Kata Pengantar
Segala puji kami panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala
rahmat dan karunia yang diberikan, sehingga Buku Panduan Praktikum
Paleontologi Analisis ini bisa terselesaikan dengan baik. Adapun laporan ini kami
susun sebagai bagian dari rangkaian Mata Kuliah Paleontologi Analisis.
1
Buku Panduan Praktikum Paleontologi Analisis
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI.......................................................................................................................... 2
2
Buku Panduan Praktikum Paleontologi Analisis
BAB I FORAMINIFERA
Test ini tersusun oleh kamar tunggal atau terdiri dari beberapa kamar.
Foraminifera penting dalam indikator biostratigrafi karena jumlahnya yang melimpah,
beragam, dan mudah untuk dipelajari. Berdasarkan ukurannya, untuk foraminifera kecil
memiliki ukuran dibawah 1 mm. Sedangkan foram besar bisa lebih dari 2 mm
diameternya.
3
Buku Panduan Praktikum Paleontologi Analisis
planktonik juga digunakan untuk penentuan umur dan perubahan iklim purba pada
tubuh batuan. b. Foraminifera bentonik
Bentonik merupakan foraminifera yang hidup di dasar laut dengan cara bergerak
bebas (vagile) maupun menambat secara berkoloni (sessile). Berdasarkan spesies
tertentu yang menambat dan mampu hidup beradaptasi di dasar laut pada
kedalaman tertentu digunakan sebagai alasan fosil foraminifera bentonik
digunakan sebagai indikator lingkungan pengendapan purba
(biofasies).
Gambar 1.2. Bentuk bentuk kamar dan tubuh foraminifera (Armstrong & Brasier,2005)
4
Buku Panduan Praktikum Paleontologi Analisis
5
Buku Panduan Praktikum Paleontologi Analisis
satu kamar hingga lebih dan ada yang terputar secara planispiral maupun
trochospiral.
Gambar 1.3. Jenis komposisi dinding test foraminfera (Armstrong & Brasier,2005)
Gambar 1.4. Bentuk cangkang monothalamus (Jone, 1956 dalam Pringgoprawiro & Kapid, 2000)
Gambar 1.5. Bentuk cangkang polythalamus (Jone, 1956 dalam Pringgoprawiro & Kapid, 2000)
Selain ketiga hal di atas, foraminifera planktonik dan bentonik juga dapat
dibedakan berdasarkan apertur dan hiasannya atau ornamentasi. Apertur merupakan
6
Buku Panduan Praktikum Paleontologi Analisis
lubang utama pada cangkang foraminifera yang biasanya terletak pada kamar terakhir
yang berfungsi untuk memasukkan makanan, melekatnya alat gerak pseudopodia, dan
mengeluarkan protoplasma. Apertur pada foraminifera bentonik memiliki bentuk dan
letak yang lebih beragam dibandingkan foraminifera planktonik. Bentuk – bentuk apertur
ditunjukkan oleh Gambar 1.6 .
Gambar 1.6. Bentuk – bentuk apertur foraminifera (Jones, 1956 dalam Pringgoprawiro & Kapid, 2000)
Gambar 1.7. Jenis hiasan yang ditemukan pada foraminifera (Jones, 1956 dalam
Pringgoprawiro & Kapid, 2000)
7
Buku Panduan Praktikum Paleontologi Analisis
a. Cahaya
Zona penetrasi cahaya dipengaruhi oleh kejernihan air dan sudut sinar
matahari yang masuk ke dalam air . Zona yang masih terkena sinar matahari
disebut sebagai zona fotik. Pada daerah tropis, zona fotik lebih dalam (<200
meter) dan semakin mendangkal ke arah kutub. Zona ini kaya akan
foraminifera planktonik dan bentonik. Foraminifera bentonik umumnya tipe
Miliolina.
b. Makanan
Makanan foraminifera planktonik adalah bakteri berukuran kecil, protozoa,
dan invertebrata. Ada yang hidup di bawah zona fotik agar bisa menangkap
material organik yang mati dari zona fotik. Banyak sedikit nya jumlah
makanan yang ada mempengaruhi jumlah dan keragaman dari foraminifera
pada lingkungan tersebut.
c. Substrat
Foraminifera cenderung pada substrat yang keras sehingga dapat hidup
menempel pada substrat. Foraminifera bahkan dapat hidup 20 cm di bawah
permukaan sedimen. Semakin banyak substrat padat yang ada maka semakin
banyak jumlah foraminifera yang ada.
d. Salinitas
Kelimpahan paling tinggi berada pada lingkungan dengan salinitas air berupa
35%. Pada salinitas yang rendah seperti rawa dan laguna payau, memiliki
keberagaman jenis foraminifera yang rendah.
e. Nutrien dan Oksigen
Saat suplai makanan rendah, berat jenis dari foraminifera cenderung
rendah namun hal ini tidak mempengaruhi keberagaman jenisnya. Faktanya,
banyaknya nutrien menyebabkan foraminifera tidak melakukan fotosintesis
8
Buku Panduan Praktikum Paleontologi Analisis
Gambar 1.8. Hubungan keberagaman dengan suhu dan garis lintang (Armstrong & Brasier, 2005)
9
Buku Panduan Praktikum Paleontologi Analisis
Fosil mikro yang terdapat di dalam batuan tersusun oleh beragam komposisi,
namun terdapat kesamaan pada hampir seluruh fosil mikro yaitu sifatnya yang rapuh
dan mudah hancur. Hal tersebut membuat peneliti harus teliti dan hati-hati dalam
pengambilan sampel (sampling) untuk analisis fosil mikro. Sampel batuan haruslah
diambil dan dipisahkan dari batuan/material lain dengan teliti, serta disimpan dengan
baik agar tidak terjadi kerusakan fisik maupun kimiawi.
Sebelum mengambil sampel, hendaknya peneliti memperhatikan kondisi
singkapan dengan baik. Singkapan harus diukur dengan teliti, dilakukan sketsa atau
penggambaran kolom litologi, serta dilakukan pengambilan foto. Setelah itu, peneliti
harus menentukan lokasi pengambilan sampel, serta memberi tanda pada sketsa, kolom
litologi, maupun foto, dimana sampel tersebut diambil.
Lokasi pengambilan sampel harus diberi tanda pada peta atau dicatat koordinat
pengambilan sampelnya. Untuk sampel yang berasal dari bawah permukaan, harus
disertakan informasi mengenai kedalaman dari sampel yang diambil.
Sampel fosil mikro yang terkandung dalam tiap jenis batuan serta jumlahnya
dapat berbeda beda. Bignot (dalam Pringgoprawiro, 1999) membuat hubungan antara
jenis batuan dan jumlah fosil mikro yang dikandungnya tanpa memperhatikan umur dan
asal pengendapan, sebagai berikut.
Gambar 2.1 Hubungan antara jenis batuan dan jumlah fosil mikro yang dikandungnya
10
Buku Panduan Praktikum Paleontologi Analisis
11
Buku Panduan Praktikum Paleontologi Analisis
12
Buku Panduan Praktikum Paleontologi Analisis
II.4 PREPARASI
Preparasi adalah suatu proses untuk mengubah sampel batuan yang telah dipilih
menjadi bahan yang siap untuk dianalisis secara mikropaleontologi. Proses ini
dibutuhkan untuk memisahkan mikrofosil dengan komponen penyusun batuan yang
menyelimutinya. Masing masing mikrofosiil memiliki cara preparasi yang berbeda
beda. Berikut ini merupakan beberapa cara/prosedur dalam preparasi mikrofosil.
1. Preparasi Forminifera Kecil dan Ostracoda
Dalam menganalisis Foraminifera kecil dan Ostracoda, perlu dilakukan
preparasi dengan metode residu/ayakan. Metode ini biasanya digunakan pada
batuan sedimen klastik halus-sedang, seperti lempung, serpih, lanau, batupasir
karbonatan, dan sebagainya (biasanya batuan yang lunak). Prosedur
preparasinya adalah sebagai berikut :
Saringan yang telah dipakai, dicelupkan kedalam larutan blue methyl untuk mengetahui
apabila terdapat percampuran fosil pada sampel berikutnya. Percampuran fosil ini
ditunjukkan dengan adanya fosil yang berwarna biru pada sampel
ayakan/residuberikutnya. Percampuran ini perlu diperhatikan agar tidak terjadi
kesalahan determinasi.
13
Buku Panduan Praktikum Paleontologi Analisis
3. Preparasi Nannoplankton
14
Buku Panduan Praktikum Paleontologi Analisis
Teteskan entelan/balsam
kanada secukupnya,
Panaskan kaca di atas
kemudian tutup dengan cover
hotplate hingga bagian
glass sambil ditekan sehingga
atasnya kering.
tidak terdapat gelembung
udara di dalamnya.
15
Buku Panduan Praktikum Paleontologi Analisis
Dalam studi paleontologi, penarikan umur dan batimetri merupakan hal yang penting.
Apabila kita salah dalam penarikannya, maka interpretasi yang kita hasilkan pun menjadi
tidak sesuai. Oleh karena itu sangat penting untuk memahami bagaimana cara melakukan
penarikan umur dan batimetri dari spesies-spesies yang kita identifikasi.
Faktor-faktor utama dalam penarikan umur dan batimetri antara lain.
16
Buku Panduan Praktikum Paleontologi Analisis
17
Buku Panduan Praktikum Paleontologi Analisis
18
Buku Panduan Praktikum Paleontologi Analisis
Keempat faktor tersebut adalah faktor-faktor utama yang akan menjadi tahapan dalam
penarikan umur maupun batimetri. Agar penarikan umur dan batimetri tepat, maka
keempat faktor tersebut harus dipertimbangkan yang satu sama lain.
19
Buku Panduan Praktikum Paleontologi Analisis
BAB IV BIOSTRATIGRAFI
Dalam Sandi Stratigrafi Indonesia (1996) biostratigrafi merupakan tubuh lapisan batuan
yang dikorelasi berdasarkan kandungan fosil. Biostratigrafi tentunya berbeda dengan
istilah litostratigrafi yang merupakan ilmu yang membahas tentang pemerian,
pengelompokan dan pengklasifikasi terhadap batuan berlapis berdasarkan litologinya.
20
Buku Panduan Praktikum Paleontologi Analisis
Penamaan dari zona kumpulan ini diambil dari satu spesies atau lebih yang harus
merupakan penciri utama zona kumpulan tersebut.
b. Zona Kisaran
Merupakan zona dalam tubuh batuan yang kisarannya berdasarkan
kumpulan keseluruhan fosil yang ditemukan. Fungsi dari zona kisaran ini adalah
untuk korelasi batuan dengan batuan menggunakan skala waktu geologi yang
sama. Penamaan dari zona ini diambil dari satu spesies yang menjadi penciri
utama dari zonanya. Zona ini terbagi menjadi dua, yaitu Zona Kisaran Utuh
apabila Awal (First Appearance, FA) dan Akhir kemunculan (Last Appearance,
LA) dari suatu spesies ditemukan, serta Zona Kisaran Sebagian apabila hanya
salah satu dari Awal atau Akhir kemunculan suatu spesies saja yang ditemukan
dalam suatu suksesi.
c. Zona Puncak
Merupakan zona yang memperlihatkan perkembangan puncak atau
kelimpahan maksimum dari suatu takson atau spesies tertentu. Zona ini berguna
untuk korelasi antar batuan dengan kesamaan umur geologi yang sama, serta
untuk petunjuk lingkungan pengendapan dan iklim purba. Fosil rombakan tidak
digunakan dalam perhitungan zona ini.
d. Zona Selang
Merupakan zona yang memperhitungkan awal kemunculan dan akhir
kemunculan dari dua takson atau spesies penciri. Zona ini berguna untuk korelasi
antar tubuh batuan. Batas atas dan bawah dari zona ini ditentukan dari Awal
kemunculan (FA) dan Akhir kemunculan (LA) dari takson penciri dan
penamaannya diambil dari takson penciri yang mencaji batas atas dan batas bawah
dari zona ini.
e. Zona Rombakan
Merupakan tubuh lapisan batuan yang mengandung sejumlah fosil
rombakan. Penamaan untuk zona ini tidak resmi digunakan. Zona rombakan
biasanya khas terkait dengan aktivitas penurunan muka air laut relatif yang besar
dan dapat bersifat lokal, regional bahkan global.
f. Zona Padatan
Merupakan zona pada tubuh lapisan batuan yang dicirikan oleh
kelimpahan fosil yang padat dimana kepadatan jumlah populasinya sangat jauh
21
Buku Panduan Praktikum Paleontologi Analisis
lebih besar dibanding tubuh batuan yang ada diatas maupun dibawahnya. Sama
seperti zona rombakan, zona padatan pun tidak umum digunakan dalam zonasi
biostratigrafi.
22
Buku Panduan Praktikum Paleontologi Analisis
23
Buku Panduan Praktikum Paleontologi Analisis
25
Buku Panduan Praktikum Paleontologi Analisis
26
Buku Panduan Praktikum Paleontologi Analisis
27
Buku Panduan Praktikum Paleontologi Analisis
dapat diketahui posisi dari masing-masing jalur stratigrafi ataukah saling atas-
bawah atau hanya memiliki umur yang sama.
Hal ini dapat dilakukan dengan menghubungkan zonasi atau biodatum
yang sama dari masing-masing jalur stratigrafi tersebut. Dengan begitu, akan
dapat diketahui hubungan dari kedua atau lebih jalur stratigrafi tersebut.
28
Buku Panduan Praktikum Paleontologi Analisis
Gambar 4.3 Contoh zonal repetition pada Biostratigrafi (Slide Kuliah oleh Wartono Rahardjo, 2007)
Gambar 4.4 Contoh zonal gap pada Biostratigrafi (Slide Kuliah oleh Wartono Rahardjo, 2007)
Gambar 4.5 Contoh Interpretasi Geologi Bawah Permukaan berdasarkan Biostratigrafi (Slide
Kuliah oleh Wartono Rahardjo, 2007)
29
Buku Panduan Praktikum Paleontologi Analisis
30
Buku Panduan Praktikum Paleontologi An alisis
BAB V PALEOEKOLOGI
Secara garis besar, kehidupan mikroorganisme akuatik terdiri atas dua golongan, yaitu
pelagik (mengambang) dan bentonik (menambat). Jones (1956, dalam Pringgoprawiro &
Kapid, 2000) menggambarkan hubungan antara lingkungan sedimentasi dan jenis
mikroorganisme yang menempatinya, dapat dilihat pada Gambar 5.2.
Dalam bab ini, bagian Paleoekologi yang akan dibahas antara lain adalah Paleoclimate,
Paleobathimetry, Paleosalinity, serta pengaruh kekeruhan air hingga pengaruh arus dan
gelombang. Dan pada praktikum Paleontologi Analisis cenderung akan memfokuskan
pada Paleoclimate dan Paleobathimetri.
Gambar 5.1 Hubungan antara cara hidup dan jenis mikroorganisme lautan (Bignot, 1982)
Foraminifera bermanfaat untuk menentukan iklim purba dari suatu lapisan batuan.
Dalam penentuan iklim purba, akan lebih difokuskan terhadap identifikasi foraminifera
plangtonik. Hal ini dikarenakan hidupnya yang tersebar secara global di perairan laut
mulai dari daerah tropis hingga kutub (Kucera, 2007). Selain itu, sinar matahari
umumnya hanya dapat menembus kedalaman 30-100 m (photik zone), dan zona
tersebut umumnya merupakan zona hidup dari foraminifera plangtonik.
31
Buku Panduan Praktikum Paleontologi An alisis
Gambar 5.2 Skema Hubungan antara Lingkungan Sedinemtasi dan Jenis Mikroorganisme (Jones, 1956
dalam Pringgoprawiro & Kapid, 2000)
32
Buku Panduan Praktikum Paleontologi An alisis
Pola Keberagaman yang tinggi erat kaitannya dengan suhu permukaan laut
yang tinggi. Namun, kondisi akan berbeda pada daerah ekuator dan zona yang
mengalami upwelling, karena akan kaya dengan fosil berukuran kecil dan
jumlahnya sangat banyak. G.bulloides yang merupakan penciri daerah transisi
juga dapat digunakan sebagai indikator intensitas upwelling ataupun run off
karena sifatnya yang dapat berkembang pada lingkungan dengan regim
produktifitas yang tinggi (Kucera, 2007).
33
Buku Panduan Praktikum Paleontologi An alisis
Tabel 5.1 Spesies Foraminifera plangtonik indikator suhu panas dan dingin (Bricchi et.al., 2003)
34
Buku Panduan Praktikum Paleontologi An alisis
jenis arah putaran kemudian dihitung persentasenya dan di plot dalam bentuk
grafik (Gambar 5.4) untuk mengetahui suhu permukaan laut purba.
Gambar 5.4 Persentase arah putaran fosil foraminifera plangtonik terhadap suhu permukaan laut
(Kucera, 2007)
Adanya pola arah putaran yang berbeda dipengaruhi oleh suhu yang erat
kaitannya dengan posisi lintang. Menurut Kenneth (1968, dalam McGowran,
2005), suhu yang panas berada dalam lintang tropis dan akan semakin mendingin
ke arah kutub. Persebaran spesies berdasarkan arah putarannya pada tiap lintang
diilustrasikan oleh Gambar 5.5
Gambar 5.5 Persebaran N.Pachyderma pada daerah Pasifik Selatan oleh Kenneth (1968, dalam
McGowran, 2005)
35
Buku Panduan Praktikum Paleontologi An alisis
V.2 Paleobatimetri
Faktor kedalaman tentu saja sangat berpengaruh pada kehidupan foraminifera. Hal ini
sangat berkaitan erat dengan kelompok mikrofauna bentonik maupun plangtonik yang
hidup pada kedalaman tertentu. Bignot (1982) meneliti hubungan antara kedalaman air
laut dan kelompok foraminifera resen yang dijumpainya. (Gambar 5.9).
Gambar 5.6 Repartisi Kelompok Foraminifera resen terhadap fungsi kedalaman (Bignot, 1982)
36
Buku Panduan Praktikum Paleontologi An alisis
Tabel 5.2 Klasifikasi Lingkungan Pengendapan berdasarkan persentase P/B ratio (Tipsword,
1966 dalam Pringgoprawiro & Kapid, 2000)
Kedalaman % Pelagik
Lingkungan
(m) rasio
Inner shelf 0 - 20 0 - 20
Middle shelf 20 - 100 20 - 50
Outer shelf 100 - 200 20 - 50
Upper slope 200 - 1000 30 - 50
Lower slope 1000 - 2000 50 - 100
Keseluruhan zona yang sudah diurai diatas, di ilustrasikan berdasarkan
kedalaman atau paleobatimetri pada Gambar 5.10.
Gambar 5.7 Klasifikasi Paleobatimetri (Tipsword, 1966 dalam Pringgoprawiro & Kapid, 2000)
37
Buku Panduan Praktikum Paleontologi An alisis
38
Buku Panduan Praktikum Paleontologi Analisis
DAFTAR PUSTAKA
Akmaluddin, Watanabe, K., Kano, A., & Rahardjo, W., 2010, Miocene Warm, Tropical Climate:
Evidence Based on Oxygen Isotope in Central Java, Indonesia, International Journal of
Environmental and Earth Sciences, p.52-56.
Armstrong, H., & Brasier, M., 2005, Microfossils, Blackwell Publishing, United Kingdom.
Bandy, O. L., 1960, Planktic Foraminifera Criteria For Paleoclimatic Zonation, Science Report,
Tohuku University, Sendai, Japan, 2nd edition.
Berggren, W. A., Kent, D., & Aubry, M. P., 1995, A Revised Cenozoic Geochronology and
Chronostratigraphy, SEMP Special Publication No. 54.
Bolli & Saunders, 1985, Plankton Stratigraphy, Cambridge University Press, New York,
p.155282.
Bricchi, E., Ferrero, E., & Gonera, M., 2003, Paleoclimatic Interpretation Based on Middle
Miocene Planktonic Foraminifera, Elsevier Science B.V., Italy, p. 265-303Jones, R. W.,
1994, The Challanger Foraminifera, Oxford University Press: New York.
Kennett, J. P., & Srinivasan, M. S., 1983, Neogene Planktonic Foraminifera: A Phylogenetic
Atlas, Hutchinson Ross Publishing Company: Stroudsburg, Pennsylvania, 265 p.
Komisi Sandi Stratigrafi Indonesia, 1996, Sandi Stratigrafi Indonesia, Ikatan Ahli Geologi
Indonesia, Jakarta.
McGowran, B., 2005, Biostratigraphy, Microfossils and Geologic Time, Cambridge University
Press: New York.
Pringgoprawiro, H., & Kapid, R., 2000, Foraminifera: Pengenalan Mikrofosil dan Aplikasi
Biostratigrafi, Penerbit ITB Bandung.
Van Gorsel, J. T., & Troelstra, S. R., 1980, Late Neogen Planktonic Foraminiferal
Biostratigraphy and Climatostratigraphy of the Solo River Section (Java, Indonesia),
Elsevier Scientific Publishing Company, Amsterdam, Marine Micropaleontology.
39
Buku Panduan Praktikum Paleontologi Analisis
Wade, B. S., Pearson, P. N., & Berggren, W., 2011, Review and Revision of Cenozoic Tropical
Planktonic Foraminiferal Biostratigraphy and Calibration to the Geomagnetic Polarity
and Astrono,ical Time Scale, Earth Science Riview v. 104.
Zachos, J. M., & Pagani, L., 2001, Trends, Rhythms, and Aberrations in Global Climate 65 Ma to
Present, Science 292.
40