Anda di halaman 1dari 31

PEMANFAATAN TRANSCRANIAL MAGNETIC STIMULATION DI

BIDANG PSIKIATRI

BAB I
PENDAHULUAN
Transcranial magnetic stimulation (TMS) adalah suatu alat neuroscientific
dengan metode noninvasif yang dapat mengubah aktivitas kortikal otak secara
fokal serta mengeksplorasi dan memahami fungsi neurokortikal.1
TMS melibatkan pembuatan medan magnet melalui penggunaan kumparan
elektromagnetik yang terhubung ke perangkat TMS. Medan magnet yang
dihasilkan menginduksi arus listrik di otak, yang bergantung pada karakteristik
stimulasi (misalnya intensitas, waktu dalam kaitannya dengan aktivitas otak yang
sedang berlangsung, bentuk pulse). TMS dapat menginduksi depolarisasi neuron,
penghambatan atau fasilitasi intracortical, atau pelepasan neurotransmtter endogen
yang menghasilkan aksi transinaptik.40 Aksi transinaptik tersebut berpengaruh
terhadap perilaku, sehingga TMS memiliki efek terapeutik pada berbagai aspek
psikiatri.
Penelitian menunjukkan bahwa TMS memiliki efek terapeutik pada berbagai
macam gangguan psikiatri seperti depresi, skizofrenia, gangguan cemas, obsessive
compulsive disorder (OCD), serta gangguan penggunaan zat dan kecanduan.
Berdasarkan penelitian, tingkat respon TMS pada gangguan depresi berat adalah
antara 50% dan 55% dengan tingkat remisi antara 30% dan 35%.2 TMS juga dapat
mempengaruhi neurotransmitter seperti serotonin, dopamin, dan GABA yang
mendasari patofisiologi berbagai macam gangguan neuropsikiatri.19
Pasien dengan gangguan stres pasca trauma (PTSD), gangguan panik, atau
gangguan cemas menyeluruh (generalized anxiety disorder/GAD) mengalami
disregulasi otak. Meskipun obat antidepresan atau psikoterapi dapat meringankan
gejalanya, beberapa pasien masih belum sepenuhnya responsif terhadap terapi
konvensional sehingga memerlukan TMS. Oleh karena itu, disusun referat ini
untuk menjelaskan pemanfaatan TMS di bidang psikiatri.

1
BAB II
TRANSCRANIAL MAGNETIC STIMULATION

A. Definisi Transcranial Magnetic Stimulation (TMS)


Transcranial magnetic stimulation (TMS) adalah salah satu teknik
stimulasi otak yang bersifat nonivasif. Stimulasi dengan TMS memiliki dua
fungsi, yaitu dapat mengganggu fungsi otak dan memodulasi fungsi otak.
Fungsi pertama TMS adalah dapat mengganggu fungsi otak, gangguan ini
dapat dinilai dari kinerja otak, pengalaman subjektif, pencitraan otak, dan
tindakan elektrofisiologis. Hal ini memungkinkan TMS untuk digunakan baik
secara eksperimental untuk mengeksplorasi fungsi saraf dan secara klinis
dapat menjadi alat diagnostik serta terapeutik. Fungsi lain TMS adalah dapat
memodulasi fungsi otak yang dapat bersifat terapeutik untuk penyakit
neuropsikiatri. Repetitive transcranial magnetic stimulation (rTMS) juga telah
disetujui oleh United States Food and Drug Administration (US FDA)
sebagai terapi untuk gangguan depresi berat, serta dilaporkan memiliki efikasi
terhadap gangguan neuropsikiatri lain termasuk bipolar, skizofrenia,
gangguan obsesif-kompulsif, dan kondisi lain.1
TMS adalah suatu metode noninvasif yang dapat mengubah aktivitas
kortikal otak secara fokal. Perangkat TMS dapat memancarkan arus melalui
koil stimulasi yang diletakkan di kepala. Aliran arus berlangsung kurang dari
satu milidetik dan menghasilkan medan magnet yang berubah dengan cepat
pada sekitar koil. Medan magnet ini kemudian menginduksi aliran arus di
jaringan kortikal di dekat permukaan kepala yang dapat merangsang neuron di
daerah fokus dan memodulasi aktivitas saraf. Kekuatan medan magnet
menurun secara eksponensial pada saat melewati cranium dan jaringan otak,
serta mendepolarisasi neuron hingga sekitar 2cm. Efek TMS tidak
sepenuhnya lokal, karena neuron yang terdepolarisasi dapat mentransmisikan
aktivitas mereka secara transinaptik ke daerah subkortikal dan transkortikal
yang terhubung dalam jaringan fungsional. Efek neurobiologis bergantung
pada faktor-faktor seperti intensitas medan magnet, bentuk koil dan

2
orientasinya, serta geometri korteks pasien yang berhubungan dengan medan
magnet.1

B. Unsur-unsur Transcranial Magnetic Stimulation


Elemen TMS dijelaskan dalam gambar 1.

Gambar 1. Unsur-unsur Transcranial magnetic stimulation.5

Unsur-unsur TMS antara lain adalah stimulator yang ditunjukkan dengan


angka 1 pada gambar. Angka 2 menunjukkan sistem pendinginin, 3 kursi
perawatan, 4 koil induksi, dan dalam beberapa kasus menggunakan MRI (5)
yang menggabungkan kamera navigasi stereotactic tiga dimensi tanpa bingkai
(6).5

C. Prosedur TMS
Ketertarikan klinisi terhadap TMS disebabkan oleh potensi
penggunaannya mudah tanpa memerlukan anestesi atau adanya efek samping
yang serius. Sebelum melakukan intervensi TMS, pasien diminta untuk

3
melepaskan benda yang peka terhadap magnet seperti rantai dan kartu kredit.
Pasien juga diminta untuk memakai penutup telinga karena mesin
menghasilkan klik yang keras seperti pada mesin pencitraan resonansi
magnetik. Saat pasien duduk di kursi, dilakukan pengukuran di kulit kepala
untuk menempatkan koil dengan tepat.1,2,3
TMS biasanya diberikan dalam lima kali terapi selama 3-6 minggu
dengan tujuan memberikan 20-30 sesi dalam satu rangkaian pengobatan.
Setiap sesi terdiri dari frekuensi tinggi (misalnya 10Hz) TMS yang
memberikan 3000 pulse dalam durasi khas 37,5 menit pada MT 120 (atau
>80% TMS). Beberapa obat yang harus dihindari selama pengobatan adalah
benzodiazepin dalam dosis tinggi dan obat antikonvulsan karena dapat
mengurangi efek TMS.1,2
Penggunaan TMS harus dilakukan oleh dokter yang terpisah dari
pelatihan oleh produsen, serta harus mendapatkan pelatihan tambahan atau
program pendidikan kedokteran yang lebih lanjut. Setiap klinik TMS harus
memiliki prosedur formal untuk pelatihan dan pemeliharaan keterampilan
staf. Dokter bertanggung jawab untuk menentukan TMS awal (intensitas
minimum pulse TMS yang diperlukan untuk menghasilkan motor evoked
potential [MEP]) dan mengidentifikasi lokasi terapi. Sesi selanjutnya bisa
didelegasikan oleh staf lain dalam pengawasan dokter.1,2,4

D. Jenis-jenis TMS
Berbagai jenis TMS telah dirancang berdasarkan frekuensi dan jenis pulse
magnetik yang diberikan. TMS pulse tunggal melepaskan pulse magnetik
tunggal pada waktu tertentu, sedangkan pulse TMS berulang (rTMS)
mengirimkan pulse magnetik tunggal berulang dengan intensitas yang sama
ke area otak yang terpisah. Dalam paired pulse TMS (ppTMS), stimulus
subthreshold dipasangkan dengan stimulus suprathreshold dengan interval
interstimulus 1-4ms. Ketika interval interstmulus adalah 1-4ms, terdapat
penghambatan intracortical (ICI) yang dimediasi oleh GABA dan dopamin
interneuron, sedangkan ketika interval interstimulus 5-30ms, terdapat

4
intracortical facilitation (ICF) yang dimediasi oleh interneuron NMDA.
Repeated paired pulse TMS (rppTMS) memberikan pulse berpasangan pada
frekuensi yang sangat rendah (2 Hz). Ketika interval antara pasangan pulse
adalah 3 ms, terjadi pengurangan rangsangan kortikal, dan ketika intervalnya
adalah 1,5 ms terjadi peningkatan rangangan kortikal. Theta burst stimulation
(TBS) adalah suatu ledakan pendek pada frekuensi stimulasi 50-100Hz yang
diulang pada 5Hz (frekuensi theta).6,7
Frekuensi stimulasi TMS dapat berkisar dari <1 hingga 20 atau lebih per
detik. Dalam TMS frekuensi rendah, stimulasi <1Hz digunakan untuk durasi
yang lebih lama (10-15 menit), menghasulkan LTD neuron kortikal. TMS
frekuensi tinggi melibatkan >1Hz frekuensi stimulasi untuk durasi yang lebih
pendek, bermanifestasi sebagai LTP neuronal.7

E. Mekanisme Aksi TMS


TMS adalah alat neuroscientific yang dapat digunakan untuk
mengeksplorasi dan memahami fungsi neurokortikal serta sebagai terapi
simptomatologi psikiatri. TMS melibatkan pembuatan medan magnet melalui
penggunaan kumparan elektromagnetik yang terhubung ke perangkat TMS.
Medan magnet yang dihasilkan menginduksi arus listrik di otak, yang
bergantung pada karakteristik stimulasi (misalnya intensitas, waktu dalam
kaitannya dengan aktivitas otak yang sedang berlangsung, bentuk pulse).
TMS dapat menginduksi depolarisasi neuron, penghambatan atau fasilitasi
intracortical, atau pelepasan neurotransmtter endogen yang menghasilkan aksi
transinaptik, yang dijelaskan dalam gambar 2.40

5
Gambar 2. Mekanisme aksi TMS.40

F. Pengukuran Fungsi Neuronal


Berbagai macam parameter pada TMS digunakan untuk mengukur fungsi
neuron kortikal dan subkortikal. Parameter tersebut antara lain sebagai
berikut:
1. Motor threshold (MT)
Pulse magnetik tunggal diberikan pada motor korteks dan
menghasilkan motor-evoked potential (MEP). Intensitas stimulus
yang diperlukan untuk menghasilkan respons adalah MT, yang telah
didefinisikan sebagai intensitas stimulus terendah yang diperlukan
untuk menghasilkan MEP dari >50 μV puncak ke puncak amplitudo
dalam otot yang beristirahat maupun yang diaktifkan. Penerapan
TMS pada korteks oksipital dapat menghasilkan pengalaman flashes
atau melihat kilatan cahaya yang dikenal sebagai fosfen, dan ambang
rangsangan untuk memperoleh respon ini disebut dengan ambang
fosfen (PT), yang lebih bervariasi dibandingkan ukuran MT.8,9

2. Periode cortical silent

6
Penerapan stimulus suprathreshold dapat menyebabkan
penekanan aktivitas EMG setekah produksi MEP pada otot yan
berkontraksi. Periode supresi dari MEP hingga kembalinya aktivitas
otot volunter ini dikenal sebagai cortical silent period (CSP). 50-
60ms pertama dari CSP sebagian disebabkan oleh penghambatan sel
renshaw, sementara sisanya disebabkan oleh karena berkurangnya
rangsangan kortikal.10

3. Penghambatan transcallosal
Stimulasi TMS dari korteks motor dapat menekan kontraksi otot
volunter pada sisi ipsilateral mulai 10-15ms setelah waktu konduksi
kortikospinal minimal. Penghambatan ini dimediasi melalui serat
korpus callosal dan dapat digunakan untuk mempelajari konektivitas
antara berbagai daerah kortikal.11

4. Waktu konduksi motor sentral


Latensi respon motorik yang ditimbulkan oleh pulse motor
tunggal memberikan gambaran tentang kecepatan konduksi neuron.
Perbedaan latensi konduksi MEP yang timbul oleh karena TMS
kortikan dan spinal mengindikasikan waktu konduksi motorik
sentral.12

5. TMS pada individu normal


TMS telah digunakan pada individu normal untuk memetakan
fungsi otak, mengukur rangsangan kortikal dan memodulasi jaringan
saraf fungsional, serta mempelajari interrelasinya.13

6. Plastisitas neural
Plastisitas neural didefinisikan sebagai pengaturan fungsional
koneksi sinaptik dalam menanggapi lingkungan atau penyakit.
Compensatory plasticity dipelajari dengan membuat lesi virtual

7
dengan TMS di satu sisi korteks serebral dan mengamati proses
kompensasi dinamis di hemisferium otak yang berlawanan.14

7. Fungsi kortikal dan subkortikal


Berbagai fungsi kortikal dan subkortikal telah dipelajari
menggunakan TMS, termasuk fungsi motorik dan sensorik, memori,
bahasa, serta pemrosesan informasi visual.15

8. Brain mapping
Pemetaan otak adalah metode untuk membangun hubungan sebab
akibat antara aktivitas neuronal dan fungsi kognitif, perilaku, atau
neurofisiologis tertentu. Hubungan ini dipelajari dengan membuat lesi
virtual pada area kortikal tertentu dan mempelajari kemunduran
dalam kinerja peristiwa tertentu, serta waktunya (hal ini disebut
dengan kronometri sebab-akibat). Dalam proses menciptakan lesi
virtual, alat neuroimaging fungsional seperto functional magnetic
resonance imaging (fMRI), positron emission tomography (PET) dan
single photon emission computed tomography (SPECT) digunakan
untuk mencari kemungkinan area kortikal yang terlibat dalam fungsi
kognitif yang berhubungan dengan penempatan koil TMS yang tepat,
metode ini juga disebut neuronavigation TMS yang dipandu
pencitraan.13

9. Efek neuroendokrinal TMS


Efek TMS, khususnya rTMS pada level plasma mempengaruhi
beberapa hormon, termasuk kortisol, prolaktin, dan thyroid
stimulating hormone (TSH). Beberapa penelitian juga menunjukkan
bahwa TMS dapat berpengaruh pada neuroendokrin.16

G. Indikasi Klinis dan Rekomendasi TMS


The Clinical TMS Society mengeluarkan rekomendasi berikut berdasarkan

8
review tentang TMS pada pasien depresi.2
TMS diindikasikan untuk orang dewasa dengan gangguan depresi mayor
yang gagal dalam pengobatan antidepresan dengan resistensi obat sedang
hingga berat, dan perjalanan penyakit yang berulang (dengan usia rata-rata
pasien adalah 49 tahun). TMS direkomendasikan sebagai pengobatan akut
untuk menghilangkan gejala, dan tambahan 1-2 minggu pengobatan untuk
pasien yang memiliki riwayat delayed response terhadap obat pada episode
sebelumnya. TMS juga direkomendasikan sebelum menerima terapi ECT.
TMS direkomendasikan untuk digunakan bersama dengan pengobatan
bersamaan dengan asesmen ulang MT pasien. TMS juga dapat digunakan
sebagai terapi pemeliharaan dan pengobatan kekambuhan pada pasien fase
akut.2

H. Kontraindikasi TMS
TMS tidak boleh diberikan pada pasien yang memiliki logam
feromagnetik atau logam yang ditanamkan di daerah kepala atau leher yang
berdekatan dengan medan magnet koil TMS. Logam yang terinduksi TMS
dapat menjadi panas dan meningkatkan resiko luka akibat panas pada jaringan
sekitarnya. Medan magnet TMS juga dapat menginduksi pergerakan benda-
benda logam. Evaluasi pasien harus mencakup apakah ada penempatan
perangkat medis logam (misalnya pelat logam, klip, elektroda, stimulator,
implan koklea, alat pacu jantung), serta riwayat paparan fragmen logam, tato
yang dibuat dengan tinta yang mengandung feromagnetik, tindik permanen,
dan atau sumber logam lain yang mungkin ada pada kepala dan leher.1,2
Pada pasien dengan deep brain stimulator (DBS), rTMS dapat
mengakibatkan arus yang tidak diinginkan dalam elektroda DBS di dalam
otak. Oleh karena itu, DBS merupakan kontraindikasi untuk TMS.2
Logam yang ditanamkan di bawah kepala dan leher (misalnya prosthesis
pinggul) umumnya dianggap aman. Perangkat keras ortodontik non-
feromagnetik (misalnya kawat gigi, implan, tambalan) dianggap aman dengan
TMS. Studi radiografi mungkin diperlukan ketika riwayat klinis tidak

9
diketahui. Namun, radiologi tidak dapat menentukan apakah logam yang
terdeteksi merupakan feromagnetik atau tidak. Konsultasi dengan spesialis
lain mungkin diperlukan sebelum memulai pengobatan, khususnya pada
pasien dengan banyak kontraindikasi.2,3

I. Keamanan, Tolerabilitas dan Efek Samping TMS


Efektivitas terapi harus mempertimbangkan efikasi serta keamanan dan
tolerabilitas. TMS merupakan metode non invasif yang relatif aman dan dapat
ditoleransi cukup baik. Efek samping yang terkait dengan terapi ini antara lain
adalah masalah lokal di lokasi penempatan koil. Masalah yang paling sering
terjadi adalah ketidaknyamanan atau rasa sakit pada lokasi pemasangan TMS.
Hal ini terjadi sebagai aktibat dari pulse magnetik yang diterapkan pada
korteks prefrontal dorsolateral kanan atau kiri (DLPFC). Sekitar 50%
mengeluhkan masalah tersebut, sebagian besar dapat menyesuaikan diri dalam
periode waktu yang relatif singkat. Untuk membantu pasien mengatasi
ketidaknyamanan tersebut, terdapat berbagai parameter yang dapat
disesuaikan, termasuk menurunkan intensitas stimulasi, mengubah rotasi atau
sudut koil, atau sedikit mengubah lokasinya. Persarafan di daerah ini dapat
menstimulasi cabang saraf tertentu (misalnya saraf trigeminal) dapat
menyebabkan kontraksi otot di sekitar mata, sensasi pada hidung dan gigi,
atau robek. Kontraksi otot, sakit kepala, dan tegang juga terjadi pada sekitar
setengah pasien. Kondisi tersebut dapat bersifat ringan hingga sedang yang
dapat mereda secara bertahap selama beberapa sesi terapi pertama.
Penggunaan analgesik (misalnya aspirin, asetaminofen, dan ibuprofen)
sebagai tindakan preventif dapat mencegah sakit kepala atau juga dapat
diberikan secara kuratif.1,2
Efek samping potensial paling serius adalah kejang. Insidensi kejang
adalah sekitar 0,1% dari seluruh terapi menggunakan TMS. Hal ini sebanding
dengan kejadian kejang akibat berbagai obat anti depresi. Kejang yang
dilaporkan selalu terjadi pada saat pasien menerima terapi, diselesaikan secara
spontan dengan terapi suportif, dan tidak mengakibatkan komplikasi

10
neurologis atau medis jangka panjang. Oleh karena itu, riwayat kejang
sebelumnya merupakan kontraindikasi relatif terhadap penggunaan TMS.
Selanjutnya, perlu dilakukan observasi pada pasien untuk dapat menurunkan
ambang kejang dengan obat-obatan yang dikombinasikan dengan TMS. Koil
TMS ditempatkan sebelah anterior dari korteks motorik untuk menghindari
periode kurang tidur serta meminimalisasi perubahan signifikan pada asupan
diet dan cairan yang dapat mengubah motor threshold (MT).1,2

J. Rencana Pengembangan TMS


Selain mengetahui marker biologis sebagai respon terhadap TMS,
terdapat beberapa rencana pengembangan TMS untuk mencapai peningkatan
terapi, beberapa diantaranya antara lain sebagai berikut.17
1. Magnet multipel (Cervel Neurotech)
Perangkat investigasi ini memiliki beberapa koil yang memanfaatkan
spatial summation technology untuk secara langsung merangsang struktur
yang lebih dalam dan mencapai spesifitas tingkat sirkuit yang lebih tinggi
di otak. Penelitian menyebutkan bahwa uji coba klinis signifikan secara
statistik dan hasil relevan secara klinis.17

2. Theta burst stimulation (TBS)


TBS merupakan modifikasi dari parameter pulse menggunakan
frekuensi tinggi dan rendah dalam train stimulus yang sama dengan
menerapkan medan magnet frekuensi sangat tinggi (50 Hz) dalam ledakan
yang sangat singkat, yang memiliki frekuensi sendiri 4-7Hz (theta), yaitu
tiga semburan 50Hz diberikan lima kali per detik. Studi klinis pada
manusia sebagai terapi untuk depresi telah menunjukkan hasil yang
positif. TBS dapat memberikan manfaat klinis yang sama dengan TMS
tetapi dengan sesi terapi yang lebih pendek dan intensitas magnetik yang
lebih rendah.17

3. Fase dan frekuensi TMS dikombinasikan dengan EEG (Neosync)

11
Perangkat ini menggunakan medan magnet rendah yang dihasilkan
dengan memutar earth magnet yang disingkronkan dengan frekuensi alfa
frontal EEG. Secara hipotesis, hal ini dapat memicu irama osilasi dari
sirkuit otak yang berhubungan dengan mood.17

4. Penghambatan langsung korteks cingulate anterior


Beberapa penelitian pencitraan menunjukkan bahwa aktivitas
berlebih pada cingulate anterior sangat berkorelasi dengan depresi berat.
Perangkat TMS saat ini belum dapat mencapai cingulate anterior atau
secara tidak langsung tercapai melalui koneksi sinaptik. Hal ini
memunculkan hipotesis bahwa menghambat korteks cingulate anterior
secara langsung dapat meningkatkan hasil klinis.17

5. Kombinasi simultan antara terapi aktif dan pasif


Terapi aktif dapat berupa psikoterapi dan kinerja tugas. Terapi pasif
berupa terapi menggunakan ketamin, cahya terang. Beberapa studi
menunjukkan bahwa terapi aktif dan pasif yang dikombinasikan dengan
TMS berpotensi meningkatkan efek antidepresan TMS.17

6. Kombinasi serial dengan terapi neuromodulasi lain (ECT, tDCS)


Strategi kombinasi lain berupa terapi neuromodulasi lain seperti ECT
dan transcranial direct cortical stimulation (tDCS).17

BAB III
TRANSCRANIAL MAGNETIC STIMULATION DI BIDANG PSIKIATRI

12
A. Transcranial Magnetic Stimulation sebagai Terapi Depresi
1. Prinsip dasar
Berdasarkan prinsip induksi elektromagnetik, TMS memodulasi
lingkungan listrik otak menggunakan medan magnet yang melewati kulit
kepala dan tengkorak tanpa hambatan. Bidang ini diproduksi oleh aliran
arus litrik yang cepat melalui koil dengan inti feromagnetik
(elektromagnet sebagai pengganti magnet permanen). Kekuatan medan
magnet yang dihasilkan oleh TMS bervariasi dari 1,5-3 T. TMS dapat
diberikan dengan pulse tunggal atau sebagai rangkaian pulse pendek yang
disebut dengan train, yang berfungsi untuk penelitian, diagnostik, dan
terapeutik. Dalam penggunaan secara klinis, beberapa ribu pulse
diterapkan selama beberapa menit hingga jam, yang disebut dengan
repetitive TMS (rTMS). Pulse ini dapat diberikan secara cepat dan
berulang yaitu sebesar 1-20Hz yang dapat meningkatkan aktivitas
kortikal. Pulse ini juga dapat diberikan secara berulang lambat <1Hz yang
dapat menghambat aktivitas kortikal.2,17

2. Efikasi TMS pada pasien dengan depresi


Terapi neuromodulasi dengan TMS biasanya digunakan setelah
terjadi kegagalan dari satu atau lebih obat antidepresan dengan atau tanpa
psikoterapi. Pada urutan manajemen klinis, TMS dilakuakn setelah
penggunaan obat dan sebelum perencanaan ECT. Berdasarkan penelitian,
tingkat respon TMS pada gangguan depresi berat adalah antara 50% dan
55%. Tingkat remisi antara 30% dan 35%.2
Studi perbandingan antara TMS dan ECT menunjukkan bahwa
efektivitas ECT lebih baik dibandingkan TMS. ECT juga lebih murah
dibandingkan TMS. Namun, TMS memiliki preferensi pasien yang lebih
tinggi dan efek samping yang relatif lebih sedikit dibandingkan ECT.2
3. Parameter stimulasi untuk depresi berat
Terdapat beberapa parameter penting yang dapat disesuaikan saat

13
memberikan TMS, antara lain adalah: lokasi koil, biasanya pada korteks
prefrontal dorsolateral kanan atau kiri (DLPFC); motor threshold (MT)
atau ambang motor adalah intensitas medan magnet yang diperlukan
ketika koil ditempatkan di atas korteks motor primer untuk mengaktifkan
otot skeletal.17
Denyut magnetik dikirim dalam train stimulasi yang biasanya
berdurasi 1-5 detik. Frekuensi (Hz) bervariasi antara <1-20Hz, frekuensi
yang lebih rendah bersifat menghambat dan frekuensi yang tinggi
memfasilitasi depolarisasi neuron. Interval intertrain digunakan untuk
memungkinkan pendinginan koil, pengisian ulang kapasitor untuk train
selanjutnya, dan mengurangi kemungkinan menginduksi kejang.17
Parameter-parameter yang digunakan dalam TMS telah diteliti untuk
mendapatkan hasil yang optimal. Peneliti dan praktisi telah meningkatkan
jumlah pulse, durasi pengobatan, dan intensitas stimulasi relatif terhadap
MT. Tabel 1 menunjukkan parameter TMS yang sering digunakan untuk
terapi gangguan depresi berat.17

Tabel 1. Transcranial magnetic stimulation : parameter terapi untuk


gangguan depresi berat.17

Parameter Keterangan
Lokasi koil Paling sering pada DLPFC kanan
MT Intensitas stimulus terendah pada korteks motorik
primer untuk menghasilkan kontraksi otot
abductor policis brevis atau otot interoseus dorsal,
dinilai secara visual atau oleh EMG
Stimulus pulse
Intensitas 90%-120% dari MT
Durasi pulse <1 ms
interval inerpulse 50-100 ms
Frekuensi Frekuensi tinggi = 1-20Hz
Frekuensi rendah = <1Hz
Theta burst (TBS) = 3 pulse pada 50Hz

14
Durasi train Frekuensi tinggi = 3-30 detik
Frekuensi rendah 5 detik - 15 menit
TBS 40-90 detik
Interval intertrain Frekuensi tinggi = 20-60 detik
Frekuensi rendah = 25-180 detik
Jumlah pulse
Frekuensi tinggi : 1500-6000
per sesi
Frekuensi tinggi : Hingga 90000
per course
Frekuensi rendah : 120-900
per sesi
Frekuensi rendah 2400-18000
per course

4. Mekanisme aksi
Prinsip-prinsip fisik dasar TMS dan pengaruhnya pada otak pada
tingkat molekuler, elektrofisiologis, dan neuroimaging telah dipelajari
secara luas baik untuk eksperimental dan diagnostik. Badan penelitian
juga telah membuktikan efektivitas TMS untuk mengobati berbagai
gangguan neuropsikiatri. Dalam konteks depresi, TMS memiliki banyak
efek biologis serupa dengan obat antidepresan.18
Patofisiologi depresi dikonseptualisasikan pada level aksi
neurotransmitter dan sirkuit kortikal serta subkortikal di otak. Penelitian
pada hewan dan manusia menunjukkan adanya peningkatan dopaminergik
pada daerah kortikal dan subkortikal otak setelah diintervensi
menggunakan TMS. Hipotesis saat ini terkait dengan penggunaan
frekuensi tinggi TMS terhadap DLPFC menunjukkan adanya
ketidakseimbangan antara daerah limbik (misalnya hippocampus,
amygdala, cingulate anterior, dan insula) dan korteks prefrontal.
Pencitraan otak dari pasien depresi menunjukkan adanya penurunan
aktivitas dalam DLPFC, area yanng terlibat dalam disregulasi perilaku
terkait depresi (misalnya perubahan nafsu makan, gangguan siklus tidur,

15
penurunan tingkat energi).18,19
Depolarisasi neuron kortikal dengan TMS yang cepat dan berulang
dapat meningkatkan aliran darah dan metabolisme di area lokal tempat
koil ditempatkan. Selain itu, koneksi transinaptik berdampak pada area
kortikal dan otak lainnya. Sebagai contoh, ketika TMS frekuensi tinggi
diterapkan pada DLPFC kiri, “mood neurocircuit” mesolimbik dapat
dimodulasi. Hal ini dapat dicapai melalui ritme osilasi serebral yang
diperlukan untuk aktivitas neuronal regional yang sesuai berdasarkan
lingkungan. Sebaliknya, stimulasi selektif interneuron inhibitor dan
hiperpolarisasi dengan menggunakan TMS frekuensi rendah pada DLPFC
kanan dapat menyebabkan penurunan aktivitas neuronal lokal dan dapat
memproduksi efek antidepresi. Pada skenario ini, ada kemungkinan
bahwa penghambatan jaringan kortikal dan subkortikal dapat mengubah
aliran darah ke struktur limbik seperti amygdala, area yang terlibat dalam
modulasi kecemasan dan ketakuran yang merupakan gejala utama dari
banyak episode depresi.18-20
Secara fungsional, stimulasi frekuensi tinggi dari korteks prefrontal
kiri dan stimulasi frekuensi rendah dari korteks prefrontal kanan
berhubungan dengan pengurangan gejala depresi. Mekanisme aksi TMS
dinilai dengan magnetoencephalography menunjukkan bahwa TMS dapat
meningkatkan kekuatan gamma (γ) pada korteks prefrontal dorsolateral
kiri (L-DLPFC). TMS juga dapat meningkatkan konektivitas delta (δ)
band antara L-DLPFC dan amygdala, serta antara L-DLPFC dengan
pregenual anterior cingulate korteks. TMS juga menurunkan konektivitas
gamma (γ) antara L-DLPFC dengan subgenual anterior cingulate cortex.
Hal ini berhubungan dengan penurunan gejala depresi.2,20

5. Marker biologis
Penelitian terbaru yang memanfaatkan pencitraan otak dan TMS
menunjukkan hubungan antara korteks cingulate anterior dan DLPFC.
Area-area ini sangat berkorelasi dalam depresi, dimana terdapat

16
overaktivitas dari cingulate anterior dan hipoaktivitas dari DLPFC.
Respon positif terhadap TMS diprediksi berdasarkan korelasi area-area
tersebut.21
Sebuah tinjauan sistematis oleh Fidalgo et al yang meninjau lebih
dari 50 studi dengan menggunakan metode neuroimaging yang berkaitan
dengan kondisi klinis depresi. Mereka menyebutkan bahwa studi
neuroimaging menggunakan berbagai macam teknik (misalnya, fMRI,
PET, SPECT, MTS) menunjukkan adanya hubungan dengan kondisi
klinis pasien. TMS pada hewan menunjukkan adanya perubahan yang
signifikan pada dopamin, serotonin, dan gerakan mata sakkadik.21

6. Neurotransmitter yang terlibat dalam TMS


Penelitian menunjukkan bahwa peningkatan aktivitas motorik,
peningktan ekspresifitas wajah, dan peningkatan volume suara
berhubungan dengan efek antidepresif dan efek klinis dari TMS.22,23
Mekanisme utama yang mendasari efek tersebut belum dipahami, namun
beberapa penelitian menyebutkan bahwa terdapat aktivasi sistem
nuerotransmitter yang berperan dalam mekanisme aksi TMS. Berikut ini
merupakan neurotransmitter yang berhubungan dengan depresi dan
pengaruh TMS terhadap neurotransmitter.19
a. Serotonin
Serotonin (5-HT) adalah transmitter eksitatori yang terlibat dalam
regulasi hipotalamus-hipofisi-adrenal. Studi menunjukkan bahwa
sistem serotonergik berperan penting dengan kejadian depresi.
Ekspresi mRNA 5-HT1A menurun pada hippocampus dan korteks
prefrontal pada pasien dengan gangguan depresi mayor. Penelitian
pada hewan yang mengalami tanda-tanda depresi juga menunjukkan
hal yang serupa. Oleh karena itu, peningkatan neurotransmisi
serotogenik mendasari efek obat antidepresan maupun TMS.
Beberapa penelitian juga menyebutkan bahwa perubahan yang terjadi
pada L-DLPFC dan metabolisme DLPFC kiri dapat dikembalikan

17
dengan menggunakan TMS.24 Berdasarkan sudut pandang
elektrofisiologi, reseptor 5-HT2A di hippocampus dapat dipengaruhi
melalui neuron piramidal dengan menstimulasi DLPFC. Penelitian
lain juga menyebutkan bahwa perubahan sistem serotogenik yang
diinduksi oleh terapi HF-rTMS berkorelasi positif dengan indeks
pengikatan reseptor 5-HT2A di DLPFC bilateral dan berkorelasi
negatif dengan serapan reseptor 5-HT2A pada hippocampal kanan. 25
Pasien yang mendapatkan TMS jangka panjang mengalami
pengurangan sensitivitas pada autoreseptor 5-HT1A dan 5-HT1B
yang mengontrol tingkat 5-HT di korteks frontal.19

b. Dopamin
Uji praklinis dan uji klinis, serta meta analisis, menunjukkan
peran dopamin dalam patofisiologi depresi mayor dan bentuk depresi
lainnya. Perubahan ekspresi transporter dan reseptor perifer dalam
sistem dopaminergik menjadi prediktor potensial dari respon
pengobatan dan sebagai biomarker untuk mendiagnosis depresi.
Berkaitan dengan efek antidepresif pada TMS, penelitian pada hewan
dan manusia menunjukkan bahwa TMS prefrontal dapat mendorong
pelepasan dopamin di daerah mesostriatal, mesolimbik, dan striatal.
Pemberian TMS akut menunjukkan efek striatal dopaminergik yang
serupa dengan pemberian d-amfetamin, zat yang dapat meningkatkan
dopamin sinaptik. Penelitian ini mendukung TMS dapat berpengaruh
terhadap dopamin yang dapat memperbaiki gejala klinis depresi. Di
masa yang akan datang, eksperimen yang menggabungkan PET
dengan ligan dopaminergik afinitas tinggi dan TMS dapat
memberikan informasi penting tentang jaringan kortikal saraf spesifik
dan konektivitas fungsionalnya yang berhubungan dengan depresi.19,26

c. Asam Gamma-aminobutirat (GABA)


Asam gamma-aminobutirat atau gamma-aminobutyric acid
(GABA) adalah neurotransmitter penghambat utama di otak.

18
Penelitian menyebutkan bahwa GABA berperan dalam patofisiologi
terjadinya depresi. Penurunan marker fungsi GABA dan penurunan
brain-derived neurotropic factor (BDNF) berhubungan dengan
kejadian depresi mayor.27 Oleh karena itu, GABA dapat menjadi
target potensial sebagai antidepresan. Penurunan GABA pada dendrit
piramidal diduga mendasari peningkatan aktivasi subgenual anterior
cingulate cortex (sACC) dan amygdala, yang sering ditemukan pada
pasien dengan depresi. Penelitian tentang efek kronis TMS pada
hipoccampus menunjukkan adanya perubahan pada sirkuit
penghambat lokal hippocampus. Penelitian lain juga menunjukkan
bahwa stimulasi TMS seperti TBS dan LF terus menerus dapat
mempengaruhi ekspresi protein pada interneuron penghambat
kortikal, seperti transporter GABA 1, glutamic acid decarboxylase
(GAD) 65 dan 67.19
Frekuensi TMS yang berbeda menghasilkan pengaruh yang
berbeda dalam subsistem neuron yang berbeda oleh karena perjalanan
waktu dan kuantitas yang berbeda. Kadar glutamat/glutamin dalam
korteks prefrontal dapat ditingkatkan dengan menggunakan sesi HF-
rTMS tunggal, yang dapat merangsang neuron prefrontal
glutaminergik.28 TMS aktif juga dapat meningkatkan penghambatan
daerah kortikal.29 Namun, penelitian tersebut hanya menstimulasi
korteks motorik kiri.
Neurotransmitter lain yang dipengaruhi oleh TMS dan
berhubungan dengan depresi antara lain adalah peningkatan
konsentrasi nacetylaspartat pada ACC kiri. Peningkatan ini
berhubungan dengan fungsi kognitif pasien. Selain itu, norepinefrin
dan asetilkolin juga berhubungan dengan depresi, neurotransmitter
tersebut dapat dimodulasi oleh TMS.30

7. TMS memodifikasi sirkuit neural


Penelitian menunjukkan bahwa HF-TMS di atas L-DLPFC dapat
memberikan efek terapeutik pada pasien dengan depresi mayor. Efek

19
terapeutik tersebut kemungkinan diinduksi melalui modulasi konektivitas
fungsional di jaringan frontostriatal. 31 Penelitian lain menunjukkan bahwa
respon terhadap TMS mungkin bergantung pada subtipe depresi yang
berbeda, di mana subtipe hedonis menetap, resposif terhadap TMS
dorsomedial, sedangkan subtipe dengan gangguan fungsi hedonis
cenderung tidak responsif terhadap TMS dorsomedial.19

B. Transcranial Magnetic Stimulation sebagai Terapi Schizofrenia


Sebagian besar pasien dengan skizofrenia mengalami gejala seperti
halusinasi audiotorik, gejala negatif, atau gangguan kognitif yang tidak
responsif dengan pengobatan. TMS direkomendasikan sebagai terapi pada
pasien skizofrenia, terutama pasien dengan halusinasi audiotorik yang
persisten. Penelitian menunjukkan bahwa hipoaktivitas DLPFC berhubungan
dengan gejala negatif dan kognitif, sementara gejala positif, termasuk
halusinasi audiotorik, berhubungan dengan hiperaktivitas pada korteks
temporo-pareital (TPC).32
1. Gejala positif
LF-TMS pada TPC telah digunakan sebagai terapi halusinasi
audiotorik yang resisten dengan obat.32 Tinjauan sistemik terbaru dan
meta-analisis yang mencakup 41 RCT dengan total 1473 subyek untuk
menyelidiki efikasi TMS temporoparietal dan TMS prefrontal pada
skizofrenia.33 19 penelitian menggunakan TMS prefrontal, biasanya HF
TMS di atas prefrontal kiri atau korteks prefrontal dorsolateral kiri. 22
penelitian lainnya, menggunakan TMS temporoparietal, biasanya di atas
regio temporoparietal kiri. Perbandingan antara TMS aktif dengan sham
TMS menunjukkan terdapat peningkatan halusinasi yang signifikan
menurut positive and negative syndrome scale (PANSS) pada TMS
temporoparietal. Di sisi lain, tidak ada bukti bahwa TMS prefrontal lebih
unggul dibandingkan dengan sham TMS berdasarkan rerata skor
halusinasi atau skor gejala positif. Guo et al menilai bahwa hasil ini
berkualitas rendah karena kualitas pelaporan percobaan yang suboptimal

20
dengan risiko bias yang kuat atau tidak dapat dipastikan.32,34 Sebuah meta
analisis dilakukan untuk menilai efektivitas TMS pada AVH (audioviusal
hallucination). Studi tersebut menunjukkan bahwa TMS memiliki efikasi
44% pada AVH dan 45% pada AVH yang resisten dengan obat. Namun,
ketika membandingkan 1 Hz TMS pada temporoparietal kiri dan sham
TMS, angka efikasi meningkat hingga 63% pada TMS temporoparietal
kiri. Penelitian ini juga menunjukkan bahwa tidak ada perubahan yang
signifikan pada 1 Hz TMS di atas area temporoparietal kanan. 35 Studi
tersebut menunjukkan bahwa LF TMS pada temporoparietal kiri adalah
modalitas yang paling efektif untuk mengobati gejala positif seperti
halusinasi audiotorik, dibandingkan dengan TMS temporoparietal kanan
atau TMS prefrontal.32

2. Gejala negatif
Guo et al mengidentifikasi 3 studi multisenter RCT yang
mengidentifikasi efektivitas TMS untuk gejala negatif. Studi pertama oleh
kelompok Dlabac de Lange mengobservasi efektivitas TMS 10 Hz
bilateral atas DLPFC untuk gejala negatif. 36 32 pasien skizofrenik atau
skizoafektid dengan gejala negatif sedang hingga berat diterapi selama 3
minggu. Selama 3 bulan follow up, terdapat perbaikan gejala negatif yang
signifikan pada kelompok TMS aktif dibandingkan dengan sham TMS
atau TMS palsu. Perbaikan ini diukur dengan scale for assessment of
negative symptoms (SANS). Kemudian, sebuah penelitian multisenter
yang lebih besar dengan 117 pasien dengan gejala negatif yang prominen
dievaluasi untuk menilai efektivitas HF TMS pada DLPFC kiri untuk
terapi gejala negatif skizofrenia. Studi ini menerapkan terapi selama 6
minggu. Hasilnya mengkonfirmasi efektivitas HF TMS pada DLPFC kiri
untuk mengobati gejala negatif, dan efeknya bertahan hingga akhir
minggu follow up (24 minggu).37 Meskipun terdapat randomisasi dalam
penelitian ini, namun jumlah pasien yang termasuk kedalam kelompok
TMS aktif dua kali lipat lebih banyak dibandingkan dengan kelompok
sham TMS. Oleh karena itu, hal ini dapat menyebabkan bias dalam

21
analisis statistik dan mengurangi kualitas bukti.32 Doughall et al
menunjukkan bahwa TBS prefrontal memiliki efek superior dalam
mengurangi gejala negatif berdasarkan skor SANS dan PANSS,
sementara TMS temporoparietal tidak signifikan dalam mengobati gejala
negatif.38

3. Gejala kognitif
Sebuah studi multisenter dari 156 pasien skizofrenia diteliti untuk
menilai efektivitas kognitif TMS pada pasien dengan gejala negatif
dominan.39 Neurokognitif pasien diukur dengan menggunakan 4 dimensi,
yaitu dengan Audiotory verbal learning, train marker, wisconsin card
sorting, dan digital span test. Setelah intervensi 3 minggu dengan TMS
10 Hz di atas DLPFC kiri, tidak didapatkan efek bermakna pada satu dari
empat dimensi kognitif baik setelah TMS atau dalam fase ekstensi 12
minggu. Guo et al menyebutkan terdapat beberapa alasan yang mungkin,
seperti periode intervensi yang tidak mencukupo, efek praktik, dan
domain pengujian yang terbatas pada kognitif. Doughall et al juga
menunjukkan bahwa tidak terdapat peningkatan signifikan dalam gejala
kognitif skizofrenia baik dengan TMS temporoparietal atau TMS
prefrontal.38
C. Transcranial Magnetic Stimulation sebagai Terapi Gangguan Cemas
Pasien dengan gangguan stres pasca trauma (PTSD), gangguan panik,
atau gangguan cemas menyeluruh (generalized anxiety disorder/GAD)
mengalami disregulasi otak seperti gairah yang berlebihan (misalnya
gangguan panik dan GAD) atau gairah yang tidak stabil (misalnya PTSD).
Walaupun obat antidepresan atau psikoterapi dapat meringankan gejalanya,
beberapa pasien masih belum sepenuhnya responsif terhadap terapi
konvensional. Oleh karena itu, berikut dijelaskan tentang studi terbaru
mengenai intervensi TMS untuk terapi gangguan cemas.
Sebuah meta analisis 3 RCT dengan 64 pasien kronis diamati untuk
menilai efektivitas TMS pada DLPFC sebagai terapi PTSD dan menentukan
perbaikan signifikan pada kecemasan serta gejala depresi. Penelitian ini

22
menggunakan perrbandingan anatar TMS aktif dan TMS palsu.32 Menurut
studi ini, DLPFC sisi kanan lebih efektif dibandingkan degan terapi pada sisi
kiri. Temuan tersebut dikonfirmasi oleh studi yang dilakukan Wahbeh et al.
Tinjauan sistematis lain dengan 5 RCT dan 118 pasien juga menunjukkan
bahwa terdapat TMS berperan positif sebagai terapi PTSD.32 Tinajuan
sistematis oleh Cochrane Library dengan menggunakan TMS 1 Hz pada
DLPFC kanan untuk mengevaluasi efektivitas TMS untuk gangguan panik
menunjukkan bahwa tidak terdapat efek yang signifikan antara TMS aktif dan
TMS palsu.41
Penelitian menunjukkan bahwa TMS bermanfaat bagi pasien dengan
PTSD, terutama bagi pasien PTSD kronis dan resisten terhadap pengobatan.
Namun, mengingat heterogenitas di antara penelitian, protokol intervensi
khusus perlu diuji dalam sampel besar untuk menetapkan modalitas TMS
yang optimal untuk PTSD.32

D. Transcranial Magnetic Stimulation sebagai Terapi OCD


Pasoen dengan gangguan obsesif kompulsif atau obsessive compulsive
disorder (OCD) menunjukkan adanya hipereksitasi dalam sirkuit cortico-
striato-thalamo-kortikal, termasuk korteks prefrontal dan orbitofrontal (OFC),
supplementary motor area (SMA), striatum, globus pallidus, dan thalamus.42
Oleh karena itu LF TMS sering diterapkan pada regio diatasnya untuk
menguji efek TMS pada OCD. Sebuah studi multisenter terbaru dengan
sampel 22 pasien menunjukkan bahwa TMS bilateral selama 6 minggu di atas
SMA secara signifikan mengurangi gejala OCD dan gejala depresi,
dibandingkan dengan TMS palsu.43 Selanjutnya, efek ini bertahan selama 6
minggu follow up. Studi lain dengan RCT double blind, 45 pasien,
mengobservasi efektivitas TMS prefrontal dorsolateral 1 Hz, TMS prefrontal
dorsolateral 10 Hz, dan TMS palsu.44 Setelah 10 sesi terapi, hanya TMS
prefrontal dorsolateral 1 Hz yang menunjukkan perbaikan signifikan pada
OCD dan gejala kecemasan. Studi lain juga mengobservasi LF TMS pada
bagian atas OFC kanan untuk terapi OCD. Penelitian crossover double blind
acak dengan 19 pasien setelah 1 minggu, menunjukkan adanya peningkatan

23
klinis yang lebih besar dengan TMS aktif dibandingkan dengan TMS palsu.45
Guo et al menunjukkan bahwa dengan pemindaian PET, terdapat
metabolisme rendah pada area orbitofrontal bilateral di TMS aktif
dibandingkan dengan TMS palsu. Hal ini mendukung efek penghambatan
TMS pada OFC.32

E. TMS sebagai Terapi Gangguan Penggunaan Zat dan Kecanduan


Terapi farmakologis dan terapi perilaku saat ini memiliki efektivitas yang
terbatas dalam mengurangi kecanduan, serta memiliki tingkat kekambuhan
yang tinggi dari gangguan penggunaan narkoba. Penelitian menunjukkan
bahwa DLPFC memiliki peranan penting dalam penghambatan sirkuit neural.
Penggunaan TMS pada DLPFC dapat menjadi terapi non farmakologis untuk
mengobati gangguan penggunaan zat.
Dinur-Klein mengobservasi secara praklinis efektivitas protokol TMS, 10
Hz rTMS, 1 Hz rTMS, dan stimulasi palsu pada korteks prefrontal dan insular
dari 115 perokok. Hasil penelitian menunjukkan bahwa HF TMS secara
signifikan dapat mengurangi konsumsi rokok dan ketergantungan nikotin
dibandingkan dengan LF TMS (1 Hz) dan TMS palsu. Hasil penelitian
tersebut menunjukkan efektivitas sebanyak 44% pada akhir teraoi dan 33%
pada follow up buan ke 6.46
Keinginan pada makanan juga terkait dengan aktivitas DLPFC. RCT
double blind dengan 10 sesi TMS kepada 47 pasien wanita dengan bulimia
nervosa gagal menunjukkan manfaat yang lebih besar dari TMS aktif
dibandingkan dengan TMS palsu.47 Penelitian terkait kecanduan kokain juga
menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan antara TMS aktif
dan TMS palsu.32

24
BAB IV
KESIMPULAN
TMS adalah suatu metode noninvasif yang dapat mengubah aktivitas kortikal
otak secara fokal. Jenis TMS antara laian adalah sp TMS, rTMS, ppTMS,
rppTMS, TBS, LF TMS, dan HF TMS. TMS melibatkan pembuatan medan
magnet melalui penggunaan kumparan elektromagnetik. Medan magnet yang
dihasilkan menginduksi arus listrik di otak, yang bergantung pada karakteristik
stimulasi (misalnya intensitas, waktu dalam kaitannya dengan aktivitas otak yang
sedang berlangsung, bentuk pulse). TMS dapat menginduksi depolarisasi neuron,
penghambatan atau fasilitasi intrakortikal, atau pelepasan neurotransmitter
endogen yang menghasilkan aksi transinaptik yang berpengaruh pada perilaku.
Rencana pengembangan TMS antara lain dengan magnet multipel, TBS,
kombinasi TMS dengan EEG, penghambatan langsung ke korteks cingulate
anterior, serta kombinasi serial dengan terapi neuromodulasi lain (ECT, tDCS).

25
TMS dapat meningkatkan kekuatan gamma (γ) pada korteks prefrontal
dorsolateral kiri (L-DLPFC), meningkatkan konektivitas delta (δ) band antara L-
DLPFC dan amygdala, serta antara L-DLPFC dengan pregenual anterior cingulate
korteks. TMS juga menurunkan konektivitas gamma (γ) antara L-DLPFC dengan
subgenual anterior cingulate cortex yang berhubungan dengan perbaikan gejala
depresi. TMS mempengaruhi neurotransmitter seperti serotonin, dopamin, dan
GABA, serta memodifikasi sirkuit neural. TMS dapat digunakan sebagai terapi
depresi, skizofrenia, gangguan cemas, OCD, serta gangguan penggunaan zat dan
kecanduan.

DAFTAR PUSTAKA

1. Luber B, McClintock SM, Lisanby SH. Applications of transcranial magnetic


stimulation and magnetic seizure therapy in the study and treatment of
disorders related to cerebral aging. Dialogues Clin Neurosci. 2013;15(1):87–
98.
2. Reddy MS, Vijay MS. Repetitive Transcranial Magnetic Stimulation for
Depression: State of the Art. Indian J Psychol Med. 2017;39(1):1–3.
doi:10.4103/0253-7176.198951
3. The CAN-BIND Program. rTMS for Depression – An Informational Guide for
Health Care Providers. [Diakses pada 06 Juli 2019]. Available
from: https://www.youtube.com/watch?v=2n5BYKID9hk .
4. Perera T, George MS, Grammer G, Janicak PG, Pascual-Leone A, Wirecki TS.
The clinical TMS society consensus review and treatment recommendations

26
for TMS therapy for major depressive disorder. Brain Stimul. 2016;9:336–46.
5. Downar J, Blumberger DM, Daskalakis ZJ. Repetitive transcranial magnetic
stimulation: an emerging treatment for medication-resistant
depression. CMAJ. 2016;188(16):1175–1177.
6. Health Quality Ontario. Repetitive transcranial magnetic stimulation for
treatment-resistant depression: A systematic review and meta-analysis of
randomized controlled trials. Ont Health Technol Assess Ser. 2016;16:1–66.
7. Magnezi R, Aminov E, Shmuel D, Dreifuss M, Dannon P. Comparison between
neurostimulation techniques repetitive transcranial magnetic stimulation vs.
electroconvulsive therapy for the treatment of resistant depression: Patient
preference and cost-effectiveness. Patient Prefer Adherence. 2016;10:1481–7.
8. Ter Braack EM, de Goede AA, van Putten MJAM. Resting Motor Threshold,
MEP and TEP Variability During Daytime. Brain Topogr. 2019;32(1):17–27.
9. Ah Sen CB, Fassett HJ, El-Sayes J, Turco CV, Hameer MM, Nelson AJ. Active
and resting motor threshold are efficiently obtained with adaptive threshold
hunting. PLoS One. 2017;12(10):e0186007.
10. van Kuijk AA, Bakker CD, Hendriks JC, Geurts ACh, Stegeman DF, Pasman
JW. Definition dependent properties of the cortical silent period in upper-
extremity muscles, a methodological study. J Neuroeng Rehabil. 2014;11:1.
11. Davidson TW, Bolic M, Tremblay F. Predicting Modulation in Corticomotor
Excitability and in Transcallosal Inhibition in Response to Anodal
Transcranial Direct Current Stimulation. Front Hum Neurosci. 2016;10:49.
12. Chandra SR, Issac TG, Nagaraju BC, Philip M. A Study of Cortical
Excitability, Central Motor Conduction, and Cortical Inhibition Using Single
Pulse Transcranial Magnetic Stimulation in Patients with Early
Frontotemporal and Alzheimer's Dementia. Indian J Psychol Med.
2016;38(1):25–30.
13. Luber B, Lisanby SH. Enhancement of human cognitive performance using
transcranial magnetic stimulation (TMS). Neuroimage. 2014;85 Pt 3(0
3):961–970.
14. Kozyrev V, Staadt R, Eysel UT, Jancke D. TMS-induced neuronal plasticity

27
enables targeted remodeling of visual cortical maps. Proc Natl Acad Sci U S
A. 2018;115(25):6476–6481.
15. Kearney-Ramos TE, Lench DH, Hoffman M, Correia B, Dowdle LT, Hanlon
CA. Gray and white matter integrity influence TMS signal propagation: a
multimodal evaluation in cocaine-dependent individuals [published correction
appears in Sci Rep. 2018 Apr 20;8(1):6497]. Sci Rep. 2018;8(1):3253.
16. Soundara Rajan T, Ghilardi MFM, Wang HY, et al. Mechanism of Action for
rTMS: A Working Hypothesis Based on Animal Studies. Front Physiol.
2017;8:457.
17. Janicak PG, Dokucu ME. Transcranial magnetic stimulation for the treatment
of major depression. Neuropsychiatr Dis Treat. 2015;11:1549–1560.
18. Chervyakov AV, Chernyavsky AY, Sinitsyn DO, Piradov MA. Possible
Mechanisms Underlying the Therapeutic Effects of Transcranial Magnetic
Stimulation. Front Hum Neurosci. 2015;9:303. Published 2015 Jun 16.
19. Peng Z, Zhou C, Xue S, et al. Mechanism of Repetitive Transcranial Magnetic
Stimulation for Depression. Shanghai Arch Psychiatry. 2018;30(2):84–92.
20. Ma J, Zhang Z, Kang L, Geng D, Wang Y, Wang M, Cui H.Repetitive
transcranial magnetic stimulation (rTMS) influences spatial cognition and
modulates hippocampal structural synaptic plasticity in aging mice. Exp
Gerontol. 2014; 58: 256-268.
21. Fidalgo TM, Morales-Quezada JL, Muzy GS, et al. Biological markers in
noninvasive brain stimulation trials in major depressive disorder: a systematic
review. J ECT. 2014;30(1):47–61.
22. Cheng C M, Juan CH, Chen MH, Chang CF, Lu HJ, Su TP, et al. Different
forms of prefrontal theta burst stimulation for executive function of
medication- resistant depression: Evidence from a randomized sham-
controlled study. Prog Neuropsychopharmacol Biol Psychiatry. 2016; 66: 35-
40. 
23. Thomas-Ollivier V, Foyer E, Bulteau S, Pichot A, Valriviere P, Sauvaget A, et
al. Cognitive component of psychomotor retardation in unipolar and bipolar
depression: Is verbal fluency a relevant marker? Impact of repetitive

28
transcranial stimulation. Psychiatry Clin Neurosci. 2017; 71(9): 612-623. 
24. Baeken C, Vanderhasselt MA, Remue J, Herremans S, Vanderbruggen N,
Zeeuws D, et al. Intensive HF-rTMS treatment in refractory medication-
resistant unipolar depressed patients. J Affect Disord. 2013; 151(2): 625-631. 
25. De Raedt R, Vanderhasselt MA, Baeken C. Neurostimulation as an
intervention for treatment resistant depression: From research on mechanisms
towards targeted neurocognitive strategies. Clin Psychol Rev. 2015; 41: 61-
69. 
26. Gururajan A, Clarke G, Dinan TG, Cryan JF. Molecular biomarkers of
depression. Neurosci Biobehav Rev. 2016; 64: 101-133.
27. Ren Z, Sahir N, Murakami S, Luellen BA, Earnheart JC, Lal R, et al. Defects
in dendrite and spine maturation and synaptogenesis associated with an
anxious-depressive-like phenotype of GABAA receptor-deficient
mice. Neuropharmacology. 2015; 88: 171-179.
28. Baeken C, Lefaucheur JP, Van Schuerbeek P. The impact of accelerated high
frequency rTMS on brain neurochemicals in treatment-resistant depression:
Insights from (1)H MR spectroscopy. Clin Neurophysiol. 2017; 128(9): 1664-
1672. 
29. Hoppenrath K, Hartig W, Funke K. Intermittent Theta-Burst Transcranial
Magnetic Stimulation Alters Electrical Properties of Fast-Spiking Neocortical
Interneurons in an Age-Dependent Fashion. Front Neural Circuits. 2016; 10:
22
30. Pehrson AL, Hillhouse TM, Haddjeri N, Rovera R, Porter JH, Mork A, et
al. Task- and Treatment Length-Dependent Effects of Vortioxetine on
Scopolamine-Induced Cognitive Dysfunction and Hippocampal Extracellular
Acetylcholine in Rats. J Pharmacol Exp Ther. 2016; 358(3): 472-482.
31. Kang JI, Lee H, Jhung K, Kim KR, An SK, Yoon KJ, et al.Frontostriatal
Connectivity Changes in Major Depressive Disorder After Repetitive
Transcranial Magnetic Stimulation: A Randomized Sham-Controlled Study. J
Clin Psychiatry. 2016; 77(9): e1137-e1143.
32. Guo Q, Li C, Wang J. Updated Review on the Clinical Use of Repetitive

29
Transcranial Magnetic Stimulation in Psychiatric Disorders. Neurosci Bull. ;
33(6):747–756.
33. Dougall N, Maayan N, Soares-Weiser K, McDermott LM, McIntosh A.
Transcranial magnetic stimulation for schizophrenia. Schizophr
Bull. 2015;41:1220–1222. 
34. Koops S, van Dellen E, Schutte MJ, Nieuwdorp W, Neggers SF, Sommer IE.
Theta burst transcranial magnetic stimulation for auditory verbal
hallucinations: negative findings from a double-blind-randomized
trial. Schizophr Bull. 2016;42:250–257.
35. Slotema CW, Blom JD, van Lutterveld R, Hoek HW, Sommer IE. Review of
the efficacy of transcranial magnetic stimulation for auditory verbal
hallucinations. Biol Psychiatry. 2014;76:101–110. 
36. Dlabac-de Lange JJ, Bais L, van Es FD, Visser BG, Reinink E, Bakker B, et
al. Efficacy of bilateral repetitive transcranial magnetic stimulation for
negative symptoms of schizophrenia: results of a multicenter double-blind
randomized controlled trial. Psychol Med. 2015;45:1263–1275. 
37. Quan WX, Zhu XL, Qiao H, Zhang WF, Tan SP, Zhou DF, et al. The effects
of high-frequency repetitive transcranial magnetic stimulation (rTMS) on
negative symptoms of schizophrenia and the follow-up study. Neurosci
Lett. 2015;584:197–201.
38. Dougall N, Maayan N, Soares-Weiser K, McDermott LM, McIntosh A.
Transcranial magnetic stimulation for schizophrenia. Schizophr
Bull. 2015;41:1220–1222. 
39. Hasan A, Guse B, Cordes J, Wolwer W, Winterer G, Gaebel W, et al.
Cognitive effects of high-frequency rTMS in schizophrenia patients with
predominant negative symptoms: results from a multicenter randomized
sham-controlled trial. Schizophr Bull. 2016;42:608–618.
40. McClintock SM, Freitas C, Oberman L, Lisanby SH, Pascual-Leone A.
Transcranial magnetic stimulation: a neuroscientific probe of cortical function
in schizophrenia. Biol Psychiatry. 2011;70(1):19–27.
41. Li H, Wang J, Li C, Xiao Z. Repetitive transcranial magnetic stimulation

30
(rTMS) for panic disorder in adults. Cochrane Database Syst Rev 2014,
CD009083. 
42. Modirrousta M, Shams E, Katz C, Mansouri B, Moussavi Z, Sareen J, et al.
The efficacy of deep repetitive transcranial magnetic stimulation over the
medial prefrontal cortex in obsessive compulsive disorder: results from an
open-label study. Depress Anxiety. 2015;32:445–450. 
43. Hawken ER, Dilkov D, Kaludiev E, Simek S, Zhang F, Milev R. Transcranial
magnetic stimulation of the supplementary motor area in the treatment of
obsessive–compulsive disorder: a multi-site study. Int J Mol
Sci. 2016;17:420. 
44. Elbeh KA, Elserogy YM, Khalifa HE, Ahmed MA, Hafez MH, Khedr EM.
Repetitive transcranial magnetic stimulation in the treatment of obsessive–
compulsive disorders: Double blind randomized clinical trial. Psychiatry
Res. 2016;238:264–269.
45. Nauczyciel C, Le Jeune F, Naudet F, Douabin S, Esquevin A, Verin M, et al.
Repetitive transcranial magnetic stimulation over the orbitofrontal cortex for
obsessive–compulsive disorder: a double-blind, crossover study. Transl
Psychiatry. 2014;4:e436. 
46. Dinur-Klein L, Dannon P, Hadar A, Rosenberg O, Roth Y, Kotler M, et al.
Smoking cessation induced by deep repetitive transcranial magnetic
stimulation of the prefrontal and insular cortices: a prospective, randomized
controlled trial. Biol Psychiatry. 2014;76:742–749. 
47. Gay A, Jaussent I, Sigaud T, Billard S, Attal J, Seneque M, et al. A lack of
clinical effect of high-frequency rTMS to dorsolateral prefrontal cortex on
bulimic symptoms: a randomised, double-blind trial. Eur Eat Disord
Rev. 2016;24:474–481.

31

Anda mungkin juga menyukai