Anda di halaman 1dari 5

Nama : Dara Anugrah

NPM : 10050018185
Kelas : B
Tugas Modul Pertemuan 3

1. Berdasarkan materi yang dipelajari, bagaimana penerapannya untuk kasus adiksi


nonsubtance seperti gaming addiction dan yang lainnya, apakah penggunaan obat
diberikan?
Penelitian mengenai penatalaksanaan farmakologis dan non-farmakologis pada adiksi
internet sudah diteliti dan direkomendasikan pada pasien yang sudah ditegakkan
diagnosisnya. Adiksi internet memiliki dimensi biologis, maka obat, seperti obat
antidepresan (amitriptilin, imipramine), antianxietas (diazepam, clorazepate) atau
antipsikotik (Chlorpromazin, trifluoperazine, haloperidol) dapat membantu mengurangi
gejala. Untuk sejauh ini penelitian mengenai pengobatan farmakologis yang telah
diketahui keefektivannya untuk mengurangi gejala adiksi internet adalah Escitalopram
dan Bupropion (Kenneth Paul Rosenberg, 2014) .
Beberapa perawatan seperti terapi kejut ECT untuk kecanduan game diberikan kepada
pasien remaja di rumah sakit militer di China, dan praktek ini dihentikan pada tahun
2009. Secara keseluruhan, dibutuhkan penelitian lebih lanjut. Beberapa studi kasus yang
sukses mengenai pengobatan farmakoterapi, setelah 6 minggu dan 12 minggu
mendapatkan terapi bupropion, gamer bermasalah menunjukkan peningkatan yang
signifikan baik, gangguan perilaku menurun dan penurunan skor depresi (Miller, 2013).
2. Anda juga belajar tentang TMS dan DBS, yang merupakan intervensi eksplorasi
baru untuk adiksi. Silakan anda cari artikel atau sumber lain yang
mengaplikasikan mengenai intervensi TMS dan DBS, apakah penggunaan obat
diberikan?
Contoh TMS dan DBS dalam bidang non adiksi:

Transcranial Magnetic Stimulation (TMS) Transcranial Magnetic Stimulation


bekerja dengan melakukan induksi arus listrik ke dalam otak dengan menggunakan
medan magnet berdenyut yang dihasilkan di luar otak di dekat kulit kepala. Konsep
dasarnya adalah menggunakan listrik untuk menghasilkan medan magnet yang berubah
dengan cepat, yang pada gilirannya menghasilkan impuls listrik di otak. Perangkat TMS
menghasilkan medan magnet yang cukup kuat (sekitar 1,5- 3T), namun hanya sangat
singkat (milidetik) [18]. Perangkat ini digunakan pada pengobatan depresi dengan sesi
yang dibutuhkan adalah 20-40 menit, 5 hari seminggu selama 4-6 minggu. Untuk
menjaga agar pasien tetap diam dan perangkat terpasang dengan benar, pasien berbaring
di kursi dan perangkat dipegang dengan aman di kepala saat mereka terjaga dan waspada
tanpa memerlukan anestesi [17,19].

Deep Brain Stimulation (DBS), yang saat ini berada pada tahap level investigasi untuk
digunakan oleh Food and Drug Administration (FDA) di Amerika Serikat, merupakan
teknik invasif reversibel yang melibatkan implan stereotip elektroda yang didukung oleh
generator listrik ke daerah otak disfungsional spesifik yang terlibat dalam gangguan
mood, penyakit parkinson, penyakit Alzheimer, gangguan gerakan, serta gangguan
neuropsikiatri lainnya [22,26]. Data penelitian mendukung keefektifan DBS yang
menargetkan area loop cortico striato palido thalamo cortical, Ventral Capsule dan
Ventral Striatrum, dan jaringan neuron lainnya pada pasien dengan gangguan mood,
depresi yang resisten terhadap pengobatan, gangguan obsesif kompulsif, dan sindrom
Tourette. Dalam sebuah penelitian, sepuluh pasien dengan depresi yang resisten terhadap
pengobatan berat diimplantasikan dengan elektroda DBS bilateral di Nucleus
Accumbens, dua belas bulan kemudian, lima pasien mencapai pengurangan 50% skor
Hamilton Depression Rating Scale, dengan aktivitas kesenangan meningkat secara
signifikan. Selanjutnya, data tomografi positron emisi [18F] -2-fluoro-2-deoxy-dglukosa
menunjukkan bahwa DBS menurunkan metabolisme di subgenual cingulated gyrus,
orbito prefrontal cortex, dan amigdala. Penelitian ini mendukung efek antidepresan dan
antianhedonik DBS pada pasien dengan depresi yang resisten terhadap pengobatan.
Namun, ukuran sampel yang kecil membatasi interpretasi hasil, dan penelitian lebih
lanjut mengenai perekrutan sampel yang lebih besar diperlukan [2
Pada kasus adiksi:
Transcranial Magnetic Stimulation (TMS)
Transcranial Magnetic Stimulation (TMS) merepresentasi alat nonfarmakologis dan
peluang yang dapat diuji dalam pengobatan SUD (Substance Use Disorder), karena
kapasitasnya untuk menargetkan dan memodulasi sirkuit otak tertentu yang terlibat dalam
neuropatologi kecanduan.
TMS dapat digambarkan sebagai stimulasi otak non-bedah yang mampu
memodulasi rangsangan kortikal melalui medan magnet yang diinduksi di atas kulit
kepala. Aliran arus listrik dalam kumparan menginduksi pulsa magnetik intensitas tinggi
sementara yang menembus kulit kepala dan mencapai neuron dari area kortikal yang
ditargetkan tanpa rasa sakit pada subjek yang sadar. Umumnya, frekuensi 1 Hz (atau di
bawah) dari rangsangan berurutan, yaitu TMS berulang (RTM), menghambat rangsangan
kortikal, sedangkan frekuensi tinggi (5-20 Hz) menghasilkan peningkatan rangsangan
kortikal. Perubahan aktivitas kortikal ini mampu menghasilkan efek fisiologis dan
perilaku, tergantung pada parameter stimulasi yang diterapkan. Durasi total sesi,
frekuensi stimulasi yang digunakan, intensitas (relatif terhadap ambang motorik [MT]),
dan pola stimulasi adalah faktor kunci dalam menentukan efek TMS jangka panjang,
karena efek fisiologis dan perilaku dimediasi oleh fenomena tradisional plastisitas
sinaptik Hebbian, yang terdiri dari potensiasi jangka panjang (LTP) dan depresi jangka
panjang (LTD) aktivitas saraf.

Terlepas dari variabilitas dalam protokol stimulasi yang diterapkan, sejumlah


penelitian telah menunjukkan kemanjuran TMS dalam mengurangi keinginan dan
konsumsi pada pecandu alkohol dan subjek yang bergantung pada nikotin. Penelitian
tambahan baru-baru ini menyoroti potensi terapeutik RTM dalam keinginan yang
diinduksi isyarat untuk metamfetamin, keinginan isyarat heroin, dan keinginan makanan.
Temuan ini menunjukkan bahwa rTMS memodulasi aktivitas saraf melalui dua
mekanisme utama: melalui aferen yang mengandung glutamat frontostriatal ke neuron
berduri sedang di ventral striatum, dan proyeksi dari neuron piramidal dari lapisan kelima
PfCx yang menimpa neuron otak tengah yang mengandung DA (dopamine), dengan
demikian menginduksi pelepasan DA di nukleus accumbens.

Efek TMS untuk meningkatkan kadar DA secara sementara di area kortikal dan
kemampuannya untuk memodulasi aktivitas dopaminergik yang berkurang dalam sistem
limbik tampaknya menjadi salah satu mekanisme dalam memulihkan fungsionalitas
predrug pada tingkat sistem. Di sisi lain, dengan merangsang PfCx, fungsi jaringan
kortikal dapat diperkuat dan diharapkan meningkatkan sirkuit kontrol eksekutif.

Deep Brain Stimulation (DBS)


Baru-baru ini telah tumbuh minat dalam Deep Brain Stimulation (DBS) untuk
pengobatan Gangguan Penggunaan Zat (SUD). DBS terdiri dari pengiriman pulsa listrik
melalui elektroda yang ditanamkan di daerah otak tertentu yang bertujuan untuk
neuromodulasi sirkuit otak patologis. Dibandingkan dengan intervensi bedah saraf
lainnya, ia memiliki keunggulan reversibel, minimal invasif, dan dapat disesuaikan,
karena parameter stimulasi dapat dimodifikasi untuk mempertahankan efek terapeutik. Ini
telah digunakan sejak akhir 80-an dalam pengobatan gangguan gerakan neurologis yang
parah.
DAFTAR PUSTAKA

Wahyuni, Sri. (2018). Psikoterapi pada Adiksi Game Online. Program Pendidikan Dokter

Spesialis I. Fakultas Kedokteran Universitas Udayana

Wang, T. R., Moosa, S., Dallapiaza, R. F., Elias, W. J., & Lynch, W. J. (2018, August). Deep

Brain Stimulation For The Treatment of Drug Addiction. Neurosurg Focus, Vol 45(2).

https://dx.doi.org/10.3171%2F2018.5.FOCUS18163

Prasetya, E. C., & Basoeki, L. (2019). Neuromodulation Intervention in Resistant Depression.


Jurnal Psikiatri Surabaya, 8(2), 39-46.

Anda mungkin juga menyukai