Anda di halaman 1dari 35

ANALISA SGOT DAN SGPT PADA PASIEN HEPATITIS B VIRUS

DI RSU BUNDA THAMRIN TAHUN 2020

PROPOSAL
Diajukan sebagai Syarat-syarat untuk memenuhi Gelar Ahli Madya
Teknik Laboratorium Medis Universitas Sari Mutiara Indonesia

Oleh : SUHENDRA
NIM : 170209086

PROGRAM STUDI DIII TEKNOLOGI LABORATORIUM MEDIK


FAKULTAS FARMASI DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS SARI MUTIARA INDONESIA
MEDAN 2020

1
HALAMAN PENGESAHAN

ANALISA SGOT, SGPT PADA PASIEN VIRUS HEPATITIS B (HbsAg)


DI RUMAH SAKIT BUNDA THAMRIN
TAHUN 2020

Diterima dan disetujui untuk diseminarkan tim penguji


Tanggal, Juli 2020

Menyetujui Mengetahui
Dosen Pembimbing Ketua Program Studi
D-III Teknik Laboratorium
Medis

(dr. Denrison Purba, SpPK) (Yunita Purba,S.Si.M.Si)

i
DAFTAR ISI

Halaman
DAFTAR ISI.......................................................................................................... i
BAB I PENDAHULUAN....................................................................................1
1.1 Latar Belakang Masalah ..............................................................................1
1.2 Rumusan Masalah........................................................................................5
1.3 Tujuan Penelitian........................................................................................ 5
1.4 Manfaat Penelitian...................................................................................... 5
BAB II LANDASAN TEORI1............................................................................7
2.1 Defenisi Hati...............................................................................................7
2.2 Enzim Transaminase...................................................................................9
2.2.1 Enzim SGOT (Serum Glutamic Oxaloacetic Transaminase)...............9
2.2.2 Enzim SGPT (Serum Glutamic Pyruvic Transaminase).......................9
2.2.3 Perubahan Kadar Enzim Transaminase................................................10
2.3 Hepatitis Virus ...........................................................................................10
2.3.1 Klasifikasi Hepatitis Virus....................................................................10
2.3.2 Patogenesis Hepatitis B.........................................................................13
2.3.3 Klasifikasi Hepatitis B..........................................................................14
2.3.4 Manifestasi Klinis Hepatitis B..............................................................18
2.3.5 Penyebab Hepatitis B............................................................................18
2.3.6 Petanda Serologis Hepatitis B...............................................................19
2.3.7 Cara Penularan......................................................................................19
2.3.8 Pencegahan...........................................................................................20
2.3.9 Pengobatan............................................................................................21
2.3.10 Hubungan Enzim SGOT dan SGPT dengan Hepatitis B....................22
2.4 Kerangka Konsep........................................................................................22

ii
BAB III METODOLOGI PENELITIAN............................................................24
3.1 Jenis Penelitian............................................................................................24
3.2 Lokasi Dan Penelitian.................................................................................24
3.2.1 Lokasi Penelitian...................................................................................24
3.2.2 Waktu Penelitian...................................................................................24
3.3 Populasi dan Sampel...................................................................................24
3.3.1 Populasi...............................................................................................24
3.3.2 Sampel..................................................................................................24
3.4 Metode Jenis Data.......................................................................................24
3.4.1 Data Primer..........................................................................................25
3.4.2 Data Sekunder.....................................................................................25
3.5 Alat Dan Bahan...........................................................................................25
3.5.1 Alat........................................................................................................25
3.5.2 Bahan....................................................................................................26
3.6 Prosedur Kerja Pengambilan Sampel Darah...............................................26
3.7 Pemisah Sampel..........................................................................................28
3.8 Prosedur Kerja Kimia Klinik......................................................................28
3.9 Interprestasi Hasil.......................................................................................29

iii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Hati adalah organ terbesar dan secara metabolisme paling kompleks di


dalam tubuh. Hati merupakan organ tubuh yang penting untuk mendetoksifikasi
zat kimia yang tidak berguna atau merugikan tubuh. Terdapat banyak faktor yang
mempengaruhi kerusakan hati, seperti misalnya virus, bakteri, toksisitas dari obat-
obatan dan bahan kimia serta konsumsi alkohol yang berlebihan.
Banyak penyakit yang dapat terjadi pada organ hati. Penyakit yang paling
sering adalah peradangan hati (Hepatitis). Perdangan hati dapat disebabkan oleh
infeksi mikrorganisme, ataupun oleh obat-obatan. Penyakit lainnya bisa Sirosis
hepatis, Tumor hati (Kanker hati), perlemakan hati, dan lainnya.
Penyakit hati yang disebabkan oleh infeksi virus disebut Hepatitis.
Menurut World Health Organization (WHO) dewasa ini angka kejadian hepatitis
di dunia semakin meningkat setiap tahun dan menginfeksi sepertiga penduduk
dunia, di perkirakan 500 juta jiwa yang terinfeksi penyakit hepatitis dan 1,5 juta
orang di dunia meninggal pertahunnya di sebabkan oleh penyakit hepatitis, ini
merupakan angka kematian yang cukup besar di dunia.
Data WHO tahun 2001 terdapat 7 jenis hepatitis yaitu Hepatitis A, B, C,
D, E, F, G. Dari antara 7 jenis hepatitis tersebut Hepatitis C dan B merupakan
salah satu penyebab infeksi hati yang kronis dan berakhir dengan sirosis, kanker
hati, bahkan meninggal. Diperkirakan virus Hepatitis C telah menyerang 170 juta
jiwa di seruh dunia sedangkan virus hepatitis A atau HAV (hepatitis A virus) di
perkirakan menginfeksi 1,4 juta jiwa di dunia pertahun. Virus Hepatitis B
diperkirakan menyerang 350 juta orang di dunia dan menyebabkan 1,2 juta orang
meninggal pertahunnya.
Pada penyakit Hepatitis B, dapat terjadi kerusakan sel hati (hepatosit) yang
mengakibatkan terjadinya peningkatan enzim transaminase yang diproduksi oleh
hati ke dalam darah.

1
Enzim transaminase pada hati adalah SGPT (serum glutamate piruvat
transaminase) dan SGOT (serum glutamate oksaloasetat transaminase).
Pemeriksaan yang digunakan untuk mengetahui adanya kenaikan enzim
transaminase di darah akibat kerusakan sel hati, dapat dilakukan dengan
pemeriksaan SGPT (serum glutamate piruvat transaminase) atau SGOT (serum
glutamate oksaloasetat transaminase). Tetapi pemeriksaan SGPT (serum
glutamate piruvat transaminase) lebih spesifik dilakukan karena lebih banyak
diproduksi di hati dari pada enzim (SGOT) serum glutamate oksaloasetat
transaminase. Penelitian menyebutkan bahwa tingkat kerusakan hati biasanya
dapat dilihat dari adanya peningkatan rasio SGPT (serum glutamate piruvat
transaminase) lebih dari dua kali angka normal.
SGOT (Serum Glutamic Oxaloacetic Transaminase) dan SGPT (Serum
Glutamic Pyruvate Transaminase) merupakan enzim aminotransferase yang
paling sering berkaitan dengan kerusakan hepatoseluler. Meskipun SGOT
(Serum Glutamic Oxaloacetic Transaminase) dan SGPT (Serum Glutamic
Pyruvate Transaminase) sering dianggap sebagai enzim hati karena intinya
konsentrasi keduanya dalam hepatosit, namun hanya SGPT (Serum Glutamic
Pyruvate Transaminase) yang spesifik. Sedangkan SGOT (Serum Glutamic
Oxaloacetic Transaminase terdapat di miokardium, otot rangka, otak, dan ginjal
(Sacher dan Richard. 2004).
Apabila terjadi kerusakan sel sel hepatosit, kedua enzim yang berasal
dari fraksi mitokondria dan fraksi sitoplasma ini akan masuk ke dalam peredaran
darah sehingga akan terjadi kenaikan kadar SGOT (Serum Glutamic
Oxaloacetic Transaminase) dan SGPT (Serum Glutamic Pyruvate
Transaminase) dalam serum (Zain et al. 1996).
Berdasarkan latar belakang di atas peneliti tertarik untuk melakukan
penelitian tentang gambaran kadar enzim SGOT (Serum Glutamic Oxaloacetic
Transaminase) dan SGPT (Serum Glutamic Pyruvate Transaminase) pada
penderita Hepatitis B.

2
1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian dalam latar belakang di atas, maka permasalahan yang

dirumuskan adalah Bagaimanakah gambaran kadar enzim SGOT (Serum

Glutamic Oxaloacetic Transaminase) dan SGPT (Serum Glutamic Pyruvate

Transaminase) pada penderita Hepatitis B?

1.3 Tujuan Penelitian

Berdasarkan perumusan masalah yang telah ditentukan, penelitian ini


mempunyai tujuan untuk mengetahui gambaran kadar Enzim SGOT (Serum
Glutamic Oxaloacetic Transaminase) dan SGPT (Serum Glutamic Pyruvate
Transaminase) pada penderita Hepatitis B.
1.4 Manfaat Penelitian

Adapun kegunaan yang ingin dikemukakan dalam penelitian ini adalah


sebagai berikut:
a. Bagi Penulis : agar penulis dapat mengetahui tentang penyakit
Hepatitis B dan enzim SGOT dan SGPT
b. Bagi Universitas Sari Mutiara, yaitu hasil penelitian ini
diharapkan dapat menjadi referensi penelitian bagi peneliti
lainnya.
c. Bagi Rumah Sakit, yaitu penelitian ini diharapkan dapat menjadi
acuan dan bahan pertimbangan dalam rangka manganalisa
kerusakan enzim transaminase pada penyakit Hepatitis B

1
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Hati

Hati merupakan organ tubuh yang paling besar, beratnya antara 1000-1500
gram, kurang lebih 25% berat badan orang dewasa dan merupakan pusat
metabolisme tubuh dengan fungsi yang sangat kompleks. Hati memerlukan 10-
20% fungsi jaringan untuk mempertahankan hidup. Kerusakan total
mengakibatkan kematian dalam 10 jam. Pada kebanyakan kasus sel hati yang mati
atau sakit akan diganti dengan jaringan hati yang baru (Zain et al. 1996).
Kuadran kanan atas abdomen didominasi oleh hati serta saluran empedu
dan kandung empedu. Struktur ini dibahas bersama-sama tidak saja karena
kedekatannya secara anatomis dan fungsinya yang saling terkait, tetapi juga
karena penyakit yang mengenai organ ini mungkin memperlihatkan gambaran
yang saling tumpang tindih. Pembahasan mengenai hati lebih dominan karena hati
berperan lebih besar dalam proses fisiologi normal dan terkena jenis penyakit
yang lebih beragam.
Hati yang terletak di persimpangan antara saluran cerna dan bagian tubuh
lainnya, mengemban tugas sangat berat untuk mempertahankan hemostasis
metabolik tubuh. Hati rentan terhadap berbagai gangguan metabolik, toksik,
mikroba, dan sirkulasi. Hati memiliki cadangan fungsional yang sangat besar, dan
selain penyakit hati yang paling fulminan regenerasi terjadi pada semua penyakit.
Oleh karena itu, pada orang normal, pengangkatan 75% hati secara bedah tidak
akan banyak menyebabkan gangguan hati, dan regenerasi akan memulihkan
massa hati dalam beberapa minggu (Kumar et al. 2007).
Hati mempunyai peranan yang sangat penting, yaitu menerima darah
melalui usus. Karena hati sebagai alat penerima darah, maka tidak heran jika ia
akan beresiko mengalami kerusakan akibat adanya virus yang ikut terserap di
dalamnya. Kerusakan akut pada hati dapat menjadi sangat berat, sehingga
terkadang menyebabkan kematian, dalam beberapa hari. Kebanyakan, hal ini

2
disebabkan oleh zat beracun. Kerusakan akut yang lebih ringan dapat pula terjadi.
Biasanya, hal ini terjadi dikarenakan adanya virus dari berbagai jenis yang masuk
ke vena porta, yang kemudian diterima oleh hati (Naga. 2012).
Hati dibagi menjadi dua lobus, yaitu lobus kiri dan lobus kanan. Ligamen
falsiform membagi lobus kanan menjadi segmen anterior dan posterior serta
membagi lobus kiri menjadi segmen medial dan lateral. Dari hepar, ligamen
falsiform melintasi diagfragma sampai ke dinding abdomen anterior. Permukaan
hepar diliputi oleh peritoneum viseralis. Setiap lobus dari hati dibagi dalam
struktur-struktur yang disebut lobulus.
Lobulus ini adalah mikroskopik yang merupakan unti fungsional dari
hepar yang bersegi enam atau heksagonal. Di dalam lobulus terdapat sel-sel hati
(hepatosit) yang tersusun seperti lapisan-lapisan plat dan berbentuk sinar dan
mengelilingi hepatikum. Pada setiap segi dari lobulus terdapat cabang-cabnag
vena porta, arteria hepatika, dan kanalikuli empedu (Baradero et al. 2008).
Diantara deretan sel-sel hati yang berbentuk seperti sinar, terdapat sinusoid
yang membawa darah dari cabang-cabang vena porta dan arteria hepatika ke vena
hepatika. Pada dinding sinusoid terdapat sel-sel fagosit yang disebut sel Kupffer.
Sel-sel Kupffer ini menelan eritrosit dan leukosit yang mati, mikroorganisme, dan
benda asing yang masuk ke dalam hepar. (Badareto et al. 2008)
Sel-sel hati menghasilkan empedu yang kemudian dialirkan lewat
kanalikuli. Kanalikuli (saluran-saluran yang halus) bergabung dan menjadi satuan
yang besar, yaitu duktus hepatikus kiri dan kanan. Duktus hepatikus kiri dan
kanan bergabung dan menjadi duktus hepatikus komunis. Duktus hepatikus
komunis bergabung dan menjadi dutus sistikus. Melalui duktus sistikus ini,
empedu masuk ke dalam vesika felea.
Empedu juga keluar dari vesika felea melalui duktus sistikus kemudian ke
duktus koledukus. Duktus koledukus ini bermuara ke dalam duodenum. Sebelum
memasuki duodenum, duktus koledukus bersatu dengan duktus pankreatikus dan
membentuk ampula hepatopankreatik. Ampula hepatopankreatik mempunyai
katup yang disebut sfingter Oddi (Badareto et al. 2008).

3
2.2 Enzim Transaminase
2.2.1 Enzim SGOT (Serum Glutamic Oxaloacetic Transaminase)
Enzim SGOT pada manusia terdiri atas fraksi yang berasal dari sitoplasma
dan fraksi yang berasal dari mitokondria. Dalam keadaan normal 80% SGOT
(Serum Glutamic Oxaloacetic Transaminase) dalam hati orang dewasa
berasal dari mitokondria. Pada penyakit hati kedua fraksi SGOT (Serum
Glutamic Oxaloacetic Transaminase) meningkat, tapi pada kerusakan
hepatoseluler peningkatan fraksi sitoplasma lebih mencolok. Pada keadaan
dengan nekrosis jaringan berat fraksi mitokondria yang lebih tinggi. Juga
pada penderita hepatitis alkoholik aktivitas SGOT (Serum Glutamic
Oxaloacetic Transaminase) yang berasal dari mitokondria lebih tinggi dan
peningkatan tersebut mungkin disebabkan oleh kerusakan sel hati dan adanya
induksi enzim oleh alkohol (Sulaiman et al., 1997).

2.2.2 Enzim SGPT (Serum Glutamic Pyruvic Transaminase)


SGPT adalah singkatan dari serum glutamic pyruvic transaminase. SGPT
(Serum Glutamic Pyruvate Transaminase) dianggap jauh lebih spesifik untuk
menilai kerusakan hati. SGPT (Serum Glutamic Pyruvate Transaminase)
hanya berada pada sitoplasma sel hepatosit saja. Kadar dalam serum menaik
terutama pada kerusakan hati. Diduga hal ini disebabkan karena bebasnya
enzim intra-seluler dari sel-sel yang rusak ke dalam sirkulasi (Sacher dan
Richard. 2004).

2.2.3 Perubahan Kadar Enzim Transaminase


1) Perubahan Kadar Enzim SGOT (Serum Glutamic Oxaloacetic
Transaminase)
a. Penurunan kadar enzim SGOT (Serum Glutamic Oxaloacetic
Transaminase) : Kehamilan, Ketoasidosis Diabetik, Pengaruh Obat
: Salisilat.

4
b. Peningkatan kadar enzim SGOT (Serum Glutamic Oxaloacetic
Transaminase) : Hepatitis virus, Nekrosis Hati, Kanker hati,
Olahraga berat, Pengaruh Obat : antibiotik (ampisilin), vitamin :
vitamin A, asam folat, Narkotik : kodein, morfin (Kee. 2007).
2) Perubahan Kadar Enzim SGPT (Serum Glutamic Pyruvate
Transaminase)
a. Penurunan kadar enzim SGPT (Serum Glutamic Pyruvate
Transaminase) : pengaruh obat (Salisilat).
b. Peningkatan kadar : hepatitis virus, nekrosis hati, sirosis, kanker
hati, gagal jantung kongesif, intoksikasi akut alkohol, pengaruh
obat : antibiotik (karbenisilin, klindamisin, tetrasiklin), narkotik :
(morfin, kodein) (Kee. 2007).
2.3 Hepatitis Virus
Hepatitis adalah suatu proses peradangan difus pada jaringan hati yang
memberikan gejala klinis yang khas yaitu badan lemah, kencing berwarna seperti
teh, mata dan seluruh badan menjadi kuning. Penyakit ini telah dikenal sejak
lebih dari dua ribu tahun yang lalu oleh Hippocrates (Hadi. 1999). Hepatitis
dapat disebabkan oleh virus, ataupun obat-obatan. Hepatitis virus dapat
disebabkan virus hepatitis A, B, C, D, E, F, G.
2.3.1 Klasifikasi Hepatitis Virus
1)Hepatitis A
Virus hepatitis A bersifat sangat stabil, yang dapat bertahan pada
kondisi panas, pengeringan, pH rendah, dan detergen. Hal ini
menunjukkan bahwa virus hepatitis A apat bertahan dilingkungan
termasuk di dalam makanan dan minuman yang dikonsumsi kemudian
diekskresikan melalui empedu dan dikeluarkan lewat feses.
Mekanisme yang bertanggung jawab pada cedera hepatoseluler
masih sulit dipahami. Lamanya masa inkubasi virus hepatitis A berkaitan
dengan kemampuan virus mengganggu mekanisme normal pengenalan
infeksi virus dan sintesis interferon beta. Masa inkubasi 15-50 hari (rata-
rata 28-30 hari), individu simptomatik mengalami fase febril akut yang

5
disertai ikterik, anoreksia, mual, rasa tidak nyaman pada abdomen, lemah,
dan urine berwarna gelap.
Penyebaran virus secara luas terjadi selama fase inkubasi dan
berlanjut selama 1-3 minggu berikutnya pada orang dewasa, dan
berlangsung lebih lama pada anak-anak. Sebagian besar infeksi pada bayi
dan anak prasekolah sangat ringan atau asimptomatis. Gejala lebih sering
muncul pada orang dewasa, sekitar 70% mengalami beberapa gejala, dan
keparahannya cenderung meningkat seiring dengan bertambahnya usia
(Emmanuel dan Stephen. 2014).
2) Hepatitis B
Hepatitis B merupakan penyakit infeksi yang menyebabkan proses
peradangan sel-sel hati. Hepatitis B merupakan tipe hepatitis yang
berbahaya. Penyakit ini lebih sering menular dibandingkan dengan
hepatitis jenis lainnya. Hepatitis B menular melalui kontak darah atau
cairan tubuh yang mengandung virus Hepatitis B atau HBV (hepatitis B
virus). Seseorang dapat saja mengidap HBV, tetapi tidak disertai dengan
gejala klinik ataupun tidak tampak adanya kelainan dan gangguan
kesehatan (Bastiansyah. 2008).
3)Hepatitis C
Virus Hepatitis C (HCV) merupakan infeksi kronis dengan
penularan melalui darah yang paling sering terjadi. Penelitian mengenai
mekanisme kerusakan hati pada infeksi HCV selama ini terhambat dengan
kurangnya cell-line dan model hewan untuk penyakit ini. Sistem imun
nonspesifik tidak efektif untuk mengeliminasi virus, sistem imun dapatan
atau sistem imun spesifik juga dilemahkan dengan kegagalan, disfungsi
dan kelelahan sel T.
Dan apoptosis hepatosit (kematian sel terprogram) ditingkatkan,
dan hal ini berkaitan dengan patologi hati dan berkontribusi pada
fibrogenesis. Gejala pada infeksi akut berupa asimptomatik, keluhan
ringan seperti mual, nyeri abdomen, dan anoreksia. Sedangkan pada
infeksi kronis seringnya tetap asimptomatik sampai akhir fase penyakit

6
dimana telah berkembang fibrosis hati, gejala yang dialami bervariasi dan
tidak spesifik, dan tes fungsi hati menunjukkan peningkatan yang
bervariasi dan berfluktuasi (Emmanuel dan Stephen, 2014).
4) Hepatitis D
Virus hepatitis D atau HDV (hepatitis delta virus) adalah agen
subviral, dimana siklus hidupnya bergantung pada HBV (hepatitis B
virus). Koinfeksi ataupun superinfeki dengan agen ini pada HBV
(hepatitis B virus) kan semakin memperumit penanganan penyakit ini.
Pada manusia, HDV (hepatitis delta virus) tidak dapat bereplikasi tanpa
adanya HBV (hepatitis B virus), karena setidaknya diperlukan tiga protein
selubung HBV (hepatitis B virus) untuk berepliksi. Rakitan partikel HBV
(hepatitis B virus) sangat tidak efektif dan sebagian besar dari rakitan
partikel ini kosong atau tidak mengandung struktur nukleokapsid atau
genom HBV (hepatitis B virus).
Rakitan HDV (hepatitis delta virus) menggunakan produksi berlebih
dari protein selubung ini dengan memasukkan RNA (ribose nucleic acid)
genomik HDV (hepatitis delta virus) dan protein lain ke dalam partikel
kosong tersebut. Tidak banyak informasi mengenai mekanisme HDV
(hepatitis delta virus) meningkatkan cedera hati pada HBV. Namun
demikian, replikasi HDV (hepatitis delta virus) itu sendiri tidak bersifat
sitopatik, justru mekanisme imun (seluler maupun humoral) yang mungkin
terlibat pada patogenesis cedera hari. Superinfeksi akut HDV (hepatitis
delta virus) membawa resiko yang lebih besar untuk terjadinya hepatitis
fulminan dan berujung pada kegagalan hati dan bukan infeksi HBV itu
saja. Infeksi kronis HDV (hepatitis delta virus) terkait dengan
progresivitas kerusakan hati yang lebih cepat (Emmanuel dan Stephen.
2014).
5)Hepatitis E
Virus hepatitis E (HEV) merupakan agen yang berbeda, tidak
berhubungan dengan HAV, menyebabkan epidemik dan sebagian besar
ditularkan melalui air secara enterik, dan merupakan hepatitis akut. HEV

7
merupakan anggota prototipe dari genus Hepevirus, famili Hepeviridae.
Virus ini pertama kali diidentifikasi dengan mikrograf imunoelektron pada
feses manusia yang terinfeksi. Virus ini berbentuk bulat dan memiliki
virion tidak berkapsul, dengan permukaan berduri dan bentuk mirip
cangkir. Rute infeksi melalui oral sudah jelas ditunjukkan, dengan lokasi
replikasi utama belum dapat diidentifikasi. Tetapi kecenderungan
mengarah paa saluran intestinal. Virus ini mencapai hati kemungkinan
melalui vena porta, dan bereplikasi pada sitoplasma hepatosit. Transmisi
HEV melalui hewan (zoonotik) juga telah ditunjukkan terjadi dari rusa ke
manusia (Emmanuel dan Stephen. 2014).

2.3.2 Hepatitis B
Virus Hepatitis B merupakan virus DNA (deoxyribonucleic acid ) yang
memiliki selubung permukaan (antigen permukaan) dan inti dalam (antigen
inti). Biopsi hati menunjukkan berbagai derajat kerusakan hepato seluler dan
infiltrat inflamasi. Antigen Virus Hepatitis B diekskresikan pada permukaan
hepatosit dan terdapat reaktivitas seluler yang dimediasi oleh sel T untuk
melawan antigen ini, reaksi ini diperkirakan menjadi penyebab utama
kerusakan hepatosit. Antigen HBV juga telah diidentifikasi pada lokasi
nonhepatik dan dapat mewakili reservoir infeksi yang dapat menginfeksi
kembali hati setelah transplantasi. Pasien dengan hipogamaglobulinemia
dapat mengalami hepatitis akut yang menunjukkan bahwa antibodi tidak
berperan penting dalam kerusakan hati. (Mandal et al. 2008).
Sistem imun nonspesifik tidak berperan dalam patogenesis penyakit
HBV ataupun pembersihan virus tersebut, namun HBV tetap tidak terdeteksi
pada hati dan terus bereplikasi secara nonsitopayik sampai sistem imun
adaptif terinisiasi. Saat terjadi kerusakan hepatoseluler, sel T helper CD4+
spesifik virus terlibat dalam memfasilitasi induksi dan mempertahankan
limfosit T sitotoksik CD8+ (yang berperan penting dalam patogenesis cedera
sel hati). Respons spesifik patogen ini di dukung dengan eran sel inflamasi
spesifik nonvirus, termasuk di dalamnya sel mononuklear dan

8
polimorfonuklear. Bukti terbaru juga menunjuk pada temuan peran penting
trombosit pada modulasi kerusakan hati (Emmanuel dan Stephen. 2014).

2.3.3 Klasifikasi Penyakit Hepatitis B


Hepatitis B dibagi menjadi 2 jenis yaitu hepatitis B akut dan hepatitis B
kronik, perbedaan keduanya terletak pada gejala klinis dari masing-masing
infeksi, diantaranya :
1) Hepatitis B Akut
Segera setelah virus masuk kedalam tubuh dalam kurun waktu 1-6
bulan atau rata-rata pada bulan kedua orang tersebut akan mengalami
ketidaknyamanannya. Keluhan bisa berupa mual, lemas, meriang, mata
kuning dan sebagainya. Masa masuknya virus sampai muncul gejala
pertama disebut masa inkubasi. Keberadaan virus dapat dideteksi dengan
pemeriksaan laboratorium, dibuktikan dengan ditemukannya antigen
permukaan virus atau HBS AG, antigen inti atau HBsAg, dan DNA
(deoxyribonucleic acid ) virus, yang sudah mulai terdeteksi kira-kira
sebelum bulan ke dua.
Kehadiran virus merangsang tubuh untuk memproduksi antibodi. Di
dalam tubuh terjadi pertempuran antara virus dn sistem kekebalan tubuh.
Virus yang berada di dalam sel-sel hati akan digempur sehingga mati,
tetapi sel-sel hati juga mengalami kerusakan. Melalui pemeriksaan
laboratorium dapat diketahui kerusakan sel-sel hati, dengan cara
memeriksa enzim hati yaitu SGOT (Serum Glutamic Oxaloacetic
Transaminase) dan SGPT (Serum Glutamic Pyruvate Transaminase).
Kadar kedua enzim ini akan meningkat secara drastis pada infeksi
Hepatitis B akut (Cahyono. 2010).

Hepatitis B akut dibagi menjadi :


a. Hepatitis Akut yang Khas (Kuning)
Hampir sepertiga pasien yang menderita hepatitis akut ditandai
dengan mata kuning. Gejala dan tanda yang muncul, seperti mata

9
kuning atau ikterik disertai dengan peningkatan kadar enzim SGOT
(Serum Glutamic Oxaloacetic Transaminase), SGPT (Serum Glutamic
Pyruvate Transaminase), dan peningkatan kadar bilirubin. Sering kali
pasien merasakan nyeri perut di sebelah kanan atas, disebabkan karena
pembesaran hati. Karena kadar bilirubin di dalam darah meningkat,
sebagai kompensasinya, blirubin akan dibuang melalui urine sehingga
warna kencing menjadi gelap seperti teh. Pada pasien dewasa, infeksi
virus ini 90-95% akan sembuh, sedangkan 5-10% menjadi Hepatitis B
kronis (Cahyono. 2010).
b. Hepatitis Akut Tanpa Gejala
Hampir duapertiga kasus infeksi HBV bersifat asimptomatik atau
tanpa gejala sama sekali, meskipun kadar kedua enzim hati yaitu
SGOT (Serum Glutamic Oxaloacetic Transaminase) dan SGPT
(Serum Glutamic Pyruvate Transaminase) juga meningkat. Keadaan
demikian pada umumnya dialami oleh kelompok anak-anak yang
sistem kekebalan tubuhnya belum sempurna. Pada kelompo bayi dan
anak-anak yang trekena infeksi HBV, yang sembuh hanya 5%,
sedangkan 95% sisanya berkembang menjadi Hepatitis B kronis
(Cahyono. 2010).
c.Hepatitis Akut Berat (Fulminan)
Sekitar satu persen dari pasien yang menderita hepatitis akut,
karena perlawanan sistem kekebalan tubuh sedemikian kuat, sel-sel
hati banyak mengalami kerusakan, terjadilah hepatitis fulminan atau
hepatitis akut berat. Pada kasus hepatitis fulminan kadar enzim SGOT
dan SGPT bisa mencapai ribuan. Sehingga pada pengidap hepatitis
fulminan rata-rata tidak dapat bertahan (Cahyono. 2010).

2) Hepatitis B Kronis
Infeksi hepatitis B kronis pada prinsipnya merupakan lanjutan dari
hepatitis B akut. Infeksi hepatitis B kronis dapat dibedakan menjadi :
hepatitis B carrier inaktif dan hepatitis B kronis aktif. Letak perbedaan

10
antara keduanya adalah jika pada hepatitis B carrier inaktif virus yang
berada di dalam tubuh seseorang itu tenang atau tidak melakukan replikasi.
Sementara pada infeksi hepatitis B kronis aktif, virus secara aktif terus
menggandakan dirinya di dalam sel hati. Sel-sel hati menjadi rusak karena
sel-sel hati tersebt yang menjadi tempat persembunyian dan penggandaan
diri virus diserang oleh sistem kekebalan tubuh (Cahyono. 2010).
3) Hepatitis B Carrier Inaktif
Setelah sistem pertahanan tubuh mampu mengalahkan virus maka
proses pengrusakan sel-sel hati berhenti. Pada saat seseorang menderita
hepatitis akut maka enzim hati SGOT (Serum Glutamic Oxaloacetic
Transaminase) dan SGPT (Serum Glutamic Pyruvate Transaminase) akan
meningkat tinggi yang mencerminkan kerusakan sel-sel hati. Setelah virus
berhenti menggandakan diri dan berhasil dimatikan oleh sistem kekebalan
tubuh maka sel-sel hati mempunyai kesempatan melakukan regenerasi.
Sebagai bukti otentik bahwa virus sudah dapat dikalahkan oleh sistem
kekebalan tubuh, jumlah virus didalam darah diukur melalui pemeriksaan
DNA, HBV. Perbaikan sel-sel hati dibuktikan dengan penurunan kadar
SGOT (Serum Glutamic Oxaloacetic Transaminase) dan SGPT (Serum
Glutamic Pyruvate Transaminase) mendekati normal atau bahkan menjadi
normal. Selain itu penanda virus yang tidak aktif adalah HbeAg menjadi
negatif (Cahyono. 2010).
4)Hepatitis B Kronik Aktif, dibagi menjadi 2 yaitu :
a.Fase Hepatitis B kronis dengan HBeAg negatif.
Hepatitis B carrier inaktif suatu saat dapat berubah karakternya dan
berkembang memasuki fase hepatitis B kronis dengan HBeAg negatif.
Karakter virus Hepatitis B yang ini memang berbeda dengan virus
hepatitis B lainnya, karena dipicu oleh adanya mutasi genetik. Pada
umumnya, apabila penanda HBeAg negatif, dapat disimpulkan bahwa
infeksi virus ini dalam keadaan tenang, tidak merusak. Tetapi pada tipe
yang demikian, meskipun penanda HBeAg negatif, namun virus ini di

11
dalam tubuh bersifat progresif dan merusak organ hati. Fase ini mirip
dengan hepatitis B carrier inakif.
Beda HBeAgnya, pada fase ini dijumpai peningkatan jumlah virus
dan peningkatan kadar enzim SGPT, sedangkan pada hepatitis B carrier
inaktif jumlah virus minimal dan kadar SGPT normal. Pada seseorang
yang menderita hepatitis B kronis dengan HBeAg negatif akan
berkembang menjadi sirosis dan kanker hati. Sehingga pada fase ini
harus tetap dimonitor dan diberi pengobatan antivirus (Cahyono. 2010).
b.Fase Hepatitis B kronis dengan positif
Pada fase ini virus terus melakukan penggandaan diri secara aktif
dan jumlahnya bertambah. Perlawanan sistem kekebalan tubuh semakin
kuat, dalam hal ini sel T sitotoksik menyerang sel-sel hati yang
terinfeksi virus hepatitis B. Akibatnya, terjadi kerusakan sel-sel hati
yang meluas. Hal ini dapat diuktikan dengan meningkatnya enzim
SGPT dan pada pemeriksaan biopsi memperlihatkan kerusakan sel-sel
hati atau nekroinflamasi yang luas. Namun demikian, sistem kekebalan
tubuh masih tidak mampu melawan virus. Hal ini didukung dengan
hasil pemeriksaan laboratorium yang memperlihatkan HBeAg tetap
positif dan jumlah muatan virus atau DNA virus semakin meningkat
(Cahyono. 2010).
Pada tahapan ini, apabila tidak dilakukan pemantauan secara teliti dan
pemberian obat anti virus maka infeksi virus ini sangat berpotensi berkembang
menjadi sirosis atau kanker hati. Namun demikian, meskipun seseorang sudah
masuk tahapan ini, peluang perbaikan diri secara alami masih mungkin terjadi.
Berdasarkan penelitian, kemungkinan HBeAg dapat menghilang dari tubuh
sebesar 8-15% (Cahyono. 2010).
2.3.4 Manifestasi Klinis Hepatitis B
Manifestasi klinis HBV bervariasi antara fase akut dan kronis dari
penyakit tersebut. Pada fase akut yang berlangsung pada 6 bulan setelah
infeksi, mayoritas pasien bersifat asimptomatis atau hanya mengeluhkan lelah
ringan. Pada fase kronis, manifestasi klinis dapat beragam dari asimptomatis

12
dengan abnormalitas pada pemeriksaan fungsi hati sampai hepatitis kronis,
sirosis, dan karsinoma hepatoseluler.
Beberapa faktor yang berpengaruh dalam penetuan apakah individu akan
mengalami infeksi HBV akut maupun berkembang menjadi kronis antara lain:
1. Usia, merupakan faktor terpenting dengan tingkat karier lebih dari
sembilan puluh persen pada pasien yang terinfeksi saat baru lahir,
namun kurang dari lima persen pada pasien yang terinfeksi saat
dewasa (Emmanuel dan Stephen, 2014).
2. Status Imunologis, pasien pengidap HIV (Human Immunodeficiency
Virus), gagal ginjal, dan pasien pasca transplantasi memiliki resiko
tinggi menderita hepatitis B kronik.
3. Keparahan dari penyakit akut menentukan progresivitas ke arah
kronisitas, mereka dengan penyakit akut yang tidak terlalu parah
menunjukkan respon imun yang kurang efektif untuk mengatasi
replikasi virus (Emmanuel dan Stephen, 2014).
Penyakit ini terbagi dalam 3 fase :
1. Fase Replikatif, ditandai dengan temuan aminotransferase dalam
batas normal dan terdapat sedikit kerusakan hati.
2. Inflamasi, dimana aminotransferase mulai meningkat, biopsi hati
menunjukkan hepatitis kronis dan penurunan replikasi virus.
3. Pasien dapat masuk ke fase inaktif dimana replikasi virus sudah
berhenti, aminotransferase normal, dan tidak terjadi inflamasi hati
lanjutan (Emmanuel dan Stephen. 2014).
2.3.5 Penyebab Hepatitis B
Hepatitis B disebabkan oleh Virus Hepatitis B, suatu anggota famili
Hepadnavirus, suatu virus DNA yang berlapis ganda, dengan ukuran diameter
42 nm, berbentuk bulat. Selubung terluar tersusun oleh protein yang
dinamakan HBsAg sedangkan selubung dalam disebut nukleokapsid atau core
(inti) tersusun oleh suatu protein hepatitis core antigen HBcAg. Di dalam
nukleokapsid terdapat DNA HBV dengan enzim polimerase yang berfungsi
untuk replikasi atau penggandaan virus masing- masing protein penyusun

13
HBV (terutama HBsAg dan DNA HBV) menjadi petanda atau marker penting
untuk mengetahui sejauh mana virus Hepatitis B menimbulkan masalah di
dalam tubuh seseorang yang terinfeksi (Cahyono. 2010).
2.3.6 Petanda Serologis Hepatitis B
Menurut Cahyono (2010) petanda serologis hepatitis B meliputi :
1) HBsAg positif menandakan seseorang menderita hepatitis B (bisa
akut/kronis), bila HBsAg masih positif selama kurun waktu lebih dari 6
bulan maka pasien tersebut menderita hepatitis kronis.
2) Anti HBs, Antibodi terhadap antigen permukaan VHB, hasil positif
menunjukkan bahwa seseorang pernah kontak (mempunyai
perlindungan) atau pernah mendapatkan vaksinasi.
3) HBeAg Hasil positif menunjukkan virus aktif melakukan replikasi
(berkembang biak) dalam tubuh seseorang, resiko menjadi sirosis atau
kanker hati lebih besar.
4) Anti HBe Antibodi terhadap HbeAg, meningkatnya kadar anti Hbe
menunjukkan terjadinya perbaikan keadaan tubuh, dan proses
perkembangan virus terhambat.
5) HBcAg, Merupakan antigen HBV yang berasal dari inti virus (core),
HbcAg tidak dapat dideteksi melalui pemeriksaan darah.
6) Anti HBc Antibodi terhadap HbcAg, muncul/meningkatnya kadar anti
HBc, terutama jenis Ig M anti HBc menunjukkan keadaan hepatitis akut
7) DNA HBV, Pemeriksaan untuk menentukan muatan/jumlah virus
dalam darah pada saat bereplikasi untuk menunjukkan keparahan
penyakit.
2.3.7 Cara Penularan
1) Cara Penularan Hepatitis B Melalui Kulit
Penularan ini terjadi jika bahan yang mengandung pasrtikel vierus
hepatitis B masuk ke dalam kulit. Contohnya, kasus penularan terjadi akibat
transfusi darah yang mengandung HBsAg positif, pasien hemodialisis (cuci
darah), serta melalui alat suntik yang tidak steril, seperti penggunaan jarum
suntik bekas, jarum akupuntur yang tidak steril, alat tato, alat cukur, dan yang

14
saat ini merupakan cara penularan terbanyak adalah melalui penyuntikan
narkoba secara bergantian (Andareto. 2015).
2) Cara Penularan Hepatitis B melalui selaput lendir
Penularan dapat terjadi melalui mulut (peroral) yaitu jika bahan yang
mengandung virus mengenai selaput lendir mulut yang terluka, misalnya
karena peradangan mulut atau sesudah mencabut gigi dan bisa juga melalui
ciuman. Selain itu, penularan virus Hepatitis B dapat melalui selaput lendir
alat kelamin seksual akibat berhubungan seksual dengan pasangan yang
menderita Hepatitis B (Andareto. 2015).
3)Penularan secara vertikal
Penularan secara vertikal dapat diartikan sebagai penularan infeksi dari
seorang ibu pengidap virus hepatitis B (HBV), kepada bayinya sebelum
persalinan, pada saat persalinan dan beberapa saat setelah persalinan. Apapbila
seorang ibu menderita virus Hepatitis B maka bayi yang dilahirkan akan
tertulari. Resiko pada bayi dari seorang ibu pengidap hepatitis B. Apabila si
ibu tadi disertai HBsAg positif maka akan menularkan 100% kepada bayinya
(Hadi, 1999).
2.3.8 Pencegahan
Upaya pencegahan lebih baik dibandingkan dengan pengobatan. Hal-hal
yang dapat dilakukan untuk mencegah Virus Hepatitis Bantara lain:
1) Mencegah kontak dengan Virus Hepatitis B.
a. Menggunakan alat suntik yang sekali pakai, tindik telingan
dengan jarum baru, penggunaan pisau cukur dan sikat gigi
sendiri, dan pastikan bahwa darah yang diterima dari pendonor
sudah di tes bebas Hepatitis B terlebih dahulu (Cahyono.
2010).
b. Bagi pasangan yang hendak menikah, tidak ada salahnya untuk
memeriksakan diri masing-masing agar tidak saling
menularkan dan juga untuk pencegahan penularan pada
anaknya kelak (Cahyono. 2010).

15
2) Menerima vaksinasi Hepatitis B
Di Indonesia, vaksinasi Hepatitis B merupakan vaksinasi wajib bagi
bayi dan anak karena pola penularannya bersifat vertikal. Ada berbagai
pilihan jenis vaksin yang diproduksi oleh beberapa perusahaan farmasi dan
dosis serta cara pemberiannya. Secara umum, vaksin diberikan tiga kali
pemberian, disuntikkan secara dalam atau sampai ke otot (Cahyono.
2010).
2.3.9 Pengobatan
1) Interferon, merupakan protein alami yang disintesis oleh sel-sel
sistem imun tubuh sebagai respon terhadap adanya inducer (virus,
bakteri, parasit, atau sel kanker). Terdapat tiga jenis interferon
yang mempunyai efek antivirus, yakni alfa, beta, dan gamma.
Namun, efek antivirus yang paling potensial dan digunakan untuk
terapi adalah interferon buatan dengan teknik rekombinan.
Interferon alfa bekerja hampir pada setiap tahapan replikasi virus
dalam sel inang (Sari. 2008).
2) Lamivudin, merupakan antivirus jenis nukleotida yang
menghambat enzim reverse transcriptasen yang diperlukan dalam
pembentukan DNA. Obat ini juga merupakn satu-satunya anti virus
yang telah disetujui untuk penderita Hepatitis B. Pemberian
lamivudin dapat meredakan peradangan hati, menormalkan kadar
enzim SGPT dan mengurangi jumlah virus Hepatitis B (Sari.
2008).
3) Adefovir merupakan analog asiklik dari DAMP (deoxyadenosine
monophosphate) yang sudah disetujui oleh FDA (Food Drug
Administration) untuk digunakan sebagai antiviral terhadap
hepatitis B kronis. Cara kerja adenofir adalah dengan menghambat
amplifikasi dari DNA virus. Dosisi adefovir yang
direkomendasikan untuk dewasa adalahh 10mg/hari secara oral,
paling tidak selama satu tahun. Kemampuan dalam menghilangkan
HBeAg tidak jauh berbeda dengan lamivudin. Hanya saja, ada

16
kelebihan adefovir dibandingkan dengan lamivudin, yakni selain
memiliki resiko resisten lebih kecil juga dapat menekan virus yang
sudah kebal terhadap lamivudin (Cahyono. 2010).
4) Entecavir pilihan lain obat antiviral pada infeksi hepatitis B kronis
adalah dengan entecavir. Pemberian entecavir selama 48 minggu
terbukti dapat menurunkan muatan virus hepatitis B. Kelebihan
obat ini adalah masih belum banyak menimbulkan resistensi
(Cahyono. 2010).
2.3.10 Hubungan Enzim SGOT dan SGPT dengan Hepatitis B
Hepatitis B merupakan penyakit infeksi yang disebabkan oleh virus
Hepatitis B yang dapat menimbulkan peradangan dan bahkan kerusakan sel-
sel hati. Virus ini mampu bertahan dan menetap didalam tubuh, serta dalam
perjalanannya berpotensi merusak hati secara perlahan sampai pada akhirnya
organ hati rusak (Cahyono. 2010).
SGOT dan SGPT merupakan enzim transaminase yang sering berkaitan
dengan kerusakan sel-sel hati. SGOT berlokasi di mitokondria dan
sitoplasma dari sel hepatosit, sedangkan SGPT hanya di sitoplasma sel
hepatosit. (Sacher dan Richard. 2004).
Apabila terjadi kerusakan sel sel hepatosit, kedua enzim yang berasal
dari fraksi mitokondria dan fraksi sitoplasma ini akan masuk ke dalam
peredaran darah sehingga akan terjadi kenaikan kadar SGOT dan SGPT
dalam serum (Zain et al., 1996; Sacher dan Richard, 2004).

17
2.4. Kerangka Konsep

Pasien Hepatitis B

SGOT dan SGPT

SGOT SGPT

Normal Meningkat Normal Meningkat

18
BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini bersifat Deskriptif


dengan melakukan pemeriksaan kadar SGOT dan kadar SGPT pada pasien
hepatitis B di RSU Bunda Thamrin Medan.
3.2 Lokasi Dan Waktu Penelitian
3.2.1 Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Rumah Sakit Umum Bunda Thamrin Jl. Sei
Batang Hari No.28-30-42, Babura Sunggal, Kec. Medan Sunggal, Kota Medan,
Sumatera Utara 20112.
3.2.2 Waktu Penelitian
Waktu Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret - Juli 2020.
3.3 Populasi Dan Sampel
3.3.1 Populasi
Populasi adalah pasien Hepatitis B virus yang ada di Rsu. Bunda Thamrin
Medan Tahun 2020
3.3.2 Sampel
Sample penelitian adalah pasien yang ada di RS Bunda Thamrin pada
waktu penelitian dan diambil dengan teknik accidental sampling.
3.4 Metode Pengumpulan Data
Ada dua sumber data yaitu primer dan sekunder, yaitu:
3.4.1 Data Primer
Hasil pemeriksaan kadar SGOT dan SGPT pada pasien Hepatitis B
yang dilakukan di Laboratorium Rsu Bunda Thamrin Medan pada bulan Juli
2020.
3.4.2 Data Sekunder
Data sekunder adalah data yang diperoleh dari rekam medis.

19
3.5 Defenisi Operasional
Untuk memudahkan pelaksanan penelitian ini dan agar penelitian tidak terlalu
luas maka dibuat definisi operasional sebagai berikut :
1. SGOT dan SGPT adalah enzim – enzim transaminase yang terdapat pada
organ tubuh yang salah satunya adalah hati
2. Pemeriksaan SGOT dan SGPT adalah pemeriksaan untuk mengetahui
jumlah enzim SGOT dan SGPT dari darah vena, yang menurut standar
internasional memiliki satuan IU/L serta memiliki nilai normal SGOT
(10 – 40IU/L) dan SGPT (5 – 35IU/L) yang diperiksa menggunakan
reagen DSI dan alat STAR DAST
3. Hepatitis B adalah infeksi pada hati yang disebabkan oleh virus hepatitis
B (HbsAg)
4. HbsAg adalah petanda infeksi virus Hepatitis B pada pasien.

3.6 Alat dan Bahan


3.6.1 Alat
Alat yang digunakan untuk analisa yaitu :
1) APD (Alat Pelindung Diri) terdiri : baju lab, masker, Handscoon
2) Alat Auto Analyzer Cobas 6000
3) Holder BD
4) Jarum Vacutainer BD Vacutainer Flasback Blood Colelection
5) tabung vakum dengan tutup kuning (mengandung jel separator)
atau tutup merah dengan kapasitas 3 ml,
6) tourniquet, cool box, centrifuge. Bahan yang digunakan 25 dalam
penelitian ini yaitu: sampel serum, kapas alkohol 70%, hipafix,
control serum, dan reagen Spektrofotometer (Biosystem BA400).
7) Pengebat

3.6.2 Bahan
Serum darah penderita hepatis B.

20
3.7 Prosedur Kerja Pengambilan Sampel Darah
Prosedur pengambilan sampel darah dan pemeriksaan kadar serum
glutamic piruvate transaminase (SGPT) pada serum perokok aktif dilakukan oleh
peneliti sendiri berdasarkan ijin yang telah diberikan oleh responden penelitian
dan pihak laboratorium di Rumah Sakit Bunda Thamrin. Dalam pengerjaan
sampel di laboratorium, peneliti akan didampingi oleh petugas laboratorium yang
berwenang.
1) Identitas responden ditanyakan dengan pertanyaan terbuka minimal
menggunakan 2 identitas pasien (contohnya nama lengkap dan tanggal
lahir pasien)
2) Phlebotomist memperkenalkan diri kepada responden
3) Ditanyakan persiapan responden (diet, status puasa, menstruasi, konsumsi
obat dan alergi latex). Persiapan pasien atau kondisi pasien yang dapat
mempengaruhi hasil tes harus terdokumentasi dalam form permintaan,
sistem atau sesuai kebijakan lab
4) Dilakukan desinfeksi tangan didepan responden
5) APD digunakan sesuai dengan SOP Institusi (Sarung tangan, masker bila
diperlukan)
6) Ditanyakan apakah posisi responden sudah nyaman atau belum
7) Alat dan bahan yang akan digunakan disiapkan (torniquet, jarum, tabung,
holder, alcohol swab, sharp collector, dll).
8) Tanggal kadaluarsa setiap alat medis dicek sebelum pengambilan darah
9) Responden diminta untuk meluruskan tangannya
10) Dilakukan pemilihan lokasi venipuncture sesuai dengan praktek yang
standar (tidak diperkenankan untuk memompa tangan sebelum prosedur)
11) Tourniquet dipasang 7,5 -10 cm atau ± 3 jari diatas Fossa Antecubital dan
durasi pemakaian kurang dari 1 menit
12) Sarung tangan dipakai dan diganti pada setiap responden
13) Dilakukan desinfeksi area insersi menggunakan kasa dengan kandungan
70% isopropyl alcohol/alcohol swab komersial
14) Desinfeksi dilakukan dengan metode spiral / circular dari tengah ke tepi

21
15) Dibiarkan lokasi yang telah di desinfeksi mengering selama 30 detik,
jangan ditiup
16) Tidak menyentuh kembali area yang telah desinfeksi
17) Ditusukkan jarum dengan sudut penusukan kurang dari 30⁰ dengan bevel
jarum menghadap keatas
18) Setelah darah terlihat pada pangkal jarum anterior vacutainer, tabung
vacutainer dengan tutup kuning (mengandung jel separator) atau tutup
merah dimasukkan pada jarum posterior vacutainer, dan ditunggu hingga
tabung terisi darah sesuai dengan batas yang ditentukan (volume tabung 3
ml)
19) Dipastikan genggaman tangan responden telah dibuka setelah darah mulai
mengalir, dilepaskan tourniquet setelah darah mengalir di tabung pertama
20) Tabung yang telah berisi darah dilepaskan dari jarum posterior vacutainer
dan jarum anterior vacutainer dicabut dari lokasi penusukan.
21) Diletakan kasa kering bersih pada area tusukan kemudian cabut jarum.
22) Plester dipasang setelah darah berhenti mengalir. Diperiksa kemungkinan
adanya komplikasi setelah venipuncture. Beritahu pasien agar tidak
menekuk tangan.
23) Diberikan label pada tabung setelah pengambilan darah dengan
menyisakan area yang cukup untuk melakukan pengecekan kualitas
sample
24) Dicatat tanggal dan jam pengambilan darah serta nama/ID petugas di
dalam form / sistem
25) Selanjutnya dilakukan pengirimin ke laboratorium untuk dilakukan
pemeriksaan.
3.8 Pemisahan sampel
Sebelum dilakukan pemeriksaan kadar serum glutamic piruvate transaminase
(SGPT), terlebih dahulu dilakukan centrifuge pada sampel darah yang telah
membeku dalam tabung dengan kecepatan 3000 rpm selama 10 menit untuk
memperoleh serum. Dalam penelitian ini proses pemisahan sampel dilakukan di
laboratorium Rumah Sakit Bunda Thamrin. yang memiliki jarak tidak terlalu jauh

22
dari tempat pengambilan sampel. Pemisahan sampel dilakukan untuk menjaga
agar sampel tetap stabil sampai proses pemeriksaan kadar serum glutamic piruvate
transaminase (SGPT) dilakukan. Sampel yang dapat dilakukan untuk pemeriksaan
kadar serum glutamic piruvate transaminase (SGPT) harus memenuhi persyaratan
seperti tidak mengalami lipemik, hemolisis dan ikterik.

3.9 Prosedur Kerja Kimia Klinik


Pemeriksaan serum glutamic piruvate transaminase (SGPT) dilakukan
dengan menggunakan alat Cobas 6000 yang merupakan alat pemeriksaan kimia
klinik di laboratorium RS Bunda Thamrin. Adapun prosedur kerjanya adalah
sebagai berikut:
1) Petugas laboratorium menyiapkan alat Cobas 6000, bahan serum dengan
metode pemeriksaan IFCC dengan panjang gelombang 340 nm.
2) Petugas laboratorium memilih menu Sampel Reques, kemudian no. ID
pasien dimasukkan pada kolom Patient/Sample.
3) Ditekan menu Test Selection hingga muncul pilihan parameter yang akan
dianalisis.
4) Dipilih parameter “ALT” kemudian ditekan tanda “√” pada bagian bawah
5) Dipilih menu Positioning of Samples & Reagen dan klik submenu Samples
6) Diinput sampel baru dan diposisikan pada alat
7) Apabila sampel belum siap (masih dipreparasi), pilih menu Worksession dan
tekan pause pada data pasien
8) Apabila sampel sudah siap, tanda pause dihilangkan dan sampel diletakan
sesuai posisi pada monitor alat
9) Pilih tanda “►” alat akan memproses sampel
10) Hasil akan dikeluarkan oleh alat sesuai dengan inkubasi di alat pada
masing-masing parameter pemeriksaan
11) Hasil dicetak secara otomatis oleh printer alat
12) Hasil pemeriksan diketik oleh petugas selanjutnya diperiksa oleh petugas
laboratorium yang berbeda (cheker-maker) dan diverifikasi oleh dokter

23
spesialis Patologi Klinik atau petugas laboratorium yang diberikan
wewenang
13) Hasil diserahkan oleh petugas laboratorium ke petugas loket Laboratorium
Patologi Klinik untuk pasien rawat jalan atau dikirim keruangan melalui
pneumatik tube untuk pasien rawat inap.

3.10 Interprestasi Hasil


Nilai normal : ........
Bila SGOT > ...... : Meningkat
Bila SGPT > ....... : Meningkat

3.11 Pengolahan dan penyajian data


Data yang didapat dari pemeriksaan SGOT dan SGPT akan diolah dan disajikan
dalam bentuk table.

24
DAFTAR PUSTAKA

Dewi, Prima. 2014. Mengenal Virus, Penyakit, danPencegahannya.


Yogyakarta :NuhaMedika.

Dalimartha,S. 2006. Ramuan Tradisional Untuk Pengobatan Hepatitis. Jakarta


:Penebar Swadaya.

Kresno SB. Imunologi: diagnosis dan prosedur laboratorium. Edisi ke-4. Jakarta:
Balai penerbit FKUI; 2003.hlm.178.

Hasdianah. 2014. Virologi Mengenal Virus Penyakit dan Pencegahan.


Yogyakarta: Nuha Medika.

Waluyo,S.,dkk.2014. Question & Answers Hepatitis, Cetakan 1. Jakarta: Penerbit.


PERMENKES RI No.53 Th. 2015.

Winata, A. (2017). Identifikasi hasil Hepatitis B Surface Antigen (HBsAg) Pada


Perawat yang Bekerja Di Ruang Infeksi Rumah SAkit Umum Bahteramas
Provinsi Sulawesi Tenggara.

[RISKESDAS] Riset Kesehatan Dasar. 2007. Jakarta: Badan Penelitian dan


Pengembangan Kesehatan, Departemen Kesehatan, Republik Indonesia.

WHO. Global Hepatitis Report 2015. Geneva: World Health Organization; 2015.

Munira. 2003. Studi tentang Perilaku Perawat dalam Upaya Pencegahan Risiko
Tertular Hepatitis B Khususnya Ruang Penyakit Dalam di RSU Lasinrang
Pinrang. http://digilib.litbang.depkes.go.id. Diakses tanggal 20 juni 2020.

Zein,LukmanHakim.2006.Hepatitis B dan Permasalahannya.Medan : Penerbit


Universitas Sumatra Utara.h 5-6.

Hadi, Sujono.2002. Sirosis Hepatis dalam Gastroenterologi.


Bandung:Alumni.pp:637-638.

Waluyo, S.,dkk. 2011. Question & Answers Hepatitis,Cetakan Pertama, Jakarta,


Penerbit.

Dalimartha S., 2004. Ramuan Tradisional Untuk Pengobatan Hepatitis.PT


Penebar Swadaya.

H.R, Hasdianah & Dewi, Prima. (2014). Virologi: Mengenal Virus, Penyakit, dan
Pencegahannya. Yogyakarta: Nuha Medika

25
BUKTI LEMBAR KONSULTASI KARYA TULIS ILMIAHMAHASISWA/I
PROGRAM STUDI D-III TEKNIK LABORATORIUMMEDIS
FAKULTAS FARMASI DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS SARI MUTIARA INDONESIA

Nama : SUHENDRA

Nim : 17020986

Judul : Analisa SGOT, SGPT Pada Pasien Virus Hepatitis B (HbsAg)

Di Rumah Sakit Bunda Thamrin Tahun 2020

DOSEN PEMBIMBING : dr. Denrison Purba, SpPK

No TANGGAL PEMBAHASAN SARAN TANDA TANGAN


DOSEN PEMBIMBING
1 15/04/2020 Konsul Judul Perbaikan

2 10/05/2020 Konsul BAB I Perbaikan

3 30/05/2020 Konsul BAB II Perbaikan


dan BAB III
4 10/06/2020 Konsul BAB I, II, Perbaikan
III
5 11/07/2020 Konsul BAB I, II, ACC
III
Lanjut Seminar Proposal
Keputusan
Tidak Lanjut Seminar Proposal
NB : Bukti lembar ini diikutsertakan pada KTI

Medan, Juli 2020


Ketua Prodi Studi

(Yunita Purba, S.Si, M.Si)

26
LEMBAR BUKTI BIMBINGAN

15 April 2020 (Perbaikan 1)

10 Mei 2020 (Perbaikan 2)

27
30 Mei 2020 (Perbaikan 3) 10 Juni 2020 (Perbaikan 4)

11 Juli 2020 (Perbaikan 5)

28
LEMBAR BUKTI PEMBAYARAN

29

Anda mungkin juga menyukai