Anda di halaman 1dari 12

Pendekatan Klinis pada Penyakit Inflammatory Bowel Disease

Giamy Giamto
102012306/E5
Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Kristen krida Wacana
Jalan Arjuna Utara No. 6 Jakarta Barat 11510
giamygiamy17@gmail.com

Pendahuluan
Inflammatory Bowel Disease (IBD) adalah penyakit inflamasi yang melibatkan
saluran cerna dengan penyebab pastinya sampai saat ini belum diketahui jelas. Secara garis
besar IBD teridiri dari 3 jenis, yaitu colitis ulseratif, penyakit Crohn, dan bila sulit
membedakan kedua hal tersebut, maka dimasukkan dalam kategori indeterminate colitis.
Colitis ulseratif merupakan salah satu dari dua tipe Inflammatory Bowel Disease
(IBD), selain Crohn disease. Tidak seperti Crohn disease, yang dapat mengenai semua bagian
dari traktus gastrointestinal, colitis ulseratif seringnya mengenai usus besar, dan  dapat
terlihat dengan colonoscopy. Colitis ulseratif merupakan penyakit seumur hidup yang
memiliki dampak emosional dan sosial yang amat sangat pada pasien yang terkena, dan
ditandai dengan adanya eksaserbasi secara intermitten dan remisinya gejala klinik.1

Anamnesis
Anamnesis adalah tanya jawab antara dokter dan pasien guna untuk mendiagnosa
penyakitnya. Anamnesis dibagi menjadi 2 macam yaitu alo anamnesis dan auto anamnesis.
Auto anamnesis adalah tanya jawab antara dokter dan pasien sendiri guna mendapatkan
informasi tentang penyakit pasien. Alo anamnesis adalah tanya jawab antara dokter dengan
keluarga pasien. Hal ini disebabkan karena pasien tidak bisa ditanyai seputar penyakitnya
karena berbagai alasan. Pada kasus ini anamnesis yang dilakukan adalah berupa auto
ananamnesis karena pasien sendiri dapat menjawab seputar penyakit yang ia derita.1,2
Perlu ditanyakan pertama kali yaitu identitas pasien (nama, umur, jenis kelamin,
dokter yang merujuk). Lalu ditanyakan keluhan utama, riwayat penyakit sekarang seperti
lokasi anatomi sakit, waktu termasuk kapan penyakitnya dirasakan, faktor-faktor apa yang
membuat penyakitnya membaik/memburuk/tetap, apakah keluhan konstan/intermitten. Catat
riwayat yang berkaitan termasuk pengobatan sebelumnya faktor resiko dan hasil pemeriksaan
yang negatif. Riwayat keluarga, dan riwayat ekonomi-sosial yang berkaitan dengan keluhan
utama.1,2

1
1. Waktu dan frekuensi diare
Diare pada malam hari atau sepanjang hari, tidak interrmitens, atau diare timbul
mendadak, menunjukkan adanya penyakit organic. Lama diare kronik kurang dari 3
bulan juga mengarahkan ke panyakit inflamatorik. Diare yang terjadi pagi hari lebih
banyak berhubungan dengan stress, hal ini biasanya mengarah ke sindrom usus irritable
(IBS). Sedangkan diare pada malam hari lebih mengarah ke kelainan organic.
2. Bentuk tinja
Terdapatnya lemak pada tinja yang ditandai dengan menggambang pada air toilet
mengarahkan adanya malabsorbsi lemak atau yang disebut dengan steatore. Adanya
darah yang disertai diare biasanya mendadakan adanya KU sedangkan adanya
perdarahan pada tinja normal menandakan adanya keganasan.
3. Keluhan lain yang menyertai diare
Misal seperti nyeri abdomen, demam, mual dan muntah, penurunan berat badan dan
mengedan waktu defikasi.
4. Obat
Banyak obat dapat menimbulkan diare missal : laksan, antibiotic (neomisin),
antihipertensi dan yang lainnya.
5. Makanan / minuman
Diare karena makanan melalui mekanisme osmotic yang berlebihan atau proses alergi.
Seperti diare dan mual yang menyertai minum susu menunjukkan dugaan kuat adanya
intoleransi laktosa dan sindrom usus irtable. Diare tidak membaik setelah puasa,
mengarahkan pemikiran kepada pada penyebab malabsorbsi makanan.1-2
Pemeriksaan Fisik
Inspeksi
Setelah melakukan inspeksi menyeluruh dan keadaan sekitarnya secara cepat,
perhatikan abdomen untuk memeriksa hal berikut ini :
 Apakah abdomen dapat bergerak tanpa hambatan ketika pasien bernapas ?
 Apakah terdapat gerak peristaltic yang dapat terlihat ?
 Apakah pasien menderita nyeri abdominal yang nyata ?
 Apakah terdapat vena-vena yang berdilatasi ?.1
Palpasi
Abdomen harus diperiksa secara sistematis, terutama jika pasien menderita nyeri
abdomen. Selalu tanyakan kepada pasien letak nyeri yang dirasa maksimal dan diperiksa

2
bagian tersebut paling akhir. Lakukan palpasi pada setiap kuadran secara berurutan, yang
awaalnya dilakukan tanpa penekanan yang berlebihan dan dilanjutkan dengan palpasi yang
dalam (jika tidak terdapat area nyeri yang diderita atau diketahui). Kemudian, lakukan palpasi
secara khusus terhadap beberapa organ. Contoh pada palpasi kolon, kolon normal
dipengaruhi oleh isi yang dikandungnya dan keadaan ini bergantung pada hubungan antara
diet dengan defekasi. Jadi konsistensi kolon normal bervariasi dan adanya massa apapun
yang menetap sebaiknya diperiksa dengan melakukan palpasi beberapa jam.2
Perkusi
Perkusi berguna (khususnya pada pasien yang gemuk) untuk memastikan adanya
pembesaran beberapa organ, khususnya limpa, atau kandung kemih. Lakukan selalu perkusi
dari daerah resonan ke daerah pekak, dengan jari pemeriksa yang sejajar dengan bagian tepi
organ.1,2
Auskultasi
Hanya pengalaman klinis yang dapat mengajarkan anda bising usus yang normal.
Bising usus yang meningkat dapat ditemukan pada:
Setiap keadaan yang menyebabkan peningkatan peristaltic, Obstruksi usus, dan Diare . Jika
terdapat darah dalam pencernaan yang berasal dari saluran cerna atas ( menyebabkan
peningkatan gerakan peristaltic ).2
Bising usus menurun atau menghilang ditemukkan pada:
Paralisi usus (ileus), Perforasi , Peritonitis generalisata. Pasien dengan nyeri abdomen yang
hebat akibat gastroenteritis dapat menyerupai peritonitis, tetapi adanya bising usus yang
berlebihan menunjukkan perbedaan dari peritonitis generalisata (dengan bisisng usus yang
seharusnya tidak terdengar).
Pemeriksaan Penunjang
a. Laboratorium
Sampai saat ini belum ada pemeriksaan laboratorium yang spesifik sebagai dasar
diagnosis IBD maupun untuk membedakan KU dengan PC. Data laboratorium lebih
banyak berperan untuk menilai derajat aktivitas penyakit dan dampaknya pada status
nutrisi pasien. Parameter yang banyak dipakai adalah kadar hemoglobin, hematokrit,
kadar besi serum untuk menilai kehilangan darah dalam usus, laju endap darah untuk
menilai aktivitas inflamasi serta kadar albumin serum untuk status nutrisi, serta C
reactive protein yang dapat dipakai juga sebagai parameter aktivitas penyakit.3

3
b. Endoskopi
pemeriksaan endoskopi berupa kolonoskopi harus dilakukan. Selain itu, harus
dilakukan biopsi pada mukosa yang meradang dan pada mukosa yang normal. Hasil
yang didapatkan pada pemeriksaan kolonoskopi dan biopsi dapat mengonfirmasi
diagnosis dari jenis Inflammatory bowel disease, dan juga berguna untuk melihat atau
memantau sejauh mana perjalanan penyakit tersebut. Namun, tindakan ini harus
dilakukan dengan hati-hati karena kemungkinan dapat mengakibatkan perforasi atau
komplikasi lainnya. Pada keadaan yang berat, ditandai dengan adanya ulser dan
perdarahan spontan.3-4 adapaun gambaran endoskopik pada colitis ulserativa dan
penyakit chron, adalah sebagai berikut. Lihat tabel 1. Lihat gambar 1.
Tabel 1. Gambaran lesi endoskopik IBD 1
KU PC
Lesi inflamasi (hyperemia, ulserasi) +++ +
Bersifat kontinu adanya skip area 0 +++
Keterlibatan rectum +++ +
Lesi mudah berdarah + +++
(sifat ulkus)
Terdapat pada mukosa yang inflamasi +++ +
Keterlibatan ileum 0 ++++
Lesi ulkus deskrit + +++
(Bentuk ulkus)
Diameter > 1 cm + +++
Dalam + +++
Bentuk linier (longitudinal) + +++
Aphtoid 0 ++++

Keterangan : ++ sering, + kadang, +/- jarang, 0 tidak ada.

Gambar 1. Gambaran Colitis Ulseratif pada Kolonoskopi


Sumber: www.academia.edu/colitis-ulseratif

c. Radiologi
Teknik pemeriksan radiologi kontras merupakan pemeriksaan diagnostic pada IBD
yang saling melengkapi dengan endoskopi. Barium kontras ganda dapat
memperlihatkan striktur, fistula, mukosa yang irregular, gambaran ulkus dan polip,
ataupun perubahan distenbilitas lumen kolon berupa penebalan dinding usus dan

4
hilangnya haustrae. Interpretasi radiologi merupakan kontraindikasi pada KU berat
karena dapat mencetuskan megakolon toksik. Foto polos abdomen secara sederhana
dapat mendeteksi adanya dilatasi toksik yaitu tampak lumen usus yang melebar tanpa
material feses di dalamnya. Untuk menilai keterlibatan usus halus dapat dipakai
metode enterocolytis yaitu pemasangan kanul nasogastrik sampai melewati
ligamentum Treitz sehingga barium dapat dialirkan secara kontinyu tanpa terganggu
oleh kontraksi pylorus. Peran CT scan dan ultrasonografi lebih banyak ditujukan pada
PC dalam mendeteksi adanya abses ataupun fistula.3-4 Lihat gambar 2.

Gambar 2. Pemeriksaan barium enema dengan kontras dobel menunjukkan kolitis


ulseratif pada stadium awal, di mana mukosa masih normal dan tampak pseudopolip.
Sumber: https://www.google.co.id/images
d. Histopatologi
Specimen yang berasal dari operasi lebih mempunyai nilai diagnostic daripada
specimen yang diambil secara biopsy per-endoskopik. Terlebih lagi bagi PC yang
lesinya bersifat transmural sehingga tidak terjangkau dengan teknik biopsy per-
endoskopik. Gambaran khas untuk KU adalah adanya abses kripti, distorsi kripti,
infiltrasi sel monukleus dan polimorfonuklear di lamina propia. Sedangkan pada PC
adanya granuloma tuberkuloid (terdapat pada 20-40% kasus) merupakan hal
karakteristik di samping adanya infiltrasi sel makrofag dan limfosit di lamina propia
serta ulserasi yang dalam.3-4 Lihat gambar 3.

Gambar 3. Histopatologi Inflammatory Bowel disease


Sumber: www.google.co.id/images/

5
Working Diagnosis
Inflammatory Bowel Disease (IBD) adalah penyakit inflamasi yang melibatkan
saluran cerna dengan penyebab pastinya sampai saat ini belum diketahui jelas. 1 Secara praktis
diagnosis IBD didasarkan pada : 1). Anamnesis yang akurat mengenai adanya perjalanan
penyakit yang akut disertai eksaserbasi kronik-remisi diare, kadang berdarah, nyeri perut,
serta adanya riwayat keluarga; 2). Gambaran klinik yang sesuai seperti diatas; 3).Data
laboratorium yang menyingkirkan penyebab inflamasi lain, terutama untuk Indonesia, adanya
infeksi gastrointestinalis. Eksklusi penyakit Tuberkulosis sangat penting mengingat gambaran
klinik mirip dengan PC. Tidak ada parameter laboratorium yang spesifik untuk IBD; 4).
Temuan gambaran radiologic yang khas: 6). Pemantauan perjalanan klinik pasien yang
bersifat akut-remisi-eksaserbasi kronik.5

Differential Diagnosis
a. Kolitis infeksi, Merupakan peradangan kolon yang disebabkan oleh Entamoeba
histolytica. Gejala klinis pasien amebiasis sangat bervariasi, mulai dari asimtomatik
sampai berat dengan gejala klinis menyerupai colitis ulseratif. Beberapa gejala yang
tampak adalah seperti nyeri perut ringan, demam ringan, diare ringan dengan tinja berbau
busuk serta bercampur darah dan lender, kram perut, dan berlangsung berbulan-bulan
sampai bertahun-tahun. Diagnosis. Terdapat eritrosit dalam tinja, pemeriksaan kemudian
dilanjutkan dengan pemeriksaan tinja segar yang diberi garam larutan fisiologis,
dilakukan minimal 3 spesimen tinja yang terpisah untuk menemukan adanya bentuk
trofozoid. Colitis amebic sangat perlu dibedakan dengan colitis ulserosa atau colitis
crohn karena pemberian kortikosteroid pada colitis amebic menyebabkan penyebaran
organism dengan cepat dan dapat menimbulkan kematian pasien.1,5
b. Divertikulitis, menimbulkan keluhan nyeri perut bawah(bila lokasinya sigmoid), demam
dan leukositosis, namun ketiga gejala ini tidak spesifik. Inflamasi yang terjadi dapat
bervariasi mulai dari local subklinis hingga peritonitis generalisata. Diverticulitis dapat
mengalami komplikasi segera maupun komplikasi jangka panjang. Komplikasi segera
meliputi pembentukan abses, peritonitis, obstruksi, fistula, dan perdarahan. Infeksi yang
ditimbulkan dapat menyebar secara local atau juga melalui vena porta menimbulkan
abses hati, bahkan bisa mengenai sendi panggul. Pemeriksaan fisik pada penyakit ini
tidak memberi tanda fisik pada fase asimptomatik. Bila ditemukan nyeri rebound pada
palpasi maka ini menunjukan iritasi-inflamasi peritoneal akibat mikroperforasi atau
makroperforasi hingga peritonitis generalisata. Kemungkinan teraba massa bila proses

6
inflamasi menjadi flegmon atau abses. Perforasi terjadi bila tekanan intraluminal
meningkat atau oleh karena divertikel tersumbat oleh feses sehingga terjadi erosi pada
dinding divertikel, yang berlanjut dengan inflamasi, nekrosis fokal, dan berakhir dengan
perforasi.3,5
c. Tuberkulosis Usus, Keluhan umumnya adalah nyeri, gejala konstitusional berupa
demam, berat badan turun, diare dan konstipasi. Nyeri perut dapat berupa kolik bila
terjadi gangguan pada lumen, bisa juga nyeri visceral yang bersifat tumpul dan menetap
bila mengenai kelenjar getah bening mesenterium.1,3,5
Etiologi
Penyebab pasti dari penyakit ini masih belum juga diketahui. Teori tentang apa penyebab
Inflammatory Bowel Disease sangat banyak, tetapi tidak satupun dapat membuktikan secara
benar. Penelitian-penelitian telah dilakukan dan membuktikan adanya kemungkinan lebih
dari satu penyebab dan efek kumulasi dari penyebab tersebut adalah akar dari keadaan
patologis. Penyebabnya meliputi herediter, faktor genetik, faktor lingkungan, atau gangguan
sistem imun.1 Ada tiga pola berbeda :
a. Penyakit kadang-kadang timbul sebagai episode singkat diare ringan tanpa gejala lain
yang tampaknya mereda dengan cepat namun bisa relaps kapan saja.2
b. Biasanya, terdapat riwayat keadaan umum yang tidak baik selama berbulan-bulan atau
bertahun- tahun, dengan diare terus menerus-menerus atau intermiten. Dalam kasus ini
penyakit biasanya terbatas pada rectum dan kolon desenden, dan biasanya disebut
proktokolitis. Gejala umum bisa ringan atau berat. Sering timbul komplikasi sekunder.2
c. Sekitar seperlima datang dengan episode diare berdarah akut berat dengan gejala
konstitusional berupa demam dan toksemia serta rasa tak enak di perut akibat mengkolon
toksik yang bisa berlanjut menjadi perforasi.2
Epidemiologi
Penyakit IBD cenderung mempunyai puncak usia yang terkena pada usia muda (umur
25-30 tahun) dan tidak terdapat perbedaan bermakna antara perempuan dan laki-laki. IBD
cenderung mengenai pada kelompok social tinggi, bukan perokok, pemakai kontrasepsi oral
dan diet rendah serat. Secara umum diperkirakan bahwa proses patogenis IBD diawali oleh
adanya toksin, infeksi, produk bakteri, atau diet intralumen kolen, yang terjadi pada individu
yang rentan dan dipengaruhi oleh factor genetic, defek imun, lingkungan, sehingga terjadi
kaskade proses inflamasi pada dinding usus.3 Pada studi prospektif di beberapa rumah sakit di
Jakarta pada kasus yang dilakukan kolonoskopi atas indikasi diare kronik, hematokezia, dan

7
nyeri perut kronik (total 451 kasus), didapatkan KU sebanyak 5,5 %, PC 2,0 %, dan 2,4 %
indeterminate colitis.
Patofisiologi
Secara umum diperkirakan bahwa proses pathogenesis IBD diawali oleh adanya
infeksi, toksin, produk bakteri atau diet intralumenal kolon, yang terjadi pada individu yang
rentan dan dipengaruhi oleh faktor genetic, defek imun, lingkungan, sehingga terjadi kaskade
proses inflamasi pada dinding usus.7-8
Beberapa factor predisposisi terjadinya IBD adalah :
a. Faktor Genetik
Penderita IBD mempunyai factor predisposisi genetic. Penelitian epidemiologi
menunjukan bahwa 10-20% penderita IBD memiliki riwayat keluarga dengan IBD. Pada
kembar monozigot peluang untuk KU sekitar 6%-17%. Saat ini telah ditemukan
beberapa kelainan kromosom yang berhubungan dengan IBD. Kromosom 16 (gen IBDI)
atau gen CARD15 berhubungan dengan PC. Perinuklear antineutrophil antibody
ditemukan 70% penderita KU.7-8
b. Faktor lingkungan
Beberapa agen infeksius diduga sebagai penyebab IBD. Tetapi sampai saat ini belum ada
data mengenai factor transmisi secara epidemic dan indeksius pada IBD. Factor
lingkungan lain yang juga diduga pencetus IBD adalah stress psikososial, factor makanan
seperti pajanan susu sapi, asupan serat kurang, dan zat toksin lingkungan.7-8
c. Faktor imunologi
Pada IBD, setelah pajanan primer oleh antigen, system kekebalan akan mengalami
kelainan regulasi yang bersifat menetap dan mengakibatkan proses inflamasi. Sel Th 1
dan sitokin yang dihasilkan akan merangsang aktivasi makrofag dan pembentukan
granuloma, yang merupakan gambaran histology pada PC. Sebaliknya Th2 menghasilkan
IL-4,IL-5,IL-6, dan IL-10, akan merangsang antibody-mediated immune respons. Hal ini
akan mengakibatkan kerusakan jaringan oleh aktifasi antibody dan komplemen sering
ditemukan pada KU.7-8

d. Integritas Epitel
Kelainan barier epitel mukosa menyebabkan peningkatan pajanan antigen terhadap
system kekebalan usus. Ini di duga menjadi factor inisial pada IBD.7-8

Manifestasi Klinik

8
Diare kronik yang disertai atau tanpa darah dan nyeri perut merupakan manidestasi
klinis IBD yang paling umum dengan beberapa manifestasi ekstra intestinal seperti arthritis,
uveitis, pioderma gangrenosum, eritema nodosum, dan kolangitis. Di samping itu tentunya
disertai dengan gambaran keadaan sistemik yang timbul sebagai dampak keadaan patologis
yang ada seperti gangguan nutrisi. Gtambaran klinis KU relative lebis seragam dibandingkan
gambaran klinis pada PC. Hal ini disebabkan distribusi anatomic saluran cerna yang terlibat
pada KU adalah kolon, sedangkan pada PC lebih bervariasi yaitu dapat melibatkan atau
terjadi pada semua segmen saluran cerna, mulai dari mulut sampai anorektal.3,7 Lihat tabel 2.
Pada IBD ada manifestasi klinis ekstraintestinal, antara lain3,7:
a. Tulang : arthritis perifer, ankylosing spondilitis dan sakrolitis.
b. Kulit : eritema nodusum, pioderma gangrenosum, kutaneus penyakit crohn.
c. Mata : episkleritis, iritis, uveitis.
d. Hati : fatty liver, perikolangitis, kolangiokarsinoma, hepatitis kronik.
e. Lainnya: autoimun hemolitik, flebitis, emboli paru.

Tabel 1. Gambaran Klinis IBD3

Colitis Ulseratif Penyakit Chorn


Gejala dan tanda :
o Diare kronik ++ ++
o Perdarahan per anum ++ +
o Nyeri perut + ++

o Adanya massa intraabdomen 0 ++


+/- ++
o Terjadinya fistula
+ ++
o Timbul striktur/stenosis usus
+/- ++
o Keterlibatan usus halus
95% 50%
o Keterlibatan rectum
+ +
o Menifestasi ekstraintestinal
+ +/-
o Komplikasi megakolon toksik
Patologi :
o Lesi bersifat segmental 0 ++
o Bersifat transmural +/- ++
o Didapatkan granuloma 0 50%

o Terjadi proses fibrosis + ++

9
o Terjadi fistula +/- ++

Ket : (++) Sering, (+) Kadang-Kandang, (+/-) Jarang, (0) Tidak

Komplikasi
Dalam perjalanan penyakit ini dapat terjadi komplikasi, yaitu perforasi usus, stenosis usus
akibat terjadinya proses fibrosis, megakolon toksik (terutama terjadi pada colitis ulseratif),
perdarahan, degenerasi malignan, dan ada kemungkinan sekitar 13 % Inflammatory Bowel
Disease berkembang menjadi kanker.3

Penatalaksanaan
Mengingat bahwa etiologi dan patogenesis dari Inflammatory Bowel Disease masih
belum jelas, maka pengobatan lebih ditekankan pada upaya untuk menghambat terjadinya
kaskade proses inflamasi.3

Medikamentosa
Medikamentosa lini pertama adalah penggunaan sulfasalzin dari golongan 5-
aminosalisilat. Preparat sulfasalazin ini akan di pecah menjadi sulfapirin dan 5 amino saliclic
acid (5-ASA). Telah diketahui bahwa yang bekerja sebagai anti-inflamasi pada IBD adalah 5-
ASA. Dosis yang umum digunakan adalah 2-4 gram/hari.3,9
Penggunaan kortikosteroid, Sampai saat ini glukokortikoid merupakan oba pilihan
untuk PC (semua derajat) dan KU derajat sedang berat. Pada umumnya pilihan jatuh pada
prednisone, metilprednisolon (keduanya bentuk oral) atau hidrokortison enema. Pada keadaan
berat dapat diberikan secara parenteral. Untuk memperoleh tujuan konsentrasi yang tinggi di
dinding usus degan efek sistemik dan efek samping yang rendah, saat ini sudah
dikembangkan obat glukokortikoid nonsistemik dalam pengobatan Inflammatory Bowel
Disease. Dalam hal ini dapat dipakai obat budesonide dengan dosis rata-rata banyak
digunakan adalah 40-60 mg setara dengan dosis prednison.3,9

Bila dengan 5-ASA dan glukokortikoid gagal dicapai remisi, alternative lain adalah
penggunaan obat imunosupresif seperti 6-merkaptopurin (1,5 mg/KgBB/hari/oral),
azatioprin, siklosporin, dan metotreksat.3,9
Penggunaan loperamid, bekerja pada lapisan otot intestinal untuk menghambat
peristaltic usus dan menurunkan motilitas usus halus. Memperpanjang waktu paruh elektrolit

10
dan cairan sampai ke usus, meingkatkan viskositas cairan dan menurunkan kehilangan cairan
dan elektrolit.3
Dewasa :
Dosis Awal : 4 mg PO
Maintenance : 2 mg PO, tidak lebih 16 mg/d
Anak :
<2 tahun : Tidak dianjurkan
2-6 tahun : 1 mg PO
6-8 tahun : 2 mg PO
8-12 tahun : 2 mg PO
>12 tahun : Diberikan dosis dewasa dengan Chronic diarrhea: 0.08-0.24 mg/kg/hari

Non medikamentosa
Indikasi terapi bedah biasanya dilakukan bila terjadi komplikasi yang berat atau pengobatan
secara konservatif gagal. Mengistirahatkan kerja usus, dan mengatur pola diet.3,9

Prognosis
Pada dasarnya, penyakit IBD merupakan penyakit yang bersifat remisi dan
eksaserbasi. Cukup banyak dilaporkan adanya remisi yang bersifat spontan dan dalam jangka
waktu lama. Prognosis banyak dipengaruhi oleh ada tidaknya komplikasi atau tingkat respon
terhadap pengobatan konservatif.3

Kesimpulan
Inflammatory Bowel Disease (IBD) adalah penyakit inflamasi yang melibatkan saluran cerna
dengan penyebab pastinya sampai saat ini belum diketahui jelas. Diare kronik yang disertai
atau tanpa darah dan nyeri perut merupakan manifestasi klinis IBD yang paling umum
dengan beberapa manifestasi ekstra intestinal seperti arthritis , uveitis, pioderma
gangrenosum. Disamping itu tentunya disertai dengan gambaran keadaan sistemik yang
timbul sebagai dampak keadaan patologis yang ada seperti gangguan nutrisi.

Daftar Pustaka
1. Aru W Sudoyo, Bambang S, Idrus A. Buku ajar ilmu penyakit dalam. Edisi ke-5.
Jakarta: Internapublishing; 2009: h. 534-40, 591-97.
2. Djojoningrat D. Ilmu penyakit dalam. Jilid I. Edisi ke-5. Jakarta: Internal publishing;
2009: h.560 – 66, 591-7.

11
3. Djojoningrat D. Inflammatory bowel disease: Alur diagnosis dan pengobatannya di
Indonesia. Dalam : Sudoyo A W, Setioyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S. Buku
ajar ilmu penyakit dalam. Jilid 1. Edisi ke-5 Jakarta: Pusat Penerbit Ilmu Penyakit Dalam
FKUI; 2011: h.591-7.
4. Eastman GW, Wald C, Crossin J. Getiing started in clinical radiology from image to
diagnosis. Germany: Thieme; 2006: p. 197-8.
5. Keshav S. Ulcerative colitis and crohn’s disease. In: Keshav S, editor. The
gastrointestinal system at a glance. USA: A Blackwell Publishing company; 2004: p 78-
9.
6. Rubenstein D, Wayne D, Bradley J. Kedokteran klinis. Edisi ke-6. Jakarta: Penerbit
Erlangga; 2005: h.257.
7. Ndraha S. Penyakit inflamasi kolon. Dalam : Bahan Ajar Gastroenterohepatologi. Edisi
ke-1. Jakarta: Biro Publikasi Fakultas Kedokteran UKRIDA; 2013: h.59-67.
8. Guyton AC, Hall JE. Fisiologi gastrointestinal.Buku Ajar Fisiologi Kedokterran. Edisi
ke-11. Jakarta:EGC; 2007: h.829, 48, 58.
9. Kurnia Y, Arif Azalia, Rumawas M dkk. Buku ajar farmakoterapi gangguan saluran
cerna, hati pancreas dan empedu. h.20 – 3.

12

Anda mungkin juga menyukai