Anda di halaman 1dari 11

FAKTOR-FAKTOR YANG BERKAITAN DENGAN RESPONS YANG BAIK DARI TERAPI WICARA DIKOMBINASIKAN DENGAN TRANSCRANIAL DIRECT CURRENT

STIMULATION PADA PASIEN-PASIEN DENGAN AFASIA PASCA STROKE ABSTRAK Tujuan. Untuk menentukan faktor-faktor yang berkaitan dengan respons yang baik terhadap terapi wicara yang dikombinasikan dengan transcranial direct current stimulation (tDCS) pada pasienpasien dengan afasia pasca stroke. Metode. Fungsi berbahasa dievaluasi dengan menggunakan tes Western aphasia battery yang diadaptasi menjadi versi Korea (K-WAB) sebelum dan sesudah terapi wicara dan tDCS pada 37 pasien stroke. Pasien-pasien tersebut mendapat terapi wicara selama 30 menit dalam 2 sampai 3 minggu (10 sesi) dan mendapat terapi tDCS katodal di area 45 Broadmann sebesar 1 mA selama 20 menit. Kami membandingkan perbaikan persentase kuosien afasia (AQ%) antara dua kali evaluasi sesuai dengan usia, jenis kelamin, jumlah hari setelah onset, tipe afasia, lesi otak yang dikonfirmasi dengan MRI dan keparahan awal afasia. Faktor-faktor yang berkaitan dengan respons yang baik juga diperiksa. Hasil. Terdapat perbaikan AQ% dari sebelum dan sesudah terapi (14,946,73%, p<0,001). Perbaikan AQ lebih besar pada pasien-pasien afasia type fluent yang tidak begitu parah yang mendapat terapi sebelum 30 hari pasca stroke (p<0,05). Model regresi logistik yang disesuaikan menunjukkan bahwa pasien-pasien dengan stroke hemoragik kemungkinannya lebih besar untuk mencapai hasil respons yang baik (odds ratio=4,897, p<0,05) dibandingkan stroke infark. Tingkat keparahan awal lebih dari 10% pada AQ% juga ditemukan memiliki hubungan yang signifikan dengan perkembangan yang lebih baik (odds ratio=8,618, p<0.05). Kesimpulan. Terapi wicara dikombinasikan dengan tDCS terbukti sebagai terapi yang baik untuk pasien-pasien dengan afasia pasca stroke. Tingkat keparahan awal yang rendah berhubungan dengan respons yang baik. Kata kunci: Stroke, Afasia, Terapi wicara, Pemulihan, Transcranial direct current stimulation.

PENDAHULUAN Stroke merupakan penyebab utama kecacatan kronis pada usia dewasa, dan merupakan masalah kesehatan yang besar di Korea dari sudut pandang beban sosial-ekonomi yang mencapai lebih dari 3 trilyun won per tahun. Lebih dari 60% pasien stroke menderita defisit neurologis yang persisten, dengan berbagai macam kecacatan, seperti gangguan pada aktivitas sehari-hari, afasia, neglect, dan berbagai gangguan kognitif lainnya. Diantara faktor-faktor yang lain, afasia mengganggu komunikasi dengan tenaga medis, sehingga menyulitkan proses terapi rehabilitasi. Dari lesi di otak, afasia dapat dibagi menjadi beberapa tipe, dan laju pemulihannya sangat beragam. Dalam upaya memperbaiki gangguan kognitif termasuk afasia, banyak strategi pengobatan telah bermunculan. Terapi neurorehabilitatif merupakan satu dari strategi tersebut dan terus diteliti dan dikembangkan. Secara umum, terapi afasia didasarkan pada terapi wicara untuk perbaikan komunikasi. Suatu tehnik polarisasi otak dalam bentuk transcranial direct current stimulation (tDCS), yang merupakan metode untuk meningkatkan fungsi bahasa dan atensi, telah diusulkan untuk strategi adjuvan untuk terapi afasia dalam neurorehabilitasi. Sebagai alat untuk polarisasi otak noninvasif, tDCS tidak menyebabkan nyeri dan dapat digunakan untuk stimulasi tipuan (sham) karena tidak dapat dirasakan oleh indra pendengaran dan somatosensorik. Sebagai tambahan, telah diketahui bahwa eksitabilitas otak dapat dikendalikan oleh tDCS bergantung dari polaritasnya. Lazar et.al. melaporkan bahwa mekanisme pemulihan spontan selama 90 hari pertama dapat diperkuat dengan intervensi dini yang terfokus secara biologis pasca stroke, bisa dengan stimulasi otak noninvasif, farmakologik, atau metode behavioral terarah untuk memperbaiki fungsi di luar dari yang diprediksi saat ini. Seiring dengan penelitian pada terapi adjuvan seperti tDCS, penelitian pada faktor-faktor yang mempengaruhi penyembuhan afasia juga berkembang. Penelitian-penelitian sebelumnya melaporkan bahwa prognosis tidak lebih baik pada afasia non-fluent dibanding afasia fluent, dan prediktabilitasnya lebih rendah tetapi derajat pemulihan berubah-ubah sesuai dengan keparahan stroke maupun afasianya. Menurut penelitian tahun 2010, disfungsi bahasa pasca stroke tampaknya menunjukkan tingkat pemulihan yang dapat diramalkan yang berhubungan dengan kerusakan awal dan 70% pasien pulih dalam 90 hari pertama. Untuk meningkatkan efektifitas terapi wicara pada pasien-pasien pasca stroke dengan afasia, penelitian ini membandingkan perubahan fungsional kemampuan berbahasa sesudah terapi wicara yang dikombinasi dengan tDCS dan faktor-faktor yang berkaitan dengan perbaikan fungsionalnya. Utamanya, penelitian ini mengevaluasi faktor-faktor yang berkaitan dengan respons yang baik terhadap terapi wicara yang dikombinasi dengan tDCS. Di samping itu, kami membuktikan bahwa terapi wicara yang dikombinasi dengan tDCS merupakan metode yang berhasil untuk meningkatkan efektifitas terapi pada afasia pasca stroke dan tidak lebih buruk dari terapi wicara konvensional. BAHAN DAN METODE Subjek penelitian Penelitian ini menggunakan rekam medik dari pasien-pasien yang telah dikonfirmasi dengan imajing, yang telah didiagnosa dan menerima terapi untuk afasia pasca stroke antara bulan 2

Desember 2007 sampai April 2009, dan dilakukan penilaian menggunakan Western aphasia battery test versi Korea (K-WAB) sebelum dan sesudah terapi wicara dikombinasi dengan tDCS pada pasienpasien rawat jalan dan rawat inap. Subjek dieksklusi bila tidak mendapat terapi wicara kombinasi dengan tDCS, tidak menyelesaikan terapi sampai 10 sesi, atau mendapat terapi kurang dari 2 kali seminggu. Pasien juga dieksklusi bila menderita sakit kepala pasca tDCS, memiliki defek pada tengkorak karena pembedahan, seperti kraniektomi, dan yang memiliki kontraindikasi untuk tDCS. Suatu survey rekam medik retrospektif dilakukan dengan total 118 pasien, dan 67 pasien dieksklusi. Empat pasien tidak melanjutkan terapi karena nyeri kepala, dan 10 orang dirujuk ke rumah sakit lain atau dipulangkan sebelum terapi selesai (Gambar 1).

Gambar 1. Bagan alur penelitian. K-WAB=tes Western aphasia battery versi Korea Total sebanyak 37 subjek dengan afasia (laki-laki 26, perempuan 11, rata-rata usia 62,412,9 tahun) diikutkan sampai tahap analisa. Subjek mulai mendapat terapi wicara kombinasi dengan tDCS rata-rata 220,9 hari pasca stroke (Tabel 1).

Tabel 1. Karakteristik pasien dan AQ% awal dihubungkan dengan variabel demografik dan gambaran stroke

Nilai dalam rata-ratastandar deviasi AQ=kuosien afasia *p<0,05 dari independent t-test

Metode Terapi wicara diberikan berdasarkan tipe afasia, gambaran klinis yang spesifik, dan respons yang bervariasi terhadap stimulasi. Seorang ahli terapi wicara menganalisa hasil dari K-WAB dan tipe-tipe afasia masing-masing individu. Metode terapi wicara yang digunakan berupa stimulasi indra pendengaran dan penglihatan, seperti terapi intonasi melodi, terapi aksi visual, dan latihan pemahaman auditorik. Terdapat juga metode-metode lain untuk terapi wicara, seperti terapi stimulasi dan konteks berorientasi kata, terapi untuk memperbaiki efektifitas komunikasi pasien dan untuk meningkatkan kemampuan komunikasi, dan sesi-sesi latihan bicara menggunakan pendekatan terapi kognitif. Alat tDCS katodal (Iomed Phoresor PM850, Vista, Salt Lake City, Utah,USA) yang dikombinasikan dengan terapi wicara digunakan pada pasien. Digunakan elektroda katodal dan anodal yang direndam salin seluas 35 cm2 (sekitar ukuran 6x6 cm) yang ditempatkan di area 45 Broadmann (pada sistem EEG 10-20, letak area 45 Broadmann ditentukan berada diantara T4-Fz dan F8-CZ) pada cortex cerebri yang sehat diatas girus frontalis inferior dan pada dahi kontralateral di atas orbita, seperti dijelaskan sebelumnya. Arus langsung diberikan bertingkat dalam beberapa detik (0-10 detik) sampai mencapai 1 mA (densitas arus 0,03 mA/cm2). Pada tDCS, stimulasi dipertahankan sampai total 20 menit. Terapi wicara standar dikombinasi dengan tDCS memerlukan waktu 30 menit, dan dilakukan 10 kali. Pada prinsipnya, terapi wicara dikombinasi dengan tDCS diberikan 5 kali seminggu selama 2 minggu, dan setidaknya 3 kali seminggu selama 3 minggu untuk

mempertimbangkan situasi pasien. Untuk perbandingan efek terapi, K-WAB diperiksa sebelum dan sesudah terapi selama 10 sesi. Kuosien afasia % (AQ%) digunakan sebagai alat ukur keluaran utama, dan faktor-faktor sperti usia, jenis kelamin, saat memulai terapi setelah stroke, jenis stroke, dan jenis afasia dihubungkan dengan peningkatan AQ% dan diteliti dengan mereview rekam medik. Namun, tidak digunakan indeks kondisi fungsional pasien karena banyak data yang hilang. Gangguan fungsi wicara yang sesuai lesi otak dinilai menggunakan MRI axial otak untuk semua pasien dan dikategorikan sebagai area Broca, area Wernicke, fasikulus arkuatus, dan insula. Tergantung dari tipe-tipe afasia pada orang Korea yang telah dilaporkan sebelumnya, nilai standar penilaian keparahan awal untuk analisa ditentukan sebesar 10% dari AQ% (AQ%<10% atau 10%) dan nilai standar penilaian keparahan awal sekunder ditentukan sebesar 20% (AQ%<20% atau 20%). Grup dengan respons baik didefinisikan sebagai grup dengan derajat peningkatan AQ% lebih dari 7% dibandingkan dengan hasil K-WAB sebelum dan sesudah terapi wicara. Statistik Semua analisa statistik dilakukan menggunakan SPSS versi 17.0 for Windows. Nilai signifikan diterima pada p<0,05 dan confidence interval (CI) 95%. AQ% dari K-WAB yang dievaluasi sebelum terapi wicara dikombinasi dengan tDCS dibandingkan antar grup dan faktor variabel, seperti usia, jenis kelamin, jumlah hari setelah onset, jenis stroke, tipe afasia, lesi otak, keparahan awal, menggunakan independent t-test, paired t-test, dan regresi logistik. Perubahan dalam terapi pada setiap faktor dari K-WAB dievaluasi menggunakan paired t-test, dan independent t-test digunakan untuk delta AQ% ( AQ%) sebelum dan sesudah evaluasi K-WAB yang dipisahkan oleh faktor-faktor terdahulu. Efek independen dari terapi wicara dikombinasi dengan tDCS pada pemulihan fungsional dinilai menggunakan model regresi logistik multivariat, disesuaikan atau tidak untuk 7 faktor prognostik kunci, yaitu usia, jenis kelamin, jumlah hari setelah onset, jenis stroke (infark atau hemoragik), tipe afasia, lesi otak pada MRI (area Broca, area Wernicke, fasikulus arkuatus, dan insula), dan keparahan awal. Korelasi antara peningkatan AQ% dengan menggunakan logaritma natural dengan keparahan awal dievaluasi menggunakan R2 dan koefisien korelasi Pearson. HASIL AQ% awal sebelum terapi wicara dengan tDCS Tidak ada perbedaan signifikan secara statistik dari AQ% pada pasien-pasien antara jenis kelamin (p=0,328) dan usia (p=0,949) untuk pasien usia diatas 65 tahun dibandingkan dengan usia dibawah 65 tahun sebelum terapi wicara kombinasi tDCS. Tidak didapatkan perbedaan signifikan antara AQ% yang mendapat terapi <30 hari dan >30 hari (p=0,977) dan antara <90 hari dan >90 hari (p=0,234) pasca stroke. Tidak didapatkan perbedaan signifikan antar jenis stroke (p=0,813). Tipe afasia dapat dibagi menjadi afasia non-fluent, seperti afasia global, afasia motorik transkortikal, afasia motorik atau afasia Broca, dan afasia fluent, seperti afasia sensorik transkortikal, afasia sensorik, afasia Wernicke, afasia anomik, atau afasia konduksi. Ketika AQ% dibandingkan untuk kedua tipe afasia tersebut, AQ% awal untuk afasia fluent lebih tinggi secara signifikan dari afasia non-fluent, yang dilaporkan sama dengan data yang sudah ada (p=0,001). Lesi otak dibagi menjadi area Broca yang sesuai dengan area 45 Broadmann, area Wernicke yang sesuai dengan area 22 5

Broadmann posterior, fasikulus arkuatus yang menghubungkan area Broca dan Wernicke, dan insula yang terletak di dalam lobus temporalis menggunakan MRI FLAIR atau image aksial T2-weighted. Bila mengenai area Broca, AQ% awal lebih rendah secara signifikan daripada bila area Broca tidak terkena berdasarkan klasifikasi sebelumnya (p=0,022). Bila mengenai daerah insula, AQ% awal juga lebih rendah secara signifikan daripada bila area insula tidak terkena (p=0,002, Tabel 1). Peningkatan hasil K-WAB setelah terapi wicara dengan tDCS AQ% meningkat setelah terapi wicara dikombinasi dengan tDCS (sebelum 22,9220,84%, sesudah 36,6827,57%, p<0,001). Setiap item, seperti kefasihan, pemahaman auditorik, mengulang kata, mengingat nama, membaca, atau menulis membaik secara signifikan (p<0,001, Tabel 2). Tabel 2. Perbaikan item dari K-WAB dari pretest dan posttest

Nilai dalam rata-ratastandar deviasi K-WAB = tes Western aphasia battery versi Korea

Perubahan AQ% menurut faktor Ketika saat awal terapi dibagi menjadi dua grup untuk 30 hari pasca stroke, perubahan AQ% ( AQ%) meningkat secara signifikan pada kurang dari 30 hari (p=0,001) dibandingkan dengan lebih dari 30 hari. Pada tipe-tipe afasia, AQ% pada afasia fluent meningkat lebih tinggi dari yang tipe non-fluent (p=0,022). Pada kasus keparahan awal, AQ% meningkat secara signifikan pada kelompok AQ% awal diatas 10% atau 20% (10% p=0,030, 20% p<0,001) dibandingkan yang kurang dari 10% atau 20%. Bila menurut usia dan jenis kelamin, AQ% tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan. Tidak didapatkan perbedaan statistik antara saat mulai terapi dari 90 hari pasca stroke, tipe stroke, dan kjlasifikasi lesi otak dengan MRI (Tabel 3).

Tabel 3. Perbaikan AQ% dihubungkan dengan variabel demografik dan gambaran stroke.

Nilai dalam rata-ratastandar deviasi AQ% = AQ% post evaluasi-pre evaluasi AQ= kuosien afasia *p<0,05 dari independent t-test

Faktor-faktor yang dikaitkan dengan respons yang baik Odds ratio dari faktor-faktor yang berkaitan dengan afasia dikomfirmasi secara statistik. Bila digunakan infark sebagai standar, odds ratio yang tidak disesuaikan dari tipe stroke adalah 5,571. Ini berarti terdapat perbaikan fungsi bahasa, yang berarti bahwa pada stroke hemoragik 5,,5 kali lebih tinggi dibanding infark (p=0,021) setelah terapi wicara dengan tDCS. Ketika menyesuaikan odds ratio untuk keparahan awal, derajat perbaikan 4,9 kali lebih tinggi (p=0,037). AQ% awal 10% merupakan faktor yang dikaitkan dengan respons baik setelah terapi wicara, di aman derajat perbaikan 5,3 kali lebih tinggi dibanding pada kelompok AQ% awal <10% (p=0,033). Ketika odds ratio disesuaikan untuk keparahan awal, derajat perbaikan juga 8,6 kali lebih tinggi (p=0,029, Tabel 4).

Tabel 4. Odds Ratio adjusted dan unadjusted dari Respons Baik (AQ%7%)

AQ%=AQ% post evaluasi- pre evaluasi CI=confidence interval, AQ=kuosien afasia *p<0,05 dari analisa regresi logistik

Di samping itu, AQ% awal memiliki korelasi yang signifikan dengan logaritma natural dari perbaikan AQ% setelah terapi (R2=0,286, koefisien korelasi Pearson=0,536, p=0,002, Gambar 2).

Gambar 2. Keparahan awal yang dikorelasikan dengan logaritma natural dari perbaikan AQ%. R2=0,286, koefisien korelasi Pearson=0,536(p=0,002). Delta AQ% =nilai AQ% posttest-pretest. AQ= kuosien afasia. 8

DISKUSI Pada penelitian ini, keparahan awal berbeda secara signifikan antara lebih dari 10% (7,92%) dan kurang dari 10% (16,84%), dan perbedaan tesebut tetap signifikan walaupun dibagi 20% menggunakan t-test. Kami memastikan bahwa semakin tinggi keparahan awal, semakin rendah AQ% dengan regresi logistik. Keparahan awal sebagai faktor tunggal yang mendukung faktor prognostik yang paling penting. Tetapi untuk mencapai hasil tersebut, diperlukan kriteria respons yang baik setelah terapi dan definisi keparahan afasia. Pada penelitian-penelitian terdahulu, kriteria untuk membagi keparahan afasia tidak didefinisikan dengan jelas. Tergantung dari macam-macam afasia, afasia global memiliki AQ% yang lebih rendah secara signifikan, yang berarti keparahan afasianya lebih berat. Kang et al. melaporkan bahwa AQ% dari afasia global sebesar 7,68,2%, AQ% dari afasia transkortikal campuran sebesar 19,512,0%, AQ% dari afasia Broca sebesar 26,616,4%, dan AQ% dari afasia Wernicke sebesar 32,111,9% pada populasi Korea. Nilai standar penilaian keparahan primer ditentukan sebesar 10% dari AQ% afasia global. Nilai standar sekunder ditentukan sebesar 20% dari AQ% afasia transkortikal campuran, yang merupakan bentuk afasia global yang pulih sebagian. Selain itu, tidak ada laporan untuk definisi respons yang baik, dan tidak ada data untuk menentukan standar. Pada penelitian ini, kelompok respons baik didefinisikan sebagai derajat perbaikan 7% dari perbedaan AQ% (7,1%) antara afasia transkortikal campuran, yang merupakan batas antara afasia keparahan tinggi dan rendah diantara keparahan tinggi, dan afasia Broca, yang merupakan batas antara afasia keparahan tinggi dan rendah diantara keparahan rendah. Tidak ditemukan perbedaan yang bermakna antara keparahan awal yang dievaluasi menggunakan K-WAB pada pasien-pasien yang diterapi dalam 30 hari dan pasien-pasien yang diterapi dalam 30-90 hari pasca stroke. Kami juga menggunakan 30 dan 90 hari untuk mengklasifikasikan pasien dan disesuaikan dengan keparahan awal, dan tidak menemukan perbedaan resiko antara kedua grup menggunakan odds ratio. Salah satu masalah dalam meneliti afasia adalah terkadang sulit membedakan antara penyembuhan spontan yang sering terjadi dalam bulan-bulan awal dan respons terhadap terapi wicara. Ini dapat dijelaskan dengan penelitianpenelitian pada pemulihan afasia, yang kebanyakan terfokus pada pasien-pasien stroke akut dan subakut, sedangkan penelitian-penelitian tentang respons terhadap terapi kebanyakan dilakukan pada pasien-pasien kronis. Pada penelitian ini, pasien-pasien yang diterapi dalam 30 hari setelah onset stroke menunjukkan perbaikan yang lebih tinggi secara signifikan pada AQ% dibandingkan dengan yang diterapi setelah 30 hari, yang mungkin merupakan efek dari pemulihan spontan awal. Namun ketika dibandingkan dengan hasil dari Lazar et al., hasil perbaikan yang kami dapatkan bahkan lebih tinggi, walaupun waktu evaluasi awal berbeda. Lazar et al. menggunakan WAB pada pasien-pasien stroke akut yang belum mendapat terapi wicara pada awalnya dan 90 hari setelah terapi wicara, dan mendapatkan bahwa skor AQ membaik dari 20,07,7 menjadi 27,53,7 (p<0,001). Pada penelitian ini, 33 pasien dievaluasi menggunakan K-WAB setelah rata-rata 70 hari dari onset, dan menunjukkan perbaikan skor AQ sebesar 15,816,9, dari awal 29,721,6 menjadi 45,528,2 setelah 10 sesi terapi wicara kombinasi dengan tDCS selama 2-3 minggu. Ini merupakan perbaikan yang lebih besar dibandingkan dengan laporan yang lain, dimana perbaikan skor AQ tanpa terapi wicara (p<0,02) dapat mengarahkan asumsi bahwa tDCS dikombinasikan dengan terapi wicara di samping pemulihan spontan berperan dalam perbaikan fungsi bicara. Pasien-pasien dalam penelitian ini merupakan pasien-pasien kronis, jadi peningkatan skor AQ yang lebih besar menunjukkan efek tDCS dikombinasi dengan terapi wicara. Lebih jauh lagi, penelitian lain tentang terapi afasia, dimana pasien-pasien yang mendapatkan program terapi berbasis komunitas yang lanjut ( waktu rata-rata 9

dari onset sampai mendapat terapi 68,612,3 hari), menunjukkan perbaikan keseluruhan dari skor AQ dari 42,527,4 menjadi 51,628,7. Walaupun tidak terbukti secara statistik, ini dianggap sebagai perbaikan yang lebih rendah dari penelitian kami. Pada penelitian ini, afasia yang disebabkan perdarahan daripada infark merupakan faktor terkait yang bermakna secara statistik untuk perbaikan fungsi bahasa. Ini belum dilaporkan dalam penelitian-penelitian sebelumnya, karena kami tidak mengelompokkan pasien berdasarkan lesi pada korteks maupun subkorteks, melainkan berdasarkan hemoragik atau infark. Pasien dengan perdarahan kebanyakan memiliki lesi di basal ganglia, kapsula dan korona radiata, yang diklasifikasikan sebagai daerah subkortikal. Dibandingkan dengan infark, perdarahan mempunyai efek lebih kecil pada daerah kortikal, dan karenanya tampak sebagai faktor prognostik yang lebih baik. Namun, ini sesuai dengan hasil dari penelitian ini karena pasien-pasien dengan lesi kortikal kemungkinan memiliki keparahan afasia lebih tinggi dari pasien-pasien dengan lesi subkortikal. Bila lesi otak diklasifikasikan menurut area bahasa, odds ratio-nya tidak bermakna secara statistik. Ini dapat dijelaskan dengan fakta bahwa pasien-pasien dengan afasia karena perdarahan mulai mendapat terapi dalam 149,5 hari, yang berarti lebih cepat dari pasien-pasien dengan afasia karena infark (244,3 hari). Walaupun tidak ditunjukkan karena data tidak lengkap, fungsi yang secara keseluruhan masih baik, di laur afasia, pada pasien-pasien perdarahan daripada yang infark mungkin berperan pada hasil tersebut. Diantara afasia fluent dan nonfluent yang terbagi oleh lesi di otak, afasia fluent diketahui mempunyai prognosis yang lebih baik. Namun, satu penelitian sebelumnya melaporkan bahwa derajat perbaikan, yang dianggap berbeda, prognosis pada afasia global lebih besar dari afasia Wernicke. Berdasarkan laporan tersebut, dan melihat hasil penelitian ini, AQ% (43,6026,29%) dari afasia fluent 30% lebih tinggi dari AQ% (14,5511,33%) pada afasia nonfluent. Pada afasia fluent, nilai maksimum AQ% meningkat karena perbaikan gejala lebih besar. Namun, nilai AQ% absolut dari perbaikan dari afasia nonfluent lebih tinggi, karena nilai awal AQ% pada afasia nonfluent sangat rendah dan dapat berubah drastis. Karenanya, dapat dianggap bahwa tidak ada perbedaan perubahan bermakna dari peningkatan AQ% dari afasia fluent dan nonfluent. Transcranial direct current stimulation (tDCS) dilaporkan mempunyai kemampuan mengendalikan potensial membran istirahat pada neuron di otak dan membangkitkan depolarisasi atau hiperpolarisasi tergantung dari posisi dan polaritas elektrode. Bagaimana cara tDCS mempengaruhi fungsi bicara masih kontroversial, dan masih perlu diteliti stimulasi yang tepat untuk daerah otak yang dituju. Masih belum ada laporan apakah tDCS dikombinasi dengan terapi wicara memiliki respons terapi yang baik untuk afasia. Namun, keamanan tDCS telah divalidasi pada sebuah penelitian yang menggunakan metode double-blind, sham-kontrol, dan penelitian yang lain menunjukkan peningkatan akurasi pada tugas mengingat nama dengan stimulasi anodal pada area Broca. tDCS anodal yang ditempatkan diatas korteks prefrontal kiri telah dilaporkan meningkatkan akurasi penamaan pada pasien-pasien afasia kronis, sedangkan stimulasi pada area Wernicke dan stimulasi katodal yang lain juga menunjukkan perbaikan akurasi penamaan pada laporan yang lain. Penelitian ini menunjukkan perbaikan yang signifikan dari semua item pada K-WAB, yang tidak sesuai dengan penelitian-penelitian sebelumnya yang melaporkan perbaikan hanya pada akurasi penamaan. Ini mungkin merupakan hasil dari terapi wicara dan bukan efek dari tDCS katodal. tDCS katodal dapat membangkitkan hiperpolarisasi dengan mengubah potensial istirahat dari 10

membran sel, dan menghambat aktivasi sel dan karenanya mempengaruhi pemulihan fungsi dari sisi kontralateral. Karenanya tDCS mungkin berperan dalam menyediakan lingkungan yang mendukung terapi wicara, tetapi tidak bisa menjadi terapi utama sendirian. Sebagian besar penelitian menggunakan kemampuan penamaan seperti tes penamaan Boston, menyebutkan nama dari gambar, dan tes penamaan terbuka sebagai variabel dependen saat mengevaluasi pasien normal maupun afasia setelah tDCS, yang mungkin menjelaskan hasil perbaikan yang terbatas pada akurasi penamaan saja. Dengan menggunakan WAB maupun K-WAB sebagai variabel dependen akan memungkinkan evaluasi yang lebih komprehensif dari kemampuan berbicara. Penelitian ini mempunyai beberapa keterbatasan. Pasien-pasien yang dilibatkan meliputi pasien akut dan kronis, dan saat evaluasi awal antar pasien berbeda-beda. Penelitian ini didasarkan pada review retrospektif dari rekam medik, jadi tidak bisa memperhitungkan faktor yang mungkin mempengaruhi afasia bila tidak ada hasil untuk disfungsi kognitif yang lain. Komponen struktural yang mungkin mempengaruhi prognosis, seperti atrofi otak berat, tidak ikut diperhitungkan saat mereview MRI otak dari pasien, dan hal ini dapat menjelaskan mengapa perbaikan AQ% yang dicapai pasien lebih rendah dari yang diharapkan. Tidak dilakukan pengukuran yang objektif untuk menilai efek dari tDCS pada perbaikan fungsi berbicara karena tidak ada kelompok kontrol. KESIMPULAN Penelitian ini menunjukkan bahwa terapi wicara dikombinasikan dengan tDCS memberikan hasil yang lebih baik pada pasien-pasien afasia fluent yang terapi awalnya sudah dimulai dalam 30 hari pasca onset stroke, dan memiliki AQ% lebih dari 20% pada evaluasi K-WAB awal. Keparahan awal dari afasia berkaitan erat dengan perbaikan fungsi wicara, dengan keparahan awal yang lebih rendah menunjukkan respons yang baik. Stroke hemoragik merupakan faktor prognostik yang lebih baik daripada stroke infark untuk perbaikan fungsi wicara, karena tidak banyak mengenai daerah kortikal otak yang berkaitan dengan fungsi bahasa. Dari hasil-hasil tersebut, mengkombinasikan tDCS dengan terapi wicara atau memberika terapi wicara saja pada pasien-pasien dengan keparahan awal yang rendah dapat menunjukkan respons yang lebih baik pada terapi wicara. Kombinasi tDCS dan terapi wicara dapat digunakan untuk terapi afasia tetapi diperlukan penelitian yang lebih besar untuk memastikan apakah tehnik ini lebih baik dari terapi wicara konvensional.

11

Anda mungkin juga menyukai