Anda di halaman 1dari 41

Buku Panduan Praktikum Paleontologi Analisis

Buku Panduan Praktikum Paleontologi Analisis

Kata Pengantar

Segala puji kami panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala
rahmat dan karunia yang diberikan, sehingga Buku Panduan Praktikum
Paleontologi Analisis ini bisa terselesaikan dengan baik. Adapun laporan ini kami
susun sebagai bagian dari rangkaian Mata Kuliah Paleontologi Analisis.

Dalam penyusunan laporan ini, kami mengucapkan terimaksih sebesar-


besarnya kepada
semua pihak yang telah membantu terselesaikannya laporan ini. Adapun pihak-
pihak tersebut antara
lain:
1. Dr. Akmaluddin, S.T., M.T. selaku Koordinator Dosen pengampu Mata Kuliah
Paleontologi Analisis dan Pengampu Praktikum Paleontologi Analisis
2. Dr. Didit Hadi Barianto, S.T., M.Si. selaku Dosen pengampu Mata Kuliah
Paleontologi Analisis
3. Moch. Indra Novian, S.T., M.Eng. selaku Dosen pengampu Mata Kuliah
Paleontologi Analisis
4. Seluruh asisten laboratorium Paleontologi Analisis.

Dewi Sintia Reka Krison Valentino Manalu


Fandi Imanda Himawan Manggala Aji Kumara
Febiolla Aulia Maharani Yunus Muhammad Fahran Fauzan Tandipanga
Iqbal Nelly Ariska Septyana
Kamila Nuril Izzah Risky Tri Nurani

Kami selaku penyusun menyadari bahwa laporan praktikum ini belumlah


dikatakan sempurna. Untuk itu, kami dengan sangat terbuka menerima kritik dan
saran dari pembaca sekalian.

Semoga laporan praktikum ini bermanfaat untuk kita


semua.

1
Buku Panduan Praktikum Paleontologi Analisis

DAFTAR ISI

Kata Pengantar ....................................................................................................................... 1

DAFTAR ISI.......................................................................................................................... 2

BAB I FORAMINIFERA ..................................................................................................... 3

I.1 Jenis Foraminifera ........................................................................................................ 3

I.2 Penyebaran Fosil Foraminifera..................................................................................... 8

BAB II SAMPLING DAN PREPARASI SAMPEL .......................................................... 10

II.1 METODE SAMPLING ............................................................................................. 11

II.2 KUALITAS SAMPEL .............................................................................................. 12

II.3 JENIS SAMPEL........................................................................................................ 12

II.4 PREPARASI ............................................................................................................. 13

BAB III PENARIKAN UMUR DAN BATIMETRI .......................................................... 16

BAB IV BIOSTRATIGRAFI ............................................................................................. 20

IV.1 Satuan dalam Biostratigrafi ..................................................................................... 20

IV.2 Jenis Zona dalam Biostratigrafi ............................................................................... 20

IV.3 Biozonasi Paleogen-Neogen Foraminifera Plangtonik............................................ 22

IV.4 Aplikasi Biostratigrafi ............................................................................................. 27

BAB V PALEOEKOLOGI ................................................................................................. 31

V.1 Paleoclimate atau Iklim Purba .................................................................................. 31

V.2 Paleobatimetri ........................................................................................................... 36

DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................................... 39

2
Buku Panduan Praktikum Paleontologi Analisis

BAB I FORAMINIFERA

Menurut Pringgoprawiro & Kapid (2000) foraminifera merupakan organisme bersel


tunggal yang hidup secara akuatik terutama di laut, yang mempunyai satu atau lebih
kamar yang terpisah oleh sekat atau septa dan ditembusi oleh banyak lubang halus
(foramen). Armstrong & Brasier (2005) menambahkan bahwa jaringan lunak dari
foraminifera (sitoplasma) menempel pada cangkang atau test dari tubuh foraminifera.
Foraminifera sendiri termasuk sebagai salah satu ordo dari Filum Protozoa. (Gambar
1.1).

Gambar 1.1. Bagian –bagian tubuh foraminifera; a. Bentonik , b. Planktonik (Armstrong


& Brasier, 2005)

Test ini tersusun oleh kamar tunggal atau terdiri dari beberapa kamar.
Foraminifera penting dalam indikator biostratigrafi karena jumlahnya yang melimpah,
beragam, dan mudah untuk dipelajari. Berdasarkan ukurannya, untuk foraminifera kecil
memiliki ukuran dibawah 1 mm. Sedangkan foram besar bisa lebih dari 2 mm
diameternya.

I.1 Jenis Foraminifera


Berdasarkan habitat hidupnya, foraminifera terbagi menjadi 2 jenis (Armstrong & Brasier,
2005) yaitu:
a. Foraminifera planktonik
Foraminifera planktonik merupakan foraminifera yang hidup dengan cara
mengambang di laut yang masih mendapat ditembus oleh sinar matahari dan
digunakan untuk menentukan umur batuan. Dalam penelitian ini, fosil foraminifera

3
Buku Panduan Praktikum Paleontologi Analisis

planktonik juga digunakan untuk penentuan umur dan perubahan iklim purba pada
tubuh batuan. b. Foraminifera bentonik
Bentonik merupakan foraminifera yang hidup di dasar laut dengan cara bergerak
bebas (vagile) maupun menambat secara berkoloni (sessile). Berdasarkan spesies
tertentu yang menambat dan mampu hidup beradaptasi di dasar laut pada
kedalaman tertentu digunakan sebagai alasan fosil foraminifera bentonik
digunakan sebagai indikator lingkungan pengendapan purba
(biofasies).

Yang membedakan antara foraminifera planktonik dan bentonik adalah: a.


Bentuk dasar test
Umumnya bentuk fosil foraminifera bentonik lebih kompleks dan beragam
dibandingkan dengan bentuk foraminifera planktonik. Foraminifera planktonik
biasanya hanya terbatas pada bentuk globuler, subglober dan lentikuler. Jenis
bentuk test dapat dilihat pada Gambar 1.2 berikut:

Gambar 1.2. Bentuk bentuk kamar dan tubuh foraminifera (Armstrong & Brasier,2005)

b. Komposisi dinding test


Dinding test foraminifera tersusun dari beberapa jenis tergantung pada
lingkungan habitatnya (Pringgoprawiro & Kapid,2000), di antaranya adalah
sebagai berikut:

4
Buku Panduan Praktikum Paleontologi Analisis

Dinding test porselen


Dindin test ini terbuat dari zat gampingan, tidak berpori, mempunyai
kenampakan seperti porselen. Saat diberi sinar langsung (episkopik) dinding akan
berwarna putih buram, sedangkan saat diberi sinar transmisi (diaskopik) berwarna
kuning amber. Contoh foraminifera berdinding porselen adalah golongan
Miliolidae seperti Quinqueloculina, Triloculina, Pyrgo, dan golongan
Peneroplidae seperti Peneroplis, Sorites, dan Orbitolites.
Dinding test hyalun (vitrocalcarea)
Dinding test ini yang paling umum menyusun dinding foraminifera.
Dinding ini bersifat gampingan yang bening dan transparan serta berpori. Pori
berukuran kecil lebih primitif dibandingkan pori besar. Contoh foraminifera
berpori kecil adalah Nadosaridae, Globigerinidae, dan Polymorphinidae
Dinding test gampingan granular
Umum ditemukan pada foraminera berumur Paleozoikum dengan dinding
cangkang yang terdiri dari kristal kalsit granular tanpa ada material asing atau
semen seperti Endothyra, beberapa spesies Bradyina dan Hyperammina.
Dinding test gampingan kompleks
Dinding tipe ini terdapat pada golongan Fusulinidae (foram besar) yang
tersusun atas beberapa lapisan.
Berdasarkan uraian jenis dinding test di atas, fosil foraminifera planktonik
biasanya memiliki dinding yang bersifat hyalin sedangkan foraminifera bentonik
memiliki kandungan yang beragam seperti porselin, hialin, dan agglutinated.
Kandungan komposisi dinding test digunakan sebagai dasar penentuan taksonomi
berupa subordo (Gambar 1.3).

c. Jumlah dan susunan kamar


Secara umum, bentuk cangkang foraminifera terbagi menjadi 2 yaitu
cangkang yang terdiri atas 1 kamar (monothalamus) (Gambar 1.4) dan cangkang
yang terdiri dari atas banyak kamar (polythalamus) (Gambar 1.5). Foraminifera
planktonik hampir seluruhnya memiliki kamar lebih dari satu dan umumnya
kamar terputar secara trochospiral sehingga sisi perut, punggung, dan perifer
berbeda kenampakannya. Sedangkan foraminifera bentonik ada yang terdiri dari

5
Buku Panduan Praktikum Paleontologi Analisis

satu kamar hingga lebih dan ada yang terputar secara planispiral maupun
trochospiral.

Gambar 1.3. Jenis komposisi dinding test foraminfera (Armstrong & Brasier,2005)

Gambar 1.4. Bentuk cangkang monothalamus (Jone, 1956 dalam Pringgoprawiro & Kapid, 2000)

Gambar 1.5. Bentuk cangkang polythalamus (Jone, 1956 dalam Pringgoprawiro & Kapid, 2000)

Selain ketiga hal di atas, foraminifera planktonik dan bentonik juga dapat
dibedakan berdasarkan apertur dan hiasannya atau ornamentasi. Apertur merupakan

6
Buku Panduan Praktikum Paleontologi Analisis

lubang utama pada cangkang foraminifera yang biasanya terletak pada kamar terakhir
yang berfungsi untuk memasukkan makanan, melekatnya alat gerak pseudopodia, dan
mengeluarkan protoplasma. Apertur pada foraminifera bentonik memiliki bentuk dan
letak yang lebih beragam dibandingkan foraminifera planktonik. Bentuk – bentuk apertur
ditunjukkan oleh Gambar 1.6 .

Gambar 1.6. Bentuk – bentuk apertur foraminifera (Jones, 1956 dalam Pringgoprawiro & Kapid, 2000)

Hiasan atau ornamentasi sendiri merupakan cerminan dari bagaimana organisme


dapat beradaptasi dengan lingkungannya. Ornamentasi juga digunakan sebagai dasar
klasifikasi cangkang foraminifera plankonik dan bentonik, yang mana foraminifera
bentonik memiliki ornamentasi yang beragam dibandingkan foraminifera planktonik.

Gambar 1.7. Jenis hiasan yang ditemukan pada foraminifera (Jones, 1956 dalam
Pringgoprawiro & Kapid, 2000)

7
Buku Panduan Praktikum Paleontologi Analisis

I.2 Penyebaran Fosil Foraminifera


Foraminifera yang hidupnya menyebar mulai dari laut dangkal hingga laut dalam
digunakan sebagai indikator lingkungan purba. Penyebaran foraminifera tergantung pada
cahaya, suplai makanan, substrat, salinitas air , nutrisi, dan oksigen serta temperatur
(Sukandarrumidi, 2008 serta Armstrong & Brasier, 2005). Berikut adalah keterangan dari
masing masing faktor:

a. Cahaya
Zona penetrasi cahaya dipengaruhi oleh kejernihan air dan sudut sinar
matahari yang masuk ke dalam air . Zona yang masih terkena sinar matahari
disebut sebagai zona fotik. Pada daerah tropis, zona fotik lebih dalam (<200
meter) dan semakin mendangkal ke arah kutub. Zona ini kaya akan
foraminifera planktonik dan bentonik. Foraminifera bentonik umumnya tipe
Miliolina.
b. Makanan
Makanan foraminifera planktonik adalah bakteri berukuran kecil, protozoa,
dan invertebrata. Ada yang hidup di bawah zona fotik agar bisa menangkap
material organik yang mati dari zona fotik. Banyak sedikit nya jumlah
makanan yang ada mempengaruhi jumlah dan keragaman dari foraminifera
pada lingkungan tersebut.
c. Substrat
Foraminifera cenderung pada substrat yang keras sehingga dapat hidup
menempel pada substrat. Foraminifera bahkan dapat hidup 20 cm di bawah
permukaan sedimen. Semakin banyak substrat padat yang ada maka semakin
banyak jumlah foraminifera yang ada.
d. Salinitas
Kelimpahan paling tinggi berada pada lingkungan dengan salinitas air berupa
35%. Pada salinitas yang rendah seperti rawa dan laguna payau, memiliki
keberagaman jenis foraminifera yang rendah.
e. Nutrien dan Oksigen
Saat suplai makanan rendah, berat jenis dari foraminifera cenderung
rendah namun hal ini tidak mempengaruhi keberagaman jenisnya. Faktanya,
banyaknya nutrien menyebabkan foraminifera tidak melakukan fotosintesis

8
Buku Panduan Praktikum Paleontologi Analisis

dan ukurannya besar dibanding biasanya sehingga keberagaman jenisnya


berkurang.
f. Suhu
Setiap spesies hidup dengan kondisi suhu tertentu. Jumlah keberagaman akan
meningkat saat mendekati daerah tropis yang bersuhu tinggi.

Kaitan antara suhu permukaan , garis lintang, kedalaman , dan keberagaman


foraminifera ditunjukkan pada Gambar 1.8.

Gambar 1.8. Hubungan keberagaman dengan suhu dan garis lintang (Armstrong & Brasier, 2005)

9
Buku Panduan Praktikum Paleontologi Analisis

BAB II SAMPLING DAN PREPARASI SAMPEL

Fosil mikro yang terdapat di dalam batuan tersusun oleh beragam komposisi,
namun terdapat kesamaan pada hampir seluruh fosil mikro yaitu sifatnya yang rapuh
dan mudah hancur. Hal tersebut membuat peneliti harus teliti dan hati-hati dalam
pengambilan sampel (sampling) untuk analisis fosil mikro. Sampel batuan haruslah
diambil dan dipisahkan dari batuan/material lain dengan teliti, serta disimpan dengan
baik agar tidak terjadi kerusakan fisik maupun kimiawi.
Sebelum mengambil sampel, hendaknya peneliti memperhatikan kondisi
singkapan dengan baik. Singkapan harus diukur dengan teliti, dilakukan sketsa atau
penggambaran kolom litologi, serta dilakukan pengambilan foto. Setelah itu, peneliti
harus menentukan lokasi pengambilan sampel, serta memberi tanda pada sketsa, kolom
litologi, maupun foto, dimana sampel tersebut diambil.
Lokasi pengambilan sampel harus diberi tanda pada peta atau dicatat koordinat
pengambilan sampelnya. Untuk sampel yang berasal dari bawah permukaan, harus
disertakan informasi mengenai kedalaman dari sampel yang diambil.
Sampel fosil mikro yang terkandung dalam tiap jenis batuan serta jumlahnya
dapat berbeda beda. Bignot (dalam Pringgoprawiro, 1999) membuat hubungan antara
jenis batuan dan jumlah fosil mikro yang dikandungnya tanpa memperhatikan umur dan
asal pengendapan, sebagai berikut.

Gambar 2.1 Hubungan antara jenis batuan dan jumlah fosil mikro yang dikandungnya

10
Buku Panduan Praktikum Paleontologi Analisis

II.1 METODE SAMPLING


Pada pengambilan sampel terkadang peneliti mengalami kesulitan karena terkadang
zona mikrofosil tidak selalu pada lapisan yang tebal melainkan pada lapisan yang sangat
tipis. Untuk itu terdapat 2 metode pengambilan sampel untuk sekuen sedimentasi yang
berbeda.
a. Spot sampling
Spot sampling adalah metode pengambilan sampel dengan interval
tertentu pada penampang yang tebal dengan jenis litologi yang seragam, seperti
pada lapisan serpih tebal, batugamping, dan batulanau. Pada metode ini juga
dapat ditambahkan channel sample sepanjang 30 cm pada setiap interval 1,5
meter.
Spot sampling juga dilakukan pada lapisan serpih yang tipis atau sisipan
lempung pada batupasir atau batugamping; juga pada serpih dengan lensa tipis
batugamping.

b. Channel sampling (paritan)


Channel sampling adalah metode pengambilan sampel yang dilakukan
pada penampang yang pendek (3-5m) pada litologi yang seragam. Atau, Pada
perselingan batuan yang cepat, channel sampling dilakukan pada setiap
perubahan unit litologi.

Gambar 2.2 Contoh pengambilan sampel

11
Buku Panduan Praktikum Paleontologi Analisis

II.2 KUALITAS SAMPEL


Dalam pengambilan sample batuan untuk analisis mikropaleontologi harus
memenuhi kriteria berikut ini :
1. Bersih
Sebelum mengambil sampel batuan, harus dibersihkan dari semua
lapisan pengotor yang menyelimuti, seperti lumut, akar, polen dari tumbuhan
recent, termasuk dari pengotor yang disebabkan oleh tempat penyimpanan yang
berbahan logam. Sampel paling baik disimpan dalam fiberglass/plastik yang
bersih.
2. Representatif dan lengkap
Harus dipisahkan antara sampel per lapisan batuan atau sampel sebuah
sisipan. Jumlah yang diambil 200-500 gram, untuk batuan yang sedikit
mengandung mikrofosil jumlahnya bisa lebih banyak, namun pada
nannoplankton jumlah yang dibutuhkan lebih sedikit.
3. Pasti
Sampel harus dikemas dalam wadah yang memuat informasi penting
mengenai sampel, seperti nomor sampel, lokasi, kedalaman, jenis batuan, waktu
pengambilan, pengambil sampel. Apabila sampel memiliki informasi tersebut
maka hasilnya akan pasti manfaatnya, untuk itu informasi tersebut harus ditulis
dengan tinta tahan air.

II.3 JENIS SAMPEL


Jenis sample dibagi menjadi dua bagian, sample permukaan dan sample bawah
permukaan. Sampel permukaan adalah sample yang diambil langsung dari pengamatan
singkapan di lapangan, lokasinya dapat di plot pada peta. Sampel bawah permukaan
adalah sampel yang diambil dari suatu pemboran. Ada 3 jenis sampel bawah permukaan
yaitu :
1. Inti bor (core) – seluruh bagian lapisan pada kedalam tertentu diambil secara utuh
2. Sampel hancuran (ditch-cutting) – lapisan pada kedalaman tertentu dihancurkan
dan dipompa keluar lalu ditampung
3. Sampel sisi bor (side wall core) – diambil dari sisi dinding bor dari lapisan pada
kedalaman tertentu. Perlu diperhatikan adanya caving yang memungkinkan
runtuhan/ percampuran fosil.

12
Buku Panduan Praktikum Paleontologi Analisis

II.4 PREPARASI
Preparasi adalah suatu proses untuk mengubah sampel batuan yang telah dipilih
menjadi bahan yang siap untuk dianalisis secara mikropaleontologi. Proses ini
dibutuhkan untuk memisahkan mikrofosil dengan komponen penyusun batuan yang
menyelimutinya. Masing masing mikrofosiil memiliki cara preparasi yang berbeda
beda. Berikut ini merupakan beberapa cara/prosedur dalam preparasi mikrofosil.
1. Preparasi Forminifera Kecil dan Ostracoda
Dalam menganalisis Foraminifera kecil dan Ostracoda, perlu dilakukan
preparasi dengan metode residu/ayakan. Metode ini biasanya digunakan pada
batuan sedimen klastik halus-sedang, seperti lempung, serpih, lanau, batupasir
karbonatan, dan sebagainya (biasanya batuan yang lunak). Prosedur
preparasinya adalah sebagai berikut :

Ambil 100-300 gram


Setelah agak halus,
sedimen dimasukkan
sedimen dimasukkan
ke dalam mangkok
ke dalam mangkok dan
kering. Apabila DIamkan kurang lebih
dilarutkan dengan H2O2
sedimen tersebut keras 2-5 jam hingga tidak
(10-15%) secukupnya
atau agak keras, harus ada lagi reaksi yang
untuk memisahkan
dipecah perlahan-lahan terjadi
mikrofosil dari matrik
dengan menumbuknya
batuan yang
dengan palu
melingkupinya
besi/porselen

setelah tidak reaksi,


seluruh residu dicuci Residu yang tertinggal Setelah kering sampel
dengan air yang deras pada saringan 2 atau 3 dimasukkan dalam
diatas tiga saringan terbawah diambil
plastik dan diberi label,
yang dari atas ke kemudian dikeringkan di
dalam oven (kurang lebih kemudian siap untuk
bawah ukuran meshnya
600 C) dideterminasi.
semakin besar (lubang
semakin kecil).

Saringan yang telah dipakai, dicelupkan kedalam larutan blue methyl untuk mengetahui
apabila terdapat percampuran fosil pada sampel berikutnya. Percampuran fosil ini
ditunjukkan dengan adanya fosil yang berwarna biru pada sampel
ayakan/residuberikutnya. Percampuran ini perlu diperhatikan agar tidak terjadi
kesalahan determinasi.

2. Preparasi Foraminifera Besar

13
Buku Panduan Praktikum Paleontologi Analisis

Foraminifera besar biasanya terdapat pada batugamping atau batugamping pasiran


yang mempunyai kekerasan tinggi, sehingga analisisnya dilakukan dengan
sayatan tipis batuan. Cara/ prosedur preparasinya adalah sebagai berikut
:

Sampel batuan yang akan dianalisis


disayat terlebih dahulu dengan
Setelah mendapat arah sayatan
mesing penyayat atau gerinda. Arah
yang dimaksud, sampel ditipiskan
sayatan diusahakan memotong
pada kedua sisinya.
struktur tubuh foraminifera besar
yang ada di dalamnya.

Setelah itu, sisi tersebut Kepada salah satu sisi contoh


ditempelkan pada gelas objek tersebut, dipoleskan bahan abrasif
dengan balsam kanada. (karborundum) dan air.

Sisi lainnya ditipiskan kembali Setelah ketebalan yang dimaksud


hingga sampel menjadi transparan tercapai, balsam kanada diteteskan
dan biasanya mempunyai ketebalan secukupnya dan kemudian ditutup
sekitar 0,03 mm dengan cover glass.

Beri label , dan sampel siap diamati.

3. Preparasi Nannoplankton

14
Buku Panduan Praktikum Paleontologi Analisis

Nannoplankton dapat diamati dengan mikroskop optik, dimanasampelnya


berbentuk smear slide mirip sayatan tipis batuan. Cara/prosedur preparasinya
adalah sebagai berikut :

Ambil satu keping sampel


Ambil bagian dalam sampel
batuan segar seberat kurang
dengan mengunakan cutter /
lebih 10 gram, bersihkan
dikerik , dan letakkan pada
dengan sikat halus dari
gelas objek.
kotoran yang menempel

Tambahkan beberapa tetes


Buang bagian kasar yang
akuades di gelas objekuntuk
tidak larut, sampai gelas
melarutkan batuan,
hampir bening.
kemudian ratakan

Teteskan entelan/balsam
kanada secukupnya,
Panaskan kaca di atas
kemudian tutup dengan cover
hotplate hingga bagian
glass sambil ditekan sehingga
atasnya kering.
tidak terdapat gelembung
udara di dalamnya.

Berikan label dan sampel siap


diamati.

15
Buku Panduan Praktikum Paleontologi Analisis

BAB III PENARIKAN UMUR DAN BATIMETRI

Dalam studi paleontologi, penarikan umur dan batimetri merupakan hal yang penting.
Apabila kita salah dalam penarikannya, maka interpretasi yang kita hasilkan pun menjadi
tidak sesuai. Oleh karena itu sangat penting untuk memahami bagaimana cara melakukan
penarikan umur dan batimetri dari spesies-spesies yang kita identifikasi.
Faktor-faktor utama dalam penarikan umur dan batimetri antara lain.

a. Kelimpahan Spesies yang Ada


Merupakan faktor yang cukup penting dalam penarikan umur dan
batimetri. Kelimpahan spesies digunakan untuk menentukan apakah suatu spesies
merupakan insitu ataukan eksitu. Umumnya, spesies dengan jumlah yang banyak
(kelimpahannya tinggi) akan dianggap sebagai fosil insitu.
b. Kehadiran Spesies Indeks
Merupakan salah satu point utama dalam penentuan umur dan batimetri.
Umumnya, spesies indeks akan mencirikan suatu umur atau batimetri tertentu, dan
akan menjadi hal yang paling diperhitungkan dalam penentuan batimetri dan
umur.
c. Asosiasi Spesies yang Ditemukan
Merupakan hal yang paling umum digunakan dalam penentuan umur dan
batimetri. Dari asosiasi spesies yang ditemukan, kita dapat membuat range umur
maupun batimetri. Kemudian, range umur dan batimetri yang menjadi tampalan
mayoritas spesieslah yang kita ambil sebagai umur dan batimetri dari suatu
sampel.
Apabila ditemukan dua range yang berbeda pada umur, maka pada
umumnya kita akan mengambil umur yang lebih muda karena kemungkinan
terjadi proses reworking yang menyebabkan spesies-spesies yang berumur lebih
tua masuk kedalam sedimen yang berumur lebih muda, walaupun terkadang dapat
pula terjadi leakage. Sedangkan apabila ditemukan dua range pada penarikan
batrimetri, maka umumnya akan dilihat terlebih dahulu bagaimana struktur
sedimen pada batuan yang diamati.

16
Buku Panduan Praktikum Paleontologi Analisis

Tabel 3.1 Penarikan umur berdasarkan asosiasi spesies plangtonik

Tabel 3.2 Penarikan batimetri berdasarkan asosiasi spesies bentonik

17
Buku Panduan Praktikum Paleontologi Analisis

18
Buku Panduan Praktikum Paleontologi Analisis

d. Struktur Sedimen Batuan yang Diidentifikasi


Merupakan faktor tambahan dalam menentukan umur dan batimetri. Hal
ini difokuskan pada ada tidaknya struktur sedimen yang menunjukkan endapan
badai atau tsunami pada batuan yang kita amati. Hal ini akan menjadi
pertimbangan ketika kita mendapatkan dua range batimetri dari sampel yang kita
amati.
Apabila sampel yang kita amati menunjukkan struktur endapan badai
ataupun tsunami, memungkinkan terjadinya proses pengangkutan bentonik laut
dalam menuju daerah yang lebih dangkal. Sehingga range batimetri yang akan
kita ambil adalah batimetri yang lebih dangkal. Sedangkan apabila tidak
ditemukan struktur sedimen yang menunjukkan proses pengendapan badai atau
tsunami, makan kita pilih range batimetri yang lebih dalam. Hal ini berkonsep
bahwa bentonik yang hidup pada kedalaman yang lebih dangkal tertransportasi
dan terendapkan pada daerah yang lebih dalam.

Keempat faktor tersebut adalah faktor-faktor utama yang akan menjadi tahapan dalam
penarikan umur maupun batimetri. Agar penarikan umur dan batimetri tepat, maka
keempat faktor tersebut harus dipertimbangkan yang satu sama lain.

19
Buku Panduan Praktikum Paleontologi Analisis

BAB IV BIOSTRATIGRAFI

Dalam Sandi Stratigrafi Indonesia (1996) biostratigrafi merupakan tubuh lapisan batuan
yang dikorelasi berdasarkan kandungan fosil. Biostratigrafi tentunya berbeda dengan
istilah litostratigrafi yang merupakan ilmu yang membahas tentang pemerian,
pengelompokan dan pengklasifikasi terhadap batuan berlapis berdasarkan litologinya.

Biostratigrafi digunakan untuk menggolongkan batuan berdasarkan kesamaan umur, dan


kandungan fosil dalam batuan sehingga biostratigrafi lebih tepat digunakan untuk
penentuan umur batuan dan biofasies yang menggambarkan umur saat pengendapan
sedimen, serta lingkungan pengendapan dalam suatu suksesi batuan. Selain itu juga
biostratigrafi dapat berperan dalam membantu analisis paleoekologi, paleotemperatur,
paleomorfologi, analisis cekungan, serta menginterpretasi sekuen stratigrafi.

IV.1 Satuan dalam Biostratigrafi


Satuan dasar dalam biostratigrafi adalah zona (biozonasi), yang merupakan suatu tubuh
batuan yang dicirikan oleh kandungan fosilnya yang terdiri dari satu takson atau lebih.
Pada satuan stratigrafi, urutan tingkatan dari besar sampai kecil yaitu Super Zona, Zona,
Sub-zona, dan Zonula (Komisi Sandi Stratigrafi, 1996). Namun yang umum digunakan
adalah tingkatan zona. Tipe zona sendiri didasarkan oleh kumpulan, kelimpahan, dan
interval biozonanya. (Armstrong & Brasier, 2005).
Batas-batas dari suatu zona tidak ditentukan oleh tebal atau luas dari penyebaran tubuh
batuan, namun berdasarkan kandungan fosilnya. Biostratigrafi dapat menggunakan
berbagai fosil antara lain adalah foraminifera, nannofosil, spora, polen, ostracoda, diatom,
radiolaria, moluska. Dinoflagelata, koral, alga, dan porifera. Namun, dalam praktikum
Paleontologi Analisis akan lebih difokuskan pada Biostratigrafi Foraminifera.

IV.2 Jenis Zona dalam Biostratigrafi


Berdasarkan Sandi Stratigrafi Indonesia (1996), pada biostratigrafi terdapat beberapa
jenis zona yang digunakan untuk mengelompokkan umur batuan, antara lain adalah
sebagai berikut. (Gambar 4.1)
a. Zona Kumpulan
Terdiri dari satu lapisan atau lebih yang di dalamnya terdapat kumpulan
suatu jenis spesies fosil. Zona kumpulan dapat digunakan sebagai petunjuk
lingkungan kehidupan masa lampau yang digunakan sebagai penciri waktu.

20
Buku Panduan Praktikum Paleontologi Analisis

Penamaan dari zona kumpulan ini diambil dari satu spesies atau lebih yang harus
merupakan penciri utama zona kumpulan tersebut.
b. Zona Kisaran
Merupakan zona dalam tubuh batuan yang kisarannya berdasarkan
kumpulan keseluruhan fosil yang ditemukan. Fungsi dari zona kisaran ini adalah
untuk korelasi batuan dengan batuan menggunakan skala waktu geologi yang
sama. Penamaan dari zona ini diambil dari satu spesies yang menjadi penciri
utama dari zonanya. Zona ini terbagi menjadi dua, yaitu Zona Kisaran Utuh
apabila Awal (First Appearance, FA) dan Akhir kemunculan (Last Appearance,
LA) dari suatu spesies ditemukan, serta Zona Kisaran Sebagian apabila hanya
salah satu dari Awal atau Akhir kemunculan suatu spesies saja yang ditemukan
dalam suatu suksesi.
c. Zona Puncak
Merupakan zona yang memperlihatkan perkembangan puncak atau
kelimpahan maksimum dari suatu takson atau spesies tertentu. Zona ini berguna
untuk korelasi antar batuan dengan kesamaan umur geologi yang sama, serta
untuk petunjuk lingkungan pengendapan dan iklim purba. Fosil rombakan tidak
digunakan dalam perhitungan zona ini.
d. Zona Selang
Merupakan zona yang memperhitungkan awal kemunculan dan akhir
kemunculan dari dua takson atau spesies penciri. Zona ini berguna untuk korelasi
antar tubuh batuan. Batas atas dan bawah dari zona ini ditentukan dari Awal
kemunculan (FA) dan Akhir kemunculan (LA) dari takson penciri dan
penamaannya diambil dari takson penciri yang mencaji batas atas dan batas bawah
dari zona ini.
e. Zona Rombakan
Merupakan tubuh lapisan batuan yang mengandung sejumlah fosil
rombakan. Penamaan untuk zona ini tidak resmi digunakan. Zona rombakan
biasanya khas terkait dengan aktivitas penurunan muka air laut relatif yang besar
dan dapat bersifat lokal, regional bahkan global.
f. Zona Padatan
Merupakan zona pada tubuh lapisan batuan yang dicirikan oleh
kelimpahan fosil yang padat dimana kepadatan jumlah populasinya sangat jauh

21
Buku Panduan Praktikum Paleontologi Analisis

lebih besar dibanding tubuh batuan yang ada diatas maupun dibawahnya. Sama
seperti zona rombakan, zona padatan pun tidak umum digunakan dalam zonasi
biostratigrafi.

Gambar 4.1 Jenis-Jenis zona biostratigrafi (Komisi Sandi Stratigrafi, 1996)

IV.3 Biozonasi Paleogen-Neogen Foraminifera Plangtonik


Dalam menentukan zonasi dari penyebaran foraminifera, dilakukan perbandingan
dengan biozonasi standar yang telah menjadi acuan dalam biostratigrafi. Pada praktikum
Paleontologi Analisis ini akan lebih difokuskan pada rentang umur Paleogen hingga
Neogen. Sehingga biozonasi yang akan digunakan yaitu Blow (1969), Bolli & Saunders
(1985), dan Wade et.al (2011).

22
Buku Panduan Praktikum Paleontologi Analisis

a. Biozonasi Blow (1969) dan Bolli & Saunders (1985)


Biozonasi Blow (1969) disebtu sebagai zonasi standar karena penelitian
yang dilakukan berdasarkan sampel yang berasal dari hampir semua belahan
bumi. Blow (1969, dalam Bolli, 1985) juga telah membagi biozonasi Kenozoikum
menjadi dua bagian, yaitu Paleogen (Paleosen-Oligosen) dan Neogen (Miosen-
Pleistosen).
Secara Keseluruhan, biozonasi berdasarkan Blow (1969) terdiri dari 22
zona utama Paleogen dengan notasi P1-P22, serta 23 zona utama Neogen dengan
notasi N 1-N23, dimana dalam Bolli & Saunders (1987) zona P20-P22 memiliki
batas yang sama dengan N1-N3.

Tabel 4.1 Biozonasi Foraminifera Plangtonik Paleosen - Eosen


Blow (1969) dan Premoli Silva & Blow (1971)

Tabel 4.2 Biozonasi Foraminifera Plangtonik Oligosen – Pleistosen


Bolli & Saunders (1987) dan Blow (1969)

23
Buku Panduan Praktikum Paleontologi Analisis

b. Wade et.al (2011)


Semakin banyaknya penelitian foraminifera di daerah tropis hingga
subtropis, menghasilkan banyaknya biodatum yang menjadi standar dalam
biostratigrafi. Penelitian semakin akurat dikarenakan telah dikalibrasi dengan
perubahan magnet bumi dari waktu ke waktu. Setelah Blow (1969) dan Bolli &
Saunders (1985) membagi Kenozoikum menjadi dua, yang terbaru adalah Wade
et.al (2011) membagi Kenozoikum menjadi lebih detail. Wade et.al melakukan
penelitian yang menghasilkan notasi P untuk Paleosen, E untuk Eosen, O untuk
Oligosen, M untuk Miosen, Pl untuk Pliosen, dan Pt untuk Pleistosen. Hal ini
membuat biozonasi menjadi lebih rinci dibanding yang pernah ada sebelumnya.
24
Buku Panduan Praktikum Paleontologi Analisis

Tabel 4.3 Biozonasi Foraminifera Plangtonik Wade et.al (2011)

25
Buku Panduan Praktikum Paleontologi Analisis

26
Buku Panduan Praktikum Paleontologi Analisis

IV.4 Aplikasi Biostratigrafi


Biostratigrafi memiliki peranan yang cukup banyak dalam membantu interpretasi
geologi suatu daerah. Namu, pada praktikum Paelontologi Analisis akan difokuskan pada
tiga aplikasi, antara lain:

a. Korelasi Umur antar Jalur Pengukuran Stratigrafi


Salah satu aplikasi dari biostratigrafi adalah untuk mengkorelasi jalur
pengukuran stratigrafi yang satu dengan yang lain berdasarkan umurnya, sehingga

27
Buku Panduan Praktikum Paleontologi Analisis

dapat diketahui posisi dari masing-masing jalur stratigrafi ataukah saling atas-
bawah atau hanya memiliki umur yang sama.
Hal ini dapat dilakukan dengan menghubungkan zonasi atau biodatum
yang sama dari masing-masing jalur stratigrafi tersebut. Dengan begitu, akan
dapat diketahui hubungan dari kedua atau lebih jalur stratigrafi tersebut.

Gambar 4.2 Contoh Korelasi antar Penampang Stratigrafi berdasarkan Biostratigrafi

b. Interpretasi Struktur Geologi Bawah Permukaan


Aplikasi lain dari Biostratigrafi adalah untuk interpretasi struktur geologi
bawah permukaan. Hal ini umumnya menggunakan biostratigrafi dari satu atau
lebih sumur pemboran. Apabila dalam satu sumur terdapat loncatan umur, disebut
zonal gap, dimana umumnya diinterpretasi terdapat sesar turun yang memotong
sumur tersebut. Sebaliknya apabila ditemukan zona umur yang berulang, biasa
disebut zonal repetition, umumnya di interpretasi sebagai adanya sesar naik yang
memotong sumur tersebut.

28
Buku Panduan Praktikum Paleontologi Analisis

Gambar 4.3 Contoh zonal repetition pada Biostratigrafi (Slide Kuliah oleh Wartono Rahardjo, 2007)

Gambar 4.4 Contoh zonal gap pada Biostratigrafi (Slide Kuliah oleh Wartono Rahardjo, 2007)

Gambar 4.5 Contoh Interpretasi Geologi Bawah Permukaan berdasarkan Biostratigrafi (Slide
Kuliah oleh Wartono Rahardjo, 2007)

29
Buku Panduan Praktikum Paleontologi Analisis

c. Menghitung Rate of Sedimentation


Aplikasi lain dari Biostratigrafi adalah untuk menghitung kecepatan
sedimentasi (rate of sedimentation) dari suatu jalur stratigrafi. Dalam perhitungan
kecepatan sedimentasi, data yang harus dimiliki adalah data ketebalan suatu jalur
dan rentang umurnya. Rentang umur biasanya didapatkan dari biodatum yang
ditemukan, sehingga pada umumnya kecepatan sedimentasi dapat dihitung pada
setiap zonasi biostratigrafi.

Dimana ketebalan batuan didapatkan dari data pengukuran stratigrafi, sedangkan


data durasi waktu didapatkan dari selisih umur absolut biodatum yang menjadi
batas atas dan bawah dari suatu zonasi. Umur absolut dari suatu biodatum dapat
dilihat pada Wade et.al (2011) atau Beggren et.al (1995).

Gambar 4.6 Contoh Perhitungan rate of sedimentation (Sato, 2016)

30
Buku Panduan Praktikum Paleontologi An alisis

BAB V PALEOEKOLOGI

Secara garis besar, kehidupan mikroorganisme akuatik terdiri atas dua golongan, yaitu
pelagik (mengambang) dan bentonik (menambat). Jones (1956, dalam Pringgoprawiro &
Kapid, 2000) menggambarkan hubungan antara lingkungan sedimentasi dan jenis
mikroorganisme yang menempatinya, dapat dilihat pada Gambar 5.2.
Dalam bab ini, bagian Paleoekologi yang akan dibahas antara lain adalah Paleoclimate,
Paleobathimetry, Paleosalinity, serta pengaruh kekeruhan air hingga pengaruh arus dan
gelombang. Dan pada praktikum Paleontologi Analisis cenderung akan memfokuskan
pada Paleoclimate dan Paleobathimetri.

Gambar 5.1 Hubungan antara cara hidup dan jenis mikroorganisme lautan (Bignot, 1982)

V.1 Paleoclimate atau Iklim Purba


Iklim Purba atau Paleoclimate merupakan kajian ilmu yang dilakukan untuk analisa
iklim masa lampau. Iklim ini terekam dengan adanya organisme penciri yang dapat
bertahan hidup dengan kondisi iklim tertentu, salah satunya adalah foraminifera
(Sukandarrumidi, 2008).

Foraminifera bermanfaat untuk menentukan iklim purba dari suatu lapisan batuan.
Dalam penentuan iklim purba, akan lebih difokuskan terhadap identifikasi foraminifera
plangtonik. Hal ini dikarenakan hidupnya yang tersebar secara global di perairan laut
mulai dari daerah tropis hingga kutub (Kucera, 2007). Selain itu, sinar matahari
umumnya hanya dapat menembus kedalaman 30-100 m (photik zone), dan zona
tersebut umumnya merupakan zona hidup dari foraminifera plangtonik.

31
Buku Panduan Praktikum Paleontologi An alisis

Gambar 5.2 Skema Hubungan antara Lingkungan Sedinemtasi dan Jenis Mikroorganisme (Jones, 1956
dalam Pringgoprawiro & Kapid, 2000)

Menurut Kucera (2007), penggunaan fosil foraminifera plangtonik terhadap


penentuan temperatur purba dibagi menjadi dua cara, yaitu dengan menghitung
kelimpahan spesies penciri suhu hangat dan dingin, serta menghitung persentase arah
putaran dari foraminifera plangtonik yang terputar secara trochospiral. Selain itu juga
dapat diidentifikasi menggunakan Isotop Oksigen dan Isotop Karbon.

a. Kelimpahan Spesies Penciri Suhu


Untuk mengetahui bagaimana kondisi iklim purba suatu daerah,
penggunaan penyebaran kelimpahan spesies penciri tiap lintang menjadi salah
satu metode penentuan iklim yang tepat (Armstrong & Brasier, 2005).
Menurut Kucera (2007), foraminifera plangtonik dibagi menjadi lima
kelompok spesies yang digunakan untuk mencirikan daerah tropis, subtropis,
transisi, subpolar, dan polar. Penyebaran dan kelimpahan dari spesies foraminifera
sangat terkait dengan suhu air laut pada tiap daerah dan sangat mempengaruhi
kelimpahan spesies penciri tiap daerah. Persebaran spesies dan kelompoknya
dapat dilihat pada Gambar 5.3.

32
Buku Panduan Praktikum Paleontologi An alisis

Gambar 5.3 Penyebaran foraminifera tiap zona lintang (Kucera, 2007)

Pola Keberagaman yang tinggi erat kaitannya dengan suhu permukaan laut
yang tinggi. Namun, kondisi akan berbeda pada daerah ekuator dan zona yang
mengalami upwelling, karena akan kaya dengan fosil berukuran kecil dan
jumlahnya sangat banyak. G.bulloides yang merupakan penciri daerah transisi
juga dapat digunakan sebagai indikator intensitas upwelling ataupun run off
karena sifatnya yang dapat berkembang pada lingkungan dengan regim
produktifitas yang tinggi (Kucera, 2007).

33
Buku Panduan Praktikum Paleontologi An alisis

Tabel 5.1 Spesies Foraminifera plangtonik indikator suhu panas dan dingin (Bricchi et.al., 2003)

b. Persentase Arah Perputaran Cangkang Foraminifera Plangtonik


Iklim purba atau paleoclimate secara tidak langsung dapat mempengaruhi
morfologi dari mikroorganisme. Perubahan-perubahan mendasar dengan fungsi
adaptasi mikroorganisme terhadap iklim tercermin pada variasi arah putaran
cangkang, variasi bentuk test, variasi ukuran pada kamar terakhir, variasi bentuk
pada kamar terakhir, dan variasi ukuran test. Kelima fungsi adapatasi tersebut
menjadi indikator yang tepat untuk penafsiran paleoclimate.
Penafsiran paleoclimate dari jalur pengukuran stratigrafi terukur
didasarkan pada variasi ukuran test, pada fosil yang memiliki bentuk dasar test
globular dan subglobular, hal ini dikarenakan spesies dengan bentuk kamar
globular dan subglobular cenderung hidup pasif mengambang pada bagian muka
air laut sehingga akan kontak langsung dengan sinar matahari, oleh karena itu akan
lebih terpengaruh oleh iklim pada saat spesies tersebut hidup. Sedangkan variasi
arah perputaran cangkang diidentifikasi pada fosil spesies Globorotalia.

Pada iklim yang hangat, nutrisi akan melimpah, sehingga mikroorganisme


yang ada akan memiliki ukuran cangkang yang relatif lebih besar dibanding pada
iklim dingin. Oleh karena itu, iklim purba dapat diidentifikasi dengan
menggunakan persentase perbandingan ukuran besar dan kecil dalam suatu
spesies. Namun, ukuran cangkang tidak hanya dipengaruhi oleh iklim, tetapi juga
dipengaruhi oleh banyak hal lain. Oleh karena itu, penentuan iklim purba
berdasarkan perputaran cangkang dinilai lebih relevan.
Menurut Kucera (2007), perbandingan kelimpahan kandungan
foraminifera yang terputar kearah kanan (dekstral) merupakan penciri suhu
hangat, sedangkan ke arah kiri (sinistral) merupakan penciri suhu dingin. Kedua

34
Buku Panduan Praktikum Paleontologi An alisis

jenis arah putaran kemudian dihitung persentasenya dan di plot dalam bentuk
grafik (Gambar 5.4) untuk mengetahui suhu permukaan laut purba.

Gambar 5.4 Persentase arah putaran fosil foraminifera plangtonik terhadap suhu permukaan laut
(Kucera, 2007)

Adanya pola arah putaran yang berbeda dipengaruhi oleh suhu yang erat
kaitannya dengan posisi lintang. Menurut Kenneth (1968, dalam McGowran,
2005), suhu yang panas berada dalam lintang tropis dan akan semakin mendingin
ke arah kutub. Persebaran spesies berdasarkan arah putarannya pada tiap lintang
diilustrasikan oleh Gambar 5.5

Gambar 5.5 Persebaran N.Pachyderma pada daerah Pasifik Selatan oleh Kenneth (1968, dalam
McGowran, 2005)

35
Buku Panduan Praktikum Paleontologi An alisis

V.2 Paleobatimetri
Faktor kedalaman tentu saja sangat berpengaruh pada kehidupan foraminifera. Hal ini
sangat berkaitan erat dengan kelompok mikrofauna bentonik maupun plangtonik yang
hidup pada kedalaman tertentu. Bignot (1982) meneliti hubungan antara kedalaman air
laut dan kelompok foraminifera resen yang dijumpainya. (Gambar 5.9).

Mempengaruhi jenis dinding cangkang foraminifera. Pada laut dangkal, variasi


jumlah spesies maupun individunya semakin besar. Sebaliknya, pada kedalaman yang
semakin besar, jenis dinding cangkang gampingan akan menjadi sedikit dan cangkang
aglutinin akan semakin banyak karena daya tahannya yang lebih kuat terhadap tekanan air.
Sehubungan dengandaya tahan cangkang foraminifera dan tekanan air karena pengaruh
kedalaman, kita mengenal istilah CCD (Carbonate Compensation Depth), yaitu batas
(kedalaman) yang membuat bahan karbonat melarut dengan sendirinya. Batas ini sangat
bervariasi, tergantung pada kondisi geografi, suhu dan salinitas lokal, serta waktu geologi.
Secara umum batas CCD pada lautan berkisar antara 3000-4000m (Berger, 1975 dalam
Pringgoprawiro & Kapid, 2000).

Gambar 5.6 Repartisi Kelompok Foraminifera resen terhadap fungsi kedalaman (Bignot, 1982)

Pada praktikum Paleontologi Analisis, interpretasi mengenai Paleobatimetri akan


berdasarkan data Pelagic Ratio (P/B Ratio) dan Biofasies Foraminifera Bentonik.

a. Pelagic Ratio (P/B ratio)

36
Buku Panduan Praktikum Paleontologi An alisis

Merupakan salah satu metode penentuan paleobatimetri. Pada metode ini,


penentuan paleobatimetri didasarkan pada persentase perbandingan kelimpahan
organisme Pelagik (Plangton dan Nekton) dengan jumlah organisme keseluruhan
di laut (Plangton, Nekton, dan Bentonik).
Tipsword (1966, dalam Pringgoprawiro & Kapid, 2000) telah membagi
lingkungan batimetri menjadi lima zona (tabel 5.2), yaitu:

Tabel 5.2 Klasifikasi Lingkungan Pengendapan berdasarkan persentase P/B ratio (Tipsword,
1966 dalam Pringgoprawiro & Kapid, 2000)
Kedalaman % Pelagik
Lingkungan
(m) rasio
Inner shelf 0 - 20 0 - 20
Middle shelf 20 - 100 20 - 50
Outer shelf 100 - 200 20 - 50
Upper slope 200 - 1000 30 - 50
Lower slope 1000 - 2000 50 - 100
Keseluruhan zona yang sudah diurai diatas, di ilustrasikan berdasarkan
kedalaman atau paleobatimetri pada Gambar 5.10.

Gambar 5.7 Klasifikasi Paleobatimetri (Tipsword, 1966 dalam Pringgoprawiro & Kapid, 2000)

b. Biofasies Foraminifera Bentonik


Penerapan fosil foraminifera bentonik untuk lingkungan pengendapan erat
kaitannya dengan penyebaran spesies penciri berdasarkan batumetri atau

37
Buku Panduan Praktikum Paleontologi An alisis

kedalaman. Penyebaran ini terkait dengan kemampuan foraminifera bentonik


untuk hidup pada kedalaman tertentu sehingga lingkungan dengan kedalaman
yang berbeda akan memiliki spesies penciri yang berbeda pula.
Untuk penyebaran fosil foraminifera bentonik akan digunakan sebagai
penentu lingkungan pengendapan dengan menggunakan Klasifikasi Tipsword
(1966) yang disasari pada kedalaman habitat dari setiap spesies foraminifera
bentonik. Berdasarkan klasifikasi ini, lingkungan pengendapan terbagi menjadi
beberapa zona, antara lain:
Zona Darat, dicirikan dengan sangat sedikitnya bahkan tidak ada
kandungan foraminifera pada sampel batuan.
Zona Transisi, merupakan zona dengan lingkungan transisi seperti laguna,
estuarin, air payau, dan pantai.
Zona Neritik Dalam, merupakan zona pada laut terbuka dangkal dengan
kedalaman berkisar antara 0 – 20 meter.
Zona Neritik Tengah, merupakan zona pada laut terbuka dangkal dengan
kedalaman berkisar antara 20 – 100 meter.
Zona Neritik Luar, merupakan zona pada laut terbuka dangkal dengan
kedalaman berkisar antara 100 – 200 meter.
Zona Batial Atas, merupakan zona pada laut dalam dengan kedalaman
berkisar antara 200 – 1000 meter.
Zona Batial Bawah, merupakan zona pada laut dalam dengan kedalaman
berkisar antara 1000 – 2000 meter.
Zona Abisal, merupakan zona pada laut dalam dengan kedalaman lebih dari
2000 meter.
Spesies Foraminifera Bentonik penciri setiap zona tersebut dapat dilihat pada buku-
buku yang membahas Foraminifera Bentonik.

38
Buku Panduan Praktikum Paleontologi Analisis

DAFTAR PUSTAKA

Akmaluddin, Watanabe, K., Kano, A., & Rahardjo, W., 2010, Miocene Warm, Tropical Climate:
Evidence Based on Oxygen Isotope in Central Java, Indonesia, International Journal of
Environmental and Earth Sciences, p.52-56.

Armstrong, H., & Brasier, M., 2005, Microfossils, Blackwell Publishing, United Kingdom.

Bandy, O. L., 1960, Planktic Foraminifera Criteria For Paleoclimatic Zonation, Science Report,
Tohuku University, Sendai, Japan, 2nd edition.

Berggren, W. A., Kent, D., & Aubry, M. P., 1995, A Revised Cenozoic Geochronology and
Chronostratigraphy, SEMP Special Publication No. 54.

Bolli & Saunders, 1985, Plankton Stratigraphy, Cambridge University Press, New York,
p.155282.

Boudagher-Fadel, M. K., 2010, Biostratigraphy and Geological Siginficance of Planktonic


Foraminifera, Elsevier B.V., Amsterdam, Netherland, 301 p.

Bricchi, E., Ferrero, E., & Gonera, M., 2003, Paleoclimatic Interpretation Based on Middle
Miocene Planktonic Foraminifera, Elsevier Science B.V., Italy, p. 265-303Jones, R. W.,
1994, The Challanger Foraminifera, Oxford University Press: New York.

Kennett, J. P., & Srinivasan, M. S., 1983, Neogene Planktonic Foraminifera: A Phylogenetic
Atlas, Hutchinson Ross Publishing Company: Stroudsburg, Pennsylvania, 265 p.

Komisi Sandi Stratigrafi Indonesia, 1996, Sandi Stratigrafi Indonesia, Ikatan Ahli Geologi
Indonesia, Jakarta.

Kucera, M., 2007, Planktonic Foraminifera as Tracers of Past Oceanic Envronments, in


Development in Marine Geology vol.1, Elsevier.

McGowran, B., 2005, Biostratigraphy, Microfossils and Geologic Time, Cambridge University
Press: New York.

Pringgoprawiro, H., & Kapid, R., 2000, Foraminifera: Pengenalan Mikrofosil dan Aplikasi
Biostratigrafi, Penerbit ITB Bandung.

Sukandarrumidi, 2008, Paleontologi Aplikasi, Gadjah Mada University Press: Yogyakarta.

Van Gorsel, J. T., & Troelstra, S. R., 1980, Late Neogen Planktonic Foraminiferal
Biostratigraphy and Climatostratigraphy of the Solo River Section (Java, Indonesia),
Elsevier Scientific Publishing Company, Amsterdam, Marine Micropaleontology.

39
Buku Panduan Praktikum Paleontologi Analisis

Wade, B. S., Pearson, P. N., & Berggren, W., 2011, Review and Revision of Cenozoic Tropical
Planktonic Foraminiferal Biostratigraphy and Calibration to the Geomagnetic Polarity
and Astrono,ical Time Scale, Earth Science Riview v. 104.

Zachos, J. M., & Pagani, L., 2001, Trends, Rhythms, and Aberrations in Global Climate 65 Ma to
Present, Science 292.

40

Anda mungkin juga menyukai