Anda di halaman 1dari 76

PERUBAHAN OTOT MENJADI DAGING

Sumber: Principles of Meat Science 4th Ed. (2001) dan Lawrie’s Meat Science 7th Ed. (2017)

Schematic diagram showing the general structure of skeletal muscles. From Listrat,
A., Lebret, B., Louveau, I., Astruc, T., Bonnet, M., Lefaucheur, L., Bugeon, J., 2016. How muscle
structure and composition influence meat and flesh quality. Scientific World Journal.
http://doi.org/
10.1155/2016/3182746.
Dr. drh. Doddi Yudhabuntara
Departemen Kesehatan Masyarakat Veteriner
Fakultas Kedokteran Hewan UGM
TA 2020/2021
DR. DRH. DODDI YUDHABUNTARA
Tujuan pembelajaran
Menjelaskan perubahan fisik dan kimiawi yang
terjadi selama perubahan otot menjadi daging
Mengidentifikasi faktor2 antemortem dan
postmortem yang mempengaruhi perubahan otot
menjadi daging
Efek faktor2 tersebut pada kualitas daging

DR. DRH. DODDI YUDHABUNTARA


Perkembangan industri daging membutuhkan metode untuk mengontrol
kualitas dan keseragaman produk akhir

Perlu mengetahui penyebab variasi kualitas daging

Variasi kualitas daging disebabkan sebagian besar oleh perubahan yang terjadi
setelah penyembelihan

DR. DRH. DODDI YUDHABUNTARA


Otot tidak secara tiba2 berubah menjadi daging

Ada berbagai proses perubahan fisik dan kimia yang


berlangsung selama beberapa jam atau hari

Proses tersebut dinamakan “perubahan otot menjadi


daging”

DR. DRH. DODDI YUDHABUNTARA


Pada keadaaan hidup, seluruh organ dan sistem bekerja
sama untuk memelihara lingkungan internal agar
masing2 organ dan sistem dapat berfungsi secara efisien
Fungsi di atas hanya dapat terjadi dengan kondisi
fisiologis tertentu (pH, suhu, konsentrasi oksigen, suplai
energi)
“Pemeliharaan keseimbangan fisiologis lingkungan
internal” disebut sebagai HOMEOSTASIS
Mekanisme diatur oleh sistem saraf dan kelenjar
endokrin

DR. DRH. DODDI YUDHABUNTARA


Konsep homeostasis penting karena:

◦ Banyak reaksi dan perubahan yang terjadi pada proses


konversi adalah akibat langsung dari homeostasis
◦ Kondisi saat prapenyembelihan dapat mempengaruhi
perubahan postmortem dan kualitas daging (contoh:
pengangkutan hewan, penanganan, pemingsanan)

DR. DRH. DODDI YUDHABUNTARA


IMOBILISASI DAN
EKSANGUINASI
Merupakan langkah pertama dalam proses
penyembelihan secara konvensional, yaitu
mengeluarkan darah sebanyak2nya dari tubuh.
Awal dari berbagai perubahan postmortem dalam otot.
Pemompaan darah oleh jantung meningkat.
Pembuluh darah perifer konstriksi agar tekanan dan
jumlah darah di organ vital stabil
Hanya sekitar 50% volume darah yang dapat dikeluarkan
sehingga perlu diperhatikan.
DR. DRH. DODDI YUDHABUNTARA
PERUBAHAN FISIK DAN
KIMIAWI OTOT POSTMORTEM
Pada waktu tidak ada lagi suplai oksigen, maka
metabolisme aerobik melalui siklus asam
trikarboksilat dan rantai transport elektron akan
mengalami kegagalan.
Untuk mempertahankan homeostasis, maka
metabolisme energi berubah menjadi jalur
anaerobik. Jadi ada mekanisme homeostatik
sebagai sumber alternatif energi untuk otot

DR. DRH. DODDI YUDHABUNTARA


Pada hewan hidup, asam laktat hasil metabolisme
anaerobik, dibawa dari otot ke hati, lalu diolah kembali
menjadi glukose dan glikogen, atau dibawa ke jantung
untuk dimetabolisasi menjadi karbon dioksida dan air
Tetapi pada pada kondisi tidak ada lagi sirkulasi darah,
maka metabolit tidak lagi dapat dipindahkan, sehingga
asam laktat tetap berada di otot dan semakin
bertambah selama waktu postmortem –terus
berakumulasi sampai cadangan glikogennya habis.

DR. DRH. DODDI YUDHABUNTARA


PENURUNAN pH OTOT
Ciri khas perubahan postmortem  penurunan pH
akibat akumulasi asam laktat – bervariasi akibat
berbagai faktor

Penurunan pH normal pada babi (lihat Gambar 1)

DR. DRH. DODDI YUDHABUNTARA


Gambar 1 .The influence of rate and extent of postmortem pH decline and
meat quality characteristics. (Sumber: Lawrie’s Meat Science. Eight Edition,
2017)

DR. DRH. DODDI YUDHABUNTARA


Akumulasi asam laktat pada periode awal
postmortem dapat sangat mempengaruhi kualitas
daging.
pH sangat rendah dalam otot sebelum suhu tubuh
dan panas akibat metobolisme hilang melalui
pendinginan karkas  denaturasi protein

Temperatur punya peran penting dalam denaturasi


 otot dapat mencapai pH rendah (5,2-5,4) bila
didinginkan dengan baik, tanpa mengalami
denaturasi protein yang berlebihan

DR. DRH. DODDI YUDHABUNTARA


Protein otot spesies tertentu, lebih sensitif
terhadap denaturasi. Proten otot ikan lebih labil
daripada mamalia ( protein otot ikan
terdenaturasi pada suhu rendah dan pH lebih
tinggi)
Akibat denaturasi protein:
◦ Hilangnya kelarutan (solubilitas) protein
◦ Hilangnya daya ikat air dengan protein
◦ Hilangnya intensitas warna pigmen otot

tidak disukai sebagai daging segar, maupun untuk


proses selanjutnya
DR. DRH. DODDI YUDHABUNTARA
Otot yang mengalami penurunan pH sangat cepat
dan/atau ekstensif  pucat, daya ikat air rendah 
irisan nampak sangat basah  pale,soft, eksudatif
(PSE)
Otot yang mengalami pH tinggi selama perubahan
otot menjadi daging  berwarna gelap, permukaan
irisan sangat kering (= air terikat erat dengan
protein)  dark, firm, dry (DFD)

DR. DRH. DODDI YUDHABUNTARA


PRODUKSI DAN KEHILANGAN PANAS
Eksanguinasi  sistem sirkulasi berhenti 
hilangnya mekanisme penting untuk kontrol
temperatur otot  panas tidak dapat dibawa dari
bagian dalam tubuh ke paru-paru dan permukaan
tubuh untuk dihilangkan.

Panas akibat metabolisme yang tetap berlangsung -


 kenaikan temperatur otot setelah eksanguinasi

DR. DRH. DODDI YUDHABUNTARA


Perubahan temperatur otot bergantung pada laju
dan lamanya produksi panas metabolik

Gambar 2. Perubahan temperatur otot dan laju metabolisme Sumber: http://qpc.adm.slu.se/

DR. DRH. DODDI YUDHABUNTARA


RIGOR MORTIS
Salah satu perubahan postmortem yang drastis saat
perubahan otot menjadi daging adalah kekakuan otot
setelah mati (rigor mortis).
Rigor mortis terjadi karena terbentuknya ikatan kuat
(cross bridges permanen) antara aktin dan myosin dalam
otot.
Beda ikatan aktin-myosin pada hewan hidup dan hewan
mati adalah pada hewan mati tidak lagi dapat relaksasi
karena ketiadaan energi untuk melepas ikatan tersebut.
Pada saat2 awal setelah eksanguinasi, otot masih dapat
meregang. Delay phase rigor mortis adalah saat otot
masih dapat meregang/memanjang (masih bersifat elastis
dan dapat memanjang.
DR. DRH. DODDI YUDHABUNTARA
Gambar 3. Schematic representation of structures within a striated muscle fiber. From Gou, W., Greaser, M.L., March
31, 2017. Muscle structure, proteins, and meat quality. In: Purslow, P.P. (Ed.), New Aspects of Meat Quality e From
Genes to Ethics. Woodhead Publishing. ISBN:
9780081005934 (Chapter 2), pp. 13e32, with permission.
Sumber: Lawrie’s Meat science, 2017

DR. DRH. DODDI YUDHABUNTARA


ATP dan Mg2+ diperlukan otot untuk tetap dalam kondisi
relaksasi.
Pada saat jumlah ATP sudah terbatas, maka otot menjadi berangsur-
angsur berkurang kemampuannya untuk dapat meregang  terjadi
onset phase rigor mortis, yaitu saat otot mulai kehilangan daya
regangnya (kehilangan ekstensibilitas)  terjadi sampai rigor mortis
selesai (yaitu ketika otot menjadi relatif tidak dapat meregang/mulur
lagi).
Tabel 1. Delay time sebelum onset rigor mortis
Spesies Jam
Sapi pedaging 6 – 12
Domba 6 – 12
Babi ¼-3
Kalkun <1
Ayam <½
Ikan <1

DR. DRH. DODDI YUDHABUNTARA


ASPEK-ASPEK BIOKIMIAWI
PERUBAHAN OTOT MENJADI
DAGING

DR. DRH. DODDI YUDHABUNTARA


Pada saat postmortem, terjadi perubahan fisik, biokimiawi,
dan energi yang menyebabkan perubahan/konversi otot
menjadi daging.
Proses terjadi segera setelah penyembelihan, saat
mekanisme homeostasis terganggu.
Pada saat hewan mati akibat eksanguinasi dan anoxia, otot
skeletal tetap melakukan sintesis dan penggunaan adenosin
trifosfat (ATP) untuk menjaga homeostasis seluler.
Sewaktu oksigen otot habis, glikogen dan komponen fosfat
energi tinggi yang ada dalam otot saat kematian, akan
dimetabolisme secara anaerobik untuk menghasilkan ATP .

DR. DRH. DODDI YUDHABUNTARA


Metabolisme anaerobik sangat kurang efisien untuk
menghasilkan ATP dibandingkan metabolisme aerobik.
Akibatnya laju hidrolisis ATP melebihi produksi ATP 
memicu onset rigor mortis.
Dengan berjalannya proses postmortem, lama-lama otot
kehilangan kemampuan untuk menghasilkan ATP dan
akhirnya semua molekul ATP habis.
ATP habis  miosin terikat ireversibel dengan aktin 
rigor mortis  hilangnya eksitabilitas dan ekstensibilitas
otot.
Lama waktu rigor mortis dapat 1 – 12 jam postmortem
(tergantung spesies, tipe serat otot, dan kondisi ante-dan
postmortem)
DR. DRH. DODDI YUDHABUNTARA
Selama penyimpanan postmortem (aging), degradasi
proteolitik protein sitoskleletal menyebabkan hilangnya
integritas structural otot, dan dengan demikian
mengurangi tegangan otot (= resolusi rigor mortis).
Perubahan signifikan lain yang terjadi dalam otot
postmortem dalam kondisi anaerobic, adalah asidifikasi
(pengasaman).
Produk akhir glikolisis postmortem dan hidrolisis ATP
adalah laktat dan ion hydrogen (H+), yang mengumpul
dalam otot akibat hilangnya mekanisme eliminasi.
Akibatnya pH otot berangsur-angsur turun dari 7,2 dalam
jaringan hidup ke pH ultimat mendekati 5,6.

DR. DRH. DODDI YUDHABUNTARA


Laju dan besarnya metabolisme akan secara signifikan
mempengaruhi perkembangan sifat kualitas daging.
Penurunan pH postmortem yang dipercepat, diperlama,
atau yang tidak cukup, akan sangat mempengaruhi warna
daging, tekstur, dan daya/kapasitas ikat air (water holding
capacity).
Faktor-faktor seperti kondisi lingkungan dan penanganan
pra dan pascapemotongan dapat sangat mengubah
penurunan pH postmortem.
Oleh karena itu, pemahaman tentang faftor-faktor yang
mengontrol laju dan besarnya metabolism postmortem
akan dapat meningkatkan kemungkinan untuk
menghasilkan produk berkualitas tinggi.

DR. DRH. DODDI YUDHABUNTARA


METABOLISME POSTMORTEM
Homeostasis Adenosin Trifosfat (ATP)
Otot skeletal merupakan jaringan yang dinamis serta
memiliki kemampuan untuk mengubah
metobolismenya sesuai kebutuhan.
Energi yang dibutuhkan oleh otot pada kondisi
beristirahat, relative rendah, tetapi dapat dengan cepat
meningkat 100 kali lipat pada saat beraktivitas tinggi.
Koenzim nukleotida ATP merupakan hal utama dalam
transfer energi seluler

DR. DRH. DODDI YUDHABUNTARA


Energi yang dibebaskan dari hidrolisis ikatan fosfat yang penuh
energi ATP digunakan untuk melakukan fungsi-fungsi transfer
energi seluler.

ATPase
ATP + H O  ADP + P + H+ + energi + panas
2 i

Fungsi-fungsi tersebut antara lain konstraksi otot,


transport ion aktif, sinyal sel, dan biosintesis
makromolekul.
 perlu mempertahankan homeostasis ATP
Otot skeletal tinggal punya simpanan ATP terbatas ( 5-8 umol/g
jaringan otot)  hanya cukup untuk mensuplai kebutuhan
selama beberapa detik  maka perlu menghasilkan ATP dengan
mekanisme lain yang mencakup katabolisme senyawa energi
cadangan dari karbohidrat dan lemak

DR. DRH. DODDI YUDHABUNTARA


Banyak fungsi seluler yang sama ini bekerja terus
menerus selama perubahan otot menjadi daging, dan
pada dasarnya mencakup sintesis, hidrolisis, dan
ketersediaan ATP selama proses kematian jaringan.

Tiga jalur energi utama yang terjadi sewaktu otot


menghasilkan ATP:
◦ Sistem fosfagen
◦ Glikolisis
◦ Fosforilasi oksidatif

Pemahaman peran setiap jalur tsb merupakan hal yang


mendasar untuk memahami proses konversi otot menjadi
daging.

DR. DRH. DODDI YUDHABUNTARA


SISTEM FOSFAGEN
Pada awal metabolisme postmortem, konsentrasi ATP otot tetap stabil melalui
penggunaan senyawa fosfat energi tinggi (=fosfokreatin/PCr). PCr (atau kreatin
fosfat) bertindak sebagai sumber energi yang dengan cepat menyangga level ATP
selama ada kebutuhan energi.

Enzim kreatin kinase (CK) mengkatalisis transfer reversible fosfat anorganik (Pi) dari
dari PCr menjadi adenosin difosfat (ADP), untuk menghasilkan ATP dan kreatin.
Sementara waktu kondisi istirahat, reaksi tsb cenderung membentuk PCr, maka
selama ada kebutuhan tinggi ATP, PCr terdegradasi dan energi yang dibebaskan
dipakai untuk menghasilkan ATP dari ADP.

Karena cadangan PCr otot juga terbatas ( ~ 25 umol/g jaringan otot), maka PCr
hanya dapat menyediakan ATP seluler postmortem selama waktu yang singkat.

DR. DRH. DODDI YUDHABUNTARA


CK merupakan satu dari tiga enzim yang membentuk sistem fosfagen,
bersama dua enzim lainnya, yaitu adenosin monofosfat deaminase
(AMPD) dan adenilat kinase (AK).

Gambar 3. Contribution of the phosphagen system to ATP and H+


production. AK, adenylate kinase; AMPD, AMP deaminase; CK, creatine
(Sumber: Lawrie’s Meat Science. Eight Edition, 2017)
kinase.

DR. DRH. DODDI YUDHABUNTARA


Segera sewaktu mayoritas PCr telah terdegradasi, laju
hidrolisis ATP nampaknya melebihi laju resintesis, dan
membentuk ADP yang berlebihan  aktivasi enzim AK 
menyangga turunnya ATP dengan mengubah 2 molekul ADP
menjadi ATP dan adnosin monofosfat (AMP).
Selanjutnya AMP di-deaminasi oleh enzim APMD,
membentuk inosin monofosfat (IMP) yang berakumulasi di
otot.
Reaksi AMPD penting untuk mengubah keseimbangan reaksi
AK menuju pembentukan ATP.
Meskipun demikian, deaminasi AMP bertanggungjawab
bagi turunnya jumlah total kumpulan adenin nukleotida
(ATP, ADP, dan AMP), karena IMP tidak mampu
berkontribusi dalam sintesis ATP

DR. DRH. DODDI YUDHABUNTARA


Penting untuk diingat bahwa produksi H+ dalam sistem
fosfagen selama metabolisme postmortem adalah nol.
Proton yang dibebaskan melalui hidrolisis ATP dalam
sistem fosfagen, akan dipakai oleh reaksi CK dan AMPD.
Meskipun demikian, metabolit yang dihasilkan oleh sistem
fosfagen (AMP,ADP, Pi) berfungsi sebagai aktivator untuk
enzim pembatas kecepatan (rate-limiting enzymes) dalam
jalur glikolitik.
Peningkatan konsentrasi AMP melalui penguragan
aktivitas AMPD akan meningkatkan laju dan tingkat
glikolisis. Sebaliknya, perubahan total konsentrasi
kumpulan kreatin otot (PCr + kreatin) terkait dengan pH
ultimat yang lebih tinggi dan peningkatan kualitas daging
(England et al., 2015).

DR. DRH. DODDI YUDHABUNTARA


Glikogenolisis dan glikolisis
Kemampuan sistem fosfagen untuk menyediakan
ATP postmortem terbatas pada ketersediaan PCr
dan adenin nukleotida pada saat penyembelihan.
Sewaktu konsentrasi PCr menurun di bawah 4
umol/g otot, katabolisme glikogen melalui
glikogenolisis (degradasi glikogen) dan glikolisis
menjadi jalur utama produksi ATP.
Glikogen merupakan bentuk cadangan utama
karbohidrat dalam otot skeletal, dan merupakan 1 -
2 % dari total massa otot.

DR. DRH. DODDI YUDHABUNTARA


Glikogen ada dalam bentuk granula (10-40 nm)
dalam sarkoplasma serat otot yang mengandung
enzim yang dibutuhkan untuk glikogenolisis.
Degradasi (pemecahan) glikogen membutuhkan
aksi kombinasi dua enzim: glikogen fosforilase (GP)
dan glycogen debranching enzyme (GDE).
Glukose 6-fosfat yang diperoleh melalui
glikogenolisis, sebagai tambahan pada glukose 6-
fosfat yang tersimpan dalam otot, dapat langsung
memasuki jalur glikolitik: sekuens 10 reaksi yang
semuanya terjadi dalam sarkoplasma serat otot
(Gambar 4.)

DR. DRH. DODDI YUDHABUNTARA


Gambar 4. The glycolytic pathway. GAPDH, glyceraldehyde 3-phosphate dehydrogenase;
PFK-1, phosphofructokinase-1; PGI, phosphoglucose isomerase; PGK, phosphoglycerate
kinase;
PGM, phosphoglycerate mutase; PK, pyruvate kinase; TPI, triosephosphate isomerase. (Sumber:
Lawrie’s Meat Science. Eight Edition, 2017)
DR. DRH. DODDI YUDHABUNTARA
PERAN MITOKHONDRIA
Mitokhondria sering diacu sebagai pabrik tenaga untuk sel,
karena merupakan tempat mayorits ATP seluler diproduksi
melalui proses yang disebut fosforilasi oksidatif.
Penghentian kiriman oksigen ke otot setelah
penyembelihan, menghalangi kemampuan mitokhondria
untuk memproduksi ATP melalui fosforilasi oksidatif. Oleh
karena itu, mitokhondria sering dianggap tidak relevan
dalam proses konversi otot menjadi daging.
Mitokhondria tidak “mati” segera setelah postmortem,
tetapi tetap mempertahankan fungsi dan integritas
strukturalnya selama beberapa jam.
Oleh karena itu, mitokhondria dapat mempengaruhi metabolisme postmortem
dengan mengubah sifat-sifat biokimiawi dan energetik otot.
Mitokhondria juga terlibat dalam homeostasis Ca2+ , apoptosis (kematian sel), dan
stabilitas warna daging.

DR. DRH. DODDI YUDHABUNTARA


FAKTOR-FAKTOR YANG
MENGATUR LAJU
METABOLISME POSTMORTEM
Laju penurunan pH selama perubahan otot
menjadi daging mencirikan intensitas metabolisme
postmortem.
Biasanya pH berangsur turun dari sekitar 7,2
menjadi 5,8 dalam waktu 8 jam postmortem.
pH ultimat sekitar 5,6 dicapai dalam waktu 24 jam

DR. DRH. DODDI YUDHABUNTARA


Laju penurunan pH dipengaruhi banyak faktor,
antara lain:
◦ Spesies
◦ Genetik
◦ Tipe serat otot
◦ Kondisi penanganan ante dan postmortem

Secara umum, laju penurunan pH postmortem


berbeda di antara daging spesies, dengan urutan sbb:
unggas > babi > sapi > domba

Hidrolisis ATP oleh ATPase otot mendorong laju


metabolisme postmortem.

DR. DRH. DODDI YUDHABUNTARA


Sistem enzim yang ada dalam otot antara lain:
◦ Myosin ATPase
◦ Sarcoplasmic reticulum Ca2+ ATPase
◦ Na+/K+ ATPase
◦ Mitochondrial ATPase

Myosin merupakan protein terbanyak dalam otot ---


myosin ATPase ditetapkan sebagai ATPase terbanyak
yang berperan dalam hidrolisis ATP postmortem.

DR. DRH. DODDI YUDHABUNTARA


FAKTOR-FAKTOR YANG MENGATUR
TINGKAT METABOLISME
POSTMORTEM
Tingkat asidifikasi postmortem merupakan kunci utama
yang menentukan perkembangan kualitas daging, yaitu
mempengaruhi:

warna daging, tekstur, daya ikat air (water


holding capacity), daya simpan/keawetan (shelf
life)

DR. DRH. DODDI YUDHABUNTARA


pH ultimat normal daging berkisar antara 5,5 – 5,7 (=
sifat daging yang paling diinginkan).
Daging dengan pH 6,0 atau lebih  Nampak berwarna
lebih gelap,dan shelf lifenya lebih singkat.
Daging dengan pH < 5,4 memiliki warna pucat, daya ikat
air rendah, daya ekstraksi protein berkurang, dan buruk
untuk proses lebih lanjut.
Secara luas, pH ultimat ditetapkan sebagai indikator
kualitas daging segar.

DR. DRH. DODDI YUDHABUNTARA


pH ultimat daging merupakan fungsi dari banyak faktor
(lihat Gambar ). Meskipun demikian, tidak satupun faktor
yang cukup untuk memprediksi lebih dari 50% variasi
dalam pH ultimat.

Gambar . Working model of the factor controlling the extent of postmortem metabolism
(Sumber: Lawrie’s Meat Science. Eight Edition, 2017)
DR. DRH. DODDI YUDHABUNTARA
Pemahaman mengenai faktor2 yang menentukan pH
ultimat merupakan kunci untuk memperkecil variasi
dalam kualitas daging.
Mobilisasi glikogen secara anaerobik selama
metabolism postmortem, akan memicu penurunan pH
--- fungsi kandungan glikogen pada saat
penyembelihan (= pH otot hendaknya terus menurun
selama masih ada glikogen dalam otot). Tetapi,
ternyata tidak seperti itu kenyataannya.
Pada spesies terentu, glikolisis postmortem biasanya
berhenti sewaktu ada glikogen sisa (residual glycogen)
dalam otot.
Hubungan antara kandungan glikogen dengan pH
ultimat adalah kurvilinier, dan bukan linier
DR. DRH. DODDI YUDHABUNTARA
pH ultimat berkurang sewaktu glikogen bertambah hingga
mencapai puncaknya.
Henckel et al (2002) menemukan bahwa tingkat
penurunan pH ditentukan oleh kandungan glikogen,
asalkan level glikogen menurun dan berada di antara 0 - 53
umol/g otot. Penambahan level glikogen selanjutnya di
atas 53 umol/g tidak terkait dengan penurunan pH lebih
lanjut.
Van Leck et al. (2001) menyatakan bahwa perbedaan
kadar glikogen otot hanya menentukan 40% variasi dalam
pH ultimat.

DR. DRH. DODDI YUDHABUNTARA


Berhentinya metabolisme postmortem akibat adanya
residual glikogen dan intermediat glikolitik
mengindikasikan adanya mekanisme biokimiawi lain yang
mempengaruhi penentuan pH ultimat.
Ada dua hipotesis:
◦ Inaktivasi mediasi pH terhadap satu atau lebih enzim
glikolitik, dan/atau
◦ Hilangnya nukleotida adenin melalui sistem fosfagen.

DR. DRH. DODDI YUDHABUNTARA


METABOLISME POSTMORTEM
YANG ABNORMAL
DAGING YANG PUCAT, LUNAK, DAN BERAIR (PALE,
SOFT, AND EXUDATIVE MEAT)
PSE adalah istilah untuk daging yang berwarna pucat tidak normal,
tekstur lunak, dan tidak lagi mampu menahan air.
Penyebabnya adalah metabolisme yang terlalu cepat segera setelah
penyembelihan pada waktu suhu karkas masih tinggi. pH daging PSE
turun ke level pH ultimat daging dalam jam-jam pertama postmortem.
Aksi kombinasi pH rendah dan suhu tinggi menyebabkan denaturasi
ekstrim banyak protein sarkoplasmik dan myofibriler dalam otot.
Perlu dicatat bahwa laju penurunan pH terkait daging PSE tidak lalu
menghasilkan daging dengan pH ultimat yang lebih rendah.

DR. DRH. DODDI YUDHABUNTARA


Seleksi intensif untuk memperoleh berat badan dan daging
yang lebih banyak dari babi dan unggas --- pergeseran serat
otot ke arah lebih berjenis serat glikolitik.
Otot glikolitik babi dan unggas menunjukkan glikolisis yang
cepat dan dengan demikian rentan terhadap PSE.
Karena tingginya kejadian (40 %), PSE menjadi salah satu
tantangan yang dihadapi industri daging babi dan unggas.
Perkembangan PSE disebabkan:
◦ Faktor genetik
◦ Stresor prapenyembelihan (stressor lingkungan, penanganan
buruk, pencampuran dengan hewan yang tidak dikenal).

DR. DRH. DODDI YUDHABUNTARA


Kondisi stres  sistem saraf simpatetik  sekresi epinefrin
dari medulla adrenalis .
Pada babi, daging PSE sering terkait dengan porcine stress
syndrome (PSS).
Babi PSS kurang mampu beradaptasi pada stressor
lingkungan  konstraksi otot yang parah, kenaikan suhu
dengan cepat, cardiac arrest, dan kematian.
PSE pada unggas berasosiasi dengan stress antemortem
dan khususnya stress panas yang dapat menyebabkan
percepatan metabolisme postmortem. Pendinginan karkas
yang tidak tepat dapat menyebabkan PSE pada unggas.
Meminimalisasi stress selama penanganan dan transport,
serta optimalisasi kondisi pendinginan, dapat mengurangi
kejadian PSE pada unggas.
DR. DRH. DODDI YUDHABUNTARA
Acid meat (Daging asam)
Mutasi genetic babi yang menyebabkan pH uktimat
rendah (daging asam, pH < 5,4) adalah AMPK Ƴ3R200Q ,
dikenal sebagai mutase Rendement Napole (RN-).
Mutasi ini terutama dijumpai babi Hampshire 
penambahan 100 % peningkatan kandungan glikogen
dan meningkatkn kemampuan oksidatif mitokhondrial
dalam otot glikolitik.

DR. DRH. DODDI YUDHABUNTARA


Daging DFD (dark, firm, dry)
Daging DFD atau daging irisan gelap merupakan daging
berkualitas cacat , terutama pada sapi pedaging dan
domba serta babi.
Daging DFD berwarna abnormal gelap, tekstur keras, dan
permukaannya lengket.
Kondisi ini akibat defisiensi glikogen otot dan dampak dari
stress prapenyembelihan.
Glikogen sedikit  metabolisme postmortem berhenti awal
 membatasi penurunan pH (pH ultimat > 6).

DR. DRH. DODDI YUDHABUNTARA


Warna daging berkorelasi dengan pH ultimat:
◦ Warna menjadi lebih gelap sewaktu pH meningkat dari 5,8 ke
7
pH ultimat tinggi  meminimalisasi kehilangan pigmen daging
dan denaturasi  peningkatan absorbsi cahaya  daging
nampak lebih gelap.
Daging dengan pH ultimat meningkat  daya ikat air lebih
tinggi  peningkatan muatan negatif protein  mengikat air.

Meskipun daya ikat air yang tinggi membuat daging DFD


menjadi bahan mentah yang superior untuk produk olahan
daging, tetapi sulit dijual eceran dan lebih peka terhadap
pembusukan oleh bakteri  kesulitan utama industri daging.

DR. DRH. DODDI YUDHABUNTARA


Stres antemortem yang berkepanjangan  degradasi
glikogen untuk memenuhi kebutuhan akibat stres.
Kondisi DFD berkembang ketika hewan gagal
mengembalikan cadangan glikogen sebelum
penyembelihan.
Hal ini terkait level glukose darah yang relatif rendah karena
sangat sedikit yang diabsorbsi di traktus gastrointestinalis
 potensi kejadian DFD.
Sapi pemakan rumput lebih peka DFD dibandingkan sapi
pemakan biji2an.
Sapi yang diberi konsentrat  peningkatan produksi asam
lemak volatil propionat (=prekursor utama glukoneogenesis
hepatik  meningkatkan kemampuan deposit glikogen
dalam otot.
DR. DRH. DODDI YUDHABUNTARA
STRES PRAPENYEMBELIHAN
Hewan stress prapenyembelihan  kualitas daging turun.
Waktu (timing) stress prapenyembelihan dan durasi 
kualitas daging.
Problem akibat stress timbul dari:
◦ Stres akut sesaat sebelum penyembelihan
◦ Stres kronis.
Hormon stress epinefrin  reaksi biokimia  mobilisasi
energi.
Epinefrin mengubah GP (glikogen fosforilase)  bentuk aktif 
GP memobilisasi cadang glikogen otot  ATP.

DR. DRH. DODDI YUDHABUNTARA


Stres akut  aktivasi GP  akselerasi glikolisis postmortem
 penurunan pH  PSE.
Stres kronis  aktivasi enzim yang memetabolisasi glikogen
 cadangan glikogen habis  pH ultimat tinggi.

Transport dan Pengistirahatan


Transportasi  stress (pencampuran, suhu dingin/panas,
lingkungan lembab, ventilasi buruk, penanganan)

Kesejahteraan dan Kualitas daging

DR. DRH. DODDI YUDHABUNTARA


Perlu diistirahatkan

Otot mampu menghilangkan H+ yang dihasilkan selama


stress dan mengisi kembali cadangan glikogen. Glikogen
berasal dari mobilisasi cadangan glikogen dalam hepar

DR. DRH. DODDI YUDHABUNTARA


Puasa
Selama pengistirahatan, hewan diberi minum,
tanpa pakan
Maksud dan tujuan puasa:
◦ Membatasi isi perut risiko robeknya usus 
kontaminasi karkas
◦ Mengurangi kandungan glikogen dalam otot

Nampak bertentangan dengan masalah DFD


Tetapi, pada babi dan unggas glikogen disimpan secara
regular di otot dengan konsentrasi tinggi dari yang
diperlukan untuk menghasilkan penurunan pH.

DR. DRH. DODDI YUDHABUNTARA


Setelah transportasi atau stressor lain  hepar
mampu dengan cepat mengisi kembali cadangan
glikogen ke level normal dalam otot babi dan
unggas.
Jadi, untuk melindungi terhadap stres akut
sebelum penyembelihan, level glikogen dapat
dikurangi untuk membatasi penurunan pH.
Puasa 24 jam bermanfaat, tetapi lebih dari 24 jam
tidak ada manfaat lebih lanjut.

DR. DRH. DODDI YUDHABUNTARA


Pemingsanan (stunning)
Pemingsanan:
◦ hewan tidak sadar
◦ Hewan tidak nyeri, tapi kerja jantung tetap ada 
pengeluaran darah

Macam2 metode pemingsanan:


Metode fisik: 1)captive bolt (penetrating stunning);
2)konkusif (non penetrating stunning)  digunakan
untuk hewan besar (sapi)
Pemingsanan elektrik atau karbon dioksida (CO2) 
babi dan unggas.

DR. DRH. DODDI YUDHABUNTARA


Bukti (walau mekanisme belum jelas)
menunjukkan, metode pemingsanan  kualitas
daging di spesies tertentu.

Stunning CO2 mengurangi dripp loss pada babi,


dibandingkan stunning elektrik  kemampuan
tegangan listrik untuk menginisiasi konstraksi otot
dan mempercepat laju penurunan pH.

Eksanguinasi setelah pemingsanan harus segera 


menghindari blood splash (percikan darah dalam
daging).

DR. DRH. DODDI YUDHABUNTARA


PERKEMBANGAN SIFAT
KUALITAS DAGING
Kualitas bawaan otot dan kondisi ekstrinsik selama
penyembelihan perkembangan kunci kualitas
daging segar: daya ikat air (water holding
capacity/WHC), warna, tekstur.

Persepsi kesegaran daging dan tuntutan konsumen


(keputusan membeli)
Pengaruh penggunaan daging segar untuk proses lanjutan
Palatabilitas daging setelah dimasak
DR. DRH. DODDI YUDHABUNTARA
Daya/Kapasitas Ikat Air (Water Holding Capacity)
Otot mengandung 75% air (85% nya terikat dalam
jaringan protein myofibriler, atau di antara filamen tebal
dan tipis; sisanya terdistribusi di antara myofibril, antara
sel-sel otot dan di antara fasikel).
Air bersifat dipolar  tertarik pada gugus bermuatan
listrik
1) Air terikat (bound water): erat berhubungan dengan
konstituen bermuatan (misal: gugus reaktif protein) dan
tidak mudah terlepas oleh kekuatan fisik.
2) Immobilized/entrapped water tertarik ke lapisan
bound water, dan yang paling terpengaruh oleh
perubahan fisik dan biokimiawi postmortem.
DR. DRH. DODDI YUDHABUNTARA
3) Air bebas (free water) melekat longgar dalam daging
karena daya kapiler yang lemah, sehingga tidak dapat
dicegah untuk mengalir keluar jaringan.

DR. DRH. DODDI YUDHABUNTARA


Perubahan struktural myofibril akan mempengaruhi
gerakan dan ikatan air selama konversi otot menjadi
daging.
Laju dan besarnya metabolisme postmortem serta
penurunan pH berhubungan erat dengan WHC.
Metabolisme postmortem terbatas dan pH daging
tetap tinggi  sifat protein serupa dengan otot hewan
hidup  WHC tinggi.
pH ultimat rendah  WHC turun
pH turun cepat pada saat otot masih hangat 
denaturasi protein dan solubilitas protein turun 
WHC turun  drip loss tinggi  daging PSE

DR. DRH. DODDI YUDHABUNTARA


Warna
Myoglobin  pigmen utama warna daging (80 -90%).
Protein lain seperti hemoglobin, sitokrom c 
pengaruhnya kecil.
Jumlah myoglobin dipengaruhi: spesies, umur, jenis
kelamin, dan otot.
Myoglobin spesies daging merah (sapi pedaging dan
domba) > babi > unggas.
Fungsi fisiologis myglobin: mengikat oksigen dan
membawannya ke mitokhondria otot (= jumlah myoglobin
berkaitan dengan kebutuhan metabolik dan fungsional
serat otot)

DR. DRH. DODDI YUDHABUNTARA


Jumlah myoglobin lebih besar dalam serat otot yang kaya
mitokhodria dan bersifat oksidatif  otot berwarna lebih
gelap.
Paha ayam mengandung lebih banyak serat oksidatif 
daging “dark/berwarna gelap”, dibandingkan otot dada
yang kurang bersifat oksidatif, dan lebih banyak otot
glikolitik  daging “white/putih”
Laju dan besarnya penurunan pH postmortem 
perkembangan warna daging dan berkaitan dengan
bagaimana air diikat dan didistribusikan dalam daging:
Daging PSE (=banyak air ekstraseluler  struktur lebih
terbuka  peningkatan pemantulan cahaya)

DR. DRH. DODDI YUDHABUNTARA


Presipitasi protein sarkoplasmik ke protein myofibriler 
warna pucat pada daging PSE.
Daging DFD  jumlah air intraseluler tinggi  peningkatan
absorbsi cahaya  warna gelap.

Tekstur
Sifat tekstur daging segar terkait dengan: struktur,
konsistensi, dan kenampakan permukaan irisan.
Terbukti pada daging PSE dan DFD, tekstur bervariasi
terkait engan penurunan pH postmortem dan ikatan air.
Daging PSE sangat lunak dan basah, dengan tekstur kasar
dan adanya separasi otot.

DR. DRH. DODDI YUDHABUNTARA


Daging DFD: struktur yang kokoh dan kaku sehingga
bentuknya tetap, dan teksturnya lengket karena WHC
tinggi.

Kualitas daging turun karena stres

Daging Dark Firm Dry (DFD) disebabkan


karena stres sebelum pemotongan

Daging babi normal

Daging babi Pale Soft Exudative (PSE)


disebabkan karena penanganan yang
menyebabkan stres sebelum
pemotongan

DR. DRH. DODDI YUDHABUNTARA


Tekstur juga dipengaruhi oleh faktor2 intrinsik dan tahapan
postmortem: lemak dan jaringan ikat.
Pada saat rigor, terjadi ikatan kuat (cross bridge) aktin-
myosin  mengurangi kemampuan meregang daging
(extensibility) dan meningkatkan kekakuan (rigidity).
Pendinginan  lemak di dalam dan di antara otot
membeku  peningkatan kekakuan.
Proteolisis (aging)  rigor berhenti  kekakuan hilang.
Jumlah dan kekuatan jaringan ikat (utamanya kolagen) 
mempengaruhi tekstur daging segar  faktor penting
dalam keempukan dan palatabilitas (kelezatan).

DR. DRH. DODDI YUDHABUNTARA


Adanya deposit marbling (lemak intramuskuler) yang tinggi
 melemahkan struktur jaringan ikat dan akan
meningkatkan keempukan

Sumber: Lawrie’s Meat Science, 2017)

DR. DRH. DODDI YUDHABUNTARA


PENANGANAN POSTMORTEM
DAN KUALITAS DAGING ---
TEMPERATUR
Temperattur otot segera setelah penyembelihan dan
pada awal postmortem  kualitas daging.
Umumnya, lebih disukai secara awal untuk menurunkan
suhu otot menurunkan aktivitas enzim dan membatasi
laju metabolisme guna melindungi fungsionalitas
protein (dan menghambat pertumbuhan
mikroorganisme)

DR. DRH. DODDI YUDHABUNTARA


Tetapi, pendinginan karkas yang terlalu cepat  berakibat
negatif pada kualitas  perbedaan suhu yang ekstrim
akan menstimulasi aktomiosin ATAase  pemendekan
otot (shortening) dan daging menjadi alot.

Thaw rigor dan cold shortening terkait dengan suhu otot


yang rendah sebelum onset rigor mortis. Ini terjadi ketika
otot dibekukan sebelum masuk ke tahap rigor, kemudian
di-thawing.
Cold shortening mirip thaw rigor, tetapi lebih ringan dan
terjadi ketika otot didinginkan pada suhu kurang dari 14
°C sebelum onset rigor.

DR. DRH. DODDI YUDHABUNTARA


Otot merah lebih peka terhadap cold shortening daripada
otot putih.
Spesies dengan delay time yang lebih lama sebelum onset
rigor, punya risiko lebih tinggi mengalami cold shortening
(sapi pedaging, domba).

Cara menghindari cold shortening: stimulasi listrik karkas


pada awal postmortem (mempercepat glikolisis dan
penggunaan ATP sehingga onset rigor terjadi awal dan
pada suhu lebih tinggi, dibandingkan dengan suhu yang
menyebabkan cold shortening).

DR. DRH. DODDI YUDHABUNTARA


Pemendekan otot  mempengaruhi keempukan dan
kelezatan daging yang dimasak.

Pendinginan yang membuat onset rigor pada suhu 15 –


20 °C akan optimal mencegah kejadian pemendekan otot.

DR. DRH. DODDI YUDHABUNTARA


AGING DAN PROTEOLISIS
Periode aging adalah waktu antara penyembelihan dan
konsumsi daging.
Aging  mengempukkan daging
Sapi pedaging dan domba butuh aging lebih lama daripada
babi dan unggas.
Pengempukan postmortem terkait dengan proteolysis
dengan bantuan enzim protease.

DR. DRH. DODDI YUDHABUNTARA


Sistem Kalpain
Sistem kalpain atau calcium-activated cysteine protease
merupakan protease utama untuk proses keempukan
postmortem.
Sistem kalpain juga terdiri dari protein tambahan, yaitu
kalpastatin, yang merupakan inhibitor u- dan m-kalpain
dengan menghambat aktivitasnya. Dengan penghambatan
aktivitas ini, inhibitor akan membatasi kemampuan u-
kalpain untuk membuat keempukan daging postmortem.
Kalpastatin meningkat  Keempukan daging menurun.

DR. DRH. DODDI YUDHABUNTARA


Bangsa sapi tertentu memiliki tingkat kalpastatin tinggi.
Contoh: Daging sapi Bos indicus (mis. Brahman) lebih
kenyal daripada Bos Taurus (mis. Angus)  akibat
aktivitas kalpastatin dalam otot B.indicus.
Pemberian hormon pemacu pertumbuhan (growth
promoter) misalnya beta-agonist, akan meningkatkan
level kalpastatin dalam otot dan mengurangi keempukan
daging.
u-kalpain dianggap sebagai protease yang berperan untuk
proteolisis postmortem. Meskipun demikian, bukti terkini
menunjukkan bahwa kaspase dan proteasome juga
berperan dalam pengempukan daging.

DR. DRH. DODDI YUDHABUNTARA


Sistem proteasome dan kaspase
Proteasome adalah protease yang mampu memecah
protein miofibriler dan protein sarkoplasmik menjadi
komponen-komponen aminonya. Meskipun demikian
perannya terbatas dalam pengempukan postmortem, bila
dibandingkan dengan u-kalpain.
Enzim kaspase merupakan keluarga protease yang
berperan dalam kematian seluler (apoptosis). Enzim
kaspase dapat berperan dalam memecah kalpastatin,
sehingga u-kalpain dapat mempertahankan aktivitasnya.

DR. DRH. DODDI YUDHABUNTARA

Anda mungkin juga menyukai