Anda di halaman 1dari 16

PENUGASAN ARTIKEL INSPIRATIF

BLOK ELEKTIF 4.1 : KELUARGA SAMARA

Disusun Oleh:

Nama : Nestri Prabandani

NIM : 17711080

Kelompok :6

Tutor : dr. Rama Iqbal Mahendra

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS ISLAM INDONESIA

TAHUN AJARAN 2020/2021


LATAR BELAKANG

Setiap orangtua tentunya menghendaki kehadiran seorang anak. Anak


yang diharapkan adalah anak yang sehat baik jasmani dan rohani, sempurna, tanpa
ada cacat apapun. Namun kenyataannya, tidak satupun manusia yang lahir di
dunia ini luput dari kekurangan. Manusia tidak diciptakan sama satu dengan yang
lainnya.

Tidak ada satupun manusia di dunia ini yang menginginkan lahir dengan
kekurangan ataupun memiliki kecacatan. Begitu pula, tidak ada orangtua manapun
yang menginginkan anak yang cacat. Kelahiran seorang anak berkebutuhan
khusus tidak memandang status sosial, latar belakang agama, ataupun pendidikan.

Dalam Al-Qur’an, dinyatakan bahwa anak dapat menjadi tabungan amal


bagi orangtua kelak saat di akhirat. Begitu pula dengan anak berkebutuhan
khusus. Anak berkebutuhan khusus memiliki keistimewaan pada saat yaumul
hisab nanti. Hisab hanya berlaku pada orang-orang yang berakal saja. Anak-anak
berkebutuhan khusus nantinya di hari akhir tidak akan ditanya mengenai salat,
puasa, atau amalan wajib lainnya. Mereka hanya akan ditanya apaka mereka
mengenal Allah atau tidak. Allah titipkan mereka pada orangtua yang mampu
merawatnya dan Allah ganti penderitaan mereka dan para orangtuanya di dunia
dengan kenikmatan di akhirat.

Tentu tidak mudah menjadi orangtua dari anak berkebutuhan khusus


dalam hal merawat dan mengasihi anaknya. Bukan hanya materi saja yang harus
dikeluarkan, namun waktu dan perhatian pun akan terkuras habis. Bahkan, emosi
dan mental pun akan diuji dengan berbagai tekanan, baik dari dalam maupun dari
luar. Hal ini membuat saya merasa kagum dengan sosok ibu pada artikel yang
saya temukan. Beliau tetap tegar dan tabah dalam merawat anak-anaknya yang
berkebutuhan khusus.
ARTIKEL

“Cerita Ibu yang Membesarkan Tiga Anak Berkebutuhan Khusus”

Oleh: Eka Wahyu Pramita, Mila Novita (Pramita and Novita, 2019)

Dipublikasikan: Selasa, 3 Desember 2019

TEMPO.CO, Jakarta - Memiliki buah hati, bagi semua orang tua di


dunia, mendatangkan kebahagiaan dalam hidup. Begitu juga dengan
Kartika Nugmalia. Namun, tiga  sumber kebahagiaannya terlahir sebagai anak
kebutuhan khusus.

Putra pertamanya,  Shoji, 8, diagnosis ADD dengan dyspraxia. Putra


kedua, Rey, 6,  mengidap ADHD dengan dyspraxia. Sementara putri
bungsunya, Aisha, 4, mengalami cerebral Palsy, CMV, microcephaly, dysfagia,
west syndrome, cortical visual impairment, dan enchepalomalacia lobus
parietal bilateral.

Kondisi tersebut membuat tumbuh kembang anak-anak Kartika berbeda. Setiap


hari mereka membutuhkan perhatian khusus. Penyangkalan pun pernah singgah
di hatinya. "Saya rasa semua orang tua pasti ingin punya anak normal dan sehat.
Di awal sempat menyangkal tapi ya tidak akan mengubah juga," kata dia.

Akhirnya dia mulai cari-cari informasi dari Internet, meminta pada dokter


spesialis yang mumpuni dan menemukan sahabat seperjuangan yang saling
menyemangati dan memotivasi. Lambat laun, ia pun bisa menerima kondisi
ketiga anaknya. 

Sedari awal membangun keluarga, Kartika dan suami memiliki komitmen yang
kuat di awal pernikahan. Satu suara, satu hati, saling terbuka dan saling
mendukung adalah salah satu kekuatan terbesar saat mengetahui ketiga buah hati
tumbuh dengan kebutuhan khusus. Selain suami, dukungan keluarga adalah
motivasi hidup dalam dirinya.

"Keluarga besar, Alhamdulillah juga menerima kondisi Shoji, Rey, dan Aisha,
begitu juga sahabat sahabat kami selain teman di media sosial pun memberikan
dukungan dari komentar yang menyemangati saat kami berbagi cerita tentang
anak-anak," ujarnya.

Kartika Nugmalia bersama suami dan ketiga anaknya. (Dok. pribadi)

Sebenarnya perkembangan anak pertama Kartika, Shoji, layaknya balita-balita


normal lainnya hingga usia 17 bulan. Dia mampu mengucap kata seperti "cicak,
tutup, ayah". Namun saat usianya menginjak 18 bulan, semakin sulit untuk
menyebutkan kata-kata tersebut, Shoji lebih banyak berkomunikasi
menggunakan gerak tubuh.

"Hingga usia kurang dari 4,5 tahun, kemampuan bicaranya masih terbatas
seperti anak usia 1,5 tahun. Shoji mulai dapat merangkai kalimat sederhana di
usia 6 tahun," ceritanya.
Kebahagiaan Kartika saat Shoji berhasil mengucap kata demi kata mungkin
telah lebih awal dirasakan oleh para ibu yang lain. Namun bagi Kartika tak ada
kata terlambat, Shoji memberikan berkah yang tiada terkira.

Anak kedua, Rey mengalami ADHD. Tandanya si anak terus bergerak, tidak


bisa diminta untuk duduk tenang. Kecuali memang ada hal yang menarik
perhatiannya sekali. Duduk juga tidak jenak. "Pokoknya penginnya bergerak
terus. Lari, nabrak-nabrak, tangannya menggapai-gapai biasanya," imbuhnya.
Kemudian, Aisha. Dia mengungkapkan apa yang terjadi pada Aisha lebih
kompleks. Anak bungsunya ini terdiagnosis echepolamalacia lobus parietal
bilateral (pelunakan jaringan otak) ditambah kejang epilepsi yang terhubung
ke west syndrom yakni salah satu jenis epilepsi kejang halus yang
membahayakan otaknya, lebih berbahaya dari epilepsi kejang biasa.

"Namun kata dokter sudah ada pengobatan dan terbukti bisa disembuhkan. Ini
salah satu harapan terbesar kami," ujar lulusan Ilmu Teknologi Pangan dan Hasil
Pertanian Universitas Gadjah Mada ini.

Kartika tak pernah lelah berjuang untuk membantu anaknya. Shoji terus


menjalani terapi sensori integrasi 4 kali dan fisioterapi 1 kali sehari.
Sementara Aisha, pengobatan yang dilakukan saat ini adalah terapi sensori 3 kali
seminggu dan terapi wicara (oral) 1 kali seminggu, ditambah terapi obat anti
kejang dan beberapa vitamin untuk meningkatkan fungsi otak.

"Untuk mendukung anak berkebutuhan khusus, sebenarnya dimulai dari orang


tuanya dulu. Bagaimana orang tua dengan anak berkebutuhan khusus bisa
menerima kondisi anak-anak apa adanya," katanya.

Sakit itu Penggugur Dosa

Kartika bercerita, keadaan yang membuatnya drop ialah komplikasi saat


kondisinya sedang sangat lelah. Aisha sering begadang lalu susah makan,
ditambah rewel tidak mau minum obat. Belum lagi kedua kakaknya yang juga
ingin diperhatikan lebih. "Saya bisa nangis sendiri. Kalau sudah gitu langsung
deh curhat sama suami, salat biasanya sudah balik semangat lagi," ucapnya.

Diungkap Kartika banyak hal yang membuatnya selalu bersemangat.


Perkembangan Shoji belakangan ini semakin pesat, ia sudah bisa merangkai
kalimat sederhana. Ditambah Aisha pun menunjukkan peningkatan.

Sebagai seorang ibu yang telah melewati rasa menerima, sabar, dan menangis,
Kartika selalu mengingat dua kalimat yang saya ingat saat Aisha dirawat di
kamar bayi PICU rumah sakit, yaitu QS Al Insyirah 5-6, di mana artinya adalah
"Di mana ada kesulitan di situ terdapat kemudahan" dan "Sakit itu penggugur
dosa".

Tak Ingin Patah Semangat

Memiliki pengalaman dengan buah hati berkebutuhan khusus, Kartika tidak


ingin melihat ibu-ibu lain patah semangat. Dia kerap mengampanyekan apa yang
dia alami, apa yang dia baca. Kartika berbagi ilmu bersama teman-teman terkait
di media sosial seperti facebook dan blog, bahkan juga berbagi pengalamannya
di komunitas.

"Pernah ikut TORCH Kampanye yang diadakan Rumah Ramah Rubella juga,
ikut seminar dan bergabung di komunitas kelompok pendukung anak-anak
berkebutuhan khusus di sekolah Shoji, di grup WhatsApp yang beranggota anak-
anak dengan epilepsi, juga di grup Facebook Wahana Keluarga Cerebral Palsy.
Makin banyak ilmu dan makin banyak teman itu bikin saya dan suami lebih
menikmati proses bareng anak-anak, "katanya.

Selain itu, dalam memberikan informasi, Kartika mengatakan karena dia


mewakili orang yang senang bercerita, jadi jika bertemu orang jadi banyak
cerita. Ditambah Aisha selalu dibawanya kemana-mana. Saat bertanya banyak
yang bertanya tentang usia dan kebisaan Aisha selama tumbuh kembangnya.
"Saat itu juga peluang saya untuk cerita tentang kondisi Aisha dan apa pun yang
menjadi penyebabnya. Kadang-kadang tanggapan orang berbeda, ada yang
terdiam, ada yang mengiyakan, ada yang membalikkan cerita kondisi saudara
teman yang ABK, ada yang menyemangati dan ada pula yang "ngepuk puk" biar
lebih sabar. " ujar dia.

Kini harapan ibu cantik itu adalah Shoji, Rey, dan Aisha menjadi anak mandiri
yang memiliki karakter. Menjadi manusia yang utuh dengan segala
ketidaksempurnaan yang menjadikan manusia sempurna. "Percaya diri, mampu
memberdayakan diri sendiri, menjadi pribadi yang takut akan Tuhan, dan
bermanfaat bagi sesama," kata dia.
ULASAN

A. KESAN TERHADAP KASUS


Anak merupakan amanah, anugerah, dan perhiasan hidup dari
Allah. Secara naluri, setiap pasangan mengidamkan kehadiran anak-anak
yang sempurna sehingga dapat membahagiakan hidup mereka. Namun,
kehadiran anak-anak berkebutuhan khusus dalam hidup Kartika dan
suaminya ternyata juga dapat menjadi sumber kebahagiaan mereka.
Tidak bisa dibayangkan bagaimana rasanya berada dalam posisi
Kartika dan suami. Harus merawat dan mengurus anak yang normal saja
belum tentu mudah. Apalagi anak-anak berkebutuhan khusus yang tentu
butuh materi, tenaga, dan waktu yang sangat ekstra.
Saya sangat terkesan terhadap Kartika yang dapat membagi waktu
nya mengurus keluarga, baik suami maupun anak-anaknya. Kartika
merupakan sosok yang tegar, tabah, dan kuat dalam menjalani hal ini.
Tidak dapat dipungkiri pasti ada rasa kaget, penyangkalan, ataupun sedih
yang dirasakan oleh Kartika namun beliau dapat menjalani segala cobaan
ini dengan sangat baik.
Penggalian informasi mengenai penyakit yang diderita anak-
anaknya dan semangat juang yang tinggi agar anak-anaknya dapat
melalukakan terapi sehingga bisa tumbuh dan berkembang mengejar anak-
anak pada umumnya patut diapresiasi.
B. INSPIRASI DARI KASUS
Sosok Kartika merupakan sosok superwoman masa kini. Kondisi
anak-anaknya tidak serta merta membuat Kartika putus asa. Beliau justru
lebih rajin mencari informasi mengenai penyakit anak-anaknya dan
akhirnya dapat menerima kondisinya. Kartika juga rajin menemani anak-
anaknya untuk terapi.
Tidak lupa peran dari sang suami yang terus mendukung dan
memimpin keluarga mereka yang dapat membuat Kartika juga bisa
menjadi sosok istri dan ibu yang kuat. Keluarga besar dan lingkungan
sekitar yang welcome juga turut andil sehingga Kartika dapat menerima
kondisi anak-anaknya dan tidak patah semangat.
Kartika juga tidak sampai lupa kepada Allah, tetap melaksanakan
ibadah, dan terus menyerahkan apa yang ia alami kepada Sang Pencipta.
Mengingat bahwa setiap kesulitan yang dialami oleh seseorang akan
diikuti dengan kemudahan.
C. ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS
1. Pengertian
Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) merupakan anak yang perlu
penanganan khusus karena memiliki keterbatasan atau keluarbiasaan,
baik fisik, mental-intelektual, sosial, maupun emosional yang
berpengaruh secara signifikan terhadap proses pertumbuhan atau
perkembangannya (Desiningrum, 2016).
World Health Organization (WHO) menggunakan beberapa istilah
untuk menyebut anak berkebutuhan khusus, yaitu:
a. Disability
Disability merupakan keterbatasan atau kurangnya kemampuan
untuk beraktivitas secara normal.
b. Impairment
Impairment adalah ketidaknormalan fungsi psikologi, fisiologi,
atau anatomi tubuh.
c. Handicapped
Handicapped adalah kondisi dimana individu mengalami
ketidakmampuan karena disability atau impairment yang
membatasi.
2. Klasifikasi
Secara umum, anak berkebutuhan khusus dibagi menjadi beberapa
macam yaitu:
a. Anak dengan Gangguan Fisik
1) Tunanetra, yaitu anak dengan indera penglihatan yang tidak
dapat berfungi.
2) Tunarungu, yaitu anak yang kehilangan seluruh atau
sebagian fungsi pendengarannya sehingga tidak atau kurang
mampu berbicara.
3) Tunadaksa, merupakan anak dengan kelainan pada alat
gerak (tulang, sendi, dan otot).
b. Anak dengan Gangguan Emosi dan Perilaku
1) Tunalaras, adalah anak yang mengalami kondisi sulit
menyesuaikan diri dan bertingkah laku sesuai dengan
norma-norma yang ada.
2) Tunawicara, yaitu anak yang memiliki kelainan suara,
artikulasi, atau kelancaran bicara yang mengakibatkan
terjadi penyimpangan bentuk, isi, atau fungsi bahasa.
3) Hiperaktif, merupakan gangguan tingkah laku yang tidak
normal yang disebabkan oleh disfungsi neurologis dengan
gejala utama tidak mampu memusatkan perhatian dan
mengendalikan gerakan.
c. Anak dengan Gangguan Intelektual
1) Tunagrahita, yaitu anak yang mengalami hambatan dan
keterbelakangan perkembangan mental-intelektual yang
jauh di bawah rata-rata sehingga sulit menjalani tugas-tugas
akademik, komunikasi, maupun sosial.
2) Anak Lamban Belajar (slow learner), merupakan anak yang
memiliki potensi intelektual sedikit di bawah normal tapi
belum termasuk tunagrahita dengan IQ biasanya sekitar
70-90
3) Anak berkesulitan belajar khusus, yaitu anak yang
mengalami kesulitan dalam tugas-tugas akademik khusus,
seperti membaca, menulis, dan berhitung.
4) Anak berbakat, merupakan anak yang memiliki bakat atau
kemampuan dan kecerdasan luar biasa diatas anak-anak
seusianya.
5) Autisme, yaitu gangguan perkembangan anak yang
disebabkan oleh disfungsi pada sistem saraf pusat yang
mengakibatkan gangguan dalam interaksi sosial,
komunikasi, dan perilaku.
6) Indigo, adalah manusia yang sejak lahir mempunyai
kelebihan khusus yang tidak dimiliki manusia pada
umumnya.
D. ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS DALAM PANDANGAN
ISLAM
Di dalam Al-Qur’an sendiri, terdapat beberapa ayat yang
menjelaskan mengenai anak berkebutuhan khusus. Berikut beberapa dalil
naqli tersebut:
1) QS At-Tiin: 4-6
“(4). Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam
bentuk yang sebaik-baiknya. (5). kemudian Kami kembalikan Dia ke
tempat yang serendah-rendahnya (neraka), (6). kecuali orang-orang
yang beriman dan mengerjakan amal saleh; Maka bagi mereka pahala
yang tiada putus-putusnya.”
Maksud dari penggalan ayat pada surat At-Tiin di atas adalah,
Allah menciptakan manusia di muka bumi ini dalam keadaan yang
sempurna. Tidak ada istilah cacat di dalamnya. Seseorang yang disebut
cacat oleh masyarakat juga adalah ciptaan yang sempurna di mata
Allah. Agama Islam jelas tidak mengenal diskriminasi terhadap anak
berkebutuhan khusus. Setiap manusia sama di hadapan Allah SWT
kecuali dalam hal amal perbuatan dan ketaqwaannya.
2) QS An-Nur: 61
“Tidak ada halangan bagi orang buta, tidak (pula) bagi orang
pincang, tidak (pula) bagi orang sakit, dan tidak (pula) bagi dirimu
sendiri, makan (bersama-sama mereka) di rumah kalian sendiri, atau di
rumah bapak-bapak kalian, di rumah ibu-ibu kalian, di rumah saudara-
saudara kalian yang laki-laki, di rumah saudara-saudara kalian yang
perempuan, di rumah saudara bapak kalian yang laki-laki, di rumah
saudara bapak kalian yang perempuan, di rumah saudara ibu kalian
yang laki-laki, di rumah saudara ibu kalian yang perempuan, di rumah
yang kalian miliki kuncinya atau di rumah kawan-kawan kalian. Tidak
ada halangan bagi kalian makan bersama-sama mereka atau sendirian.
Maka apabila kalian memasuki (suatu rumah dari) rumah-
rumah (ini), hendaklah kalian memberi salam kepada (penghuninya
yang berarti memberi salam) kepada diri kalian sendiri, sebenar-
benarnya salam yang dari sisi Allah, yang diberi berkat lagi baik.
Demikianlah Allah menjelaskan ayat-ayat bagi kalian agar kalian
memahaminya.”
Ayat tersebut mengandung makna kesetaraan yaitu bahwa tidak ada
halangan bagi manusia untuk bergabung bersama mereka yang
berkebutuhan khusus, seperti orang buta, pincang, bisu, tuli, bahkan
sakit. Mereka berhak makan bersama, berkumpul bersama layaknya
orang-orang pada umumnya. Hal ini disebabkan banyaknya timbul
stigma jijik terhadap orang-orang yang berkebutuhan khusus yang
tampak berbeda dibanding orang-orang pada umumnya sehingga timbul
diskrimasi. Pada ayat ini jelas manusia tidak boleh mendiskrimasi anak
berkebutuhan khusus.
3) QS Abasa: 1-10
“(1). Dia (Muhammad) bermuka masam dan berpaling, (2). karena
telah datang seorang buta kepadanya.(3). Tahukah kamu barangkali ia
ingin membersihkan dirinya (dari dosa),(4). atau Dia (ingin)
mendapatkan pengajaran, lalu pengajaran itu memberi manfaat
kepadanya?(5). Adapun orang yang merasa dirinya serba cukup (6).
maka kamu melayaninya.(7). Padahal tidak ada (celaan) atasmu kalau
Dia tidak membersihkan diri (beriman).(8). dan adapun orang yang
datang kepadamu dengan bersegera (untuk mendapatkan pengajaran),
(9). sedang ia takut kepada (Allah), (10). Maka kamu
mengabaikannya.”
Sebab turunnya ayat 1-10 adalah kedatangan Abdullah Ibnu Umi
Ma’tum, seorang buta, yang datang secara tiba-tiba saat Rasulullah
SAW yang sedang menerima tokoh-tokoh penting kaum Quraisy.
Rasullulah SAW berharap dengan berdiskusi dengan para tokoh
Quraisy dapat membuka hati mereka untuk memeluk Islam. Ibnu
Ma’tum datang saat itu untuk bertanya kepada Rasulullah SAW dan
meminta diajarkan tentang Islam. Hal itu membuat Nabi
memandangnya dengan tatapan tidak senang karena percakapannya jadi
terputus.
Acuhnya Nabi terhadap Ibnu Ma’tum ini kemudian mendapat
teguran dari Allah. Seandainya Nabi mengetahui tujuan dari Ibnu
Ma’tum yang meminta diajarkan Islam dan didengarkan bacaan Al-
Qur’an, ternyata lebih besar manfaat nya bagi Rasul. Dalam situasi ini,
penting untuk mendahulukan orang muslim yang ingin mendalami
Islam daripada mendakwahkan orang kafir yang angkuh terhadap Islam.
Hal ini disebabkan karena menambah keimanan seorang Muslim dapat
meperkokoh persatuan, sedangkan mendakwah orang kafir yang acuh
hanyalah kesia-siaan semata.
REFLEKSI DIRI

Kehadiran seorang anak adalah kebahagiaan paling besar bagi orang tua.
Terlebih kebahagiaan ini akan sangat dirasakan bagi suami-isteri yang sudah
lama menikah dan berharap mendapatkan momongan. Namun, bagaimana jika
anak yang hadir pada keluarga tersebut merupakan anak berkebutuhan khusus?
Permasalahannya adalah sikap orangtua terhadap anak. Apa kehadiran anak
tersebut merupakan sebuah anugerah, atau amanah? Tentu anggapan ini akan
mempengaruhi sikap orangtua kepada anaknya nanti.

Anugerah pada umumnya adalah pemberian secara cuma-cuma, sedangkan


titipan sejatinya bukan milik kita dan kelak akan diminta pertanggungjawabannya
jika ada kerusakan atau kesalahan. Sebagai ilustrasi, perlakuan seseorang
tergantung status benda tersebut. Jika diberikan secara cuma-cuma, kita cenderung
akan meperlakukan seenaknya sedangkan apabila merupakan titipan (amanah)
kita akan bertindak secara hati-hati menggunakannya.

Kedudukan anak dalam keluarga berbeda-beda di dalam Al-Qur’an


(Samiudin, 2017). Pertama, anak sebagai ujian atau cobaan “Ketahuilah
bahwasanya harta benda dan anak-anakmu adalah ujian/cobaan” (QS. Al-Anfal:
28). Waktu dan tenaga akan banyak terbagi dengan kehadiraan seorang anak,
fokus pikiran akan terbelah, setiap tahun fase dan kadar ujian yang dihadapi orang
tua akan berbeda-beda. Hanya ada satu pilihan menghadapi ujian yaitu sabar.
Kedua, anak sebagai perhiasan. “Harta dan anak merupakan perhiasan
kehidupan di dunia” (QS. Al-Kahfi: 46). Perhiasan adalah benda yang dipakai
untuk memperelok diri agar terlihat lebih indah, anak yang baik akan
mengharumkan nama orang tua dan mengangkat derajatnya begitu pun
sebaliknya. Pepatah jawa mengatakan Anak polah bapak kepradah (tingkah laku
anak akan membawa nama bapaknya).
Ketiga, anak sebagai penyejuk jiwa. “Wahai tuhan kami, anugerailah
kami isteri dan anak yangmenjadi penyejuk jiwa” (QS. Al-Furqan: 74). Situasi
yang
menyejukkan jiwa adalah merasa tentram dan aman di sampingnya, kondisi ini
tidak akan terjadi kecuali anak itu adalah anak yang baik dan berbakti kepada
orang tuanya.
Berdasarkan hal ini, dapat disimpulkan bahwa anak lebih berharga dari
harta dan perhiasan untuk itu harus hati-hati dan teliti dalam menjaganya, tapi
anak juga sebagai ujian, butuh kesabaran dan strategi dalam mendidiknya,
akhirnya anak akan menjadi penyejuk jiwa bagi orang tua. Kartika menganggap
bahwa anaknya bukan saja ujian bagi dirinya dan sang suami, melainkan juga
amanah, yang harus dirawat sebaik-baiknya karena nantinya akan
dipertanggungjawabkan di hari akhir.
Sosok Kartika dalam merawat dan membesarkan ketiga anaknya dapat
menjadi teladan bagi kita semua, tidak hanya bagi ibu-ibu lain, namun juga bagi
calon-calon ibu nantinya dalam merawat anak. Memiliki anak berkebutuhan
khusus bukanlah hal yang mudah. Merawat dan mendidik anak normal saja tentu
sulit apabila tidak memiliki rasa kasih dan sayang yang besar serta latar belakang
pendididikan maupun agama yang memadai.
Sebagai seorang mahasiswi kedokteran, setelah saya membaca kisah
Kartika, saya menjadi tersadar bahwa tugas orangtua dalam merawat,
membesarkan, dan mendidik anak-anaknya adalah tugas yang sangat mulia.
Karena sebagai orangtua merupakan pembelajaran seumur hidup, tidak hanya
memastikan anak tumbuh dan berkembang dengan baik, namun juga harus
menyiapkan pendidikan bagi anak yang sebaik-baiknya.
DAFTAR PUSTAKA

Desiningrum, D. R. (2016) Psikologi Anak Berkebutuhan Khusus. Yogyakarta:


Psikosain.

Pramita, E. W. and Novita, M. (2019) Cerita Ibu yang Membesarkan Tiga Anak
Berkebutuhan Khusus, TEMPO.

Samiudin (2017) ‘KEDUDUKAN ANAK DALAM KELUARGA MENURUT


AL-QUR’AN’, PANCAWAHANA: Jurnal Studi Islam, 12(2), pp. 1–14.

Anda mungkin juga menyukai