BAB I
PENDAHULUAN
A.Latar Belakang
Nyeri merupakan fenomena multidimensi yang melibatkan komponen
sensorik, afektif, lingkungan dan kognitif. The International Association for the
Study of Pain (IASP) mendefinisikan nyeri sebagai pengalaman emosi atau
sensorik yang tidak menyenangkan yang disertai atau tidak kerusakan jaringan
(Shipton, 1999).
Pengelolaan nyeri khususnya tipe kronis, sampai sekarang dapat dikatakan
belum memuaskan. Hal tersebut akibat fenomena nyeri itu sendiri yang begitu
komplek (Meliala, 2008). Dikatakan nyeri kronis jika berlangsung selama 6 bulan
atau lebih dan tidak berespon baik terhadap pengobatan yang saat ini diberikan
dan dapat berlangsung sepanjang kehidupan (Weiner, 2008).
Nyeri kronis masih menjadi masalah kesehatan umum baik di negara
bekembang maupun negara maju yang diderita oleh 17,1% lakilaki dan 20%
perempuan di Australia. Di Inggris kejadian nyeri kronis setiap tahunnya berkisar
8,3% dan prevalensi nyeri punggung sendiri di Swedia berkisar 23% . Nyeri
kronis menyebabkan masalah finansial dan disabilitas (Pridmore et al., 2005).
Di Amerika nyeri merupakan silent epidemic dan diperkirakan lebih dari
100 juta orang dewasa di Amerika sekitar 51% dari 215 juta populasi usia lebih
dari 20 tahun mengalami nyeri pada satu atau beberapa bagian tubuh termasuk
persendian, leher, punggung bawah, nyeri kepala / migrain. Lebih dari 25 % orang
dewasa berusia lebih dari 40 tahun mengalami nyeri punggung bawah dan 25 %
wanita berusia 20 hingga 39 tahun mengalami nyeri kepala atau migrain (Anonim,
2008).
Crook et al. ( 1998 ), dalam penelitian terhadap 372 keluarga di Canada
didapatkan 24% dari keluarga tersebut memiliki paling sedikit satu orang anggota
keluarga menderita nyeri yang menetap. Sebanyak 70% mengalami nyeri menetap
dan membutuhkan bantuan medis, 60% minum obat secara rutin dan
diperhitungkan bahwa rata-rata kejadian nyeri menetap menurut survei populasi
adalah sekitar 11%.
Andersen & Worm-Petersen (1988), melakukan penelitian terhadap 3.196
orang dewasa yang tinggal di Copenhagen dan menemukan prevalensi nyeri
kronis sekitar 30%.
Nyeri, terutama nyeri kronis merupakan penyebab utama penderitaan,
kecacatan dan kehilangan pekerjaan. Prevalensi nyeri kronis meningkat pada
populasi usia tua, yang berdampak secara dramatis pada sistem layanan
masyarakat dan kesehatan di seluruh dunia. Nyeri kronis saat ini juga sudah
menjadi salah satu problem kesehatan masyarakat (Peter, 2010)
Terapi dan perbaikan nyeri kronis masih menjadi tantangan yang serius
khususnya bagi negara-negara industri. Nyeri kronis tersebut memiliki dampak
negatif yang besar bagi industri terutama jika nyeri kronis diderita oleh orang
dalam usia produktif (Peter, 2010) .
Hampir setiap studi epidemiologi pada nyeri kronis dan kecacatan telah
dilakukan pada populasi pekerja, karena tingginya prevalensi gangguan nyeri
tulang belakang yang menyebabkan nyeri kronis sebagai penyebab pertama dari
kompensasi ekonomi dan kecacatan. Sebuah penemuan penting bahwa lebih dari
7,4% biaya telah di klaim untuk biaya kompensasi gangguan tulang belakang
yang menyebabkan nyeri kronis yang membuat para pekerja tersebut harus
berhenti bekerja untuk sementara waktu sekitar 6 bulan. Hal ini tentu sangat
memberi dampak yang merugikan bagi industri sehingga dibutuhkan pendekatan
terapi baru untuk deteksi dan terapi awal pada nyeri kronis ini (Ruiz-Lpez,
1995).
Telah banyak studi yang dilakukan mengenai terapi nyeri kronis tetapi
sampai saat ini pilihan terapi masih terbatas. Sementara itu lamanya gejala
cenderung membuat rasa sakit semakin resisten terhadap pengobatan (Fregni et
al., 2007). Secara farmakologi pengurangan rasa nyeri terutama nyeri kronis
kurang memuaskan. Pada beberapa individu tidak dapat mencapai pengurangan
rasa nyeri yang signifikan. Dalam beberapa penelitian dan menurut pedoman
European Federation of Neurological Societies (EFNS) hanya sekitar 3040%
pasien dengan nyeri kronis dapat mencapai target mengurangi rasa nyeri dengan
farmakoterapi (Crucu et al., 2007).
Terapi tambahan seperti terapi fisik dan terapi psikologi juga sering
digunakan tetapi terapi ini tidak cukup jika digunakan pada orang dengan nyeri
yang hebat. Selain itu beberapa terapi yang bersifat agresif seperti pembedahan
lesi yang bertujuan mengurangi rasa nyeri khususnya nyeri neuropati yang
sebelumnya banyak dilakukan kini mulai ditinggalkan.
World Health Association (WHO) telah mempublikasikan langkah-langkah
pendekatan terapi nyeri yang sederhana dan telah tervalidasi yang di kenal dengan
three-step ladder WHO yang terbukti efektif dalam mengurangi nyeri pada 90 %
pasien dengan nyeri kanker. Prinsip dasar tiga langkah menurut WHO tersebut
meliputi (1) pemilihan analgetik yang sesuai dengan intensitas nyeri, (2) titrasi
dosis analgetik opioid yang sesuai bersifat individu dan (3) penambahan terapi
adjuvant baik farmakoterapi maupun nonfarmakoterapi (Internist extra, 2010).
Salah satu terapi adjuvant non farmakologi untuk nyeri adalah dengan
teknik
noninvasive
brain
stimulation
(neurostimulasi)
seperti
repetitive
B. Perumusan Masalah
Dari uraian d iatas maka dapat disimpulkan beberapa permasalahan
sebagai berikut:
(1.)
(2.)
kehilangan pekerjaan.
Terapi nyeri kronis banyak pilihan, tetapi respon terapi sering tidak
(3.)
memuaskan.
Terapi nyeri kronis secara farmakologis dihadapkan pada kemungkinan
(4.)
(2.)
BAB II
PEMBAHASAN
A.Nyeri kronis
Nyeri kronis ditetapkan sebagai kelainan proses somatosensori yang
berkelanjutan melebihi waktu yang telah ditetapkan sebagai nyeri akut. Nyeri
kronis muncul dari disfungsi sistem saraf bersifat samar, sangat mengganggu dan
sukar untuk di lokalisir sehingga sering sulit untuk didiagnosis.
Menurut Shipton (1999), dikatakan nyeri kronis jika nyeri masih dirasakan
diluar dari batas waktu nyeri akut atau berulang setiap bulan atau tahun. Nyeri
kronis berlangsung selama 6 bulan atau lebih dan tidak berespon baik terhadap
pengobatan yang saat ini diberikan dan dapat berlangsung sepanjang kehidupan
(Weiner, 2008). PERDOSSI (2011), mendefinisikan nyeri kronis jika berlangsung
lebih dari 3 bulan.
Nyeri akut jika tidak diatasi dengan baik dapat menyebabkan perubahan
pada sistem saraf pusat misalnya perubahan pada kornu dorsalis dimana nyeri
nosiseptik yang dihasilkan dari perifer bertahan lebih lama. Lesi pada sistem saraf
dapat menghasilkan nyeri kronis dimana tidak terdapat bukti patologis pada
tempat yang nyeri misalnya pada phantom limb pain, trigeminal neuralgia. Nyeri
diketahui bersifat individual hal ini dibuktikan pada percobaan di laboratorium
yang dilakukan pada tikus menunjukkan pada beberapa tikus lebih cenderung
untuk menderita nyeri. Diperkirakan lebih dari 10% populasi umum nyeri kronis
dihasilkan dari stimulus noksius dimana pada individu normal nyeri tersebut
hanya dirasakan dalam waktu yang singkat, tetapi pada beberapa orang nyeri
berlangsung lama. Respon afektif terhadap stimulus noksius berhubungan dengan
faktor genetik, pengalaman masa lalu, mood dan interpretasi seseorang terhadap
nyeri. Faktor lingkungan juga dapat memainkan peranan yang cukup penting
terhadap nyeri (Weiner, 2008).
1. Fisiologi Nyeri
Sebelum menjadi persepsi nyeri, sinyal nosisepsi akan menjalani empat
proses yang berbeda yang dikenal sebagai transduksi, transmisi, modulasi dan
persepsi. Transduksi adalah proses dimana energi dari stimulus mekanik, suhu,
atau kimia diubah menjadi aktivitas elektrofisiologis dari perifer ke medula
spinalis. Transmisi adalah penjalaran sinyal elektrofisiologis dari perifer ke
medula spinalis, dari medula spinalis ke batang otak dan thalamus dan akhirnya
ke kortek (Serge, 2010).
Modulasi merupakan aktivitas saraf yang akan mengontrol transmisi nyeri
sebelum dilanjutkan ke tingkat yang lebih tinggi. Kemampuan sel-sel saraf pada
kornu posterior medula spinalis mengontrol / memodulasi rangsang nyeri sebelum
dilanjutkan ke atas, pada gilirannya memberikan perbedaan persepsi nyeri
terhadap rangsang nyeri yang sama. Modulasi terjadi pada tingkat sistem saraf
pusat dan akan menyebabkan peningkatan atau penurunan aktivitas neuron.
Sebagaimana disebutkan pada bagian berikutnya, baik mekanisme eksitatorik dan
inhibitorik mempunyai peran penting dalam kondisi nyeri kronis (Serge, 2010).
Persepsi nyeri adalah puncak dari proses transduksi yang bersifat sementara
atau berkelanjutan yang diterima oleh nosiseptor perifer. Persepsi nyeri dimulai
dengan aktifasi nosiseptor perifer dan konduksi melalui serabut saraf A dan
serabut saraf C ke ganglion dorsalis. Dari sini sinyal berjalan ke traktus
spinotalamikus menuju thalamus dan kortek somatosensori (Shipton, 1999).
Nosiseptor dapat bersifat spesifik terhadap satu stimulus nyeri atau dapat
berespon terhadap beberapa stimulus nyeri seperti mekanik, termal, kimia atau
stimulus listrik yang disebut wide dynamic range (WDR) (Greene, 2010).
Cara yang baik untuk memahami fisiologi nyeri adalah dengan mengikuti
jaras sinyal nosisepsi dari perifer ke otak, dengan penekanan pada integrasi dan
modulasi sinyal nosisepstif pada berbagai tahap sistem saraf pusat (Serge, 2010).
Jaras nosiseptif perifer ke otak dapat dilihat pada gambar 1 di bawah ini.
10
Stimulus nosiseptif mekanis, kimia atau suhu akan diterima oleh nosiseptor
perifer yang kemudian akan melakukan konduksi sinyal nosiseptif di neuron
primary afferen menuju kornu dorsalis medula spinalis. Pada kornu dorsalis
neuron aferen primer akan melakukan kontak sinaptik dengan neuron sekunder.
Neuron sekunder dari traktus spinotalamikus lateral dan spinoretikular medial
akan menyilang di medula spinalis dan mengirimkan proyeksi eferen ke pusat
pusat yang lebih tinggi. Sebagian besar aferen akan membuat sinap kedua di
nukleus lateral dan medial thalamus yang kemudian akan membuat kontak
sinaptik dengan neuron ketiga. Penting untuk mengingat bahwa neuron sekunder
juga bersinap dengan neuron di berbagai nukleus di batang otak termasuk
periaquaductal gray (PAG) dan daerah nucleus raphe magnus (NRM) yang
terlibat dalam modulasi nyeri endogen desenden. Neuron ketiga di thalamus
mengirimkan aferen ke kortek somatosensoris primer dan sekunder (S1 dan S2).
Kortek S1 dan S2 terlibat dalam kualitas sensoris dari nyeri yang mencakup
lokasi, durasi dan intensitas. Neuron ketiga juga berproyeksi ke sistem limbik
termasuk anterior cingulated cortex (ACC) dan insula yang terlibat dalam
komponen afektif atau emosional dari nyeri. Berbagai kontak sinaptik dengan
neuron eksitatorik dan inhibitorik pada berbagai tingkat sistem saraf pusat adalah
daerah integrasi yang penting yang merupakan target untuk sebagian besar
pendekatan farmakologis (Serge, 2010).
2. Patofisiologi nyeri kronis
Lesi pada jaringan dapat berlangsung singkat dan bila lesi sembuh nyeri
akan hilang, akan tetapi jika lesi tersebut berkepanjangan dan menjadi kronis
11
12
glutamat,
serabut
juga
melepaskan
tachynin
yang
membutuhkan waktu lebih lagi yaitu puluhan detik untuk bereaksi terhadap
reseptor neurokinin. Pelepasan glutamat dan tachynin yang simultan terhadap
serabut saraf C akan menyebabkan timbulnya synaptic currents baik yang lambat
maupun yang cepat secara bersamaan. Proses ini yang disebut dengan istilah long
term potentiation (LTP) (Meliala, 2008).
Proses wind-up dan LTP mirip karena sama-sama bergantung pada aktivitas
reseptor NMDA namun lama keberadaannya berbeda. wind-up akan menyebabkan
kepekaan neuron meningkat selama input atau stimulus masih ada. Long term
potentiation (LTP) juga menambah kepekaan neuron yang masih terjadi walaupun
stimuli sudah hilang. Proses di atas menggambarkan mekanisme hiperalgesia
sekunder yang terjadi pada nyeri kronis (Meliala, 2008).
Proses sensitisasi sentral dapat dilihat pada gambar 2 berikut ini.
13
saat direkrut oleh nosiseptif (hiperalgesia) dan stimulasi non nosiseptif (alodinia).
Secara umum kejadian ini bersifat sementara namun dapat menetap untuk jangka
waktu yang lama dan berperan dalam kejadian nyeri kronis.
14
hiperalgesia sekunder
juga terdapat
alodinia yaitu nyeri yang disebabkan oleh stimulus yang secara normal tidak
menimbulkan nyeri. Prinsip terjadinya alodinia ialah impuls yang dijalarkan
oleh serabut A yang biasanya berupa sentuhan halus atau rabaan yang dalam
keadaan
rabaan
15
Pada beberapa keadaan lesi serabut saraf aferen baik oleh karena inflamasi
maupun neuropati akan menyebabkan kematian serabut saraf
C. Hilangnya
serabut saraf C menyebabkan hubungan sinapsis kosong dan hal ini memacu
sprouting A untuk mengisi kekosongan tersebut terutama dilamina II, dengan
demikian impuls yang dibawa oleh
lamina I dan II diterjemahkan oleh neuron di kornu dorsalis sebagai nyeri atau
alodina (Meliala, 2008).
Hilangnya kontrol inhibisi juga menyebabkan terjadinya alodinia. Impuls
perifer yang datang di kornu dorsalis biasanya berupa eksitasi. Impuls tersebut
sebelum dijalarkan ke otak selalu dimodifikasi oleh serabut saraf intersegmental
atau serabut saraf desendens yang bersifat inhibisi. Neurotransmiter inhibisi
umumnya GABA atau glycin. GABA dan glycin berfungsi untuk mempertahankan
potensial
membran
mendekati
potensial
istirahat
atau
menyebabkan
16
17
Terapi farmaka
Analgesik
NSAID/para
setamol.
Opioid.
Reversibel
Injeksi
anastesi lokal
Adjuvan analgesik
Antidepresan.
Antikonvulsan
Stimulator
TMS,DBS,tDCS,S
CS
Akupunktur
Hipnosis
Psikologi
Ireversibel
Operasi
Destruksi saraf
Gambar 4. Intervensi nyeri kronis (Sumber McQuay and Moore, 1999 cit.
Meliala, 2008)
Memahami patofisiologi nyeri kronis dengan baik, memberikan tantangan
pada kita untuk terus mencari terapi yang efektif dan mencari metodemetode
baru sebagai tambahan terapi yang dapat digunakan untuk mengurangi nyeri
kronis. Obatobatan yang biasa digunakan untuk nyeri akut hanya sedikit atau
bahkan tidak memberikan manfaat apa apa ketika digunakan untuk nyeri kronis.
Sebaliknya obat - obatan yang memberikan efek sedikit pada nyeri akut memiliki
efikasi yang signifikan dalam terapi nyeri kronis (Meliala, 2008).
Rekomendasi terapi nyeri kronis telah dibuat oleh World Health
Organization (WHO) sebagai pedoman managemen nyeri kronis yang dikenal
sebagai WHO Ladder (Meliala, 2008; Greene, 2010).
18
antiinflammatory
analgesic
(NSAID)
carprofen,
etodolac,
analgetik adjuvant. Langkah kedua dari WHO lader untuk terapi nyeri kronis bila
langkah pertama tidak adekuat, maka langkah pertama diteruskan ditambah
dengan narkotik oral dan adjuvant analgetik narkotik pilihan adalah codein.
Langkah ketiga diambil bila langkah kedua kurang efektif. Obatobatan
dilangkah kedua dihentikan, obat dilangkah pertama diteruskan, ditambah dengan
19
grup narkotik yang lebih poten. Obat pilihan adalah morfin dengan dosis dapat
dinaikkan tanpa batas, sambil diawasi respirasi, status mental dan kesiagaan.
Beberapa tipe nyeri mempunyai respon yang baik terhadap golongan opioid
lemah dibandingkan dengan opioid kuat dan juga NSAID memberikan efek
analgetik yang lebih baik dibandingkan dengan golongan opioid pada beberapa
tipe nyeri (Greene, 2010).
Sampai saat ini nyeri kronis yang diterapi secara farmakologi dengan
berbagai macam obat analgetik, secara umum masih tidak memberikan
pengurangan rasa nyeri yang adekuat pada kebanyakan pasien. Opioid dan
beberapa jenis obat obatan yang digunakan untuk mengurangi rasa nyeri yang
umumnya bekerja memblok sinyal nyeri yang berjalan sepanjang saraf, medula
spinalis dan otak seringkali tidak memberikan efek signifikan dalam mengurangi
rasa nyeri. Bahkan efek samping penggunaan obat tersebut sering muncul seperti
mengantuk, depresi respirasi, konstipasi (Greene, 2010).
Terapi non farmakologis untuk nyeri kronis termasuk massage, physical
therapy, acupuncture, dan transcutaneous electrical nerve stimulation. Modalitas
tersebut bekerja mengurangi nyeri dengan memperbaiki aliran darah ke daerah
lesi dan dengan melepaskan substansi endogen analgetik seperti beta-endorphin
dan enkephalin. Endogen opioid mempengaruhi modulasi pada desending inhibisi
pada transmisi saraf di tingkat kornu dorsalis (Greene, 2010).
Disamping terapi non farmakologis di atas dikenal juga neurostimulasi
yang saat ini sedang berkembang baik yang invasif maupun non invasif antara
lain:
20
(1). spinal cord stimulation (SCS), (2). Deep brain stimulation (DBS) atau disebut
juga electrical intracerebral stimulation, (3). Transdirect cranial stimulation
(tDCS) dan (4). Transcranial magnetic stimulation (TMS). Spinal cord
stimulation, Deep brain stimulation, merupakan metode invasif sedangkan
Transdirect cranial stimulation dan Transcranial magnetic stimulation merupakan
metode non invasif.
1). Spinal cord stimulation (SCS). Merupakan metode invasif yang dilakukan
dengan cara menanam elektrode di bawah kulit yang dihubungkan dengan pulse
generator
metode ini efektif dalam mengurangi nyeri khususnya CRPS, failed back surgery
syndrome, critical limb ischemi, post stroke pain dan berbagai nyeri kronis
lainnya. Hasil saat ini menunjukkan pada 40 sampai 70 % penderita nyeri kronis
50 % hingga 70 % nyeri berkurang signifikan bahkan mereka dapat kembali
bekerja dan hidup normal. Cara kerja SCS dalam mengurangi nyeri adalah dengan
memblok sinyal nyeri yang berjalan dari perifer ke medula spinalis sampai ke otak
(Demers, 2011).
2). Deep brain stimulation (DBS). Merupakan salah satu alat intervensi yang
digunakan dalam terapi nyeri kronis. Alat ini di tanam di daerah tertentu di otak
yang dilakukan melalui proses pembedahan yang disebut sebagai brain
pacemaker. Alat ini mengirim impuls listrik ke daerah tertentu di otak. Bekerja
secara langsung dengan merubah rangsangan di otak. Food and Drug
Administration (FDA) telah merekomendasikan alat ini sebagai terapi essential
tremor tahun 1997, Parkinson's disease tahun 2002 dan distonia pada tahun 2003.
21
Alat ini juga telah digunakan secara rutin untuk terapi nyeri kronis. Alat ini terdiri
dari tiga komponen implanted pulse generator (IPG), lead, extension. Implanted
pulse generator adalah neurostimulator bertenaga baterai yang terbungkus
titanium, yang mengirimkan arus listrik ke otak untuk merubah aktivitas saraf
pada daerah target di otak.
Lead adalah kawat melingkar yang dibungkus poliuretan dengan empat
elektroda platina iridium dan ditempatkan di salah satu dari tiga daerah otak. Lead
dihubungkan ke IPG oleh extension, sebuah kabel terisolasi yang berjalan dari
kepala turun ke leher lalu ke belakang telinga dan dihubungkan ke IPG yang
diletakkan secara subkutan di bawah klavikula atau dalam beberapa kasus
diletakkan di perut. Implanted pulse generator diletakkan sesuai gejala yang
ditunjukkan sebagai contoh untuk parkinson (rigiditas, bradikinesia/akinesia dan
tremor), lead ditempatkan pada globus pallidus atau nukleus subthalamik. Pada
nyeri IPG ini menstimulasi daerah periaqueductal gray maupun periventricular
gray untuk nyeri nosiseptik, kapsula interna, ventral posterolateral nucleus dan
ventral posteromedial nucleus untuk nyeri intractable. Meskipun DBS banyak
menolong dalam mengurangi gejala namun alat ini juga memberikan efek
samping dan komplikasi yang serius (Bittar, 2005).
3). Transdirect cranial stimulation (tDCS). Metode noninvasive brain stimulation
lainnya adalah Transdirect cranial stimulation (tDCS). Alat ini menggunakan arus
listrik yang konstan dan bertegangan lemah terdiri dari anoda dan catoda yang
diletakkan di atas scalp menembus otak dan menyebabkan perubahan pada
exitabilitas neuron. Alat ini bekerja dengan cara menstimulasi daerah target
22
dengan memberikan arus yang konstan dan bertegangan lemah melalui elektrode
yang diletakkan di daerah target. Arus yang diberikan ini diketahui dapat merubah
exitabilitas neuron pada daerah tertentu di otak berdasarkan jenis stimulasi yang
diberikan. Perubahan exitabilitas neuron menyebabkan perubahan pada fungsi
otak. Penggunaan tDCS pertama kali adalah untuk mengontrol nyeri neuropati
dan skor nyeri dapat berkurang hingga 58% pada minggu terakhir stimulasi.
Dibandingkan dengan TMS alat ini memberikan efek samping yang lebih kecil
dan mampu mengurangi nyeri lebih baik serta after effect yang lebih lama
bertahan (Fregni et al., 2006).
4). Transcranial magnetic stimulation (TMS). Salah satu terapi tambahan untuk
nyeri, khsususnya nyeri kronik. Merupakan salah satu metode non invasif yang
menyebabkan depolarisasi maupun hiperpolarisasi pada sel saraf di otak.
Transcranial magnetic stimulation menggunakan induksi elektromagnetik yang
dapat membangkitkan arus listrik dengan menggunakan perubahan medan magnet
yang cepat yang kemudian masuk menembus kulit, tengkorak dan mencapai otak.
menginduksi arus listrik sekunder pada daerah di bawah kumparan. Hal ini dapat
menyebabkan perubahan aktivitas pada daerah tertentu di otak maupun daerah
lain di otak dengan sedikit rasa tidak nyaman tanpa menimbulkan rasa sakit.
Pada single stimuli atau paired pulse stimuli akan menyebabkan saraf pada
neokortek di bawah tempat stimulasi terdepolarisasi dan membangkitkan potensial
aksi. Jika diletakkan pada kortek motorik akan menimbulkan aktivitas otot yang
disebut dengan motor evoked potential (MEP) yang dapat dicatat pada
electromyography. Pemberian TMS secara berulang dapat menghasilkan long
23
lasting after effect setelah stimulasi. Teknik ini dapat meningkatkan atau
menurunkan rangsangan pada kortek tergantung pada intensitas stimulasi,
penempatan kumparan dan frekuensi.
B. Sejarah TMS
Penggunaan gelombang magnet untuk menstimulasi jaringan saraf
didasarkan pada konsep induksi elektromagnetik oleh Faraday pada tahun 1831.
DArsonal pada tahun 1896 melaporkan penggunaan gelombang magnet pertama
kali pada manusia (Davey et al., 2002).
Pada tahun 1985 Barker pertama kali mendemonstrasikan kontraksi otot
yang dibangkitkan oleh stimulasi gelombang magnetik noninvasif melalui sistem
saraf sentral yaitu stimulasi melalui kortek motorik. Saat ini dikenal dengan
Transcranial magnetic stimulation (TMS). Sejak pertama kali ditemukan TMS
digunakan di bidang psikiatri untuk gangguan depresi yang gagal diterapi secara
farmakologi saat ini food and drug administration (FDA) telah mengakui TMS
yang diberikan secara berulang (rTMS) sebagai terapi tambahan pada major
depressive disorder. Di bidang neurologi TMS pertama kali digunakan sebagai
alat bantu diagnosis untuk penyakit-penyakit demielinisasi seperti multiple
sclerosis (Rosa, 2012).
Pada tahun 1992, Alvaro Pascual-Leone mengeksplorasi kemungkinan
penggunaan teknik ini pada pasien parkinson ternyata mereka menemukan
perbaikan kecepatan dan respon motorik pada penderita parkinson (mengurangi
akinesia). Penggunaan TMS untuk terapi nyeri kronis sendiri masih dalam
penelitian dan terus dikembangkan (Rosa, 2012).
24
C. Stimulasi TMS
Bagaimana TMS menstimulasi otak lebih lanjut diterangkan dalam gambar
enam. Gambar 6 a menjelaskan setiap gelombang TMS menghasilkan arus listrik
di otak. Hal ini menghasilkan perubahan medan magnet secara cepat yang
kemudian menembus scalp dan tengkorak hingga mencapai otak dan menginduksi
arus listrik sekunder yang dapat menstimulasi aktifitas saraf pada kortek dan
subkortek di white matter.
Seperti pada stimulasi saraf perifer, TMS pada kortek dapat mengaktivasi
axon dari beberapa saraf (rekruitmennya tergantung pada parameter stimulus).
Terdapat bukti bahwa penggunaan TMS pada kortek dengan intensitas yang
rendah menghasilkan efek inhibisi pada outcome motorik. Sebaliknya penggunaan
TMS dengan intensitas tinggi menghasilkan efek fasilitasi pada outcome motorik.
Gambar 6. Stimulasi otak oleh TMS (Sumber Ridding & Rothwell, 2008).
Gambar 6 b menjelaskan kumparan berbentuk figure of eight yang terdiri
dari beberapa kawat tembaga yang melingkar dengan diameter 7 cm. Tampak arus
mengalir di bawah kedua lingkaran dan arus terbesar terdapat pada pertemuan
kedua lingkaran. Sehingga besarnya arus pada titik tengah kumparan 2 kali
25
dibanding arus yang mengalir di bawah lingkaran. Tidak ada arus yang mengalir
di bawah pusat kumparan.
Menurut Barker (2002), terdapat tiga keterbatasan TMS yaitu (1). Besarnya
medan magnet tergantung dari jarak daerah stimulasi terhadap permukaan
kumparan sehingga stimulasi secara langsung hanya terbatas pada daerah otak
yang berada di bawah kumparan, (2). Daerah stimulasi tidak fokus sehingga salah
satu cara untuk membuat stimulasi lebih fokus adalah dengan menggunakan
kumparan berbentuk figure of eight dan (3). Penggunaan TMS mahal dan alatnya
memakan tempat.
Selajutnya menurut Rossi et al. (2009), terdapat tiga macam teknik
penggunaan TMS yaitu: (1). single- pulse TMS yaitu TMS yang diberikan dalam
satu waktu dan terdiri dari satu stimulus, teknik ini menghasilkan respon yang
baik tetapi hanya berlangsung singkat. Pengulangan stimulus dapat lebih
memperpanjang after-efect pada otak. Lamanya efek setelah single stimulus
berkisar 30-60 menit. Single-pulse TMS dapat digunakan untuk mapping output
kortek motorik, (2). Paired-pulse TMS yaitu TMS yang diberikan dalam stimulus
berpasangan / lebih dari satu stimulus dan diantara stimulus terdapat jeda
(interval), (3). Repetitive TMS yaitu TMS yang diberikan dalam stimulus yang
berurutan. Paired-pulse TMS dapat diberikan pada satu target kortikal
menggunakan satu kumparan atau pada dua daerah otak yang berbeda
menggunakan dua kumparan yang berbeda. Teknik paired- pulse TMS digunakan
untuk mengukur fasilitasi intrakortikal dan inhibisi intrakortikal. Penggunaan
TMS dengan teknik paired stimulation yang dibarengi dengan stimulus perifer
26
27
melemah dan bertahan secara singkat setelah pemberian single TMS tersebut
(cumulative effect). Gelombang single TMS dapat mendepolarisasi sel neuron
namun bersifat sementara tetapi ketika gelombang ini diberikan secara berulang
yang kita kenal dengan repetitive TMS, dapat mengubah rangsangan kortikal
(menurunkan atau menaikkan). Repetitive TMS digunakan pada frekuensi tertentu
untuk dapat menginduksi modulasi rangsangan kortikal secara persisten (Rossi et
al., 2009).
Penggunaan rTMS pada penderita nyeri kronis bertujuan memberikan efek
analgesik. Stimulasi diberikan pada scalp di atas daerah target kortikal. Stimulasi
menggunakan kumparan figure of eight lebih dianjurkan untuk mendapatkan
stimulasi yang lebih fokus. Sebagai patokan untuk menentukan intensitas,
stimulasi yang diberikan berdasarkan persentase resting motor threshold.
Umumnya stimulasi diberikan di bawah motor threshold. Frekuensi dan jumlah
total gelombang yang diberikan tergantung pada hasil studi yang dilakukan.
Dalam satu sesi paling sedikit harus terdiri dari 1000 gelombang / pulse yang
berdurasi 20 menit. Pemberian stimulus rTMS dapat diulang setiap hari selama
satu atau beberapa minggu (Crucu et al., 2007).
Keuntungan pemberian rTMS tidak menyebabkan rasa nyeri dan tidak
membutuhkan anastesi atau rawat inap selama terapi. Stimulasi rTMS dapat
mengaktifkan beberapa serabut saraf yang berjalan melewati kortek motorik dan
berproyeksi sampai ke tempat yang jauh yang terlibat pada beberapa aspek proses
nyeri kronis (komponen emosi dan komponen sensori diskriminatif). Metode ini
juga dapat digunakan pada penderita nyeri kronis yang drug resistant maupun
28
29
yang sama ternyata tidak efektif dalam mengurangi keluhan nyeri (Crucu et al.,
2007).
Pada saat rTMS diaplikasikan di atas kortek motorik dengan frekuensi yang
rendah maka akan menurunkan motor evoked potential (MEP). Sebaliknya jika
diberikan pada frekuensi tinggi akan meningkatkan MEP.
Repetitive transcranial magnetic stimulation (rTMS) dibagi menjadi
conventional rTMS dan patterened rTMS. Pada conventional rTMS dijelaskan
bahwa pemberian rTMS dengan satu stimulus yang diberikan secara berulang dan
teratur diberikan dengan frekuensi rendah 1 Hz atau kurang atau dengan frekuensi
tinggi lebih dari 1 Hz. Klasifikasi ini berdasarkan efek fisiologis dan besarnya
risiko yang ditimbulkan (Rossi et al., 2009).
Patterened rTMS diberikan sebagai stimulus yang berulang menggunakan
gelombang burst yang singkat dengan frekuensi tinggi dan diantara gelombang
tersebut terdapat jeda yang singkat tanpa stimulasi. Saat ini patterened rTMS
banyak digunakan dengan gelombang burst pendek pada frekuensi 50 Hz diulang
pada kisaran gelombang theta 5 Hz sebagai continuous theta burst stimulation
(cTBS) atau intermitten theta burst stimulation (iTBS) (Rossi et al., 2009).
Berdasarkan pedoman penggunaan keamanan dan aplikasi penggunaan
TMS dalam praktek klinis yang ditulis oleh Rossi et al. (2009), penggunaan
rTMS yang conventional pada frekuensi rendah (kurang dari 1 Hz frekuensi
stimulasi) semua gelombang diberikan secara terus menerus tanpa ada jeda.
Sementara untuk frekuensi tinggi (lebih dari 5 Hz frekuensi stimulasi) diberikan
30
dalam waktu yang lebih singkat dan diantaranya terdapat waktu istirahat tanpa
stimulus.
Patterened rTMS memiliki dua bentuk yaitu continous theta burst
stimulation (cTBS) dan Intermitten theta burst stimulation (iTBS). Protokol TBS
yang ada saat ini dibuat berdasarkan penelitian Huang et al. (2005). Untuk
continous theta burst stimulation (cTBS) diberikan dengan frekuensi 5 Hz selama
20 detik (total stimulus 300) atau 40 detik untuk total stimulus 600 yang diberikan
secara terus-menerus. Sedangkan untuk intermitten theta burst stimulation (iTBS),
diberikan stimulus dalam periode 2 detik dan dipisahkan oleh interval tanpa
stimulasi selama 8 detik. Terdapat beberapa variasi kombinasi dari protokol teknik
pengunaan TMS di atas dan perlu ditekankan efek dan keamanan dari masing
masing aplikasi penggunaan teknik tersebut. Saat ini Patterned rTMS juga dapat
diberikan dalam bentuk quadripulse stimulation (QPS) yang dapat menyebabkan
perubahan eksitabilitas kortikal jangka panjang. Quadripulse stimulation
diberikan dalam bentuk stimulasi berulang yaitu 4 pulse / gelombang monopasik
yang dipisahkan oleh interstimulus interval selama 1,51250 milidetik yang
menyebabkan fasilitasi pada interval pendek atau inhibisi pada interval yang
panjang yang kemungkinan melalui aksi modulasi sirkuit eksitatori intrakortikal
(Rossi et.al., 2009).
Kombinasi pemberian sub-motor threshold 5 Hz rTMS yang berulang pada
nervus medianus kanan dengan sub-motor threshold 5 Hz rTMS pada kortek
motorik primer (M1) pada interval yang konstan selama 2 menit teknik ini disebut
paired associated stimulation (PAS). Paired associated stimulation merupakan
31
protokol baru yang dapat meningkatkan efek rTMS pada tingkat kortikal
berdasarkan percobaan interaksi dan tes stimulus pada tingkat kortikal
sebelumnya.
Diduga
mekanisme
yang
mendasari
melalui
mekanisme
32
prinsip
33
Jenis kumparan
Umumnya kumparan yang digunakan pada beberapa studi TMS terdiri dari
dua sayap yang berdekatan yang disebut figure of eight. Bentuk ini dapat
menstimulasi daerah kortikal superfisial secara fokal yang berada di bawah bagian
utama kumparan figure of eight. Serabut saraf yang diharapkan paling banyak
mendapatkan stimulasi diorientasikan secara paralel terhadap bagian sentral dari
kumparan. Sudut antara sayap kumparan akan mempengaruhi efisiensi dan
fokalitas dari kumparan. Bagian kumparan yang non-tangential terhadap kulit
kepala (scalp) menyebabkan penumpukan dari muatan permukaan, yang
mengurangi efisiensi kumparan. Sudut kumparan yang lebih kecil dari 180 0, sayap
kumparan lebih tangensial terhadap kulit kepala dan meningkatkan efisiensi
kumparan (Rossi et al., 2009).
Beberapa studi TMS menggunakan kumparan yang berbentuk lingkaran
(circular coil) dengan ukuran yang bervariasi. Diameter kumparan yang lebih
besar dari kumparan figure of eight menyebabkan stimulasi secara langsung pada
bagian otak yang lebih dalam tetapi kurang fokus. Sampai saat ini belum ada studi
yang membandingkan keamanan penggunaan antara kumparan berbentuk circular
dan figure of eight (Rossi et al., 2009).
Kumparan double cone dibentuk dari dua sayap berbentuk lingkaran yang
berdekatan bersudut 950. Kumparan besar ini menyebabkan medan listrik yang
relatif besar juga tetapi kurang fokus dibanding kumparan figure of eight, dan
dapat menyebabkan stimulasi langsung pada daerah otak yang lebih dalam.
Karena kemampuan daya tembusnya kumparan ini mampu mengaktifasi fisura
34
35
Gambar 8. Struktur saraf dan jalur potensial yang yang terlibat dalam
stimulasi kortek motorik. (Lefaucher, 2006).
Beberapa serabut saraf yang turun dari brainstem menuju medula spinalis
dapat memodulasi impuls nyeri yang datang. Jalur desending yang dapat
memodulasi impuls nyeri diterangkan sebagai berikut stimulus nyeri yang datang
di kornu dorsalis akan diteruskan ke PAG dari sini diteruskan ke nukleus raphe
magnus di medula bagian atas, impuls akan dikembalikan ke kornu dorsalis
melalui serabut reticulospinalis. Pemberian rTMS pada M1 akan meningkatkan
pelepasan neurotransmiter serotonin di PAG dan noradrenalin di locus cerolus
disamping itu juga memicu pelepasan opioid endogen pada CNS yang juga
terletak di PAG dan nukleus raphe magnus dan dapat menekan impuls nyeri
(Renin & Dorsey, 2005).
Selain
itu
stimulasi
menggunakan
rTMS
memiliki
kemampuan
36
term depression (LTD) yang terjadi pada stimulasi dengan frekuensi rendah atau
menggunakan cTBS yang menurunkan aktivitas sinap. Mekanisme molekuler
yang mendasari proses LTP dan LTD bergantung pada calsium influx dan reseptor
glutamat yang memiliki dua jenis reseptor yaitu AMPA (alpha-amino-3-hydroxy5-methyl-isoxazolepropionic acid) dan NMDA (N-methyl-D-aspartat) (Andrade et
al., 2011).
Pada saat sinap glutamanergik melepaskan glutamat, maka glutamat akan
berikatan pada reseptor AMPA dan reseptor NMDA. Reseptor AMPA merupakan
reseptor ionotropik yang bertanggung jawab terhadap transmisi sinap yang cepat.
Reseptor NMDA sebagai coincidence detector. Aktivitas reseptor NMDA
membutuhkan pelepasan glutamat yang cukup dari presinap yang akan
mencetuskan depolarisasi membran dan mengaktifkan reseptor NMDA.
Depolarisasi membran postsynaptic yang cukup akan membuka kanal ion
magnesium sehingga terjadi calsium influx, proses ini yang menginduksi
terjadinya LTP (Cooke & Bilis, 2006).
Gambar 9 menunjukkan membran glutamatergic
postsynaptic
yang
mengandung reseptor AMPA dan NMDA (A). Dalam kondisi istirahat atau
aktivitas input yang rendah, saluran reseptor NMDA ini diblok oleh ion
magnesium bermuatan positif (Mg2+) (B). Glutamat dilepaskan dari terminal dan
memasuki celah sinap dan berikatan dengan kedua reseptor, yang kemudian akan
membuka saluran reseptor AMPA. Aliran arus ke dalam sel yang dibawa oleh Na+
akan mendepolarisasi membran post sinap dan menyebabkan exitatory postsynaptic potential (EPSP). Pelepasan glutamat dalam jumlah yang sedikit tidak
37
38
amygdala, kortek parietal, dan densitas 5-HT1A binding site di frontal, cingulate
cortex dan nukleus olfaktori anterior, ekspresi glial fibrillary acidic protein
mRNA di girus dentata dan kortek. Dengan kata lain TMS memiliki kemampuan
mempengaruhi neurotransmiter, reseptor, second messengers systems dan gen,
pada saraf dan jaringan penyokong yang penting dalam regulasi nyeri.
Perbedaan efek plastisitas yang dihasikan oleh stimulasi TMS pada
tingkat sistem dan seluler berada pada rangsangan kortikal. Pada tingkat sistem
menjelaskan bahwa pada stimulasi yang rendah (1 Hz atau kurang) akan
menyebabkan penurunan rangsangan kortikal. Pada frekuensi tinggi akan
meningkatkan rangsangan kortikal. Fenomena di atas banyak dipelajari pada
penggunaan TMS yang diletakkan pada kortek motorik. Perubahan rangsangan
kortikal yang dihasilkan oleh TMS memiliki efek yang singkat dengan durasi
menit hingga jam. Sementara pengulangan TMS akan menghasilkan efek
kumulatif perubahan plastisitas. Percobaan yang dilakukan oleh Baumer et al.
(2001), pada kortek premotor menggunakan TMS selama 5 hari berturut turut
pada frekuensi tinggi, menunjukkan bahwa pada hari pertama penurunan
rangsangan kortikal bertahan 30 menit, pada hari kedua dapat bertahan 6 jam, hari
kelima menunjukkan hasil efek TMS dapat bertahan 4 minggu dari stimulasi
terakhir. Dari percobaan ini juga menunjukkan bahwa stimulasi menggunakan
TMS pada satu daerah juga dapat berpengaruh pada daerah lainnya yang secara
fungsional berhubungan dengan daerah tersebut.
Studi brain imaging dan neurofisologi menunjukkan bahwa pada nyeri
kronis terjadi perubahan pada struktur dan fungsi otak. Stimulasi TMS
39
Berbagai
parameter
yang
telah
diteliti
dan
diperkirakan
40
selektif pada kumpulan saraf tertentu oleh gelombang TMS sementara kumpulan
neuron
lainnya
tidak
terpengaruh.
Terdapat
beberapa
parameter
yang
41
meningkatkan
42
Geometri
Posisi kumparan
Intensitas stimulasi
Jarak antara tulang tengkorak dan kortek
Ketepatan posisi
Stabilitas penempatan kumparan
Target kortikal
Susunan dan interaksi dari sirkuit inhibisi dan eksitasi
Karakteristik saraf individu contoh : diameter serabut saraf
Jarak antara kortek dan tulang tengkorak.
Perangkat keras : pemilihan stimulator dan kumparan
Bentuk pulse dan karakteristik
Pengaruh dari daerah yang berhubungan secara fungsional.
Faktor lain
Tergantung pada kondisi dasar dan riwayat sinaptik
Kondisi rangsangan (khususnya inhibisi)
Aktivitas fisiologi
Kesadaran
Perhatian
Pengaruh genetik
Interaksi dengan neurokimia
Monoamin neuromodulator seperti dopamin
Growth factor seperti BDNF
Obat-obatan
Jens kelamin
Usia
Hormonal
Irama sirkardian
Stres
43
sebagai pemeran intracortical inhibisi selain plastisitas sinaptik. Hal ini menjadi
salah satu dasar mekanisme penggunaan TMS untuk membantu mengurangi nyeri
terutama nyeri kronis (Lefaucher, 2008).
Disamping itu Transcranial Magnetic Stimulation juga digunakan sebagai
tambahan terapi pada parkinson, distonia, tics, stuttering, tinnitus, spastisitas,
epilepsy, aphasia, hemiparesis post stroke. Transcranial Magnetic Stimulation
mampu memicu pelepasan neuromodulator lainnya seperti dopamin dan growth
factor seperti brain derived neurotrophic factor (BDNF). Kemampuan rTMS
memodulasi fungsi kortikal secara persisten telah membuka pintu penggunaan
rTMS sebagai terapi yang potensial pada beberapa kelainan saraf (Pell et al.,
2011).
Penelitian yang dilakukan oleh Lefaucher et al. (2001) menggunakan
teknik rTMS pada 18 pasien dengan intractable nyeri neuropati pada kortek
motorik dengan frekuensi 10 Hertz (Hz) dan 0,5 Hertz (Hz) dengan durasi 20
menit. Pengurangan nyeri secara signifikan didapatkan pada penggunaan rTMS
dengan frekuensi 10 Hertz (Hz). Leufacher et al. (2004) menggunakan rTMS
untuk nyeri sentral post stroke pada 24 subjek dengan frekuensi 10 Hz dan durasi
20 menit, nyeri dapat berkurang secara signifikan.
Penelitian lain yang dilakukan oleh Pleger et al. (2003) menggunakan
rTMS dengan cTBS yang diletakkan di kortek motorik pada 10 penderita CRPS
tipe 1 ternyata dapat mengurangi intensitas nyeri yang terjadi 30 detik setelah
stimulasi dan efek maksimal didapatkan 15 menit setelah stimulasi.
44
Mhala et al. (2010) meneliti efek analgesik TMS yang diletakkan di atas
kortek motorik pada 40 pasien yang menderita chronic widespread pain yang
disebabkan fybromyalgia. Sebanyak 20 pasien mendapatkan rTMS secara aktif
dan 20 pasien lainnya menerima sham rTMS, intensitas nyeri dapat berkurang
pada pasien yang mendapatkan rTMS aktif pada hari ke 5 stimulasi bertahan
sampai minggu ke 25. Efek analgesik rTMS pada penderita fibromyalgia
berhubungan dengan perbaikan jangka panjang pada kualitas hidup dan secara
langsung berhubungan dengan perubahan intrakortikal inhibisi.
Studi meta analisis Leung et al. (2009) meneliti efek analgesik rTMS pada
beberapa kondisi nyeri neuropatik. Ternyata didapatkan bahwa visual analog
scale (VAS) berkurang secara signifikan pada penderita yang diterapi
menggunakan rTMS aktif dibanding sham rTMS. Begitu pula dengan penggunaan
rTMS dengan frekuensi rendah dengan sesi terapi yang lebih frekuen menurunkan
skor VAS pada penderita nyeri neuropati. Menurut Leung et al. (2009) rTMS lebih
efektif bila digunakan pada penderita nyeri neuropati sentral dibanding nyeri
neuropati perifer.
O'Connell et al. (2010) mengevaluasi efikasi teknik noninvasive brain
stimulation pada 368 penderita nyeri kronik. Mendapatkan hasil ternyata TMS
frekuensi rendah tidak efektif dalam mengurangi nyeri. Efek yang singkat dalam
mengurangi rasa nyeri didapatkan pada pemberian TMS single dose dengan
frekuensi tinggi pada kortek motorik nyeri berkurang sebanyak 15 %.
I. Keamanan dan efek samping
45
Meskipun TMS dikenal sebagai terapi adjuvant yang relatif aman, namun
penggunaan alat ini juga memiliki beberapa efek samping. Efek samping TMS
yang utama adalah dapat menginduksi seizure. Meningkatkan ambang
pendengaran, mempengaruhi fungsi kognitif yang bersifat sementara hal ini
terlihat pada beberapa hasil test kognitif yang dilakukan setelah pemberian TMS,
syncope juga pernah terjadi setelah pemberian TMS. Nyeri kepala, nyeri lokal,
rasa panas pada kepala dan ketidaknyamanan juga dirasakan pada beberapa pasien
setelah pemberian rTMS. Berikut rangkuman tabel mengenai efek samping
penggunaan TMS (Rossi et al., 2009).
Tabel 2. Efek samping penggunaan TMS
Efek
samping
Single-pulse
TMS
Paired-pulse
TMS
Low
frequency
rTMS
Jarang
(biasaya
bersifat
protektif)
Kejang
Jarang
Tidak ada
laporan
Perubahan
pendengaran
sementara
Perubahan
fungsi
kognitif
Possible
Tidak ada
laporan
Tidak ada
laporan
Tidak ada
laporan
Nyeri
kepala, nyeri
lokal, nyeri
leher.
Syncope
Heat burn
Mungkin
Tidak ada
laporan
Tidak ada
laporan
Tidak ada
laporan
Possible
Possible
Possible
Possible
Possible
Possible
Possible
High
frequency
rTMS
Possible
terutama pada
pendeita
epilepsi 1,4%
kejadian. Pada
orang normal
kurang dari 1
%.
Possible
Theta burst
Possible ( satu
serangan pada
individu
normal)
Tidak ada
laporan.
Perubahan
sementara
pada working
memory
Possible
Possible
(Rossi et al.,2009 )
46
Ada empat parameter yang harus ditetapkan dalam penggunaan dosis TMS
antara lain intensitas, frekuensi, train duration, dan inter-train interval. Hal ini
juga digunakan untuk menentukan jumlah total gelombang per sesi, jumlah sesi
per hari, jumlah sesi hari per minggu.
Berdasarkan Safety, ethical considerations, and application guidelines for
the use of transcranial magnetic stimulation in clinical practice and research
(2009): (1). Intensitas stimulasi, intensitas stimulasi yang diberikan umumnya
berdasarkan motor threshold (MT) bersifat individual. Intensitas stimulasi
bervariasi antara satu pasien dengan lainnya. Intensitas stimulasi merupakan
persentase dari MT, yang biasa digunakan dan telah terbukti aman serta efektif
berkisar 80%, 100%, dan 120% MT. Semakin tinggi intensitas stimulasi semakin
banyak neuron yang dapat direkrut, (2). Train duration.
Berdasarkan alasan
keamanan dan karena keterbatasan fisik alat TMS tersebut (kumparan menjadi
panas dan keterbatasan kemampuan dari alat tersebut) maka terapi diberikan
dalam bentuk trains stimuli pada setiap sesi dan bukan dalam bentuk stimulasi
yang terus-menerus (continous stimulation). Pengecualian pada pemakaian TMS
dengan frekuensi rendah biasanya diberikan secara continous tanpa interval. Hal
ini dikarenakan risiko kejang dengan pemakaian frekuensi rendah dapat
diabaikan. Saat menggunakan intensitas 100% MT, train duration maksimum
untuk masing-masing frekuensi adalah 5 Hz : 10 detik, 10 Hz : 5 detik, 20 Hz :
detik. Saat menggunakan intensitas 120% MT train duration maksimal adalah 5
Hz : 10 detik, 10 Hz : 4 detik, 20 Hz :1 detik, (3). intertrain interval. Tidak ada
konsensus atau ketetapan berapa intertrain interval yang harus digunakan minimal
47
2 detik yang disarankan untuk frekuensi lebih dari 5 Hz dan minimal 5 detik
untuk frekuensi 20 Hz. Dalam praktek klinik, intertrain interval dihitung dengan
cara mengurangi train duration dengan 30 detik, sebagai contoh untuk intensitas
100% MT maka : 5 Hz untuk 10 detik maka intertrain interval 20, 10 Hz untuk 5
detik maka intertrain interval 25 detik, 20 Hz untuk 2 detik intertrain interval 28
detik. Telah ditetapkan bahwa stimulasi dengan frekuensi 1 Hz diberikan secara
terus menerus (continous) tanpa ada intertrain interval, (4). Frekuensi. Frekuensi
menjelaskan pengulangan gelombang perdetik. Diukur dengan hertz (HZ).
Umumnya frekuensi yang ditetapkan adalah 1 Hz, 5 Hz, 10 Hz, dan 20 Hz.
Berikut ini tabel yang menggambarkan dosis penggunaan TBS pada orang normal
yang tidak menimbulkan efek samping.
Tabel 3. Protokol Theta burst stimulation pada orang normal, tidak ada efek
samping yang dilaporkan.
Pulse in the Total train pulse
Tempat stimulasi
Intensitas
burst
Standar cTBS
(Huang et al.
2005)
Protokol
Standar iTBS
(Huang et al.
2005)
Sylvanto et
al.,2007 cTBS
200
80 % aktif MT
Motor cortex
80 % aktif MT
Motor cortex
80 % aktif MT
Motor cortex
48
BAB III
RINGKASAN
Repetitive Transcranial magnetic stimulation (rTMS) merupakan metode
stimulasi kortek noninvasif, painless dapat digunakan sebagai terapi tambahan
pada beberapa kasus dalam bidang neurologi. Salah satunya sebagai terapi
tambahan pada nyeri kronis seperti drug resistant dan nyeri sentral (nyeri post
stroke, complex regional pain syndrome, fibromyalgia, neuralgia trigeminal, nyeri
pantom).
Ada tiga macam teknik TMS yang digunakan, antara lain (1). Single-pulse
TMS, (2). Paired pulse TMS, dan (3). Repetitive TMS yang dibagi conventional
dan patterened rTMS. Stimulasi rTMS mampu menghasikan efek analgesik
dengan cara (a). mempengaruhi perubahan komponen sensori-discriminative dan
motivasional afektif yang terlibat dalam proses nyeri, (b). memperbaiki plastisitas
sinaptik melalui long term potentiation (LTP) dan long term depression (LTD) dan
(c). sistem opioid endogen sehingga dapat membantu memperbaiki descending
modulasi
Disamping dapat mengurangi nyeri, TMS juga memiliki efek samping.
Efek samping yang paling berat adalah kejang. Efek TMS juga dipengaruhi oleh
beberapa variabilitas seperti geometri, penempatan kumparan, frekuensi, durasi
stimulasi, bentuk gelombang, interaksi antara medan listrik induksi dengan
jaringan saraf. Secara umum dibagi menjadi dua kategori utama yaitu faktor
waktu dan geometri.
49
Daftar Pustaka
Andersen S., Worm-Petersen, J., 1988. The prevalence of persisten pain on Danish
Population. Pain , 332.
Andrade D. C., Mhalla, A., Adam, F., Texeira, M. J., & Bouhassira, D., 2011.
Neuropharmacological basis of rTMS-induced analgesia: The role of
endogenous opioids. Pain , 320-326.
Anonim 2008. The Burden of Pain Among Adult in United State. United State:
Pfizer medical division.
Baumer T., Lange, R., Liepert, J., 2003. Repeated premotor rTMS leads to
cumulative plastic changes of motor cortex excitability in humans.
Neuroimage; 20: 5505.
Barker A., 2002. The history and basic principles of magnetic nerve stimulation
dalam. Handbook of transcranial magnetic stimulation, hal. 15-17.
Bittar G.R., Purkayastha K.I.,Owen L.S., Bear R.E., Green A.,Wang Y.S., 2005.
Deep brain stimulation for pain relief, Journal clinical of neuroscience.
Cooke S. F., Bliss T. V., 2006. Plasticity in the human central nervous system.
Brain , 16591673.
Crucu G., Azis T.Z., Garcia-Larrea L., Hansson P., Jensen T.S., Lefaucher J.P.,
2007. EFNS guidelines on neurostimulation therapy for neuropathic pain.
European Journal of Neurology, 14: 952970.
Davey., 2002. Handbook of transcranial magnetic stimulation. A Hodder Arnold
Publication.
Demers D., 2011. Spinal cord stimulation. Biomedical engineering, 281.
Extra I., 2010. Chronic Pain Management. USA.
Fregni F., Freedman S., Pascual-Leone A., 2007. Recent advances in the treatment
of chronic pain with non-invasif brain stimulation techniques. Lancet
Neurol , 1881-91.
Fregni F., Boggio P.S., Lima M.C., 2006. New insight into the therapeutic
potential of noninvasif transcranial cortical stimulation in chronic
neurophatic pain. Pain, 11-13.
Greene S. A., 2010. Chronic pain : pathophysiology and treatment implications.
Washington: Elsevier Inc. Neurology. Neurology , 145-158.
Lefaucher J.P., Drout X., Nguyen J.P., 2001. Interventional neurophysiology for
pain control. Duration of pain relief following of repeti tive transcranial
magnetic stimulation of the motor cortex . Neurophysiol clin, 31, 247-249.
Lefaucher J.P., Drout X., Menar-Lefaicher I., Nguyen J.P., 2004. Neurophatic pain
control for more than a year by monhtly session by repetitive transcranial
magnetic stimulation. Neurophysiol clin, 34, 91-95.
Lefaucher J.P., 2006. The use of Repetitive transcranial magnetic stimulation in
chronic neuropathic pain. Neurophysiologie Clinique, 36,177-124.
Lefaucher J.P., 2008. Use of repetitive transcranial magnetic stimulation in pain
relief. Expert Rev Neurotherapeutics 8(5), , 799-808.
50
51
52