Anda di halaman 1dari 25

LAPORAN PRAKTIKUM SILVIKULTUR HUTAN TROPIKA

ACARA IV
RAGAM BAHAN TANAMAN

Oleh :

Nama : Agus Pamungkas


NIM : 20/464035/SV/18354
Co. Ass : Candra Wigati Hayuningsih

PRODI SARJANA TERAPAN PENGELOLAAN HUTAN


SEKOLAH VOKASI
UNIVERSITAS GADJAH MADA
YOGYAKARTA
2021
ACARA 4
RAGAM BAHAN
TANAMAN

A. Tujuan : Mahasiswa mampu membedakan bentuk bibit generatif dan vegetatif

B. Waktu dan Lokasi


Hari, tanggal : Selasa, 16 Maret 2021
Lokasi : Rumah masing-masing praktikan

C. Bahan dan alat :


1. Referensi literature (artikel ilmiah/jurnal)
2. Alat tulis

D. Cara kerja:
1. Mahasiswa menentukan metode perbanyakan jenis tanaman kehutanan sesuai
literature yang diperoleh dan umum digunakan.
2. Mahasiswa mengelompokkan beberapa jenis spesies dengan metode
perbanyakan yang sama. Kemudian analisis karakter dari spesies-spesies yang
menjadikan alasan untuk dilakukan metode perbanyakan tersebut.
Metode Jenis Sumber Alasan
Pembiakan
Biji 1. Mengkudu 1. Susilo, D. E. H., Dkk. 2014. 1. mengkudu merupakan tanaman
(Morinda citrifolia L.) Studi Potensi Penyemaian buah yang mempunyai banyak biji,
dan Pembibitan Tanaman sehingga dapat dilakukan
Mengkudu Pada Beberapa pembiakan menggunakan biji
Komposisi Media Tanam. tersebut. Sedangkan upaya
Fakultas Pertanian dan penyemaian dan pembibitan
Kehutanan. Universitas diperlukan tata cara yang tepat
Muhammadiyah sehingga keberhasilan dan kualitas
Palangkaraya. Palangka dari bibit tanaman mengkudu yang
Raya. Anterior Jurnal, dihasilkan menjadi lebih baik.
Volume 14 Nomor 1,
Desember 2014, Hal 1 – 10.

2. Sengon 2. Karena sengon memiliki biji yang


2. Payung, D., Prihatiningtyas,
(Paraserianthes falcataria) banyak dan memiliki masa
E., & Nisa, S. H. (2012). Uji
dormansi yang lama, tetapi dapat
daya kecambah benih sengon
tumbuh dengan cepat.
(Paraserianthes falcataria (L.)
Nielsen) di green house.
Jurnal Hutan Tropis, 13(2).

Cabutan alam 1. Eboni 1. Hendromono. 2007. Teknik 1. Pengumpulan benih eboni dalam
(Diospyros celebica) Pembibitan Eboni Dari jumlah banyak tidak mudah karena
Anakan Hasil Permudaan tegakan eboni di tempat tumbuh
Alam. Pusat Litbang Hutan alaminya sudah jarang dan tidak
Tanaman. Bogor. Jurnal semua pohon eboni berbuah serta
Penelitian Hutan Tanaman musim berbuahnya berbeda antara
Vol.4 No.2, Agustus 2007, tempat satu dengan lainnya. Dalam
069 – 118. kenyataannya lebih mudah
menemukan anakan alam eboni di
sekitar kelompok pohon eboni dari
pada benih eboni yang viable.
2. Nyatoh 2. Poromobi S., Dkk. 2017. 2. Tanaman nyatoh juga tidak dapat
(Palaquium sp.) Pertumbuhan Cabutan menghasilkan buah dalam waktu
Anakan Alam Nyatoh tertentu, selain karena musim
Setelah Disimpan Pada berbuah yang tidak menentu, juga
Wadah Yang Berbeda. disebabkan karena interval masa
Fakultas Kehutanan, berbuah yang sangat panjang.
Universitas Tadulako. Keterbatasan-keterbatasan
WARTA RIMBA ISSN: tersebut menjadi suatu alasan kuat
2579-6267 Volume 5, Nomor untuk mencoba alternatif lain
1 Hal: 49-54. diantaranya memanfaatkan
pengadaan bibit dengan semai atau
anakan alam.
Stek 1. Mahoni 1. Hani S., Dkk. 2018. 1. Penanaman mahoni terancam oleh
(Swietenia macrophylla) Perbanyakan Vegetatif serangan hama penggerek pucuk
Mahoni (Swietenia Hypsipyla robusta, sehingga
macrophylla King) dengan pencarian mahoni yang memiliki
Cara Stek Pucuk. Pusat sifat resisten menjadi prioritas
Penelitian dan Pengembangan dalam pengembangan mahoni.
Hutan, Bogor, Jawa Barat. Seleksi genetik dari populasi
Jurnal Penelitian Hutan mahoni di lapangan yang terbukti
Tanaman. Vol. 15 No. 1, Juni memiliki ketahanan terhadap
2018, 1-66. Hypsipila adalah salah satu cara
untuk memperoleh pohon unggul
mahoni. Perbanyakan bibit dari
pohon unggul harus dilakukan
secara vegetatif agar anakan
memperoleh sifat unggul dari
induknya. Maka dari itu stek pucuk
adalah cara terbaik untuk mendapat
sifat yang unggul.

2. Meranti bakau 2. Azwin, Emy Sadjati. 2018. 2. Pembiakan vegetatif melalui stek
(Shorea uliginosa) Respon Stek Meranti Bakau pada saat ini merupakan salah satu
(Shorea uliginosa Foxw.) alternatif penyediaan bibit dari jenis
terhadap Pemberian Rootone ini. Hal ini dikarenakan masa
F dan Berbagai Media Tanam. berbuah dari jenis ini sekali dalam 2
Wahana Forestra: Jurnal sampai 10 tahun dengan waktu
Kehutanan, Vol. 13 (2). Edisi dorman biji yang sangat singkat,
Januari 2018. hanya beberapa minggu saja. Stek
(Cutting System) dapat digunakan
sebagai teknik alternatif dalam
pengadaan bibit. Dengan sistem ini,
bibit yang dihasilkan genotipnya
telah diketahui dan dapat dibuat
pada waktu yang diperlukan.

Cangkok 1. Jambu Kristal 1. Tience E P. 2015. Kajian 1. Untuk memproduksi buah jambu
(Psidium guava) Tekhnik Mencangkok kristal berkualitas tinggi dan
Perbanyakan Jambu Kristal memperbanyak jumlah tanaman
(Psidium guava). Sekolah yang lebih produktif, salah satunya
Tinggi Penyuluhan dengan cara cangkok.
Pertanian, Medan. Jurnal
Penelitian Hutan Tanaman
Vol. 15 No. 1, Juni 2018, 1-
66.
2. Untuk mendapatkan tanaman yang
2. Sawo 2. Prameswari, Zara Kumala,
dapat berbuah lebih cepat daripada
(Manilkara zapota) dkk. 2014. Pengaruh Macam
tanaman yang berasal dari biji.
Media dan Zat Pengatur Selain itu, buah yang dihasilkan
Tumbuh terhadap serupa buah dari tanaman induknya,
Keberhasilan Cangkok Sawo perbanyakan vegetatif melalui
(Manilkara zapota (L.) van cangkok merupakan salah satu
Royen) pada Musim
Penghujan. Jurnal alternatif. Mencangkok merupakan
Vegetalika, Vol. 3 (4): 107- salah satu teknik perbanyakan
118 vegetatif dengan cara pelukaan atau
pengeratan cabang pohon induk dan
dibungkus media tanam untuk
merangsang terbentuknya akar. Pada
cara mencangkok, akar tumbuh
ketika cabang yang dicangkoknya
masih berada di pohon induk.
Okulasi 1. Jati 1. Adinugraha, Hamdan Adma 1. Perbanyakan vegetatif secara okulasi
(Tectona grandis) dan Abdul Azis Efendi. 2018. dipilih karena dengan seluruh kinerja
Pertumbuhan Bibit Hasil genotip yang baik akan dapat
Okulasi pada Beberapa Klon diulangi secara konsisten dan
Jati dari Gunungkidul dan berkelanjutan. Sehingga dengan
Wonogiri. Jurnal Pemuliaan adanya pembiakan vegetatif melalui
Tanaman Hutan, Vol. 12 (1): okulasi ini akan diperoleh sifat
13-24. genetik anakan yang sama dengan
induknya, sehingga ortet yang dipilih
sebagai sumber biakan merupakan
ortet yang baik. Selain itu,
pembiakan vegetatif secara ekonomi
lebih murah dan lebih mudah dari
pembiakan generatif.
2. Karet 2. Pratomo, Bayu, dkk. 2016. 2. Dengan menggunakan Teknik
(Hevea brasiliensis) Pertumbuhan Okulasi okulasi berfungsi untuk
Tanaman Karet (Hevea mendapatkan keseragaman dan
brassiliensis Muell arg.) mempertahankan sifat-sifat baik dari
dengan Tinggi Penyerongan pohon induk sehingga didapatkan
Batang Bawah dan pohon karet yang berkualitas.
Benzylaminopurine (BAP)
pada Pembibitan Polibag.
Jurnal Pertanian Tropik, Vol.
3, No. 2. Agustus 2016. (13):
119- 123.
Kultur 1. Jabon Merah 1. Putriana., Dkk. 2019. Respon 1. Teknik ini memiliki beberapa
Jaringan (Antocephalus macrophyllus) Kinetin dan Tipe Eksplan keunggulan dibandingkan cara
Jabon Merah (Antocephalus tradisonal, karena selain
macrophyllus (Roxb.) Havil) menghasilkan tanaman dalam
Secara In Vitro. Fakultas jumlah banyak dengan waktu yang
Kehutanan Unhas. Makassar. singkat, teknik ini juga tidak
JURNAL BIOLOGI
tergantung pada musim.
MAKASSAR, 4(1): 48-57,
JUNI 2019.
2. Cendana 2. Herawan, Toni, dkk. 2015. 2. biji cendana, biasanya dengan
(Santalum album) Kultur Jaringan Cendana kualitas dan kuantitas yang rendah.
(Santalum album L.) Propagasi secara konvensional
Menggunakan Eksplan Mata telah dilakukan diantaranya melalui
Tunas. Jurnal Pemuliaan stek pucuk dan stek akar, akan
Tanaman Hutan, Vol. 9 (3): tetapi persen keberhasilannya
177-188. masih rendah melalui kultur
jaringan telah banyak dan bahkan
sudah lazim digunakan. Salah satu
teknik kultur jaringan yang banyak
digunakan adalah melalui kultur
tunas aksiler.
Stump 1. Gmelina 1. Misnawati, dkk. 2014. 1. Hasil pengembangan secara
(Gmelina arborea) Pertumbuhan Stump Gmelina vegetative terutama stump
(Gmelina arborea Roxb.) merupakan duplikat induknya,
pada Berbagai Perbedaan sehingga mempunyai struktur
Lama Waktu Penyimpanan. genetik yang sama serta cepat
Jurnal WARTA RIMBA, Vol. berbunga dan berbuah. Keuntungan
2 (2): 133-140. pembiakan vegetatif ini adalah
perbanyakan jenis dapat dihasilkan
secara massal, homogen, dan dapat
digunakan untuk menganalisis
kualitas tempat tumbuh.
2. Nyatoh
2. Sutriyani, dkk. 2016. 2. Ketersediaan bibit nyatoh dalam
(Palaquium sp.)
Pertumbuhan Stump Nyatoh jumlah besar dan waktu cepat serta
(Palaquium sp.) pada berkualitas, dapat diusahakan salah
Berbagai Komposisi Media satunya melalui perbanyakan
Tumbuh dan Konsentrasi vegetatif dengan teknik stump.
Rootone-F di Persemaian. e-
Jurnal Mitra Sains, Vol. 4
(4): 14-21

Grafting 1. Durian 1. Rahmatika, Widyana dan 1. Tujuan pembudidayaan durian secara


(Durio zibethinus) Fajar Setyawan. 2018. vegetatif ini adalah menghasilkan
Kompatibilitas Batang bibit durian unggul lokal Kabupaten
Bawah dengan Batang Atas Kediri yang berpotensi tumbuh
pada Metode Grafting dengan baik dengan metode
Tanaman Durian (Durio sambung (grafting) dan
zibethinus Murr.). Jurnal mendapatkan informasi
Agritrop, Vol. 16 (2): 268- kompatibilitas batang bawah dengan
275. batang atas dalam kaitan dengan sifat
unggul bibit dan tanaman yang
dihasilkan. Perbanyakan vegetatif
pada tanaman durian akan berbuah
lebih cepat yaitu pada umur 4-5
2. Hamdan A, Sugeng P, Toni H. tahun.
2007. Teknik Perbanyakan
2. Akasia Vegetatif Jenis Tanaman 2. Teknik ini akan mempertahankan
Acacia Mangium. Balai Besar sifat dewasa pohon induknya,
(Acacia Mangium) sehingga anakan yang dihasilkan
Penelitian Bioteknologi dan
Pemuliaan Tanaman Hutan, akan cepat berbunga/berbuah.
Sleman, Yogyakarta. INFO Teknik ini biasa digunakan untuk
TEKNIS Vol. 5 no. 2, kegiatan penyiapan materi untuk
September 2007. bank klon, kebun persilangan dan
kebun benih klon.
DESKRIPSI

1. Mengkudu (Morinda citrifolia L.)


Mengkudu adalah tanaman hortikultura dan cukup potensial untuk
dikebunkan. Tanaman mengkudu sering disebut noni. Karena mempunyai
banyak manfaat dan digunakan mengobati banyak penyakit. Masyarakat
Indonesia memanfaatkan tanaman mengkudu hampir pada seluruh bagian tubuh
tanaman. Seringnya digunakan sebagai bahan pangan (jus, rujak, sirup) dari
buahnya, juga sebagai bahan pangan dan obat obatan dari daunnya. Kulit akar
dan batangnya digunakan sebagai bahan pewarna tekstil (Tadjoedin dan Iswanto,
2002). Penyebaran tanaman mengkudu maupun pemanfaatannya di masyarakat
sudah dilakukan hampir di seluruh nusantara, namun kelestarian pemanfaatan
komoditas mengkudu ini belum ada jaminan akibat populasinya di lahan
masyarakat tumbuh secara liar dan relatif sedikit dibudidayakan. Hal ini
mendorong masyarakat untuk membudidayakan dengan menyediakan bibit
tanaman muda yang dapat dilakukan secara pengadaan bibit melalui penyemaian
biji dan pembibitan (Tadjoedin dan Iswanto, 2002). Sedangkan upaya
penyemaian dan pembibitan diperlukan tata cara yang tepat sehingga
keberhasilan dan kualitas dari bibit tanaman mengkudu yang dihasilkan menjadi
lebih baik. Keberadaan tanaman mengkudu di Provinsi Kalimantan Tengah
masih belum banyak dibudidayakan oleh masyarakat dan ada dalam bentuk
tumbuh secara liar. Pada tahun 2008, di wilayah provinsi Kalimantan Tengah
baru terdapat 42.655 pohon dengan produktivitas 2,78 Kg buah/pohon.
Sedangkan di Kota Palangka Raya hanya sekitar 100 pohon yang ada dengan
produktivitas hanya 1,75 Kg buah/pohon . Hal ini menurut informasi masyarakat
karena kebutuhannya masih terbatas sebagai tanaman pekarangan dan jarang
digunakan secara rutin, bahkan belum digunakan sebagai tanaman yang
komersial. Membudidayakan tanaman umumnya dilakukan dengan pengadaan
tanaman muda (bibit) yang dapat dimulai dengan menyemai biji (secara
generatif) maupun menggunakan bagian tanaman induknya (secara vegetatif).
Sebelum bibit ditanam di lapangan (lahan budidaya) maka dipelihara terlebih
dulu pada sistem pembibitan.
2. Sengon (Falcataria moluccana)
Tanaman Sengon salah satu dari tanaman yang tumbuh cepat di daerah
tropis dan telah lama dikenal, tanaman ini pertama kali ditemukan oleh Teysman
pada tahun 1871 di pedalaman pulau Banda dan dibawa ke Kebun Raya Bogor.
Tanaman sengon kemudian tersebar luas dari Kebun Raya Bogor ke
daerah daerah lainnya di Indonesia diantaranya Jawa, Kalimantan, Sumatra dan
Sulawesi. Tanaman sengon dapat dimanfaatkan sebagai penghijauan dan
reboisasi, pelindung dan penyubur tanah, bahan baku kayu bakar, bahan baku
bangunan dan perabotan serta bahan baku pulp kertas. Selain manfaat tersebut
daun tanaman sengon juga memberikan manfaat yang sangat menguntungkan
diantaranya sebagai pakan ternak (Direktorat Perbenihan Tanaman Hutan,
2004). Kelebihan dari tanaman sengon yaitu dari daun, buah, pohon dan akar
sengon dapat dimanfaatkan secara ekonomis sehingga tidak ada bagian tanaman
tersebut yang terbuang sia – sia. Adapun kekurangan tanaman sengon yaitu tidak
dapat tumbuh di tanah yang terlalu basah karena akan menghambat penyerapan
garam Mangan oleh tanaman sehingga daun sengon akan kurus kecil selain itu
akan terjadi kekerdilan apabila garam Aluminium larut di dalamnya. Menyikapi
tanaman sengon memiliki manfaat multiguna yang tidak hanya secara ekologis,
skala rumah tangga sampai kebutuhan industri. Maka salah satu upaya untuk
mempertahankan kelestariannya yaitu dengan melakukan pengelolaan yang
tepat serta pembudidayaan yang sesuai. Teknik silvikultur mulai diterapkan
dipersemaian untuk mengecambahkan benih maka diperlukan biji-biji sebagai
sumber benih serta untuk membantu benih agar dapat segera berkecambah
diperlukan adanya perlakuan pendahuluan. Pembiakan generatif ini merupakan
satu-satunya cara praktis untuk mendapatkan bibit tanaman dalam jumlah skala
besar. Pembiakan dengan biji mempunyai banyak keuntungan, antara lain murah
dan mudah penyimpanannya untuk jangka waktu yang relatif lama. Penelitian
tentang tanaman sengon mulai dilakukan pada tahun 2000-an, dimana dari hasil
penelitian tersebut menunjukkan bahwa tanaman sengon merupakan tanaman
tropis yang cepat tumbuh.
3. Eboni (Diospyros celebica Bakh.)
mempunyai nama lokal kayu hitam, merupakan salah satu jenis pohon
unggulan di Sulawesi. Kayu eboni memiliki nilai ekonomi yang sangat tinggi
karena selain keindahan serat dan warna kayunya, eboni juga termasuk jenis
eksotik yang memiliki kekuatan dan keawetan yang tinggi. Tekstur kayu eboni
dengan komposisi dan struktur serat-serat yang terdiri dari warna gelap dan
terang, menjadi penentu utama keindahan kayu eboni (Kinho et al., 2011).
Keunggulan tersebut menjadikan kayu eboni banyak dimanfaatkan sebagai
bahan mewah seperti bahan perumahan, mebel dan bahan kerajinan. Eboni
dikenal masyarakat sebagai kayu yang kuat dan tahan lama/awet (Bakri, 2008).
pertumbuhan lambat (slow growing spesies), yang menjadi salah satu faktor
pemicu jenis tersebut rawan kepunahan (Mayasari et al., 2012). Kunci penting
dalam menyelamatkan jenis tertentu dari kepunahan adalah konservasi
sumberdaya genetik tanaman hutan melalui pembangunan dan pengembangan
jenis tersebut (Yudohartono et al., 2009). Upaya untuk mengembangkan eboni
banyak mengalami kesulitan karena benih eboni termasuk benih rekalsitran yang
tidak bisa disimpan lama (Sumiasri dan Setyowati, 2006). Karakteristik eboni
yang pertumbuhannya lambat dan benih rekalsitran menyebabkan tanaman ini
semakin perlu untuk mendapatkan perhatian. Secara alami benih eboni
mengalami kemunduran dengan bertambahnya waktu (Yuniarti et al., 2008).
Salah satu cara untuk mengembangkan eboni adalah dari anakan alam yang ada
di sekitar pohon induk eboni. Benih eboni yang rekalsitran akan cepat
berkecambah bila jatuh ke tanah, sehingga akan banyak dijumpai anakan alam
bila musim panen buah sudah lewat. Anakan-anakan alam tersebut bila tidak
segera ditangani akan mati karena terserang jamur dan persaingan unsur hara.
Oleh karena itu, pengembangan anakan alam menjadi salah satu alternatif dalam
melestarikan eboni. Populasi eboni di alam tidak semuanya mempunyai anakan
yang melimpah. Hasil eksplorasi yang dilakukan di tiga populasi, yaitu
Kabupaten Luwu Timur tepatnya di Cagar Alam Kalaena dan Cagar Alam
Ponda-ponda, Kabupaten Sidrap dan Kabupaten Maros, hanya populasi eboni di
Kabupaten Maros yang mempunyai anakan alam melimpah dengan umur muda
atau baru berkecambah dengan dua daun. Sementara anakan alam yang diperoleh
dari populasi Kabupaten Sidrap dan Kabupaten Luwu Timur hanya mempunyai
anakan alam sedikit dan sudah berumur tua sekitar 2 tahun (Prasetyawati dan
Kurniawan, 2013). Hal ini menunjukkan bahwa tidak semua populasi eboni
menghasilkan benih setiap tahunnya. Penyelamatan eboni dari kepunahan dapat
dilakukan melalui pengembangan anakan alam, mengingat benih eboni semakin
sulit diperoleh dalam jumlah banyak dan tidak dapat disimpan dalam waktu yang
lama, karena jenis biji ini bersifat rekalsitran. Anakan alam eboni diambil dari
habitat alaminya dengan sistem cabutan. Anakan alam yang akan dibibitkan di
persemaian sebelumnya disortir/dipilih terlebih dahulu yang masih segar, sehat,
dan mempunyai kondisi tanaman yang bagus. Untuk mengurangi penguapan,
anakan alam yang telah disortir, dipotong daun tua hingga tersisa beberapa
bagian, dan daun muda ditinggalkan untuk pertumbuhan selanjutnya. Selain
daun, juga dilakukan pemotongan terhadap akar tanaman untuk merangsang
pertumbuhan akar baru dan memudahkan ditanam dalam polibag. Untuk
mempercepat pertumbuhan perakaran, setelah akar dipotong kemudian
direndam dalam hormon penumbuh akar beberapa menit, sebelum anakan
ditanam dalam polibag. Untuk mendapatkan persentase tinggi, semua kegiatan
tersebut harus dilakukan dengan cepat sebelum anakan mati dan rusak.
4. Mahoni (Swietenia macrophylla)
termasuk famili Meliaceae dan dikenal sebagai jenis penghasil kayu
bernilai ekonomi tinggi yang digolongkan sebagai kayu mewah. Jenis tanaman
ini termasuk intoleran, yaitu jenis pohon pada saat tingkat permudaan tidak
membutuhkan naungan. Oleh karena itu, mahoni potensial dikembangkan di
hutan tanaman (Hutan Tanaman Industri dan Hutan Rakyat) dan untuk kegiatan
rehabilitasi hutan dan lahan. Penanaman mahoni terancam oleh serangan terus-
menerus dari hama penggerek pucuk Hypsipila robusta (Opunifrimpong,
Karnosky, Storer, Abeney, & Cobbinah, 2008) yang menghancurkan meristem
apikal dan menyebabkan banyak percabangan (multi shoots), sehingga
me ngurangi nilai ekonomi kayunya. Karena itu, pencarian mahoni yang
memiliki sifat resisten menjadi prioritas dalam pengembangan mahoni.
Pencarian pohon mahoni dari populasi di lapangan yang terbukti memiliki
ketahanan terhadap Hypsipila adalah salah satu cara untuk memperoleh klona
unggul mahoni. Perolehan klona unggul memerlukan teknik perbanyakan
vegetatif agar diperoleh bibit yang memiliki karakteristik sama dengan
induknya, misalnya pertumbuhan yang bagus, atau memiliki sifat toleran
terhadap serangan hama dan penyakit. Hal ini mengingat anakan hasil vegetatif
dipastikan akan memperoleh sifat unggul yang sama dengan induknya,
sedangkan perbanyakan sistem generatif belum tentu akan mewariskan semua
sifat unggulnya. Sistem stek pucuk merupakan salah satu cara perbanyakan
vegetatif yang efisien dan berbiaya murah. Berbagai jenis Meliaceae telah sukses
diperbanyak dengan cara stek, contohnya Khaya anthotheca, K. ivorensis, K.
senegalensis, Entandrophragma angolense, dan E. utile (Barbosa Filho et al.,
2016; de Vasconcelos, Valeri, Martins, Biagiotti, & Perez, 2016; Owusu, Opuni-
Frimpong, & Antwi-Boasiako, 2014; Ky-Dembele et al., 2011; Opuku, Opuni-
Frimpong, & Adomako, 2008) Keberhasilan stek dipengaruhi oleh faktor
internal (tanaman) dan eksternal (lingkungan). Faktor bahan tanaman
di tentukan oleh karakter genetik, kandungan cadangan makanan, ketersediaan
air, hormon endogen, tingkat juvenil dan umur tanaman. Faktor lingkungan
ditentukan oleh media perakaran, kelembaban, suhu, intensitas cahaya, dan
teknik penyetekan serta perlakuan stek, seperti zat pengatur tumbuh dan luas
area daun (Rupp & Wheaton, 2014).
5. Meranti bakau (Shorea uliginosa)
Meranti bakau (Shorea uliginosa Foxw.) adalah salah satu jenis dari suku
Dipterocarpeceae yang pada umumnya tumbuh di hutan rawa gambut dan hutan
kerangas dengan daerah penyebaran di Indonesia (Kalimantan dan Sumatera)
dan Malaysia. Menurut Martawijaya et al. (1989) kayunya dapat digunakan
sebagai bahan baku untuk membuat mebel, plywood, dan vinir, dan termasuk
kelas kuat II dan kelas awet I. Jenis ini dapat tumbuh dengan baik di dataran
rendah pada hutan bekas terbakar yang ditumbuhi oleh semak dan belukar
(Omon, 1999). Diperkirakan meranti bakau banyak mengandung lapisan
gelatin, dimana lapisan tersebut terikat di lapisan S2 dari dinding sel secondary
oleh xyloglucan. Dari penemuan tersebut, apabila meranti bakau akan dijadikan
bahan baku bioetanol, maka diperlukan usaha pembibitan, karena jenis kayu ini
termasuk yang dilindungi. Bioetanol merupakan salah satu bahan bakar
alternatif yang mempunyai kelebihan dibandingkan bahan bakar minyak.
Bioetanol mengandung emisi gas CO lebih rendah bila dibandingkan dengan
bahan bakar minyak yaitu sekitar 19-25% (Syam et al., 2009). Pembiakan
vegetatif melalui stek pada saat ini merupakan salah satu alternatif penyediaan
bibit dari jenis ini. Hal ini dikarenakan masa berbuah dari jenis ini sekali dalam
2 sampai 10 tahun dengan waktu dorman biji yang sangat singkat, hanya
beberapa minggu saja. Stek (Cutting System) dapat digunakan sebagai teknik
alternatif dalam pengadaan bibit beberapa spesies Dipterocarpaceae yang
diprioritaskan untuk pembangunan hutan komersial (Subiakto, 2005) dan
penanganan spesies-spesies langka untuk tujuan konservasi. Dengan sistem ini
bibit yang dihasilkan genotipnya telah diketahui dan dapat dibuat pada waktu
yang diperlukan. Hal-hal yang perlu diperhatikan untuk keberhasilan pembiakan
vegetatif dengan cara stek, antara lain umur stek, media, drainase media,
intensitas cahaya, teknik pengguntingan, dan konsentrasi hormon yang
digunakan (Omon, Mas'ud, dan Harbagung, 1989). Adanya penelitian meranti
bakau diharapkan dapat memberikan informasi mengenai cara pengadaan bibit
meranti bakau secara vegetatif yang efektif, murah dan efisien, yaitu dengan
menggunakan pengatur tumbuh akar yang ada di pasaran yaitu Rootone-F. Zat
pengatur tumbuh Rootone-F berbentuk serbuk, berwarna putih, tidak larut
dalam air, berguna untuk mempercepat, dan memperbanyak keluarnya akar-akar
baru. Kemampuan daya hidup dan menghasilkan tunas untuk setiap stek
tanaman berbeda-beda, hal ini sangat dipengaruhi oleh faktor internal (genetik)
dan faktor eksternal (lingkungan). Faktor internal (genetik) yang sangat
memengaruhi pertumbuhan dan perkembangan stek adalah faktor gen dan
hormon (fitohormon) yang dihasilkan oleh tumbuhan. Sedangkan faktor
eksternal (lingkungan) adalah jenis dan dosis zat pengatur tumbuh yang
digunakan, suhu, kelembaban, media tanam, hama dan penyakit. Dengan
memperhatikan kedua faktor tersebut tentu diharapkan perbanyakan tanaman
meranti bakau secara vegetatif dengan menggunakan stek dapat dilaksanakan
dan berhasil dengan baik. Moko (2004) menyatakan bahwa stek dari tanaman
yang berumur muda akan lebih mudah berakar daripada tanaman yang lebih tua.
Karena kemampuan pembelahan sel dari tanaman yang telah tua mulai menurun,
sehingga bahan stek yang diambil dari jaringan tua akan mengalami kesulitan
dalam pembentukan akar primordia.
6. Jambu Kristal (Psidium guava)
Jambu kristal merupakan jambu biji yang hampir tanpa biji. Berasal dari
Taiwan yang banyak digemari karena rasanya yang segar dan nikmat, biji yang
sangat minim dan daging yang sangat tebal.Jambu kristal ini memiliki daya
saing tinggi karena memiliki beberapa keunggulan yaitu: unggul dalam cita rasa
yang segar, manis, kres, berdaging tebal dan hampir tanpa biji, mudah
dibudidayakan, frekuensi panen yang tinggi, peluang wirausaha yang tinggi baik
buah dan pembibitan, dengan harga jual jambu ini di tingkat petani sekitar Rp
15.000/kg, sedang di supermarket Rp 25.000-Rp 45.000/kg. Dalam
perkembangbiakan, perkembangbiakan jambu kristal dilakukan dengan
vegetatif seperti : cangkok, stek, dan tempel karena kondisi hampir tanpa biji.
Mencangkok merupakan perbanyakan tanaman yang akan menghasilkan
tanaman baru dengan sifat yang sama seperti induknya serta jumlah tanaman
yang lebih banyak dalam waktu singkat. Namun dalam pelaksanaannya
membutuhkan waktu agak lama dan agak rumit. Pada umumnya mencangkok
biasa dilakukan dengan cara melukai/menyayat hingga bersih dan
menghilangkan kambium pada cabang atau ranting sepanjang 5-10 cm pada
tanaman dikotil. Selain cara diatas, ada tekhnik lain mencangkok yaitu dengan
tanpa melukai batang. Mencangkok dilakukan dengan cara melilitkan kawat
pada batang yang telah memiliki kriteria layak untuk cangkokan kemudian
dibalut dengan media yang kering. Metode mencangkok tanpa menyayat (lilit
kawat pada batang) akan menghemat waktu dan hasil cangkokan lebih banyak
apalagi bila permintaan kebutuhan bibit meningkat. Penggunaan kawat yang
dililitkan pada batang tanaman, media tanam, zat pengatur tumbuh dapat
dilakukan sebagai upaya untuk mengatasi kendala yang muncul dalam
mencangkok.
7. Sawo (Manilkara zapota)
Sawo (Manilkara zapota (L.) van Royen) merupakan buah yang cukup
diminati karena rasanya yang manis. Tanaman sawo telah lama dikenal oleh
masyarakat Indonesia. Salah satu wilayah penghasil sawo di Yogyakarta adalah
Kelurahan Trirenggo, Kabupaten Bantul, Yogyakarta. Tanaman ini sering
ditanam sebagai tanaman pekarangan, tanaman pelindung, dan penahan erosi.
Buah sawo ternyata juga memiliki khasiat sebagai obat diare dan demam.
Sampai saat ini kebanyakan masyarakat belum memelihara tanaman sawo
secara intensif, sehingga produksinya tanaman tidak maksimum. Di samping itu,
bibit yang dipakai kebanyakan masih merupakan bibit asal biji sehingga
memerlukan waktu lama dalam menghasilkan buah. Untuk mendapatkan
tanaman yang berbuah lebih cepat daripada tanaman yang berasal dari biji dan
buah yang dihasilkan serupa buah dari tanaman induknya, perbanyakan
vegetatif melalui cangkok merupakan salah satu alternatif. Mencangkok
merupakan salah satu teknik perbanyakan vegetatif dengan cara pelukaan atau
pengeratan cabang pohon induk dan dibungkus media tanam untuk merangsang
terbentuknya akar. Teknik ini sudah lama dikenal oleh petani. Pada cara
mencangkok akar tumbuh ketika cabang yang dicangkoknya masih berada di
pohon induk. Keberhasilan pencangkokan tanaman dipengaruhi oleh banyak
faktor antara lain umur dan ukuran batang, sifat media tanaman, suhu,
kelembaban, air, dan ZPT. Makin besar diameter batang, akar yang terbentuk
juga lebih banyak, hal ini karena permukaan bidang perakaran yang lebih luas.
Umur batang sebaiknya tidak terlalu tua (berwarna cokelat/cokelat muda)
(Kuswandi, 2013).
8. Jati (Tectona grandis)
Sejalan dengan peningkatan jumlah penduduk maka kebutuhan bahan
baku kayu pun terus meningkat. Demikian halnya dengan kayu jati, setiap tahun
menunjukkan jumlah permintaan yang tinggi. Malik, Wijaya, dan Handayani
(2008) melaporkan bahwa masih terdapat kekurangan pasokan kayu jati yang
sangat besar pada daerah-daerah sentra industri mebel di Jawa. Dengan
demikian, pengembangan hutan tanaman terutama pada hutan rakyat sangat
penting dilakukan dan mempunyai prospek yang cerah, terlebih jati merupakan
jenis yang sangat populer serta risetnya sudah sangat maju. Upaya mendapatkan
benih unggul tanaman jati, telah dilakukan penelitian pemuliaan jati oleh
Perhutani, Badan Litbang Kehutanan dan perguruan tinggi (Adinugraha,
Pudjiono, & Mahfudz, 2013; Hadiyan, 2009; Siregar, Siregar, Karlinasari, &
Yunanto, 2008). Beberapa klon unggulan telah diseleksi pada plot uji klon jati
di Gunungkidul dan Wonogiri (Adinugraha et al., 2014). Bahan tanaman yang
digunakan untuk rootstock adalah bibit jati hasil perbanyakan generatif yang
telah berumur sekitar 1 tahun dengan diameter batang rata-rata 1-3 cm. Tahap
selanjutnya adalah perbanyakan klon-klon tersebut secara vegetatif. Salah satu
teknik yang banyak dilakukan untuk memperbanyak klon-klon jati adalah teknik
okulasi. Keuntungan perbanyakan tanaman dengan cara ini adalah
menyelamatkan sifat genetik yang superior pada tetua dan diturunkan kepada
anakan hasil perbanyakan vegetatif (Palanisamy, Hegde, & Yi, 2009). Selain
itu, keunggulan lainnya antara lain pelaksanaannya relatif mudah, persentase
keberhasilan tinggi, dan efisien dalam penggunaan mata entres karena satu
cabang/ranting dapat menghasilkan beberapa bahan tanaman (Junaidi,
Atminingsih, & Siagian, 2014).
9. Karet (Hevea brasiliensis)
Pengadaan bibit karet klonal dengan cara okulasi masih merupakan
metode perbanyakan terbaik. Hal ini karena tanaman karet yang berasal dari biji,
meskipun dari jenis unggul, tidak menjamin keturunannya akan memiliki sifat
baik seperti pohon induknya akibat terjadinya segregasi dari hasil persarian
sendiri (selfing) dan atau silang luar (outcrossing) dari genotipe heterozigot.
Oleh karena itu, keturunan yang berasal dari biji akan memiliki pertumbuhan
dan produksi yang bervariasi. Untuk mendapatkan keseragaman dan
mempertahankan sifat-sifat baik dari pohon induk, tanaman karet diperbanyak
secara vegetatif dengan teknik okulasi (Hadi dan Setiono, 2006). Penelitian
dilaksanakan di Limau Sundai, Kec. Binjai Barat, Kota Binjai. Pelaksanaan
penelitian dari bulan April sampai dengan Agustus 2015. Bahan bibit karet
okulasi hijau berumur 4-5 bulan (Siagian, 2012) dengan batang bawah klon
RRIC 100 di polibag dan entres klon PB 260 (berumur 4-5 bulan). Tanaman
karet hasil okulasi terdiri atas dua bagian, yaitu batang bawah (rootstock) dan
batang atas (scion) (Amypalupy, 2010). Klon sebagai batang atas diperoleh
melalui proses seleksi dan kemudian diperbanyak secara klonal melalui teknik
okulasi. Sementara batang bawah merupakan tanaman dari biji klon tertentu
yang dianjurkan sebagai benih untuk batang bawah. Selama bagian ujung
tanaman masih ada dominansi tersebut terus terjadi. Fenomena ini disebut
sebagai dominansi apikal. Apabila pertumbuhan batang sudah cukup, secara
alami cabang lateral akan tumbuh pada nodus bagian bawah yang cukup jauh
dari ujung batang, hal ini disebabkan karena semakin jauh dari ujung batang,
pengaruh dominansi apikal semakin berkurang (Darmanti et al., 2008) Tujuan
penyerongan ialah untuk mematahkan sifat dominansi apikal tersebut, sehingga
tunas okulasi yang akan tumbuh dari mata entres dapat lebih cepat tumbuh
(Siagian, 2006). Pertumbuhan tunas okulasi pada tanaman karet akan terjadi
setelah batang bawah tempat menempelnya mata entres dilakukan penyerongan.
Tunas okulasi pada pembibitan tanaman karet diharapkan dapat tumbuh jagur
setelah dilaksanakannya penyerongan. Pada okulasi bibit muda (3-5 bulan) di
dalam polibag keberhasilan tumbuh tunas okulasi diharapkan dapat lebih tinggi.
Berdasarkan hasil penelitian Siagian dan Sunarwidi (1987) dilaporkan bahwa
tingginya kematian tanaman setelah tahapan penyerongan yaitu berkisar 15%
sampai 40%. Banyak peneliti berpendapat bahwa hal ini terjadi sehubungan
dengan persediaan cadangan makanan di dalam batang yang tidak mencukupi
untuk pertumbuhan tunas dari mata okulasi.
10. Jabon Merah(Antocephalus macrophyllus)
Jabon merah adalah salah satu jenis pohon bersifat pioner, memiliki
pertumbuhan cepat dengan berbagai manfaat dan keunggulan. Jenis ini
merupakan andalan untuk industri perkayuan karena kayunya mudah
dikerjakan, lunak dan ringan, memiliki kelas kuat III sampai IV dan kelas awet
IV sampai V. Tanaman jabon merah memiliki kemampuan beradaptasi yang
baik pada berbagai tempat tumbuh, bebas hama dan penyakit serius, dan
perlakuan silvikultur relatif mudah. Budidaya jabon merah dutujukan untuk
hutan tanaman maupun sebagai tanaman pionir rehabilitasi lahan (Dephut,
2005). Berdasarkan permintaan pasar terhadap kayu, jabon merah memiliki
permintaan yang semakin meningkat untuk bahan baku industri. Pengembangan
tanaman jabon memerlukan penyediaan bibit unggul karena salah satu aspek
yang sangat penting dalam keberhasilan penanaman. Upaya penyediaan bibit
yang berkualitas dapat dilakukan melalui pembiakan in vitro (kultur jaringan).
Teknik kultur jaringan adalah suatu metode untuk mengisolasi bagian dari
tanaman dan menumbuhkannya dalam kondisi aseptik sehingga bagian tersebut
dapat memperbanyak diri dan beregenerasi menjadi tanaman lengkap. Teknik
ini memiliki beberapa keunggulan dibandingkan cara tradisonal, karena selain
menghasilkan tanaman dalam jumlah banyak dengan waktu yang singkat, teknik
ini juga tidak tergantung pada musim.
11. Cendana (Santalum album)
Cendana (Santalum album L.) tumbuh secara alami di Indonesia
khususnya di wilayah Nusa Tenggara Timur (NTT) dimana jenis ini merupakan
salah satu dari 22 jenis dari genus santalum yang ada di dunia (Waluyo, 2006).
Cendana merupakan salah satu spesies komersial yang sangat penting yang
menghasilkan minyak santalol dari bagian kayu terasnya yang digunakan secara
luas sebagai bahan baku dupa dan industri parfum (Rao dan Bapat, 1995).
Minyak Cendana banyak diekspor ke Eropa, Amerika, China, Hongkong,
Korea, Taiwan, dan Jepang, sedangkan kayunya untuk kerajinan seperti patung,
kipas, tasbih, dan rosario yang banyak dikonsumsi di dalam negeri. Cendana
adalah salah satu jenis pohon yang digolongkan ke dalam kategori langka. Hal
ini menjadi indikasi bahwa penyelamatan cendana merupakan hal serius dan
perlu didukung dengan teknik budidaya yang baik sebagai langkah dalam
melakukan regenerasi secara massal. Individu-individu cendana terpilih (klon)
umur 9 tahun yang tumbuh pada areal Kebun Konservasi Genetik di Watusipat,
Playen, Gunungkidul. Pelaksanaan kultur jaringan cendana menggunakan mata
tunas dilaksanakan di Laboratorium Kultur Jaringan Balai Besar Penelitian
Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan (BBPBPTH) di Yogyakarta.
Propagasi secara konvensional telah dilakukan diantaranya melalui stek pucuk
dan stek akar, akan tetapi persen keberhasilannya masih rendah (Surata, 2003).
Dewasa ini beberapa teknik alternatif propagasi tumbuhan hutan melalui kultur
jaringan telah banyak dan bahkan sudah lazim digunakan. Salah satu teknik
kultur jaringan yang banyak digunakan adalah melalui kultur tunas aksiler.
Kultur tunas aksiler adalah kultur jaringan yang menggunakan eksplan yang
berasal dari organ tumbuhan yang berupa pucuk bagian aksiler atau mata tunas.
Penggunaan mata tunas aksiler karena bagian ini termasuk bagian yang juvenile
dan sel-selnya masih aktif membelah sehinga diharapkan eksplan lebih mudah
diinduksi (Gunawan, 1987). Cendana dikulturkan secara aseptic. Kultur mata
tunas ini merupakan salah satu teknik in vitro yang digunakan untuk
perbanyakan tanaman dengan merangsang munculnya tunas-tunas aksilar dari
mata tunas yang dikulturkan. Eksplan yang digunakan dalam kultur mata tunas
dapat berasal dari tunas lateral, tunas samping atau bagian dari batang yang
mengandung satu atau lebih mata tunas (mengandung satu atau lebih buku).
Kunci keberhasilan dalam mendapatkan eksplan yang responsif dan dapat
diperbanyak dengan kultur jaringan adalah eksplan yang masih muda dan
bersifat juvenile. Namun demikian, daya tumbuh tunas muda akan hilang secara
fisik apabila jarak antara ujung tunas dan akar semakin jauh karena pertumbuhan
(George dan Sherrington, 1984). Hasil penelitian disini menunjukkan bahwa
tunas juvenile dari tanaman berkayu dewasa yang akan digunakan sebagai
eksplan untuk kultur jaringan cendana, dapat diperoleh dengan cara melakukan
perkembangan dan pertumbuhan tunas melalui rendaman cabang. Tunas yang
muncul setelah rendaman cabang dapat digunakan sebagai eksplan. Dari klon-
klon tersebut di atas selanjutnya bagian pucuk tunas yang tumbuh digunakan
sebagai eksplan untuk kegiatan kultur jaringan mata tunas. Teknik rendaman
cabang dalam media air mengalir mampu menghasilkan materi vegetatif sebagai
sumber eksplan yang bersih dan terlindung dari kotoran yang mengandung
jamur dan bakteri serta juvenile secara fisiologi.
12. Gmelina (Gmelina arborea)
Tanaman gmelina merupakan jenis tanaman penghasil kayu yang biasa
di tanam pada lahan hutan negara maupun hutan desa. Gmelina dapat dipanen
pada diameter sekitar 30 cm pada umur 9-10 tahun. Hasil kayu yang baik, bisa
di dapatkan dari pohon yang tegak lurus (Muwakhid, 2010). Gmelina juga
merupakan salah satu jenis yang dikembangkan dalam pembangunan hutan
tanaman, mengingat pertumbuhannya yang cepat (fast growing species), teknik
penanamannya tidak sulit dan mempunyai nilai ekonomi yang baik. Kegunaan
kayunya banyak serta penyebarannya yang luas. Kayu gmelina dapat digunakan
sebagai bahan pembuatan papan partikel, korek api, peti kemas, bahan kerajinan
kayu, bahan kontruksi ringan, kayu pertukangan, vinir hias, bahan baku industri
pulp dan kertas (Sudomo, dkk., 2007). Pada mulanya pohon ini dikenal sebagai
penghasil kayu energi, karena kayunya menghasilkan arang berkualitas terbaik,
kurang berasap, dan cepat terbakar. Gmelina merupakan pohon dengan ukuran
sedang, tinggi dapat mencapai lebih (30–40) meter, batang silindris, diameter
rata-rata 50 cm kadang-kadang mencapai 140 cm. Kayu gmelina termasuk
dalam kategori kelas kuat III– IV dan kelas awet III (Martawijaya, 1995 dalam
Munawaroh, 2012). Pengembangan atau perbanyakan tanaman yang dilakukan
secara vegetatif adalah perbanyakan tanaman yang dilakukan tanpa melalui
proses perkawinan, tetapi dengan mengambil bagian tanaman seperti daun,
batang, umbi dan lain-lain. Pembiakan vegetatif sangat diperlukan karena bibit
hasil pengembangan secara vegetatif merupakan duplikat induknya, sehingga
mempunyai struktur genetik yang sama serta cepat berbunga dan berbuah
(Adinugraha, dkk., 2007). Keuntungan pembiakan vegetatif ini adalah
perbanyakan jenis dapat dihasilkan secara massal, homogen dan dapat
digunakan untuk menganalisis kualitas tempat tumbuh (Adinugraha, dkk.,
2007). Sedangkan Perbanyakan dengan biji memiliki kelemahan antara lain,
memerlukan waktu yang lama untuk berkecambah karena kulit biji yang keras,
sifat tanaman tidak sama dengan induknya, dan memerlukan waktu yang lama
untuk berbunga dan berbuah (Gustini, 2012).
13. Nyatoh (Palaquium sp.)
Nyatoh (Palaquium sp.) merupakan tumbuhan yang tersebar di seluruh
Indonesia. Tumbuhan ini memiliki nilai ekologi dan ekonomi yang cukup tinggi.
Nilai ekologi yang dimaksud adalah berfungsi untuk konservasi tanah dan air,
sedangkan nilai ekonominya adalah produk kayu yang dihasilkan memiliki
harga jual cukup tinggi di pasaran. Nyatoh menghasilkan produk kayu dengan
kelas kuat I-II dan kelas awet II-III, sehingga dapat digunakan untuk berbagai
jenis keperluan, seperti perkapalan, mebel, kertas bungkus (kraft paper), dan
konstruksi rumah (Samingan, 1982). Mengingat potensi dan kegunaan yang
dimilikinya, maka nyatoh sangat potensial untuk dikembangkan. Ketersediaan
bibit nyatoh dalam jumlah besar dan waktu cepat serta berkualitas, dapat
diusahakan salah satunya melalui perbanyakan vegetatif dengan teknik stump.
Stump adalah suatu cara pengadaan bibit yang mengunakan anakan semai yang
bisa diambil dari alam ataupun dari suatu persemaian, kemudian dilakukan
pemangkasan pada sebagian batang, daun, dan akarnya dengan perbandingan
yang bervariasi. Stump mempunyai sisa-sisa akar dengan tujuan agar proses
pembentukan dan pertumbuhan akar baru segera terbentuk (Trisna, dkk., 2013).
Pembentukan dan pertumbuhan akar baru pada stump, dapat dipacu
dengan menggunakan hormon tumbuh akar. Rootone-F merupakan salah satu
zat pengatur tumbuh akar yang banyak dipergunakan karena mengandung bahan
aktif hasil formulasi beberapa hormon tumbuh. Penggunaan Rootone-F pada
konsentrasi yang tepat diharapkan dapat lebih efektif merangsang perakaran
stump nyatoh. Berdasarkan berbagai hasil penelitian terdahulu, maka peneliti
berusaha memadukan antara perlakuan media tumbuh dan konsentrasi Rootone-
F terhadap tanaman hutan jenis nyatoh, agar diperoleh pertumbuhan optimal
stump nyatoh sehingga dapat menjaga dan meningkatkan ketersediaan bibit.
14. Durian
Tanaman durian merupakan tanaman asli di kawasan Asia Tenggara
yang beriklim tropis seperti Indonesia, Thailand dan Malaysia (Ashari, 2006).
Durian menjadi salah satu buah yang memberikan nilai investasi tinggi bagi
Indonesia. Namun, di Indonesia sendiri sedikit buah durian lokal yang bermutu
tinggi yang dijual di pasaran. Salah satu faktor yang mempengaruhi ialah
kurangnya penyediaan bibit varietas unggul yang ada. Oleh karena itu perlu cara
perbanyakan durian yang dapat menghasilkan bibit varietas unggul untuk
menghasilkan produksi tinggi. Buah durian merupakan buah yang cukup
diminati oleh masyarakat Indonesia. Permintaan pasar terhadap buah durian
baik dari dalam negeri maupun luar negeri cukup tinggi, namun belum dapat
dipenuhi oleh ketersediaan produksi buah durian.
Durian termasuk dalam genus Durio yang terdiri dari banyak species,
hingga kini sudah diketahui sebanyak 30 spesies. Spesies Durio zibethinus
terdiri dari ratusan varietas, baik yang telah dibudidayakan maupun yang masih
hidup liar. Indonesia memiliki variasi iklim yang beragam. Kondisi agroklimat
yang beragam ini memberikan keunngulan tersendiri dalam budidaya tanaman
durian. Perbedaan jenis serta lingkungan yang berbeda paling memperpanjang
masa musim durian (Hariyono, 2013). Sebagian besar pohon durian yang ada di
Indonesia saat ini berasal dari biji (secara generative). Menurut Uji (2005)
tanaman akan menghasilkan buah membutuhkan waktu yang cukup lama pada
kisaran 7 – 10 tahun. Sedangkan menurut Somari (2008) tanaman durian yang
berasal dari biji akan berbuah pada umur 8-10 tahun, namun dengan
perbanyakan vegetatif tanaman durian ini akan berbuah lebih cepat yaitu pada
umur 4-5 tahun. Sebagian kecil sudah diusahakan dengan menggunakan bibit
vegetatif seperti okulasi, sambung atau cangkok. Penggunaan bibit vegetatif
akan menghasilkan buah bermutu tinggi (hasil dan kwalitas buah) (Hartman dan
Kester,1978; Riady, 2016). Beberapa teknik perbanyakan yang disarankan
dalam budidaya durian secara vegetatif, salah satunya menggunakan metode
grafting. Grafting adalah menggabungkan batang bawah dan batang atas dari
tanaman yang berbeda menjadi tanaman baru (Wudianto, 1988).
15. Akasia (Acacia Mangium)
Acacia mangium merupakan salah satu jenis yang dikembangkan untuk
hutan tanaman industri (HTI) di Indonesia. Jenis ini termasuk cepat tumbuh dan
mudah tumbuh pada kondisi lahan yang rendah tingkat kesuburannya, seperti
pada lahan marginal dengan pH rendah, tanah berbatu serta tanah yanag telah
mengalami erosi (Leksono dan Setyaji, 2003). Kayunya dapat dimanfaatkan
sebagai bahan baku pulp dan kertas, serta untuk bahan meubel dan flooring.
Menurut Anonim (1989) kayu A. mangium dapat digunakan untuk kerangka
pintu, bagian jendela, molding, bahan baku peti/kotak dan partikel board.
Sebaran alaminya terdapat di Australia, PNG, Maluku (Rokas, Kepulauan Aru
dan Seram Bagian Barat), Irian Jaya Bagian Utara (Semenanjung Vogelkop,
Manokwari, Fak-fak) dan Irian Jaya Bagian Selatan (Merauke, Erambu dan
Muting). Tumbuh pada ketinggian 30-130 m di atas permukaan laut dengan
curah hujan yang bervariasi antara 1.000 mm - 4.500 mm/tahun (Leksono,
1996). Pembuatan bibit A. mangium dengan teknik sambungan dilakukan
dengan menyambungkan scion berupa bagian pucuk/tunas dari tajuk pohon plus
pada tanaman batang bawah/root stock yang telah disediakan. Teknik ini akan
mempertahankan sifat dewasa pohon induknya, sehingga anakan yang
dihasilkan akan cepat berbunga/berbuah. Teknik ini biasa digunakan untuk
kegiatan penyiapan materi untuk bank klon, kebun persilangan dan kebun benih
klon.

3. Dalam kondisi bagaimana suatu tanaman dikembangbiakan secara generatif dan


vegetatif (jelaskan perbedaannya).

4. Pembahasan
Pada praktikum silvikultur hutan tropika acara keempat ini dilakukan
pengamatan mengenai ragam bahan tanaman atau perbanyakan tanaman secara
vegetative maupun generative. Perbanyakan secara vegetatif merupakan salah satu
proses perbanyakan tanaman dengan menggunakan bagian-bagian vegetatif pada
tanaman seperti akar, batang, atau daun untuk menghasilkan tanaman baru yang
sama dengan induknya. Prinsip dari perbanyakan vegetatif adalah merangsang
tunas adventif yang ada di bagian-bagian tersebut agar berkembang menjadi
tanaman sempurna yang memiliki akar, batang, dan daun sekaligus. Perbanyakan
tanaman secara vegetatif merupakan perkembangbiakan tanaman yang terjadi
tanpa melalui proses perkawinan. Bahan tanaman yang berasal dari bagian
vegetatif bisa disebut bibit. Teknik perbanyakan vegetatif meliputi stek, cangkok,
okulasi, grafting, kultur jaringan, dan stump. Kelebihan perbanyakan secara
vegetatif adalah masa muda tanaman relatif pendek, tanaman lebih cepat
bereproduksi, dapat diterapkan pada tanaman yang tidak menghasilkan biji, sifat-
sifat yang lebih baik pada induknya dapat diturunkan, dapat tumbuh pada tanah
yang memiliki lapisan tanah dangkal karena memiliki sistem perakaran yang
dangkal. Untuk kekurangan perbanyakan secara vegetatif adalah sistem perakaran
kurang kuat karena tidak memiliki akar tunggang, mewarisi sifat jelek induknya di
samping sifat baik induknya, biaya pengadaan bibit mahal, waktu yang
dibutuhkan relatif lama, sulit memperoleh tanaman dalam jumlah yang besar yang
berasal dari satu pohon induk.

Sedangkan Perbanyakan secara generatif merupakan perkembangbiakan


tumbuhan secara kawin atau pembuahan. Proses perkembangbiakan generatif ini
membutuhkan alat kelamin jantan dan alat kelamin betina. Baik tumbuhan ataupun
hewan dapat mengalami pembiakan secara generatif ini. Pembiakan secara
generatif ditandai dengan adanya pembuahan. Sehingga dapat menghasilkan biji
yang nantinya akan digunakan sebagai bahan utama yang digunakan sebagai alat
perbanyakannya. Tanaman yang dikembangkan dengan cara-cara tersebut
membutuhkan waktu yang lama untuk berbuah karena proses pertumbuhan
tanaman akan berlangsung dari awal. Tanaman akan tumbuh dari janin terlebih
dahulu, baru setelahnya akan tumbuh membentuk akar tunggang, akar serabut,
batang, dan juga daun. Teknik perbanyakan generatif meliputi cabutan alam dan
biji. perbanyakan tanaman secara generatif memiliki kelebihan yaitu penanganan
yang praktis atau mudah dengan harga yang relatif murah dan tidak memerlukan
keahlian yang khusus. Namun, perbanyakan secara generatif memiliki beberapa
kelemahan seperti penanaman dilakukan pada saat musimnya, keturunan yang
dihasilkan kemungkinan tidak sama dengan induknya, persentase berkecambah
yang rendah dan membutuhkan waktu yang agak lama untuk berkecambah.

Baik perbanyakan vegetatif maupun generatif memiliki kelebihan dan


kekurangan masing-masing. Untuk mengetahui lebih baik perbanyakan vegetatif
atau generatif dilihat lagi pada jenis tanamannya dan keperluan untuk
memperbanyak tanaman jenis tersebut. Pada intinya, jika perbanyakan vegetatif
akan membawa semua sifat dari induk, bibit yang dihasilkan secara generatif
bisa menghasilkan varietas yang baru dan tidak membawa sama sekali sifat induk.
Hal ini bisa menguntungkan bagi ingin mendapatkan varietas yang berbeda dari
sebelumnya. Perbanyakan secara generatif biasanya dilakukan pada tanaman yang
memiliki musim berbuah yang tetap sehingga dapat menghasilkan banyak biji yang
dapat digunakan untuk pembenihan selanjutnya serta biji tersebut memiliki masa
dormansi yang lama dan juga memiliki anakan alam yang berkualitas. Kemudian
untuk perbanyakan vegetatif biasanya menggunakan tanaman yang tidak tetap
masa berbuahnya sehingga menggunakan akar, batang, atau daun untuk
menghasilkan tanaman baru yang sama dengan induknya. Perbanyakan secara
vegetative digunakan untuk mendapatkan anakan yang sama berkualitas seperti
induknya maupun dapat menghasilkan anakan yang lebih bagus dari indukan yang
sudah ada.

5. Kesimpulan

Berdasarkan praktikum yang telah dilakukan dapat disimpulkan bahwa


perbedaan bibit generatif dan vegetatif terletak pada bahan yang digunakan. Jika
bibit generatif dihasilkan melalui proses perkawinan kemudian menghasilkan biji
dan anakan alam untuk proses perbanyakannya. Lalu pada bibit vegetatif yaitu
menggunakan akar, batang, atau daun untuk melakukan perbanyakan.

6. Daftar Pustaka

Adinugraha, Hamdan Adma dan Abdul Azis Efendi. 2018. Pertumbuhan Bibit Hasil
Okulasi pada Beberapa Klon Jati dari Gunungkidul dan Wonogiri. Jurnal
Pemuliaan Tanaman Hutan, Vol. 12 (1): 13-24.
Azwin, Emy Sadjati. 2018. Respon Stek Meranti Bakau (Shorea uliginosa Foxw.)
terhadap Pemberian Rootone F dan Berbagai Media Tanam. Wahana
Forestra: Jurnal Kehutanan, Vol. 13 (2). Edisi Januari 2018.
Djam’an, Dharmawati F, dkk. 2014. Potensi Jenis Sengon (Falcataria moluccana
(Miq.) Barneby & J.W. Grimes) Diperbanyak melalui Teknik Vegetatif
(Stek). Jurnal Hutan Tropis, Volume 6 No. 1. Edisi Maret 2018.
Dodo dan Hary Wawangningrum. 2018. Metode Penyimpanan Cabutan Anakan
Pohon untuk Konservasi ex-situ: Beraja (Shorea guiso (Blanco) Blume).
Jurnal Prosiding Seminar Nasional Masyarakat Biodiversitas Indonesia,
Vol. 4 (2): 139-143. 1.
Hani S., Dkk. 2018. Perbanyakan Vegetatif Mahoni (Swietenia macrophylla King)
dengan Cara Stek Pucuk. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan,
Bogor, Jawa Barat. Jurnal Penelitian Hutan Tanaman. Vol. 15 No. 1, Juni
2018, 1-66.
Herawan, Toni, dkk. 2015. Kultur Jaringan Cendana (Santalum album L.)
Menggunakan Eksplan Mata Tunas. Jurnal Pemuliaan Tanaman Hutan,
Vol. 9 (3): 177-188. 1.
Hendromono. 2007. Teknik Pembibitan Eboni Dari Anakan Hasil Permudaan
Alam. Pusat Litbang Hutan Tanaman. Bogor. Jurnal Penelitian Hutan
Tanaman Vol.4 No.2, Agustus 2007, 069 – 118.
Indriyani, N. L. P., & Emilda, D. (2020). Pengaruh Bobot Biji terhadap
Pertumbuhan Semai Petai (Parkia speciosa Hassk.). JURNAL BUDIDAYA
PERTANIAN, 16(1), 56-60.
Misnawati, dkk. 2014. Pertumbuhan Stump Gmelina (Gmelina arborea Roxb.)
pada Berbagai Perbedaan Lama Waktu Penyimpanan. Jurnal WARTA
RIMBA, Vol. 2 (2): 133-140.
Nursyamsi. 2012. Propagasi Tiga Varietas Murbei melalui Teknik Kultur Jaringan.
Jurnal Penelitian Hutan Tanaman, Vol. 9 (2): 75-82.
Pasaribu, Desi Indriani, dkk. 2016. Kualitas Pertumbuhan Eucalyptus sp. dari
Perbanyakan Vegetatif dan Generatif. Jurnal JomFaperta, Vol. 3 (1).
Februari 2016. 1.
Payung, D., Prihatiningtyas, E., & Nisa, S. H. (2012). Uji daya kecambah benih
sengon (Paraserianthes falcataria (L.) Nielsen) di green house. Jurnal Hutan
Tropis, 13(2).
Prameswari, Zara Kumala, dkk. 2014. Pengaruh Macam Media dan Zat Pengatur
Tumbuh terhadap Keberhasilan Cangkok Sawo (Manilkara zapota (L.) van
Royen) pada Musim Penghujan. Jurnal Vegetalika, Vol. 3 (4): 107-118. 1.
Poromobi S., Dkk. 2017. Pertumbuhan Cabutan Anakan Alam Nyatoh Setelah
Disimpan Pada Wadah Yang Berbeda. Fakultas Kehutanan, Universitas
Tadulako. WARTA RIMBA ISSN: 2579-6267 Volume 5, Nomor 1 Hal:
49-54.
Pratomo, Bayu, dkk. 2016. Pertumbuhan Okulasi Tanaman Karet (Hevea
brassiliensis Muell arg.) dengan Tinggi Penyerongan Batang Bawah dan
Benzylaminopurine (BAP) pada Pembibitan Polibag. Jurnal Pertanian
Tropik, Vol. 3, No. 2. Agustus 2016. (13): 119- 123.
Prasetyawati, A. 2015. Pertumbuhan Anakan Alam Eboni (Diospyros celebica
Bakh.) dari Tiga Populasi di Persemaian. Info Teknis EBONI, Vol. 12 (1):
39-49.
Rahmatika, Widyana dan Fajar Setyawan. 2018. Kompatibilitas Batang Bawah
dengan Batang Atas pada Metode Grafting Tanaman Durian (Durio
zibethinus Murr.). Jurnal Agritrop, Vol. 16 (2): 268-275.
Sutriyani, dkk. 2016. Pertumbuhan Stump Nyatoh (Palaquium sp.) pada Berbagai
Komposisi Media Tumbuh dan Konsentrasi Rootone-F di Persemaian. e-
Jurnal Mitra Sains, Vol. 4 (4): 14-21. 1.
Susilo, D. E. H., Dkk. 2014. Studi Potensi Penyemaian dan Pembibitan Tanaman
Mengkudu Pada Beberapa Komposisi Media Tanam. Fakultas Pertanian
dan Kehutanan. Universitas Muhammadiyah Palangkaraya. Palangka Raya.
Anterior Jurnal, Volume 14 Nomor 1, Desember 2014, Hal 1 – 10.

Anda mungkin juga menyukai