Disusun Oleh :
Pembimbing :
dr. Tagor Sibarani
Kepaniteraan Klinik
Rehabilitasi Medik dan Emergency Medicine
Fakultas Kedokteran UPR - RSUD dr. Doris Sylvanus
Palangka Raya
2021
LEMBAR PENGESAHAN
PENELITIAN
GAMBARAN KEGAWATDARURATAN PADA PASIEN COVID-19
DI RSUD dr. DORIS SYLVANUS PALANGKA RAYA PERIODE
28 DESEMBER 2020 – 24 JANUARI 2021
Oleh:
Ratuti Yetsi Bianca, S. Ked
Luth Lolly Rahim A.S, S. Ked
Nova Wulandari Palupi, S. Ked
Rera Richard Rabi Mewo, S. Ked
Adams Sophiano, S. Ked
Dwi Anggraini A. Firmanti, S. Ked
Sonia Karolina Agatha, S. Ked
Dharma Yuda, S. Ked
Wahyu Setiawan, S. Ked
Telah disetujui:
Palangka Raya, Januari 2021
Pembimbing Materi,
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas rahmat dan
hidayah-Nya saya dapat menyelesaikan penelitian dengan judul “Gambaran
Kegawatdaruratan Pada Pasien Covid-19 Di RSUD dr. Doris Sylvanus Palangka
Raya Periode 28 Desember 2020 – 24 Januari 2021”. Penulis berharap semoga
penelitian ini dapat dijadikan sebagai acuan, serta menambah wawasan bagi
pembaca.
Penulisan penelitian ini bertujuan untuk memenuhi sebagian syarat
mengikuti ujian akhir stase bagi mahasiswa Kepaniteraan Klinik SMF Emergency
& Rehabilitasi Medik Fakultas Kedokteran Universitas Palangka Raya. Penulis
menyadari bahwa penelitian ini masih jauh dari kesempurnaan, oleh sebab itu
penulis harapkan kritik dan saran yang bersifat membangun dari semua pihak
demi kesempurnaan penelitian ini dan kemajuan penulis dalam kegiatan
selanjutnya.
Selesainya penelitian ini tidak terlepas dari bantuan berbagai pihak,
sehingga pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-
besarnya kepada semua pihak yang telah memberikan bantuan moril maupun
materil secara langsung maupun tidak langsung kepada penulis dalam penyusunan
penelitian ini hingga selesai. Tidak lupa penyusun juga mengucapkan terima kasih
yang sebanyak-banyaknya pula kepada pembimbing materi penelitian
penulis, yaitu yang terhormat dr. Tagor Sibarani yang dengan sabar dan tekun
dalam membimbing penulis untuk penyusunan penelitian yang mengambil judul
“Gambaran Kegawatdaruratan Pada Pasien Covid-19 Di RSUD dr. Doris
Sylvanus Palangka Raya Periode 28 Desember 2020 – 24 Januari 2021” .
Demikian yang dapat penulis sampaikan. Kiranya penelitian ini dapat
berguna dan membantu generasi dokter-dokter muda selanjutnya maupun
mahasiswa-mahasiswi jurusan kesehatan lain yang sedang dalam menempuh
pendidikan, penelitian ini berguna sebagai penelitian dan sumber bacaan untuk
menambah ilmu pengetahuan.
Palangka Raya, Januari 2021
Penulis
iii
DAFTAR ISI
COVER............................................................................................................i
LEMBAR PENGESAHAN............................................................................ii
KATA PENGANTAR....................................................................................iii
DAFTAR ISI...................................................................................................iv
BAB I PENDAHULUAN...........................................................................6
1.1. Latar Belakang.....................................................................6
1.2. Rumusan Masalah................................................................8
1.3. Tujuan Penelitian..................................................................8
1.3.1. Tujuan Umum.......................................................................8
1.3.2. Tujuan Khusus......................................................................8
1.4. Manfaat Penelitian................................................................9
1.4.1. Manfaat Ilmiah.....................................................................9
1.4.2. Manfaat Praktis.....................................................................10
BAB II TINJAUAN PUSTAKA.................................................................11
2.1. Definisi.................................................................................11
2.2. Epidemiologi........................................................................11
2.3. Etiologi.................................................................................15
2.4. Penularan..............................................................................17
2.5. Faktor Risiko........................................................................20
2.6. Manifestasi Klinis.................................................................21
2.7. Diagnosis..............................................................................41
2.8. Tatalaksana...........................................................................52
BAB III METODE PENELITIAN..............................................................61
3.1. Jenis dan Rancangan Penelitian...........................................61
3.2. Populasi Penelitian...............................................................61
3.2.1. Populasi Target.....................................................................61
3.2.2. Populasi Terjangkau.............................................................61
3.3. Sampel dan Teknik Pengambilan Sampel............................61
3.4. Estimasi Besar Sampel.........................................................61
3.5. Kriteria Pemilihan (Inklusi dan Eksklusi)............................61
iv
3.5.1. Kriteria Inklusi.....................................................................61
3.5.2. Kriteria Eksklusi...................................................................62
3.6. Instrumen Penelitian.............................................................62
3.7. Prosedur Pengumpulan Data................................................62
3.8. Cara Pengolahan Data dan Teknik Analisis Data................63
3.8.1. Cara Pengolahan Data..........................................................63
3.8.2. Analisis Data........................................................................63
3.9. Alur Penelitian......................................................................64
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN......................................................65
4.1. Hasil Pengumpulan Sampel Data.........................................65
4.2. Pembahasan..........................................................................83
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN......................................................104
5.1. Kesimpulan...........................................................................104
5.2. Saran.....................................................................................104
DAFTAR PUSTAKA......................................................................................105
v
BAB I
PENDAHULUAN
6
Sebagian besar pasien yang terinfeksi SARS-CoV-2 menunjukkan gejala-
gejala pada sistem pernapasan seperti demam, batuk, bersin, dan sesak napas.
Pasien COVID-19 dengan pneumonia berat ditandai dengan demam, ditambah
salah satu dari gejala: (1) frekuensi pernapasan >30x/menit (2) distres pernapasan
berat, atau (3) saturasi oksigen 93% tanpa bantuan oksigen. Perjalanan penyakit
dimulai dengan masa inkubasi yang lamanya sekitar 3-14 hari (median 5 hari).
Pada masa ini leukosit dan limfosit masih normal atau sedikit menurun dan pasien
tidak bergejala. Pada fase berikutnya (gejala awal), virus menyebar melalui aliran
darah, diduga terutama pada jaringan yang mengekspresi ACE2 seperti paru-paru,
saluran cerna dan jantung. Gejala pada fase ini umumnya ringan. Serangan kedua
terjadi empat hingga tujuh hari setelah timbul gejala awal. Pada saat ini pasien
masih demam dan mulai sesak, lesi di paru memburuk, limfosit menurun. Penanda
inflamasi mulai meningkat dan mulai terjadi hiperkoagulasi. Jika tidak teratasi,
fase selanjutnya inflamasi makin tak terkontrol, terjadi badai sitokin yang
mengakibatkan ARDS, sepsis, dan komplikasi lainnya.3
Saat ini belum tersedia rekomendasi tata laksana khusus pasien COVID-
19, termasuk antivirus atau vaksin. Tata laksana yang dapat dilakukan adalah
terapi simtomatik dan oksigen. Pada pasien gagal napas dapat dilakukan ventilasi
mekanik.3 Median waktu onset gejala sampai masuk intensive care unit (ICU)
adalah 9 - 10 hari dengan penyebab utama ARDS. Tatalaksana pasien kritis
COVID-19 memiliki prinsip penanganan yang sama dengan ARDS pada
umumnya. Saat melakukan ventilasi mekanik invasif, Strategi ventilasi yang
direkomendasikan Society of Critical Care Medicine pada Surviving Sepsis
Campaign. Ventilasi mekanik noninvasif dapat dipertimbangkan jika didukung
dengan sistem fasilitas kesehatan yang dapat memastikan tidak terjadi penyebaran
secara luas dari udara ekshalasi pasien. Teknik ini dapat digunakan pada pasien
derajat tidak berat dan patut dipertimbangkan mengganti ke ventilasi mekanik
noninvasif jika tidak terdapat perbaikan.3
7
1.2. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian dalam latar belakang masalah di atas, dapat
dirumuskan pertanyaan penelitian yaitu bagaimana gambaran angka kejadian
COVID-19 di RSUD dr. Doris Sylvanus Palangka Raya pada periode Desember
2020 - Januari 2021?
8
1.4. Manfaat Penelitian
1.4.1. Manfaat Ilmiah
1. Penelitian ini dapat dijadikan referensi untuk penelitian lebih lanjut
khususnya tentang kejadian COVID-19 di RSUD dr. Doris Sylvanus
Palangka Raya.
2. Menyediakan data mengenai gambaran angka kejadian COVID-19 di
RSUD dr. Doris Sylvanus Palangka Raya pada periode Desember
2020 - Januari 2021.
3. Menyediakan data mengenai jumlah kasus konfirmasi COVID-19 di
RSUD dr. Doris Sylvanus Palangka Raya pada periode Desember
2020 - Januari 2021.
4. Menyediakan data mengenai jumlah kasus konfirmasi COVID-19
yang disertai kegawatdaruratan di RSUD dr. Doris Sylvanus Palangka
Raya pada periode Desember 2020 - Januari 2021.
5. Menyediakan data mengenai jumlah kasus konfirmasi COVID-19
yang disertai kegawatdaruratan yang dapat ditangani di RSUD dr.
Doris Sylvanus Palangka Raya pada periode Desember 2020 - Januari
2021.
6. Menyediakan data mengenai jumlah kasus konfirmasi COVID-19
yang disertai kegawatdaruratan yang tidak dapat ditangani
(meninggal) di RSUD dr. Doris Sylvanus Palangka Raya pada periode
Desember 2020 - Januari 2021.
9
1.4.2. Manfaat Praktis
1. Penelitian ini dapat menjadi informasi bagi instansi terkait kejadian
COVID-19 di RSUD dr. Doris Sylvanus Palangka Raya pada periode
Desember 2020 - Januari 2021.
2. Penelitian ini dapat menjadi informasi bagi masyarakat tentang tanda
dan gejala kegawatdaruratan pada COVID-19 yang harus segera
ditangani.
3. Penelitian ini diharapkan dapat mengurangi kejadian kematian pada
kasus COVID-19 disertai kegawatdaruratan khususnya di kota
Palangka Raya dengan melihat tanda dan gejala kegawatdaruratan dan
penanganan segera.
10
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Definisi
Coronavirus Disease 2019 (COVID-19) adalah penyakit menular yang
disebabkan oleh Severe Acute Respiratory Syndrome Coronavirus 2 (SARS-CoV-
2). SARS-CoV-2 merupakan coronavirus jenis baru yang belum pernah
diidentifikasi sebelumnya pada manusia. Ada setidaknya dua jenis coronavirus
yang diketahui menyebabkan penyakit yang dapat menimbulkan gejala berat
seperti Middle East Respiratory Syndrome (MERS) dan Severe Acute Respiratory
Syndrome (SARS).1
Menurut PERMENKES tahun 2018 tentang pelayanan kegawatdaruratan
definisi kegawatdaruratan adalah keadaan klinis yang membutuhkan tindakan
medis segera untuk penyelamatan nyawa dan pencegahan kecacatan.4
Pasien dengan gawat darurat merupakan keadaan yang mengancam nyawa
jika tidak segera dilakukan intervensi dengan kriteria pasien dengan gangguan
airway, breathing, circulation.5 Kegawatdaruratan dalam Covid-19 harus
dilakukan tindakan segera yang dilakukan dengan cara melakukan
pengklasifikasian kegawatdaruratan pasien yang terdiri dari 3 klasifikasi yaitu
kasus moderatte ditandai dengan gejala pneumonia ringan namun disertai penyakit
berat lainya sehingga terjadi kegagalan pernafasan multifaktorial, kasus berat
disertai dengan gejala pneumonia berat dan kasus kritis ditandai dengan gejala
pneumonia berat disertai gagal nafas. Pada Covid-19 yang ditandai dengan gejala
pneumonia berat seperti demam atau dalam pengawasan infeksi saluran
napas/pneumonia, ditambah satu dari: RR > 30 x/menit, distress pernapasan berat,
atau saturasi oksigen (SpO2) <93% pada udara kamar atau rasio PaO2/FiO2 <
300.5
2.2. Epidemiologi
Coronavirus Disease 2019 (COVID-19) merupakan penyakit menular yang
disebabkan oleh Coronavirus jenis baru. Penyakit ini diawali dengan munculnya
kasus pneumonia yang tidak diketahui etiologinya di Wuhan, China pada akhir
Desember 2019 (Li et al, 2020). Berdasarkan hasil penyelidikan epidemiologi,
11
kasus tersebut diduga berhubungan dengan Pasar Seafood di Wuhan. Pada tanggal
7 Januari 2020, Pemerintah China kemudian mengumumkan bahwa penyebab
kasus tersebut adalah Coronavirus jenis baru yang kemudian diberi nama SARS-
CoV-2 (Severe Acute Respiratory Syndrome Coronavirus 2). Virus ini berasal
dari famili yang sama dengan virus penyebab SARS dan MERS. Meskipun
berasal dari famili yang sama, namun SARS-CoV-2 lebih menular dibandingkan
dengan SARS-CoV dan MERS-CoV (CDC China, 2020). Proses penularan yang
cepat membuat WHO menetapkan COVID-19 sebagai KKMMD/PHEIC pada
tanggal 30 Januari 2020. Angka kematian kasar bervariasi tergantung negara dan
tergantung pada populasi yang terpengaruh, perkembangan wabahnya di suatu
negara, dan ketersediaan pemeriksaan laboratorium.1
Thailand merupakan negara pertama di luar China yang melaporkan
adanya kasus COVID-19. Setelah Thailand, negara berikutnya yang melaporkan
kasus pertama COVID-19 adalah Jepang dan Korea Selatan yang kemudian
berkembang ke negara-negara lain. Sampai dengan tanggal 30 Juni 2020, WHO
melaporkan 10.185.374 kasus konfirmasi dengan 503.862 kematian di seluruh
dunia (CFR 4,9%). Negara yang paling banyak melaporkan kasus konfirmasi
adalah Amerika Serikat, Brazil, Rusia, India, dan United Kingdom. Sementara,
negara dengan angka kematian paling tinggi adalah Amerika Serikat, United
Kingdom, Italia, Perancis, dan Spanyol. Peta sebaran COVID19 di dunia dapat
dilihat pada Gambar 2.1.1
12
13
Gambar 2.1. Peta Sebaran COVID-191
Gambar 2.2 Distribusi jumlah kasus kumulatif konfirmasi COVID-19 di
Indonesia di seluruh provinsi yang dilaporkan antara tanggal 5
hingga 11 September 20206
Gambar 2.3 Jumlah kasus per hari dan jumlah kumulatif kasus yang dilaporkan
di Indonesia, pada tanggal 11 September 20206
14
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh CDC China, diketahui bahwa
kasus paling banyak terjadi pada pria (51,4%) dan terjadi pada usia 30-79 tahun
dan paling sedikit terjadi pada usia <10 tahun (1%). Sebanyak 81% kasus
merupakan kasus yang ringan, 14% parah, dan 5% kritis (Wu Z dan McGoogan
JM, 2020). Orang dengan usia lanjut atau yang memiliki penyakit bawaan
diketahui lebih berisiko untuk mengalami penyakit yang lebih parah. Usia lanjut
juga diduga berhubungan dengan tingkat kematian. CDC China melaporkan
bahwa CFR pada pasien dengan usia ≥ 80 tahun adalah 14,8%, sementara CFR
keseluruhan hanya 2,3%. Hal yang sama juga ditemukan pada penelitian di Italia,
di mana CFR pada usia ≥ 80 tahun adalah 20,2%, sementara CFR keseluruhan
adalah 7,2% (Onder G, Rezza G, Brusaferro S, 2020). Tingkat kematian juga
dipengaruhi oleh adanya penyakit bawaan pada pasien. Tingkat 10,5% ditemukan
pada pasien dengan penyakit kardiovaskular, 7,3% pada pasien dengan diabetes,
6,3% pada pasien dengan penyakit pernapasan kronis, 6% pada pasien dengan
hipertensi, dan 5,6% pada pasien dengan kanker.1
2.3. Etiologi
Penyebab COVID-19 adalah virus yang tergolong dalam family
coronavirus. Coronavirus merupakan virus RNA strain tunggal positif, berkapsul
dan tidak bersegmen. Terdapat 4 struktur protein utama pada Coronavirus yaitu:
protein N (nukleokapsid), glikoprotein M (membran), glikoprotein spike S
(spike), protein E bersegmen. Terdapat 4 struktur protein utama pada Coronavirus
yaitu: protein N (nukleokapsid), glikoprotein M (membran), glikoprotein spike S
(spike), protein E bersegmen. Terdapat 4 struktur protein utama pada Coronavirus
yaitu: protein N (nukleokapsid), glikoprotein M (membran), glikoprotein spike S
(spike), protein E (selubung). Coronavirus tergolong ordo Nidovirales, keluarga
Coronaviridae.
15
Coronavirus ini dapat menyebabkan penyakit pada hewan atau manusia. Terdapat
4 genus yaitu alphacoronavirus, betacoronavirus, gammacoronavirus, dan
deltacoronavirus. Sebelum adanya COVID-19, ada 6 jenis coronavirus yang dapat
16
COV-2 sensitif terhadap sinar ultraviolet dan panas. Efektif dapat dinonaktifkan
dengan pelarut lemak (lipid solvents) seperti eter, etanol 75%, ethanol, disinfektan
yang mengandung klorin, asam peroksiasetat, dan khloroform (kecuali
khlorheksidin).1
2.4 Penularan7
Virus corona merupakan zoonosis, sehingga terdapat kemungkinkan virus
berasal dari hewan dan ditularkan ke manusia. Pada COVID-19 belum
diketahui dengan pasti proses penularan dari hewan ke manusia, tetapi data
filogenetik memungkinkan COVID-19 juga merupakan zoonosis. Perkembangan
data selanjutnya menunjukkan penularan antar manusia (human to human),
yaitu diprediksi melalui droplet dan kontak dengan virus yang dikeluarkan
dalam droplet.
Menurut WHO pada Maret 2020 secara singkat menjabarkan kemungkinan-
kemungkinan moda transmisi SARS-CoV-2, termasuk transmisi kontak,
droplet(percikan),melalui udara (airborne),fomit, fekal-oral, melalui darah, ibu ke
anak, dan binatang ke manusia. Infeksi SARS-CoV-2 umumnya menyebabkan
penyakit pernapasan ringan hingga berat dan kematian, sedangkan sebagian orang
yang terinfeksi virus ini tidak pernah menunjukkan gejala.
17
Transmisi SARS-CoV-2 dapat terjadi melalui kontak langsung, kontak tidak
langsung, atau kontak erat dengan orang yang terinfeksi melalui sekresi seperti
air liur dan sekresi saluran pernapasan atau droplet saluran napas yang keluar
saat orang yang terinfeksi batuk, bersin, berbicara, atau menyanyi. Droplet
saluran napas memiliki ukuran diameter > 5-10 μm sedangkan droplet yang
berukuran diameter ≤ 5 μm disebut sebagai droplet nuclei atau aerosol. Transmisi
droplet saluran napas dapat terjadi ketika seseorang melakukan kontak erat
(berada dalam jarak 1 meter) dengan orang terinfeksi yang mengalami gejala-
gejala pernapasan (seperti batuk atau bersin) atau yang sedang berbicara atau
menyanyi; dalam keadaan-keadaan ini, droplet saluran napas yang mengandung
virus dapat mencapai mulut, hidung, mata orang yang rentan dan dapat
menimbulkan infeksi. Transmisi kontak tidak langsung di mana terjadi kontak
antara inang yang rentan dengan benda atau permukaan yang terkontaminasi
(transmisi fomit) juga dapat terjadi (dibahas di bawah).
c. Transmisi Fomit
18
Sekresi saluran pernapasan atau droplet yang dikeluarkan oleh orang yang
terinfeksi dapat mengontaminasi permukaan dan benda, sehingga terbentuk fomit
(permukaan yang terkontaminasi). Virus dan/atau SARS-CoV-2 yang hidup dan
terdeteksi melalui RT-PCR dapat ditemui di permukaan-permukaan tersebut
selama berjam-jam hingga berhari-hari, tergantung lingkungan sekitarnya
(termasuk suhu dan kelembapan) dan jenis permukaan. Konsentrasi virus
dan/atau RNA ini lebih tinggi di fasilitas pelayanan kesehatan di mana pasien
COVID-19 diobati. Karena itu, transmisi juga dapat terjadi secara tidak langsung
melalui lingkungan sekitar atau benda-benda yang terkontaminasi virus dari
orang yang terinfeksi (misalnya, stetoskop atau termometer), yang dilanjutkan
dengan sentuhan padamulut, hidung, atau mata.
d. Transmisi Lain
Bukti sampai saat ini menunjukkan bahwa SARS-CoV-2 paling mirip
dengan betacoronavirus pada kelelawar yang diketahui; peran inang perantara
dalam memfasilitasi transmisi pada kasus-kasus manusia paling awal yang
diketahui masih belum jelas. Kelelawar Rhinolophus juga ditemukan memiliki
antibodi anti-SARS-CoV yang menunjukkan kelelawar sebagai sumber replikasi
virus. Dalam sebuah studi baru-baru ini, MERS-coronavirus juga terdeteksi pada
kelelawar Pipistrellus dan Perimyotis, yang menyatakan bahwa kelelawar adalah
inang utama dan media penularan virus (Gambar 2.1).
Selain penelitian tentang kemungkinan inang perantara SARS-CoV-2,
sejumlah penelitian sedang dilakukan untuk lebih memahami kerentanan
mamalia, termasuk anjing, kucing, dan cerpelai ternak. Namun, masih belum
jelas apakah mamalia-mamalia ini jika terinfeksi memberikan risiko transmisi ke
manusia yang signifikan.
19
Gambar 2.1 Reservoir utama dan cara penularan virus corona (dugaan reservoir SARS-
CoV-2 dilingkari merah); hanya a dan b virus corona yang memiliki kemampuan untuk
menginfeksi manusia, konsumsi hewan yang tertular sebagai sumber makanan merupakan
penyebab utama penularan virus dari hewan ke manusia dan karena kontak dekat dengan
orang yang terinfeksi, virus selanjutnya ditularkan ke orang yang sehat. 8
20
pasien COVID-19 yang memiliki komorbid, 10 pasien di antaranya adalah dengan
kanker dan 23 pasien dengan hepatitis B.
Infeksi saluran napas akut yang menyerang pasien HIV umumnya
memiliki risiko mortalitas yang lebih besar dibanding pasien yang tidak HIV.
Namun, hingga saat ini belum ada studi yang mengaitkan HIV dengan infeksi
SARS-CoV-2. Hubungan infeksi SARS-CoV-2 dengan hipersensitivitas dan
penyakit autoimun juga belum dilaporkan. Belum ada studi yang menghubungkan
riwayat penyakit asma dengan kemungkinan terinfeksi SARS-CoV-2. Namun,
studi meta-analisis yang dilakukan oleh Yang, dkk. menunjukkan bahwa pasien
COVID-19 dengan riwayat penyakit sistem respirasi akan cenderung memiliki
manifestasi klinis yang lebih parah.
Beberapa faktor risiko lain yang ditetapkan oleh Centers for Disease
Control and Prevention (CDC) adalah kontak erat, termasuk tinggal satu rumah
dengan pasien COVID-19 dan riwayat perjalanan ke area terjangkit. Berada dalam
satu lingkungan namun tidak kontak dekat (dalam radius 2 meter) dianggap
sebagai risiko rendah. Tenaga medis merupakan salah satu populasi yang berisiko
tinggi tertular. Di Italia, sekitar 9% kasus COVID-19 adalah tenaga medis. Di
China, lebih dari 3.300 tenaga medis juga terinfeksi, dengan mortalitas sebesar
0,6%.
21
kasus pasien juga mengeluhkan diare dan muntah seperti terlihat pada Tabel 2.1.
Pasien COVID-19 dengan pneumonia berat ditandai dengan demam, ditambah
salah satu dari gejala: (1) frekuensi pernapasan >30x/menit (2) distres pernapasan
berat, atau (3) saturasi oksigen 93% tanpa bantuan oksigen. Pada pasien geriatri
dapat muncul gejala-gejala yang atipikal.
22
Perjalanan penyakit dimulai dengan masa inkubasi yang lamanya sekitar 3-
14 hari (median 5 hari). Pada masa ini leukosit dan limfosit masih normal atau
sedikit menurun dan pasien tidak bergejala. Pada fase berikutnya (gejala awal),
virus menyebar melalui aliran darah, diduga terutama pada jaringan yang
mengekspresi ACE2 seperti paru-paru, saluran cerna dan jantung. Gejala pada
fase ini umumnya ringan. Serangan kedua terjadi empat hingga tujuh hari
setelah timbul gejala awal. Pada saat ini pasien masih demam dan mulai sesak,
lesi di paru memburuk, limfosit menurun. Penanda inflamasi mulai
meningkat dan mulai terjadi hiperkoagulasi. Jika tidak teratasi, fase selanjutnya
inflamasi makin tak terkontrol, terjadi badai sitokin yang mengakibatkan ARDS,
sepsis, dan komplikasi lainnya (Gambar 2.2). Gambar 2.3 menunjukkan
perjalanan penyakit pada pasien COVID-19 yang berat dan onset terjadinya gejala
dari beberapa laporan.
23
Berdasarkan beratnya kasus, COVID-19 dibedakan menjadi tanpa gejala,
ringan, sedang, berat dan kritis.10
a. Tanpa Gejala
Kondisi ini merupakan kondisi paling ringan. Pasien tidakditemukan
gejala.
b. Ringan
Pasien dengan gejala tanpa ada bukti pneumonia virus atau
tanpahipoksia. Gejala yang muncul seperti demam, batuk,
fatigue,anoreksia, napas pendek, mialgia. Gejala tidak spesifik lainnya
seperti sakit tenggorokan, kongesti hidung, sakit kepala, diare,mual dan
muntah, hilang pembau (anosmia) atau hilang perasa (ageusia) yang
muncul sebelum onset gejala pernapasan jugasering dilaporkan. Pasien
usia tua dan immunocompromised gejala atipikal seperti fatigue,
penurunan kesadaran, mobilitas menurun, diare, hilang nafsu makan,
delirium, dan tidak ada demam.
c. Sedang/Moderat
Pada pasien remaja atau dewasa : pasien dengan tanda klinis pneumonia
(demam, batuk, sesak, napas cepat) tetapi tidak ada tanda pneumonia
berat termasuk SpO2> 93% dengan udara ruangan ATAU
Anak-anak : pasien dengan tanda klinis pneumonia tidak berat (batuk
atau sulit bernapas + napas cepatdan/atau tarikan dinding dada) dan
tidak ada tanda pneumonia berat).
Kriteria napas cepat : usia <2 bulan, ≥60x/menit; usia 2–11
bulan,≥50x/menit ; usia 1–5 tahun, ≥40x/menit ; usia >5
tahun,≥30x/menit.
d. Berat/Pneumonia Berat
Pada pasien remaja atau dewasa : pasien dengan tanda klinis pneumonia
(demam, batuk, sesak, napas cepat) ditambah satudari: frekuensi napas >
30 x/menit, distres pernapasan berat, atauSpO2 < 93% pada udara
ruangan.
ATAU
24
Pada pasien anak : pasien dengan tanda klinis pneumonia (batuk atau
kesulitan bernapas), ditambah setidaknya satu dari berikut ini:
- sianosis sentral atau SpO2<93% ;
- distres pernapasan berat (seperti napas cepat, grunting, tarikan
dinding dada yang sangat berat);
- tanda bahaya umum : ketidakmampuan menyusui atau minum,
letargi atau penurunan kesadaran, atau kejang.
- Napas cepat/tarikan dinding dada/takipnea : usia <2
bulan,≥60x/menit; usia 2–11 bulan, ≥50x/menit; usia 1–5
tahun,≥40x/menit; usia >5 tahun, ≥30x/menit.
e. Kritis
Pasien dengan Acute Respiratory Distress Syndrome (ARDS),sepsis dan
syok sepsis.
25
bersamaan dengan gejala-gejala COVID-19
Pneumonia Pasien dewasa terjangkit pneumonia tanpa tanda-tanda
pneumonia berat dan tidak memerlukan oksigen
tambahan.
Pasien anak terjangkit pneumonia tidak berat yang batuk
atau kesulitan bernapas + napas pendek: napas pendek
(hitungan napas/menit): < 2 bulan: ≥ 60; 2-11 bulan: ≥ 50;
1-5 tahun: ≥ 40 tanpa tanda pneumonia berat
Pnemonia Berat Pasien anak atau dewasa: demam atau diduga
pneumonia berat, ditambah satu dari yang berikut:
frekuensi napas > 30 napas/menit; gawat pernapasan; atau
saturasi oksigen (SpO2) ≤ 93% pada udara kamar.
26
PEEP ≥ 5 cmH2O, atau tidak diventilasi)
- Jika tidak tersedia PaO2, SpO2/FiO2 ≤ 315
mengindikasikan terjadinya ARDS (termasuk
pada pasien yang tidak diventilasi).
Pelemahan oksigenasi pada pasien anak: catatan
OI = Indeks Oksigenasi dan OSI = Indeks
Oksigenasi dengan SpO2.
Gunakan ukuran berbasis PaO2 jika tersedia. Jika
PaO2 tidak tersedia, hilangkan FiO2 agar SpO2
tetap ≤ 97% untuk menghitung OSI atau rasio
SpO2/FiO2:
- Bilevel NIV atau CPAP ≥ 5 cmH2O dengan
masker wajah penuh: PaO2/FiO2 ≤ 300 mmHg
atau SpO2/FiO2 ≤ 264
- ARDS ringan (ventilasi invasif): 4 ≤ OI < 8 atau
5 ≤ OSI < 7.5
- ARDS sedang (ventilasi invasif): 8 ≤ OI < 16 atau
7.5 ≤ OSI <12.3
- ARDS berat (ventilasi invasif): OI ≥ 16 atau OSI
≥ 12.3
Sepsis Pasien dewasa: disfungsi organ yang mengancam
nyawa akibat disregulasi respons tubuh terhadap
dugaan infeksi atau infeksi terbukti. Tanda-tanda
disfungsi organ meliputi: perubahan status mental,
kesulitan bernapas atau napas cepat, saturasi
oksigen rendah, penurunan pengeluaran urin,
denyut jantung cepat, nadi lemah, ekstremitas
dingin atau tekanan darah rendah, kulit berbintik,
atau bukti laboratorium untuk koagulopati,
trombositopenia, asidosis, laktat tinggi, atau
hiperbilirubinemia.
Pasien anak: infeksi terduga atau terbukti dan kriteria
sesuai umur systemic inflammatory response syndrome ≥
2, yang salah satunya adalah suhu tubuh atau jumlah sel
darah putih abnormal.
Septic shock Pasien dewasa: hipotensi menetap meskipun sudah
dilakukan resusitasi cairan, membutuhkan vasopresor
untuk mempertahankan MAP ≥ 65 mmHg and kadar
laktat serum > 2 mmol/L.
Pasien anak: hipotensi (TDS < persentil 5 atau SD > 2
di bawah normal usianya) atau dua dari gejala berikut:
perubahan status mental; takikardia atau bradikardia
(denyut jantung < 90 x/menit atau > 160 x/menit pada
bayi dan < 70 x/menit atau > 150x/menit pada anak);
kenaikan waktu pengisian ulang kapiler (> 2 detik) atau
denyut yang lemah; takipnea; kulit berbintik atau kulit
dingin atau ruam petekie atau purpura; peningkatan
laktat; oliguria; hipertermia atau hipotermia.
27
2.7 Patofisiologi
Respon Imun Bawaan 12
Selama infeksi virus, setelah virus memasuki sel inang, mereka dikenali
oleh Pattern Recognition Receptors (PRR) seperti TLR7 dan TLR8 dalam kasus
virus RNA untai tunggal, RIG-I-like (RLRs), dan NLR , semua diekspresikan oleh
sel epitel serta oleh sel lokal dari respon imun bawaan, seperti makrofag alveolar.
Setelah pengikatan ligan, PRR merekrut protein adaptor yang mengaktifkan faktor
transkripsi aliran bawah yang penting, termasuk faktor regulasi interferon (IRF),
NF-κB, dan AP-1, yang menghasilkan produksi Interferon antivirus Tipe-I dan
-III dan kemokin yang berbeda. Kemokin ini menarik lebih banyak sel imun
respon bawaan [leukosit polimorfonuklear, monosit, sel NK, sel dendritik (DC)],
yang juga memproduksi kemokin, seperti MIG, IP-10, dan MCP-1, yang mampu
merekrut limfosit, yang pada gilirannya, akan mengenali antigen virus yang
disajikan oleh DC. Publikasi baru-baru ini menyoroti fase awal infeksi SARS-
CoV-2, dibandingkan dengan virus corona lain, dan pengaruhnya terhadap
respons imun dan inflamasi selanjutnya. Chu et al. membandingkan infeksi in
vitro eksplan paru-paru manusia dengan SARS-CoV dan SARS-CoV-2 dan
menunjukkan bahwa kedua virus dapat sama-sama menginfeksi pneumosit tipe-I
dan -II, ditambah makrofag alveolar, meskipun SARS-CoV2 memiliki kapasitas
yang lebih baik untuk mereplikasi di jaringan paru. Menariknya, ketika SARS-
CoV menginduksi ekspresi IFN-I, IFN-II, dan IFN III, SARS-CoV-2 gagal untuk
menginduksi mediator kekebalan dan juga kurang efisien dalam menginduksi
sitokin lain. SARS CoV menginduksi produksi 11 sitokin yang diteliti, sedangkan
SARS-CoV-2 hanya menginduksi lima (IL-6, MCP1, CXCL1, CXCL5, dan
CXCL10 / IP10). Blanco-Melo dkk. (55) mempelajari respons transkripsi untuk
SARS-CoV-2, dibandingkan dengan SAR-CoV, MERS-CoV, virus pernapasan
syncytial (RSV), virus parainfluenza 3 (HPIV3), dan virus influenza A (IAV),
infeksi in vitro garis sel pernapasan, infeksi in vivo eksperimental musang, dan
sampel paru-paru post-mortem pasien COVID-19. Hasilnya menunjukkan bahwa
SARS-CoV-2 menginduksi tanda tangan tertentu yang ditandai dengan
berkurangnya respons IFN-I dan IFN-III dan induksi yang signifikan dari
28
beberapa kemokin proinflamasi, IL-1B, IL-6, TNF, dan IL1RA. Temuan ini
selanjutnya didukung oleh peningkatan kadar serum molekul ini pada pasien
COVID-19. Secara keseluruhan, laporan ini sangat menyarankan bahwa SARS-
CoV-2 berbeda dari virus korona lain dalam kapasitasnya untuk bereplikasi di
dalam jaringan paru, menghindari efek antivirus IFN-I dan IFN-III, mengaktifkan
respons bawaan, dan menginduksi produksi virus. sitokin diperlukan untuk
perekrutan sel kekebalan adaptif.
29
pada COVID-19.
Meskipun sel T dan B, makrofag, dan DC tidak mengekspresikan ACE2,
beberapa laporan menunjukkan bahwa DC-SIGN dapat berfungsi sebagai reseptor
trans untuk SARS-CoV di DC, yang meskipun tidak terinfeksi dapat mentransfer
virus ke sel rentan lainnya. Baru-baru ini, Vandakari dan Wilce melaporkan
bahwa CD26, suatu aminopeptidase yang terlibat dalam aktivasi sel T, dapat
mengikat protein S SARS-CoV-2, mengakibatkan infeksi sel T yang tidak
produktif; Wang et al. melaporkan bahwa CD147, protein dari superfamili
imunoglobulin yang menginduksi metaloproteinase dari matriks ekstraseluler,
berikatan dengan domain S1 dan memfasilitasi masuknya virus ke dalam sel
inang. Signifikansi infeksi sel T non-produktif tidak jelas; Namun, sangat
mengarah ke spekulasasi bahwa mungkin terkait dengan limfopenia yang
ditemukan pada pasien dengan SARS, MERS, dan COVID 19. Pengikatan protein
SARS-CoV-2 S ke molekul seperti CD26 dan CD147, yang berpartisipasi dalam
aktivasi sel T, akan menunjukkan bahwa infeksi sel T yang tidak produktif dapat
mengakibatkan kematian sel yang diinduksi oleh aktivasi (AICD). MERS-CoV
telah dilaporkan menginduksi apoptosis sel T, dan ada bukti bahwa sel T
kelelahan secara fungsional pada pasien dengan COVID-19 parah .
Imunopatogenesis 12
Untuk memahami imunopatogenesis COVID-19, penting untuk
menjelaskan apa yang menjadi akar kegagalan respons imun yang terjadi pada
individu yang terinfeksi yang mengakibatkan penyimpangan respons
perlindungan menjadi program yang disfungsional, menyebabkan sindrom
pelepasan sitokin (CRS) dengan peradangan parah dan, akhirnya, kegagalan
multi-sistemik. Pemahaman yang lebih baik tentang kejadian-kejadian ini akan
berkontribusi pada desain pendekatan terapeutik yang berbeda, tergantung pada
stadium penyakit, dan untuk penggambaran biomarker prognostik dan prediktif.
Sayangnya, tidak ada penelitian tentang tanggapan kekebalan pada individu tanpa
gejala yang terinfeksi, yang akan memungkinkan karakterisasi yang lebih baik
dari tanggapan kekebalan pelindung karena terjadi dalam kondisi alami proses
infeksi. Dengan demikian, pandangan ini didasarkan pada perbandingan antara
30
pasien dengan infeksi sedang dan pasien dengan infeksi berat, dan juga dengan
pasien dalam tahap penyembuhan. Aspek lain yang akan dieksplorasi adalah efek
dari paparan sebelumnya terhadap virus korona yang kurang ganas lainnya yang
mungkin memiliki reaktivitas silang dengan yang lebih ganas. Selain itu, sebagian
besar penelitian telah dilakukan dengan menggunakan sampel darah, yang tidak
selalu berkorelasi dengan peristiwa yang terjadi di jaringan yang terkena.
Untungnya, beberapa penelitian tentang sel lavage bronchoalveolar telah
dipublikasikan baru-baru ini, seperti yang akan dibahas di bawah.
Dari sudut pandang imunologi, spektrum klinis COVID-19 yang luas
memungkinkan kita untuk mendalilkan hipotesis yang berbeda, beberapa di
antaranya telah terbukti, sisanya membutuhkan lebih banyak informasi dan
pengamatan lanjutan yang lebih lama terhadap pasien yang pulih. Gambar 1A
menunjukkan hasil yang beragam selama COVID-19 dan memungkinkan untuk
analisis tanggapan kekebalan pada setiap tahap klinis. Namun, harus dicatat
bahwa respon imun dikondisikan oleh variabel epidemiologi, seperti intensitas
dan durasi pajanan terhadap virus dan kemungkinan variasi dalam virulensi virus
dan, pada sisi host, kerentanan / resistensi genetik dan kondisi kesehatan pada saat
kejadian paparan. Yang terakhir meliputi, antara variabel lain, usia dan adanya
penyakit penyerta yang dapat secara langsung mempengaruhi sistem kekebalan
tubuh.
Meskipun infektivitasnya tinggi, tidak semua orang yang terpapar SARS
CoV-2 menjadi terinfeksi. Penyebabnya resistensi ini masih belum diketahui,
namun ada kemungkinan bahwa inokulum kecil sesekali tidak mencapai saluran
pernapasan bagian bawah, di mana sel target yang rentan ditemukan. Namun
demikian, kondisi genetik yang belum teridentifikasi juga dapat menjelaskan
resistensi ini sendiri. Dalam hal ini, tidak ditemukan hubungan SARS dengan
polimorfisme ACE2.
Prinsip utama tentang imunopatogenesis COVID-19 adalah bahwa respons
imun pelindung harus ada pada pasien dengan infeksi asimtomatik dan ringan, dan
bahkan pada beberapa pasien dengan infeksi sedang yang tidak berkembang
menjadi penyakit parah. Respon ini harus mampu menghambat replikasi virus dan
mengeliminasi sel inang yang terinfeksi dengan kerusakan jaringan minimal dan
31
manifestasi inflamasi yang rendah (Gambar 1B). Respon adaptif mencakup
keberadaan kondisi genetik untuk presentasi antigen virus oleh molekul HLA-I
dan II ke sel T CD8 dan CD4. Dalam konteks ini, Grifoni et al. dengan
menggunakan pendekatan bioinformatis, mengidentifikasi 241 kandidat epitop
untuk alel HLA-II dalam SARS-CoV-2, dan 628 untuk alel kelas I, yang mungkin
terikat oleh alel HLA yang lebih umum, terlepas dari kelompok etnis mereka.
Tingginya jumlah epitop, juga hadir dalam SARS-CoV, dapat menjelaskan
kurangnya asosiasi konsisten SARS dengan antigen HLA.
32
Virus menyebar dan bermigrasi ke saluran pernapasan di sepanjang
saluran udara konduksi, dan respons imun bawaan yang dipicu lebih kuat. Usap
hidung atau dahak (Swab-Test) akan menginterpretasi virus (SARS-CoV-2) serta
penanda awal dari respons imun bawaan. Pada saat ini, penyakit COVID-19 sudah
terlihat secara klinis. Tingkat CXCL10 (atau sitokin respon bawaan lainnya) dapat
memprediksi perjalanan klinis berikutnya. Sel epitel yang terinfeksi virus adalah
sumber utama beta dan interferon lambda. CXCL10 adalah gen responsif
interferon yang memiliki rasio signal-to-noise yang sangat baik pada respons sel
alveolar tipe II terhadap SARS-CoV dan influenza. CXCL10 juga telah
dilaporkan berguna sebagai penanda penyakit pada SARS. Menentukan respon
imun bawaan inang dapat meningkatkan prediksi perjalanan penyakit selanjutnya
dan kebutuhan untuk pemantauan yang lebih agresif. Untuk sekitar 80% dari
pasien yang terinfeksi, penyakit ini akan ringan dan sebagian besar terbatas pada
saluran udara bagian atas dan konduksi. Orang-orang ini dapat dipantau di rumah
dengan terapi simtomatik konservatif.
33
didalilkan ini telah ditunjukkan dalam model murine dari influenza pneumonia.
Hasil patologis dari SARS dan COVID-19 adalah kerusakan alveolar difus dengan
membran hialin kaya fibrin dan beberapa sel raksasa berinti banyak.
Penyembuhan luka yang menyimpang dapat menyebabkan jaringan parut
dan fibrosis yang lebih parah daripada bentuk ARDS lainnya. Pemulihan akan
membutuhkan respon imun bawaan dan didapat yang kuat serta regenerasi epitel.
Dari sudut pandang saya, mirip dengan influenza, pemberian faktor pertumbuhan
epitel seperti KGF mungkin merugikan dan dapat meningkatkan viral load dengan
memproduksi lebih banyak sel pengekspres ACE2. Orang-orang lanjut usia sangat
berisiko karena respons imun mereka yang berkurang dan kemampuan yang
berkurang untuk memperbaiki epitel yang rusak. Orang tua juga telah mengurangi
pembersihan mukosiliar, dan ini memungkinkan virus untuk menyebar ke unit
pertukaran gas paru-paru lebih mudah.
Sel alveolar tipe II manusia terinfeksi SARS-CoV. Sel tipe II manusia diisolasi, dikultur secara in vitro, dan
kemudian terinfeksi SARS-CoV. Partikel virus terlihat pada vesikula membran ganda pada sel tipe II (a) dan
sepanjang mikrovili apikal (b).
34
manifestasi multi organ pada infeksi COVID-19. Genom coronavirus terdiri dari 4
protein utama, yaitu spike (S), nucleocapsid (N), membrane (M), dan envelope
(E). Infeksi terjadi ketika protein S berikatan dengan reseptor ACE2. Agregasi
SARS-CoV-2 di paru-paru menyebabkan gangguan sel epitel dan endotel
alveolus, bersama dengan infiltrasi sel-sel inflamasi menyebabkan munculnya
sitokin-sitokin proinflamasi (IL- 1, IL-6, dan TNFα, dan lainnya). Pada pasien
COVID-19 berat, respon imun ini dapat berlebihan dan menyebabkan badai
sitokin sistemik yang mencetuskan terjadinya systemic inflammatory response
syndrome (SIRS). Respon inflamasi sistemik berlebihan dapat menyebabkan
terjadinya jejas endotel (endoteliopati) sistemik dan keadaan hiperkoagulasi yang
meningkatkan risiko terjadinya makrotrombosis dan mikrotrombosis sistemik.
Manifestasi makrotrombosis dapat berupa tromboemboli vena (misalnya
trombosis vena dalam dan emboli paru) atau tromboemboli arteri (misalnya
stroke). Mikrotrombosis berperan dalam proses terjadinya ARDS dan kegagalan
multi organ. Adapun skema patogenesis koagulopati dan trombosis pada COVID-
19 dapat dilihat pada Gambar
COVID-19 Spektrum klinis dan imunologi. (A) Stadium klinis COVID-19. (B) Imunitas pelindung dan spektrum inflamasi.
35
Dinamika Kekebalan Tubuh dan Respon Peradangan
36
transkripsi sebanding dengan kontrol yang sehat. Para penulis menyarankan
bahwa dalam kasus pertama, penurunan aktivasi sel T mungkin telah membantu
respons inflamasi dengan jalur IL-1, sedangkan dalam dua kasus lainnya, respons
inflamasi yang rendah memungkinkan respons sel T yang moderat.
37
Patogenesis koagulopati dan thrombosis pada COVID-19. SARS-CoV-2 memasuki sel inang melalui
reseptor ACE2. Respon imun yang berlebihan menyebabkan badai sitokin, memicu respon inflamasi lokal
dan sistemik yang menyebabkan keadaan hiperkoagulasi dan endoteliopati, dapat menyebabkan terbentuknya
makrotrombus atau mikrotrombus sistemik. SARS-CoV-2, severe acute respiratory syndrome coronavirus-2;
ACE-2, angiontensin converting enzyme 2; GI, gastrointestinal; IL, interleukin; TNF, tumor necrosis factor;
IFN, interferon; SIRS, systemic inflammatory response syndrome; EC, endothelial cells; TF, tissue factor;
ULVWF, ultralarge von Willebrand factor; FVIII, factor VIII; ARDS, acute respiratory distress syndrome.
38
endotel yang teraktivasi, bersama dengan tissue factor (TF) dan formasi
neutrophil extracellular traps (NETs) akan menginisiasi kaskade koagulasi,
akibatnya dihasilkan trombin dalam jumlah banyak dan menyebabkan keadaan
hiperkoagulasi.
Trias Virchow merupakan dasar pemahaman tentang trombosis yang
meliputi jejas endotel, stasis aliran darah, dan hiperkoagulasi. Trombosis dan
tromboemboli yang terjadi pada COVID-19 mengikuti konsep trias Virchow. Jejas
endotel pada COVID-19 dapat terjadi melalui mekanisme invasi langsung SARS-
CoV-2 ke dalam sel endotel yang menyebabkan jejas sel atau sebagai akibat dari
respon inflamasi oleh sitokin-sitokin proinflamasi. Stasis aliran darah dapat
disebabkan oleh imobilisasi pada pasien yang dirawat di rumah sakit. Keadaan
hiperkoagulasi diperberat oleh faktor-faktor protrombotik seperti peningkatan
ULVWF, faktor VIII, fibrinogen, NETs, dan mikropartikel trombotik.
Penyebab utama kematian pada COVID-19 adalah ARDS dan gagal nafas
progresif. Mekanisme ARDS dan gagal nafas pada COVID-19 tidak hanya
disebabkan oleh faktor inflamasi. Mikrotrombosis memiliki peranan penting
dalam hal ini. Infeksi primer virus menyebabkan jejas alveolus dan produksi
sitokin-sitokin proinflamasi yang signifikan pada pasien COVID-19. Aktivasi dan
rekrutmen sel mononuklir dan neutrofil menyebabkan bertambahnya kerusakan
jaringan paru dan endotel vaskular. Keadaan hipoksia, jejas endotel, dan respon
inflamasi berkelanjutan meningkatkan keadaan prokoagulan yang dapat
menyebabkan terjadinya mikrotrombosis vaskular paru, memicu terjadinya ARDS
dan gagal napas.
Profil hematologi dan koagulasi pada COVID-19
COVID-19 memengaruhi sistem hematopoiesis dan hemostasis secara
signifikan. Limfopenia merupakan temuan laboratorium tersering pada kasus
klinis. Peningkatan rasio neutrofil-limfosit memiliki nilai prognostik pada kasus
COVID-19. Parameter inflamasi seperti C-reactive protein (CRP), lactate
dehydrogenase (LDH), dan IL-6 ditemukan meningkat pada COVID-19.
Biomarker lain seperti ferritin dan prokalsitonin juga ditemukan meningkat pada
COVID-19. Parameter gangguan koagulasi yang dapat ditemukan pada COVID-
19 meliputi peningkatan konsentrasi D-dimer, pemanjangan prothrombin time
39
(PT) atau activated partial thromboplastin time (aPTT), peningkatan fibrinogen,
dan trombositopenia.
D-dimer merupakan produk degradasi fibrin yang terbentuk selama proses
degradasi bekuan darah oleh fibrinolisis. Peningkatan D-dimer dalam darah
merupakan penanda kecurigaan trombosis. Peningkatan D-dimer ditemukan pada
trombosis vena dalam, emboli paru, trombosis arteri, DIC, kehamilan, inflamasi,
kanker, penyakit liver kronis, trauma, pembedahan, dan vaskulitis. Peningkatan
D-dimer sering ditemukan pada pasien COVID-19 berat dan merupakan prediktor
terjadinya ARDS, kebutuhan perawatan di unit perawatan intensif, dan kematian.
Studi oleh Zhou et al., menunjukkan bahwa peningkatan D-dimer >1.0 μl/mL
merupakan prediktor terkuat terjadinya mortalitas pada pasien COVID-19. Studi
oleh Cui et al., menunjukkan bahwa D-dimer >1.5 μl/ mL merupakan prediktor
tromboemboli vena pada pasien COVID-19 dengan sensitivitas 85% dan
spesifisitas 88.5%.
Pemanjangan PT >3 detik atau aPTT >5 detik merupakan penanda
koagulopati dan prediktor komplikasi trombotik pada pasien COVID-19.
Peningkatan fibrinogen sering ditemukan pada COVID-19 dan berkorelasi dengan
proses inflamasi dan kadar IL-6, namun pada kasus berat dapat terjadi penurunan
kadar fibrinogen sebagai akibat perburukan koagulopati.
Trombositopenia pada COVID-19 dapat terjadi melalui beberapa
mekanisme, seperti badai sitokin yang menyebabkan penghancuran sel progenitor
sumsum tulang, inhibisi hematopoiesis secara langsung oleh infeksi virus pada
sumsum tulang, peningkatan autoantibodi dan kompleks imun yang menyebabkan
destruksi trombosit, dan jejas paru yang menyebabkan agregasi trombosit dan
konsumsi trombosit sehingga menyebabkan berkurangnya trombosit dalam
sirkulasi. Trombositopenia berhubungan dengan mortalitas pada pasien COVID-
19. Studi oleh Yang et al., terhadap 1476 pasien COVID-19 menunjukkan bahwa
306 pasien (20.7%) mengalami trombositopenia. Tingkat mortalitas rumah sakit
pada kelompok trombosit 0-50.000/μl, 50.000-100.000/μl, 100.000-150.000/ μl,
dan >150.000/μl secara berturut-turut 92.1%, 61.2%, 17.5%, dan 4.7%. Semakin
rendah jumlah trombosit, maka tingkat mortalitas semakin tinggi.
Abnormalitas parameter koagulasi pada COVID-19 berat dapat
40
menyerupai DIC. Studi oleh Tang et al., terhadap 183 pasien COVID-19
menunjukkan bahwa 15 (71.4%) dari 21 pasien COVID-19 yang meninggal
memenuhi kriteria DIC berdasarkan sistem skoring DIC (skor ≥5) menurut
International Society of Thrombosis and Haemostasis (ISTH) yang terdiri dari
trombositopenia, peningkatan D-dimer, pemanjangan PT, dan penurunan
fibrinogen. Hal ini berbeda dengan studi oleh Fogarty et al., terhadap 83 pasien
COVID-19 yang tidak menemukan DIC pada pasien. Fogarty et al., tidak
menemukan penurunan trombosit dan fibrinogen yang bermakna walaupun
terdapat peningkatan D-dimer yang bermakna. Peningkatan fibrinogen pada
penelitian ini, seiring dengan peningkatan CRP yang signifikan, dianggap sebagai
respon normal pada fase akut infeksi.
2.8. Diagnosis
Diagnosis ditegakkan dengan anamnesis, pemeriksaan fisis dan
pemeriksaan penunjang. Anamnesis terutama gambaran riwayat perjalanan atau
riwayat kontak erat dengan kasus terkonfirmasi atau bekerja di fasyankes yang
merawat pasien infeksi COVID-19 atau berada dalam satu rumah atau lingkungan
dengan pasien terkonfirmasi COVID-19 disertai gejala klinis dan komorbid.
Gejala klinis bervariasi tergantung derajat penyakit tetapi gejala yang utama
adalah demam, batuk, mialgia, sesak, sakit kepala, diare, mual dan nyeri
abdomen. Gejala yang paling sering ditemui hingga saat ini adalah demam (98%),
batuk dan mialgia.15
Beberapa pemeriksaan penunjang yang dilakukan di antaranya:16
a. Darah Lengkap
• Kelainan laboratorium yang paling umum pada pasien yang dirawat di
rumah sakit dengan pneumonia adalah leukopenia, limfopenia, dan
leukositosis. Kelainan lain termasuk neutrofilia, trombositopenia, dan
penurunan hemoglobin.
• Limfopenia dan trombositopenia telah dikaitkan dengan peningkatan risiko
penyakit parah dan berguna sebagai indikator klinis untuk memantau
perkembangan penyakit.
41
• Nilai rasio neutrofil-terhadap-limfosit (NLR) yang tinggi adalah penanda
yang berguna untuk menunjukkan risiko penyakit parah dan prognosis
buruk.
• Pada awal infeksi leukosit dan limfosit normal.
• Pada puncak penyakit: - leukosit menurun (< 4000/uL) - Netrofil (>
2500/uL) - Limfosit absolut dan persentase menurun dengan nilai limfosit
absolut < 1500/uL. - Trombosit menurun (pada kasus berat) - Eosinofil
menurun (pada kasus berat) - Batas nilai rasio neutrophil-limfosit (NLR)
3,13 - NLR ≥ 3,13 dan usia ≥ 50 tahun memberikan petunjuk penyakit
akan berisiko menjadi lebih berat.
• Setelah pengobatan nilai limfosit absolut akan meningkat yang merupakan
petunjuk perbaikan kondisi.
b. Pemeriksaan Molekuler 17
WHO merekomendasikan pemeriksaan molekuler untuk seluruh pasien
yang terduga terinfeksi COVID-19. Metode yang dianjurkan adalah metode
deteksi molekuler/NAAT (Nucleic Acid Amplification Test) seperti pemeriksaan
rT-PCR. Bukti-bukti terkuat untuk infeksi virus bersumber dari deteksi fragmen-
fragmen virus, seperti protein atau asam nukleat, melalui tes virologis. Orang
yang terinfeksi dapat memberikan hasil tes positif asam nukleat virus atau protein
virus tanpa menunjukkan gejala (asimtomatik) atau sebelum munculnya gejala
(prasimtomatik), dan selama episode penyakit (simtomatik). Bagi orang-orang
yang mengalami penyakit COVID-19, gejalanya dapat sangat bermacam-macam
pada tahap awal presentasi penyakit ini. Orang-orang dapat menunjukkan gejala
yang sangat ringan, dengan gejala serupa pneumonia, demam/sepsis, dan yang
lebih jarang gejala-gejala gastroenteritis atau neurologis.
Spesimen mana yang optimal bergantung pada presentasi klinis dan lama
waktu sejak munculnya gejala. Minimal, spesimen saluran pernapasan harus
diambil.
Spesimen saluran pernapasan
42
Spesimen saluran pernapasan atas cukup untuk tes infeksi tahap awal,
terutama pada kasus asimtomatik atau ringan. Tes gabungan usap
nasofaringeal dan orofaringeal dari satu orang telah terbukti meningkatkan
sensitivitas deteksi virus saluran pernapasan dan meningkatkan keandalan
hasilnya. Dua usap terpisah dapat digabungkan ke dalam satu tabung
ambilan atau usap nasofaringeal dan orofaringeal dapat digabungkan.
Sejumlah penelitian menemukan bahwa usap nasofaringeal memberikan
hasil yang lebih terandalkan dibandingkan usap orofaringeal.
Spesimen saluran pernapasan bawah dianjurkan jika pengambilan
dilakukan pada tahap-tahap lanjut penyakit COVID-19 atau pada pasien
dengan hasil sampel SPA yang secara klinis diduga kuat mengalami
COVID-19. Spesimen SPB dapat terdiri dari sputum, jika dihasilkan
secara spontan (sputum hasil induksi tidak direkomendasikan karena
menimbulkan peningkatan risiko transmisi aerosol, dan/atau aspirat
endotrakeal atau lavage bronkoalveolar pada pasien dengan penyakit
saluran pernapasan parah. Tingginya risiko aerosolisasi harus diwaspadai;
karena itu, kepatuhan ketat pada prosedur PPI wajib dilakukan saat
pengambilan sampel. Indikasi prosedur invasif harus dievaluasi oleh
seorang dokter.
43
Tes Amplifikasi Asam Nukleat (NAAT)
Infeksi aktif yang diduga SARS-CoV-2 sebaiknya dites dengan NAAT
seperti rRT-PCR. Asai NAAT menargetkan genom SARS-CoV-2. Karena saat ini
belum diketahui terjadi penyebaran SARS-CoV-1 secara global, sekuens khusus
sarbecovirus juga menjadi target yang wajar. Untuk asai yang tersedia di pasaran,
interpretasi hasil harus dilakukan sesuai instruksi penggunaan. Diagnostik yang
optimal terdiri dari asai NAAT dengan setidaknya dua target genom SARS-CoV-2
yang tidak terkait, tetapi di wilayah-wilayah dengan persebaran SARS-CoV-2
secara meluas, algoritma sederhana dengan satu target pembeda tunggal dapat
digunakan. Saat menggunakan asai dengan target tunggal, dianjurkan agar strategi
memantau mutasi yang dapat berdampak pada kinerja dipersiapkan.
Prinsip Pemeriksaan PCR Swab
Pengambilan swab di hari ke-1 dan 2 untuk penegakan diagnosis. Bila
44
pemeriksaan di hari pertama sudah positif, tidak perlu lagi pemeriksaan di
hari kedua, Apabila pemeriksaan di hari pertama negatif, maka diperlukan
pemeriksaan di hari berikutnya (hari kedua).
Pada pasien yang di rawat inap, pemeriksaan PCR maksimal hanya dilakukan
sebanyak tiga kali selama perawatan.
Untuk kasus tanpa gejala, ringan, dan sedang tidak perlu dilakukan
pemeriksaan PCR untuk follow-up. Pemeriksaan follow-up hanya dilakukan
pada pasien yang berat dan kritis.
Untuk PCR follow-up pada kasus berat dan kritis, dapat dilakukan setelah
sepuluh hari dari pengambilan swab yang positif.
Untuk kasus berat dan kritis, bila setelah klinis membaik, bebas demam
selama tiga hari namun pada follow-up PCR menunjukkan hasil yang positif,
kemungkinan terjadi kondisi positif persisten yang disebabkan oleh
terdeteksinya fragmen atau partikel virus yang sudah tidak aktif.
Pertimbangkan nilai Cycle Threshold (CT) value untuk menilai infeksius atau
tidaknya dengan berdiskusi antara DPJP dan laboratorium pemeriksa PCR
karena nilai cutt off berbeda-beda sesuai dengan reagen dan alat yang
digunakan.
45
terinfeksi padahal tidak) dapat terjadi jika antibodi pada carik tes juga mendeteksi
antigen virus-virus selain SARS-CoV-2, seperti coronavirus manusia lain.
Sensitivitas berbagai RDT jika dibandingkan dengan rRT-PCR pada
spesimen SPA (usapan nasofaringeal) tampak sangat berbeda, tetapi spesifitasnya
konsisten dilaporkan tinggi. Saat ini, data kinerja antigen di lingkungan klinis
masih terbatas: untuk mengidentifikasi tes deteksi antigen dalam pengembangan
atau pemasaran yang mana yang menunjukkan kinerja yang dapat diterima dalam
penelitian lapangan yang representatif, disarankan agar dilakukan validasi
berpasangan NAAT dan antigen pada penelitian-penelitian klinis. Jika kinerjanya
dapat diterima, RDT antigen dapat digunakan di dalam algoritma diagnostik untuk
mengurangi jumlah tes molekuler yang perlu dilakukan dan untuk mendukung
identifikasi serta tatalaksana dini atas kasus-kasus COVID-19. Penyertaan deteksi
antigen dalam algoritma tes bergantung pada sensitivitas dan spesifisitas tes
antigen dan prevalensi infeksi SARS-CoV-2 pada populasi tes yang dituju. Beban
virus yang lebih tinggi dikaitkan dengan kinerja tes antigen yang lebih baik;
karena itu, tes diperkirakan menunjukkan kinerja terbaik pada waktu sekitar
munculnya gejala dan pada tahap awal infeksi SARS-CoV-2.
Tes antibodi
Asai serologis yang mendeteksi antibodi yang dihasilkan oleh tubuh
manusia sebagai respons terhadap infeksi SARS-CoV-2 dapat dimanfaatkan
dalam berbagai situasi. Sebagai contoh, penelitian serosurveilans dapat digunakan
untuk mendukung investigasi wabah yang sedang terjadi dan untuk mendukung
penilaian retrospektif atas laju serangan atau ukuran suatu wabah. Karena SARS-
CoV-2 adalah sebuah patogen baru, pemahaman kita akan respons antibodi yang
ditimbulkannya masih berkembang, sehingga penggunaan tes deteksi antibodi
harus dilakukan dengan hati-hati, bukan untuk menentukan infeksi akut.
Asai non-kuantitatif (seperti asai alur lateral) tidak dapat mendeteksi
peningkatan titer antibodi, berbeda dengan asai semikuantitatif atau kuantitatif.
Asai deteksi antibodi alur lateral (atau asai non-kuantitatif) saat ini tidak
direkomendasikan untuk diagnosis akut dan tatalaksana klinis, dan peran asai
tersebut dalam survei epidemiologis masih diteliti.
Serologi sebaiknya tidak digunakan sebagai alat diagnosis tunggal dalam
46
mengidentifikasi kasus-kasus akut dalam perawatan klinis atau untuk tujuan
pelacakan kontak. Interpretasi harus dilakukan oleh seorang ahli dan
mempertimbangkan beberapa faktor seperti waktu penyakit, kesakitan klinis,
epidemiologi dan prevalensi di lingkungan tertentu, jenis tes yang digunakan,
metode validasi, dan keandalan hasilnya.
Tes serologis yang tersedia untuk mendeteksi antibodi
Tes yang dipasarkan maupun non-komersial yang mengukur antibodi
mengikat (imunoglobulin total (Ig), IgG, IgM, dan/atau IgA dalam berbagai
kombinasi) yang memanfaatkan teknik-teknik yang mencakup LFI, asai
imunosorben taut enzim (ELISA), dan imunoasai pendar kimia (CLIA) telah
tersedia. Sejumlah validasi dan kajian sistematis pada asai ini telah
dipublikasikan. Kinerja asai-asai serologis sangat berbeda-beda pada berbagai
kelompok tes (seperti pasien dengan penyakit ringan dibandingkan dengan
penyakit sedang hingga berat, dan pasien muda dibandingkan tua), waktu tes,
dan protein virus target. Penelitian lebih lanjut diperlukan untuk memahami
perbedaan-perbedaan kinerja ini. Tes deteksi antibodi untuk coronavirus juga
dapat bereaksi silang dengan patogen-patogen lain, seperti coronavirus
manusia, atau kondisi-kondisi lain yang sudah ada (seperti kehamilan dan
penyakit autoimun), sehingga memberikan hasil positif palsu.
Asai netralisasi virus dipandang sebagai tes standar emas untuk mendeteksi
keberadaan antibodi fungsional. Tes ini memerlukan staf yang sangat
terampil dan fasilitas kultur BSL 3 dan karenanya sesuai untuk digunakan
dalam tes diagnostik rutin.
47
c. Radiologi: Thorax AP/PA 16
Pemeriksaan radiologi terdiri atas foto toraks dan CT-scan toraks. Berikan
perlindungan janin jika pasien hamil.
Foto thoraks
Meskipun memiliki sensitifitas yang lebih rendah dibandingkan CT scan
toraks, foto toraks dapat digunakan sebagai modalitas lini pertama untuk pasien
yang dicurigai COVID-19 atau untuk mengevaluasi pasien kritis yang tidak dapat
dilakukan CT scan.
Foto toraks dapat terlihat normal pada fase awal atau pada pasien dengan
klinis ringan. Gambaran foto thoraks pada pasien COVID-19 yang tersering
adalah berupa konsolidasi atau infiltrat dengan tempat predileksi dominan di
lapangan bawah, perifer, bilateral.
CT-Scan toraks tanpa kontras
CT scan toraks memiliki sensitifitas yang lebih tinggi di bandingkan foto toraks
dalam menilai lesi pada pasien COVID-19. CT scan dilakukan pada pasien yang
dicurigai COVID-19 namun gambaran yang ditemukan pada foto toraks tidak
khas atau meragukan.
Gambaran CT scan toraks pada pasien COVID-19 dapat berupa ground glass
opacities (GGO), crazy paving appearance, konsolidasi, penebalan
bronkovaskular atau traction bronchiectasis dengan tempat predileksi di basal,
48
perifer dan bilateral.
49
yang jauh lebih tinggi dan waktu protrombin yang lebih lama dan waktu
tromboplastin parsial teraktivasi dibandingkan dengan pasien yang selamat.
Kimia Darah
Kelainan laboratorium yang paling umum pada pasien yang dirawat di rumah
sakit dengan pneumonia termasuk peningkatan transaminase hati. Kelainan
lain termasuk penurunan albumin dan gangguan ginjal.
Kelainan fungsi hati mungkin lebih umum pada pasien dengan COVID-19
dibandingkan dengan jenis pneumonia lainnya.
Serum Prokalsitonin
Dapat terjadi peningkatan pada pasien dengan infeksi bakteri sekunder.
Pada umumnya normal saat awal namun meningkat terutama pada pasien
yang dirawat di ICU.
Panduan penggunaan dan manfaaat prokalsitonin pada pasien COVID-19
dapat dilihat pada gambar
Serum C-reactive Protein
Dapat meningkat pada pasien dengan infeksi bakteri sekunder, atau dapat
mengindikasikan hiperinflamasi.
Meningkat pada tahap awal penyakit pada pasien dengan penyakit parah.
Oleh karena itu bermanfaat dalam mengidentifikasi pasien yang mungkin
menjadi sakit parah.
Serum Feritin
Peningkatan kadarnya mengindikasikan terjadinya pelepasan sitokin pro-
inflamasi ke dalam sirkulasi.
Laktat Dehidrogenase (LDH)
Peningkatan laktat dehidrogenase dilaporkan terjadi pada 73–76% pasien.16 •
Dapat dipakai sebagai penanda terjadinya hiperinflamasi.
Mungkin lebih seringditemukan pada pasien dengan COVID-19
dibandingkan dengan jenis pneumonia lainnya
Lung Ultrasound (LUS) / Ultrasonografi (USG) toraks
Studi menunjukkan bahwa USG toraks dapat merupakan alat diagnostik yang
berguna dalam diagnosis COVID-19 karena memiliki sensitivitas tinggi untuk
mendeteksi penebalan pleura, konsolidasi subpleural, dan ground-glass
50
opacity.
Ultrasonografi memiliki keunggulan dapat dilakukan di samping tempat tidur
dan dapat diulang selama proses pemantauan penyakit. Namun USG juga
memiliki keterbatasan (misalnya tidak dapat membedakan lesi yang akut atau
kronis) sehingga modalitas pencitraan lainnya mungkin diperlukan.
Pada pemeriksaan USG toraks dapat ditemukan B-lines, paru-paru putih,
penebalan garis pleural, atau konsolidasi dengan air bronchogram.
51
3) Neutrofil
4) Hitung limfosit absolut / ALC
5) Neutrophil lymphocyte ratio (NLR)
6) Jumlah trombosit
b. CRP (mg/L atau mg/dL), procalcitonin
c. Feritin (acute phase reactant)
d. Analisa Gas Darah
e. Elektrolit
f. Pemeriksaan tambahan:
1) Hemostasis : PT, APTT, D-Dimer
2) Fungsi ginjal : Ureum, kreatinin
3) Fungsi hati : ALT, AST, LDH
4) Pemeriksaan lainnya sesuai komorbid, misal glukosa darah
untuk pasien Diabetes Mellitus
g. PCR (konvensional/TCM/Real Time PCR)
Surveilans/ Contract Tracing
Pemeriksaan Laboratorium: Kombinasi rapid test antibodi dan PCR
(konvensional/TCM/Real Time RT-PCR)
2.9. Tatalaksana 19
Pada pasien berat /kritis
a. Isolasi dan Pemantauan
1. Isolasi di ruang isolasi Rumah Sakit Rujukan atau rawat secara kohorting
2. Pengambilan swab untuk PCR dilakukan sesuai Tabel.1
b. Non Farmakologis
1. Istirahat total, asupan kalori adekuat, kontrol elektrolit, status hidrasi (terapi
cairan), dan oksigen
2. Pemantauan laboratorium Darah Perifer Lengkap beriku dengan hitung jenis,
bila memungkinkan ditambahkan dengan CRP, fungsi ginjal, fungsi hati,
Hemostasis, LDH, D-dimer.
3. Pemeriksaan foto toraks serial bila perburukan
4. Monitor tanda-tanda sebagai berikut;
- Takipnea, frekuensi napas ≥ 30x/min,
52
- Saturasi Oksigen dengan pulse oximetry ≤93% (di jari),
- PaO2/FiO2 ≤ 300 mmHg,
- Peningkatan sebanyak >50% di keterlibatan area paru-paru pada
pencitraan thoraks dalam 24-48 jam,
- Limfopenia progresif,
- Peningkatan CRP progresif,
- Asidosis laktat progresif.
5. Monitor keadaan kritis
- Gagal napas yg membutuhkan ventilasi mekanik, syok atau gagal
multiorgan yang memerlukan perawatan ICU.
- Bila terjadi gagal napas disertai ARDS pertimbangkan penggunaan
ventilator mekanik
3 langkah yang penting dalam pencegahan perburukan penyakit, yaitu sebagai
berikut
Gunakan high flow nasal cannula (HFNC) atau non-invasive mechanical
ventilation (NIV) pada pasien dengan ARDS atau efusi paru luas. HFNC
lebih disarankan dibandingkan NIV. (alur gambar 1)
Pembatasan resusitasi cairan, terutama pada pasien dengan edema paru.
Posisikan pasien sadar dalam posisi tengkurap (awake prone position).
6. Terapi oksigen:
- NRM : 15 liter per menit, lalu titrasi sesuai SpO2
- HFNC (High Flow Nasal Canulla), FiO2 100% lalu titrasi sesuai SpO2
Tenaga kesehatan harus menggunakan respirator (PAPR, N95).
Lakukan pemberian HFNC selama 1 jam, kemudian lakukan evaluasi.
Jika pasien mengalami perbaikan dan mencapai kriteria ventilasi aman
(indeks ROX >4.88 pada jam ke-2, 6, dan 12 menandakan bahwa
pasien tidak membutuhkan ventilasi invasif, sementara ROX <3.85
menandakan risiko tinggi untuk kebutuhan intubasi).
Indeks ROX = (SpO2 / FiO2) / laju napas
53
Lakukan pemberian NIV selama 1 jam, kemudian lakukan evaluasi.
Jika pasien mengalami perbaikan dan mencapai kriteria ventilasi aman
(volume tidal [VT] <8 ml/kg, tidak ada gejala kegagalan pernapasan
atau peningkatan FiO2/PEEP) maka lanjutkan ventilasi dan lakukan
penilaian ulang 2 jam kemudian.
Pada kasus ARDS berat, disarankan untuk dilakukan ventilasi invasif.
Jangan gunakan NIV pada pasien dengan syok.
Kombinasi Awake Prone Position + HFNC / NIV 2 jam 2 kali sehari
dapat memperbaiki oksigenasi dan mengurangi kebutuhan akan intubasi
pada ARDS ringan hingga sedang. Hindari penggunaan strategi ini pada
ARDS berat bila ternyata prone position ditujukan untuk menunda atau
mencegah intubasi. NIV dan HFNC memiliki risiko terbentuknya
aerosol, sehingga jika hendak diaplikasikan, sebaiknya di ruangan yang
bertekanan negatif (atau di ruangan dengan tekanan normal, namun
pasien terisolasi dari pasien yang lain) dengan standar APD yang
lengkap.
Bila pasien masih belum mengalami perbaikan klinis maupun
oksigenasi setelah dilakukan terapi oksigen ataupun ventilasi mekanik
non invasif, maka harus dilakukan penilaian lebih lanjut.
54
Indikasi ECMO :
1. PaO2/FiO2 <60mmHg selama >6 jam
2. PaO2/FiO2 <50mmHg selama >3 jam
3. pH <7,20 + Pa CO2 >80mmHg selama >6 jam
Kontraindikasi relatif :
1. Usia ≥ 65 tahun
2. Obesitas BMI ≥ 40
3. Status imunokompromis
4. Tidak ada ijin informed consent yang sah.
5. Penyakit gagal jantung sistolik kronik
6. Terdapat penyebab yang berpotensi reversibel (edema paru, sumbatan
mucus bronkus, abdominal compartment syndrome)
Kontraindikasi absolut :
1. Clinical Frailty Scale Kategori ≥ 3
2. Ventilasi mekanik > 10 hari
3. Adanya penyakit komorbid yang bermakna :
- Gagal ginjal kronis ≥ III
- Sirosis hepatis
- Demensia
- Penyakit neurologis kronis yang tidak memungkinkan rehabilitasi.
- Keganasan metastase
- Penyakit paru tahap akhir
- Diabetes tidak terkontrol dengan disfungsi organ kronik
- Penyakit vaskular perifer berat
4. Gagal organ multipel berat
5. Injuri neurologik akut berat.
6. Perdarahan tidak terkontrol.
7. Kontraindikasi pemakaian antikoagulan.
8. Dalam proses Resusitasi Jantung Paru.
9. Komplikasi berat sering terjadi pada terapi ECMO seperti perdarahan,
stroke, pneumonia, infeksi septikemi, gangguan metabolik hingga mati
otak.
55
56
Alur Penentuan Alat Bantu Napas Mekanik
c. Farmakologis
- Vitamin C 200 – 400 mg/8 jam dalam 100 cc NaCl 0,9% habis dalam 1
jam diberikan secara drips
- Intravena (IV) selama perawatan
- Vitamin B1 1 ampul/24 jam/intravena
- Klorokuin fosfat, 500 mg/12 jam/oral (hari ke 1-3) dilanjutkan 250 mg/12
jam/oral (hari ke 4-10) atau Hidroksiklorokuin dosis 400 mg /24 jam/oral
(untuk 5 hari), setiap 3 hari kontrol EKG
- Azitromisin 500 mg/24 jam per iv atau per oral (untuk
- 5-7 hari) atau sebagai alternatif Levofloksasin dapat diberikan apabila
curiga ada infeksi bakteri: dosis 750 mg/24 jam per iv atau per oral (untuk
5-7 hari).
- Bila terdapat kondisi sepsis yang diduga kuat oleh karena ko-infeksi
bakteri, pemilihan antibiotic disesuaikan dengan kondisi klinis, fokus
57
infeksi dan faktor risiko yang ada pada pasien. Pemeriksaan kultur darah
harus dikerjakan dan pemeriksaan kultur sputum (dengan kehati-hatian
khusus) patut dipertimbangkan.
- Antivirus :
Oseltamivir 75 mg/12 jam oral selama 5-7 hari
Atau
Kombinasi Lopinavir + Ritonavir (Aluvia) 2 x 400/100mg selama 10
hari
Atau
Favipiravir (Avigan sediaan 200 mg) loading dose 1600 mg/12
jam/oral hari ke-1 dan selanjutnya 2 x 600 mg (hari ke 2-5)
Atau
Remdesivir 200 mg IV drip/3jam dilanjutkan 1x100 mg IV drip/3
jam selama 9 – 13 hari
- Antikoagulan LMWH/UFH berdasarkan evaluasi DPJP
- Deksametason dengan dosis 6 mg/ 24 jam selama 10 hari atau
kortikosteroid lain yang setara seperti hidrokortison pada kasus berat yang
mendapat terapi oksigen atau kasus berat dengan ventilator.
- Pengobatan komorbid dan komplikasi yang ada
- Apabila terjadi syok, lakukan tatalaksana syok sesuai pedoman tatalaksana
syok yang sudah ada.
- Obat suportif lainnya dapat diberikan sesuai indikasi
- Pertimbangkan untuk diberikan terapi tambahan, sesuai dengan kondisi
klinis pasien dan ketersediaan di fasilitas pelayanan kesehatan masing-
masing apabila terapi standard tidak memberikan respons perbaikan.
Pemberian dengan pertimbangan hati-hati dan melalui diskusi dengan tim
COVID-19 rumah sakit. Contohnya anti-IL 6 (tocilizumab), plasma
konvalesen, IVIG atau Mesenchymal Stem Cell (MSCs) / Sel Punca dan
lain-lain
58
Prinsip tatalaksana secara keseluruhan menurut rekomendasi WHO yaitu:
Triase: identifikasi pasien segera dan pisahkan pasien dengan severe acute
respiratory infection (SARI) dan dilakukan dengan memperhatikan prinsip
pencegahan dan pengendalian infeksi (PPI) yang sesuai, terapi suportif dan
monitor pasien, pengambilan contoh uji untuk diagnosis laboratorium, tata
laksana secepatnya pasien dengan hipoksemia atau gagal nafas dan acute
respiratory distress syndrome (ARDS), syok sepsis dan kondisi kritis lainnya.1
Hingga saat ini tidak ada terapi spesifik anti virus nCoV 2019 dan anti virus
corona lainnya. Beberapa peneliti membuat hipotesis penggunaan baricitinib,
suatu inhibitor janus kinase dan regulator endositosis sehingga masuknya virus ke
dalam sel terutama sel epitel alveolar. Pengembangan lain adalah penggunaan
rendesivir yang diketahui memiliki efek antivirus RNA dan kombinasi klorokuin,
tetapi keduanya belum mendapatkan hasil. Vaksinasi juga belum ada sehingga tata
laksana utama pada pasien adalah terapi suportif disesuaikan kondisi pasien, terapi
cairan adekuat sesuai kebutuhan, terapi oksigen yang sesuai derajat penyakit
mulai dari penggunaan kanul oksigen, masker oksigen. Bila dicurigai terjadi
infeksi ganda diberikan antibiotika spektrum luas. Bila terdapat perburukkan
klinis atau penurunan kesadaran pasien akan dirawat di ruang isolasi intensif
(ICU) di rumah sakit rujukan dengan alur seperti algoritma di bawah ini.
Berdasarkan derajat penyakit maka COVID-19 dapat diliihat pada Tabel 2.2.1,10
59
Salah satu yang harus diperhatikan pada tata laksana adalah pengendalian
komorbid. Dari gambaran klinis pasien COVID-19 diketahui komorbid
berhubungan dengan morbiditas dan mortalitas. Komorbid yang diketahui
berhubungan dengan luaran pasien adalah usia lanjut, hipertensi, diabetes,
penyakit kardiovaskular dan penyakit serebrovskular.
60
BAB III
METODE PENELITIAN
61
2. Pasien dengan probable COVID-19 yang dirawat di RSUD dr. Doris
Sylvanus Palangka Raya pada periode 28 Desember tahun 2020 - 24
Januari tahun 2021.
3. Pasien dengan konfirmasi COVID-19 yang dirawat di RSUD dr. Doris
Sylvanus Palangka Raya pada periode 28 Desember tahun 2020 – 24
Januari tahun 2021.
4. Pasien dengan konfirmasi COVID-19 dengan tanda dan gejala
kegawatdaruratan yang dirawat di RSUD dr. Doris Sylvanus Palangka
Raya pada periode 28 Desember tahun 2020 - 24Januari tahun 2021.
3.5.2. Kriteria Eksklusi
1. Pasien dengan suspect COVID-19 yang tidak dirawat di RSUD dr.
Doris Sylvanus Palangka Raya pada periode 28 Desember tahun
2020- 24 Januari tahun 2021.
2. Pasien dengan probable COVID-19 yang tidak dirawat di RSUD dr.
Doris Sylvanus Palangka Raya pada periode 28 Desember tahun 2020
- 24 Januari tahun 2021.
3. Pasien dengan konfirmasi COVID-19 yang tidak dirawat di RSUD dr.
Doris Sylvanus Palangka Raya pada periode 28 Desember tahun 2020
– 24 Januari tahun 2021.
3.6. Instrumen Penelitian
Penelitian ini menggunakan data sekunder (retrospektif), instrumen
penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah lembar survey
epidemiologik pada rekam medik pasien COVID-19 di Ruang isolasi dan ICU
RSUD dr. Doris Sylvanus Palangka Raya periode 28 Desember tahun 2020-24
Januari tahun 2021.
3.7. Prosedur Pengumpulan Data
Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder
(retrospektif), yaitu melihat rekam medik pasien COVID-19 di Ruang isolasi dan
ICU RSUD dr. Doris Sylvanus Palangka Raya pada periode 28 Desember tahun
2020- 28 Januari tahun 2021, adapun prosedur pengumpulan data dalam
penelitian ini adalah sebagai berikut:
62
1. Peneliti mengajukan izin melakukan penelitian kepada RSUD dr.
Doris Sylvanus Palangka Raya.
2. Berdasarkan kriteria pemilihan, peneliti akan mengambil sampel yang
dibutuhkan yaitu pasien Suspect, probable, konfirmasi COVID-19,
dan konfirmasi COVID-19 dengan tanda dan gejala kegawatdaruratan.
3. Pengumpulan data dari ruang verifikasi dan rekam medik.
4. Mencatat data, data yang dicatat meliputi nomor rekam medik pasien,
inisial nama, umur, diagnosa dan keterangan lain.
63
3.9. Alur Penelitian
Mengolah Data
64
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
65
Data Pasien Covid-19 dengan Kegawatdaruratan di RSUD dr. Doris Sylvanus
28 Desember 2020 – 24 Januari 2021
Alamat Gejala
No. Nama TTL Tanda Pemeriksaan Penunjang Tatalaksana IGD
1. Ny. YW 1. Jl. Penreh Compos Sesak Nafas Radiologi O2 NRM 10 lpm
No.15, Muara Mentis Sariawan X-Ray Thoraks AP Inj. Diazepam 2 Amp
Teweh TD 130/80 Sakit Multiple Grandloss I.M
mmHg Kepala opacity dikedua parenkim PO/ Coditam 1 tab
N = 93x/m Nyeri Ulu paru
RR = 31x/m Hati Tidak tamak
S = 360c Mual Kardiomegali
Spo2= 68% Aterosklerosis Akut
Kesan : Pneumonia
Laboratorium :
Darah Lengkap
Hb 10,4 g%
Hematokrit 28,4 %
WBC 11,7 x 103
RBC 3,77 x 106
Neutrofil 72,5 %
Limfosit 13,9 %
Neutrofil Limfosit Rasio :
5,2 %
Elektrolit
Natrium 127 mmol/L
66
Kalium 2,6 mmol/L
Calcium1,05 mmol/L
Fungsi Hati
SGOT 23
SGPT37
HbsAg (-)
67
N = 88x/m Batuk > 1 Trombosit 391.000/ mm3
RR = Minggu GDS 135 mg/dL
32x/m SMRS
S = 360c Pemeriksaan Tambahan
Spo2= 57% Ur 60 mg/dL
Dengan Cr1,53 mg/dL
NRM 70% Troponin I 0,85 mg/dL
68
N = 86x/m Sakit Tidak tampak
RR = tenggorokan kardiomegali
34x/m , mual Kesan : Pneumonia
S = 360c Demam, 2
Spo2= 53% hari SMRS Laboratorium :
Dengan Elektrolit
NRM 67% Natrium 131 mmol/L
Kalium 3,4 mmol/L
Calcium0,97 mmol/L
Darah Lengkap
WBC 6,41 x 10^3/uL
Hb 13,8
HCT 40,2
PLT 112
GDS 265 mg/dL
Ur 155 mg/dL
Cr 4,11 mg/dL
Troponin I < 0,10mg/dL
HbsAg (-)
69
HCT 45 %
HCO3 26 mmol/L
HCO3std 28 mmol/L
TCO2 26,9 mmol/L
Beecf 3,8 mmol/L
BE (B) 4 mmol/L
SO2c 94 %
4. Tn. BS 4. Jl.Tingang Compos Demam a. Pemeriksan a. dr.Sp.P
Mandiri Mentis Sesak laboratorium O2 NRM 12 TPM
Indah TD : nafas Swab 1 & 2
Palangka 220/80m Lemas Darah Lengkap IV Moxifloxacin
Raya mHg Batuk WBC (25.46/uL) 1x400 mg
TN : RBC (1.18/uL) Drip resfar dalam
106x/meni HGB (3.9 g/dL) NS 100 cc 1x/24
t HCT (11.1 %) jam
RR : PLT (457/uL) b. dr.Sp.N
36x/menit CRP (26.49 mg/L) IVFD Asering 16
SPO2 : Neutrofil (22.95/uL) tpm
60% Lymfosit (1.19/uL) IV mecobalamin
Monosit (1.28/uL) 2x500 mg
Eosinofil (0.00/uL) IV citicolin 2x500
Basofil (0.04/uL) mg
GDS tanggal IV PCT 3x1 gr
02/01/2021 (230 PO CPG 75 mg
mg/dL) c. dr.Sp.JP
Jantung tidak ada
tindakan karena
70
high risk. Terapi
Pemeriksaan Tambahan lain sesuai neuro
Troponin I .>50,00 CPG tunda
D-DIMER 11.03 d. dr.Sp.PD
mg/dL Tranfusi PRC 1
kolf/12 jam sampai
Ureum 191 mg/dL dengan HB > 6.
Creatinin 4,20 mg/dL Setelah itu 1
kolf/24 jam
Elektrolit PO ketocid 3x1
Natrium 132 mmol/L Cek GDS pukul
Kalium(4.8 mmol/L 06.00
Calcium 1.15 mmol/L
Swab : Konfirmasi
(+) Positif
b. Pemeriksaan
Radiologi
X-Ray Thorax
Kesan pneumonia
bilateral
5. Ny. SK 5. Jl. Raflesia Compos Demam Pemeriksaan dr. Sp.P
IV B Mentis Sesak Laboratorium O2 NRM 10 LPM
TD : nafas Swab I & II
71
118/91 Batuk Darah Lengkap Setelah hasil swab
mmHg Muntah 5x WBC 19.15/uL positif terapi
TN : kali RBC 3.31/uL diberikan
125x/meni Lemas HGB 9.6 g/dL Rendesivir 200 mg
t HCT 27.7 % (hari ke I) harus
RR : PLT 112/uL habis dalam 5 jam.
33x/menit Neutrofil Selanjutnya
SPO2 : 17.70/uL Rendesivir 1x100
73% mg (hari ke II-IV)
Lymfosit
(0.99/uL)
Monosit
(0.42/uL)
Eosinofil
(0.00/uL)
Basofil (0.25/uL)
Imunoglobulin
(0.25/uL)
Neutrofil 92,4 %
Limfosit 5,2 %
Neutrofil-
Limfosit Rasio
17,8 %
GDS (120 mg/dl)
Pemeriksaan Tambahan
Ureum 12 mg/dl
72
Creatinin (0,38
mg/dl
HbsAg (-)
Antibody Rapid
Tes tanggal
09/01/2021
Antibodi Anti-
SARS-CoV-2.
Ig G(-), IgM (-)
kesan Non-Reaktif
Swab :
konfirmasi
Positif (+)
Analisis Gas
Darah
pH (7.54)
pC02 (29 mmHg)
p02(88 mmHg)
Pemeriksaan
Elektrolit
Natrium (130
73
mmol/L)
Kalium ( 2.2
mmol/L)
Calsium (0.58
mmol/L)
Pemeriksan Radiologi
X-Ray Thorax
Terlihat bercak
opasitas pada
paru kanan
Jantung normal
Diafragma dan
sinus baik
Tulang dan
jaringan lunak
baik
6. Tn. M 6. Sampit RR : 28 Sesak Swab-test (+) O2 mask 6-8 lpm
X/Menit Napas NaCl 0,9 % loading
TD : 90/80 Demam AGD : 200 cc kemudian
mmHg Batuk pH : 7,30 dilanjutkan 16 tpm
S : 36,7 C pCO2 : 38 Inj. Ranitidine 10 mg
N : 89 pO2 : 1,31 Moxifloxacin 1x400 IV
X/Menit HCO3 : 18,7 Omeprazole 1x400
tanpa O2 tCO2 : 15, 9 Aminofilin 3x100
Rhonki : 4FDC 1 x 1
Darah Lengkap : Vitamin B6 1x1
74
+¿ ¿ Leukosit : 12.820 Aluvia 2x2
+¿ +¿ ¿¿ Hematokrit : 33,5 %
+¿ ¿
Wheezing : Trombosit : 200.000
+¿ Hemoglobin : 11,2
¿ Rasio Neutrofil : 75,8 %
+¿ +¿ ¿¿
+¿ ¿ Rasio Limfosit : 19,7 %
Rasio Monosit : 3,8
Rasio Eosinofil : 0,3 %
GDS : 77
Ureum : 132
Creatinin : 2,96
Elektrolit :
Na : 137
K : 4,7
Ca : 1,02
Troponin : 0,41
HbsAg : (+)
Foto Thorax :
Pneumonia, telah perbaikan
Kardiomegali (LV) dengan
atherosclerosis aorta
75
E3VxM Napas, (+) Inf. NaCl 0,9 %
TD : 130/90 Demam Pasang DC
RR : Darah rutin Inj. Furosemid 40 mg
31x/menit Leukosit : 9.820
N : Eritrosit : 9,39 x 106 Pasang Stopper
126x/menit Hemoglobin : 10,2 Inf. Paracetamol
S : 38,6 Trombosit : 315.000 3x500mg
SpO2 : 92 % Hitung Jenis : Po. CaCO3 3x1
Neutrofil : 95,0 %
Limfosit : 3,9 %
Monosit : 0,9 %
Elektrolit :
Na : 142
K : 5,1
Cl : 112
Urinalisa :
Warna : Kuning
Kejenuhan : Keruh
Berat Jenis : 1015
Leukosit : (+) 1
Protein : (+) 3
Keton : (-)
Darah : (+) 2
Albumin : 3,88
Creatinin : 15,2
Uream : 22,5
GDS : 109
76
D-dimer : 4,25
Radiologi Thorax :
Pneumonia Bilateral,
perburukan
Kardiomegali
8. Ny. M 8. Jl. Garuda IX Compos Lemas THORAX IVFD NaCl 3%
Mentis Mudah Pneumonia bilateral luas 500ml/24jam
TD : lelah Inj. Moxifloxacin 1x400
140/100 Nyeri dada ELEKTROLIT mg
mmgh Nafsu Natrium 121 Inj. Meropenem 2x1g
N: makan mmol/L Mecobalamin 2x500 mg
104x/menit berkurang Kalium 4,8 mmol/L Resfar dalam NS 100 cc
RR : Calcium 1,03 1x 24 jam
30x/menit mmol/L Rencana swab
S : 360C
Spo2 : 89% Pemeriksaan Tambahan
Ureum 160 mg/dl
Creatinin 4,73
mg/dl
CRP 28,32 mg/L
D-Dimer 2,28 m/L
Darah Lengkap
WBC 6.60 X 10^3/uL
Neutrofil 4,86 X
10^3/uL
Lymposit 1,16 X
10^3/uL
Monosit 0,55 X
77
10^3/uL
Eosinofil 0.00 X
10^3/uL
Basofil 0,03 X 10^3/uL
Neutrofil 73,6 %
Limfosit 17,6 %
Neutrofil-Limfosit
Ratio 4,18 %
HB 14,4 g/dL
78
9. Tn. N 9. Jl. G obos Compos Batuk THORAX Rencana swab
Induk 19 Mentis Demam Pneumonia bilateral Rawat isolasi
TD : Sesak Inj moxiflocaxin 1x400
137/70 napas ELEKTROLIT inj. Ranitidin 2x1 amp
mmgh Cegukan Natrium 132 mmol/L vitamin C 2x200 mg
N: Nyeri Kalium 3,2 mmol/L drip resfar dalam NS 100
133x/menit tenggoroka Calcium 1,08 mmol/L cc 1x24 jam
RR : n Pemeriksaan Tambahan Po. Aminofilin 3x200 mg
26x/menit GDS 200 mg/dl Po. Vutamin D 2x400 mg
S : 38,60C GDP 85 mg/dL Paracetamol 500 mg tab
Spo2 : 95% Ureum 25 mg/dl
Creatinin 0,84 mg/dl
CRP 25,59 mg/L
SGOT/AST 90 U/L
SGPT/ALT 55 U/L
D-Dimer 0,49 m/L
Darah Lengkap
WBC 4,70 X 10^3/uL
Neutrofil 3,64 X 10^3/uL
Lymposit 0,55 X 10^3/uL
Monosit 0,50 X 10^3/uL
Eosinofil 0.00 X 10^3/uL
Basofil 0,01 X 10^3/uL
Neutrofil 77,5 %
Limfosit 11,7 %
Neutrofil-Limfosit Ratio
: 6,6 %
Hb 14,3 g/dL
79
10. Tn. S 10. Jl. TTV : Sesak nafas FOTO X-RAY THORAK: IVFD NaCl 0,9%
Pembangunan TD : 125/77 sejak ± Pnemumonia Bilateral Inj. Aminofilin 1x1
Komplek mmHg 7Hari Inj. Meropenem 3 x 1 g
BTN Marina N : 92 x/m SMRS Darah Lengkap : Inj. Lansoprazole 1 x 30
Permai Rey B RR : 24 x/m Demam Leukosit : 6.888/uL mg
Suhu : Tidak Hb : 10,6 g/dL Inj. Dexametasone 2 x
36,3C nafssu Trombosit : 523.000/uL 15 mg
SpO2 : 85 % makan Eritrosit : 5,34 x 106 /uL Inj.Vit C 2 x 200 mg
(98% Lemas Neutrofil : 84,3 % Inj. Resfar
dengan O2 Mual Limfosit : 9,2 % Inj. Lovenox 2 x 0,6
NC 10 lpm) Neutrofil-Limfosit Ratio :
9,16 % PO :
Teosal 2 x 1 tab
Pemeriksaan Elektrolit Becofort 1 x 1 tab
Fisik : Natrium : 130 mmol/L Vit D 1 x 1 tab
Paru : Kalium : 4,4 mmol/L Clopidogrel 1 x 75 mg
Ronki +/+ Kalsium : 1,08 mmol/L tab
Aspilet 1 x 80 mg tab
Pemeriksaan Tambahan:
Glukosa : 273 mg/dl
D-Dimer : 1,67
Ureum : 47 mg/dl
Creatinin : 1,09 mg/dl
SGOT : 53 u/L ()
SGPT : 80 u/L ()
Swab : Confirm Positif
SARS Cov-2
80
11. Tn. DI 11. Jl. B. Kotien TTV : Sesak nafas FOTO X-RAY THORAK: IVFD NaCl 0,9% 500
RBA No. 43 TD : 114/72 Kurang Pnemumonia Bilateral cc/12 jam
mmHg nafsu makan Inj. Moxifloxacin 1 x
N : 96 x/m Lemas Darah Lengkap : 400 mg
RR : 21 x/m Kesemutan Leukosit : 5.120 /uL Inj. Drip Resfar
Suhu : kedua Hb : 14,5 g/dL ()
36,0C tangan Trombosit : 200.000/uL PO:
SpO2 : 97% Eritrosit : 4,50 x 106 /uL OBH Syr 3 x 5 cc
Becefort 1 x 1 tab
Pemeriksaan Tambahan : Paracetamol 3 x 500 mg
Glukosa : 279 mg/dl (k/p)
D-Dimer : 1,636 mg/L Curvit 3 x 5 cc
Ureum : 26 mg/dl
Creatinin : 1,20 mg/dl Obat rutin pasien :
SGOT : 221 u/L Glimepirid 2 x 2 mg
SGPT : 195 u/L Metformin 2 x 500 mg
Swab : Confirm Positif Candesartan 1 x 8 mg
SARS Cov-2
81
4.2. Pembahasan
82
N : 126x/menit
S : 38,6
SpO2 : 92 %
8. Ny. M Compos Mentis Lemas
TD : 140/100 mmgh Mudah lelah
N : 104x/menit Nyeri dada
RR : 30x/menit Nafsu makan
S : 360C berkurang
Spo2 : 89%
9. Tn. N Compos Mentis Batuk
TD : 137/70 mmgh Demam
N : 133x/menit Sesak napas
RR : 26x/menit Cegukan
S : 38,60C Nyeri tenggorokan
Spo2 : 95%
10. Tn. S TD : 125/77 mmHg Sesak nafas sejak ±
N : 92 x/m 7Hari SMRS
RR : 24 x/m Demam
Suhu : 36,3C Tidak nafssu makan
SpO2 : 85 % (98% Lemas
dengan O2 NC 10 lpm) Mual
11. Tn. DI TD : 114/72 mmHg Sesak nafas
N : 96 x/m Kurang nafsu makan
RR : 21 x/m Lemas
Suhu : 36,0C Kesemutan kedua
SpO2 : 97% tangan
83
dan beberapa di antaranya akan berkembang menjadi penyakit yang sangat parah.
a. Sesak21,22
Gejala sesak memperlihatkan keterlibatan organ paru dan hipoksia. Keadaan
ini merupakan akibat penggadaan virus dan peradangan lokal, yang merupakan
tanda patogenesis COVID-19 tahan II. Virus menyebar dan bermigrasi ke saluran
pernapasan di sepanjang saluran udara konduksi, dan respons imun bawaan yang
dipicu lebih kuat. Virus yang mencapai unit pertukaran gas paru-paru kemudian
menginfeksi sel alveolar tipe II. Baik SARS-CoV dan influenza secara istimewa
menginfeksi sel tipe II dibandingkan dengan sel tipe I. Unit alveolar yang
terinfeksi cenderung perifer dan subpleural. SARS-CoV menyebar di dalam sel
tipe II, sejumlah besar partikel virus dilepaskan, dan sel mengalami apoptosis dan
mati. Hasil akhirnya kemungkinan adalah toksin paru yang mereplikasi diri saat
partikel virus yang dilepaskan menginfeksi sel tipe II di unit yang berdekatan.
Kecukupan pertukaran gas terutama ditentukan oleh keseimbangan antara
ventilasi paru dan aliran darah kapiler, yang disebut pencocokan ventilasi / perfusi
(V / Q). Pada fase awal COVID-19, beberapa mekanisme memperlihatkan
perkembangan hipoksemia arteri tanpa peningkatan kerja pernapasan yang
bersamaan. Hipoksemia arteri di awal infeksi SARS-CoV-2 terutama disebabkan
oleh ketidakcocokan V / Q dan dengan demikian aliran darah arteri pulmonalis
yang terus-menerus ke alveoli yang tidak berventilasi akibat alveolar terinfeksi
dan akhirnya apoptosis.
Tingginya aliran darah paru ke alveoli paru non-aerasi tampaknya disebabkan
oleh kegagalan relatif mekanisme hipoksia karna vasokonstriksi paru
(penyempitan arteri intrapulmonal kecil sebagai respons terhadap hipoksia
alveolar) selama infeksi SARS-CoV-2. Saturasi oksigen yang diukur dengan
oksimetri nadi (SpO2) sering digunakan untuk mendeteksi hipoksemia. Pada
pasien Covid-19 dengan keadaan berat didapatkan salah satu tanda klinis yaitu
SpO2 < 93% pada udara ruangan. Dimana penurunan kadar saturasi oksigen ini
menggambarkan adanya hipoksia alveolar akibat vasokonstriksi paru ataupun
hipoksia arteri akibat ketidakcocokan ventilasi / perfusi (V / Q) karena aliran
darah arteri pulmonalis yang terus-menerus ke alveoli yang tidak berventilasi.
84
b. Demam21,22
Virus SARS-CoV-2 yang masuk ke saluran pernapasan kemungkinan besar
akan berikatan dengan sel epitel di rongga hidung dan mulai bereplikasi. ACE2
adalah reseptor utama untuk SARS-CoV2 dan SARS-CoV. Agregasi SARS-CoV-
2 di paru-paru menyebabkan gangguan sel epitel dan endotel alveolus, bersama
dengan infiltrasi sel-sel inflamasi menyebabkan munculnya sitokin-sitokin
proinflamasi (IL- 1, IL-6, dan TNFα, dan lainnya). Agregasi SARS-CoV-2 di
paru-paru menyebabkan gangguan sel epitel dan endotel alveolus, bersama
dengan infiltrasi sel-sel inflamasi menyebabkan munculnya sitokin-sitokin
proinflamasi (IL- 1, IL-6, dan TNFα, dan lainnya). Pada pasien COVID-19 berat,
respon imun ini dapat berlebihan dan menyebabkan badai sitokin sistemik yang
mencetuskan terjadinya systemic inflammatory response syndrome (SIRS).
Demam terjadi oleh karena pengeluaran zat pirogen dalam tubuh.
Sumber utama dari zat pirogen endogen adalah monosit,limfosit dan neutrofil.
Interleukin-1, interleukin-6, tumor nekrosis factor α dan interferon α,
interferon β serta interferon γ yang keluar akibat agregasi SARS-CoV-2
merupakan sitokin yang berperan terhadap proses terjadinya demam. Sitokin-
sitokin tersebut juga diproduksi oleh sel-sel di Susunan Saraf Pusat (SSP) dan
kemudian bekerja pada daerah preoptik hipotalamus anterior. Sitokin akan
memicu pelepasan asam arakidonat dari membrane fosfolipid dengan bantuan
enzim fosfolipase A2. Asam arakidonat selanjutnya diubah menjadi
prostaglandin karena peran dari enzim siklooksigenase (COX, atau disebut
juga PGH sintase) dan menyebabkan demam pada tingkat pusat termoregulasi
di hipotalamus.
c. Batuk21,22
Batuk merupakan upaya pertahanan paru terhadap berbagai rangsangan yang
ada. Batuk adalah refleks normal yang melindungi tubuh kita. Refleks batuk
terdiri dari / komponen utama yaitu reseptor batuk, serabut saraf aferen, pusat
batuk, susunan saraf eferen dan efektor. Serabut aferen perifer terletak di paru-
paru dan saluran udara; mereka merespons rangsangan kimiawi dan mekanis serta
85
mendorong respons fisiologis seperti batuk. Salah satu reaksi inflamasi yang dapat
menstimulasi refleks batuk adalah prostaglandin E dan bradikinin. Reaksi ini akan
menstimulus reseptor batuk, dimana stimulus akan dibawa ke serabut aferen dan
dilanjutkan ke pusat batuk di medula. Selanjutkan stimulus ini akan merangsang
efektor otot-otot lring, trakea, bronkus, diafragma. Organ-organ ini akan bekerja
secara simultan untuk mengasilkan kejadian batuk.
Dari hasil pemeriksaan darah rutin pada saat datang ke RSUD dr. Doris
Sylvanus Palangka Raya, didapatkan :
86
PLT 457/uL
CRP 26.49 mg/L
Neutrofil 22.95/uL
Lymfosit 1.19/uL
Neutrofil 90,1% (↑)
Lymfosit 4,7 % (↓)
Monosit 5,0 %
Neutrofil-Limfosit Rasio 19,1 %
5. Ny. SK WBC 19.15/uL (↑)
RBC 3.31/uL
HGB 9.6 g/dL
HCT 27.7 %
PLT 112/uL
Neutrofil 17.70/uL (↑)
Lymfosit 0.99/uL (↓)
Monosit 0.42/uL
Eosinofil 0.00/uL
Basofil 0.25/uL
Neutrofil 92,4 %
Limfosit 5,2 %
Neutrofil-Limfosit Rasio 17,8 %
6. Tn. M Leukosit : 12.820 (↑)
Hematokrit : 33,5 %
Trombosit : 200.000
Hemoglobin : 11,2
Neutrofil : 9710/uL
Limfosit : 2530/uL
Rasio Neutrofil : 75,8 %
Rasio Limfosit : 19,7 %
Rasio Monosit : 3,8
Rasio Eosinofil : 0,3 %
Neutrofil-Limfosit Rasio : 3,8 %
7. Ny. H Leukosit : 9.820
Eritrosit : 9,39 x 106
Hemoglobin : 10,2
Trombosit : 315.000
Limfosit : 380/uL (↓)
Hitung Jenis :
Neutrofil : 95,0 %
Limfosit : 3,9 %
Monosit : 0,9 %
Neutrofil-Limfosit Rasio : 24,3 %
8. Ny. M WBC 6.60 X 10^3/uL
Neutrofil 4,86 X 10^3/uL
Lymposit 1,16 X 10^3/uL (Normal)
Monosit 0,55 X 10^3/uL
87
Eosinofil 0.00 X 10^3/uL
Basofil 0,03 X 10^3/uL
Neutrofil 73,6 %
Limfosit 17,6 %
Neutrofil-Limfosit Ratio 4,18 %
HB 14,4 g/dL
9. Tn. N WBC 4,70 X 10^3/uL
Neutrofil 3,64 X 10^3/uL
Lymposit 0,55 X 10^3/uL (↓)
Monosit 0,50 X 10^3/uL
Eosinofil 0.00 X 10^3/uL
Basofil 0,01 X 10^3/uL
Neutrofil 77,5 %
Limfosit 11,7 %
Neutrofil-Limfosit Ratio : 6,6 %
HB 14,3 g/dL
10. Tn. S Leukosit : 6.888/uL
Hb : 10,6 g/dL
Trombosit : 523.000/uL
Eritrosit : 5,34 x 106 /uL
Neutrofil : 5800/uL
Limfosit : 630u/L (↓)
Neutrofil : 84,3 %
Limfosit : 9,2 %
Neutrofil-Limfosit Ratio : 9,16 %
11. Tn. DI Leukosit : 5.120 /uL
Hb : 14,5 g/dL
Trombosit : 200.000/uL
Eritrosit : 4,50 x 106 /uL
Neutrofil : 2930/uL
Limfosit : 1540/uL (Normal)
Neutrofil : 57,2%
Limfosit : 35,1%
Neutrofil-Limfosit Ratio : 1,6 %
Pada pemeriksaan darah lengkap yang didapatkan pada semua pasien yang
datang dengan kegawatdaruratan
- Leukosit23
Ada 3 dari 11 pasien yang mengalami peningkatan leukosit, yaitu
Tn. BS, Ny. SK, Tn.M, sisanya dalam batas normal, hal ini menunjukan
bahwa infeksi virus cenderung tidak mempengaruhi peningkatan leukosit.
Sesuai dengan teori tinjauan pustaka leukosit normal terjadi pada awal
infeksi SARS-CoV2
- Limfosit23
88
Pada hasil pengamatan yang didapatkan bahwa dari 11 pasien
terdapat pasien yang ALC menurun, hal ini sesuai teori yang dijelaskan
bahwa pasien Covid-19 yang mengalami penurunan limfosit/limfopenia
merupakan pasien yang kritis dikarenakan adanya terjadinya 1) Inflamasi
Badai sitokin yang kemungkinan merupakan faktor kunci di balik
limfopenia yang diamati. Tingkat serum sitokin pro-inflamasi, seperti
TNF-α dan IL-6, telah berkorelasi erat dengan limfopenia, 2) Infeksi
COVID-19 dapat menyebabkan matinya sel T. Sebuah studi menemukan
baik sel CD4+ dan CD8+ T dari pasien COVID-19 telah meningkatkan
ekspresi permukaan sel dari protein kematian sel terprogram 1 (PD-1) dan
imunoglobulin sel T dan domain musin 3 (Tim-3), dua penanda kematian
sel T. 3) Virus SARS-CoV-2 dapat menginfeksi sel T. Sebuah penelitian
melaporkan bahwa dua baris sel T manusia (MT-2 dan A3.01) dengan
tingkat mRNA ACE2 manusia yang sangat rendah, reseptor yang
digunakan virus untuk memasuki inang, dapat terinfeksi virus secara in
vitro.
89
menginduksi kerusakan dari DNA sel dan menyebabkan virus bebas
keluar dari sel.
Kemudian ADCC (Antibody-Dependent Cell-Mediated Cell) dapat
langsung membunuh virus secara langsung dan memicu imunitas humoral.
Neutrofil dapat dipicu oleh faktor-faktor inflamasi yang berkaitan dengan
virus, seperti interleukin-6, interleukin-8, faktor nekrosis tumor,
granulocyte colony stimulating factor, dan interferon-gamma factors, yang
dihasilkan oleh limfosit dan sel endothel. Di samping itu, respon imun
manusia yang diakibatkan oleh virus terutama bergantung pada limfosit,
dimana inflamasi yang sistemik secara signifikan menekan imunitas
seluler, dimana secara signifikan menurunkan kadar CD4+ limfosit T dan
meningkatkan CD8+ supresor limfosit T.
Oleh karena itu, inflamasi yang dipicu oleh karena virus
meningkatkan rasio neutrofil-limfosit. Peningkatan rasio neutrophil-
limfosit memicu progresivitas COVID-19.
90
Normal : 38-42
pO2 : 106 mmHg ( )
Normal : 80-100
8. Ny. M pH 7,22 (↓)
pCO2 23 mmHg (↓)
pO2 68 mmHg (↓)
9. Tn. N Tidak diperiksa
10. Tn. S Tidak diperiksa
11. Ny. H Tidak diperiksa
12. Tn. DI Tidak diperiksa
Pemeriksaan Elektrolit
No. Nama Hasil Elektrolit
91
1. Ny. YW Natrium 127 mmol/L (↓)
Kalium 2,6 mmol/L (↓)
Calcium1,05 mmol/L
2. Ny. N Tidak diperiksa
3. Ny. M Natrium 131 mmol/L (↓)
Kalium 3,4 mmol/L (↓)
Calcium 0,97 mmol/L
4. Tn. BS Natrium (132 mmol/L) (↓)
Kalium (4.8 mmol/L)
Calcium (1.15 mmol/L)
5. Ny. SK Natrium (130 mmol/L) (↓)
Kalium ( 2.2 mmol/L) (↓)
Calsium (0.58 mmol/L) (↓)
6. Tn. M Natrium : 137 mmol/L
Kalium : 4,7 mmol/L
Calcium : 1,02 mmol/L
7. Ny. H Natrium : 142 mmol/L
Kalium : 5,1 mmol/L
Chloride : 112 mmol/L (↑)
8. Ny. M Natrium 121 mmol/L (↓)
Kalium 4,8 mmol/L
Calcium 1,03 mmol/L
9. Tn. N Natrium 132 mmol/L (↓)
Kalium 3,2 mmol/L (↓)
Calcium 1,08 mmol/L
10. Tn. S Natrium : 130 mmol/L ()
Kalium : 4,4 mmol/L
Kalsium : 1,08 mmol/L
11 Tn. DI Tidak Diperiksa
92
10,33; 95% CI 1,62–65,62; p=0,01) dan perawatan di RS juga meningkat.26
Foto Thoraks
No. Nama Pemeriksaan
1. Ny. YW Pneumonia
2. Ny. N Tidak dilakukan
3. Ny. M Pneumonia
4 Tn. BS Pneumonia bilateral
5 Ny. SK Pneumonia
6. Tn. M Pneumonia
7. Ny. H Pneumonia bilateral
8. Ny. M Pneumonia bilateral luas
9. Tn. N Pneumonia bilateral
10 Tn. S Pneumonia bilateral
11 Tn. DI Pneumonia bilateral
93
Dari ke 11 pasien terkonfirmasi positif, 10 pasien didapatkan dengan
gambaran foto thorax dengan pneumonia dan 1 pasien tidak dilakukan
pemeriksaan. Berdasarkan teori foto toraks merupakan modalitas lini pertama
untuk pasien yang dicurigai COVID-19 atau untuk mengevaluasi pasien kritis
yang tidak dapat dilakukan CT scan. Foto toraks dapat terlihat normal pada fase
awal atau pada pasien dengan klinis ringan. Gambaran foto thoraks pada pasien
COVID-19 yang tersering adalah berupa konsolidasi atau infiltrat dengan tempat
predileksi dominan di lapangan bawah, perifer, bilateral.27
Faal Koagulasi
No. Nama Pemeriksaan Normal
1. Ny. YW Tidak dilakukan <0,5 mg/L
2. Ny. N Tidak dilakukan <0,5 mg/L
3. Ny. M Tidak dilakukan <0,5 mg/L
4 Tn. BS D-dimer 11.03 mg/dL <0,5 mg/L
5 Ny. SK Tidak dilakukan <0,5 mg/L
6. Tn. M Tidak dilakukan <0,5 mg/L
7. Ny. H D-dimer : 4,25 mg/L <0,5 mg/L
8. Ny. M D-Dimer 2,28 mg/L <0,5 mg/L
9. Tn. N D-Dimer 0,49 mg/L <0,5 mg/L
10 Tn. S D-Dimer : 1,67mg/L <0,5 mg/L
11 Tn. DI D-Dimer : 1,636 mg/L <0,5 mg/L
94
COVID-19 yang dirawat di rumah sakit. Emboli paru diduga berkontribusi
terhadap angka mortalitas yang tinggi pada pasien COVID-19.27
95
No. Nama Tatalaksana
1 Ny. Y O2 NRM 10 lpm
IVFD RL 20 tpm
Inj. Diazepam 2 Amp I.M
PO/ Coditam 1 tab
2 Ny. N O2 NRM 12 lpm
IVFD Nacl 10 tpm
Sp NE 1,69cc/jam
3 Ny. M O2 NRM 12 lpm
IVFD Nacl 6-7 tpm
Inj. Furosemid 20mg (IV)
4 Tn. B.S e. dr.Sp.P
O2 NRM 12 TPM
Swab 1 & 2
IV Moxifloxacin 1x400 mg
Drip resfar dalam NS 100 cc 1x/24 jam
f. dr.Sp.N
IVFD Asering 16 tpm
IV mecobalamin 2x500 mg
IV citicolin 2x500 mg
IV PCT 3x1 gr
PO CPG 75 mg
g. dr.Sp.JP
Jantung tidak ada tindakan karena high risk. Terapi
lain sesuai neuro
CPG tunda
h. dr.Sp.PD
Tranfusi PRC 1 kolf/12 jam sampai dengan HB > 6.
Setelah itu 1 kolf/24 jam
PO ketocid 3x1
Cek GDS pukul 06.00
5 Ny. S.K dr. Sp.P
O2 NRM 10 LPM
Swab I & II
Setelah hasil swab positif terapi diberikan Rendesivir 200 mg
(hari ke I) harus habis dalam 5 jam. Selanjutnya Rendesivir
1x100 mg (hari ke II-IV)
6 Tn. M O2 mask 6-8 lpm
NaCl 0,9 % loading 200 cc kemudian dilanjutkan 16 tpm
Inj. Ranitidine 10 mg
Moxifloxacin 1x400 IV
Omeprazole 1x400
96
Aminofilin 3x100
4FDC 1 x 1
Vitamin B6 1x1
Aluvia 2x2
7 Ny. H O2 nRM 8 lpm
Inf. NaCl 0,9 %
Pasang DC
Inj. Furosemid 40 mg
Pasang Stopper
Inf. Paracetamol 3x500mg
Po. CaCO3 3x1
8 Ny. M IVFD NaCl 3% 500ml/24jam
Inj. Moxifloxacin 1x400 mg
Inj. Meropenem 2x1g
Mecobalamin 2x500 mg
Resfar dalam NS 100 cc 1x 24 jam
Rencana swab
9 Tn N. Rencana swab
Rawat isolasi
Inj moxiflocaxin 1x400
inj. Ranitidin 2x1 amp
vitamin C 2x200 mg
drip resfar dalam NS 100 cc 1x24 jam
Po. Aminofilin 3x200 mg
Po. Vutamin D 2x400 mg
Paracetamol 500 mg tab
10 Tn. S. IVFD NaCl 0,9%
Inj. Aminofilin 1x1
Inj. Meropenem 3 x 1 g
Inj. Lansoprazole 1 x 30 mg
Inj. Dexametasone 2 x 15 mg
Inj.Vit C 2 x 200 mg
Inj. Resfar
Inj. Lovenox 2 x 0,6
PO :
Teosal 2 x 1 tab
Becofort 1 x 1 tab
Vit D 1 x 1 tab
Clopidogrel 1 x 75 mg tab
Aspilet 1 x 80 mg tab
11 Tn. D.I IVFD NaCl 0,9% 500 cc/12 jam
Inj. Moxifloxacin 1 x 400 mg
Inj. Drip Resfar
97
PO:
OBH Syr 3 x 5 cc
Becefort 1 x 1 tab
Paracetamol 3 x 500 mg (k/p)
Curvit 3 x 5 cc
98
isolasi dan pemantauan, dimana isolasi dilakukan di ruang isolasi rumah sakit
rujukan atau rawat secara kohorting dan pengambilan swab untuk pcr dilakukan
pada hari pertama dan kedua untuk penegakan diagnosis. Bila pemeriksan di hari
pertama sudah positif, tidak perlu lagi pemeriksaan di hari kedua, Apabila
pemeriksaan di hari pertama negatif, maka diperlukan pemeriksaan di hari
berikutnya (hari kedua). Pada pasien yang di rawat inap, pemeriksaan PCR
maksimal hanya dilakukan sebanyak tiga kali selama perawatan. Untuk kasus
berat dan kritis, bila setelah klinis membaik, bebas demam selama tiga hari namun
pada follow-up PCR menunjukkan hasil yang positif, kemungkinan terjadi kondisi
positif persisten yang disebabkan oleh terdeteksinya fragmen atau partikel virus
yang sudah tidak aktif. Pertimbangkan nilai Cycle Threshold (CT) value untuk
menilai infeksius atau tidaknya dengan berdiskusi antara DPJP dan laboratorium
pemeriksa PCR karena nilai cutt off berbeda-beda sesuai dengan reagen dan alat
yang digunakan. Yang kedua dapat dilakuan dengan cara non farmakologis yaitu
dengan cara Istirahat total, asupan kalori adekuat, kontrol elektrolit, status hidrasi
(terapi cairan), dan oksigen. Pemantauan laboratorium Darah Perifer Lengkap
beriku dengan hitung jenis, bila memungkinkan ditambahkan dengan CRP, fungsi
ginjal, fungsi hati, Hemostasis, LDH, D-dimer. Monitoring tanda-tanda sebagai
berikut : takipnea, frekuensi napas > 30x/menit, Saturasi Oksigen dengan pulse
oximetry ≤93% (di jari), PaO2/FiO2 ≤ 300 mmHg. Monitoring keadaan kritis
seperti Gagal napas yg membutuhkan ventilasi mekanik, syok atau gagal
multiorgan yang memerlukan perawatan ICU. Bila terjadi gagal napas disertai
ARDS pertimbangkan penggunaan ventilator mekanik. Gunakan high flow nasal
cannula (HFNC) atau non-invasive mechanical ventilation (NIV) pada pasien
dengan ARDS atau efusi paru luas. HFNC lebih disarankan dibandingkan NIV.
Pembatasan resusitasi cairan, terutama pada pasien dengan edema paru. Posisikan
pasien sadar dalam posisi tengkurap (awake prone position). Dan selanjutnya
lakukan terapi oksigen, dimana untuk penggunaan NRM : 15 liter per menit, lalu
titrasi sesuai SpO2, HFNC (High Flow Nasal Canulla), FiO2 100% lalu titrasi
sesuai SpO2, Lakukan pemberian HFNC selama 1 jam, kemudian lakukan
evaluasi. Jika pasien mengalami perbaikan dan mencapai kriteria ventilasi aman
(indeks ROX >4.88 pada jam ke-2, 6, dan 12 menandakan bahwa pasien tidak
99
membutuhkan ventilasi invasif, sementara ROX <3.85 menandakan risiko tinggi
untuk kebutuhan intubasi). 31
Menurut Tatalaksana klinis infeksi saluran pernapasan akut berat (SARI)
suspek penyakit COVID-19 yang dirilis 13 maret 2020 tatalaksana COVID-19
kasus berat yaitu dengan cara melakukan terapi oksigen dan monitoring. Pasien
dewasa yang menunjukkan tanda-tanda darurat (pernapasan terhalang atau apnea,
gawat pernapasan, sianosis sentral, renjatan, koma, atau kejang) perlu menerima
tatalaksana saluran pernapasan dan terapi oksigen untuk mencapai SpO2 ≥ 94%.
Mulai berikan terapi oksigen 5 L/menit dan atur titrasi untuk mencapai target
SpO2 ≥ 93% selama resusitasi; atau gunakan sungkup tutup muka dengan kantong
reservoir (dengan tingkat 10-15 L/min) jika pasien dalam kondisi kritis. Meskipun
pasien diduga terjangkit COVID-19, berikan antimikroba empiris yang sesuai
dalam waktu 1 jam sejak identifikasi sepsis Pengobatan antibiotik empiris harus
didasarkan pada diagnosis klinis (pneumonia dapatan masyarakat, pneumonia
terkait perawatan kesehatan jika infeksi terjadi di tempat perawatan kesehatan]
atau sepsis), epidemiologi setempat dan data kerentanan, dan panduan pengobatan
nasional untuk sepsis. Pasien dapat tetap mengalami peningkatan kerja pernapasan
atau hipoksemia walaupun sudah diberi oksigen melalui sungkup tutup muka
dengan kantong reservoir (aliran 10-15 L/menit, yang biasanya adalah aliran
minimal yang diperlukan agar kantong tetap mengembang; FiO2 antara 0,60 dan
0,95). Kegagalan napas hipoksemia pada ARDS biasanya terjadi akibat
ketidaksesuaian ventilasi-perfusi atau pirau/pintasan intrapulmoner dan biasanya
memerlukan ventilasi mekanis.32
Setelah melakukan analisis berdasarkan teori telah didapat bahwa pada
kasus pasien yang terkonfirmasi Covid-19 yang masuk di RSUD dr. Doris
Sylvanus Palangka Raya dengan kasus kegawatdaruratan bahwa pada
penatalaksanaan awal yang dilakukan diruang IGD ada yang sudah memnuhi teori
dan ada yang belum memenuhi seperti teori yang ada. Untuk yang telah
memenuhi kriteria penatalaksanaan teori yang ada terdapat 8 responden dari total
11 responden yang ada. Untuk penatalaksanaan yang dimaksud telah sesuai adalah
dengan cara pemberian oksigenasi dimana pemberian oksigenasi diberikan dengan
menggunakan NSM dengan kecepatan 10-15 LPM, ini sudah sesuai teori dimana
100
beberapa literatur menyebutkan bahwa terapi oksigenasi dilakukan apabila pasien
dengan saturasi < 93% dengan menggunakan sungkup tutup muka dengan
kantong reservoir. Selain pemberian oksigenasi pada penatalaksanaan dilakukan
penatalaksanaan untuk terapi suportif dimana telah sesuai teori bahwa pada
pengobatan Covid-19 ini salah satunya dapat melakukan terapi suportif untuk
meringankan gejala. Selain itu dilakukan juga advis untuk swab dimana sesuai
teori dilakukan pada hari pertama dan kedua untuk menegakkan diagnosis. Selain
itu pada kasus ini dilakukan penatalaksanaan untuk kasus Covid-19 dengan
kemorbid dimana telah sesuai teori bila terdapat perburukan klinis atau penurunan
kesadaran pasien akan dirawat di ruang isolasi intensif (ICU) di rumah sakit
rujukan.
Dilakukan analisis bahwa terdapat 3 responden dari total 11 responden
dimana terdiri dari dua perempuan dan satu laki-laki, dimana tatalaksana untuk
oksigenasi belum memenuhi kriterian kalau dilihat dari segi teori yang ada. Untuk
terapi oksigenasi dilakukan apabila pasien dengan saturasi < 93% dengan
menggunakan sungkup tutup muka dengan kantong reservoir. Dimana pada pasien
atas nama Ny. H kadar nilai SpO2 adalah 92% yang seharusnya mendapatkan
terapi oksigenasi dengan NRM dengan kecepatan 10-15 LPM namun pada pasien
ini hanya diberikan oksigenasi menggunakan NRM dengan laju kecepatan
pemberian hanya 8 LPM. Yang selanjutnya Ny. M kadar SpO2 adalah 89% %
yang seharusnya mendapatkan terapi oksigenasi namun pada pasien ini tidak
diberikan untuk terapi oksigenasi. Yang selanjutnya adalah Tn. S kadar SpO2
adalah 85% dimana hanya diberikan terapi oksigenasi menggunakan nasal kanul
dengan kecepatan 10 LPM dimana belum sesuai teori bahwa seharusnya terapi
oksigenasi dengan kadar SpO2 < 93% diberikan menggunakan NRM dengan
kecepatan 10-15 LPM.
Salah satu yang harus diperhatikan pada tata laksana adalah pengendalian
komorbid. Dari gambaran klinis pasien COVID-19 diketahui komorbid
berhubungan dengan morbiditas dan mortalitas. Komorbid yang diketahui
berhubungan dengan luaran pasien adalah usia lanjut, hipertensi, diabetes,
penyakit kardiovaskular dan penyakit serebrovskular.
Pada pasien disertai syok Ny. M dan Tn. Md maka dilakukan tatalaksana
101
syok sesuai pedoman tatalaksana syok yang sudah ada. Pengobatan komorbid dan
komplikasi yang ada pada Ny. M diberikan inj. Furosemid sebagai diuretik dan
Tn. D.I. Glimepirid 2 x 2 mg, Metformin 2 x 500 mg sebagai pengobatan
antidiabetes dan Candesartan 1 x 8 mg sebagai pengobatan antihipertensi.
Deksametason dengan dosis 6 mg/ 24 jam selama 10 hari atau kortikosteroid lain
yang setara seperti hidrokortison pada kasus berat yang mendapat terapi oksigen
atau kasus berat dengan ventilator namun pada Tn. S diberikan Inj. Dexametasone
2 x 15 mg.
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1. Kesimpulan
Pada penelitian yaitu gambaran angka kejadian COVID-19 Jumlah kasus
konfirmasi COVID-19 yang disertai kegawatdaruratan di RSUD dr. Doris
Sylvanus Palangka Raya pada periode 28 Desember 2020 – 24 Januari 2021
didapatkan :
1. Jumlah kasus konfirmasi COVID-19 yang disertai kegawatdaruratan yang
di RSUD dr. Doris Sylvanus Palangka Raya pada periode 28 Desember
2020 – 24 Januari 2021 berjumlah total 11 pasien.
2. Jumlah kasus konfirmasi COVID-19 yang disertai kegawatdaruratan yang
di RSUD dr. Doris Sylvanus Palangka Raya pada periode 28 Desember
2020 – 24 Januari 2021 berjumlah 6 pasien berjenis kelamin perempuan.
3. Jumlah kasus konfirmasi COVID-19 yang disertai kegawatdaruratan yang
di RSUD dr. Doris Sylvanus Palangka Raya pada periode 28 Desember
2020 – 24 Januari 2021 berjumlah 5 pasien berjenis kelamin laki-laki.
4. Kegawatdaruratan yang dialami semua pasien ditandai dengan tanda gejala
sesak nafas, sehingga tatalaksana awal yang diberikan adalah oksigenasi.
102
5.2. Saran
Pada penelitian ini diberikan gambaran angka kejadian COVID-19 Jumlah
kasus konfirmasi COVID-19 yang disertai kegawatdaruratan di RSUD dr. Doris
Sylvanus Palangka Raya pada periode 28 Desember 2020 – 24 Januari 2021
sehingga berpotensi untuk dikembangkan menjadi penelitian selanjutnya. Oleh
sebab itu diharapkan penulis selanjutnya dapat melakukan riset secara langsung
dan pemantauan pada waktu yang lebih lama.
DAFTAR PUSTAKA
103
6. WHO. Corona Disease 2019 (Covid 19). Ikthisar Kegiatan-5.World Health
Organization ; Indonesia. 11 September 2020. Available from :
who.int/indonesia
7. WHO. Transmisi SARS-CoV-2: implikasi terhadap kewaspadaan pencegahan
infeksi. Juli 2020
8. Shereen MA, Khan S, Kzami A dkk. Covid 19 infection : Origin,
Transmission and Characteristics of Human Coronaviruses. Journal of
Advanced Research 24 : 2020. Pg 91-8
9. Susilo A, Rumende M, Pitoyo CW dkk. Tinjauan Pustaka Coronavirus
Disease 2019: Tinjauan Literatur Terkini. Jurnal Penyakit Dalam Vol 7.
FKUI : 2020.
10. PDPI, PERKI, PAPDI, PERDATIN, IDAI. Pedoman Tatalaksana Covid-19
Edisi 2. Jakarta : 2020
11. WHO. Tatalaksana klinis infeksi saluran pernapasan akut berat (SARI)
suspek penyakit COVID-19. Maret 2020
12. García, Luis F. Immune Response, Inflammation, and the Clinical Spectrum
of COVID-19. Grupo de Inmunología Celular e Inmunogenética, Facultad de
Medicina, Sede de Investigación Universitaria, Universidad de Antioquia,
Medellín, Colombia. 2020. Diakses dari
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC7308593/ pada tanggal 20
Januari 2021
13. Manson, Robert J. Pathogenesis of COVID-19 from a cell biology
perspective. National Jewish Health, Dept of Medicine, Denver, CO, USA.
2020. Diakses dari https://erj.ersjournals.com/content/55/4/2000607.short
pada tanggal 20 Januari 2021
14. Willim, Herick Alvenus, dkk. Koagulopati pada Coronavirus Disease-2019
(COVID-19): Tinjauan pustaka. Intisari Sains Medis 2020, Volume 11,
Number 3. 2020. Diakses dari
https://isainsmedis.id/index.php/ism/article/viewFile/766/642 pada tanggal 20
Januari 2021
15. Handayani, Diah, dkk. Penyakit Virus Corona 2019 dalam Jurnal Respirologi
Indonesia. Departemen Pulmonologi dan Kedokteran Respirasi Fakultas
104
Kedokteran Universitas Indonesia, Rumah Sakit Umum Pusat Persahabatan,
Jakarta. 2020 diakses dari
https://jurnalrespirologi.org/index.php/jri/article/download/101/110 pada
tanggal 18 Januari 2021
16. Soeroto, Arto Y. KOMPENDIUM DIAGNOSTIK DAN PENGOBATAN
COVID-19 (INTERIM) PERHIMPUNAN RESPIROLOGI INDONESIA
(PERPARI). Suplemen Indonesia Journal Chest | Vol.7 No.1. 2020. Diakses
dari
http://www.indonesiajournalchest.com/index.php/IJC/issue/download/PEDO
MAN_DIAGNOSTIK_DAN_PENGOBATAN_COVID-
19/PEDOMAN_DIAGNOSTIK_DAN_PENGOBATAN_COVID-19 pada
tanggal 20 Januari 2021
17. Tes Diagnostik untuk SARS-CoV-2. World Health Organization. 2020.
Diakses dari https://www.who.int/docs/default-
source/searo/indonesia/covid19/tes-diagnostik-untuk-sars-cov-2.pdf?
sfvrsn=71ceeae7_2 pada tanggal 18 Januari 2021
18. USULAN PANDUAN PEMERIKSAAN LABORATORIUM COVID-19.
Jakarta : Perhimpunan Dokter Spesialis Patologi Klinik dan Kedokteran
Laboratorium. Diakses dari https://doc-0o-b0-
docs.googleusercontent.com/docs/securesc/5jen39rekbt9t462og3okma9runtuc
kb/o8p4gd1uqg9924ilri34p765lhjegh1i/1610985150000/00468369994632825
403/07495162433650959341/1BqwmMD7XVNEQVVHiglWGz44WDidqbr
43?
e=download&authuser=0&nonce=e466hmkadbs90&user=074951624336509
59341&hash=vedvbj1ap0tcnqbkkh5vlj4c6jv3kpsf pada tanggal 18 Januari
2021
19. Pedoman Tatalaksana Corona Virus Disease (COVID-19) Edisi 2.
Kementerian Kesehatan RI. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI);
Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia (PERKI);
Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia (PAPDI);
Perhimpunan Dokter Anestesiologi dan Terapi Intensif Indonesia
(PERDATIN); Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI). 2020. Diakses dari
105
https://www.papdi.or.id/pdfs/938/Pedoman%20Tatalaksana%20COVID-
19%20edisi%202.pdf pada tanggal 18 Januari 2021
20. WHO. Tatalaksana klinis infeksi saluran pernapasan akut berat (SARI)
suspek penyakit COVID-19. Maret 2020
21. Dhont, S., Derom, E., Van Braeckel, E. et al. The pathophysiology of ‘happy’
hypoxemia in COVID-19. Respir Res 21, 198 (2020).
https://doi.org/10.1186/s12931-020-01462-5
22. Manson, Robert J. Pathogenesis of COVID-19 from a cell biology
perspective. National Jewish Health, Dept of Medicine, Denver, CO, USA.
2020. Diakses dari https://erj.ersjournals.com/content/55/4/2000607.short
pada tanggal 20 Januari 2021
23. Lymphopenia during the COVID-19 infection: What it shows and what
can be learned, Tavakolpour, Soheil, dkk. Immunology Letters. 2020.
Diakses 25 Januari 2021. www.elsevier.com/locate/immlet
24. Amanda, Deviqna. Rasio Neutrofil-Limfosit pada Covid-19; Sebuah tinjauan
literature. Fakultas Kedokteran, Universitas Sumatera Utara. 2020. Wellness
And Healthy Magazine
25. Elezagic, Dzemel, dkk, Venous blood gas analysis in patients with COVID-
19 symptoms in the early assessment of virus positivity. 2020. Diakses dari
https://doi.org/10.1515/labmed-2020-0126 tanggal 27 Januari 2021
26. Mabillard, Holly . Sayer, John A. Electrolyte Disturbances in SARS-CoV-2
Infection [version 2; peer review: 2 approved]. Previously titled: SARS-CoV-
2 and hypokalaemia: evidence and implications. 1Renal Services, The
Newcastle Hospitals NHS Foundation Trust, Newacstle upon Tyne, Tyne and
Wear, NE77DN, UK. Diakses dari
https://doi.org/10.12688/f1000research.24441.2 pada tanggal 27 Jan 2021.
27. Herick Alvenus Willim, Amanda Trixie Hardigaloeh, Alice Inda Supit,
Handriyani.Koagulopati pada Coronavirus Disease-2019 (COVID-19).
Intisari Sains Medis 2020; 11(3): 749-756
28. Yuki, K., Fujiogi, M., & Koutsogiannaki, S. 2020. COVID-19
pathophysiology : A review. Clin. Immunol.215. available from :
https://doi.org/10.1016/j.clim.2020.108427
106
29. Wang, L. 2020. C-reactive protein levels in the early stage of COVID-19.
Med. Mal. Infect.50(4), 332–334. Available from :
https://doi.org/10.1016/j.medmal.2020.03.007
30. Prinsip Pedoman Tatalaksana Pencegahan Dan Pengendalian COVID-19
Revisi 5 KEMENKES RI. Juli 2020
31. WHO. Prinsip Pedoman Tatalaksana COVID-19 Edisi 2. 18 Januari 2021
32. WHO. Tatalaksana klinis infeksi saluran pernapasan akut berat (SARI)
suspek penyakit COVID-19. Maret 2020
107