Anda di halaman 1dari 89

TUGAS THT

STASE FARMAKOLOGI

Disusun oleh:
Roby Bagasworo (1765050384)
Kevin Gabriel Basana (1865050018)
Grace Saraswati (1865050061)
Ni Komang Ayu Pirnama Sari (1965050032)
Regitha Octaviola (1965050058)
Ukhti Iznilla (1965050102)
Abdul Azis (1965050117)
Ngurah Made Surya Deva W (1965050131)

KEPANITERAAN KLINIKK FARMAKOLOGI & TERAPI


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS KRISTEN INDONESIA
RUMAH SAKIT UMUM UNIVERSITAS KRISTEN INDONESIA
PERIODE 22 FEBRUARI 2021 – 13 MARET 2021
JAKARTA
1. OTITIS MEDIA AKUT
Definisi

Otitis Media Akur (OMA) adalah peradangan Sebagian atau seluruh mukosa telinga tengah,
tuba eustachius, antrum mastoid, dan sel-sel mastoid yang terjadi dalam waktu kurang dari 3
minggu.

Etiologi

Biasanya otiti media aakut kebanyakan disebabkan oleh Streptococcus pneumoniae,


Haemophilus influenzae, Moraxella catarrhalis.

Faktor resiko

1. Bayi dan anak


2. Infeksi saluran napas atas berulang telentang
3. Menyusu dari botol dalam posisi berbaring atau terlentang
4. Kelainan kongenital, misalnya: sindrom Down
5. Alergi
6. Tingkat sosio-ekonomi yang rendah

Stadium pada OME

1. Stadium oklusi tuba : Telinga terasa penuh atau nyeri , pendengaran dapat berkurang
2. Stadium hiperemis : nyeri telinga makin intens, demam, rewel dan gelisah ( pada
bayi/anak) muntah , nafsu makan berkurang , anak sering memegang telinga yang
nyeri
3. Stadium supurasi : gejala sama dengan stadium hiperemis dan ditandai dengan
gambaran membrane timpani yang membonjol
4. Stadium perforasi : rupture membrane timpani , demam berkurang dan keluarnya
cairan dari telinga
5. Stadium resolusi : setelah secret keluar intensitas keluhan berkurang jika tidak ada
perforasi  membrane timpani akan Kembali normal jika perforasi  secret
berkurang

Pemeriksaan fisik

1. Suhu dapat meningkat


2. Pemeriksaan otoskopi
3. Tes penala

Dapat ditemukan tuli konduktif yaitu test rinne (-) dan tes schwabach memendek pada telinga
yang sakit, tes weber terjadi lateralisasi ke telinga yang sakit.
Tatalaksana OMA

1. Topikal
a) Pada stadium oklusi tuba,bertujuan membuka kembali tuba eustachius sehingga
tekanan negative di telinga tengah menghilang. Untuk itu Obat yang diberikan
adalah: Berikan tetes hidung HCL efedrin 0,5% dengan larutan fisiologik
(anak<12tahun) atau HCL Efedrin 1% dalam larutan fisiologik untuk yang
berumur diatas 12 tahun dan pada orang dewasa. Disamping itu sumber infeksi
harus diobati dengan antibiotika diberikan apabila infeksi disebabkan oleh
bakteri.
b) Pada stadium presupurasi adalah antibiotika obat tetes hidung dan analgetika bila
membrane timpani sudah terlihat hiperemis difus sebaiknya miringotomi
antibiotika yang dianjurkan adalah sebagai berikut :
c) Pada
stadium
supurasi
disamping
diberikan
antibiotika
idealnya
harus
disertai
dengan miringotomi bila membrane timpani masik utuh dengan Tindakan
tersebut gejala klinis lebih cepat menghilang dan ruptur dapat terhindari
d) Pada stadium perforasi pengobatan dapat dilakukan dengan obat cuci telinga
H2O2 3% selama 3-5 hari serta antibiotika yang adekuat.
e) Pada stadium resolusi jika tidak terjadi fase resolusi lanjutkan antibiotic selama 3
minggu
2. Oral sistemik : antibiotic, antihistamin (bila terdapat tanda-tanda alergi), dekongestan,
analgetic/antipiretik
Komplikasi

1. Komplikasi intra-temporal : labirinitis, paresis nervus fasialis, petrisistis, hidrosefalus


otik
2. Komplikasi ekstra -temporal/ intracranial : abses subperiosteal, abses epidural, abses
perisinus, abses subdural, abses otak, meningitis, thrombosis sinus lateral.

Prognosis

- Ad vitam : bonam
- Ad functionam : bonam
- Ad sanationam : bonam
OTITIS EKSTERNA DIFUSA (2) DAN SIRKUMSKRIPTA (3)

Otitis eksterna adalah radang liang telinga akut maupun kronis yang disebabkan
disebabkan oleh infeksi bakteri, jamur dan virus. Faktor yang mempermudah radang telinga
luar ialah pH di liang telinga yang biasanya normal atau asam. Bila pH menjadi basa, proteksi
terhadap infeksi menurun. Pada keadaan udara yang hangat dan lembab, kuman dan jamur
mudah tumbuh.1 Faktor lain penyebab otitis eksterna adalah trauma lokal dan alergi. Faktor
ini menyebabkan berkurangnya lapisan protektif yang menyebabkan edema dari epitel
skuamosa. Keadaan ini menimbulkan trauma lokal yang mengakibatkan bakteri masuk
melalui kulit, inflasi dan menimbulkan eksudat. Bakteri patogen pada otitis eksterna akut
adalah pseudomonas (41%), strepokokus (22%), stafilokokus aureus (15%) dan bakteroides
(11%).2 Istilah otitis eksterna akut meliputi adanya kondisi inflasi kulit dari liang telinga
bagian luar. 3,4
Otitis eksterna ini merupakan suatu infeksi liang telinga bagian luar yang dapat
menyebar ke pinna, periaurikular, atau ke tulang temporal. Biasanya seluruh liang telinga
terlibat, tetapi pada furunkel liang telinga luar dapat dianggap pembentukan lokal otitis
eksterna. Otitis eksterna difusa merupakan tipe infeksi bakteri patogen yang paling umum
disebabkan oleh pseudomonas, stafilokokus dan proteus, atau jamur.5
Penyakit ini sering diumpai pada daerah-daerah yang panas dan lembab dan jarang pada
iklim-iklim sejuk dan kering. Patogenesis dari otitis eksterna sangat komplek dan sejak tahun
1844 banyak peneliti mengemukakan faktor pencetus dari penyakit ini seperti Branca (1953)
mengatakan bahwa berenang merupakan penyebab dan menimbulkan kekambuhan. Senturia
dkk (1984) menganggap bahwa keadaan panas, lembab dan trauma terhadap epitel dari liang
telinga luar merupakan faktor penting untuk terjadinya otitis eksterna. Howke dkk (1984)
mengemukakan pemaparan terhadap air dan penggunaan lidi kapas dapat menyebabkan
terjadi otitis eksterna baik yang akut maupun kronik.3,4
Umumnya penderita datang ke Rumah Sakit dengan keluhan rasa sakit pada telinga,
terutama bila daun telinga disentuh dan waktu mengunyah. Bila peradangan ini tidak diobati
secara adekuat, maka keluhan-keluhan seperti rasa sakit, gatal dan mungkin sekret yang
berbau akan menetap.3
Pembersihan yg terbaik adalah dengan sunction dan menggunakan otoskop. Alternative
lain untuk membersihkan telinga adalah dgn menggunakan kapas untuk mengeluarkan secara
perlahan-lahan secret tebal dari saluran telinga luar. Jika secret tipis, keras atau lengket maka
pemberian antibiotic atau hydrogen peroksida dapat menolong untuk melembutkan secret tsb
agar mudah dikeluarkan. Dapat juga diberikan alcohol sesudahnya untuk membersihkan
saluran, tetapi hal ini mungkin menyebabkan iritasi jika saluran telah mengalami peradangan.
Pasien harus dievaluasi kembali apabila sekret susah untuk dikeluarkan akibat adanya
pembengkakan atau nyeri.1-4

1. ANATOMI

Telinga dibagi atas telinga luar, telinga tengah, dan telinga dalam. Telinga luar terdiri
dari daun telinga dan liang telinga sampai membran timpani; telinga tengah terdiri dari
membrane timpani, tulang-tulang pendengaran (maleus, inkus, dan stapes), dan tuba
eustachius; sedangkan telinga dalam terdiri dari koklea (rumah siput) dan kanalis
semisirkularis. Untuk lebih jelasnya perhatikan gambar berikut:1

Gambar 1. Anatomi -
Telinga

Pada referat kali ini yang kita bahas hanya kelaianan pada telinga luar yang kita kenal
dengan istilah “Otitis Eksterna (OE)”. Pada penjelasan sebelumnya telah dijelaskan bahwa
yang termasuk telinga luar adalah aurikula atau pinna dan liang telinga.
Daun telinga terletak di kedua sisi kepala, merupakan lipatan kulit dengan dasarnya
terdiri dari tulang rawan yang juga ikut membentuk liang telinga bagian luar. Hanya cuping
telinga atau lobulus yang tidak mempunyai tulang rawan, tetapi terdiri dari jaringan lemak
dan jaringan fibros. Bentuk dari kulit, tulang rawan dan otot pada suatu keadaan tertentu
dapat menentukan bentuk dan ukuran dari orifisium liang telinga bagian luar, serta
menentukan sampai sejauh mana serumen akan tertahan dalam liang telinga, disamping itu
mencegah air masuk kedalam liang telinga. 6
Liang telinga mempunyai bagian tulang (di dua pertiga bagian dalam) dan tulang rawan
(di sepertiga bagian luar). Membran timpani memisahkan telinga luar dan telinga tengah.
Telinga luar berfungsi mengumpulkan dan menghantar gelombang bunyi ke struktur-struktur
telinga tengah. Liang telinga luar yang sering disebut meatus, panjang kira-kira 2,5 cm,
membentang dari konka telinga sampai membran timpani. Bagian tulang rawan liang telinga
luar sedikit mengarah keatas dan kebelakang dan bagian sedikit kebawah dan kedepan
sehingga berbentuk huruf “S“, sehingga penarikan daun telinga kearah belakang atas luar,
akan membuat liang telinga cenderung lurus dan memungkinkan terlihatnya membran
timpani pada kebanyakan liang telinga.1,6
Bagian yang tersempit dari liang telinga adalah dekat perbatasan tulang dan tulang
rawan. Hanya sepertiga bagian luar atau bagian kartilaginosa dari liang telinga dapat bergerak
dan mengandung folikel rambut yang banyaknya bervarasi antar individu namun ikut
membantu menciptakan suatu sawar dalam liang telinga. Bersama dengan lapisan luar
membrana timpani, liang telinga membentuk suatu kantung berlapis epitel yang bersifat
lembab, sehingga daerah ini menjadi rentan infeksi pada keadaan tertentu. 6
Anatomi liang telinga bagian tulang sangat unik karena merupakan satu-satunya tempat
dalam tubuh dimana kulit langsung terletak di atas tulang tanpa adanya jaringan
subkutan(jaringan longgar). Dengan demikian daerah ini sangat peka, dan tiap pembengkakan
akan sangat nyeri karena tidak terdapat ruang untuk ekspansi. Karena keunikan anatomi
aurikula serta konfigurasi liang telinga yang melengkung atau seperti spiral, maka telinga luar
mampu melindungi membrana timpani dari trauma, benda asing dan efek termal.1,6

2. DEFINISI OTITIS EKSTERNA

Otitis eksterna adalah suatu inflamasi, iritasi, atau infeksi kulit dari liang/saluran telinga
luar (meatus akustikus eksterna) yang disebabkan oleh kuman maupun jamur (otomikosis)
dengan tanda-tanda khas yaitu rasa tidak enak di liang telinga, deskuamasi, sekret di liang
telinga dan kecenderungan untuk kambuhan. Infeksi ini bisa menyerang seluruh saluran
(otitis eksterna generalisata) atau hanya pada daerah tertentu sebagai bisul (furunkel) atau
jerawat. 1,6
3. ETIOLOGI DAN FAKTOR PREDISPOSISI OTITIS EKSTERNA

Otitis eksterna terutama disebabkan oleh infeksi bakteri, yaitu staphylococcus aureus,
staphylococcus albus, dan escherichia coli. Penyakit ini dapat juga disebabkan oleh jamur
(10% otitis eksterna disebabkan oleh jamur terutama jamur pityrosporum dan aspergilosis),
alergi, dan virus (misalnya: virus varisela zoster). Otitis eksterna dapat juga disebabkan oleh
penyebaran luas dari proses dermatologis yang bersifat non infeksi.1,7

Gambar 2. Infeksi jamur Gambar 3. Infeksi virus (herpes zoster)

Faktor predisposisi otitis eksterna, yaitu :


a. Udara hangat dan lembab memudahkan kuman dan jamur untuk tumbuh.
b. Derajat keasaman (pH) liang telinga, dimana PH basa mempermudah terjadinya otitis
eksterna. PH asam memproteksi terhadap kuman infeksi.
c. Trauma mekanik seperti trauma lokal dan ringan pada epitel liang telinga luar (meatus
akustikus eksterna), misalnya setelah mengorek telinga menggunakan lidi kapas atau
benda lainnya.
d. Berenang dan terpapar air. Perubahan warna kulit liang telinga dapat terjadi setelah
terkena air. Hal ini disebabkan adanya bentuk lekukan pada liang telinga sehingga
menjadi media yang bagus buat pertumbuhan bakteri. Otitis eksterna sering disebut
sebagai swimmer's ear.
e. Benda asing yang menyebabkan sumbatan liang telinga, misalnya manik-manik, biji-
bijian, serangga, dan tertinggal kapas.
f. Bahan iritan (misalnya hair spray dan cat rambut).
g. Alergi misalnya alergi obat (antibiotik topikal dan antihistamin) dan metal (nikel).
h. Penyakit psoriasis
i. Penyakit eksim atau dermatitis pada kulit kepala.
j. Penyakit diabetes. Otitis eksterna sirkumskripta sering timbul pada pasien diabetes.
k. Penyumbat telinga dan alat bantu dengar. Terutama jika alat tersebut tidak dibersihkan
dengan baik. 7,4
Otitis eksterna kronik dapat disebabkan :
 Pengobatan infeksi bakteri dan jamur yang tidak adekuat.
 Trauma berulang.
 Benda asing.
 Alat bantu dengar (hearing aid), penggunaan cetakan (mould) pada hearing aid.4

4. PATOFISIOLOGI OTITIS EKSTERNA

Secara alami, sel-sel kulit yang mati, termasuk serumen, akan dibersihkan dan
dikeluarkan dari gendang telinga melalui liang telinga. Cotton bud (pembersih kapas telinga)
dapat mengganggu mekanisme pembersihan tersebut sehingga sel-sel kulit mati dan serumen
akan menumpuk di sekitar gendang telinga. Masalah ini juga diperberat oleh adanya susunan
anatomis berupa lekukan pada liang telinga. Keadaan diatas dapat menimbulkan timbunan air
yang masuk ke dalam liang telinga ketika mandi atau berenang. Kulit yang basah, lembab,
hangat, dan gelap pada liang telinga merupakan tempat yang baik bagi pertumbuhan bakteri
dan jamur.1,7,8
Adanya faktor predisposisi otitis eksterna dapat menyebabkan berkurangnya lapisan
protektif yang menimbulkan edema epitel skuamosa. Keadaan ini menimbulkan trauma lokal
yang memudahkan bakteri masuk melalui kulit, terjadi inflamasi dan cairan eksudat. Rasa
gatal memicu terjadinya iritasi, berikutnya infeksi lalu terjadi pembengkakan dan akhirnya
menimbulkan rasa nyeri. Proses infeksi menyebabkan peningkatan suhu lalu menimbulkan
perubahan rasa nyaman dalam telinga. Selain itu, proses infeksi akan mengeluarkan
cairan/nanah yang bisa menumpuk dalam liang telinga (meatus akustikus eksterna) sehingga
hantaran suara akan terhalang dan terjadilah penurunan pendengaran. Infeksi pada liang
telinga luar dapat menyebar ke pinna, periaurikuler dan tulang temporal.4

Otalgia pada otitis eksterna disebabkan oleh:


a. Kulit liang telinga luar beralaskan periostium & perikondrium bukan bantalan jaringan
lemak sehingga memudahkan cedera atau trauma. Selain itu, edema dermis akan
menekan serabut saraf yang mengakibatkan rasa sakit yang hebat.
b. Kulit dan tulang rawan pada 1/3 luar liang telinga luar bersambung dengan kulit dan
tulang rawan daun telinga sehingga gerakan sedikit saja pada daun telinga akan
dihantarkan ke kulit dan tulang rawan liang telinga luar sehingga mengakibatkan rasa
sakit yang hebat pada penderita otitis eksterna.1,7,8
5. MANIFESTASI KLINIS OTITIS EKSTERNA

Tanda otitis eksterna menggunakan otoskop yaitu kulit pada saluran telinga tampak
kemerahan, membengkak, bisa berisi nanah dan serpihan sel-sel kulit yang mati.3
Gejala otitis eksterna umumnya adalah rasa gatal dan sakit (otalgia). Otalgia
merupakan keluhan paling sering ditemukan. Otalgia berat biasa ditemukan pada otitis
eksterna sirkumskripta. Keluhan ini bervariasi dan bisa dimulai dari perasaan sedikit tidak
enak, perasaan penuh dalam telinga, perasaan seperti terbakar, hingga rasa sakit hebat dan
berdenyut. Hebatnya rasa nyeri ini tidak sebanding dengan derajat peradangan yang ada. Rasa
nyeri terasa makin hebat bila menyentuh, menarik, atau menekan daun telinga. Juga makin
nyeri ketika pasien sedang mengunyah.1,3,7,8
Rasa penuh pada telinga merupakan keluhan yang umum pada tahap awal dari otitis
eksterna difusa dan sering mendahului terjadinya rasa sakit dan nyeri tekan daun telinga.
Gatal-gatal paling sering ditemukan dan merupakan pendahulu otalgia pada otitis eksterna
akut. Pada kebanyakan penderita otitis eksterna akut, tanda peradangan diawali oleh rasa
gatal disertai rasa penuh dan rasa tidak enak pada telinga.3
Pendengaran berkurang atau hilang. Tuli konduktif ini dapat terjadi pada otitis
eksterna akut akibat sumbatan lumen kanalis telinga luar oleh edema kulit liang telinga,
sekret serous atau purulen, atau penebalan kulit progresif pada otitis eksterna lama. Selain itu,
peredaman hantaran suara dapat pula disebabkan tertutupnya lumen liang telinga oleh
deskuamasi keratin, rambut, serumen, debris, dan obat-obatan yang dimasukkan ke dalam
telinga. Gangguan pendengaran pada otitis eksterna sirkumskripta akibat bisul yang sudah
besar dan menyumbat liang telinga.3

Selain gejala-gejala diatas otitis eksterna juga dapat memberikan gejala-gejala klinis
berikut:
1. Deskuamasi.
2. Tinnitus.
3. Discharge dan otore. Cairan (discharge) yang mengalir dari liang telinga (otore).
Kadangkadang pada otitis eksterna difus ditemukan sekret / cairan berwarna putih atau
kuning, atau nanah. Cairan tersebut berbau yang tidak menyenangkan. Tidak bercampur
dengan lendir (musin).
4. Demam.
5. Nyeri tekan pada tragus dan nyeri saat membuka mulut.
6. Infiltrat dan abses (bisul). Keduanya tampak pada otitis eksterna sirkumskripta. Bisul
menyebabkan rasa sakit berat. Ketika pecah, darah dan nanah dalam jumlah kecil bisa
bocor dari telinga.
7. Hiperemis dan udem (bengkak) pada liang telinga. Kulit liang telinga pada otitis eksterna
difus tampak hiperemis dan udem dengan batas yang tidak jelas. Bisa tidak terjadi
pembengkakan, pembengkakan ringan, atau pada kasus yang berat menjadi bengkak yang
benar-benar menutup liang telinga.3,7

6. KLASIFIKASI OTITIS EKSTERNA

Otitis eksterna diklasifikasikan atas :1,7


1) Otitis eksterna akut :
a. Otitis eksterna sirkumskripta (furunkel / bisul)
b. Otitis eksterna difus
2) Otitis eksterna kronik

6.1.1. Otitis Eksterna Sirkumskripta (Furunkel = Bisul)

Otitis eksterna sirkumskripta adalah infeksi oleh kuman pada kulit disepertiga luar liang
telinga yang mengandung adneksa kulit, seperti folikel rambut, kelenjar sebasea dan kelenjar
serumen sehingga membentuk furunkel. Sering timbul pada seseorang yang menderita
diabetes.Gambar
Kuman penyebabnya biasanya
4. Otitis eksterna akutStaphylococcusGambar
aureus atau Staphylococcus
5. Otitis albus.1,7
eksterna kronis
Gejalanya ialah rasa nyeri yang hebat, tidak sesuai dengan besar bisul. Hal ini
disebabkan karena kulit liang telinga tidak mengandung jaringan longgar dibawahnya,
sehingga rasa nyeri timbul pada penekanan perikondrium. Rasa nyeri dapat juga timbul
spontan pada waktu membuka mulut (sendi temporomandibula). Selain itu terdapat juga
gangguan pendengaran bila furunkel besar dan menyumbat liang telinga. Rasa sakit bila daun
telinga ketarik atau ditekan. Terdapat tanda infiltrat atau abses pada sepertiga luar liang
telinga.1,7
Beberapa furunkel mungkin bersatu membentuk karbunkel jika infeksi berlanjut tidak
diterapi, akan timbul selulitis dan mungkin limfadenitis regional. Furunkulosis sering
bersama-sama dengan Otitis Eksterna Difusa (OED). Pada kasus berat, edema dapat
menyebar ke sulkus post aurikular menyebabkan daun telinga terdorong ke depan. Kesulitan
mendiagnosa timbul apabila liang telinga bengkak keseluruhan yang menghalangi
pemeriksaan membrana timpani. Keadaan ini harus dibedakan dari mastoiditis akuta,
pembengkakan dan tenderness dapat menyebar ke daerah post aurikula.4,7
Terapinya tergantung pada keadaan furunkel. Bila sudah menjadi abses, diaspirasi
secara steril untuk mengeluarkan nanahnya. Lokal diberikan antibiotic dalam bentuk salep,
seperti polymyxin B atau bacitracin, atau antiseptik (asam asetat 2-5% dalam alkohol. Kalau
dinding furunkelnya tebal, dilakukan insisi, kemudian dipasang salir (drain) untuk
mengalirkan nanahnya. Biasanya tidak diperlukan pemberian antibiotik secara sistemik,
hanya diberikan obat simtomatik seperti analgetik dan obat penenang.1

2.6.1.2. Otitis Eksterna Difus (OED)

Otitis eksterna difusa biasanya mengenai kulit liang telinga dua pertiga bagian dalam.
OED dikenal juga sebagai telinga cuaca panas (hot weather ear), telinga perenang (swimmer
ear), karena merupakan suatu problema umum dibagian otologi yang didapat pada 5–20 %
penderita yang berobat ke dokter di daerah-daerah tropis dan subtropis pada musim panas.
Otitis eksterna difusa merupakan komplek gejala peradangan yang terjadi sewaktu cuaca
panas dan lembab dan dapat dijumpai dalam bentuk ringan, sedang, berat dan menahun.7
Diduga bahwa suhu yang tinggi, kelembaban yang tinggi dan kontaminasi kulit
(kolonisasi) dengan basil gram negatif merupakan tiga faktor terpenting yang menunjang
didalam hal patogenesis otitis eksterna difusa. Berdasarkan kepustakaan bahwa peningkatan
yang cepat dari insiden otitis eksterna terjadi apabila suhu menaik pada lingkungan yang
kelembaban relatif tinggi. 1,4,7
Tidak adanya serumen didalam liang telinga luar bisa merupakan suatu keadaan
predisposisi untuk terjadinya infeksi telinga. Telah dikemukakan bahwa serumen dari telinga
penyebab terjadinya lapisan asam yang bersifat anti bakteri yang dianggap berguna untuk
mempertahankan telinga yang sehat.4
Gejalanya sama dengan gejala otitis eksterna sirkumskripta. Kadang-kadang kita
temukan sekret yang berbau namun tidak bercampur lendir (musin). Lendir merupakan sekret
yang berasal dari kavum timpani dan kita temukan pada kasus otitis media. Rasa sakit
didalam telinga bisa bervariasi dari yang hanya berupa rasa tidak enak sedikit, perasaan
penuh didalam telinga, perasaan seperti terbakar hingga rasa sakit yang hebat, serta
berdenyut, pada suatu penelitian multisenter yang melibatkan 239 pasien yang dilakukan oleh
Cassisi dkk, rasa sakit yang hebat 20%, sedang 27%, ringan 36% dan tidak ada rasa sakit
17%. Meskipun rasa sakit sering merupakan gejala yang dominan, keluhan ini juga sering
merupakan gejala sering mengelirukan. Kehebatan rasa sakit bisa agaknya tidak sebanding
dengan derajat peradangan yang ada. Ini diterangkan dengan kenyataan bahwa kulit dari liang
telinga luar langsung berhubungan dengan periosteum dan perikondrium,sehingga edema
dermis menekan serabut saraf yang mengakibatkan rasa sakit yang hebat.8
Lagi pula, kulit dan tulang rawan sepertiga luar liang telinga bersambung dengan kulit
dan tulang rawan daun telinga sehingga gerakan yang sedikit saja dari daun telinga akan
dihantarkan kekulit dan tulang rawan dari liang telinga luar dan mengkibatkan rasa sakit yang
hebat dirasakan oleh penderita otitis eksterna.1
Rasa penuh pada telinga merupakan keluhan yang umum pada tahap awal dari otitis
eksterna difusa dan sering mendahului terjadinya rasa sakit dan nyeri tekan daun telinga.
Gatal merupakan gejala klinik yang sangat sering dan merupakan pendahulu rasa sakit yang
berkaitan dengan otitis eksterna akut. Rasa gatal yang hebat 9%, sedang 23%, ringan 35%,
tidak didapat rasa gatal 33%. Pada kebanyakan penderita rasa gatal disertai rasa penuh dan
rasa tidak enak merupakan tanda permulaan peradangan suatu etitis eksterna akuta. Pada
otitis eksterna kronik merupakan keluhan utama.8
Kurang pendengaran mungkin terjadi pada akut dan kronik dari otitis eksterna akut.
Edema kulit liang telinga, sekret yang serousa atau purulen, penebalan kulit yang progresif
pada otitis eksterna yang lama, sering menyumbat lumen kanalis dan menyebabkan
timbulnya tuli konduktif. Keratin yang deskuamasi, rambut, serumen, debris, dan obat-obatan
yang digunakan kedalam telinga bisa menutup lumen yang mengakibatkan peredaman
hantaran suara.8
Diagnosis otitis eksterna difusa ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik
dan pemeriksaan penunjang. Dari anamnesis didapatkan keluhan telinga terasa nyeri, terasa
penuh, pendengaran berkurang, dan gatal. Pada pemeriksaan fisik didapatkan kulit liang
telinga hiperemis, dan edema dengan batas yang tidak jelas, adanya sekret yang berbau dan
tidak mengandung musin.6
Pada pemeriksaaan histopatologi otitis eksterna difusa akut tampak adanya gambaran
hiperkeratosis epidermis, parakeratosis, akanthosis, erosi, spingiosis, hiperplasia stratum
korneum dan stratum germinativum, edema, hiperemis, infiltrasi leukosit, nekrosis, nekrosis
fokal diikuti penyembuhan fibroblastik pada dermis dan aparatus kelenjar berkurang, aktifitas
sekretoris kelenjar berkurang.8
Langkah pertama yang terpenting untuk terapi otitis eksterna difusa berupa
pembersihan secara cermat semua debris dan nanah di dalam liang telinga, yang mudah
dilakukan dengan menggunakan ujung penghisap yang kecil. Kemudian liang telinga
dimasukkan tampon yang mengandung antibiotik. Kadang-kadang diperlukan antibiotik
sistemik.1
Ingat bahwa antibiotik harus berkontak seluruhnya dengan kulit liang telinga secara
efektif. Bila terdapat saluran yang baik dengan membrana timpani, pasien disuruh berbaring
pada satu sisi tubuhnya, kemudian diteteskan antibiotika dan dipasang sumbat kapas dalam
telinga. Harus diberikan 4 atau 5 tetes ke dalam telinga setiap 4 jam untuk 48 jam pertama,
setelah itu liang diperiksa kembali. Biasanya terjadi perbaikan dramatis. Kemudian tetesan
antibiotika harus diberikan 3 kali sehari selama 1 minggu. Kadang-kadang terdapat
pembengkakkan sedemikian rupa sehingga tetesan tersebut tidak dapat masuk ke liang
telinga. Pada keadaan ini, masukkan dengan hati-hati gumpalan kapas tipis 5-7,5cm dan
ditekan hati-hati ke dalam liang telinga deengan forsep bayonet atau forsep buaya. Ujung
dalam gumpalan ini harus sedikit mungkin ke membran timapani dan ujung luarnya harus
menonjol ke luar dari liang telinga. Dengan pasien pada salah satu sisinya, gumpalan tersebut
harus dibasahi dengan larutan antibiotika setiap 3-4 jam. Setelah kapas tersebut dibasahi,
pasang sumbatan kapas ke dalam telinga. Dua puluh empat jam setelah itu kapas harus
diangkat dan telinga dibersihkan, serta kemudian dimasukkan gumpalan kapas yang lebih
besar. Biasanya dalam waktu 48 jam, edema akan mengurai sedemikian rupa sehingga tetesan
antibiotika dapat langsung masuk ke dalam telinga.1,8
Suatu antibiotika yang mengandung neomisin bersama polimiksin B sulfat (cortisporin)
atau kolistin (colymiysin) akan efektif untuk sekitar 99 % pasien. Bila infeksi disebabkan
oleh jamur, salep Nystatin (mycostatin) dapat dioleskan semuanya ke kulit liang telinga dan
dapat digunakan tetesan m-kresil asetat (creysylate) atau mertiolat dalam air (1:1000). Harus
dihindarkan masuknya air selama 2 minggu setelah infeksi teratasi untuk mencegah
rekurensi.8
Biasanya terapi yang tepat menyebabkan penurunan dramatis bagi nyeri dalam 34-48
jam. Untuk nyeri hebat yang biasanya menyertai otitis ekterna difusa dapat diberikan kodein
atau aspirin. Kadang-kada ada individu yang sangat rentan terhadap otitis eksterna, pasien-
pasien ini harus diinstruksikan untuk menghindari masuknya air, busa sabun dan smprotan
rambut ke dalam telinga. Mereka dapat membersihkan telinganya dengan alkohol.8
Terapi topikal biasanya cukup efektif, tetapi bila dijumpai adenopathy dan gejala
toksisitas, antibiotika sistemik dibutuhkan. Penggunaan kortikosteroid diharapkan dapat
mengurangi proses inflamasi.7

TINJAUAN FARMAKOLOGI OTITIS EKSTERNA


Otitis eksterna adalah reaksi radang kulit meatus. Sebelum pengobatan dimulai, perlu untuk
dipertimbangkan bahwa otitis media kronis bukan merupakan penyebabnya. Banyak kasus sembuh
setelah liang telinga luar dibersihkan seksama dengan cara penyedotan, atau pembersihan kering.
Masalah yang sering terjadi pada kasus yang resisten adalah sulitnya mengoleskan losion dan salep
dengan baik pada kulit yang relatif sukar dijangkau. Cara yang paling efektif ialah memasukkan pita
kain kasa yang dibasahi dengan tetes telinga kortikosteroid atau dengan astringen seperti larutan
aluminium asetat. Bila hal ini tidak praktis, telinga sebaiknya dibersihkan dengan hati-hati
menggunakan kapas telinga, lalu pasien diminta untuk terlentang dengan telinga yang sakit di posisi
atas selama sepuluh menit setelah liang telinga diisi dengan larutan yang sesuai dalam jumlah yang
cukup.

Bila ada infeksi, antiinfeksi topikal yang tidak digunakan secara sistemik (seperti neomisin
atau kliokuinol) dapat dipakai, tetapi hanya untuk satu minggu karena penggunaan yang berlebihan
akan memicu infeksi jamur; infeksi jamur ini mungkin sulit diobati dan memerlukan konsultasi dokter
spesialis. Sensitivitas terhadap anti-infeksi atau pelarut, dapat terjadi dan resistensi terhadap
antibakteri mungkin terjadi pada pemakaian jangka panjang. Kloramfenikol dapat pula digunakan,
tetapi tetes telinganya mengandung propilen glikol dan menimbulkan reaksi sensitisasi pada sekitar
10% pasien. Larutan yang mengandung anti- infeksi dan kortikosteroid (seperti Kemicort) digunakan
untuk mengobati infeksi yang meradang dan eksim. Apabila otitis eksterna diobati secara topikal
dengan sediaan yang mengandung aminoglikosida (misalnya neomisin, framisetin) atau polimiksin
pada pasien dengan perforasi gendang telinga, maka dapat terjadi peningkatan risiko tuli akibat obat.
Oleh karena itu penting untuk menjamin tidak adanya perforasi sebelum sediaan ini diresepkan.
Walaupun demikian, banyak spesialis menggunakan tetes telinga ini secara hati-hati pada pasien otitis
media dengan perforasi dan saat pengobatan lain untuk otitis media eksterna telah gagal.
Infeksi akut dapat menimbulkan nyeri hebat dan antibakteri sistemik dibutuhkan dengan
analgesik seperti parasetamol atau ibuprofen. Bila ada infeksi stafilokokus yang resisten (bisul) di
liang telinga luar, flukloksasilin merupakan obat pilihan. Siprofloksasin oral atau aminoglikosida
sistemik mungkin diperlukan untuk infeksi Pseudomonas, terutama untuk anak dengan diabetes atau
imunitas menurun.

Kulit pinna yang dekat dengan liang telinga sering diserang eksim. Krim kortikosteroid topikal dan
salep dapat dipakai, tetapi pemakaian jangka panjang sebaiknya dihindari.

Penggunaan pada anak. Untuk memakai tetes telinga, baringkan anak dengan kepala menghadap ke
satu sisi; pada bayi, tarik daun telinga kearah belakang bawah. Untuk anak yang lebih tua, tarik daun
telinga ke arah belakang atas.

SEDIAAN ANTIINFLAMASI 

Monografi: 
DEKSAMETASON
Indikasi: 
otitis eksterna eksematosa.
Peringatan: 
hindari penggunaan berkepanjangan.
Kontraindikasi: 
infeksi yang tidak ditangani.
Efek Samping: 
reaksi kepekaan setempat.
Penggunaan: 
telinga, beri 2-3 tetes 3-4 kali sehari.
HIDROKORTISON
Indikasi: 
inflamasi eksematosa dalam otitis eksterna.
Peringatan: 
hindari penggunaan berkepanjangan.
Kontraindikasi: 
infeksi yang tidak ditangani.
Efek Samping: 
reaksi sensitivitas lokal.
Penggunaan: 
telinga, beri 2-3 tetes 3-4 kali sehari.
SEDIAAN ANTIINFEKSI 
Monografi: 

FRAMISETIN SULFAT
Indikasi: 
Sesuai dengan gentamisin.
Peringatan: 
Sesuai dengan gentamisin
Kontraindikasi: 
perforasi gendang telinga
Efek Samping: 
sensitivitas lokal

GENTAMISIN
Indikasi: 
infeksi bakterial pada otitis eksterna
Peringatan: 
hindari pemakaian jangka panjang, kehamilan, menyusui
Kontraindikasi: 
perforasi gendang telinga
Penggunaan: 
telinga, beri 3-4 tetes 3-4 kali tiap hari; kurangi frekuensi bila ada perbaikan.

KLORAMFENIKOL
Indikasi: 
infeksi bakteri pada otitis eksterna
Peringatan: 
hindari pemakaian yang berkepanjangan
Efek Samping: 
kejadian reaksi hipersensitivitas terhadap bahan vehikulum tinggi.
Penggunaan: 
beri 2-3 tetes ke dalam telinga 2-3 kali sehari.
NEOMISIN SULFAT
Indikasi: 
infeksi bakteri pada otitis eksterna
Peringatan: 
hindari pemakaian jangka panjang
Kontraindikasi: 
perforasi gendang telinga
Efek Samping: 
sensitivitas lokal.

OFLOKSASIN
Keterangan: 
Di Indonesia juga beredar ofloksasin.

DAFTAR PUSTAKA
1. Sosialisman, Alfian F.Hafil, & Helmi. Kelainan Telinga Luar dalam Buku Ajar Ilmu
Kesehatan Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala & Leher. Ed. ke-6. dr. H. Efiaty Arsyad
Soepardi, Sp.THT, dkk (editor). Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta.
2007. Hal : 58-59.
2. Oghalai, J.S. 2003. Otitis Eksterna. Di unduh dari: http://www.bcm.
tme.edu/oto/grand/101295.htm. Di Akses pada tanggal : 29 September 2011.
3. Abdullah, F. 2003. Uji Banding Klinis Pemakaian Larutan Burruwi Saring dengan Salep
Ichthyol (Ichthammol) pada Otitis Eksterna Akut. Di unduh dari:
http://www.usudigitallibrary.com. Di Akses pada tanggal : 30 September 2011.
4. Kotton, C. 2004. Otitis Eksterna. Di unduh dari: http://www.sav-ondrugs.
com/shop/templates/encyclopedia/ENCY/article/000622.asp. Di Akses pada tanggal : 28
September 2011.
5. Nussenbaum Brian, MD, FACS. External Ear, Malignant External Otitis. Available from
http://emedicine.medscape.com/article/845525-overview. Di Akses pada tanggal : 28
September 2011.
6. Suardana, W. dkk. Pedoman Diagnosis dan Terapi Ilmu Penyakit Telinga, Hidung dan
Tenggorok RSUP Denpasar. Lab/UPF Telinga Hidung dan Tenggorok FK Unud.
Denpasar. 1992
7. Adam GL, Boies LR, Higler PA; Wijaya C: alih bahasa; Effendi H, Santoso K: editor.
Penyakit telinga luar dalam Buku Ajar Ilmu Panyakit THT. Edisi 6. Jakarta: EGC.
1997.78-84.
8. Susana. 2009. Nyeri Telinga. Di unduh dari: http://www.ssmedika.com/ index.php?
option=com_content&view=article&id=53:nyeritelinga&catid=38:telinga&Itemid=61. Di
Akses pada tanggal : 28 September 2011.

4. OTOMIKOSIS
Definisi

Definisi dan kriteria untuk ototoksisitas telah ditetapkan oleh American Speech Languange
Hearing Association (ASHA), the National Cancer Institute Common Terminology Criteria
for Adverse Events (CTCAE), dan Brock.ASHA mendefinisikan ototoksisitas sebagai:

a) Penurunan ambang batas pendengaran nada murni pada frekuensi 20db atau lebih
b) Penurunan pada 2 frekuensi berturut-turut 10db atau lebih, atau
c) Hilangnya respon pada tes 3 frekuensi yang berurutan.

Etiologi

Jamur di liang telinga yang dipermudah dengan kelembaban yang tinggi di daerah tersebut.
Yang tersering jamur Aspergillus niger. Dapat juga Pityrosporum, Aktinomises, atau Candida
albicans.

Manifestasi Klinis

Rasa gatal dan tersumbat di liang telinga. Pada pemeriksaan tampak liang telinga terisi oleh
filamen jamur berwarna keputihan. Seringkali juga terjadi infeksi oleh bakteri akibat trauma
mengorek liang telinga.

Derajat Otomikosis

Derajat otomikosis berdasarkan The National Cancer Institute Common Terminology


Criteria for Adverse Events (CTCAE) dan Brock telah menentukan derajat ototoksisitas
sebagai berikut:

CTCAE ototoksisitas derajat 1-4 1.

- Derajat 1 - pergeseran ambang batas atau kehilangan pendengaran pada frekuensi 15-
25 dB dibandingkan nilai dasar, pada pemeriksaan 2 frekuensi yang berurutan,
setidaknya pada satu telinga.
- Derajat 2 - pergeseran ambang batas atau kehilangan pendengaran pada frekuensi > 25-
90 dB, pada pemeriksaan 2 frekuensi yang berurutan, setidaknya pada satu telinga.
- Derajat 3 – kehilangan fungsi pendengaran yang memerlukan intervensi terapeutik,
termasuk alat bantu (misalnya, tuli frekuensi > 20 dB bilateral; tuli frekuensi > 30 dB
unilateral)
- Derajat 4 - indikasi untuk implan koklea
Pencegahan

Dalam melakukan pencegahan ini termasuk mempertimbangkan pengguanaan obat-obat


ototoksik, menilai kerentanan pasien, memonitor efek samping secara dini, yaitu dengan
memperhatikan gejala-gejala ototoksisitas pada telinga dalam yang timbul seperti tinnitus,
kurang pendengaran dan vertigo. Pada pasien yang menunjukan mulai ada gejala-gejala
tersebut harus dilakukan evaluasi audiologik dan menghentikan pengobatan.

Penatalaksanaan
Liang telinga dibersihkan secara teratur. Larutan asam asetat 2-5% dalam alkohol
yang diteteskan ke liang telinga biasanya dapat menyembuhkan. Kadang diperlukan obat anti
jamur (topikal) seperti ketokonazol 1 x 1 – 3 mL selama 1 minggu.

5. PRESBIAKUSIS

Definisi Presbikusis
Presbikusis adalah tuli sensorineural pada usia lanjut akibat proses degenerasi organ
pendengaran, simetris (terjadi pada kedua sisi telinga) yang terjadi secara progresif lambat,
dapat dimulai pada frekuensi rendah atau tinggi serta tidak ada kelainan yang mendasari
selain proses menua secara umum.

Etiologi Presbikusis

Schuknecht menerangkan bahwa penyebab kurang pendengaran akibat degenerasi ini dimulai
terjadinya atrofi di bagian epitel dan saraf pada organ corti. Lambat laun secara progresif
terjadi degenerasi sel ganglion spiral pada daerah basal hingga ke daerah apeks yang pada
akhirnya terjadi degenerasi sel-sel pada jaras saraf pusat dengan manifestasi gangguan
pemahaman bicara.Kejadian presbikusis diduga mempunyai hubungan dengan faktor-faktor
herediter, metabolisme, aterosklerosis, bising, gaya hidup atau bersifat multifactor

Patofisiologi
Penurunan sensitivitas ambang suara pada frekuensi tinggi merupakan tanda utama
presbikusis. Perubahan dapat terjadi pada dewasa muda, tetapi terutama terjadi pada usia 60
tahun keatas. Terjadi perluasan ambang suara dengan bertambahnya waktu terutama pada
frekuensi rendah. Kasus yang banyak terjadi adalah kehilangan sel rambut luar pada basal
koklea. Presbikusis sensori memiliki kelainan spesifik, seperti akibat trauma bising. Pola
konfigurasi audiometri presbikusis sensori adalah penurunan frekuensi tinggi yang curam,
seringkali terdapat notch (takik) pada frekuensi 4kHz (4000 Hz).
Faktor lain seperti genetik, usia, ototoksis dapat memperberat penurunan pendengaran.
Perubahan usia yang akan mempercepat proses kurang pendengaran dapat dicegah apabila
paparan bising dapat dicegah.Goycoolea dkk, menemukan kurang pendengaran ringan pada
kelompok penduduk yang tinggal di daerah sepi (Easter Island) lebih sedikit jika
dibandingkan kelompok penduduk yang tinggal di tempat ramai dalam jangka waktu 3 5
tahun. Kesulitan mengontrol efek bising pada manusia yang memiliki struktur dan fungsi
yang sama dengan mamalia, Mills dkk, menyatakan bahwa terdapat kurang pendengaran
lebihbanyak akibat usia pada kelompok hewan yang tinggal di tempat bising. Interaksi efek
bising dan usia belum dapat dimengerti sepenuhnya, oleh karena kedua faktor awalnya
mempengaruhi frekuensi tinggi pada koklea. Bagaimanapun, kerusakan akibat bising ditandai
kenaikan ambang suara pada frekuensi 6 kHz, walaupun awalnya dimulai pada frekuensi
tinggi (biasanya 8 kHz).
Klasifikasi presbikusis
Schuknecht membagi klasifikasi presbikusis menjadi 4 jenis : Sensori (outer hair-cell), neural
(ganglion-cell), metabolik (strial atrophy), dan koklea konduktif (stiffness of the basilar
membrane). Schuknecht menambahkan dua
18 kategori : mixed dan indeterminate, terdapat 25% kasus, dimana terjadi akibat perubahan
patologi yang bermacama-macam. Prevalensi terbanyak menurut penelitian adalah jenis
metabolik 34,6%, jenis lainnya neural 30,7%, mekanik 22,8% dan sensorik 11,9%.

1. Sensori

Tipe ini menunjukkan atrofi epitel disertai hilangnya sel-sel rambut dan sel penyokong organ
corti. Proses berasal dari bagian basal koklea dan perlahan-lahan menjalar ke daerah apeks.
Perubahan ini berhubungan dengan penurunan ambang frekuensi tinggi, yang dimulai setelah
usia pertengahan. Secara histologi, atrofi dapat terbatas hanya beberapa millimeter awal dari
basal koklea dan proses berjalan dengan lambat. Beberapa teori mengatakan perubahan ini
terjadi akibat akumulasi dari granul pigmen lipofusin.Ciri khas dari tipe sensory presbyacusis
ini adalah terjadi penurunan pendengaran secara tiba-tiba pada frekuensi tinggi (slooping).
Gambaran konfigurasi menurut Schuknecht, jenis sensori adalah tipe noise-induced hearing
loss (NIHL). Banyak terdapat pada laki-laki dengan riwayat bising.

2. Neural

Tipe ini memperlihatkan atrofi sel-sel saraf di koklea dan jalur saraf pusat. Atrofi terjadi
mulai dari koklea, dengan bagian basilarnya sedikit lebih banyak terkena dibanding sisa dari
bagian koklea lainnya. Tidak didapati adanyapenurunan ambang terhadap frekuensi tinggi
bunyi. Keparahan tipe ini menyebabkan penurunan diskriminasi kata-kata yang secara klinik
berhubungandengan presbikusis neural dan dapat dijumpai sebelum terjadinya gangguan
pendengaran.Efeknya tidak disadari sampai seseorang berumur lanjut sebab gejala tidak akan
timbul sampai 90% neuron akhirnya hilang. Pengurangan jumlah sel-sel neuron ini sesuai
dengan normal speech discrimination. Bila jumlah neuron ini berkurang di bawah yang
dibutuhkan untuk tranmisi getaran, terjadilah neural presbyacusis. Menurunnya jumlah
neuron pada koklea lebih parah terjadi pada basal koklea. Gambaran klasik : speech
discrimination sangat berkurang dan atrofi yang luas pada ganglion spiralis (cookie-bite).

3. Metabolik(Strial presbyacusis)
Tipe presbikusis yang sering didapati dengan ciri khas kurang pendengaran yang mulai
timbul pada dekade ke-6 dan berlangsung perlahan-lahan. Kondisi ini diakibatkan atrofi stria
vaskularis. Histologi : Atrofi pada stria vaskularis, lebih parah pada separuh dari apeks
koklea. Stria vaskularis normalnya berfungsi menjaga keseimbangan bioelektrik, kimiawi dan
metabolik koklea. Proses ini berlangsung pada seseorang yang berusia 30-60 tahun.
Berkembang dengan lambat dan mungkin bersifat familial.Dibedakan dari tipe presbikusis
lain yaitu pada strial presbyacusis ini gambaran audiogramnya rata, dapat mulai frekuensi
rendah, speech discrimination bagus sampai batas minimum pendengarannya melebihi 50 dB
(flat). Penderita dengan kasus kardiovaskular (heart attacks, stroke, intermittent claudication)
dapat mengalami prebikusis tipe ini serta menyerang pada semua jenis kelamin namun lebih
nyata pada perempuan

4. Koklea konduktif
Tipe kekurangan pendengaran ini disebabkan gangguan gerakan mekanis di membran basalis.
Gambaran khas audiogram yang menurun dan simetris (ski-sloop). Histologi : Tidak ada
perubahan morpologi pada struktur koklea ini. Perubahan atas respon fisik khusus dari
membran basalis lebih besar di bagian basal karena lebih tebal dan jauh lebih kurang di
apikal, di mana di sini lebih lebar dan lebih tipis. Kondisi ini disebabkan oleh penebalan dan
kekakuan sekunder membran basilaris koklea. Terjadi perubahan gerakan mekanik dari
duktus koklearis dan atrofi dari ligamentum spiralis. Berhubungan dengan tulisensorineural
yang berkembang sangat lambat.

Derajat presbikusis
Derajat kurang pendengaran dihitung dengan menggunakan indeks Fletcher yaitu :

Menentukan derajat kurang pendengaran yang dihitung hanya ambang saja. Derajat menurut
Jerger:
0-20 dB (desibel) : Normal
> 20- 40dB : Tuli ringan
> 40-55 dB : Tuli sedang
> 55-70 dB : Tuli sedang berat
> 70-90 dB : Tuli berat
> 90 dB : Tuli sangat berat.

Diagnosis
Anamnesis Gejala yang timbul adalah penurunan ketajaman pendengaran pada usia lanjut,
bersifat sensorineural, simetris bilateral dan progresif lambat. Umumnya terutama terhadap
suara atau nada yang tinggi. Tidak terdapat kelainan pada pemeriksaan telinga hidung
tenggorok, seringkali merupakan kelainan yang tidak disadari. Penderita menjadi depresi dan
lebih sensitif. Kadang-kadang disertai dengan tinitus yaitu persepsi munculnya suara baik di
telinga atau di kepala.6Faktor risiko presbikusis adalah : 1) Paparan bising , 2) merokok,
3)obat-obatan, 4) hipertensi, dan 5) riwayat keluarga. Orang dengan riwayat bekerja di
tempat bising, tempat rekreasi yang bising, dan penembak (tentara) akan mengalami
kehilangan pendengaran pada frekuensi tinggi. Penggunaan obat-obatan antibiotik golongan
aminoglikosid, cisplatin, diuretik, atau anti inflamasi dapat berpengaruh terhadap terjadinya
presbikusis.

Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan fisik pada telinga biasanya normal setelah pengambilan serumen, yang
merupakan problem pada penderita usia lanjut dan penyebab kurang pendengaran terbanyak.
Pemberian sodium bicarbonat solusi topikal 10%, sebagai serumenolitik. Pada membran
timpani normal tampak transparan.

Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan misalnya pemeriksaan audiometri nada murni,
menunjukkan tuli saraf nada tinggi, bilateral dan simetris. Penurunan yang tajam ( slooping )
pada tahap awal setelah frekuensi 2000 Hz. Gambaran ini khas pada presbikusis sensorik dan
neural.Kedua jenis presbikusis ini sering ditemukan. Garis ambang dengar pada audiogram
jenis metabolik dan mekanik lebih mendatar, kemudian pada tahap berikutnya berangsur-
angsur terjadi penurunan. Semua jenis presbikusis tahap lanjut juga terjadi penurunan pada
frekuensi yang lebih rendah. Audiometri tutur menunjukkan adanya gangguan diskriminasi
wicara (speech discrimination) dan biasanya keadaan ini jelas terlihat pada presbikusis jenis
neural dan koklear.Variasi nilai ambang audiogram antara telinga satu dengan lainnya pada
presbikusis ini dapat terjadi sekitar 5-10 dB. Manusia sebenarnya sudah mempunyai strain
DNA yang menyandi terjadinya presbikusis. Sehingga dengan adanya penyebab multifaktor
risiko akan memperberat atau mempercepat presbikusis terjadi lebih awal. Pemeriksaan
audiometri tutur pada kasus presbikusis sentral didapatkan pemahaman bicara normal sampai
tingkat phonetically balanced words dan akan memburuk seiring dengan terjadinya
overstimulasi pada koklea ditandai dengan adanya roll over. Penderita presbikusis sentral
pada intensitas tinggi menunjukkan penurunan dalam nilai ambang tutur sebesar 20% atau
lebih.

Terapi Presbikusis
1. Hearing Aids (Alat Bantu Dengar)
Pada pasien usia lanjut, penurunan fungsi untuk diskriminasi suara dan pemahaman kata-
kata pada lingkungan bising dapat diturunkan dengan terapi pendengaran, biasanya
melalui proses amplifikasi. Alat bantu dengarsekarang telah disempurnakan secara fisik
dan dapat dipasang seutuhnya dalam earcanal. Untuk memaksimalkan keuntungan
pendengaran, alat bantu dengar sebaiknya dipilih secara teliti. Akhir-akhir ini alat bantu
dengar digital sudah tersedia dan menjanjikanperbaikan yang bermakna pada ketajaman
percakapan, terutama pada kondisi mendengar yang menyulitkan
2. Assistive devices
Selain hearing aids banyak alat bantu lain yang dapat membantu individu atau kelompok
untuk dapat mendengar televisi, radio, dan percakapan pada handphone. Pada televisi
dapat digunakan headphone yang dimasukkan pada lubang pendengaran pada televisi,
listening loop dengan telecoil pada hearing aid, perangkat infrare tanpa kabel yang
mengirim signal televisi langsung ke pendengar melalui receiver. Telephone amplifier
and devices dapat memperbesar suara dari signal telephone. Sekarang terdapat perangkat
handsetamplifiersyang dapat dihubungkan langsung pada dasar telephoneatau earphone.
Cochlear implant adalah suatu alat elektronik yang ditanam melalui operasi untuk
menstimulasi saraf pendengaran, alat ini memegang peran penting pada
auditoricrehabilitationpasien usia lanjut dengan penurunan pendengaran sensorineural
berat.
Conductive Hearing Loss (CHL)
A. Definisi
Gangguan pendengaran adalah ketidakmampuan secara parsial atau total
medengarkan suara pada salah satu atau kedua telinga. Pembagian gangguan pendengaran
berdasarkan tingkatan beratnya gangguan pendengaran, yaitu mulai dari gangguan
pendengaran ringan (25 – 39 dB), gangguan pendengaran sedang (40 – 69 dB), dan gangguan
pendengaran berat (70 – 89 dB). Gangguan pendengaran dapat diklasifikasikan sebagai:

1. Tuli Konduktif
Disebabkan oleh kondisi patologis kanal telinga eksterna, membran
timpani, atau telinga tengah. Gangguan pendengaran konduktif tidak melebihi
60 dB karena dihantarkan menuju koklea melalui tulang (hantaran tulang) bila
intesitasnya tinggi. Penyebab tersering gangguan pendengaran jenis ini adalah
otitis media dan disfungsi tuba eustachius akibat otitis media stadium supurasi
(pada anak) dan sumbatan seruman (pada dewasa).1,2
B. Faktor Penyebab
Secara garis besar faktor penyebab gangguan pendengaran dapat berasal dari genetik
maupun didapat:
1. Faktor Genetik
2. Faktor didapat

C. Derajat Ketulian
Berdasarkan ISO derajat tuli terbagi atas:
 0-25 dB : normal
 26-40 dB : tuli ringan
 41-55 dB : tuli sedang
 56-70 dB : tuli sedang berat
 71-90 dB : tuli berat
 >90 dB : tuli sangat berat (profound)
Menurut American National Standard Institute, derajat tuli terbagi atas:
 16-25 dB HL : tuli sangat ringan
 26-40 dB HL : tuli ringan, tidak dapat mendengar bisikan
 41-70 dB HL : tuli sedang, tidak dapat mendengar percakapan
 71-95 dB HL : tuli berat, tidak dapat mendengar teriakan
 >95 dB HL : tuli sangat berat, tidak dapat mendengar suara yang
menyakitkan bagi pendengaran manusia yang normal. 2
Tabel 1 Klasifikasi derajat gangguan pendengaran menurut International Standard
Organization (ISO) dan American Standard Association (ASA)2

Selain klasifikasi di atas, gangguan pendengaran dapat diklasifikasikan sesuai dengan


etiologi, tipe gangguan pendengaran, ataupun letak kelainan secara anatomis. Untuk
pembagian gangguan pendengaran secara etiologi, telah dijelaskan pada bagian faktor
penyebab, sedangkan menurut tipe gangguan pendengaran, adalah:
Gangguan pendengaran tipe konduktif
Gangguan pendengaran konduktif terjadi ketika hantaran suara melalui telinga
luar dan/atau telinga tengah mengalami gangguan yang diantaranya disebabkan oleh:
1. Adanya sumbatan serumen (cerumen plug) atau biasa disebut kotoran telinga
2. Kelainan kongenital seperti mikrotia dan atresia liang telinga
3. Gendang telinga yang mengalami perforasi akibat penggunaan cotton bud, benda
lain, atau infeksi.
4. Infeksi telinga tengah yang menimbulkan cairan
Ciri dari CHL adalah
1. Berderajat ringan–sedang
2. Umumnya mengenai nada/frekuensi rendah
3. Correctable
4. Dengan ABD (hearing aid), keluhan dapat membaik 2

D. Gejala
Tipe konduktif
Gejala yang ditemui pada gangguan pendengaran jenis ini adalah seperti berikut:
1. Ada riwayat keluarnya carian dari telinga atau riwayat infeksi telinga sebelumnya.
2. Perasaan seperti ada cairan dalam telinga dan seolah-olah bergerak dengan
perubahan posisi kepala.
3. Dapat disertai tinitus (biasanya suara nada rendah atau mendengung).
4. Bila kedua telinga terkena, biasanya penderita berbicara dengan suara lembut (soft
voice) khususnya pada penderita otosklerosis.
5. Kadang-kadang penderita mendengar lebih jelas pada suasana ramai.

Penatalaksanaan
Rehabilitasi untuk mengembalikan fungsi pendengaran dilakukan dengan pemasangan
alat bantu dengar (hearing aid). Perlu dikombinasikan dengan latihan membaca ujaran
(speech reading) dan latihan mendengar (audiotory training).

6. SHL dan SNHL


Definisi SNHL
Sensorineural Hearing Loss (SNHL) merupakan gangguan kurang pendengaran yang
disebabkan oleh kerusakan pada telinga dalam (koklea), saraf kranial vestibulokoklearis
(N.VIII), atau jalur persarafan dari telinga dalam ke otak. Gangguan ini merupakan penyebab
tersering kurang pendengaran permanen. SNHL menurunkan kemampuan penderita untuk
mendengarkan suara yang cukup keras. Hal ini terlihat ketika penderita mendengarkan suara
percakapan biasa dalam ruangan tenang, suara tersebut tidak terdengar cukup jelas.SNHL
biasanya dipengaruhi oleh usia atau disebabkan karena kelainan kongenital.

Derajat SNHL
Derajat kurang pendengaran,baik tipe CHL, SNHL, maupun MHL, secara umum dibagi
menjadi normal, ringan, sedang, berat, dan sangat berat. Klasifikasi derajat kurang
pendengaran berdasarkan WHO pada tahun 2008 adalah sebagai berikut

Keterangan:*Derajat 2, 3, dan 4 diklasifikasikan sebagai gangguan kurang pendengaran (pada anak, dimulai dari
derajat 31 dB).**Nilai ISO audiometri merupakan rata-rata dari 500, 1000, 2000, dan 4000 Hz

Patofisiologi SNHL
Pada proses pendengaran normal, gelombang suara sampai di aurikula dan dijalarkan melalui
kanalis auditoriseksternal menuju membran timpani. Ketika mengenai membrantimpani,
gelombang digetarkan, membuat rantai getaran sepanjang tulang pendengaran (maleus, inkus,
dan stapes) ke membran foramen ovale dan masuk menuju koklea. Proses ini menyebabkan
amplifikasi suara dari lingkungan menjadi sekitar 20 kali lebih keras.
Koklea merupakan organ terakhir dari sistem pendengaran yang berbentuk seperti rumah
siput dengan saluran dua setengah lingkaran. Di dalamnya, dua membran secara longitudinal
membagi koklea menjaditiga bagian, yaitu skala timpani, skala vestibuli, dan skala media.
Ketiga bagian tersebut berisi cairan dengan konsentrasi ion yang berbeda (sama dengan
kandungan cairan intraseluler dan ekstraseluler).
Di sepanjang membran pada skala media atau duktus koklearisterdapat sel rambut internal
dan eksternal. Pergerakan dari tulang stapes pada foramen ovale menimbulkangelombang
atau getaran pada cairan perilimfe di dalam koklea. Pergerakan cairan, yang membuka kanal
ion pada sel rambut, menggeser sel rambut, memicu potensial aksi, dan membuat saraf pada
koklea mengirimkan stimulus menuju otak.
Pada SNHL terjadi hambatan pada transmisi setelah melalui koklea. Gangguan tersebut dapat
terjadi pada koklea itu sendiri, saraf vestibulokoklearis, atau jalur persarafan dari telinga ke
otak. Akibatnya, otak tidak dapat menangkap dan mengintepretasikan gelombang suara yang
ditransmisikan. Gangguan ini dapat disebabkan oleh berbagai etiologi dan faktor-faktor yang
merusak sel rambut pada koklea atau merusak saraf vestibulokoklearis (N.VIII). Derajat dari
distorsi tidak berkaitan dengan derajat hilangnya pendengaran.

Diagnosis Sensorineural Hearing Loss (SNHL)


Pengukuran pendengaran pada anak pada umumnya terbagi menjadi empatjenis, yaitu
behavioral observation audiometry, play audiometry, audiometri tutur, dan audiometri
objektif yang biasanya memerlukan teknologi khusus.

Deteksi Dini Sensorineural Hearing Loss (SNHL)


Pada tahun 2002, WHOmengadakan pertemuan konsultatif antarnegara di Colombo dan
merekomendasikan setiap stakeholderdi berbagai negara, terutama di kawasan Asia Tenggara
untuk memusatkan perhatian pada upaya preventif dan deteksi dini terkait kesehatan telinga.
Pertemuan inilah yang mendasari program Sound Hearing2030 untuk meningkatkan kualitas
hidup di kawasan Asia dengan mengembangkan program right to better hearing. Dengan
adanya program ini diharapkan pada tahun 2015 prevalensi kurang pendengaran berkurang
sekitar 50% dan pada tahun 2030 dapat berkurang hingga 90%.
Untuk mencapai visi tersebut, WHO merekomendasikan protokol untuk deteksi dini
pendengaran pada bayi, yang terbagi menjadi dua fase.
1) Pada fase pertama, target program deteksi dini adalah untuk mengidentifikasi semua
anak dengan kurang pendengaran berat-sangat berat dan bilateral sebelum umur 6
bulan untuk dilakukan re/habilitasi sedini mungkin.
2) Pada fase kedua, program dilakukan setelah fase pertama tercapai dengan baik.
Program ini difokuskan untuk mengidentifikasikan semua anak dengan kurang
pendengaran ringan-sedang dan unilateral
Implant Lebih dari 95% kasus gangguan pendengaran sensori neural dapat dibantu dengan
menggunakan Alat Bantu Dengar (ABD) dan Cochlear.

7. OBAT-OBAT OTOTOKSIK
A. Pendahuluan dan Definisi
Ototoksik sudah lama dikenal sebagai efek samping pengobatan kedokteran, dan
dengan bertambahnya obat-obatan yang lebih poten daftar obat-obatan ototoksik makin
bertambah. Obat-obatan dan zat kimia dapat mempengaruhi telinga dalam dan
mekanisme pendengaran. Umumnya efek yang muncul adalah gangguan vestibular dan
pendengaran. Efek yang timbul dapat bersifat reversibel atau ireversibel.
Dari hasil WHO-Multi Center Study (1998), Indonesia termasuk 4 negara di Asia
Tenggara dengan prevalensi ketulian yang cukup tinggi (4,6%), 3 negara lainnya adalah
Sri Lanka (8,8%), Myanmar (8,4%), dan India (6,3%). Walaupun bukan yang tertinggi
tetapi prevalensi 4,6% adalah angka cukup tinggi, yang dapat menimbulkan masalah
sosial ditengah masyarakat.  Hasil  Survei Kesehatan Indera Penglihatan dan
Pendengaran tahun 1994-1996 yang dilaksankan di 7 propinsi di Indonesia menunjukkan
prevalensi gangguan pendengaran  akibat obat ototoksik sebesar 0,3%.
Definisi dan kriteria untuk ototoksisitas telah ditetapkan oleh American Speech
Languange Hearing Association (ASHA), the National Cancer Institute Common
Terminology Criteria for Adverse Events (CTCAE), dan Brock. ASHA mendefinisikan
ototoksisitas sebagai: (a) penurunan ambang batas pendengaran nada murni pada
frekuensi 20db atau lebih, (b) penurunan pada 2 frekuensi berturut-turut 10db atau lebih,
atau (c) hilangnya respon pada tes 3 frekuensi yang berurutan.
CTCAE dan Brock telah menentukan derajat ototoksisitas sebagai berikut (CTCAE
ototoksisitas derajat 1-4)
1) Derajat 1 - pergeseran ambang batas atau kehilangan pendengaran pada
frekuensi 15- 25 dB dibandingkan nilai dasar, pada pemeriksaan 2 frekuensi
yang berurutan, setidaknya pada satu telinga.
2) Derajat 2 - pergeseran ambang batas atau kehilangan pendengaran pada
frekuensi > 25-90 dB, pada pemeriksaan 2 frekuensi yang berurutan,
setidaknya pada satu telinga.
3) Derajat 3 – kehilangan fungsi pendengaran yang memerlukan intervensi
terapeutik, termasuk alat bantu (misalnya, tuli frekuensi > 20 dB bilateral; tuli
frekuensi > 30 dB unilateral)
4) Derajat 4 - indikasi untuk implan koklea
B. Mekanisme Ototoksik
Ototoksisitas merupakan kemampuan obat atau zat kimia untuk merusak struktur
dan/atau fungsi dari telinga dalam. Kerusakan dapat terjadi pada struktur auditori dan/atau
vestibular telinga dalam. Akibat penggunaan obat-obat yang bersifat ototoksik akan dapat
menimbulkan terjadinya gangguan fungsional pada telinga dalam yang disebabkan telah
terjadi perubahan struktur anatomi pada organ telinga dalam. Kerusakan yang ditimbulkan
oleh preparat ototoksik tersebut antara lain :
1) Degenerasi stria vaskularis
2) Degenerasi sel epitel sensori
3) Degenerasi sel ganglion

C. Obat yang Menyebabkan Ototoksik


a) Aminoglikosida
Semua aminoglikosida memiliki potensi untuk menghasilkan toksisitas
terhadap koklea dan vestibula. Akumulasi obat-obat ini secara progresif dalam
perilimfe dan endolimfe telinga dalam, terjadi bila konsentrasi obat dalam plasma
tinggi. Waktu paruh amioglikosida 5-6 kali lebih lama di dalam cairan otik
daripada di dalam plasma.

Saat molekul obat ini memasuki sel rambut pada organ corti melalui
mekanisme mechano-electrical transducer channels, akan terbentuk kompleks
aminoglikosida dengan logam (Fe). Terbentuknya kompleks aminoglikosida-Fe
mengaktifkan substansi Reactive Oxygen Species (ROS), yaitu superoxide anion
radical, hydrogen peroxide, hydroxyl radical,peroxynitrite anion. Substansi-
substansi tersebut mengaktifkan JNK (c-Jun- N-terminal kinase) yang akan
membuat mitokondria sel sensorik melepaskan cytochrome c (Cyt c). Cyt c
menginisiasi apoptosis sel. Kaskade inilah yang menyebabkan hilangnya sel-sel
rambut pada organ korti. Dengan dosis  yang meningkat serta pemajanan  yang
diperlama, kerusakan berkembang dari dasar koklea, tempat suara berfrekuensi
tinggi di proses, ke apeks, tempat suara berfrekuensi rendah di proses.
Aminoglikosida diduga juga mengganggu sistem transpor aktif yang penting untuk
mempertahankan kesetimbangan ion pada endolimfe. Jika sel sensorik hilang,
regenerasi tidak akan terjadi. Hal ini akan diikuti dengan degenerasi saraf
pendengaran yang memburuk, sehingga menyebabkan hilangnya pendengaran
secara ireversibel.

Streptomisin dan gentamisin terutama menimbulkan efek pada vestibula,


sementara amikasin, kanamisin, dan neomisin terutama mempengaruhi fungsi
pendengaran. Tobramisin memberikan pengaruh yang sama pada keduanya.

Gejala pertama dari toksisitas adalah timbulnya tinitus nada tinggi. Jika
pemakaian obat tidak dihentikan, gangguan pendengaran dapat terjadi setelah
beberapa hari. Suara mendenging ini dapat bertahan selama beberapa hari hingga 2
minggu setelah terapi dihentikan. Oleh karena persepsi suara dalam rentang
frekuensi tinggi (di luar rentang pembicaraan normal) merupakan yang pertama
hilang, maka individu yang terganggu ini terkadang tidak sadar akan kesulitan ini,
dan tidak akan dapat terdeteksi kecuali dilakukan pemeriksaan audiometri. Pasien
kebanyakan tidak akan memiliki keluhan gangguan pendengaran hingga pada suatu
saat mereka telah kehilangan 30 dB pada frekuensi   3000 Hz-4000 Hz. Monitoring
fungsi pendengaran penting pada pasien yang mengalami insufisiensi ginjal atau
pada pasien yang mendapatkan dosis terapi obat yang lebih tinggi dari dosis
normal.

Pendekatan  untuk  memberikan  perlindungan  pada  telinga akibat


penggunaan aminoglikosida (otoprotection) mencakup   (1) upstream protection
menggunakan antioksidan, free-radical scavengers, metal chelators; (2)
downstream protection, seperti minoksiklin.

b) Eritromisin
Merupakan antibiotik golongan makrolida. Eritromisin biasanya bersifat
bakteriostatik, tetapi dapat bakterisida dalam konsentrasi yang tinggi terhadap
mikroorganisme yang sangat rentan. Gangguan pendengaran sementara
merupakan komplikasi yang mungkin timbul dalam pengobatan menggunakan
eritromisin.
Mekanisme dari ototoksisitas eritromisin belum sepenuhnya dimengerti dan
lokasi kerusakan   masih belum jelas diketahui. Beberapa peneliti menyatakan
kerusakan terjadi pada striae vaskularis, yang pada akhirnya mengganggu potesial
ionik. Peneliti lain menyatakan obat ini mempengaruhi jaras pendengaran sentral.
Faktor resiko   untuk   terjadinya   ototoksisitas   eritromisisin   adalah  pasien
dengan gangguan renal, hepar, dan lanjut usia. Gejala pemberian eritromisin
intravena terhadap telinga adalah kurang pendengaran, tinitus subjektif, dan
terkadang vertigo. Biasanya gangguan pendengaran dapat pulih setelah
pengobatan dihentikan. Antibiotika lain seperti Vankomisin, Viomisin,
Minoksiklin dapat mengakibatkan ototoksisitas bila diberikan pada pasien yang
terganggu fungsi ginjalnya.

c) Loop Diuretics
Ethycrynic acid, furosemid,dan bumetanid adalah diuretik kuat yang memblok
pompa Na+-K+-2Cl—di bagian asenden tebal ansa Henle, sehingga diuretik ini
disebut juga sebagai diuretik loop. Ketiga obat yang tersebut di atas adalah obat
yang paling ototoksik dari golongan diuretik loop. Diuretik digunakan untuk
memodifikasi komposisi dan/atau volume dari cairan tubuh untuk menangani
kondisi seperti hipertensi, gagal jantung kongestif, gagal ginjal, sirosis dan
sindrom nefrotik. Diuretik loop bekerja pada bagian asending loop of Henle ginjal.
Target kerja dari obat ini adalah protein soldium- potassium-2 chloride (Na+-K+-
2 Cl-) cotransporters. Protein ini ternyata banyak  ditemukan pada sel  epitelial
dan non-epitelial dan juga terlokalisasi pada stria vaskularis koklea. Inhibisi dari
kerja protein ko-transporter tersebut menyebabkan eksresi Na+ dari sel marginal
ke ruang intrastrial sehingga menimbulkan edema pada ruang intrastrial dan juga
pada sel penyusun stria vaskularis. Kondisi ini akan mempengaruhi potensial
endokoklea, yang penting untuk mempertahankan potensial sel rambut dalam
batasan yang normal. Akan terjadi penurunan potensial positif endolimfe.
Furosemid dilaporkan memiliki efek langsung pada motilitas sel rambut luar
(outer hair cell) yang akan menimbulkan disfungsi sensori. Diuretik loop dapat
menyebabkan munculnya gejala tinitus, gangguan pendengaran, ketulian, vertigo,
dan rasa penuh pada telinga.

d) Obat Anti Inflamasi


Salah satu golongan obat yang saat ini digunakan secara luas adalah obat-obat
anti inflamasi non-steroid (NSAID). Digunakan sebagai analgetik-antipiretik, anti-
inflamasi, dan pencegah trombosis serebral. NSAID diketahui menghambat
metabolisme asam arakidonat menjadi prostaglandin. Namun, ternyata NSAID
juga menghambat derivat non-prostaglandin. NSAID merupakan molekul anion
lipofilik, dan bila pH semakin rendah (daerah inflamasi  biasanya pH asam) maka
semakin besar kelarutannya. Asam asetilsalisilat (Aspirin) secara umum
menghambat translokasi anion melewati membran sel,  yang berkontribusi pada
munculnya ototoksisitas obat ini. Singkatnya, salisilat meenghambat protein
membran (prestin) dari sel rambut luar koklea  memfasilitasi  elektromotilitas 
melalui  translokasi transmembran dari anion monovalen seperti Cl-, sehingga
mempengaruhi daya choclear amplifier. Konsentrasi serum asam salisilat 20-50
mg/dL berhubungan dengan kehilangan pendengaran > 30 dB. Gangguan 
pendengaran yang ditemukan adalah tuli sensorineural frekuensi tinggi dan tinitus
Namun apabila pengobatan dihentika pendengaran akan pulih kembali dan tinitus
menghilang.

e) Obat Anti Malaria


Kina dan kloroquin adalah obat anti malaria yang biasa digunakan. Pemberian
klorokuin atau hidroksiklorokuin dengan dosis harian  yang tinggi  (> 250 mg) 
untuk mengobati penyakit-penyakit selain malaria dapat mengakibatkan
ototoksisitas. Ototoksisitas terjadi  pula  bila  obat  diberikan  secara  parenteral, 
misalnya  pada malaria serebral. Efek ototoksisnya berupa gangguan pendengaran
dan tinitus. Namun bila pengobatan dihentikan maka pendengaran akan pulih
kembali dan tinitus hilang. Klorokuin dan kina dapat melalui plasenta sehingga
dapat terjadi tuli kongenital dan hipoplasia koklea. Dosis oral kuinin yang fatal
untuk dewasa adalah 2-8 gram. Kerusakan N.VIII menimbulkan tinitus,
berkurangnya ketajaman pendengaran, dan vertigo.

f) Obat Anti Tumor


Cisplatin merupakan agen  kemoterapi yang umum digunakan dalam terapi
tumor ovarium, testis, vesica urinaria, dan tumor kepala-leher. Banyak studi
penelitian menyatakan cisplatin menyebabkan kematian sel rambut yang
merupakan organ sensori penting. Setelah diinjeksi secara sistemik, cisplatin
terakumulasi di cairan telinga dalam dan diabsorbsi oleh sel epitel telinga.
Platinated DNA ditemukan pada sel rambut dan sel-sel penunjang. Pajanan
cisplatin juga meningkatkan Reactive Oxygen Species (ROS) di dalam sel rambut
dan menyebabkan pengeluaran sitokin-sitokin tertentu. Penelitian sebelumnya
menyebutkan terapi cisplatin menginduksi perubahan struktural pada sel-sel
penunjang koklea. Gangguan pendengaran biasanya terjadi secara bilateral dan
muncul pertama kali pada frekuensi tinggi ( 6000 Hz dan 8000 Hz). Penurunan ke
frekuensi yang lebih rendah (2000 Hz dan 4000 Hz) dapat terjadi bila terapi
dilanjutkan. Gejala ototoksisitas dapat menjadi lebih berat setelah  pemberian obat
melalui bolus injeksi. Efek ototoksik dapat dikurangi dengan cara pemberian
secara lambat (slow infusion) dan pembagian dosis.

g) Anti Fungal
Efek ototoksik dari beberapa obat yaitu aminoglikosida, makrolida, diuretik
loop,   cisplatin, salisilat, dan kloroquin sudah diketahui secara jelas. Namun
terdapat data yang terbatas mengenai ototoksisitas dari agen antifungal topikal.

h) Obat Tetes Telinga


Banyak  obat tetes telinga mengandung antibiotika golongan aminoglikosida
seperti Neomisin dan Polimiksin B. Terjadiya ketulian oleh karena obat tersebut
dapat menembus membran tingkap bundar (round window membrane). Obat tetes
telinga diindikasikan untuk pasien yang menderita infeksi telinga luar. Masuknya
substansi tersebut melalui   3   mekanisme   yaitu   difusi,   transpor   inter-
epitelial,   dan transpor-intraepitelial. Permeabilitas membran tingkap bundar
ditemukan secara eksperimental meningkat 48jam setelah munculnya infeksi
telinga tengah. Selama infeksi kronis (OMSK), membran tingkap bundar menjadi
lebih tebal akibat deposisi dari jaringan ikat dan juga terbentuknya mucosal web.
Hal ini menyebabkan membran mejadi kurang permeabel selama inflamasi kronik
berlangsung. Preparat topikal telinga yang memiliki efek protektif terhadap koklea
dan vestibular adalah iron chelator, salisilat, kortikosteroid, leupeptin, dan asam
lipoik alfa.

D. Gejala
Tinitus, gangguan pendengaran, dan vertigo merupakan gejala utama
ototoksisitas. Tinitus yang berhubungan dengan ototoksisitas cirinya kuat dan bernada
tinggi, berkisar antara 4 KHz sampai 6 KHz. Pada kerusakan yang menetap, tinitus lama
kelamaan tidak begitu kuat, tetapi juga tidak pernah hilang.
Loop diuretics dapat menimbulkan tinitus yang kuat dalam beberapa menit
setelah penyuntikan intravena, tetapi pada kasus-kasus yang tidak begitu berat dapat
terjadi tuli sensorineural secara perlahan-lahan  dan progresif dengan hanya disertai
tinitus ringan. Tinitus dan kurang pendengaran yang reversibel dapat terjadi pada
penggunaan salisilat dan kina serta tuli akut yang disebabkan oleh loop diuretic  dapat
pulih kembali dengan menghentikan pengobatan segera. Tuli ringan juga pernah
dilaporkan sebagai akibat aminoglikosida, tetapi biasanya menetap atau hanya  sebagian 
yang pulih kembali. Kurang pendengaran   yang   disebabkan   oleh   pemberian
antibiotika biasanya terjadi setelah 3 atau 4 hari.
Tuli  akibat  ototoksik  dapat  menetap hingga berbulan-bulan setelah pengobatan
selesai.  Biasanya  tuli  bersifat  bilateral.  Kurang  pendengaran akibat pemakaian obat
ototoksik bersifat sensorineural. Antibiotika yang bersifat ototoksik mempunyai ciri
penurunan yang tajam  untuk  frekuensi tinggi pada audiogram, sedangka diuretik
menghsilkan gambaran audiogram yang mendatar atau sedikit menurun. Selain itu tidak
jarang terdapat pula gangguan keseimbangan badan dan sulit memfiksasi pandangan,
terutama setelah perubahan posisi.

E. Pemeriksaan Audiologi
Monitoring adanya ototoksisitas dapat dilakukan dengan pemeriksaan audiologi.
Ultra-high frequency audiometry dan  Otoacoustic emission (OAE) mendeteksi secara dini
gangguan pendengaran  akibat  obat-obat  ototoksik dibandingkan dengan kovensional
Pure-tone threshold testing.

1) Ultra High Frequency Audiometry (Ultra-HFA)


Efek awal dari obat ototoksik adalah kerusakan sel rambut luar di bagian basal dari
koklea. HFA merupakan tes hantaran  udara  ( air-conduction threshold testing )
untuk frekuensi diatas 8000 Hz, berkisar di atas 16 atau 20 kHz. HFA dapat
mendeteksi gangguan pendengaran akibat aminoglikosida atau cisplatin. Oleh
karena itu HFA saat ini umum digunakan untuk memonitoring kasus-kasus
ototoksisitas. High  Frequency  Audiometry  tidak  dipengaruhi  oleh  otitis media.
Berbeda dengan OAE yang hasil pemeriksaannya sangat dipengaruhi oleh kondisi
patologis pada telinga tengah, misalnya otitis media.

2) Otoacoustic emission (OAE)


Merupakan  respons koklea  yang dihasilkan oleh sel rambut luar yang dipancarkan
dalam bentuk energi akustik. Sel-sel rambut luar dipersarafi oleh serabut saraf
eferen dan mempunyai elektromotilitas,  sehingga  pergerakan  sel-sel  rambut 
akan menginduksi depolarisasi. Pemeriksaan OAE dilakukan dengan cara
memasukkan probe ke dalam liang telinga luar. Dalam probe tersebut terdapat
mikrofon dan pengeras suara yang berfungsi untuk memberikan stimulus suara.
Mikrofon berfungsi untuk menangkap suara yang dihasilkan koklea setelah
pemberian stimulus. Otoacoustic emission dibagi mejadi 2 kelompok, yaitu :
 Spontanneus Otoacoustic Emission (SOAE)
 Evoked Otoacoustic Emission ( EOAE)
Evoked Otoacoustic Emission merupakan respon koklea yang timbul
dengan adanya stimulus suara. Terdapat 3 jenis, yaitu : 1). Stimulus-
frequency   Otoacoustic   Emission;   2).   Transiently-evoked Otoacoustic
Emission (TEOAE); 3). Distortion-product Otoacoustic Emission
(DPOAE).
Untuk gangguan pendengaran akibat obat ototoksik DPOAE efektif untuk
deteksi dini. DPOAE menggunakan stimulus dua nada murni (F1,F2)
dengan frekuensi tertentu
3) Pure Tone Audiometry (Audiometri nada murni )
Audiometri Nada Murni juga dapat mendeteksi adanya gangguan pendengaran
akibat obat ototoksik. Akan didapatkan tuli sensorineural frekuensi tinggi pada
audiogram.

F. Penatalaksanaan
Tuli yang diakibatkan oleh obat-obatan ototoksik tidak dapat diobati. Bila pada
waktu pemberian obat-obat ototoksik terjadi gangguan pada telinga dalan setelah
dilakukan pemeriksaan audiometri, maka pengobatan dengan obat-obatan tersebut harus
segera dihentikan. Berat ringannya ketulian yang terjadi tergantung kepada jenis obat
jumlah, dan lamanya pengobatan.
Kerentanan pasien termasuk yang menderita insufisiensi ginjal, renal, serta sifat
obat itu sendiri juga mempengaruhi kemunculan gejala ototoksi. Apabila ketulian sudah 
terjadi  dapat  dicoba  melakukan  rehabilitasi antara lain denga alat bantu dengar,
psikoterapi, auditory training, belajar berkomunikasi total dengan belajar membaca bahasa
isyarat. Pada tuli total bilateral mungkin dapat dipertimbangkan pemasangan implan
koklea.

G. Pencegahan
Berhubung  tidak  ada  pengobatan  untuk  tuli  akibat  obat  ototoksik, maka
pencegahan menjadi lebih penting. Dalam melakukan pencegahan ini termasuk
mempertimbangkan penggunaan obat-obat ototoksik, menilai kerentanan pasien,
memonitor efek samping secara dini, yaitu dengan memperhatikan gejala-gejala keracunan
telinga dalam seperti tinitus, kurang pendengaran, dan vertigo. Pada pasien yang telah
menunjukkan gejala-gejala tersebut harus dilakukan evaluasi audiologi dan menghentikan
pengobatan.

H. Prognosis
Prognosis sangat tergantung kepada jenis obat, jumlah, dan lamanya pengobatan,
serta kerentanan pasien. Pada umumnya pronosis tidak begitu baik malah mungkin buruk.

Daftar Pustaka
1. Soetirto, Indro, Bramantyo, B., dan Bashirudin, J. Gangguan pendengaran akibat obat
ototoksik. Dalam : Soepardi EA, Iskandar N, Ed. Buku ajar ilmu kesehatan telinga
hidung tenggorok kepala leher. Edisi kelima. Jakarta: FKUI, 2001, h. 53 – 56
2. Rybak, Leonard P., Touliatos, John. Ototoxicity. Dalam: Snow, James B., Ballenger, 
John  J,  Ed.  Ballenger’s  Otorhinolaryngology  head  and  neck surgery. Edisi ke-16,
Spain: Williams & Wilkins, 1996, h. 374 – 378.
3. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia. Rencana strategi nasional
penanggulangan gangguan pedengaran dan ketulian untuk mencapai sound hearing
2030. 2006, h.4-5.
4. Miller, Monica L., Blakenship, Crystal. Ototoxicity. Dalam Tisdale J, Miller D. Drug-
induced disease. Edisi kedua. America:ASHP, 2010, h.1049-1054.

8. RHINITIS ALERGI
DEFINISI

Rinitis alergi merupakan kelainan hidung yang disebabkan oleh proses inflamasi
mukosa hidung yang dimediasi oleh reaksi hipersensitivitas (alergi) tipe I, dengan gejala khas
berupa hidung gatal, bersin-bersin, rinore, dan hidung tersumbat yang bersifat reversibel
secara spontan maupun pengobatan.

KLASIFIKASI

Berdasarkan alergen penyebabnya, rinitis alergi dibedakan menjadi musiman,


menahun, dan okupasional. Rinitis alergi musiman (seasonal) adalah rinitis alergi yang lebih
banyak dihubungkan dengan alergi serbuk sari (pollen), sedangkan rinitis alergi sepanjang
tahun (perennial) banyak dihubungkan dengan kutu debu rumah (house-dust mite). Namun
klasifikasi ini mempunyai banyak keterbatasan sehingga pada tahun 2001 WHO
mengeluarkan sistim klasifikasi baru yaitu ARIA (The Allergic Rhinitis and its Impact on
Asthma).

Klasifikasi ARIA dibuat berdasarkan durasi dan tingkat keparahan dari gejala rinitis alergi
dan dampaknya pada kualitas hidup penderita.

Berdasarkan terdapatnya gejala:

1. RA Intermiten, bila gejala berlangsung:


- kurang dari 4 hari dalam seminggu, atau
- kurang dari 4 minggu
2. RA Persisten, bila gejala berlangsung:
- lebih dari 4 hari dalam seminggu, dan
- lebih dari 4 minggu

Berdasarkan beratnya gejala:

1. Ringan, berarti tidak terdapat salah satu dari hal-hal sebagai berikut:
- gangguan tidur
- gangguan aktivitas sehari-hari/malas/olahraga
- gangguan pekerjaan atau sekolah
- gejala dirasakan mengganggu
2. Sedang-berat, berarti didapatkan satu atau lebih hal-hal berikut:
- gangguan tidur
- gangguan aktivitas sehari-hari/malas/olahraga
- gangguan pekerjaan atau sekolah
- gejala dirasakan mengganggu

Berdasarkan uraian tersebut, rinitis alergi dapat dikelompokkan menjadi 4:

1. Intermiten ringan

2. Intermiten sedang-berat

3. Persisten ringan

4. Persisten sedang-berat

ETIOLOGI

Penyebab rinitis alergi berbeda-beda bergantung apakah gejala yang muncul


merupakan episode musiman, perenial, maupun sporadik. Beberapa pasien sensitif terhadap
lebih dari satu alergen dan bisa mempunyai rinitis alergi perenial dengan eksaserbasi
musiman. Perkembangan penyakit rinitis alergi memerlukan interaksi antara lingkungan
dengan predisposisi genetik. Faktor genetik dan herediter sangat berperan pada ekspresi
rinitis alergi. Berdasarkan cara masuknya, alergen dibagi atas:

1. Alergen inhalan, yaitu alergen yang masuk bersama dengan udara pernafasan,
misalnya debu rumah, tungau, serpihan epitel dari bulu binatang, serta jamur.
2. Alergen ingestan, yaitu alergen yang masuk ke saluran cerna, berupa makanan
misalnya susu, telur, coklat, ikan, dan udang.
3. Alergen injektan, yaitu alergen yang masuk melalui suntikan atau tusukan, misalnya
penisilin atau sengatan lebah
4. Alergen kontaktan, yang masuk melalui kontak dengan kulit atau jaringan mukosa,
misalnya bahan kosmetik atau perhiasan

Penyebab rinitis alergi tersering adalah alergen inhalan pada dewasa dan ingestan
pada anak-anak, dimana pada anak-anak sering dijumpai gejala alergi lain serperti urtikaria
dan gangguan pencernaan.

Sedangkan berdasarkan jenis alergennya, penyebab rinitis alergi dapat digolongkan menjadi
dua kelompok, yakni penyebab spesifik dan non spesifik.
1) Penyebab Spesifik

Sebagian besar anggota kelompok ini merupakan alergen hirupan (inhalan), dimana alergen
inhalan merupakan alergen yang sering ditemukan, biasanya terbagi ke dalam 2 jenis
berdasarkan kemampuan hidup dalam lingkungannya, yaitu perenial dan seasonal
A. Alergen perenial
Merupakan alergen yang ada sepanjang tahun dan sulit dihindari. Contoh:
1. Debu rumah
Debu rumah adalah alergen gabungan yang terdiri dari tungau, kecoa, partikel
kapas, serpih kulit manusia, dan lain-lain. Merupakan alergen udara dengan
ukuran >10μm yang sering pada ruang tertutup.
2. Tungau debu rumah
Merupakan komponen alergi tersering yang hidup dari serpihan kulit manusia.
Terdapat dua spesies utama yaitu Dermatophagoides farinae dan
Dermatophagoides pteronyssinus. Mereka lebih suka hidup pada suhu 21,1-
26,6˚C sehingga tidak ditemukan pada ketinggian lebih dari 5000 kaki.
3. Serpihan kulit binatang
Serpihan kulit kucing mengandung antigen Fel D1 yang diproduksi pada kelenjar
sebasea kulit kucing. Serpihan kulit anjing mempunyai antigen yang bervariasi
dan umumnya kurang kuat untuk menyebabkan alergi. Serpihan kulit binatang
lainnya juga ditemukan menyebabkan alergi seperti unggas, kuda, atau sapi yang
biasanya terjadi di kawasan pertanian dan peternakan.

4. Jamur
Jamur merupakan alergen yang ditemukan baik di dalam maupun di luar ruangan.
Berkembang dengan baik pada daerah yang lembab diatas barang yang busuk,
ruang bawah tanah, tumpukan koran lama, debu kayu, dan tempat lainnya.
Penyebab tersering diantaranya genus Alternaria, Aspergillus, Pullularia,
Hormodendrum, Penicillium, dan Cephalosphorium.

5. Kecoa
Alergen ini sulit dihilangkan dan terdapat pada rumah yang kotor. Pada anak-
anak, alergi terhadap kecoa berhubungan dengan asma. Alergen berasal dari
sekresi serangga, yang terdapat pada badan dan sayap kecoa.

B. Alergen musiman (Seasonal)


Biasanya disebabkan oleh serbuk sari tanaman yang muncul secara musiman.
Postulat Thommen menyatakan alergen serbuk sari yang efektif harus: (1) dapat
diterbangkan angin, (2) ringan, diameter lebih <38μm dan terbawa sampai jarak jauh,
(3) terdistribusi luas, dan (4) bersifat alergenik.
Tipe-tipe dari alergen musiman adalah:
1. Pohon, biasanya pada musim dingin dan musim semi, bulan Februari-Mei
2. Rumput, biasanya pada musim semi, panas, dan gugur, bulan April-Desember
3. Rumput liar, biasanya pada musim panas dan gugur, bulan Juli-Desember
2) Penyebab Nonspesifik

Penyebab nonspesifik rinitis alergi diantaranya iklim, hormonal, psikis, infeksi, dan
iritasi. Perubahan iklim akan menyebabkan perubahan lingkungan. Udara lembab, perubahan
suhu, dan angin secara tidak langsung berpengaruh terhadap penyebaran debu rumah dan
serbuk sari bunga, disamping memberi suasana yang baik untuk tumbuhnya berbagai macam
jamur.

PATOFISIOLOGI

Rinitis alergi ditandai oleh berbagai jenis infiltrat sel radang. Respon selulernya
termasuk kemotaksis, rekrutmen selektif dan migrasi transendotelial sel, lokalisasi sel pada
kompartmen berbeda di mukosa hidung, aktivasi dan diferensiasi berbagai jenis sel dan juga
perpanjangan umur sel, pelepasan mediator oleh sel yang teraktivasi, regulasi sintesis IgE
lokal dan sistemik serta komunikasi dengan sistem imun dan sumsum tulang. Proses ini
hanya terjadi pada subjek yang telah tersensitisasi alergen sebelumnya, dimana antibodi IgE
yang spesifik terhadap alergen tertentu telah terbentuk dan berikanan dengan membran mast
cell ataupun sel lain.

Kecenderungan untuk menjadi alergi oleh reaksi yang dimediasi IgE ini bergantung
pada komponen genetik. Pada individu yang susceptibel, paparan terhadap protein asing
tertentu akan menyebabkan sensitisasi alergi, yang ditandai dengan pembentukan IgE spesifik
terhadap protein tersebut. IgE spesifik tersebut menempel pada permukaan sel mast, yang
terdapat pada mukosa hidung. Setelah deposisi dan elusi alergen ke dalam lapisan mukus,
alergen ditangkap oleh antigen presenting cells dan diproses untuk dipresentasikan pada
limfosit T helper. T helper yang diaktifkan akan melepaskan sitokin seperti IL-4 dan IL-13
dan berinterksi dengan limfosit B untuk mensintesis IgE spesifik terhadap alergen tersebut.
IgE berikatan dengan reseptor berafinitas tinggi pada permukaan sel mast, menyebabkan
pelepasan berbagai mediator immediate dan delayed.

Mediator yang dilepaskan segera termasuk histamin, triptase, chymase, kinins, dan
heparin. Sel mast secara cepat mensintesis mediator lain, seperti leukotrin dan prostaglandin
D2. Mediator-mediator ini, melalui berbagai interaksi, akhirnya akan menyebabkan gejala
rinore (hidung berair, bersin, gatas, kemerahan, bengkak, tekanan dalam telinga, postnasal
drip). Kelenjar mukosa terstimulasi oleh histamin, menyebabkan sekresi mukus (rinorea).
Permeabilitas vaskuler juga meningkat, meyebabkan eksudasi plasma. Histamin, leukotrin,
dan prostaglandin bekerja pada pembuluh darah dan menyebabkan vasodilatasi, sehingga
terjadi kongesti. Histamin menstilmulasi ujung saraf sensoris saraf kranialis V (trigeminal),
menyebabkan bersin dan gatal. Semua proses ini terjadi dalam hitungan menit, jadi reaksi ini
disebut reaksi immediate.

MANIFESTASI KLINIS

Rinitis alergi ditandai dengan trias gejala yaitu bersin-bersin, beringus, dan hidung
tersumbat. Gejala tambahan berupa gatal atau rasa pedih pada hidung, gatal pada mata,
urtikaria, rasa sumbatan pada telinga, gatal pada palatum, gatal pada tenggorok, serta asma
dapat menyertai apabila reaksi alergi terjadi juga pada organ-organ lain.

Bersin berulang merupakan gejala khas rinitis alergi. Bersin merupakan mekanisme
fisiologik, yaitu proses membersihkan sendiri (self cleaning process). Bersin dianggap
patologik, bila terjadinya lebih dari 5 kali setiap serangan, sebagai akibat dilepaskannya
histamin. Gejala lain ialah keluar ingus (rinore) yang encer dan banyak, hidung tersumbat,
hidung dan mata gatal, yang kadang-kadang disertai dengan banyak air mata keluar
(lakrimasi).

Tanda-tanda alergi juga terlihat di hidung, mata, telinga, faring atau laring. Tanda
hidung termasuk lipatan hidung melintang–garis hitam melintang pada tengah punggung
hidung akibat sering menggosok hidung ke atas menirukan pemberian hormat (allergic
salute), pucat dan edema mukosa hidung yang dapat muncul kebiruan. Lubang hidung
bengkak. Disertai dengan sekret mukoid atau cair. Tanda di mata termasuk edema kelopak
mata, kongesti konjungtiva, lingkar hitam dibawah mata (allergic shiner).

Gejala lain yang tidak khas dapat berupa: batuk, sakit kepala, masalah penciuman,
penekanan pada sinus dan nyeri wajah, dan post nasal drip. Beberapa orang juga mengalami
lemah dan lesu, mudah marah, kehilangan nafsu makan dan sulit tidur.

TERAPI FARMAKOLOGIS

Terapi farmakologis untuk rinitis alergi saat ini termasuk antihistamin, dekongestan,
antikolinergik, intranasal cromolyn, leukotriene modifiers, dan steroid inhalan. Panduan
ARIA tahun 2007 menyarankan pendekatan stepwise pada terapi rinitis alergi.

Pada rinitis intermiten ringan, disarankan menggunakan antihistamin oral atau


intranasal, dekongestan intranasal, dan dekongestan oral (tidak pada anak). Untuk rinitis
intermiten sedang-berat dan rinitis persisten ringan, terapi yang disarankan adalah
antihistamin oral atau intranasal, antihistamin oral bersama dekongestan, kortikosteroid
intranasal, dan chromones.

Rinitis persisten sedang-berat membutuhkan kortikosteroid intranasal sebagai terapi


lini pertama, dan tambahan kortikosteroid atau dekongestan kerja cepat jika terjadi sumbatan.
Jika gejala tidak berkurang maka bisa ditambahkan antihistamin oral dan dekongestan dan
atau ipratropium.

1) Antihistamin

Antihistamin merupakan preparat farmakologik yang paling sering dipakai sebagai lini
pertama pengobatan rinitis alergi. Antihistamin yang digunakan adalah antagonis H-1, yang
bekerja secara inhibitor kompetitif pada reseptor H-1 yang terdapat di ujung saraf dan epitel
kelenjar pada mukosa, sehingga efektif menghilangkan gejala rinore dan bersin akibat
dilepaskannya histamin pada rinitis alergi. Antihistamin dibagi dalam 2 golongan yaitu
golongan antihistamin generasi-1 (klasik) dan generasi-2 (non sedatif). Antihistamin
generasi-1 terbukti secara klinis efektif mengurangi gejala bersin dan rinore, tetapi
mempunyai efek samping sedatif karena dapat menembus sawar otak. Antihistamin generasi
kedua seperti astemizol, loratadin, setirizin, dan terfenadin dapat menutup kelemahan
antihistamin lama karena bersifat non-sedatif dan mempunyai masa kerja yang panjang.

2) Dekongestan

Pada rinitis alergi, pengaruh berbagai mediator akan menyebabkan vasodilatasi pembuluh
darah yang menimbulkan buntu hidung. Dekongestan merupakan obat yang bersifat agonis
alfa adrenergik yang dapat berikatan dengan reseptor alfa adrenergik yang ada di dalam
mukosa rongga hidung dan menyebabkan vasokonstriksi pembuluh darah konka, akibatnya
mengurangi buntu hidung. Dekongestan dapat digunakan secara sistemik (oral), yakni
efedrin, fenil propanolamin, dan pseudo-efedrin atau secara topikal dalam bentuk tetes
hidung maupun semprot hidung yaitu fenileprin, efedrin, dan semua derivat imidazolin.
Penggunaan secara topikal ini lebih cepat dibanding penggunaan sistemik.

3) Kortikosteroid

Kortikosteroid adalah obat antiinflamasi yang kuat dimana penggunaan secara sistemik dapat
dengan cepat mengatasi inflamasi yang akut sehingga hanya untuk penggunaan jangka
pendek yakni pada gejala hidung buntu yang berat. Yang sering dipakai adalah kortikosteroid
topikal (beklometosa, budesonid, flusolid, flutikason, mometasonfuroat dan triamsinolon).

9. RHINITIS VASOMOTOR
DEFINISI
Gangguan vasomotor hidung adalah terdapatnya gangguan fisiologik lapisan mukosa
hidung yang disebabkan oleh bertambahnya aktivitas parasimpatis. Rinitis vasomotor adalah
gangguan pada mukosa hidung yang ditandai dengan adanya edema yang persisten dan
hipersekresi kelenjar pada mukosa hidung apabila terpapar oleh iritan spesifik. Kelainan ini
merupakan keadaan yang non-infektif dan non-alergi. Rinitis vasomotor disebut juga dengan
vasomotor catarrh, vasomotor rinorrhea, nasal vasomotor instability, non spesific allergic
rhinitis, non - Ig E mediated rhinitis atau intrinsic rhinitis.

ETIOLOGI
Etilogi pasti rinitis vasomotor belum diketahui dan diduga akibat gangguan
keseimbangan sistem saraf otonom yang dipicu oleh zat-zat tertentu.
1. obat-obatan yang menekan dan menghambat kerja saraf simpatis, seperti ergotamin,
chlorpromazin, obat anti hipertensi dan obat vasokonstriktor topikal.
2. faktor fisik, seperti iritasi oleh asap rokok, udara dingin, kelembaban udara yang
tinggi dan bau yang merangsang.
3. faktor endokrin, sepeti keadaan kehamilan, pubertas, pemakaian pil KB dan
hipotiroidisme.
4. faktor psikis, seperti stress, ansietas dan fatigue.

PATOFISIOLOGI
Sistem saraf otonom mengontrol aliran darah ke mukosa hidung dan sekresi dari
kelenjar. Diameter resistensi pembuluh darah di hidung diatur oleh sistem saraf simpatis
sedangkan parasimpatis mengontrol sekresi kelenjar. Pada rinitis vasomotor terjadi disfungsi
sistem saraf otonom yang menimbulkan peningkatan kerja parasimpatis yang disertai
penurunan kerja saraf simpatis. Baik sistem simpatis yang hipoaktif maupun sistem
parasimpatis yang hiperaktif, keduanya dapat menimbulkan dilatasi arteriola dan kapiler
disertai peningkatan permeabilitas kapiler, yang akhirnya akan menyebabkan transudasi
cairan, edema dan kongesti.
Adanya reseptor zat iritan yang berlebihan juga berperan pada rhinitis vasomotor.
Banyak kasus yang dihubungkan dengan zat-zat atau kondisi yang spesifik. Beberapa
diantaranya adalah perubahan temperatur atau tekanan udara, perfume, asap rokok, polusi
udara dan stress ( emosional atau fisikal ). Dengan demikian, patofisiologi dapat memandu
penatalaksanaan rhinitis vasomotor yaitu :
1. meningkatkan perangsangan terhadap sistem saraf simpatis
2. mengurangi perangsangan terhadap sistem saraf parasimpatis
3. mengurangi peptide vasoaktif
4. mencari dan menghindari zat-zat iritan.

PATOGENESIS
Rinitis vasomotor merupakan suatu kelainan neurovaskular pembuluh darah pada
mukosa hidung, terutama melibatkan sistem saraf parasimpatis. Tidak dijumpai alergen
terhadap antibodi spesifik seperti yang dijumpai pada rinitis alergi. Keadaan ini merupakan
refleks hipersensitivitas mukosa hidung yang non – spesifik. Serangan dapat muncul akibat
pengaruh beberapa factor pemicu.
 alkohol
 perubahan temperatur / kelembapan
 makanan yang panas dan pedas
 bau – bauan yang menyengat ( strong odor )
 asap rokok atau polusi udara lainnya
 faktor – faktor psikis seperti : stress, ansietas
 penyakit – penyakit endokrin
 obat-obatan seperti anti hipertensi, kontrasepsi oral

GEJALA KLINIS
Gejala yang dijumpai pada rinitis vasomotor kadang-kadang sulit dibedakan dengan
rinitis alergi seperti hidung tersumbat dan rinore. Rinore yang hebat dan bersifat mukus atau
serous sering dijumpai. Gejala hidung tersumbat sangat bervariasi yang dapat bergantian dari
satu sisi ke sisi yang lain, terutama sewaktu perubahan posisi. Keluhan bersin-bersin tidak
begitu nyata bila dibandingkan dengan rinitis alergi dan tidak terdapat rasa gatal di hidung
dan mata. Gejala dapat memburuk pada pagi hari waktu bangun tidur oleh karena adanya
perubahan suhu yang ekstrim, udara lembab, dan juga oleh karena asap rokok dan
sebagainya. Selain itu juga dapat dijumpai keluhan adanya ingus yang jatuh ke tenggorok
( post nasal drip ).

PENATALAKSANAAN
Pengobatan rinitis vasomotor bervariasi, tergantung kepada faktor penyebab dan
gejala yang menonjol. Secara garis besar, pengobatan dibagi dalam :
1. Menghindari penyebab / pencetus ( Avoidance therapy )
2. Pengobatan konservatif ( Farmakoterapi ) :
 Dekongestan atau obat simpatomimetik digunakan untuk mengurangi keluhan
hidung tersumbat. Contohnya : Pseudoephedrine dan Phenylpropanolamine
( oral ) serta Phenylephrine dan Oxymetazoline (semprot hidung ).
 Anti histamin : paling baik untuk golongan rinore.
 Kortikosteroid topikal mengurangi keluhan hidung tersumbat, rinore dan bersin-
bersin dengan menekan respon inflamasi lokal yang disebabkan oleh mediator
vasoaktif. Biasanya digunakan paling sedikit selama 1 atau 2 minggu sebelum
dicapai hasil yang memuaskan. Contoh steroid topikal : Budesonide, Fluticasone,
Flunisolide atau Beclomethasone
 Anti kolinergik juga efektif pada pasien dengan rinore sebagai keluhan utamanya.
Contoh : Ipratropium bromide ( nasal spray )
3. Terapi operatif ( dilakukan bila pengobatan konservatif gagal ) :

10. EPISTAKSIS
Pendahuluan

Epistaksis merupakan salah satu masalah kedaruratanmedik yang paling umum


dijumpai, diperkirakan 60 % dari populasi pernah mengalami epistaksis, dan sebanyak 6%
memerlukan penanganan medik. Epistaksis ringanbiasanya berasal dari anterior septum
nasisebagai akibat dari cidera kecil pada mukosa septum, pada anak-anak seringkali terjadi
akibat mengorek hidung, sedangkan pada orang dewasa terjadi akibat mukosa kering
sebagai akibat pengaruh kelembapan udara, trauma, ulkus dan hipertensi. Epistaksis
anterior umumnya terjadi akibat rusaknya dinding a. etmoidalis anterior atau a. etmoidalis
posterior. Epistaksis sendiri dapat terjadi dalam berbagai derajat tingkat keparahan, mulai
dari yang ringan dan dapat berhenti dengan sendirinya tanpa tindakan apapun, berikutnya
adalah epistaksi yang memerlukan penanganan di UGD klinik ataupun RS, sampai pada
tingkatan yang memerlukan penanganan secara sungguh-sungguh dan dengan risiko
ancaman terhadap kelangsungan hidup.
Pada populasi anak dan dewasa muda cenderung lebih berisiko untuk menderita
epistaksisberulangpada daerah anterior hidung yang melibatkan Pleksus Kiesselbach,
sedangkan pada golongan usia tua dan lansia, risiko untuk terjadinya epistaksis posterior
lebih sering muncul. Epistaksis juga lebih sering terjadi berkaitan dengan risiko aktifitas
olah raga, misalnya saja pemain sepak bola jelas lebih berisiko daripada seorang pehobi
pecatur, sedangkan buruh bongkar muat barang jelas lebih berisiko dibanding dan pekerja
di perpustakaan, pekerja diruang terlampau panas atau lebih berisiko untuk terjadinya
epistaksis dibandingkan bekerja diruangan yang dilengkapi dengan pengatur suhu.

Etiologi

Secara umum penyebab epistaksis dapat dibagi atas :


 Idiopatik Epistakis, epistaksis jenis ini penyebabnya tidak kita ketahui atau
belum dapat kita ketahui, bisa berasal dari kelainan lokal dihidung itu sendiri
atau sistemik, insidensnya berkisar 70 % dari epistaksis keseluruhan. Berbagai
kelainan lokal adalah : Septum deviasi, Benda asing hidung, Trauma digital,
Inflamasi, Insuflasi / dekongestan topikal, kelembapan rendah, Tumor jinak dan
ganas. Sedangkan untuk kelainan sistemik adalah : alkoholic, anemia, peran
berbagai obat, riwayat keluarga, ITP dll
 Epistaksis Sekunder, epistaksis disebabkan kelainan yng lain misalnya saja
pasca trauma, pasca operasi hidung, dll
 Penyebab spesifik lain: Gangguan system pembekuan, hypertensi, gangguan
hati, penyakit keturunan.

Gambaran Klinis

Epistaksis biasanya unilateral akan tetapi dapat juga bilateral, biasanya bila
perdarahan cukup banyak maka darah akan keluar juga dari sisi sebelahnya dan akan
terlihat bilateral. Bila perdarahan cukup masif maka pasien akan terlihat gelisah bila begitu
hebat mungkin dapat menimbulkan risiko pada jalan napas, biasanya disebabkan oleh
epistaksis posterior, pada umumnya kelainan ini muncul sebagai akibat terdapatnya
perdarahan dari cabang arteri sphenopalatina. Epistaksis posterior biasanyasering
ditemukan pada pasien yang berusia lanjut denganriwayat komorbid yang jelas.Epistaksis
pada pasien tertentu membutuhkan pertimbangan khusus, termasuk didalamnya adalah
mereka yang memiliki riwayat hemoragik telangiektasia, neoplasma sinonasal, dan pasien
pascaoperasi hidung atau pasca trauma hidung atau muka.

Penatalaksanaan

Penatalaksanaan epistaksis ini dapat dibagi menjadi penatalaksanaan pada keadaan


akut dan penatalaksanaan definitif. Penatalaksanaan akut adalah upaya yang dilakukan
untuk mengidentifikasi sumber pendarahan dan menghentikannya, sedangkan
penatalaksanaan definitif adalah upaya yang dilakukan untuk mengetahui penyebab dari
epistaksis tersebut termasuk didalamnya upaya mencegah berulangnya epistaksis tersebut.
Termasuk didalam penatalaksanaan definitif adalah, pemasangan tampon anterior dan
posterior, irigasi air panas dari rongga hidung, angiografi dan embolisasi arteri karotid
eksternal, dan pembedahan.

Beberapa pilihan bedah termasuk elektrokauter danligasi pembuluh darah hidung.


Beberapa upaya ligasi arteri yang dapat dilakukakan adalah ligase apada a. sphenopalatina
arteri, a. ethmoidalis, ligasi a. karotis eksternal, ligasia. maksilaris interna. Berikut adalah
cara yang lazim dilakukan dalam memeriksa dan melakukan penanganan terhadap pasien
dengan epistaksis.
1. Gunakan pelindung diri (APD) yang memadai
2. Amankan jalan napas dan fungsi vital lain
3. Bila memungkinkan pasien dalam posisi duduk tegak menghadap kearah dokter
4. Lakukan penekanan sedang pada cuping hidung selama 10-15 menit
Bila masih berdarah, bersihkan bekuan darah dan semprotkan vasokonstriktor
lokal (adrenaline 1/200.000 ), dengan catatan tekanan darah pasien normal
Bila perdarahan berhenti, tenangkan pasien dan observasi ketat.
5. Lanjutan dari (4), lakukan pemeriksaan dengan lampu kepala yang terang dan
fokus, Bila sumber perdarahan ditemukan dan diidentifikasi, lakukan kauterisasi
dengan AgNo3 10-30 %, atau gunakan tampon gel, setelah itu segera lakukan
upaya mengoreksi status hemodinamik pasien. Bila sumber perdarahan tidak
ditemukan lakukan pemasangan tampon anterior bisa dibalurkan dengan
Kemycitine zalf atau Adrenaline 1/200.000.
6. Bila :
Perdarahan berhenti, upayakan pasien observasi 4-6 jam
Bila perdarahan menetap rujuk untuk penanganan lebih lanjut

Beberapa pilihan penanganan epistaksis


1) Kauterisasi mukosa hidung
Pembuluh darah / focus perdarahan terlihat
Gunakan AgNO3 10 – 30 %
Perhatian terhadap ulkus septu
2) Kauterisasi endoskopi
Bahan yang digunakan sama dengan diatas
Menggunakan endoskop hidung yang rigid
Dapat digunakan untuk perdarahan yang letaknya lebih dala
Perlu keterampilan
3) Pemasangan tampon hidung
Tampon berupa kasa gulung, tampon kapas, Merocell atau Rapid Rhinos
Perlu spekulum hidung, pinsep bayonet panjang
Tampon kasa gulung yang sudah dibaluri betadine + kemycitine zalf
Perlu keterampilan dan keberanian
4) Septoplasty
5) Ligasi arteri
6) Oklusi / embolisasi arteri

Daftar Pustaka

Penatalaksanaan Epistaksis, dr. Hari Purnama, SpTHT-KL, RSUD Kabupaten Bekasi


[diunduh dari http://idikabbekasi.org/wp-content/uploads/2014/12/4.-materi-dr.-Hari.pdf

11. SINDROM MENIER

Meniere’s disease atau penyakit Meniere atau dikenali juga dengan hydrops
endolimfatik. Penyakit Meniere ditandai dengan episode berulang dari vertigo yang
berlangsung dari menit sampai hari, disertai dengan tinnitus dan tuli sensorineural yang
progresif. Penyakit Meniere pertama kali dijelaskan oleh seorang ahli dari Perancis bernama
Prospere Meniere dalam sebuah artikel yang diterbitkannya pada tahun 1861, dia meyakini
bahwa penyakit ini berada dalam telinga.

Definisi penyakit Meniere adalah suatu penyakit pada telinga dalam yang bisa
mempengaruhi pendengaran dan keseimbangan. Penyakit ini ditandai dengan keluhan
berulang berupa vertigo, tinnitus, dan pendengaran yang berkurang ssecara progresif,
biasanya pada satu telinga. Penyakit ini disebabkan oleh peningkatan volume dan tekanan
dari endolimfe pada telinga dalam.

Patofisiologi

Gejala klinis penyakit Meniere disebabkan oleh adanya hidrops endolimfa pada koklea dan
vestibulum. Hidrops yang terjadi mendadak dan hilang timbul diduga disebabkan oleh:

1. Meningkatnya tekanan hidrostatik pada ujung arteri


2. Berkurangnya tekanan osmotic didalam kapiler
3. Meningkatnya tekanan osmotic ruang ekstrakapiler
4. Jalan keluar sakus endolimfatikus tersumbat, sehingga terjadi penimbunan cairan
endolimfa.

Gejala Klinis

Terdapat trias atau sindrom Meniere yaitu vertigo, tinnitus dan tuli sensorineural terutama
nada rendah. Hal ini dapat berlangsung selama beberapa hari sampai beberapa minggu.
Penyakit ini bisa sembuh tanpa pengobatan dan gejala dapat hilang. Pada serangan kedua kali
dan selanjutnya, gejala yang timbul akan lebih ringan dibanding serangan pertama.

Tatalaksana

Pada saat datang biasanya diberikan obat simtomatik, seperti obat-obat sedatif, dan bila
diperlukan dapat diberikan anti muntah. Bila diagnosis telah ditegakan maka pengobatan
paling baik adalah sesuai dengan penyebabnya.

Untuk penyakit Meniere, diberikan obat-obat vasodilator perifer untuk mengurangi tekanan
hidrops endolimfa. Dapat pula tekanan endolimfa ini disalurkan ke tempat lain dengan jalan
operasi, yaitu membuat “shunt”. Pengobatan nistagmus, yang diduga penyebabnya adalah
kotoran, yaitu sisa utrikulus, harus dibersihkan dengan cara menempelkan vibrator yang
dapat menyebabkan kotoran tersebut terlepas dan hancur.

1. Terapi Medis Profilaksis

Terapi medis diarahkan untuk mengatasi proses penyakit yang mendasarinya atau mengontrol
serangan vertigo selama eksaserbasi penyakit.
- Vasodilator

Vasidilator yang sering digunakan adalah Betahistin HCl 8 mg 3 kali sehari, jika
tidak terdapat ulkus peptikum. Alternatif lain adalah asam nikotinat, histamine dan
siklandelat. Vasodilator digunakan akibat gangguan pada endolimfe oleh kelainan
vaskuler.
- Antikolinergik

Probantin telah digunakan sebagai terapi meniere karena teori bahwa hidrops
endolimfatik disebabkan oleh disfungsi susunan saraf autonom di telinga dalam.
- Penggunaan Hormon Tiroid

Penggunan hormone tiroid didasrkan atas teori bahwa hipotiroidisme ringan


adalah termasuk penyebab hidrops endolimfatik.
- Pemberian Vitamin

Pemberian vitamin berdasarkan atas teori bahwa penyakit meniere akibat


defisiensi vitamin. Vitamin yang biasa diberikan adalah vitamin B kompleks,
asam askorbat dan senyawa sitrus bio-flavonoid (Lipoflavonoid).
- Diet rendah garam dan Pemberian diuretic

Diet rendah garam dan pemberian diuretic dimaksudkan adalah agar menurunkan
jumlah cairan tubuh dengan harapan juga menurunkan cairan endolimfe.
2. Terapi Simtomatik

Terapi simtomatik ditujukan untukl menghentikan atau mengurangi hebatnya serangan


vertigo dan tanpa berdalih berusaha mengoreksi sebab dasar penyakit Meniere.
- Sedative

Sedative dalam dosis ringan seperti fenobirtal atau trankulizer seperti diazepam
(Valium) sering menolong pasien rileks dan menurunkan frekuensi serangan
vertigo.
- Antihistamine dan antiemetik

Antihistamin dan antiemetic tertentu efektif menghentikan atau mengurangi


keparahn seringan vertigo pada pasien Meniere. Antihistamin yang sering
diberikan adalah dimenhidrinat (dramamine) dan siklizin (Marezine). Sedangkan
antiemetic yang biasa digunakan adalah antiemetic diferidol.
- Depresan vestibuler

Depresan vestibuler digunakan unruk mencegah atau mengurangi keparahan


serangan vertigo dan untuk terapi pasien selama eksaserbasi penyakit ini sampai
terjadi remisi spontan.

Daftar Pustaka

1. Soepardi EA, Iskandar N, Bashirudin J, et all, editor. Buku Ajar Ilmu Kesehatan
Telinga Hidung Tenggorok Kepala dan Leher. Edisi 7. Jakarta: Universitas Indonesia
Publishing
12. TONSILITIS

Tonsilitis adalah peradangan tonsil palatina yang merupakan bagian dari cincin
waldeyer. Cincin waldeyer terdiri atas susunan kelenjar limfa yang terdapat didalam rongga
mulut yaitu: tonsil faringeal (adenoid), tonsil palatina (tonsil faucial), tonsil lingual (tonsil
pangkal lidah), tonsil tuba eustachius(Gerlach’s tonsil). Penyebaran infeksi melalui udara,
tangan dan ciuman. Dapat terjadi pada semua umur terutama pada anak.

Klasifikasi

Berdasarkan etiologinya, tonsillitis terbagi menjadi:

1. Tonsillitis viral

Tonsillitis viral gejalanya menyerupai common cold, disertai rasa nyeri tenggorok.
Penyebab yang paling sering adalah virus Epstein Barr. Jika terjadi infeksi virus coxschakie,
maka pada pemeriksaan rongga mulut akan tampak luka-luka kecil pada palatum dan tonsil
yang sangat nyeri dirasakan pasien.
Terapi dari tonsilitas virus merupakan terapi suportif dan simtomatik. Yaitu dengan
melakukan pemberian analgetik dan antipiretik bila didapatkan demam, bila tonsillitis berat
dapat diberikan antiviral
2. Tonsillitis bakterial

Radang akut tonsil dapat disebabkan kuman grup A streptokokus β hemolitikus yang dikenal
sebagai strept throat, pneumokokus, streptokokus viridan dan streptokokus piogenes.
Manifestasi Klinis

Gejala pada tonsillitis akut adalah rasa gatal/ kering ditenggorokan, anoreksia, otalgia,
tonsil membengkak. Dimulai dengan sakit tenggorokan yang ringan hingga menjadi parah,
sakit menelan, kadang muntah. Pada tonsillitis dapat mengakibatkan kekambuhan sakit
tenggorokan dan keluarnya nanah pada lekukan tonsil.

Tanda klinisnya dijumpai tonsil membengkak dan meradang. Tonsila biasanya


bercak-bercak dan kadang-kadang diliputi oleh eksudat. Eksudat ini mungkin keabu-abuan
dan kekuningan. Eksudat ini dapat berkumpul, membentuk membran dan pada beberapa
kasus dapat terjadi nekrosis jaringan local.

Berikut ini adalah tanda dan gejala yang dialami oleh pasien yang menderita tonsilitis
akut, yaitu sebagai berikut ini:

1. Tanda
 Napas berat dan lidah yang licin
 Hiperemis pada pilar, uvula dan palatum mole
 Kemerahan dan bengkak pada tonsil disertai dengan gambaran bintik bintik kuning
yang merupakan gambaran material purulen pada kripta yang terbuka (acute
folicular tonsilitis). Kedua tonsil dapat membesar hingga dapat bertemu pada midline
orofaring.
 Pembesaran dari KGB jugulodigastrikus
2. Gejala
Gejala yang sering ditemui berupa kesulitan dalam menelan, gangguan fonasi, respirasi
dan pendengaran. Selain itu gejala yang dapat muncul antara lain :
 Sakit tenggorokan
 Sakit menelan
 Perubahan suara (serak)
 Sakit pada telinga
 Snoring (akibat obstruksi jalan napas atas)
 Napas berbau
 Gangguan pendengaran
 Pasien tampak sangat sakit
Pada pemeriksaan, terdapat dua macam gambaran tonsil dari Tonsilitis Kronis yang mungkin
tampak, yakni :

1. Tampak pembesaran tonsil oleh karena hipertrofi dan perlengketan ke jaringan


sekitar, kripte yang melebar, tonsil ditutupi oleh eksudat yang purulen atau seperti
keju.
2. Mungkin juga dijumpai tonsil tetap kecil, mengeriput, kadang-kadang seperti
terpendam di dalam tonsil bed dengan tepi yang hiperemis, kripte yang melebar dan
ditutupi eksudat yang purulen.

Berdasarkan rasio perbandingan tonsil dengan orofaring, dengan mengukur jarak antara
kedua pilar anterior dibandingkan dengan jarak permukaan medial kedua tonsil, maka gradasi
pembesaran tonsil dapat dibagi menjadi :

T0         : Tonsil sudah diangkat

T1         : Tonsil masih di dalam fossa tonsil

T2         : Tonsil keluar dari fossa tonsil tapi belum melewati garis tengah antara pinggir
lateral faring-uvula

T3         : Tonsil sudah melewati garis tengah namun tidak sampai uvula

T4         : Tonsil sudah mencapai uvula atau lebih

Tatalaksana Tonsilitis

Pemeriksaan kultur bakteri penyebab tonsilitis rekuren maupun tonsilitis kronis perlu
dilakukan untuk mengetahui bakteri penyebab sebagai bukti empiris dalam penatalaksanaan
tonsilitis.. Untuk pasien yang menderita tonsilitis, berikut ini penatalaksanan pasien tonsilitis
secara umum :
1. Jika penyebab bakteri, diberikan antibiotik peroral (melalui mulut) selama 10 hari, jika
mengalami kesulitan menelan, bisa diberikan dalam bentuk suntikan.
2. Pengangkatan tonsil (Tonsilektomi) dilakukan jika:
a. Tonsilitis terjadi sebanyak 7 kali atau lebih / tahun.
b. Tonsilitis terjadi sebanyak 5 kali atau lebih / tahun dalam kurun waktu 2 tahun.
c. Tonsilitis terjadi sebanyak 3 kali atau lebih / tahun dalam kurun waktu 3 tahun.
d. Tonsilitis tidak memberikan respon terhadap pemberian antibiotik.
Penatalaksanaan pasien tonsilitis menurut Mansjoer (2000) adalah :
1. Penatalaksanaan tonsilitis akut :
a. Antibiotik golongan penicilin atau sulfanamid selama 5 hari dan obat kumur atau
obat isap dengan desinfektan, bila alergi dengan diberikan eritromisin atau
klindamisin.
b. Antibiotik yang adekuat untuk mencegah infeksi sekunder, kortikosteroid untuk
mengurangi edema pada laring dan obat simptomatik.
c. Pasien diisolasi karena menular, tirah baring, untuk menghindari komplikasi
kantung selama 2 sampai 3 minggu atau sampai hasil usapan tenggorok 3 kali
negatif.
d. Pemberian antipiretik
2. Penatalaksanaan tonsillitis kronik
a. Terapi lokal untuk hygiene mulut dengan obat kumur atau hisap.
b. Terapi radikal dengan tonsilektomi bila terapi medikamentosa atau terapi
konservatif tidak berhasil.

Pemberian Antibiotik
Penatalaksanaan tonsilitis akut dengan memperbaiki higiene mulut, pemberian
antibiotika spektrum luas selama 1 minggu dan Vitamin C dan B kompleks . Pada beberapa
penelitian menganjurkan pemberian antibiotik lebih dari 5 hari. Pemberian antibiotik
secepatnya akan mengurangi gejala dan tanda lebih cepat. Meskipun demikian, tanpa
antibiotik, demam dan gejala lainnya dapat berkurang selama 3-4 hari.

Untuk tonsilitis bakteri, penisililin merupakan antibiotik lini pertama untuk tonsilitis
akut yang disebabkan bakteri Group A Streptococcus B hemoliticus (GABHS). Walaupun
pada kultur GABHS tidak dijumpai, antibiotik tetap diperlukan untuk mengurangi gejala. Jika
dalam 48 jam gejala tidak berkurang atau dicurigai resisten terhadap penisilin, antibiotik
dilanjutkan dengan amoksisilin asamklavulanat sampai 10 hari. Pada tonsillitis kronik
dilakukan terapi lokal untuk hygiene mulut dengan obat kumur/hisap dan terapi radikal
dengan tonsilektomi bila terapi medikamentosa atau terapi konservatif tidak berhasil.
Pada tonsilitis yang berulang, penggunaan antibiotik ciprofloxacin dan gentamisin
perlu dipertimbangkan. Hal ini karena organisme yang sering menyebabkan infeksi berulang
ini adalah Pseudomonas aeruginosa dan beberapa bakteri lain yang sensitif terhadap
ciprofloxacin dan gentamisin. Pada pasien anak, penggunaan amoxicillin atau kombinasi
amoxicillin-asam klavulanat adalah pilihan pertama pada tonsilitis berulang, dimana
penggunaan ciprofloxacin menjadi kontraindikasi.

Tabel Uji kepekaan antibiotik terhadap bakteri patogen penyebab tonsilitis (S) Sensitif (I)
Intermediate (R) Resisten

Tonsilektomi

Indikasi dilakukannya tonsilektomi dapat dibagi menjadi :

1. Indikasi absolut
 Infeksi tenggorokan berulang yang terjadi :
a. Tujuh kali atau lebih dalam satu tahun
b. Lima kali per tahun dalam dua tahun
c. Tiga kali per tahun dalam tiga tahun
d. Dua minggu atau lebih tidak masuk sekolah atau kerja dalam satu tahun
 Abses peritonsilar. Pada anak, tonsilektomi dilakukan 4-6 minggu setelah abses
diobati. Pada dewasa, serangan kedua abses peritonsilar merupakan indikasi asolut.
 Tonsilitis yang menyebabkan kejang demam
 Hipertrofi tonsil yang menyebabkan :
a. Obstruksi saluran napas (sleep apnea)
b. Sulit menelan
c. Gangguan artikulasi suara
 Suspek keganasan. Pembesaran tonsil unilateral kemungkinan limfoma pada anak,
dan kemungkinan karsinoma epidermoid pada dewasa. Sebelumnya harus dilakukan
dahulu biopsi eksisional.
2. Indikasi relatif
 Karies difteri yang tidak respon dengan pemberian antibiotik
 Karies streptococcus , yang mungkin menjadi sumber infeksi lainnya
 Tonsilitis kronis dengan halitosis yang tidak respon dengan terapi medikamentosa
 Tonsilitis streptococcus berulang pada pasien dengan valvular heart disease.

Daftar pustaka

2. Soepardi EA, Iskandar N, Bashirudin J, et all, editor. Buku Ajar Ilmu Kesehatan
Telinga Hidung Tenggorok Kepala dan Leher. Edisi 7. Jakarta: Universitas Indonesia
Publishing
3. Ludman, H., dan Patrick J.B. 2007. ABC of Ear, Nose and Throat, Fifth Edition.
Massachusetts : Blackwell Publishing Inc.
4. Pulungan, M.R., dan Novialdi N. 2005. Mikrobiologi Tonsilitis Kronis. EGC :
Jakarta , H: 119-198]
5. Dhingra, P.L., dan Shruti Dhingra. 2005. Diseases of Ear, Nose and Throat, Fifth
Edition. New Delhi : Elseiver.
13. DIFTERI

1. Definisi
Difteri adalah infeksi akut yang disebabkan oleh Corynebacterium Diphteriae.Infeksi
biasanya terdapat pada faring, laring, hidung dan kadang pada kulit, konjungtiva, genitalia
dan telinga. Infeksi ini menyebabkan gejala-gejala lokal dan sistemik, efek sistemik terutama
karena eksotoksin yang dikeluarkan oleh mikroorganisme pada tempat infeksi
2 Epidemiologi
Sebelum era vaksinasi, difteria merupakan penyakit yang sering menyebabkan
kematian. Namun sejak mulai diadakannya program imunisasi DPT(di Indonesia pada tahun
1974), maka kasus dan kematian akibat difteria berkurang sangat banyak. Angaka mortalitas
berkisar 5-10%, sedangkan angka kematian di Indonesia menurut laporan Parwati S. Basuki
yang didapatkan dari rumah sakit di kota Jakarta(RSCM), Bandung(RSHS),
Makasar(RSWS), Senmarang(RSK), dan Palembang(RSMH) rata-rata sebesar 15%.
Difteria adalah penyakit yang jarang terjadi, biasanya menyerang remaja dan orang
dewasa. Di Amerika Serikat selama tahun 1980-1996 terdapat 71% kasus yang menyerang
usia kurang dari 14 tahun. Pada tahun 1994 terdapat lebih dari 39.000 kasus difteria dengan
kematian 1100 kasus (CFR= 2,82%), sebagian besar menyerang usia lebih dari 15 tahun. Di
Ekuador, Amerika Selatan, pada tahun 1993-1994 terjadi ledakan kasus sebedsar 200 kasus,
yang 50%-nya adalah anak berusia 15 tahun atau lebih. 1  Dari tahun 1980 sampai 2010, 55
kasus difteri dilaporkan CDC Nasional dilaporkan Penyakit Surveillance System. Sebagian
besar kasus (77%) menyerang usia 15 tahun dan lebih ,empat dari lima kasus fatal terjadi di
kalangan anak-anak yang tidak divaksinasi, kasus fatal yang kelima adalah seorang laki-laki,
dalam 75 tahun kembali  ke Amerika Serikat dari negara dengan penyakit endemic.9 Difteri
tetap endemik di banyak bagian dunia berkembang, termasuk beberapa negara Karibia dan
Amerika Latin, Eropa Timur, Asia Tenggara, dan Afrika. 9Dari wabah ini mayoritas kasus
telah terjadi di kalangan remaja dan orang dewasa, bukan anak-anak. Karena, banyak dari
remaja dan orang dewasa belum menerima vaksinasi rutin anak atau dosis booster toksoid
difteri.
Di Indonesia, dari data lima rumah sakit di Jakarta, Bandung, Makassar, Semarang,
dan Palembang, Parwati S.Basuki melaporkan angka yang berbeda. Selama tahun 1991-1996,
dari 473 pasien difteria, terdapat 45% usia balita, 27% usia kurang dari 1 tahun, 24% usia 5-9
tahun, dan 4% usia diatas 10 tahun. Berdasarkan suatu KLB difteria di kota Semarang pada
tahun 2003, dilaporakan bahwa dari 33 pasien sebanyak 46% berusia 15-44 tahun serta 30%
berusia 5-14 tahun.1 Khusus provinsi Sumatera Selatan, selama tahun 2003-2009 penemuan
kasus difteri cenderung terjadi penurunan, kasus terbanyak pada tahun 2007 (12 kasus) dan
terendah pada tahun 2003 (2 kasus), meskipun demikian Sumatera Selatan merupakan
provinsi terbesar kedua untuk kasus difteri pada tahun 2008.
Meskipun difteri sekarang dilaporkan hanya jarang di Amerika Serikat, di era
prevaccine, penyakit ini adalah salah satu penyebab paling umum dari penyakit dan kematian
pada anak-anak.

3 Etiologi

Difteri disebabkan oleh bakteri Corynebacterium diphteriae, kuman ini dikenal juga
dengan sebagai basil Klebs-Löffler, karena ditemukan pada tahun 1884 oleh bakteriolog
Jerman, Edwin Klebs (1834-1912) dan Friedrich Löffler (1852-1915). Ada tiga strain C.
diphtheriae yang berbeda yang dibedakan oleh tingkat keparahan penyakit mereka yang
disebabkan  pada manusia yaitu gravis, inter-medius, dan mitis. Ketiga subspesies sedikit
berbeda dalam morfologi koloni dan sifat-sifat biokimia. Perbedaan virulensi dari tiga strain
dapat dikait-kan dengan kemampuan relatif mereka untuk memproduksi toksin difteri (baik
kualitas dan kuantitas), dan tingkat pertumbuhan masing-masing. Strain gravis memiliki
waktu generasi (in vitro) 60 menit; strain intermedius memiliki waktu generasi sekitar 100
menit, dan mitis memiliki waktu generasi  sekitar 180 menit. Dalam tenggorokan (in vivo),
tingkat pertumbuhan yang lebih cepat memungkinkan organisme untuk menguras pasokan
besi lokal lebih cepat dalam menyerang jaringan.

Klasifikasi

Kingdom                  : Bakteri

Filum                       : Actinobacteria

Kelas                       : Actinobacteria

Order                       : Actinomycetales

Keluarga                  : Corynebacteriaceae

Genus                      : Corynebacterium


Spesies                    : C. diphtheriae

Sub spesies             : 

 a. C. diptheriae gravis

 b. C. diptheriae mitis

 c. C.diptheriae intermedius

Morfologi

Bakteri ini berbentuk batang ramping berukuran 1,5-5 um x 0,5-1 um, tidak berspora,
tidak bergerak, terma-suk Gram positif, memiliki banyak bentuk (polymorph),
memfermentasi glukosa, menghasilkan eksotoksin, dan tidak tahan asam. Bersifat anaerob
fakultatif, namun pertumbuhan maksimal diperoleh pada suasana aerob. Ciri khas C.
diphteriae adalah pembengkakan tidak teratur pada salah satu ujungnya, yang menghasilkan
bentuk seperti "gada" (club shape). Di dalam batang tesebut (sering di dekat ujung) secara
tidak beraturan tersebar granula-granula. Granula ini di-kenal dengan nama granula
metakromatik Babes-Ernest. Dengan pewarnaan Neisser, tubuh bakteri berwarna kuning atau
coklat muda sedangkan granulanya berwarna biru violet. Preparat yang dibuat langsung dari
spesimen yang baru diambil dari pasien, letak bakteri seperti  huruf-huruf  L, V, W, atau
tangan  yang  jarinya terbuka atau sering dikenal sebagai susunan
sejajar/paralel/palisade/sudut tajam huruf  V, L, Y/tulisan Cina.

Penyebab difteri adalah Corynebacterium diphteriae merupakan basil gram positif


(basil aerob), tidak bergerak, pleomorfik, tidak berkapsul, tidak membentuk spora, mati pada
pemanasan 60ºC, tahan dalam keadaan beku dan kering. Organisme tersebut paling mudah
ditemukan pada media yang mengandung penghambat tertentu yang memperlambat
pertumbuhan mikroorganisme lain (Tellurite). Koloni-koloni Corynebacterium diphteriae
berwarna putih kelabu pada medium Loeffler.(5,7)

Kuman Corynebacterium diphteriae, kuman yang termasuk Gram positif dan hidung
di saluran nafas bagian atas yaitu hidung, faring dan laring. Tidak semua orang yang
terinfeksi oleh kuman ini akan menjadi sakit. Keadaan ini tergantung pada titer anti toksin
dalam darah seseorang. Titer anti toksin sebesar 0,03 satuan per cc darah dapat dianggap
cukup memberikan dasar imunitas. Hal inilah yang dipakai pada tes Schick.

Prevalensi
Walaupun difteri sudah jarang di berbagai tempat di dunia, tetapi kadang-kadang masih
ada yang terkena oleh penyakit tersebut. Di Indonesia difteri banyak terdapat di daerah
berpenduduk padat dan keadaan lingkungan yang buruk dengan angka kematian yang cukup
tinggi, 50% penderita difteri meninggal dengan gagal jantung. Kejadian luar biasa ini dapat
terjadi terutama pada golongan umur rentan yaitu bayi dan anak. Tapi akhir-akhir ini berkat
adanya Program Pengembangan Imunisasi (PPI) maka angka kesakitan dan kematian
menurun secara drastis.

Manifestasi Klinis
Biasanya pembagian dibuat menurut tempat atau lokalisasi jaringan yang terkena
infeksi.Pembagian berdasarkan berat ringannya penyakit juga diajukan oleh Beach, dkk
(1950) sebagai berikut :

1. Infeksi ringan bila pseudomembran hanya terdapat pada mukosa hidung dengan gejala


hanya nyeri menelan.

2. Infeksi sedang bila pseudomembran telah menyerang sampai faring (dinding belakang


rongga mulut) sampai menimbulkan pembengkakan pada laring.

3. Infeksi berat bila terjadi sumbatan nafas yang berat disertai dengan gejala komplikasi
seperti miokarditis (radang otot jantung), paralisis (kelemahan anggota gerak)
dan nefritis (radang ginjal).
Masa inkubasi difteri adalah 2-5 hari (berkisar, 1-10 hari).  Penyakit ini dapat
melibatkan hampir semua membrane mukosa. Gambaran klinik tergantung pada lokasi
anatomi yang dikenai. Beberapa tipe difteri berdasarkan lokasi anatomi adalah pasien :

1. Difteri hidung

Yang mana pada awalnya meneyerupai common cold, dengan gejala pilek ringan
tanpa atau disertai gejala sistemik ringan. Infeksi nares anterior (lebih sering pada bayi)
menyebabkan rhinitis erosif, purulen, serosanguinis dengan pembentukan membrane.
Ulserasi dangkal nares luar dan bibir sebelah dalam adalah khas. Pada pemeriksaan tampak
membrane putih pada daerah septum nasi. Absorbsi toksin sangat lambat dan gejala sistemik
yang timbul tidak nyata sehingga diagnosis lambat dibuat.

2. Difteri faring dan tonsil

Paling sering dijumpai (kurang lebih 75%). Gejala mungkin ringan. Hanya berupa
radang pada selaput lender dan tidak membentuk pseudomembran sedangkan diagnosis dapat
dibuat atas dasar hasil biakan yang positif. Dapat sembuh sendiri dan memberikan imunitas
pada penderita. Pada penyakit yang lebih berat, mulainya seperti radang akut tenggorok
dengan suhu yang tidak terlalu tinggi, dapat ditemukan pada pseudomembran yang mula-
mula hanya berupa bercak putih keabu-abuan yang cepat meluas ke nasofaring atau ke laring.
Dapat ditemukan pula napas berbau dan timbul pembengkakan kelenjar regional sehingga
leher tampak seperti leher sapi (bull neck). Brennernan dan Mc Quarne (1956) menyatakan
bahwa setiap bercak keputihan diluar tonsil dapat dianggap sebagai difteria, sedangkan
Herdarshee menegaskan lebih lanjut bahwa setiap membrane yang menutupi dinding
posterior faring atau menutupi seluruh permukaan tonsil baik satu maupun kedua sisi dapat
dinggap sebagai difteria.
Dapat terjadi salah menelan dan suara serak serta stidor insprasi walaupun belum
terjadi sumbatan faring. Hal ini disebabakan oleh paresis palatum mole. Pada pemeriksaan
darah dapat terjadi penurunan kadar hemoglobin dan leukositisis, polimofonukleus,
penurunan jumlah eritrosit dan kadar albumin, sedangakan pada urin mungkin dapat
ditemukan albuminaria ringan. Pada difteri jenis ini juga akan tampak membran berwarna
putih keabu abuan kotor di daerah rongga mulut sampai dengan dinding belakang mulut
(faring).

4. Difteri laring
Gejalanya antara lain, tidak bisa bersuara, sesak, nafas berbunyi, demam sangat
tinggi sampai 40 derajat celsius, sangat lemah, kulit tampak kebiruan, pembengkakan
kelenjar leher. Difteri jenis ini merupakan difteri paling berat karena bisa mengancam nyawa
penderita akibat gagal nafas. Lebih sering sebagai penjalaran difteria faring dan tonsil ( 3 kali
lebih banyak ) daripada primer mengenai laring. Gejala gangguan napas berupa suara serak
dan stidor inspirasi jelas dan berat dapat timbul sesak napas hebat, sinosis dan tampak
retraksi suprastemal serta epigastrium. Pembesaran kelenjar regional akan menyebabkan bull
neck ( leher sapi ). Pada pemeriksaan laring tampak kemerahan, sembab, banyak secret dan
permukaan ditutupi oleh pseudomembran.

Cara penularan

            Sumber penularan penyakit difteri ini adalah manusia, baik sebagai penderita maupun
sebagai carier . Cara penularannya yaitu melalui kontak dengan penderita pada masa inkubasi
atau kontak dengan carier. Caranya melalui pernafasan atau droplet infection. Masa inkubasi
penyakit difteri ini 2 – 5 hari, masa penularan penderita 2-4minggu sejak masa inkubasi,
sedangkan masa penularan carier bisa sampai 6 bulan. Penyakit difteri yang diserang
terutama saluran pernafasan bagian atas.
Kontaminasi barang pribadi yang dipakai bersamaan, seperti handuk, sendok,gelas
yang belum dicuci, mainan dan lain-lain.
Orang yang telah terinfeksi difteri dan belum diobati dapat menulari orang lain yang
nonimmunized selama enam minggu, bahlan jika mereka belum menunjukan gejala apapun.

Pemeriksaan Penunjang

1. Bakteriologik. Preparat apusan kuman difteri dari bahan apusan mukosa hidung dan
tenggorok (nasofaringeal swab).
2. Kultur lesi tenggorokan dibutuhkan untuk diagnose klinis, untuk isolasi primer
menggunakan agar Loeffler, atau agar tellurite Tinsdale.
3. Menyusul isolasi awal C.diphteriae dapat diidentifikasi sebagai mitis, intermedius,
atau biotipe gravis berdasar fermentasi karbohidrat karbohidrat dan hemolisis pada
agar pelat darah domba. Strain ditentukan secara in vitro dan in vivo.
4.  Darah lengkap : Hb, leukosit, hitung jenis leukosit, eritrosit,trombosit,LED
5.  Urin lengkap : protein dan sedimen
6.  Ureum dan kreatinin (bila dicurigai ada komplikasi ginjal)
7.  EKG secara berkala untuk mendeteksi toksin basil menyerang sel otot jantung
dilakukan sejak hari 1 perawatan lalu minimal 1x seminggu, kecuali bila ada indikasi
biasa dilakukan 2-3x seminggu.
8. Tes schick:

Uji Schick ialah pemeriksaan untuk mengetahui apakah seseorang telah mengandung
antitoksin. Pada seseorang yang tidak mengandung antitoksin, akan timbul vesikel pada
bekas suntikan dan hilang setelah beberapa minggu. Pada yang mengandung antitoksin
rendah, uji Schick dapat positif, pada bekas suntikan timbul warna merah kecoklatan dalam
24 jam.
Uji Schick dikatakan negatif bila tidak didapatkan reaksi apapun pada tempat suntikan
dan ini terdapat pada orang dengan imunitas atau mengandung antitoksin yang tinggi. Positif
palsu terjadi akibat reaksi alergi terhadap protein antitoksin yang akan menghilang dalam 72
jam.
      Uji ini berguna untuk mendiagnosis kasus-kasus difteri ringan dan kasus-kasus yang
mengalami kontak dengan difteri, sehingga diobati dengan sempurna. Cara melakukan Schick
test ialah, sebanyak 0,1 ml toksin difetri disuntikkan intrakutan pada lengan klien, pada
lengan yang lain disuntikkan toksin yang sudah dipanaskan (kontrol). Reaksi dibaca pada hari
ke-45, hasilnya positif bila terjadi indurasi eritema yang diameternya 10 mm atau lebih pada
tempat suntikkan. Hasil positif berarti adanya antitoksin difteri dalam serumnya (menderita
difteri).
      Perlu diperhatikan bahwa hasil positif ini bisa juga ditimbulkan oleh reaksi alergi
terhadap toksin, tapi hal ini dapat dibedakan yaitu reaksi eritema dan indurasinya menghilang
dalam waktu 48-72 jam. Sedangkan yang positif karena adanya antitoksin akan menetap
selama beberapa hari.
9. Tes hapusan specimen
Diambil dari hidung, tenggorokan dan terdapat lesi mukokutan lain, berguna untuk
identifikasi tempat spesies, uji toksigenitas dan kerentanan anti mikroba sebagai medikasi.
Diagnosis Banding
1. Difteria Hidung, diagnosis bandingnya:
 common cold
Bila sekret yang dihasilkan purulent :
 sinusitis
 adenoiditis
 benda asing dalam hidung
 snuffles (lues congenital).
2. Difteria Faring,diagnosis bandingnya:
 Pharingitis oleh streptococcus
 Tonsillitis membranosa akut
 Mononucleosis infeksiosa,
 Tonsillitis membranosa non-bakteria
 Tonsillitis herpetika primer
 Moniliasis
 Blood dyscrasia
 Pasca tonsilektomi

3. Difteria Laring, diagnosis bandingnya:


 Laryngitis
 Laringo-trakeo bronkitis
 Spasmodic croup
 Angioneurotic edema pada laring
 Benda asing dalam laring.
 Akut epiglotitis

Penatalaksanaan
Apabila seseorang diduga menderita difteri oleh dokter, maka pengobatan harus
segera dilakukan tanpa menunggu hasil pemeriksaan penunjang. Selain itu, kontak dekat,
seperti anggota keluarga, kontak rumah tangga, dan karier harus menerima pengobatan
profilaksis tanpa memandang status imunisasi atau usia, yaitu pengobatan dengan eritromisin
atau penisilin selama 14 hari dan kultur pasca pengobatan untuk mengkonfirmasi ketiadaan
bakteri. Pengobatan yang paling efektif yaitu pada tahap awal penyakit, untuk mengurangi
penularan, mengobati infeksi, dan mencegah perjalanan infeksi lebih jauh.

Tatalaksana Umum
Pasien dengan difteri dirawat di rumah sakit selama pemberian antitoxin diberikan.
Selama perawatan, yang biasanya dilakukan adalah
 Perawatan tirah baring selama 2 minggu dalam ruang isolasi sampai setidaknya 2
kultur berturut-turut setelah pengobatan selesai dengan jarak 24 jam memberikan hasil
negatif
 Jamin intake cairan dan makanan. Bentuk makanan disesuaikan dengan toleransi,
untuk hal ini dapat diberikan makanan lunak, saring/cair, bila perlu sonde lambung
jika ada kesukaran menelan (terutama pada paralisis palatum molle dan otot-otot
faring).
 Bila ada tanda-tanda obstruksi jalan nafas perbaiki segera. Berikan oksigen atau
lakukan tindakan trakeostomi bila diperlukan.
 Monitoring jantung dan organ-organ vital lain.

Tatalaksana Medikamentosa

1. Anti Difteri Serum (ADS)


Antitoksin difteri adalah preparat steril yang mengandung globulin bersifat antitoksin
spesifik yang memiliki kekuatan menetralisir toksin yang dibentuk oleh Corynebacterium
diphtheriae. Antitoxin ini dibuat dari plasma kuda yang sehat, yang telah terimunisasi dengan
suntikan toksin difteri.
Antitoksin difteri tersedia dalam bentuk vial 5 ml (10.000 IU) dan 10 ml (20.000 IU),
tiap ml mengandung 2000 IU antitoxin difteri dan 0,25% fenol v/v. Untuk pencegahan, dosis
untuk anak-anak adalah 1000-3000 IU, sedangkan untuk dewasa 3000-5000 IU. Untuk
pengobatan, dosis tergantung usia, berat gejala, dan lokasi membran.

Dosis ADS Menurut Lokasi Membran


Tipe Difteria Dosis ADS (KI) Cara pemberian

Difteria Hidung 20.000 IU Intramuscular


Difteria Tonsil 40.000 IU Intramuscular / Intravena
Difteria Faring 40.000 IU Intramuscular / Intravena
Difteria Laring 40.000 IU Intramuscular /Intravena
Kombinasi lokasi diatas 80.000 IU Intravena
Difteria + penyulit, bullneck 80.000-100.000 IU Intravena
Terlambat berobat (>72 jam) 80.000-100.000 IU Intravena

Serum antidifteri merupakan serum heterolog, maka dapat menimbulkan reaksi


anafilaktik. Untuk mencegah hal tersebut, maka dilakukan hal-hal berikut :
 Pengawasan tanda vital dan reaksi lainnya seperti perluasan membran, selama dan
sesudah pemberian terutama sampai 2 jam setelah pemberian serum.
 Adrenalin 1:1000 dalam dalam semprit harus selalu disediakan untuk menanggulangi
reaksi anafilaktik ( dosis 0,01 cc/kg BB intramuskuler, maksimal diulang tiga kali
dengan interval 5-15 menit ).
 Sarana dan penanggulangan reaksi anafilaktik harus tersedia.
 Uji kepekaan, yang terdiri dari :
o Tes kulit
Anti difteri serum 0,1 cc diencerkan dengan perbandingan 1:10 dalam NaCl
0,9% disuntikkan intrakutan. Hasilnya dibaca setelah 15-20 menit. Dianggap
positif bila teraba indurasi dengan diameter paling sedikit 10 mm.
o Tes mata
Satu tetes anti difteri serum yang telah diencerkan dengan perbandingan 1:10
dalam NaCl 0,9% diteteskan pada salah satu kelopak mata bagian bawah.
Satu tetes NaCl 0,9% digunakan sebagai kontras pada mata lainnya untuk
perbandingan. Hasilnya dilihat setelah 15 – 20 menit kemudian. Dianggap
positif bila ada tanda konjungtivitis ( merah, bengkak, lakrimasi ). Apabila
terjadi konjungtivitis diobati dengan adrenalin 1:1000.
Bila salah satu tes kepekaan positif, maka ADS tidak diberikan secara sekaligus (single
dose) tetapi secara bertahap, yaitu dengan dosis yang ditingkatkan secara perlahan-lahan
(desensitisasi) dengan interval 20 menit. ADS diencerkan dalam NaCl 0,9% dengan dosis
sebagai berikut:
Efek samping yang bisa terjadi pada pemberian antitoksin ini adalah :
1. Reaksi anafilaktik jarang terjadi, tetapi bila ada timbulnya dengan segera atau dalam
waktu beberapa jam sesudah suntikan.
2. Serum Sickness   dapat  timbul  7 - 10  hari  setelah suntikan dan dapat berupa
kenaikan suhu, gatal-gatal, eksantema, sesak nafas dan gejala alergi lainnya. Reaksi
ini jarang terjadi bila menggunakan serum yang telah dimurnikan.
3. Demam dengan menggigil yang biasanya timbul setelah pemberian serum secara
intravena.
4. Rasa nyeri pada tempat suntikan yang biasanya timbul pada penyuntikan serum
dalam jumlah besar. Reaksi ini biasanya terjadi dalam  24 jam.

2. Antibiotik

Terapi antimikroba diindikasikan untuk menghentikan produksi toksin, mengobati


infeksi lokal, dan mencegah penularan. C. diphtheriae biasanya rentan terhadap berbagai
agen in vitro, termasuk penisilin, eritromisin, klindamisin, rifampisin, dan tetrasiklin.
Resistensi terhadap eritromisin sering terjadi karena obat tersebut telah digunakan secara
luas. Eritromisin diberikan pada pasien dengan alergi penisilin. Eritromisin sedikit lebih
unggul dari penisilin untuk pemberantasan infeksi nasofaring. Terapi antibiotik bukanlah
pengganti untuk terapi antitoksin. Pemberantasan bakteri harus didokumentasikan oleh
setidaknya 2 kultur berturut-turut diperoleh 24 jam setelah selesai terapi. Pengobatan dengan
eritromisin diulang jika hasil kultur tetap positif.
Dosis :
 Penisilin prokain 25.000-50.000 IU/kgBB/hari intramuskuler, selama 14 hari atau
bila hasil biakan 3 hari berturut-turut negatif.
 Eritromisin 40-50 mg/kgBB/hari, maks 2 g/hari, per oral, tiap 6 jam selama 14 hari.
 Penisilin G kristal aqua 100.000-150.000 U/kgBB/hari, i.m. atau i.v. , dibagi dalam 4
dosis, diberikan selama 14 hari.
3. Kortikosteroid
Kortikosteroid 1,2 mg/kgBB perhari.
4. Simtomatis
Dapat diberikan antipiretik untuk menurunkan demam, jika pasien anak gelisah
berikan sedatif, dan apabila batuk bisa diberikan antitusif.
Pengobatan Penyulit
Pengobatan terutama ditujukan untuk menjaga agar hemodinamika tetap baik. Penyulit yang
disebabkan oleh toksin umumnya reversibel. Bila tampak kegelisahan, iritabilitas serta
gangguan pernafasan yang progresif merupakan indikasi tindakan trakeostomi.
 Trakeostomi/intubasi endotrakeal segera bila ada obstruksi larings.
 Alat pacu jantung bila ada blok jantung.
 DL-Carnitine 100 mg/kg BB dalam 2 dosis bila terjadi miokardistis  

Pengobatan Kontak
Pada anak yang kontak dengan pasien sebaiknya diisolasi sampai tindakan berikut terlaksana,
yaitu biakan hidung dan tenggorok serta gejala klinis diikuti setiap hari sampai masa tunas
terlampaui, pemeriksaan serologi dan observasi harian. Anak yang telah mendapat imunisasi
dasar diberikan booster toksoid difteria.

Pengobatan Karier
Karier adalah mereka yang tidak menunjukkan keluhan, mempunyai uji Schick negatif tetapi
mengandung basil difteria dalam nasofaringnya. Pengobatan yang dapat diberikan adalah
penisilin 100 mg/kgBB/hari oral/suntikan, atau eritromisin40 mg/kgBB/hari selama satu
minggu. Mungkin diperlukan tindakan tonsilektomi / adenoidektomi.

14. FARINGITIS
Faringitis merupakan peradangan dinding faring yang disebabkan oleh virus (40-60%) bakteri
(5-40%) , alergi, trauma, iritan, dan lain-lain. Anak dan orang dewasa umumnya mengalami
3-5kali infeksi virus pada saluran pernafasan atas termasuk faringitis setiap tahunnya.
Keluhan
1. Nyeri tenggorokan, terutama saat menelan
2. Demam
3. Secret dari hidung
4. Dapat disertai atau tanpa batuk
5. Nyeri kepala
6. Mual
7. Muntah
8. Rasa lemah pada seluruh tubuh
9. Nafsu makan berkurang

Gejala khas berdasarkan jenisnya yaitu :


1. Faringitis Viral (umumnya oleh rhinovirus) : diawali dengan gejala rhinitis dan
beberapa hari kemudian timbul faringitis. Gejala lain demam disertai dengan rinorea
dan mual.
2. Faringitis bacterial : nyeri kepala hebat, muntah kadang demam dengan suhu yang
tinggi, jarang disertai batuk dan seringkali terdapat pembesaran KGB dileher.
3. Faringitis fungal : terutama nyeri tenggorok dan nyeri menelan
4. Faringitis kronik hiperplastik : mula-mula tenggorok kering , gatal dan akhirnya batuk
berdahak
5. Faringitis kronik atrofi : umumnta tenggorokan kering dan tebal serta mulut berbau
6. Faringitis tuberculosis nyeri hebat pada faring dan tidak berespon dengan pengobatan
bacterial non spesifik
Factor resiko
1. Usia 3-14tahun
2. Menurunnya daya tahan tubu
3. Konsumsi makanan dapat mengiritasi faring
4. Gizi kurang
5. Iritasi kronik oleh rokok minuman beralkohol, refluks asam lambung, inhalasi
uap yang merangsang mukosa faring
6. Paparan udara dingin.
Hasil pemeriksaan fisik dan penunjang sederhana :
1. Pemeriksaan Fisik :
A. Faringitis viral, pada pemeriksaan tampak faring dan tonsil hiperemis, eksudat
(virus influenza, coxsachievirus, cytomegalovirus tidak menghasilkan eksudat).
Pada coxsachievirus dapat timbul lesi vesicular di orofaring dan lesi kulit berupa
maculopapular rash.
B. Faringitis bakterial, pada tampak tonsil membesar, faring dan pemeriksaan tonsil
hiperemis dan terdapat eksudat di permukaannya. Beberapa hari kemudian timbul
bercak petechiae pada palatum dan faring. Kadang ditemukan kelenjar limfa leher
anterior membesar, kenyal dan nyeri pada penekanan.
C. Faringitis fungal, pada pemeriksaan tampak plak putih di orofaring dan pangkal
lidah, sedangkan mukosa faring lainnya hiperemis. Faringitis kronik hiperplastik,
pada pemeriksaan tampak kelenjar limfa di bawah mukosa faring dan hiperplasia
lateral band.
D. Faringitis kronik hiperplastik, pada pemeriksaan tampak kelenjar limfa di bawah
mukosa faring dan hiperplasia lateral band. Pada pemeriksaan tampak mukosa
dinding posterior tidak rata dan bergranular (cobble stone)
E. Faringitis kronik atrofi pada pemeriksaan tampak mukosa faring ditutupi oleh
lender yang kental dan bila diangkat tampak mukosa kering
F. Faringitis tuberkulosis, pada pemeriksaan tampak granuloma perkejuan pada
mukosa faring dan laring
G. Faringitis luetika tergantung stadium penyakit:
1. Stadium primer
Pada lidah palatum mole, tonsil, dan dinding posterior faring berbentuk bercak
keputihan. Bila infeksi berlanjut timbul ulkus pada daerah faring seperti ulkus
pada genitalia yaitu tidak nyeri. Juga didapatkan pembesaran kelenjar
mandibula
2. Stadium sekunder
Stadium ini jarang ditemukan. Pada dinding faring terdapat eritema yang
menjalar ke arah laring.
3. Stadium tersier
Terdapat guma. Predileksi pada tonsil dan palatumn.

Pemeriksaan penunjang
1. Pemeriksaan darah lengkap
2. Pemeriksaan mikroskopik dengan pewarnaan gram
3. Pada dugaan adanya infeksi jamur dapat dilakukan dengan pemeriksaan
mikroskopik swab mukosa faring dengan pewarnaan KOH
Penegakan Diagnostik
Diagnosis klinis :
Klasifikasi faringitis :
1. Faringitis akut :
a. Faringitis Viral :
Dapat disebabkan oleh rinovirus, virus adenovirus, Epstein Barr
Virus (EBV), influenza, coxsachievirus, cytomegalovirus, dan lain-
lain. Pada adenovirus juga menimbulkan gejala konjungtivitis
terutama pada anak.
b. Faringitis Bakterial :
Infeksi grup A stereptokokus beta hemolitikus merupakan faringitis
akut pada orang dewasa (15%) penyebab dan pada anak (30%).
Faringitis akibat infeksi bakteri streptokokus group A dapat
diperkirakan dengan menggunakan kriteria centor yaitu :
- Demam
- Anterior Cervical lymphadenopathy
- Eksudat tonsil
- Tidak ada batuk
Tiap kriteria ini bila dijumpai di beri skor 1. Bila skor 0-1 maka
pasien tidak mengalami faringitis akibat infeksi streptokokkus
group A, bila skor 1-3 maka pasien memiliki kemungkian 40%
terinfeksi streptokokkus group A dan bila skor 4 pasien
memiliki kemungkinan 50% terinfeksi streptokokkus group A.
c. Faringitis Fungal
Candida dapat tumbuh dimukosa rongga mulut dan faring
d. Faringitis gonorea
Hanya terdapat pada pasien yang melakukan kontak orogenital
2. Faringitis kronik
a. Faringitis kronik hiperplastik
Pada faringitis kronik hiperplastik terjadi perubahan mukosa
dinding posterior faring
b. Faringitis kronik atrofi
Sering timbul bersamaan dengan rhinitis atrofi. Pada rhinitis atrofi
udara pernafasan tidak diatur suhu serta kelembapannya sehingga
menimbulkan rangsangan serta infeksi pada faring.

3. Faringitis spesifik
a. Faringitis tuberculosis
b. Faringitis luetika
Tatalaksana :
- Istirahat cukup
- Minum air putih yang cukup
- Berkumur dengan air yang hangat dan berkumur dengan obat
kumur antiseptic untuk menjaga kebersihan mulut. Pada
faringitis fungal diberikan Nistatin 100.000-400.000 IU, 2
x/hari. Untuk faringitis kronik hiperplastik terapi lokal dengan
melakukan kaustik faring dengan memakai zat kimia larutan
Nitras Argentin 25%
- Untuk infeksi virus, dapat diberikan anti virus Isoprinosine
dengan dosis60-100 mg/kgBB dibagi dalam 4-6 x/hari pada
orang dewasa dan pada anak <5 tahun diberikan 50 mg/kgBB
dibagi dalam 4-6 X/ hari
- 5.Untuk faringitis akibat bakteri terutama bila diduga
penyebabnya Streptococcus group A, diberikan antibiotik
Amoksisilin 50 mg/kgBB dosis dibagi 3 x/hari selama 10 hari
dan pada dewasa 3x500 mg selama 6-10 hari atau Eritromisin
4x500 mg/hari.
- Pada faringitis gonorea, dapat diberikan Sefalosporin generasi
ke-3, seperti Seftriakson 2 gr iV/IM single dose.
- Pada faringitis kronik hiperplastik, penyakit hidung dan sinus
paranasal harus diobati. Pada faringitis kronik atrofi
pengobatan ditujukan pada rhinitis atrof. Sedangkan, pada
faringitis kronik hiperplastik dilakukan kaustik 1 x/hari selama
3-5 hari.
- Jika diperlukan dapat diberikan obat batuk antitusif atau
ekspektoran.
- Analgetik-antipiretik
- Selain antibiotik, Kortikosteroid juga diberikan untuk menekan
reaksi inflamasi sehingga mempercepat perbaikan klinis.
Steroid yang diberikan dapat berupa Deksametason 3 x 0,5 mg
pada dewasa selama 3 hari dan pada anak-anak 0,01
mg/kgBB/hari dibagi dalam 3 x/hari selarna 3 hari
Komplikasi :
Tonsilitism abses peritonsilarm abses retrofaringeal, gangguan fungsi tuba eustachius,
Otitis media akut, sinusitis, laryngitis, epiglottis, meningitis, glomerulonephritis akut,
demam rematik akut, septiakemia.
Prognosis
1. Ad vitam : bonam
2. Ad functionam : bonam
3. Ad sanationam : bonam

15. LARINGITIS

A. Definisi
Laringitis adalah suatu kondisi medis yang ditandai dengan peradangan pada
laring (pita suara), yang menyebabkan suara serak dan hilangnya suara. Ada dua tipe
laringitis: akut dan kronis. Laringitis akut hanya berlangsung beberapa hari sedangkan
laringitis kronis dapat bertahan hingga lebih dari 3 minggu. Infeksi virus adalah
penyebab paling umum dari laringitis akut sedangkan refluks asam merupakan
penyebab paling sering dari laringitis kronis. Laringitis kronis yang berat dapat
menyebabkan pneumonia (infeksi paru).

B. Etiologi
Penyebab inflamasi ini hampir selalu virus. Invasi bakteri mungkin sekunder.
Laringitis biasanya berkaitan dengan rimtis atau nasofaring. Awitan infeksi mungkin
berkaitan dengan pemajanan terhadap perubahan suhu mendadak, defisiensi diet, mal
nutrisi, dan tidak ada imunitas. Laringitis umum terjadi pada musim dingin dan mudah
ditularkan (Smeltzer, 2009 ; 551).
Penyebab laringitis pada umumnya yaitu infeksi virus, infeksi bakteri atau jamur,
peradangan berlebihan pada pita suara, batuk yang berlebihan, merokok, atau konsumsi
alkohol, alergi (http://www.news-medical.net/health/Laryngitis-Causes-Symptoms).
Laringitis bisa menyerang semua usia termasuk anak-anak. Hampir setiap orang
dapat terkena laringitis baik akut maupun kronis. Penyebab laringitis akut adalah
bakteri yang menyebabkan radang lokal atau virus yang menyebabkan peradangan
sistemik. Biasanya merupakan perluasan radang saluran nafas atas oleh bakteri
Haemophilus Influenza, Staphylococcus, Streptococcus, dan Pneumonia. Laringitis
kronik nonspesifik dapat disebabkan faktor eksogen (rangsangan fisik oleh
pepenyalahgunaan suara, rangsangan kimia, infeksi kronik saluran napas atas atau
bawah, asap rokok) atau faktor endogen (bentuk tubuh, kelamin metabolik). Sedangkan
yang spesifik disebabkan tuberculosis.

C. MANIFESTASI KLINIS
Pada laringitis akut teradapat gejala radang umum, seperti demam, malaise,
gejala rinofaringtis, batuk disertai suara paru sampai tidak bersuara sama sekali (afoni).
Gejala yang mula-mula timbul adalah rasa kering ditenggorok, nyeri ketika menelan
atau berbicara. Sering disertai batuk kering dan lama-kelamaan akan timbul batuk
dengan dahak yang kental. Pada keadaan lanjut sering menimbulkan gejala sumbatan
jalan napas bagian atas sampai sianosis. Hal ini sering terjadi pada anak. Pada
pemeriksaan laringoskopi tampak mukosa laring kemerhan dan membengkak. Gerakan
pita suara tidak terganggu kecuali bila sudah terjadi edema pada pita suara (Soepardi,
2003 ; 272).
Pada laringitis kronis, serak merupakan gejala yang paling sering ditemukan.
Gejala serak berubah-ubah sepanjang hari, namun paling parah pada pagi hari. Sering
disertai batuk dan mendehem oleh karena adanya sekret yang lengket dan kental di
tenggorok (Soepardi, 2003 ; 275). Laringitis kronis ditandai dengan suara serak yang
persisten. Laringitis kronis mungkin sebagai komplikasi dari sinusitis kronis dan
bronchitis kronis (Smeltzer, 2009 ; 551).
Gejala laringitis pada umumnya seperti sakit tenggorokan, batuk yang dapat
merupakan gejala dari/atau faktor dalam menyebabkan laringitis, kesulitan menelan,
sensasi pembengkakan di daerah laring, dingin atau gejala seperti flu (seperti batuk,
juga dapat menjadi faktor penyebab untuk laringitis), demam, kesulitan bernafas
(kebanyakan pada anak-anak), kesulitan makan, peningkatan produksi air liur dalam
mulut (http://www.news-medical.net/health/Laryngitis-Causes-Symptoms).
D. FAKTOR PREDISPOSISI
1. Perubahan cuaca / suhu.
2. Gizi kurang / mal nutrisi.
3. Penyalahgunaan alkohol
4. Pencapaian suara berlebihan (ex; guru, pembawa acara, penyanyi dll)

E. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Beberapa pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan yaitu :

 Laringoskopi, yang menunjukkan adanya pita suara yang membengkak dan


kemerahan
 Kultur eksudat pada kasus laringitis yang lebih berat
 Biopsi, yang biasanya dilakukan pada pasien laringitis kronik dengan riwayat
merokok atau ketergantungan alkohol
 Pemeriksaan laboratorium CBC (complete blood cell count)
 Pemeriksaan foto toraks pada tanda dan gejala yang berat

F. PENATALAKSANAAN DAN TERAPI


Penatalaksanaan laringitis akut termasuk mengistirahatkan suara, menghindari
merokok, istirahat di tempat tidur, dan menghirup uap dingin atau aerosol. Jika
laringitis merupakan bagian dari infeksi pernapasan yang lebih luas akibat organisme
bakteri atau jika lebih parah, terapi antibiotic yang tepat perlu diberikan. Sebagian besar
pasien dapat sembuh Dengan pengobatan konservatif; namun laryngitis cenderung lebih
parah pada pasien lansia dan dapat diperburuk oleh pneumonia (Smeltzer, 2009;551).
Penatalaksanaan laringitis akut :
1. Perawatan umum
a. Istirahat bicara dan bersuara selama 2-3 hari.
b. Dianjurkan menghirup udara lembab.
c. Menghindari iritasi pada laring dan faring, misalnya merokok, makanan pedas
atau minuman dingin.
d. Penderita dapat berobat jalan. Kecuali bila ada tanda sumbatan jalan napas,
penderita harus dirawat terutama pada anak-anak.
2. Perawatan khusus
Terapi medikamentosa :
a. Antibodika golongan penisilin
Anak 50 mg/kg dibagi dalam 3 dosis
Dewasa 3 x 500 mg per hari
Bila alergi terhadap penisilin dapat diberikan eritrosin atau bactrim.

b. Kortikoseroid diberikan untuk mengatasi edema laring.


3. Terapi bedah

Tergantung pada stadium sumbatan laring. Pada anak bila terjadi gejala sumbatan
jalan napas menurut klasifikasi Jackson, dilakukan terapi sebagai berikut :

- Stadium I : Rawat, observasi, pemberian O2 dan terapi adekuat.


- Stadium II-III : Trakeostomi
- Stadium IV : Intubasi dan oksigenasi, kemudian dilanjutkan dengan
trakeostomi.

Untuk laringits kronis, pengobatannya termasuk mengistirahatkan suara,


menghilangkan setiap infeksi traktus respiratorius primer yang mungkun ada, dan
membatasi merokok. Penggunaan kortikosteroid topical, seperti inhalasi beklometason
dipropionate (vanceril), dapat digunakan (Smeltzer, 2009 : 551).

Penatalaksanaan pada laringitis kronis adalah menghindari dan mengobati dan


faktor-faktor penyebab dengan :

1. Istirahat bersuara (vocal rest), tidak banyakbicara atau bersuara keras.


2. Antibiotika, bila terdapat tanda infeksi.
3. Ekspektoral

16. CORPUS ALIENUM DI HIDUNG


Definisi
Corpus alienum pada hidung adalah benda asing yang berasal dari luar tubuh
atau dari dalam tubuh yang dalam keadaan normal tidak ada pada hidung tersebut.

Epidemiologi
Sering terjadi pada anak-anak 2-4 tahun atau pasien dengan mental yang terbelakang.

Etiologi dan Klasifikasi


Benda asing yang berasal dari luar tubuh disebut benda asing eksogen sedangkan
yang berasal dari dalam tubuh disebut benda asing endogen. Benda asing eksogen
biasanya masuk melalui hidung atau mulut.
Benda asing eksogen terdiri dari benda padat, cair atau gas. Benda asing
eksogen padat dapat berupa zat organik seperti kacang-kacangan dan tulang, ataupun
zat anorganik seperti paku, jarum, peniti, batu dan lain sebagainya. Benda asing eksogen
cair dapat berupa benda cair yang bersifat iritatif, yaitu cairan dengan pH 7,4.
Benda asing endogen dapat berupa secret kental, darah atau bekuan darah,
nanah, krusta, cairan amnion, atau mekonium yang dapat masuk ke dalam saluran nafas
bayi pada saat persalinan.
Faktor Predisposisi

Faktor-faktor yang mempermudah terjadinya aspirasi benda asing ke dalam


saluran napas, antara lain:
1. Faktor individual; umur, jenis kelamin, pekerjaan, kondisi sosial, tempat tinggal.
2. Kegagalan mekanisme proteksi yang normal, antara lain; keadaan tidur,
kesadaran menurun, alkoholisme dan epilepsi.
3. Faktor fisik; kelainan dan penyakit neurologik.
4. Proses menelan yang belum sempurna pada anak.
5. Faktor kejiwaan, antara lain, emosi, gangguan psikis.
6. Ukuran, bentuk dan sifat benda asing.
7. Faktor kecerobohan, antara lain; meletakkan benda asing di hidung, persiapan
makanan yang kurang baik, makan atau minum tergesa-gesa, makan sambil
bermain, memberikan kacang atau permen pada anak-anak.

Manifestasi Klinis

Hidung tersumbat oleh sekret mukopuru1en yang banyak dan berbau busuk di
satu sisi rongga hidung, kanan atau kiri, tempat adanya benda asing. Setelah sekret
hidung dihisap, benda asing akan tampak dalam kavum nasi. Kadang disertai rasa
nyeri, demam, epistaksis, dan bersin. Pada pemeriksaan tampak edema dengan
inflamasi mukosa hidung unilateral dan dapat terjadi ulserasi.

Bila benda asing tersebut adalah binatang lintah, terdapat epistaksis berulang
yang sulit berhenti meskipun sudah diberikan koagulan. Pada rinoskopi anterior
tampak benda asing berwama coklat tua, lunak pada perabaan, dan melekat erat pada
mukosa hidung atau nasofaring.

Pemeriksaan Penunjang
Dilakukan pemeriksaan radiologi untuk benda asing radioopak yang tidak jelas pada
rinoskopi anterior.

Penatalaksanaan
Benda asing dengan permukaan kasar dapat dikeluarkan memakai forsep. Bila
benda asing bulat dan licin, misalnya manik-manik, dipergunakan pengait yang
ujungnya tumpul. Bagian pengait yang bengkok dimasukkan ke dalam hidung bagian
atas menyusuri atap kavum nasi, sampai menyentuh nasofaring. Setelah itu pengait
diturunkan sedikit, sampai ke belakang obyek, kemudian ditarik ke depan. Dapat dipakai
cunam Nortman atau wire loop. Bila tidak ada alat yang sesuai sebaiknya dirujuk ke
rumah sakit atau ahli THT.
Untuk lintah, diteteskan dulu air tembakau agar terlepas dari mukosa hidung
atau nasofaring, kemudian dijepit dengan pinset dan tarik ke luar.

CORPUS ALIENUM PADA TELINGA


Pendahuluan

Telinga adalah organ penginderaan dengan fungsi ganda dan kompleks


(pendengaran dan keseimbangan) . Indera pendengaran berperan penting pada partisipasi
seseorang dalam aktivitas kehidupan sehari-hari. Sangat penting untuk perkembangan
normal dan pemeliharaan bicara, dan kemampuan berkomunikasi dengan orang lain
melalui bicara tergantung pada kemampuan mendengar.
Benda asing merupakan benda yang berasal dari luar tubuh atau dari dalam tubuh
yang dalam keadaan normal tidak ada. Telinga sering kemasukan benda asing. Kadang-
kadang benda dapat masuk. Bila kemasukan benda asing di telinga, tentu saja terjadi
penurunan pendengaran. Terkadang benda asing dapat masuk tanpa sengaja ke dalam
telinga orang dewasa yang mencoba membersihankan kanalis eksternus atau mengurangi
gatal atau dengan sengaja anak-anak memasukkan benda tersebut ke dalam telinganya
sendiri.Namun, terkadang sering dianggap enteng oleh setiap orang.
Pada anak, anak tak melaporkan keluhannya sebelum timbul keluhan nyeri akibat infeksi
di telinga tersebut, lama-lama telinganya berbau. Jika hal ini terjadi, orang tua patut
mencurigainya sebagai akibat kemasukan benda asing. Jangan menanganinya sendiri
karena bisa-bisa benda yang masuk malah melesak ke dalam karena anatomi liang telinga
yang berlekuk. Di telinga banyak terdapat saraf-saraf dan bisa terjadi luka. Benda yang
masuk biasanya hanya bisa dikeluarkan oleh dokter THT dengan menggunakan peralatan dan
keahlian khusus.

Etiologi
Ada beberapa faktor yang dapat menyebabkan benda asing diliang telinga yaitu :

Faktor kesengajaan, biasanya terjadi pada anak-anak balita.


Faktor kecerobohan sering terjadi pada orang dewasa sewaktu menggunakan alat alat
pembersih telinga misalnya kapas, tangkai korek api atau lidi yang tertinggal di dalam
telinga, yang terakhir adalah faktor kebetulan terjadi tanpa sengaja dimana benda asing
masuk kedalam telinga contoh masuknya serangga, kecoa, lalat dan nyamuk.

Predileksi benda asing di dalam telinga

Berikut beberapa benda asing yang sering masuk ke telinga:


Air
Sering kali saat kita heboh mandi, berenang dan keramas, membuat air masuk ke dalam
telinga. Jika telinga dalam keadaan bersih, air bisa keluar dengan sendirinya. Tetapi jika
di dalam telinga kita ada kotoran, air justru bisa membuat benda lain di sekitarnya
menjadi mengembang dan air sendiri menjadi terperangkap di dalamnya.
Cotton Bud
Cotton buds tidak di anjurkan secara medis untuk membersihkan telinga. Selain kapas
bisa tertinggal di dalam telinga, bahaya lainnya adalah dapat menusuk selaput gendang
bila tidak hati-hati menggunakannya.
Benda-benda kecil
Anak-anak kecil sering tidak sengaja memasukkan sesuatu ke dalam telinganya. Misalnya,
manik-manik mainan.
Serangga
Bila telinga sampai kemasukan semut, berarti ada yang salah dengan bagian dalam telinga.
Pada prinsipnya, telinga punya mekanisme sendiri yang dapat menghambat binatang seperti
semut untuk tidak masuk ke dalam.

Manifestasi klinik
Efek dari masuknya benda asing tersebut ke dalam telinga dapat berkisar di tanpa gejala
sampai dengan gejala nyeri berat dan adanya penurunan pendengaran.
Merasa tidak enak ditelinga
Karena benda asing yang masuk pada telinga, tentu saja membuat telinga merasa tidak
enak, dan banyak orang yang malah membersihkan telinganya, padahal membersihkan
akan mendoraong benda asing yang mauk kedalam menjadi masuk lagi.
Tersumbat
Karena terdapat benda asing yang masuk kedalam liang telinga, tentu saja membuat telinga
terasa tersumbat.
Pendengaran terganggu
Biasanya dijumpai tuli konduktif namun dapat pula bersifat campuran. Beratnya ketulian
tergantung dari besar dan letak perforasi membran timpani serta keutuhan dan mobilitas
sistem pengantaran suara ke telinga tengah.
Rasa nyeri telinga / otalgia\
Nyeri dapat berarti adanya ancaman komplikasi akibat hambatan pengaliran sekret,
terpaparnya durameter atau dinding sinus lateralis, atau ancaman pembentukan abses otak.
Nyeri merupakan tanda berkembang komplikasi telinga akibat benda asing.
Pada inspeksi telinga akan terdapat benda asing

Patofisiologi
Benda asing yang masuk ke telinga biasanya disebabkan oleh beberapa factor antara
lain pada anak – anak yaitu factor kesengajaan dari anak tersebut , factor kecerobohan
misalnya menggunakan alat-alat pembersih telinga pada orang dewasa seperti kapas,
korek api ataupun lidi serta factor kebetulan yang tidak disengaja seperti kemasukan air,
serangga lalat, nyamuk dan
lain-lain.
Masukknya benda asing ke dalam telinga yaitu ke bagian kanalis audiotorius eksternus
akan menimbulkan perasaaan tersumbat pada telinga, sehingga klien akan berusaha
mengeluarkan benda asing tersebut. Namun, tindakan yang klien lakukan untuk
mengeluarkan benda asing tersebut sering kali berakibat semakin terdorongnya benda
asinr ke bagian tulang kanalis eksternus sehingga menyebabkan laserasi kulit dan melukai
membrane timpani. Akibat dari laserasi kulit dan lukanya membrane timpanai, akan
menyebabkan gangguan pendengaran , rasa nyeri telinga/otalgia dan kemungkinan
adanya resiko terjadinyainfeksi.

Diagnosis
Pemeriksaan dengan Otoskopik Caranya :
Bersihkan serumen
Lihat kanalis dan membran timpani Interpretasi:
Warna kemerahan, bau busuk dan bengkak menandakan adanya infeksi
Warna kebiruan dan kerucut menandakan adanya tumpukan darah dibelakang gendang.
Kemungkinan gendang mengalami robekan.

Gambar : benda asing pada liang telinga

Pemeriksaan Ketajaman Pendengaran


Test penyaringan sederhana :
Lepaskan semua alat bantu dengar
Uji satu telinga secara bergiliran dengan cara tutup salah satu telinga
Berdirilah dengan jarak 30 cm
Tarik nafas dan bisikan angka secara acak (tutup mulut)
Untuk nada frekuensi tinggi: lakukan dgn suara jam
Uji Ketajaman Dengan Garpu Tala
Uji weber
Uji Rine
Uji Swabach

Penatalaksanaan
Ada benda yang sangat kecil dapat dicoba untuk mengoyangkan secara hati-hati.
Menarik pinna telinga kearah posterior meluruskan liang telinga dan benda asing dapat
keluar dengan goncangan lembut pada telinga. Jika benda asing masuk lebih dalam
maka perlu diangkat oleh dokter yang kompeten. Tidak dianjurkan untuk mengorek telinga
sendiri karena dapat mendorong lebih kedalam dan menyebabkan ruptur membran
timpani atau dapat melukai liang telinga
Beberapa tehnik di klinik pada pengeluaran benda asing di teinga:
Forceps yang sudah dimodifikasi dapat digunakan untuk mengambil benda dengan
bantuan otoskop
Suction dapat digunakan untuk menghisap benda
Irigasi liang telinga dengan air hangat dengan pipa kecil dapat membuat benda-benda
keluar dari liang telinga dan membersihkan debris.
Penggunaan alat seperti magnet dapat digunakan untuk benda dari logam
Sedasi pada anak perlu dilakukan jika tidak dapat mentoleransi rasa sakit dan takut.
Serangga dalam liang telinga biasanya diberikan lidocain atau minyak, lalu diirigasi
dengan air hangat.
Setelah benda asing keluar, diberikan antibiotik tetes selama lima hari sampai seminggu
untuk mencegah infeksi dari trauma liang telinga.

Pencegahan
Usaha pencegahan
Kebiasaan terlalu sering memakai cottonbud untuk membersihkan telinga sebaiknya
dijauhi karena dapat menimbulkan beberapa efek samping: kulit teling kita yang
ditumbuhi bulu-bulu halus yang berguna untuk membuat gerakan menyapu kotoran di
telinga kita akan rusak, sehingga mekanisme pembersihan alami ini akan hilang. Jika
kulit kita lecet dapat terjadi infeksi telinga luar yang sangat tidak nyaman dan
kemungkinan lain bila anda terlalu dalam mendorong Cottonbud, maka dapat melukai
atau menembus gendang telinga.
Hindarkan memberi mainan berupa biji-bijian pada anak-anak, dapat tejadi bahaya di
atas atau juga dapat tertelan dan yang fatal dapat menyumbat jalan nafas.

Anda mungkin juga menyukai