Anda di halaman 1dari 16

JURNAL PRAKTIKUM KIMIA ANALITIK II

Titrasi Pengompleksan Standarisasi Larutan Na-EDTA 0,01 M


dan Aplikasinya Pada Air PDAM

Disusun oleh :
Indah Tri Wahyuni
18030234035
KB 2018

JURUSAN KIMIA
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS NEGERI SURABAYA
2019
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Analisis kimia kuantitatif adalah suatu metode analisis kimia yang
bertujuan untuk menentukan jumlah suatu zat atau komponen zat yang terkandung
dalam suatu sampel. Metode yang digunakan dalam analisis kimia kuantitatif
dibagi menjadi 2 macam yaitu metode klasik dan metode instrumental. Metode
klasik adalah cara-cara yang didasarkan pada penggunaan-penggunaan reaksi
kimia. Metode klasik yang digunakan dalam analisis kuantitatif adalah gravimetri
dan titrimetri. Sedangkan metode instrumental didasarkan pada pengukuran
besaran fisik untuk menentukan jumlah zat atau komponen yang dicari. Metode
instrumental yang digunakan dalam analisis kuantitatif adalah spektrofotometri,
spektroskopi, kromatografi dan elektrokima (Harjadi, 1986).
Dalam metode analisis titrimetri titrasi dibedakan berdasarkan jenis reaksi
yang terlibat di dalam proses titrasi, terdapat 4 macam jenis titrasi yaitu: titrasi
asam-basa bila melibatkan reaksi asam basa, titrasi redoks untuk titrasi yang
melibatkan reaksi reduksi oksidasi, titrasi kompleksometri untuk titrasi yang
melibatkan pembentukan reaksi kompleks dan titrasi argentometri untuk titrasi
yang melibatkan reaksi pengendapan (Day dan Underwood, 2002).
Titrasi kompleksometri adalah jenis metode titrasi dimana titran dan titrat
saling mengkompleks, membentuk hasil berupa senyawa kompleks. Reaksi
kompleks yang terbentuk dianggap sebagai reaksi asam basa Lewis dengan ligan
bertindak sebagai basa, dengan menyumbangkan sepasang elektronnya kepada
kation yang merupakan asamnya. Ikatan atom yang terbentuk antara atom logam
pusat dan ligan sering disebut kovalen (Triwahyuni, 2008).
Titrasi harus dilakukan pada pH diatas minimun dan harus dengan
campuran penahan agar pH tidak turun selama titrasi belangsung. Adakalanya
titrasi harus dilakukan pada pH yang memungkinkan ion logam membentuk
endapan oksida basa atau bahkan hidroksida. Untuk mengatasi hal itu konsentrasi
ion logam dibuat kecil, misalnya 0,0010 M untuk mengurangi bahaya
pengendapan tersebut. Cara ini tidak selalu efektif, sehingga digunakan bahan
pengompleks kedua untuk mengikat ion logam tersebut agar tidak mengendap.
Tentu saja pengompleksan tambahan ini mempengaruhi kesempurnaan titrasi dan
selanjutnya mengharuskan penaikan pH minimum titrasi (Triwahyuni, 2008).
Dalam analisis suatu zat kimia digunakan berbagai macam metode. Salah
satu metode yang dipakai untuk penetapan kadar logam adalah kompleksometri.
Metode ini didasarkan atas pembentukan senyawa kompleks antara logam dengan
zat pembentuk kompleks. Sebagai zat pembentuk kompleks yang banyak
digunakan dalam titrasi kompleksometri adalah garam Dinatrium Etilen Diamin
Tetra Asetat (Dinatrium EDTA). Kestabilan dari senyawa kompleks yang
terbentuk tergantung dari sifat kation dan pH dari larutan, sehingga titrasi harus
dilakukan pada pH tertentu. Untuk menetapkan titik akhir titrasi digunakan
indikator logam, yaitu indikator yang dapat membentuk senyawa kompleks
dengan ion logam. Ikatan kompleks antara indikator dan ion logam harus lebih
lemah daripada ikatan kompleks atau larutan titer dan ion logam. Larutan
indikator bebas mempunyai warna yang berbeda dengan larutan kompleks
indikator. Indikator yang banyak digunakan dalam titrasi kompleksometri adalah
kalkon, asam kalkon karboksilat, Eriochrome Black T dan jingga xilenol
(Triwahyuni, 2008).
Pada praktikum ini akan dilakukan standarisasi larutan Na-EDTA dengan
menggunakan CaCl2 sebagai larutan bakunya. Dalam menentukan konsentrasi
larutan Na-EDTA prinsip yang digunakan adalah titrasi kompleksometri dengan
metode titrasi langsung.
EDTA (Etilen Diamine Tetra Asetat) merupakan asam berbasa empat
(H4Y). Akan tetapi yang sering digunakan adalah garam natriumnya (Na2H2Y).
Pembentukan kompleks antara ion-ion logam dengan EDTA tergantung pada pH
larutan. Indikator yang digunakan antara lain EBT (Erichrome Black T) dan
Kalmagit. Indikator tersebut merupakan asam lemah berbasa 3 (H 3In).
Kesetimbangan disosiasi indikator tersebut akan memberikan warna-warna
tertentu dan membentuk kompleks 1:1 dengan sejumlah ion logam, sehingga
memberikan perubahan warna pada titik akhir titrasi (Poedjiastoeti, 2014).
Prinsipnya adalah zat pembentukan kompleks yang dipakai berupa garam
Na2EDTA (Dinatrium Etilen Diamin Tetra Asetat) yang dalam titrasi dapat
bereaksi dengan logam Ca dengan bantuan indikator Eriochrome Black T (EBT)
pada pH 10 – 11 maka larutan tersebut berwarna merah anggur. Titik akhir titrasi
ditandai dengan perubahan warna dari merah anggur menjadi biru (Sobirin, 2016).
Untuk aplikasi titrasi kompleksometri yaitu menentukan kesadahan total
dalam air PDAM. Penentuan kesadahan total dalam air PDAM dilakukan dengan
prinsip titrasi kompleksometri dengan menggunakan metode titrasi langsung.
Dengan menggunakan larutan standar Na2EDTA (Dinatrium Etilen Diamin Tetra
Asetat) dan indikator Eriochrome Black T (EBT). Bila penambahan indikator
EBT pada larutan yang mengandung ion Ca dan Mg pada pH 10 – 11 maka
larutan akan menjadi merah anggur. Bila kemudian dititrasi dengan Na 2EDTA,
ion Ca dan Mg sudah terikat, larutan yang berwarna merah anggur berubah
menjadi biru sebagai titik akhir titrasi (Wulandari, 2017).
1.2 Rumusan Masalah
1. Bagaimana cara menentukan standarisasi larutan Na-EDTA?
2. Bagaimana cara menentukan kesadahan total air PDAM ?
1.3 Tujuan
1. Untuk dapat mengetahui cara menentukan standarisasi larutan Na-EDTA
2. Untuk dapat mengetahui cara menentukan kesadahan total air PDAM
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengertian dan Prinsip Titrasi Kompleksometri


Kimia analitik dibagi menjadi 2 bidang yaitu analisis kimia kualitatif dan
analisis kimia kuantitatif. Analisis kimia kualitatif berkaitan dengan identifikasi
zat-zat kimia dan mengenali unsur atau senyawa apa yang ada dalam suatu sampel
sedangkan analisis kimia kuantitatif berkaitan dengan penetapan berapa banyak
suatu zat tertentu yang terkandung dalam suatu sampel (Day dan Underwood,
2002).
Salah satu tipe reaksi kimia yang berlaku sebagai dasar penetapan
titrimetrik melibatkan pembentukan (formasi) kompleks atau kompleks ion yang
larut namun sedikit terdisosiasi. Contohnya adalah reaksi dari ion perak dengan
ion sianida ke bentuk ion kompleks Ag(CN)2- :
Ag+ + 2 CN- ↔ Ag(CN)2- (Day dan Underwood, 2002)
Kompleks yang dimaksud di sini adalah kompleks yang dibentuk melalui
reaksi sebuah ion logam, sebuah kation, dengan sebuah anion atau molekul netral.
Ion logam dalam kompleks disebut atom pusat, dan gugus yang tergabung ke
atom pusat disebut ligan (Day dan Underwood, 2002). Ikatan antara atom pusat
dan ligan bersifat kovalen, yaitu terjadi karena sepasang elektron dipakai bersama
antara kedua atom yang berikatan. Dalam ikatan kovalen kedua pihak masing-
masing memberikan satu elektron sehingga terbentuklah pasangan elektron
tersebut. Ligan disini bersifat sebagai “pemberi” disebut donor pasangan elektron
dan inti bersifat sebagai akseptor pasangan elektron (Harjadi, 1986).
Pada proses titrasi pengompleksan selain ligan, dibutuhkan juga adanya
indikator logam. Indikator logam merupakan senyawa yang dapat membentuk
kompleks dengan suatu ion logam. Adapun syarat-syarat indikator logam sebagai
berikut :
1. Stabilitas dari ikatan kompleks indikator-logam harus lebih rendah daripada
ikatan kompleks logam-EDTA.
2. Terjadi perubahan warna pada rentang pH yang ditetapkan, dimana terjadi
pembentukan kompleks yang stabil.
3. Perubahan warna yang terjadi oleh adanya indikator bebas dari kompleks
logam dalam larutan, karena sejumlah ekivalen EDTA ditambahkan untuk
membentuk kompleks ligan EDTA (Lubis, 2018).
Titrasi kompleksometri ialah jenis titrasi di mana titran dan titrat saling
mengkompleks, dan membentuk hasil berupa kompleks. Titrasi kompleksometri
juga dikenal sebagai reaksi yang meliputi reaksi pembentukan ion-ion kompleks
ataupun pembentukan molekul netral yang terdisosiasi dalam larutan. Persyaratan
mendasar terbentuknya kompleks adalah tingkat kelarutannya yang tinggi. Titrasi
kompleksometri dikenal juga sebagai titrasi kelatometri, seperti yang menyangkut
pada penggunaan EDTA (Khopkar, 2002).
Asam Etilen Diamin Tetra Asetat atau yang lebih dikenal dengan EDTA,
merupakan salah satu jenis asam amina polikarboksilat, dengan rumus molekul
sebagai berikut :
H2 H2
HOOC C C COOH
H2 H2
N C C N

HOOC C C COOH
H2 H2

EDTA adalah suatu ligan heksadentat yang dapat berkoordinasi dengan suatu ion
logam lewat kedua nitrogen dan keempat gugus karboksilnya atau disebut ligan
multidentat yang mengandung lebih dari dua atom koordinasi per molekul
misalnya asam 1,2-diamino etana tetra asetat (Rival, 1995).
Dasar reaksi pengompleksan dengan EDTA adalah terbentuknya kompleks
antara beberapa logam (misalnya : Ca, Mg, Zn dan Ni). Dengan EDTA logam
akan membentuk kompleks pada pH yang berbeda-beda. Logam yang sering
digunakan adalah Natrium dengan garam natriumnya (Na2H2Y) (Harjadi, 1986).

2.2 Metode-Metode Titrasi Kompleksometri


Ada beberapa metode yang dapat digunakan untuk titrasi EDTA yaitu
sebagai berikut :
1. Titrasi Langsung
Titrasi langsung dengan EDTA dapat dilakukan dengan menggunakan
indikator metallochromic. Ion kompleks seperti sitrat dan tartat, seringkali
ditambahkan untuk mencegah pengendapan metal logam hidroksida. Sebuah
penyangga NH3-NH4Cl pada pH 9 sampai 10 digunakan untuk logam yang
membentuk kompleks dengan amonia. Jumlah kesadahan air, kalsium ditambah
magnesium, dapat ditentukan melalui titrasi langsung dengan EDTA
menggunakan indikator Eriochrome Black T atau calmagite (Day dan
Underwood, 2002).
2. Titrasi Kembali
Titrasi kembali dipergunakan ketika reaksi antara kation dan EDTA
berjalan lambat atau ketika sebuah indikator yang cocok tidak tersedia. Kelebihan
EDTA ditambahkan, dan kelebihan tersebut dititrasi dengan sebuah larutan
standar magnesium dengan menggunakan calmagite sebagai indikator. Kompleks
magnesium-EDTA berada relatif pada stabilitas yang rendah, dan kation yang
yang ditentukan tidak digantikan oleh magnesium. Metode ini juga dapat
digunakan untuk menentukan logam-logam dalam pengendapan, seperti timbal
dalam timbal sulfat dan kalsium dalam kalsium oksalat (Day dan Underwood,
2002).
3. Titrasi Substitusi
Titrasi substitusi dipergunakan ketika tidak tersedia indikator yang cocok
untuk menentukan ion logam. Sebuah larutan berlebih yang mengandung
kompleks magnesium-EDTA ditambahkan, dan ion metal, katakanlah M2+,
menggantikan magnesium dari kompleks EDTA yang relatif lemah :
M2+ + MgY2- ↔ MY2- + Mg2+
Mg2+ yang digantikan kemudian dititrasi dengan sebuah larutan standar EDTA,
dengan menggunakan calmagite sebgai indikator (Day dan Underwood, 2002).
4. Titrasi tidak langsung
Titrasi tidak langsung dipergunakan untuk menentukan ion sulfat. Sulfat
ditentukan dengan menambahkan ion barium secara berlebihan untuk
mengendapkan BaSO4. Kelebihan Ba2+ ini kemudian dititrasi dengan EDTA.
Titrasi ini juga dapat dipergunakan untuk menentukan ion fosfat. Fosfat
ditentukan dengan titrasi dari Mg2+ dalam kesetimbangan dengan MgNH4PO4
yang dapat larut secara moderat (Day dan Underwood, 2002).
2.3 Indikator Titrasi Kompleksometri
Indikator yang digunakan untuk titrasi kompleksometri merupakan asam
atau basa lemah organik yang dapat membentuk kelat dengan ion logam dan
warna kelat tersebut berbeda dari warna indikator bebas atau yang biasa dikenal
dengan indikator metallochromic (Harjadi, 1986). Berikut ini indikator
metallochromic yang banyak digunakan pada titrasi kompleksometri :
1) Eriochrome Black T
Struktur dari Eriochrome Black T adalah sebagai berikut
OH OH

-
O3S N N

NO2

Indikator EBT merupakan asam lemah berbasa tiga (H3In). kesetimbangan


disosiasi indikator tersebut akan memberikan warna-warna tertentu dan
membentuk kompleks 1:1 dengan sejumlah ion logam, sehingga dapat
memberikan perubahan warna pada akhir titrasi (Poedjiastoeti, 2014).
Reaksi indikator :
H2In- → HIn2- + H+
merah biru
Reaksi dengan ion logam Ca2+ :
Ca2+ + HIn2- → CaIn- + H+
Reaksi dengan EDTA :
CaIn- + H2Y2- → CaH2Y2- → CaH2Y + In3-
merah anggur
In3- + H2O → HIn- + OH-
Biru
Perubahan warna yang terjadi selama titrasi adalah larutan yang
mengandung ion logam seperti Ca2+, Mg2+, Ni2+, dan Zn2+, setelah penambahan
indikator EBT akan berwarna merah anggur. Kemudian setelah terjadi ekivalen
antara ion logam dengan EDTA akan terlihat dari terbentuknya warna biru dari
indikator dalam bentuk HIn2-. Indikator EBT akan bereaksi pada selang pH sekitar
7-11. Banyak titrasi EDTA terjadi dalam penyangga pH 8-10 sehingga indikator
EBT ini tepat digunakan pada titrasi EDTA (Harjadi, 1986).
2) Calmagite
Calmagite merupakan indikator asam lemah berbasa tiga (H3In).
Calmagite akan membentuk senyawa kompleks dengan ion logam. Calmagite
bereaksi pada pH 8,1-12,4. Kesetimbangan disosiasi indikator tersebut akan
memberikan warna-warna tertentu dan membentuk kompleks 1:1 dengan
sejumlah ion logam. Sehingga dapat memberikan perubahan warna pada titik
akhir titrasi (Harjadi, 1986).
3) Jingga xilenol
Sebagai indikator asam-basa, Xylenol Orange berwarna kuning lemon
dalam larutan sangat asam (pH < 5,4) dan berwarna merah pada pH 5,5-7,4,
sedang kelat indikator logam berwarna violet atau merah. Indikator ini digunakan
pada pH rendah (< 5,4). Misalnya untuk Bi dan Th secara langsung pada pH 1,5-
3,0 dan secara tidak langsung untuk titrasi Zr dan Fe(III) (Harjadi, 1986).
4) Calcon
Calcon merupakan garam natrium dari Erichrome Blue Black R. Molekul
indikator yang netral, (H3In), berwarna hijau dan hanya terdapat dalam larutan
asam kuat. Pada pH 7-10 warna indikator menjadi merah, lalu berwarna biru
sampai pH 13,5 dan di atas itu berwarna jingga. Kelat Calcon dengan logam
berwarna merah dan cocok untuk titrasi Ca pada pH 12,5-13 tanpa terganggu
oleh Mg. Perubahan warna pada titik akhir dari merah ke biru. Dengan indikator
ini dapat ditentukan kesadahan air yang disebabkan oleh logam Ca saja, tidak
termasuk kesadahan oleh logam Mg (Harjadi, 1986).
2.4 Standarisasi Larutan Na-EDTA 0,01 M dengan CaCl2 sebagai Baku
Pada praktikum ini, dilakukan standarisasi larutan Na-EDTA dengan
CaCl2 sebagai larutan baku. Standarisasi merupakan suatu proses yang digunakan
untuk menentukan secara teliti konsentrasi suatu larutan.
Larutan EDTA distandarisasikan dengan CaCO3 Pro Analysis (mutu baku
primer). Karena CaCO3 sukar larut dalam air, maka dipakai sedikit asam klorida
hanya sekedar untuk melarutkannya kemudian ditambah larutan buffer setelah
diencerkan kemudian baru dititrasi dengan EDTA. Bila digunakan Eriochrome
Black T atau Calmagite sebagai indikatornya, perlu diberikan Mg. Untuk
pembuatan larutan baku EDTA perlu dipakai air bebas ion (demineralized water)
untuk menghindari adanya kation yang dapat mem-block indikator yang dipakai
(Harjadi, 1986).
Persamaan yang digunakan untuk menghitung konsentrasi larutan dalam
satuan molaritas adalah sebagai berikut.
g
M= (Day dan Underwood, 2002)
BM X V

Keterangan :
M = Konsentrasi titran (EDTA)
g = Massa titrat (CaCO3)
BM = Berat Molekul titrat (CaCl2)
V = Volume titran (EDTA)

Hasil persamaan tersebut kemudian dimasukkan ke dalam persamaan pengenceran


yaitu :

M1 x V1 = M2 x V2 (Day dan Underwood, 2002)

Keterangan :
M1 = Konsentrasi zat yang diketahui (CaCl2)
V1 = Volume zat yang diketahui (CaCl2)
M2 = Konsentrasi zat yang ditentukan (EDTA)
V2 = Volume zat yang diketahui melalui percobaan (EDTA)

Prinsipnya adalah zat pembentukan kompleks yang dipakai berupa garam


Na2EDTA (Dinatrium Etilen Diamin Tetra Asetat) yang dalam titrasi dapat
bereaksi dengan logam Ca dengan bantuan indikator Eriochrome Black T (EBT)
pada pH 10 – 11 maka larutan tersebut berwarna merah anggur. Titik akhir titrasi
ditandai dengan perubahan warna dari merah anggur menjadi biru. Penambahan
buffer ammonia-amonium klorida pH 10 dilakukan sebelum titrasi. Penambahan
buffer pH 10 ini berfungsi untuk menstabilkan kompleks yang terjadi antara ligan
EDTA dengan kation Ca2+ yang ada dalam sampel (Sobirin, 2016).

2.5 Penentuan Kesadahan Total pada Air PDAM


Pada praktikum ini, untuk aplikasi titrasi kompleksometri yaitu
menentukan kesadahan total pada air PDAM. Kesadahan air adalah jumlah
kandungan unsur Kalsium (Ca2+) dan Magnesium (Mg2+) di dalam air. Air
berdasarkan tingkat kesadahannya diklasifikasikan sebagai berikut:
1. Kesadahan < 50 mg/L tergolong air lunak,
2. Kesadahan 50 – 150 mg/L tergolong air menengah,
3. Kesadahan 150 – 300 mg/L tergolong air sadah,
4. Kesadahan > 300 mg/L merupakan air sangat sadah (Sobirin, 2016).
Standar kesadahan air berdasarkan Kementerian Kesehatan No.
492/MENKES/PER/IV/2010 batas maksimum kesadahan total dalam air minum
adalah 500 mg/L (Sobirin, 2016).
Kesadahan air dapat dibedakan menjadi 2 jenis, yaitu :
1. Kesadahan sementara merupakan air sadah yang mengandung ion bikarbonat
(HCO3-), khususnya senyawa kalsium bikarbonat (Ca(HCO3)2) atau
magnesium bikarbonat (Mg(HCO3)2). Disebut air sadah sementara karena
kesadahannya dapat dihilangkan dengan pemanasan air untuk membebaskan
ion Ca2+ atau Mg2+ di dalam air (Sulistyani, 2012). Senyawa-senyawa
tersebut kemudian akan mengendap, sesuai dengan persamaan berikut :
Ca(HCO3)2 (aq) → CaCO3 (s) + CO2 (g) + H2O (l)
Mg(HCO3)2 → MgCO3 (s) + CO2 (g) + H2O (l)
(Sulistyani, 2012)
2. Kesadahan tetap merupakan air sadah yang mengandung anion selain ion
bikarbonat, misalnya dapat berupa ion Cl-, NO3- dan SO42-. Disebut air sadah
tetap karena kesadahannya tidak bisa dihilangkan hanya dengan cara
pemanasan. Kesadahan tetap dapat dihilangkan dengan mereaksikan air
tersebut dengan zat kimia tertentu. Pereaksi yang digunakan adalah larutan
karbonat: Na2CO3 atau K2CO3. Penambahan larutan karbonat dimaksudkan
untuk mengendapkan ion Ca2+ atau Mg2+ (Sulistyani, 2012).
Penetapan kesadahan total ini menggunakan metode kompleksometri,
yaitu pembentukan kompleks berwarna oleh logam. Dengan menggunakan larutan
standar Na2EDTA (Dinatrium Etilen Diamin Tetra Asetat) dan indikator
Eriochrome Black T (EBT). Bila penambahan indikator EBT pada larutan yang
mengandung ion Ca dan Mg pada pH 10 – 11 maka larutan akan menjadi merah
anggur. Bila kemudian dititrasi dengan Na2EDTA, ion Ca dan Mg sudah terikat,
larutan yang berwarna merah anggur berubah menjadi biru sebagai titik akhir
titrasi (Wulandari, 2017).
Kesadahan total CaCO3 dalam suatu sampel dapat diketahui dengan
menggunakan persamaan sebagai berikut :

M EDTA x V EDTA x BM CaCO3


Kesadahan Total mg CaCO3/L =
V sampel ( L)

(Ibnu, 2004)

Keterangan :
M EDTA = Konsentrasi titran (EDTA)
VEDTA = Volume titran (EDTA)
BM CaCO3 = Berat Molekul CaCO3
V sampel = Volume titrat (L CaCO3)

2.6 Kelebihan dan Kekurangan Menggunakan Titrasi Kompleksometri


 Kelebihan
1. EDTA stabil, mudah larut dan menunjukkan komposisi kimiawi
tertentu.
2. Selektivitas kompleks dapat diatur dengan pengendalian pH, misalnya
magnesium (Mg), krom (Cr), Kalsium (Ca), dan barium (Ba) dapat
dititrasi pada pH 11.
3. EDTA mempunyai garam natrium (N2H2Y) merupakan larutan standar
primer sehingga tidak perlu distandarisasi lebih lanjut.
4. Dalam titrasi suatu titik ekivalen dapat segera tercapai sehingga dapat
digunakan untuk penentuan beberapa logam pada operasi skala semi-
mikro.
 Kekurangan
1. Kurang baik digunakan untuk penentuan ion Ca2+ dengan EDTA, karena
kompleks Ca dengan EBT lebih besar daripada Ca dengan EDTA.
2. Pada saat titrasi titik ekivalen terjadi terlalu cepat.
3. Agar penentuan ion Ca2+ dengan EDTA dapat terjadi dapat
menggunakan indikator EBT dengan ditambah sedikit Mg2+ ke dalam
EDTA sebelum dilakukan standarisasi.
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Alat
1. Neraca analitik 1 buah
2. Buret 50 mL 1 buah
3. Statif dan Klem 1 buah
4. Gelas kimia 100 mL 2 buah
5. Labu ukur 100 mL 1 buah
6. Erlenmeyer 250 mL 3 buah
7. Gelas ukur 10 mL 1 buah
8. Corong kaca 1 buah
9. Kaca arloji 1 buah
10. Pipet volume 10 mL 1 buah
11. Pipet tetes 5 buah
12. Spatula 1 buah

3.2 Bahan
1. Larutan Na-EDTA 0,01 M Secukupnya
2. Aquades ± 500 mL
3. CaCO3 p.a 0,081 gram
4. Larutan buffer pH 10 12 mL
5. Larutan HCl ± 20 mL
6. Indikator EBT 18 tetes
7. Air PDAM ± 30 mL

3.3 Prosedur
1. Penentuan (standarisasi) Larutan Na-EDTA 0,01 M dengan CaCl 2 sebagai
baku
Percobaan yang pertama yaitu penentuan konsentrasi Na-EDTA 0,01 M
dengan CaCl2 sebagai baku. Pertama padatan CaCO3 p.a diletakkan dalam kaca
arloji kemudian ditimbang sebanyak 0,081 gram menggunakan neraca analitik.
Padatan CaCO3 p.a yang sudah ditimbang kemudian dipindahkan ke dalam labu
ukur 100 mL. Dilarutkan menggunakan aquades dan diencerkan sampai tanda
batas. Ditambah larutan HCl 1:1 setetes demi setetes sampai gelagak gas yang
terjadi berhenti. Dikocok sampai larutan homogen diperoleh larutan CaCl2.
Setelah melakukan pengenceran, tahap selanjutnya adalah standarisasi
larutan. Disiapkan buret yang sudah terpasang pada statif dan klem. Buret dibilas
terlebih dahulu menggunakan larutan Na-EDTA 0,01 M kemudian buret diisi
dengan larutan Na-EDTA 0,01 M. Diambil 10 mL larutan CaCl 2 menggunakan
pipet seukuran, kemudian dimasukkan ke dalam Erlenmeyer 250 mL.
Ditambahkan 2 mL larutan buffer pH 10 dan ditambahkan 3 tetes indikator EBT
ke dalam erlenmeyer.
Tahap selanjutnya dititrasi dengan larutan Na-EDTA 0,01 M dan
dihentikan titrasi saat terjadi perubahan warna dari merah anggur menjadi warna
biru. Kemudian dibaca angka pada buret pada awal dan akhir titrasi dan dicatat
volume Na-EDTA yang diperlukan. Dihitung konsentrasi larutan Na-EDTA.
Diulangi titrasi sebanyak 3 kali dengan volume larutan CaCl2 yang sama. Dihitung
konsentrasi rata-rata larutan Na-EDTA.

2. Penentuan Kesadahan Total Air PDAM


Pada percobaan selanjutnya akan ditentukan kesadahan total air PDAM
melalui proses titrasi pengompleksan dengan Na-EDTA yang telah distandarisasi
dengan CaCl2. Pertama diambil 10 mL air PDAM menggunakan pipet dan
dimasukkan ke dalam Erlenmeyer 250 mL. Ditambahkan 2 mL larutan buffer pH
10 dan ditambahkan 3 tetes indikator EBT ke dalam Erlenmeyer. Dititrasi dengan
larutan Na-EDTA 0,01 M yang sudah distandarisasi sampai larutan berwarna biru
(tepat sampai warna merah hilang). Diulangi titrasi sebanyak 3 kali dan dihitung
kesadahan total dalam garam CaCO3 per liter air.
DAFTAR PUSTAKA

Day, R. A., & Underwood, A. L. 2002. Analisis Kimia Kuantitatif Edisi Keenam.
Jakarta: Erlangga.

Harjadi, W. 1986. Ilmu Kimia Analitik Dasar. Jakarta: PT Gramedia.

Ibnu, M. Sodiq, dkk. 2004. Kimia Analitik I. Malang: Universistas Negeri


Malang.

Khopkar. 2002. Konsep Dasar Kimia Analitik. Jakarta: UI Press.

Lubis, Mustafa R. 2018. Penetapan Kadar Kalsium pada Susu Bubuk Bermerek
“H” Secara Titrasi Kompleksometri. Jurnal Ilmiah Kohesi, 2(4), 35-45.

Poedjiastoeti, Sri, dkk. 2014. Panduan Praktikum Kimia Analitik I Dasar - Dasar
Kimia Analitik. Surabaya: Jurusan Kimia FMIPA UNESA.

Rival, Harrizul. 1995. Asas Pemeriksaan Kimia. Jakarta: UI Press.

Sobirin, M., Yulianto, A., & Aji, M. P. 2016. Efek Penambahan Karbon Aktif
pada Magnetit dari Pasir Besi Sebagai Adsorpsi Ion Kalsium dalam
Air. Unnes Physics Journal, 5(2), 42-50.

Sulistyani, Sunarto, dan Fillaeli, A. 2012. Uji Kesadahan Air Tanah di Daerah
Sekitar Pantai Kecamatan Rembang Provinsi Jawa Tengah. Jurnal
Sains Dasar, 1(1), 33-38.

Triwahyuni M., Endang dan Yusrin. 2008. Penggunaan Metode Kompleksometri


pada Penetapan Kadar Seng Sulfat dalam Campuran Seng Sulfat
dengan Vitamin C. Jurnal Unimus, 3(2), 335-345.

Wulandari, Devyana Dyah. 2017. Analisa Kesadahan Total dan Kadar Klorida Air
di Kecamatan Tanggulangin Sidoarjo. Medical Technology and Public
Health Journal, 1(1), 15-19.

Anda mungkin juga menyukai