STUDY CASE
COACHING AND CHANGE AT THE SOUTHWESTERN FREE CLINIC
(TALENT MANAGEMENT)
Disusun Oleh:
MAGISTER MANAJEMEN
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
UNIVERSITAS AIRLANGGA
SURABAYA
2020
Desain organisasi klinik sangat mekanistik. Sebagai bagian dari sistem pelayanan
kesehatan, segala macam proses dan layanan yang diberikan oleh klinik terkontrol dengan ketat.
Masing-masing personel staf di klinik memiliki deskripsi pekerjaan dan tanggung jawab tugas
yang detail. Kepemimpinan dan arahan yang diberikan oleh eksekutif menggunakan sistem rantai
komando top-down. Tim eksekutif percaya bahwa produktivitas dan efektivitas bawahan
dicapai dengan baik melalui konsistensi dan keseragaman.
Komunikasi diantara staf terjadi secara informal dan efektif. Pengambilan keputusan
dalam operasi klinik diambil secara internal diantara para staf. Lingkungan internal organisasi
yang terdiri dari staff non eksekutif bersifat kolegial dan rukun. Para staff melihat klinik sebagai
keluarga yang memiliki tujuan utama menyediakan layanan untuk komunitas local atau dalam
banyak kasus yang terjadi, tetangga dari staff yang bekerja diklinik. Para staff non-eksekutif ini
sama-sama saling menikmati kedekatan mereka satu sama lain tidak hanya saat berada diklinik
tapi juga ketika berada diluar klinik ketika pekerjaan merekas sudah selesai.
Staff pendukung di klinik termasuk juru tulis dan personil non medis mencerminkan
komunitas penduduk disekitar klinik, baik secara etnis, asal kebangsaan dan status sosial
ekonomi. Dianggap kemampuannya agak terampil, karyawan latin yang bekerja sebagai staff
pendukung mendapatkan upah sedikit diatas upah minimum (sekitar $9 per jam). Staff medis
yang terlatih diberikan kompensasi yang lebih tinggi tapi jika dibandingkan dengan rata-rata
upah yang diterima personel rumah sakit dan praktik swasta lainnya, cenderung rendah. Berbeda
dengan gaji yang diterima oleh Leeza Smithton setiap tahunnya sebagai Excecutive Director
(ED) sebesar $175.000, sedikit lebih tinggi dari gaji non-profit ED yang seharusnya diterima
berdasarkan market rate-nya. Sebagai tambahan untuk personil yang dibayar, kebanyakan dokter
yang bekerja di SWFC adalah volunteer, mereka menyediakan waktu sehari dalam seminggu
untuk mendonasikan waktu dan keahliannya. Begitu juga dengan perawat dan spesialis, mereka
kebanyakan adalah volunteer.
Setelah melewati bebrapa tahun, turnover klinik meningkat diantara 35-50% setiap
tahunnnya. Beberapa hal yang dinilai sebagai penyebab tingginya tingkat turnover adalah
sebagai berikut :
Karyawan menilai mereka sudah bekerja cukup keras bagi klinik, tapi manajemen kurang
peduli terhadap mereka.
Karyawan menilai bahwa manajemen atau staff eksekutif hanya senang memerintah
bawahannya namun tidak pernah turun langsung dalam hal operasional dan jika ada
sesuatu hal yang salah, staff eksekutif akan langsung menuduh karyawannya atas hal
yang sebetulnya tidak mereka lakukan.
Karyawan merasa staff eksekutif (yang kebanyakan berasal dari ras mayoritas kulit putih)
melihat mereka sebagai kaum minoritas dan kurang mengapresiasi apa yng mereka
lakukan seperti contohnya memberikan upah yang rendah bahkan dibawah upah
minimum.
fungsinya untuk lebih memahami tentang SWFC. Tim konsultan membagi grup ini
menjadi 6 fokus grup yang masing-masing grup terdiri dari 8-10 staff. Sesi ini
dijadwalkan berjalan selama 90 menit. Untuk menjaga keterbukaan dan komunikasi yang
jujur serta karena proyek ini merupakan bagian dari proses penelitian maka semua
karyawan yang berpartisipasi menandatangani perjanjian konfidensial terlebih dulu. Ada
8 pertanyaan yang diajukan oleh tim konsultan untuk kemudian dikembangkan lagi
dalam proses interview dan pertemuan fokus grup. Pertanyaan ini mengacu pada
kelemahan dan kekuatan SWFC, apa ada perubahan yang dilihat oleh karyawan,
bagaimana leader dan kepemimpinannya di SWFC, bagaimana pekerjaan mereka selama
ini apakah mudah, menantang atau terlalu sulit dan karyawan disuruh menceritakan
tentang bagaimana staff dan eksekutif saling berkomunikasi di SWFC. Dari analisis
interview ini akan muncul 11 kategori yang berhubungan dengan kondisi kerja, orentasi
dan pelatihan, komunikasi, pekerjaan itu sendiri, reward dan pengakuan, hubungan
diantara unit kerja, hubungan diluar unit kerja, supervision, manajemen eksekutif, budaya
organisasi dan penilaian keseluruhan tentang efektivitas.
Survei data dan umpan balik
Konsultan melakukan survei yang berisi 3 pertanyaan terbuka. Survei diberikan kepada
seluruh karyawan
DISCUSSION QUESTIONS :
1. Evaluate the change process at SWFC. Including the coaching and action research
processes.
Coaching biasanya memiliki satu atau lebih dari tujuan sebagai berikut:
membantu eksekutif untuk lebih efektif melaksanakan beberapa transisi, seperti integrasi
merger atau perampingan; mengatasi masalah kinerja; atau mengembangkan
keterampilan perilaku baru sebagai bagian dari program pengembangan kepemimpinan.
Dalam proses coaching di SWFC tujuan dari coaching adalah membantu eksekutif dalam
proses perubahan organisasi, mengatasi permasalahan turnover yang tinggi antara 35-
50% setiap tahunnya dan memperbaiki pola perilaku leadership dari eksekutif. Proses
penelitian yang diadakan oleh manajemen yang bekerja sama dengan konsultan berfungsi
untuk memahami lebih detail apa yang menjadi dasar permasalahan dalam SWFC.
Prosesnya pun sudah sangat baik yaitu dengan melibatkan langsung karyawan dalam
proses pengambilan data. Baik itu melalui interview, fokus grup (FGD) dan survei hingga
pada akhirnya menghasilkan feedback.
Coaching sering disalah artikan sebagai terapi. Kebanyakan pendekatan pelatihan
mengakui bahwa pelatihan bukanlah terapi. Coaching terutama berorientasi pada masa
depan dan tindakan daripada berfokus pada masa lalu. Coaching membantu klien
memahami bagaimana perilaku mereka berkontribusi terhadap situasi yang ada di dalam
organisasi. Pemahaman seperti itu seringkali sulit untuk dicapai dan seringkali sangat
pribadi. Sama seperti dalam kasus SWFC, Leeza Smithton dianggap memiliki perilaku
leadership yang buruk yang berdampak pada kinerja dan ketidakpuasan bawahannya.
Namun, Smithton pada awalnya kurang menerima adanya proses coaching karena
sikapnya yang arogan dan defensif ketika bertemu dengan konsultan.
Kesulitan yang dihadapi oleh konsultan dalam proses coaching dan proses
perubahan pada awalnya,selain sikap dari Smithton adalah konsultan menemukan fakta
bahwa staff perawat memiliki banyak opsi untuk alternative tempat kerja yang lebih baik,
jadi pada poin ini konsultan sulit memahami apakah turnover termasuk dalam kategori
tinggi atau rendah, apakah hal itu berkaitan dengan gaya kepemimpinan Smithton
ataukah ada faktor-faktor yang lain.
Dalam tahapan proses coaching, salah satunya adalah melakukan penilaian.
Proses ini bisa bersifat pribadi atau sistemik. Dalam penilaian pribadi, klien dipandu
melalui kerangka penilaian. Ini dapat melibatkan serangkaian pertanyaan wawancara
yang bisa memperoleh peluang pengembangan atau instrumen gaya pribadi yang lebih
formal, seperti Indikator Tipe Myers-Briggs (MBTI), FIRO-B, atau Profil DISC.
Instrumen lain, termasuk baterai tes Hogan, Minnesota Multiphasic Personality Inventory
(MMPI), atau instrumen "Big 5", juga dapat digunakan, tetapi mereka membutuhkan
pelatihan dan sertifikasi yang luas. Praktisi OD harus hati-hati mempertimbangkan etika
menggunakan instrumen yang berbeda dan kualifikasi mereka untuk mengelola dan
menafsirkan hasil. Dalam proses penilaian yang dilakukan oleh konsultan di SWFC
5
Mengembangkan rencana aksi. Kegiatan spesifik yang akan dilakukan klien dan
pelatih diuraikan. Ini dapat mencakup tindakan baru yang akan mengarah pada
pencapaian tujuan, peluang belajar yang membangun pengetahuan dan keterampilan,
atau proyek untuk menunjukkan kompetensi. Mengembangkan rencaa tindakan dapat
menjadi bagian paling sulit dari proses karena klien harus memiliki hasil penilaian
dan mulai melihat kemungkinan tindakan baru. Rencana tindakan juga harus
mencakup metode dan tonggak untuk memantau kemajuan dan untuk mengevaluasi
efektivitas proses pembinaan.
Laksanakan rencana aksi. Selain unsur-unsur rencana tindakan yang tercantum di
atas, banyak dari proses pelatihan melibatkan pertemuan satu-satu antara pelatih dan
klien. Dalam sesi ini, pelatih mendukung dan mendorong klien untuk bertindak atas
niatnya. Sejumlah besar keterampilan diperlukan untuk menghadapi, menantang, dan
memfasilitasi pembelajaran.
Nilai hasilnya. Pada interval yang sesuai, pelatih dan klien meninjau dan
mengevaluasi hasil implementasi. Berdasarkan informasi ini, tujuan atau rencana
tindakan dapat direvisi, atau proses dapat dihentikan. Menilai hasil dari TFC mungkin
bisa menggunakan 360o feedback tool yaitu adalah alat yang digunakan untuk
mengevaluasi kompetensi setiap anggota tim secara holistik. Metode yang digunakan
adalah dengan menggunakan penilaian dari atasan, rekan kerja, bawahan, maupun diri
sendiri, sehingga hasil penelitian dapat lebih objektif dan dapat digunakan untuk
kepentingan pengembangan diri dan kinerja seseorang ke depannya. Berikut adalah
bagaimana 360o feedback tool dapat membantu seorang pemimpin mengembangkan
kinerja dan kepribadian tim perusahaannya:
a. Mengidentifikasi kekuatan dan area peningkatan karyawan
b. Meningkatkan transparansi, kepercayaan dan kerja sama antar anggota tim
c. Meningkatkan kesadaran diri dan kepekaan terhadap dampak perilaku sendiri
pada orang lain.
d. Membantu pemimpin mengidentifikasi kandidat yang berpotensi untuk promosi
e. Membantu memahami persepsi dan harapan tim
f. Meningkatkan hubungan dan kinerja antar tim.
g. Meningkatkan akuntabilitas terhadap pengembangan diri
h. Membantu menciptakan tim senior berkinerja tinggi
360o feedback tool digunakan untuk menilai kinerja dan kompetensi secara lebih
obyektif. Hasil evaluasi tersebut digunakan sebagai dasar untuk memberikan
feedback yang membangun, sehingga setiap anggota dapat saling mempertajam
keahlian atau kompetensi mereka, serta membentuk ikatan yang solid, produktif, dan
kohesif. Dengan adanya metode 360o feedback tool, maka manajemen akan terbantu
untuk membangun kinerja tim yang efektif.