Anda di halaman 1dari 24

Deontologi Dalam Praktik Etika

DEONTOLOGI DALAM PRAKTIK ETIKA


(Studi Pada Auditor Internal Sebuah BUMN di Gresik)
Jenis Sesi Paper: Poster Paper

Erlina Diamastuti
Accounting Department, Universitas Internasional Semen Indonesia
erlina.diamastuti@uisi.ac.id

Abstract: This study aims to describe the ethics of the internal auditors in one of the state-owned
enterprises in the city of Gresik and interpret the code of conduct in professional activities. This
research uses non-positivistic with intrepreif approach to bridge between informant, writer and
surrounding environment. The objective is that the reality of the findings that arise is consistent
with the actual conditions.
The informants used in this study were 6 (six) people. The results of this study indicate
that 1) Ethical dilemma is the base of a conflict of interest 2) Ethical dilemma can be minimized
by implementation of code of ethics 3) Code of ethics is translated as a liability rather than an
awareness, so that the existing code of ethics is understood as Deontology.
This study concludes the ethics of an action, has nothing to do with the individual or
community objectives. The consequences of an action should not be taken into account to assess
the ethical or otherwise of an action. This statement is a concept of deontology ethics.
Deontology ethics is generally present when an organization must adopt its code of ethics.

Keywords: Deontology, Ethics, Ethical dilemmas, Code of Ethics

1. Pendahuluan

Seperti kita ketahui salah satu fungsi manajemen sebuah organisasi adalah fungsi pengendalian

selain fungsi perencanaan dan fungsi manajemen lainnya. Dalam fungsi pegendalian inilah peran akuntan

internal perusahaan dengan label seorang Auditor Internal sangat dibutuhkan. Kiprah mereka turut

menentukan kesehatan sebuah perusahaan. Keberadaan Auditor Internal juga tidak terlepas dari adanya

kebutuhan manajemen akan transparasi dan pertanggungjawaban atas kinerja perusahaan. Auditor

Internal harus mampu berperan menjadi mediator bagi perbedaan-perbedaan kepentingan antar berbagai

Simposium Nasional Akuntansi XX, Jember, 2017 1


Deontologi Dalam Praktik Etika

pelaku bisnis dan masyarakat. Oleh sebab itu sangatlah tidak mengherankan bila seorang Auditor Internal

haruslah mempunyai perilaku yang baik dan etis.

Di Indonesia, isu mengenai etika akuntan berkembang seiring dengan terjadinya beberapa

pelanggaran etika, baik yang dilakukan oleh akuntan publik, akuntan intern, maupun akuntan pemerintah

(Ludigdo, 2007). Perilaku etis dan tidak etis merupakan isu penting saat ini bagi profesi akuntan di mana

Auditor Internal termasuk di dalamnya. Perilaku tidak etis mengarah pada bagaimana perilaku soseorang

yang tidak sesuai dengan norma atau peraturan yang berlaku. Perilaku tidak etis juga disebabkan oleh hal

yang substansial yaitu sikap dan tanggung jawab moral perusahaan. Perusahaan memiliki tanggung jawab

moral dan sosial yang pada tingkat operasional, tanggung jawab moral diwakili oleh manajemen (Wilopo,

2009).

Pengembangan studi yang berkaitan dengan perilaku etis telah banyak dilakukan, namun sampai

dengan saat ini studi tentang hal ini masih saja tetap menjadi bahan perbincangan. Hal ini dikarenakan

perilaku tidak etis masih mendominasi studi-studi yang selalu berkaitan dengan bisnis. Griffin dan Ebert

(2007) menyatakan bahwa perilaku tidak etis adalah perilaku yang tidak sesuai dengan norma-norma

sosial yang diterima secara umum, sehubungan dengan tindakan yang bermanfaat atau yang

membahayakan. Untuk itu perilaku tidak etis harus diimbangi dengan dengan kesadaran etis.

Pengembangan dan kesadaran etis memainkan peran kunci dalam semua area profesi akuntan

(Nugrahaningsih, 2005). Seorang akuntan tak terkecuali Auditor Internal harus memiliki kewajiban untuk

menjaga perilaku etis dimana mereka tinggal dan bekerja. Auditor Internal memiliki suatu tanggungjawab

untuk menjadi seseorang yang berkompeten, menjaga integritas serta objektivitas mereka. Auditor

Internal mempunyai kewajiban untuk menjaga standar perilaku etis tertinggi mereka kepada organisasi di

mana mereka bernaung, profesi mereka, masyarakat dan diri mereka sendiri.

Simposium Nasional Akuntansi XX, Jember, 2017 2


Deontologi Dalam Praktik Etika

Pada beberapa studi yang merujuk tentang sikap etis dalam profesi akuntan memperlihatkan

bahwa akuntan termasuk Auditor Internal mempunyai kesempatan untuk melakukan tindakan tidak etis

dalam profesi mereka (Shafer, 2015). Oleh sebab itu, kesadaran beretika dalam sebuah perilaku seorang

Auditor Internal dan sikap profesional memegang peran yang sangat besar bagi dirinya (Widyasari and

Purwanto, 2011). Hal ini dikarenakan dalam menjalankan profesinya seorang Auditor Internal secara

terus menerus harus berhadapan dengan dilema etika yang melibatkan pilihan antara nilai-nilai yang

benar dan tanggung jawab pada perusahaan yang mempekerjakannya.

Auditor Internal sebagai karyawan akan bertanggungjawab kepada manajemen perusahaan, tetapi

juga mempunyai tanggungjawab terhadap profesi dan publik serta kepada dirinya sendiri. Kemampuan

Auditor Internal dalam mengambil suatu keputusan ketika menghadapi dilema etika, akan bergantung

pada berbagai hal. Ini di karenakan akan bersinggungan dengan perusahaan tempat bekerja. Manajemen

perusahaan dapat mempengaruhi Auditor Internal dalam suatu penugasan/pemeriksaan, akan tetapi

mereka juga mempunyai tanggungjawab etika dalam pelaksanaan penugasan/pemeriksaan tersebut. Hal

inilah yang menyebabkan dilematis bagi para Auditor Internal. Jika tidak mengikuti keinginan

manajemen maka akan mendapat “sanksi”, tetapi jika mengikuti keinginan manajemen, maka akan

melanggar etika profesi mereka. Oleh sebab itu, dilema etika akan mampu memengaruhi pengambilan

keputusan yang sebelumnya etis menjadi tidak etis (Abdurrahman dan Yuliani, 2011). Untuk itu, supaya

mampu menjalankan peran tersebut, Auditor Internal harus selalu menjaga mutu jasa yang diberikannya

dan menjaga independensi, integritas, dan objektivitas profesinya.

Pada beberapa negara, dilema etika menyebabkan berbagai skandal akuntan (Diamastuti, 2014).

Maraknya skandal akuntan yang melibatkan Auditor Internal disebabkan karena sering menyalahi

kepercayaan yang diberikan oleh pihak pemegang saham, manajemen ataukah masyarakat. Skandal

akuntan selalu dimulai dengan adanya berbagai tekanan baik yang berasal dari diri sendiri maupun dari

Simposium Nasional Akuntansi XX, Jember, 2017 3


Deontologi Dalam Praktik Etika

lingkungan sekitarnya (Diamastuti, 2015). Goleman (1998) seperti dikutip Nezhad et al (2015)

menyatakan bahwa tekanan akan selalu menciptakan konflik dan ketegangan, ketegangan bisa

menimbulkan rasa emosional. Hal ini dikarenakan, seorang Auditor Internal dalam menjalankan

profesinya selalu dihadapkan pada sebuah konflik kepentingan dan dilema etika yang melibatkan pilihan

antara nilai-nilai yang bertentangan (Husein, 2003). Untuk meminimlisir berbagai konflik tersebut,

beberapa perusahaan menggunakan berbagai aturan yang dituangkan dalam sebuah kode etik (Diamastuti,

2014).

Bekuun (1997) menyebutkan bahwa kode etik merupakan pedoman etika yang paling populer di

kebanyakan organisasi. Sedangkan menurut Triyuwono (2000) kode etik akuntan adalah peraturan yang

harus ditegakkan dan secara sadar harus diikuti oleh akuntan. Kode etik akuntan disusun dengan

memperhatikan kepentingan baik internal maupun eksternal, sehingga kode etik yang dirumuskan selalu

merefleksikan standar moral universal (Ludigdo, 2007). Namun, White dan Lam (2000) menyatakan

penciptaan kode etik jarang dapat mengurangi dilema etis dalam organisasi. Hal ini disebabkan, kode etik

sangat sulit dilakukan karena sulitnya menentukan reward dan pusnisment (Diamastuti, 2015). Satu hal

yang lebih mengejutkan, menurut White dan Lam (2000) perusahaan yang memiliki kode etik tertulis

lebih banyak melakukan tindakan yang salah daripada perusahaan lainnya. Ludigdo (2007) menyikapi

temuan tersebut sebagai ketiadaan pemahaman bagaimana dilema etis itu terjadi dan mengapa karyawan

cenderung untuk berperilaku tidak etis. Belkaoui (1992) juga menyatakan bahwa kode etik seharusnya

dapat memandu mereka, namun pada kenyataannya mereka justru tidak pernah tahu jika dirinya diatur

oleh kode etik. Kode etik umumnya meliputi tanggungjawab akuntan sebagai bagian organisasi, adanya

kepentingan publik di dalamnya (Primaraharjo and Handoko, 2011).

Berbagai dilema etika yang dihadapi oleh para Auditor Internal teryata tetap menjadi konflik

organisasional-profesional yang tidak dapat dipecahkan sampai dengan saat ini. Tekanan organisasional

Simposium Nasional Akuntansi XX, Jember, 2017 4


Deontologi Dalam Praktik Etika

untuk berperilaku etis yang terjadi tidak memastikan bahwa bawahan akan selalu mengalami keadaan

konflik emosional. Jika Auditor Internal tidak mempunyai standar etis tinggi, mereka akan merasionalkan

perilaku tidak etis sebagai bagian yang dibutuhkan dalam pekerjaannya atau lingkungan bisnis dan

diharapkan dapat menghindari konflik internal (Diamastuti, 2015). Sumber konflik yang terjadi antara

organisasi-profesional pada umumnya adalah tekanan pihak manajemen perusahaan untuk melakukan

perilaku tidak etis, seperti manipulasi hasil laporan keuangan. Tekanan tersebut akan secara langsung

menyebabkan konflik pada profesionalisme seperti otonomi dalam melayani kepentingan publik.

1.1. Pertanyaan Penelitian

Berbagai tekanan yang dialami oleh para Auditor Internal melatarbelakangi penulis dan memotivasi

penulis untuk melakukan studi ini. Selain tekanan yang dialamai oleh para Auditor Internal, studi ini

juga ingin mendeskripsikan bagaimana kode etik yang ada dapat menjadi guidance bagi para Auditor

Internal dalam menghadapi tekanan tersebut. Untuk itu pertanyaan penelitian dalam studi ini adalah

Bagaimana para Auditor Internal mendeskripsikan etikanya serta memaknai kode etik dalam

aktivitas profesinya.

1.2. Tujuan Penelitian

Studi ini bertujuan untuk mendeskripsikan perilaku Auditor Internal dan memaknai kode etik

dalam aktivitas profesianya

2. Menggali Serpihan Teori Dalam Praktik Etika Auditor Internal di BUMN

Pada bagian ini, penulis memulai perjalanan studi dengan melakukan beberapa interview pada

informan yang bertujuan untuk menggali realitas praktik etika yang dijalankan oleh Auditor Internal pada

salah satu BUMN di kota Gresik. Tujuan penggalian realitas praktik ini untuk memotret teori dalam

praktik etika para Auditor Internal. Praktik Etika menjadi sangat penting karena Auditor Internal selalu

Simposium Nasional Akuntansi XX, Jember, 2017 5


Deontologi Dalam Praktik Etika

bergesekkan dalam menjalankan tugasnya dengan pihak manajemen perusahaan. Dalam satu sisi seorang

Auditor Internal harus menegakkan integritas dan independensi, namun di lain pihak mereka dibayar oleh

perusahaan di mana pimpinan perusahaan tersebut juga termasuk auditee. Di sinilah peran etika sangat

dibutuhkan, perilaku etis menjadi penangkal bagi segala tekanan dan kode etik adalah alat pengendali diri

mereka.

2.1. Peran Auditor Internal dalam Sebuah Organisasi Bisnis

Auditor Internal yang dimaksud dalam studi ini adalah akuntan yang bekerja pada

departemen/bagian sistem pengendalian internal pada suatu organisasi atau perusahaan. Tugas pokok

yang diemban Auditor Internal adalah melakukan proses pengendalian atas semua transaksi yang

berkaitan dengan sistem pelaksanaan organisasi bisnis dan transaksi keuangan (Mihret et al., 2010),

namun tidak semua Auditor Internal adalah seorang akuntan. Berikut ini pernyataan dari salah satu

informan yaitu Bapak Giri Setiawan selaku kepala seksi pada bagian produksi untuk Pengendalian

Internal BUMN di Gresik:

“saya bukan akuntan, karena saya seorang insinyur. Meskipun pekerjaan saya melakukan audit
terhadap proses produksi, namun saya bukan Auditor Internal seperti yang Ibu maksud. Adi
mungkin agak berbeda skup yang kami periksa”

Penulis menyadari bahwa tidak semua Auditor Internal adalah para akuntan. Kondisi ini dapat terjadi bila

kita kembalikan pada siapa sebenarnya akuntan. Akuntan adalah mahasiswa yang telah lulus dari program

studi akuntansi dan mempunyai sertifikat profesi sebagai seorang akuntan. Menyadari bahwa infroman di

atas tidak sesuai dengan kriteria infroman yang telah ditentukan maka penulis hanya menggarisbawahi

informan tersebut sebagai bagian triangulasi data. Walaupun terkadang penulis selalu mendeskripsikan

bahwa Auditor Internal adalah salah satu profesi dari akuntan manajeman yang juga harus mempunyai

komitmen akan profesionalitasnya.

Simposium Nasional Akuntansi XX, Jember, 2017 6


Deontologi Dalam Praktik Etika

Seperti yang diungkapkan oleh Sawyer (2005) bahwa Auditor Internal harus mempunyai

komitmen profesional sebagai tanggungjawab profesinya yang dapat dilihat dari kemampuan (keahlian

dan ketelitian) dan merupakan tanggung jawab untuk melaksanakan pemeriksaan secara tepat dan sesuai

dengan standar profesional dan kode etik yang berlaku. Aturan dalam kode etik yang berkaitan dengan

perilaku seorang Auditor Internal harus berlandaskan integritas, objektivitas, kerahasiaan, kompetensi dan

independensi. Aturan ini harus dilaksanakan oleh semua Auditor Internal untuk menghindari terjadinya

kecurangan. Untuk itu, pengendalian yang dilakukan oleh seorang Auditor Internal adalah tugas utama

untuk meminimalisir sebuah kecurangan. Kecenderungan melakukan kecurangan dipengaruhi oleh ada

atau tidaknya peluang atau kesempatan. Peluang yang besar membuat kecenderungan kecurangan

akuntansi lebih sering terjadi, dan sebaliknya. Berikut pernyataan Okky Assegaf dan Diana Pricilia

berkaitan dengan hal ini

“saya sering menemukan ada beberapa anggaran yang diajukan namun tidak sebanding dengan
realitas. Maksudnya adalah anggaran yang diajukan sebenarnya bukannya anggaran yang
dibutuhkan oleh departemen tersebut. Yang mengherankan hal ini sering dilakukan berulangkali
oleh departemen yang sama” (Okky Assegaf).

“Peluang untuk berbuat curang biasanya dilakukan justru karena pimpinan tidak pernah
mengendalikan kinerja dari anak buahnya. Biasaya pimpinan seperti ini pasrah pada anak buah.
Jika anak buahnya bisa dipercaya itu tidak masalah Bu...lha kalo tidak bisa dipercaya, akhirnya
pimpinan tersebut juga harus ikut makan getah dari kesalahan anak buah” (Diana Pricilia).

Pernyataan kedua informan di atas menunjukkan bahwa tekanan selalu dialami oleh para Auditor Internal

dalam menjalankan aktivitas profesinya. Untuk itu standar etis merupakan kunci untuk meminimalkan

tekanan tersebut. Shafer (2009) menyatakan jika pegawai tidak mempunyai standar etis yang tinggi,

maka mereka akan merasionalkan perilaku tidak etis sebagai bagian yang tidak dibutuhkan dalam

pekerjaannya. Oleh sebab itu pengendalian internal yang baik adalah kunci utama standar etis sebuah

perusahaan dalam menjalankan roda usahanya. Artinya, penerapan pengendalian internal yang efektif

yang didukung dengan regulasi memadai akan mencegah berbagai bentuk overstated dan ketidakwajaran

Simposium Nasional Akuntansi XX, Jember, 2017 7


Deontologi Dalam Praktik Etika

yang merugikan berbagai pihak yang bekepentingan. Selain itu adanya pengendalian internal yang efektif,

memungkinkan terjadinya pengecekan saling silang (cross check) terhadap pekerjaan seseorang oleh

orang lain. Hal ini menurunkan peluang terjadinya kecenderungan kecurangan dan mengalokasikan

kesalahan.Wilopo (2009) juga menyatakan bahwa pengendalian internal yang efektif akan mengurangi

kecenderungan kecurangan akuntansi. Apabila hal ini dilakukan maka auditor tersebut adalah auditor

yang berintegritas, yaitu auditor yang bertindak jujur, tegas tanpa pretensi (Noviyanti, 2008). Dampaknya

dilema etika dapat diminimalkan.

2.2. Dilema Etika Sang Auditor Internal

Arranya dan Ferris pada tahun 1984 dalam Diamastuti (2015) telah menyebutkan bahwa seorang

akuntan manajemen dimana Auditor Internal juga termasuk di dalamnya lebih sering mengalami dilema

etika. Temuan ini menunjukkan adanya perbedaan antara nilai organisasional dengan profesional antara

auditor eksternal (akuntan publik) dengan Auditor Internal (akuntan manajemen). Arranya dan Ferris juga

menemukan bahwa komitmen organisasional-profesional adalah anteseden dari konflik organisasional-

profesional untuk akuntan manajemen dan akuntan publik.

Lebih lanjut, Arens (2012) menyatakan faktor yang sering menyebabkan timbulnya dilema etika

yaitu faktor lingkungan budaya, faktor lingkungan organisasi dan lingkungan profesi serta pengalaman

pribadi. Faktor-faktor tersebut juga turut berpengaruh dalam pembentukan perilaku etis Auditor Internal.

Potret mengenai fenomena ini dapat kita lihat dari informasi Ibu Santi Sardi selaku GM SPI dan Bapak

Taufan selaku staf pengendalian internal yang menjelaskan bahwa tekanan organisasional sangat

mempengaruhi dalam proses pemeriksaan laporan keuangan:

“kami di bagian Auditor Internal sangat merasakan pentingnya integritas dalam menjalankan
tugas. Namun, yang seringkali terjadi, auditee yang sudah merasa akrab dengan kami terkadang
mengabaikan batas-batas integritas tersebut. Momen-momen seperti ini, biasanya kami menjadi
stres dan merasa di bawah tekanan. Tapi kami sadar betul memang itu adalah tugas kami dan
tanggung jawab kami kepada manajemen perusahaan”.

Simposium Nasional Akuntansi XX, Jember, 2017 8


Deontologi Dalam Praktik Etika

“Pernah saya mengalami konflik internal dengan rekan sekerja yang kebetulan sebagai pihak
yang harus diperiksa laporannya, akibatnya pekerjaan saya sedikit terganggu. Untung saja, apa
yang terjadi tidak menganggu proses pemeriksaan yang saya lakukan”.

Pernyataan kedua informan di atas jelas menunjukkan bahwa mereka sangat mengalami tekanan dan

dilema etika. Hal ini dikarenakan informan tersebut selaku Auditor Internal mempunyai tanggungjawab

secara profesional terhadap pihak manajemen dan pemegang saham sehingga lebih sulit untuk bertindak

independen dibandingkan dengan auditor eksternal (Diamastuti, 2014). Berikut ini pernyataan dari Bapak

Bagus Sihabbudin selaku Kepala Biro SPI. Menurut informan, tantangan terbesar yang dialami adalah

saat menghadapi auditee yang kurang kooperatif dan mempunyai posisi yang tinggi.

“kalo auditeenya orang yang berpengaruh di lingkungan perusahaan, memang saya mengakui
agak susah apalagi kalo karakternya tertutup. Saya pernah menjadi orang yang “saklêk” pada
saat di bagian lain, namun saya mendapatkan tekanan dari kanan kiri yang menyebabkan adanya
proses yang terhenti karena sikap saya tersebut. Akhirnya saya mengubah pola aktivitas saya
tersebut, selama aktivitas yang diminta oleh manajemen masih bisa dikompromi walaupun sedikit
menyimpang, saya tidak masalah, asalkan pihak manajemen yang bertanggungjawab bukan
saya”

Informan lain (Bapak Okky Assegaf) juga menyatakan bahwa jika pihak manajemen melakukan tekanan

yang bersifat sedikit menyimpang, maka informan tersebut selalu bertanya kepada dirinya sendiri.

“selama tidak melanggar hukum dan tidak merugikan orang lain, maka saya masih bisa
melakukan pekerjaan itu. Tapi kalau sudah bau-bau sesuatu yang dilarang apalagi ada aturan
yang mendasari, ya lebih baik kita tidak melaksanakan, meskipun pekerjaan kita yang menjadi
taruhan ”

Berkaitan dengan dua pernyataan di atas, maka penulis menggarisbawahi bahwa manajemen perusahaan

tidak mendukung praktik etika yang dilakukan oleh Auditor Internal perusahaan tersebut di mana tidak

terdapat kesesuaian dengan standar etisnya. Hal ini diperkuat dengan pernyataaan White dan Lam (2000),

individu lebih mungkin menghadapi dilema etika jika 1) organisasi tidak memberikan means untuk

mencegah perilaku tidak etis, 2) individu mempunyai motivation personal untuk diuntungkan dari

tindakan etis, 3) posisi pekerjaan memberikan opportunity untuk terlibat praktik tidak etis. Berikut

komponen dilema etika seperti yang diungkapkan oleh White and Lam (2000):

Simposium Nasional Akuntansi XX, Jember, 2017 9


Deontologi Dalam Praktik Etika

Gambar 1: Komponen Dilema Etika

Organizational climate

Means

Dilema Etika

Motivations Opportunity

Individual Needs Job Positions

Sumber: White dan Lam (2000) dalam Diamastuti (2014)

Skema di atas menunjukkan ada beberapa faktor yang menyebabkan seseorang mengalami dilema etika,

salah satunya adalah means. Means merupakan alat infrastruktur organisasi yang terdiri dari sistem,

kebijakan dan prosedur yang telah ditetapkan. Ludigdo (2007) menyebutkan bahwa kode etik termasuk di

dalam arti means. Jika means yang dimaksud oleh White dan Lam (2000) ataupun Ludigdo (2007) adalah

kode etik, maka means di BUMN adalah standar akuntansi, kebijakan perusahaan (disiplin pegawai) dan

kode etik perusahaan (Diamastuti, 2014). Artinya kode etik adalah pintu masuk bagi para Auditor Internal

untuk menegakkan standar etis bagi dirinya dan profesinya. Nurlan (2011) mengulas kode etik sebagai

berikut: “Kode etik memainkan peranan penting dalam membentuk etika dalam dunia bisnis, khususnya

dalam profesi akuntan...”. Pernyataan Nurlan (2011) menunjukkan bahwa kode etik sangat dibutuhkan

oleh profesi akuntan. Berikut adalah beberapa informasi mengenai keberadaan kode etik di BUMN di

Gresik:

Simposium Nasional Akuntansi XX, Jember, 2017 10


Deontologi Dalam Praktik Etika

“ ...terkadang saya merasa sangat membutuhkan aturan yang jelas dan khusus yang berkaitan
dengan aktivitas yang saya lakukan. Saya merasa bahwa aturan perusahaan terkadang hanya
untuk orang-orang seperti saya, tapi tidak untuk atasan (keterangan Bapak Okky Assegaf).

“...kode etik itu hanya simbol aja bu...yang berlaku disini bukan kode etik tapi aturan dari
atasan. Maksud saya aturan atasan tersebut yang dijadikan pedoman.lha kalo ngak ikut perintah
atasan meskipun melanggar, ya besok siap-siap di pindah aja (keterangan Diana Pricilia)”.

Informasi dari beberapa informan tersebut menunjukkan Auditor Internal di BUMN Gresik mempercayai

bahwa kode etik perusahaan dapat memandu mereka dalam beraktivitas, namun adapula informan yang

menyatakan bahwa mempelajari kode etik perusahaan adalah suatu hal yang membuang-buang waktu

saja. Menurut mereka kode etik tersebut memang sangat dibutuhkan, karena dapat digunakan untuk

mengarahkan individu yang tergabung dalam profesi Auditor Internal dalam perilaku etis, agar keputusan

yang dibuat juga keputusan yang etis. Namun, permasalahannya mereka tidak paham dengan nilai etika

yang seharusnya ada dalam organisasi tersebut dan setiap individu yang berada di dalamnya

3. Metode

3.1. Pendekatan Penelitian

Studi ini melihat realitas yang ada menggunakan pendekatan nonpositivistik. Penulis merasa yakin

dengan pendekatan non-positivistik, karena pendekatan ini lebih mampu untuk menghadapi

ketidakleluasaan dunia sosial dalam kehidupan sehari-hari. Studi ini juga melihat realitas dalam kacamata

interpretif karena studi ini selalu memandang realitas sosial sebagai sesuatu yang holistik/utuh, kompleks,

dinamis, penuh makna dan hubungan gejala besifat interaktif (reciprocal). Pendekatan interpretif adalah

pendekatan untuk mencari makna, artinya melekat karakter hermeneutik dalam penafsiran terhadap pesan,

teks atau analog teks (Salviana, 2009).

Simposium Nasional Akuntansi XX, Jember, 2017 11


Deontologi Dalam Praktik Etika

3.2. Sumber Data dan Informan Peneltian

Menurut Moloeng (2007), sumber data paling utama dari penelitian dengan pendekatan

nonpositivistik adalah kata-kata dan tindakan. Selebihnya adalah tambahan seperti dokumen dan lain-lain.

Sumber dan jenis data dalam studi ini diperoleh dari Key Person (informasi kunci) yaitu Auditor Internal

yang lulus sarjana dari program studi akuntansi. Seperti kita ketahui pada beberapa perusahaan, pegawai

bagian Sistem Penedealian Internal di mana audtor internal bernaung, juga terdapat staf yang berasal dari

program studi selain akuntansi. Berdasarkan pendekatan yang telah dilaksanakan pada studi pendahuluan,

maka studi ini menentukan beberapa informan yang diharapkan dapat memberikan petunjuk agar arah

studi ini dapat ditemukan. Kemudian dari beberapa informan tersebut penulis mulai melanjutkan

pengamatan. Informan dalam studi ini 6 (enam) orang. Triangulasi data digunakan untuk menentukan

validitas data. Delapan informan tersebut tidak ditampilkan dalam nama yang sesungguhnya

(pseudonym). Artinya penulis tidak akan menggunakan nama asli informan, melainkan nama samaran

atau inisial. Hal ini dimaksudkan untuk menjaga kerahasiaan identitas informan.

TABEL 1
KEY INFORMAN

Nama Job Desk


Ibu Santi Sardi GM Sistem Pengendalian Internal (SPI)
Bapak Bagus Sihabudin Kepala Biro SPI
Bapak Taufan Ardiansyah Kepala Seksi SPI bagian Produksi
Ibu Diana Pricilia Kepala Regu SPI
Bapak Okky Assegaf Staf pegawai SPI
Bapak Giri Setiawan Kepala Seksi bagian Produksi (bukan akuntan)

Sumber: Penulis

3.3. Pisau Analisis

Studi ini menggunakan analisa interaktif dari Miles dan Huberman seperti yang dikutip oleh

Somantri (2010). Dalam analisis ini dibagi menjadi 4 komponen pokok yaitu a) pengumpulan data,

Simposium Nasional Akuntansi XX, Jember, 2017 12


Deontologi Dalam Praktik Etika

merupakan proses awal dalam studi ini, b) Reduksi data, merupakan proses seleksi, memfokuskan pada

realitas praktik, penyederhanaan dan abstraksi data yang ada dalam files note. Proses ini berlangsung

terus menerus selama penelitian berlangsung, 3) sajian data, merupakan rakitan organisasi informasi yang

memungkinkan kesimpulan deskripsi berbentuk narasi yang memungkinkan simpulan dilakukan, 4)

penarikan simpulan.

Teknik Pengumpulan Data. Penulis datang ke tempat di mana subyek yang hendak diteliti,

mengamati dan berinteraksi dengan informan dalam waktu 6 bulan. Setelah memperoleh data yang cukup

penulis kemudian secara sistematik menganalisis dengan metode yang tepat, kemudian

menginterpretasikannya. Setelah penulis melakukan semua langkah tersebut, kemudian melaporkannya

sesuai dengan data atau fenomena yang diperoleh di lapangan. Studi ini menggunakan beberapa teknik

yang relevan dengan jenis penelitian ini antara lain: Teknik Observasi. Teknik ini dilakukan dengan cara

observasi atau pengamatan guna melihat kegiatan keseharian dengan menggunakan panca indera sebagai

alat bantunya (Sugiyono, 2010). Maksud dengan panca indera adalah penulis datang ke salah satu BUMN

di Gresik untuk menggaet informan agar mau dijadikan aktor sosial dalam studi ini dan mengamati

kegiatan yang dilakukan oleh beberapa informan. Alasan penulis menggunakan salah satu BUMN di

Gresik sebagai situs penelitian karena penulis meyakini bahwa Auditor Internal pada BUMN tersebut

sudah dapat mewakili klasifikasi dari informan yang ada di Indonesia. Selanjutnya penulis melakukan

pendekatan kepada informan agar bersedia menjadi informan kunci. Pendekatan ini dilakukan dengan

maksud agar penulis dapat dengan mudah menggali informasi tanpa adanya pemaksaan

Teknik Wawancara. Pada proses pengumpulan data berikutnya dilakukan dengan teknik

wawancara. Kegiatan wawancara pada informan dilakukan untuk mendapatkan informasi secara langsung

dengan mengungkapkan pertanyaan pada para informan (Susila, 2016). Pada tahapan ini, setelah

melakukan pengamatan pada Auditor Internal, kemudian penulis memilih beberapa informan untuk

Simposium Nasional Akuntansi XX, Jember, 2017 13


Deontologi Dalam Praktik Etika

melakukan wawancara. Wawancara dilakukan tidak terstruktur namun mendalam. Artinya, penulis

meminta kesediaan informan menjawab pertanyaan tanpa terbebani sehingga semua pernyataannya

meluncur dengan baik tanpa sebuah tekanan. Penulis berkomunikasi dengan informan melalui

pembicaraan yang santai terlebih dahulu kemudian penulis mulai meminta informan untuk memberikan

penjelasan secara detail seolah-olah tidak sedang melakukan wawancara. Berdasarkan 6 (enam) informan

kunci yang telah ditentukan dan sesuai dengan pisau analisisnya, maka studi ini melakukan tahapan untuk

mereduksi hasil wawancara yang tidak sesuai dan fenomena yang ada serta melakukan tahapan

penyeleksian untuk memotret realitas yang ada sebagai gambaran yang utuh.

Teknik Dokumentasi. Teknik dokumentasi dilakukan dengan mencari data dan berupa catatan,

transkrip, buku, majalah, prasasti, notulen rapat, agenda, dan lain sebagainya (Arikunto, 2004). Pada

tahapan ini, penulis melakukan pencarian beberapa literatur yang berkaitan dengan topik studi ini,

kemudian penulis melakukan pendokumentasian untuk menunjukkan bahwa penulis telah melakukan

tahapan baik pengamatan maupun wawancara.

4. Memaknai Praktik Etika dan Kode Etik Auditor Internal dalam Bingkai Deontologi

White dan Lam (2000) seperti yang dikutip Ludigdo (2007) dan Diamastuti (2014) menyatakan,

penciptaan kode etik jarang dapat mengurangi dilema etis dalam organisasi. Hal ini disebabkan, sangat

jarang perusahaan mengimplementasikan program pelatihan etika bagi karyawannya. Selanjutnya Chan

and Leung (2006) menyatakan keberadaan kode etik dalam perusahaan tidak berdampak signifikan

terhadap perilaku etis dan kode etik belum dapat menuntun karyawan atau perusahaan untuk berperilaku

etis sebagaimana diharapkan oleh stakeholdersnya. Satu hal yang lebih mengejutkan, menurut White dan

Lam adalah perusahaan yang memiliki kode etik tertulis lebih banyak melakukan tindakan yang salah

Simposium Nasional Akuntansi XX, Jember, 2017 14


Deontologi Dalam Praktik Etika

daripada perusahaan lainnya. Ludigdo (2007) menyikapi temuan tersebut sebagai ketiadaan pemahaman

bagaimana dilema etis itu terjadi dan mengapa karyawan cenderung untuk berperilaku tidak etis.

Menurut penulis, hasil temuan White dan Lam (2000) yang telah dikutip oleh Ludigdo (2007)

disebabkan karena adanya suatu tekanan yang berada di dalam kode etik tersebut. Kode etik akuntan

manajemen selalu digambarkan sebagai suatu kewajiban dan keharusan untuk menjalankan dan

mengimplementasikan etika dalam aktivitas profesi akuntan manajemen. Hal ini menunjukkan semakin

kuat keberadaan kode etik semakin kencang keinginan untuk melanggarnya. Kondisi ini tentunya sangat

ertentangan dengan hasrat dan keinginan untuk berperilaku etis. Sehingga dapat digarisbawahi bahwa

ketaatan para akuntan terhadap kode etik masih menjadi pro dan kontra.

Pro dan kontra mengenai kode etik akuntan manajemen memang akan selalu tampak dalam

aktivitas organisasi, karena etika dalam berbisnis tidak pernah terlepas dari filsafat etika deontologi.

Menurut Belkaoui (1992) dalam Triyuwono (2000: 270) menyebutkan:

“Etika yang diimplementasikan dalam bidang akuntansi bersifat deontologis (non-


konsekuentalisme); ini merupakan perspektif etika yang berpandangan bahwa konsekuensi
tindakan dan peraturan bukan hanya merupakan kriteria untuk menentukan moralitas dari suatu
tindakan...”

Triyuwono (2000) melanjutkan, konsep deontologisme dalam akuntansi dapat ditemukan dalam

peraturan profesionalisme akuntansi, seperti kode etik akuntan manajemen dan Auditor Internal.

Peraturan ini pada umumnya meliputi tanggung jawab akuntan sebagai bagian dari organisasi, adanya

kepentingan publik di dalamnya, integritas dalam memberikan sebuah kepercayaan publik, objektivitas

serta independensi (Belkaoui, 1992). Artinya, pandangan yang dikemukan oleh Belkaoui (1992) maupun

Triyuwono (2000) menunjukkan bahwa etika adalah sebuah peraturan yang harus ditegakkan, dan secara

sadar harus diikuti oleh akuntan.

Simposium Nasional Akuntansi XX, Jember, 2017 15


Deontologi Dalam Praktik Etika

Kondisi ini nampak pula dalam realitas praktik yang ada pada divisi Sistem Pengendalian Internal

di salah satu BUMN di kota Gresik. Etika deontologi yang dipopulerkan oleh Immanuel Kant sangat

berbeda dengan teori etika lainnya. Etika deontologi menyatakan bahwa etis tidaknya suatu tindakan,

tidak ada kaitannya dengan tujuan individu maupun masyarakat (egoisme dan utiliterianisme),

konsekuensi ataupun akibat dari tindakan tersebut. Konsekuensi suatu tindakan tidak boleh menjadi

pertimbangan untuk menilai etis atau tidaknya suatu tindakan. Suatu tindakan tidak pernah menjadi baik

karena hasilnya. Hasil baik bukanlah suatu alasan untuk membenarkan suatu tindakan, melainkan hanya

karena kita wajib melaksanakan tindakan tersebut demi kewajiban itu sendiri. Contoh, kisah RobinHood

dengan tugas mencuri barang orang-orang kaya dan diberikan kepada si miskin. Melihat tujuannya kita

mengatakan bahwa apa yang dilakukan oleh Robin Hood adalah tugas mulia dan bertujuan baik, namun

dilihat dari tindakan, maka tidak satu orangpun membenarkan tindakan mencuri tersebut.

Atas dasar inilah, menurut Kant tindakan yang baik adalah tindakan yang tidak saja sesuai dengan

kewajiban melainkan juga dijalankan demi kewajiban. Secara singkat paham Kant menpunyai tiga

prinsip yang harus dipenuhi yaitu 1) supaya tindakan mempunyai nilai moral, maka tindakan tersebut

harus dijalankan berdasarkan kewajiban, 2) nilai moral dari tindakan tersebut tidak tergantung pada

pencapaian tujuan, melainkan tergantung pada kemauan baik yang mendorong seseorang melakukan

tindakan tersebut, 3) kewajiban adalah hal yang niscaya dari suatu tindakan yang dilakukan berdasarkan

sikap hormat pada hukum moral universal (MacKinnon and Fiala, 2014). Jika kita melihat prinsip

yang dikemukakan oleh Kant, penulis memperoleh suatu temuan di lapangan yang menyatakan bahwa

etika bagi Auditor Internal kurang diperlukan apabila tidak ada kode etik akuntan manajemen. Menurut

beberapa informan yang memberikan pendapatnya, dikemukakan bahwa etika tidak mungkin ada tanpa

suatu aturan dan aturan di BUMN tersebut adalah suatu kewajiban yang harus dijalankan oleh semua

Simposium Nasional Akuntansi XX, Jember, 2017 16


Deontologi Dalam Praktik Etika

pihak. Pernyataan ini mungkin lebih jelas dapat kita perhatikan dari pernyataan Direktur Utama BUMN di

Gresik pada saat acara berbuka bersama dengan seluruh pegawai perusahaan:

“Marilah kita pakai kerja keras itu sebagai sebuah kewajiban, jika kita tetapkan kerja keras
merupakan sebuah kewajiban, pada akhirnya akan menjadi kebiasaan. Dengan pola kerja keras
diharapkan seluruh pegawai akan memiliki karakter dan leadership yang kuat sehingga mampu
menyelesaikan berbagai permasalahan perusahaan”.

Himbauan di atas menunjukkan bahwa bekerja keras adalah suatu tindakan dan tindakan ini akan

mempunyai nilai moral apabila berdasarkan suatu kewajiban. Kewajiban yang dilakukan secara teratur

akan menjadi suatu kebiasaan. Harapannya adalah kebiasaan ini menjadi kebiasaan yang baik.

Pernyataan Direktur Utama tersebut, jika ditafsirkan dalam paham Immanuel Kant dapat dinyatakan

sebagai berikut: “kemauan baik adalah syarat mutlak untuk bertindak secara moral”.

Bekerja keras adalah suatu proses yang menuju pada kemauan baik, karena dengan bekerja keras

diperoleh suatu hasil yang maksimal. Hasil yang maksimal akan berbuah suatu kebahagian dan

kebahagiaan adalah tujuan hidup setiap individu. Jadi, dalam hal ini etika deontologi lebih berpedoman

pada proses, bukan pada hasil. Proses yang baik akan menghasilkan pada hasil yang baik. Proses yang

baik hanya dapat dilaksanakan dengan suatu kemauan yang kuat, kemauan yang kuat bisa mengarah pada

suatu kewajiban, dan kewajiban yang dilaksanakan dengan sungguh-sungguh akan berdampak positif bagi

diri maupun orang lain. Untuk itu, Kant menyatakan bahwa tindakan yang baik adalah tindakan yang

tidak saja sesuai dengan kewajiban melainkan juga dijalankan demi kewajiban. Demikian halnya, semua

tindakan yang dijalankan sesuai dengan kewajiban tetapi tidak dijalankan berdasarkan kemauan baik

melainkan hanya karena dipaksa atau terpaksa, maka dianggap sebagai tindakan tidak baik.

Jika kita tilik dari pemahaman yang dilakukan oleh Kant dalam teori etika deontologi, maka

penulis sepakat untuk mengkaitkan etika deontologi dengan penerapan kode etik bagi internal auditor.

Kode etik dibuat dan ditujukan agar ditaati bagi siapa saja yang berada dalam profesi tersebut. Hal ini

Simposium Nasional Akuntansi XX, Jember, 2017 17


Deontologi Dalam Praktik Etika

menunjukkan, ada suatu kewajiaban bagi siapa saja yang berprofesi sebagai Auditor Internal untuk

menjalankan kode etik tersebut. Maksud dibuat kode etik adalah untuk memberikan suatu rel atau koridor

bagi akuntan manajemen agar tidak menyimpang yang diartikan sebagai kemauan baik dalam etika

deontologi. Untuk itu, setiap akuntan manajemen berkewajiban untuk menjalankan kode etik tersebut

dengan suatu kesadaran tanpa adanya paksaan. Harapannya, kode etik tersebut dijalankan dengan niatan

baik agar hasilnya baik dan tidak terjadi penyimpangan.

Kesadaran dari dalam diri untuk melaksanakan kewajiban dalam kode etik tersebut menurut Kant

dianggap sebagai imperatif kategoris yaitu perintah tak bersyarat. Perintah tak tak bersyarat yang

dimaksud adalah hukum moral, di mana hukum moral ini selalu berlaku bagi semua orang pada segala

situasi dan tempat. Oleh sebab itu, hukum moral ini akan mengikat siapa saja dari dalam dirinya sendiri

karena hukum moral ini berasal dari dalam diri individu tersebut. Sedangkan, perintah bersyarat

(kewajiban), Kant menyebutnya sebagai imperatif hipotesis. Perintah bersyarat dalam etika Kantian

adalah perintah yang dilaksanakan jika seseorang menghendaki akibatnya atau jika akibat dari tindakan

itu merupakan hal yang diinginkan oleh orang tersebut.

Jika kita kaitkan dengan kode etik akuntan manajemen (Auditor Internal), jelas paham yang

dikemukan oleh Kant sangat terkait, karena kandungan kode etik meliputi perintah tak bersyarat

(imperatif kategoris) dan perintah bersyarat (imperatif hipotesis) (Weiss, J.W., 2014). Namun, bagaimana

jika kejadiannya adalah berlawanan yaitu secara moral (perintah tidak bersyarat) harus dilaksanakan

namun secara kewajiban (perintah bersyarat) harus ditinggalkan. Contohnya, seorang Auditor Internal

diancam akan dibunuh atau dipecat apabila dia membongkar kecurangan yang dilakukan oleh rekan

sekerjanya atau bahkan atasannya. Di satu pihak, Auditor Internal tersebut dihadapkan pada perintah atau

kewajiban untuk berkata benar dan jujur (imperatif kategoris), di lain pihak dia dihadapkan pada perintah

atau kewajiban untuk melindungi dirinya sendiri dan keluarganya (imperatif hipotesis). Namun, menurut

Simposium Nasional Akuntansi XX, Jember, 2017 18


Deontologi Dalam Praktik Etika

etika deontologi, kejujuran tetap harus ditegakkan terlepas dari akibat bagi dirinya, tapi bagaimana

dengan keselamatan Auditor Internal tersebut?. Keselamatan akuntan manajemen tersebut juga harus

dipikirkan menurut Kant, karena deontologi Kant mewajibkan seseorang untuk melindungi dirinya,

terlepas dari apakah akibatnya ia harus mendiamkan kecurangan tersebut atau tidak.

Hal inilah yang sering terjadi dalam aktivitas Auditor Internal dan mengakibatkan skandal

akuntansi yang sangat besar dampaknya. Mungkin keadaan ini yang dianggap sebagai salah satu

kelemahan dari teori etika deontologi. Oleh sebab itu, teori etika deontologi jika dikaitkan dengan kode

etik menurut beberapa informan tidak menjanjikan seseorang melakukan tindakan etis. Hal ini terjadi

apabila dalam diri individu tersebut mengalami suatu kemerosotan moral yang mungkin saja disebabkan

oleh faktor-faktor di luar perusahaan, atau melakukan suatu keputusan etis, namun akan berdampak justru

menyakitkan banyak orang.

5. Simpulan: Merenda Pernyataan dalam Sebuah Potret Etika

Auditor Internal selalu mengalami dilema etika pada saat proses pemeriksaan baik laporan

keuangan maupun laporan transaski bisnis lainnya. Tekanan organisasional dan dilema etika

menimbulkan sebuah konflik organisasional profesional dan konflik kepentingan yang sering

menyebabkan Auditor Internal bertindak secara tidak etis. Auditor Internal yang mempunyai tanggung

jawab secara profesional terhadap pihak manajemen dan pemegang saham lebih sulit untuk bertindak

independen dibandingkan dengan akuntan publik. Hal ini disebabkan segala aktivitasnya diperuntukkan

bagi pemegang saham, di mana pemegang saham lebih bertujuan untuk mencari keuntungan

dibandingkan tujuan lainnya, misalnya kesejahteraan karyawan. Oleh karena itu, perusahaan harus

mampu untuk meminimalisasi berbagai konflik dan tekanan yang ada agar tercipta suatu iklim organisasi

yang sehat. Untuk itu dibutuhkan suatu alat dan dukungan dari organisasi untuk membatasi perilaku

Simposium Nasional Akuntansi XX, Jember, 2017 19


Deontologi Dalam Praktik Etika

karyawannya agar mempunyai perilaku etis. Alat tersebut dapat berupa kode etik atau corporate credo

(Diamastuti, 2014).

Duska dan Duska (2003) menyatakan bahwa seorang akuntan membutuhkan kode etik. Kode etik

merupakan sebuah pendekatan yang memasukkan sistem etis dalam perilaku individu yang berada dalam

organisasi (White dan Lam, 2000), oleh sebab itu kode etik adalah pedoman yang paling populer di

berbagai organisasi. Perusahaan dengan kode etik secara formal mempunyai dukungan yang lebih besar

dibandingkan dengan yang tidak (Laela and Meikhati, 2014) dan mempunyai pengaruh terhadap perilaku

(Oktarini and Ramantha, 2016). Pro dan kontra mengenai kode etik memang akan selalu tampak dalam

aktivitas organisasi, karena etika dalam berbisnis tidak pernah terlepas dari filsafat etika deontologi.

Kondisi ini nampak pula dalam realitas praktik yang ada pada divisi sistem pegendalian internal di salam

satu BUMN di kota Gresik. Etika deontologi menyatakan bahwa etis tidaknya suatu tindakan, tidak ada

kaitannya dengan tujuan individu maupun masyarakat (egoisme dan utiliterianisme), konsekuensi ataupun

akibat dari tindakan tersebut. Konsekuensi suatu tindakan tidak boleh menjadi pertimbangan untuk

menilai etis atau tidaknya suatu tindakan. Suatu tindakan tidak pernah menjadi baik karena hasilnya.

Hasil baik bukanlah suatu alasan untuk membenarkan suatu tindakan, melainkan hanya karena kita wajib

melaksanakan tindakan tersebut demi kewajiban itu sendiri.

Kant menyatakan bahwa tindakan yang baik adalah tindakan yang tidak saja sesuai dengan

kewajiban melainkan juga dijalankan demi kewajiban. Demikian halnya, semua tindakan yang dijalankan

sesuai dengan kewajiban tetapi tidak dijalankan berdasarkan kemauan baik melainkan hanya karena

dipaksa atau terpaksa, maka dianggap sebagai tindakan tidak baik. Jika kita tilik dari pemahaman yang

dilakukan oleh Kant dalam teori etika deontologi, maka penulis sepakat untuk mengkaitkan etika

deontologi dengan penerapan kode etik bagi akuntan manajemen di perusahaan

Simposium Nasional Akuntansi XX, Jember, 2017 20


Deontologi Dalam Praktik Etika

Kode etik dibuat dan ditujukan agar ditaati bagi siapa saja yang berada dalam profesi tersebut.

Hal ini menunjukkan ada suatu kewajiban bagi siapa saja yang berprofesi sebagai akuntan manajemen

untuk menjalankan kode etik tersebut. Maksud dibuat kode etik adalah untuk memberikan suatu rel atau

koridor bagi akuntan manajemen agar tidak menyimpang, yang diartikan sebagai kemauan baik dalam

etika deontologi. Untuk itu, setiap akuntan manajemen berkewajiban untuk menjalankan kode etik

tersebut dengan suatu kesadaran tanpa adanya paksaan. Harapannya dengan kode etik tersebut dijalankan

dengan niatan baik agar hasilnya baik dan tidak terjadi penyimpangan.

Kedudukan etika dalam kehidupan manusia mempunyai tempat yang penting, sebagai individu

maupun masyarakat dan bangsa. Harga diri seseorang bukan ditentukan oleh kekayaan materi maupun

ketinggian intelektualnya, tetapi lebih memperhatikan masalah etikanya. Seseorang yang beretika mulia

selalu melaksanakan kewajiban-kewajibannya baik untuk dirinya, Tuhannya maupun untuk orang lain.

5.1. Implikasi

Hasil dari studi ini menunjukkan bahwa kode etik yang dilaksanakan oleh beberapa informan

masih dalam tataran kewajiban belum merujuk pada sebuah kesadaran. Artinya jika kode etik tersebut

tidak ada maka para Auditor Internal belum mempunyai pijakan yang kuat dalam menjalankan praktik

etikanya. Kode etik bukan meupakan sinyal dari praktik etika (Adam et al, 2001)

5.2. Keterbatasan

Studi ini dilakukan dengan pendekatan non-positivistik sehingga hasilnya tidak dapat

digeneralisasi. Artinya, apa yang ditemukan dilapangan tidak dapat dijadikan dasar atau panduan bagi

perusahaan lain. Temuan dalam studi ini hanya berkaitan dengan situs penelitian yaitu ssalah satu BUMN

di Gresik dengan informan yaitu Auditor Internal yang lulus dari Fakultas Ekonomi jurusan akuntansi

Simposium Nasional Akuntansi XX, Jember, 2017 21


Deontologi Dalam Praktik Etika

DAFTAR PUSTAKA

Abdurrahman dan NL. Yuliani., 2011. Determinasi Pengambilan Keputusan Etis Auditor Internal (Studi Empris
pada BUMD dan BUMN di Magelang dan Temanggung). Widya Warta. No.2. Tahun XXXV/Juli

Adams, J.S., A. Tashchian and T.H. Shore., 2001. Codes of Ethics as Signals for Ethical Behavior. Journal of
Business Ethics 29: 199:211

Arens, A.A., Elder, R.J. and Mark, B., 2012. Auditing and assurance services: an integrated approach. Boston:
Prentice Hall.

Arikunto, S., 2004. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik, Edisi IV, Rineka Cipta, Jakarta.

Beekun, R.I., 1997. Islamic Business Ethics. International Instutute of Islamic Thought, Herndon, Virginia. USA

Belkaoui, A R., 1992. The Coming Crisis in Accounting. New York; Quorum Books.

Chan, S.Y. and Leung, P., 2006. The effects of accounting students' ethical reasoning and personal factors on their
Ethical Sensitivity. Managerial Auditing Journal, 21(4), pp.436-457.

Diamastuti, E., 2014. Dilema Etika dan “ SIMBOLISME” Kode Etik Akuntan Manajemen Perspektif Kualitatif –
Fenomenologis (Studi pada sebuah BUMN di Indonesia). Prosiding 3rd Economics & Business Research
Festival 13 November. Univesitas Satyawacana

___________., 2015. Kesadaran Etis dalam Jejak Profesi Akuntan Manajemen. Studi pada Salah Satu BUMN di
Kota Gresik Jawa Timur. Prosiding Seminar Nasional dan The 2nd Call for Syariah Paper. Universitas
Muhammaadiyah Surakarta.

Duska, R F and B.S, Duska., 2003. Accounting Ethics. Blackwell Publishing Ltd. USA

Griffin, R.W. and Ebert, R.J., 1998. Business, Fourth Edition. Prentice Hall Inc. Englewood. Clift. Edisi Bahasa
Indonesia. Jilid I Alih Bahasa: Edina Cahyaningsih Jakarta. Penerbit Prenhallindo.

Husein, M.F., 2003., Pengaruh Pemahaman Kode Etik, Nilai Etis Organisasi dan Prinsip Moral terhadap Perilaku
Etis Akuntan. Jurnal Ventura. Vol 6 No.2.

Husein, M.F., 2008. Keterkaitan Faktor-Faktor Organisasional, Individual, Konflik Peran, Perilaku Etis dan
Kepuasan Kerja Akuntan Manajemen. Jurnal Manajemen Teori dan Terapan| Journal of Theory and
Applied Management, 1(1).

Ludigdo, U., 2007. Paradoks Etika Akuntan. Penerbit Pustaka Pelajar. Yogyakarta.

MacKinnon, B. and Fiala, A., 2014. Ethics: Theory and contemporary issues. Nelson Education.

Mihret, D.G., James, K. and Mula, J.M., 2010. Antecedents and organisational performance implications of internal
audit effectiveness: some propositions and research agenda. Pacific Accounting Review, 22(3), pp.224-252.

Moleong, L J., 2005. Metodologi Penelitian Kualitatif. Edisi revisi. Remaja Rosdakarya. Bandung.

Simposium Nasional Akuntansi XX, Jember, 2017 22


Deontologi Dalam Praktik Etika

Nezhad, H., Marjani, M. and Najafi, A., 2015. A study on relationship between emotional intelligence and
entrepreneurship of trainees in vocational and technical organization. Management Science Letters, 5(5),
pp.501-506.

Noviyanti, S., 2008. Skeptisme Profesional Auditor Dalam Mendeteksi Kecurangan. Jurnal Akuntansi dan
Keuangan Indonesia, 5(1), pp.102-125.

Nugrahaningsih, P., 2005. Analisis Perbedaan Perilaku Etis Auditor di Kantor Akuntan Publik dalam Etika Profesi
(Studi terhadap Peran Faktor-faktor individual: Locus of Control, Lama Pengalaman Kerja, Gender, dan
Equity Sensitivity). Proceeding Simposium Nasional Akuntansi VIII Solo: 617-630.

Nurlan, A.N.D.I., 2011. Persepsi Akuntan Dan Mahasiswa Jurusan Akuntansi Terhadap Kode Etik Ikatan Akuntan
Indonesia (Doctoral dissertation).

Oktarini, K. and Ramantha, I.W., 2016. Pengaruh Pengalaman kerja dan Kepatuhan terhadap Kode Etik pada
Kualitas Audit melalui Skeptisisme Profesional Auditor. E-Jurnal Akuntansi, 15(1), pp.754-783.

Primaraharjo, B. and Handoko, J., 2011. Pengaruh Kode Etik Profesi Akuntan Publik Terhadap Kualitas Audit
Auditor Independen di Surabaya. Jurnal Akuntansi Kontemporer, 3(1), pp.27-51.

Salviana, V. DS. 2009. Pendekatan Interpretif Dalam Ilmu-Ilmu Sosial. Jurnal SALAM Volume 12 Nomor 2

Sawyer, L.B., Dittenhofer, M.A. and Scheiner, J.H., 2005. Audit Internal Sawyer. Edisi Kelima. Jakarta: Salemba
Empat.

Shafer, W.E., 2009. Ethical climate, organizational-professional conflict and organizational commitment: A study of
Chinese auditors. Accounting, Auditing & Accountability Journal, 22(7), pp.1087-1110.

__________., 2015. Ethical climate, social responsibility, and earnings management. Journal of Business Ethics,
126(1), pp.43-60.

Somantri, G.R., 2010. Memahami metode kualitatif. Makara Hubs-Asia, 8(3).

Sugiyono. 2010., Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R&D. Bandung. Alfabeta.

Susila, I., 2016., Pendekatan Kualitatif Untuk Riset Pemasaran dan Pengukuran Kinerja Bisnis. Benefit, 1(1), pp.12-
23.
Triyuwono, I,. 2000. Akuntansi Syari’ah: Implementasi Nilai Keadilan dalam Format Metafora Amanah. Jurnal
Akuntansi dan Auditing Indonesia 4 (1). pp. 1-34.

Weiss, J.W., 2014. Business ethics: A stakeholder and issues management approach. Berrett-Koehler Publishers.

White, L.P and L.W. Lam., 2000. A Proposed Infrastructural Model for the Establishment of Organizational Ethical
Systems . Journal of Business Ethics 28: pp 35-42

Widyasari, M. and Purwanto, A., 2011. Analisis faktor–faktor yang mempengaruhi kualitas Hasil kerja Auditor
Internal dan eksternal. (Doctoral dissertation, Universitas Diponegoro).

Wilopo. 2009. Analisis Faktor-Faktor yang Berpengaruh terhadap Terhadap Kecenderungan Kecurangan Akuntansi.
Padang : Simposium Nasional Akuntansi 9 Padang.

Simposium Nasional Akuntansi XX, Jember, 2017 23


Deontologi Dalam Praktik Etika

Simposium Nasional Akuntansi XX, Jember, 2017 24

Anda mungkin juga menyukai