hanyalah sepenggal kata yang memperlihatkan perjuangan seorang Ibuk. Sebenarnya
tidak ada kata yang pantas mengartikan kesempurnaan seorang Ibuk dalam hidup kita semua. Novel
Ibuk karya Iwan Setyawan ini bisa dikatakan sebagai masterpiece yang hadir dalam jejeran rak buku
romansa percintaan anak muda, hadir bagaikan oase di gurun yang gersang. Memberikan kepuasan
mata di tengah hausnya bacaan yang menakjubkan. Boleh dikatakan, novel ini adalah salah satu
novel favorit saya.

Mengangkat kisah orang kecil yang tentunya sangat erat dengan kehidupan kita sehari-hari. Novel ini
berhasil membuat mata saya bengkak juga berhasil mengubah cara pandang saya dalam menjalani
hidup yang seringkali lupa kita syukuri. Cerita dimulai dengan pertemuan Tinah dengan Sim, sang
cassanova yang bukan cuma mengumbar cinta tapi, juga bersaksi pada Tuhan dalam ikatan
pernikahan. Mereka diberkahi lima orang anak, hidup dalam rumah yang sempit dan bertopang pada
angkot Bapak yang sering mogok.

Novel “ibuk” memaparkan dengan gamblang potret kehidupan sebagian besar masyarakat kita.
Pendidikan rendah dan tak memiliki cukup penghasilan, namun kemauan untuk mengubah nasib
terlanjur menjadi “bahan bakar”. Tak sedikit keluarga yang digawangi orang-orang seperti Sim dan
Tinah telah berhasil meletakkan pondasi kehidupan yang kuat untuk anak-anaknya. Mereka tak
hanya membesarkan, namun mendidik dengan memaparkan anak pada belantara kehidupan nyata.

Dari sini saya belajar, kalau uang memang bukan segalanya. Selagi tekad masih berada di atas
pundak, kaki masih bisa berjalan ke luar, dan tangan masih bisa terangkat memohon doa. Tidak ada
kata mustahil di dunia ini. Tidak ada orang miskin, yang ada hanya orang malas.

Untuk semua Ibuk yang ada di dunia

Terimakasih telah menjadi pilar yang kokoh dalam seraut wajah penuh kasih dan hati yang rapuh,
untuk kami anakmu. Maafkan anakmu yang tidak pandai berucap kata, bahkan sekadar
mengatakan “maaf” pun kami malu. Tapi, ketahuilah ... Jika, kasih ibu sepanjang masa. Maka kasih
kami padamu seluas semesta.

Kelebihan

Bahasa yang digunakan penulis lugas, tepat, dan mudah dimengerti. Pemilihan kata yang tepat untuk
setiap adegan dramatis, emosional, namun tetap mengedepankan kelogisan. Hormat, untuk sang
penulis yang sudah bekerja keras melahirkan bukan hanya sebuah buku tetapi juga kisah haru biru
perjuangan seorang Ibuk. Dengan kemampuannya mengolah bahasa, penulis berhasil menyentuh
hati pembaca hingga tidak terasa setitik dua titik air membasahi mata. Penulis juga berhasil
membawa pembaca penasaran hingga ke lembaran terakhir cerita.

Kekurangan

Ritme alur cerita ditulis begitu cepat dalam novel ini, sehingga ada beberapa adegan yang
seharusnya berhasil mengaduk-aduk emosi pembaca tetapi tidak cukup kuat karena narasi yang
terlalu terburu-buru. Puncak klimaks diletakkan di akhir tentang kisah mengharukan ketika Bapak
diserang penyakit jantung dan akhirnya meninggal dunia. Seandainya, penulis menarasikan kisah ini
lebih lengkap, mungkin novel ini akan sangat berkesan. Dan juga ada akhir cerita tidak dijelaskan apa
yang terjadi selanjutnya pada tokoh utama.

Anda mungkin juga menyukai