Anda di halaman 1dari 16

LAPORAN PRAKTIKUM PERLINDUNGAN HUTAN

ACARA II

RAGAM PENYAKIT PADA TANAMAN KEHUTANAN

Nama : Agus Pamungkas


NIM : 20/464035/SV/18354
Kelompok :8
Co.Ass : Arnada Rizky Rahmawati

PROGRAM STUDI DIPLOMA IV PENGELOLAAN HUTAN

DEPARTEMEN TEKNOLOGI HAYATI DAN VETERINER

SEKOLAH VOKASI

UNIVERSITAS GADJAH MADA

YOGYAKARTA
2021
ACARA II
RAGAM PENYAKIT PADA TANAMAN KEHUTANAN

I. TUJUAN
Mampu mengenal berbagai jenis penyakit tanaman hutan beserta gejala,
tanda, dan penyebabnya.

II. WAKTU DAN TEMPAT

1. Waktu : 2 September 2021


2. Tempat : rumah masing-masing praktikan

III. ALAT DAN BAHAN :


1. Video dan presentasi PPT mengenai ragam penyakit pada tanaman kehutanan.

2. Bahan :
a. Spesimen penyakit karat tumor
b. Spesimen penyakit akar merah
c. Spesimen penyakit embun tepung
d. Spesimen penyakit embun jelaga
e. Spesimen penyakit kanker batang
f. Spesimen penyakit pink disease
g. Spesimen penyakit kanker batang

IV. CARA KERJA


1. Perhatikan demonstrasi dan penjelasan berbagai jenis penyakit tanaman hutan.
V. HASIL DAN PEMBAHASAN

No. Penyakit Gambar Deskripsi

1. Karat Tumor Penyakit karat tumor


(Uromycladium disebabkan oleh
tepperianum) patogen Uromycladium
tepperianum
menyebabkan daun
mengeriting,
melengkung dan tidak
berkembang secara
normal. Gejala
penyakit diawali
dengan adanya
pembengkakan local
lama kelamaan
pembengkakkan
berubah menjadi
benjolan-benjolan yang
kemudian menjadi
bintil - bintil kecil atau
disebut tumor.
2. Ganoderma/akar Gejala serangan jamur
merah ini disebabkan
(Ganoderma sp) Ganoderma sp tumbuh
pada tanaman muda
yang dapat diamati dari
daun pucat dan kusam,
pertumbuhan melambat
serta daun kering.
Tanda yang dapat
dilihat yaitu
tumbuhnya jamur pada
pangkal batang dan
menyebabkan busuk
pada akar

3. Busuk hati/Pink Ciri khas penyakit


Disease jamur upas adalah
(Upasia kematian cabang,
salmonicolor) kanker batang, adanya
pertumbuhan miselia
berwarna pink pada
permukaan yang
terinfeksi, dan
terkadang
menyebabkan kematian
tanaman.
4. Embun Jelaga Gejala tanaman yang
Capnodium sp terserang embun jelaga
Meliola sp dimulai dengan adanya
bercak putih pada daun
bagian bawah. Bercak
putih itu berkembang
cepat dan membentuk
lapisan kehitaman dan
lengket di permukaan
daun.
Pada Capnodium
menyebabkan
kerusakan/ matinya
daun sedangkan
Meliola dapat
menghambat
perkembangan daun

5. Embun Tepung
(Oidium sp.) Gejala tanaman yang
terserang embun
tepung dimulai dengan
adanya bercak putih
tidak beraturan pada
permukaan daun,
infeksi embun tepung
melalui bagian stomata
daun.

6. Kanker Batang Kerusakan kanker


(Phytopthora batang sering
palmifora) disebabkan oleh
patogen. Tipe
kerusakan ini terjadi
pada bagian-bagian
berkayu, pada kulit
batang, cabang atau
akar ditandai dengan
terdapat bagian yang
mati mengering,
berbatas tegas,
mengendap dan pecah-
pecah. Permukaan kulit
biasanya agak tertekan
ke bawah atau bagian
kulitnya pecah
sehingga terlihat
bagian kayunya.
7. Kanker Batang Kerusakan kanker
(Ceratocystis batang disebabkan oleh
fimbriata) patogen Ceratocystis
fimbriata . Tipe
kerusakan ini terjadi
pada bagian-bagian
berkayu, pada kulit
batang. Ciri cirinya
tercium bau yang
khas, terdapat bercak
hitam pada batang,
biasanya menyerang
pada tanaman
musiman/tahunan

• Pembahasan
Pada praktikum perlindungan hutan acara 2 ini membahas mengenai ragam
penyakit pada tanaman hutan. Pengamatan dilakukan dengan menonton powerpoint
dan video yang telah diberikan oleh dosen dan co ass kemudian memahami penyakit
penyakit tersebut. Terdapat tujuh penyakit yang dijelaskan, antara lain penyakit
karat tumor, penyakit akar merah, penyakit embun tepung, penyakit embun jelaga,
penyakit kanker batang, penyakit pink disease, penyakit kanker batang. Tumbuhan
dikatakan sehat atau normal apabila tumbuhan tersebut dapat melaksanakan fungsi-
fungsi fisiologisnya sesuai dengan potensial genetik terbaik yang dimilikinya.
Tumbuhan menjadi sakit apabila tumbuhan tersebut diserang oleh patogen atau
dipengaruhi oleh agensia abiotik. Penyakit tumbuhan akan muncul bila terjadi
kontak dan terjadi interaksi antara dua komponen (tumbuhan dan patogen). Untuk
mendukung perkembangan penyakit maka harus adanya interaksi adanya tiga
komponen yaitu patogen yang virulen, tanaman yang rentan dan lingkungan yang
mendukung (Sopialena, 2017). Penyakit tanaman adalah suatu perubahan atau
penyimpangan dalam proses fisiologi tanaman yang mengakibatkan hilangnya
koordinasi di dalam tanaman inang. Indikasi adanya penyakit dapat dibagi menjadi
2 yaitu gejala dan tanda. Gejala adalah kelainan atau penyimpangan dari keadaan
normal yang ditunjukkan oleh tanaman sebagai reaksi adanya patogen. Sedangkan
tanda adalah struktur vegetatif dan generatif dari patogen. Tanaman akan
mengalami perubahan yang sangat jelas ketika hal ini terjadi, seperti pada warna
daun yang menguning, daun yang layu, pertumbuhan yang tidak maksimal, kerdil,
kualitas pada buah yang menurun, atau akar mudah rebah yang disebabkan oleh
virus atau bakteri. Menurut Agrios (2005) menyatakan bahwa bahwa siklus
penyakit dimulai dari inokulum primer penyebaran inokulum primer masa inkubasi
kemudian pelekatan pada host, penetrasi, pengenalan inang, infeksi invasi
kolonisasi pertumbuhan dan reproduksi pathogen perkembangan gejala selanjutnya
penyebaran pathogen sebagai inokulum sekunder.
Karat tumor pada tanaman sengon disebabkan oleh Uromycladium
tepperianum yang masuk kedalam divisi Basidiomycotyna. Seperti patogen karat
yang lainnya maka jamur ini bersifat parasit yang dapat hidup apabila memparasit
pada jaringan hidup. Penularan penyakit melalui penyebaran spora dengan bantuan
air, angin, serangga dan manusia. Infeksi dapat terjadi pada biji, semai, dan tanaman
dewasa. Penyakit karat tumor pada sengon menunjukkan gejala yang khas, yaitu
hyperplasia (pertumbuhan lebih) pada bagian tumbuhan yang terserang. Gejala
penyakit diawali dengan adanya pembengkakan lokal (tumefaksi) di bagian
tanaman yang terserang (daun, cabang, dan batang). Lama kelamaan
pembengkakan berubah menjadi benjolan-benjolan yang kemudian menjadi bintil -
bintil kecil atau disebut tumor (gall). Tumor yang timbul mempunyai bentuk
bervariasi mulai bulat sampai tidak beraturan dengan diameter mulai dari beberapa
milimeter sampai lebih besar dari 10 cm. Tumor tersebut dapat berkelompok atau
menyebar pada bagian yang terserang. Tumor yang masih muda berwarna hijau
kecoklatan muda yang diselimuti oleh lapisan seperti tepung berwarna agak
kemerahan yang merupakan kumpulan dari spora patogen, sedangkan tumor yang
tua berwarna coklat kemerahan sampai hitam dan biasanya tumor sudah keropos
berlobang serta digunakan sebagai sarang semut. Apabila yang terserang penyakit
bagian tangkai daun majemuk atau tajuk maka bagian tersebut agak membengkok
karena adanya penebalan dan pembengkakan kemudian tajuk daun menggulung
berubah bentuk (malformasi) tanpa daun lagi. Serangan pada daun diawali dengan
bentuk daun agak mengeriting, tangkai daun terbentuk tumor. Jika tanaman
mengalami serangan yang parah, maka seluruh bagian tanaman dipenuhi oleh
tumor, kemudian daun mengering mengalami kerontokan, diikuti oleh batang dan
cabang pohon dan akhirnya tanaman mati (Anggraeni, 2009). Kelompok-kelompok
utama substansi yang disekresikan oleh patogen dalam tumbuhan yang
menyebabkan timbulnya penyakit baik langsung maupun tidak langsung adalah
enzim, toksin, zat pengatur tumbuh dan polisakarida. Timbulnya tumor erat
kaitannya dengan hormon tumbuh yang terjadi secara alamiah dalam tumbuhan
yaitu auksin, seperti indole-3-acetic acid (IAA) dan sitokinin. Tumbuhan yang sakit
terutama pada sel-sel tumor mengandung kadar IAA dan sitokinin yang lebih tinggi
daripada biasanya, kedua hormon tersebut diduga menimbulkan gejala hiperplasia,
patogen yang masuk ke dalam tumbuhan berkembang biak di dalam ruang sela-sela
sel, menyebabkan dipercepatnya pembelahan sel, dan sel yang terjadi membesar
secara abnormal (Semangun, 1996). Upaya pencegahan dan pengendalian penyakit
karat puru pada tanaman sengon dapat dilakukan dengan 3 (tiga) tahapan antara
lain. Pra Epidemi, yaitu upaya pencegahan pra epidemi dapat dilakukan dengan cara
sosialisasi/diseminasi, penyuluhan cara-cara pencegahan, serta tindakan preventif
dengan menghidari pola tanam monokultur termasuk dalam pengembangan Hutan
Rakyat. Tindakan preventif terhadap infeksi jamur penyebab karat puru meliputi
kegiatan silvikultur antara lain dengan pengaturan jarak tanam, pemupukan yang
tepat, pemangkasan, pengendalian gulma secara selektif, dan menggunakan pola
tanam multikultur. Pola tanam multikultur pada hutan rakyat sengon ini dapat
dilakukan dengan menggunakan tanaman jenis mimba yang diketahui dapat
mengendalikan penyebaran vektor karat puru. Kemudian Pengendalian epidemi
dapat dilakukan melalui eradikasi yaitu dengan menebang pohon yang berpenyakit;
isolasi yaitu dengan penjarangan pohon; dan terapi yaitu dengan pengobatan pohon
yang terinfeksi. Dan yang terakhir Pasca Epidemi yaitu pengendalian penyakit karat
puru pada sengon juga dapat dilakukan dengan pasca epidemi yaitu dengan cara
rehabilitasi dan rotasi tanaman pada lahan yang sama, pemuliaan pohon (benih,
bibit unggul tahan penyakit), dan konversi jenis tanaman (Masyhud, 2009).
Busuk akar merah yang disebabkan oleh Ganoderma sp. yang merupakan
salah satu jenis jamur dari Suku Ganodermataceae, Bangsa Aphyllophorales, dan
Kelas Basidiomycetes. Sebagai parasit tanaman, Ganoderma dapat menyebabkan
busuk akar dan batang. Jamur ini juga dikenal sebagai jamur pelapuk putih yang
dapat menyebabkan busuk kayu dengan menghancurkan lignin (Ratnaningtyas,
2012). Penyakit busuk akar adalah penyakit tumbuhan yang disebabkan karena
adanya miselium yang menempel pada akar yang terlihat berwarna merah sampai
hitam. Patogen dari penyakit ini adalah jamur akar merah; Ganoderma sp. Jamur
ini biasa menyerang pada tanaman kehutanan seperti akasia dan sengon. Gejala
yang teramati yakni daun-daun menjadi pucat, layu, merana, dan akhirnya mati
selain itu akar mengandung banyak air dan membusuk. Umumnya bentuk tubuh
buah dari jamur tersebut berbentuk kipas tebal, berwarna coklat tua dengan tepi
berwarna putih, dan berbentuk pada pangkal batang (Widyastuti, dkk., 2005).
Penyakit busuk akar merah dikenal sebagai penyakit yang merugikan tanaman
perkebunan dan kehutanan. Tanaman perkebunan yang rentan terhadap serangan
Ganoderma sp. antara lain Hevea brasiliensis (karet), Elaeis guinensis (kelapa
sawit), Camellia sinensis (teh), Theobroma cacao (kakao), dan Persea americana
(alpukat) (Semangun, 2000). Beberapa tanaman kehutanan yang diketahui rentan
selain Acacia spp. adalah Casuarina equisetifolia (cemara udang), Paraserianthes
falcataria (sengon), jenis-jenis Eucalyptus spp. (eukaliptus), dan Tamarindus
indica (asam jawa) (Widyastuti et al., 1998b). Infeksi Ganoderma sp. terjadi melalui
luka dan lentisel, pada tanaman sering ditemukan bagian leher akar pecah, dan ini
merupakan tempat yang baik bagi infeksi fungi. Patogen kemudian ke bagian yang
lebih dalam dari akar. Serangan lebih tinggi akan ditemukan pada tanaman okulasi
dibandingkan dengan tanaman yang berasal dari biji. Hal ini disebabkan pada
tanaman okulasi terdapat bagian-bagian luka, sehingga memudahkan Ganoderma
sp. untuk melakukan infeksi (Sinulingga, 1989). Fungi akar merah umumnya
terdapat pada tanah yang basah, jamur akar merah dapat bertahan hidup pada sisa-
sisa akar yang sakit, pada tonggak-tonggak kayu dalam tanah. Penularan patogen
hanya dapat berlangsung apabila terjadi kontak langsung antara akar yang sehat
dengan akar yang terserang patogen. Gejala awal yang ditunjukkan dari serangan
awal patogen jamur akar merah adalah akar yang diselimuti miselium berwarna
putih (rhizhomorf) yang kemudian berubah menjadi merah tua dan dapat berubah
menjadi kecoklatan atau hitam jika sudah tua. Perubahan warna rhizomorf
disebabkan oleh kondisi lingkungan, kondisi tanaman inang, dan kondisi tanah.
Warna merah pada rhizomorf akan tampak jelas ketika kondisi akar dalam keadaan
basah, dan pada saat kondisi kering warna merah kurang terlihat jelas. Bagian dalam
akar yang terselimuti rhizomorf merah terdapat miselium berwarna putih krem atau
putih kotor (Semangun, 1988). Pengendalian terhadap penyakit busuk akar merah
dapat dilakukan secara mekanis. Pengendalian secara mekanis dapat dilakukan
dengan mengambil langsung jamur penyebab, namun jika dirasa sudah parah maka
perlu dilakukan eradikasi. Pengendalian dilakukan dengan pemberian fungisida,
namun tidak disarankan karena kurang ramah lingkungan. Pengendalian secara
biologis merupakan alternatif yang dianjurkan. Pengendalian ini dilakukan dengan
pemanfaatan agen hayati seperti jamur, virus, atau bakteri. Agen hayati ini
merupakan organisme yang berperan sebagai musuh alami dari patogen sehingga
tidak menyerang tanaman tetapi hanya menyerang patogennya saja. Pada patogen
Ganoderma sp. digunakan Trichoderma sp. sebagai jamur antagonis yang mampu
menghambat perkembangan patogen melalui proses mikroparasitisme, antibiosis,
dan kompetisi (Rifai, et. al., 1996).
Penyakit jamur upas (Pink disease) disebabkan oleh jamur Upasia
salmonicolor atau dikenal juga dengan nama Corticium salmonicolor Berk.
Menurut Tjokrosoedarmo, (1997) Jamur ini di klasifikasikan sebagai Kingdom :
Fungi, Phylum : Basidiomycota, Kelas : Basidiomycetes, Ordo: Stereales, Famili:
Corticiaceae, Genus: Upasia, Spesies : Upasia salmonicolor. Pada cabang tanaman
karet, penyakit penting yang menimbulkan kerusakan parah adalah penyakit jamur
upas atau pink disease. Penyakit ini disebabkan oleh Corticium salmonicolor Berk.
& Br. yang tergolong dalam kelas Basidiomycetes. Penyakit ini menyerang
tanaman yang masih muda, yakni tanaman yang berumur antara 3 – 7 tahun, serta
diduga pada klon-klon baru yang bertajuk lebat (Pawirosoemardjo et al., 1992). Ciri
khas penyakit jamur upas adalah kematian cabang, kanker batang, adanya
pertumbuhan miselia berwarna pink pada permukaan yang terinfeksi, dan terkadang
menyebabkan kematian tanaman (Gezahgne et al., 2003). Untuk pengendaliannya
dapat menggunakan biofungisida yang menggunakan bahan dari Bakteri antagonis
(Pseudomonas sp.). Perlakuan biofungisida dilakukan dengan cara pelumasan pada
bagian tanaman yang terserang jamur upas setiap 7 hari selama sebulan. Dosis yang
digunakan tergantung pada besarnya luas serangan penyakit (Fairuzah dkk., 2014).
Penyakit embun jelaga yang disebabkan oleh dua patogen yaitu patogen
Meliola sp. yang menyebabkan kematian pada sel-sel jaringan tanaman dan
Capnodium sp. yang hanya menghambat pertumbuhan tanaman (Yuliah dkk.,
2017). Klasifikasinya yaitu dengan Kingdom: Fungi, Divisi: Eumycota, Sub devisi
:Ascomycotina, Kelas : Ascomycetes, Ordo : Erysiphales, Famili: Capnodiaceae,
Genus: Capnodium, Spesies: Capnodium sp. Sedangkan klasifikasi Meliola sp yaitu
Filum: Ascomycota, Kelas: Sordariomyetes, Ordo: Meliolales, Famili
:Meliolaceae, Genus: Meliola, Spesies: Meliola mangiferae. Fungi Meliola sp.
bersifat parasit obligat artinya tidak dapat diisolasi dan ditumbuhkan pada media
buatan, hanya dapat hidup pada bagian tanaman yang masih hidup dan
mengganggu jaringan tumbuhan inang dengan jalan mempenetrasi sel inang.
Capnodium sp. adalah jamur yang hanya menyerang pada permukaan daun
sehingga dapat dibersihkan sedangan meliola sp. menyerang hingga kejaringan
daun atau di dalam sel. Gejala penyakit embun jelaga berupa lapisan tipis berwarna
hitam pada permukaan daun, namun jaringan daun dibawahnya tetap hijau. Lapisan
hitam tersebut sebenarnya adalah miselia fungi yang meluas dan mudah terkelupas
karena angin. Pada kasus gangguan embun jelaga, lapisan jamur hanya menutupi
permukaan daun dan tidak bersifat sebagai parasit, tetapi tetap merugikan karena
menghambat metabolisme terutama proses fotosintesa. Wood, et.al. (1998),
menemukan bahwa pada serangan embun jelaga yang berat akan menghalangi
penerimaan cahaya matahari pada permukaan daun Cilrya illioensis (Wangenb.) C.
Kocb lebih dari 98 %. Kondisi tersebut menurunkan laju fotosintesa sampai lebih
dari 70 % dan meningkatkan temperature permukaan daun sebesar 40℃.embun
jelaga dapat disebarkan melalui spora yang diterbangkan oleh angin. Ketika udara
cukup kering, selaput hitam embun jelaga dapat terlepas dan kemudian menyebar
ke tempat lain karena angin atau tetesan air hujan (Fiani dkk, 2011). Diketahui pula
bahwa embun jelaga dapat menyebar melalui serangga pembawa penyakit (vektor).
Serangga tersebut yaitu kutu putih dan semut. Terkadang kedua serangga ini
berkumpul dan mempercepat tanaman terserang embun jelaga. Biasanya serangga
mendatangi pangkal daun atau pangkal buah. Serangga menghisap gula dari
tanaman dan bekas hisapan tersebut menjadi tempat tumbuh jamur. Jamur akan
tumbuh dan mengambil gula dari tanaman (Pusluhtan Kementan, 2019). Serangan
embun jelaga tergolong tidak mematikan, tetapi pada kasus yang berat dapat
mempengaruhi pertumbuhan tanaman karena menghambat proses fotosintesis
(Fiani dkk, 2011). Upaya pencegahan yang dapat dilakukan yaitu dengan
pengaturan jarak tanam, pemberantasan gulma, polikultur, monitoring, dan
pemilihan bibit unggul. Sedangkan upaya pengendalian yang dapat dilakukan yaitu
dengan pemangkasan daun yang terkena embun jelaga, thinning, dan menggunakan
fungisida. Fungisida hanya digunakan sebagai alternatif terakhir jika kondisi
serangan penyakit embun jelaga sudah parah.
Penyakit embun tepung yang disebabkan oleh pathogen Oidium sp.
Klasifikasinya adalah sebagai berikut, Divisio : Mycota, Subdivisio : Eumycotina
,Class : Ascomycetes, Subclass : Hemiascomycetidae, Ordo : Erysiphales, Famili :
Erysiphaceae, Genus : Oidium (Erysiphe), Species : Oidium sp. Sacc
(Dwidjoseputro, 1978). Gejala penyakit embun tepung sangat mudah dikenali
karena pada permukaan tanaman yang terserang terdapat lapisan putih seperti
tepung. Gejala awal ditandai dengan bercak-bercak putih tak beraturan bercak
menyatu sampai akhirnya melapisi seluruh permukaan bagian tanaman yang
terserang. Bagian bibitsengonyang diserang adalah bagian daun mulai dari pucuk
hingga daun dibawahnya, tangkai daun, ranting dan batang. Berdasarkan
pengamatan secara mikroskopis lapisan putih seperti tepung adalah sekumpulan
miselium, konidium dan konidiofor dari fungi patogen. Daun muda yang terinfeksi
pada stadia awal pertumbuhannya sangat terganggu dan bentuknya menjadi tidak
normal (malformasi) yaitu daun mengkerut, keriting/bergelombang dan mengeras,
akhirnya daun kering dan rontok. Pengaruh infeksi jauh lebih parah pada daun muda
dibandingkan dengan daun tua, bagian pucuk daun mengalami kematian (die-back).
Daun tua yang terinfeksi tidak memperlihatkan perubahan kecuali makin
menebalnya lapisan putih pada permukaan daun. Oidium sp. dikenal sebagai parasit
obligat yang hanya dapat hidup pada jaringan yang hidup. Infeksi Oidium adalah
melalui stomata (lubang alami) kemudian konidia berkecambah membentuk
haustorium yang masuk ke dalam sel epidermis dan menyerap hara yang terdapat
di dalam sel epidermis tersebut (Boyce, 1961). Penyebaran penyakit dapat melalui
angin, air, serangga dan manusia. Faktor eksternal yang mungkin mempengaruhi
tingkat serangan penyakit embun tepung di lahan antara lain suhu, kelembaban,
curah hujan dan media tanam yang digunakan. Suhu optimum untuk
perkecambahan konidiumnya adalah 25º C. Cendawan tersebut mampu
berkembang pada cuaca kering, dan konidiumnya dapat berkecambah dalam udara
dengan kelembaban nisbi rendah (50- 75%) (Budiarto et al., 2006). Pengendalian
penyakit embun tepung dapat dilakukan melalui pengendalian kultur teknis, alami
dan kimia. Pengendalian secara kultur teknis dapat dilakukan dengan cara membuat
kondisi pertanaman tidak cocok untuk perkembangan patogen ini salah satunya
dengan pemangkasan atau pengaturan jarak saat persemaian. Hal tersebut dapat
mengurangi kelembaban. Pengendalian alam juga dilakukan dengan memanfaatkan
biofungisida seperti Ampelomycesquisqualis (Suastika, 2010 dalam Triwiratno,
2014). Serangan yang parah pada tunas muda disarankan untuk dipangkas,
kemudian dimasukkan kantong plastik untuk mengurangi penyebaran konidia di
kebun (Triwiratno, 2014). Penggunaan daun mimba mampu merusak membran sel
jamur Oidium sp., sehingga metabolisme sel terganggu dan pertumbuhan sel
terhambat. Pengendalian kimia paling efektif dilakukan menjelang bertunas dan
diulang saat daun muda menggunakan fungisida berbahan aktif benomil (sesuai
dengan dosis yang tertera pada tabel) (Anggraeni dan Djatnika, 2000).
Penyakit kanker Phytophthora palmivora adalah Cendawan yang
menginfeksi pada buah dapat bersumber dari tanah, batang yang sakit kanker
batang, buah yang sakit, dan tumbuhan inang lainnya (Semangun, 1996).
Klasifikasinya adalah sebagai berikut, Divisi : Stramenephiles, Kelas : Oomycetes,
Ordo : Peronosporales, Famili : Pythiaceae, Genus : Phytophthora, Spesies :
Phytophthora palmivora (Pracaya, 2007). Dari buah yang terserang P. palmivora
dapat berkembang melalui tangkai dan menyerang bantalan bunga, dan dapat
berkembang terus sehingga menyebabkan terjadinya, penyakit kanker batang. Dari
sini kelak dapat Kembali menyerang buah (Semangun, 1996). Infeksi P. palmivora
dapat langsung terjadi antar buah melalui percikan air hujan melalui permukaan
tanah, serangga,. Biji didalam buah akan rusak selang 15 hari setelah terinfeksi
(Siregar dkk, 2000). Infeksi P. palmivora pada buah menunjukkan gejala bercak
berwarna kelabu kehitaman. Biasanya bercak tersebut terdapat pada ujung buah.
Bercak mengandung air yang kemudian berkembang sehingga menunjukkan warna
hitam. Bagian buah menjadi busuk dan biji pun turut membusuk. Pembentukan
spora terlihat dengan adanya warna putih di atas bercak hitam yang telah meluas.
Pada temperatur 27,5 sampai 30 ℃ pertumbuhan spora ini sangat cepat. Infeksi P.
palmivora dicirikan dengan adanya bercak berwarna coklat yang mulai dari bagian
mana saja. Jaringan yang tidak terinfeksi tampak jelas dan dibatasi oleh permukaan
kasar, tetapi bercak dapat berkembang dengan cepat dan seringkali menampakkan
pembusukan yang menyeluruh dan berwarna hitam. Pengendaliannya yaitu dengan
mengupas kulit batang yang membusuk sampai batas yang sehat (jaringan berwarna
putih). Kulit batang yang dikupas diolesi dengan kunyit atau fungisida tembaga
konsentrasi 5%. Apabila infeksi sudah melingkari batang, tanaman tersebut
dipotong atau dibongkar.
Penyakit kanker batang Ceratocystis fimbriata merupakan salah satu patogen
penyebab penyakit busuk basah pada tanaman karet, busuk hitam pada tanaman
umbi kentang, serta busuk batang pada tanaman mangga, C. fimbriata juga telah
dilaporkan bahwa jamur ini menyebabkan busuk batang pada Gmelina arborea
(Harrington, et al., 2011). Menurut Alexopoulus dan Mims (1979), jamur
Ceratocystis fimbriata dapat diklasifikasikan sebagai berikut, Kingdom : Myceteae,
Divisi : Amastigomycota, Sub Divisi : Ascomycotina, Kelas : Ascomycetes, Ordo
: Microascales, Famili : Ophiostomataceae, Genus : Ceratocystis, Spesies :
Ceratocystis fimbriata. Jamur Ceratocystis fimbriata mempunyai hifa berwarna abu
– abu keputihan. Ceratocystisfimbriata menyebabkan busuk mengapang (Mouldy
rot) pada bidang sadapan karet. Penyadapan karet dapat menularkan busuk
mengapang (Semangun, 1996). Mula-mula pada kulit pulihan dekat dengan irisan
sadapan terdapat bercak-bercak mengendap. Warna bercak cepat berubah menjadi
hitam dan meluas, sehingga terjadi jalur hitam yang sejajar dengan irisan sadapan.
Penyakit merusak bidang sadapan, sehingga pemulihan kulit terganggu dan
menyulitkan penyadapan. Mouldy rot yang berat apabila tidak dirawat akan
mengakibatkan luka-luka besar, sehingga bidang sadapan rusak sama sekali dan
tidak mungkin disadap lagi (Semangun, 1996). Berbagai jenis Ceratocystis sp juga
menyebabkan kerusakan yang sangat parah pada A. mangium, A. auriculiformis
dan hybrid keduanya di Vietnam (Thu et al., 2012). Cendawan yang menyebabkan
penyakit ini akan sangat merugikan mengingat A. mangium banyak digunakan
untuk industri pulp, kertas, papan partikel, krat dan kepingan-kepingan kayu. Selain
itu juga berpotensi untuk kayu gergajian, molding, mebel dan vinir (Krisnawati
dkk., 2011). Cendawan Ceratocystis sp. dapat masuk dan ditularkan melalui kontak
akar antara pohon sakit dan tertular, atau dapat melalui luka batang atau akar akibat
aktifitas pemeliharaan dan pemangkasan. Cendawan ini dapat bertahan selama 7-
15 hari pada permukaan luka, dan dapat melakukan penetrasi melalui luka yang ada
dicabang maupun akar, sehingga menyebabkan daun layu dan akan menyebar pada
xilem, kambium hingga kayu gubal kemudian melakukan kolonisasi pada kulit dan
kayu, dan akhirnya hifa jamur akan menyebar pada batang tanaman ke arah
longitudinal, dan dapat mencapai 50-100 cm per tahun, busuk batang menyebabkan
kematian pada tanaman dewasa dalam kurun waktu 4- 7 tahun (Pertiwi, 2014).
Pengendaliannya dapat menggunakan fungisida kimia biasanya menjadi pilihan
utama bagi parapetani dalam mengendalikan patogen, karena fungisida kimia lebih
cepat dan praktis dalam pengaplikasiannya. Kemudian pengendalian secara hayati
dengan menggunakan mikroorganisme antagonis mycovirus (Dewi, 2014).
Serangan penyakit merupakan salah satu faktor yang dapat menghambat
keberhasilan pembangunan hutan tanaman. Dalam beberapa kasus serangan
penyakit pada tanaman dapat mengakibatkan terjadinya penurunan kualitas kayu,
terhambatnya pertumbuhan tanaman (Anggraeni & Wibowo, 2007) bahkan
kematian tanaman (Rahayu, 2008). Seperti misalnya, serangan penyakit busuk akar
(root rot) pada tanaman Acacia mangium yang disebabkan oleh patogen
Ganoderma spp. dan Rigidoporus lignosus dapat menghambat pertumbuhan (Old
et al., 2000) bahkan dapat menimbulkan kematian tanaman (Widyastuti et al.,
2005). Serangan penyakit daun berupa karat puru pada tanaman sengon yang
disebabkan oleh cendawan Uromycladium tepperianum dapat menyebabkan
kematian tanaman sengon muda dan penurunan kualitas kayu pada sengon yang
siap dipanen. Serangan lanjut penyakit bercak daun pada tanaman Gmelina arborea
dapat menyebabkan kematian tanaman karena proses fotosintesis tidak terjadi,
akibatnya aktivitas sel terhenti (Anggraeni & Mindawati, 2011).

VI. KESIMPULAN
Berdasarkan hasil dan pembahasan yang telah dilakukan maka dapat
disimpulkan bahwa terdapat berbagai jenis penyakit pada tanaman kehutanan. Pada
praktikum ini membahas tujuh penyakit antara lain penyakit karat tumor, penyakit
akar merah, penyakit embun tepung, penyakit embun jelaga, penyakit kanker
batang, penyakit pink disease, penyakit kanker batang. Karat tumor yang
disebabkan oleh Uromycladium tepperianum dengan gejala pembengkakan pada
bagian tanaman yang diserang kemudian menjadi benjolan-benjolan yang
kemudian menjadi bintil - bintil kecil atau disebut tumor (gall). Kemudian busuk
akar merah yang disebabkan oleh Ganoderma sp. gejala yang teramati yakni daun-
daun menjadi pucat, layu, merana, dan akhirnya mati selain itu akar mengandung
banyak air dan membusuk. Umumnya bentuk tubuh buah dari jamur tersebut
berbentuk kipas tebal, berwarna coklat tua dengan tepi berwarna putih, dan
berbentuk pada pangkal batang. Selanjutnya penyakit jamur upas (Pink disease)
disebabkan oleh jamur Upasia salmonicolor atau dikenal juga dengan nama
Corticium salmonicolor gejalanya yaitu kematian cabang, kanker batang, adanya
pertumbuhan miselia berwarna pink pada permukaan yang terinfeksi. Penyakit
embun jelaga yang disebabkan oleh Meliola sp. dan Capnodium sp. gejalanya
berupa lapisan tipis berwarna hitam pada permukaan daun, namun jaringan daun
dibawahnya tetap hijau. Embun tepung yang disebabkan oleh Oidium sp. yang
ditandai dengan bercak putih seperti tepung pada daun. Kanker batang yang
disebabkan oleh (Phytopthora palmifora) dan (Ceratocystis fimbriata).

VII. DAFTAR PUSTAKA


Agrios, G. N. 2005. Plant Pathology. Academic Press, New York. 803 pages.

Anggraeni, I. (2009). PENYAKIT KARAT TUMOR PADA SENGON


(Paraserianthes falcataria (L) Nielsen) DI PERKEBUNAN GLENMORE
BANYUWANGI, JAWA TIMUR. Jurnal Penelitian Hutan Tanaman, 6(5),
311–321. https://doi.org/10.20886/jpht.2009.6.5.311-321.

Anggraeni, I dan I. Djatnika. 2000. Upaya Pengendalian Embun Tepung pada Bibit
Acacia mangiuim dengan Benomil, Tepung Gambir dan Kulit Buah Mahoni.
Prosiding KongresNasional XV dan Seminar Ilmiah Perhimpunan
Fitopatologi Indonesia 16 – 18 September 1999. Jurusan Hama dan Penyakit,
Fakultas Pertanian. Universitas Jendral Soedirman. Purwokerto.

Anggraeni, I., & Mindawati, N. (2011). Serangan hama dan penyakit pada gmelina
(Gmelina arborea Roxb.) di Hutan Rakyat. Tekno Hutan Tanaman, 2(2).

Anggraeni, I., & Wibowo, A. (2007). Pengaruh pola tanam wanatani terhadap
timbulnya penyakit dan produktivitas tanaman tumpang sari. Info Hutan
Tanaman, 2(2).

Dwidjoseputro. 1978. Pengantar Mikologi. Penerbit Alumni. Bandung.

Fairuzah, Z., Dalimunthe, C. I., & Daslin, A. (2014). EFEKTIVITAS BAKTERI


ANTAGONIS (Pseudomonas sp.) UNTUK MENGENDALIKAN
PENYAKIT CABANG JAMUR UPAS (Corticium salmonicolor). Jurnal
Penelitian Karet, 32(1), 37. https://doi.org/10.22302/jpk.v32i1.149.
Fiani, A., Windyarini, E., dan Yuliah. 2011. Evaluasi Kesehatan Cendana (Santalum
album Linn.) di Kebun Konservasi Ex-situ Watusipat Gunung Kidul.
Prosiding Seminar Nasional Kesehatan Hutan.

Masyhud. 2009. Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Karat Puru. Siaran Pers
Pusat Informasi Kehutanan Nomor: S.256/Pik-1/2009. Kementerian
Kehutanan. Jakarta.

Old, K.M., See, L.S., Sharma, J.K., & Yuan, Z.Q. (2000). A Manual of Diseases of
Tropical Acacias in Australia, South East Asia and India. Jakarta: Center for
International Forestry Research (CIFOR).

Pawirosoemardjo, S., H. Soepena, dan A. Situmorang. 1992. Sebaran Penyakit


Utama Tanaman Karet. Prosiding Lokakarya Nasional Pemuliaan Karet
1992. Medan, 7 – 9 Desember. Pusat Penelitian Karet.: 209 – 216.

Rahayu, S. (2008). Penyakit karat tumor pada sengon (Falcataria moluccana (Miq)
Barneby & J.W. Grimes). Makalah Workshop Penanggulangan Serangan
Karat Puru pada Tanaman Sengon. Yogyakarta 10 Nopember 2008. Balai
Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan.

Ratnaningtyas, N.I. dan Samiyarsih, S. (2012). Karakterisasi Ganoderma spp. di


Kabupaten Banyumas dan Uji Peran Basidiospora dalam Siklus Penyakit
Busuk Batang. Majalah Ilmiah Biologi BIOSFERA: A Scientific Journal,
29(1), 36-41.

Rifai, M., Mujim S., Aeny T.N..1996. Pengaruh Lama Investasi Trichoderma viride
Terhadap Intensitas Serangan Phytium sp. pada Kedelai. Jurnal Penelitian
Pertama. 7: 20-25.

Semangun, H. 1996. Pengantar Penyakit Tumbuhan. Gadjah Mada University Press.


Yogyakarta.

Semangun H. 2010. Penyakit - Penyakit Tanaman Perkebunan di Indonesia. Gadjah


Mada University Press. Yogyakarta.

Sopialena. 2017. Segitiga Penyakit Tanaman. Mulawarman University Press.


Samarinda.

Widyastuti, S.M., Sumardi, & Harjono. (2005). Patologi Hutan. Yogyakarta: Gadjah
Mada University Press.

Anda mungkin juga menyukai