Disusun Oleh :
KELOMPOK 2 / EM-I
PRODI MANAJEMEN
2020
BAB II
PEMBAHASAN
Kurs uang asing berubah-ubah dengan standar yang berlaku saat ini. Pembaca barangkali
melihat kurs rupiah dolar yang berfluktuasi cukup tajam setelah Bank Indonesia (Bank Sentral
Indonesia) melepaskan kendali atas kurs. Kurs mata uang negara maju seperti dolar atau yen
mengalami fluktuasi yang cukup tajam, memusingkan fransaksi bisnis, sekaligus memberi
kesempatan bag para spekulan. Tentunya timbul pertanyaan faktor-faktor apa yang
meningkatkan nilai suatu mata uang, dan faktor-faktor apa yang menurunkan nilai mata uang
tersebut. Bab ini membicarakan faktor-faktor yang mempengaruhi nilai mata uang atau mata
uang. Kurs mata uang yang dibicarakan dalam bab ini adalah kurs yang ditentukan melalui
kekuatan pasar Beberapa negara menetapkan kurs mata uangnya (kurs tetap) dan mengabaikan
kekuatan pasar dalam penentuan kurs mata uangnya. Beberapa negara aktif melakukan interversi
di pasar valuta asing untuk mempengaruhi kurs uangnya. Bab ini memfokuskan pada faktor-
faktor yang mempengaruhi kurs uang, terlepas dari kekuatan atau campur tangan Negara. Bab ini
membicarakan faktor-faktor yang mempengaruhi nilai suatu mata uang di pasar bebas.
Pembicanan dimulai dengan penawaran dan permintaan mata uang dalam penentuan kurs atau
nilai suatu mata uang, faktor-faktor yang mempengaruhi kurs, dan peranan Bank Sentral dalam
mempengaruhi kurs mata uang. Bank Sentral mempunyai peranan penting dalam penentuan kurs
mata uang, baik secara langsung maupun tidak langsung. Karena itu satu bagian sendiri khusus
membicarakan peranan Bank Sertral.
Apresiasi berarti meningkatnya nilai mata uang suatu Negara relatif terhadap mata uang
lainnya.Depresiasi berarti sebaliknya, yaitu menurunnya nilai mata uang suatu negara relatif
terhadap mata uang lainnya. Jika pada awal tahun ini, kurs Rupiah-dolar adalah Rp
3.000,00/US$, dan pada akhir tahun kurs tersebut berubah menjadi Rp 4.000,00 maka dolar
mengalami apresiasi terhadap rupiah. Sebaliknya, Rupiah mengalami depresiasi terhadap dolar
AS. Kekuatan pasar akan menentukan apresiasi atau depresiai. Apresiasi atau depresiasi berbeda
dengan revalusi dan devaluasi. Devaluasi berarti menurunkan nilai atau kurs mata uang terhadap
mata uang laınnya secara resmi. Situası semacam ini biasanya terjadi di negara yang menetapkan
kurs mata uangnya secara resmi, atau menggunakan kurs tetap. Revaluasi berartı sebaliknya,
yaitu meningkatkan nilai atau kurs mata uang terhadap mata uang laınnya secara resmi. Harga
suatu mata asing relatif terhadap mata uang laınnya (kurs) sangat tergantung dari kekuatan
penawaran (supply) dan penintaan (demand) mata uang tersebut. Kita akan memulai dengan
membicarakan dua mata uang yaitu Rupiah dan Dolar. Pemintaan terhadap rupiah dalam model
dua negara, akan ditentukan oleh pemintaan terhadap barang, jasa Indonesia dan instrumen
keuangan dengan denominasi mata uang Indonesia (Rupiah). Karena barang-barang tersebut
dihargai dengan Rupiah, orang Arnerika yang membeli barang Indonesia harus menukarkan
dolar mereka menjadi rupiah, dan baru membeli barang Indonesia. Dengan demikian orang
Amerika Serikat meminta rupiah. Sebaliknya, permintaan terhadap dolar datang dari permintaan
terhadap barang, jasa, dan instrumen keuangan dengan denominasi dolar.
Jika kita menggunakan kacamata Indonesia, maka kita akan membicarakan dolar.
Kurs rupiah/dolar akan ditentukan oleh penintaan dan penawaran dolar di pasar valuta asing.
Dalam kondisi keseimbangan (ekuilibrium), kurva permintaan dan penawaran dolar bisa
dilihat pada gambar pada bagan 4.1 di bawah ini.
Dalarn gambar di ataş, dalam kondisi keseimbangan kuts yang terjadi adalahRp3.000,00/US$
= -16,67%
Yang berarti Rupiah mengalami depresiasi terhadap dolar sebesar 16,67% terhadap Rupiah, atau
menggunakan rumus yang kedua sebagai berikut,
= +20%
Yang berarti Rupiah mengalami apresiasi terhadap dolar sebesar 20%. Perhatikan bahwa
el = Rp2.500/$ > e0 = Rp3 000/$, menandakan bahwa nupiah mengalam apresiasi terhadap
dolar. Perhatikan bahwa apresiasi Rupiah terhadap dolar tidak sama depræiasi dolar terhadap
Rupiah Hal ini terjadi karena pembagi dan perbedaan kurs antara kedua mata uang tersebut
bebeda Tetapi kedua hal tersebut berkaitan, dan kaitan antara keduanya bisa dilihat melalui
ilustrasi beikut ini.
Jika kita tahu apresiasi/depresiasi mata uang tertentu terhadap mata uang lainnya, berapa
depresiasi/apresiasi mata uang tersebut terhadap mata uang yang pertama. Dalam contoh di
ahs, jika kita mengetahui Rupiah mengalami apresiasi 20% terhadap dolar, berapa depresiasi
dolar terhadap Rupiah? Pertama, kita tahu apresiasi Rupiah dihitung berikut ini.
$ e 1/ Rp(baru)−$ e 0/ Rp(lama)
Apresiasi/ Depresiasi Rupiah=
$ e 0/ Rp(lama)
e 1−e 0
Atau disederhanakan penulisannya menjadi Apresiasi Rupiah=
e0
Kita tahu bahwa Rp/$ merupakan kebalikan dari $/Rp, berarti kita bias menuliskan persamaan
= (e0/e1) – 1
= (e0/e1) – (e1/e1)
Atau
e 0−e 1
Depresiasi Dolar =(e 0 /e 1)−1
e1
Dalam contoh di atas, apresiasi Rupiah terhadap dolar adalah 20%, atau apresiasi
Rupiah = (e1 – e0)/e0 = 20%, atau (el/e0) - 1 = 0,2, atau (el/e0) = 1,2. Dengan demikian
e0/e1= 1/1,2 = 0,833. Depresiasi dolar terhadap Rupiah adalah (e0 - el)/el.
= (1/1,2) - 1
= 0,833 – 1
Kita bisa menggeneralisir persoalan di atas sebagai berikut. Jika kitamengetahui apresiasi/
depresiasi mata uang pertama terhadap mata kedua sebesar x%, berapa depresiasi/apresiasi mata
uang kedua terhadap uang pertama. Ilustrasi berikut ini menunjukkan penurunan formula umum.
Jika rupiah apresiasi X% terhadap dolar, berapa persen depresiasi dolar terhadap rupiah?
$ e 1/Rp−$ e 0/ Rp
Apresiasi Rupiah= =x %
$ e 0 /Rp
Atau e1/e0 = 1 + x%
Karena kurs rupiah/dolar merupakan kebalikan kurs Dolar/Rupiah, maka formula diatas bias
ditulis sebgai berikut untuk menghiitung depresiasi rupiah terhadap dolar.
(1/e 1)−(1/e 0)
Atau Depresiasi Rupiah= =(e 0 /e 1)−(e 0/e 0)
(1 /e 0)
= e0/e1 -1
= 1/(e1/e0) – 1
=1/(1 + X%) – 1
1 (1+ x % )
¿ − ¿
(1+ x %) 1+ x % ¿
= -x%/(1 + x%)
Dalam contoh diatas, Rupiah apresiasi sebesar 20% (Rp 3.000/$ menjadi Rp 2.500/$). Dolar
mengalami depresiasi sebesar –X%/(1 + X%) = -0,20 / (1 + 0,20) = 0,167 atau 16,7%.
Dengan cara yang sama, jika kita mengetahui depresiasi suatu mata uang kita bias menghitung
apresiasi mata uang lainnya sebgai berikut.
Dalam contoh diatas, kita tahu bahwa Rupiah mengalami depresiasi sebesar 16,7%. Dolar
dengan demikian mengalami apresiasi terhadap rupiah sebesar
Pola dalam contoh di atas wajar terjadi. Secam umum, yang mengalami inflasi tinggi
cenderung mengalami depresiasi mata uangnya. Kenapa terjadi demikian? Misalkan inflasi di
Amerika Serikat naik lebih cepat dibandingknn dengan inflasi di Indonesia. Hal itu berartl harga-
harga di Amefika Serikat meningkat lebih cepat dibandingkan dengan harga-harga di Indonesia.
Karena barang di Arnerika Serikat menjadi lebih mahal relatif terhadap barang Indonesia, maka
permintaan barang di Indonesia akan semakin meningkat. Baik orang Indonesia maupun orang
Arnerika Serikat akan lebih suka membeli barang Indonesia. Permintaan barang Indonesia
meningkat dan mengakibatkan permintaan mata uang rupiah meningkat juga. Permintaan rupiah
yang meningkat mengakibatkan kurs rupiah menguat relatif terhadap dolar. Sedangkan
permintaan barang Amerika Serikat menurun n membuat permintaan terhadap dolar menjadi
turun. Permntaan dolar yang semakin kecil mengakibatkan kurs dolar melemah.
Pada umumnya Negara yang mempunyai tingkat inflasi yang tinggi mempunyai
kecenderungan nilai mata uang yang semakin melemah (depresiasi). Ada beberapa pengecualian
seperti ketika tahun 1980an. Inflasi di Amerika Serikat melaju lebih cepat dibandingkan dengan
inflasi di Jepang, tetapi mata uang dolar justru mengalami apresiasi terhadap mata uang yen
Jepang. Dalam hal ini faktor lain yang bekerja melawan arah inflasi, sehingga pengaruh inflasi
menjadi tidak kelihatan.
Faktor lain yang mempengaruhi nila mata uang suatu Negara adalah perbedaan tingkat
bunga antarnegara. Kenaikan tingkat bunga di Amerika Serikat relative terhadap tingkat bunga di
Indonesia akan menyebabkan banyak Investor mengalihkan investasinya dari insfrumen
keuangan dengan denominasi rupiah ke instnamen keuangan dengan denominasi dolar. Investor
berusaha memanfaatkan tingkat bunga yang lebih tinggi. Sebagai akibatnya dolar akan menguat
(apresiasi) terhadap rupiah, atau rupiah mengalami depresiasi terhadap dolar.
Dalam contoh di atas, nilai dolar ditentukan oleh prospek perekonomian Amerika
Serikat di masa mendatang. Pasar mengantisipasi perekonomian Arnerika Serikat. Sebelum
inflasi tinggi benar-benar terjadi, yang berarti depresiasi nilai dolar, pasar menjual dolar dan
mengakibatkan penurunan nilai dolar. Contoh lain adalah perekonomian Amerika Serikat
yang mengalami naik turun dan kejadian semacam ini mempengaruhi nilai mata uang dolar.
Pada awal 1960-an, Arnerika Serikat merupakan negara dominan di dunia ini. Sistem poliük
AS stabil dan perekonomian AS juga sehat: inflasi di AS 1% pertahunnya, pertumbuhan
ekonomi 5% pertahun. Karena situasi semacarn itu banyak investor yang ingin memegang
dolar, dan ini mengakibatkan nilai dolar apresiasi terhadap mata uang lainnya.
Pada 1970-an, keadaan berbalik. Amerika Serikat terlibat perang di Vietnam, dan
mengalami defisit anggaran untuk membelanjai perang tersebut. Sistem politik juga salah
goncang, salah seorang Presiden (Nixon) dipaksa untuk mengundurkan diri sebelum masa
jabatannya berakhir. Pertumbuhan moneter naik dan mengakibatkan inflasi mencapaidouble
digit (diatas 10%), dan mendorong perusahaan mernasuki kelompok pajak karena inflasi.
Pertumbuhan ekonomi hanya mencapai 3% per tahun dibandingkan 4% per-tahun untuk maju
lainnya. Faktor-faktor semacam itu digabung dengan peningkatan peraturan pemetintah
menyebabkan daya tarik Amerika Serikat menjadi berkurang. Hal ini menyebabkan keinginan
investor memegang dolar menjadi semakin berkurang, dan mendorong mereka mengambil
keputusan untuk mengurangi proporsi dolar aset finansial dengan denominasi dolar, dan hal
ini berakibat menurunnya nilai mata uang US dolar
Tahun 1980-an, presiden baru Amerika &nkat mempunyai komitmen yang kuat untuk
menekan inflasi, pajak dan peraturan pemerintah. Bank Sentrał Arnerika Serikat berhasil
menekan inflasi. Sesudah resesi singkat, pertumbuhan ekonomi naik cepat dan mencapai 6,5%
pada tahun 1984 dibandingkan dengan rata-rata pettumbuhan 0,9% pada negara-negara maju
lainnya. Pertumbuhan ekonomi yang kuat, inflasi yang rendah, dan stabilitas ekonomi AS,
menarik aliran modal dari luar. Investor asing sekali lagi menemukan Amerika Serikat sebagai
tempat yang menarik untuk melakukan investasi, dan semakin banyak investor asing yang ingin
membeli dolar atau aset finansial dengan denominasi dolar. Nilai dolar kembali naik.
Pertumbuhan ekonomi AS pada 1985 mulai melambat, dan pertumbuhan di negara-
negara maju lainnya lebih menarik kembali. Pada waktu yang sama, investor asing menarik
uangnya dari dolar karena mereka merasa pemerintah Amerika Serikat menginginkan dolar
menurun nilainya. Dengan latar belakang semacam iłu keingnan investor memegang dolar
atau aset finansial dengan denominasi dolar menjadi semakin berkurang. Dolar mengalami
penurunan nilai kembali. Keinginan untuk memegang suatu mata uang sangat ditentukan oleh
harapan investor terhadap faktor-faktor yang diperkirakan mempengaruhi nilai mata uang
tersebut di menda tang. Yang penting tidak hanya kejadian yang sekarang, tetapi apa yang
diperkirakan terjadi di masa mendatang. Dengan demikian nilai suatu mata uang mempunyai
pandangan ke masa mendatang (forward looking) nilai mata uang ditentukan oleh investor
akan prospek ekonomi Negara yang mengeluarkan mata uang tersebut dimasa mendatang,
bukannya kejadian-kejadian sang terjadi saat ini.
Bank Sntral mempunyai peranan penting dalam penentuan kurs suatu mata uang. Bank
Sentral yang independen mernperkuat biasanya cenderung memperkuat kurs mata uang negara
tersebut. Benk Sentral seringkali berhadapan dengan pemerintah (politisi) dalam menentukan
kebijakan moneternya. Bank Sentral menginginkan stabilitas moneter (misal inflasi yang
terkendali), sementara di lain pihak politisi mengnginkan kebijakan yang lebih populer (untuk
menarik perhatian pemilih). Politisi akan Iebih suka kebijakan moneter yang longgar, yang
akan memperkecil pengangguran. Tetapi biaya kebijakan semacam adalah inflasi yang menjadi
tidak terkendali. Inflasi yang tidak terkendali menyebabkan penurunan nilai mata uang.
Dengan demikian, secara tidak langsung independensi Bank Sentral akan mempengaruhi nilai
suatu mata uang. Negara dengan Bank Sentral independen akan ccnderung mempunyai mata
uang dengan nilai yang kuat, dan sebalikmya. Jika Bank Sentral tidak independen, maka
tekanan dari pemerintah bisa cukup kuat bisa mendomng kebijakan moneter yang lebih
longgar. Akibat yang terjadi adalah inflasi yang tinggi yang menyebabkan nilai mata uang
tersebut menurun. Dengan demikian nampaknya ada hubungan negaåf antara independensi
Bank Senbal dengan nilai suatu mata uang.
Dalam pasar keuangan yang efisien, pengharapan akan dengan cepat diantisipasi oleh
pasar. Dengan demikian harga sekuritas, atau kurs mata uang (ingat uang adalah jenis sekuritas),
akan mencerminkan pengharapan tersebut. Sebagai akibatnya, jika kejadian yang diharapkan
benar terjadi, harga tidak akan menunjukkan perubahan yang berarti, karena pasar sudah
mengatisipasi kejadian tersebut. Informasi baru dengan demikian adalah informasi yang diluar
pengharapan. Informasi baru tersebut akan mengakibatkan perubahan harga. Ilustrasi berikut
menunjukan bagaimana efisiensi pasar keuangan menggambarkan situasi semacam itu.
Pada tanggal 30 Agustus 1990, Bank of Japan (Bank Sentral Jepang) menaikkan tingkat
bunga dari 5,25% menjadi 6% untuk mengurangi tekanan Inflasi di Jepang. Kejadian tersebut
sudah banyak diperkirakan oleh pasar, bahkan pasar mengharapkan kenaikan tingkat bunga lebih
dari 0,70%. Pada kondisi normal, kenaikan tingkat bunga akan meningkatkan kurs, karena
cenderung menaikkan inflasi. Tetapi dalam contoh tersebut kenaikan sudah diantisipasi pasar,
dan bahkan kenaikan tersebut lebih kecil yang diharapkan oleh pasar. Karena itu bukannya
meningkat, kurs Yen Jepang justru menunjukkan penurunan.
Bank Sentral merupakan otoritas moneter tertinggi suatu Negara, yang mempunyai tugas antara
lain:
Stabilitas harga berarti fingkat inflasi yang relatif rendah, scdangkan tingkat
bunga yang cukup rendah diharapkan bisa mendorong iklim investasi Biasanya tejadi
trade-off antara keduanya. Apabila tingkat bunga rendah, pertumbuhan ekonomi bisa
meningkat, tetapi inflasi cenderung meningkat juga Dengan demikian tingkat bunga
dijaga sedemikian rupa sehingga pertumbuhan ekonomi tidak mengakibatkan inflasi yang
tidak terkendalikan. Bank Sentral mempunyai perkiraan nilai mata uang yang ideal. Mata
uang yang terlalu tinggi mengakibatkan barang-barang suatu negara menjadi relatif lebih
mahal dibandingkan barang-barang di luar negeri. Sebagai akibatnya suatu negara akan
terhambat. Produk domestik negara tersebut juga menjadi berkurang daya saingnya
dibandingkan dengan produk serupa yang diimpor dan luar negeri. Penjualan batang
dornestik yang bisa diperdagangkan (traded goods) menjadi berkurang yang
menyebabkan meningkatnya pengangguran pada sektor barang-barang yang
diperdagangkan. Perekonomian bergeser dari 'ñaray yare diperdagangkan ke barang yang
tidak diperdagangkan (nontraded goods). Mata uang yang terlalu murah juga tidak baik
efeknya. Mata uang tesebut membuat produk-produk impor menjadi relatif lebih mahal
dibanding kan dengan produk dalam negeri. Apabila produk impor tersebut merupakan
produk yang menjadi input produksi (faktor produksi), maka kenaikan faktor produksi
tersebut akan mendorong inflasi melalui semakin tingginya biaya produksi. Kenaikan
harga barang-barang impor juga cendemng mendorong kenaikan harga-harga produksi
domestik. Barang-barang domestik tidak mau ketinggalan, dan berusaha menyesuaikan
dengan menaikkan produk mereka. Kemakrnuran suatu negara juga berkurang karena
semakin kecil kemampuan daya beli masyarakat tersebut. Bandingkan dengan apabila
nilal mata uang mengalami apresiasi, maka masyarakat menjadi lebih kaya mampu
membeli barang lebih banyak, dan bisa bepergian ke luar negeri dengan biaya yang lebih
murah.
Ilusfrasi: Efek Devaluasi Mata Uang
Devaluasi akan mendorong daya saing, tetapi di lain pihak depresiasi cenderung
meningkatkan tingkat inflasi domestik. Jika devaluasi kemudian menyebabkan kenaikan
harga, maka daya saing tersebut akan hilang. Bagaimana pengamh devaluasi terhadap
daya saing perusahaan? Untuk menjawab pertanyaan tersebut, kita bisa berangkat dan
dua kondlsi awal: (1) Kondisi di mana nilai suatu mata uang overvalued (lebih tinggi
dariyang seharusnya), dan (2) kondisi keseimbangan. Pada Negara dengan inflasi yang
tinggi, kemudian pemerintah memberlakukan kurs tetap, maka nilai mata uang Negara
tersebut akan overvalued. Daya saing perusahaan domestic akan turun dalam situasi
tersebut. Jika devaluasi kemudian dilakukan, nilai mata uang Negara tersebut akan lebih
mencerminkan nilai yang seharusnya dari mata uang Negara tersebut. Daya saing
perusahaan domestic akan membaik, dan ekspor diharapkan bias meningkat.
Intewensi yang dilakukan oleh Bank Senbal hanya akan mempunyai efek jangka pendek, apabila
intervensi tersebut menimbulkan efek. Kadang-kadang bahkan pasar tidak bereaksi cukup
sehingga tindakan intervensi tidak menghasilkan kurs yang diharapkan, atau dengan kata lain
intewensi tersebut tidak efektif. Seringkali intervensi Bank Sentral mengakibatkan kurs kembali
ke nilai yang diinginkan, apalagi apabila beberapa Bank Sentral melakukan aksi bersama.
Tetapi biasanya pengaruh tersebut hanya akan berlangsung dalam jangka Apabila kondisi makro
atau variabel-variabel ekonomi tidak berubah kurs akan kembali lagi ke nilai yang
menceminkan kondisi fundamental negara, meskipun nilai tersebut tidak diinginkan oleh Bank
Sentral.
Intewensi bisa dilakukan secara tidak langsung, yaitu dengan mengubah variabel
ekonomi makro suatu negara. Sebagai contoh, inflasi di suatu negara dinaikkan sedangkan
inflasi di negara Iainnya ditununkan (deflasi). Dengan cara semacam itu kurs mata uang bisa
dikernbalikan ke kurs semula. Dari contoh di muka (Jeman dan Amerika Serikat), Bank Sentral
Jerman bisa menerapkan kebijaksanaan moneter longgar sehingga inflasi di Jerman naik.
Sedangkan Amerika Serikat bisa menerapkan kebijaksanaan moneter ketat sehingga inflasi
turun. Kedua kebijaksanaan tersebut akan mendorong kurs dari e1 menuju ke kuts semula yaitu
e0. Kesulitan yang bisa terjadi dengan cara semacam itu adalah sulitnya mengkoordinasikan
kebijakan moneter antarnegara.