Anda di halaman 1dari 29

Perlawanan Bangsa Indonesia Terhadap Kongsi Dagang

Nama : Eka Kunthi Novitasari

No. Absen : 13

Kelas : XI MIPA 4

SMA Negeri 1 Klaten

2021
Perlawanan bangsa Indonesia terhadap kongsi dagang.

1. Perlawanan Aceh terhadap kekuasaan Portugis


• Kronologi Perlawanan Aceh Terhadap Portugis
• Jalannya Perlawanan Aceh Terhadap Portugis
• Penyebab Perlawanan Aceh Terhadap Portugis
• Tokoh-Tokoh Perlawanan Aceh Terhadap Portugis
• Akhir Perlawanan Aceh Terhadap Portugis
2. Perlawanan rakyat Maluku
• Latar Belakang
• Perlawanan
• Tokoh Perlawanan Rakyat Maluku
3. Perlawanan rakyat Mataram
• Latar Belakang Perlawanan Rakyat Mataram Terhadap VOC
• Jalannya Perlawanan Mataram Terhadap VOC
• Tokoh-Tokoh Perang Mataram Terhadap VOC
• Akibat Perang Mataram Terhadap VOC
• Perjanjian Giyanti
• Perjanjian Salatiga
• Dampak Perang Mataram Terhadap VOC
• Akhir Perlawanan Rakyat Mataram Terhadap VOC
4. Rakyat rakyat Makassar
• Latar Belakang Perlawanan Rakyat Makassar Terhadap VOC
• Sebab Umum dan Khusus
• Jalannya Pertempuran Makassar
• Tokoh Pertempuran Makassar
• Dampak Perlawanan Rakyat Makassar
• Isi Perjanjian Bongaya
5. Perlawanan rakyat Banten
• Latar Belakang Perlawanan Banten Terhadap VOC
• Jalannya Perlawanan Banten Terhadap VOC
• Munculnya Kembali Perlawanan Banten dan Politik Adu Domba VOC
• Tokoh Perlawanan Banten Terhadap VOC
• Akhir Perlawanan Banten Terhadap VOC
• Dampak Perlawanan Banten Terhadap VOC
6. Perlawanan rakyat Riau
• Perlawanan Rakyat Riau Angkat Senjata
• Perlawanan Rakyat Riau Angkat Senjata
• Strategi Perlawanan Rakyat Riau Angkat Sejata
• Akhir Perlawanan Rakyat Riau Angkat Senjata
• Tokoh Rakyat Riau Angkat Senjata
7. Perlawanan orang-orang Tionghoa
• Latar belakang perlawanan etnis Tionghoa
• Jalannya Perlawanan
• Akhir Perlawanan
8. Perlawanan Raden Mas Said
• Latar Belakang Perlawanan
• Jalannya Perlawanan
• Akhir Perlawanan
1. Perlawanan Aceh Terhadap Kekuasaan Portugis
A. Kronologi Perlawanan Aceh Terhadap Portugis

Sebelum kedatangan bangsa Eropa, masyarakat di wilayah Nusantara hidup dengan


tenteram di bawah kekuasaan raja-raja. Kedatangan bangsa-bangsa Eropa di Indonesia mula-
mula disambut baik oleh bangsa Indonesia, tetapi lama-kelamaan rakyat Indonesia
mengadakan perlawanan karena sifat-sifat dan niat-niat jahat bangsa Eropa mulai terkuak dan
diketahui oleh bangsa Indonesia. Perlawanan-perlawanan yang dilakukan rakyat Indonesia
disebabkan orang-orang Barat ingin memaksakan monopoli perdagangan dan berusaha
mencampuri urusan kerajaan-kerajaan di Indonesia. Setelah Malaka dapat dikuasai oleh
Portugis 1511, maka terjadilah persaingan dagang antara pedagang-pedagang Portugis dengan
pedagang di Nusantara. Portugis ingin selalu menguasai perdagangan, maka terjadilah
perlawanan-perlawanan terhadap Portugis. Sejak Portugis dapat menguasai Malaka, Kerajaan
Aceh merupakan saingan terberat dalam dunia perdagangan. Para pedagang muslim segera
mengalihkan kegiatan perdagangannya ke Aceh Darussalam. Keadaan ini tentu saja sangat
merugikan Portugis secara ekonomis, karena Aceh kemudian tumbuh menjadi kerajaan dagang
yang sangat maju. Melihat kemajuan Aceh ini, Portugis selalu berusaha menghancurkannya,
tetapi selalu menemui kegagalan.

B. Jalannya Perlawanan Aceh Terhadap Portugis

Pada Tahun 1523 melancarkan serangan dibawah pimpinan Henrigues dan diteruskan
oleh de Sauza pada tahun berikutnya. Namun perlawanan yang dilakukan selalu menemui
kegagalan. Maka, untuk melemahkan Aceh, Portugis melancarkan serangan dengan
mengganggu kapal-kapal dagang Aceh. Selain mengganggu pedagangan rakyat Aceh, Portugis
juga ingin merampas kedaulatan Aceh. Hal itu membuat rakyat Aceh marah dan akhirnya
melakukan perlawanan. Usaha-usaha Aceh Darussalam untuk mempertahankan diri dari
ancaman Portugis, antara lain:

• Aceh berhasil menjalin hubungan baik dengan Turki, Persia, dan Gujarat (India),
• Aceh memperoleh bantuan berupa kapal, prajurit, dan makanan dari beberapa pedagang
muslim di Jawa,
• Kapal-kapal dagang Aceh dilengkapi dengan persenjataan yang cukup baik dan prajurit
yang tangguh,
• Meningkatkan kerja sama dengan Kerajaan Demak dan Makassar.
Semangat rakyat Aceh untuk mengusir Portugis dari Aceh sangatlah besar. Puncaknya
adalah pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda (1607-1636). Sultan Iskandar Muda
mencoba menambah kekuatan dengan melipatgadakan kekuatan pasukannya, angkatan laut
diperkuat dengan kapal-kapal besar yang berisi 600-800 prajurit, pasukan kavaleri dilengkapi
dengan kuda Persia, menyiapkan pasukan gajah dan milisi infanteri. Perlawanan terus
dilakukan. Permusuhan antara Aceh dan Portugis berlangsung terus tetapi sama-sama tidak
berhasil mengalahkan, sampai akhirnya Malaka jatuh ke tangan VOC tahun 1641. VOC
bermaksud membuat Malaka menjadi pelabuhan yang ramai dan ingin menghidupkan kembali
kegiatan perdagangan seperti yang pernah dialami Malaka sebelum kedatangan Portugis dan
VOC. Kemunduran Aceh mulai terlihat setelah Iskandar Muda wafat dan penggantinya adalah
Sultan Iskandar Thani (1636–1841). Pada saat Iskandar Thani memimpin Aceh masih dapat
mempertahankan kebesarannya. Tetapi setelah Aceh dipimpin oleh Sultan Safiatuddin 91641–
1675) Aceh tidak dapat berbuat banyak mempertahankan kebesarannya.

C. Penyebab Perlawanan Aceh Terhadap Portugis

Dapat diketahui dan disimpulkan bahwa ada dua sebab mengenai mengapa rakyat Aceh
melakukan perlawanan kepada Portugis.

• Portugis oleh rakyat Aceh dianggap sebagai saingan mereka khususnya di dalam perihal
perdagangan di kawasan sekitar Selat Malaka.
• Portugis ingin menyebarkan agama Katholik di wilayah Aceh. Masyarakat Aceh sangat
tidak bisa menerima ini. Hal tersebut dikarenakan Aceh merupakan sebuah kerajaan Islam.
• Rakyat Aceh ingin sekali mematahkan kekuatan Portugis di daerah Asia Tenggara.
D. Tokoh-Tokoh Perlawanan Aceh Terhadap Portugis

Di antara raja-raja Kerajaan Aceh yang melakukan perlawanan adalah:

• Sultan Ali Mughayat Syah (1514-1528). Berhasil membebaskan Aceh dari upaya
penguasaan bangsa Portugis
• Sultan Alaudin Riayat Syah (1537-1568). Berani menentang dan mengusir Portugis yang
bersekutu dengan Johor.
• Sultan Iskandar Muda (1607-1636). Raja Kerajaan Aceh yang terkenal sangat gigih
melawan Portugis adalah Iskandar Muda. Pada tahun 1615 dan 1629, Iskandar Muda
melakukan serangan terhadap Portugis di Malaka.
E. Akhir Perlawanan Aceh Terhadap Portugis
Menyadari bahwa kekuatan Aceh semakin besar dan besar, tidak ada cara lain selain
menarik semua pasukan dari tanah Aceh. Portugis akhirnya menyerahkan harta benda yang
mereka rampas, yang ternyata juga berhasil dirampas oleh orang Aceh sendiri. Itulah yang
akhirnya menjadi pelajaran bagi Portugis, bukan untuk meremehkan kekuatan rakyat
Indonesia, yang notabene bisa menjadi kekuatan luar biasa jika mereka berkumpul dan
bertarung bersama.

2. Perlawanan Rakyat Maluku


A. Latar Belakang

Latar belakang perlawanan rakyat Maluku mengusir bangsa Belanda karena adanya
praktik monopoli dan sistem pelayaran Hongi yang membuat rakyat sengsara. Belanda
melaksanakan sistem penyerahan wajib sebagian hasil bumi terutama rempah- rempah kepada
VOC. Kompeni juga melangsungkan sistem pelayaran Hongi (hongitochten). Dengan cara itu,
para birokrat Kompeni dapat menginspeksi satu per satu pulau-pulau di Maluku yang bertujuan
menjaga keberlangsungan monopoli rempah-rempah. Kompeni juga punya hak ekstirpasi,
yaitu hak memusnahkan pohon pala dan cengkeh jika harganya turun.

B. Perlawanan

Perlawanan rakyat Maluku muncul pada tahun 1635 di bawah pimpinan Kakiali, Kapitan
Hitu. Saat Kakiali tewas terbunuh, perjuangannya dilanjutkan Kapitan Tulukabessy.
Perlawanan ini baru dapat dipadamkan pada tahun 1646. Sampai akhir abad ke-18 tak terdengar
lagi perlawanan pada VOC. Baru kemudian muncul nama Sultan Jamaluddin, dan Sultan Nuku
dari Tidore. Namun VOC dengan cepat bisa memadamkan perlawanan itu. Lalu pada 1817
muncul tokoh dari di Pulau Saparua bernama Pattimura. Dalam aksi Pattimura itu, Benteng
Duurstede berhasil dihancurkan oleh rakyat Maluku. Bahkan, Residen Belanda Van den Bergh
terbunuh dalam peristiwa tersebut. Tak sampai di situ, Belanda terus membawa pasukan dari
Ambon hingga Jawa demi mengalahkan rakyat Maluku. Peristiwa ini menjalar ke kota lainnya
di Maluku, seperti Ambon, Seram, dan pulau lainnya agar rakyat Maluku mundur. Rakyat
Maluku pun mundur karena kekurangan pasokan makanan. Demi menyelamatkan rakyat dari
kelaparan, Thomas Mattulessia atau Patimurra menyerahkan diri dan dihukum mati.

C. Tokoh Perlawanan Rakyat Maluku

Ada dua tokoh yang terlibat dalam perlawanan tersebut, yakni Patimurra sebagai
pemimpin perlawanan pertama dan pejuang perempuan Khristina Martha Tiahahu. Khristina
Martha Tiahahu diketahui menggantikan kepemimpinan Pattimura yang menyerahkan diri
demi rakyat. Sayang, perjuangannya harus berhenti ketika ia dibawa ke pengasingan di Jawa
dan meninggal dunia. Kolonial pun semakin menerapkan kebijakan yang berat terhadap rakyat
Maluku, terutama rakyat Saparua setelah perlawanan rakyat Maluku. Monopoli rempah-
rempah kembali diberlakukan.

3. Perlawanan Rakyat Mataram


A. Latar Belakang Perlawanan Rakyat Mataram Terhadap VOC

Sultan Agung adalah raja yang paling terkenal dari Kerajaan Mataram. Pada masa
pemerintahan Sultan Agung, Mataram mencapai zaman keemasan. Cita-cita Sultan Agung
antara lain:

• Mempersatukan seluruh tanah Jawa.


• Mengusir kekuasaan asing dari bumi Nusantara.

Terkait dengan cita-citanya ini maka Sultan Agung sangat menentang keberadaan
kekuatan VOC di Jawa. Apalagi tindakan VOC yang terus memaksakan kehendak untuk
melakukan monopoli perdagangan membuat para pedagang Pribumi mengalami kemunduran.
Kebijakan monopoli itu juga dapat membawa penderitaan rakyat. Oleh karena itu, Sultan
Agung merencanakan serangan ke Batavia. Ada beberapa alasan mengapa Sultan Agung
merencanakan serangan ke Batavia, yakni:

• Tindakan monopoli yang dilakukan VOC,


• VOC sering menghalang-halangi kapal-kapal dagang Mataram yang akan berdagang ke
Malaka,
• VOC menolak untuk mengakui kedaulatan Mataram, dan
• Keberadaan VOC di Batavia telah memberikan ancaman serius bagi masa depan Pulau
Jawa.

Pada tahun 1628 telah dipersiapkan pasukan dengan segenap persenjataan dan
perbekalan. Pada waktu itu yang menjadi gubernur jenderal VOC adalah J.P. Coen. Sebagai
pimpinan pasukan Mataram adalah Tumenggung Baureksa. Tepat pada tanggal 22 Agustus
1628, pasukan Mataram di bawah pimpinan Tumenggung Baureksa menyerang Batavia.
Pasukan Mataram berusaha membangun pos pertahanan, tetapi kompeni VOC berusaha
menghalang-halangi, sehingga pertempuran antara kedua pihak tidak dapat dihindarkan. Di
tengah-tengah berkecamuknya peperangan itu pasukan Mataram yang lain berdatangan seperti
pasukan di bawah Sura Agul-Agul yang dibantu oleh Kiai Dipati Mandurareja dan Upa Santa.
Datang pula laskar orang-orang Sunda di bawah pimpinan Dipati Ukur. Pasukan Mataram
berusaha mengepung Batavia dari berbagai tempat. Terjadilah pertempuran sengit antara
pasukan Mataram melawan tentara VOC di berbagai tempat.

B. Jalannya Perlawanan Mataram Terhadap VOC

Berikut ini terdapat beberapa jalannya perlawanan mataram terhadap voc, yaitu sebagai
berikut:

a. Proses Serangan Pertama Mataram Terhadap VOC (1628)

Konflik kepentingan antara ketiga belah pihak yaitu Mataram, VOC, serta Benten akan
menimbulkan perang yang akan terjadi di Batavia. Sejak tahun 1620 telah disebut-sebut adanya
maksud Mataram untuk menyerang Batavia, Mataram pernah diberitakan mengumpulkan
100.000 prajurit, untuk menyerang Batavia, namun pasukan ini batal menjalankan misinya
karena ada kepentingan kerajaan yang lebih mendesak. Pada 1626 Sultan kembali diberitakan
mengumpulkan pasukan sebanyak 900.000 yang akan dipersiapkan untuk menyerang orang
kafir (VOC) di Batavia, namun misi ini juga gagal karena pasukan mataram harus
memadamkan pemberontakan Pati (1627). Pada April 1628 Mataram melakukan serangan
pertamanya ke Batavia. Kyai Rangga dikirim ke Batavia dengan 14 perahu yang memuat beras,
Kyai Rangga ini datang untuk meminta bantuan VOC untuk Mataram yang ingin menyerang
Banten, tapi hal ini ditolak pihak VOC. 22 agustus 1628, 50 kapal mendarat di Batavia, dengan
perlengkapan yang sangat komplit. 2 hari kemudian muncul 7 perahu meminta izin perjalanan
ke Malaka, VOC telah menangkap sinyal serangan yang akan terjadi menyikapi hal itu VOC
berusaha tidak mempertemukan kapal yang baru datang dengan yang terakhir datang, karena
dikawatirkan terjadi pertukaran senjata antar kapal, namun usaha itu gagal. Keesokan harinya
20 buah kapal Mataram menyerang pasar dan benteng Batavia, banyak korban yang jatuh.
Namun VOC justru tak bergeming karena VOC sudah mensiasati ini agar VOC dapat dengan
mudah mengusir pasukan Mataram karena tidak ada tempat persembunyian bagi pasukan
Mataram. Melihat keadaan ini terpaksa pasukan Mataram mundur dan mengungsi ke daerah
berpohon dan membangun benteng dari bambu anyaman serta membangun parit-parit di sekitar
wilayah peperangan. Namun VOC mengirim tentara ke parit tersebut dan mengusir tentara
Mataram yang ada di sana. Tetapi Diceritakan pula di sumber lain bahwa pada 26 agustus 1628,
datanglah pasukan Mataram ke Batavia berjumlah sekitar 10.000 pasukan yang dipimpin oleh
Tumenggung Bahureksa, dengan cara berbaris mereka mendekati benteng VOC. Menyikapi
hal ini pemimpin VOC memerintahkan untuk menebang hutan dan membakar perkampungan
disekitarnya untuk membatasi gerak gerik pasukan Mataram. Namun pasukan Mataram tak
tinggal diam dan membangun benteng pertahanan di daerah perang yang terbuat dari tumpukan
pohon kelapa dan tumpukan pohon pisang serta dipagari oleh bambu yang sudah dibelah dua.
Bahkan mereka juga membuat parit pertahanan untuk melindungi diri. Di sumber lain
disebutkan juga bahwa Bahureksa menulis surat ancama kepada Coen pada 21 septemeber
1628, yang isinya dalam waktu 10 atau 12 hari akan datang pasukan besar dibawah pimpinan
Dipati Madurareja, Dipati Upasanta, Dipati Tohpati, dan Tumenggung Anggabaya kemudian
akan datang pula pasukan yang sama besarnya di bawah pimpinan pangeran Adipati Juminah.
Namun dalam keadaan berikutnya disebutkan bahwa tentara Baurekasa dipukul mundur dan
tercerai berai bahkan peminpinnya pun gugur dalam pertempuran itu, VOC mengira mereka
telah bebas dari musuh tetapi setelah pasukan Baureksa hancur, muncullah tentara kedua yang
lebih besar panglima tertingginya yakni Tumenggung Sura Agulagul. Ia berusaha
membelokkan arah aliran sungai dan memaksa orang yang terkepung untuk menyerah pada
Mataram. Tapi semua usaha ini sia-sia, pasukannya sendiri banyak yang mati karena penyakit
dan kelaparan. Pada 3 Desember dia membubarkan pengepungannya dan membunuh
panglima-panglima bawahannya yaitu Dipati Madurareja dan Dipati Upasanta bersama dengan
orang-orangnya.

Kembali pada pernyatan awal, 21 oktober 1628 hampir seluruh pasukan VOC di Batavia
dikerahkan untuk Melakukan serangan pada Mataram, kekuatan pasukan VOC itu sekitar 2.866
serdadu. Komandannya Letkol Jacques le Febvre. Pasukan kompeni dibagi menjadi beberapa
kelompok pasukan yang bertugas menyerang pasukan Ukur dan Sumedang antara ialah:

Pasukan berkuda berjumlah 4 orang menyerang dari arah barat laut

Pasukan Avantrgarde, terdiri atas 3 regu yang dipimpin oleh, Kapten Dietloff Specht, ghysbert
van Lodensteynx dan kapten Andrian Anthonisz, komandan gernisun benteng Batavia.

• Batalion di bawah Mayor Vogel


• Pasukan Arrieregarde
• Pasukan orang-orang merdeka dan orang Jepang.

Seperti yang telah disebutkan pada di atas. Kegagalan diakibatkan oleh kurangnya
persiapan dan juga terbatasnya bahan makanan juga serangan penyakit pada pasukan Mataram.
Berhubung karena kegagalan ini maka atas dasar hukum yang berlaku di Mataram sejumlah
pimpinan, yaitu pangeran Madurareja dan Upasanta dihukum mati, dan dengan demikian
serangan pertama mengalami kegagalan.

b. Proses Serangan Kedua Mataram Terhadap VOC (1629)

Setelah mengalami kekalahan pada serangan yang pertama(1628) Mataram kembali


melakukan serangan yang kedua, maka persiapan pun dilakukan, bahkan dikatakan pasukan
Mataram telah menyiapkan perbekalan logistik para prajurit di tempat-tempat tertentu dalam
perjalanan ke Batavia. Pasukan Mataram berangkat dalam 2 gelombang, yang pertama
berangkat akhir mei 1629 dan yang kedua 20 juni 1629, dan pada Bulan Agustus pasukan
Mataram ditargetkan telah di Batavia. Pada 20 juni 1629 ada kejadian penting yang akan
merubah jalannya cerita kemenangan pasukan Mataram dalam menghadapi VOC. Mataram
telah mengirim sekelompok utusan sebagai mata mata, namun salah seorang utusan malah
membocorkan rahasia dan siasat ini, maka pada para utusan tiba di Batavia yang kedua kalinya,
ia ditangkap dan diinterogasi perihal kemungkinan serangan Mataram yang kedua yang bakal
terjadi. Mengetahui Mataram hendak melancarkan serangan keduanya VOC lalu membakar
seluruh perbekalan logistik Mataram di seluruh tempat. Pada 8 september 1629 pasukan
mataram menggali parit pertahanan yang dilindungi kayu dan bambu, parit ini digali dari
markas pertahanan pasukan mataram menuju benteng Holandia VOC, namun seperti biasa
VOC selalu bisa menggagalkan proyek pertahanan Mataram tersebut. Terdapat pula kelompok
lain yang juga berusaha merongrong pertahanan benteng Bommel. Beberapa prajurit berusaha
masuk ke benteng untuk membuka pintu, namun sebelum hal itu terjadi pasukan VOC telah
menembaki prajurit mataram tersebut. Pernah pula pasukan Mataram berencana menyerang
tembok benteng VOC dengan serangan meriam Mataram, namun VOC dibawah pimpinan
Antonio van Diemen bisa mengatasi serangan itu, bahkan melancarkan serangan balik pada
Mataram. Dalam beberapa sumber disebutkan bahwa pada tanggal 20 September 1629
gubernur Jendral Jan Pieterszoon Coen meninggal dunia karena serangan penyakit. Pada hari
yang sama terjadi serangan besar-besaran pasukan Mataram dan serangan puncak, serangan ini
tertuju pada benteng Weesp, banyak pasukan Matram tertawan oleh pasukan VOC, maka pada
suatu saat tawanan pasukan VOC sudah terlalu banyak yang tentunya menambah dana logistic
VOC, maka diputuskan untuk menghentikan penawanan. Kegagalan pada serangan puncak ini
akan berakibat pada hilangnya semangat juang para prajurit Mataram ini, tapi sebenarnya
akibat kekalahan tentara Mataram terletak pada kurangnya bahan makanan atau logistic
pasukan Mataram, pada umumnya tentara Mataram mengalami kelaparan, bahkan disebutkan
banyak yang meninggalkan arena peperangan karena kelaparan.
C. Tokoh-Tokoh Perang Mataram Terhadap VOC

Raja Mataram yang paling gigih menyerang VOC di Batavia adalah Sultan Agung
Hanyakrakusuma. Perlawanan rakyat Mataram saat diperintah Sultan Agung Hanyakrakusuma
untuk menyerang VOC di Batavia terjadi dua kali, meskipun kedua-duanya belum memperoleh
keberhasilan. Perlawanan rakyat Mataram terhadap VOC di Batavia dilakukan pada bulan
Agustus 1628 yang dipimpin oleh Tumenggung Bahurekso. Walaupun pasukan Mataram
kelelahan akibat menempuh jarak yang sangat jauh dengan persediaan bahan makanan yang
mulai menipis, pasukan Mataram mampu melakukan serangan terhadap VOC di Batavia
sepanjang hari. Perlawanan rakyat Mataram kedua terhadap VOC di Batavia dilaksanakan
tahun 1629 dan dipimpin oleh Dipati Puger dan Dipati Purbaya. Meskipun persediaan bahan
pangan sudah mulai menipis, pasukan Mataram tetap menyerbu Batavia dan berhasil
menghancurkan benteng Hollandia. Penyerbuan berikutnya dilanjutkan ke benteng Bommel
tetapi belum berhasil karena pasukan Mataram sudah mulai kelelahan dan kekurangan bahan
makanan.

D. Akibat Perang Mataram Terhadap VOC

Perlawanan pasukan Sultan Agung terhadap VOC memang mengalami kegagalan. Tetapi
semangat dan cita-cita untuk melawan dominasi asing di Nusantara terus tertanam pada jiwa
Sultan Agung dan para pengikutnya. Sayangnya semangat ini tidak diwarisi oleh raja-raja
pengganti Sultan Agung. Setelah Sultan Agung meninggal tahun 1645, Mataram menjadi
semakin lemah sehingga akhirnya berhasil dikendalikan oleh VOC. Sebagai pengganti Sultan
Agung adalah Sunan Amangkurat I. Ia memerintah pada tahun 1646 -1677. Ternyata Raja
Amangkurat I merupakan raja yang lemah dan bahkan bersahabat dengan VOC. Raja ini juga
bersifat reaksioner dengan bersikap sewenang-wenang kepada rakyat dan kejam terhadap para
ulama. Oleh karena itu, pada masa pemerintahan Amangkurat I itu timbul berbagai perlawanan
rakyat. Salah satu perlawanan itu dipimpin oleh Trunajaya.

E. Perjanjian Giyanti

Ketika kerajaan Mataram berada di Keraton Kartasura, terjadi pemberontakan oleh Mas
garendi (Sunan Kuning). Alasannya karean ia mendesak Pakubuwana II (anak dari Pangeran
Puger) yang berkuasa tahun 1726 sampai 1749, agar tidak berkerja sama dengan Kompeni
Belanda. Kebijakannya diantaranya, Belanda diizinkan untuk membuat Benteng-benteng di
Karatasura. Begitu juga pemberontakan dilakukan oleh Pangeran Sambernyowo (R.M. Said),
karena daerah Sukowati yang diberikan pada ayahnya di cabut pada tahun 1742. Akibat dari
pemberontakan tersebut, akhirnya Pakubuwana II lari ke Ponorogo untuk meminta bantuan
kepada Bupati Ponorogo dan kompeni Belanda. Atas bantuan Mayor Baron Van Hanendrof
dan Adipati Bagus Suroto (Ponorogo), akhirnya pemberontakan dapat dipadamkan. Karena
keadaan keraton Kartasura yang hancur, maka PB II mengutus Tumenggung Tirtowijoyo dan
Pangeran Wijil untuk mencari tempat baru. Dengan berbagai pertimbangan, akhirnya pada
tahun 1745, Sala dipilih sebagai tempat baru kerajaan dan berubah nama menjadi “Surakarta
Hardiningrat”. Campur tangan Belanda dalam setiap urusan di Mataram Surakarta membuat
bangsawan kerajaan Surakarta pecah menjadi dua kelompok yaitu setuju dengan Belanda. Dan
yang tidak setuju dengan Belanda. Yang tidak setuju termasuk adalah R. M Said (Pangeran
Sambernyowo). Ia sering kali mendatangi tangsi-tangsi Belanda dan Merebut senjata mereka.
Belanda dibuat pusing dengan pemberontakan tersebut dan Belanda menghadap PB II untuk
meminta bantuan. Akhirnya PB II memberikan sayembara, siapa yang dapat mengatasi
pemberontakan tersebut, maka akan di beri hadiah sebidang tanah di Surakarta (Mataram).
Kemungkinan itu juga tidak lepas dari desakan Kompeni Belanda. Pangeran Mangkubumi
(adik PB II; dan menjabat sebagai penasehat raja Mataram) menyanggupi untuk memadamkan
pemberontakan Pangeran Sambernyowo tersebut. Selain Raden Said, ada juga Ki Martapura
(bekas Bupati Grobogan) yang bergabung dengan Raden Said untuk melawan Kompeni
Belanda. Sebenarnya Pangeran Mangkubumi juga tidak suka terhadap Belanda. Akhirnya ia
berbalik arah, yaitu dengan bergabung dengan Raden Said yang sudah selama sembilan tahun
(1743-1752) melawan Kompeni Belanda. Pangeran Mangkubumi mengkabarkan ke Keraton
bahwa pemberontakan sudah dipadamkan. Alangkah terkejutnya Pangeran Mangkubumi
ketika diadakan Paseban Agung (upacara besar) yang dihadiri oleh segenap pembantu PB II
dan pejabat Kompeni Belanda.Dalam acara tersebut Kompeni Belanda mengusulkan agar
sebidang tanah tersebut diberikan kepada patih mataram bukan penasehat raja (Pangeran
Mangkubumi). Atas usul tersebut PB II bingung dan meminta pengertian dari adiknya
(Pangeran Mangkubumi) untuk bisa menerima. Pangeran Mangkubumi meminta restu kepada
PB II, bahwa ia akan mengusir Kompeni Belanda dari bumi Mataram. Mulai sejak itu Pangeran
Mangkubumi menghimpun kekuatan dengan mendirikan Pasenggerahan di Sukowati. Selain
itu juga ia bergabung denga rakyat Mataram di sebelah barat dan dengan Raden Said. Akhirnya
Pemberotakan yang sudah direncanakan matang terjadi, pihak Kompeni Belanda dan Mataram
mengalami kekalahan. Akhirnya Belanda mengangkat topi dan memenuhi janjinya yaitu
menyerahkan sebagian wilayah Mataram kepada yang dapat memadamkan pemberontakan
(Pangeran Mangkubumi). Diadakan di Giyanti, pada tanggal 13 Februari tahun 1755, diadakan
suatu perundingan perdamaian (Perjanjian Giyanti). Intinya Mataram di bagi menjadi dua.
Wilayah sebelah timur disebut Kasunanan Surakarta dengan Pakubuwana II sebagai raja dan
wilayah Barat disebut Kasultanan Yogyakarta dengan Pangeran Mangkubumi sebagai raja
yang bergelar Hamengku Buwono I (HB I). Setelah diadakan perjajian Giyanti, Pangeran
Mangkubumi menghentikan pemberontakannya. Kemudian hidup tentram tanpa gangguan
Belanda. Sedangkan Raden Said tetap melakukan pemberontakan terhadap Kompeni Belanda
di Surakarta.

F. Perjanjian Salatiga

Wilayah Mataram sudah dibagi menjadi dua, dan Pangeran Mangkubumi sudah
mengakhiri pemberotakannya. Namun tidak begitu dengan Raden Said (Pangeran
Sambernyowo; 1725-1795), ia tetap melanjutkan pemberontakannya terhadap Belanda di
Surakarta. Raden Said sangat membenci terhadap Kompeni Belanda dan menginginkan adanya
persamaan hak dan kewajiban rakyat Mataram. Sejak kecil ia sudah membenci Kompeni
belanda. Pada umur 16 tahun ia sudah memberontak bersama Sunan Kuning terhadap belanda.
Tepatnya pada 30 Juni 1742. Dengan adanya perjanjian Giyanti sebenarnya ditentang oleh
Raden Said, karena hal tersebut adalah rekayasa Kompeni Belanda untuk memecah mataram.
Setelah Pangeran Mangkubumi sudah menjadi Raja Yogyakarta, Raden Said berjuang
sendirian memimpin pasukan melawan dua kerajaan yaitu, Pakubuwono III &
Hamengkubuwono I (yaitu P. Mangkubumi, yang dianggapnya berkhianat dan dirajakan oleh
VOC), padahal Pangeran Mangkubumi dulunya adalah temannya dalam melawan Kompeni
Belanda, serta perlawanan pasukan Kumpeni (VOC), pada tahun 1752-1757. Selama kurun
waktu 16 tahun, pasukan Raden Said melakukan pertempuran sebanyak 250 kali. Karena
pemberontakan yang dilakukan terus menerus, akhirnya terjadilah perdamaian dengan Sunan
Paku Buwono III. Dengan ditanda tanganinya Perjanjian Salatiga, pada17 Maret 1757 di
Salatiga. Isinya adalah untuk menetapkan wilayah kekuasaan Mangkoenagoro. Perjanjian ini
memberi Pangeran Sambernyawa separuh wilayah Surakarta (4000 karya, mencakup daerah
yang sekarang adalah Kabupaten Wonogiri dan Kabupaten Karanganyar, dan sedikit wilayah
di Yogyakarta). Dalam perjanjian yang hanya melibatkan Sunan Paku Buwono III, dan saksi
utusan Sultan Hamengku Buwono I (Patih Danurejo) dan Kumpeni Belanda, juga disepakati
bahwa, Raden Said (pangeran sambernyowo) diangkat menjadi Mangkoenagoro I dan menjadi
penguasa kadipaten Mangkunegaran. Mangkunegoro hanya sebagai Adipati Miji (alias
mandiri) dan tidak menyandang gelar Sunan atau sultan. Walaupun sebagai Adipati mijil,
kedudukan hukum mengenai Mangkunagoro I, tidaklah sama dengan Kasunanan surakarta.
G. Dampak Perang Mataram Terhadap VOC

Berikut ini terdapat beberapa dampak perang mataram terhadap voc, terdiri atas:

• Munculnya pemberontakan yang diakibatkan dari kekalahan atas VOC.


• Berkurangnya kepercayaan rakyat Mataram terhadap Sultan Agung.
• Banyak daerah Mataram yang melepaskan diri.
• Berkurangnya pasokan SDA karena telah dibabat habis oleh VOC.
H. Akhir Perlawanan Rakyat Mataram Terhadap VOC

Keberhasilan Mataram dapat dibalas oleh VOC. VOC mengalahkan Mataram dengan
menghancurkan lumbung-lumbung padi di Cirebon dan Tegal dengan cara dibakar. Akibatnya,
pasukan Mataram yang menyerang VOC kesulitan pangan. Selain itu jarak antara Yogyakarta
dengan Batavia, kalahnya persenjataan, dan penyakit malaria menjadi alasan kekalahan
Mataram dalam menghadapi VOC. Kegagalan yang kedua kalinya ini tidak membuat Sultan
Agung, malah membuat Sultan Agung memunyai keinginan membuat penyerangan yang
ketiga. Namun, hal tersebut tidak terwujud karena tahun 1645 Sultan Agung meninggal dunia.

4. Perlawanan Rakyat Makassar


A. Latar Belakang Perlawanan Rakyat Makassar Terhadap VOC

Perlawanan rakyat Makassar terhadap VOC terjadi pada tahun 1654-1655 yang
dipimpin oleh Sultan Hasanuddin. Pada pertengahan abad ke-17, Kerajaan Makassar menjadi
pesaing berat bagi VOC terutama dalam bidang pelayaran dan perdagangan di wilayah
Indonesia Timur. Persaingan dagang tersebut terasa semakin berat untuk VOC, sehingga VOC
merancang siasat dengan berpura-pura ingin membangun hubungan baik dan saling
menguntungkan dengan Kerajaan Makassar. Upaya VOC yang sepertinya terlihat baik ini
disambut baik oleh Raja Gowa dan kemudian VOC diberikan izin untuk berdagang secara
bebas. Setelah mendapatkan kesempatan berdagang dan mendapatkan pengaruh di Makassar,
VOC mulai mengajukan tuntutan kepada Sultan Hasanuddin. Tuntutan VOC terhadap
Makassar ditentang oleh Sultan Hasanudin dalam bentuk perlawanan dan penolakan semua
bentuk isi tuntutan yang diajukan oleh VOC yang sangat ingin menguasai perdagangan di
daerah Indonesia Timur. Oleh karena itu, VOC selalu berusaha mencari jalan untuk
menghancurkan Makassar sehingga terjadilah beberapa kali pertempuran antara rakyat
Makassar melawan VOC.

B. Sebab Umum dan Khusus


Berikut ini terdapat beberapa sebab umum dan khusus VOC ingin menguasai Makassar, terdiri
atas:

• Belanda menganggap Makasar sebagai pelabuhan


• Belanda mengadakan blokade ekonomi terhadap
• Sultan Hasanuddin menolak monopoli perdagangan Belanda di
C. Jalannya Pertempuran Makassar

Perang Makasar (1666-1668) sebenarnya dipicu oleh perang dagang antara Kerajaan
Makasar yang menjadikan pelabuhannya bebas dikunjungi oleh kapal-kapal dari Eropa ataupun
dari Asia dan Nusantara, dengan pihak VOC yang ingin memaksakan monopoli. Pelabuhan
Makasar dianggap menyaingi perniagaan VOC. Keinginan VOC untuk mengontrol jalur
perniagaan laut, ditolak oleh Sultan Hasanuddin. Dalam kebudayaan bahari yang dimiliki oleh
orang Makasar, mereka memiliki filosofi bahwa secara umum laut adalah milik bersama,
siapapun boleh melayarinya. Permintaan VOC agar Sultan menerima monopoli perdagangan
di Makasar ditolak oleh Sultan Hasanuddin. Bahkan Sultan mengatakan:

“Tuhan telah menciptakan bumi dan lautan, telah membagi-bagi daratan di antara umat
manusia. Tetapi mengaruniakan laut untuk semuanya. Tak pernah kedengaran larangan buat
siapapun untuk mengarungi lautan.”

Jawaban ini meneguhkan semangat orang-orang Makasar untuk melawan tindakan yang
memaksakan kehendak, padahal sudah sejak lama, perniagaan laut di Asia Tenggara ini
berjalan dengan sistem pasar bebas. Pihak penguasa hanya mengontrol keamanan laut dan
pelabuhan dengan menarik cukai atas bermacam mata dagangan. Bahkan para penguasa juga
menjadi kaya karena menjadi juragan atau pemilik kapal-kapal dagang. Namun sejak
kekalahan dalam Perang Makasar banyak bangsawan, saudagar, dan pelaut Makasar yang
meninggalkan kampung halamannya pergi merantau ke seluruh kepulauan Nusantara.
Sementara itu sebagaian besar bangsawan Bugis di Wajo yang menjadi sekutu Kerajaan Gowa-
Tallo juga melakukan pengungsian setelah ibukota kerajaan di Tosora dihancurkan oleh VOC.
Peperangan yang terjadi kemudian pada pertengahan abad ke 18 antara Kerajaan Bone
melawan Kerajaan Gowa-Tallo dan Kerajaan Wajo juga makin menambah besar jumlah
penduduk yang mengungsi. Namun para pengungsi Makassar dan Bugis generasi awal telah
beradaptasi dengan baik di lingkungan barunya. Kebanyakan orang Bugis kemudian menetap
di wilayah kepulauan Riau dan Semenanjung Malaya, sementara orang Makasar di Jawa dan
Madura. Sedangkan dalam jumlah kecil mereka menyebar hampir di seluruh wilayah
kepulauan Indonesia. Dalam proses awal adaptasi, Andaya melihat bahwa para pengungsi
Makasar awalnya mengalami kegagalan karena sifat mereka terus memusuhi VOC, sehingga
di Jawa Timur, Karaeng Galengsung dan pengikutnya, mendukung pemberontakan Trunojoyo
melawan Mataram dan VOC, yang pada akhirnya mengalami kekalahan pada tahun 1679. Hal
yang sama juga terjadi di Banten ketika Karaeng Bontomarannu tiba di Banten dengan 800
orang pengikutnya dan mendapatkan tempat tinggal dari SultanB anten, sampai kemudiaan
ditinggalkan akibat perang antara VOC dan Banten tahun 1680. Sebaliknya menurut Andaya,
para pengungsi dari Bugis tidak memposisikan sebagai musuh VOC dengan tidak mendukung
perlawanan penguasa setempat terhadap VOC. Sehingga orang-orang Bugis ini relatif tidak
dicurigai oleh VOC. Para bangsawan Bugis dan pengikutnya yang berada di tanah
Semenanjung Malaya justru diminta bantuan oleh Sultan Johor, Abd al-Jalil untuk melawan
saingannya, Raja Kecik, yang ingin merebut tahta dengan bantuan Orang Laut. Setelah
musuhnya berhasil dikalahkan, Sultan memberikan daerah kepulauan Riau sebagai tempat
tinggal orang-orang Bugis. Pada abad ke-18, para bangsawan Bugis ini kemudian membentuk
kerajaan yang otonom di kepulauan Riau. Pertempuran antara rakyat Makassar dengan VOC
terjadi. Pertempuran pertama terjadi pada tahun 1633. Pada tahun 1654 diawali dengan perilaku
VOC yang berusaha menghalang-halangi pedagang yang akan masuk maupun keluar
Pelabuhan Makassar mengalami kegagalan. Pertempuran ketiga terjadi tahun 1666-1667,
pasukan kompeni dibantu olehpasukan Raja Bone (Aru Palaka) dan pasukan Kapten Yonker
dari Ambon. Angakatan laut VOC, yang dipimpin oleh Spleeman. Pasukan Arung Palakka
mendarat din Bonthain dan berhasil mendorog suku Bugis agar melakukan pemberontakan
terhadap Sultan Hasanudin. Penyerbuan ke Makassar dipertahankan oleh Sultan Hasanudin.
Sultan Hasanudin terdesak dan dipaksa untuk menandatangani perjanjian perdamaian di Desa
Bongaya pada tahun 1667.Faktor penyebab kegagalan rakyat Makassar adalah keberhasilan
politik adu domba Belanda terhadap Sultan Hasanudin dengan Arung Palakka. Membantu
Trunojoyo dan rakyat Banten setiap melakukan perlawanan terhadap VOC. Dengan
disahkannya perjanjian Bongaya, maka Rakyat Gowa merasa sangat dirugikan oleh karena itu
perang pun kembali berkecamuk. Pertempuran hebat itu membuat Belanda cemas, sehingga
menambah bala bantuan dari batavia. Dalam pertempuran dahsyat pada bulan Juni 1669 yang
cukup banyak menelan korban di kedua belah pihak, akhirnya Belanda berhasil merebut
benteng pertahanan yang paling kuat di Somba Opu. Benteng Somba Opu diduduki Belanda
sejak 12 Juni 1669 dan kemudian dihancurkan, setelah pasukan Gowa mempertahankannya
dengan gagah berani. Peperangan demi peperangan melawan Belanda dan bangsanya sendiri
(Bone) yang dialami Gowa, membuat banyak kerugian. Kerugian itu sedikit banyaknya
membawa pengaruh terhadap perekonomian Gowa. Sejak kekalahan Gowa dengan Belanda
terutama setelah hancurnya benteng Somba Opu, maka sejak itu pula keagungan Gowa yang
sudah berlangsung berabad-abad lamanya akhirnya mengalami kemunduran. Akibat perjanjian
Bongaya, pada tahun 1667 sultan Hasanuddin Tunduk. Dalam perjanjian itu, nyatalah
kekalahan Makassar. Pardagangannya telah habis dan negeri-negeri yang ditaklukkannya harus
dilepaskan. Apalagi sejak Arung Palakka menaklukkan hampir seluruh daratan Sulawesi
Selatan dan berkedudukan di Makassar, maka banyak orang Bugis yang pindah di Makassar.
Sejak itu pula penjajahan Belanda mulai tertanam secara penuh di Indonesia. Makassar, sebagai
ibukota kerajaan Gowa mengalami pengalihan-pengalihan baik dari segi penguasaan maupun
perkembangan-perkembangannya. Pengaruh kekuasaan gowa makin lama makin tidak terasa
di kalangan penduduk Makassar yang kebanyakan pengikut Aru Palaka dan Belanda . benteng
Somba Opu yang selama ini menjadi pusat politik menjadi kosong dan sepi. Pemerintahan
kerajaan Gowa yang telah mengundurkan diri dari Makassar (Yang berada dalam masa
peralihan) ke Kalegowa dan Maccini Sombala tidak dapat dalam waktu yang cepat
memulihkan diri untuk menciptakan stabilitas dalam negeri. Namun demikian Sultan
Hasanuddin telah menunjukkan perjuangannya yang begitu gigih untuk membela tanah air dari
cengkraman penjajah. Akibat lain dari perjanjian ini adalah semua hubungan dengan orang-
orang Makassar di daerah ini harus diputuskan. Bagi VOC, orang-orang Makassar merupakan
para pengacau dan penyulut kekacauan karena hubungan Sumbawa dan Makassar yang telah
berjalan lama. Pada 1695, orang-orang Makassar melakukan pelarian dalam jumlah besar ke
daerah Manggarai. Bahkan, perpindahan orang-orang Makassar itu telah berlangsung sejak
1669, setelah Kerajaan Gowa ditaklukkan VOC dan ditandatanganinya Perjanjian Bongaya
pada 1667.

D. Tokoh Pertempuran Makassar

Sultan Hasanuddin merupakan Raja yang memerintah Kerajaan Makassar pada tahun
1645-1670. Beliau juga merupakan pemimpin dalam pertempuran besar antara rakyat
Makassar dengan VOC.

E. Dampak Perlawanan Rakyat Makassar

Perlawanan rakyat Makassar akhirnya mengalami kegagalan. Salah satu faktor penyebab
kegagalan rakyat Makassar adalah keberhasilan politik adu domba Belanda terhadap Sultan
Hasanudin dengan Aru Palaka yang merupakan Raja Kerajaan Bone. Pada akhir peperangan,
Sultan Hasanuddin dipaksa menandatangani perjanjian Bongaya pada tahun 1667 yang isinya
sangat merugikan pihak Makassar.

F. Isi Perjanjian Bongaya

Berikut dibawah ini isi dari perjanjian bongaya, yaitu sebagai berikut:

• VOC menguasai monopoli perdagangan di Sulawesi Selatan dan Sulawesi Tenggara


• Makasar harus melepas seluruh daerah bawahannya, seperti Sopeng, Luwu, Wajo, dan
Bone
• Aru Palaka diakui sebagai Raja Bone
• Makassar harus menyerahkan seluruh benteng-bentengnya
• Kerajaan Makasar diperkecil, hanya meliputi Gowa
• Semua Bangsa Asing di usir dari Makasar, kecuali VOC
• Makasar harus membayar biaya perang

Walaupun perjanjian telah diadakan, tetapi perlawanan rakyat Makassar terhadap


Belanda tetap diteruskan oleh putra Sultan Hasannudin yaitu Mapasomba. Untuk menghadapi
perlawanan rakyat Makassar, Belanda mengerahkan pasukannya secara besar-besaran dan pada
akhirnya Belanda berhasil menghancurkan Makassar dan menguasai wilayah kerajaan tersebut
sepenuhnya.

5. Perlawanan Rakyat Banten


A. Latar Belakang Perlawanan Banten Terhadap VOC

Banten sebagai kesultanan memiliki potensi geografis dan potensi alam yang membuat
para pedagang Eropa khususnya hendak menguasai Banten. Secara geografis, Banten terletak
di ujung barat pulau Jawa, dimana jalur perdagangan Nusantara yang merupakan bagian dari
jalur perdagangan Asia dan Dunia. Selain itu, letaknya yang dekat dengan selat Sunda
menjadikan Banten sebagai pelabuhan transit sekaligus pintu masuk ke Nusantara setelah
Portugis mengambilalih Malaka pada tahun 1511. Potensi alam yang dimiliki Banten pun
merupakan daya tarik tersendiri, dimana Banten adalah penghasil lada terbesar di Jawa Barat
dan penghasil beras dengan dibukanya lahan pertanian dan sarana irigasi oleh Sultan Ageng
Tirtayasa. Selain dari potensi alam dan letak geografis, VOC memerlukan tempat yang cocok
untuk dijadikan sebagai pusat pertemuan. Letak Belanda yang jauh dari wilayah Nusantara
menyulitkan Heeren XVII untuk mengatur dan mengawasi kegiatan perdagangan. Dengan
pertimbangan tersebut, Banten dipilih sebagai Rendez-vous, yaitu pusat pertemuan, dimana
pelabuhan, kantor-kantor dapat dibangun, dan fasilitas-fasilitas pengangkutan laut dapat
disediakan, keamanan terjamin dan berfungsi dengan baik. Hal inilah yang membuat VOC
dibawah pimpinan Gubernur Jendral Joan Maetsuyker hendak menguasai Banten. Perlu
diketahui, pada saat Sultan Ageng Tirtayasa berkuasa tahun 1651 sampai dengan 1682, VOC
dipimpin oleh Joan Maetsuyker yang memimpin VOC dari tahun 1653 sampai 1678. Menurut
Nicolaus de Graaff, Joan Maetsuyker merupakan pemimpin VOC terlama dengan kedudukan
selama seperempat abad. Pada masa pemerintahan Maetsuyker inilah VOC mengalami masa
keemasannya. Untuk dapat menguasai Banten, langkah yang digunakan oleh VOC adalah
dengan memblokade akses menuju ke pelabuhan Banten dengan tujuan memperlemah sektor
perekonomian Bnaten. Kapal-kapal asing yang hendak berdagang di Banten dicegat oleh
Belanda. Selain itu, kapal-kapal yang telah berdagang di Banten pun dicegat oleh Belanda
sehingga pelabuhan Banten mengalami penurunan aktivitas perdagangan dan kegiatan
perekonomi terganggu. Menyikapi hal tersebut, Banten mengadakan perlawanan dengan
menyerbu dan merampas kapal-kapal Belanda yang bernaung dibawah VOC. Akan tetapi,
VOC menggunakan siasat lain, yaitu dengan memberikan hadiah menarik dan berupaya
memperbaharui perjanjian tahun 1645, akan tetapi hal tersebut ditolak oleh Sultan Ageng
Tirtayasa.

B. Jalannya Perlawanan Banten Terhadap VOC

Pada tahun 1651 sampai dengan 1682, Banten diperintah oleh Pangeran Surya dengan
gelar Pangeran Ratu Ing Banten dan setelah kembali dari Mekah mendapat gelar Sultan
Abdulfath Abdulfatah atau lebih dikenal dengan Sultan Ageng Tirtayasa setelah sebelumnya
Banten diperintah oleh kakek dari Sultan Ageng Tirtayasa, yaitu Sultan Abdulmafakhir
Mahmud Abdulkadir. Sultan Ageng Tirtayasa merupakan anak dari Sultan Abul Ma’ali
Ahmad. Sultan Ageng Tirtayasa selama memerintah kesultanan Banten sangat menentang
segala bentuk penjajahan asing atas daerah kekuasaannya, termasuk kehadiran VOC yang
hendak menguasai Banten sangat ditentang oleh Sultan Ageng Tirtayasa. Oleh sebab itu, VOC
yang berusaha melakukan blokade terhadap pelabuhan Banten dengan menyerang kapal-kapal
yang hendak berdagang di Banten mendapatkan perlawanan dari pasukan Banten. Perlawanan
itu awalnya diwujudkan dengan perusakan terhadap segala instalasi milik VOC di wilayah
kekuasaan kesultanan Banten. Dengan tindakan perlawanan demikian, Sultan Ageng
Tirtayasamengharapkan agar VOC segera meninggalkan Banten. Tangerang dan Angke
dijadikan sebagai garis terdepan pertahanan dalam menghadapi VOC. Pasukan Banten
menyerang Batavia pada 1652 juga dimulai dari Tangerang dan Angke. Untuk meredakan
perlawanan tersebut, VOC mengirimkan utusan sebanyak dua kali pada tahun 1655 dengan
menawarkan pembaharuan perjanjian tahun 1645 disertai hadiah-hadiah yang menarik, namun
keseluruhannya ditolak oleh Sultan Ageng Tirtayasa. Bahkan Sultan Ageng Tirtayasa
menanggapinya dengan memerintahkan pasukan Banten pada tahun 1656 untuk melakukan
gerilya besar-besaran dengan mengadakan pengerusakan terhadap kebun-kebun tebu,
pencegatan serdadu patroli VOC, pembakaran markas patroli, dan pembunuhan terhadap
beberapa orang Belanda yang keseluruhan dilakukan pada malam hari. Selain itu, pasukan
Banten juga merusak kapal-kapal milik Belanda yang berada di pelabuhan Benten, sehingga
untuk memasuki Banten, diperlukan pasukan yang kuat untuk mengawal kapal-kapal tersebut.
Saat perlawanan sering terjadi, Sultan Ageng Tirtayasa seringkali mengadakan hubungan
kerjasama dengan kesultanan lain, seperti kesultanan Cirebon dan Mataram serta dengan Turki,
Inggris, Perancis, dan Denmark. Hal ini dilakukan agar Banten dapat memperkuat kedudukan
dan kekuatannya dalam menghadapi kekuatan VOC. Dari Turki, Inggris, Perancis, dan
Denmark inilah Banten mendapatkan banyak bantuan berupa senjata api. Sultan Ageng
Tirtayasa pun melakukan penyatuan terhadap daerah yang dikuasai oleh kesultanan Banten,
yaitu Lampung, Bangka, Silebar, Indragiri dalam kesatuan pasukan Surosowan. Menghadapi
kenyataan tersebut, VOC pun melakukan penyatuan kekuatan dengan menyewa serdadu-
serdadu dari Kalasi, Ternate, Bandan, Kejawan, Bali, Makasar, dan Bugis karena serdadu
Belanda jumlahnya sedikit. Pada saat terjadi perlawanan, serdadu-serdadu pribumi inilah yang
melawan pasukan Banten, sedangkan serdadu Belanda lebih banyak berada dibelakang
serdadu pribumi tersebut. Semakin kuatnya pasukan Banten, ditambah dengan kurangnya
persiapan VOC dalam menghadap Banten karena sedang berperang dengan Makasar membuat
VOC pada sekitar bulan November dan Desember 1657 mengajukan penawaran gencatan
senjata. Pertempuran antara Banten dan VOC ini sangat merugikan kedua belah pihak.
Gencatan senjatapun baru dapat dilakukan setelah utusan VOC dari Batavia mendatangi Sultan
Ageng Tirtayasa pada tanggal 29 April 1658 dengan membawa rancangan perjanjian yang
berisi sepuluh pasal. Diantara pasal tersebut, Sultan Ageng Tirtayasa mengajukan dua pasal
perubahan. Namun, hal tersebut ditolak oleh VOC sehingga perlawanan dan peperangan
kembali terjadi. Penolakan dari VOC tersebut semakin menguatkan keyakinan Sultan Ageng
Tirtayasa bahwa tidak akan ada kesesuaian pendapat antara kesultanan Banten dengan VOC
sehingga jalan satu-satunya adalah dengan kekerasan, yaitu berperang. Oleh sebab itu, Sultan
Ageng Tirtayasa mengumumkan perang sabil dengan terlebih dahulu mengirimkan surat ke
VOC pada tanggal 11 Mei 1658. Menurut Djajadiningrat (1983:71) dan Tjandrasasmita
(1967:12-16), pertempuran antara VOC dengan pasukan Banten berlangsung secara terus
menerus mulai dari bulan Mei 1658 sampai dengan tanggal 10 Juli 1659. Pada dasarnya,
perlawanan Banten terhadap VOC setelah adanya keinginan untuk melakukan gencatan senjata
dipicu oleh terbunuhnya Lurah Astrasusila diatas kapal VOC. Lurah Astrasusila yang saat itu
menyamar sebagai pedagang kelapa membunuh beberapa orang Belanda di atas kapal bersama
kedua temannya. Namun, apa yang dilakukannya berhasil diketahui oleh orang-orang Belanda
lain diatas kapal tersebut. Akibatnya Lurah Astrasusila bersama kedua temannya dibunuh
diatas kapal tersebut. Berita mengenai terbunuhnya Lurah Astrasusila diketahui oleh Sultan
Ageng Tirtayasa sehingga memicu aksi balas dendam dan perlawanan dari Banten
(Djajadiningrat, 1983:73). Penyerangan yang dilakukan Benten secara terus menerus terhadap
VOC membuat kedudukan VOC semakin terdesak sampai medekati batas kota Batavia.
Akhirnya VOC mengajukan gencatan senjata. Menyadari bahwa Banten akan menolak
perjanjan gencatan senjata, maka VOC membujuk sultan Jambi untuk mengakomodasi
perjanjian tersebut. Maka sultan Jambi pun mengirimkan utusannya yaitu Kiyai Damang
Dirade Wangsa dan Kiyai Ingali Marta Sidana. Pada tanggal 10 Juli 1659, ditandatangani
perjanjian gencatan senjata antara Banten dan VOC. Gencatan senjata ini dimanfaatkan oleh
Sultan Ageng Tirtayasa untuk melakukan konsolidasi kekuatan, diantaranya menjalin
hubungan dengan Inggris, Perancis, Turki, dan Denmark, dengan tujuan memperoleh bantuan
senjata. Gencatan senjata ini membuat blokade yang dilakukan oleh VOC terhadap pelabuhan
Banten kembali dibuka. Berbagai cara yang dilakukan oleh Sultan Ageng Tirtayasa membuat
Banten berkembang dengan pesat. Hal tersebut memicu Gubernur Jendral Ryklop van Goens
sebagai pengganti Gubernur Jendral Joan Maetsuyker menulis surat yang ditujukan kepada
kerajaan Belanda tertanggal 31 Januari 1679 tentang usaha untuk menghancurkan dan
melenyapkan Banten (Tjandrasasmita, 1967:35).

C. Munculnya Kembali Perlawanan Banten dan Politik Adu Domba VOC

Setelah perjanjian gencatan senjata, VOC menggunakan kesempatan tersebut untuk


mempersulit kedudukan Banten. Cara yang dilakukan adalah dengan mengadakan kerjasama
dengan kesultanan Cirebon dan kesultanan Mataram. Puncaknya adalah ketika Amangkurat II
menandatangani perjanjian dengan VOC. Selain itu, Cirebon pun berada di bawah kekuasaan
VOC pada tahun 1681. Dengan Mataram dan Cirebon dibawah kendali VOC, maka posisi
Banten semakin terjepit karena Mataram dan Cirebon merupakan kesultanan yang memiliki
hubungan baik dengan Banten. Posisi tersebut makin sulit dengan terjadinya perpecahan di
dalam kesultanan Banten sendiri.Putra Sultan Ageng Tirtayasa, yaitu Pangeran Gusti dan
Pangeran Arya Purbaya mendapatkan kekuasaan, masing-masing untuk mengurusi kedaulatan
ke dalam kesultanan. Sementara kedaulatan keluar kesultanan masih dikendalikan oleh Sultan
Ageng Tirtayasa. Pemisahan kekuasaan ini diketahui oleh wakil Belanda di Banten, yaitu W.
Caeff yang kemudian mendekati dan menghasut Pangeran Gusti untuk mencurigai ayahnya
dan saudaranya sendiri. Pada saat itu, Pangeran Gusti pergi ke Mekkah dengan meninggalkan
kekuasaannya untuk sementara waktu dan kekuasaan tersebut diberikan oleh Sultan Ageng
Tirtayasa kepada adiknya yaitu Pangeran Arya Purbaya. Sekembalinya Pangeran Gusti yang
bergelar Sultan Abu Nasr Abdul Kahar atau lebih dikenal dengan sebutan Sultan Haji dari
Mekah, kekuasaan yang dimiliki oleh Pangeran Purbaya semakin meluas sehingga membuat
Sultan Haji iri. Hal tersebut yang dimanfaatkan oleh VOC untuk mengadu-domba antara Sultan
Haji dengan ayahnya sendiri, yaitu Sultan Ageng Tirtayasa dan adiknya, yaitu Pangeran Arya
Purbaya. Konflik ini dimanfaatkan oleh VOC untuk memadamkan dan memperlemah kekuatan
Banten.

D. Tokoh Perlawanan Banten Terhadap VOC

Berikut ini terdapat beberapa tokoh perlawanan banten terhadap voc, yaitu sebagai berikut:

a. Sultan Ageng Tirtayasa

Sultan Ageng Tirtayasa berkuasa di Kesultanan Banten pada periode 1651 – 1683. Ia
memimpin banyak perlawanan terhadap Belanda. Masa itu, VOC menerapkan perjanjian
monopoli perdagangan yang merugikan Kesultanan Banten. Kemudian Tirtayasa menolak
perjanjian ini dan menjadikan Banten sebagai pelabuhan terbuka. Saat itu, Sultan Ageng
Tirtayasa ingin mewujudkan Banten sebagai kerajaan Islam terbesar. Di bidang ekonomi,
Tirtayasa berusaha meningkatkan kesejahteraan rakyat dengan membuka sawah-sawah baru
dan mengembangkan irigasi. Di bidang keagamaan, ia mengangkat Syekh Yusuf sebagai mufti
kerajaan dan penasehat sultan. Ketika terjadi sengketa antara kedua putranya, Sultan Haji dan
Pangeran Purbaya, Belanda ikut campur dengan bersekutu dengan Sultan Haji untuk
menyingkirkan Sultan Ageng Tirtayasa. Saat Tirtayasa mengepung pasukan Sultan Haji di
Sorosowan (Banten), Belanda membantu Sultan Haji dengan mengirim pasukan yang dipimpin
oleh Kapten Tack dan Saint-Martin.

b. Pangeran Purbaya

Pangeran Purbaya yang kedua adalah putra Sultan Ageng Tirtayasa raja Banten (1651–
1683). Ia mendukung perjuangan ayahnya dalam perang melawan VOC tahun 1656. Pangeran
Purbaya juga diangkat menjadi putra mahkota baru karena Sultan Haji (putra mahkota
sebelumnya) memihak VOC. Setelah berperang sekian lama, Sultan Ageng Tirtayasa akhirnya
tertangkap bulan Maret 1683, dan Banten pun jatuh ke tangan VOC. Pangeran Purbaya dan
istrinya yang anti VOC bernama Raden Ayu Gusik Kusuma lalu melarikan diri ke Gunung
Gede. Penderitaan Purbaya membuat dirinya memutuskan untuk menyerah. Namun, ia hanya
mau dijemput oleh perwira VOC yang berdarah pribumi. Saat itu VOC sedang sibuk
menghadapi gerombolan Untung Suropati. Kapten Ruys pemimpin benteng Tanjungpura
berhasil membujuk Untung Suropati agar bergabung dengan VOC daripada hidup sebagai
buronan. Untung Suropati bersedia. Ia pun dilatih ketentaraan dan diberi pangkat Letnan.
Untung Suropati kemudian ditugasi menjemput Pangeran Purbaya di tempat
persembunyiannya. Namun datang pula pasukan VOC lain yang dipimpin Vaandrig Kuffeler,
yang memperlakukan Purbaya dengan tidak sopan. Sebagai seorang pribumi, Untung Suropati
tersinggung dan menyatakan diri keluar dari ketentaraan. Ia bahkan berbalik menghancurkan
pasukan Kuffeler. Pangeran Purbaya yang semakin menderita memutuskan tetap menyerah
kepada Kapten Ruys di benteng Tanjungpura. Sebelum menjalani pembuangan oleh Belanda
pada April 1716, Pangeran Purbaya memberikan surat wasiat yang isinya menghibahkan
beberapa rumah dan sejumlah kerbau di Condet kepada anak-anak dan istrinya yang
ditinggalkan. Sedangkan istrinya Gusik Kusuma konon pulang ke negeri asalnya di Kartasura
dengan diantar Untung Suropati.

E. Akhir Perlawanan Banten Terhadap VOC

Rasa iri dan kekhawatiran Sultan Haji akan kekuasaannya melahirkan persekongkolan
dengan VOC untuk merebut tahta kesultanan Banten. VOC bersedia membantu Sultan Haji
dengan mengajukan empat syarat, yaitu menyerahkan Cirebon kepada VOC, monopoli lada
dikendalikan oleh VOC, membayar 600.000 ringgit apabila ingkar janji, dan menarik pasukan
Banten yang berada di daerah pesisir pantai dan pedalaman Priangan. Syarat tersebut dipenuhi
oleh Sultan haji. Pada tanggal 27 Februari 1682, pecahlah perang antara Sultan Haji dengan
dibantu VOC melawan ayahnya sendiri, yaitu Sultan Ageng Tirtayasa. Inilah akhir dari
kekuasaan Sultan Ageng Tirtayasa di kesultanan Banten. Namun, pasukan yang dipimpin oleh
Sultan Ageng Tirtayasa masih terlalu kuat sehingga berhasil mengepung VOC bersama dengan
Sultan Haji. VOC segera memberikan perlindungan kepada Sultan Haji dibawah pimpinan
Jacob de Roy. Bersama dengan Kapten Sloot dan W. Caeff, Sultan Haji mepertahankan loji
tempatnya berlindung. Kekuatan pasukan Sultan Ageng Tirtayasa membuat bantuan dari
Batavia tidak dapat mendarat di Banten. Hal tersebut memaksa Sultan Haji untuk mengadakan
perjanjian baru dengan VOC yaitu memberikan hak monopoli VOC di Banten. Setelah
perjanjian tersebut, tanggal 7 April 1682, datanglah bantuan dari Batavia yang dipimpin oleh
Francois Tack dan De Sant Martin, dibantu oleh Jonker, tokoh yang memadamkan
pemberontakan Trunojoyo. Pasukan ini berhasil membebaskan loji dari kepungan pasukan
Sultan Ageng Tirtayasa. Setelah itu, pemberontakan terus terjadi meskipun VOC telah
beberapa kali meminta Sultan Ageng Tirtayasa untuk menyerah. Untuk menyelesaikan
perlawanan tersebut, Sultan Haji mengutus 52 orang keluarganya untuk membujuk Sultan
Ageng Tirtayasa. Setelah berhasil dibujuk, Sultan Haji dan VOC menerapkan tipu muslihat
dengan mengepung iring-iringan Sultan Ageng Tirtayasa menuju ke istana Surosowan pada
tanggal 14 Maret 1683. Sultan Ageng Tirtayasa berhasil ditangkap, namun Pangeran Arya
Purbaya berhasil lolos. Kemudian Sultan Ageng Tirtayasa dipenjarakan di Batavia sampai
meninggal pada tahun 1692. Sultan Haji sendiri akhirnya naik tahta dengan restu VOC,
memerintah dari tahun 1682 sampai dengan 1687. Pada tanggal 17 April 1684,
ditandatanganilah perjanjian dalam bahasa Belanda, Jawa, dan Melayu yang berisi 10 pasal.
Perjanjian inilah yang menandai berakhirnya kekuasaan kesultanan Banten, dan dimulainya
monopoli VOC atas Banten. Dengan demikian berakhirlah perlawanan Sultan Ageng
Tirtayasasetelah dikhianati oleh anaknya sendiri.

F. Dampak Perlawanan Banten Terhadap VOC


a. Dampak positif perlawanan rakyat Banten terhadap VOC (Belanda) yaitu membuat
semangat juang untuk mengusir bangsa asing yang menduduki wilayah Nusantara menjadi
meningkat. Selain itu, perlawanan juga mempengaruhi bandar perdagangan internasional
di Banten sehingga bisa menjadi ramai kembali walau hanya sebentar.
b. Dampak Negatif perlawanan rakyat Banten yaitu wilayah Banten dapat dikuasai
sepenuhnya oleh VOC (kongsi dagang Belanda), sehingga monopoli dan kebijakan yang
ditentukan harus dipatuhi. Dampak negatif lain, kedudukan VOC di Nusantara menjadi
lebih luas.
6. Perlawanan Rakyat Riau
A. Latar Belakang Rakyat Riau Angkat Senjata

Pada era Kolonialisme belanda dibentuklah suatu kongsi dagang yang bernama
Vereenigde Oost Indische Compagnie (VOC). Suatu kongsi dagang yang memonopoli dagang
dan hasil bumi nusantara, di balik itu rakyat indonesia tidak terima atas keserakahan VOC
tersebut, sehingga terjadilah perang dimana-mana. Salah satunya adalah rakyat Riau, mereka
tidak terima atas monopoli yang dilakukan Belanda, sehingga mereka melakukan genjatan
senjata yang sering disebut “Rakyat Riau Angkat Senjata”. Oleh karena itu untuk membahas
lebih lanjut tentang akyat riau angkat senjata maka kami membuat makalah yang berjudul
“Sejarah Rakyat Riau Angkat Senjata”.

B. Perlawanan Rakyat Riau Angkat Senjata

Ambisi untuk melakukan monopoli perdagangan dan menguasai berbagai daerah di


Nusantara terus dilakukan oleh VOC. Di samping menguasai Malaka, VOC juga mulai
mengincar Kepulauan Riau. Dengan politik memecah belah VOC mulai berhasil menanamkan
pengaruhnya di Riau. Kerajaan kerajaan kecil seperti Siak, Indragiri, Rokan, dan Kampar
semakin terdesak oleh pemaksaan monopoli dan tindakan sewenang-wenang dari VOC. Oleh
karena itu, beberapa kerajaaan mulai melancarkan perlawanan. Salah satu contoh perlawanan
di Riau adalah perlawanan yang dilancarkan oleh Kerajaan Siak Sri Indrapura. Raja Siak Sultan
Abdul Jalil Rahmat Syah (1723-1744) memimpin rakyatnya untuk melawan VOC. Setelah
berhasil merebut Johor kemudian ia membuat benteng pertahanan di Pulau Bintan. Dari
pertahanan di Pulau Bintan ini pasukan Sultan Abdul Jalil mengirim pasukan di bawah
komando Raja Lela Muda untuk menyerang Malaka. Uniknya dalam pertempuran ini Raja Lela
Muda selalu mengikutsertakan puteranya yang bernama Raja Indra Pahlawan. Itulah sebabnya
sejak remaja Raja Indra Pahlawan sudah memiliki kepandaian berperang. Sifaf bela negara/
tanah air sudah mulai tertanam pada diri Raja Indra Pahlawan. Dalam suasana konfrontasi
dengan VOC itu, Sultan Abdul Jalil Rahmat Syah wafat. Sebagai gantinya diangkatlah
puteranya yang bernama Muhammad Abdul Jalil Muzafar Syah (1746-1760). Raja ini juga
memiliki naluri seperti ayahandanya yang ingin selalu memerangi VOC di Malaka dan sebagai
komandan perangnya adalah Raja Indra Pahlawan. Tahun 1751 berkobar perang melawan
VOC.

C. Strategi Perlawanan Rakyat Riau Angkat Sejata

Sebagai strategi menghadapi serangan Raja Siak, VOC berusaha memutus jalur
perdagangan menuju Siak. VOC mendirikan benteng pertahanan di sepanjang jalur yang
menghubungkan Sungai Indragiri, Kampar, sampai Pulau Guntung yang berada di muara
Sungai Siak. Kapal-kapal dagang yang akan menuju Siak ditahan oleh VOC. Hal ini merupakan
pukulan bagi Siak. Oleh karena itu segera dipersiapkan kekuatan yang lebih besar untuk
menyerang VOC. Sebagai pucuk pimpinan pasukan dipercayakan kembali kepada Raja Indra
dan Panglima Besar Tengku Muhammad Ali. Dalam serangan ini diperkuat dengan kapal
perang “Harimau Buas” yang dilengkapi dengan lancang serta perlengkapan perang
secukupnya. Terjadilah pertempuran sengit di Pulau Guntung (1752 – 1753). Ternyata benteng
VOC di Pulau Guntung itu berlapis-lapis dan dilengkapi meriam-meriam besar. Dengan
demikian pasukan Siak sulit menembus benteng pertahanan itu. Namun banyak pula jatuh
korban dari VOC, sehingga VOC harus mendatangkan bantuan kekuatan termasuk juga orang-
orang Cina. Pertempuran hampir berlangsung satu bulan. Sementara VOC terus mendatangkan
bantuan. Melihat situasi yang demikian itu kedua panglima perang Siak menyerukan
pasukannya untuk mundur kembali ke Siak. Sultan Siak bersama para panglima dan penasihat
mengatur siasat baru. Disepakati bahwa VOC harus dilawan dengan tipu daya. Sultan diminta
berpura-pura berdamai dengan cara memberikan hadiah kepada Belanda. Oleh karena itu,
siasat ini dikenal dengan “siasat hadiah sultan”. VOC setuju dengan ajakan damai ini.
Perundingan damai diadakan di loji di Pulau Guntung. Pada saat perundingan baru mulai justru
Sultan Siak dipaksa untuk tunduk kepada pemerintahah VOC. Sultan segera memberi kode
pada anak buah dan segera menyergap dan membunuh orang-orang Belanda di loji itu. Loji
segera dibakar dan rombongan Sultan Siak kembali ke Siak dengan membawa kemenangan,
sekalipun belum berhasil mengenyahkan VOC dari Malaka. Siasat perang ini tidak terlepas
dari jasa Raja Indra Pahlawan. Oleh karena itu, atas jasanya Raja Indra Pahlawan diangkat
sebagai Panglima Besar Kesultanan Siak dengan gelar: “Panglima Perang Raja Indra Pahlawan
Datuk Lima Puluh”.

D. Akhir Perlawanan Rakyat Riau Angkat Senjata

Perang antara rakyat Riau dengan VOC terjadi sangat sengit, Pada saat perang tersebut
VOC mendatangkan bantuan dari china dan sekutunya, sehingga pada saat itu rakyat Riau
ditarik mundur untuk merundingkan strategi perang baru, sehingga dalam perundingan tersebut
didapatlah suatu ide untuk berpura-pura mengajak VOC berdamai. Sehingga pada saat
perundingan damai dengan VOC tersebut, kesempatan rakyat riau untuk memukul habis para
petinggi VOC. Pada akhirnya rakyat Riau mendapat kemenangan dari VOC. Walaupun belum
berhasil mengenyahkan VOC dari Malaka.

E. Tokoh Rakyat Riau Angkat Senjata

Berikut ini terdapat beberapa tokoh rakyat riau angkat senjata, yaitu sebagai berikut:

1. Sultan Muhammad Abdul Jalil Muzafar Syah

• Tahun 1751 berkobar lagi melawan VOC setelah kematian ayahnya


• VOC memutus jalur perdagangan menuju Siak
• VOC mendirikan Benteng Pertahanan sepanjang sungai Indragiri, Kampar, Sampai Pulau
Guntung yang berapa di muara sungai Siak
• Pertemputan puncak terjadi di pulau Guntung (1752 – 1753) yang diperkuat dengan kapal
perang “Harimau Buas”. Pertempuran berlangsung satu bulan. Banyak korban berjatuhan
dari kedua pihak.
• Sultan diminta berpura-pura berdamai dengan VOC yang dikenal dengan “siasat hadiah
sultan” yang diadakan di Loji, Pulau Guntung
• Saat perundingan sultan dipaksa tunduk kepada VOC. Sultan memberi kode kepada anak
buahnya untuk menyergap. Loji dibakar dan sultan kembali ke Siak membawa
kemenangan
• Siasat perang ini tidak lepas dari jasa Raja Indra Pahlawan. Oleh karena jasanya Raja Indra
Pahlwan diangkat menjadi Panglima Besar Kesultanan Siak dengan gelar “Panglima
Perang Raja Indra Pahlawan Datuk Lima Puluh”

2. Sultan Abdul Jalil Rahmat Syah

• Berhasil merebut Johor kemudian membuat Benteng Pertahanan di pulau Bintan


• Mengirim pasukan dibawah komando Raja Lela Muda untuk menyerang Malaka bersama
putranya Raja Indra Pahlawan.
• Dalam suasana memanas, Sultan Abdul Jalil Rahmat Syah wafat dan digantikan putranya
yaitu Muhammad Abdul Jalil Muzafar Syah (1746 – 1760) dengan komandan perangnya
adalah Raja Indra Pahlawan
7. Perlawanan Etnis Tionghoa
A. Latar belakang perlawanan etnis Tionghoa

Dalam buku Pembantaian massal 1740 : Tragedi Berdarah Angke (2005) karya
Wijayakusuma Hembing, latar bekang perlawanan etnis Tionghoa terhadap VOC, yaitu :
Adanya pembantaian yang dilakukan VOC terhadap etnis Tionghoa di Batavia pada Oktober
1740 yang menewaskan lebih dari 10.000. Kebijakan VOC yang melakukan tindakan
kekerasan dan deskriminatif terhadap etnis Tionghoa di beberapa wilayah Nusantara

B. Jalannya perlawanan

Perlawanan etnis Tionghoa terhadap VOC dibantu oleh kalangan bangsawan Mataram
yang kontra terhadap Pakubuwono II dan VOC. Perlawanan etnis Tionghoa di wilayah
Mataram dipimpin oleh Raden Mas Garendi (Sunan Kuning), Raden Mas Said dan Kapiten
Sepanjang. Perlawanan tersebut dinamakan dengan Geger Pacinan dan menimbulkan
kekacauan yang meluas hingga pesisir Jawa. Sunan Kuning dan pasukannya berhasil merebut
keraton Kasunanan di Kartasura pada pertengahan 1742. Melihat kondisi yang genting tersebut,
VOC menggunakan kekuatan penuh untuk mengatasi keadaan. VOC juga bersekongkol
dengan Cakraningrat IV dan Pakubuwono II untuk meredam perlawanan. Pada November
1742, Kartasura yang diduduki oleh Sunan Kuning dan pasukannya diserang oleh aliansi VOC,
Cakraningrat IV dan Pakubuwono II. Aliansi VOC berhasil merebut kembali Kartasura dan
memaksa Sunan Kuning melarikan diri bersama pasukannya.

C. Akhir perlawanan

Sunan Kuning dan pasukannya menyerahkan diri pada September 1973. Hal tersebut
dikarenakan Sunan Kuning dan pasukannya terdesak dan terpisah dari kapitan Sepanjang di
daerah Surabaya. Pada akhirnya, Sunan Kuning dan pasukannya diasingkan menuju Srilanka
setelah beberapa hari ditahan di Surabaya.

8. Perlawanan Raden Mas Said


A. Latar belakang perlawanan

Dalam Sejarah Indonesia Modern 1200-2004 (1981) karya M.C Ricklefs, perlawanan yang
dilakukan oleh Raden Mas Said dan Pangeran Mangkubumi dilatarbelakangi oleh :

• Intervensi dan campur tangan VOC terhadap urusan internal keraton Mataram
• Sikap Pakubuwono II yang sewenang-wenang terhadap bangsawan Mataram dan tunduk
terhadap VOC
• Keinginan Raden Mas Said dan Pangeran Mangkubumi untuk mengambil hak atas
kekuasaan beberapa daerah Mataram
B. Jalannya perlawanan

Raden Mas Said adalah putra dari Arya Mangkunegara yang merupakan adik dari
Pakubuwono II. Dapatkan informasi, inspirasi dan insight di email kamu. Daftarkan email Pada
umur remaja, Raden Mas Said resah karena karena sikap Pakubuwono II yang
menempatkannya sebagai Gandhek Anom (Bangsawan Rendahan) di Mataram. Padahal
seharusnya ia mendapat kedudukan sebagai Pangeran Sentana. Raden Mas Said memutuskan
keluar dari istana dan melakukan pemberontakan di berbagai daerah Mataram bersama para
bangsawan yang merasa kecewa dengan pemerintahan Pakubuwono II seperti Sutawijaya dan
Suradiwangsa. Pemberontakan yang dilakukan oleh RM Said dan pasukannya sangat
meresahkan Pakubuwono II, sehingga ia membuat sayembara untuk mengatasi pemberontakan
tersebut. Barangsiapa mampu meredam pemberontakan RM Said, ia akan diberi tanah seluas
3.000 hektar. Pangeran Mangkubumi menerima sayembara tersebut dan mampu memukul
mundur RM Said dan pasukannya dari daerah Sokawati. Namun setelah mampu meredam
perlawanan RM Said, Mangkubumi dikecewakan dengan pelanggaran janji Pakubuwono II
yang telah dihasut oleh VOC sebelumnya. VOC menganggap hadiah tanah seluas 3.000 hektar
terlalu berlebihan dan menyuruh Pakubuwono II untuk menyerahkan hanya 1000 hektar kepada
Mangkubumi. Peristiwa pengingkaran janji dan tindakan semena-mena Pakubuwono serta
VOC menyebabkan Mangkubumi berbalik arah melawan mereka. Mangkubumi bergabung
dengan perlawanan Raden Mas Said pada 1746. Dalam buku Yogyakarta dibawah Sultan
Mangkubumi 1749-1792 (2002) karya M.C Ricklefs, disebutkan bahwa hingga akhir 1947
Mangkubumi memiliki 13.000 pasukan dengan 2.500 diantaranya adalah pasukan berkuda.
Perlawanan Mangkubumi dan RM Said meluas di seluruh wilayah Mataram hingga Jawa
Timur dan Jawa Tengah. Mereka mampu memenangkan pertempuran di Juwana, Grobogan
dan sempat membakar sejujlah rumah dan mengancam keraton.

C. Akhir Perlawanan

Perlawanan Mangkubumi berakhir ketika VOC mengadakan perjanjian damai dengan


Mangkubumi. Perjanjian tersebut dilaksanakan pada Februari 1755 di desa Giyanti (ejaan
Belanda), sekitar desa Jantiharjo, Karanganyar. Isi dari perjanjian Giyanti mengatur tentang
pembagian wilayah dan kedudukan Mataram menjadi 2, yaitu Kasunanan dan Kasultanan.
Mangkubumi memperoleh gelar Sultan dan memerintah wilayah Kasultanan Yogyakarta,
sedangkan Kasunanan Surakarta tetap dipimpin oleh Pakubuwono. Sedangkan perlawanan RM
Said mereda ketika diadakan perjanjian Salatiga (1757). Perjanjian terebut berisi VOC dan
Pakubuwono III memberikan RM Said kadipaten Pura Mangkunegara dan memberinya gelar
pangeran adipati arya Mangkunegara.

Anda mungkin juga menyukai