Anda di halaman 1dari 15

LAPORAN PENDAHULUAN PENYAKIT

ASITES

DISUSUN OLEH :
RIZNA RENWARIN 2720170020

FAKULTAS ILMU KESEHATAN


PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN
UNIVERSITAS ISLAM AS-SYAFI’IYAH
JAKARTA
2021

1
A. DEFINISI
Asites adalah penimbunan cairan secara abnormal di rongga peritoneum.
Pada dasarnya penimbunan cairan di peritoneum apat terjadi melalui 2
mekanisme dasar yakni transudasi (contoh: sirosis hati dan hipertensi) dan
eksudasi. (Sudoyo Aru, dkk. 2009: 29).

Asites adalah penimbunana cairan secara abnormal di rongga peritoneum,


asites dapat disebabakan oleh banyak penyakit. Pada dasarnya penimbunan
cairan di rongga peritoneum dapat terjadi melalui mekanisme dasar yakni
transudasi dan eksudasi, asites ada hubunganya dengan sirosis hati dan
hipertensi porta adalah salah satu contoh penimbunan cairan di rongga
peritoneum yang terjadi melalui mekanisme transudasi. (Ilmu Penyakit
Dalam).

Asites adalah penumpukan cairan patoligis dalam rongga abdominal, laki-laki


dewasa yang sehat tidak mempunyai atau terdapat sedikit cairan
intraperitorial, tetapi pada wanita terdapat sebanyak 20 ml tergantung pada
siklus menstruasi. (Silvia. A. Pirice, 2006).

Kesimpulan, asites adalah penumpukan cairan secara abnormal di rongga


peritoneum (rongga perut) yang dapat disebabkan oleh beberapa penyakit
seperti sirosis hati dan hipertensi.

B. ANATOMI FISIOLOGI

Abdomen adalah bagian tubuh yang berbentuk rongga terletak

diantara toraks dan pelvis. rongga ini berisi viscera dan dibungkus dinding

abdomen yang terbentuk dari dari otot abdomen, columna vertebralis, dan

tulang ilium. Untuk membantu menetapkan suatu lokasi di abdomen, yang

paling sering dipakai adalah pembagian abdomen oleh dua buah bidang

bayangan horizontal dan dua bidang bayangan vertikal. Bidang bayangan

2
tersebut membagi dinding anterior abdomen menjadi sembilan daerah

(regiones). Dua bidang diantaranya berjalan horizontal melalui setinggi

tulang rawan iga kesembilan, yang bawah setinggi bagian atas crista iliaca

dan dua bidang lainnya vertikal di kiri dan kanan tubuh yaitu dari tulang

rawan iga kedelapan hingga ke pertengahan ligamentum inguinale. Regio

abdomen tersebut adalah:

1) hypocondriaca dextra, 2) epigastrica, 3) hypocondriaca sinistra, 4)

lumbalis dextra, 5) umbilical, 6) lumbalis sinistra, 7) inguinalis dextra,

8) pubica/hipogastrica, 9) inguinalis sinistra (Gambar 1)

Gambar 1. Pembagian anatomi abdomen berdasarkan lokasi organ


yang ada di dalamnya (Griffith, 2003)

3
1. Hypocondriaca dextra meliputi organ : lobus kanan hati, kantung empedu,

sebagian duodenum fleksura hepatik kolon, sebagian ginjal kanan dan

kelenjar suprarenal kanan.

2. Epigastrica meliputi organ: pilorus gaster, duodenum, pankreas dan

sebagian dari hepar.

3. Hypocondriaca sinistra meliputi organ: gaster, limpa, bagian kaudal

pankreas, fleksura lienalis kolon, bagian proksimal ginjal kiri dan kelenjar

suprarenal kiri.

4. Lumbalis dextra meliputi organ: kolon ascenden, bagian distal ginjal

kanan, sebagian duodenum dan jejenum.

5. Umbilical meliputi organ: Omentum, mesenterium, bagian bawah

duodenum, jejenum dan ileum.

6. Lumbalis sinistra meliputi organ: kolon ascenden, bagian distal ginjal kiri,

sebagian jejenum dan ileum.

7. Inguinalis dextra meliputi organ: sekum, apendiks, bagian distal ileum dan

ureter kanan.

8. Pubica/Hipogastric meliputi organ: ileum, vesica urinaria dan uterus (pada


kehamilan).

9. Inguinalis sinistra meliputi organ: kolon sigmoid, ureter kiri dan ovarium
kiri.

Dengan mengetahui proyeksi organ intra-abdomen tersebut, dapat

memprediksi organ mana yang kemungkinan mengalami cedera jika dalam

pemeriksaan fisik ditemukan kelainan pada daerah atau regio tersebut (Griffith,

2003)

Untuk kepentingan klinis rongga abdomen dibagi menjadi tiga regio yaitu :

rongga peritoneum, rongga retroperitoneum dan rongga pelvis. rongga pelvis

4
sebenarnya terdiri dari bagian dari intraperitoneal dan sebagian retroperitoneal.

Rongga peritoneal dibagi menjadi dua yaitu bagian atas dan bawah rongga

peritoneal atas, yang ditutupi tulang tulang toraks, termasuk diafragma, liver,

lien, gaster dan kolon transversum. Area ini juga dinamakan sebagai komponen

torako-abdominal dari abdomen. Sedangkan rongga peritoneal bawah berisi

usus halus, sebagian kolon ascenden dan descenden, kolon sigmoid, caecum,

dan organ reproduksi pada wanita (Trauma, 2012)

Rongga retroperitoneal terdapat di abdomen bagian belakang, berisi aorta


abdominalis, vena cava inferior, sebagian besar duodenum, pancreas, ginjal, dan
ureter, permukaan paskaerior kolon ascenden dan descenden serta komponen
retroperitoneal dari rongga pelvis. Sedangkan rongga pelvis dikelilingi oleh
tulang pelvis yang pada dasarnya adalah bagian bawah dari rongga peritoneal
dan retroperitoneal. Berisi rektum, kandung kencing, pembuluh darah iliaka, dan
organ reproduksi interna pada wanita (Griffith, 2003)

C. MANIFESTASI KLINIS

Asites lanjut sangat mudah dikenali pada inspeksi, akan tampak perut

membuncit pada umumnya gizi kurang, otot atrofi dan pada bagian besar kasus

dapat dijumpai stigmata hati kronik. Pada saat pasien tidur terlentang,

pembesaran perut akan nampak mencolok kesamping kanan dan kiri seperti

perut kodok letak umbilikus tergeser kekaudal mendekati sismfisis pubis,

sering dijumpai hernia umbilikalis kiri tekanan intara abdomen yang meninggi

sedangkan otot- otot atrofi sehingga kekuatannya berkurang, tanda-tanda visis

lain menunjukkan adanya akumilasi cairan dalam rongga perut. Perut antara

lain : pekak samping (Flank dullness) pekak alih (shiffing dulness)

5
D. PATOFISIOLOGI

Penimbunan asites ditentukan oleh 2 faktur yang penting yakni faktor lokal dan
sistemik.
1. Faktor local
Bertanggung jawab terhadap penimbunan cairan dirongga perut, faktor lokal
yang penting adalah cairan sinusoid hati dan sistem kapiler pembuluh darah
usus.
2. Faktor sistemik
Bertanggung jawab terhadap perubahan-perubahan yang terjadi pada sistem
cardiovaskuler dan ginjal yang menimbun retensi air dan garam.

Faktor utama sebagai pencetus timbulnya retensi air dan garam oleh ginjal
adalah vasodilatasi arteri perifer mula- mula akan terjadi peningkatan
tahananan sistem porta dan diikuti terbentuknya pitas porta sistemik baik intra
maupun ektra hati apabila struktur perubahan parenkim semakin berlanjut,
pembentukan pintas juga semakin berlanjut, vasodilatasi juga akan menjadi
berat, sehingga tidak hanya sirkulasi splankrik,tetapi ditempat lain misalnya :
kulit otot dan paru. Vasodilatasi arteri feriver akan menyebabkan ketahanan
tahanan ferifer menurun tubuh akan menafsirkan seolah-olah menjadi penurun
volome efektif darah arteri reaksi yang dilakukan untuk melawan keadaan itu
adalah meningkatkan tonos saraf simpatik adrenergik.
Hasil akhirnya adalah aktivitas terhadap 3 sistem vasokonstriktor yakni
sistem renin-angiostensin, aldesteron, arginin vasopresin dan saraf simpatik
aktivasi sistem arginin vasopresin akan menyebabkan retensi air, sistem
aldesteron akan menyebabkan penurunan kecepatan filtrasi glomerulus dan
meningkatkan reapsorpsi garam pada tubulus progsimal, disamping itu sistem
vaskuler juga akan terpengaruh oleh aktivitasi ketiga vaso kontriktor tersebut.
Apabila terjadi sirosis hatisemakin berlambat, vasodilatasi arteri ferifer
akan menjadi semakin berat sehingga aktivitasi sistem neoru homoral akan
mampu menimbulkan asites. Disdamping itu, aktivasi sistem neurohumoral
yang terumenerus tetapi akan menimbulkan perubahan fungsi ginjal yang
semakin nyata sehingga terjadi sindrom heparorenal.

6
E. PATHWAY

Virus alcohol

Kerusakan pada liver

Penurunan kemampuan Tahanan alirab ke vena


pembentukan albumin meningkat

Penurunan serum albumin Tekanan hidrostatik


kapiler meningkat
Penurunan tekanan osmotic
koloid

Bendungan inflamasi nyeri Penumpukan cairan


di vena porta

Menekan hepar asites Sirkulasi volume


darah keseluruh
tubuh menurun

Penekanan diafragma Kelebihan volume cairan

Penyimpanan Ha+ dan


H2O meningkat

Peningkatan hormone Penurunan sirkulasi


aldosteron dan renin darah ke ginjal

↓ sirkulasi darah ke ginjal Penekanan ruang paru Resiko ketidakefektifan


perfusi ginjal

Resiko ketidakefektifan Ketidakefektifan pola


perfusi ginjal nafas

Sumber: Panduan Penyusunan Asuhan Keperawatan Profesional (Nanda NIC-


NOC), 2013.

7
F. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Foto thorax dan abdomen
1) Kenaikan diafragma dengan atau tanpa efusi pleura simphatetik
(hepatic hydrothorax) terlihat pada asites masif. Jika terdapat lebih
dari 500 ml cairan asites harus dilakukan pemeriksaan BNO.

2) Tanda-tanda beberapa tanda asites nonspesifik seperti gambar


abdomen buram, penonjolan panggul, batas PSOAS kabur, ketajaman
gambar intraabdomen berkurang. Peningkatan kepadatan pada foto
tegak, terpisahnya gambar lengkung usus halus, dan terkumpulnya gas
di usus halus.

3) Tanda-tanda berikut lebih spesifik dan dapat dipercaya. Pada 80%


pasien asites, tepi lateral hati diganti oleh dinding thorax abdomen
(Hellmer sign).

Obliterasi sudut hepatik terlihat pada 80% orang sehat. Pada pelvic
penumpukan cairan pada kantung rektovesika dan dapat meluap ke fossa
paravesika. Adanya cairan memberikan gambaran kepadatan yang simetris
pada kedua sisi kantung vesika urinaria yang di sebut ”dog’s ear” atau
”mickey mouse” appearance.

Pergeseran sekum dan kolon ascenden kearah tengah dan pergeseran, dan
pergeseran garis lemak properitoneal kelateral terlihat pada 90% dengan
asites yang signifikan.

USG

1) Real-time sonografi adalah pemeriksaan cairan asites yang paling


mudah dan spesifik. Volume sebesar 5-10 ml dapat dapat terlihat.
Asites yang sederhana terlihat sepertigambar yang homogen, mudah
berpindah, anechoic di dalam rongga peritoneal yang akan

8
menyebabkan terjadinya peningkatan akustik. Cairan  asites tidak
akan menggeser organ, tetapi cairan akan berada diantara organ-organ
tersebut. Akan terlihat jelas batas organ, dan terbentuk sudut pada
perbatasan antara cairan dan organ-organ tersebut. Jumlah cairan
minimal akan terkumpul pada kantung morison dan mengelilingi hsti
membentuk gsmbar karakteristik polisiklik, ”lollipop” atau arcuate
appearance di karenakan cairan tersebut tersusn secara vertikal pada
sisi mesenterium.

2) Gambar sonographic tertentu menunjukan adanya asites yang


terinfeksi, inflamasi, atau adanya keganasan. Gambar tersebut
meliputi echoes internal kasar (darah), echoes internal halus (chyle),
septal multiple (peritonitis tuberkulosa, pseudomyxoma, peritonei),
distribusi cairan terlokalisir atau atipik, gumpalan lengkung usus, dan
penebalan batas antara cairan dan organ yang berdekatan.

3) Pada asites maligna lengkung usus tidak dapat mengapung secara


bebas, tetapi tertambat pada dinding posterior abdomen, melekat pada
hati atau oargan lainnya atau lengkung usus tersebut dikelilingi oleh
cairan yang terlokalisir.

4) Kebanyakan pasien (95%) dengan  keganasan peritonotis mempunyai


ketebalan dinding empedu kurang dari 3mm. Penebalan kantung
empedu berhubungan dengan asites jinak pada 82 % kasus. Penebalan
kantung empedu secara umum akibat sirosis dan HT portal.

CT-Scan

Asites terlihat jelas dengan pemeriksaan CT-Scan. Sedikit cairan asites


terdapat pada ruang periheoatik kanan, ruang subhepatik posterior
(kantung morison), dan kantung douglas. Bebarapa gambar pada CT-Scan
menunjukkan adanya neoplasia, hepatik, adrenal, splenik, atau lesi 

9
kelenjar limfe berhubungan dengan adanya massa yang berasal dari usus,
ovarium, atau pankreas, yang menunjukkan adanya asites maligna.

Pada pasien dengan asites maligna kumpulan cairan terdapat pada ruang
yang lebih besar dan lebih kecil, sementara pada pasien dengan asites
benign cairan terutama terdapat pada ruang yang lebih besar dan tidak
pada bursa omental yang lebih kecil.

G. PEMERIKSAAN LAIN
1) Laparoskopi dilakukan jika terdapat asites maligna. Pemeriksaan ini
penting untuk mendiagnosa adanya mesothelioma maligna.

2) Parasentesis abdomen

Parasentesis abdomen adalah pemeriksaan yang paling cepat dan


efektif untuk mendiagnosa penyebab asites. Parasentesis terapetik
dilakukan untuk asites masif atau sulit disembuhkan. Pengeluaran 5
liter cairan merupakan parasentesis dalam jumlah besar. Parasentesis
total, atau pengeluaran semua cairan asites (di atas 20 liter) dapat di
lakukan secara aman. Penelitian terakhir menunjukkan bahwa
pemberian albumin 5 g/l pada parasentesis diatas 5 liter dapat
menurukan komplikasi parasentesis seperti gangguan keseimbangan
elektrolit dan peningkatan serum kreatinin akibat pertukaran cairan
intravaskuler.

3) Transjugular intrahepatik portacaval shunt (TIPS)

Metode ini dilakukan dengan cara memasang paracarval shunt dari


sisi kesisi melalui radiologis dibawah anestesi lokal. Metode ini sering
digunakan untuk asites yang berulang.

10
DERAJAT

Secara Semikuantitatif

a. Derajat 1+ terdeteksi hanya pada pemeriksaan yang secara seksama.


b. Derajat 2+ dapat mudah terlihat tetapi dengan volume relatif sedikit.
c. Derajat 3+ asites jelas tetapi belum masif.
d. Derajat 4+ asites masif.

H. PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan Asites :
1. Istirat dan diet rendah garam. Dengan istirahan dan diet rendah garam
(200-500mg perhari), kadang-kadang asites dan edema telah dapat
diatasi. Adakalanya harus dibantu dengan membatasi jumlah
pemasukan cairan selama 24 jam , hanya sampai 1 liter atau kurang.
2. Bila dengan istirat dan diet tidak dapat diatasi, diberikan pengobatan
diuretik berupa spironolakton 50-100 mg/hari (awal) dan dapat
ditingkatkan sampai 300 mg/hari bila setelah 3-4 hari tidak dapat
perubahan.
3. Bila terjadi asites reflakter (asites yang tidak dapat dokendalikan
dengan terafi medikamentosa yang intensif). Dilakukan terapi para
sintesis. Walau pun merupakan cara pengobatan asites yang tergolong
kono dan setempat ditinggalkan karena berbagai komplikasinya,
parasintesis banyak kembali dicoba untuk digunakan. Pada umumnya
parasentisis aman apabila disertai dengan infus albumin sebanyak 6-8 g
untuk setiap liter cairan asites. Selain albumin dapat pula digunakan
dekstran 70%. Walau pun demikian untuk mencegah pembentukan
asites setelah parasintase, pengaturan diet rendah garam dan diuretik
biasanya tetap diterlukan.
4. Pengendalian cairan asites. Diharapkan terjadi penurunan berat badan 1
kg/2 hari/keseimbangan cairan negatif 600-800 ml/hari. Hati-hati bila

11
cairan terlalu banyak dikeluarkan dalam suatu saat,dapat mencetuskan
ensefalopati hepatik.

I. TEORI DASAR ASUHAN KEPERAWATAN


1. Assisment keperawatan
a. Identitas
Umur, nama, jenis kelamin, alamat, pekerjaan
b. Riwayat kesehatan
1) Keluhan utama : sulit untuk bernapas (sesak) dan sulit
beraktivitas
2) Penyakit sekarang : bagian perut membesar, mual, muntah,
sesak napas, sulit beraktivitas, lemah, nyeri
3) Penyakit dahulu : pernah ada menderita penyakit yang sama
4) Penyakit keluarga : adanya angota keluarga yang pernah
mengalami penyakit yang sama
c. Pemeriksaan fisik
1) System pernapasan : sesak, epistaksia, napas dangkal,
pergerakan dinding dada, perkusi, auskultasi suara napas, nyeri
dada
2) System kardiovaskuler : terjadi kegagalan sirkulasi, nadi
bias cepat/lambat, penurunan tekanan darah
3) System integument : kulit tampak ikterik, tugor kulit
kembali >3 detik, kulit teraba agak kering, kulit diperut
menjadi kelihatan agak tipis
4) System perkemihan : produksi urine bias menurun,
kadang-kadang bias kurang dari 30 ͨ ͨ/jam
J. DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Perubahan volume cairan (kelebihan) berhubungan dengan natrium
dan intake cairan yang tidak adekuat
2. Resiko tinggi pola napas tidak efektif berhubungan dengan asites

12
3. Resiko tinggi terhadap kerusakan integritas kulit berhubungan dengan
tugor kulit yang kurang baik dan asites

F. INTERVENSI KEPERAWATAN
1. Perubahan volume cairan (kelebihan) berhubungan dengan natrium
dan intake cairan yang tidak adekuat
a. tujuan : setelah dilakukan tindakan keperawatan dalam waktu 3x8
jam dinas masalah volume cairan (kelebihan) dapat teratasi
b. criteria : asites di perut berkurang
lingkar perut menjadi normal
intake dan output berimbang
c. intervensi :
1) kaji intake dan output cairan tiap hari
R : mengevaluasi intake dan output sudah berimbang
2) observasi lingkar perut tiap hari
R : mengevaluasi ukuran asites perut klien
3) berikan diet yang rendah garam
R : natrium dapat berubah menjadi cairan
4) jelaskan alasannya harus diberi diet rendah garam
R : biar klien tau alasan dari diberikannya diet rendah garam
5) kolaborasi dalam pemberian obat diuretic
R : mengurangi edema dan asites
2. Resiko tinggi pola napas tidak efektif berhubungan dengan asites
a. tujuan : setelah dilakukan tindakan keperawatan dalam waktu 3x8
jam dinas masalah resiko tinggi pola napas tidak efektif dapat
teratasi
b. kriteria : respirasi : 18-20 x/menit
tanda-tanda sesak napas tidak ada
TTV normal
c. intervensi :
1) kaji pola napas klien

13
R : mengevaluasi pola napas yang tidak efektif
2) observasi TTV
R : mengevaluasi respirasi klien cepat/lambat
3) auskultasi suara napas dan jantung
R : mengetahui suara napas dan jantung
4) latih teknik napas dalam
R : mengurangi rasa sesak
5) kolaborasi dengan tim kesehatan lain dalam pemberian O2
R : apabila klien makin sesak kita dapat mengetahui tindakan
keperawatan selanjutnya
3. Resiko tinggi terhadap kerusakan integritas kulit berhubungan dengan
tugor kulit yang kurang baik dan asites
a. tujuan : setelah dilakukan tindakan keperawatan dalam waktu 3x8
jam dinas masalah resiko tinggi terhadap kerusakan integritas kulit
belum terjadi
b. kriteria : tugor kulit baik
lingkar perut normal
tidak ada tanda-tanda kerusakan integritas kulit
c. intervensi :
1) kaji keadaan kulit klien
R : mengevaluasi ada tanda-tanda kerusakan integritas kulit
2) observasi keadaan asites klien
R : asites diperut semakin besar akan merusak integritas kulit
3) tinggikan ekstrimitas bagian bawah
R : mengurangi edema pada bagian ekstrimitas bawah
4) beri tahu klien untuk mika miki
R : biar tidak terjadi kerusakan integritas kulit
5) kolaborasi dengan tim kesehatan lain
R : memudahkan tindakan keperwatan selanjutnya

14
DAFTAR PUSTAKA

Giner P. dkk, currents concepts : managemen of cirhasis and asites : 2004

Muhin, H. 2008. Panduan ilmu penyakit dalam. Jakarta : EGC

Nanda nic-noc. 2009. Panduan asuhan keperawatan. Jakarta : EGC

Doenges, Marilynn E. 2010. Rencana Asuhan Keperawatan . Jakarta : EGC

Mansjoer, Arif. 2010. Kapita Selekta Kedokteran. Edisi ke III. Jilid Ke 2. FKUI :
Media Aesculapius.

Sloane, Ethel. 2013. Anatomi dan Fisiologi untuk Pemula. Jakarta : EGC

Smeltzer, Suzanne C. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner &
Suddarth.Jakarta : EGC.

Wong, Donna L. 2013. Pedoman Klinis Keperawatan Pediatrik.

Jakarta : EGC Rudolf. 2016. Buku Ajar Pediatrik. Jakarta : EGC

Hasan, Rupseno. 2015. Ilmu Kesehatan Anak. Jakarta : FKUI

15

Anda mungkin juga menyukai