Anda di halaman 1dari 31

LAPORAN TUTORIAL

BATUK& SESAK PADA ANAK


SKENARIO 2

OLEH :
KELOMPOK 4
1. Septiana Waraningsih ( 09402011005 )
2. Nurhasanah ( 09402011009 )
3. Rohid S. Arahman ( 09402011013 )
4. Alvian Rachman Santosa ( 09402011018 )
5. Nur Widya Tiala ( 09402011027 )
6. Amalia Sumayah Ammarie ( 09402011038 )
7. Andi Muh. Kelvin Irvandi ( 09402011044 )
8. Nazla Fajriyah Albaar ( 09402011045 )
9. Mutmainnah Dj. Mandar ( 09402011050 )
10.Zafira Umasangaji ( 09402011051 )

BLOK SISTEM RESPIRASI

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS KHAIRUN

TERNATE

2021
KASUS

Skenario 2

Seorang anak perempuan 10 tahun dibawa ke IGD Chasan Boesoirie dengan


keluhan sesak napas disertai bunyi mengi yang dialami saat pasien bermain di
sekolah bersama temannya. Pasien sering mengalami keluhan yang sama
sebelumnya, terutama jika terpapar debu yang berlebihan.

Pada pemeriksaan fisik didapatkan nadi 100 kali/menit, pernapasan 32


kali/menit, suhu 37°C. Pemeriksaan toraks tampak penggunaan otot-otot bantu
pernapasan, ekspirasi memanjang dengan suara wheezing.

1. KLASIFIKASI KATA SULIT !


- Wheezing

2. TENTUKAN KALIMAT KUNCI !


Kalimat – kalimat kunci yang kami temukan :
 Anak perempuan usia 10 tahun.
 Keluhan sesak napas disertai bunyi mengi yang dilami saat pasien bermain dan tidak
membaik dengan perubahan posisi.
 Pasien sering mengalami keluhan sama, terutama ketika terpapar debu berlebihan.
 Pemeriksaan fisik didapatkan nadi 32x/menit, suhu 37C.
 Pemeriksaan toraks tampak penggunaan otot-otot pernapasan, ekspirasi memanjang
dengan suara wheezing.

3. TENTUKAN PROBLEM KUNCI DENGAN MEMBUAT PERTANYAAN –


PERTANYAAN PENTING !
Pertanyaan – pertanyaan penting :
1. Jelaskan anatomi dan fisiologi sistem pernapasan!
2. Sebutkan batas frekuensi pernapasan!
3. Jelaskan mekanisme keluhan yang dirasakan pasien (sesak nafas dengan suara
mengi)!
4. Jelaskan differential diagnosis!

4. JAWABAN PERTANYAAN :
1) Jelaskan anatomi dan fisiologi dari organ terkait!
Jawaban :
Sistem respirasi terbagi menjadi sistem pernafasan atas dan sistem pernafasan bawah. Sistem
pernafasan atas terdiri dari hidung, faring dan laring. Sedangkan sistem pernafasan bawah
terdiri dari trakea, bronkus dan paru-paru (Peate and Nair, 2011).
a. Hidung
Masuknya udara bermula dari hidung. Hidung merupakan organ pertama dalam sistem
respirasi yang terdiri dari bagian eksternal (terlihat) dan bagian internal. Di hidung bagian
eksternal terdapat rangka penunjang berupa tulang dan hyaline kartilago yang terbungkus
oleh otot dan kulit. Struktur interior dari bagian eksternal hidung memiliki tiga fungsi :
(1) menghangatkan, 6 melembabkan, dan menyaring udara yang masuk; (2) mendeteksi
stimulasi olfaktori (indra pembau); dan (3) modifikasi getaran suara yang melalui bilik
resonansi yang besar dan bergema.
b. Faring
Faring, atau tenggorokan, adalah saluran berbentuk corong dengan panjang 13 cm.
Dinding faring disusun oleh otot rangka dan dibatasi oleh membrane mukosa. Fungsi
faring adalah sebagai saluran untuk udara dan makanan, menyediakan ruang resonansi
untuk suara saat berbicara, dan tempat bagi tonsil (berperan pada reaksi imun terhadap
benda asing).
c. Laring
Laring tersusun atas 9 bagian jaringan kartilago, 3 bagian tunggal dan 3 bagian
berpasangan. 3 bagian yang berpasangan adalah kartilago arytenoid, cuneiform, dan
corniculate. Arytenoid adalah bagian yang paling signifikan dimana jaringan ini
mempengaruhi pergerakan membrane mukosa (lipatan vokal sebenarnya) untuk
menghasilkan suara. 3 bagian lain yang merupakan bagian tunggal adalah tiroid, epiglotis,
dan cricoid. Tiroid dan cricoid keduanya berfungsi melindungi pita suara. Epiglotis
melindungi saluran udara dan mengalihkan makanan dan minuman agar melewati
esofagus.
d. Trakea
Trakea atau batang tenggorokan merupakan saluran tubuler yang dilewati udara dari
laring menuju paru-paru. Trakea juga dilapisi oleh epitel kolumnar bersilia sehingga dapat
menjebak zat selain udara yang masuk lalu akan didorong keatas melewati esofagus untuk
ditelan atau dikeluarkan lewat dahak. Trakea dan bronkus juga memiliki reseptor iritan
yang menstimulasi batuk, memaksa partikel besar yang masuk kembali keatas.
e. Bronkus
Setelah laring, trakea terbagi menjadi dua cabang utama, bronkus kanan dan kiri, yang
mana cabang-cabang ini memasuki paru kanan dan kiri pula. Didalam masing-masing
paru, bronkus terus bercabang dan semakin sempit, pendek, dan semakin banyak jumlah
cabangnya, seperti percabangan pada pohon. Cabang terkecil dikenal dengan sebutan
bronchiole.
f. Paru
Terdapat tiga lobus di paru sebelah kanana dan dua lobus di paru sebelah kiri. Masing-
masing paru dibungkus oleh dua membran pelindung tipis yang disebut parietal dan
visceral pleura. Parietal pleura membatasi dinding toraks sedangkan visceral pleura
membatasi paru itu sendiri. Diantara kedua pleura terdapat lapisan tipis cairan pelumas.
Cairan ini mengurangi gesekan antar kedua pleura sehingga kedua lapisan dapat
bersinggungan satu sama lain saat bernafas. Cabang-cabang bronkus terus terbagi hingga
bagian terkecil yaitu bronchiole. Bronchiole pada akhirnya akan mengarah pada
bronchiole terminal. Di bagian akhir bronchiole terminal terdapat sekumpulan alveolus,
kantung udara kecil tempat dimana terjadi pertukaran gas (Sherwood, 2010). Surfaktan
merupakan campuran kompleks fosfolipid dan lipoprotein. Pertukaran oksigen dan
karbondioksida antara ruang udara dan darah terjadi secara difusi melewati dinding
alveolar dan kapiler, dimana keduanya membentuk membran respiratori

(Sumber : Tortora dan Derrickson, 2014, Peate and Nair, 2011, dan Sherwood, 2010)

2) Sebutkan batas frekuensi pernapasan!


Jawaban :
 Frekuensi pernapasan
Jumlah udara yang keluar masuk ke paru-paru setiap kali bernapas disebut sebagai
frekuensi pernapasan. Pada umumnya,frekuensi pernapasan manusia setiap menitnya
sebanyak 15-18 kali. Cepat atau lambatnya frekuensi pernapasan dipengaruhi oleh
beberapa faktor, diantaranya :
 Usia. Semakin bertambahnya usia seseorang akan semakin rendah frekuensi
pernapasannya.Hal ini berhubungan dengan energy yang dibutuhkan.
 Jenis kelamin. Pada umumnya pria memiliki frekuensi pernapasan yang lebih
tinggi dibandingkan dengan wanita.Kebutuhan akan oksigen serta produksi
karbondioksida pada pria lebih tinggi dibandingkan wanita.
 Suhu tubuh. Semakin tinggi suhu tubuh seseorang maka aka semakin cepat
frekuensi pernapasannya, hal ini berhubungan dengan penigkatan proses
metabolism yang terjadi dalam tubuh.
 Posisi atau kedudukan tubuh. Frekuensi pernapasan ketika sedang duduk akan
berbeda dibandingkan dengan ketika sedang berjongkok atatu berdiri.Hal ini
berhubungan erat dengan energy yang dibutuhkan oleh organ tubuh sebagai
tumpuan berat tubuh.
 Aktivitas. Seseorang yang aktivitas fisiknya tingi seperti olahragawan akan
membutuhkan lebih banyak energi daripada orang yang diamatau santai, oleh
karena itu, frekuensi pernapasan orang tersebut juga lebih tinggi. Gerakan dan
frekuensi pernapasan diatur oleh pusat pernapasan yang terdapat di otak. Selain
itu, frekuensi pernapasan distimulus oleh konsentrasi karbondioksida (CO₂)
dalam darah.

Pemeriksaan Frekuensi Pernafasan


Pemeriksaan frekuensi pernafasan dilakukan dengan menghitung jumlah
pernafasan, yaitu inspirasi yang diikuti ekspirasi dalam satu menit penuh. Selain
frekuensi, pemeriksa juga menilai kedalaman dan irama gerakan ventilasi
(jenis/sifat pernafasan). Selain itu, pemeriksaan ini bertujuan untuk mengetahui
keadaan umum klien, mengikuti perkembangan penyakit, dan membantu
menegakkan diagnosa.

Jenis Pernafasan
1. Chyne Stokes: pernafasan yang sangat dalam yang berangsur-angsur menjadi
dangkal dan berhenti sama sekali (apnoe) selama beberapa detik untuk
kemudian menjadi dalam lagi. (keracunan obat bius, penyakit jantung,
penyakit paru, penyakit ginjal kronis, dan perdarahan pada susunan saraf
pusat)
2. Biot : pernapasan dalam dan dangkal yang disertai masa apnoe yang tidak
teratur. (meningitis)
3. Kusmaul : pernapasan yang inspirasi dan ekspirasi sama panjangnya dan sama
dalamnya,sehingga keseluruhan pernafasan menjadi lambat dan dalam.
(keracunan alkohol dan obat bius, koma, diabetes, uremia Batasan Normal
Batasan normal beraneka ragam tergantung usia. Pada bayi: 30 – 60
kali/menit, anak-anak: 20 – 30 kali/menit, remaja: 15 – 24 kali/menit, dan
dewasa: 16 – 20 kali/menit.

Jenis Ketidaknormalan Bunyi Pernafasan


 Crackel (bunyi nafas seperti retakan/pecahan)
 Friction (bunyi nafas seperti ada tarikan dinding dada ke dalam)
 Grunting (bunyi nafas seperti rintihan)
 Ronchi (bunyi nafas seperti terengah-engah)
 Stridor (bunyi nafas kasar)
 Wheezing (bunyi nafas seperti siulan).

(Sumber : Jurnal Sistem Pernapasan Fakuktas Kedokteran Universitas


Udayana RSUP Sanglah 2017)

3) Jelaskan mekanisme keluhan yang dirasakan pasien (sesak nafas dengan suara
mengi)!
Jawaban :
Dispnea (breathlessness) adalah keluhan yang sering memerlukan penanganan darurat
tetapi intensitas dapat berupa rasa tidak nyaman di dada yang bisa membaik sendiri :
yang membutuhkan bantuan napas yang serius (severe air hunger) sampai yang fatal.
Dispnea akut mungkin disebabkan oleh adanya gangguan fisiologis akut, seperti
serangan asma brokial, emboli paru, pneumotoraks, atau infark miokard. Serangan
berkepanjangan selama berjam-jam hingga berhari-hari lebih sering akibat eksaserbasi
penyakit paru yang kronik atau perkembangan proses sedikit demi sedikit seperti pada
efusi pleura atau gagal jantung kongestif.

Alergen seperti serbuk, jamur atau zat kimia mengakibatkan terjadinya bronkospasme
dengan bentuk keluhan sesak. Debu, asap, dan bahan kimia yang menimbulkan iritasi
jalan napas berakibat pada terjadinya bronkospasme pada pasien yang sensitive.
Beberapa substansi yang terbentuk dalam paru itu sendiri sering kali sangat aktif
menyebabkan kontriksi bronkiolus. Dua di antaranya yang penting adalah histamine
dan substansi anafilaksisyang bereaksi lambat. Keduanya dilepaskan dalam jaringan
paru oleh sel mast selama reaksi alergi. Bahan iritan yang juga menyebabkan reflex
konstriktor parasimpatis pada saluran napas--- rokok, debu, sulfur dioksida, dan
beberapa elemen asam dalam kabut asap dapat memicu reaksi non-saraf setempat
yang menyebabkan konstriksi obstruksi jalan napas.

Beberapa serabut saraf parasimpatis yang berasal dari nervus vagus menembus
parenkim paru. Saraf ini menyekresikan asetilkolin dan, bila diaktivasi, akan
menyebabkan kontriksi ringan sampai sedang pada bronkiolus. Kadang-kadang, saraf
parasimpatis diaktivasi oleh reflex yang berasal dari paru. Sebagian besar diawali
dengan iritasi pada membrane epitel dari jalan napas itu sendiri, yang dicetuskan oleh
gas-gas beracun ,debu, asap rokok, atau infeksi bronkial.

Pada pasien di scenario,sesak napas dirasakan karena adanya penebalan dinding


saluran napas, yang ditimbulkan oleh peradangan dan edema yang dipicu oleh
histamine, tersumbatnya saluran napas oleh sekresi berlebihan mucus kental, dan
hiperrensponsivitas saluran napas, yang ditandai oleh kontriksi hebat saluran napas
kecil akibat spasme otot polos di dinding saluran napas. Pemicu yang menyebabkan
peradangan dan respon brokokontiksi yang berlebihan ini mencakup pajanan
berulang ke alergen (misalnya kutu debu rumah, atau serbuk sari tanaman),iritan
(misalnya asap rokok), dan infeksi.

Pada orang sehat, resistensi saluran napas selalu sedemikian rendah sehingga variasi
kecil antara inspirasi dan ekspirasi tidak terasa. Namun Ketika resistensi saluran napas
meningkat secara bermakna, seperti pada serangan asma, perbedaan ini menjadi
cukup terasa. Karena itu, orang dengan asma lebih mengalami kesulitan dalam
menghembuskan daripada menghirup udara, menimbulkan “mengi” khas ketika udara
dipaksa keluar melalui saluran napas yang sempit.

Seseorang yang alergi mempunyai kecenderungan untuk membentuk antibody IgE


abnormal dalam jumlah besar, dan antibody ini menyebabkan reaksi alergi bila orang
tersebut bereaksi degan antigen spesifik yang memicu terbentuknya antibody tersebut
pada pertama kali, antibody ini melekat pada sel mast yang terdapat dalam interstisial
paru yang berhubungan erat dengan bronkiolus dan bronkus kecil. Bila seseorang
yang memiliki alergi terhadap suatu antigen spesifik yang sensitive baginya dan
terhirup, antigen ini akan bereaksi dengan antibody-terlekat sel mast dan
menyebabkan sel mast mengeluarkan berbagai macam zat. Di antaranya adalah
histamine,zat anafilaksis yang bereaksi lambat (yang merupakan campuran
leukotriene), factor kemotaktik eosinofilik, dan bradikinin. Efek gabungan dari semua
factor ini, terutama substansi anafilaksis yang bereaksi lambat, akan menghasilkan (1)
edema local pada dinding bronkiolus kecil maupun sekresi mucus yang kental dalam
lumen bronkiolus, dan (2) spasme otot polos bronkiolus. Oleh karena itu tahanan
saluran napas menjadi sangat meningkat. Karena bronkiolus sudah tersumbat
sebagian, maka sumbatan selanjutnya adalah akibat dari tekanan eksternal yang
menimbulkan obstruksi berat terutama selama ekspirasi, semua keadaan ini dapat
menyebabkan dyspnea.

(Sumber : 1) G. JEHAC,Guyton and Hall textbook of medical physiology, 13th ed.


Piladelphia: PA Saunders/Elseivers,2016, 2) A.W. Sudoyo,Ed., Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam 5th ed. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit
Dalam,2010, 3) Sherwood, L.2009.Fisiologi Manusia Dari Sel ke Sistem.6th ed.
Jakarta: EGC)
4) Jelaskan differential diagnosis!
Jawaban :

Asma Bronkial

Defenisi
Asma Bronkial adalah kelainan yang berupa inflamasi kronik saluran pernapasan
yang menyebabkan hiperaktivitas bronkus terhadap berbagai rangsangan yang
ditandai dengan gejala episodik berulang berupa mengi, batuk, sesak napas dan rasa
berat didada

(Sumber : Depkes RI, 2009)


Etiologi
Prevalensi asma di masyarakat adalah 3-5% namun etiologi pastinya belum jelas.
Diduga terdapat hubungan antara asma dengan alergi. Pada sebagian besar penderita
asma ditemukan riwayat alergi dan serangan asmanya juga sering dipicu oleh
pemajanan terhadap alergen. Pada pasien yang mempunyai komponen alergi jika
ditelusuri ternyata sering terdapat riwayat asma atau alergi pada keluarganya. Hal ini
menimbulkan pendapat bahwa terdapat faktor genetik yang menyebabkan seseorang
menderita asma.

Faktor genetik yang diturunkan adalah kecenderungan memproduksi IgE yang


berlebihan. Seseorang yang mempunyai kecenderungan ini disebut mempunyai sifat
atopi. Ada penderita yang tidak mempunyai sifat atopi dan juga serangan asmanya
tidak dipicu oleh pemajanan terhadap alergen. Asma pada penderita ini disebut
idiosinkratik, dan biasanya asmanya didahului oleh infeksi saluran pernapasan atas.
Asma memiliki banyak faktor risiko. Asma alergik disebabkan oleh kepekaan
individu terhadap alergen diantaranya debu, spora jamur, serbuk sari yang dihirup,
bulu halus binatang, serat kain atau yang lebih jarang terhadap makanan seperti coklat
dan susu sapi. Faktor nonspesifik juga dapat mencetuskan asma diantaranya latihan
fisik, flu biasa dan emosi.

Penelitian pada murid SD usia 6-7 tahun di Kota Padang berdasarkan kuisioner
ISAAC pada tahun 2009 didapatkan faktor paling dominan yang mempengaruhi
kejadian asma adalah atopi ayah atau ibu, diikuti faktor berat badan lahir dan
kebiasaan merokok pada ibu serta pemberian obat parasetamol. Pemberian ASI dan
kontak dengan unggas merupakan faktor protektif terhadap kejadian asma.

Faktor lingkungan yang berhubungan dengan imune dan nonimunologi juga


merupakan pencetus daripada asma termasuk rokok dan perokok pasif. Kira-kira 25%
sampai 30% dari penderita asma adalah seorang perokok. Hal ini menyimpulkan
bahwa merokok ataupun terkena asap rokok akan meningkatkan morbiditas dan
keparahan penyakit dari penderita asma. Terpapar asap rokok yang lama pada pasien
asma akan berkontribusi terhadap kerusakan dari fungsi paru, yaitu penurunan kira-
kira 18% dari FEV 1 selama 10 tahun.Pasien asma yang memiliki kebiasaan merokok
akan mempercepat terjadinya emfisema. Mekanisme yang mendasari daripada efek
rokok pada pasien asma.

(Sumber : Jurnal Fakultas Kedokteran Universitas Udayana)

Epidemiologi
Prevalensi asma bronkial diperkirakan sebanyak 235 juta orang pada 2011. Di negara
berkembang angka kematian asma mencapai lebih 8%(WHO,2011). Prevalensi asma
pada orang dewasa sekitar 9,5%, sedangkan menurut jenis kelamin sebanyak 9,7%
pada perempuan dan 7,2% pada laki-laki. Indonesia merupakan salah satu negara
berkembang, sedangkan angka kasus asma masih cukup tinggi. Di Indonesia, provinsi
dengan prevalensi asma tertinggi adalah Provinsi Sulawesi Tengah dengan persentase
7,8%, sedangkan Jawa Tengah menempati peringkat 17 yakni sebesar 4,3%

Asma bronkial dapat terjadi pada semua umur namun sering dijumpai pada awal
kehidupan. Sekitar setengah dari seluruh kasus diawali sebelum berumur 10 tahun dan
sepertiga bagian lainnya terjadi sebelum umur 40 tahun. Pada usia anak- anak,
terdapat perbandingan 2:1 untuk laki-laki dibandingkan wanita, namun perbandingan
ini menjadi sama pada umur 30 tahun. Angka ini dapat berbeda antara satu kota
dengan kota yang lain dalam negara yang sama. Di Indonesia prevalensi asma
berkisar antara 5 – 7 %.

(Sumber : Depkes RI, 2013 dan Jurnal Kedokteran Universitas Udayana)

Patofisiologi
Pada asma, dinding bronkus mengadakan reaksi yang berlebihan terhadap berbagai
rangsangan sehingga terjadi spasme otot polos yang Periodik dan menimbulkan
konstriksi jalan nafas berat. Antibodi IgE yang melekat pada sel-sel mast yang
mengandung histamin pada Reseptor membrane sel akan memulai serangan asma
instrinsik. Ketika terpajan suatu Antigen, seperti Polen, antibody IgE akan berikatan
dengan antigen ini.
Pada Pajanan selanjutnya dengan antigen tersebut, sel sel mast mengalami degranulasi
dan melepaskan mediator. Sel sel mast dalam jaringan interstisial paru akan
terangsang untuk melepaskan histamin dan Leukotrien. Histamin terikat pada tempat
tempat Reseptor dalam bronkus yang besar tempat substansi ini menyebabkan
pembengkakan pada otot polos. Membrane mukosa mengalami inflamasi, iritasi, dan
pembengkakan. Pasien dapat mengalami dispnea , Ekspirasi yang memanjang dan
frekuensi respirasi yang meningkat.

Leukotrien melekat pada tempat Reseptor dan Tempus yang lebih kecil dan
menyebabkan pembengkakan lokal otot polos. Leukotrien juga menyebabkan
Prostaglandin bermigrasi melalui aliran darah ke paru-paru dan dalam organ ini,
Prostaglandin meningkatkan efek kerja histamin. Bunyi mengi (wheezing) dapat
terdengar pada saat batuk semakin tinggi nadanya, semakin sempit lumen bronkus.

Histamin Menstimulasi membrane mukosa untuk menyekresi Mukus secara


berlebihan dan selanjutnya membuat lumen bronkus menjadi sempit. Pada saat
inspirasi, lumen bronkus yang sempit masih dapat sedikit mengembang, namun pada
saat ekspirasi, peningkatan tekanan intratorakal menyebabkan penutupan total lumen.
Mukus mengisi Paru bagian bawah (basis pulmoner) dan menghambat ventilasi
alveolar. Darah akan di pintas ke alveoli pada bagian paru yang lain, tetapi tetap tidak
bisa mengimbangi penururunan ventilasi.

(Sumber : Buku ajar patofisiologi kowalak hall 233)

Faktor resiko
1. Alergen intrinsic :
 Faktor genetic
 Pejanan asap berbahaya
 Batuk atau tertawa
 Stres emosi
 perubahan kelembapan
 Kecemasan
 Perubahan suhu
 Perubahan endokrin
 Iritan
 Kelelahan

2. Alergen ekstrinsik :
 Debu rumah atau kapang
 Polen (tepung sari bunga)
 Bulu binatang
 Bantal kapuk
 Zat aditif pangan yang mengandung sulfit
 Zat lain yang menimbulkan sensitasi
(Sumber : Buku ajar patofisiologi kowalak hall 233)

Gejala Klinis
Tanda dan gejala meliputi:
 Dispnea mendadak,mengi,dan rasa berat pada dada
 Batuk-batuk dengan sputum yang kental,jernih,ataupun kuning
 Takipnea, bersamaan dengan penggunaan otot-otot respirasi aksesorius
 Denyut nadi yang cepat
 Pengeluaran keringat (perspirasi) yang banyak
 Lapangan paru yang hipersonor pada perkusi
 Bunyi
(Sumber : Buku ajar patofisiologi kowalak hall 235)
Diagnosis
Penegakan diagnosis asma pada anak mengikuti alur klasik diagnosis medis yaitu
Melalui anamnesis, pemeriksaan fisis, dan pemeriksaan penunjang. Anamnesis
memegang peranan sangat penting mengingat diagnosis asma pada anak sebagian
besar ditegakkan secara kinis.
1. Anamnesis
Keluhan wheezing dan atau batuk berulang merupakan manifestasi klinis yang
diterima luas sebagai titik awal diagnosis asma. Gejala respiratori asma berupa
kombinasi dari batuk, wheezing, sesak napas, rasa dada tertekan, dan produksi
sputum. Chronic recurrent cough (batuk kronik berulang, BKB) dapat menjadi
petunjuk awal untuk membantu diagnosis asma. Gejala dengan karakteristik yang
khas diperlukan untuk menegakkan diagnosis asma. Karakteristik Yang mengarah
ke asma adalah:
- Gejala timbul secara episodik atau berulang.
- Timbul bila ada faktor pencetus.
 Iritan: asap rokok, asap bakaran sampah, asap obat nyamuk, suhu dingin,
udara kering, makanan minuman dingin, penyedap rasa, pengawet makanan,
pewarna makanan.
 Alergen: debu, tungau debu rumah, rontokan hewan, serbuk sari.
 Infeksi respiratori akut karena virus, selesma, common cold, rinofaringitis
 Aktivitas fisis: berlarian, berteriak, menangis, atau tertawa berlebihan.
- Adanya riwayat alergi padapasienataukeluarganya.
- Variabilitas, yaitu intensitas gejala bervariasi dari waktu ke waktu, bahkan
dalam 24 jam. Biasanya gejala lebih berat pada malam hari (nokturnal).
- Reversibilitas, yaitu gejala dapat membaik secara spontanatau dengan
pemberian obat pereda asma.

2. Pemeriksaan fisik
Dalam keadaan stabil tanpa gejala, pada pemeriksaan fisis pasien biasanya tidak
ditemukan kelainan. Dalam keadaan sedang bergejala batuk atau sesak, dapat
terdengar wheezing, baik yang terdengar langsung (audible wheeze) atau yang
terdengar dengan stetoskop. Selain itu, perlu dicari gejala alergi lain pada pasien
seperti dermatitis atopi atau rinitis alergi, dan dapat pula dijumpai tanda alergi
seperti allergic shiners atau geographictongue.

3. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan ini untuk menunjukkan variabilitas gangguan aliran napas akibat
obstruksi, hiperreaktivitas, dan inflamasi saluran respiratori, atau
adanyaatopipadapasien.
- Uji fungsi paru dengan spirometri sekaligus uji reversibilitas dan untuk
menilai variabilitas. Pada fasilitas terbatas dapat dilakukan pemeriksaan
dengan peakflowmeter.
- Ujicukitkulit(skinpricktest),eosinofiltotaldarah,pemeriksaanIgEspesifik.
- Uji inflamasi
saluranrespiratori:FeNO(fractionalexhalednitricoxide),eosinofilsputum.
- Ujiprovokasibronkusdenganexercise,metakolin,ataularutansalinhipertoni
k. Jikaterindikasidanfasilitastersedia,lakukanpemeriksaan
untukmencarikemungkinandiagnosisbanding,misalnyauji
tuberkulin,fotosinusparanasalis,fototoraks,ujirefluksgastroH
esofagus,ujikeringat,ujigerakansilia,ujidefisiensiimun,CTHscan
toraks,endoskopirespiratori(rinoskopi,laringoskopi,bronkoskopi).
Diagnosis Banding
Gejala asma tidak patognomonik, dalam arti dapat disebabkan oleh berbagai penyakit
lain sehingga perlu dipertimbangkan kemungkinan diagnosisbanding.
Inflamasi: infeksi, alergi
 Rinitis, rinosinusitis
 Chronic upper airway cough syndrome
 Infeksirespiratoriberulang
 Bronkiolitis
 Aspirasiberulang
 Defisiensi imun
 Tuberkulosis
Obstruksimekanis
 Laringomalasia, trakeomalasi
 Hipertrofitimus
 Pembesarankelenjargetahbening
 Aspirasi benda asing
 Vascularring, laryngeal web
 Disfungsi pita suara
 Malformasikongenitalsaluranrespiratori
Patologibronkus
 Displasiabronkopulmonal
 Bronkiektasis
 Diskinesia silia primer
 Fibrosiskistik
Kelainansistemorganlain
 PenyakitrefluksgastroHesofagus(GERD)
 Penyakitjantungbawaan
 Gangguanneuromuskular
 Batukpsikogen

Tahapan penegakan diagnosis asma


1. Diagnosis kerja : Asma
Dibuat sesuai alur diagnosis asma anak, kemudian diberi tata laksana umum yaitu
penghindaran pencetus, pereda, dan tatalaksana penyakit penyulit.
2. Diagnosis klasifikasi kekerapan
Dibuat dalam waktu 6 minggu, dapat kurang dari 6 minggu bila informasi klinis
sudah kuat.
3. Diagnosis derajat kendali
Dibuat setelah 6 minggu menjalani tata laksana jangka panjang awal sesuai
klasifikasi kekerapan

Penataaksanaan
 Tatalaksana Jangka Panjang
Tujuan tatalaksana
Tujuan tatalaksana asma anak secara umum adalah mencapai kendali asma
sehingga menjamin tercapainya potensi tumbuh kembang anak secara optimal.
Secara lebih rinci, tujuan yang ingin dicapai adalah:
 Aktivitas pasien berjalan normal, termasuk bermain dan berolahraga.
 Gejala tidak timbul pada siang maupun malam hari.
 Kebutuhan obat seminimal mungkin dan tidak ada serangan.
 Efek samping obat dapat dicegah untuk tidak atau sesedikit mungkin terjadi,
terutama yang memengaruhi tumbuh kembang anak.

Apabila tujuan ini belum tercapai maka tata laksananya perlu dievaluasi kembali.
Tata laksana jangka panjang pada asma anak dibagi menjadi tata laksana
nonmedikamentosa dan tata laksana medikamentosa. Tata laksana
nonmedikamentosa berupa pengendalian lingkungan dan penghindaran pencetus
sedangkan tata laksana medikamentosa akan dibahas lebih lanjut.

 Tata laksanamedikamentosa
Tujuan tata laksana asma adalah untuk mencapai dan mempertahankan kendali
asma serta menjamin tercapainya tumbuh kembang anak secara optimal. Obat
asma dapat dibagi menjadi dua kelompok besar, yaitu obat pereda (reliever) dan
obat pengendali (controller). Ada yang menyebut obat pereda sebagai obat
pelega atau obat serangan. Obat ini digunakan untuk meredakan serangan atau
gejala asma bila sedang timbul. Bila serangan sudah teratasi dan gejala tidak ada
lagi, maka pemakaian obat ini dihentikan.

Kelompok kedua adalah obat pengendali, yang digunakan untuk mencegah


serangan asma. Obat ini untuk mengatasi masalah dasar asma yaitu inflamasi
respiratori kronik, sehingga tidak timbul serangan atau gejala asma. Pemakaian
obat ini secara terusHmenerus dalam jangka waktu yang relatif lama,
bergantung pada kekerapan gejala asma dan responsnya terhadap
pengobatan/penanggulangan. Obat pengendali asma terdiri dari steroid
antiHinflamasi inhalasi atau sistemik, antileukotrien, kombinasi steroid–agonis
β2 kerja panjang, teofilin lepas lambat, dan antiHimunoglobulin E.

Cara pemberian obat


Pada umumnya obat asma diberikan secara inhalasi. Ada perbedaan teknik
inhalasi sesuai dengan golongan umur dan kemampuan anak, sehingga
pemilihan alat inhalasi harus disesuaikan dengan kondisi masingHmasing anak.
Pemilihan alat inhalasi sebaiknya juga mempertimbangkan efikasi obat,
keamanan, kenyamanan penggunaan, dan biaya. Inhalasi dosis terukur/Metered
Dose Inhaler (MDI) dengan spacer merupakan pilihan utama karena
memberikan kenyamanan kepada pasien, jumlah obat yang mencapai paru lebih
banyak, risiko dan efek samping minimal, serta biaya lebih murah. Lebih dari
50% anak asma tidak dapat memakai alat hirupan tanpa spacer (MDI). Perlu
dilakukan pelatihan yang benar dan berulang kali. Tabel 5.1 memperlihatkan anjuran
pemakaian alat inhalasi sesuai usia, namun pemilihannya sesuai dengan kemampuan.

Obat pengendali asma


g. Steroidinhalasi
Steroidinhalasidapatmenekaninflamasisaluranrespiratoridanberperanpentingda
lamtatalaksanaasmajangkapanjang.Steroid
inhalasimerupakanobatpengendaliasmayangpalingefektif.
h. Agonis β2 kerja panjang (Long acting ß2 Cagonist, LABA)
Sebagai pengendali asma, agonis β2 kerja panjang tidak digunakan tunggal
melainkan selalu bersama steroid inhalasi.

i. Antileukotrien
Studi klinik menunjukkan antileukotrien memiliki efek bronkodilatasi kecil
dan bervariasi, mengurangi gejala termasuk batuk, memperbaiki fungsi paru,
dan mengurangi inflamasi jalan napas dan mengurangi eksaserbasi.
Antileukotrien dapat menurunkan gejala asma namun secara umum tidak lebih
unggul dibanding steroid inhalasi.

j. Teofilin lepas lambat


Sebagai obat pengendali asma teofilin lepas lambat dapat diberikan sebagai
preparat tunggal atau diberikan sebagai kombinasi dengan steroid inhalasi pada
anak usia di atas 5 tahun. Kombinasi steroid inhalasi dan teofilin lepas
lambat akan memperbaiki kendali asma dan dapat menurunkan dosis steroid
inhalasi pada anak dengan asma persisten.

k. Anti-imunoglobulin E (Anti-IgE)
AntiHIgE (omalizumab) adalah antibodi monoklonal yang mampu mengurangi
kadar IgE bebas dalam serum. Omalizumab diberikan secara injeksi subkutan
setiap dua sampai empat minggu.

Penentuan derajat kendali


Setiap pasien asma harus ditentukan derajat kendali asma untuk memulai pengobatan
jangka panjang. Sebelum memutuskan untuk turun jenjang atau naik jenjang
dalam tata laksana jangka panjang asma, dokter harus menilai kepatuhan
pasien terhadap pengobatan, teknik inhalasi, dosis obat inhalasi, dan
mengendalikan faktor pencetus asma. Untuk menentukan derajat kendali asma dapat
menggunakan penilaian seperti pada Tabel 4.3.1.
Jenjang pengendalian asma
Pedoman Nasional Asma Anak tahun 2015 membagi derajat penyakit asma anak
berdasarkan kekerapan gejala dan derajat kendali. Setelah dilakukan tata laksana
umum berupa penghindaran pencetus, klasifikasi kekerapan asma dapat ditentukan
dalam waktu enam minggu.

Keterangan :
1. Acuan awal penetapan jenjang tata laksana jangka panjang
menggunakanklasifikasikekerapan.
2. Bila suatu jenjang dalam tata laksana sudah berlangsung selama 6H 8 minggu
dan asma belum terkendali, maka tata laksana naik jenjang ke atasnya (step up).
3. Bila suatu jenjang dalam tata laksana sudah berlangsung selama 8H 12 minggu
dan asma terkendali penuh, maka tata laksana turun jenjang kebawahnya (step
down).
4. Perubahan jenjang tata laksana harus memperhatikan aspek aspek penghindaran,
penyakit penyerta.
5. Pada Jenjang 4, jika belum terkendali, tata laksana ditambahkan malizumab.
Pengendalian asma senantiasa dilakukan berdasarkan derajat kendali asma. Apabila
asma belum terkendali maka dilakukan pemberian obat sesuai jenjang selanjutnya.
Jenjang 1
Pasien pada kondisi terkendali penuh dengan atau tanpa obat pengendali, hanya
mengalami gejala ringan 2 kali/minggu dan diantara serangan pasien tidak
mengalami gangguan tidur maupun aktivitas sehari hari. Pada saat ini pasien
hanya mendapatkan obat pereda berupa inhalasi agonis β2 kerja pendek apabila
mengalami serangan asma. Sebagai alternatif bisa diberikan obat inhalasi agonis β2
kerja pendek kombinasi dengan ipratropium bromida, agonis β2 kerja pendek oral,
atau teofilin kerja pendek oral. Pengendalian asma dihubungkan dengan tingkat
pemakaian obat pereda asma. Bila pemakaian obat pereda asma melebihi dua
kanister setiap bulannya, menandakan anak memerlukan obat pengendali asma.
Pada tatalaksana jangka panjang jenjang 1, 2, 3, dan 4 pemilihan obat dinilai
berdasarkan pengurangan gejala asma, perbaikan fungsi paru, dan penurunan
frekuensi eksaserbasi asma. Pada pasien yang memiliki faktor risiko dapat
dipertimbangkan pemberian steroid inhalasi dosis rendah.

Jenjang 2
Pilihan utama obat pengendali pada jenjang ini adalah steroid inhalasi dosis rendah,
sedangkan sebagai pilihan lain dapat diberikan antileukotrien yang diberikan
pada pasien asma yang tidak memungkinkan menggunakan steroid inhalasi atau
pada pasien yang menderita asma disertai rinitis alergi. Teofilin dan kromolin
kurang disarankan karena efikasinya lebih rendah dan lebih sering
menimbulkan efek samping.

Jenjang 3
Pilihan utama pada jenjang 3 untuk anak berusia diatas 5 tahun ialah kombinasi
steroid dosis rendahHagonis β2 kerja panjang. Pilihan lainnya ialah dengan
menaikkan dosis steroid inhalasi pada dosis menengah. Pemberian melalui
inhalasi dosis terukur dengan spacer akan memperbaiki deposisi obat di paru,
mengurangi impaksi obat di orofaring dan mengurangi efek sistemik. Selain itu
dapat diberikan kombinasi steroid inhalasi dosis rendahHantileukotrien atau
kombinasi steroid inhalasi dosis rendahHteofilin lepas lambat.

Jenjang 4
Pasien asma yang tidak berhasil dikendalikan pada jenjang 3 sebaiknya dirujuk
kepada dokter spesialis respirologi anak untuk pemeriksaan lebih lanjut. Pada
saat ini pasien asma dikategorikan sebagai asma sulit (difficult–to3treat asthma).
Pilihan pertama pada jenjang 4 ialah kombinasi steroid inhalasi dosis
menengahHagonis β2 kerja panjang. Menaikkan dosis steroid inhalasi dari dosis
sedang ke dosis tinggi hanya memberikan sedikit perbaikan. Keputusan ini dapat
dilaksanakan setelah pemberian steroid inhalasi dosis sedangHagonis β2 kerja
panjang diberikan selama 6H8 minggu. Pilihan lain pada jenjang 4 ialah
kombinasi steroid inhalasi dosis tinggiHantileukotrin atau kombinasi steroid
inhalasi dosistinggiHteofilin lepas lambat. Pada jenjang ini dapat dipertimbangkan
penambahan antiH imunoglobulinE (omalizumab) yang dapat memperbaiki
pengendalian asma yang disebabkan karena alergi.

Jenjang 5
Semua pasien yang mencapai jenjang ini harus dirujuk dokter spesialis respirologi
anak untuk pemeriksaan dan tata laksana lebih lanjut, oleh karena itu tata laksana
pada jenjang ini tidak dituliskan dalam gambar. Pada jenjang ini mulai
dipertimbangkan pemberian steroid oral, oleh karena itu pasien harus dijelaskan
tentang kemungkinan efek samping yang timbul akibat pemberian steroid oral jangka
panjang dan berbagai alternatif pilihan pengobatan.

Pengendalian asma harus dimonitor teratur tergantung kondisi pasien, derajat asma,
dan penyakit lain yang menyertai asma. Pada umumnya pasien dimonitor setiap
bulan dan pencapaian perbaikan setelah 3 bulan. Selain jenis obat, dosis obat, cara
pemberian obat dan kepatuhan, pasien asma senantiasa perlu dipantau bagaimana
upaya penghindaran faktor pencetus dan adanya penyakit penyerta asma. Penurunan
dosis steroid dipertimbangkan setiap 8H12minggu dengan penurunan dosis sebesar
25H50%.

Tatalaksana Serangan Asma


Definisi
Serangan asma adalah episode peningkatan yang progresif (perburukan) dari gejala-
gejala batuk, sesak napas, wheezing, rasa dada tertekan, atau berbagai kombinasi
dari gejalaHgejala tersebut. Serangan asma biasanya mencerminkan gagalnya tata
laksana asma jangka panjang, atau adanya pajanan dengan pencetus. Derajat
serangan asma bermacamHmacam, mulai dari serangan ringansedang hingga
serangan yang disertaiancaman hentinapas.

Tujuan tata laksana serangan asma


Serangan asma akut merupakan kegawatan medis yang lazim dijumpai di unit gawat
darurat (UGD). Perlu ditekankan bahwa serangan asma berat dapat dicegah,
setidaknya dapat dikurangi dengan pengenalan dini dan terapi intensif.
Tujuan tata laksana serangan asma antara lain sebagaiberikut:
 Mengatasi penyempitan saluran respiratori secepat mungkin
 Mengurangi hipoksemia
 Mengembalikan fungs iparu ke keadaan normal secepatnya
 Mengevaluasi dan memperbarui tata laksana jangka panjang untuk mencegah
kekambuhan

Penilaian derajat serangan asma


Selainberdasarkankekerapanserangandanobatyang
digunakansehariHhari,klasifikasiasmajugadapatdinilaiberdasarkan
derajatkeparahanserangan,yangterbagimenjadiseranganringan
sedang,seranganberat,danseranganasmadenganancamanhenti
napas.Jadiperludibedakanantaraderajatpenyakitasma(aspek
kronik)denganderajatseranganasma(aspekakut).Seorangpasien
asmapersistendapathanyamengalamiseranganasmaringansedang.
Sebaliknya,mungkinsajaseorangpasienasmaintermitenmengalami
seranganasmaberat,bahkanseranganancamanhentinapasyang
dapatmenyebabkankematian.Kriteriauntukmenentukanderajat keparahanserangan
asmapadaanakdapatditentukanbilamemenuhi gejalayangtercantumpadatabel
berikutini.
Tahapan Tatalaksana Serangan Asma
(Sumber : Buku “PEDOMAN NASIONAL ASMA ANAK“ Edisi ke-2 Cetakan ke-2
2016)

Komplikasi
 Pneumotoraks
 Pneumodiastinum dan emfisema subktis
 Atelektasis
 Aspergilosis bronkopulmoner
 Gagal napas
 Bronkitis
 Fraktur iga
(Sumber : Ilmu Penyakit Dalam Edisi 6)

Prognosis
Prognosis asma bronkhial dikatakan baik bila asma bronkhial terkontrol dengan baik
secara khas mempunyai gejala serangan yang bisa dibalik, yang dapat dikendalikan
dengan pengobatan, sering pada pasien rawat jalan. Dikatakan prognosisnya buruk
bila pasien yang tidak beraksi terhadap pengobatan atau yang menggunakan
pengobatan yang tidak sesuai bisa terjadi kematian selama serangan asma
(Sumber : Jurnal universitas Lampng 2015)

Pencegahan
Pencegahan meliputi pencegahan primer yaitu mencegah tersensitisasi dengan bahan yang
menyebabkan asma, pencegahan sekunder adalah mencegah yang sudah tersensitisasi
untuk tidak berkembang menjadi asma; dan pencegahan tersier adalah mencegah agar tidak
terjadi serangan / bermanifestasi klinis asma pada penderita yang sudah menderita asma.
1. Pencegahan primer ditujukan untuk mencegah sensitisasi pada bayi yang belum
tersensitasi dengan cara:
- Penghindaran asap rokok dan polutan lain selama kehamilan dan masa
perkembangan bayi/anak.
- Diet hipoalergenik ibu hamil, asalkan atau dengan syarat diet tersebut tidak
mengganggu asupan janin.
- Pemberian ASI eksklusif sampai 6 bulan
- Diet hipoalergenik ibu menyusui

2. Pencegahan sekunder ditujukan untuk mencegah inflamasi pada anak yang telah
tersensitasi dengan cara menghindari asap rokok, serta allergen dalam ruangan
terutama tungau debu rumah.
3. Pencegahan Tersier
Sudah asma tetapi mencegah terjadinya serangan yang dapat ditimbulkan oleh berbagai
jenis pencetus. Sehingga menghindari pajanan pencetus akan memperbaiki kondisi asma
dan menurunkan kebutuhan medikasi/ obat. . Sebuah penelitian multi senter yang
dikenal dengan nama EATC Study (early treatmen of atopic children)
mendapatkan bahwa pemberian Setrizin selama 18 bulan pada anak atopi dengan
dermatitis atopi dan igE spesifik terhadap serbuk rumput (pollen) dan tngau debu
rumah menurunkan kejadian asma sebanyak 50% perlu ditekankan bahwa
pemberian setrizin pada penelitian ini bukan sebagai pengendali asma (controller).
(Sumber: Buku pedoman nasional asma anak edisi ke-2 cetakan ke-2 ikatan
dokter anak Indonesia 2016 halaman 77-78 dan Pedoman diagnosis dan
penatalaksanaan asma di Indonesia;perhimpunan dokter paru Indonesia 2003
halaman 66-67)

Pneumonia

Definisi
Pneumonia adalah peradangan yang mengenai parenkim paru, distal dari bronkiolus
terminalis yang mencakup bronkiolus respiratorius, dan alveoli, serta menimbulkan
konsolidasi jaringan paru dan gangguan pertukaran gas setempat.
Istilah pneumonia lazim dipakai bila peradangan terjadi oleh proses infeksi akut yang
merupakan penyebabnya yang tersering, sedangkan istilah pneumonitis sering dipakai
untuk proses non infeksi.
(Sumber : Buku IPD Jilid III)
Etiologi
 Mikroorganisme: bakteri, virus, jamur, dan protozoa
 Pneumonia komunitas: gram positif
 Pneumonia rumah sakit (nosokomial): gram negative
 Pneumonia aspirasi: bakteri anaerob

Berbagai mikroorganisme dapat menyebabkan pneumonia antara lain virus, jamur,


dan bakteri. S. pneumoniae merupakan penyebab tersering pneumonia bakterial pada
semua kelompok umur. Virus lebih sering ditemukan pada anak kurang dari 5 tahun.
Respiratory syncytial Virus (RSV) merupakan virus penyebab tersering pada anak
kurang dari 3 tahun. Pada umur yang lebih muda, adenovirus, parainfluenza virus,
dan influenza virus juga ditemukan. Mycoplasma pneumonia dan Chlamydia
pneumonia lebih sering ditemukan pada anak-anak, dan biasanya merupakan
penyebab tersering yang ditemukan pada anak lebih dari 10 tahun.

(Sumber : PDPI. Pedoman Diagnosis & Penatalaksanaan Pneumonia Komunitas


di Indonesia Edisi 2. Jakarta: BPFKUI.2014 dan Buku Praktis Klinis Halaman
88)

Epidemiologi
Insidens pneumonia anak-balita di negara berkembang adalah 151,8 juta kasus
pneumonia setiap tahun, 10% diantaranya merupakan pneumonia berat dan perlu
perawatan di rumah sakit. Di Negara maju terdapat 4 juta kasus setiap tahun sehingga
total insidens pneumonia di seluruh dunia ada 156 juta kasus pneumonia anak balita
setiap tahun. Terdapat 15 negara dengan insidens pneumonia anak balita paling tinggi,
mencakup 74% (115,3 juta) dari 156 juta kasus di seluruh dunia. Lebih dari
setengahnya terdapat di 6 negara, mencakup 44% populasi anak-balita di dunia.
Sekitar 80% dari seluruh kasus berhubungan dengan infeksi salurannafas yang terjadi
di masyarakat (pneumonia komunitas) atau di dalam rumah sakit (pneumonia
nosokomial).Menurut data yang diperoleh dari Profil Kesehatan Indonesia tahun
2005, jumlah balita penderita pneumonia di Indonesia ada sebanyak 600.720 balita
yang terdiri dari 155 anak meninggal pada umur di bawah 1 tahun dan 49 anak
meninggal pada umur 1-4 tahun.
(Sumber : Jurnal Ilmu Kedokteran Dan Kesehatan, Universitas Malahayati. Volume
5, Nomor 2, April 2018)

Klasifikasi
Klasifikasi pneumonia berdasarkan inang dan lingkungan
1. Pneumonia Komunitas
Dijumpai pada H. Influenza pada pasien perokok, patogen atipikal pada lansia,
gram negative pada pasien dari rumah jompo, dengan adanya Penyakit Paru
Obstruktif Kronik (PPOK), penyakit penyerta kardiopulmonl/jamak, atau paska
terapi antibiotiaka spectrum luas.
2. Pneumonia Nosokomial
Tergantung pada 3 faktor yaitu : tingkat berat sakit, adanya resiko untuk jenis
pathogen tertentu, dan masa menjelang timbul onset pneumonia.
3. Pneumonia Aspirasi
Disebabkan oleh infeksi kuman, penumunitas kimia akibat aspirasi bahan toksik,
akibat aspirasi cairan inert misalnya cairan makanan atau lambung, edema paru,
dan obstruksi mekanik simple oleh bahan padat.
4. Pneumonia pada gangguan imun
Terjadi karena akibat proses penyakit dan akibat terapi. Penyebab infeksi dapat
disebabkan oleh kuman pathogen atau mikroorganisme yang biasanya nonvirulen,
berupa bakteri, protozoa, parasite, virus, jamur, dan cacing.

Patogenesis
Pneumonia dapat menyebar dalam beberapa cara. Virus dan bakteri yang biasanya
ditemukan di hidung atau tenggorokan anak, dapat menginfeksi paru-paru jika mereka
dihirup. Mereka juga bisa menyebar melalui tetesan udara dari batuk atau bersin.
Selain itu, pneumonia dapat menyebar melalui darah, terutama selama dan segera
setelah lahir.

Patogenesis pneumonia yaitu umumnya mikroorganisme penyebab terhisap ke paru


bagian perifer melalui saluran respiratori. Stadium kongesti, terjadi edema akibat
reaksi jaringan yang mempermudah proliferasi dan penyebaran kuman ke jaringan
sekitarnya. Bagian paru yang terkena mengalami konsolidasi, yaitu terjadi serbukan
sel PMN, fibrin, eritrosit, cairan edema, dan ditemukannya kuman di alveoli. Stadium
ini disebut stadium hepatisasi merah. Selanjutnya, deposisi fibrin semakin bertambah,
terdapat fibrin dan leukosit PMN di alveoli dan terjadi proses fagositosis yang cepat.
Stadium ini disebut stadium hepatisasi kelabu. Selanjutnya, jumlah makrofag
meningkat di alveoli, sel akan mengalami degenerasi, fibrin menipis, kuman dan
debris menghilang. Stadium ini disebut stadium resolusi. Sistem bronkopulmoner
jaringan paru yang tidak terkena akan tetap normal.
Paru-paru terdiri dari ribuan bronkhi yang masing-masing terbagi lagi menjadi
bronkhioli, yang tiap-tiap ujungnya berakhir pada alveoli. Di dalam alveoli terdapat
kapiler-kapiler pembuluh darah dimana terjadi pertukaran oksigen dan
karbondioksida. Ketika seseorang menderita pneumonia, nanah (pus) dan cairan
mengisi alveoli tersebut dan menyebabkan kesulitan penyerapan oksigen sehingga
terjadi kesukaran bernapas. Anak yang menderita pneumonia, kemampuan paru-paru
untuk mengembang berkurang sehingga tubuh bereaksi dengan bernapas cepat agar
tidak terjadi hipoksia (kekurangan oksigen). Apabila pneumonia bertambah parah,
paru akan bertambah kaku dan timbul tarikan dinding dada bagian bawah ke dalam.
Anak dengan pneumonia dapat meninggal karena hipoksia atau sepsis (infeksi
menyeluruh).

(Sumber:Buku ajar respirologi anak badan penerbit IDAI dan Jurnal Universitas
muhammadiyah malang)

Faktor Risiko Pneumonia


Penyakit pneumonia memiliki faktor risiko utama pada anak-anak di negara
berkembang seperti malnutrisi, kurang mendapatkan ASI eksklusif, imunisasi tidak
lengkap, BBLR, status gizi, status ekonomi keluarga rendah, kepadatan penduduk,
membawa anak ke dapur saat memasak, pendidikan ibu, kekurangan vitamin A,
polusi udara dalam ruangan, kepadatan hunian, dan juga aktivitas merokok orang tua
(Nikmah dkk., 2018). Secara umum menurut Maryunani (2010), terdapat 2 faktor
resiko terjadinya pneumonia yaitu:
Faktor Individu Anak
a. Umur anak
Anak-anak berusia 0-24 bulan lebih rentan terhadap penyakit pneumonia
dibanding anak-anak berusia di atas 2 tahun. Hal ini disebabkan imunitas yang
belum sempurna dan saluran pernapasan yang relatif sempit.
b. Berat Badan Lahir
Berat badan lahir menentukan pertumbuhan dan perkembangan fisik dan mental
pada masa balita. Bayi dengan berat badan lahir rendah (BBLR) mempunyai
resiko kematian yang lebih besar dibandingkan dengan berat badan lahir normal,
terutama pada bulan – bulan pertama kelahiran karena pembentukan zat anti
kekebalan kurang sempuran sehingga lebih mudah terkena penyakit infeksi,
terutama pneumonia dan sakit saluran pernapasan lainnya.
c. Status gizi
Penilaian status gizi dapat dilakukan antara lain berdasarkan antropometri: berat
badan lahir, panjang badan, tinggi badan, dan lingkar lengan atas. Keadaan gizi
yang buruk mucul sebagai faktor risiko yang penting untuk terjadinya pneumonia.
Balita dengan gizi yang kurang akan lebih mudah terserang pneumonia
dibandingkan balita dengan gizi normal karena faktor daya tahan tubuh yang
kurang. Penyakit infeksi sendiri akan menyebabkan balita tidak mempunyai nafsu
makan dan mengakibatkan kekurangan gizi. Pada keadaan gizi kurang, balita lebih
mudah terserang pneumonia bahkan serangannya lebih lama.
d. Vitamin A
Pemberian vitamin A yang dilakukan bersamaan dengan imunisasi akan
menyebabkan peningkatan titer antibodi yang spesifik dan tampaknya tetap berada
dalam nilai yang cukup tinggi. Bila antibodi yang ditujukan terhadap bibit
penyakit dan bukan sekadar antigen asing yang tidak berbahaya, maka dipercaya
akan mendapat perlindungan terhadap bibit penyakit yang bersangkutan untuk
jangka panjang.
e. Status Imunisasi
Bayi dan balita yang pernah terserang campak dan selamat akan mendapat
kekebalan alami terhadap serangan pneumonia. Bayi dan balita yang mempunyai
status imunisasi lengkap bila menderita ISPA dapat diharapkan perkembangan
penyakitnya tidak akan menjadi pneumonia. Cara yang terbukti paling efektif saat
ini adalah dengan pemberian imunisasi campak dan pertusis (DPT). Dengan
imunisasi campak yang efektif sekitar 11% kematian pneumonia balita dapat
dicegah dengan imunisasi pertusis (DPT) 6% kematian dapat dicegah.
Faktor lingkungan
a. Pencemaran udara dalam rumah
Asap rokok dan asap hasil pembakaran bahan bakar untuk memasak dengan
konsentrasi tinggi dapat merusak mekanisme pertahanan paru sehingga akan
memudahkan timbulnya pneumonia. Hal ini dapat terjadi pada rumah yang
keadaan ventilasinya kurang dan dapur terletak di dalam rumah bersatu dengan
kamar tidur, ruang tempat baui dan ruang tempat bayi dan anak balita bermain.
Hal ini lebih dimungkinkan karena bayi dan anak balita lebih lama berada di
rumah bersama – sama ibunya sehingga dosis pencemaran tentunya akan lebih
tinggi.
b. Ventilasi rumah
Ventilasi yaitu proses penyediaan udara atau pengerahan udara ke atau dari
ruangan baik secara alami maupun secara mekanis. Fungsi dari ventilasi yaitu:
Mensuplai udara bersih yaitu udara yang mengandung kadar oksigen yang
optimum bagi pernapasan, membebaskan udara ruangan dari bau-bauan, asap
ataupun debu dan zat-zat pencemar lain dengan cara pengenceran udara,
mensuplai panas agar hilangnya panas badan seimbang, mensuplai panas akibat
hilangnya panas ruangan dan bangunan, mengeluarkan kelebihan udara panas
yang disebabkan oleh radiasi tubuh, kondisi, evaporasi ataupun keadaan eksternal,
mendisfungsikan suhu udara secara merata.
c. Kepadatan hunian rumah
Kepadatan hunian dalam rumah menurut keputusan menteri kesehatan nomor
829/MENKES/SK/VII/1999 tentang persyaratan kesehatan rumah, satu orang
minimal menempati luas kamar 8m2. Dengan kriteria tersebut diharapkan dapat
mencegah penularan penyakit dan melancarkan aktivitas. Keadaan tempat tinggal
yang padat dapat meningkatkan faktor polusi dalam rumah yang telah ada.

Manifestasi Klinis
Gambaran klinis pneumonia pada bayi dan anak bergantung pada berat-ringannya
infeksi, tetapi secara umum adalah sebagai berikut:
 Gejala infeksi umum, yaitu demam, sakit kepala, gelisah, malaise, penurunan
napsu makan, keluhan gastrointestinal seperti mual, muntah atau diare; kadang-
kadang ditemukan gejala infeksi ekstrapulmoner.
 Gejala gangguan respiratori, yaitu batuk, sesak napas, retraksi dada, takipnea,
napas cuping hidung, air hunger, merintih, dan sianosis.

(Sumber: Buku ajar respirologi anak badan penerbit IDAI)

Diagnosis
Anamnesis
Hasil Anamnesis (Subjective)
Sebagian besar gambaran klinis pneumonia pada anak berkisar antara ringan hingga
sedang, sehingga dapat berobat jalan saja. Hanya sebagian kecil yang berat,
mengancam kehidupan, dan mungkin terdapat komplikasi sehingga memerlukan
perawatan di rumah sakit. Beberapa faktor yang memengaruhi gambaran klinis
pneumonia pada anak adalah:
1. Imaturitas anatomik dan imunologik
2. Mikroorganisme penyebab yang luas, gejala klinis yang kadang-kadang tidak khas
terutama pada bayi
3. Etiologi noninfeksi yang relatif lebih sering
4. Faktor patogenesis
5. Kelompok usia pada anak merupakan faktor penting yang menyebabkan
karakteristik penyakit berbeda-beda, sehingga perlu dipertimbangkan dalam
tatalaksana pneumonia.

Gambaran klinis pneumonia pada bayi dan anak bergantung pada berat-ringannya
infeksi, tetapi secara umum adalah sebagai berikut:
a. Gejala infeksi umum, yaitu demam, sakit kepala, gelisah, malaise, penurunan
nafsu makan, keluhan gastrointestinal seperti mual, muntah atau diare; kadang-
kadang ditemukan gejala infeksi ekstrapulmoner.
b. Gejala gangguan respiratori, yaitu batuk, sesak napas, retraksi dada, takipnea,
napas cuping hidung, air hunger, merintih, dan sianosis.

(Sumber: PPK Dokter di Fasyankes Primer)

Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan tanda klinis seperti pekak perkusi, suara
napas melemah, dan ronki. Akan tetapi pada neonatus dan bayi kecil, gejala dan tanda
pneumonia lebih beragam dan tidak selalu jelas terlihat. Pada perkusi dan auskultasi
paru umumnya tidak ditemukan kelainan.

(Sumber: PPK Dokter di Fasyankes Primer)

Pemeriksaan Penunjang
a. Darah perifer lengkap
Pada pneumonia yang disebabkan oleh virus dan mikoplasma, jumlah leukosit
dalam batas normal atau sedikit meningkat, sedangkan pneumonia karena bakteri,
terjadi leukositosis (15.000 – 40.000/mm3) dengan predominan leukosit PMN.
Pada infeksi Chlamydia pneumoniae kadang – kadang ditemukan adanya
eosinofilia.
b. C- Reactive Protein (CRP)
CRP adalah suatu protein fase akut yang disintesis oleh hepatosit, secara klinis
CRP digunakan sebagai alat dignostik untuk membedakan antara faktor infeksi
dan noninfeksi, infeksi virus dan bakteri, atau infeksi bakteri superfisialis dan
profunda. Kadar CRP biasanya lebih rendah pada infeksi virus dan infeksi bakteri
superfisialis daripada infeksi bakteri profunda.
c. Uji serologis
Uji serologis bertujuan untuk mendeteksi antigen dan antibodi pada infeksi bakteri
tipik yang mempunyai sensitifitas dan spesifitas rendah. Diagnosis infeksi
Streptokokus grup A dapat diketahui dengan titer antibodi yang meningkat seperti
antistreptolisin O, streptozim, atau antiDnase B. Peningkatan titer juga bisa
menunjukan adanya infeksi yang pernah terjadi. Untuk membedakannya
diperlukan serum fase akut dan serum fase konvalesen, namun secara umum uji
serologis tidak terlalu bermanfaat dalam mendiagnosis infeksi bakteri tipik, tetapi
bermanfaat untuk mendiagnosis bakteri atipik seperti mikoplasmadan klamidia,
serta beberapa virus (RSV, sitomegalo virus, campak, influenza A dan B,
adenovirus), peningkatan antibodi IgM dan IgG dapat membantu diagnosis
d. Pemeriksaan mikrobiologis
Pemeriksaan mikrobiologik untuk diagnosis pneumonia anak tidak rutin dilakukan
kecuali pada pneumonia berat yang dirawat di RS. untuk pemeriksaan
mikrobiologik, spesimen dapat berasal dari usap tenggoroka, sekret nasofaring,
bilasan bronkus, darah, fungsi pleura, atau aspirasi paru. Pada anak besar dan
remaja, spesimen untuk pemeriksaan mikrobiologik dapat berasal dari sputum,
baik untuk pewarnaan gram maupun untuk kultur. Spesimen yang memenuhi
syarat adalah sputum yang mengandung lebih dari 25 leukosir dan kurang dari 40
sel epitel/lapangan pada pemeriksaan mikroskopis dengan pembesaran kecil.
e. Pemeriksaan Rontgen Toraks
Foto rontgen toraks pada pneumonia ringan tidak rutin dilakukan, hanya
direkomendasikan pada pneumonia berat yang dirawat. Kelainan foto rontgen
toraks pada pneumonia tidak selalu berhubungan dengan gambaran klinis.
Kadang-kadang bercak-bercak sudah ditemukan pada gambaran radiologis
sebelum timbul gejala klinis. Akan tetapi, resolusi infiltrat sering memerlukan
waktu yang lebih lama setelah gejala klinis menghilang. Pada pasien dengan
pneumonia tanpa komplikasi, ulangan foto rontgen toraks tidak diperlukan.
Ulangan foto rontgen toraks diperlukan bila gejala klinis menetap, penyakit
memburuk, atau untuk tindak lanjut.

Umumnya pemeriksaan yang diperlukan untuk menunjang diagnosis pneumonia


di Instalasi Gawat Darurat hanyalah pemeriksaan rontgen toraks posisi AP. Lynch
dkk. mendapatkan bahwa tambahan posisi lateral pada foto rontgen toraks tidak
meningkatkan sensitivitas dan spesifisitas penegakan diagnosis pneumonia pada
anak. Foto rontgen toraks AP dan lateral hanya dilakukan pada pasien dengan
tanda dan gejala klinik distres pernapasan seperti takipnea, batuk, dan ronki,
dengan atau tanpa suara napas yang melemah.
Secara umum gambaran foto toraks terdiri dari:
 Infiltrat interstisial, ditandai dengan peningkatan corakan bronkovaskular,
peribronchial cuffing, dan hiperaerasi.
 Infiltrat alveolar, merupakan konsolidasi paru dengan air bronchogram.
Konsolidasi dapat mengenai satu lobus disebut dengan pneumonia lobaris,
atau terlihat sebagai lesi tunggal yang biasanya cukup besar, berbentuk sferis,
berbatas yang tidak terlalu tegas, dan menyerupai lesi tumor paru, dikenal
sebagai round pneumonia.
 Bronkopneumonia, ditandai dengan gambaran difus merata pada kedua paru,
berupa bercak-bercak infiltrat yang dapat meluas hingga daerah perifer paru,
disertai dengan peningkatan corakan peribronkial.

Gambaran foto rontgen toraks pneumonia pada anak meliputi infiltrat ringan pada
satu paru hingga konsolidasi luas pada kedua paru. Pada suatu penelitian ditemukan
bahwa lesi pneumonia pada anak terbanyak berada di paru kanan, terutama di lobus
atas. Bila ditemukan di paru kiri, dan terbanyak di lobus bawah, maka hal itu
merupakan prediktor perjalanan penyakit yang lebih berat dengan risiko terjadinya
pleuritis lebih meningkat.

(Sumber: Buku ajar Respirologi Anak Badan penerbit IDAI)

Penegakan Diagnosis berdasarkan klasifikasi


Klasifikasi pneumonia berdasarkan pedoman tersebut adalah:
a. Bayi dan anak usia 2 bulan sampai 5 tahun.
1. Pneumonia berat
- Bila ada sesak nafas.
- Harus dirawat dan diberikan antibiotik.
2. Pneumonia
- Bila tidak ada sesak nafas.
- Terdapat nafas cepat dengan laju nafas : > 50 x/menit untuk anak usia 2
bulan sampai 1 tahun, dan > 40 x/menit untuk anak >1- 5 tahun.
3. Bukan pneumonia
- Bila tidak ada nafas cepat dan sesak nafas.
- Tidak perlu dirawat dan tidak perlu diberikan antibiotik, hanya diberikan
pengobatan simptomatis seperti penurun panas.
b. Bayi berusia di bawah 2 bulan
1. Pneumonia
- Bila ada nafas cepat ( >60 x/ menit ) atau sesak nafas.
- Harus dirawat dan diberikan antibiotik.
2. Bukan pneumonia
- Tidak terdapat nafas cepat atau sesak nafas.
- Tidak perlu dirawat, diberikan obat simptomatis

(Sumber : PPK Dokter di Fasyankes Primer)


Penatalaksaan
1) Pneumonia ringan
- Anak di rawat jalan
- Berikan antibiotik :
Kortimoksasol (4 mg TMP/kg BB/kali) 2 kali sehari selama 3 hari atau
amoksisilin (25 mg/kg BB/kali) 2 kali sehari selama 3 hari. Untuk pasien HIV
diberikan selama 5 hari.

2) Pneumonia berat
- Anak dirawat di rumah sakit
- Terapi antibiotik Berikan ampisilin/amoksisilin (25-50 mg/kg BB/kali IV
atau IM setiap 6 jam), dipantau dalam 24 jam selama 72 jam. Bila
anakmemberi respon yang baik maka diberikan selama 5 hari. Selanjutnya
terapi dilanjutkan di rumah atau di rumah sakit dengan amoksisilin oral (15
mg/kg BB/kali tiga kali sehari) untuk 5 hari berikutnya.Bila keadaan
klinismemburuk sebelum 48 jam, atau terdapat keadaan yang berat (tidak dapat
menyusu atau minum/makan, atau memuntahkan semuanya, kejang, letargis
atau tidak sadar, sianosis, distres pernafasan berat) maka ditambahkan
kloramfenikol (25 mg/kg BB/kali IM atau IV setiap 8 jam).Bila pasien datang
dengan keadaan klinis berat, segera berikan oksigen dan pengobatan kombinasi
ampisilin-kliramfenikol atau ampisilin-gestamisin. Sebagai alternatif,
seftriakson (80-100 mg/kg BB IM atau IV sekali sehari). Bila anak tidak
membaik dalam 48 jam, maka kemungkinan foto dada.
Apabila diduga pneumonia stafilokokal,gantiantibiotik dengangentamisin(7,5
mg/kg BB IM sekali sehari) dan kloksasilin (50 mg/kg BB Imatau IV setiap 6
jam) atau klindamisin (15 mg/kg BB/hari-3 kalipemberian).
Bila keadaan anak emmbaik, lanjutkan kloksasilin atau dikloksasilin secara oral
4 kali sehari sampai secara keseluruhan mencapai 3minggu atau klindamisin
secara oral selama 2 minggu
- Terapi oksigen
Berikan oksigen, jika tersedia pulse oximetri gunakan sebagai panduan untuk
oksigen (berikan pada anak dengan saturasi oksigen < 90%, bila tersedia
oksigen yang cukup). Lakukan periode uji coba tanpa oksigen setiap harinya
pada anak yang stabil. Hentikan pemberian oksigen bila saturasi tetap stabil
>90%.Gunakan nasal prong untuk menghantarkan oksigen pada bayi muda.
Masker wajah atau maskr kepala tidak direkomendasikan. Osigen harus
tersedia secara terus-menerus setiap waktu. Lanjutkan pemberian oksigen
sampai tanda hipoksia (seperti tarikan dinding dada bagian bawah ke dalam
yang berat atau napas ≥ 70x/menit) tidak ditemukan lagi.Perawat sebaiknya
memeriksa kateter dan nasal prong setiap 3 jam.
- Perawatan penunjang
Bila anak disertai demam (≥39⁰C) yang menyebabkan distres, maka berikan
parasetamol. Bila ditemukan adanya wheeze, berikan bronkhidilator kerja
cepat. Bila terdapat sekret kental di tenggorokan yang tidak dapat dikeluarkan,
hilangkan dengan alat penghisap secara perlahan. Pastikan anak memperoleh
kebutuhan cairan rumatan sesuai umur, anjurkan ASI dan cairan oral. Jika
anak tidak bisa minum, pasang pipa nasogastrik dan berikan cairan rumatan
sedikit api sering. jika oksigen diberikan bersamaan dengan cairan nasogastrik,
pasang keduanya pada lubang hidung yang sama. Bujuk anak untuk makan,
segera setelah anak bisa menelan makanan. Berikan makan sesuai dengan
kebutuhannya dan sesuai kemampuan anak dalam menerimanya.
- Pemantauan
Pantau anak sedikitnya 3 jam dan oleh dokter minimal 1x per hari. Jika tidak
ada komplikasi, dalam 2 hari akan tampak perbaikan klinis (bernafas tidak
cepat, tidak ada tarikan dinding dada, bebas demam dan anak dapat makan dan
minum).

(sumber : Setyawati, Ari. Marwiati.Tata Laksana Kasus Batuk atau Kesulitan


Bernafas: Literature Review. Jurnal Ilmiah Kesehatan. 2018

Komplikasi
Menurut WHO dalam Seyawati dan Marwiati (2018), apabila kondisi anak memburuk
dan tidak membaik selama 2 hari, maka perlu dilihat komplikasi atau diagnosis lain
dengan melakukan foto dada. Beberapa komplikasi antara lain:
1. Pneumonia stafilokokus, ditandai dengan pneumatokel atau pneumotorak dengan
efusi pleura pada foto dada dan ditemukan gram positif pada sputum, adanya
infeksi kulit disertai pus/pustula. Pnemonia Stafilokokus memperburuk gejala
klinis secara cepat walaupun telah diberikan terapi.
2. Empiema, apabila ditemukan demam persisten, tanda klinis dan gambaran foto
dada maka curiga empiema. Apabila masih terdapat tanda pendorongan organ
intratorakal, pekak pada perkusi, gambaran foto dada menunjukkan adanya cairan
pada satu atau kedua sisi dada, demam menetap meskipun sedang diberi antibiotik
dan cairan pleura menjadi keruh atau purulen. Pnemonia Stafilokokus dapat
ditandai dengan adanya pneumatokel atau pneumathoraks dan efusi pleura.

(Sumber :Jurnal Universitas Muhammadiyah Aceh)

Prognosis
Prognosis pneumonia pada umumnya baik, tergantung dari faktor penderita, bakteri
penyebab dan penggunaan antibiotik yang tepat serta adekuat. Perawatan yang baik
dan intensif sangat mempengaruhi prognosis penyakit penderita yang dirawat.
Kejadian pneumonia di USA adalah 3,4-4 juta kasus pertahunnya, 20% diantaranya
perlu dirawat di rumah sakit. Secara umum angka kematian pneumonia oleh
pneumokokkus adalah sebesar 5% pada penderita rawat jalan.

(Sumber : Jurnal Unviersitas Islam Bandung)

Pencegahan
Upaya pencegahan merupakan komponen strategic pemberantasan pneumonia pada
anak terdiri dari pencegahan melalui imunisasi dan non-imunisasi. Imunisasi terhadap
patogen yang bertanggung jawab terhadap pneumonia merupakan strategi pencegahan
spesifik. Pencegahan non-imunisasi merupakan pencegahan non-spesifik misalnya
mengatasi berbagai faktor-risiko seperti polusi udara dalam-ruang, merokok,
kebiasaan perilaku tidak sehat/bersih, perbaikan gizi dan dan lain-lain.

 Imunisasi
Dari beberapa studi vaksin (vaccine probe) diperkirakan vaksin pneumokokus
konjungat dapat mencegah penyakit dan kematian 20-35% kasus pneumonia
pneumokokus dan vaksin Hib mencegah penyakit dan kematian 15-30% kasus
pneumonia Hib. Pada saat ini di banyak negara berkembang direkomendasikan
vaksin Hib untuk diintegrasikan ke dalam program imunisasi rutin dan vaksin
pneumokokus konjugat direkomendasikan sebagai vaksin yang dianjurkan.
 Non imunisasi
Pencegahan non-imunisasi sebagai upaya pencegahan non-spesifik merupakan
komponen yang masih sangat strategis. Banyak kegiatan yang dapat dilakukan
misalnya pendidikan kesehatan kepada berbagai komponen masyarakat, terutama
pada ibu anak-balita tentang besarnya masalah pneumonia dan pengaruhnya
terhadap kematian anak, perilaku preventif sederhana misalnya kebiasaan mencuci
tangan dan hidup bersih, perbaikan gizi dengan pola makanan sehat; penurunan
faktor risiko-lain seperti men cegah berat-badan lahir rendah, menerapkan ASI
eksklusif, mencegah polusi udara dalam-ruang yang berasal dari bahan bakar
rumah tangga dan perokok pasif di lingkungan rumah dan pencegahan serta
tatalaksana infeksi HIV.

(Sumber : jurnal Pneumonia Balita, Kementrian Kesehatan RI.)

Anda mungkin juga menyukai