Anda di halaman 1dari 17

MAKALAH

MENGKAJI JURNAL ETNOMATEMATIKA

Disusun guna memenuhi tugas Mata Kuliah Etnomatematika

Dosen Pengampu : Alimatus Sholikhah, M.Pd

Disusun Oleh:

1. Vesti Alna Faura (261900


1)
2. Shinta Amelia (261902
9)
3. Moh. Syahmi Arif A (261903
9)
Kelas: A

JURUSAN TADRIS MATEMATIKA

FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI PEKALONGAN 2021


A. Eksplorasi Etnomatematika Rumah Gadang Minangkabau Sumatera
Barat
a) Latar belakang masalah
Pendidikan dan budaya adalah sesuatu yang tidak dapat dipisahkan dalam kehidupan
sehari-hari. Pendidikan merupakan kebutuhan dasar bagi setiap individu dalam
masyarakat sedangkan budaya merupakan kesatuan yang utuh dan menyeluruh yang
berlaku dalam suatu masyarakat, nilai dan idenya dihayati oleh sekelompok manusia
di suatu lingkungan hidup tertentu dan disuatu kurun waktu tertentu (Ratna, 2005).
Sedangkan menurut ilmu antropologi, budaya merupakan keseluruhan sistem gagasan,
tindakan, dan hasil karya manusia dalam kehidupan masyarakat yang dijadikan milik
diri manusia dengan belajar (Koetjaraningrat, 1985). Hal ini berarti bahwa hampir
seluruh aktivitas dan kegiatan manusia merupakan budaya atau kebudayaan karena
hanya sedikit sekali tindakan manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang tidak
memerlukan belajar dalam membiasakannya. Sedangkan ahli sejarah budaya
mengartikan budaya sebagai warisan atau tradisi suatu masyarakat. Ilmu matematika
sudah menjadi bagian dari kebudayaan manusia. Namun, sebagian besar masyarakat
sering tidak menyadari bahwa mereka telah menerapkan ilmu matematika dalam
kehidupan sehari-hari. Mereka memandang bahwa matematika hanyalah suatu mata
pelajaran yang dipelajari di bangku sekolah. Indonesia merupakan salah satu negara
yang memiliki berbagai macam kebudayaan, suku, ras, dan rumah adat. Salah satunya
adalah Sumatera Barat yang memiliki rumah adat yang disebut rumah adat
Minangkabau atau yang biasa disebut dengan Rumah Gadang. Rumah Gadang adalah
salah satu kekayaan budaya Indonesia yang perlu dilestarikan. Kini jumlah rumah
gadang yang terdapat di Sumatera Barat semakin lama semakin sedikit. Rumah
gadang banyak tersebar di daerah Sumatera Barat terutama yang terkenal di daerah
Batusangkar yaitu Rumah Gadang Istano Basa Pagaruyung dan di daerah Solok
Selatan yang disebut negeri 1000 rumah gadang. Rumah Gadang Istano Basa
Pagaruyung merupakan replika Istana Minagkabau. Bangunan Rumah Gadang
berbentuk sebuah rumah panggung berukuran besar dengan atap gonjong yang
menjadi ciri khas dari arsitektur tradisional Minangkabau. Rumah panggung besar ini
bertingkat tiga, dengan 72 tonggak yang menjadi penyangga utamanya. Terdapat 11
gonjong atau pucuk atap yang menghias bagian atas dari bangunan ini. Seluruh
dinding bangunan ini dihiasi oleh ornamen ukiran berwarna-warni yang secara total
terdiri dari 58 jenis motif yang berbeda. Bentuk atau motif ukiran ini ada yang
berbentuk melingkar atau persegi.Rumah Gadang didasarkan kepada perhitungan
jumlah ruang dalam bilangan yang ganjil dimulai dari tiga. Jumlah ruangan biasanya
ada tujuh tetapi ada juga yang jumlah ruangannya tujuh belas. Secara melebar, sebuah
Rumah Gadang dibagi dalam didieh, biasanya mempunya tiga didieh. Sebuah didieh
digunakan sebagai biliek (ruang tidur), sebuah ruangan yang dibatasi oleh empat
dinding yang bersifat khusus dan pribadi (Abdullah, et al 2015).

b) Tujuan penelitian
Untuk mengkaji dan menganalisis eksplorasi etnomatematika Rumah Gadang
Minangkabau Sumatera Barat agar diperoleh informasi dasar dalam pengembangan
ilmu etnomatematika terhadap pembelajaran matematika khususnya bidang geometri.

c) Artefak/objek budaya yg diteliti: Rumah Gadang.


d) Konsep matematika yang terkait dengan objek budaya
Bidang geometri khusus pada bentuk dan ukiran rumah gadang minangkabau.

e) Hasil dan pembahasan

 Bentuk Rumah Gadang Minangkabau


Bagi masyarakat Minang, rumah adat Minangkabau (rumah gadang) merupakan
simbol tradisi sekaligus tempat untuk melaksanakan berbagai aktivitas dan kegiatan
keluarga besar pemilik rumah atau lazimnya disebut satu perut (paruik). Mulai dari
proses perencanaan, pencarian bahan, tata cara membangun, pilihan model hingga
ornamen dekorasi rumah gadang mengandung makna dan falsafah. Konsep
matematika sebagai hasil aktivitas merancang bangunan, mengukur, memuat pola,
serta berhitung dapat diungkap dari pembuatan rumah adat. Bentuk dasarnya, rumah
gadang berbentuk persegi empat yang tidak simetris dan mengembang ke atas.
Atapnya melengkung tajam seperti bentuk tanduk kerbau, sedangkan lengkung badan
rumah Iandai seperti badan kapal. Bentuk badan rumah gadang yang segi empat yang
membesar ke atas (trapesium terbalik) sisinya melengkung ke dalam atau rendah di
bagian tengah. Jika dilihat dari sebelah sisi bangunan (penampang), segi empat yang
membesar ke atas ditutup oleh bentuk segi tiga yang sisi segi tiga itu melengkung ke
arah dalam, semuanya membentuk suatu keseimbangan estetika yang sesuai dengan
ajaran hidup mereka. Jika dilihat dari segi fungsinya, garis-garis rumah gadang
menunjukkan penyesuaian dengan alam tropis. Atapnya yang lancip berguna untuk
membebaskan endapan air pada ijuk yang berlapis-lapis itu, sehingga air hujan yang
betapa pun sifat curahannya akan meluncur cepat pada atapnya. Bangunan rumah
yang membesar ke atas disebut silek, membebaskannya dari terpaan tampias.
Kolongnya yang tinggi memberikan hawa yang segar, terutama pada musim panas. Di
samping itu, rumah gadang dibangun berjajaran menurut arah mata angin dari utara ke
selatan guna membebaskannya dari panas matahari serta terpaan angin. Jika dilihat
secara keseluruhan, arsitektur rumah gadang itu dibangun menurut syarat-syarat
estetika dan fungsi yang sesuai dengan kodrat atau yang mengandung nilai-nilai
kesatuan, kelarasan, keseimbangan, dan kesetangkupan dalam keutuhannya yang
padu. Dilihat dari bentuk rumah gadang, masyarakat Minangkabau telah
mengimplementasikan salah satu ilmu matematika, yaitu Geometri dalam
pembangunan bagian-bagian bangunan rumah adat diantaranya model bangun datar,
meliputi: persegi, persegi panjang, trapesium, segitiga, segitiga samakaki, segitiga
samasisi, segilima, lingkaran serta belah ketupat, model bangun ruang, meliputi:
kubus, balok, dan tabung, model sifat matematis, meliputi: sifat simetris, fraktal, dan
konsep tranlasi (pergeseran). Dalam segitiga siku-siku tersebut dapat ditentukan enam
buah perbandingan. Keenam perbandingan itu disebut perbandingan trigonometri
pada segitiga siku-siku. Dengan menggunakan konsep trigonometri tersebut kita dapat
menentukan berapa kemiringan sudut yang terbentuk pada tangga/jenjang baik dari
dasar (sudut elevasi) maupun dari dasar pintu (sudut delevasi).
 Ukiran Rumah Gadang Minangkabau
Dinding rumah gadang terbuat dari kayu dan bagian belakangnya terbuat dari bambu.
Kayu yang digunakan untuk membentuk dinding tersebut merupakan kayu pilihan.
Kayu tersebut di bentuk menjadi papan. Dinding yang terbuat dari papan tersebut di
pasang secara vertikal. Pada setiap sambungan antara papan yang satu dengan yang
lain diberi bingkai. Pada jendela dan pintu juga terdapat bingkai yang terbuat dari
papan. Bingkai tersebut di pasang dengan lurus. Semua papan dan bingkai ini
dipenuhi oleh ukiran. Tidak hanya pada dinding, jendela atau pintu saja, tiang rumah
gadang juga sering di ukir dengan berbagai macam gaya ukiran. Sehingga dapat
dikatakan, ukiran tersebut merupakan hiasan yang dominan dalam bangunan rumah
gadang minangkabau. Ukiran yang di bentuk tersebut merupakan ragam hiasan
bidang. Setiap ukiran pada bagian-bagian di rumah gadang mempunyai ciri khas dan
makna tersendiri. Ukiran tersebut juga merupakan sebuah karya seni di minangkabau.
Ukiran tersebut bersumber dari motif alam, yang berkaitan dengan falsafah alam yang
dianut oleh orang minangkabau. Bukan berarti ukiran tersebut dijadikan sebagai
bentuk kepercayaan atau sakral maupun sebagai bentuk pemujaan, tetapi ukiran
tersebut semata-mata di tampilkan sebagai karya seni yang bernilai hiasan. Konsep
matematika sebagai hasil aktivitas dalam membuat pola yang dapat diungkapkan dari
motif ukiran dinding rumah gadang diantaranya konsep lingkaran, garis lurus dan
garis lengkung, simetris, refleksi, dilatasi, translasi, serta rotasi. Pada dasarnya ukiran
Rumah Gadang merupakan ragam hias pengisi bidang dalam bentuk garis melingkar
atau persegi. Motif umumnya tumbuhan merambat, akar yang berdaun, berbunga dan
berbuah. Pola akar biasanya berbentuk lingkaran, akar berjajaran, berhimpitan,
berjalinan dan juga sambung menyambung. Cabang atau ranting akar berkeluk ke
luar, ke dalam, ke atas dan ke bawah. Disamping motif akar, motif lain yang dijumpai
adalah motif geometri bersegi tiga, empat dan genjang. Motif daun, bunga atau buah
dapat juga diukir tersendiri atau secara berjajaran. Beberapa unsur matematika lain
yang ada dalam pola ukiran ini antara lain megenai garis, antara lain: garis vertikal
dan horizontal, garis sejajar, dan garis berpotongan. Selain itu, terdapat unsur simetris,
bangun datar seperti: persegi, segitiga, jajargenjang, lingkaran, dan belah ketupat.
Tanpa mempelajari teori tentang konsep matematika tersebut, masyarakat
Minangkabau telah menerapkan konsep matematika dalam kehidupan sehari-hari
menggunakan etnomatematika. Terbukti adanya bentuk etnomatematika masyarakat
minangkabau yang tercermin melalui berbagai hasil aktivitas dan kegiatan
matematika yang dimiliki dan berkembang di masyarakat minangkabau, meliputi: 1)
aktivitas membuat rancangan pembangunan rumah gadang; dan 2) aktivitas membuat
pola ukiran pada motif ukiran dinding rumah gadang. Hasil penelitian ini serupa
dengan penelitian yang dilakukan Rachmawati (2012) menunjukkan bahwa tanpa
mempelajari konsep matematika sebelumnya, masyarakat Sidoarjo telah menerapkan
konsep-konsep tersebut dalam kehidupan sehari-harinya menggunakan
etnomatematika. Terbukti adanya konsepkonsep matematika yang terkandung dalam
bangunan candi dan prasasti, satuan lokal masyarakat Sidoarjo, bentuk geometri
gerabah tradisional, motif kain batik dan bordir, serta permainan tradisional
masyarakat Sidoarjo.
f) Kelemahan artikel: Dalam pendahuluan ada beberapa pembahasan yang tidak
berhubungan dengan kalimat sebelum dan sesudahnya.
g) Penulis: Yulia Rahmawati. Z, Melvi Muchlian
h) Nama jurnal : Jurnal Analisa 5
i) Tahun terbit: 2019
j) Volume: 2
k) halaman: 124-136

B. Etnomatematika : Dalam Perspektif Budaya Madura

a) Latar belakang masalah


Pengintegrasian budaya dalam pembelajaran matematika dikenal dengan istilah
etnomatematika. Dalam etnomatematika, pembelajaran tentang matematika
menggunakan perspektif budaya yang terkait dengan berbagai aktivitas matematika
seperti mengelompokkan, berhitung, mengukur, merancang bangun, bermain,
menentukan lokasi dan lain sebagainya. Hal ini sesuai dengan pendapat D’Ambrosio
(dalam Dominikus dkk, 2014) yang menyatakan bahwa etnomatematika adalah
matematika yang dipraktekkan diantara kelompok budaya, seperti masyarakat,
kelompok buruh, anak-anak dari kelompok usia tertentu bahkan sampai sekelas
professional. Lebih lanjut D'Ambrosio juga mengungkapkan bahwa tujuan dari
etnomatematika adalah untuk menunjukkan bahwa dalam mengiterpretasikan
matematika terdapat berbagai macam cara dengan mempertimbangkan pengetahuan
matematika sekolah yang dikembangkan melalui berbagai sektor masyarakat, serta
dengan mempertimbangkan berbagai budaya yang mengandung praktik matematika.

b) Tujuan
Penelitian ini dilakukan untuk menemukan unsur-unsur matematika
(etnomatematika ) pada Budaya Madura.

c) Artefak /objek yg diteliti


Budaya-budaya Madura yaitu Karapan sapi, Saronen, Ta'tanji dll.

d) Konsep matematika yang terkait dengan objek :

 Karapan Sapi
Karapan sapi merupakan salah satu budaya khas Madura. Karapan sapi di Madura
berupa perlombaan pacuan sapi, dimana untuk satu nomor pacuan terdiri dari 2 ekor
sapi yang disatukan dengan menggunakan alat yang disebut dengan kaleles”. Pada
alat “kaleles” ini terdapat berbagai konsep matematika, diantaranya konsep
kesebangunan, konsep garis dan sudut, dan sebagainya.
 Saronen
Saronen adalah alat musik tiup yang berbentuk kerucut memanjang dengan beberapa
lubang berbentuk lingkaran yang berguna untuk memainkan danaSaat ini “saronen”
sering digunakan saat mengantarkan sapi yang akan ikut pacuan/ sapi ke garis start.
Pada alat “saronen” ini terdapat beberapa kandungan konsep matematika seperti
bangun datar (lingkaran), kerucut, dan sebagainya.
 Ta’ Tanji

 Pada permainan ini, pemain akan melompat dengan menggunakan satu kaki ke dalam
gambar yang berupa gabungan dari beberapa bangun datar dalam konsep matematika .
Denah gambar tersebut sangat bervariasi, tergantung desain dan kreativitas para
pemain. Termasuk juga bisa dibentuk seperti jaring-jaring bangun ruang tertentu.

e) Hasil dan pembahasan


Salah satu pendekatan pembelajaran yang berkembang saat ini adalah pembelajaran
berbasis budaya. Pada pendekatan pembelajaran ini, aktivitas pembelajaran lebih
mengutamakan pada aktivitas siswa dengan berbagai ragam latar belakang budaya
yang dimiliki. Pada pembelajaran berbasis budaya, pendekatan yang dapat dilakukan
dapat dibagi menjadi 3 (tiga) yaitu belajar tentang budaya, belajar dengan budaya, dan
belajar melalui budaya. Dalam kaitannya dengan pembelajaran berbasis budaya,
etnomatematika dapat dijadikan sebagai pendekatan pembelajaran matematika yang
mengintegrasikan unsur-unsur budaya dalam proses pembelajaran, termasuk dalam
hal penilaian hasil belajarnya. Melalui penerapan etnomatematika, guru dapat
mewujudkan pembelajaran kontekstual dan bermakna tentang matematika. Sehingga
etnomatematika sangat berpotensi untuk dikembangkan menjadi salah satu inovasi
dalam pembelajaran kontekstual, khususnya dalam pembelajaran matematika. Kajian
etnomatematika dalam pembelajaran matematika dapat mencakup segala bidang
seperti arsitektur, tenun, jahit, pertanian, tarian tradisional, permainan tradisional, kain
batik, hubungan kekerabatan, ornamen, kegiatan spiritual dan lain sebagainya.
Dalam penelitian ini dapat dipahami bahwa terdapat berbagai konsep, ide dan aktifitas
matematika dalam budaya, termasuk juga dalam budaya di Madura. Melalui
pendekatan etnomatematika pada pembelajaran matematika dapat memberikan makna
kontekstual bagi siswa. Dengan adanya bekal pengetahuan siswa tentang budaya yang
ada dilingkungan sekitarnya, akan membangkitkan daya pikir siswa yang cepat
tanggap dengan contoh nyata yang diambil sebagai studi kasus pada pembelajaran
matematika.Selain itu, dengan etnomatematika juga dapat menumbuh kembangkan
motivasi dan semangat belajar siswa terhadap pelajaran matematika. Karena siswa
menjadi benar-benar mengerti fungsi atau manfaat langsung ilmu matematika, serta
implementasinya dalam kehidupan sehari-hari. Dan pada akhirnya dapat membuat
kemampuan matematika siswa meningkat dalam pemecahan masalah.Dengan
pembelajaran matematika berbasis budaya (etnomatematika), akan memberikan
dampak yang simultan bagi siswa dalam mengenal budayanya dan sekaligus belajar
matematika. Para siswa akan semakin mereka menyenangi dan mencintai budayanya,
sehingga budaya daerah dapat dilestarikan

f) Kelemahan artikel
Menurut saya kelemahan artikel ini yaitu tidak menjelaskan secara detail bagian
mana yang termasuk ke dalam unsur etnomatematika. Tidak ada ucapan terimakasih
kepada pihak yang sudah membantu.

g) Penulis : Darwis Abrory

h) Nama jurnal : Indonesian Journal Of Mathematics and Natural Science Education.

i) Tahun Terbit: 2020

j) Volume: 1 no. 3

k) Hal : 182-192
C. Etnomatematika: Eksplorasi Kebudayaan Mbojo Sebagai Sumber Belajar
Matematika
a) Latar Belakang Masalah
Pembelajaran yang berbasis etnomatematika sangat relevan dengan teori konstruktivisme
yang dapat membantu siswa untuk meningkatkan pemahaman matematika dimana siswa
dapat menghubungkan pelajaran matematika dengan pengalaman dan pengetahuannya
(Novita et al., 2018; Supriadi, 2020). Pembelajaran matematika yang dikemas
berdasarkan permasalahan dan pengalaman sehari-hari siswa dapat menjembatani siswa
untuk lebih mudah memahami dan menemukan konsepbmatematika. Pada saat
memahami dan mengidentifikasi masalah siswa dapat menggali informasi yang sekiranya
dapat digunakan untuk menyelesaikan masalah matematika, sehingga situasi yang
disajikan dapat terselesaikan berdasarkan pemahaman siswa (Maryati & Pratiwi, 2019;
Pratiwi & Pujiastuti, 2020; Zayyadi, 2017).

Berdasarkan penjelasan para ahli di atas, bahwa pemanfaatan sumber budaya lokal sangat
efektif digunakan sebagai media pembelajaran matematika untuk meningkatkan kognitif
siswa. Akan tetapi kenyataannya di lapangan, masih banyak guru yang belum
memanfaatkan sumber budaya untuk dijadikan media pembelajaran matematika untuk
siswa sekolah dasar. Hal ini diketahui dari hasil pengamatan proses belajar mengajar yang
dilakukan dan hasil wawancara kepada guru. Guru hanya menggunakan buku panduan
yang diterbitkan oleh pemerintah tanpa adanya variasi pembelajaran dengan pemanfaatan
sumber budaya khususnya budaya sasak, bahkan guru tidak menyadari bahwa budaya
lokal sendiri banyak mengandung unsur matematika. Berdasarkan latar belakang tersebut,
maka tujuan penelitian ini untuk mendeskripsikan hasil eksplorasi etnomatematika
budaya sasak yang dapat dijadikan sebagai sumber belajar matematika.

b) Tujuan Penelitian:
Penelitian ini bertujuan untuk mengeksplorasi unsur budaya suku mbojo yang terdiri atas
rumah tradisional uma (rumah) lengge, tembe (sarung) nggoli, alat musik tradisional
genda, uma (rumah) jompa, dan kegiatan jual beli masyarakat suku mbojo di pasar.

c) Artefak/objek budaya yang diteliti:


Rumah tradisional uma (rumah) lengge, tembe (sarung) nggoli, alat musik tradisional
genda, uma (rumah) jompa, dan kegiatan jual beli masyarakat suku mbojo di pasar.
d) Konsep matematika yang terkait dengn objek:
Aplikasi Materi Bangun Datar Pada Tenun Sarung Nggoli (Tembe Nggoli) adalah belah
ketupat dan segitiga sama sisi.
Eksplorasi Etnomatematika pada Uma (Rumah) Jompa : Ada beberapa bagian uma jompa
yang dapat digunakan sebagai konteks dalam pembelajaran matematika. (Hikari &
Antariksa, 2017) menyatakan bahwa bangunan terbagi atas empat bagian yaitu wombo,
sarangge, ro, dan taja. Masing-masing bagian ini ditentukan lewat pembagian ruang
vertikal pada Uma Jompa. Bagian bangunan yang menjadi inti dari fungsi Uma Jompa
ada pada ro sebagai penyimpanan hasil panen.
Eksplorasi Etnomatematika pada kegiatan jual beli masyarakat Suku Mbojo adalah
membilang terdiri dari penjumlahan, pengurangan, perkalian, dan pembagian.
Penerapan materi pengukuran masyarakat mbojo tukang batu atau bangunan dan
pedagang ikan. Masyarakat mbojo biasanya menggunakan beberapa benda yang dianggap
dapat mewakili dari satuan atau menjadi alat ukut yang digunakan sebagai pengganti
satuan kg dan gram. Benda tersebut seperti embe (ember), mangkok (basi), boto (botol),
caka (jengkal) dan karoro (karung).

e) Hasil dan Pembahasan:


Matematika dan budaya adalah dua hal yang berkaitan erat. Tapi terkadang matematika
dilihatsebagai sesuatu yang tidak terkoneksi dengan kehidupan sehari-hari. Padahal dalam
mengajarkan matematika formal (matematika sekolah), guru sebaiknya memulai dengan
menggali pengetahuan matematika informal yang telah diperoleh siswa dari kehidupan
masyarakat di sekitar tempat tinggalnya. Lingkungan dapat menjadi sumber masalah
matematika dalam kehidupan nyata. Lingkungan tersebut salah satunya berupa budaya.
Matematika dalam budaya dikenal dengan istilah etnomatematika. Hasil penelitian berupa
warisan budaya seperti kain tradisional “ Tembe Nggoli”, rumah adat tradisional “Uma
Jompa”, dan kebiasaan matematika yang berkembang di masyarakat pada jual beli di
pasar masih diminati dan dijaga oleh masyarakat Suku Mbojo. Pembelajaran matematika
menggunakan objek etnomatematika dapat memperkaya aplikasi matematika yang ada di
sekitar siswa serta dapat memfasilitasi siswa memahami matematika yang bersifat abstrak
dengan menggunakan objek etnomatematika yang konkret.
Beberapa hasil penelitian terdahulu yang meneliti eksplorasi etnomatematika dalam suatu
kebudayaan tertentu yakni penelitian yang dilakukan oleh (Sumayani et al., 2020)
menunjukkan bahwa: (1) etnomatematika dalam budaya masyarakat di pesisir utara Pulau
Jawa berupa: (a) bangunan budaya (Menara Kudus), (b) bangunan non budaya, makanan
tradisional dan (c) motif batik, dan (2) berbagai bentuk etnomatematika di masyarakat
yang dipelajari berkaitan dengan konsep matematika yang dapat diintegrasikan ke dalam
kegiatan belajar-mengajar matematika baik di tingkat dasar maupun menengah. Hal ini
menunjukkan bahwa beberapa potensi budaya dapat digunakan sebagai sumber belajar
matematika sehingga membuat pembelajaran lebih bermakna.
Kemudian oleh (Risdiyanti, 2018) bahwa warisan budaya seperti batik masih diminati dan
dijaga oleh masyarakat Jawa orang-orang. Batik Yogyakarta tidak hanya memiliki motif
yang indah, namun mengandung filosofi yang penuh makna yang dalam dan ada doa dan
harapan di dalamnya. Apalagi juga dalam pembuatan motif ini diterapkan konsep
transformasi geometri seperti refleksi, translasi, rotasi, dan dilatasi. Pada motif batik,
mahasiswa desain dapat dengan mudah mempelajari konsep transformasi geometri
khususnya kepada siswa sekolah menengah pertama karena motifnya sudah tidak asing
lagi dalam kehidupan sehari-hari siswa. Untuk memudahkan siswa dalam melihat
keterkaitan konsep matematika dalam desain batik dapat dilakukan dengan cara membuat
rancangan pembelajaran menggunakan desain batik sebagai titik tolak dan kegiatan
menggambar motif batik membatik dan memperkenalkan konsep transformasi dalam
pembelajaran desain. Berdasarkan penelitian di atas menunjukkan bahwa penelitian
tentang eksplorasi etnomatematika memiliki potensi dan peluang untuk dikembangkan.
Indonesia yang memiliki banyak budaya memiliki peluang besar untuk dijadikan konteks
dalam pembelajaran matematika sehingga pembelajaran lebih bermakna.

f) Kelemahan artikel : Menurut saya kelemahan di artikel ini yaitu kurangnya penjelasan
mengenai arti dari etnomatematika yang merupakan tema dari pnelitian tersebut. Dan
tidak ada profil singkat dari penulis.
g) Penulis : Sutarto, Ahyansyah, Sukma Mawaddah, Intan Dwi Hastuti4

h) Nama jurnal: JP2M (Jurnal Pendidikan dan Pembelajaran Matematika)

i) Tahun terbit: 2021

j) Volume : 7 (1)

k) Halaman: 33-42
D. Etnomatematika Pada Budaya Masyarakat Nagekeo

a) Latar belakang masalah


Etnomatematika didefinisikan sebagai matematika yang digunakan oleh kelompok-
kelompok masyarakat/budaya, seperti masyarakat kota dan desa, kelompok-kelompok
pekerja/buruh, golongan profesional, anak-anak pada usia tertentu, masyarakat pribumi,
dan masihbanyak kelompok lain yang di kenali dari sasaran/tujuan dan tradisi yang umum
dari kelompok tersebut.
Etnomatematika merupakan matematika yang tumbuh dan berkembang dalam
kebudayaan tertentu. Budaya yang dimaksud disini adalah unsur budaya yang ada dalam
masyarakat. Seperti misalnya beberapa kebudayaan yang masih bertahan dan dilestarikan
hingga saat ini yakni kebudayaan di daerah kabupaten Nagekeo. Kebudayaan dipengaruhi
oleh berbagai macam faktor, faktor tersebut diantaranya yaitu letak geografis, mata
pencaharian, pola hidup, pola bercocok tanam dan kepercayaan yang dianut. Bentuk
Etnomatematika pada masyarakat Nagekeo dapat dilihat dari unsur-unsur budayanya
karena Nagekeo merupakan daerah dengan keragaman unsur budaya. Unsur-unsur budaya
Nagekeo yang mempunyai kaitannya dengan matematika yang akan diteliti yaitu po’o
kose (nasi bambu), te’e (tikar) dan menghitung jumlah hasil panen. Kita harusnya
meyakini bahwa sesungguhnya matematika itu ada disekitar kita karena matematika itu
ada dalam hampir seluruh aktivitas manusia. Seperti dalam aktivitas berkebun juga
demikian, sangat banyak mengandung aktivitas matematis yaitu menghitung banyaknya
hasil panen. Masyarakat Nagekeo biasa menghitung hasil panen kelapa dan jagung
dengan hitungan saliwu, saulu, dan sajara.
b) Tujuan penelitian:
Untuk mengetahui bagaimana etnomatematika pada budaya masyarakat Nagekeo.

c) Artefak/objek budaya yang diteliti:


Po’o kose (nasi bambu), te’e (tikar) dan menghitung jumlah hasil panen
d) Konsep matematika yang terkait dengan objek budaya:
Konsep tabung (po'o kose), persegi dan persegi panjang (te'e), dan konsep sifat-sifat
perkalian (mengjitung jumlah hasil panen)

e) Hasil dan pembahasan:


- Po’o kose merupakan suatu tradisi yang dilakukan masyarakat Nagekeo yaitu memasak
nasi dengan cara di panggang. Dalam tradisi po’o kose yang dilakukan di kabupaten
Nagekeo dengan menggunakan bambu, dimana bambu yang digunakan adalah bambu
yang tidak tua ataupun lebih muda tetapi sering disebut dengan pezi yaitu bambu yang
lebih muda. Bahan yang dibutuhkan dalam pembuatan po’o kose yaitu pezi atau bambu,
beras, santan kelapa, daging(jika ada), bumbu-bumbu penyedap rasa, pelepah pisang, dan
perlengkapan untuk membakar po’o kose. Po’o sendiri berarti wadah atau tempat yang
digunakan untuk menyimpan suatu barang. Kegunaan dari po’o dari zaman dahulu dan
masih berlaku hingga sekarang yaitu sebagai tempat menyimpan moke, sebagai pengganti
wadah/tempat air pada zaman dahulu, dan sebagai pengganti periuk. Dalam pembuatan
po’o kose ini, po’o sebagai wadah untuk menyimpan beras dan bahan lainnya. Tidak
semua bambu bisa di jadikan wadah. Karena ada jenis bambu yang biasa disebut bheto
yang sangat keras dan akan sangat tidak mungkin untuk dijadikan wadah. Bambu yang
digunakan adalah bambu yang tidak terlalu tua dan tidak terlalu muda agar bisa bertahan
dalam hal ini tidak mudah hangus saat dipanggang nanti. Bambu yang serindiri digunakan
dikenal dengan nama pezi yang berumur sekitar satu tahun. Ada juga bambu lain yang
bisa digunakan biasa disebut gu. Akan tetapi masyarakat lebih banyak menggunakan pezi.
Untuk ukuran po’o boleh sama boleh juga tidak. Tergantung keinginan kita atau juga
tergantung pezi yang tersedia. Namun jika ingin menggunakan ukuran, biasanya pezi
yang digunakan panjangnya 50-70 cm dan diameternya 5-7 cm. Kemudian untuk
perbandingan beras disesuaikan dengan ukuran pezi. Banyaknya beras biasanya untuk
satu po’o sekitar satu genggam atau satu gelas. Namun jika menggunakan pezi yang
ukuran panjangnya 50-70 cm dan diameternya 5-7 cm , biasanya beras yang dibutuhkan
sekitar 3 genggam atau 3 gelas.
Dari penjelasan panjang dan diameternya kita dapat menemukan bentuk matematikanya
yaitu tabung. Panjang dalam hal ini merupakan tingginya. Alasannya karena tabung
memiliki tinggi dan diameter. Jadi kita dapat menulisnya dalam kalimat matematika
yaitu:
Tinggi = 50 cm
Diameter = 5 cm
Berdasarkan penjelasan dan gambar diatas, po’o memiliki tinggi, alas, atap, selimut,
diameter, sehingga kita dapat melihat adanya sifat-sifat dari tabung. Sifat-sifatnya adalah
sebagai berikut:
1. Memiliki bagian alas dan bagian atas berbentuk lingkaran dan besarnya sama.
2. Memiliki 3 sisi yaitu alas, atap, dan bagian selimut
3. Tidak memiliki titik sudut.
4. Tabung memiliki 2 buah rusuk yaitu yang melingkari alas dan atasnya.
5. Tinggi tabung adalah garis tegak lurus yang menghubungkan pusat alas dan pusat
atasnya. Tinggi tabung dinyatakan sebagia t, sedangkan jari-jari alasnya dinyatakan dalam
r.

- Te’e merupakan tempat untuk duduk yang dibuat dengan cara dianyam. Anyaman
merupakan wujud kebudayaan yang termasuk dalam artefak. Artefak adalah wujud
kebudayaan fisik yang berupa hasil dari aktivitas, perbuatan, dan karya semua manusia
dalam masyarakat berupa benda-benda atau hal-hal yang dapat diraba, dilihat, dan
didokumentasikan. Menganyam merupakan warisan yang sudah turun temurun dari
leluhur kita. Salah satunya adalah anyaman tikar dari daun pandan. Warisan budaya ini
memberikan nilai tambah kepada Indonesia. Menjaga warisan budaya menjadi keharusan
bagi setiap generasi. Te’e atau tikar memiliki banyak fungsi antara lain digunakan sebagai
alas untuk duduk santai di rumah maupun di kebun, kemudian saat upacara adat dan
untuk menjemur hasil panen. Ada beberapa alat dan bahan yang diperlukan seperti daun
pandan atau ze’a, pisau, dan sanga. Ada 2 jenis ze’a yang bisa digunakan yaitu ze’a gala
dan ze’a biasa. Kebanyakan orang menggunakan ze’a biasa untuk membuat te’e.
Banyaknya ze’a disesuaikan dengan tikar yang akan dibuat. Jika tikar yang dibuat
berukuran 2×1,5 m dibutuhkan ze’a sebanyak 20 tege. Dimana 1 tege berisi 20 helai daun
pandan. Kemudian dari 1 helaian tersebut dibagi lagi dengan ukuran 0,5 cm dan dapat
menghasilkan 4-5 potongan. Karena ukuran ze’a sama, maka kita dapat menemukan
bentuk persegi yang merupakan bagian-bagian kecil dari tikar tersebut. Dengan ukuran
0,5×0,5 cm. Dapat ditulis dalam bentuk matematika yaitu:
Sisi = 0,5 cm
Seperti pada penjelasan diatas, bahwa ternyata bagian dari tikar ada yang berbentuk
persegi sehingga kita dapat melihat adanya sifar-sifat persegi sebagai berikut:
1. Memiliki 4 buah sumbu simetri
2. Keempat sisinya sama panjang yaitu AB = BD = DC = CA
3. Sisi-sisi yang berhadapan sejajar yaitu AB // CD dan AC // BD
4. Tiap-tiap sudutnya sama besar yaitu <A = <B = <C = <D = 90º
5. Diagonal-diagonalnya sama panjang yaitu AD = BC
6. Diagonal-diagonalnya saling berpotongan tegak lurus dan membagi dua sama panjang
yaitu AO = OD = BO = OC
Ada beberapa bahan yang digunakan untuk membuat tikar. Seperti bisa dibuat dari ze’a
dan gebang. Ze’a biasanya digunakan untuk membuat tikar yang tidak terlalu besar.
Sedangkan gebang untuk membuat tikar dengan ukuran yang sangat besar. Seiring
berjalannya waktu, sekarang ada yang bisa membuat tikar dari bahan dasar tali plastik.
Untuk ukuran tikarnya, tidak ada ukuran yang pasti karena biasanya hanya diseuaikan
dengan bahan yang ada. Tapi yang sering dibuat oleh mama Afa ialah tikar dengan
ukuran 2×1,5 m yaitu panjangnya 2 meter dan lebarnya 1,5 meter. Dari penjelasan
tersebut, dapat kita temukan suatu materi pada matematika yaitu persegi panjang karena
memiliki panjang dan lebar.
Karena pada penjelasan diatas, dikatakan bahwa tikar memiliki panjang dan lebar yang
jika dikaitkan dengan matematika bisa kita sebut sebagai persegi panjang, memiliki sifat-
sifat sebagai berikut:
1. Memiliki 2 buah sumbu simetri
2. Sisi-sisi yang berhadapan sama panjang yaitu AB = CD dan AC = BD
3. Sisi-sisi yang berhadapan sejajar yaitu AB // CD dan AC // BD
4. Tiap-tiap sudutnya sama besar yaitu <A = <B = <C = <D = 90º
5. Diagonal-diagonalnya sama panjang AD = BC
6. Diagonal-diagonal saling berpotongan dan membagi dua sama panjang yaitu AO = OD
= BO = OC
Bentuk persegi panjang pada tikar tidak hanya di temukan di Nagekeo saja. ada beberapa
daerah yang memiliki bentuk yang sama seperti salah satu penelitian di Ende menunjukan
ada bentuk persegi dan persegi panjang pada anyaman mbola, kadhengga, kidhe, kadho,
wati, kopa, dan rembi (Renggi, 2019). Konsep-konsep geometri berperan penting dalam
beberapa kegiatan di masyarakat Nagekeo. Seperti pembuatan po’o kose yang dimana
wadahnya merupakan bentuk nyata dari tabung, kemudian te’e yang bentuk
keseluruhannya berbentuk persegi panjang dan lipatan yang ada didalamnya berbentuk
persegi. Keduanya tidak terlepas dari konsep geometri. Artefak budaya dapat digunakan
sebagai jembatan penghubung antara yang diajarkan didalam kelas dengan yang kita
jumpai di luar kelas (Kaino, 2013).
- Pengukuran
Masyarakat Nagekeo memiliki beberapa istilah yang digunakan untuk menghitung suatu
barang. Salah satunya yaitu liwu untuk menghitung kelapa dan jagung. Kita bisa
menggunakan istilah itu untuk menukar suatu barang, menjual ataupun membeli. Kita
biasanya akan menemukan istilah tersebut di kebun atau di pasar karena disana banyak
terjadi proses jual beli. Selain itu dalam acara adat seperti perkawinan adat yang sudah
pasti membutuhkan kelapa atau yang sering kita sebut nio. Istilah-istilah ini sangat
membantu dalam menghitung kelapa dan jagung. 4 buah/batang yang diikat menjadi 1
dinamakan liwu, kemudain 40 buah/batang dinamakan saulu, dan 400 buah/batang
dinamakan sajara. Untuk kelapa dan jagung sama dalam perhitungannya. Hanya saja
kalau kelapa hitungannya per buah, kalau jagung perbatang. Seliwu yang berarti 4 buah
untuk kelapa dan 4 batang untuk jagung. Kemudian ada juga liwu zua yang artinya 8 buah
atau batang. Untuk kelapa dan jagung ada istilah saulu yang artinya 40 buah untuk kelapa
dan 40 batang untuk jagung. Kemudian ada juga sajara yang artinya 400 buah kelapa dan
400 batang jagung. Dari penjelasan diatas, kita dapat melihat adanya unsur matematika
didalamnya yaitu perkalian dan kita dapat menulisnya dalam bentuk matematika yaitu:

f) Kelemahan artikel: Bagian abstrak kurang menjelaskan tentang isi jurnal dan
pendahuluan terlalu terbelit-belit

g) Penulis: Priska Maemali, Anton Prayitno, Febi Dwi Widayanti

h) Nama jurnal: Jurnal Penelitian & Pengkajian Ilmiah Mahasiswa (JPPIM)

i) Tahun terbit: 2020

j) Volume: 1

k) halaman: 48-58

Anda mungkin juga menyukai