Anda di halaman 1dari 3

Remaja Kini, Orang tua, dan Hoax Online

Oleh : Dina Rizki Ambarwati


Hoax memang sudah menempati ruang duniawi sejak zaman dahulu. Bahkan istri dari
Abu Lahab yaitu Ummi Jamil salah seorang yang memusushi Nabi Muhammad SAW adalah
seorang penyebar fitnah atau hoax hingga dijuluki pembawa kayu bakar. Hoax akan terus berada
hingga akhir zaman dan hal itu perlu diatasi agar tidak merugikan. Penyebaran hoax terjadi dari
mulut ke mulut tanpa penyaringan lebih lanjut sehingga seseorang dapat dengan mudahnya
tertipu dengan hoax yang sedang di sebar. Penyebaran hoax pada zaman teknologi sudah
berkembang yaitu melalui media online, akibat kemudahan dalam dunia online menyampaikan
informasi hal ini memudahkan para penyebar hoax untuk menyebarluaskan hoax dengan cepat.
Hoax media online dapat di sebar luaskan memalui sosial media broadcasting. Data dari laman
web kominfo.go.id mengatakan ada 800.000 situs penyebar hoax dan hate speech di Indonesia,
hal ini merupakan salah satu bukti bahwa mudahnya media online membuat banyak sekali situs
ujaran kebencian dan penyebaran hoax di Indonesia. Salah satu hal yang menyebabkan hoax
adalah karena beberapa orang terlalu terbuka sehingga mudah sekali terhasut dan tertipu oleh hal
– hal yang bahkan tidak pernah terjadi. Umumnya, pengguna aktif media pada era teknologi dan
globalisasi ini adalah remaja, mereka terbiasa dalam hal mulai dari berbagi hingga mengkritik
sesuatu dalam media sosial.

Media sosial seperti Instagram dan juga Twitter yang sering digunakan oleh kalangan
remaja merupakan sosial media yang banyak sekali memuat informasi. Tidak jarang informasi
yang didapatkan oleh para remaja kebanyakan terdapat dari dua media sosial tersebut. Tidak
sedikit pula akun – akun seperti Lambe Turah yang terdapat dalam Instagram akun tersebut
merupakan akun penyebar gosip yang bahkan kebenarannya diragukan, sehingga menggiring
opini banyak orang untuk memikirkan hal yang belum tentu terjadi dan menyebarkan pendapat
yang dipikirkan tersebut. Karena banyaknya hoax yang terjadi di sosia media, tidak sedikit juga
konflik yang ditimbulkan dari hoax tersebut. Konflik pada dasarnya adalah hal yang terbilang
buruk sehingga dengan adanya pendukung yaitu hoax, manusia akan memaksimalkan hoax
tersebut untuk keuntungan dirinya dan memenangkan konflik tersebut. Konflik tersebut juga
dapat terjadi pada kalangan remaja, hal itu dapat didasari rasa iri karena dalam era keterbukaan
remaja dapat membagikan kebahagiaan maupun kesedihan yang dialami nya dalam unggahan
media sosial sehingga dapat memancing emosi remaja lain yang tidak suka akan hal tersebut dan
membuat uajaran kebencian dan juga hoax karena pada dasarnya manusia adalah seorang actor
dalam panggung dunia sehingga mampu menyiptakan drama bahkan dari hal yang tidak
mendasar sekalipun.

Hoax juga menyebabkan timbulnya ancaman yang beredar dalam jejaring sosial seperti
pembobolan akun sosial media untuk kepentingan penyebaran hoax atau juga bisa disebut
Scamming. Sehingga remaja seharunya dapat lebih berhati – hati dan memfilter informasi yang
datang bahkan dari teman terdekat sekalipun. Hoax di sosial media juga tidak hanya menyerang
kaum remaja saja, bahkan sebagian besar korban hoax adalah orang tua yang tidak pandai dalam
dunia teknologi. Karena kelemahan tersebut, banyak orang tua yang termakan oleh hoax dalam
dunia internet dan juga sosia medial. Penyebaran hoax dalam kalangan orang tua sudah terbilang
cukup parah karena kebanyakan orang tua tidak ingin mendengarkan saran dan pendapat dari
umur yang lebih muda dari umur mereka. Sehingga dapat menimbulkan perdebatan bahkan
dengan sesama orang tua sekalipun. Salah satu penyebab terjadinya hoax pada orang tua adalah
kurangnya literasi ketika membaca suatu masalah yang mereka dapatkan baik melalui sosial
media WhatsApp dan juga Facebook. Dua sosial media tersebut merupakan sosial media yang
sering digunakan baik bagi orang tua dan juga remaja, namun dalam penggunaan pencari
informasi kebanyakan kalangan orang tua akan melakukan pencarian dalam grup - grup baik
grup WhatsApp maupun grup Facebook. Berdasarkan data dari APJII di tahun 2018, penetrasi
pengguna media sosial Whatsapp di Indonesia berdasarkan usia yaitu 75,50% oleh pengguna
berusia 13-18 tahun, dilanjut dengan 74,23% oleh pengguna berusia 19-34 tahun, sedangkan
pengguna Whatsapp oleh audiens kami yang merupakan ibu – ibu PKK yang ada di Kelurahan
Pakulonan Barat yaitu berusia 35-53 tahun yang aktif menggunakan media sosial Whatsapp dan
juga Facebook Tidak seperti para remaja yang mencari informasi dalam forum terbuka dan juga
timeline semata, kalangan orang tua biasanya mencari dukungan yang sepaham dengan mereka
dan memasuki grup yang sesuai dengan pemahaman mereka.

Dalam penggunaan sosial media internet di era modern, beberapa negara memiliki
peraturan masing – masing dalam penggunaannya. Indonesia memiliki peraturan terkait
teknologi yaitu UU ITE. Undang – undang ini dibuat berdasarkan keputusan bersama dalam
menentukan hukuman dan sanksi bagi para pelanggar. Telah banyak contoh tentang hoax
sehingga dibutuhkan kelompok yang cukup proaktif dalam menyaring hoax dikalangan
masyarakat. Dikarenakan remaja milenial atau remaja kini sangat begitu dekat dengan sosial
media, maka seharusnya kelompok proaktif yang menangkal hoax adalah remaja yang lebih
handal dalam dunia teknologi. Remaja juga memiliki pemikiran yang bisa dibilang lebih kritis
dibandingkan dengan orang tua, karena masa remaja merupakan proses mencari ilmu sehingga
pemikiran remaja lebih terbuka dan fleksibel dibandingan dengan orang tua yang umurnya diatas
mereka. Remaja harus mengetahui bahwa bagaimana informasi hoax berhasil untuk sementara
waktu atau dapat dalam waktu yang cukup lama untuk menerobos otoritas dan menyeret
kepercayaan manusia baik kalangan remaja maupun kalangan orang tua. Terlebih lagi pada
zaman pandemic, banyak sekali hoax – hoax yang mengatasnamakan kesehatan untuk
menyebarluaskan berita yang kebenarannya tidak berdasarkan tentang Covid-19. Karena
penyebaran informasi juga merupakan interaksi sosial sehingga hoax dapat terbangun melalui
komunikasi yang berawal dari dua manusia.

Remaja dapat melakukan penyuluhan baik melakukan secara tatap muka maupun
penyuluhan yang dilakukan secara online. Namun penyuluhan ini harus bersifat menarik agar
remaja bahkan orang tua sekalipun tertarik mengikuti kegiatan tersebut. Namun kebanyakan
orang tua akan merasa hal itu tidak diperlukan dan tidak menarik apabila dilakukan dengan cara
online. Sehingga sebisa mungkin remaja harus proaktif dalam urusan mengatasi permasalahan
hoax dan juga diharapkan bisa melakukan kegiatan dari desa ke desa agar lebih efektif dan
melakukan literasi juga penyuluhan tentang hoax dan juga ujaran kebencian. Lalu dalam bidang
online, remaja harus proaktif juga untuk dapat membuat sejenis artikel tentang pentingnya hoax
atau hal – hal yang berkaitan untuk mencegah hoax itu sendiri. Lalu dimulai dari remaja yang
proaktif untuk menyebarluaskan artikel tentang bahaya nya hoax dan juga hal – hal yang harus
dilakukan untuk mencegah hoax kedalam grup keluarga dan juga teman – teman terdekat. Ketika
para orang tua sudah membaca, biasanya dalam kalangan orang tua akan melakukan Re-Sharing
ke group – group pertemanan mereka sehingga artikel tersebut dapat meluas. Apabila artikel
tersebut dirasa kurang menarik, maka artikel tersebut dapat ditambah dengan sedikit Clickbait
yang digunakan oleh para pembuat konten dalam membuat konten yang menarik di sampul
utamanya sehingga orang tersebut tertarik untuk mengunjungi konten yang dibuat.

Anda mungkin juga menyukai