Erlina Diamastuti
Accounting Department, Universitas Internasional Semen Indonesia
erlina.diamastuti@uisi.ac.id
Abstract: This study aims to describe the ethics of the internal auditors in one of the state-owned
enterprises in the city of Gresik and interpret the code of conduct in professional activities. This
research uses non-positivistic with intrepreif approach to bridge between informant, writer and
surrounding environment. The objective is that the reality of the findings that arise is consistent
with the actual conditions.
The informants used in this study were 6 (six) people. The results of this study indicate
that 1) Ethical dilemma is the base of a conflict of interest 2) Ethical dilemma can be minimized
by implementation of code of ethics 3) Code of ethics is translated as a liability rather than an
awareness, so that the existing code of ethics is understood as Deontology.
This study concludes the ethics of an action, has nothing to do with the individual or
community objectives. The consequences of an action should not be taken into account to assess
the ethical or otherwise of an action. This statement is a concept of deontology ethics.
Deontology ethics is generally present when an organization must adopt its code of ethics.
1. Pendahuluan
Seperti kita ketahui salah satu fungsi manajemen sebuah organisasi adalah fungsi pengendalian
selain fungsi perencanaan dan fungsi manajemen lainnya. Dalam fungsi pegendalian inilah peran akuntan
internal perusahaan dengan label seorang Auditor Internal sangat dibutuhkan. Kiprah mereka turut
menentukan kesehatan sebuah perusahaan. Keberadaan Auditor Internal juga tidak terlepas dari adanya
kebutuhan manajemen akan transparasi dan pertanggungjawaban atas kinerja perusahaan. Auditor
Internal harus mampu berperan menjadi mediator bagi perbedaan-perbedaan kepentingan antar berbagai
pelaku bisnis dan masyarakat. Oleh sebab itu sangatlah tidak mengherankan bila seorang Auditor Internal
Di Indonesia, isu mengenai etika akuntan berkembang seiring dengan terjadinya beberapa
pelanggaran etika, baik yang dilakukan oleh akuntan publik, akuntan intern, maupun akuntan pemerintah
(Ludigdo, 2007). Perilaku etis dan tidak etis merupakan isu penting saat ini bagi profesi akuntan di mana
Auditor Internal termasuk di dalamnya. Perilaku tidak etis mengarah pada bagaimana perilaku soseorang
yang tidak sesuai dengan norma atau peraturan yang berlaku. Perilaku tidak etis juga disebabkan oleh hal
yang substansial yaitu sikap dan tanggung jawab moral perusahaan. Perusahaan memiliki tanggung jawab
moral dan sosial yang pada tingkat operasional, tanggung jawab moral diwakili oleh manajemen (Wilopo,
2009).
Pengembangan studi yang berkaitan dengan perilaku etis telah banyak dilakukan, namun sampai
dengan saat ini studi tentang hal ini masih saja tetap menjadi bahan perbincangan. Hal ini dikarenakan
perilaku tidak etis masih mendominasi studi-studi yang selalu berkaitan dengan bisnis. Griffin dan Ebert
(2007) menyatakan bahwa perilaku tidak etis adalah perilaku yang tidak sesuai dengan norma-norma
sosial yang diterima secara umum, sehubungan dengan tindakan yang bermanfaat atau yang
membahayakan. Untuk itu perilaku tidak etis harus diimbangi dengan dengan kesadaran etis.
Pengembangan dan kesadaran etis memainkan peran kunci dalam semua area profesi akuntan
(Nugrahaningsih, 2005). Seorang akuntan tak terkecuali Auditor Internal harus memiliki kewajiban untuk
menjaga perilaku etis dimana mereka tinggal dan bekerja. Auditor Internal memiliki suatu tanggungjawab
untuk menjadi seseorang yang berkompeten, menjaga integritas serta objektivitas mereka. Auditor
Internal mempunyai kewajiban untuk menjaga standar perilaku etis tertinggi mereka kepada organisasi di
mana mereka bernaung, profesi mereka, masyarakat dan diri mereka sendiri.
Pada beberapa studi yang merujuk tentang sikap etis dalam profesi akuntan memperlihatkan
bahwa akuntan termasuk Auditor Internal mempunyai kesempatan untuk melakukan tindakan tidak etis
dalam profesi mereka (Shafer, 2015). Oleh sebab itu, kesadaran beretika dalam sebuah perilaku seorang
Auditor Internal dan sikap profesional memegang peran yang sangat besar bagi dirinya (Widyasari and
Purwanto, 2011). Hal ini dikarenakan dalam menjalankan profesinya seorang Auditor Internal secara
terus menerus harus berhadapan dengan dilema etika yang melibatkan pilihan antara nilai-nilai yang
Auditor Internal sebagai karyawan akan bertanggungjawab kepada manajemen perusahaan, tetapi
juga mempunyai tanggungjawab terhadap profesi dan publik serta kepada dirinya sendiri. Kemampuan
Auditor Internal dalam mengambil suatu keputusan ketika menghadapi dilema etika, akan bergantung
pada berbagai hal. Ini di karenakan akan bersinggungan dengan perusahaan tempat bekerja. Manajemen
perusahaan dapat mempengaruhi Auditor Internal dalam suatu penugasan/pemeriksaan, akan tetapi
mereka juga mempunyai tanggungjawab etika dalam pelaksanaan penugasan/pemeriksaan tersebut. Hal
inilah yang menyebabkan dilematis bagi para Auditor Internal. Jika tidak mengikuti keinginan
manajemen maka akan mendapat “sanksi”, tetapi jika mengikuti keinginan manajemen, maka akan
melanggar etika profesi mereka. Oleh sebab itu, dilema etika akan mampu memengaruhi pengambilan
keputusan yang sebelumnya etis menjadi tidak etis (Abdurrahman dan Yuliani, 2011). Untuk itu, supaya
mampu menjalankan peran tersebut, Auditor Internal harus selalu menjaga mutu jasa yang diberikannya
Pada beberapa negara, dilema etika menyebabkan berbagai skandal akuntan (Diamastuti, 2014).
Maraknya skandal akuntan yang melibatkan Auditor Internal disebabkan karena sering menyalahi
kepercayaan yang diberikan oleh pihak pemegang saham, manajemen ataukah masyarakat. Skandal
akuntan selalu dimulai dengan adanya berbagai tekanan baik yang berasal dari diri sendiri maupun dari
lingkungan sekitarnya (Diamastuti, 2015). Goleman (1998) seperti dikutip Nezhad et al (2015)
menyatakan bahwa tekanan akan selalu menciptakan konflik dan ketegangan, ketegangan bisa
menimbulkan rasa emosional. Hal ini dikarenakan, seorang Auditor Internal dalam menjalankan
profesinya selalu dihadapkan pada sebuah konflik kepentingan dan dilema etika yang melibatkan pilihan
antara nilai-nilai yang bertentangan (Husein, 2003). Untuk meminimlisir berbagai konflik tersebut,
beberapa perusahaan menggunakan berbagai aturan yang dituangkan dalam sebuah kode etik (Diamastuti,
2014).
Bekuun (1997) menyebutkan bahwa kode etik merupakan pedoman etika yang paling populer di
kebanyakan organisasi. Sedangkan menurut Triyuwono (2000) kode etik akuntan adalah peraturan yang
harus ditegakkan dan secara sadar harus diikuti oleh akuntan. Kode etik akuntan disusun dengan
memperhatikan kepentingan baik internal maupun eksternal, sehingga kode etik yang dirumuskan selalu
merefleksikan standar moral universal (Ludigdo, 2007). Namun, White dan Lam (2000) menyatakan
penciptaan kode etik jarang dapat mengurangi dilema etis dalam organisasi. Hal ini disebabkan, kode etik
sangat sulit dilakukan karena sulitnya menentukan reward dan pusnisment (Diamastuti, 2015). Satu hal
yang lebih mengejutkan, menurut White dan Lam (2000) perusahaan yang memiliki kode etik tertulis
lebih banyak melakukan tindakan yang salah daripada perusahaan lainnya. Ludigdo (2007) menyikapi
temuan tersebut sebagai ketiadaan pemahaman bagaimana dilema etis itu terjadi dan mengapa karyawan
cenderung untuk berperilaku tidak etis. Belkaoui (1992) juga menyatakan bahwa kode etik seharusnya
dapat memandu mereka, namun pada kenyataannya mereka justru tidak pernah tahu jika dirinya diatur
oleh kode etik. Kode etik umumnya meliputi tanggungjawab akuntan sebagai bagian organisasi, adanya
Berbagai dilema etika yang dihadapi oleh para Auditor Internal teryata tetap menjadi konflik
organisasional-profesional yang tidak dapat dipecahkan sampai dengan saat ini. Tekanan organisasional
untuk berperilaku etis yang terjadi tidak memastikan bahwa bawahan akan selalu mengalami keadaan
konflik emosional. Jika Auditor Internal tidak mempunyai standar etis tinggi, mereka akan merasionalkan
perilaku tidak etis sebagai bagian yang dibutuhkan dalam pekerjaannya atau lingkungan bisnis dan
diharapkan dapat menghindari konflik internal (Diamastuti, 2015). Sumber konflik yang terjadi antara
organisasi-profesional pada umumnya adalah tekanan pihak manajemen perusahaan untuk melakukan
perilaku tidak etis, seperti manipulasi hasil laporan keuangan. Tekanan tersebut akan secara langsung
menyebabkan konflik pada profesionalisme seperti otonomi dalam melayani kepentingan publik.
Berbagai tekanan yang dialami oleh para Auditor Internal melatarbelakangi penulis dan memotivasi
penulis untuk melakukan studi ini. Selain tekanan yang dialamai oleh para Auditor Internal, studi ini
juga ingin mendeskripsikan bagaimana kode etik yang ada dapat menjadi guidance bagi para Auditor
Internal dalam menghadapi tekanan tersebut. Untuk itu pertanyaan penelitian dalam studi ini adalah
Bagaimana para Auditor Internal mendeskripsikan etikanya serta memaknai kode etik dalam
aktivitas profesinya.
Studi ini bertujuan untuk mendeskripsikan perilaku Auditor Internal dan memaknai kode etik
Pada bagian ini, penulis memulai perjalanan studi dengan melakukan beberapa interview pada
informan yang bertujuan untuk menggali realitas praktik etika yang dijalankan oleh Auditor Internal pada
salah satu BUMN di kota Gresik. Tujuan penggalian realitas praktik ini untuk memotret teori dalam
praktik etika para Auditor Internal. Praktik Etika menjadi sangat penting karena Auditor Internal selalu
bergesekkan dalam menjalankan tugasnya dengan pihak manajemen perusahaan. Dalam satu sisi seorang
Auditor Internal harus menegakkan integritas dan independensi, namun di lain pihak mereka dibayar oleh
perusahaan di mana pimpinan perusahaan tersebut juga termasuk auditee. Di sinilah peran etika sangat
dibutuhkan, perilaku etis menjadi penangkal bagi segala tekanan dan kode etik adalah alat pengendali diri
mereka.
Auditor Internal yang dimaksud dalam studi ini adalah akuntan yang bekerja pada
departemen/bagian sistem pengendalian internal pada suatu organisasi atau perusahaan. Tugas pokok
yang diemban Auditor Internal adalah melakukan proses pengendalian atas semua transaksi yang
berkaitan dengan sistem pelaksanaan organisasi bisnis dan transaksi keuangan (Mihret et al., 2010),
namun tidak semua Auditor Internal adalah seorang akuntan. Berikut ini pernyataan dari salah satu
informan yaitu Bapak Giri Setiawan selaku kepala seksi pada bagian produksi untuk Pengendalian
“saya bukan akuntan, karena saya seorang insinyur. Meskipun pekerjaan saya melakukan audit
terhadap proses produksi, namun saya bukan Auditor Internal seperti yang Ibu maksud. Adi
mungkin agak berbeda skup yang kami periksa”
Penulis menyadari bahwa tidak semua Auditor Internal adalah para akuntan. Kondisi ini dapat terjadi bila
kita kembalikan pada siapa sebenarnya akuntan. Akuntan adalah mahasiswa yang telah lulus dari program
studi akuntansi dan mempunyai sertifikat profesi sebagai seorang akuntan. Menyadari bahwa infroman di
atas tidak sesuai dengan kriteria infroman yang telah ditentukan maka penulis hanya menggarisbawahi
informan tersebut sebagai bagian triangulasi data. Walaupun terkadang penulis selalu mendeskripsikan
bahwa Auditor Internal adalah salah satu profesi dari akuntan manajeman yang juga harus mempunyai
Seperti yang diungkapkan oleh Sawyer (2005) bahwa Auditor Internal harus mempunyai
komitmen profesional sebagai tanggungjawab profesinya yang dapat dilihat dari kemampuan (keahlian
dan ketelitian) dan merupakan tanggung jawab untuk melaksanakan pemeriksaan secara tepat dan sesuai
dengan standar profesional dan kode etik yang berlaku. Aturan dalam kode etik yang berkaitan dengan
perilaku seorang Auditor Internal harus berlandaskan integritas, objektivitas, kerahasiaan, kompetensi dan
independensi. Aturan ini harus dilaksanakan oleh semua Auditor Internal untuk menghindari terjadinya
kecurangan. Untuk itu, pengendalian yang dilakukan oleh seorang Auditor Internal adalah tugas utama
untuk meminimalisir sebuah kecurangan. Kecenderungan melakukan kecurangan dipengaruhi oleh ada
atau tidaknya peluang atau kesempatan. Peluang yang besar membuat kecenderungan kecurangan
akuntansi lebih sering terjadi, dan sebaliknya. Berikut pernyataan Okky Assegaf dan Diana Pricilia
“saya sering menemukan ada beberapa anggaran yang diajukan namun tidak sebanding dengan
realitas. Maksudnya adalah anggaran yang diajukan sebenarnya bukannya anggaran yang
dibutuhkan oleh departemen tersebut. Yang mengherankan hal ini sering dilakukan berulangkali
oleh departemen yang sama” (Okky Assegaf).
“Peluang untuk berbuat curang biasanya dilakukan justru karena pimpinan tidak pernah
mengendalikan kinerja dari anak buahnya. Biasaya pimpinan seperti ini pasrah pada anak buah.
Jika anak buahnya bisa dipercaya itu tidak masalah Bu...lha kalo tidak bisa dipercaya, akhirnya
pimpinan tersebut juga harus ikut makan getah dari kesalahan anak buah” (Diana Pricilia).
Pernyataan kedua informan di atas menunjukkan bahwa tekanan selalu dialami oleh para Auditor Internal
dalam menjalankan aktivitas profesinya. Untuk itu standar etis merupakan kunci untuk meminimalkan
tekanan tersebut. Shafer (2009) menyatakan jika pegawai tidak mempunyai standar etis yang tinggi,
maka mereka akan merasionalkan perilaku tidak etis sebagai bagian yang tidak dibutuhkan dalam
pekerjaannya. Oleh sebab itu pengendalian internal yang baik adalah kunci utama standar etis sebuah
perusahaan dalam menjalankan roda usahanya. Artinya, penerapan pengendalian internal yang efektif
yang didukung dengan regulasi memadai akan mencegah berbagai bentuk overstated dan ketidakwajaran
yang merugikan berbagai pihak yang bekepentingan. Selain itu adanya pengendalian internal yang efektif,
memungkinkan terjadinya pengecekan saling silang (cross check) terhadap pekerjaan seseorang oleh
orang lain. Hal ini menurunkan peluang terjadinya kecenderungan kecurangan dan mengalokasikan
kesalahan.Wilopo (2009) juga menyatakan bahwa pengendalian internal yang efektif akan mengurangi
kecenderungan kecurangan akuntansi. Apabila hal ini dilakukan maka auditor tersebut adalah auditor
yang berintegritas, yaitu auditor yang bertindak jujur, tegas tanpa pretensi (Noviyanti, 2008). Dampaknya
Arranya dan Ferris pada tahun 1984 dalam Diamastuti (2015) telah menyebutkan bahwa seorang
akuntan manajemen dimana Auditor Internal juga termasuk di dalamnya lebih sering mengalami dilema
etika. Temuan ini menunjukkan adanya perbedaan antara nilai organisasional dengan profesional antara
auditor eksternal (akuntan publik) dengan Auditor Internal (akuntan manajemen). Arranya dan Ferris juga
Lebih lanjut, Arens (2012) menyatakan faktor yang sering menyebabkan timbulnya dilema etika
yaitu faktor lingkungan budaya, faktor lingkungan organisasi dan lingkungan profesi serta pengalaman
pribadi. Faktor-faktor tersebut juga turut berpengaruh dalam pembentukan perilaku etis Auditor Internal.
Potret mengenai fenomena ini dapat kita lihat dari informasi Ibu Santi Sardi selaku GM SPI dan Bapak
Taufan selaku staf pengendalian internal yang menjelaskan bahwa tekanan organisasional sangat
“kami di bagian Auditor Internal sangat merasakan pentingnya integritas dalam menjalankan
tugas. Namun, yang seringkali terjadi, auditee yang sudah merasa akrab dengan kami terkadang
mengabaikan batas-batas integritas tersebut. Momen-momen seperti ini, biasanya kami menjadi
stres dan merasa di bawah tekanan. Tapi kami sadar betul memang itu adalah tugas kami dan
tanggung jawab kami kepada manajemen perusahaan”.
“Pernah saya mengalami konflik internal dengan rekan sekerja yang kebetulan sebagai pihak
yang harus diperiksa laporannya, akibatnya pekerjaan saya sedikit terganggu. Untung saja, apa
yang terjadi tidak menganggu proses pemeriksaan yang saya lakukan”.
Pernyataan kedua informan di atas jelas menunjukkan bahwa mereka sangat mengalami tekanan dan
dilema etika. Hal ini dikarenakan informan tersebut selaku Auditor Internal mempunyai tanggungjawab
secara profesional terhadap pihak manajemen dan pemegang saham sehingga lebih sulit untuk bertindak
independen dibandingkan dengan auditor eksternal (Diamastuti, 2014). Berikut ini pernyataan dari Bapak
Bagus Sihabbudin selaku Kepala Biro SPI. Menurut informan, tantangan terbesar yang dialami adalah
saat menghadapi auditee yang kurang kooperatif dan mempunyai posisi yang tinggi.
“kalo auditeenya orang yang berpengaruh di lingkungan perusahaan, memang saya mengakui
agak susah apalagi kalo karakternya tertutup. Saya pernah menjadi orang yang “saklêk” pada
saat di bagian lain, namun saya mendapatkan tekanan dari kanan kiri yang menyebabkan adanya
proses yang terhenti karena sikap saya tersebut. Akhirnya saya mengubah pola aktivitas saya
tersebut, selama aktivitas yang diminta oleh manajemen masih bisa dikompromi walaupun sedikit
menyimpang, saya tidak masalah, asalkan pihak manajemen yang bertanggungjawab bukan
saya”
Informan lain (Bapak Okky Assegaf) juga menyatakan bahwa jika pihak manajemen melakukan tekanan
yang bersifat sedikit menyimpang, maka informan tersebut selalu bertanya kepada dirinya sendiri.
“selama tidak melanggar hukum dan tidak merugikan orang lain, maka saya masih bisa
melakukan pekerjaan itu. Tapi kalau sudah bau-bau sesuatu yang dilarang apalagi ada aturan
yang mendasari, ya lebih baik kita tidak melaksanakan, meskipun pekerjaan kita yang menjadi
taruhan ”
Berkaitan dengan dua pernyataan di atas, maka penulis menggarisbawahi bahwa manajemen perusahaan
tidak mendukung praktik etika yang dilakukan oleh Auditor Internal perusahaan tersebut di mana tidak
terdapat kesesuaian dengan standar etisnya. Hal ini diperkuat dengan pernyataaan White dan Lam (2000),
individu lebih mungkin menghadapi dilema etika jika 1) organisasi tidak memberikan means untuk
mencegah perilaku tidak etis, 2) individu mempunyai motivation personal untuk diuntungkan dari
tindakan etis, 3) posisi pekerjaan memberikan opportunity untuk terlibat praktik tidak etis. Berikut
komponen dilema etika seperti yang diungkapkan oleh White and Lam (2000):
Organizational climate
Means
Dilema Etika
Motivations Opportunity
Skema di atas menunjukkan ada beberapa faktor yang menyebabkan seseorang mengalami dilema etika,
salah satunya adalah means. Means merupakan alat infrastruktur organisasi yang terdiri dari sistem,
kebijakan dan prosedur yang telah ditetapkan. Ludigdo (2007) menyebutkan bahwa kode etik termasuk di
dalam arti means. Jika means yang dimaksud oleh White dan Lam (2000) ataupun Ludigdo (2007) adalah
kode etik, maka means di BUMN adalah standar akuntansi, kebijakan perusahaan (disiplin pegawai) dan
kode etik perusahaan (Diamastuti, 2014). Artinya kode etik adalah pintu masuk bagi para Auditor Internal
untuk menegakkan standar etis bagi dirinya dan profesinya. Nurlan (2011) mengulas kode etik sebagai
berikut: “Kode etik memainkan peranan penting dalam membentuk etika dalam dunia bisnis, khususnya
dalam profesi akuntan...”. Pernyataan Nurlan (2011) menunjukkan bahwa kode etik sangat dibutuhkan
oleh profesi akuntan. Berikut adalah beberapa informasi mengenai keberadaan kode etik di BUMN di
Gresik:
“ ...terkadang saya merasa sangat membutuhkan aturan yang jelas dan khusus yang berkaitan
dengan aktivitas yang saya lakukan. Saya merasa bahwa aturan perusahaan terkadang hanya
untuk orang-orang seperti saya, tapi tidak untuk atasan (keterangan Bapak Okky Assegaf).
“...kode etik itu hanya simbol aja bu...yang berlaku disini bukan kode etik tapi aturan dari
atasan. Maksud saya aturan atasan tersebut yang dijadikan pedoman.lha kalo ngak ikut perintah
atasan meskipun melanggar, ya besok siap-siap di pindah aja (keterangan Diana Pricilia)”.
Informasi dari beberapa informan tersebut menunjukkan Auditor Internal di BUMN Gresik mempercayai
bahwa kode etik perusahaan dapat memandu mereka dalam beraktivitas, namun adapula informan yang
menyatakan bahwa mempelajari kode etik perusahaan adalah suatu hal yang membuang-buang waktu
saja. Menurut mereka kode etik tersebut memang sangat dibutuhkan, karena dapat digunakan untuk
mengarahkan individu yang tergabung dalam profesi Auditor Internal dalam perilaku etis, agar keputusan
yang dibuat juga keputusan yang etis. Namun, permasalahannya mereka tidak paham dengan nilai etika
yang seharusnya ada dalam organisasi tersebut dan setiap individu yang berada di dalamnya
3. Metode
Studi ini melihat realitas yang ada menggunakan pendekatan nonpositivistik. Penulis merasa yakin
dengan pendekatan non-positivistik, karena pendekatan ini lebih mampu untuk menghadapi
ketidakleluasaan dunia sosial dalam kehidupan sehari-hari. Studi ini juga melihat realitas dalam kacamata
interpretif karena studi ini selalu memandang realitas sosial sebagai sesuatu yang holistik/utuh, kompleks,
dinamis, penuh makna dan hubungan gejala besifat interaktif (reciprocal). Pendekatan interpretif adalah
pendekatan untuk mencari makna, artinya melekat karakter hermeneutik dalam penafsiran terhadap pesan,
Menurut Moloeng (2007), sumber data paling utama dari penelitian dengan pendekatan
nonpositivistik adalah kata-kata dan tindakan. Selebihnya adalah tambahan seperti dokumen dan lain-lain.
Sumber dan jenis data dalam studi ini diperoleh dari Key Person (informasi kunci) yaitu Auditor Internal
yang lulus sarjana dari program studi akuntansi. Seperti kita ketahui pada beberapa perusahaan, pegawai
bagian Sistem Penedealian Internal di mana audtor internal bernaung, juga terdapat staf yang berasal dari
program studi selain akuntansi. Berdasarkan pendekatan yang telah dilaksanakan pada studi pendahuluan,
maka studi ini menentukan beberapa informan yang diharapkan dapat memberikan petunjuk agar arah
studi ini dapat ditemukan. Kemudian dari beberapa informan tersebut penulis mulai melanjutkan
pengamatan. Informan dalam studi ini 6 (enam) orang. Triangulasi data digunakan untuk menentukan
validitas data. Delapan informan tersebut tidak ditampilkan dalam nama yang sesungguhnya
(pseudonym). Artinya penulis tidak akan menggunakan nama asli informan, melainkan nama samaran
atau inisial. Hal ini dimaksudkan untuk menjaga kerahasiaan identitas informan.
TABEL 1
KEY INFORMAN
Sumber: Penulis
Studi ini menggunakan analisa interaktif dari Miles dan Huberman seperti yang dikutip oleh
Somantri (2010). Dalam analisis ini dibagi menjadi 4 komponen pokok yaitu a) pengumpulan data,
merupakan proses awal dalam studi ini, b) Reduksi data, merupakan proses seleksi, memfokuskan pada
realitas praktik, penyederhanaan dan abstraksi data yang ada dalam files note. Proses ini berlangsung
terus menerus selama penelitian berlangsung, 3) sajian data, merupakan rakitan organisasi informasi yang
penarikan simpulan.
Teknik Pengumpulan Data. Penulis datang ke tempat di mana subyek yang hendak diteliti,
mengamati dan berinteraksi dengan informan dalam waktu 6 bulan. Setelah memperoleh data yang cukup
penulis kemudian secara sistematik menganalisis dengan metode yang tepat, kemudian
sesuai dengan data atau fenomena yang diperoleh di lapangan. Studi ini menggunakan beberapa teknik
yang relevan dengan jenis penelitian ini antara lain: Teknik Observasi. Teknik ini dilakukan dengan cara
observasi atau pengamatan guna melihat kegiatan keseharian dengan menggunakan panca indera sebagai
alat bantunya (Sugiyono, 2010). Maksud dengan panca indera adalah penulis datang ke salah satu BUMN
di Gresik untuk menggaet informan agar mau dijadikan aktor sosial dalam studi ini dan mengamati
kegiatan yang dilakukan oleh beberapa informan. Alasan penulis menggunakan salah satu BUMN di
Gresik sebagai situs penelitian karena penulis meyakini bahwa Auditor Internal pada BUMN tersebut
sudah dapat mewakili klasifikasi dari informan yang ada di Indonesia. Selanjutnya penulis melakukan
pendekatan kepada informan agar bersedia menjadi informan kunci. Pendekatan ini dilakukan dengan
maksud agar penulis dapat dengan mudah menggali informasi tanpa adanya pemaksaan
Teknik Wawancara. Pada proses pengumpulan data berikutnya dilakukan dengan teknik
wawancara. Kegiatan wawancara pada informan dilakukan untuk mendapatkan informasi secara langsung
dengan mengungkapkan pertanyaan pada para informan (Susila, 2016). Pada tahapan ini, setelah
melakukan pengamatan pada Auditor Internal, kemudian penulis memilih beberapa informan untuk
melakukan wawancara. Wawancara dilakukan tidak terstruktur namun mendalam. Artinya, penulis
meminta kesediaan informan menjawab pertanyaan tanpa terbebani sehingga semua pernyataannya
meluncur dengan baik tanpa sebuah tekanan. Penulis berkomunikasi dengan informan melalui
pembicaraan yang santai terlebih dahulu kemudian penulis mulai meminta informan untuk memberikan
penjelasan secara detail seolah-olah tidak sedang melakukan wawancara. Berdasarkan 6 (enam) informan
kunci yang telah ditentukan dan sesuai dengan pisau analisisnya, maka studi ini melakukan tahapan untuk
mereduksi hasil wawancara yang tidak sesuai dan fenomena yang ada serta melakukan tahapan
penyeleksian untuk memotret realitas yang ada sebagai gambaran yang utuh.
Teknik Dokumentasi. Teknik dokumentasi dilakukan dengan mencari data dan berupa catatan,
transkrip, buku, majalah, prasasti, notulen rapat, agenda, dan lain sebagainya (Arikunto, 2004). Pada
tahapan ini, penulis melakukan pencarian beberapa literatur yang berkaitan dengan topik studi ini,
kemudian penulis melakukan pendokumentasian untuk menunjukkan bahwa penulis telah melakukan
4. Memaknai Praktik Etika dan Kode Etik Auditor Internal dalam Bingkai Deontologi
White dan Lam (2000) seperti yang dikutip Ludigdo (2007) dan Diamastuti (2014) menyatakan,
penciptaan kode etik jarang dapat mengurangi dilema etis dalam organisasi. Hal ini disebabkan, sangat
jarang perusahaan mengimplementasikan program pelatihan etika bagi karyawannya. Selanjutnya Chan
and Leung (2006) menyatakan keberadaan kode etik dalam perusahaan tidak berdampak signifikan
terhadap perilaku etis dan kode etik belum dapat menuntun karyawan atau perusahaan untuk berperilaku
etis sebagaimana diharapkan oleh stakeholdersnya. Satu hal yang lebih mengejutkan, menurut White dan
Lam adalah perusahaan yang memiliki kode etik tertulis lebih banyak melakukan tindakan yang salah
daripada perusahaan lainnya. Ludigdo (2007) menyikapi temuan tersebut sebagai ketiadaan pemahaman
bagaimana dilema etis itu terjadi dan mengapa karyawan cenderung untuk berperilaku tidak etis.
Menurut penulis, hasil temuan White dan Lam (2000) yang telah dikutip oleh Ludigdo (2007)
disebabkan karena adanya suatu tekanan yang berada di dalam kode etik tersebut. Kode etik akuntan
manajemen selalu digambarkan sebagai suatu kewajiban dan keharusan untuk menjalankan dan
mengimplementasikan etika dalam aktivitas profesi akuntan manajemen. Hal ini menunjukkan semakin
kuat keberadaan kode etik semakin kencang keinginan untuk melanggarnya. Kondisi ini tentunya sangat
ertentangan dengan hasrat dan keinginan untuk berperilaku etis. Sehingga dapat digarisbawahi bahwa
ketaatan para akuntan terhadap kode etik masih menjadi pro dan kontra.
Pro dan kontra mengenai kode etik akuntan manajemen memang akan selalu tampak dalam
aktivitas organisasi, karena etika dalam berbisnis tidak pernah terlepas dari filsafat etika deontologi.
Triyuwono (2000) melanjutkan, konsep deontologisme dalam akuntansi dapat ditemukan dalam
peraturan profesionalisme akuntansi, seperti kode etik akuntan manajemen dan Auditor Internal.
Peraturan ini pada umumnya meliputi tanggung jawab akuntan sebagai bagian dari organisasi, adanya
kepentingan publik di dalamnya, integritas dalam memberikan sebuah kepercayaan publik, objektivitas
serta independensi (Belkaoui, 1992). Artinya, pandangan yang dikemukan oleh Belkaoui (1992) maupun
Triyuwono (2000) menunjukkan bahwa etika adalah sebuah peraturan yang harus ditegakkan, dan secara
Kondisi ini nampak pula dalam realitas praktik yang ada pada divisi Sistem Pengendalian Internal
di salah satu BUMN di kota Gresik. Etika deontologi yang dipopulerkan oleh Immanuel Kant sangat
berbeda dengan teori etika lainnya. Etika deontologi menyatakan bahwa etis tidaknya suatu tindakan,
tidak ada kaitannya dengan tujuan individu maupun masyarakat (egoisme dan utiliterianisme),
konsekuensi ataupun akibat dari tindakan tersebut. Konsekuensi suatu tindakan tidak boleh menjadi
pertimbangan untuk menilai etis atau tidaknya suatu tindakan. Suatu tindakan tidak pernah menjadi baik
karena hasilnya. Hasil baik bukanlah suatu alasan untuk membenarkan suatu tindakan, melainkan hanya
karena kita wajib melaksanakan tindakan tersebut demi kewajiban itu sendiri. Contoh, kisah RobinHood
dengan tugas mencuri barang orang-orang kaya dan diberikan kepada si miskin. Melihat tujuannya kita
mengatakan bahwa apa yang dilakukan oleh Robin Hood adalah tugas mulia dan bertujuan baik, namun
dilihat dari tindakan, maka tidak satu orangpun membenarkan tindakan mencuri tersebut.
Atas dasar inilah, menurut Kant tindakan yang baik adalah tindakan yang tidak saja sesuai dengan
kewajiban melainkan juga dijalankan demi kewajiban. Secara singkat paham Kant menpunyai tiga
prinsip yang harus dipenuhi yaitu 1) supaya tindakan mempunyai nilai moral, maka tindakan tersebut
harus dijalankan berdasarkan kewajiban, 2) nilai moral dari tindakan tersebut tidak tergantung pada
pencapaian tujuan, melainkan tergantung pada kemauan baik yang mendorong seseorang melakukan
tindakan tersebut, 3) kewajiban adalah hal yang niscaya dari suatu tindakan yang dilakukan berdasarkan
sikap hormat pada hukum moral universal (MacKinnon and Fiala, 2014). Jika kita melihat prinsip
yang dikemukakan oleh Kant, penulis memperoleh suatu temuan di lapangan yang menyatakan bahwa
etika bagi Auditor Internal kurang diperlukan apabila tidak ada kode etik akuntan manajemen. Menurut
beberapa informan yang memberikan pendapatnya, dikemukakan bahwa etika tidak mungkin ada tanpa
suatu aturan dan aturan di BUMN tersebut adalah suatu kewajiban yang harus dijalankan oleh semua
pihak. Pernyataan ini mungkin lebih jelas dapat kita perhatikan dari pernyataan Direktur Utama BUMN di
Gresik pada saat acara berbuka bersama dengan seluruh pegawai perusahaan:
“Marilah kita pakai kerja keras itu sebagai sebuah kewajiban, jika kita tetapkan kerja keras
merupakan sebuah kewajiban, pada akhirnya akan menjadi kebiasaan. Dengan pola kerja keras
diharapkan seluruh pegawai akan memiliki karakter dan leadership yang kuat sehingga mampu
menyelesaikan berbagai permasalahan perusahaan”.
Himbauan di atas menunjukkan bahwa bekerja keras adalah suatu tindakan dan tindakan ini akan
mempunyai nilai moral apabila berdasarkan suatu kewajiban. Kewajiban yang dilakukan secara teratur
akan menjadi suatu kebiasaan. Harapannya adalah kebiasaan ini menjadi kebiasaan yang baik.
Pernyataan Direktur Utama tersebut, jika ditafsirkan dalam paham Immanuel Kant dapat dinyatakan
sebagai berikut: “kemauan baik adalah syarat mutlak untuk bertindak secara moral”.
Bekerja keras adalah suatu proses yang menuju pada kemauan baik, karena dengan bekerja keras
diperoleh suatu hasil yang maksimal. Hasil yang maksimal akan berbuah suatu kebahagian dan
kebahagiaan adalah tujuan hidup setiap individu. Jadi, dalam hal ini etika deontologi lebih berpedoman
pada proses, bukan pada hasil. Proses yang baik akan menghasilkan pada hasil yang baik. Proses yang
baik hanya dapat dilaksanakan dengan suatu kemauan yang kuat, kemauan yang kuat bisa mengarah pada
suatu kewajiban, dan kewajiban yang dilaksanakan dengan sungguh-sungguh akan berdampak positif bagi
diri maupun orang lain. Untuk itu, Kant menyatakan bahwa tindakan yang baik adalah tindakan yang
tidak saja sesuai dengan kewajiban melainkan juga dijalankan demi kewajiban. Demikian halnya, semua
tindakan yang dijalankan sesuai dengan kewajiban tetapi tidak dijalankan berdasarkan kemauan baik
melainkan hanya karena dipaksa atau terpaksa, maka dianggap sebagai tindakan tidak baik.
Jika kita tilik dari pemahaman yang dilakukan oleh Kant dalam teori etika deontologi, maka
penulis sepakat untuk mengkaitkan etika deontologi dengan penerapan kode etik bagi internal auditor.
Kode etik dibuat dan ditujukan agar ditaati bagi siapa saja yang berada dalam profesi tersebut. Hal ini
menunjukkan, ada suatu kewajiaban bagi siapa saja yang berprofesi sebagai Auditor Internal untuk
menjalankan kode etik tersebut. Maksud dibuat kode etik adalah untuk memberikan suatu rel atau koridor
bagi akuntan manajemen agar tidak menyimpang yang diartikan sebagai kemauan baik dalam etika
deontologi. Untuk itu, setiap akuntan manajemen berkewajiban untuk menjalankan kode etik tersebut
dengan suatu kesadaran tanpa adanya paksaan. Harapannya, kode etik tersebut dijalankan dengan niatan
Kesadaran dari dalam diri untuk melaksanakan kewajiban dalam kode etik tersebut menurut Kant
dianggap sebagai imperatif kategoris yaitu perintah tak bersyarat. Perintah tak tak bersyarat yang
dimaksud adalah hukum moral, di mana hukum moral ini selalu berlaku bagi semua orang pada segala
situasi dan tempat. Oleh sebab itu, hukum moral ini akan mengikat siapa saja dari dalam dirinya sendiri
karena hukum moral ini berasal dari dalam diri individu tersebut. Sedangkan, perintah bersyarat
(kewajiban), Kant menyebutnya sebagai imperatif hipotesis. Perintah bersyarat dalam etika Kantian
adalah perintah yang dilaksanakan jika seseorang menghendaki akibatnya atau jika akibat dari tindakan
Jika kita kaitkan dengan kode etik akuntan manajemen (Auditor Internal), jelas paham yang
dikemukan oleh Kant sangat terkait, karena kandungan kode etik meliputi perintah tak bersyarat
(imperatif kategoris) dan perintah bersyarat (imperatif hipotesis) (Weiss, J.W., 2014). Namun, bagaimana
jika kejadiannya adalah berlawanan yaitu secara moral (perintah tidak bersyarat) harus dilaksanakan
namun secara kewajiban (perintah bersyarat) harus ditinggalkan. Contohnya, seorang Auditor Internal
diancam akan dibunuh atau dipecat apabila dia membongkar kecurangan yang dilakukan oleh rekan
sekerjanya atau bahkan atasannya. Di satu pihak, Auditor Internal tersebut dihadapkan pada perintah atau
kewajiban untuk berkata benar dan jujur (imperatif kategoris), di lain pihak dia dihadapkan pada perintah
atau kewajiban untuk melindungi dirinya sendiri dan keluarganya (imperatif hipotesis). Namun, menurut
etika deontologi, kejujuran tetap harus ditegakkan terlepas dari akibat bagi dirinya, tapi bagaimana
dengan keselamatan Auditor Internal tersebut?. Keselamatan akuntan manajemen tersebut juga harus
dipikirkan menurut Kant, karena deontologi Kant mewajibkan seseorang untuk melindungi dirinya,
terlepas dari apakah akibatnya ia harus mendiamkan kecurangan tersebut atau tidak.
Hal inilah yang sering terjadi dalam aktivitas Auditor Internal dan mengakibatkan skandal
akuntansi yang sangat besar dampaknya. Mungkin keadaan ini yang dianggap sebagai salah satu
kelemahan dari teori etika deontologi. Oleh sebab itu, teori etika deontologi jika dikaitkan dengan kode
etik menurut beberapa informan tidak menjanjikan seseorang melakukan tindakan etis. Hal ini terjadi
apabila dalam diri individu tersebut mengalami suatu kemerosotan moral yang mungkin saja disebabkan
oleh faktor-faktor di luar perusahaan, atau melakukan suatu keputusan etis, namun akan berdampak justru
Auditor Internal selalu mengalami dilema etika pada saat proses pemeriksaan baik laporan
keuangan maupun laporan transaski bisnis lainnya. Tekanan organisasional dan dilema etika
menimbulkan sebuah konflik organisasional profesional dan konflik kepentingan yang sering
menyebabkan Auditor Internal bertindak secara tidak etis. Auditor Internal yang mempunyai tanggung
jawab secara profesional terhadap pihak manajemen dan pemegang saham lebih sulit untuk bertindak
independen dibandingkan dengan akuntan publik. Hal ini disebabkan segala aktivitasnya diperuntukkan
bagi pemegang saham, di mana pemegang saham lebih bertujuan untuk mencari keuntungan
dibandingkan tujuan lainnya, misalnya kesejahteraan karyawan. Oleh karena itu, perusahaan harus
mampu untuk meminimalisasi berbagai konflik dan tekanan yang ada agar tercipta suatu iklim organisasi
yang sehat. Untuk itu dibutuhkan suatu alat dan dukungan dari organisasi untuk membatasi perilaku
karyawannya agar mempunyai perilaku etis. Alat tersebut dapat berupa kode etik atau corporate credo
(Diamastuti, 2014).
Duska dan Duska (2003) menyatakan bahwa seorang akuntan membutuhkan kode etik. Kode etik
merupakan sebuah pendekatan yang memasukkan sistem etis dalam perilaku individu yang berada dalam
organisasi (White dan Lam, 2000), oleh sebab itu kode etik adalah pedoman yang paling populer di
berbagai organisasi. Perusahaan dengan kode etik secara formal mempunyai dukungan yang lebih besar
dibandingkan dengan yang tidak (Laela and Meikhati, 2014) dan mempunyai pengaruh terhadap perilaku
(Oktarini and Ramantha, 2016). Pro dan kontra mengenai kode etik memang akan selalu tampak dalam
aktivitas organisasi, karena etika dalam berbisnis tidak pernah terlepas dari filsafat etika deontologi.
Kondisi ini nampak pula dalam realitas praktik yang ada pada divisi sistem pegendalian internal di salam
satu BUMN di kota Gresik. Etika deontologi menyatakan bahwa etis tidaknya suatu tindakan, tidak ada
kaitannya dengan tujuan individu maupun masyarakat (egoisme dan utiliterianisme), konsekuensi ataupun
akibat dari tindakan tersebut. Konsekuensi suatu tindakan tidak boleh menjadi pertimbangan untuk
menilai etis atau tidaknya suatu tindakan. Suatu tindakan tidak pernah menjadi baik karena hasilnya.
Hasil baik bukanlah suatu alasan untuk membenarkan suatu tindakan, melainkan hanya karena kita wajib
Kant menyatakan bahwa tindakan yang baik adalah tindakan yang tidak saja sesuai dengan
kewajiban melainkan juga dijalankan demi kewajiban. Demikian halnya, semua tindakan yang dijalankan
sesuai dengan kewajiban tetapi tidak dijalankan berdasarkan kemauan baik melainkan hanya karena
dipaksa atau terpaksa, maka dianggap sebagai tindakan tidak baik. Jika kita tilik dari pemahaman yang
dilakukan oleh Kant dalam teori etika deontologi, maka penulis sepakat untuk mengkaitkan etika
Kode etik dibuat dan ditujukan agar ditaati bagi siapa saja yang berada dalam profesi tersebut.
Hal ini menunjukkan ada suatu kewajiban bagi siapa saja yang berprofesi sebagai akuntan manajemen
untuk menjalankan kode etik tersebut. Maksud dibuat kode etik adalah untuk memberikan suatu rel atau
koridor bagi akuntan manajemen agar tidak menyimpang, yang diartikan sebagai kemauan baik dalam
etika deontologi. Untuk itu, setiap akuntan manajemen berkewajiban untuk menjalankan kode etik
tersebut dengan suatu kesadaran tanpa adanya paksaan. Harapannya dengan kode etik tersebut dijalankan
dengan niatan baik agar hasilnya baik dan tidak terjadi penyimpangan.
Kedudukan etika dalam kehidupan manusia mempunyai tempat yang penting, sebagai individu
maupun masyarakat dan bangsa. Harga diri seseorang bukan ditentukan oleh kekayaan materi maupun
ketinggian intelektualnya, tetapi lebih memperhatikan masalah etikanya. Seseorang yang beretika mulia
selalu melaksanakan kewajiban-kewajibannya baik untuk dirinya, Tuhannya maupun untuk orang lain.
5.1. Implikasi
Hasil dari studi ini menunjukkan bahwa kode etik yang dilaksanakan oleh beberapa informan
masih dalam tataran kewajiban belum merujuk pada sebuah kesadaran. Artinya jika kode etik tersebut
tidak ada maka para Auditor Internal belum mempunyai pijakan yang kuat dalam menjalankan praktik
etikanya. Kode etik bukan meupakan sinyal dari praktik etika (Adam et al, 2001)
5.2. Keterbatasan
Studi ini dilakukan dengan pendekatan non-positivistik sehingga hasilnya tidak dapat
digeneralisasi. Artinya, apa yang ditemukan dilapangan tidak dapat dijadikan dasar atau panduan bagi
perusahaan lain. Temuan dalam studi ini hanya berkaitan dengan situs penelitian yaitu ssalah satu BUMN
di Gresik dengan informan yaitu Auditor Internal yang lulus dari Fakultas Ekonomi jurusan akuntansi
DAFTAR PUSTAKA
Abdurrahman dan NL. Yuliani., 2011. Determinasi Pengambilan Keputusan Etis Auditor Internal (Studi Empris
pada BUMD dan BUMN di Magelang dan Temanggung). Widya Warta. No.2. Tahun XXXV/Juli
Adams, J.S., A. Tashchian and T.H. Shore., 2001. Codes of Ethics as Signals for Ethical Behavior. Journal of
Business Ethics 29: 199:211
Arens, A.A., Elder, R.J. and Mark, B., 2012. Auditing and assurance services: an integrated approach. Boston:
Prentice Hall.
Arikunto, S., 2004. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik, Edisi IV, Rineka Cipta, Jakarta.
Beekun, R.I., 1997. Islamic Business Ethics. International Instutute of Islamic Thought, Herndon, Virginia. USA
Belkaoui, A R., 1992. The Coming Crisis in Accounting. New York; Quorum Books.
Chan, S.Y. and Leung, P., 2006. The effects of accounting students' ethical reasoning and personal factors on their
Ethical Sensitivity. Managerial Auditing Journal, 21(4), pp.436-457.
Diamastuti, E., 2014. Dilema Etika dan “ SIMBOLISME” Kode Etik Akuntan Manajemen Perspektif Kualitatif –
Fenomenologis (Studi pada sebuah BUMN di Indonesia). Prosiding 3rd Economics & Business Research
Festival 13 November. Univesitas Satyawacana
___________., 2015. Kesadaran Etis dalam Jejak Profesi Akuntan Manajemen. Studi pada Salah Satu BUMN di
Kota Gresik Jawa Timur. Prosiding Seminar Nasional dan The 2nd Call for Syariah Paper. Universitas
Muhammaadiyah Surakarta.
Duska, R F and B.S, Duska., 2003. Accounting Ethics. Blackwell Publishing Ltd. USA
Griffin, R.W. and Ebert, R.J., 1998. Business, Fourth Edition. Prentice Hall Inc. Englewood. Clift. Edisi Bahasa
Indonesia. Jilid I Alih Bahasa: Edina Cahyaningsih Jakarta. Penerbit Prenhallindo.
Husein, M.F., 2003., Pengaruh Pemahaman Kode Etik, Nilai Etis Organisasi dan Prinsip Moral terhadap Perilaku
Etis Akuntan. Jurnal Ventura. Vol 6 No.2.
Husein, M.F., 2008. Keterkaitan Faktor-Faktor Organisasional, Individual, Konflik Peran, Perilaku Etis dan
Kepuasan Kerja Akuntan Manajemen. Jurnal Manajemen Teori dan Terapan| Journal of Theory and
Applied Management, 1(1).
Ludigdo, U., 2007. Paradoks Etika Akuntan. Penerbit Pustaka Pelajar. Yogyakarta.
MacKinnon, B. and Fiala, A., 2014. Ethics: Theory and contemporary issues. Nelson Education.
Mihret, D.G., James, K. and Mula, J.M., 2010. Antecedents and organisational performance implications of internal
audit effectiveness: some propositions and research agenda. Pacific Accounting Review, 22(3), pp.224-252.
Moleong, L J., 2005. Metodologi Penelitian Kualitatif. Edisi revisi. Remaja Rosdakarya. Bandung.
Nezhad, H., Marjani, M. and Najafi, A., 2015. A study on relationship between emotional intelligence and
entrepreneurship of trainees in vocational and technical organization. Management Science Letters, 5(5),
pp.501-506.
Noviyanti, S., 2008. Skeptisme Profesional Auditor Dalam Mendeteksi Kecurangan. Jurnal Akuntansi dan
Keuangan Indonesia, 5(1), pp.102-125.
Nugrahaningsih, P., 2005. Analisis Perbedaan Perilaku Etis Auditor di Kantor Akuntan Publik dalam Etika Profesi
(Studi terhadap Peran Faktor-faktor individual: Locus of Control, Lama Pengalaman Kerja, Gender, dan
Equity Sensitivity). Proceeding Simposium Nasional Akuntansi VIII Solo: 617-630.
Nurlan, A.N.D.I., 2011. Persepsi Akuntan Dan Mahasiswa Jurusan Akuntansi Terhadap Kode Etik Ikatan Akuntan
Indonesia (Doctoral dissertation).
Oktarini, K. and Ramantha, I.W., 2016. Pengaruh Pengalaman kerja dan Kepatuhan terhadap Kode Etik pada
Kualitas Audit melalui Skeptisisme Profesional Auditor. E-Jurnal Akuntansi, 15(1), pp.754-783.
Primaraharjo, B. and Handoko, J., 2011. Pengaruh Kode Etik Profesi Akuntan Publik Terhadap Kualitas Audit
Auditor Independen di Surabaya. Jurnal Akuntansi Kontemporer, 3(1), pp.27-51.
Salviana, V. DS. 2009. Pendekatan Interpretif Dalam Ilmu-Ilmu Sosial. Jurnal SALAM Volume 12 Nomor 2
Sawyer, L.B., Dittenhofer, M.A. and Scheiner, J.H., 2005. Audit Internal Sawyer. Edisi Kelima. Jakarta: Salemba
Empat.
Shafer, W.E., 2009. Ethical climate, organizational-professional conflict and organizational commitment: A study of
Chinese auditors. Accounting, Auditing & Accountability Journal, 22(7), pp.1087-1110.
__________., 2015. Ethical climate, social responsibility, and earnings management. Journal of Business Ethics,
126(1), pp.43-60.
Sugiyono. 2010., Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R&D. Bandung. Alfabeta.
Susila, I., 2016., Pendekatan Kualitatif Untuk Riset Pemasaran dan Pengukuran Kinerja Bisnis. Benefit, 1(1), pp.12-
23.
Triyuwono, I,. 2000. Akuntansi Syari’ah: Implementasi Nilai Keadilan dalam Format Metafora Amanah. Jurnal
Akuntansi dan Auditing Indonesia 4 (1). pp. 1-34.
Weiss, J.W., 2014. Business ethics: A stakeholder and issues management approach. Berrett-Koehler Publishers.
White, L.P and L.W. Lam., 2000. A Proposed Infrastructural Model for the Establishment of Organizational Ethical
Systems . Journal of Business Ethics 28: pp 35-42
Widyasari, M. and Purwanto, A., 2011. Analisis faktor–faktor yang mempengaruhi kualitas Hasil kerja Auditor
Internal dan eksternal. (Doctoral dissertation, Universitas Diponegoro).
Wilopo. 2009. Analisis Faktor-Faktor yang Berpengaruh terhadap Terhadap Kecenderungan Kecurangan Akuntansi.
Padang : Simposium Nasional Akuntansi 9 Padang.