Anda di halaman 1dari 82

PROFITABILITY,

SOLIDARITY,
Profitability
SUSTAINABILITY
Solidarity
Kajian Teologi Publik tentang Kewirausahaan Lestari

Sustainability
Tinjauan Teologi Publik tentang
Kewirausahaan Lestari

Yahya Wijaya
YAHYA WIJAYA

YAYASAN FAKULTAS TEOLOGI


TAMAN PUSTAKA KRISTEN UNIVERSITAS KRISTEN
INDONESIA DUTA WACANA
YAYASAN FAKULTAS TEOLOGI
TAMAN PUSTAKA KRISTEN UNIVERSITAS KRISTEN
INDONESIA DUTA WACANA
PROFITABILITY, SOLIDARITY, SUSTAINABILITY
Kajian Teologi Publik tentang Kewirausahaan Lestari

Hak Cipta © 2021, Yahya Wijaya

Diterbitkan oleh:

YAYASAN TAMAN PUSTAKA KRISTEN INDONESIA


(Anggota IKAPI)
Jl. dr. Wahidin Sudirohusodo No. 38A Yogyakarta 55222
Telp./Fax.: (0274) 512449; CDMA: (0274) 9223243
E-mail: penerbit@tamanpustakakristen.com
Website: www.tamanpustakakristen.com

bekerja sama dengan

Fakultas Teologi
UNIVERSITAS KRISTEN DUTA WACANA
Jl. dr. Wahidin Sudirohusodo No. 5-25 Yogyakarta 55224
Telp. (0274) 563929; Faks. (0274) 513235

Penulis : Yahya Wijaya


Layout isi dan sampul : Aris Wijayanto
Cetakan Pertama : 2021

ISBN 978-602-6414-55-7
Pidato Ilmiah

Dies Natalis Ke-59 Duta Wacana


dan
Pengukuhan Profesor dalam Bidang Teologi Publik

atas diri

Yahya Wijaya

Yogyakarta, 1 November 2021


PROFITABILITY, SOLIDARITY, SUSTAINABILITY: KAJIAN TEOLOGI PUBLIK TENTANG KEWIRAUSAHAAN LESTARI

Kata Pengantar

Sebagai pengantar buku ini, saya ingin menyampaikan beberapa hal


sebagai berikut,

1. Kata profitability, di samping sulit diucapkan, juga sulit


untuk diterima. Kata ini sulit diterima karena sudah terlanjur
mendapatkan stigma negatif. Di dunia teologi, profit sering
digambarkan sebagai ekspresi sikap mementingkan diri sendiri.
Atau, sebagai pencarian kenikmatan dunia yang diperlawankan
dengan kenikmatan surgawi. Tetapi tidak hanya di teologi saja
profit dipandang jelek, di dunia pendidikan juga. Alasannya
mirip, yaitu bahwa pendidikan harus didorong oleh motivasi
berkorban demi kemajuan anak didik. Seperti yang dilukiskan
oleh lagu Umar Bakri itu. Buku ini membantah anggapan
tersebut. Anggapan bahwa profit itu semata-mata negatif.
Sebagaimana judulnya, profitability dapat berjalan beriringan
dengan solidarity dan sustainability. Kedua kata terakhir ini, sih,
baik-baik saja. Maka, tantangannya adalah membuktikan bahwa
solidarity dan sustainability yang baik itu bisa hidup bersama
dengan profitability. Tentu itu bisa terjadi jika profitability adalah
hal yang baik. Buku ini ingin berbicara soal itu.
2. Potret yang disodorkan oleh buku ini dalam rangka mem­
berikan kesan yang baik tentang profitability adalah pengalaman
berbagai wirausaha. Wirausaha-wirausaha tersebut dijalankan
dengan kerja keras, kreatif dan juga etis. Jadi tidak asal cari
untung saja. Kepedulian kepada sesama juga ada. Maka perlu
perubahan cara pandang terhadap dunia bisnis. Perubahan

v
PROFITABILITY, SOLIDARITY, SUSTAINABILITY: KAJIAN TEOLOGI PUBLIK TENTANG KEWIRAUSAHAAN LESTARI

tersebut dimungkinkan jika orang tidak membuat dirinya


terhalang untuk melihat apa yang sesungguhnya terjadi dalam
dunia bisnis. Tidak semua yang ada di sana etis, namun bukan
berarti semuanya tidak etis juga.
3. Pengamatan yang lebih dekat kepada dunia wirausaha juga
akan memperlihatkan watak kegigihan. Lagi-lagi kegigihan
itu tidak hanya ditujukan untuk mencari keuntungan materi
semata. Kegigihan itu juga bisa merambah kepada hal-hal
yang bermanfaat bagi hidup bersama. Tanggung jawab sosial
juga dimiliki oleh pelaku-pelaku bisnis. Pendek kata, mereka
bukanlah orang yang mengisolasi diri dari masyarakat
sebagaimana citra yang sering dikenakan kepada mereka.
4. Kepedulian wirausaha itu juga tertuju kepada lingkungan.
Dalam buku ini diberikan contoh-contoh perusahaan dan
pebisnis yang peduli pada pelestarian lingkungan. Dan itu
sudah cukup lama terjadi. Bahkan ada di antaranya yang
menjadi isu lingkungan sebagai dasar ketentuan etis. Dari sudut
pandang tertentu sikap peduli lingkungan tersebut dianggap
merusak bisnis. Tetapi tetap saja mereka yang memasukkan isu
lingkungan sebagai pertimbangan untuk menjalankan bisnis
menganggap hal tersebut tidak merusak bisnis mereka.
5. Selain memberikan alasan-alasan bahwa profitability tidak
semata-mata negatif, buku ini juga melontarkan kritik terhadap
pandangan yang sulit untuk dipratikkan secara konsisten.
Pandangan tersebut terutama datang dari para teolog yang
hanya memikirkan idealisme namun kurang memikirkan
implikasi praktisnya. Misalnya dalam soal isu lingkungan. Bisa
jadi idealisme untuk membela lingkungan membuat sebuah

vi
PROFITABILITY, SOLIDARITY, SUSTAINABILITY: KAJIAN TEOLOGI PUBLIK TENTANG KEWIRAUSAHAAN LESTARI

gagasan sulit untuk dipraktikkan atau dipratikkan dengan


konsisten.
6. Pada akhirnya, buku ini memberikan contoh bagaimana
teologi publik dijalankan. Ciri lintas bidang sudah jelas di sana.
Lalu bagaimana reflektis etis-teologis selalu terlihat. Dan yang
tidak kalah pentingnya adalah keinginannya untuk keluar dari
dikotomi-dikotomi pemikiran yang sekalipun dapat memberikan
kepastian namun jatuh pada sikap ahistoris. Dikotomi tersebut
antara lain adalah antroposentrisme vs kosmosentrisme. Tetapi
sikap kritis juga ditujukan kepada usaha untuk merangkul segala
sesuatu jika akhirnya usaha tersebut sulit untuk dipraktikkan. Di
sini teologi publik digambarkan sebagai teologi yang tidak boleh
kehilangan sifat praktisnya.

Buku ini memang merupakan sebuah naskah pidato ilmiah


pengukuhan gelar profesor bagi penulisnya, Yahya Wijaya, Ph.D.,
namun juga dapat dipandang sebagai pembuka jalan bagi diskusi
tentang teologi publik di UKDW maupun pendidikan teologi di
Indonesia pada umumnya. Wacana ini penting bagi UKDW karena
program studi magister Fakultas Teologi UKDW baru saja mengubah
kurikulumnya dengan membuat sistem pembidangan dan salah
satu dari lima bidang yang ditetapkan adalah teologi publik. Bagi
dunia pendidikan teologi di Indonesia, teologi publik juga sedang
dipromosikan oleh teolog-teolog dari berbagai lembaga pendidikan
teologi dan denominasi. Keprihatinan yang mendasari usaha ini adalah
kurang berperannya teologi di ranah masyarakat luas. Peran teologi
selama ini lebih besar di gereja ketimbang masyarakat. Kalaupun
masyarakat dibicarakan, sifatnya hanya sebagai sasaran teologi, bukan
sebagai subjek yang diberi kesempatan untuk ikut mengolah teologi.

vii
PROFITABILITY, SOLIDARITY, SUSTAINABILITY: KAJIAN TEOLOGI PUBLIK TENTANG KEWIRAUSAHAAN LESTARI

Maka melalui teologi publik, wajah teologi akan berubah, baik dari sisi
agen-agennya di mana mereka yang bukan teolog dilibatkan, isunya di
mana isu-isu yang biasanya dianggap bukan isu teologi dibicarakan,
dan akhirnya warisan dari masa lalu seperti dogma dan penafsiran
teks-teks suci juga akan mengalami transformasi.
Posisi Fakultas Teologi sebagai salah satu dari sekian
banyak fakultas di lingkungan UKDW menjadi peluang yang perlu
dimanfaatkan dalam rangka menjalankan niat di atas. Sudah cukup
lama, ilmu teologi hidup bersama dengan ilmu-ilmu lainnya, namun
masih sangat terbatas interaksinya. Program MBKM dari pemerintah
yang baru-baru saja digalakkan bisa menjadi pemicu untuk interaksi
yang lebih intensif. Tetapi yang lebih penting adalah kemauan dari
dalam diri sendiri. Dalam hal ini, wacana teologi publik dapat menjadi
faktor pemerkuat dorongan dari dalam itu.

Yogyakarta, 22 Oktober 2021

Pdt. Robert Setio, Ph.D.


Dekan Fakultas Teologi UKDW

viii
PROFITABILITY, SOLIDARITY, SUSTAINABILITY: KAJIAN TEOLOGI PUBLIK TENTANG KEWIRAUSAHAAN LESTARI

Abstrak

Setidaknya sejak abad ke-19, kesadaran ekologis telah menggerakkan


beberapa pengusaha kecil untuk mengembangkan kewirausahaan
lestari (sustainable entrepreneurship). Kelestarian atau keberlanjutan
adalah konsep etis yang mengacu pada teori ekonomi dan gaya hidup
yang berorientasi ke depan dengan kepedulian pada nasib bumi dan
kehidupan generasi mendatang. Sepanjang sejarah, kewirausahaan
lestari mengalami pasang surut, namun tidak pernah sama sekali
padam. Sekarang ini, dengan semakin luasnya dampak kerusakan
lingkungan, gagasan kewirausahaan lestari menarik perhatian banyak
pihak di dunia bisnis. Bentuk-bentuk usaha lestari (sustainable
enterprise) atau bisnis hijau (green business) tumbuh di mana-mana dan
mulai diperhitungkan dalam percaturan pasar. Fenomena ini belum
banyak dipikirkan oleh kalangan teologi. Diskursus teologis tentang
kewirausahaan masih sangat terbatas, sedangkan diskursus teologis
tentang ekologi cenderung terfokus pada aras filosofis. Dalam hal ini
bisnis dianggap lebih sebagai penyebab ketimbang solusi. Memakai
pendekatan teologi publik, studi ini menemukan bahwa sementara
agama-agama mengandung sumber-sumber teologis yang dapat diolah
menjadi “solusi filosofis” bagi krisis lingkungan. Kewirausahaan lestari
adalah bagian dari dunia bisnis yang selama ini mengupayakan “solusi
praktis.”

ix
PROFITABILITY, SOLIDARITY, SUSTAINABILITY: KAJIAN TEOLOGI PUBLIK TENTANG KEWIRAUSAHAAN LESTARI

DAFTAR ISI

Kata Pengantar................................................................................ v
Abstrak........................................................................................... ix
Daftar Isi.......................................................................................... x

1. Pendahuluan.............................................................................. 1
2. Teologi Publik........................................................................... 6
3. Kewirausahaan Sosial (Social Entrepreneurship).................. 10
4. Kewirausahaan Lestari (Sustainable Entrepreneurship)....... 12
• Para Perintis.................................................................................. 12
• Gelombang Kedua Gerakan Lingkungan................................. 20
• Bagaimana dengan Konteks Asia?............................................. 21
• Kewirausahaan Lestari pada Masa Kini.................................... 23
5. Diskursus Teologis tentang Kewirausahaan........................... 32
6. Diskursus Teologis tentang Lingkungan Hidup..................... 43
7. Penutup.................................................................................... 57
• Kesimpulan................................................................................... 57
• Saran untuk Duta Wacana: Dari ERU ke SERU....................... 59

Bibliografi...................................................................................... 60
Ucapan Terima Kasih.................................................................... 67
Profil Yahya Wijaya....................................................................... 68

x
PROFITABILITY, SOLIDARITY, SUSTAINABILITY: KAJIAN TEOLOGI PUBLIK TENTANG KEWIRAUSAHAAN LESTARI

1
Pendahuluan

Upaya-upaya meningkatkan taraf ekonomi dan menanggulangi


kemiskinan dapat dibagi menjadi dua pendekatan besar. Yang pertama
adalah pendekatan struktural dan sistemik yang bergerak di ranah
makro ekonomi dan ekonomi politik. Yang kedua adalah pendekatan
kultural yang berfokus pada perilaku ekonomik kolektif dan individual.
Dalam perwacanaan (discourse) teologi dan filsafat keilahian,
pendekatan pertama banyak dipakai di kalangan gerakan ekumenis
termasuk lembaga-lembaga antardenominasi, seperti: World Council of
Churches (WCC), World Communion of Reformed Churches (WCRC),
dan Christian Conference of Asia (CCA). Teologi pembebasan, yang
secara khusus menjadikan kaum miskin sebagai subjek, juga termasuk
yang menggunakan pendekatan struktural dan sistemik, utamanya
dengan visi perubahan radikal. Pendekatan kultural kalah gaungnya
dalam perwacanaan teologis dibandingkan dengan pendekatan
pertama, namun penelitian sosiologis Weberian, yang melihat kaitan
antara keyakinan keagamaan dengan perilaku ekonomik, menunjukkan
pentingnya kajian teologis yang menggunakan pendekatan ini. Kajian
teologis tentang perilaku ekonomik dapat menjadi sebuah partisipasi
teologi dalam perwacanaan tentang kewirausahaan (entrepreneurship)
yang merupakan tema yang menarik perhatian berbagai kalangan,
bukan hanya dunia bisnis tetapi juga teknologi, pendidikan, dan seni,
seperti tampak dalam terciptanya istilah-istilah, seperti: technopreneur,
edupreneur, dan artpreneur.

1
PROFITABILITY, SOLIDARITY, SUSTAINABILITY: KAJIAN TEOLOGI PUBLIK TENTANG KEWIRAUSAHAAN LESTARI

Entrepreneurship sendiri sebenarnya merupakan topik yang


kontroversial. Di satu pihak, diskursus etika sosial Kristen nyaris absen
dalam pembahasan tentang topik itu. Jika wirausahawan dianggap
sebagai pihak yang paling diuntungkan dalam ekonomi pasar, kalangan
Kristen mainstream akan cenderung bersifat antipati, khususnya ketika
mekanisme pasar diterapkan di segala segi kehidupan ekonomik
menurut konsep neoliberalisme atau “fundamentalisme pasar” (market
fundamentalism). Dalam bahasa Alkitab, ideologi semacam itu dikenal
sebagai “Mammonisme” yang tidak dapat didamaikan dengan iman
kepada Allah.1 Sehubungan dengan ekologi, kegairahan entrepreneurial,
yang secara praktis lebih banyak terwadahi dalam kegiatan-kegiatan
industrial, dianggap telah menyebabkan krisis lingkungan karena
eksploitasi sumber-sumber alam secara tak terkendali dan pengelolaan
limbah yang buruk.2
Di pihak lain, kewirausahaan dipahami secara hakiki
sebagai karakter yang menyukai perubahan melalui kreativitas dan
produktivitas. Sarah D. Dodd dan George Gotsis menguraikan
semangat kewirausahaan sebagai imajinasi, kreativitas, kebaruan, dan
kepekaan yang mendalam terhadap situasi-situasi konkret.3 Michael
Schaper menggambarkan para entrepreneur sebagai orang-orang yang
menciptakan perubahan dan kesempatan baru demi kepentingan diri

1
Eugene McCarraher, The Enchantments of Mammon: How Capitalism Became
the Religion of Modernity, The Enchantments of Mammon (Harvard University Press,
2019), loc. 10717 of 17890, https://www.degruyter.com/hup/view/title/568670.
2
Misalnya: Asnath Niwa Natar, “Penciptaan dalam Perspektif Sumba: Suatu
Upaya Berteologi Ekologi Kontekstual,” GEMA TEOLOGIKA: Jurnal Teologi
Kontekstual dan Filsafat Keilahian 4, no. 1 (April 24, 2019): 102, https://doi.
org/10.21460/gema.2019.41.428.
3
Sarah Drakopoulou Dodd and George Gotsis, “The Interrelationships between
Entrepreneurship and Religion,” The International Journal of Entrepreneurship and
Innovation 8, no. 2 (May 1, 2007): 93, https://doi.org/10.5367/000000007780808066.

2
PROFITABILITY, SOLIDARITY, SUSTAINABILITY: KAJIAN TEOLOGI PUBLIK TENTANG KEWIRAUSAHAAN LESTARI

mereka sendiri maupun komunitas mereka.4 Dalam kajian-kajian itu,


kewirausahaan bukan sekadar fenomena ekonomik tetapi menyangkut
segala aspek kehidupan masyarakat termasuk keagamaan.5 Pemahaman
yang inklusif terhadap kewirausahaan telah melahirkan konsep-konsep
seperti kewirausahaan sosial (social entrepreneurship) dan bahkan
kewirausahaan religius (religious entrepreneurship) seperti yang dikaji
oleh Suwarto Adi.6 Dalam konsep-konsep itu kewirausahaan dipandang
sebagai semangat atau prinsip yang relevan untuk diterapkan dalam
kegiatan-kegiatan not-for-profit, termasuk program-program sosial
yang melibatkan komunitas keagamaan. Lebih lanjut, beberapa
kajian telah mengemukakan peran penting spiritualitas dalam
pembentukan karakter para wirausahawan seperti yang dilakukan oleh
Summaya Rashid dan Vanessa Ratten7, serta Jozef R. Raco et al.8 Maka
kewirausahaan tidak perlu dianggap berbenturan dengan komitmen
etika sosial keagamaan. Demikian pula dalam kaitan dengan ekologi
berkembang konsep kewirausahaan hijau (green entrepreneurship)9

Michael Schaper, ed., Making Ecopreneurs: Developing Sustainable Entrepre-


4

neurship, 2nd edition (Farnham, England; Burlington, VT: Routledge, 2010), 10.
Dodd and Gotsis, “The Interrelationships between Entrepreneurship and
5

Religion,” 93.
6
Suwarto Adi, “Religious Entrepreneurship: Christianity and Social
Transformation in Contemporary Indonesia,” Exchange 46 (October 26, 2017): 328–
49, https://doi.org/10.1163/1572543X-12341455.
7
Sumayya Rashid and Vanessa Ratten, “Spirituality and Entrepreneurship:
Integration of Spiritual Beliefs in an Entrepreneurial Journey,” Journal of Enterprising
Communities: People and Places in the Global Economy ahead-of-print, no. ahead-of-
print (January 1, 2021), https://doi.org/10.1108/JEC-12-2020-0199.
8
Jozef Richard Raco et al., “Spirituality as a Driving Force to Entrepreneurship,”
Jurnal Ledalero 18, no. 2 (December 17, 2019): 223–44, https://doi.org/10.31385/
jl.v18i2.167.223-244.
Lihat, misalnya Maryam Lotfi, Akram Yousefi, and Soheil Jafari, “The Effect of
9

Emerging Green Market on Green Entrepreneurship and Sustainable Development in


Knowledge-Based Companies,” Sustainability 10, no. 7 (July 2018): 2308, https://doi.

3
PROFITABILITY, SOLIDARITY, SUSTAINABILITY: KAJIAN TEOLOGI PUBLIK TENTANG KEWIRAUSAHAAN LESTARI

dan kewirausahaan lestari (sustainable entrepreneurship) 10 yang


mengasumsikan kompatibilitas antara kesadaran lingkungan dan
kewirausahaan.11
Berbeda dengan isu kewirausahaan, isu ekologi lebih banyak
mendapat simpati dalam kajian-kajian teologis. Pendapat Lynn White
yang dikemukakan pada tahun 1967 menganggap antroposentrisme
Kristen telah menjadi pendorong terbentuknya peradaban modern
yang merusak lingkungan. “Tesis White” telah memicu kontroversi di
kalangan teolog Kristen12 tetapi, di sisi lain, merangsang pengembangan
teologi lingkungan yang melibatkan para pakar dalam bidang kajian
kitab suci, etika sosial, dan studi agama-agama. Sehubungan dengan itu,
teolog Proses John B. Cobb Jr. telah menyediakan acuan dalam beberapa
karya seminalnya yang nyaris tidak pernah diabaikan dalam tulisan-
tulisan teologi lingkungan.13 Belakangan bahkan bidang kajian teologi
praktis pun tidak mau ketinggalan dalam menyoroti isu-isu ekologis
seperti dilakukan oleh Pamela R. McCarroll yang menyerukan agar

org/10.3390/su10072308.
10
Lihat: Christina Weidinger, Franz Fischler, and René Schmidpeter, eds.,
Sustainable Entrepreneurship: Business Success through Sustainability, CSR,
Sustainability, Ethics & Governance (Berlin Heidelberg: Springer-Verlag, 2014),
https://doi.org/10.1007/978-3-642-38753-1.
11
Dalam tulisan ini saya memakai istilah lestari sebagai padanan kata bahasa
Inggris sustainable mengikuti saran Marco Kusumawijaya dalam “Lestari dan
Berkelanjutan,” Majalah Tempo, edisi 14 Desember 2009, https://majalah.tempo.
co/read/bahasa/132233/lestari-dan-berkelanjutan, diakses 24 September 2021;
sedangkan kewirausahaan sebagai padanan kata bahasa Inggris “entrepreneurship”
telah lazim dipakai dalam literatur-literatur ilmiah di Indonesia.
12
Lihat: Emanuel Gerrit Singgih, “Agama dan Kerusakan Ekologi:
Mempertimbangkan ‘Tesis White’ dalam Konteks Indonesia,” Gema Teologika: Jurnal
Teologi Kontekstual dan Filsafat Keilahian 5, no. 2 (October 27, 2020): 113–36, https://
doi.org/10.21460/gema.2020.52.614.
Misalnya John B. Cobb Jr, Is It Too Late?: A Theology of Ecology (Fortress Press,
13

2021), edisi perdananya terbit pada tahun 1972.

4
PROFITABILITY, SOLIDARITY, SUSTAINABILITY: KAJIAN TEOLOGI PUBLIK TENTANG KEWIRAUSAHAAN LESTARI

teologi praktis meninggalkan metodologi yang antroposentris untuk


menjadi lebih berpusat pada ciptaan (creation-centred).14
Studi ini dimaksudkan untuk mencari titik-titik temu antara
teologi, kewirausahaan, dan ekologi. Pertanyaan utama studi ini adalah:
Bagaimana mendamaikan kepedulian-kepedulian teologis, ekologis,
dan kewirausahaan agar menjadi satu konsep integral demi kebaikan
bersama?

14
Pamela R. McCarroll, “Listening for the Cries of the Earth: Practical Theology
in the Anthropocene,” International Journal of Practical Theology 24, no. 1 (March 20,
2020): 29–46, https://doi.org/10.1515/ijpt-2019-0013.

5
PROFITABILITY, SOLIDARITY, SUSTAINABILITY: KAJIAN TEOLOGI PUBLIK TENTANG KEWIRAUSAHAAN LESTARI

2
Teologi Publik

Kajian ini menggunakan pendekatan teologi publik yang menjadikan


isu-isu publik sebagai titik tolak bagi suatu konstruksi teologis yang
relevan bagi pembentukan suatu kebijakan publik. Sesuai dengan
sifatnya, teologi publik bersifat lintas disiplin di mana perwacanaan
dalam suatu atau beberapa disiplin keilmuan dikaji dan ditanggapi
dengan memanfaatkan sumber-sumber teologis yang relevan. Teologi
publik berbeda dari teologi dogmatik yang bersifat menyemaikan
pokok-pokok ajaran atau akidah suatu tradisi agama, di mana
kehidupan publik cenderung dilihat sebagai sasaran yang diinterpretasi
menurut logika ajaran keagamaan terkait. Seperti dijelaskan oleh Elaine
Graham,
“[p]ublic theology is less concerned with defending the interests of
specific faith communities than generating informed understanding of
the theological and religious dimensions of public issues and developing
analysis and critique in language that is accessible across disciplines and
faith traditions”15

Dengan memasuki kancah perdebatan publik, teologi publik


cenderung mengambil sikap serealistik mungkin dan menghindari
posisi yang terlalu utopian, seperti dinyatakan Duncan Forrester
“[public theology] seeks to deploy theology in public debate, rather
than a vague and optimistic idealism which tends to disintegrate in the
15
Elaine Graham, Between a Rock and a Hard Place: Public Theology in a Post-
Secular Age (London: SCM Press, 2013), xx.2013.

6
PROFITABILITY, SOLIDARITY, SUSTAINABILITY: KAJIAN TEOLOGI PUBLIK TENTANG KEWIRAUSAHAAN LESTARI

face of radical evil.”16 Sehubungan dengan itu, teologi publik cenderung


bersifat negosiatif ketimbang konfrontatif.
Ada kekhawatiran bahwa pendekatan teologi publik akan
kehilangan marwah teologisnya dengan menjadi sekadar pemeran
pembantu dalam drama di panggung publik. Kekhawatiran semacam
itu diutarakan antara lain oleh Charles Mathewes yang mengusulkan
versinya sendiri yang ia lebih suka menyebutnya “teologi kehidupan
publik” (theology of public life), yang pada dasarnya memasukkan
pergumulan publik ke dalam narasi teologis ketimbang sebaliknya.17
Di samping itu ada yang menyayangkan pendekatan negosiatif
teologi publik yang dipandang bukan hanya tidak konsisten dengan
Alkitab tetapi juga kurang relevan bagi konteks masyarakat yang tidak
sepenuhnya demokratis, seperti dikemukakan oleh teolog injili Amerika
Latin, Pedro Arana.18 Di sisi lain, ada pandangan yang menganggap
bahwa teologi publik harus dilepaskan dari gereja dan para teolog
akademik. Teolog Afrika Selatan, Andries van Aarde, misalnya,
berpendapat bahwa teologi publik adalah ungkapan teologis implisit
yang berasal dari para seniman, filsuf, dan public figures lain.19 Itu
berarti teologi publik tidak selalu dan tidak harus konsisten dengan
keyakinan gereja atau komunitas agama apa pun. Versi teologi publik
yang digambarkan oleh Aarde ini sebenarnya lebih dikenal sebagai

16
Duncan B. Forrester, “The Scope of Public Theology,” Studies in Christian
Ethics 17, no. 2 (August 1, 2004): 6, https://doi.org/10.1177/095394680401700209.
Charles T. Mathewes, Theology of Public Life, 1st edition (Cambridge:
17

Cambridge University Press, 2008), 1–10.


18
Pedro Arana, “Towards a Biblical Public Theology,” Journal of Latin American
Theology 11, no. 2 (2016): 35–60.
19
Andries van Aarde, “What Is ‘Theology’ in ‘Public Theology’ and What Is
‘Public’ about ‘Public Theology’?,” HTS Theological Studies 64, no. 3 (September
2008): 1213–34.

7
PROFITABILITY, SOLIDARITY, SUSTAINABILITY: KAJIAN TEOLOGI PUBLIK TENTANG KEWIRAUSAHAAN LESTARI

teologi publik populer (popular public theology).20


Para pendukung teologi publik bukannya tidak sadar akan
kritik dan kekhawatiran seperti tersebut di atas. Teolog Katolik Selandia
Baru, Neil Darragh, misalnya, menegaskan bahwa teologi publik
memang perlu menghindari penggunaan bahasa eksklusif teologis
mengingat sifat ruang publik yang komprehensif dan majemuk.
Meskipun demikian, setiap kajian teologi publik mau tak mau
menggunakan sumber-sumber teologis. Dalam hal ini, metode teologi
publik mencakup proses “penerjemahan” bahasa publik ke dalam
bahasa teologis dan sebaliknya sehingga menghasilkan sumbangan
teologi yang benar-benar teologis sekaligus benar-benar komunikatif
di ruang publik.21 Dengan perkataan lain, dalam teologi publik, narasi
keagamaan dinegosiasikan dengan narasi publik masa kini sedemikian
rupa sehingga saling melengkapi sekaligus saling mengoreksi satu sama
lain. Elaine Graham bahkan tak ragu-ragu menyebut teologi publik
sebagai suatu bentuk apologetika, bukan dalam pengertian pembelaan
diri keyakinan Kristen melainkan sebuah penegasan solidaritas bahwa
sumber-sumber teologis mengusung nilai-nilai etis yang dibutuhkan
dalam pergumulan publik.22 Tentang kritik Arana, harus diakui bahwa
teologi publik, sama seperti semua bentuk teologi kontekstual, mau tak
mau terbatas relevansinya pada konteks tertentu. Dalam hal ini, platform
teologi publik adalah masyarakat demokratik di mana terdapat jaminan

20
Graeme Smith, “A Popular Public Theology,” Political Theology 16, no. 1
(January 1, 2015): 20–32, https://doi.org/10.1179/1462317X14Z.000000000127.
21
Neil Darragh, “Doing Theology in Public: An Engagement with Economic
Rationalism,” International Journal of Public Theology 4, no. 4 (2010): 400, https://doi.
org/10.1163/156973210X526373.
Elaine Graham, “Showing and Telling: The Practice of Public Theology Today,”
22

Practical Theology 9, no. 2 (April 2, 2016): 154, https://doi.org/10.1080/175607


3X.2016.1157663.

8
PROFITABILITY, SOLIDARITY, SUSTAINABILITY: KAJIAN TEOLOGI PUBLIK TENTANG KEWIRAUSAHAAN LESTARI

atas komunikasi antar penghuni ruang publik dan kebebasan berbeda


pendapat.23 Meskipun demikian, menyanggah Arana, mesti disadari
bahwa tidak ada praktik demokrasi yang benar-benar sempurna. Justru
ketidaksempurnaan demokrasi sendiri merupakan bagian dari isu
publik yang layak dipergumulkan. Maka tidak sempurnanya praktik
demokrasi dalam suatu masyarakat tidak perlu dianggap mengurangi
relevansi teologi publik di sana.
Dalam penelitian ini, isu publik yang disoroti adalah kaitan
antara kewirausahaan dan ekologi. Pertama-tama akan diuraikan
konsep dan sejarah singkat kewirausahaan lestari dan penelitian-
penelitian tentang bagaimana konsep tersebut telah dipraktikkan
selama ini. Selanjutnya akan dievaluasi sejauh mana pewacanaan
teologis tentang kewirausahaan memberi ruang bagi ekologi dan
sejauh mana pewacanaan teologis tentang lingkungan hidup memberi
ruang bagi aspek kewirausahaan. Hasilnya akan didapatkan gambaran
mengenai titik tolak bagi teologi publik untuk berpartisipasi dalam
diskursus ekonomi dan ekologi.

23
William Storrar, “The Naming of Parts: Doing Public Theology in a Global
Era,” International Journal of Public Theology 5, no. 1 (March 17, 2011): 28, https://doi.
org/10.1163/156973211X543724.

9
PROFITABILITY, SOLIDARITY, SUSTAINABILITY: KAJIAN TEOLOGI PUBLIK TENTANG KEWIRAUSAHAAN LESTARI

3
Kewirausahaan sosial
(Social Entrepreneurship)

Kegairahan untuk meneliti kewirausahaan secara akademik baru


muncul pada tahun 1970-an. Dalam waktu yang relatif singkat
kajian terhadap kewirausahaan telah menjadi multidisipliner dengan
keterlibatan para pakar dari berbagai disiplin ilmu.24 Pada awal abad ke-
21, kajian tentang kewirausahaan telah memicu sorotan dunia akademik
terhadap isu-isu etika bisnis seperti kewirausahaan sosial (social
entrepreneurship) dan tanggung jawab sosial perusahaan (corporate
social responsibility). 25 Menurut Santini, istilah “kewirausahaan
sosial” sebenarnya sudah digunakan sejak tahun 1974 oleh Joseph
Bank yang menyadari perlunya masyarakat menguasai keterampilan
manajerial untuk mengatasi masalah-masalah sosial. Sedangkan secara
praksis, gerakan kewirausahaan sosial dapat ditelusuri sampai tahun
1980-an ketika Bill Drayton mendirikan “Ashoka,” sebuah asosiasi
yang mempromosikan kewirausahaan sosial.26 Pada perkembangan
selanjutnya didirikan berbagai asosiasi dan lembaga, baik di ranah lokal
maupun global, yang menginisiasi atau mendukung program-program
kewirausahaan sosial. Beberapa lembaga itu telah memiliki pengaruh

Cristina Santini, The Good Entrepreneur: Mapping the Role of Entrepreneurship


24

in Society, 1st ed. 2021 edition (Palgrave Macmillan, 2020), 22, 28.
Santini, 41.
25

Santini, 140.
26

10
PROFITABILITY, SOLIDARITY, SUSTAINABILITY: KAJIAN TEOLOGI PUBLIK TENTANG KEWIRAUSAHAAN LESTARI

yang besar dan reputasi internasional, seperti: Skoll Foundation,


Schwab Foundation, UnLtd, dan Young Foundation.27 Di samping itu,
pemberian hadiah Nobel kepada Muhammad Yunus dari Bangladesh,
pendiri Grameen Bank dan profesor ilmu ekonomi Chittagong
University, meningkatkan popularitas kewirausahaan sosial.28 Pada
tahun 2011 Yunus, bersama beberapa tokoh lain, mendirikan Yunus
Social Business–Global Initiatives yang mengelola dana inkubator
bagi pengembangan “bisnis sosial” di pelbagai negara di dunia. Yang
dimaksud dengan “bisnis sosial” adalah usaha kecil atau menengah
yang mempunyai dampak sosial yang berarti. Bidang-bidang yang
digarap mencakup pertanian, energi dan lingkungan, pendidikan, serta
kesehatan dan sanitasi. 29
Mengacu pada Mair dan Marti, Schaper membagi literatur
tentang kewirausahaan sosial ke dalam tiga klaster. Yang pertama
adalah penerapan prinsip-prinsip bisnis pada organisasi non-profit.
Klaster ini adalah yang paling dominan. Yang kedua adalah kegiatan
bisnis komersial biasa yang bertanggung jawab secara sosial dengan
menjalin kemitraan lintas sektor. Yang ketiga adalah upaya-upaya
inovatif yang mewadahi transformasi sosial dan menyediakan solusi
terhadap masalah-masalah sosial termasuk lingkungan alam.30

Santini, 145–46.
27

Santini, 146.
28

www.yunussb.com/entrepreneurs, diakses 6 September 2021.


29

Schaper, Making Ecopreneurs, 25.


30

11
PROFITABILITY, SOLIDARITY, SUSTAINABILITY: KAJIAN TEOLOGI PUBLIK TENTANG KEWIRAUSAHAAN LESTARI

4
Kewirausahaan lestari
(sustainable entrepreneurship)

Para Perintis

Kewirausahaan lestari merupakan salah satu bentuk kewirausahaan


sosial sebagaimana dikaji dalam literatur-literatur klaster yang ketiga
dalam kategorisasi Mair dan Marti. “Kewirausahaan lestari” (sustainable
entrepreneurship) dapat didefinisikan sebagai “tindakan dan perilaku
para pelaku bisnis dan korporasi yang menghasilkan perbaikan
lingkungan melalui bisnis inti mereka.”31 Maka, dalam kaitan dengan
lingkungan alam, kelestarian atau keberlanjutan adalah konsep etis yang
mengacu pada teori ekonomi dan gaya hidup tertentu yang berorientasi
ke depan dengan kepedulian pada nasib bumi dan kehidupan generasi
mendatang.32 Kewirausahaan lestari mengusung sekaligus nilai-nilai
yang sering dipertentangkan dalam diskusi-diskusi etika sosial dan
teologi, yaitu kesehatan ekosistem, kebutuhan manusia, pembangunan
ekonomik, dan keadilan sosial.33
Sama seperti kewirausahaan sosial, praktik kewirausahaan
lestari jauh mendahului studi tentangnya. Dalam penelitian tentang
sejarah kewirausahaan lestari oleh Geoffrey Jones, para perintis
31
Aliza Racelis, “Sustainable Entrepreneurship in Asia,” Journal of Management
for Global Sustainability 2 (August 1, 2014): 2, https://doi.org/10.13185/JM2014.02102.
Racelis, 6.
32

Racelis, 12.
33

12
PROFITABILITY, SOLIDARITY, SUSTAINABILITY: KAJIAN TEOLOGI PUBLIK TENTANG KEWIRAUSAHAAN LESTARI

kewirausahaan lestari dapat ditemukan sejak abad ke-19 dan awal abad
ke-20, khususnya di bidang industri makanan, pengobatan, dan energi.
Menarik untuk dicermati bahwa semangat melestarikan lingkungan ini
justru muncul di kalangan usaha kecil yang tidak terlalu mapan serta
rentan menghadapi tantangan industri konvensional, dan karena itu
usaha mereka tidak selalu mampu bertahan.34
Kewirausahaan lestari pada abad ke-19 muncul sebagai reaksi
atas maraknya penggunaan bahan-bahan sintetis pada makanan dan
obat-obatan yang bukan hanya menurunkan kualitas produk-produk
terkait tetapi juga dapat menimbulkan efek samping yang berbahaya.
Pada waktu itu kewirausahaan lestari terutama berupa penciptaan
bisnis yang mengedukasi konsumen tentang bahaya bahan-bahan
sintetis, dan menyediakan alternatif berupa produk makanan yang
sehat. Salah satu dari para perintis itu adalah Sylvester Graham yang
membuat roti kering (cracker) yang dibuat dari tepung gandum
penuh berserat tinggi sebagai pengganti roti putih yang menggunakan
campuran bahan kimia. Penting untuk diperhatikan bahwa kebanyakan
perintis perdana kewirausahaan lestari berafiliasi dengan gerakan sosial
maupun komunitas keagamaan. Graham sendiri adalah pendeta Gereja
Presbyterian dan ia ikut mendirikan the American Vegetarian Society
pada tahun 1850. Perintis lainnya, James Caleb Jackson, pencipta sereal
untuk sarapan yang disebut Granula, bersama dengan Graham memberi
pengaruh yang besar kepada pendiri Gereja Adven Hari Ketujuh
dalam menjadikan makan makanan sehat sebagai norma spiritual.35
Salah satu warga Gereja Adven Hari Ketujuh di Inggris, John Henry
Cook, adalah perintis toko makanan sehat yang sukses, baik secara
34
Geoffrey Jones, Profits and Sustainability: A History of Green Entrepreneurship,
Illustrated edition (OUP Oxford, 2017), 24.
Jones, 26–27.
35

13
PROFITABILITY, SOLIDARITY, SUSTAINABILITY: KAJIAN TEOLOGI PUBLIK TENTANG KEWIRAUSAHAAN LESTARI

ideologis maupun ekonomik. Menyusul keberhasilan tokonya, Cook


mendirikan pabrik makanan sehat yang, sampai tahun 1925, sudah
memasok lebih dari 500 toko makanan dengan produk-produk ramah
lingkungan.36 Di Jerman, pada tahun 1887 Carl Braun mendirikan
toko yang menyediakan produk-produk makanan dan kesehatan yang
terbuat dari bahan-bahan alami. Braun adalah seorang naturopath dan
penganut tradisi Jerman yang mengeramatkan pohon-pohon tua dan
hutan, yang sejak awal mengawasi dampak industrialisasi terhadap
lingkungan alam. Kelompok yang mengusung tradisi itu menyebut diri
mereka Gerakan Pembaruan Kehidupan menjadi popular di kalangan
orang muda lajang Protestan.37
Tokoh yang memiliki pengaruh sangat besar dalam
pengembangan kewirausahaan dan bisnis lestari adalah Rudolf
Steiner yang berasal dari Kroasia. Pernah menganut aliran Teosofi yang
merupakan percampuran antara Hinduisme dan Buddhisme, Steiner
merasa sulit mengintegrasikan keyakinannya akan keunikan Kristus,
sehingga di kemudian hari ia mendirikan mazhab baru yang disebut
“antroposofi” yang dimaksudkan sebagai jembatan antara sains dan
agama. Steiner yakin bahwa kehidupan manusia memiliki dimensi
dunia material dan dunia spiritual. Pada kenyataannya telah tercipta
jurang yang memisahkan keduanya sehingga terjadi ketidakseimbangan
kehidupan. Teori itu merupakan titik tolak bagi pandangan holistik
Steiner bagi pemulihan dan pemeliharaan alam semesta. Secara praktis,
gagasan Steiner diwujudkan dalam pembaruan sistem pada ilmu
kedokteran, pertanian, pendidikan anak, arsitektur, dan bisnis. Dalam
bidang kedokteran, konsep antroposofi diterapkan dan menghasilkan
bentuk-bentuk pengobatan alami. Steiner memiliki perhatian khusus
Jones, 27.
36

Jones, 28.
37

14
PROFITABILITY, SOLIDARITY, SUSTAINABILITY: KAJIAN TEOLOGI PUBLIK TENTANG KEWIRAUSAHAAN LESTARI

pada bidang arsitektur. Ia menganggap arsitektur mempunyai peran


menentukan dalam memulihkan kesenjangan antara ranah material
dan ranah spiritual. Steiner merupakan pelopor desain bangunan yang
memperhitungkan ruang bagi sinar matahari, angin, hujan, tanaman,
dan kehidupan binatang, mirip dengan filosofi feng-shui dalam tradisi
Tionghoa. Dalam mengakomodasi konsep arsitektur yang seperti itu,
ia membangun sebuah gedung dengan desain yang unik di Dornach,
Swiss, yang dinamai Geotheanum, yang ia klaim memancarkan pesan
spiritual bagi para pengunjungnya.38 Bertempat di gedung itu, Steiner
mendirikan lembaga pendidikan yang mengembangkan produk-produk
pengobatan alami berdasarkan konsep antroposofi di mana obat dari
ekstrak tanaman dan mineral dipadukan dengan teknik pemijatan, olah
raga, dan konseling.39 Perjumpaan dengan pengusaha rokok, Emil Molt,
pada tahun 1919, membawa Steiner pada babak baru petualangannya.
Ia mendirikan lembaga keuangan yang menawarkan bantuan modal
bagi bisnis yang mengusung nilai-nilai antroposofis. Tujuan utamanya
adalah menciptakan budaya bisnis yang menguntungkan, baik secara
ekonomik maupun secara ekologis. Sayangnya, situasi politik dan
ekonomi pada waktu itu sedang kacau dan banyak orang menganggap
upaya Steiner menambah rumit keadaan. Kebencian terhadapnya
pun meningkat dan memuncak pada pembakaran Goetheanum pada
tahun 1923. Dua tahun kemudian Steiner meninggal dunia sebelum
selesainya pembangunan kembali gedung unik yang menjadi simbol
filosofinya itu.40
Meskipun bisnis Steiner sendiri tidak sempat berkembang ke
skala global, gagasan-gagasannya menginspirasi banyak wirausahawan
Jones, 34–35.
38

Jones, 34.
39

Jones, 34–35.
40

15
PROFITABILITY, SOLIDARITY, SUSTAINABILITY: KAJIAN TEOLOGI PUBLIK TENTANG KEWIRAUSAHAAN LESTARI

lain. Prinsip yang dicetuskannya, yang kemudian dikembangkan


menjadi “prinsip pertanian biodinamik,” dilanjutkan oleh beberapa
wirausahawan di Eropa dan Amerika, khususnya di bidang industri
kosmetik. Prinsip biodinamik dimaksudkan untuk menjaga kesehatan
tanah, merangsang pertumbuhan tanaman sejalan dengan jadwal
panen, menyuburkan tanah tanpa memakai bahan kimia, dan
mengintegrasikan panenan dengan ternak. Steiner percaya bahwa
kehidupan tanaman dipengaruhi oleh astrologi, maka menanam dan
memanen perlu diselaraskan dengan gerakan bulan dan planet-planet.
Prinsip pertanian biodinamik merupakan salah satu dasar utama
dari pengembangan pertanian organik modern. Steiner adalah tokoh
kontroversial pada zamannya tetapi sekarang diakui sebagai inspirator
bagi generasi baru para wirausaha lestari.41
Di bidang energi, pada abad ke-19 para wirausahawan lestari
di Amerika menawarkan kincir angin dan tenaga matahari sebagai
alternatif bagi batu bara dan minyak bumi yang sedang menjadi
primadona sumber energi. Pada tahun 1850-an sudah ada kincir angin
Halladay di dataran Great Plains yang dipakai untuk memompa air
bagi lokomotif uap kereta api transkontinental. Di wilayah-wilayah
tertentu di Amerika saat itu, kincir angin merupakan pilihan yang
ekonomis dibandingkan dengan batu bara yang membutuhkan
pengangkutan dari lokasi tambang yang jauh. Dalam waktu yang relatif
singkat pasar kincir angin pemompa air terbentuk di seluruh Amerika,
bahkan sampai ke luar negeri.42 Pada tahun 1888, Charles F. Brush
menciptakan sumber listrik bertenaga angin di halaman rumahnya
di Cleveland, Ohio. Meskipun produknya belum cukup efisien, ia
menginspirasi banyak orang untuk mengembangkan teknologi berbasis
Jones, 36, 38.
41

Jones, 41.
42

16
PROFITABILITY, SOLIDARITY, SUSTAINABILITY: KAJIAN TEOLOGI PUBLIK TENTANG KEWIRAUSAHAAN LESTARI

tenaga angin. Pada tahun 1920-an usaha di bidang energi berbasis


tenaga angin yang menonjol di Amerika adalah The Jacobs Wind
Energy Company milik kakak-beradik Marcellus dan Joe Jacobs yang
melakukan penelitian aplikatif tanpa bekal pendidikan formal. Awalnya
mereka memanfaatkan rongsokan bekas pesawat tempur Perang Dunia
I untuk membuat turbin udara sekadar untuk memenuhi kebutuhan
penerangan di lahan pertanian mereka. Keberhasilan percobaan
mereka menarik minat banyak orang dan mendorong mereka untuk
mengembangkan produk turbin yang laris khususnya di wilayah-
wilayah pedesaan yang belum terjangkau jaringan listrik.43
Di Eropa, keprihatinan atas langkanya sumber energi
di pedesaan ditambah dengan buruknya kondisi sosial akibat
industrialisasi telah mendorong Poul la Cour di Denmark pada 1891
merancang kincir angin modern berdasarkan teori aerodinamik yang
dipelajarinya dari para ilmuwan dan insinyur Denmark. Berbeda dari
Jacobs bersaudara di Amerika yang tidak mengenyam pendidikan
formal, La Cour adalah lulusan Universitas Copenhagen. Secara
filosofis ia juga berbeda dari para wirausahawan yang lebih bermotifkan
pertimbangan ekonomik. La Cour terinspirasi oleh filsuf dan pendeta
Lutheran, N.F.S. Grundtvig, yang menekankan kebajikan kebebasan
dan kreativitas. Untuk membagikan temuan-temuan teknologisnya La
Cour mendirikan lembaga non-profit, Society of Wind Electricians,
sedangkan bisnisnya diwadahi oleh perusahaan Lykkegaard yang ia
dirikan bersama seorang muridnya.44
Sebelum Perang Dunia I, di Mesir, wirausahawan Amerika,
Frank Shuman, merintis industri energi berbasis sinar matahari. Upaya
bisnis Shuman didorong oleh keprihatinannya akan terbatasnya bahan
Jones, 41–42.
43

Jones, 42–43.
44

17
PROFITABILITY, SOLIDARITY, SUSTAINABILITY: KAJIAN TEOLOGI PUBLIK TENTANG KEWIRAUSAHAAN LESTARI

bakar fosil. Ia melihat peluang besar bagi pengembangan teknologi


berbasis sinar matahari di negara tropis seperti Mesir yang berlimpah
sinar matahari namun tidak memiliki sumber batu bara, sehingga tidak
perlu menghadapi persaingan dengan industri energi berbasis batu bara
seperti yang terjadi di Amerika. Usaha Shuman, yang membangun pabrik
di Maadi, dekat Kairo, mendapat simpati pemerintah kolonial Inggris
maupun pemerintah daerah. Ia juga mendapat dukungan finansial dari
pemerintah Jerman untuk membangun sistem irigasi berbasis sinar
matahari yang berskala raksasa di Afrika Timur. Sayangnya Perang Dunia
I pecah dan usaha Shuman terkena dampak yang fatal. Pabrik miliknya
harus ditutup dan ia sendiri kembali ke Amerika di mana ia meninggal
dunia karena serangan jantung pada tahun 1918.45
Sejauh ini dapat dirangkumkan bahwa setidaknya sejak
abad ke-19 kesadaran akan perlunya menjaga kelestarian alam telah
menggerakkan banyak orang untuk menciptakan teknologi dan bisnis
yang ramah lingkungan. Kebanyakan dari mereka melihat ini bukan
hanya sebagai peluang mendapatkan keuntungan tetapi juga sebagai
perjuangan yang berdasarkan idealisme dan spiritualitas. Bisnis mereka
pada umumnya berada pada level usaha kecil dan menengah, kebanyakan
tidak cukup kokoh untuk menghadapi ketidakstabilan politik dan
persaingan dengan raksasa-raksasa bisnis yang sudah terlebih dulu
mendominasi pasar. Meskipun demikian ide-ide dan proyek-proyek
mereka telah menginspirasi dunia dan mendorong perkembangan
kewirausahaan lestari yang lebih luas dan lebih kokoh di era kemudian.
Jika latar belakang budaya diperhatikan, tampaknya tradisi keagamaan
dan spiritualitas memainkan peran dalam diri beberapa wirausahawan
lestari perdana. Bagaimana mereka menegosiasikan keyakinan religius
dan kesempatan ekonomik masih perlu diteliti lebih lanjut. Dapat
Jones, 46–47.
45

18
PROFITABILITY, SOLIDARITY, SUSTAINABILITY: KAJIAN TEOLOGI PUBLIK TENTANG KEWIRAUSAHAAN LESTARI

diduga bahwa Protestantisme memainkan peran dalam pembentukan


karakter beberapa wirausahawan lestari perdana. Graham adalah
pendeta Presbyterian dan La Cour berafiliasi dengan Gereja Lutheran,
sedangkan John Henry Cook adalah anggota Gereja Adven Hari
Ketujuh. 46 Maka jika Max Weber benar bahwa Protestantisme
mendorong munculnya kapitalisme melalui pembentukan karakter
wirausaha, perlu diperhitungkan bahwa kapitalisme hijau (green
capitalism) layak dimasukkan ke dalamnya. Menurut Michael
Northcott, Protestantisme memang memiliki “jurusan” (trajectory)
yang menanamkan rasa tanggung jawab untuk melestarikan alam, dan
ini adalah sisi Protestantisme yang tidak disadari oleh Lynn White.47
Dengan perkataan lain, dapat diasumsikan bahwa Protestantisme
berpengaruh baik pada terbentuknya peradaban yang merusak
lingkungan maupun peradaban yang menyelamatkan lingkungan.
Namun pengaruh serupa dapat saja diasumsikan sehubungan dengan
tradisi-tradisi keagamaan yang lain. Jadi sama seperti dalam hal
perdamaian, di mana sumber agama-agama dapat digali, baik untuk
sikap cinta damai maupun untuk mengobarkan perang.48 Demikian
pula dalam hal cinta lingkungan dan abai lingkungan.

46
Tentu dapat diperdebatkan apakah Gereja Advent dapat dianggap varian
dari Protestantisme, dan dapat ditambahkan di sini Komunitas Quakers yang juga
menjalani gaya hidup dan ekonomi yang ramah lingkungan. Apa yang tradisi-tradisi
kekristenan itu berbagi adalah peran sentral Alkitab dalam praktik kehidupan sehari-
hari.
47
Michael S. Northcott, “Lynn White Jr. Right and Wrong: The Anti-Ecological
Character of Latin Christianity and the Pro-Ecological Turn of Protestantism,” in
Religion and Ecological Crisis, ed. Todd LeVasseur and Anna Peterson (Routledge,
2017), 72–73.
48
R. Scott Appleby and Theodore M. Hesburgh, The Ambivalence of the Sacred:
Religion, Violence, and Reconciliation (Lanham, MD: Rowman & Littlefield Publishers,
1999).

19
PROFITABILITY, SOLIDARITY, SUSTAINABILITY: KAJIAN TEOLOGI PUBLIK TENTANG KEWIRAUSAHAAN LESTARI

Gelombang Kedua Gerakan Lingkungan

Selama paruh pertama abad ke-20, kewirausahaan lestari tampaknya


mengalami kemandekan. Penyebabnya adalah persaingan dengan
bisnis konvensional yang diuntungkan oleh turunnya harga sumber
energi fosil seperti batu bara dan minyak bumi. Juga karena meletusnya
Perang Dunia II dan, sesudahnya, upaya-upaya pembangunan kembali
yang semuanya membutuhkan ketersediaan sumber energi yang dapat
dimanfaatkan secara cepat. Selama masa itu, kesadaran konsumen akan
pentingnya memilih produk-produk ramah lingkungan juga belum
terbentuk.49
Baru pada tahun 1960-an kepedulian umum terhadap
lingkungan alam bangkit kembali, membentuk apa yang disebut
“gerakan lingkungan gelombang kedua” (second wave environmentalism).
Dalam konteks Amerika dan Eropa, faktor-faktor pemicunya, menurut
Jones, adalah: pertama, masyarakat menyaksikan sendiri dampak
nyata dari polusi air yang serius yang disebabkan oleh limbah industri
bahan kimia. Kedua, terbitnya buku-buku yang menyoroti dampak
pencemaran lingkungan yang kemudian menjadi best-seller. Dan ketiga,
maraknya gerakan-gerakan sosial yang mengusung isu-isu keadilan,
termasuk kesetaraan jender dan hak-hak sipil. Atmosfer seperti itu
sangat kondusif bagi para aktivis lingkungan untuk menyisipkan
agendanya dalam gerakan massa yang menggugat status quo sosial
dan politis.50 Gelombang kedua gerakan lingkungan ini mula-mula
lebih banyak melibatkan para penulis, pegiat sosial, elite organisasi
internasional termasuk Perserikatan Bangsa-bangsa, dan badan-
badan regulator negara. Bisnis dianggap sebagai penyebab kerusakan

Jones, Profits and Sustainability, 55–85.


49

Jones, 86–88.
50

20
PROFITABILITY, SOLIDARITY, SUSTAINABILITY: KAJIAN TEOLOGI PUBLIK TENTANG KEWIRAUSAHAAN LESTARI

dan tidak diperhitungkan potensinya untuk ikut memperbaiki


lingkungan. Meskipun demikian, beberapa wirausahawan berhasil
menumbuhkan bisnis lestari yang berpengaruh ke depan. Termasuk
di dalamnya adalah Tom Chappel yang pada tahun 1975 mendirikan
pabrik detergen yang bebas fosfat di Maine, USA, disusul dengan
produk-produk kebutuhan rumah tangga yang lain seperti pasta gigi
dan sampo yang hanya memakai bahan alami. Perlu dicatat bahwa
motivasi bisnis lestari Chappel banyak dibentuk oleh keyakinannya
sebagai seorang Kristen injili, dan perusahaannya mengusung nilai-
nilai injili yang diyakininya. Wirausahawan lain adalah Anita Roddick
yang mendirikan toko kosmetik “The Body Shop” di Brighton, Inggris,
yang menjual produk-produk yang dihasilkan berdasarkan prinsip
daur ulang, tidak memakai binatang percobaan, dan peduli pada isu-
isu sosial. Roddick adalah seorang pegiat hak-hak perempuan yang
telah berkelana ke banyak negara di belahan selatan bumi. Gagasannya
menciptakan produk kosmetik ramah lingkungan banyak terinspirasi
oleh kehidupan perempuan di Asia, Afrika, dan Amerika Latin yang
pernah dikunjunginya. Selain sukses dalam mengelola bisnis lestarinya
sendiri, Roddick juga berhasil menggerakkan kerja sama antara
Usaha Kecil dan Menengah (UKM) dan Lembaga-lembaga Swadaya
Masyarakat (LSM).51

Bagaimana dengan konteks Asia?

Penelitian Jones terarah kepada konteks Amerika dan Eropa


meskipun pengaruh kewirausahaan lestari mereka berangsur-angsur
mengglobal. Informasi yang spesifik tentang konteks Asia sedikit sekali.
Memang tidak mudah mendapatkan data historis tentang perintisan
Jones, 101–3.
51

21
PROFITABILITY, SOLIDARITY, SUSTAINABILITY: KAJIAN TEOLOGI PUBLIK TENTANG KEWIRAUSAHAAN LESTARI

kewirausahaan lestari di Asia. Kegiatan bisnis di Asia Tenggara di awal


masa modern didominasi oleh para penguasa lokal yang menerapkan
sistem monopoli atas komoditas alam yang dikumpulkan dari rakyat.
Para bangsawan lokal itu menjual hasil pertanian dan perkebunan
rakyat ke para pedagang perantara dan pedagang asing dari India,
Tiongkok, serta Eropa; dan membeli barang-barang industri mereka.
Meskipun demikian, para penguasa lokal itu tidak dapat disebut
sebagai wirausahawan, apalagi wirausahawan lestari. Menurut Peter
Boomgaard, mereka lebih berfungsi sebagai pencari rente (rent-seekers)
ketimbang wirausahawan yang berani mengambil risiko.52 Dalam
kaitan dengan lingkungan, para penguasa lokal memang melarang
pemanfaatan hutan-hutan kecil di lokasi-lokasi tertentu. Kebijakan ini
berdampak positif bagi lingkungan alam. Namun alasan sebenarnya
tidak berkaitan dengan kesadaran lingkungan, melainkan lebih untuk
kepentingan kenyamanan para elite sendiri dalam menikmati akitivitas-
aktivitas rehat yang eksklusif.53 Pada masa-masa selanjutnya, tidak ada
pengusaha lokal, pedagang perantara pendatang, maupun korporasi
global yang beroperasi di Asia Tenggara, seperti VOC, yang memiliki
reputasi sebagai pelopor kewirausahaan lestari. Singkatnya, kelestarian
lingkungan belum menjadi isu yang menarik perhatian di Asia Tenggara
sampai tahun 1970-an.54 Barangkali karena pada waktu itu kerusakan
lingkungan di Asia belum separah di negara-negara yang lebih
industrial, tetapi juga karena kebanyakan negara Asia Tenggara masih
disibukkan dengan konflik internal, perang demi kemerdekaan, atau,
kemudian, penataan negara pasca-kemerdekaan. Lagipula masalah

Peter Boomgaard, Southeast Asia: An Environmental History, ed. Mark R. Stoll,


52

1st edition (Santa Barbara, Calif: ABC-CLIO, 2006), 154–56.


Boomgaard, 195.
53

Boomgaard, 324.
54

22
PROFITABILITY, SOLIDARITY, SUSTAINABILITY: KAJIAN TEOLOGI PUBLIK TENTANG KEWIRAUSAHAAN LESTARI

kemiskinan dan kurangnya sumber daya manusia profesional masih


menjadi persoalan mendasar yang dihadapi masyarakat Asia Tenggara
bahkan sampai saat ini. Itulah sebabnya Perdana Menteri Malaysia,
Mahathir Muhammad, dalam pidatonya di “Earth Summit” Rio de
Janeiro pada tahun 1992 menilai tidak fair tuntutan agar “negara-
negara ketiga” mengorbankan pertumbuhan ekonomi demi pelestarian
lingkungan mengingat masalah lingkungan lebih merupakan dampak
dari praktik-praktik industri dan gaya hidup masyarakat di negara-
negara barat.55

Kewirausahaan lestari pada masa kini

Sejak paruh kedua abad ke-20, krisis lingkungan telah menjadi masalah
global seiring dengan semakin intensifnya interkoneksi global dalam
hal bisnis, teknologi, maupun budaya. Di Asia, pertumbuhan ekonomi
yang pesat, penggunaan bahan bakar fosil yang semakin masif, dan
pertambahan penduduk menyumbang bagi perburukan kondisi
lingkungan dan kenaikan emisi gas rumah kaca. Tanda-tanda krisis
lingkungan, seperti: perubahan cuaca, berkurangnya kesuburan tanah,
langkanya sumber-sumber air, dan lenyapnya spesies-spesies tertentu
merupakan pengalaman konkret bagi orang di semua belahan bumi,
tak terkecuali Asia.
Pada sisi lain, kita menyaksikan bangkitnya pasar berwawasan
lingkungan yang ditandai oleh beredarnya produk-produk konsumer
yang ramah lingkungan, seperti sayuran dan buah-buahan organik,
kemasan dari bahan daur ulang, dan kendaraan elektrik. Semakin
meratanya pemanfaatan teknologi komunikasi dan informasi telah

55
http://www.herinst.org/envcontext/sustain/summit/obstacles/news/news29.
html, diakses 13 September 2021.

23
PROFITABILITY, SOLIDARITY, SUSTAINABILITY: KAJIAN TEOLOGI PUBLIK TENTANG KEWIRAUSAHAAN LESTARI

memindahkan banyak kegiatan tulis-menulis dari media kertas ke


media digital, sehingga mengurangi secara signifikan konsumsi kertas
yang boros sumber daya hutan. Tentu ada masalah baru berupa limbah
elektronik karena masifnya penggunaan telepon seluler dan komputer,
tetapi juga ada upaya kewirausahaan baru berupa penciptaan produk-
produk dari bahan limbah elektronik seperti medali Olimpiade 2020
Tokyo yang lalu. Kesadaran lingkungan menjadi fenomena global yang
mendorong bukan hanya konsumen yang sadar lingkungan tetapi
juga produsen barang dan jasa yang berupaya memenuhi tuntutan
kelestarian alam dari pihak konsumen dan badan regulator. Jika pada
periode awal gerakan lingkungan, bisnis lestari lebih banyak dilakukan
oleh pengusaha kecil dan menengah di Eropa dan Amerika Serikat
yang kurang berhasil menjadi mainstream, sedangkan pada gelombang
kedua beberapa perusahaan lestari berhasil mengembangkan diri
menjadi berskala global, pada masa kini peluang bisnis lestari tidak
disia-siakan, baik oleh usaha-usaha rintisan (start-up businesses)
maupun korporasi-korporasi besar berbagai sektor bisnis yang sudah
mapan.
Korporasi multinasional, seperti: BMW, Dassault Systems,
Outotec, the Commonwealth Bank, Adidas, Unilever, dan Starbucks,
menyesuaikan produk-produk mereka dengan tuntutan-tuntutan
ekologis. Masuknya raksasa-raksasa bisnis yang dijuluki “Goliat
hijau” (green Goliath) itu ke dalam pasar lestari memberi dampak
yang efektif berkat kemampuan mereka melakukan inovasi teknologis
dan kekuatan permodalan mereka yang jauh lebih besar ketimbang
yang dipunyai usaha kecil dan menengah. Dampak itu termasuk
semakin mengglobalnya trend konsumen yang sadar lingkungan dan
model-model kerja sama antara korporasi dengan lembaga swadaya
masyarakat. Di sisi lain, korporasi-korporasi itu belum sepenuhnya

24
PROFITABILITY, SOLIDARITY, SUSTAINABILITY: KAJIAN TEOLOGI PUBLIK TENTANG KEWIRAUSAHAAN LESTARI

bebas dari produksi yang merusak lingkungan,56 itu sebabnya mereka


diberi julukan “Goliat hijau” yang menyiratkan sindiran tentang
ambivalensi perusahaan-perusahaan tersebut. Salah satu contoh konkret
ambivalensi “Goliat hijau” disajikan oleh Michael Lenox dan Aaron
Chatterji, menyangkut korporasi British Petroleum (BP). Salah satu
raksasa bisnis energi ini berhasil melaksanakan program pengurangan
emisi karbon sebesar 50% dalam kegiatan operasionalnya 3 tahun lebih
cepat dari yang direncanakan. Korporasi itu juga menjadi pelopor dalam
pengembangan teknologi bersih (clean technology) di dunia. Karena
keberhasilan dan kepeloporannya, BP berulang kali mendapatkan
penghargaan dan pengakuan dari berbagai pihak, dan CEO-nya, John
Browne, bahkan mendapatkan gelar kebangsawanan dari Ratu Elizabeth
II. Namun semua capaian yang terpuji itu tidak dapat mengimbangi
malapetaka lingkungan yang diakibatkan oleh kasus ledakan anjungan
lepas pantai “Deep Water Horizon” milik BP di Teluk Mexico pada
tahun 2010, yang menimbulkan pencemaran lingkungan yang dahsyat
karena tumpahan minyak yang begitu masif, di samping kematian
beberapa pekerja mereka.57 Jadi kewirausahaan lestari berskala besar
masih merupakan sesuatu yang harus diperjuangkan tetapi sama sekali
bukan kemustahilan.
Pada akhir abad ke-20 dan awal abad ke-21, kewirausahaan
lestari merambah ke sektor bisnis pembiayaan (investasi). “Protokol
Kyoto,” sebuah persetujuan internasional yang disponsori PBB untuk
mengurangi emisi gas rumah kaca, yang ditandatangani pada tahun
1997, telah mendorong investasi pada industri yang ramah lingkungan
di Asia. Pada tahun 2006, nilai investasi tersebut berjumlah USD 30
56
Jones, Profits and Sustainability, 356–63.
57
Michael Lenox and Aaron Chatterji, Can Business Save the Earth?: Innovating
Our Way to Sustainability, 1st edition (Stanford, California: Stanford Business Books,
2018), 4–5.

25
PROFITABILITY, SOLIDARITY, SUSTAINABILITY: KAJIAN TEOLOGI PUBLIK TENTANG KEWIRAUSAHAAN LESTARI

milyar yang ditanamkan 61% di perusahaan-perusahaan Tiongkok,


sedangkan India meraih 12%.58 Sebelumnya, karena pengaruh filosofi
antroposofi Steiner, di Eropa berdiri bank-bank yang secara khusus
mengelola pembiayaan bagi bisnis lestari, terutama pertanian organik
dan energi terbarukan. Di antara bank-bank itu adalah Alternative
Bank Schweiz di Swiss (1990), Ekobanken di Swedia (1996), Banca Etica
di Italia (1999), dan New Resource Bank di USA (2006). Pada tahun
1992 badan PBB, UNEP (United Nations Environment Programme)
menginisiasi konsep “perbankan lestari” (sustainable banking) dan
mensponsori persetujuan di antara 23 bank besar dunia untuk
mengelola investasi pada bisnis lestari. Namun berbeda dari bank-
bank khusus yang hanya melayani nasabah berwawasan lingkungan,
bank-bank besar itu mengambil posisi yang sama dengan para “Goliat
hijau.” Mereka juga terbukti membiayai proyek-proyek investasi yang
berdampak negatif bagi lingkungan seperti pertambangan mineral di
seputar kutub utara dan Kanada.59
Dalam bidang investasi perlu dicatat juga terbentuknya
lembaga pengindeks yang secara khusus membuat peringkat kelayakan
perusahaan-perusahaan dari segi tanggung jawab sosial dan ekologis.
Pada tahun 1980-an atas prakarsa beberapa perempuan wirausahawan
lestari di Eropa dan Amerika diluncurkanlah Socially-Responsible
Index (SRI) yang menjadi acuan bagi para investor dalam memilih
perusahaan yang memenuhi standar keadilan sosial dan lingkungan
untuk menanamkan investasi. Yang mendapat ranking rendah bukan
hanya perusahaan yang abai lingkungan tetapi juga yang terlibat secara
langsung maupun tidak langsung dalam kasus-kasus pelanggaran hak
asasi manusia seperti kebijakan apartheid di Afrika Selatan. Indeks
Astad Pastakia “Ecopreneurship in India...” Schaper, Making Ecopreneurs, 134.
58

Jones, Profits and Sustainability, 272–79.


59

26
PROFITABILITY, SOLIDARITY, SUSTAINABILITY: KAJIAN TEOLOGI PUBLIK TENTANG KEWIRAUSAHAAN LESTARI

SRI di Eropa dan USA sangat diperhatikan khususnya oleh investor


jangka panjang yang memegang prinsip-prinsip etis, seperti lembaga
dana pensiun, gereja, dan institusi pendidikan dalam mengelola dana
abadi mereka. Embrio dari konsep SRI adalah panduan investasi yang
dikeluarkan oleh kalangan Methodist dan Quaker di Inggris dan USA
pada abad ke-18 dan 19 yang melarang umat mereka berinvestasi di
perusahaan-perusahaan yang dianggap merusak moralitas, seperti:
perjudian, alkohol, dan rokok. Kebijakan semacam itu juga dijalankan
pada abad ke-20 oleh Gereja Anglikan Inggris (Church of England) dan
komunitas Christian Science. 60
Di Asia indeks SRI pertama kali diluncurkan di Jepang pada
tahun 1999 oleh Mizue Tsukushi, seorang peserta Earth Summit di Rio
de Janeiro. Tsukushi adalah seorang Katolik yang, dalam perjalanannya
menjelajah Asia dan Eropa, tersentuh oleh kondisi masyarakat miskin
yang ia saksikan di India. Tsukushi mengambil kesempatan bangkitnya
kesadaran lingkungan masyarakat Jepang berkat konferensi lingkungan
di Kyoto dan peluncuran mobil ramah lingkungan, yaitu Toyota Prius,
membuat proyeknya berhasil menggalang pendanaan dalam jumlah
cukup besar bagi bisnis ramah lingkungan.61 Di Bursa Efek Jakarta juga
tersedia indeks SRI, disebut Indeks SRI-KEHATI, yang memeringkat 25
perusahaan yang dinilai terbaik dalam kinerja sosial dan lingkungan.
Indeks SRI-KEHATI dikelola Bursa Efek Jakarta dalam kerja sama
dengan Yayasan KEHATI yang bergerak dalam bidang keragaman
hayati.62 Pemeringkatan lain yang mengandung unsur SRI adalah
indeks-indeks berbasis Syariah (Jakarta Islamic Index, Jakarta Islamic
Index 70, dan Indonesia Shariah Stock Index) yang memeringkat
Jones, 280.
60

Jones, 287–88.
61

https://www.idx.co.id/en-us/products/index/, diakses 16 September 2021.


62

27
PROFITABILITY, SOLIDARITY, SUSTAINABILITY: KAJIAN TEOLOGI PUBLIK TENTANG KEWIRAUSAHAAN LESTARI

perusahaan-perusahaan dari sudut kinerja mereka menurut hukum


Islam yang mencakup aspek-aspek tanggung jawab sosial. Namun
penelitian Rahma Frida Ratri dan Murdiyati Dewi menunjukkan
bahwa kinerja lingkungan tidak cukup berpengaruh pada nilai tambah
perusahaan yang diperingkat.63 Hal itu menandakan bahwa konsumen
dan investor lestari di Indonesia masih sangat lemah.
Meskipun para perintis kewirausahaan lestari, yang umumnya
adalah pengusaha kecil dan menengah, mengalami banyak tantangan
dan kebanyakan tidak berhasil menyaingi bisnis konvensional, pengaruh
mereka berlanjut hingga sekarang. Dari waktu ke waktu kewirausahaan
lestari terus berkembang, baik secara kuantitas, kualitas, maupun
geografis. Kiprah mereka tidak lagi terbatas di Eropa dan Amerika.
Di banyak negara Asia wirausahawan lestari pun bermunculan. Di
Jepang, pada tahun 2000 diluncurkan retailer online pertama, Oisix,
yang menjual makanan organik. Di Tiongkok, antara 2007–2015 pasar
makanan organik meningkat tiga kali lipat dipicu oleh kasus-kasus
keracunan makanan.64 Dalam bidang kosmetik ramah lingkungan,
perusahaan kecantikan Shanghai, Jahwa, sejak 2014 berhasil menempati
peringkat 10 besar di pasar dunia dengan produk kecantikan berbasis
herbal organik tradisional Tiongkok.65 Pada skala usaha kecil dan mikro,
di Indonesia juga banyak wirausahawan lestari menawarkan produk-
produk organik, baik secara online maupun melalui gelaran pasar
khusus, seperti “Pasar Kamisan” yang berlokasi di Rumah Animalika,
Jalan Kaliurang, Yogyakarta. Restoran organik juga mulai bermunculan,
63
Rahma Frida Ratri and Murdiyati Dewi, “The Effect of Financial Performance
and Environmental Performance on Firm Value with Islamic Social Reporting (ISR)
Disclosure as Intervening Variable in Companies Listed at Jakarta Islamic Index (JII),”
6, accessed September 15, 2021, https://cyberleninka.org/article/n/1487277/viewer.
Jones, Profits and Sustainability, 189–90.
64

Jones, 203.
65

28
PROFITABILITY, SOLIDARITY, SUSTAINABILITY: KAJIAN TEOLOGI PUBLIK TENTANG KEWIRAUSAHAAN LESTARI

seperti “Tanasurga” di Salatiga yang didirikan oleh Setyo Budi, mantan


wartawan perang PBB, seorang penyintas kanker;66 dan “Little Garden”
di Yogyakarta yang bahan-bahan mentahnya dipasok oleh Komunitas
Organik Indonesia.67
Dalam bidang arsitektur bangunan ekologis di Asia, tercatat
nama-nama seperti Geoffrey Bawa dari Sri Lanka yang memenangi
Aga Khan Award pada tahun 2001; Jimmy Lim di Malaysia yang
terkenal dengan konsep arsitektur tropis yang diwujudkan dalam
bentuk bangunan-bangunan antara lain “the Salinger House” yang
menggunakan metode tradisional dengan bahan lokal; dan Ken Yeang,
juga di Malaysia, yang menggagas gedung-gedung pencakar langit yang
berwawasan lingkungan.68 Di Indonesia, Y.B. Mangunwijaya (Romo
Mangun), juga pemenang Aga Khan Award, telah menginspirasi banyak
arsitek wirausahawan, termasuk Eko Prawoto di UKDW, dengan
desain-desain bangunan yang akrab lingkungan dan kontekstual
secara kultural.69 Salah satunya adalah Greenhost Boutique Hotel di
Jalan Prawirotaman Yogyakarta, milik arsitek Paulus Mintarga yang
menerapkan prinsip ramah lingkungan secara menyeluruh dalam
desainnya dan sering menjadi tempat acara-acara yang berkaitan
dengan ekologi. Romo Mangun adalah teolog publik par excellence,
mengingat kepiawaiannya memadukan secara apik antara spiritualitas,
arsitektur, dan sastra, serta keterlibatannya langsung bersama para
“korban pembangunan” di masa Orde Baru. Karya-karyanya, baik
66
https://www.facebook.com/pages/Tanasurga%20Organic/642067426173794/,
diakses 17 September 2021.
67
https://www.mymagz.net/little-garden-menikmati-kuliner-sehat-bebas-
kimia-ala-little-garden/, diakses 17 September 2021.
Jones, Profits and Sustainability, 211–12.
68

Andi Prasetiyo Wibowo, “Arsitektur, Material Bangunan, dan Keharmonisan


69

Kehidupan,” Koridor: Jurnal Arsitektur Dan Perkotaan 09, no. 1 (January 2018): 11.

29
PROFITABILITY, SOLIDARITY, SUSTAINABILITY: KAJIAN TEOLOGI PUBLIK TENTANG KEWIRAUSAHAAN LESTARI

berupa desain bangunan maupun karya sastra dan artikel di surat


kabar, mengandung makna spiritual yang dalam tetapi tanpa “bahasa”
dogmatis sama sekali, sehingga dapat dinikmati semua kalangan
sebagaimana seharusnya sebuah karya teologi publik.
Sektor lain yang terkena gereget kewirausahaan lestari adalah
pariwisata. Kritik yang banyak dilontarkan sehubungan dengan
kerusakan lingkungan akibat pembangunan tak terkendali resor-resor
dan infrastruktur pariwisata telah mendorong terciptanya konsep
“eco-tourism” yang melibatkan berbagai perusahaan di dunia termasuk
banyak usaha kecil dan menengah di Asia, Afrika, dan Amerika
Latin.70 Sama seperti pada sektor-sektor lain, pasar “eco-tourism”
masih relatif kecil dibandingkan dengan pariwisata konvensional,
namun kecenderungannya terus berkembang. Menteri Pariwisata dan
Ekonomi Kreatif, Sandiaga Uno, baru-baru ini menyatakan bahwa
prioritas pengembangan pariwisata Indonesia kini dialihkan dari
sekadar mengejar jumlah wisatawan menjadi pariwisata yang berbasis
kelestarian lingkungan.71 Dari sudut ekologis, tentu kebijakan ini sebuah
kemajuan yang patut diapresiasi.
Dalam hal penyadaran publik tentang isu-isu ekologis tidak
kalah pentingnya adalah kalangan bisnis hiburan yang menyajikan
produk-produk budaya populer. Bron Taylor, yang tanpa rencana
mengunjungi peringatan hari bumi di taman hiburan tematik (theme
park) “Animal Kingdom” milik Walt Disney, mengkaji produk-produk
hiburan Disney dan mengakui bahwa sebagian produk Disney
mencerminkan “pemberontakan” terhadap antroposen dan, dengan
demikian, mengedukasi konsumen tentang relasi yang seharusnya
antara manusia dengan selain-manusia. Taylor menyesalkan bahwa
Jones, Profits and Sustainability, 212–14.
70

https://www.republika.co.id/berita/qpozje349/sandi-ri-kini-pindah-dari-
71

pariwisata-massal-ke-ecotourism, diakses 11 Oktober 2021.

30
PROFITABILITY, SOLIDARITY, SUSTAINABILITY: KAJIAN TEOLOGI PUBLIK TENTANG KEWIRAUSAHAAN LESTARI

banyak rekannya, pakar kajian agama dan alam, melewatkan kenyataan


ini karena bersikap apriori terhadap dunia bisnis.72 Memang tidak
semua produk Disney menunjukkan komitmen etis yang kuat. Taylor
membeberkan banyak film produksi Disney yang menyiratkan
keberpihakan terhadap penaklukan benua Amerika oleh pendatang dari
Eropa. Meskipun demikian, menurut Taylor, dalam beberapa produk
kulturalnya, baik taman hiburan maupun film, Disney menanamkan
rasa kagum terhadap alam sedemikian rupa sehingga dapat disebut
sebagai “spiritualities of belonging and connection to nature.”73 Taylor
memperlihatkan beberapa contoh film Disney yang menyiratkan
spiritualitas seperti itu, bahkan sejak 1937, melalui Snow White and
the Seven Dwarf dan 1942 melalui film Bambi di mana makhluk-
makhluk hutan digambarkan bersahabat dan lucu. Dalam film-film
itu juga dilukiskan kebrutalan manusia yang membawa korban di
antara makhluk-makhluk itu dan membuat hidup mereka menderita.
Ibu Bambi mati ditembak oleh pemburu binatang, dan habitat mereka
terbakar karena ulah manusia.74 Masih banyak film Disney yang
menggugat pembatasan tegas antara manusia dan selain-manusia, di
antaranya The Jungle Book (1967), The Little Mermaid (1989), Tarzan
(1999), dan The Lion King (1994 diperbarui 2019). Keseriusan Disney
dalam hal komitmen ekologis ditunjukkan dengan merekrut Jackie
Odgen, doktor dalam bidang ekologi kehidupan liar (wildlife ecology)
sebagai direktur “animal program” taman hiburan tematik Animal
Kingdom.75
72
Bron Taylor, “Rebels against the Anthropocene? Ideology, Spirituality, Popular
Culture, and Human Domination of the World within the Disney Empire,” Journal for
the Study of Religion, Nature and Culture 13, no. 4 (2019): 415, https://doi.org/10.1558/
jsrnc.39044.
Taylor, 433.
73

Taylor, 433.
74

Taylor, 448.
75

31
PROFITABILITY, SOLIDARITY, SUSTAINABILITY: KAJIAN TEOLOGI PUBLIK TENTANG KEWIRAUSAHAAN LESTARI

5
Diskursus teologis tentang
kewirausahaan

Karya seminal Max Weber tentang kaitan antara Protestantisme


dengan kewirausahaan telah memantik banyak penelitian lanjutan, baik
yang bermaksud menunjukkan keterbatasan teori itu maupun yang
membuktikan relevansinya dalam konteks masa kini. Dalam bidang
kajian bisnis dan ilmu ekonomi, Sarah Dodd and George Gotsis, misalnya,
mendefinisikan kewirausahaan sebagai “a cultural process drawing on a
cluster of contextually articulated discourses, including religious ones.”76
Namun kegairahan membahas isu itu di kalangan ilmu-ilmu sosial dan
studi terapan tidak mudah ditemukan di bidang teologi. Kebanyakan
ulasan teologis, khususnya kalangan ekumenis atau Protestan mainstream,
tentang isu-isu ekonomik terarah kepada ranah ekonomi makro dengan
menekankan topik-topik, seperti: globalisasi, kapitalisme, dan keadilan
sosial. Dalam hal itu posisi para teolog cenderung berseberangan dengan
posisi kalangan ilmu ekonomi.77 Meskipun demikian, ada beberapa kajian
yang berusaha mengurangi kesenjangan itu. Di antaranya adalah karya
Peter Sedgwick, The Enterprise Culture, yang terbit pertama pada tahun
1992, merefleksikan situasi Inggris sesudah resesi ekonomi tahun 1980-
76
Dodd and Gotsis, “The Interrelationships between Entrepreneurship and
Religion,” 93.
77
Aloys Wijngaards, Toine van den Hoogen, and Jan Peil, “On the
Conversation between Theologians and Economists: A Contribution to Public
Theology,” International Journal of Public Theology 5, no. 2 (2011): 127, https://doi.
org/10.1163/156973211X562732.

32
PROFITABILITY, SOLIDARITY, SUSTAINABILITY: KAJIAN TEOLOGI PUBLIK TENTANG KEWIRAUSAHAAN LESTARI

an. Sedgwick adalah teolog Canon Gereja Anglikan Inggris yang dulu
menduduki jabatan penasihat Uskup Agung York untuk isu-isu industrial
dan berbagai jabatan gerejawi lain di samping dosen di St. Michael’s
College University of Cardiff. Selain itu ada beberapa artikel ilmiah,
seperti karya Bruce Baker, dosen etika bisnis Seattle Pacific University
yang juga pendeta Gereja Presbyterian Amerika Serikat, di jurnal Markets
and Morality; dan Robert Sirico, seorang imam Katolik pendiri Action
Institute for the Study of Religion and Liberty, juga di jurnal Markets and
Morality. Penulis-penulis Indonesia yang menerbitkan karya teologis
yang mengkaji kewirausahaan, antara lain adalah Made Gunaraksawati-
ten Veen, melalui buku berjudul Teologi Kewirausahaan yang berdasar
pada tesis Master of Divinity-nya yang ditulis di UKDW pada tahun
2009; dan Suwarto Adi, juga alumnus Fakultas Teologi UKDW yang
sekarang mengajar di Universitas Kristen Satya Wacana, melalui artikel
ilmiah di jurnal Kurios.
Peter Sedgwick meneliti fenomena bertumbuhnya dengan
pesat usaha kecil dan menengah pada masa sesudah resesi ekonomi
yang melanda Inggris pada tahun 1980-an. Masa resesi mengakibatkan
banyaknya perusahaan besar meninjau kembali strategi bisnis mereka
dengan mengubah sebagian proses produksi dan pemasaran menjadi
lebih efisien dengan cara outsourcing. Perubahan strategi inilah, ditambah
dengan peningkatan pemanfaatan sistem informasi dan komputer, yang
menghasilkan pertumbuhan usaha kecil dan menengah secara signifikan.
Sedgwick percaya bahwa proses semacam itu terjadi di Inggris karena
kuatnya “enterprise culture” dalam masyarakat Inggris. Meminjam
definisi Joseph Schumpeter, Sedgwick memahami kewirausahaan sebagai
karakter yang mengusung nilai-nilai “self-relience, innovation, risk-taking,
and creativity.” Karakter seperti itu melengkapi para wirausahawan dengan
keterampilan untuk mengatasi masalah, berkreasi, bersikap persuasif,

33
PROFITABILITY, SOLIDARITY, SUSTAINABILITY: KAJIAN TEOLOGI PUBLIK TENTANG KEWIRAUSAHAAN LESTARI

bernegosiasi, dan mengambil keputusan secara cepat. Menurut Sedgwick,


kewirausahaan merupakan respon yang tepat dalam situasi dinamis yang
terus berubah di mana dibutuhkan kepemimpinan yang visioner tetapi
sekaligus fleksibel.78 Dari penelitian yang dilakukan, Sedgwick mendapati
bahwa motivasi para wirausahawan tidak semata-mata profit-making
tetapi juga kerinduan untuk mandiri, semangat mengatasi tantangan,
kebosanan berada di zona nyaman (misalnya, penghasilan tetap dari
gaji bulanan), serta keinginan untuk menguji kemampuan dan imajinasi
diri sendiri. Bagi banyak wirausahawan perempuan, motivasi yang
menonjol, antara lain “meningkatkan kemandirian dan penghargaan
dalam masyarakat.”79 Di samping itu, kewirausahaan terwujud bukan
hanya dalam bentuk perusahaan-perusahaan kecil dan menengah yang
dikelola oleh individu-individu atau keluarga, tetapi juga dalam proyek-
proyek “community enterprise” yang lebih bersifat not-for-profit di mana
digunakan cara-cara kreatif untuk mengelola sumber daya komunitas
secara produktif.80
Bagi Sedgwick, kewirausahaan adalah fenomena budaya yang
berbeda bahkan berlawanan dengan budaya birokrasi, maka respon
teologis yang mencerminkan budaya birokrasi, seperti yang diusung
oleh gereja sebagaimana tampak dari kecenderungannya untuk
menolak perubahan, menjadi tidak cocok. Ia mengusulkan acuan
kepada visi Trinitaris tentang penciptaan, yang mencakup konsep
penciptaan, penataan, dan pembaruan dunia sebagai dasar teologis
bagi refleksi atas nilai-nilai kebebasan, kreativitas, dan perelasian baru
yang terwadahi dalam banyak bisnis berskala kecil.81 Sedgwick juga
Peter Sedgwick, The Enterprise Culture (London: SPCK Publishing, 1992),
78

163–4.
Sedgwick, 97,101.
79

Sedgwick, 61–63.
80

Sedgwick, 50–56.
81

34
PROFITABILITY, SOLIDARITY, SUSTAINABILITY: KAJIAN TEOLOGI PUBLIK TENTANG KEWIRAUSAHAAN LESTARI

melihat teologi perjamuan kudus sebagai acuan yang tepat khususnya


dalam merespon kebangkitan kewirausahaan di kalangan kelompok
etnik minoritas. Persembahan roti dan anggur dalam perjamuan kudus
adalah simbol proses industri yang mencakup penciptaan kekayaan. Di
sisi lain, perjamuan kudus mengandung visi kesatuan semua manusia
mengatasi perbedaan etnisitas serta penghargaan bagi mereka yang
berjuang demi kebebasan dan kepatutan. Dalam hal ini, Sedgwick
melihat peluang untuk mengaitkan antara teologi perjamuan kudus,
etos kewirausahaan, penghargaan bagi kelompok etnik minoritas
yang menjadikan bisnis kecil dan menengah sebagai cara bertahan
diri sekaligus berkontribusi bagi masyarakat luas, serta perjumpaan
antar-iman yang terjadi di ruang publik termasuk pasar.82
Meskipun menyatakan apresiasi yang tinggi terhadap budaya
kewirausahaan, Sedgwick tidak menutup mata terhadap potensi
negatifnya. Sedgwick membedakan antara “individualitas” dan
“individualisme.” Individualitas adalah tentang keunikan setiap orang
dan pentingnya untuk tidak mengabaikan hal itu atas nama kebersamaan
dalam masyarakat. Individualisme adalah paham bahwa otonomi diri
harus diutamakan di atas tatanan sosial. Kendati kewirausahaan adalah
budaya yang kondusif bagi pembentukan individualitas, Sedgwick
menyadari bahwa kewirausahaan dapat membentuk individualisme.
Karena itu, teologi kewirausahaan Sedgwick mencakup bukan hanya
penghargaan terhadap individualitas dalam bentuk kebebasan,
kreativitas, keberanian menghadapi tantangan, dan produktivitas;
tetapi juga kesadaran akan pentingnya keterhubungan, partisipasi,
dan tanggung jawab sosial bagi seorang wirausahawan. Dalam hal itu
Sedgwick mengacu pada dua visi dalam tradisi gereja. Yang pertama
adalah visi teologi Protestan tentang pribadi yang kuat dan beriman,
Sedgwick, 77–79.
82

35
PROFITABILITY, SOLIDARITY, SUSTAINABILITY: KAJIAN TEOLOGI PUBLIK TENTANG KEWIRAUSAHAAN LESTARI

dan yang kedua adalah visi etika sosial Kristen tentang masyarakat
yang interdependen di mana setiap orang melayani sesamanya dan
bersama-sama membangun permukiman yang adil.83
Sama seperti Sedgwick, Bruce Baker memandang kewirausahaan
secara positif sebagai etos kerja yang menghasilkan kemakmuran. Ia
menyoroti kewirausahaan dari perspektif teologi Abraham Kuyper
tentang anugerah umum (common grace). Kuyper menjelaskan anugerah
umum sebagai kebaikan Allah yang terwujud dalam “berkat-berkat
alami dalam ciptaan dan pemeliharaan yang dibagikan kepada umat
manusia.” Maka, anugerah umum tampak dalam fenomena “sekular,”
tidak terkait dengan keyakinan dan tradisi religius komunitas iman
tertentu. Menurut Baker, anugerah umum tampak jelas dalam bentuk
kreativitas ekonomik yang ditunjukkan oleh para wirausahawan melalui
kerja keras dan inovasi yang menghasilkan produk yang bermanfaat
bagi masyarakat. Dalam teologi Kuyper, wujud kedua dari anugerah
umum adalah “terkendalinya dosa dalam kehidupan masyarakat.”
Bagi Baker, kewirausahaan adalah “modal spiritual” yang efektif
untuk mengatasi kebutuhan hidup dengan mengerahkan bakat dan
kemampuan manusia sendiri. Kewirausahaan memutar roda ekonomi
melalui penciptaan lapangan kerja dan kesempatan-kesempatan
ekonomik lain. Dengan begitu, kewirausahaan melindungi masyarakat
dari korupsi dan kejahatan lain dengan menyalurkan energi manusia
ke kegiatan-kegiatan produktif yang menguntungkan semua pihak.84
Wujud ketiga dari anugerah umum adalah tindakan-tindakan positif
yang memenuhkan rasa keadilan masyarakat (civic righteousness).
Dalam hal ini, Baker menunjuk kepada kecerdikan, ketekunan, dan
Sedgwick, 168–72.
83

Bruce Baker, “Entrepreneurship as a Sign of Common Grace,” Journal of


84

Markets & Morality 18, no. 1 (July 15, 2015): 84, https://www.marketsandmorality.
com/index.php/mandm/article/view/1059.

36
PROFITABILITY, SOLIDARITY, SUSTAINABILITY: KAJIAN TEOLOGI PUBLIK TENTANG KEWIRAUSAHAAN LESTARI

pengorbanan yang melekat pada diri para wirausahawan dalam


menjalankan peran mereka dalam kehidupan ekonomi.85
Baker menyadari bahwa doktrin Kuyper tentang anugerah
umum mencakup kekaguman atas keindahan “the wild, untamed,
chaotic exuberance of life.”86 Maka, kekaguman atas keindahan
kehidupan yang diciptakan Allah merupakan respon yang layak
terhadap anugerah umum. Ia melihat keindahan anugerah umum
dalam bentuk karya-karya kewirausahaan yang berupa “... the endless
variety of craftsmanship in countless different trades, the variety of foods
in markets, the conveniences brought about through new technologies,
and the unending stream of advances in environmental stewardship
and medical treatments…”.87 Bagi Baker, keindahan dalam karya-
karya itu menunjukkan bahwa wirausahawan menjalankan fungsi
sebagai pembawa citra Allah, sumber utama kreativitas.88 Meskipun
belum menjadikan aspek estetik dari anugerah umum ini sebagai titik
tolak bagi konsep teologi kewirausahaan lestari, Baker memasukkan
kemajuan dalam penatalayanan atas lingkungan sebagai bagian dari
keindahan yang perlu diapresisasi.
Sebagaimana lazimnya teolog Calvinis, Baker tidak melewatkan
realitas dosa. Kewirausahaan yang pada dasarnya merupakan wujud
dari anugerah umum yang berfungsi menghambat dosa pun tidak
luput dari pengaruh dosa. Ia menegaskan, “[s]in, the antithesis of grace
at work in the world, can disrupt the movement of grace in economic
transactions. Self-seeking, extractive manipulations of fiscal power can
become powerful forces at odds with God’s design for human flourishing.”
Itu sebabnya, menurut Baker, dibutuhkan teologi publik untuk
Baker, 85.
85

Baker, 86.
86

Baker, 88.
87

Baker, 91.
88

37
PROFITABILITY, SOLIDARITY, SUSTAINABILITY: KAJIAN TEOLOGI PUBLIK TENTANG KEWIRAUSAHAAN LESTARI

membantu membedakan antara manipulasi kewirausahaan untuk


kepentingan-kepentingan berdosa dengan kewirausahaan sejati yang
merupakan wujud anugerah Allah.89
Dibandingkan Sedgwick dan Baker, Robert Sirico terkesan lebih
“militan” dalam membela kewirausahaan. Ia memuji kewirausahaan
sebagai wujud penatalayanan yang bijaksana atas talenta-talenta
dan, dengan demikian, menjadi kontribusi yang sangat dibutuhkan
masyarakat.90 Menurut Sirico, kewirausahaan merupakan sebuah
keniscayaan dari pikiran yang merdeka. Katanya, “[e]ntrepreneurship is
an institution that develops organically from human intelligence situated
in the context of the natural order of liberty.”91 Ia mengecam kebiasaan
mendiskreditkan para wirausahawan yang dilakukan para teolog dan
pemimpin agama yang umumnya berdasarkan pemahaman yang
dangkal tentang ekonomi. Baginya, kewirausahaan justru perlu diakui
sebagai “sacred calling,”92 karena “entrepreneurs, by taking risks, serving
the public, and expanding the economic pie for everyone, can be counted
among the greatest men and women of faith in the Church.”93
Sirico juga menyadari adanya realitas dosa dalam kaitan
dengan kewirausahaan, tetapi penjelasannya tentang itu hanya
menunjuk kepada praktik kerja yang berlebihan sehingga mengabaikan
tanggung jawab keluarga dan pertumbuhan rohani, dan untuk
itu hanya dibutuhkan pendampingan pastoral para rohaniwan.94
Ia menolak pandangan tentang dampak lingkungan sebagai dosa

Baker, 93–94.
89

Robert A. Sirico, “The Entrepreneurial Vocation,” Journal of Markets &


90

Morality 3, no. 1 (2000): 2.


Sirico, 7.
91

Sirico, 3.
92

Sirico, 8.
93

Sirico, 7.
94

38
PROFITABILITY, SOLIDARITY, SUSTAINABILITY: KAJIAN TEOLOGI PUBLIK TENTANG KEWIRAUSAHAAN LESTARI

industrial. Romo Sirico bahkan melangkah terlalu jauh sampai terkesan


sekadar “membaptiskan” kapitalisme neoliberal yang menganut
ideologi Milton Friedman bahwa tugas satu-satunya institusi bisnis
adalah menghasilkan keuntungan bagi para pemiliknya. Gagasan
tentang tanggung jawab sosial perusahaan terhadap para “pemangku
kepentingan” (stakeholder) dianggap sebagai gagasan “sayap kiri” yang
menyesatkan. Sirico mengkritik dengan keras para wirausahawan yang
menerapkan prinsip kelestarian seperti Anita Roddicks, pendiri the
Body Shop yang mendukung gagasan “hak-hak binatang”; Ben Cohen
dan Jerry Greenfield, pemilik perusahaan es krim Ben & Jerry yang
menolak membeli susu dari peternakan sapi yang memakai hormon
pertumbuhan; dan Yvon Chouinard, pemilik Patagonia, perusahaan
pakaian olahraga yang mendonasikan 1% labanya untuk promosi
pro-lingkungan. Para “kapitalis yang anti-kapitalis (anti-capitalist
capitalists)”95 itu dinilai mengusung slogan tanggung jawab sosial
yang sebenarnya merupakan resep keruntuhan ekonomi.96 Jadi Sirico
memahami kewirausahaan secara sempit dan, dengan demikian,
secara tidak langsung mengonfirmasi pandangan yang menganggap
kewirausahaan sekadar fenomena neoliberal.
Made Gunaraksawati Mastra-ten Veen meneliti teologi
kewirausahaan yang dikembangkan di Gereja Kristen Protestan di Bali
(GKPB). Dalam Sidang Sinode tahun 1972, GKPB mengambil keputusan
untuk menjadi gereja yang mandiri dari ketergantungan pada misi Eropa,
baik secara ekonomik maupun kultural.97 Semangat kemandirian ini
diwujudkan antara lain melalui program pengembangan kewirausahaan.

Sirico, 8.
95

Sirico, 8–10.
96

97
Made Gunaraksawati Mastra-ten Veen, “Teologi Kewirausahaan: Konsep dan
Praktik Bisnis Gereja Kristen Protestan di Bali” (Yayasan Taman Pustaka Kristen
Indonesia, 2009), 17.

39
PROFITABILITY, SOLIDARITY, SUSTAINABILITY: KAJIAN TEOLOGI PUBLIK TENTANG KEWIRAUSAHAAN LESTARI

Bagi GKPB hal itu adalah pengejawantahan kontekstualisasi mengingat,


di satu pihak, potensi ekonomi Bali sebagai daerah tujuan wisata tingkat
dunia yang kaya sumber daya alam maupun budaya;98 di pihak lain,
umat Kristen Bali pada umumnya miskin dan terpinggirkan.99 GKPB
barangkali gereja Protestan ekumenis Indonesia pertama yang dengan
sengaja mendorong umatnya untuk “memiliki semangat berwirausaha
dan berbisnis secara kreatif.”100 Baru pada tahun 2019 Gereja Batak
Karo Protestan (GBKP) juga menjadikan kewirausahaan dalam kaitan
dengan kesehatan dan lingkungan hidup sebagai tema sinodal menyusul
keberhasilan bank perkreditan rakyat dan program credit union milik
sinode gereja tersebut.101 Di Gereja Bali, kewirausahaan dipandang
sebagai cara yang terbaik untuk keluar dari ketergantungan dan sekaligus
kemiskinan. Jika gereja tidak mau bergantung pada bantuan luar,
kemiskinan anggota jemaat akan berbanding lurus dengan kemiskinan
institusi gereja, maka kewirausahaan bukan hanya dimaksudkan untuk
dijalankan oleh umat, tetapi juga oleh institusi gereja sendiri dan para
rohaniwannya. Salah satu wujudnya adalah Hotel Resor Dhyana Pura
yang menawarkan jasa akomodasi dan pelatihan kerja, serta Yayasan
Maha Bhoga Marga yang menyelenggarakan bisnis furnitur, percetakan,
dan bank perkreditan rakyat.102
Sebagai acuan teologis, Bishop I Wayan Mastra mengolah
teks-teks Alkitab seperti Kejadian 12:1-3 tentang janji Tuhan kepada
Abraham untuk menjadikannya berkat bagi bangsa-bangsa dan Yohanes
15:16 tentang penetapan para murid Yesus untuk menghasilkan buah.
Dengan menggunakan simbol-simbol yang akrab bagi masyarakat
Mastra-ten Veen, 19.
98

Mastra-ten Veen, 59.


99

100
Mastra-ten Veen, 21.
101
https://gbkp.or.id/visi-misi/, diakses 22 September 2021.
102
Mastra-ten Veen, “Teologi Kewirausahaan,” 32–46.

40
PROFITABILITY, SOLIDARITY, SUSTAINABILITY: KAJIAN TEOLOGI PUBLIK TENTANG KEWIRAUSAHAAN LESTARI

Bali, Mastra menanamkan keyakinan bahwa kerja keras, kreativitas,


produktivitas, dan menghargai martabat sendiri adalah jalan yang
dikehendaki Tuhan agar umat dapat menjadi berkat.103 Kewirausahaan
yang dikembangkan oleh GKPB mencakup baik ranah pribadi maupun
ranah sosial, namun belum menjangkau bisnis lestari, barangkali karena
pada masa-masa awal prioritasnya lebih tertuju kepada penyadaran
umat tentang martabat dan potensi diri.
Suwarto Adi menggarisbawahi pandangan bahwa kewirausahaan
dalam arti luas, yaitu sebagai kemampuan untuk melakukan perubahan
dan inovasi secara kreatif dan bertanggung jawab secara moral,
merupakan potensi yang ada pada setiap orang. Ia memahami
kewirausahaan bukan hanya tepat dipraktikkan di dunia bisnis,
tetapi juga di bidang-bidang lain. Adi menyayangkan kecenderungan
penyempitan makna kewirausahaan menjadi sekadar upaya pencarian
keuntungan dan menyerukan agar kewirausahaan dipahami secara utuh
sebagai perilaku kreatif, mandiri, dan produktif yang dijalankan dengan
pengelolaan yang baik dalam wadah organisasional dan diimbangi
dengan rasa keadilan. Mengambil contoh Rasul Paulus, Adi yakin bahwa
kewirausahaan yang sejati perlu dimaknai sebagai panggilan Kristen
untuk membangun kebaikan bagi kehidupan bersama.104
Sampai di sini dapat disimpulkan bahwa dalam diskursus
teologis tentang kewirausahaan, kelestarian alam belum merupakan
isu yang disoroti secara serius. Kecuali Baker yang memasukkan
penatalayanan atas lingkungan dalam daftar kegiatan kewirausahaan
yang mencerminkan keindahan ilahi, tidak ada yang membayangkan

Mastra-ten Veen, 58–88.


103

104
Suwarto Adi, “Kewirausahaan dan Panggilan Kristen: Sebuah Pendekatan
Interpretatif-Dialogis, Sosio-Historis dan Teologis,” Kurios (Jurnal Teologi dan
Pendidikan Agama Kristen) 6, no. 1 (April 29, 2020): 18–34, https://doi.org/10.30995/
kur.v6i1.123.

41
PROFITABILITY, SOLIDARITY, SUSTAINABILITY: KAJIAN TEOLOGI PUBLIK TENTANG KEWIRAUSAHAAN LESTARI

kewirausahaan lestari sebagai bagian dari visi mereka. Sirico bahkan


menganggap kewirausahaan lestari sebagai distorsi pasar dan racun
ekonomi. Meskipun demikian, para penulis yang lain memberi ruang
terbuka dalam karya mereka, yang berpotensi untuk dikembangkan
ke arah tema kewirausahaan lestari. Teologi penciptaan yang dipakai
oleh Sedgwick merupakan acuan teologis yang sudah lazim digunakan
dalam kajian-kajian teologis tentang ekologi. Demikian pula acuannya
pada tradisi perjamuan kudus dapat diperluas ke ranah ekologi seperti
yang telah dilakukan oleh John Hart dengan konsep “sacramental
common”-nya. Menurut Hart, alam memainkan peran yang sejajar
dengan sakramen, yaitu sebagai medium dari kehadiran Allah dan
karya kemurahan-Nya.105 Di samping itu, gagasan “makanan rohani”
dalam liturgi perjamuan kudus, selaras dengan makanan sehari-hari,
membutuhkan ketersediaan yang berkelanjutan lintas generasi atas
tanah yang bersih, air yang jernih, dan udara yang murni.106 Dalam
teologi kewirausahaan Baker, doktrin anugerah umum yang dipinjam
dari Kuyper, yang mengungkapkan kekaguman atas keindahan alam,
jelas layak menjadi acuan teologis yang kuat bagi pengembangan
kewirausahaan lestari. Sementara itu, dalam menjelaskan teologi
kewirausahaannya, I Wayan Mastra menggunakan simbol-simbol
yang diambil dari unsur-unsur alam (tubuh manusia, binatang, dan
pepohonan) sehingga sangat relevan untuk dikaitkan juga dengan isu-
isu ekologis, apalagi Bali sekarang sudah merasakan berbagai dampak
kerusakan lingkungan. Demikian juga pandangan Adi tentang perlunya
kewirausahaan dipahami secara utuh tampak cukup terbuka untuk
diperluas sampai menjangkau kewirausahaan lestari.
105
John Hart, Sacramental Commons: Christian Ecological Ethics, 0 edition
(Lanham, Md: Rowman & Littlefield Publishers, 2006), 15.0 edition (Lanham, Md:
Rowman & Littlefield Publishers, 2006.
Hart, 229.among people and between people and the natural world
106

42
PROFITABILITY, SOLIDARITY, SUSTAINABILITY: KAJIAN TEOLOGI PUBLIK TENTANG KEWIRAUSAHAAN LESTARI

6
Diskursus teologis tentang
lingkungan hidup

Jika tema kewirausahaan hanya mampu menarik perhatian sedikit


teolog saja, tidak demikian dengan tema lingkungan hidup. Sudah
lama bukti-bukti kerusakan lingkungan mengusik banyak pakar teologi
dan etika. Di sekolah-sekolah teologi Indonesia saja wacana teologis
tentang ekologi sudah dikaji setidaknya sejak tahun 1980-an. Pada
dekade 1990-an buku Celia Deane-Drummond, Teologi dan Ekologi,
yang diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia oleh Robert Borrong,
diterbitkan oleh BPK Gunung Mulia dan menjadi bahan bacaan dalam
kuliah-kuliah teologi. Pada periode yang sama dan dari penerbit yang
sama terbit karya Robert Borrong sendiri, Etika Bumi Baru yang segera
juga menjadi buku referensi bagi dosen maupun mahasiswa teologi.
Pada tahun 2002 BPK Gunung Mulia menerbitkan buku Teologi
Ekonomi yang berisi tulisan-tulisan beberapa dosen dan mahasiswa
UKDW yang mengambil kuliah “Teologi dan Globalisasi” dengan dosen
pengampu Robert Setio yang sekaligus menjadi editor buku tersebut. Di
dalam buku tersebut terdapat beberapa bab yang meninjau isu ekologi
dari perspektif teologis. Pada saat mempersiapkan naskah ini saya
beruntung mendapatkan buku Pengantar Teologi Ekologi yang baru saja
diterbitkan oleh Penerbit Kanisius. Buku yang ditulis oleh rekan senior
dan guru saya, Emanuel Gerrit Singgih, itu telah menjelaskan hampir
semua pandangan teologis yang ada tentang isu-isu ekologis. Karena
sudah demikian luasnya diskursus teologis tentang ekologi, tidak

43
PROFITABILITY, SOLIDARITY, SUSTAINABILITY: KAJIAN TEOLOGI PUBLIK TENTANG KEWIRAUSAHAAN LESTARI

mungkin, dan juga tidak perlu, saya menguraikan kembali semuanya di


sini. Saya hanya akan menyoroti beberapa poin dari diskursus tersebut
yang kiranya dapat dipertautkan dengan tema kewirausahaan.
Kajian-kajian teologis tentang ekologi pada umumnya mulai
dengan menyajikan data yang membuktikan bahwa kerusakan
lingkungan pada saat ini sudah pada tingkat yang sangat serius. Data
tersebut termasuk tentang polusi, perubahan cuaca, tanah longsor,
kerusakan hutan, dan terganggunya keragaman hayati. Beberapa kajian
melanjutkan dengan upaya menjelaskan “penyebab teknis” dari perusakan
itu yang mencakup utamanya industrialisasi dan pemanfaatan teknologi,
meskipun faktor-faktor lain seperti kemiskinan dan pertumbuhan
penduduk juga diperhitungkan dalam beberapa kajian. Cobb, misalnya,
menyebutkan bahwa pola konsumsi masyarakat, khususnya di negara-
negara barat telah mengakibatkan pencemaran udara yang serius dan
kerusakan tanah karena penggunaan insektisida. Diperkirakan rata-rata
orang Amerika mengonsumsi sumber daya alam 30-50 kali konsumsi
rata-rata orang India, sehingga dampak lingkungan dari overpopulasi
India tidaklah separah yang disebabkan oleh overkonsumsi Amerika.107
Namun sorotan dari kebanyakan kajian teologis pada akhirnya
mengerucut pada “penyebab filosofis” yang mencakup ideologi, teologi,
dan tradisi keagamaan. Seperti sudah saya kemukakan di atas, tesis Lynn
White boleh dibilang sebagai pemicu kebangkitan teologi lingkungan.
Bahkan menurut Elspeth Whitney, pengaruh White juga menjangkau
bidang sejarah agama, sejarah lingkungan, etika, filsafat, dan gerakan
lingkungan di Amerika.108 Pada dasarnya White menuding teologi Kristen
yang antroposentris sebagai “penyebab filosofis” kerusakan lingkungan.

Cobb, Is It Too Late?, 5.


107

108
Elspeth Whitney, “Lynn White Jr.’s ‘The Historical Roots of Our Ecologic
Crisis’ After 50 Years,” History Compass 13, no. 8 (2015): 396, https://doi.org/10.1111/
HIC3.12254.

44
PROFITABILITY, SOLIDARITY, SUSTAINABILITY: KAJIAN TEOLOGI PUBLIK TENTANG KEWIRAUSAHAAN LESTARI

Karena teologi Kristen dipandang menanamkan sikap superior


terhadap alam, maka salah satu alternatifnya adalah belajar kepada
tradisi agama yang lebih bersifat kosmosentris. Namun pandangan
popular di barat bahwa agama-agama timur, khususnya Buddhisme,
lebih cinta lingkungan ketimbang agama-agama Abrahamik tampaknya
lebih merupakan romantisme dan sindrom post-Christendom
ketimbang fakta historis. Penelitian Johan Elverskog, sejarahwan
Southern Methodist University, tentang rekam jejak Buddhisme di
Asia dalam kaitan dengan ekologi menemukan data yang sebaliknya.
Salah satu kesalahkaprahan tentang Buddhisme adalah pandangan
bahwa penganut Buddhisme adalah vegetarian dan karena itu
dengan sendirinya sadar lingkungan. Hasil penelitian Elverskog
menyatakan bahwa bahkan Sang Buddha sendiri menolak doktrinisasi
vegetarianisme, dan kebanyakan penganut Buddhisme, termasuk Dalai
Lama, bukan vegetarian.109 Memang terdapat komunitas-komunitas
Buddhis di Asia yang mempraktikkan vegetarianisme untuk para
rahib mereka, tetapi alasan aslinya lebih bersifat situasional, khususnya
karena kelangkaan bahan pangan, ketimbang doktrinal.110 Bahkan
dalam komunitas-komunitas itu pun vegetarianisme tidak untuk umat
pada umumnya. Jadi, kewajiban menjalankan vegetarianisme bagi para
rahib mirip dengan kewajiban selibat bagi para imam Katolik, tidak
dimaksudkan sebagai norma umat. Rasanya hal itu cukup jelas dari
kenyataan bahwa menu mainstream makanan tradisional Tionghoa
dan bangsa-bangsa Asia lainnya yang berlatar belakang budaya Buddhis
tidak vegetarian. Salah satu tradisi kuliner Tionghoa yang cukup favorit,
sop hi sit (sirip ikan hiu), justru berbahaya bagi kelestarian keragaman
hayati karena ikan hiu termasuk spesies langka yang dilindungi.
109
Johan Elverskog, The Buddha’s Footprint: An Environmental History of Asia,
Illustrated edition (Philadelphia: University of Pennsylvania Press, 2020), 109–10.
Elverskog, 115–16.
110

45
PROFITABILITY, SOLIDARITY, SUSTAINABILITY: KAJIAN TEOLOGI PUBLIK TENTANG KEWIRAUSAHAAN LESTARI

Restoran dan toko bahan makanan vegetarian baru muncul belakangan


ini, mengikuti trend vegetarianisme yang merupakan bagian dari
fenomena globalisasi. Demikian pula konsep “ekonomi Buddhis” seperti
karya Venerable P.A. Payutto, yang dinilai menganjurkan jalan tengah
antara penyangkalan diri dan kepentingan diri,111 baru ditawarkan pada
tahun 1994. Hasil penelitian Elverskog ini cocok dengan pengamatan
Yi-fu Tuan, sebagaimana diacu oleh J. Baird Callicot, yang menyatakan
bahwa kesadaran lingkungan di Tiongkok lebih dipicu oleh pengalaman
praktis-aktual ketimbang penghayatan keagamaan. Di samping itu
kerusakan ekologis sebagai dampak peradaban juga dialami Tiongkok
dan negara-negara Asia lainnya.112
Elverskog juga mencoba meluruskan kesalahkaprahan bahwa
Buddhisme mengajarkan pasivisme terhadap kehidupan duniawi
termasuk kegiatan politik dan bisnis. Kesalahkaprahan itu membuat
publik Barat terkejut ketika melihat berita media tentang seorang bikhu
naik pesawat jet pribadi, memakai kacamata mewah dan mencangking
tas Louis Vuitton. Sang bikhu dianggap menyimpang terlalu jauh dari
ajaran Buddhis. Reaksi yang sama diarahkan kepada bikhu-bikhu
yang terlibat politik praktis seperti terjadi di banyak negara Asia.113
Rupanya pandangan populer di barat mencampuradukkan Buddhisme
dengan Taoisme. Yang mengajarkan pasivisme bukanlah Buddhisme
tetapi Taoisme. Tentang Taoisme, Cobb sudah menyodorkan hasil
analisisnya. Bagi dia, jika Taoisme dominan dalam masyarakat, memang
tidak akan ada krisis lingkungan, tetapi juga tidak akan ada kemajuan
111
Laslo Zsolnai, “Buddhist Economics,” in L. Bouckaert and L. Zsolnai, eds., The
Palgrave Handbook of Spirituality and Business (Palgrave Macmillan UK, 2011), 90,
https://doi.org/10.1057/9780230321458.
J. Baird Callicot, “The Historical Roots of Environmental Philosophy,” in
112

Religion and Ecological Crisis, ed. Todd LeVasseur and Anna Peterson (Routledge,
2017), 41.
Elverskog, The Buddha’s Footprint, 134–35.
113

46
PROFITABILITY, SOLIDARITY, SUSTAINABILITY: KAJIAN TEOLOGI PUBLIK TENTANG KEWIRAUSAHAAN LESTARI

peradaban. Kenyataannya, peradaban berkembang terus dan kerusakan


lingkungan terjadi. Dalam situasi seperti ini pasivisme seperti yang
diusung Taoisme tidak dapat memberi kontribusi apa pun.114
Menurut Elverskog, ajaran inti Buddhisme, Dharma, justru
semacam teologi kemakmuran. Buddhisme menganggap kekayaan
sebagai bukti karma yang baik, dan kemiskinan adalah karma yang
buruk. Biara-biara Buddhis adalah pusat kegiatan ekonomi, dan
karenanya banyak biara yang kaya raya, bukan hanya karena sumbangan
para pengusaha tetapi juga karena bisnis yang dilakukan biara sendiri.
Dalam masyarakat Buddhis, lanjut Elverskog, biara merupakan “one of
the most powerful economic forces in society.”115 Elverskog yakin bahwa
konten “teologi kemakmuran” itulah yang membuat Dharma dapat
diterima dengan baik oleh kalangan bisnis dan sekaligus mendorong
orang-orang kaya menyumbang biara-biara dan tempat-tempat
ibadah.116 Saya kira tradisi pemberkatan tempat-tempat bisnis oleh
bikhu, yang lazim dilakukan di Thailand, mengonfirmasi temuan
Elverskog di atas. Kedekatan Buddhisme dengan dunia industri,
termasuk yang berdampak negatif terhadap lingkungan, sesungguhnya
mewarnai sejarah ekonomi Asia Tenggara setidaknya sejak abad ke-
7. Pertambangan timah, logam mulia, batu berharga, dan industri
perkayuan di berbagai tempat mulai dari India, Afganistan, sampai
Indonesia dan Malaysia Timur merupakan bisnis yang terkait dengan
kejayaan Buddhisme. Kerajaan Buddhis, Sriwijaya, yang berpusat di
Palembang dan menguasai bagian besar Asia Tenggara, secara ekonomi
ditopang oleh eksplorasi sumber daya alam, termasuk emas, kamper,
dan kayu-kayu beraroma, dalam skala besar pada zamannya.117
Cobb, Is It Too Late?, 31–33.
114

Elverskog, The Buddha’s Footprint, 132–33.


115

Elverskog, 141–42.
116

Elverskog, 227–28.
117

47
PROFITABILITY, SOLIDARITY, SUSTAINABILITY: KAJIAN TEOLOGI PUBLIK TENTANG KEWIRAUSAHAAN LESTARI

Sejalan dengan temuan Elverskog, ahli sejarah agama-agama


dengan spesialisasi pada agama-agama India, Christopher Key Chapple,
menunjukkan bahwa “Buddhism is not innately predisposed to the
protection of nature” dan bahwa setiap idealisasi Zen-Buddisme sebagai
pada dasarnya “peaceful and aesthetic” bertolak belakang dengan fakta
sejarah.118 Menurut Chapple, baik Buddhisme, Hinduisme, maupun
Jainisme bersifat teleologis, menyiratkan kelepasan dari dunia sebagai
tujuan sejati manusia. Dalam hal ini, alam bukanlah tempat ideal
seperti Taman Eden, melainkan tempat yang mengerikan, penuh
bahaya dan ancaman, sedangkan kawasan permukiman dianggap
tempat yang membahagiakan. Chapple juga mengingatkan bahwa
kosmologi Buddhis sebenarnya antroposentris di mana binatang berada
di aras bawah, dan kemajuan dianggap terjadi ketika semakin banyak
binatang berinkarnasi menjadi manusia.119 Chapple tidak bermaksud
menuding agama-agama timur sebagai “penyebab filosofis” perusakan
alam di Asia seperti tudingan White terhadap agama Kristen. Ia hanya
mau menunjukkan betapa agama-agama timur sama ambivalennya
dengan agama Kristen (dan Yahudi serta Islam) dalam hal ekologi.
Barangkali agama-agama memang terkesan ambivalen ketika harus
menyeimbangkan antara konsistensi dan fleksibilitas dalam upaya
untuk menjadi relevan bagi konteks masyarakat yang dinamis.
Perlu diingat bahwa Elverskog dan Chapple adalah sejarahwan
bukan teolog, sama seperti Lynn White, maka penelitian mereka
lebih bersifat deskriptif ketimbang kritik teologis. Tujuannya bukan
untuk membela atau mendiskreditkan agama tertentu tetapi untuk
menemukan data historis dalam rangka memeriksa persepsi umum dan
mengenali bias-bias yang mungkin terkandung di dalamnya. Teologi
118
Christopher Key Chapple, “Lynn White Jr. and India: Romance? Reality?,” in
Religion and Ecological Crisis, ed. Todd LeVasseur and Anna Peterson, 2017, 115.
Chapple, 112–13.
119

48
PROFITABILITY, SOLIDARITY, SUSTAINABILITY: KAJIAN TEOLOGI PUBLIK TENTANG KEWIRAUSAHAAN LESTARI

publik membutuhkan sumber-sumber sejarah untuk membantunya


memahami latar belakang isu publik yang sedang dikajinya.
Pemahaman historis ini penting untuk menghindari respon yang atau
terlalu dogmatis atau sekadar “politically correct.” Dalam hal hubungan
antara agama dan lingkungan hidup, temuan penelitian sejarah bisa
saja mengoreksi logika teoretis yang didasarkan pada penafsiran teks
suci dan pengamatan terhadap tradisi.
Dalam hal ambivalensi agama Kristen, khususnya
Protestantisme, Michael Northcott, profesor emeritus University
of Edinburgh yang sekarang bergabung dengan ICRS Yogyakarta,
berusaha mengimbangi tudingan White dengan menyodorkan bukti-
bukti bahwa Protestantisme juga memicu semangat cinta lingkungan.
Dalam hal ini Northcott mengajukan 5 poin penjelasan: Pertama,
Protestantisme memulihkan kedudukan Alkitab sebagai bacaan yang
berwibawa, membuat orang Protestan membaca sendiri Alkitab dan
menemukan gambaran-gambaran Alkitab tentang alam yang kemudian
menginspirasi karya-karya seni yang menghargai dan mengagumi
alam serta kegiatan-kegiatan menikmati alam seperti mendaki gunung
dan mengamati burung. Kedua, spiritualitas Protestan berbasis pada
pengalaman individual dengan Tuhan, tidak lagi bergantung pada ritual
komunal yang diselenggarakan oleh gereja. Hal ini membuat orang
Protestan memaknai kegiatan sehari-hari sebagai praktik spiritual dan
moral yang harus dilakukan secara serius. Untuk mengimbanginya,
rekreasi di alam terbuka menjadi kegiatan yang penting karena
menurut ajaran para reformator alam adalah “kitab asli” Allah.
Ketiga, doktrin keselamatan Calvin mencakup gagasan alam sebagai
“panggung pertunjukan (teater) pekerjaan-pekerjaan Allah” yang
relatif tidak tercemari dosa manusia. Implikasinya, alam adalah locus
spiritualitas yang transformatif. Keempat, karakter Protestantisme yang

49
PROFITABILITY, SOLIDARITY, SUSTAINABILITY: KAJIAN TEOLOGI PUBLIK TENTANG KEWIRAUSAHAAN LESTARI

cenderung curiga terhadap hierarki dan kondusif terhadap demokrasi


membentuk keberanian orang-orang Protestan untuk menggugat
kebijakan-kebijakan dan praktik-praktik kekuasaan yang merugikan
orang banyak, termasuk industri yang mencemari lingkungan.
Signifikannya kesadaran lingkungan di kalangan Protestan, menurut
Northcott, tampak dari kenyataan bahwa yang pertama kali membuat
aturan-aturan legal perlindungan alam adalah negara-negara mayoritas
Protestan, seperti: Amerika Serikat, Jerman, Swedia, dan Inggris.
Kelima, doktrin pembenaran karena iman dari Luther mendorong
gagasan-gagasan tentang etika dan keadilan yang juga diterapkan dalam
kaitan dengan isu-isu pencemaran alam. Itu sebabnya, tandas Northcott,
istilah “keadilan lingkungan” (environmental justice) pertama kali
dicetuskan dalam laporan kelompok Protestan yang mengangkat isu
limbah beracun berkaitan dengan penyakit dan masalah sosial kaum
kulit berwarna di Amerika Serikat.120
Menggunakan pendekatan yang disebut “eco-dimensionality,”
Susan Power Bratton, profesor ilmu lingkungan Baylor University,
menyimpulkan bahwa baik agama-agama monoteis maupun “agama-
agama pribumi” (indigenous religions) mengembangkan strategi
demi kelestarian alam. Eco-dimensionality dijelaskan sebagai: “... the
integrative expression of environmental values, caretaking norms and
sustainable practices in all aspects of religion, including symbolism,
myth, art, ritual, and ethics, that recognizes and specifically adapts
to keystone environmental processes and ecosystemic or geo-physical
diversity.” 121 Ia menilai tudingan White terhadap agama Kristen
Michael S. Northcott, “Reformed Protestantism and the Origins of Modern
120

Environmentalism,” Philosophia Reformata 83, no. 1 (May 19, 2018): 19–33, https://
doi.org/10.1163/23528230-08301003.
Susan Power Bratton, “Eco-Dimensionality as a Religious Foundation for
121

Sustainability,” Sustainability 10, no. 4 (April 2018): 2, https://doi.org/10.3390/

50
PROFITABILITY, SOLIDARITY, SUSTAINABILITY: KAJIAN TEOLOGI PUBLIK TENTANG KEWIRAUSAHAAN LESTARI

problematik karena mengabaikan kesamaan yang terdapat baik dalam


agama-agama monoteis maupun agama-agama “pribumi” dalam hal
kecenderungan menggambarkan makhluk-makhluk bukan-manusia
secara antrofomorfis. Bratton menganggap White berutang penjelasan
mengapa dalam hal antrofomorfis Allah Israel kuno dibedakan dari
Zeus atau Athena. Lebih lanjut Bratton berpendapat bahwa menilai
agama-agama secara dikotomis antara antroposentris dan kosmosentris
sebenarnya mengabaikan pendekatan khas agama-agama yang umumnya
mengenali hubungan antara manusia, lingkungan alam, dan realitas
supernatural serta kosmos. 122 Lebh lanjut, Bratton menunjuk contoh-
contoh bagaimana tradisi-tradisi Kristen yang berbeda menjalankan
etos cinta lingkungan melalui tradisi dan praksis, yang semuanya
membuktikan bahwa kepercayaan kepada keesaan Allah sama sekali
tidak menghalangi “eco-dimensionality” biotik dan ekologis. Hal yang
sama juga tampak dalam Islam dan agama Yahudi. Dalam ketiga agama
monoteis itu, Bratton mengingatkan, teknologi dan rekayasa manusia
harus digunakan secara hati-hati, bukan hanya demi kebaikan manusia
tetapi juga demi kesejahteraan binatang dan tumbuh-tumbuhan.123
Mencermati kontroversi tentang peran agama-agama dalam
membentuk sikap dan perilaku manusia terhadap alam, saya sependapat
dengan E.G. Singgih bahwa tidak banyak gunanya kita menyalahkan
atau membela suatu agama dalam hal kerusakan lingkungan hidup.
Hemat saya tidak ada agama yang sejak awal menjadikan pelestarian
alam atau perusakan alam sebagai misi utamanya. Bahkan jika pengaruh
terhadap lingkungan dipandang sebagai dampak tak sengaja dari teologi
agama mana pun, pandangan semacam itu akan tetap kontroversial.
su10041021.
Bratton, 5.
122

Bratton, 8.
123

51
PROFITABILITY, SOLIDARITY, SUSTAINABILITY: KAJIAN TEOLOGI PUBLIK TENTANG KEWIRAUSAHAAN LESTARI

Sekarang yang perlu adalah menyadari tanggung jawab agama atas


perusakan lingkungan dan, karena itu, juga panggilan agama-agama
untuk ikut bersama-sama mengupayakan pemulihan alam.124 Dalam
bahasa filsafat proses, agama-agama mesti dilihat sebagai sesuatu
yang berproses bersama sains dan sumber-sumber kebajikan lain
ketimbang sebagai suatu sistem kebenaran yang sudah jadi sejak
awalnya. Pengalaman aktual bersama umat manusia dengan kerusakan
alam telah mendorong reinterpretasi dan reformulasi sumber-sumber
keagamaan menjadi lebih eksplisit mengawal perjuangan penyelamatan
lingkungan. Bagi saya, setiap perkembangan menjadi lebih sadar
lingkungan, baik dalam agama, ideologi, sains, teknologi, maupun
dunia bisnis dan politik, layak diapresiasi.
Diskursus ekologi yang berkembang melanjutkan White
memunculkan dikotomi antara antroposentrisme dan kosmosentrisme.
Sederhananya, antroposentrisme dianggap menomorduakan alam demi
mengutamakan manusia, kosmosentrisme menempatkan manusia di
dalam alam bersama unsur-unsur alam yang lain. Selanjutnya dikotomi
itu dipakai untuk membedakan konsep-konsep ekologi. Ekologi yang
bagaimana pun bersifat antroposentris, yang memelihara alam demi
manfaatnya bagi manusia, disebut sebagai “ekologi dangkal;” sedangkan
ekologi yang berdasarkan paham kosmosentris disebut sebagai “ekologi
dalam.” Singgih menganggap istilah-istilah itu bersifat peyoratif yang
berasal dari para penentang antroposentrisme.125 Ia sendiri tidak mau
terjebak pada oposisi biner antroposentrisme-kosmosentrisme dengan
mengusulkan teologi lingkungan yang berbasis “panenteisme,” yang ia
klaim “mengatasi antroposentrisme dan kosmosentrisme.” Panenteisme
124
Emanuel Gerrit Singgih, Pengantar Teologi Ekologi (Yogyakarta: Kanisius,
2021), 104–5.
Singgih, 110.
125

52
PROFITABILITY, SOLIDARITY, SUSTAINABILITY: KAJIAN TEOLOGI PUBLIK TENTANG KEWIRAUSAHAAN LESTARI

memahami Allah sebagai yang berada di dalam alam tetapi tetap dapat
dibedakan dari alam. Panenteisme ini berbeda dengan teosentrisme
yang diusulkan Borrong yang, bagi Singgih, pada praktiknya menjadi
antroposentrisme.126 Dasar dari panenteisme adalah gagasan Alkitab
mengenai Allah yang mengosongkan diri (kenosis), yang menjadi
pijakan teologi inkarnasi. Jadi sama seperti Allah mengosongkan
dirinya supaya menjadi bagian dari kemanusiaan (humanity), Allah
juga mengosongkan diri untuk menjadi bagian dari alam.127 Kehadiran
Allah sebagai unsur alam selain-manusia memang tidak asing di dalam
Alkitab. Misalnya, Musa menjumpai Allah dalam wujud semak belukar
yang menyala, Elia bertemu Allah sebagai angin yang lembut, dan
Samuel disapa oleh Allah dalam wujud suara. Kosmosentrisme dan
ekologi panenteis menjanjikan landasan filosofis yang lebih kuat bagi
penyelamatan lingkungan ketimbang antroposentrisme. Namun masih
perlu diuji sejauh mana bedanya dalam praktik kehidupan sehari-hari
dan bagaimana akuntabilitasnya di ruang publik. Misalnya, kegiatan
konservasi penyu di Samas, Bantul, seperti dituturkan oleh Singgih,
merupakan contoh manifestasi dari “pertobatan ekologis” dan karena
itu dihubungkan dengan kosmosentrisme atau panenteisme.128 Namun
di Bali kegiatan yang sama sudah lama dijalankan sebagai produk
ecotourism yang mempunyai multi tujuan: pelestarian alam, kesejahteraan
masyarakat lokal, edukasi bagi wisatawan, dan keuntungan berbagai
agensi yang mengelola dan memasarkan program itu.129
Antroposentrisme sendiri sebetulnya memayungi serangkaian
pendekatan yang berbeda-beda, dari yang pragmatis sampai yang
Singgih, 234.
126

Singgih, 235.
127

Singgih, 251.
128

129
https://theculturetrip.com/asia/indonesia/articles/the-10-best-ecotourism-
experiences-in-indonesias-islands/, diakses 01 Oktober 2021.

53
PROFITABILITY, SOLIDARITY, SUSTAINABILITY: KAJIAN TEOLOGI PUBLIK TENTANG KEWIRAUSAHAAN LESTARI

memaknai sentralitas sebagai soal tanggung jawab. Teolog Yunani,


Ekaterini Tsalampuni, mengakui bahwa teologi lingkungan yang
dikembangkan di kalangan Orthodox, yang memaknai kedudukan
manusia sebagai imam segenap ciptaan adalah sama antroposentrisnya
dengan teologi gereja barat tentang manusia sebagai penatalayan
ciptaan.130 Singgih juga memberi penilaian yang sama, bahkan bukan
hanya antroposentris tetapi juga partikularistik Kristen dan patriarkis.131
Ekoteologi Orthodox itu secara Alkitab pun problematis karena Alkitab
sendiri menggambarkan alam semesta dapat memuliakan Allah tanpa
perantaraan manusia. Meskipun demikian, Tsalampuni menilai kedua
gambaran itu masih layak digunakan untuk menekankan tanggung
jawab manusia, asalkan disadari bahwa keduanya adalah metafora
yang bagaimana pun tidak sempurna menggambarkan posisi manusia
yang sebenarnya, dan karena itu tidak harus dijadikan sebagai satu-
satunya acuan.132 Dengan perkataan lain, konsep instrumentalis yang
melekat pada antroposentrisme, bahwa alam selain-manusia adalah
instrumen bagi manusia, bisa juga dipahami secara timbal balik: bukan
hanya selain-manusia adalah instrumen manusia, tetapi manusia juga
instrumen bagi selain-manusia.
Selanjutnya, anti-antroposentrisme perlu dihadirkan dalam
konteks diskursus lintas disiplin keilmuan. Banyak penelitian ilmiah
memakai asumsi antroposentris, termasuk proses pembuatan vaksin
yang harus melalui tahap-tahap pengujian menggunakan binatang.

Ekaterini Tsalampuni, “Dealing with Eco-Justice from the Perspective of the


130

Orthodox Tradition: Challenges and Dilemmas,” in Eco-Theology, Climate Justice


and Food Security: Theological Education and Christian Leadership Development, ed.
Dietrich Werner and Elisabeth Jeglitzka, Global 14 (Geneva: Globethics.net, 2016), 243.
131
Singgih, Pengantar Teologi Ekologi, 137.
Tsalampuni, “Dealing with Eco-Justice from the Perspective of the Orthodox
132

Tradition: Challenges and Dilemmas,” 243–44.

54
PROFITABILITY, SOLIDARITY, SUSTAINABILITY: KAJIAN TEOLOGI PUBLIK TENTANG KEWIRAUSAHAAN LESTARI

Baru jika tahap pengujian dengan binatang dianggap aman, penelitian


boleh dilanjutkan ke tahap pengujian dengan manusia. Bagaimana
menegosiasikan pendekatan-pendekatan anti-antroposentrisme
dengan metodologi sains yang antroposentris? Memang sudah ada
upaya menolak penggunaan binatang percobaan khususnya di bidang
kosmetik, seperti yang dilakukan wirausahawan lestari, Anita Roddicks,
tetapi belum ada alternatif yang cukup feasible untuk sektor-sektor
biomedis yang lebih krusial. Apakah orang yang menolak vaksin karena
alasan anti-antroposentrisme dapat dianggap bertanggung jawab secara
ekologis meskipun dengan demikian ia mempertaruhkan nyawa orang-
orang kontak dekatnya? Dengan menyatakan itu, bukan berarti saya
menganut antroposentrisme, tetapi hanya ingin menunjukkan bahwa
implikasi praktis dari konsep-konsep ekoteologi tidak selalu mudah
dipahami.
Karena fokus dari diskursus teologis tentang ekologi lebih
kepada “penyebab filosofis” maka solusi yang ditawarkan pun tentu
saja lebih bersifat “solusi filosofis” baik berupa rekonstruksi teologi,
pembaruan worldview, apresiasi terhadap tradisi spiritualitas tertentu,
dan perubahan konsep ekonomi. Perkembangan kewirausahaan
lestari yang mempunyai sejarah begitu panjang tidak cukup mendapat
perhatian dalam kajian-kajian teologis, barangkali karena berada di
ranah “solusi praktis.” Diskursus teologis cenderung mengabaikan
keberagaman dunia bisnis dalam hal komitmen terhadap etika
lingkungan dan kontribusi terhadap pelestarian lingkungan, seolah-
olah semua pelaku bisnis mau tak mau termasuk golongan “penyebab
teknis” kerusakan lingkungan. Itu sebabnya Paus Fransiskus dalam
ensiklik Laudato Si’ menyerukan penurunan laju produksi dan
konsumsi133 karena logikanya setiap perkembangan produksi dan
Singgih, Pengantar Teologi Ekologi, 214.
133

55
PROFITABILITY, SOLIDARITY, SUSTAINABILITY: KAJIAN TEOLOGI PUBLIK TENTANG KEWIRAUSAHAAN LESTARI

konsumsi mengorbankan sumber daya alam. Namun bagaimana jika


perkembangan itu terjadi di sektor industri kreatif? Misalnya saja,
pada masa pandemi ini para wirausahawan teknologi (technopreneurs)
mengembangkan program-program video-conference, seperti Zoom
dan Google Meet, yang memungkinkan pertemuan-pertemuan lokal
sampai internasional dilakukan dari rumah masing-masing peserta
dan, dengan demikian, mengurangi kebutuhan transportasi yang
boros energi? Produk-produk teknologi informasi yang lain yang
mendigitalisasi sistem persuratan, penulisan makalah dan dokumen,
serta penyimpanan arsip sudah lebih dulu mengurangi secara signifikan
penggunaan kertas yang merupakan salah satu penyebab penggundulan
hutan. Laudato Si’ memang menyatakan optimisme terhadap bisnis
lokal seperti koperasi,134 tetapi dalam pasar yang terinterkoneksi
seperti saat ini, bisnis kecil tidak mungkin bertahan tanpa mengelola
relasi secara cerdas dengan para pemangku kepentingannya termasuk
pelaku-pelaku pasar yang lain.135

Singgih, 213.
134

Saya membahas hal ini dalam Yahya Wijaya, “God of the Small: Engaging
135

Public Theology in Small Business,” International Journal of Public Theology 15, no. 2
(July 13, 2021): 202, https://doi.org/10.1163/15697320-12341654.

56
PROFITABILITY, SOLIDARITY, SUSTAINABILITY: KAJIAN TEOLOGI PUBLIK TENTANG KEWIRAUSAHAAN LESTARI

PENUTUP

Kesimpulan

Jika agama Kristen dituding sebagai penyebab filosofis dari kerusakan


lingkungan, industri disalahkan sebagai penyebab praktisnya.
Kajian-kajian teologi lingkungan menunjukkan bahwa agama-agama
termasuk agama Kristen mengandung sumber-sumber yang dapat
direinterpretasikan atau dikembangkan justru untuk menjadi “solusi
filosofis” bagi krisis lingkungan. Demikian pula, penelusuran historis
dan etika bisnis menemukan bukti-bukti bahwa bagian dari dunia bisnis
dan industri sudah lama berupaya menjadi “solusi praktis” melalui
kewirausahaan lestari.
Dari perspektif teologi publik, para pakar teologi lingkungan
perlu hadir di ruang publik untuk lebih mendengar dan mengikuti
perkembangan pemikiran yang terjadi dalam disiplin-disiplin keilmuan
lain serta pengalaman-pengalaman para praktisi kewirausahaan. Seperti
dikemukakan oleh Schaper, saat ini para ahli kajian bisnis mengakui
pentingnya memperhatikan hal-hal, seperti: “kaitan antara kelestarian
dan inovasi, peran usaha kecil dan menengah, faktor kelestarian dalam
pengembangan bisnis strategik, semakin besarnya pengaruh konsumen
lestari, pratik-praktik lestari dalam industri-industri tertentu, dan
bagaimana perusahaan-perusahaan dapat memanfaatkan kesempatan
yang tersedia karena kebijakan-kebijakan lingkungan berbasis pasar.”136

Schaper, Making Ecopreneurs, 8.


136

57
PROFITABILITY, SOLIDARITY, SUSTAINABILITY: KAJIAN TEOLOGI PUBLIK TENTANG KEWIRAUSAHAAN LESTARI

Sebagian wirausahawan yang menggeluti bisnis produk-produk lestari


mungkin sekadar merespon permintaan pasar, tetapi, seperti sudah
saya uraikan di atas, banyak wirausahawan lestari sama sekali tidak
pragmatis. Jadi “solusi praktis” tidak sama dengan “solusi pragmatis”
yang sekadar menerapkan hukum pasar supply-demand. “Solusi
filosofis” tentu diperlukan untuk menanamkan landasan filosofis bagi
para perintis dan promotor gaya hidup lestari, namun ketika gaya
hidup seperti itu sudah cukup populer, tidak bisa diharapkan semua
partisipan menjalankannya berdasarkan idealisme yang sama. Sama
seperti gaya hidup yang merusak alam sering kali dijalankan oleh
banyak orang tanpa kesengajaan sama sekali untuk merusak alam,
begitu pun sebaliknya dengan gaya hidup yang melestarikan alam.
Bagaimana pun dampak positifnya terhadap alam perlu disyukuri,
belajar dari sikap Paulus terhadap orang-orang yang memberitakan
Kristus tanpa motivasi yang murni (Filipi 1:18).
Dalam banyak praktik kewirausahaan lestari, profit dan
solidaritas menjadi bagian dari motivasi, bersamaan dengan kepedulian
terhadap kelestarian alam. Kebanyakan wirausahawan lestari tidak
membenturkan profit dengan solidaritas dan kelestarian alam. Ketiganya
diperlakukan secara sinergis. Tantangan yang mereka hadapi tidak kecil,
baik dari pihak bisnis konvensional yang hanya berorientasi profit,
maupun dari pihak konsumen yang tidak (belum) memperhitungkan
nilai ekologis. Itu sebabnya meskipun memiliki sejarah yang panjang,
kewirausahaan lestari belum cukup dominan. Namun kewirausahaan
adalah semangat untuk mengatasi tantangan secara cerdas dan kreatif,
termasuk dengan menggalang dukungan dan kerja sama dari berbagai
pihak. Ini membuatnya memiliki resiliensi bagaikan biji sesawi yang
kecil tetapi punya prospek untuk menjadi tempat bernaung yang andal.
Dalam hal ini teologi dapat menjadi mitra, lawan, atau sekadar pihak

58
PROFITABILITY, SOLIDARITY, SUSTAINABILITY: KAJIAN TEOLOGI PUBLIK TENTANG KEWIRAUSAHAAN LESTARI

netral yang berpretensi tidak punya urusan apa pun. Hemat saya,
teologi publik dapat memainkan peran konstruktif, dengan terlebih
dulu belajar dari pengalaman para wirausahawan lestari memadukan
nilai-nilai profitabilitas, solidaritas, dan sustainabilitas.

Saran untuk Duta Wacana: Dari ERU ke SERU

Selama ini UKDW memakai slogan “entrepreneurial research university”


(ERU). Di Indonesia banyak perguruan tinggi senang memakai slogan
“entrepreneurial” barangkali mengikuti naiknya pamor entrepreneurs
sebagai gambaran orang yang sukses. Slogan “entrepreneurial university”
mau memberi kesan bahwa perguruan tinggi yang bersangkutan
mencetak orang-orang yang kreatif, suka bekerja keras, dan solutif,
bukan birokrat yang berprinsip “kalau bisa dipersulit mengapa
dipermudah.” Perguruan tinggi yang entrepreneurial menjanjikan
lulusannya akan mengurangi pengangguran, karena entrepreneurs
bukan pencari kerja, melainkan pencipta lapangan kerja. Yang tidak
tampak dalam ERU adalah komitmen etis dan spiritual yang seharusnya
menjadi karakter UKDW seperti diungkapkan dalam “nilai-nilai
UKDW.” Padahal di UKDW selama ini kepedulian terhadap lingkungan
sudah menjadi tema banyak kegiatan dan mendapat sorotan khusus
di beberapa fakultas. Dalam kaitan ini, saya kira label ERU perlu
dilengkapi dengan aspek “sustainable” menjadi “SERU.” Seperti sudah
saya jelaskan di atas, “sustainability” mengandung baik dimensi etis
maupun spiritual. Saya usulkan “SERU” menjadi ciri dan harapan
UKDW, bukan hanya dalam hal prestasi lulusan dan kualitas akademik,
tetapi juga dalam hal karakter insan UKDW sebagai utusan dari Firman
yang menciptakan dan menyelamatkan langit dan bumi serta segala
isinya. UKDW, Sustainable Entrepreneurial Research University (SERU)!

59
PROFITABILITY, SOLIDARITY, SUSTAINABILITY: KAJIAN TEOLOGI PUBLIK TENTANG KEWIRAUSAHAAN LESTARI

Bibliografi

Aarde, Andries van. “What Is ‘Theology’ in ‘Public Theology’ and What


Is ‘Public’ about ‘Public Theology’?” HTS Theological Studies
64, no. 3 (September 2008): 1213–34.
Adi, Suwarto. “Kewirausahaan dan Panggilan Kristen: Sebuah
Pendekatan Interpretatif-Dialogis, Sosio-Historis dan Teologis.”
Kurios (Jurnal Teologi dan Pendidikan Agama Kristen) 6, no. 1
(April 29, 2020): 18–34. https://doi.org/10.30995/kur.v6i1.123.
����� . “Religious Entrepreneurship: Christianity and Social
Transformation in Contemporary Indonesia.” Exchange 46 (October
26, 2017): 328–49. https://doi.org/10.1163/1572543X-12341455.
Appleby, R. Scott, and Theodore M. Hesburgh. The Ambivalence of the
Sacred: Religion, Violence, and Reconciliation. Lanham, MD:
Rowman & Littlefield Publishers, 1999.
Arana, Pedro. “Towards a Biblical Public Theology.” Journal of Latin
American Theology 11, no. 2 (2016): 35–60.
Baker, Bruce. “Entrepreneurship as a Sign of Common Grace.”
Journal of Markets & Morality 18, no. 1 (July 15, 2015). https://
www.marketsandmorality.com/index.php/mandm/article/
view/1059.
Boomgaard, Peter. Southeast Asia: An Environmental History. Edited by
Mark R. Stoll. 1st edition. Santa Barbara, Calif: ABC-CLIO, 2006.
Bouckaert, L., and L. Zsolnai, eds. The Palgrave Handbook of Spirituality
and Business. Palgrave Macmillan UK, 2011. https://doi.
org/10.1057/9780230321458.

60
PROFITABILITY, SOLIDARITY, SUSTAINABILITY: KAJIAN TEOLOGI PUBLIK TENTANG KEWIRAUSAHAAN LESTARI

Bratton, Susan Power. “Eco-Dimensionality as a Religious Foundation


for Sustainability.” Sustainability 10, no. 4 (April 2018): 1021.
https://doi.org/10.3390/su10041021.
Callicot, J. Baird. “The Historical Roots of Environmental Philosophy.”
In Religion and Ecological Crisis, edited by Todd LeVasseur and
Anna Peterson. Routledge, 2017.
Chapple, Christopher Key. “Lynn White Jr. and India: Romance?
Reality?” In Religion and Ecological Crisis, edited by Todd
LeVasseur and Anna Peterson, 110, 2017.
Cobb, John B. Jr. Is It Too Late?: A Theology of Ecology. Fortress Press,
2021.
Darragh, Neil. “Doing Theology in Public: An Engagement
with Economic Rationalism.” International Journal of
Public Theology 4, no. 4 (2010): 391–409. https://doi.
org/10.1163/156973210X526373.
Dodd, Sarah Drakopoulou, and George Gotsis. “The Interrelationships
between Entrepreneurship and Religion.” The International
Journal of Entrepreneurship and Innovation 8, no. 2 (May 1,
2007): 93–104. https://doi.org/10.5367/000000007780808066.
Elverskog, Johan. The Buddha’s Footprint: An Environmental History
of Asia. Illustrated edition. Philadelphia: University of
Pennsylvania Press, 2020.
Forrester, Duncan B. “The Scope of Public Theology.” Studies in
Christian Ethics 17, no. 2 (August 1, 2004): 5–19. https://doi.
org/10.1177/095394680401700209.
Graham, Elaine. Between a Rock and a Hard Place: Public Theology in
a Post-Secular Age. London: SCM Press, 2013.

61
PROFITABILITY, SOLIDARITY, SUSTAINABILITY: KAJIAN TEOLOGI PUBLIK TENTANG KEWIRAUSAHAAN LESTARI

����� . “Showing and Telling: The Practice of Public Theology Today.”


Practical Theology 9, no. 2 (April 2, 2016): 145–56. https://doi.or
g/10.1080/1756073X.2016.1157663.
Hart, John. Sacramental Commons: Christian Ecological Ethics. 0 edition.
Lanham, Md: Rowman & Littlefield Publishers, 2006.
Jones, Geoffrey. Profits and Sustainability: A History of Green
Entrepreneurship. Illustrated edition. OUP Oxford, 2017.
Lenox, Michael, and Aaron Chatterji. Can Business Save the Earth?:
Innovating Our Way to Sustainability. 1st edition. Stanford,
California: Stanford Business Books, 2018.
Lotfi, Maryam, Akram Yousefi, and Soheil Jafari. “The Effect of Emerging
Green Market on Green Entrepreneurship and Sustainable
Development in Knowledge-Based Companies.” Sustainability
10, no. 7 (July 2018): 2308. https://doi.org/10.3390/su10072308.
Mastra-ten Veen, Made Gunaraksawati. “Teologi Kewirausahaan:
Konsep dan Praktik Bisnis Gereja Kristen Protestan di Bali.”
Yogyakarta: Yayasan Taman Pustaka Kristen Indonesia, 2009.
Mathewes, Charles T. Theology of Public Life. 1st edition. Cambridge:
Cambridge University Press, 2008.
McCarraher, Eugene. The Enchantments of Mammon: How Capitalism
Became the Religion of Modernity. Harvard University Press,
2019. https://www.degruyter.com/hup/view/title/568670.
McCarroll, Pamela R. “Listening for the Cries of the Earth: Practical
Theology in the Anthropocene.” International Journal of
Practical Theology 24, no. 1 (March 20, 2020): 29–46. https://
doi.org/10.1515/ijpt-2019-0013.
Natar, Asnath Niwa. “Penciptaan dalam Perspektif Sumba: Suatu Upaya

62
PROFITABILITY, SOLIDARITY, SUSTAINABILITY: KAJIAN TEOLOGI PUBLIK TENTANG KEWIRAUSAHAAN LESTARI

Berteologi Ekologi Kontekstual.” Gema Teologika: Jurnal Teologi


Kontekstual dan Filsafat Keilahian 4, no. 1 (April 24, 2019):
101–20. https://doi.org/10.21460/gema.2019.41.428.
Northcott, Michael S. “Lynn White Jr. Right and Wrong: The Anti-
Ecological Character of Latin Christianity and the Pro-
Ecological Turn of Protestantism.” In Religion and Ecological
Crisis, edited by Todd LeVasseur and Anna Peterson. Routledge,
2017.
����� . “Reformed Protestantism and the Origins of Modern
Environmentalism.” Philosophia Reformata 83, no. 1 (May 19,
2018): 19–33. https://doi.org/10.1163/23528230-08301003.
Racelis, Aliza. “Sustainable Entrepreneurship in Asia.” Journal of
Management for Global Sustainability 2 (August 1, 2014): 1–24.
https://doi.org/10.13185/JM2014.02102.
Raco, Jozef Richard, Johanis Ohoitimur, Yulius Raton, and Ronald
Rachmadi. “Spirituality as a Driving Force to Entrepreneurship.”
Jurnal Ledalero 18, no. 2 (December 17, 2019): 223–44. https://
doi.org/10.31385/jl.v18i2.167.223-244.
Rashid, Sumayya, and Vanessa Ratten. “Spirituality and Entrepreneurship:
Integration of Spiritual Beliefs in an Entrepreneurial Journey.”
Journal of Enterprising Communities: People and Places in the
Global Economy ahead-of-print, no. ahead-of-print (January 1,
2021). https://doi.org/10.1108/JEC-12-2020-0199.
Ratri, Rahma Frida, and Murdiyati Dewi. “The Effect of Financial
Performance and Environmental Performance on Firm Value
with Islamic Social Reporting (ISR) Disclosure as Intervening
Variable in Companies Listed at Jakarta Islamic Index (JII).”

63
PROFITABILITY, SOLIDARITY, SUSTAINABILITY: KAJIAN TEOLOGI PUBLIK TENTANG KEWIRAUSAHAAN LESTARI

Accessed September 15, 2021. https://cyberleninka.org/


article/n/1487277/viewer.
Santini, Cristina. The Good Entrepreneur: Mapping the Role of
Entrepreneurship in Society. 1st ed. 2021 edition. Palgrave
Macmillan, 2020.
Schaper, Michael, ed. Making Ecopreneurs: Developing Sustainable
Entrepreneurship. 2nd edition. Farnham, England; Burlington,
VT: Routledge, 2010.
Sedgwick, Peter. The Enterprise Culture. London: SPCK Publishing,
1992.
Singgih, Emanuel Gerrit. “Agama dan Kerusakan Ekologi:
Mempertimbangkan ‘Tesis White’ dalam Konteks Indonesia.”
Gema Teologika: Jurnal Teologi Kontekstual Dan Filsafat
Keilahian 5, no. 2 (October 27, 2020): 113–36. https://doi.
org/10.21460/gema.2020.52.614.
����� . Pengantar Teologi Ekologi. Yogyakarta: Kanisius, 2021.
Sirico, Robert A. “The Entrepreneurial Vocation.” Journal of Markets
& Morality 3, no. 1 (2000): 1–21.
Smith, Graeme. “A Popular Public Theology.” Political Theology 16, no.
1 (January 1, 2015): 20–32. https://doi.org/10.1179/1462317X
14Z.000000000127.
Storrar, William. “The Naming of Parts: Doing Public Theology in a Global
Era.” International Journal of Public Theology 5, no. 1 (March
17, 2011): 23–43. https://doi.org/10.1163/156973211X543724.
Taylor, Bron. “Rebels Against the Anthropocene? Ideology, Spirituality,
Popular Culture, and Human Domination of the World within
the Disney Empire.” Journal for the Study of Religion, Nature

64
PROFITABILITY, SOLIDARITY, SUSTAINABILITY: KAJIAN TEOLOGI PUBLIK TENTANG KEWIRAUSAHAAN LESTARI

and Culture 13, no. 4 (2019): 414–54. https://doi.org/10.1558/


jsrnc.39044.
Tsalampuni, Ekaterini. “Dealing with Eco-Justice from the Perspective
of the Orthodox Tradition: Challenges and Dilemmas.” In
Eco-Theology, Climate Justice and Food Security: Theological
Education and Christian Leadership Development, edited by
Dietrich Werner and Elisabeth Jeglitzka. Global 14. Geneva:
Globethics.net, 2016.
Weidinger, Christina, Franz Fischler, and René Schmidpeter, eds.
Sustainable Entrepreneurship: Business Success through
Sustainability. CSR, Sustainability, Ethics & Governance. Berlin
Heidelberg: Springer-Verlag, 2014. https://doi.org/10.1007/978-
3-642-38753-1.
Whitney, Elspeth. “Lynn White Jr.’s ‘The Historical Roots of Our
Ecologic Crisis’ After 50 Years.” History Compass 13, no. 8
(2015): 396–410. https://doi.org/10.1111/HIC3.12254.
Wibowo, Andi Prasetiyo. “Arsitektur, Material Bangunan, Dan
Keharmonisan Kehidupan.” Koridor: Jurnal Arsitektur Dan
Perkotaan 09, no. 1 (January 2018): 9–15.
Wijaya, Yahya. “God of the Small: Engaging Public Theology in Small
Business.” International Journal of Public Theology 15, no. 2
(July 13, 2021): 197–215. https://doi.org/10.1163/15697320-
12341654.
Wijngaards, Aloys, Toine van den Hoogen, and Jan Peil. “On the
Conversation between Theologians and Economists: A
Contribution to Public Theology.” International Journal
of Public Theology 5, no. 2 (2011): 127–42. https://doi.
org/10.1163/156973211X562732.

65
PROFITABILITY, SOLIDARITY, SUSTAINABILITY: KAJIAN TEOLOGI PUBLIK TENTANG KEWIRAUSAHAAN LESTARI

Websites

https://gbkp.or.id/visi-misi/, diakses 22 September 2021.


https://majalah.tempo.co/read/bahasa/132233/lestari-dan-
berkelanjutan, diakses 24 September 2021.
https://theculturetrip.com/asia/indonesia/articles/the-10-best-
ecotourism-experiences-in-indonesias-islands/, diakses 01
Oktober 2021.
https://w w w.faceb o ok.com/pages/Tanasurga%20Organic/
642067426173794/, diakses 17 September 2021.
http://www.herinst.org/envcontext/sustain/summit/obstacles/news/
news29.html, diakses 13 September 2021.
https://www.idx.co.id/en-us/products/index/, diakses 16 September
2021.
https://www.mymagz.net/little-garden-menikmati-kuliner-sehat-
bebas-kimia-ala-little-garden/ diakses 17 September 2021
https://www.republika.co.id/berita/qpozje349/sandi-ri-kini-
pindah-dari-pariwisata-massal-ke-ecotourism, diakses 11
Oktober 2021.
https://www.yunussb.com/entrepreneurs, diakses 06 September 2021.

66
PROFITABILITY, SOLIDARITY, SUSTAINABILITY: KAJIAN TEOLOGI PUBLIK TENTANG KEWIRAUSAHAAN LESTARI

Ucapan Terima Kasih

Banyak orang telah berjasa dalam pengurusan jabatan fungsional


Profesor yang telah saya peroleh dari Kementerian Pendidikan,
Kebudayaan, Riset, dan Teknologi. Terima kasih sebesar-besarnya saya
sampaikan kepada:

1. Pdt. Robert Setio, Ph.D., dekan Fakultas Teologi dan mantan


Wakil Rektor yang mengurusi SDM;
2. Sdr. Reonal Regen beserta kolega-koleganya di PSDM UKDW;
3. Sdr. Jumadi, staf administrasi jafung Fakultas Teologi, beserta
segenap PPA Fakultas Teologi;
4. Para reviewers karya ilmiah saya: Pdt. Prof. Samuel B. Hakh
(STFT Jakarta), Rm. Prof. F.X. E. Armada Riyanto, CM (STF
Widya Sasana, Malang), dan Pdt. Prof. John Titaley (Universitas
Kristen Indonesia Maluku);
5. Kepala dan staf urusan jafung LLDikti V Yogyakarta;
6. Rektorat, Senat Universitas, dan Senat Fakultas Teologi UKDW;
7. Panitia Dies Natalis Ke-59 Duta Wacana;
8. Pihak-pihak lain yang telah berkontribusi secara langsung
maupun tidak langsung.

Kiranya Tuhan memberi kemampuan dan kesehatan kepada


saya untuk melaksanakan tugas selanjutnya.

67
PROFITABILITY, SOLIDARITY, SUSTAINABILITY: KAJIAN TEOLOGI PUBLIK TENTANG KEWIRAUSAHAAN LESTARI

PROFIL YAhYA WIjAYA

• Lahir pada tanggal 12 Mei 1955 di Sidareja, Cilacap.


• Pernah bekerja di bidang pemasaran farmasi di Lampung (Mecosin)
dan Jakarta (Bristol-Myers dan Sanbe Farma), sebelum masuk ke
sekolah teologi pada usia 29 tahun atas restu Pdt M.A. Christian
dan rekomendasi Majelis GKI Kebayoran Baru.
• Setelah lulus dari Fakultas Th eologia UKDW pada tahun 1989, ia
menjalani masa perkenalan selama 3 bulan di GKI Ngupasan, tetapi
kemudian pindah ke GKI Salatiga atas permintaan pendetanya,
Pdt. Th
e Khoen Bik, sebelum meninggal karena kecelakaan di
USA. Ia ditahbiskan sebagai pendeta pada tanggal 20 September
1991 di GKI Salatiga dalam kebaktian penahbisan yang dipimpin
oleh Pdt. Iman Santoso selaku pendeta konsulen. Pada 23 Mei 2021
dinyatakan sebagai “Pendeta Emeritus” oleh BPMS GKI dalam
kebaktian minggu hari Pentakosta yang dipimpin oleh Ketua Umum
Sinode GKI, Pdt. Handi Hadiwitanto, Ph.D.

68
PROFITABILITY, SOLIDARITY, SUSTAINABILITY: KAJIAN TEOLOGI PUBLIK TENTANG KEWIRAUSAHAAN LESTARI

• Sejak 1 Juni 2002 bekerja sebagai dosen tetap pada Fakultas Teologi
Universitas Kristen Duta Wacana (UKDW), diutus oleh GKI Sinode
Wilayah Jawa Tengah dengan status Pendeta Tugas Khusus (sampai
Mei 2021).
• Jabatan akademik fungsional yang diperoleh selama menjadi dosen
tetap:
✓ Lektor [assistant professor] (2004);
✓ Lektor Kepala [associate professor] (2012);
✓ Profesor [professor] (2021).
• Tugas-tugas yang dilakukan sebagai dosen, antara lain:
✓ Mengajar mata kuliah: Teologi Ekonomi dan Etika Bisnis, Etika
Profesi Pendeta, Teologi dan Budaya Populer, Teologi Publik,
Teologi Kerja, dan Etika Kepemimpinan Kristen;
✓ Anggota Majelis Konsorsium Indonesian Consortium for
Religious Studies (ICRS);
✓ Editor-in-chief Gema Teologika: Jurnal Teologi Kontekstual dan
Filsafat Keilahian;
✓ Ketua Program Doktor pada Fakultas Teologi UKDW.

Pendidikan
✓ SD & SMP Kristen Sidareja;
✓ SMA Negeri Telukbetung, Lampung;
✓ S.Th. (1989) Universitas Kristen Duta Wacana;
✓ Th.M. (1996) Princeton Theological Seminary;
✓ Ph.D. (2001) the University of Leeds.

69
PROFITABILITY, SOLIDARITY, SUSTAINABILITY: KAJIAN TEOLOGI PUBLIK TENTANG KEWIRAUSAHAAN LESTARI

Publikasi

Artikel dalam Jurnal Ilmiah


✓ “Teologi Ekonomik Kontekstual sebagai Respon terhadap
Konsumerisme,” Jurnal Filsafat dan Teologi Orientasi Baru
(2007);
✓ “Membangun Teologi Etnisitas yang Inklusif,” Gema Teologi,
31 (1) (2007);
✓ “Church-State-Market Relations,” Asia Journal of Theology
(2007), terindeks ATLA;
✓ “Economic Globalization and Asian Contextual Theology,”
Theological Studies, 69 (2008), terindeks SCOPUS Q1;
✓ “The Prospect of Familism in the Global Era,” Journal of Business
Ethics, 79 (3) (2008), terindeks SCOPUS Q1;
✓ “Relevansi Etika Calvin bagi Konteks Indonesia Abad 21:
Sebuah Kontribusi dalam Rangka Peringatan 500 Tahun
Calvin,” Gema Teologi (2009);
✓ “Constructing an Anti-Corruption Theology,” Exchange:
International Journal of Missiological and Ecumenical Studies,
43 (3) (2014), terindeks SCOPUS Q2;
✓ “Doktrin Trinitas dalam diskursus teologi ekonomik,” Diskursus:
Jurnal Filsafat dan Teologi, 125 (1) (2016), terakreditasi Dikti B;
✓ “Placing Business Ethics in Contextual Theological Education,”
International Journal of Public Theology, 11 (1) (2017), terindeks
SCOPUS Q1;
✓ “Kepemimpinan Yesus sebagai Acuan bagi Kepemimpinan
Gereja Masa Kini,” Jurnal Jaffray, 16 (2) (2018), terakreditasi
Sinta-2;

70
PROFITABILITY, SOLIDARITY, SUSTAINABILITY: KAJIAN TEOLOGI PUBLIK TENTANG KEWIRAUSAHAAN LESTARI

✓ “Broken Church for Broken Couples: How the Divided


Church Should Take Care of Divorced Persons,” Asia Journal
of Theology, 33 (1), (2019), terindeks ATLA;
✓ “Engaging Public Theology in Small Business,” International
Journal of Public Theology, 15 (2) (2021), terindeks SCOPUS
Q2 (2020);
✓ “Sabbath, Nyepi, and the Pandemic: The Relevance of Religious
Traditions of Self-Restraint for Living with the New Normal,”
Studies in Christian Ethics, online-first edition July 2021 open
access, regular issue 34 (4) forthcoming (2021), terindeks
SCOPUS Q2 (2020);
✓ “Revisiting the Gospel Healing Narrative in the Situation of
Covid-19 Pandemic,” Theology, Today accepted for forthcoming
edition (2021/2022), terindeks SCOPUS Q2 (2020).

Buku
✓ Iman atau Fanatisme?, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1997;
✓ Business, Family and Religion: Public Theology in the Context
of the Chinese-Indonesian Business Community, Oxford/Bern:
Peter Lang, 2002;
✓ Kemarahan, Keramahan dan Kemurahan Allah: Teologi
Sederhana tentang Allah dan Budaya Masyarakat Kita, Jakarta:
BPK Gunung Mulia, 2008;
✓ Kesalehan Pasar: Kajian Teologis terhadap Isu-isu Ekonomi dan
Bisnis di Indonesia, Jakarta: Grafika KreasIndo, 2010;
✓ Tertarik kepada Tuhan yang Tidak Menarik, Jakarta: Grafika
KreasIndo, 2017.

71
PROFITABILITY, SOLIDARITY, SUSTAINABILITY: KAJIAN TEOLOGI PUBLIK TENTANG KEWIRAUSAHAAN LESTARI

Bab dalam Buku


✓ “Theological Leadership in Christian-Muslim Encounter,”
dalam Responsible Leadership: Global and Contextual Ethical
Perspectives, eds. Christoph Stueckelberger & Jesse Mugambi,
Geneva: Globethics.net, 2007;
✓ “The Economic Ethics of Christian and Islamic Fundamentalism,”
dalam Overcoming Fundamentalism, eds. Heidi Hadsell &
Christoph Stueckelberger. Geneva: Globethics. net, 2009; 
✓ “Inter-Religious Studies: Reconciling Theology and Religious
Studies,” dalam Dealing with Diversity Religion, Globalization,
Violence, Gender and Disaster in Indonesia, ed. Bernard Adeney-
Risakotta, Geneva: Globethics.net, 2014;
✓ “Etika Kristiani,” dalam Meniti Kalam Kerukunan, eds. Nur
Kholis Setiawan & Djaka Soetapa, Jakarta: BPK Gunung Mulia,
2014;
✓ “Ethics of the Profession of Spiritual Figure: A Protestant
Perspective,” dalam Social Ethics in Inter-Religious Interaction,
eds. Nina Mariani Noor & Ferry Muhammadsyah Siregar,
Geneva: Globethics.net, 2015;
✓ “Apakah Keluarga?,” dalam Lajang? Nikah? Cerai? Nikah Lagi?:
Sebuah Alternatif Pembinaan, ed. Tabita Kartika Christiani,
Yogyakarta: Yayasan Taman Pustaka Kristen Indonesia, 2019;
✓ “Tidak Menikah, Baikkah?,” dalam Lajang? Nikah? Cerai?
Nikah Lagi?: Sebuah Alternatif Pembinaan, ed. Tabita Kartika
Christiani. Yogyakarta: Yayasan Taman Pustaka Kristen
Indonesia, 2019.

72

Anda mungkin juga menyukai