BELL’S PALSY
Oleh :
Salsabilla Sahara
22004101052
Pembimbing
dr. Novi Iriawan, SpS
Penulis
DAFTAR ISI
Bell’s palsy merupakan kelemahan atau kelumpuhan saraf fasialis perifer tipe lower
motor neuron (LMN) yang bersifat akut dan belum diketahui penyebabnya secara pasti
(idiopatik). Bell’s palsy ini ditemukan pertama kali pada tahun 1812 oleh Sir Charles Bell,
(Kartadinata dan Tjandra, 2011). Bell’s palsy merupakan salah satu penyakit pada nervus
fasialis yang paling sering terjadi, hal ini dibuktikan dengan tingginya prevalensi Bell’s palsy
di beberapa negara. Di Inggris dan Amerika berturut-turut 22,4 dan 22,8 penderita per
100,000 penduduk per tahun (Sukardi, 2004). Sedangkan di Indonesia, data yang didapatkan
dari 4 buah rumah sakit menunjukkan bahwa frekuensi Bell’s palsy sebesar 19,55% dari
Penyakit ini dapat terjadi pada semua umur dan jenis kelamin. Tidak didapati perbedaan
insiden antara iklim panas maupun dingin, tetapi pada beberapa penderita didapatkan adanya
riwayat terpapar udara dingin atau angin berlebihan (Weiner, 2001). Faktor resiko terjadinya
Bell’s palsy meningkat pada penderita diabetes, kehamilan, obesitas dan hipertensi. Gejala
klinis dari Bell’s palsy biasanya bila dahi di kerutkan lipatan dahi hanya tampak pada sisi
yang sehat saja, kelopak mata sulit menutup dan saat penderita berusaha menutup kelopak
matanya, matanya terputar ke atas dan matanya tetap kelihatan yang disebut juga fenomena
bell. Dalam mengembungkan pipi terlihat bahwa pada sisi yang lumpuh tidak mengembung.
Dalam menjungurkan bibir, gerakan bibir tersebut menyimpang ke sisi yang tidak sehat serta
air mata yang keluar secara berlebihan di sisi kelumpuhan dan pengecapan pada dua per tiga
Bell’s palsy sebagai serangan stroke atau yang berhubungan dengan tumor sehingga perlu
diketahui penerapan klinis sindrom Bell’s palsy tanpa melupakan diagnosa banding
kemungkinan diperoleh dari klinis yang sama (Lowis dan Gaharu, 2012). Beberapa gejala
sisa dapat muncul pada penderita akibat pengobatan yang tidak tepat. Terapi yang dilakukan
selama ini adalah untuk meningkatkan fungsi saraf wajah dan proses penyembuhan.
Pengetahuan tentang anatomi dasar saraf wajah (nervus facialis) dan otot-otot wajah
yang inervasinya adalah penting dalam pemahaman tentang Bell’s palsy. Para ahli yang
menangani harus memahami anatomi dasar yang dikaitkan dengan anatomi klinik dalam
penanganan penyakit ini. Manajemen terapi yang digunakan akan sangat terkait dengan
Nervus facialis (N.VII) merupakan nervus yang berasal dari bagian lateral dari
facialis keluar dari batang otak membawa serat-serat saraf untuk mengecap dan
alat keseimbangan dan pendengaran yaitu cochlea dan vestibulum saat berjalan dari
Saraf fasialis memasuki kanalis fasialis di dasar dari meatus dan berbelok ke arah
dorsolateral. Saraf menuju dinding medial dari kavum timpani dan membentuk sudut
turun pada dinding dorsal kavum timpani dan ke luar dari os temporal melalui
Jalur dari nervus facialis dibagi menjadi 6 segmen, yaitu: (Kahle & Frotscher,
2003):
1. Segmen intracranialis (cisternal). Bagian motorik dari nervus facialis berasal dari
nucleus nervus facialis yang terletak di pons, sedangkan bagian sensoris dan
2. Segmen meatus (dari batang otak menuju ke meatus acouticus internus). Dari
batang otak, bagian motorik dan sensoris dari nervus facialis bergabung dan
berjalan di fossa cranialis posterior sebelum memasuki pars petrosus os temporalis
melalui meatus acousticus internus. Saat keluar dari meatus acousticus internus,
saraf ini berjalan berkelok-kelok melalui canalis facialis, yang nantinya bercabang
Segmen ini pendek, yang mana nervus facialis berakhir menjadi geniculum yang
berisi ganglion geniculatum untuk sensoris. Cabang pertama dari nervus facialis
yaitu nervus petrosus superficialis major berasal dari ganglion ini. Nervus
pada gangliom pterygopalatinus. Serat saraf post sinapsis nya melayani kelenjar
lacrimalis.
Pada segmen ini nervus facialis berjalan di cavum tympani, medial dari incus.
stylomastoideus). Pada pars temporal dari canalis facialis, nervus ini memberikan
menjadi rami auricularis anterior. Saraf ini kemudian melewati kelenjar parotis,
tetapi tidak memberikan innervasinya pada kelenjar ini. Saat melewati kelenjar
ini, nervus facialis membentuk plexus parotidis, yang bercabang menjadi lima dan
Gambar 2.1 Perjalanan dan Cabang-Cabang Dari Nervus Facialis (Netter et al, 2002).
Nervus cranialis juga dibagi menjadi beberapa cabang, yaitu:
a. Rami Intracranialis
ethmoidalis, dan caum nasi. Saraf ini juga memberikan innervasi untuk rasa
sublingualis, rasa kecap pada lidah 2/3 anterior (Monkhouse, 2006; Kahle &
Frotscher, 2003).
b. Rami Ekstracranialis
di sekitar telinga
stylohyoideus
- Di kelenjar parotis bercabang menjadi enam cabang utama yaitu: rami
wajah. Selain itu juga memberikan innervasi untuk bagian posterior dari
ini adalah otot lurik yang berasal dari branchiomeric hasil dari perkebangan
scalp, wajah, dan leher. Kebanyakan dari otot ini melekat pada tulang atau
fascia dan efek dari kontraksinya adalah berupa tertariknya kulit. Otot-otot
ini menggerakan kulit dan merubah ekspresi wajah. Otot-otot mimik juga
mengelilingi mulut, mata dan hidung dan berperan sebagai spingter dan
Orbicularis oculi mentutup kelopak mata dan membantu aliran air mata
Nervus facialis melayani rasa kecap pada 2/3 bagian anterior dari lidah
melalui chorda tympani. Rasa kecap ini kemudian dikirim ke pars superior
dari nucleus solitarius. Rasa umum dari 2/3 anterior dari lidah dilayani oleh
serat-serat aferen dari nervus V3. Rasa umum dan rasa kecap ini serat-
mengandung badan sel untuk serat-serat rasa kecap dari chorda tympani,
rasa lain dan jalur sensoris. Dari ganglion geniculatum serat-serat untuk rasa
motoris dari nervus facialis (Moore et al, 2015; Kahle & Frotscher, 2003).
palatina. Begitu juga sedikit untuk kulit di sekitar auricula yang dibawa oleh
2.2 Definisi
Bell’s palsy merupakan kelemahan atau kelumpuhan saraf fasialis perifer tipe lower
motor neuron (LMN) yang bersifat akut, unilateral, isolated dan belum diketahui
penyebabnya secara pasti (idiopatik). Penyakit ini timbul mendadak dan akan menyebabkan
asimetri pada wajah serta mengganggu fungsi normal, seperti menutup mata dan makan
(Dewanto, 2009). Bell’s palsy pada umumnya dapat sembuh sendiri tanpa pengobatan
(Sidharta, 2010).
2.3 Epidemiologi
Prevalensi bell’s palsy berkisar antara 20-25 per 100.000 penduduk. Angka ini lebih
rendah pada dewasa muda dan meningkat sesuai dengan bertambahnya usia. Pada usia >60
tahun, angka kejadian bertambah 30-35 per 100.000 penduduk (Albers, 1990). Di Inggris
dan Amerika berturut-turut 22,4 dan 22,8 penderita per 100,000 penduduk per tahun
(Sukardi, 2004). Sedangkan di Indonesia, data yang didapatkan dari 4 buah rumah sakit
menunjukkan bahwa frekuensi Bell’s palsy sebesar 19,55% dari seluruh kasus neuropati
yang terjadi (Mujaddidah, 2017). Persentase pada laki-laki dan wanita seimbang artinya
tidak ada kecenderungan jenis kelamin pada penyakit bell’s palsy ini.
2.4 Etiologi
Walaupun etiologinya belum diketahui, tapi ada 4 teori yang dihubungkan dengan
Saraf fasialis dapat menjadi lumpuh secara tidak langsung karena gangguan regulasi
Virus yang dianggap paling banyak bertanggung jawab adalah Herpes Simplex Virus
(HSV), yang terjadi karena proses reaktivasi dari HSV (khususnya tipe 1).
c. Teori herediter
Bell’s palsy terjadi mungkin karena kanalis fasialis yang sempit pada keturunan
d. Teori imunologi
Dikatakan bahwa Bell’s palsy terjadi akibat reaksi imunologi terhadap infeksi virus yang
2.5 Patofisiologi
Bell’s palsy diyakini disebabkan oleh inflamasi saraf fasialis pada ganglion
genikulatum, yang menyebabkan kompresi, iskemia dan demielinasi. Ganglion ini terletak
didalam kanalis fasialis pada persambungan labirin dan segmen timpani, dimana lengkungan
mekanisme termasuk iskemia primer atau inflamasi saraf fasialis, menyebabkan edema dan
penjepitan saraf fasialis selama perjalanannya didalam kanal tulang temporal dan
menghasilkan kompresi dan kerusakan langsung atau iskemia sekunder terhadap saraf. Teori
ini merupakan latar belakang untuk dekompresi bedah pada pengobatan bell’s palsy (Cohen,
2003).
Suatu hipotesa imunologis telah diperkenalkan oleh Mc. Govern dkk, berdasarkan
penelitian eksperimental pada hewan. Begitu juga Hughes dkk, menemukan transformasi
limfosit pada pasien bell’s palsy dan menduga bahwa beberapa penyebab bell’s palsy
merupakan hasil dari cell mediated immunity melawan antigen saraf perifer. Hasil ini
mendukung penelitian selanjutnya dengan steroid dan imunoterapi lainnya (Katzung, 2003).
Mekanisme lainnya adalah infeksi virus, yang secara langsung merusak fungsi saraf
melalui mekanisme inflamasi, yang kemungkinan terjadi pada seluruh perjalanan saraf dan
bukan oleh kompresi pada kanal tulang. Suatu penelitian systematic review berdasarkan
berkualitas tinggi telah menyimpulkan bahwa antivirus tidak lebih efektif daripada placebo
dalam menghasilkan penyembuhan lengkap pada pasien bell’s palsy. Karena tidak efektifnya
antivirus dalam mengobati pasien bell’s palsy sehingga perlu dipertimbangkan adanya
Adanya peran genetik juga telah dikemukakan sebagai penyebab bell’s palsy, terutama
kasus Bell’s palsy yang rekuren ipsilateral atau kontralateral. Kebanyakan kasus yang
rnemberikan temuan objektif tentang dasar genetik dari beII’s palsy dan kebanyakan terpusat
pada sistem Human Leucocyte Antigen (HLA), yang memiliki hubungan objektif yang kuat
dengan berbagai penyakit autoimun. Paparan terhadap udara yang dingin bisa memicu
pengaktifan semula herpes simplek virus tipe 1 (HSV-1). Paparan yang berkerpanjangan
terhadap udara dingin di luar bisa menyebabkan perubahan vasomotor di daerah wajah,
dimulai dari neuritis edematous sehingga refleks iskemik. Berdasarkan data penelitian,
wanita hamil 3 kali lebih sering ditemukan dengan bell's palsy dibandingkan wanita tidak
hamil. Kondisi ini dikaitkan dengan komposisi cairan ekstraseluler yang tinggi, inflamasi
virus dan karakteristik imunosupresi selama kehamilan, namun hingga saat ini masih
kontroversial. Bell's palsy terutama ditemukan pada usia kehamilan di atas 6 bulan (Blow,
2012).
Manifestasi Klinis
Tanda dan gejala dari Bell’s palsy dapat bervariasi dari ringan hingga berat, yaitu (Seok,
2008):
- Kelemahan atau kelumpuhan otot-otot wajah bagian atas dan bawah pada sisi yang
terkena
- Peningkatan kepekaan terhadap suara (hiperakusis) pada sisi yang terkena jika otot
stapedius terlibat
1. Fungsi Motorik
Dalam memeriksa fungsi motoric, perhatikan wajah penderita apakah simetris atau tidak.
Perhatikan kerutan pada dahi, pejaman mata, plika nasolabialis dan sudut mulut. Bila
asimetri wajah jelas, maka hal ini disebabkan oleh kelumpuhan jenis perifer. Dalam ini
kerutan dahi menghilang, mata kurang dipejamkan, plika nasolabialis mendatar dan
sudut mulut menjadi lebih rendah. Pada kelumpuhan jenis central, wajah dapat simetris
waktu istirahat, kelumpuhan baru nyata bila penderita disuruh melakukan gerakan,
Minta pasien untuk mengangkat kedua alis kemudian nilai apakah simetris atau tidak.
sebab ketiga musculus diatas mendapat persarafan bilateral. Pada kelumpuhan jenis
b. Memejamkan mata
Minta pasien untuk memejamkan mata, bila lumpuhnya berat pasien tidak dapat
memejamkan mata. Namun apabila lumpuhnya ringan, maka tenaga pejaman mata
kurang kuat. Hal ini dapat dinilai dengan mengangkat kelopak mata dengan tangan
pemeriksa, sedangkan pasien disuruh tetap memejamkan mata. Pasien juga disuruh
memejamkan mtanya satu per satu. Hal ini merupakan pemeriksaan yang baik bagi
parese ringan. Bila terdapat parese, pasien tidak dapat memejamkan matanya pada
sisi yang lumpuh. Disini dinilai apakah m.orbicularis oculi dapat berkontraksi
Minta pasien untuk menyeringai, menunjukkan gigi geligi. Perhatikan apakah hal ini
dapat dilakukan dan apakah simetris, perhatikan sudut mulutnya. Jika pasien tidak
Pada penderita yang tidak kooperatif atau yang menurun kesadarannya dan tidak
2012).
d. Mencucurkan bibir
Minta pasien untuk mencucurkan bibir. Perhatikan apakah dapat dilakukan dan
apakah simetris. Jika pasien tidak dapat melakukan dengan baik dan simetris maka
e. Menggembungkan pipi
Minta pasien untuk menggembungkan pipi. Perhatikan apakah hal ini dapat
dilakukan atau tidak dan apakah simetris atau tidak. Apabila pasien tidak dapat
melakukan dengan baik maka dapat dikatakan terjadi gangguan pada persarafan
Minta pasien untuk mengembang kempiskan cuping hidung, nilai apakah simetris
atau tidak. Jika tidak, maka terdapat gangguan persarafan pada m.nasalis
(Lumbantobing, 2012).
2. Fungsi Pengecapan
(hilangnya pengecapan) pada 2/3 lidah bagian depan. Menggunakan cairan Bornstein
(4% glukosa, 1% asam sitrat, 2,5% sodium klorida, 0,075% quinine HCl). Penderita
diminta menjulurkan lidah kemudian dikeringkan dahulu baru dilakukan tes dengan
menggunakan lidi kapas. Rasa manis di ujung lidah, rasa asam dan asin di samping lidah
dan rasa pahit di belakang lidah. Setiap selesai pemeriksaan, penderita berkumur dengan
air hangat kuku dan dikeringkan dahulu baru dilanjutkan pemeriksaan berikutnya. Pasien
1 untuk rasa manis, 2 untuk rasa pahit, 3 untuk rasa asin dan 4 untuk rasa asam.
Kerusakan pada atau diatas nervus petrosus mayor dapat menyebabkan kurangnya
produksi air mata dan lesi korda timpani dapat menyebabkan kurangnya produksi saliva
(Lumbantobing, 2012).
3. Refleks Stapedius
pada diafragma stetoskop atau dengan menggetarkan garpu tala 256Hz di dekat
Pemeriksaan Penunjang
Tidak ada yang spesifik untuk Bell’s palsy, tetapi tes berikut dapat berguna untuk
normal, kemudian penderita diminta menghisap lemon dan aliran saliva dibandingkan
Digunakan apabila paresis menjadi progesif dan tidak berkurang. MRI digunakan untuk
menyingkirkan kelainan lainnya yang menyebabkan paralisis. MRI pada penderita Bell’s
palsy menunjukkan pembengkakan dan peningkatan yang merata dari saraf fasialis dan
ganglion genikulatum. MRI juga dapat menunjukkan adanya pembengkakan saraf facialis
komplikasi jangka panjang. Ketidakmampuan untuk menutup mata pada sisi yang terkena
meningkatkan risiko terjadinya komplikasi kornea. Pelindung mata sangat penting sehingga
penutup mata dan pelumas digunakan untuk mencegah pengeringan kornea. Tetes mata,
seperti tetes hypromellose, harus diterapkan untuk pelumasan di siang hari dan salep di
malam hari. Dalam kasus yang parah, mata mungkin harus ditutup atau dijahit sebagian.
1. Kortikosteroid
pembengkakan pada saraf di kanalis fasialis yang sempit dan kerja maksimal dimulai
dalam waktu 72 jam dari timbulnya gejala. Dosis pemberian prednison (maksimal
40- 60 mg/hari) dan prednisolon (maksimal 70 mg) adalah 1 mg/kg/hari secara oral
selama 6 hari lalu diikuti 4 hari tappering off (Sullivan, 2007). Efek toksik dan hal
yang perlu diperhatikan pada penggunaan steroid jangka panjang (lebih dari 2
2. Antiviral
keterlibatan HSV-1. Antiviral yang digunakan yaitu asiklovir 400 mg 5x/hari selama
5 hari atau valasiklovir 1000 mg/hari selama 5 hari (Hato, 2007). Dari hasil
3. Analgesik untuk meredakan nyeri, dan methylcellulose eye drops untuk mencegah
1. Penggunaan selotip untuk menutup kelopak mata saat tidur dan eye patch untuk
2. Fisioterapi
stadium akut. Tujuan fisioterapi untuk mempertahankan tonus otot yang lumpuh.
Cara yang sering digunakan yaitu : mengurut/ massage otot wajah selama 5 menit
pagi-sore atau dengan faradisasi. Pemberian suhu panas di area yang terpengaruh
3. Operasi
Tindakan operatif umumnya tidak dianjurkan pada anak- anak karena dapat
apabila:
Beberapa tindakan operatif yang dapat dikerjakan pada BP antara lain dekompresi n.
fasialis yaitu membuka kanalis fasialis pars piramidalis mulai dari foramen
stilomastoideum nerve graft operasi plastik untuk kosmetik (muscle sling, tarsoraphi)
2.8 Komplikasi
Sekitar 5% pasien setelah menderita Bell’s palsy mengalami sekuele berat yang tidak
dapat diterima. Beberapa komplikasi yang sering terjadi akibat Bell’s palsy yaitu:
ageusia (hilang pengecapan), dan disestesia (gangguan sensasi atau sensasi yang tidak
3. Reinervasi yang salah dari saraf fasialis. Reinervasi yang salah dari saraf fasialis dapat
menyebabkan:
- Sinkinesis yaitu gerakan inolunter yang mengikuti gerakan volunter, contohnya timbul
gerakan elevasi involunter dari sudut mata, kontraksi platysma, atau pengerutan dahi
- Crocodile tear phenomenon, yang timbul beberapa bulan setelah paresis akibat
regenerasi yang salah dari serabut otonom, contohnya air mata pasien keluar pada saat
mengkonsumsi makanan
- Clonic facial spasm (hemifacial spasm), yaitu timbul kedutan secara tiba-tiba (shock-
like) pada wajah yang dapat terjadi pada satu sisi wajah saja pada stadium awal,
2.9 Prognosis
Dalam sebuah penelitian pada 1.011 penderita Bell’s palsy, 85% memperlihatkan tanda-
tanda perbaikan pada minggu ketiga setelah onset penyakit. 15% kesembuhan terjadi pada
3-6 bulan kemudian (Ropper, 2003). Pada literatur lain penderita BP bisa sembuh sempurna
dalam waktu 2 bulan dan sembuh sempurna antara 1-3 bulan 80 % (Davis,2005). Sepertiga
dari penderita Bell’s palsy dapat sembuh seperti sedia kala tanpa gejala sisa. 1/3 lainnya
dapat sembuh tetapi dengan elastisitas otot yang tidak berfungsi dengan baik. Penderita
seperti ini tidak memiliki kelainan yang nyata. Penderita Bell’s palsy dapat sembuh total
Faktor resiko yang memperburuk prognosis Bell’s palsy adalah (Ropper, 2003):
2. Paralisis komplit
3. Menurunnya fungsi pengecapan atau aliran saliva pada sisi yang lumpuh
nondiabetik dan penderita DM lebih sering kambuh dibanding yang non DM. Hanya 23 %
kasus Bells palsy yang mengenai kedua sisi wajah. Bell’s palsy kambuh pada 10-15 %
penderita. Sekitar 30 % penderita yang kambuh ipsilateral menderita tumor N. VII atau
3.1 Kesimpulan
Bell’s palsy merupakan kelemahan atau kelumpuhan saraf fasialis perifer tipe lower
motor neuron (LMN) yang bersifat akut dan belum diketahui penyebabnya secara pasti
(idiopatik). Etiologinya masih belum jelas, tetapi diketahui bahwa gejala tersebut disebabkan
Gejala klinis berupa kelumpuhan separuh otot wajah seperti dahi tidak dapat dikerutkn,
kelopak mata tidak dapat menutup, sudut mulut tidak dapat diangkat. Selain itu juga dapat
ditemukan gejala lain yang menyertai seperti gangguan fungsi pengecapan, hiperakusis dan
gangguan lakrimasi.
serta obat tetes mata. Tatalaksana non medikamentosa dapat dilakukan fisioterapi, operasi
dan penggunaan selotip mata pada saat tidur untuk mencegah kekeringan kornea.
DAFTAR PUSTAKA
Adam, Olivia Mahardani. 2019. Bell’s palsy. Jurnal Ilmiah Kedokteran Wijaya Kusuma
Albers JW, Bromberg MB. 1990. Bell’s palsy. In: Johnson RT, Griffin JW. Current therapy in
neurologic disease 3rd ed. Missouri: Mosby-Year Book Inc; p 376-80
Blow, David. 2012. Neuromuscular Taping From Theory to Practice. Italy: Arti Grafiche
Colombo.
Cohen JE, Leker RR, Gotkine M, et al. 2003. Emergent stenting to treat patients with carotid artery
dissection: clinically and radiologically directed therapeutic decision making.
Stroke;34:e254–7
Davis Larry E, Molly K. King,Jessica L. Schultz, 2005, Bells palsy in Fundamentals of Neurologic
Disease , Demos Medical Publishing New York; 63-64.
Dewanto G, Suwono WJ, Riyanto B, Turana Y, editors. 2009. Panduan praktis diagnosis dan
tatalaksana penyakit saraf. Jakarta: EGC
Gilden, DH. 2004. Bell ’ s Palsy, New England J of Med., vol.351(13). pp.1323–31
Hato N, Yamada H, Kohno H, Matsumoto S, Honda N, Gyo K, et al. 2007. Valacyclovir and
prednisolone treatment for Bell’s palsy: a multicentre, randomized, placebo-controlled
study. Otol Neurotol; 28:408-13. http://dx.doi.org/10.1097/ 01.mao.0000265190.29969
Kahle, W and Frotscher, M. 2003. Nervous System and Sensory Organs. 5Th Ed. Volume 3.
Thieme Stuttgart, New York.
Kanerva,M. 2008. Peripheral Facial Palsy: Grading, Etiology, and Melkersson Rosenthal
Syndrome. Otolaryngology-Head and Neck Surgery, in press.
Kartadinata dan Tjandra R. 2011. Rehabilitasi Medik Bell’s palsy. Siaran RRI. Instalasi
Rehabilitasi Medik RSUP Dr. Kariadi Semarang
Katzung, B.G. Clinical Pharmacology. 2003. 9th edition. Mc Graw Hill companies, lnc; p117
Lowis H dan Gaharu MN. 2012. Bell’s palsy: Diagnosis dan Tata Laksana di Pelayanan Primer.
Artikel Pengembangan Pendidikan Keprofesian Berkelanjutan. Departemen Saraf Rumah
Sakit Jakarta Medical Center
Lumbantobing, S.M. 2012. Neurologi klinik: pemeriksaan fisik dan mental. Jakarta; Badan
Penerbit FK UI
Monkhouse, S. 2006. Cranial Nerves Functional Anatomy. Cambridge University Press, New
York
Moore, KL, Agur AMR, and Dalley, AF. 2015. Essential Clinical Anatomy. 5th Ed. Lippincott &
Wilkins, Philadelphia
Mujaddidah, N. 2017. Tinjauan Anatomi Klinik dan Manajemen Bell’ S Palsy. Quanun Medika.
I(2). 1–11
Netter, FH, Craig JA, and Perkins, J. 2002. Atlas of Neuroanatomy and Neurophysiology. Texas,
New York.
NINDS, 2014. Bell’s palsy Fact Sheet, http://www.ninds.nih.gov/disorders/bells/detail_bells.html
Ropper AH, Brown RH, 2003, Adams and Victor’s Principles of Neurology. 8th ed. New York:
MacGraw-Hill; 1180-1182.
Seok JI, Lee DK, Kim KJ. 2008. The usefulness of clinical findings in localising lesions in Bell’s
palsy: comparison with MRI. J Neurol Neurosurg Psychiatry; 79:418-20.
http://dx.doi.org/10.1136/jnnp.2007.118489. Diakses pada 5 Agustus 2021
Sidharta P, Mardjono M,. 2008. Neurologi Klinis Dasar. Jakarta: Dian Rakyat, pp: 169-73.
Sidharta P, 2010. Tata Pemeriksaan Klinis Dalam Neurologi. Dian Rakyat.
Sukardi, Nara P. 2004. Bell’s Palsy. Cermin Dunia Kedokteran edisi IV: 72-76
Sullivan FM, Swan IR, Donnan PT, Morrison JM, Smith BH, McKinstry B, et al. 2007. Early
treatment with prednisolone or acyclovir in Bell’s palsy. N Engl J Med ;357:1598-607.
http://dx.doi.org/10.1056/NEJMoa072006
Weiner HL, Levitt LP. Ataksia. Wita JS, editor. 2001. Buku Saku Neurologi. Ed 5. Jakarta:
Penerbit Buku Kedokteran EGC; hal. 174