Anda di halaman 1dari 21

MAKALAH

SOUND PEMERINTAHAN

Disusun oleh :

SEPTIA RARA AMALIA

(187310835)

JURUSAN ILMU PEMERINTAHAN

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK

UNIVERSITAS ISLAM RIAU

PEKANBARU

2021
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah segala puji bagi Allah SWT Pemilik dari seluruh ilmu pengetahuan,
shalawat dan salam bagi junjungan kita Nabi Besar Muhammad saw. Atas segala rahmat
dan hidayah-Nya akhirnya penulis dapat menyelesaikan makalah di Universitas Islam Riau
Fakultas ilmu sosial dan politik Jurusan ilmu pemerintahan. Dalam penulisan makalah ini,
penulis menyadari sepenuhnya akan keterbatasan dan kekurangan yang ada. Serta penulis
menyadari betul bahwa penulisan makalah ini tidak akan berhasil tanpa adanya usaha,
bantuan, dorongan dan bimbingan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, sudah sepantasnya
penulis menghanturkan terima kasih sedalam-dalamnya kepada, Teman – teman yang
membantu dan mendukung penulis. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu
persatu yang telah memberikan bantuan kepada penulis di dalam penyelesaian pembuatan
makalah ini.

Tiada kata-kata yang lebih selain ucapan terima kasih, semoga Allah SWT memberikan
balasan kebaikan atas segala bantuan yang diberikan kepada penulis. Akhir kata penulis
berharap semoga hasil penyusunan makalah ini bermanfaat bagi kita semua. Amiin.
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR................................................................................................................................................ 2
DAFTAR ISI................................................................................................................................................................ 3
BAB I............................................................................................................................................................................ 4
PENDAHULUAN....................................................................................................................................................... 4
B. RUMUSAN MASALAH................................................................................................................................... 5
C. TUJUAN............................................................................................................................................................... 5
BAB II........................................................................................................................................................................... 6
PEMBAHASAN.......................................................................................................................................................... 6
A. SOUND GOVERNANCE.................................................................................................................................. 6
B. MENGAPA HARUS SOUND GOVERNANCE?......................................................................................... 8
C. DIMENSI-DIMENSI DALAM SOUND GOVERNANCE......................................................................11
D. AKTOR DALAM SOUND GOVERNANCE.............................................................................................. 16
BAB III....................................................................................................................................................................... 20
KESIMPULAN......................................................................................................................................................... 20
A. KESIMPULAN................................................................................................................................................ 20
B. SARAN.............................................................................................................................................................. 20
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................................................................... 21
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG

Sound Governance mempunyai pandangan yang jauh komprehensif dengan empat aktor,
yaitu tiga aktor sudah diketahui dalam konsep good governance yaitu inklusifitas relasi
politik antara negara, civil society, bisnis yang sifatnya domestik dan satu lagi aktor yaitu
kekuatan internasional. Kekuatan internasional di sini mencakup korporasi global,
organisasi dan perjanjian internasional. Dalam pandangan Sound Governance penerapan
good governance kehidupannya hanya berkutat pada interaksi antara pemerintah di
negara tertentu, pelaku bisnis di negara tertentu dengan rakyat di negara tertentu pula.
Tentulah ini sangat naif, sebab kenyataan bahwa aktor yang sangat besar dan bekuasa di
atas ketiga elemen tersebut tidak dimasukkan dalam hitungan. Aktor tersebut adalah dunia
internasional. Bahkan Ali Farazmand (2004) secara tegas menyebut good governance
sebagai bagian dari praktik penyesuaian struktural.

Konsep Sound Governance digunakan untuk menggambarkan sistem pemerintahan yang


bukan hanya jelas secara demokratik, dan tanpa cacat secara ekonomi, finansial, politik
konstitusional, organisasi, administratif, manajerial dan etika, tapi juga jelas secara
internasional dalam interaksinya dengan negara-negara lain dan dengan bagian
pemerintahannya dalam cara yang independen dan mandiri.

Karakteristik pokok dari semua konsep ini adalah sebuah klaim yang menolak bentuk
pemerintah birokratik otoriter dengan pembuatan keputusan dan implementasi yang
sepihak. Model atau konsep governance dan pemerintah karena itu menghasilkan cara
pikir, pemerintahan, dan administrasi yang baru, dengan filosofi dan pendekatan baru yang
memperluas keterlibatan rakyat dan feedback-nya, dan memancing partisipasi masyarakat
sipil dan organisasi non-pemerintah.

Sound govermance mempunyai pandangan yang berbeda dan justru mengedepankan


adanya penghormatan atas keragaman konsepsi birokrasi dan tata pemerintahan,
utamanya nilai dasar budaya pemerintahan tradisional yang telah terkubur.
B. RUMUSAN MASALAH

1. Apa itu sound governance?

C. TUJUAN

Untuk mengetahui sound governance


BAB II
PEMBAHASAN
A. SOUND GOVERNANCE

Konsep dari Sound Governance berasal dari pemerintahan kerajaan Persia dengan
penerapan efisiensi dan efektivitas yang tinggi pada sistem administratifnya pada waktu
itu. Berdasarkan Darius yang agung, dan penggantinya Cyrus yang agung menyatakan
bahwa “tidak ada kerajaan yang dapat bertahan dengan sedikit banyak keberhasilan tanpa
kelayakan ekonomi, system manajemen, dan struktur kebijakan.

Sound Governance lahir akibat adanya doktrin Good Governance yang sangat kental pada
kebanyakan Negara didunia, namun dalam penerapannya masih jauh dari apa yang
terdapat dalam prinsip-prinsip tersebut. Maka Sound Governance yang bermakna lebih
logis, masuk akal, atau rasional dapat dijadikan pedoman dalam penerapan pemerintahan
disuatu negara, tanpa adanya target pencapaian yang muluk-muluk namun sangat jauh dari
target pencapaian tersebut.Sound Governance lebih luas daripada konsep lain dewasa ini,
dengan memasukan global dan internasional dalam tubuh pemerintahan. Menurut
kaidahnya , sebaik apapaun teknis dan pandangan Good Governance harus dapat
diseimbangkan, dengan kata lain pemerintah harus lebih rational dan masih dalam sistem
nilai untuk menanggulangi konflik dan rintangan asing. Sound Governance juga
berdasarkan dengan nilai-nilail konstitusional dan lebih tanggap atau peka terhadap
norma-norma international.

Good Governance dianggap terlalu fokus pada tiga komponen yaitu Negara, Civil Society
dan swasta. Sehingga muncul Konsep Sound Governance yang digunakan untuk
menggambarkan sistem pemerintahan yang bukan hanya jelas secara demokratik, dan
tanpa cacat secara ekonomi,finansial, politik konstitusional, organisasi, administratif,
manajerial dan etika, tapi juga jelas secara internasional dalam interaksinya dengan
negara-negara lain dan dengan bagian pemerintahannya dalam cara yang independen dan
mandiri. Di dalam sebuah negara, selain pemerintah dan masyarakat terdapat aktor lain
yang berperan yaitu sektor swasta. Sound Governance (tata pemerintahan yang layak)
adalah ide yang masih baru dan belum bisa dibilang matang. Tetapi setidaknya ia telah
membuat tuduhan kritik tanpa solusi menjadi tak lagi beralasan. Sehingga masih banyak
ruang untuk berkreasi dan berkontribusi bagi intektual-intektual muda negeri ini. Ia
memang tidak dimunculkan murni dari bangsa ini, tetapi ia juga bukan merupakan wajah
baru dari dominasi dunia barat yang selama ini menghegemoni seperti halnya Good
Govermance. Sound Governance adalah konsep tata pemerintahan yang santun secara
epistimologis. Karena ia membuka ruang dialog yang sangat luas bagi keragaman ide dan
praktek tentang makna demokrasi untuk muncul kepermukaan.

Sound Governance hadir untuk melengkapi kegagalan konsep Good Governance  yang
sudah berlaku selama ini. Sound Governance melihat bahwa upaya merestrukturisasi pola
relasi pemerintah, swasta dan masyarakat secara domestik dengan mengabaikan peran
aktor internasional adalah pengingkaran atas realitas global. Dampak dari pengingkaran ini
adalah banyaknya variabel, yang sebenarnya sangat penting, tidak masuk ke dalam
hitungan. Variabel yang absen itu adalah kearifan lokal (akibat hegemoni terma ‘Good’ oleh
Barat) dan dampak dari kekuatan kooptatif internasional. Ruang kosong inilah yang coba
diisi oleh sebuah paradigma baru yang di sebut Sound Governance.Konsep Sound
Governance digunakan untuk menggambarkan sistem pemerintahan yang bukan hanya
jelas secara demokratik, dan tanpa cacat secara ekonomi, finansial, politik konstitusional,
organisasi, administratif, manajerial dan etika, tapi juga jelas secara internasional dalam
interaksinya dengan negara-negara lain dan dengan bagian pemerintahannya dalam cara
yang independen dan mandiri.

Karakteristik pokok dari semua konsep ini adalah sebuah klaim yang menolak bentuk
pemerintah birokratik otoriter dengan pembuatan keputusan dan implementasi yang
sepihak. Model atau konsep governance dan pemerintah karena itu menghasilkan cara
pikir, pemerintahan, dan administrasi yang baru, dengan filosofi dan pendekatan baru yang
memperluas keterlibatan rakyat dan feedback-nya, dan memancing partisipasi masyarakat
sipil dan organisasi non-pemerintah.
Sound Governance mempunyai pandangan yang berbeda dan justru mengedepankan
adanya penghormatan atas keragaman konsepsi birokrasi dan tata pemerintahan,
utamanya nilai dasar budaya pemerintahan tradisional yang telah terkubur. Sound
governance pada prinsipnya juga memberikan ruang bagi tradisi atau inovasi lokal tentang
bagaimana negara dan pemerintahan harus ditata, sesuai dengan kebiasaan, budaya dan
konteks lokal. Tentu ukuran universal tentang kesejahteraan rakyat dan penghormatan hak
dasar harus tetap ditegakkan. Akhirnya, SG sesungguhnya percaya bahwa reformasi tata
pemerintahan dan pembangunan adalah kerja budaya bukannya teknis, matematis apalagi
dogmatis

B. MENGAPA HARUS SOUND GOVERNANCE?

Pada bagian-bagian terdahulu telah banyak dipaparkan tentang berbagai kelemahan


konsep Good Governance (GG). Hal yang membuat mengapa menjadi sangat penting saat
ini untuk merumuskan konsep baru yang dapat menjawab kegagalan epistemologis GG.
Solusi dari masalah ini adalah dengan menghentikan arus besar kesalahkaprahan GG yang
meluas dengan menggantinya dengan konsep baru yang jauh lebih komprehensif dan
reliable, yaitu Sound Governance (SG). Terdapat lima alasan pokok yang medasari
kesegeraan dalam pergantian paradigma ini.

Pertama, sound governance jauh lebih komprehensif dari pada good governance terutama
dalam melihat aktor-aktor kunci yang harus dipertimbangkan dalam sebuah proses tata
pemerintahan. Tidak hanya melihat proses interaksi antara aktor-aktor domestik, yaitu
pemerintah, pasar dan masyarakat sipil, akan tetapi sound governance juga melihat
besarnya peran konkret dari aktor-aktor ekonomi politik internasional. Aktor-aktor
internasional di sini mencakup kebijakan luar negeri dari negara-negara maju, organisasi-
organisasi multi lateral, korporasi global multinational corporation/transnational
corporation (MNC/TNC) dan lembaga donor dan keuangan internasional dan big NGOs. Di
Indonesia sendiri telah banyak bukti dan argumen-argumen ilmiah tentang besarnya
pengaruh aktor-aktor ini dalam dinamika sosial, politik dan ekonomi dalam negeri yang
juga berdampak pada proses tata pemerntahan (Mansour, 2003). Lebih jauh tentang
analisis aktor dalam sound governance ini akan dijelaskan lebih detail pada bagian lain
dari buku ini.

Kedua, Sound governance juga mengedepankan adanya penghormatan atas keragaman


konsepsi birokrasi dan tata pemerintahan, utamanya nilai dasar budaya pemerintahan
tradisional yang telah lama terkubur. Selama ini, kita, terutama bangsa Indonesia, telah
lama me dilupakan oleh kekayaan budaya kita sendiri. Sistem pemerintahan daerah di
Indonesia adalah sejarah yang sangat panjang, bahkan jauh lebih panjang dari usia negara
ini sendiri. Akan tetap model pemerintahan barat telah ditransplantasi seiring dengan
masuknya kolonialisme di Indonesia. Bukan hanya di Indonesia, di berbagai belahan dunia,
penyeragaman atas sistem pemerintahan barat telah banyak mengubur hidup-hidup
keragaman yang luar biasa atas sistem pemerintahan original lokal. Ali Farazmand
mencontohkah kebesaran Kerajaan Persia, sebelum digulung oleh dominasi budaya barat,
memiliki prestasi yang sangat besar dalam pengelolaan pemerintahan. Di Indonesia,
berbagai sistem pemerintahan berbasis budaya lokal juga sudah banyak terabaikan (Andi,
2007). Tetapi sejarah dan riset ilmiah seolah hanya mulai dibuka semenjak Max Weber
mengkonstruksi konsep birokrasi modernnya. Disusul perkembangan ilmu administrasi
publik berikutnya, termasuk GG, semuanya adalah cerita tentang pembantaian massal
budaya lokal sistem pemerintahan. Itulah sebabnya SG menyeruak untuk melihat apakah
masih ada peluang untuk menyelamatkan keragaman budaya pemerintahan itu. Ketiga,
adalah orientasi SG yang lebih kepada keseimbangan dan fleksibilitas antara proses dan
output dari sebuah proses tata pemerintahan. SG percaya pada pepatah ‘banyak jalan
menuju Roma’. Artinya untuk mewujudkan diri sebagai pemerintahan yang baik tidak
harus dengan satu cara.

Ketiga, adalah orientasi SG yang lebih kepada keseimbangan dan fleksibilitas antara proses
dan output dari sebuah proses tata pemerintahan. SG percaya pada pepatah ‘banyak jalan
menuju Roma’. Artinya untuk mewujudkan diri sebagai pemerintahan yang baik tidak
harus dengan satu cara. Melainkan bisa dengan berbagai Berakhirnya Era Good
Governance cara. Hal ini utamanya dipicu oleh tumpang tindih antara hubungan proses dan
output yang ada di dalam GG. Seperti telah disadari bahwa tujuan utama dari pemerintah
adalah menegakkan keadilan, menjamin keamanan publik, pertahanan nasional,
kesejahteraan umum dan menjamin hak-hak masyarakat (McDowell, 2008). Nah, dalam
rangka mencapai tujuan itu, GG bersikukuh bahwa hanya ada satu jalan untuk menuju
kesana, yaitu dengan menjalankan prinsip-prinsip GG. Persis seperti perilaku
pembangunanisme di masa Orde Baru, yaitu hanya ada satu jalan saja untuk maju, yakni
pertumbuhan ekonomi. SG lebih mengedepankan pencapaian tujuan ketimbang ribut soal
bagaimana cara tujuan itu tercapai. Kendati demikian di dalam SG ada prasarat-prasarat
dasar universal terkait demokrasi, transparansi dan akuntabilitas tetap harus ditegakkan.
Fleksibilitas yang menjadi titik tekan SG adalah ‘inovasi’, yang merupakan ruh dari
implementasi SG dalam praktek pemerintahan sehari-hari (Farazmand, 2004).

Keempat, selaras dengan hukum, perjanjian dan norma internasional. Hal ini merupakan
konsekuensi dari perubahan besar yang dilakukan SG dalam dunia administrasi publik
yang ‘sadar globalisasi’. Memutus begitu saja hubungan antara dinamika di tingkatan lokal
dengan konteks global adalah sesuatu yang naif. Jangankan di tingkatan lokal, di tingkat
nasional pun masalah ini masih sangat akut. Selama ini yang terjadi adalah hukum-hukum
ratifikasi atas perjanjian-perjanjian internasional yang ada di sekretariat negara masih
hanya merupakan tumpukan peraturan yang tidak pernah diimplementasikan dengan baik.
Ambil saja contohnya UU No. 21 Tahun 2003 tentang Pengesahan Konvensi ILO Mengenai
Pengawasan Ketenagakerjaan dalam Industri dan Perdagangan. Di situ diatur banyak hal
jaminan internasional atas hak-hak buruh, tapi kenyataannya di Indonesia praktek
pelanggaran hak buruh masih saja marak.

Kelima, pada dasarnya SG bukanlah sebuah konsep administrasi publik pada umumnya
baik dari Birokrasi Weber hingga GG yang dipaksakan (imposed) dari Barat. SG adalah
sebuah konsep ilmiah yang digali dari Persia. Keberhasilan Kerajaan Persia pada Abad 500
SM dalam mengelola wilayah yang begitu luas, terbentang mulai dari Asia, Timur Tengah,
Eropa Timur hingga Afrika Utara (Daniel, 2001), adalah berkat diterapkannya prinsip
“toleransi” dalam pemerintahannya. Sebab disadari atau tidak, dengan wilayah yang begitu
luas pada jaman itu, identitas perbedaan budaya masing-masing daerah masih sangat
kental. Memang hari ini banyak negara yang lebih luas daripada Kerajaan Persia waktu itu.
Namun hari ini pula perkembangan ilmu pemerintahan dan perangkat adminstrasi tata
pemerintahan hadir lebih kompleks dan maju. Utamanya dengan adanya teknologi
informasi dan perlintasan antara budaya yang terjadi jauh lebih intensif.

C. DIMENSI-DIMENSI DALAM SOUND GOVERNANCE

Kata dimensi di sini penting untuk mengatakan istilah ‘indikator’. Sebab sebagaimana
dalam GG dan konsepkonsep hegemonik lainnya, indikator keberhasilan adalah sebuah
prasyarat mutlak bagi sebuah ide agar dapat dikatakan implementatif. Sebab sebuah ide
yang implementatif adalah ide yang bisa diimplementasikan, dan dapat diukur sampai
sejauh mana kinerjanya dapat dicapai di lapangan. Tidak ada yang salah dengan
pemahaman seperti itu, utamanya bila kita hendak menelorkan sebuah ide yang akan
diterapkan di tataran mikro. Akan tetapi hal ini akan menjadi masalah besar ketika hendak
diterapkan pada proses epistemoligis pada konsep makro, terlebih global. Indikator yang
digunakan sebagai alat ukur keberhasilan serta merta akan berubah menjadi awal
kegagalan besar. Sebab indikator akan mengabaikan kompleksnya variasi yang ada di
lapangan serta mengabaikan fitrah kehidupan yang tak tunggal. Keindahan tidak harus satu
bentuk. Oleh karena SG tidak ingin mengulang kesalahan-kesalahan konseptual yang sama,
maka SG lebih mengedepankan dimensi ketimbang indikator. Dengan konsep dimensi,
keleluasaan dalam wilayah implementasi, keragaman serta kreatifitas pelaku-pelaku di
lapangan menjadi dapat terekspresikan secara luas, tanpa harus menjadi chaos. Sebab
dimensi tetap memiliki standar ideal, meski sangat normatif yang bisa diukur meski tidak
harus dikuantifikasi. Di dalam SG terdapat sepuluh dimensi yang diharapkan dapat menjadi
peta dalam pelaksananaan reformasi administrasi publik. Istilah peta di sini digunakan
sebab sepuluh hal yang ada ini bukan merupakan harga mati dan keharusan. Ibarat sebuah
peta, tentu kita akan dapat melihat berbagai pilihan alternatif jalan untuk menuju satu
tempat. Jalan mana yang hendak dipilih tentulah sangat tergantung pada pertimbangan dan
keadaan masingmasing yang kontekstual. Dimensi-dimensi tersebut adalah:

1. Proses
Proses di sini artinya adalah hubungan dan interaksi antara berbagai elemen yang
ada dalam proses tata pemerintahan. Dalam hal ini berarti termasuk pula
elemenelemen yang ada dalam GG (negara, swasta dan masyarakat sipil) dan juga
ditambakan satu aktor dalam SG yaitu aktor-aktor internasional. Yang hendaknya
dilakukan dalam dimensi ini adalah mencapai dan mencermati kualitas proses dari
interaksi antar elemen tersebut. Sehingga tidak seperti dalam GG yang indikator
interaksi antar aktornya hanya penuh dengan lembar kehadiran dan tanda tangan
dari para peserta rapat, lengkap dengan kolom asal insitusinya.

2. Struktur
Kalau proses adalah tentang bagaimana pemerintahan bekerja, struktur
menunjukkan dan memandu arah pada proses tersebut. Arahan yang diberikan oleh
struktur ini berada pada keseluruhan sistem tata pemerintahan, tetapi dapat pula
berada di masing-masing elemen yang ada dalam tata pemerintahan. Sehingga tiap-
tiap elemen yang ada, dengan struktur yang ada di dalam dirinya, tahu apa yang
harus diperbuat dan kemana harus melangkah sesuai dengan tujuan kolektif yang
telah ditetapkan.

3. Kesadaran dan Nilai Nilai demokrasi harus disandarkan sebagai kebutuhan, bukan
dipaksakan sebagai proyek. Hal inilah yang kerap kali menjadi kesalahan dalam
program-program demokratisasi di dalam pemerintahan. Banyak birokrat dan
politisi yang tidak menginternalisasi demokrasi dengan baik. Mereka menggunakan
kata-kata itu hanya untuk kebutuhan kampanye dalam pidato-pidato formal. Tetapi
ketika diantara mereka sedang berbicara, mereka sering kali tertawa lebar setelah
mengucapkan kata-kata ‘demokrasi’. Sebab demokrasi bagi mereka bukanlah
sesuatu yang konkret, akan tetapi hanyalah wacana. Dan mereka beranggapan
bahwa pekerjaan sebagai birokrat dan politisi bukanlah pekerjaan yang berurusan
dengan wacana, melainkan sesuatu yang konkret. Wacana adalah menu bagi dosen
dan para aktivis mahasiswa belaka, termasuk wacana tentang pentingnya
demokrasi. Hal ini terjadi karena selama ini internalisasi nilai tidak dibarengi
dengan kesadaran akan pentingnya nilai itu.
4. Konstitusi Pada prisipnya konsitusi adalah dokumen yang memberikan blue print
dari pemerintahan. Namun demikian dalam sistem yang lemah, atau organsasi yang
buruk dan tidak kuat –jika ini disebut sebagai sistem– konstitusi tidak lebih dari
dokumen formal. Ini diabaikan dan diterobos oleh sebagian besar orang dan waktu
serta digunakan secara selektif untuk melayani kepentingan kekuasaan khusus. Ini
adalah ‘formalisme’ atau dualitas dalam proses tata pemerintahan di seluruh dunia
yang sangat dipengaruhi atau didikte oleh struktur kekuasaan globalisasi eksternal.
Formalisme terjadi ketika aturan dan regulasi formal dilengkapi oleh norma dan
perilaku informal dan tidak resmi dalam politik, tata pemerintahan, dan
administrasi untuk melayani tujuan khusus, tetapi mereka diaplikasikan secara
kaku (Farazmand, 1989).

5. Organisasi dan Institusi SG adalah sebuah konsep yang sangat mengedapankan


implementasi. Bukan hanya sebuah kumpulan nilai-nilai ideal yang abstrak. Dalam
administrasi pemerintahan, organisasi dan institusi adalah alat untuk membuat
sebuah tujuan dan cita-cita kolektif menjadi kenyataan. Apapun namanya,
perencanaan strategi jangka panjang, menengah maupun pendek tidak mungkin
bisa tercapai bila perangkat fisik untuk mencapainya tidak memadai. Organisasi dan
institusi adalah peralatan pokok yang harus dimiliki guna mencapai tujuan sebuah
pemerintahan. Namun demikian, sekali lagi, SG tidak mematok organisasi dan
institusi seperti apa yang bisa dibilang baik atau buruk. Sebab hal ini sangatlah
kontekstual. Panduan yang bisa dipakai adalah kesesuaian kondisi organisasi
dengan tujuan dan konteks lokal. Organisasi adalah wujud konkret dari institusi.
Institusi berisi tugas-tugas dan alasan kenapa organisasi tertentu diperlukan.
Insitusi adalah jiwa dan organisasi adalah tubuhnya.

6. Manajemen dan Performa Manajemen adalah sebuah proses yang berjalan di dalam
organisasi. Bila instisusi adalah jiwa dari organsasi yang membuat organisasi
memiliki karakter, manajemen adalah bagaimana organisasi mengatur hidupnya
dan mengekspresikan dirinya. Oleh karenanya banyak organisasi yang memiliki
insitusi yang sama tetapi menajemennya berbeda. Misalnya, organisasi di satu
tempat yang pekerjaannya adalah membuat perencanaan tidak harus sama
manajemennya dengan organisasi perencanaan di tempat lain. Masalah manajenen
yang penting untuk diperhatikan di dalam SG bukanlah terletak pada manajemen
gaya apa yang dipakai tetapi fokusnya adalah manajemen yang dipilih itu harus
dapat mengantarkan organisasi pada dampak yang diinginkan. Apa dampak yang
diinginkan? Tentu sangat tergantung dari fungsi dasar organisasi itu, kontribusi apa
yang diharapkan dapat diberikannya pada masyarakat. Inilah yang disebut dengan
performa. Performa merupakan alat ukur utama dalam SG untuk melihat kualitas
manajemen dalam sebuah prses pemerintahan.

7. Kebijakan Kebijakan memberi arah dan kendali pada proses, struktur dan
menejemnen dari sebuah pemerintahan. Dari situ semakin tegas bahwa orientasi
dari studi kebijakan publik itu adalah kepentingan publik. Dimana dengan demikian
dapat diartikan pula bahwa studi ini pada tataran konseptual harus memiliki
keberpihakan yang kuat terhadap kepentingan masyarakat, dan berorientasi pada
pelayanan kepentingan tersebut. Sebab seperti telah sering Berakhirnya Era Good
Governance diungkap di muka bahwa studi kebijakan publik adalah sebuah formula
problem solver. Sementara problem yang sesungguhnya itu ada di tengah-tengah riil
kehidupan bermasyarakat

8. Sektor Dalam sebuah pemerintahan, sektor sangatlah penting. Karena ujung tombak
dari pelaksanaan pelayanan publik ada pada masing-masing sektor ini. SG sangat
mengharapkan agar ada keahlian (expertise) yang sangat tinggi dalam sebuah
penempatan personalia. Pentingnya expertise itu salah satunya adalah guna
menjaga kualitas sektor-sektor dalam sebuah sistem pemerintahan. Sektor sifatnya
juga sangat kontekstual. Kebutuhan sektoral dari satu pemerintahan dengan
pemerintahan lain tentunya berbeda-beda. Tidak hanya masalah tempat yang
menyebabkan perbedaan sektor ini. Akan tetapi masalah waktu juga bisa menjadi
sebab. Karena, dalam waktu tertentu, bisa jadi sebuah sektor diperlukan
keberadaannya, namun di waktu lain tidak dibutuhkan. Maka, dinamika organisasi
pemerintahan juga akan sangat tinggi di semesta pembicaraan sektor ini.
9. Faktor International Sebagaimana telah berulang kali disampaikan, selama ini
peranan Bank Dunia, IMF, WTO dan lembaga-lebaga internasional lainnya
memainkan peran yang penting dalam mendefinisikan parameter dari kualitas
governace di berbegai negara. Sekarang, dalam zaman peningkatan globalisasi dan
interdependensi global, negara, pemerintah dan warga negara semakin ditarik –
secara sukarela atau terpaksa– untuk menumbuhkan sekumpulan rezim yang
menunjukkan intoleransi terhadap perilaku governance tertentu yang sebelumnya
dan secara tradisional dianggap normal dan internal bagi kedaulatan pemerintah
(misalnya rezim Apartheid di Afrika Selatan, atau genocide di Afrika). Juga tuntutan
implementasi bermacam-macam aturan, regulasi, dan protokol yang disetujui dan
didasarkan pada level global dan kolektif. Di sisi lain, pada saat yang bersamaan juga
berkembang trend glocalism sebagai antitesis dari gagasan globalisasi berikut
anomali-anomalinya. Interaksi diantara kedua arus besar ini membuat kompleksitas
global governance juga semakin rumit. Ini jugalah yang menjadi agenda penting
dalam SG, yang tidak hanya melakukan perbaikan pada local and national
governance melainkan jauh lebih penting juga melakukan reformasi di tingkatan
global governance.

10. Etika Meski seringkali dipandang sinis, etika dalam administrasi publik tetaplah
merupakan hal yang penting. Kelemahan perbicangan etika dalam administrasi
publik selama ini terletak pada konsepnya yang terlalu filosofis dan tidak membumi.
SG dengan demikian ingin agar etika dalam adimistrasi publik menjadi sesuatu yang
benarbenar hadir dalam realitas. Hal ini juga disadari bahwa stadar etik masing-
masing tempat berbeda-beda dan tentu berada dalam konteksnya masing-masing.
Proses pembelajaran yang bersifat komparatif sangatlah penting. Misalnya tentang
penghormatan atas hak cipta, mengapa di satu tempat dijunjung tinggi dengan
sangat sakral sementara di tempat lain tidak begitu dipedulikan. Mengapa di satu
tempat asertifisme dianggap hal yang biasa dan normal sementara di tempat lain
dianggap egois dan mementingkan diri sendiri.
D. AKTOR DALAM SOUND GOVERNANCE

1. Komponen pertama yang dikatakan sebagai sebuah entitas oleh konsep good
governance adalah State/Negara . Tentu banyak teori-teori klasik yang akan
sangat baik dalam menjelaskan apa yang dimaksud dengan konsep negara
sesungguhnya, berikut berbagai model yang berkembang di dalamnya. Namun,
kita tentu sudah sama tahu bahwa negara saat ini adalah capaian fundamental
politik dalam kehidupan sosial tertinggi secara formal di dunia saat ini. Ya, sebab
warga negara internasional masih sangat eksklusif dan lembaga politik
internasional belum setangguh negara dalam melakukan regulasi sosial hingga
ke tataran yang paling teknis dan pribadi (Hoffman, 2000). Di tengah berbagai
variasi model negara yang dikenal dalam teori negara, tentu yang paling populer
hingga saat ini adalah Trias Politika (Legislatif, Eksekutif dan Yudikatif) yang
entah disikapi sebagai pembagian atau pemisahan nampaknya itu tak lagi
penting saat ini. Bahkan sekarang negara-negara monarkhi juga telah banyak
yang mengadopsi konsep ini dan mereformasi diri mereka menjadi negara
monarkhi konstitusional, bahkan monarkhi demokratik (memang agak sulit
dimengerti). Yang pasti saat berbicara tentang negara maka kita tentu tak bisa
lepas untuk mencandra tiga institusi sosial tersebut.

2. Kesalahan konseptual yang paling akut dari konsep GG ketika ia menanggapi


konsep civil society sebagai entitas yang terpisah dari negara. Padahal dari
epistimologi kemunculan konsep ini sungguh bukan merupakan upaya untuk
menarik masyarakat ‘keluar’ dari negaranya dan berdiri diametral dengan
negara. Civil society secara institusional bisa diartikan sebagai pengelompokan
dari anggota-anggota masyarakat sebagai warga negara yang mandiri serta
dapat dengan bebas dan egaliter bertindak aktif dalam wacana dan praksis
mengenai hal yang berkaitan dengan masalah kemasyarakatan pada umumnya.
Termasuk di dalamnya adalah jaringan-jaringan dan pengelompokan-
pengelompokan sosial yang mencakup mulai dari rumah tangga, organisasi-
organisasi sukarela, sampai dengan organisasi-organisasi yang mungkin pada
awalnya dibentuk oleh negara tetapi melayani kepentingan masyarakat. Mereka
hadir sebagai perantara bagi negara di satu pihak dan individu atau masyarakat
di lain pihak. Namun demikian, civil society harus dibedakan dengan suku, klan
atau jaringan-jaringan klientelisme, karena variabel utama di dalamnya adalah
sifat otonomi, publik dan civic (Alagappa, 2004) . Hal ini menyiratkan keharusan
adanya kebebasan dan keterbukaan untuk berserikat, berkumpul dan
mengeluarkan pendapat serta kesempatan yang sama dalam mempertahankan
kepentingankepentingan di muka umum.Elemen civil society lainnya yang sering
didengungdengungkan sebagai benteng terakhir moralitas publik adalah LSM
atau Ornop. Lembaga swadaya masyarakat atau disebut pula Organisasi Non-
Pemerintah (Ornop) ini didefinisikan sebagai lembaga-lembaga yang berada di
luar sektor pemerintah maupun bisnis swasta, yang bergerak dalam berbagai
kegiatan pembangunan atau pembelaan kepentingan umum, dan menekankan
pencarian pola-pola alternatif serta pemberdayaan masyarakat. Adapun jenis
kegiatan LSM hadir beragam mulai dari advokasi publik, pekerja sosial,
pemberdayaan dan penyadaran, bantuan kemanusiaan, lingkungan hidup, hak
konsumen hingga soal penggusuran rumah. Selama ini memang LSM
diidentikkan dengan pihak yang berseberangan dengan pemerintah.

3. Sektor Swasta: Dieksplotasi dan/atau Mengeksploitasi GG mengasumsikan


bahwa antara pemerintah, masyarakat dan pelaku bisnis hanyalah tiga entitas
yang berbeda sektor saja. Kenyataan yang ada di lapangan menunjukkan bahwa
secara psikologis sektor bisnis agak jauh berbeda dengan masyarakat sipil dan
pemerintah. Kita bisa saksikan perbedaan ekstrem ini pada berbagai rapat atau
pertemuan yang diselenggarakan untuk mempertemukan mereka. Sangat
mudah untuk menghadirkan unsur masyarakat dan pemerintah, tetapi tidak
untuk unsur dunia usaha. Kenyataan di lapangan, dunia usaha adalah unsur yang
paling sulit diajak bekerja sama dan bermusyawarah untuk membahas berbagai
persoalan publik. Di berbagai tempat di seluruh Indonesia, partispasi dunia
usaha dalam pertemuan-pertemuan sosial semacam ini adalah yang paling
rendah dan memprihatinkan. Mereka, unsur dunia usaha, hanya akan datang
pada acara-acara yang terkait dengan bisnis dan sejauh itu menguntungkan saja,
misalnya pada acara-acara tender. Kalangan bisnis sangat jauh dari atmosfer
perbicangan masyarakat dan pemerintah khususnya dalam membicarakan
pembangunan baik di tingkat daerah maupun pusat. Kalau toh ada satu dua
perwakilan dari dunia usaha yang datang, umumnya adalah dari sektor yang
sangat kecil. Adapun pelaku-pelaku bisnis yang besar umumnya mereka lebih
senang bermain lobby dengan pejabat-pejabat tinggi untuk mendapatkan tender
ketimbang duduk bersama rakyat, bermusyawarah untuk membicarakan arah
pembangunan dan perbaikan kondisi sosial ekonomi secara makro.

4. Aktor Internasional
Yang membuat SG sama sekali baru dalam khazanah administrasi publik adalah
perhatiannya yang kuat pada pengaruh aspek internasional dalam proses tata
pemerintahan. Ambil salah satu contoh pada satu kekuatan besar yang
beroperasi di peta politik dunia, WTO (World Trade Organization). Ia
merupakan sebuah organisasi yang beranggotakan berbagai negara di dunia
yang (dipaksa untuk) sepakat dalam mencapai cita-cita “perdagangan bebas
internasional” . WTO sendiri tidak serta merta muncul menjadi kekuatan
dominan yang akhirnya akan berpegaruh pada berbagai kebijakan domestik
negara-negara anggotanya termasuk Indonesia. Ia di-back up oleh World Bank
sebagai penata financial. Sementara Multi-National Corporation (MNC) berperan
sebagai penguasa perdagang128 129 Aktor dalam Sound Governance SG SG
SOUND GOVERNANCE Berakhirnya Era Good Governance an dan PBB sebagai
penata politik global. Sedangkan sponsor utama dari lembaga-lembaga dominan
itu adalah negara-negara maju dunia yang tergabung dalam G-8 (AS, Kanada,
Jepang, Rusia, Inggris, Prancis, Italia, dan Jerman). SG melihat bahwa praktek
transforasi pasar bebas yang dilakukan secara sistematis ini sangat berpengaruh
terhadap kualitas tata pemerintahan di seluruh dunia. Hanya saja, sangat
mengherankan mengapa GG sama sekali tidak melibatkan faktor maha penting
ini dalam semesta pembicaraannya.
BAB III
KESIMPULAN

A. KESIMPULAN

Sound Governance adalah konsep tata pemerintahan yang santun secara


epistimologis. Karena ia membuka ruang dialog yang sangat luas bagi
keragaman ide dan praktek tentang makna demokrasi untuk muncul
kepermukaan.Sound Governance hadir untuk melengkapi kegagalan konsep
Good Governance  yang sudah berlaku selama ini. Sound Governance melihat
bahwa upaya merestrukturisasi pola relasi pemerintah, swasta dan masyarakat
secara domestik dengan mengabaikan peran aktor internasional adalah
pengingkaran atas realitas global.

B. SARAN
Sound governance agar bisa diterapkan di Indonesia
DAFTAR PUSTAKA

Farazmand A., Sound Governance in the Age of the Age of Globalization , in Ali
Farazmand, ed., Sound Governance: Policy and Administrative Innovations
(Westport, CT: Praeger, 2004)

2001, Paradigma Kritis dalam Kebijakan Publik, Universitas Sunan Giri dan
Pustaka Pelajar

Renzio, P., Good Governance and Poverty Some Reflections Based on UNDP’S
Experience in Mozambique . UNDP: NY

Sjahrir: Good Governance Di Indonesia Masih Utopia:Tinjauan Kritis Good


Governance , Jurnal Transparansi, No. 14 November 1999

Anda mungkin juga menyukai