Anda di halaman 1dari 41

LAPORAN KEGIATAN KOASISTENSI

PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI DOKTER HEWAN


LABORATORIUM KESEHATAN MASYARAKAT VETERINER
“PENILAIAN KUALITAS DAGING DAN PRODUKNYA”

OLEH:
GELOMBANG XVIII KELOMPOK G

Ainul Hidayah 2009612017


Serly Nur Indah Permatasari 2009612028

Yoga Mahendra Pandia 2009612031

Audrey Febiannya Putri Bhaskara 2009612035

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN


UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
2021

1
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadapan Tuhan Yang Maha Esa atas berkat
dan rahmat-Nya, sehingga kami dapat menyelesaikan Laporan Koasistensi di
Laboratorium Kesehatan Masyarakat Veteriner dengan baik dan tepat waktu.
Laporan ini disusun sebagai pertanggungjawaban kegiatan koasistensi pada
laboratorium terkait. Penyusunan laporan ini didasari atas dukungan dan
bimbingan oleh seluruh staf dosen Kesehatan Masyarakat Veteriner. Pada
kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada:
1. Prof. Dr. drh. I Nengah Kerta Besung, M.Si sebagai Dekan Fakultas
Kedokteran Hewan Universitas Udayana.
2. Prof. Dr. drh. I Ketut Berata, M.Si, sebagai Koordinator Pendidikan
Profesi Dokter Hewan Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Udayana.
3. drh. I Ketut Suada, M.Si. selaku Koordinator Laboratorium
KesehatanMasyarakat Veteriner dan Epidemiologi, Program Profesi
Dokter Hewan,Fakultas Kedokteran Hewan, Universitas Udayana.
4. Seluruh dosen pengampu Laboratorium Kesehatan Masyarakat Veteriner
Program Profesi Dokter Hewan, Fakultas Kedokteran Hewan,Universitas
Udayana.
5. Semua pihak yang telah membantu selama kegiatan koasistensi
berlangsung.
Untuk kesempurnaan penulisan laporan ini, segala kritik dan saran yang
sifatnya membangun sangat penulis harapkan. Penulis berharap semoga tulisan ini
dapat bermanfaat bagi perkembangan ilmu pengetahuan khususnya dibidang ilmu
Kedokteran Hewan.

Denpasar, 23 Juli 2021

Penulis

2
DAFTAR ISI
ii Halaman
HALAMAN JUDUL .......................................................................................... i
KATA PENGANTAR ....................................................................................... ii
DAFTAR ISI ...................................................................................................... iii
DAFTAR TABEL .............................................................................................. v
DAFTAR GAMBAR ......................................................................................... vi
BAB I PENDAHULUAN .................................................................................. 1
1.1 Latar Belakang ..................................................................................... 1
1.2 Tujuan Penulisan .................................................................................. 1
1.3 Manfaat Penulisan ................................................................................ 2
1.4 Waktu dan Tempat ............................................................................... 2
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ........................................................................ 3
2.1 Daging .................................................................................................. 3
2.2 Penilaian Kualitas Daging .................................................................... 4
2.2.1 Uji Subjektif ............................................................................... 4
2.2.2 Uji Objektif ................................................................................. 8
2.3 Penilaian Produk Olahan Daging ......................................................... 11
BAB III MATERI DAN METODE ................................................................... 13
3.1 Waktu dan Tempat ............................................................................... 13
3.2 Alat dan Bahan ..................................................................................... 13
3.2.1 Alat ............................................................................................. 13
3.2.2 Bahan .......................................................................................... 13
3.3 Metode ................................................................................................. 14
3.3.1 Penilaian Subjektif (Indrawi) ..................................................... 14
3.3.2 Penilaian Objektif ....................................................................... 15
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ........................................................... 19
4.1 Hasil ..................................................................................................... 19
4.1.1 Penilaian Kualitas Daging ......................................................... 19
4.1.2 Penilaian Kualitas Produk Olahan Daging ................................. 20
4.2 Pembahasan .......................................................................................... 21

3
4.2.1 Penilaian Kualitas Daging .......................................................... 21
4.2.2 Penilaian Kualitas Produk Olahan Daging ................................. 27
BAB V PENUTUP .............................................................................................
iii 29
5.1 Simpulan .............................................................................................. 29
5.2 Saran .................................................................................................... 29
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................ 30
LAMPIRAN ....................................................................................................... 34

4
DAFTAR TABEL
iv Halaman
4.1 Hasil Uji Subjektif Daging Segar Pasar Kumbasari dan Pasar Sanglah ...... 19
4.2 Hasil Uji Objektif Daging Segar Pasar Kumbasari dan Pasar Sanglah ....... 19
4.3 Hasil Uji Subjektif dan Objektif Produk Olahan Daging ............................. 20

5
DAFTAR GAMBAR
v Halaman
2.1 Standar Warna Daging ................................................................................. 6

vi
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Daging merupakan salah satu komoditas utama di Indonesia, terutama
daging sapi yang memiliki peran penting untuk mencukupi kebutuhan protein
hewani masyarakat selain dari telur dan ikan. Seiring dengan peningkatan jumlah
penduduk, permintaan akan kebutuhan daging juga akan meningkat. Menurut
survei sosial ekonomi nasional, konsumsi rata-rata per kapita per tahun untuk
daging sapi mengalami peningkatan sebesar 0,104 dari tahun 2009 sampai dengan
tahun 2011. Sonbait et al. (2008) menambahkan bahwa kebutuhan akan protein
hewani asal ternak sesuai dengan standar kebutuhan gizi nasional setara dengan
6,0 gram/kapita/hari, hal ini berarti sama dengan mengkonsumsi daging 7,6
kg/kapita/tahun. Begitu halnya dengan peningkatan tingkat pendapatan perkapita
penduduk maka tingkat konsumsi juga akan meningkat sehingga permintaan akan
kebutuhan daging juga akan semakin meningkat. Disisi lain, meningkatnya
pengetahuan masyarakat akan menuntut suatu produk memiliki kualitas dan mutu
yang baik. Hal terpenting dalam pemilihan daging adalah kualitas daging.
Daging yang beredar di pasar tentunya memiliki kualitas yang sangat
bervariatif. Beragamnya kondisi ternak, cara pemeliharaan dan umur potong dari
ternak tersebut menyebabkan kualitas dari daging yang dihasilkan menjadi
beragam, dengan beragam kondisi tersebut, masyarakat harus teliti dalam memilih
daging yang akan dikonsumsi.
Evaluasi terhadap kualitas dan kesehatan daging, dapat dilakukan dengan uji
Subjektif (Evaluasi Inderawi) dan uji Objektif (Evaluasi menggunakan alat-alat
laboratoris). Faktor yang mempengaruhi kualitas daging antara lain : warna,
kemampuan menahan air/daya ikat air/water holding capacity (WHC),
konsistensi, tekstur, bau (aroma), kepualaman, citarasa dan jumlah mikroba.
1.2 Tujuan Penulisan
Tujuan dari kegiatan praktikum pemeriksaan kualitas daging adalah untuk
mengetahui cara pengujian kualitas bahan pangan asal hewan seperti daging sapi,
babi, dan ayam serta produk olahan asal hewan seperti bakso dan sosis dari pasar
tradisional.

1
1.3 Manfaat Penulisan
Manfaat dari kegiatan praktikum pemeriksaan kualitas daging adalah untuk
memberikan informasi mengenai kualitas bahan pangan asal hewan seperti daging
sapi, babi, dan ayam serta produk olahan asal hewan seperti bakso dan sosis dari
pasar tradisional.
1.4 Waktu dan Tempat
Kegiatan praktikum pemeriksaan kualitas daging oleh kelompok 18 G
dilaksanakan dari tanggal 22 Juli 2021 sampai dengan 23 Juli 2021, bertempat di
Laboratorium Kesehatan Masyarakat Veteriner Fakultas Kedokteran Hewan
Universitas Udayana.

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Daging
Daging berperan cukup besar dalam konteks ketahanan pangan nasional
karena merupakan salah satu komoditas dengan kandungan gizi yang cukup
lengkap (Usmiati, 2010). Daging merupakan bahan pangan yang penting dalam
memenuhi kebutuhan gizi. Selain mutu proteinnya yang tinggi, daging
mengandung asam amino esensial yang lengkap serta beberapa jenis mineral dan
vitamin. Daging merupakan semua jaringan hewan dan produksi hasil pengolahan
jaringan-jaringan tersebut yang sesuai untuk dimakan serta tidak menimbulkan
gangguan kesehatan bagi yang mengkonsumsinya (Soeparno 2005), daging yang
umum dikonsumsi dapat diperoleh dari ternak ruminansia besar dan juga kecil
seperti sapi, kerbau, domba, atau kambing, ternak unggas seperti ayam atau itik,
dan aneka ternak, seperti kelinci, rusa, kuda, atau babi. Menurut Belk et al.,
(2001) daging adalah otot hewan yang tersusun dari serat-serat yang sangat kecil,
berupa sel memanjang yang disatukan oleh jaringan ikat, membentuk berkas
ikatan yang pada kebanyakan daging jelas kelihatan lemak pembuluh darah dan
urat saraf.
Komposisi daging terdiri dari air 56–72%, protein 15-22%, lemak sekitar
3,5% yang meliputi karbohidrat, garam organik, substansi nitrogen terlarut,
mineral dan vitamin. menurut (Tabrany, 2001). Komposisi daging dipengaruhi
oleh jenis hewan, pemberian pakan, kondisi iklim dan juga potongan daging yang
dianggap berbeda tergantung pada nutrisi dan sifat sensorisnya. Dengan
melakukan seleksi terhadap ras hewan dan garis keturunan secara genetik,
komposisi karkas dapat berubah secara signifikan (Colmenero et al., 2001).
Kualitas daging ditentukan oleh pertumbuhan komponennya antara lain
tulang, lemak dan otot. Otot yang terdapat pada bagian daging adalah otot skelet/
seran lintang. Apabila otot seran lintang diperiksa tanpa alat pembesar, tampak
adanya perbedaan warna pada serabutnya yaitu tampak serabut otot yang
berwarna merah dan serabut berwarna putih. Warna daging merah banyak
mengandung mioglobin, mitokondria, enzim respirasi, serabut ototnya halus dan
berhubungan dengan aktivitas otot yang tinggi. Sedangkan warna putih

3
mengandung sedikit mioglobin, mitokondria, enzim respirasi, serabutnya kasar
dan berhubungan dengan gerakan cepat dan singkat (Lawrie, 1991). Kualitas
daging juga dipengaruhi oleh faktor sebelum dan setelah penyembelihan. Faktor
sebelum penyembelihan yang dapat mempengaruhi kualitas daging antara lain
adalah tipe ternak, jenis kelamin, umur, pakan, bahan aditif (hormon, antibiotik
dan mineral), tingkat stress hewan, genetik serta spesies. Faktor setelah
penyembelihan yang mempengaruhi kualitas daging antara lain meliputi metode
pelayuan, stimulasi listrik, metode pemasakan, pH daging, metode penyimpanan,
dan macam otot daging (Soeparno, 1992). Penilaian kualitas daging segar dapat
dilakukan dengan menilai sampel daging yang sudah dipotong dengan melakukan
Uji Subyektif yang meliputi warna, bau, konsistensi, kepualaman, tenunan
jaringan pengikat, serta Uji Objektif yang meliputi nilai pH, kadar air, water
holding capacity (WHC), uji mikrobiologis. Daging yang bermutu baik adalah
daging yang memiliki warna cerah, permukaan mengkilat, tidak pucat, tidak
berbau asam apalagi busuk, konsistensinya liat dan masih terasa kebasahannya
(Hadiwiyoto, 1983).
Berbeda dengan dengan daging segar, produk daging/olahan daging
diartikan sebagai produk olahan hasil proses yang berasal dari daging maupun
produk lebih lanjut dari hasil olahan tersebut sehinggan permukaan potongan
menunjukan bahwa produk tersebut tidak lagi memiliki ciri daging segar
(Kamenik dan Steinhauser, 2001). Berbeda dengan daging segar, daging olahan
mengandung lebih sedikit protein dan air, dan lebih banyak lemak dan mineral.
Kenaikan presentase mineral daging olahan disebabkan karena penambahan
bumbu–bumbu dan garam, sedangkan kenaikan nilai kalorinya disebabkan karena
penambahan karbohidrat dan protein dari biji –bijian, tepung dan susu skim
(Soeparno, 2011).
2.2 Penilaian Kualitas Daging
2.2.1 Uji Subyektif
Evaluasi terhadap kualitas dan kesehatan daging dilakukan melalui Uji
Subyektif menggunakan panca indera, dengan melakukan pengamatan secara
visual terhadap daging dan olahan daging. Pemeriksaan subyektif daging
mencangkup: warna daging, bau (aroma) daging, konsistensi dan tekstur,

4
keadaan tenunan pengikat, kepualaman daging. Dengan melakukan
pemeriksaan untuk mengetahui kualitas dari daging serta olahan daging yang
baik, sehingga daging tersebut layak untuk dikonsumsi.
1. Warna Daging
Warna daging sangat tergantung pada jenis secara genetic, usia, pakan,
umur, jenis kelamin, stress, pH, dan oksigen. Warna pada daging merupakan
salah satu indicator penting dalam menentukan kualitas daging, namun warna
tidak mempengaruhi nilai gizi namun daging yang berwarna kuning
cenderung berkualitas rendah (Nugraheni dan Anggraeni, 2018). Daging sapi
dewasa berbeda dengan daging anak sapi, pada daging anak sapi umumnya
agak pucat, kelabu putih sampai merah pucat dan menjadi tua, serabutnya
lebih halus daripada daging sapi dewasa, konsistensinya agak lembek, bau
dan rasanya berbeda dengan daging sapi dewasa. Daging sapi dewasa dilihat
secara makroskopis berwarna merah pucat, berserabut halus dengan sedikit
lemak, konsistensi liat, bau dan rasa aromatis (Yudistira, 2005). Menurut
Suardana dan Swacita, 2009 beberapa ternak memberikam karakteristik
khusus seperti daging sapi berwarna merah terang, ikan berwarna putih abu-
abu sampai merah gelap, kuda berwarna merah gelap, babi berwarna pink
kelabu dan unggas berwarna putih abu-abu sampai merah.
Adanya variasi warna daging pada beberapa hewan disebabkan oleh
pigmen. Pigmen adalah faktor terpenting dalam pembentukan warna daging,
hal ini karena kandungan haemoglobin (pigmen darah) dan mioglobin
(pigmen jaringan). Namun 80-90% seluruh pigmen daging ditentukan oleh
mioglobin.Daging yang terekspos dengan udara (O2), mioglobin dan oksigen
dalam daging akan bereaksi membentuk ferrousoxymioglobin (OxyMb)
sehingga daging akan berwarna merah cerah. Apabila waktu kontak antara
mioglobin dengan oksigen berlangsung lama, maka akan terjadi oksidasi
membentuk ferricmetmyoglobin (MetMb), sehingga daging berwarna coklat
dan tidak menarik (Jeong et al., 2009).

5
Gambar 2.1 Standar Warna Daging
Sumber: SNI, 2008
2. Bau (Aroma) Daging
Faktor-faktor yang mempengaruhi aroma daging adalah umur ternak,
tipe pakan, spesies, jenis kelamin, lemak, bangsa, lama waktu dan kondisi
penyimpanan daging setelah pemotongan (Forrest et al., 1975). Bau atau
aroma daging disebabkan oleh adanya fraksi yang mudah menguap berupa
inosin-5-monofosfat (merupakan hasil konversi dari adenosisne-5-trifosfat
pada jaringan otot hewan semasa hidup) yang mengandung hydrogen sulfide
dan metal mercaptan. Daging yang masih segar berbau seperti darah segar.
Daging yang telah mengalami pembusukan khususnya pada daging merah
akan berbau busuk, bau dagung merupakan campuran campuran dari aktivitas
enzim lipolitik trasigliserol, ketengikan oksidatif asam lemak tak jenh serta
produk degradasi protein yang terakumulasi dalam jaringan lemak. Produk
degradasi protein dapat diketahui dari pelepasan gas – gas ammonia (NH3),
dan hydrogen sulfide (H2S) serta metal mercaptan yang berbau busuk.
Pelepasan gas – gas ini bersumber dari asam – asam amnio penyusun protein
daging yang mengandung gugus NH, gugus S, dan gugus NH3 dalam
kombinasi dengan senyawa lain. Pada daging sapi bali, bau yang lebih
dominan adalah bau darah segar (Suardana dan Swacita, 2009).
3. Konsistensi dan Tekstur
Tekstur daging menjadi salah satu unsur kualitas daging dan
berpengaruh terhadap daya tarik konsumen dalam memilih daging (Agustina
et al., 2017). Menurut Suardana dan Swacita, 2009 konsistensi daging

6
dinyatakan dengan liat (firmness), lembek (softness), berair (juiciness).
Daging segar terasa liat sedangkan daging yang mulai membusuk akan berair.
Tekstur daging segar memiliki tekstur yang halus dan daging yang mulai
membusuk memiliki tekstur yang kasar. Ada dua faktor penting yang dapat
berpengruh terhadap konsistensi dan tekstur yaitu antermortem (genetik,
fisiologis, umur, manajemen hewan, jenis kelamin, dan tingkat stress pada
hewan) dan postmortem (chilling, refrigerasi, pelayuan, pembekuan lama dan
suhu penyimpanan termasuk dengan pemasakan dan pengempukan).
Komponen penting dalam penentuan keempukan daging adalah status
myofibril dan status kontraksi, kandungan jaringan ikat dan tingkat ikatan
silang, serta daya ikat air. Menurut Soeparno (2015), tekstur bisa bervariasi di
antara spesies, bangsa, ternak dalam spesies yang sama, potongan karkas dan
di antara otot serta otot yang sama.
4. Keadaan Tenunan Pengikat
Adanya tenunan pengikat dapat terlihat pada potongan melintang
daging. Sesuai dengan peraturan Direktorat Jenderal Peternakan RI, jika
secara visual tidak mengandung jaringan ikat atau negatif, maka daging
tersebut termasuk dalam klasifikasi mutu/Klas I. Jika jaringan ikat positif
maka daging tersebut termasuk mutu/Klas II. Pemeriksaan keadaan tenunan
pengikat pada daging dapat diamati secara visual terhadap penampang
melintang daging, kemudian diperhatikan ada tidaknya jaringan ikat.
5. Kepualaman
Kepualaman adalah suatu kondisi pada daging yang mengandung bintik
bintik lemak di antara serat-seratnya (intramuskuler) yang tampak secara
visual. Kemudian hasil yang didapatkan dari pengamatan digolongkan ke
dalam tingkat kepualaman berdasarkan standar The Japanese Meat Society
(1974), sebagai berikut.
a. 0 = bintik lemak absen (0% dari penampang melintang permukaan)
b. 1 = bintik lemak absen (10% dari penampang melintang permukaan)
c. 2 = bintik lemak absen (20% dari penampang melintang permukaan)
d. 3 = bintik lemak absen (30% dari penampang melintang permukaan)
e. 4 = bintik lemak absen (40% dari penampang melintang permukaan)

7
f. 5 = bintik lemak absen (50% dari penampang melintang permukaan)
Makin tinggi skor nilai yang diberikan oleh daging tersebut, maka
makin baik mutu daging tersebut sebagai bahan pangan karena akan
mempengaruhi citarasa daging setelah dimasak.
2.2.2 Uji Objektif
Penilaian obyektif daging merupakan pemeriksaan daging dengan
menggunakan alat laboratoris. Pemeriksaan obyektif daging mencangkup:
pH, daya ikat air (water holding capacity /WHC), penetapan kadar air, dan uji
mikrobiologis daging.
1. Nilai pH Daging
Tingkat keasaman (pH) adalah indikator untuk menentukan keasaman
atau kebasaan dari daging segar ataupun produk yang dihasilkan (Merthayasa,
et al., 2015). Menurut Setiawan et al., 2017 penurunan nilai pH pada otot
hewan ang sehat dan ditangani dengan baik sebelum pemotongan akan
berjalan secara bertahap mulai dari 7,0 dan akan mencapai nilai pH (ultimate
pH value) akhir sekitar 5,4-5,8. Penurunan pH terjadi setelah perubahan otot
menjadi daging yang disebabkan oleh terbentuknya asam laktat pada proses
glikolisis. Jarak penurunan pH tersebut tidak sama untuk semua urat daging
dan tidak sama juga untuk seekor hewan. Pada hewan sakit atau yang
memperlihatkan penyimpangan maka dalam waktu 48-72 jam sesudah
penyembelihan tidak terlihat adanya penurunan pH. Keadaan pH akhir setelah
proses glikolisis selesai dipengaruhi oleh beberapa hal antara lain keadaan
keletihan dan stress. Hewan yang mengalami cekaman dan keletihan setelah
pengangkutan ke RPH akan menyebabkan kadar glikogen otot menjadi
rendah. Apabila hewan ini tidak diistirahatkan tetapi langsung disembelih
maka pH minimum yang dicapai hanya sekitar 6. Pada sapi, kerbau, biri-biri
setelah tiba dari pengangkutan kadar glikogen ototnya akan normal kembali
setelah istirahat minimal 1 hari (24 jam).
Keadaan pH akhir setelah proses glikolisis selesai dipengaruhi oleh
beberapa hal antara lain keadaan keletihan dan stress. Hewan yang
mengalami cekaman dan keletihan setelah pengangkutan ke RPH akan
menyebabkan kadar glikogen otot menjadi rendah. Apabila hewan ini tidak

8
diistirahatkan tetapi langsung disembelih maka pH minimum yang dicapai
hanya sekitar 6. Pada sapi, kerbau, biri-biri setelah tiba dari pengangkutan
kadar glikogen ototnya akan normal kembali setelah istirahat minimal 1 hari
(24 jam) (Suardana dan Swacita, 2009).
2. Daya Ikat Air / Water Holding Capacity (WHC)
Daya ikat air atau Water Holding Capacity didefinisikan sebagai
kemampuan daging untuk menahan airnya atau air yang ditambahkan selama
ada pengaruh kekuatan, misalnya pemotongan daging, pemanasan,
penggilingan, dan tekanan. Protein daging berfungsi untuk mengikat air
dalam daging. Komponen air yang terdapat dalam daging dengan kualitas
baik terdapat dalam tiga bentuk yaitu: air yang terikat erat (tightly bound
water), jumlahnya sangat sedikit, terletak didalam molekul protein; air yang
tidak bergerak (immobilized water); dan air bebas (free water). Daya ikat air
oleh protein daging memiliki efek langsung terhadap penyusutan daging
selama penyimpanan. Apabila daya ikat air rendah maka akan terjadi
penurunan kadar air daging yang mengakibatkan kehilangan berat yang
diikuti dengan penurunan nilai nutrisi selama penyimpanan (Suardana dan
Swacita, 2009). Sesuai dengan pendapat Pedersen, 1971 di dalam Soeparno
(2005) yang menyatakan banyak faktor yang mempengaruhi daya ikat air
daging, diantaranya pH, bangsa, pembentukan aktomiosin (rigormortis),
temperatur dan kelembaban, pelayuan karkas, tipe daging dan lokasi otot,
fungsi otot, umur, pakan, dan lemak intramuskuler.
3. Penetapan Kadar Air Daging
Batas ambang kadar air daging sapi yaitu 65 - 80% (Winarno dan
Koswara, 2002). Kadar air dalam daging segar tercatat memiliki rata-rata
75%, untuk batas normal antara 65 - 80% (Lawrie 2003). Kadar air daging
sekitar 75,83% (Kuswati 2006). Kadar air yang tersedia dalam daging sangat
mempengaruhi tingkat pertumbuhan mikroorganisme. Kualitas karkas yang
berhubungan dangan umur dan lemak intramuskuler mempunyai pengaruh
terhadap kadar air daging dan sapi yang mendapat pakan berenergi tinggi
akan meninmbun lemak intramaskular lebih cepat dibanding sapi yang
diberikan pakan berenergi rendah sehingga jumlah deposisi lemak

9
intramaskular lebih banyak dan berdampak pada presentase kadar air yang
rendah (Soeparno, 1994). Kadar air dalam daging juga dipengaruhi oleh
kandungan lemak intramuskuler yang terdapat dalam otot (Nurwantoro et al.,
2012). Kasmadiharja (2008) menyatakan bahwa kadar air yang meningkat
dipengaruhi oleh jumlah air bebas yang terbentuk sebagai hasil samping dari
aktivitas bakteri. Kadar air pada daging yang rendah bertujuan untuk
mengurangi tingkat kebusukan pada daging, jika kadar air dalam daging
tinggi mempercepat pertumbuhan jamur. Hal ini sesuai yang dilaporkan oleh
kadar air daging yang tinggi merupakan suatu faktor yang mendukung 9
perkembangan jamur dan mikroorganisme, sehingga daging yang berkualitas
tinggi kadar airnya harus dalam batas yang normal (Anam et al., 2003).
4. Mikrobiologis Daging
Unsur utama daging adalah air, protein, lemak, vitamin dan mineral.
Adanya kandungan gizi tersebut mengakibatkan daging mudah rusak dan
menjadi media yang sangat cocok bagi pertumbuhan mikroorganisme
terutama bakteri. Adanya kontaminasi bakteri pada daging akan berdampak
pada penurunan mutu daging tersebut (Kuntoro et al., 2013). Kontaminasi
mikrooganisme terjadi karena sanitasi dan higienis yang kurang baik.
Semakin buruk sistem sanitasi dan higienis, tingkat pencemaran mikroba
akan semakin tinggi (Hernando et al., 2015). Penyediaan daging sapi yang
kandungan mikrobanya tidak melebihi Batas Maksimum Cemaran Mikroba
(BMCM) sangat diharapkan dalam memenuhi persyaratan untuk
mendapatkan daging sapi yang aman, sehat, utuh, dan halal (ASUH)
(Hernando et al., 2015). Berdasarkan ketentuan yang telah ditetapkan Badan
Standardisasi Nasional (BSN) persyaratan mikrobiologis dalam daging sapi
yang beredar di Indonesia adalah total plate count (TPC) 106 CFU/g, bakteri
coliform 102 CFU/g, bakteri S. aureus 102 CFU/g, bakteri Salmonella sp
negatif per 25 g, dan bakteri E. coli 10 CFU/g (SNI 3932, 2008). Apabila
kandungan bakteri dalam daging sapi melebihi standard yang telah
ditentukan, maka daging sapi tersebut dianggap tidak layak sebagai bahan
pangan, karena kemungkinan menjadi mudah rusak/busuk. Kemungkinan
pula dapat menimbulkan penyakit apabila daging sapi tersebut mengandung

10
bakteri patogen diolah kurang sempurna dan selanjutnya dikonsumsi
(Nurwantoro et al., 2012).
Evaluasi pemeriksaan mikrobiologis pada daging dapat dilakukan
dengan dua media agar dan dua metode yaitu metode tuang dengan NA
(Nutrient Agar) dan metode sebar dengan EMBA (Eosin Methylene Blue
Agar).
2.3 Penilaian Produk Olahan Daging
Bahan segar memiliki keterbatasan mengingat sifatnya yang mudah rusak
(perisable) sehingga daging sapi memiliki keterbatasan baik terhadap ruang,
tempat dan waktu untuk didistribusi dari tangan konsumen ke tangan konsumen,
yang sekaligus berdampak pada penurunan fungsi ekonomis. Untuk mengatasi
penurunan fungsi ekonomis produk daging, maka perlu dilakukan upaya
pengolahan (Sonbait, 2011). Pengolahan daging bertujuan untuk menambah
keragaman pangan, sedangkan pengawetan daging bertujuan untuk
memperpanjang masa simpan bahan pangan tersebut. Pemakaian bahan kimia
dalam pengawetan pada dasarnya sudah di lakukan pada pada pengolahan daging
seperti abon, nugget dendeng, sosis, corned beef, lidan asin, ham dan bakso. Di
Indonesia pengolahan daging yang cukup dikenal dan berkembang adalah bakso
dan sosis (Zurriyati, 2011).
Bakso daging adalah produk makanan berbentuk bulatan atau lainnya yang
diperoleh dari campuran daging ternak dengan kadar daging tidak kurang dari
50% dengan pati atau serealia disertai atau tanpa disertai penambahan bahan
tambahan pangan yang diizinkan (Zurriyati, 2011). Sosis merupakan salah satu
produk makanan yang dapat digunakan sebagai sumber protein hewani (Komariah
et al., 2012).
Bahan pangan hewani dapat diolah menjadi suatu produk makanan melalui
metode tertentu misalnya dengan teknologi pengawetan, pengasapan, fermentasi,
pengeringan dan memberi suhu tinggi ataupun rendah sehingga bahan makanan
dapat bertahan lebih lama dan mempertahankan flavor/ rasa dari bahan pangan
asal hewani khususnya daging (Patriani et al., 2020). Adapun hal- hal yang perlu
diperhatikan dalam pengolahan dan pengawetan daging yaitu (Suardana dan
Swacita, 2009):

11
1. Pengaruh metode pengolahan dan pengawetan terhadap mutu produk
2. Adanya bahan kesehatan baik bagi pengolah maupun konsumen
3. Kemungkinan salah penerapan dari metode pengolahan dan pengawetan
4. Masalah distribusi dan pemasaran
5. Evaluasi teknis dan ekonomis dari metode pengolahan dan pengawetan yang
dipergunakan

12
BAB III
MATERI DAN METODE
3.1 Waktu dan Tempat
Kegiatan praktikum penilaian kualitas daging dan produk olahan daging
dilaksanakan pada hari Kamis, 22 Juli 2021 pukul 08.00 WITA yang bertempat di
Laboratorium Kesehatan Masyarakat Veteriner dan Epidemiologi Lantai II,
Fakultas Kedokteran Hewan, Universitas Udayana. Sampel daging beserta produk
olahan daging yang diperiksa didapat dari pasar tradisional, semi tradisional dan
pasar modern di daerah Denpasar khususnya pada pasar Sanglah, pasar
Kumbasari dan Tiara Dewata.
3.2 Alat dan Bahan
Berikut adalah alat dan bahan pada praktikum pemeriksaan daging dan
produk olahan daging, yaitu:
3.2.1 Alat
• Pisau dapur • Talenan
• Cawan aluminium • Desikator
• PH meter digital • Timbangan digital
• Lempeng kaca • Tabung reaksi
• Mortar • Mikropipet
• Cawan Petri • Inkubator
• Alat pemanas listrik • Oven
• Neraca Analitik • Kertas
• Pinset
3.2.2 Bahan
 Sampel Daging
Pemeriksaan kualitas daging menggunakan daging sapi, daging babi,
dan sampel daging ayam yang berasal dari pasar tradisional Pasar
Kumbasari dan Pasar Sanglah. Jumlah sampel daging yang diperoleh
sebanyak enam dengan dua lokasi yang berbeda.

 Produk olahan daging

13
Produk olahan yang berasal dari produk daging seperti bakso dan sosis.
Didapat dari Pasar Sanglah dan pasar modern (Tiara Dewata).

14
3.3 Metode
3.3.1 Penilaian Subyektif (Indrawi)
Penilaian secara subyektif merupakan pemeriksaan yang dilakukan
secara indrawi. Penilaian subyektif yang dilakukan pada daging meliputi
pemeriksaan terhadap warna, bau atau aroma, konsistensi dan tekstur,
keadaan tenunan pengikat, serta kepualaman. Sedangkan pemeriksaan secara
subyektif pada olahan daging meliputi pemeriksaan terhadap warna, bau atau
aroma, serta konsistensi dan tekstur.
1. Pemeriksaan Warna Daging
Pemeriksaan terhadap warna daging dilakukan dengan cara mengiris
daging setebal 1 cm pada permukaan yang segar. Kemudian diamati warna
daging berdasarkan standar Photographic Colour Standard for Muscle
Department of Agriculture, Western Autralia (1982).
Tabel 3.1 Photographic Colour Standard for Muscle Department of
Agriculture, Western Autralia (1982)

Cokelat Cokelat Cokelat Cokelat Cokelat


Cokelat
Muda Kemerahan Merah Muda Merah Tua Gelap

1 2 3 4 5 6

2. Pemeriksaan Bau atau Aroma


Pemeriksaan terhadap bau atau aroma pada daging atau olahan daging
dilakukan dengan mencium bau sampel daging atau olahan daging, untuk
mengetahui apakah daging berbau darah segar, bau busuk, bau ammonia, bau
H2S, atau bau lainnya.
3. Pemeriksaan Konsistensi dan Tekstur
Pemeriksaan konsistensi dapat dilakukan dengan cara meraba sampel
daging. Konsistensi daging dapat dinyatakan sebagai: liat (firmness), lembek
(softness), kering, atau berair (juiciness). Daging yang segar terasa liat,
sedangkan daging yang mulai membusuk terasa berair. Pemeriksaan tekstur
dapat dinyatakan dengan halus atau kasar. Daging yang segar akan
mempunyai tekstur halus sedangkan pada daging yang mulai membusuk
memiliki tekstur yang kasar.

15
4. Pemeriksaan Keadaan Tenunan Pengikat
Pemeriksaan keadaan tenunan pengikat pada daging dapat diamati
secara visual terhadap penampang melintang daging, kemudian diperhatikan
ada tidaknya jaringan ikat. Pemeriksaan keadaan tenunan pengikat
berdasarkan peraturan Direktorat Jenderal Peternakan Republik Indonesia,
dikategorikan menjadi Mutu I dan Mutu II. Mutu I apabila daging yang
dilihat secara visual tidak mengandung jaringan ikat. Sedangkan kategori
Mutu II apabila daging yang dilihat secara visual mengandung jaringan ikat.
5. Pemeriksaan Kepualaman
Kepualaman daging dapat diperiksa pada penampang daging secara
melintang dengan mengamati ada tidaknya bintik-bintik lemak diantara serat-
serat daging yang tampak secara visual. Kemudian hasil yang didapatkan dari
pengamatan digolongkan ke dalam tingkat kepualaman berdasarkan standar
The Japanese Meat Society (1974), sebagai berikut.
 0 = bintik lemak absen (0% dari penampang melintang permukaan)
 1 = bintik lemak absen (10% dari penampang melintang permukaan)
 2 = bintik lemak absen (20% dari penampang melintang permukaan)
 3 = bintik lemak absen (30% dari penampang melintang permukaan)
 4 = bintik lemak absen (40% dari penampang melintang permukaan)
 5 = bintik lemak absen (50% dari penampang melintang permukaan)
3.3.2 Penilaian Objektif
Pemeriksaan secara objektif dilakukan dengan menggunakan alat-alat
laboratotium meliputi pemeriksaan terhadap pH, Daya Ikat Air/Water
Holding Capacity (WHC), Kadar Air, dan Uji Mikrobiologis.
1. Pemeriksaan Nilai pH
Diambil setiap sampel daging sapi, babi, dan ayam dari dua Pasar
Tradisional berbeda sebanyak masing-masing ± 5 gram. Masing- masing
sampel daging dilumatkan di dalam mortar dengan ditambahkan aquades
sebanyak 5 ml kemudian dihomogenkan. Disiapkan alat pH Meter yang telah
dikalibrasi dengan larutan Buffer pH 4,0 dan pH 7,0. Elektroda yang sudah
dikalibrasi kemudian dimasukkan ke masing-masing ekstrak daging,

16
kemudian dibaca setelah angkanya tetap. Pengukuran pH diulang kembali
untuk memastikan hasil yang didapatkan konstan.
2. Pemeriksaan Daya Ikat Air (Water Holding Capacity) dengan Metode
Hamm
Sampel daging ditimbang sebanyak ± 5 gram dan ditempatkan diatas
kertas. Masing-masing sampel diberi label agar tidak tertukar dengan yang
lainnya. Letakkan di atas kaca dan bagian atasnya ditutup dengan lempengan
kaca lain. Lakukan penekanan dengan beban seberat 35 kg. Setelah
didiamkan selama 10 menit, daging diambil dan ditimbang kembali.
Selanjutnya, dihitung daya ikat air dengan rumus:
Berat Residu
Daya Ikat Air ( % )= ×100 %
Berat Awal

Keterangan: Berat Residu adalah berat daging sebelum kadar air terlepas
dikurangi dengan berat daging seletah kadar air nya terlepas melalui proses
penekanan dengan beban.
3. Pemeriksaan Kadar Air
Pemeriksaan kadar air dilakukan dengan membuat potongan
daging seberat ± 3 gram yang kemudian diletakkan pada cawan alumunium
yang sudah ditimbang menggunakan neraca analitik dan dipanaskan hingga
berat cawan konstan. Cawan yang sudah dipanaskan dimasukkan dalam
desikator untuk didinginkan. Potongan daging dimasukkan ke dalam cawan
alumunium dan ditimbang. Kemudian daging dan cawan dipanaskan dalam
oven dengan suhu 105oC selama 3 jam.
Berat daging dan cawan yang sudah konstan kemudian dihitung
kandungan air yang keluar selama pengeringan menggunakan rumus berikut:
Berat Awal−Berat Akhir
Kadar Air ( % )= ×100 %
Berat Awal
4. Uji Mikrobiologis
Perhitungan jumlah mikroba pada daging dilakukan dengan metode
sebar dengan menggunakan media EMBA (Eosin Methylene Blue Agar) dan
pemeriksaan dengan metode tuang menggunakan media NA (Nutrient Agar).

17
Perhitungan terhadap cemaran mikroba dilakukan dengan cara menghitung
jumlah koloni yang tumbuh pada media agar.
a) Pembuatan Ekstrak Daging
Pembuatan ekstrak daging dilakukan dengan menggerus 5 g daging
dengan menggunakan mortir kemudian ditambahkan 5 ml aquades,
kemudian pisahkan ekstrak dari dagingnya. Ekstrak daging siap
digunakan.
b) Pengenceran Sampel Daging
Pengenceran dapat dilakukan dengan cara mengambil ekstrak daging
tadi kemudian siapkan 3 tabung Eppendorf yang diisi 0,9 cc aquades
menggunakan pipet pasteur. Kemudian 0,9 cc aquadest ditambahkan 0,1
ekstrak daging sapi, ayam dan babi jadilah pengenceran 10x, kemudian
ambil 0,1 dari pengenceran pertama dan masukkan kedalam tabung
ependorf kedua yang sudah berisi 0,9cc aquadest jadilah pengenceran
100x, kemudian ambil kembali 0,1 dari pengenceran 100x kemudian
dimasukkan kedalam tabung ependorf yang ketiga jadilah pengenceran
1000x. Pengenceran pada ependorf ketiga (semua volumenya jadi 1 cc)
dimasukkan ke dalam cawan petri dan siap ditanam pada media agar.
c) Metode Sebar dengan Media EMBA
Sebelum dilakukan penanaman inokulum terlebih dahulu dilakukan
pembuatan media yaitu dengan cara: Timbang 0,15 (25 ml x 6 cawan petri
= 150 ml) x 37,5 g = 5,62 g media EMBA dengan neraca analitik.
Tambahkan aquades sampai volumenya 150 ml. Kemudian panaskan
diatas kompor sambil diaduk beberapa menit sampai mendidih. Diamkan
beberapa menit lalu tuangkan ke dalam 6 buah cawan petri dengan volume
±20 ml / petri. Tunggu sampai media menjadi padat, dan media siap
digunakan untuk penanaman kuman/inokulum dengan metode sebar.
Penanaman kuman/inokulum dilakukan dengan memasukan 0,1 inokulum
kedalam media EMBA, kemudian cawan petri dimasukkan kedalam
inkubator dengan suhu 370C selama 24 jam.

18
Setelah itu dilakukan penghitungan keloni dengan menggunakan
rumus:
1
Jml .Coliform=Jml . Koloni×
Fak . Pengenceran ( 1 ) × Vol . Ekstrak Daging
Keterangan:
Jumlah Koloni : Koloni yang terhitung dimedia pertumbuhan
Faktor Pengencer : 1 (karena tanpa pengenceran)
Volume Inokulum : 0.1 ml
d) Metode Tuang dengan Media NA
Sebelum dilakukan penanaman inokulum terlebih dahulu dilakukan
pembuatan media yaitu dengan cara : Timbang 0,15 (25 ml x 6 cawan petri
= 150 ml) x 28 g= 4,2 g media Nutrient Agar dengan neraca analitik.
Tambahkan aquades sampai volumenya 150 ml. Kemudian panaskan
diatas kompor sambil diaduk-aduk beberapa menit. Media dengan suhu ±
450C siap digunakan untuk penanaman kuman/inokulum dengan metode
tuang. Penanaman inokulum dilakukan dengan mengambil Pengenceran
ketiga dari tiap-tiap sampel daging diambil sebanyak 1 ml kemudian
dimasukkan kedalam cawan petri, tuang NA cair dengan suhu ± 45 0C
kemudian dihomogenkan. Masukkan cawan petri kedalam inkubator
dengan suhu 370C selama 24 jam. Setelah itu dilakukan penghitungan
koloni dengan menggunakan rumus :
1
ALTB=Jumlah Koloni ×
Faktor Pengenceran ×Vol . Inokulum
Keterangan:
Jumlah Koloni : Koloni yang terhitung dimedia pertumbuhan
Faktor Pengencer : 10-3 (pengenceran 3 kali)
Volume Inokulum : 1 ml
3.3.3 Penilaian Kualitas Produk Olahan Daging
Pemeriksaan kualitas produk olahan daging dilakukan melalui uji
subjektif yang meliputi pemeriksaan warna, bau, konsistensi, dan tekstur,
serta uji objektif meliputi pemeriksaan nilai pH. Metode yang digunakan pada

19
pemeriksaan kualitas olahan daging sama dengan metode pemeriksaan
kualitas daging.
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Hasil
4.1.1 Penilaian Kualitas Daging
Penilaian kualitas daging menggunakan 6 sampel daging yaitu 2 sampel
daging ayam, 2 sampel daging babi dan 2 sampel daging sapi. Ketiga jenis daging
tersebut diambil dari dua pasar berbeda yaitu Pasar Kumbasari dan Pasar Sanglah.
Evaluasi kualitas daging segar dilakukan dengan uji subjektif meliputi (warna,
bau/aroma, kondisi dan tekstur) dan uji secara objektif meliputi (pH, daya ikat air,
kadar air, dan penetapan jumlah mikroba). Hasil uji evaluasi kualitas daging segar
dimuat dalam Tabel 4.1 dan Tabel 4.2
Tabel 4.1 Hasil Uji Subjektif Daging Segar Pasar Kumbasari dan Pasar Sanglah.
Parameter Uji Subjektif
Keadaan
Sampel
Warna Bau Konsistensi Tekstur Kepualaman Tenunan
Pengikat
Coklat
AK Darah segar Liat Halus 1 I
Muda
Merah
BK Darah segar Lembek Halus 0 I
muda
SK Merah tua Darah segar Liat Kasar 4 II
Coklat
As Darah segar Liat Halus 0 I
Muda
Coklat
Bs Darah segar Liat Halus 3 I
kemerahan
Ss Merah tua Darah segar Liat Kasar 3 II
Keterangan : Kode sampel A (Ayam), B (Babi), S (Sapi). Kode sampel ‘K’ (Pasar Kumbasari)
dan ‘s’(Pasar Sanglah).

Tabel 4.2 Hasil Uji Objektif Daging Segar Pasar Kumbasari dan Pasar Sanglah
Parameter uji objektif
Sampel Coliform ALTB
pH Kadar Air Daya Ikat Air
(CFU/gr) (CFU/gr)
AK 6,1 75% 33% 42 130 × 103
BK 6,0 65% 29% 20 203 × 103
SK 5,7 76% 50% 52 170 × 103
As 5,7 67% 20% 60 183 × 103
Bs 5,5 68% 21% 30 149 × 103

20
Ss 5,7 75% 36% 72 110 × 103
Keterangan : Kode sampel A (Ayam), B (Babi), S (Sapi). Kode sampel ‘K’ (Pasar Kumbasari)
dan ‘s’(Pasar Sanglah).
4.1.2 Penilaian Kualitas Produk Olahan Daging
Penilaian kualitas produk olahan daging berupa bakso dan sosis yang
terbuat dari olahan daging ayam, babi, dan sapi. Sampel produk olahan daging
diambil dari pasar tradisional (Pasar Sanglah) dan pasar modern (Tiara Dewata).
Sampel yang digunakan sebanyak 12 sampel yaitu 2 sosis ayam, 2 sosis babi, 2
sosis sapi, 2 bakso ayam, 2 bakso babi, dan 2 bakso sapi. Evaluasi produk olahan
daging dilakukan dengan uji subjektif (warna, bau, konsistensi, cita rasa) dan uji
objektif yaitu mengukur pH. Hasil pemeriksaan olahan produk daging disajikan
dalam Tabel 4.3
Tabel 4.3 Hasil Uji Subjektif dan Uji Objektif Produk Olahan Daging
Parameter Uji
Produk Subjektif Objektif
Olahan Konsistensi Cita
Warna Bau pH
/tekstur Rasa
Tidak terdapat
Baks S Puith pucat aroma daging Liat/Kasar Gurih 6,1
o ayam
Ayam Daging ayam
T Putih Liat/Halus Gurih 6,5
terbumbui
Tidak terdapat
Abu-abu
Baks S aroma daging Kenyal/Halus Gurih 6
terang
o babi
Babi Abu-abu Daging babi
T Liat/Kasar Gurih 5,9
terang terbumbui
Abu-abu Daging sapi
Baks S Kenyal/Kasar Gurih 6,2
pucat terbumbui
o
Abu-abu Daging sapi
Sapi T Kenyal/Halus Gurih 6,2
pucat terbumbui
Tidak terdapat
S Putih pucat aroma daging Kenyal/Halus Gurih 6,5
Sosis
ayam
Ayam
Coklat Daging ayam
T Liat/Halus Gurih 6,5
pucat terbumbui
Daging babi Lembek/Tida
S Putih pucat Gurih 5,2
Sosis terbumbui k beraturan
Babi Coklat Daging babi
T Kenyal/Halus Gurih 6,3
kemerahan terbumbui
Sosis Coklat Daging sapi
S Kenyal/Halus Gurih 6,6
Sapi kemerahan terbumbui
T Coklat Daging sapi Kenyal/Halus Gurih 6,2

21
kemerahan terbumbui
Keterangan: Kode S (Pasar Sanglah) dan T (Swalayan Tiara Dewata)

4.2 Pembahasan
4.2.1 Penilaian Kualitas Daging
Evaluasi kualitas daging dilakukan di Laboratorium Kesmavet dan
Epidemiologi Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Udayana pada Hari Kamis
- Jumat tanggal 22 - 23 Juli 2021. Metode yang digunakan yaitu uji subjektif dan
uji objektif. Uji subjektif meliputi bau, konsistensi, tekstur dan kepualaman.
Sedangkan uji subjektif meliputi pH, kadar air, daya ikat air dan Perhitungan
jumlah mikroba pada daging dilakukan dengan metode tuang menggunakan media
NA (Nutrient Agar) dan metode sebar dengan menggunakan media EMBA (Eosin
Methylene Blue Agar).
a. Uji Subjektif
Pemeriksaan subjektif daging dari Pasar Kumbasari dan Pasar Sanglah,
hasil warna daging ayam memiliki kesamaan yaitu coklat muda. Warna daging
ayam disebabkan provitamin A yang terdapat pada lemak daging dan pigmen
oksimioglobin. Warna daging ayam dapat berubah atau terjadi penyimpangan
warna menjadi coklat, merah cerah, merah pink, dan hijau karena mioglobin
bereaksi dengan senyawa lain atau mengalami oksigenasi, oksidasi, reduksi dan
denaturasi. Jika metmyoglobin terkontaminasi dengan bakteri, maka daging akan
berubah warna menjadi hijau karena terbentuknya sufimyoglobin dan
cholemyoglobin (Suardana dan Swacita, 2009).
Pemeriksaan daging sapi mendapatkan hasil warna merah tua. Hasil
daging babi dari pasar kumbasari berwarna merah muda sedangkan dari pasar
sanglah berwarna coklat kemerahan. Faktor-faktor yang mempengaruhi warna
daging adalah nutrisi, spesies, bangsa, umur, jenis kelamin, stress dan oksigen
(Sriyani, et al., 2015). Warna merah pada daging disebabkan karena adanya
pigmen daging, yaitu myoglobin dengan struktur kimiawi mengandung Fe.
Secara umum daging hewan mengandung mioglobin yang lebih banyak
apabila diberikan pakan yang banyak mengandung zat besi kemudian memiliki
umur yang leih tua, jenis kelamin jantan serta pemeliharaan hewan dengan cara
digembalakan (Suardana dan Swacita, 2009). Beberapa faktor yang

22
mempengaruhi warna daging adalah prosedur pengolahan, temperatur pemasakan
dan pembekuan. Perubahan disebabkan oleh pigmen daging pada ruang terbuka
akan berinteraksi dengan oksigen (oksimioglobin) sehingga warna daging akan
berubah menjadi merah kecoklatan dalam waktu beberapa jam. Hal ini disebabkan
karena terjadi oksidasi pigmen daging menjadi metmyoglobin (MMb) (Sembiring
et al., 2015).
Pada penilaian subjektif terhadap bau daging, didapatkan hasil yang sama
yaitu memiliki bau amis darah segar dan khas dari masing-masing jenis daging.
Bau daging disebabkan oleh adanya fraksi yang mudah menguap berupa inosin-5-
monofosfat (merupakan hasil konversi dari adenosine-5- trifosfat pada jaringan
otot hewan semasa hidup) yang mengandung hidrogen sulfida dan metil
merkaptan. Daging yang masih segar berbau seperti darah segar (Arka et al.,
1985). Ciri-ciri bau daging yang baik secara spesifik yaitu tidak berbau amis,
tidak menyengat,dan tidak berbau busuk.
Pada pemeriksaan konsistensi daging ayam dan sapi dari pasar kumbasari
dan pasar sanglah hasil yang diperoleh konsistensi daging liat. Sedangkan
konsistensi daging babi dari pasar kumbasari hasilnya lembek. Konsistensi daging
ditentukan oleh banyak sedikitnya jaringan ikat yang menyusun otot tersebut.
Konsistensi daging biasanya dinyatakan dengan: liat (firmness), lembek (softness),
dan berair (juiceness). Daging yang segar terasa liat, sedangkan daging yang
mulai membusuk terasa berair. Pemeriksaan tekstur daging diperoleh hasil daging
ayam cenderung memiliki tekstur halus, sementara daging babi dan sapi memiliki
tekstur yang lebih kasar. Tekstur umumnya bervariasi antar spesies ternak, ternak
dalam spesies yang sama, potongan karkas dan diantara otot serta otot yang sama.
Daging yang segar dan sedikit mengandung jaringan ikat memiliki tekstur yang
halus, sedangkan daging yang mengandung banyak jaringan ikat, teksturnya akan
lebih kasar (Swacita et al., 2017). Menurut Soeparno (2005), tekstur daging
kemungkinan besar merupakan penentu yang paling penting pada kualitas daging.
Faktor yang mempengaruhi tekstur daging digolongkan menjadi faktor
antemortem seperti genetik dan termasuk bangsa, spesies dan fisiologi, faktor
umur, managemen, jenis kelamin dan stress. Faktor postmortem antara lain
meliputi metode pelayuan (chilling), refrigerasi dan pembekuan termasuk faktor

23
lama dan temperatur penyimpanan serta metode pengolahan termasuk metode
pemasakan dan penambahan bahan pengempuk.
Pada pemeriksaan keadaan tenunan pengikat, didaptkan hasil daging ayam
dan daging babi dikategorikan ke dalam mutu I. Sedangkan daging sapi
dikategorikan ke dalam mutu II. Sesuai dengan peraturan Direktorat Jenderal
Peternakan RI, jika secara visual tidak mengandung jaringan ikat atau negatif,
maka daging tersebut termasuk dalam klasifikasi mutu/Klas I. Jika jaringan ikat
positif maka daging tersebut termasuk mutu/Klas II. Jaringan ikat selalu
ditemukan diantara jaringan otot dan lebih banyak ditemukan pada otot potongan
melintang, karena fungsinya mengikat, menghubungkan dan mengisi celah antara
jaringan lainnya (Subowo, 2002). Tenunan pengikat menjadi faktor yang
mempengaruhi keempukan karena saat proses pemasakan, kolagen yang berada di
tenunan pengikat akan berubah menjadi gelatin (Bahtiar & Abustam, 2014).
Uji subjektif yang terakhir ialah pemeriksaan kepualaman. Kepualaman
adalah jumlah dan distribusi spasial dari bintik-bintik putih lemak yang terlihat di
dalam otot longissimus dorsi (LD), adalah salah satu sifat terpenting yang
menentukan kualitas daging (ElMasry et al., 2012). Tingkat kepualaman
berdasarkan standar The Japanese Meat Society (1974) pada skor 0 sampai 5.
Skor 0 menunjukkan adanya bintik lemak absen 0% dari penampang melintang
permukaan. Skor 1 menunjukkan bintik lemak absen 10% dari penampang
melintang permukaan. Skor 2 menunjukkan bintik lemak absen 20% dari
penampang melintang permukaan. Skor 3 menunjukkan bintik lemak absen 30%
dari penampang melintang permukaan. Skor 4 menunjukkan bintik lemak absen
40% dari penampang melintang permukaan. Sampai skor 5 yang menunjukkan
bintik lemak absen 50% dari penampang melintang permukaan.
Hasil pemeriksaan yang telah dilakukan, sampel daging ayam sanglah dan
daging babi kumbasari menunjukkan skor 0, sampel daging ayam pasar kumbasari
menunjukkan skor 1, sampel daging babi dan daging sapi pasar sanglah
menunjukkan skor 3, sedangkan daging sapi pasar kumbasari menunjukkan skor
4. Makin tinggi skor nilai yang diberikan oleh daging tersebut, maka makin baik
mutu daging tersebut sebagai bahan pangan karena akan mempengaruhi citarasa
daging setelah dimasak. Secara umum, semakin tinggi kandungan lemak di dalam

24
otot semakin tinggi pula kualitas daging secara keseluruhan, karena standar
kualitas terutama di tentukan oleh kandungan lemak intramuscular (Merthayasa et
al, 2015).
b. Uji Objektif
Pemeriksaan daging secara objektif meliputi pemeriksaan pH, kadar air,
daya ikat air, dan cemaran mikroba. Pengukuran pH daging dilakukan dengan alat
elektroda pH meter. Tingkat keasaman (pH) adalah indikator untuk menentukan
derajat keasaman atau kebasaan dari daging segar ataupun produk yang
dihasilkan. Hasil pemeriksaan objektif tingkat keasaman (pH) daging yang
diperoleh di pasar kumbasari memiliki nilai pH masing-masing yaitu daging ayam
(6.1), daging babi (6.0), dan daging sapi (5.7), serta daging yang diperoleh dari
pasar sanglah memiliki nilai pH masing-masing yaitu daging ayam (5.7), daging
babi (5.5), dan daging sapi (5.7). Berdasarkan hasil yang diperoleh, sampel daging
yang berasal dari pasar kumbasari dan pasar sanglah menunjukkan nilai pH yang
normal. Hal tersebut sesuai dengan Soeparno (2011) yang menyatakan pH normal
daging berkisar 5,2-5,9. Namun, pH daging ayam menunjukkan hasil yang sedikit
lebih tinggi dari kisaran normal.
Proses yang terjadi dalam perubahan pH daging yaitu proses glikolisis.
Pada saat hewan mati, respirasi dan sirkulasi darah ke jaringan otot terhenti.
Kondisi ini menyebabkan terbentuknya asam laktat hasil pemecahan glikogen
secara anaerob (Suradi, 2006). Nilai pH daging akan ditentukan oleh jumlah laktat
yang dihasilkan dari glikogen selama proses glikolisis anaerob dan hal ini akan
terbatas bila glikogen terdeplesi karena lelah, kelaparan atau takut pada hewan
sebelum dipotong (Haq et al., 2015). Nilai pH yang tinggi dalam daging dapat
disebabkan oleh cadangan glikogen otot yang rendah. Artinya semakin tinggi pH
makan semakin rendah cadangan glikogen otot. Daging dengan pH akhir yang
tinggi (penurunan pH yang lambat) akan menghasilkan daging Dark Firm and
Dry (DFD). Sedangkan daging dengan pH akhir rendah (penurunan pH yang
cepat) akan menghasilkan daging Pale Soft and Exudative (PSE) (Lukman, 2010).
Kadar air merupakan salah satu faktor penyebab kerusakan bahan pangan,
termasuk daging sapi, sebab air yang terkandung dalam bahan pangan merupakan
media yang baik untuk mendukung pertumbuhan dan aktifitas mikroorganisme

25
perusak bahan pangan (Amertaningtyas, 2012). Hasil pemeriksaan kadar air
daging yang berasal dari pasar kumbasari memiliki nilai daging ayam (75%),
daging babi (65%), dan daging sapi (76%), sedangkan yang berasal dari pasar
sanglah diperoleh nilai daging ayam (67%), daging babi (68%), dan daging sapi
(75%). Hasil yang diperoleh dari kedua pasar tersebut menunjukkan nilai yang
bervariasi dan masih dalam rentan normal. Sesuai dengan pernyataan Judge et al.
(1989), bahwa rataan kadar air daging berada pada kisaran normal kadar air
daging, yaitu antara 65-80%. Menurut Soeparno (2009) kadar air daging
dipengaruhi oleh jenis ternak, umur, kelamin, pakan serta lokasi dan fungsi
bagian-bagian otot dalam tubuh. Kadar air yang tinggi disebabkan umur ternak
yang muda, karena pembentukan protein dan lemak daging belum sempurna
(Rosyidi et al., 2000). Kadar air mempuyai hubungan dengan drip loss, semakin
tinggi kadar air akan mengakibatkan mudahnya air yang hilang dalam daging dan
menyebabkan nutrient dalam daging juga berkurang (Prayitno et al., 2010).
Daya ikat air daging (Water Holding Capacity) didefinisikan sebagai
kemampuan daging untuk menahan atau mengikat airnya sendiri karena pengaruh
tekanan atau kekuatan dari luar seperti pemotongan, pemanasan dan penggilingan.
Daya ikat air erat hubungannya dengan tingkat kualitas daging yaitu: keempukan
(tenderness), rasa basah (juiceness) dan warna (Suardana et al., 2019). Metode
yang digunakan untuk menentukan daya ikat air yaitu dengan cara penekanan
(metode Hamm). Hasil pemeriksaan daya ikat air (DIA) daging yang berasal dari
pasar kumbasari yaitu daging ayam (33%), daging babi (29%), dan daging sapi
(50%), sedangkan yang berasal dari pasar sanglah yaitu daging ayam (20%),
daging babi (21%), dan daging sapi (36%). Hasil DIA yang diperoleh dari kedua
pasar menunjukkan nilai yang bervariasi dan masih dalam kisaran normal. Sesuai
dengan pernyataan Soeparno (2005) nilai daya ikat air (DIA) berkisar diantara
20% – 60%. Daya ikat air akan meningkat jika nilai pH daging meningkat. Hal ini
disebabkan pada pH daging yang rendah maka struktur daging terbuka sehingga
menurunkan daya ikat air, dan tingginya nilai pH daging mengakibatkan struktur
daging tertutup sehingga daya ikat air tinggi (Riyanto, 2004). Faktor-faktor
penyebab variasi daya ikat air oleh protein daging ada beberapa faktor yang bisa
menyebabkan terjadinya variasi pada daya ikat air oleh daging diantaranya: faktor

26
pH, faktor perlakuan maturasi, pemasakan atau pemanasan, faktor biologik seperti
jenis otot, jenis ternak, jenis kelamin dan umur ternak. Demikian pula faktor
pakan, transportasi, suhu, kelembaban, penyimpanan dan preservasi, kesehatan,
perlakuan sebelum pemotongan dan lemak intramuskuler. Penurunan daya
mengikat air dapat diketahui dengan adanya eksudasi cairan yang disebut drip
pada daging mentah (Soeparno, 2011).
Perhitungan jumlah mikroba pada daging dilakukan dengan dua
pemeriksaan yaitu perhitungan bakteri coliform dan perhitungan angka lempeng
total bakteri (ALTB). Perhitungan bakteri coliform dilakukan dengan metode
sebar pada media EMBA (Eosin Methyline Blue Agar) dan perhitungan ALTB
dilakukan dengan metode tuang pada media NA (Nutrient Agar). Eosin Methylene
Blue Agar (EMBA) merupakan media selektif untuk bakteri Gram negatif, karena
akan menjadi toksin bagi bakteri Gram positif. Pada pemeriksaan ini, akan terlihat
bakteri yang memfermentasi laktosa (E.coli) dan bakteri yang tidak
memfermentasi laktosa (Salmonella). Bakteri yang memfermentasi laktosa
menghasilkan koloni tunggal berwarna hijau dengan kilap logam (green with
metallic sheen). Sedangkan pada media NA dapat menumbuhkan bakteri gram
positif maupun negatif, bakteri yang tumbuh akan berbentuk bulat-bulat kecil dan
berwarna putih dan kuning.
Perhitungan koloni bakteri yang tumbuh pada media EMBA didapatkan
hasil daging dari pasar kumbasari dan pasar sanglah yaitu daging ayam sebanyak
42 CFU/g dan 60 CFU/g, daging babi sebanyak 20CFU/g dan 30 CFU/g, daging
sapi sebanyak 52 CFU/g dan 72 CFU/g. Perhitungan koloni bakteri yang tumbuh
pada media NA didapatkan hasil daging dari pasar kumbasari dan pasar sanglah
yaitu daging ayam sebanyak 130×103 CFU/g dan 183×103 CFU/g, daging babi
sebanyak 203×103 CFU/g dan 149×103 CFU/g, daging sapi sebanyak 170×103
CFU/g dan 110×103 CFU/g. Berdasarkan hasil yang diperoleh sampel daging
ayam, babi dan sapi dari kedua pasar menunjukkan kisaran normal, karena nilai
yang diperoleh tidak melebihi Standar Nasional Indonesia (SNI). Bakteri koliform
yang dihitung dari jumlah koloni bakteri dalam media EMBA tidak melebihi SNI
yaitu 1×102 CFU/g atau seratus pembentukan koloni bakteri koliform per gram
daging. Sama halnya dengan perhitungan bakteri koliform, total bakteri yang

27
dihasilkan pada media NA tidak melebihi Standar Nasional Indonesia (SNI) No.
7388:2009, yaitu maksimum 106CFU/gr (30oC,72 Jam).
Banyak sedikitnya koloni bakteri yang tumbuh pada kedua media tersebut
dipengaruhi oleh kadar air tersebut. Kandungan air dalam bahan makanan dapat
mempengaruhi daya tahan bahan makanan terhadap cemaran mikroba.
Kelembaban dan kadar air biasanya berpengaruh terhadap pertumbuhan
mikroorganisme. Pada umumnya, faktor yang mempengaruhi pertumbuhan
mikroorganisme pada daging ada dua macam yaitu faktor intrinsik termasuk nilai
nutrisi daging, keadaan air, pH, potensi oksidasi-reduksi dan ada tidaknya
substansi pengahalang atau penghambat dan faktor ekstrinsik, misalnya
temperatur, kelembaban relatif, ada tidaknya oksigen dan bentuk atau kondisi
daging (Fardiaz, 1992).
4.2.2 Penilaian Kualitas Produk Olahan Daging
Pada penilaian kualitas produk olahan daging, uji subjektif meliputi uji
warna, bau, konsistensi/tekstur, dan cita rasa. Sedangkan pada uji objektif hanya
dilakukan pengukuran pH.
a. Uji Subjektif
Produk olahan berupa bakso dan sosis yang terbuat dari daging ayam, babi
dan sapi. Produk olahan tersebut diambil dari dua tempat berbeda yaitu pasar
tradisional sanglah dan pasar modern tiara dewata. Uji subjektif pertama yang
dilakuakn adalah warna. Berdasarkan tabel 4.3 diperoleh warna sosis ayam dan
sosis babi dari pasar sanglah memiliki warna coklat pucat. Hal ini dipengaruhi
oleh faktor temperatur dan lama pemasakan yang berlebihan dapat menyebabkan
warna daging menjadi coklat. Hal ini sesuai dengan pendapat Komariah et al,
(2012) yang menyatakan bahwa perubahan warna pada sosis menjadi coklat
terjadi karena adanya denaturasi protein saat pemanasan dan juga dapat
dipengaruhi oleh temperature.
Pada pemeriksaan bau, produk olahan bakso ayam, bakso babi, dan sosis
ayam yang berasal dari pasar sanglah tidak memiliki aroma daging ataupun aroma
daging yang terbumbui. Sedangkan semua produk yang berasal dari pasar modern
tiara dewata memiliki aroma daging yang terbumbui. Hal ini bisa disebabkan

28
karean pada saat pembuatannya terdapat penambahan lebih banyak tepung
dibandingkan dagingnya.
Konsistensi pada produk olahan daging didapatkan konsistensi liat dan
kenyal dengan tekstur halus, kasar, dan tidak beraturan. Kekenyalan dari bakso
dan sosis dipengaruhi oleh daya mengikat air dari daging yang tinggi. Daya
mengikat air dapat didefinisikan sebagai kemampuan daging untuk
mempertahankan kandungan airnya selama mengalami perlakuan dari luar seperti
pemotongan, pemanasan, penggilingan dan pengolahan. Kadar air yang
terkandung juga mempengaruhi konsistensi dan tekstur produk olahan daging, Air
merupakan komponen penting dalam bahan makanan yang mempengaruhi
penampakan, tekstur serta citarasa. Kandungan air dalam bahan makanan ikut
menentukan penerimaan, kesegaran dan daya tahan bahan tersebut (Winarno,
2008).
Cita rasa yang dihasilkan dari produk olahan daging semuanya memiliki
cita rasa yang gurih. Hal tersebut karena produk olahan daging ditambahkan
bumbu sedemikian rupa sehingga menjadi daya tarik konsumen untuk
mengkonsumsi sosis ataupun bakso tersebut.
b. Uji Objektif
Pemeriksaan objektif yang dilakukan ialah menentukan nilai pH pada
masing-masing produk olahan daging. Dari hasil pemeriksaan diperoleh nilai pH
dengan rentan 5,2 – 6,6. Kisaran tersebut masih dalam batas normal karena nilai
pH pangan menurut Standarisasi Nasional Indonesia yaitu berkisar antara 6
sampai 7. Nilai pH adonan daging dipengaruhi oleh bahan-bahan yang digunakan,
terutama pH daging yang digunakan. Nilai pH adonan bakso juga berhubungan
dengan daya mengikat air bakso.
Hasil yang diperoleh sangat dipengaruhi oleh bahan dasar yang digunakan
yaitu daging dan tepung, mengakibatkan perubahan pada nilai pH pada produk
olahan. Hal tersebut dapat terjadi karena adanya perubahan keseimbangan
hydrogen pada olahan sebagai pengaruh dari nilai pH bahan dasar yang digunakan
dalam pembuatan olahan, pencampuran bahan-bahan membuat titik keseimbangan
hydrogen yang baru pada produk olahan (Suwarno et al., 2015).

29
BAB V
PENUTUP
5.1 Simpulan
Berdasarkan penilaian kualitas daging ayam, babi dan sapi yang berasal
dari pasar kumbasari dan pasar sanglah memiliki kualitas yang cukup baik
sehingga layak untuk dikonsumsi. Begitu pula dengan produk olahan daging
seperti sosis dan bakso yang berasal dari pasar tradisional sanglah dan pasar
modern tiara dewata memiliki kualitas yang baik sehingga layak untuk
dikonsumsi.
5.2 Saran
Pentingnya edukasi dan sosialisasi mengenai penyimpanan, pengemasan
daging dan olahan asal daging serta sanitasi yang baik dan benar kepada
masyarakat khususnya penjual di pasar tradisonal agar terhindar dari kontaminasi
kuman.

30
DAFTAR PUSTAKA

Arka, I.B., Wisna, W.B., Rudyanto, M.D. dan Werdhady, W.I. 1985. Ilmu
Kesehatan Masyarakat Veteriner. Program Studi Kedokteran Hewan
Universitas Udayana: Bali.

Bahtiar, B. and Abustam, E., 2014. Pengaruh Konsentrasi Asap Cair Dan Lama
Penyimpanan Terhadap Daya Ikat Air Dan Daya Putus Daging. Jurnal Ilmu
dan Industri Peternakan, 1(3): 191-200.

Belk, K.E,George, M.H., Tatum, J.D., Hilton, G.G., Miller, R.K., Koohmaraie,
M., Reagan, J.O., Smith, G.C. 2001. Evaluation of the tendertec beef
grading instrument to predict the tenderness of steaks from beef carcasses. J
Anim Sci 79:688-697.

ElMasry, G., Barbin, D.F., Sun, D. W., Allen, P. 2012. Meat Quality Evaluation
by Hyperspectral Imaging Technique: An Overview. Crit Rev Food Sci
Nutr, 52(8): 689-711.

Estancia K., Isroli, Nurwantoro. (2012). Pengaruh Pemberian Ekstrak Kunyit


(Curcuma domestica) terhadap Kadar Air, Protein, dan Lemak Daging
Ayam Broiler. Animal Agriculture Journal, Vol. 1. No. 2, 2012, p 31-39.

Fardiaz S. 1992. Mikrobiologi Pengelolaan Pangan. Departemen Pendidikan dan


Kebudayaan Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi Pusat Antar Universitas
Pangan dan Gizi. Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Haq AN, Septinova D, dan Santosa PE. 2015. Kualitas Fisik Daging dari pasar
tradisional di Bandar Lampung. Jurnal Ilmiah Peternakan Terpadu 3(3):
98103.

Hernando D, Septinova D, Adhianto K. 2015. Kadar air dan total mikroba pada
daging sapi di Tempat Pemotongan Hewan (TPH) Bandar Lampung.
Jurnal Ilmiah Peternakan Terpadu Vol. 3(1): 61-67.

Jeong, J. Y., S.J. Hur, H.S. Yang, S.H. Moon, Y.H. Hwang, G.B. Park, S.T. Joo.
2009. Discoloration characteristics of 3 major muscles from cattle during
cold storage. Journal of food science, 74(1).

Jiménez-Colmenero F, Carballo J, Cofrades S. Healthier meat and meat products:


their role as functional foods. Meat Sci. 2001 Sep;59(1):5-13. doi:
10.1016/s0309-1740(01)00053-5. PMID: 22062500

Judge MD, Aberle ED, Forres JC, Hendrick HB, Markel RA. 1989. Principles of
Meat Science. 2nd Edition. Kendall/Hunt Publishing Co., Dubuque, Iowa

Kasmadiharja, H. 2008. Kajian Penyimpanan Sosis, Nuget Ayam dan Daging


Ayam Berbumbu dalam Kemasa Polipropilen Rigid. Skripsi. Fakultas
Teknologi Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor.

31
Komariah, Sirajuddin, Purnomo. 2012. Aneka Olahan Daging Sapi. Agro Media.
Bogor.

Kuntoro, B., Maheswari, R. R. A., & Nuraini, H. (2013). Mutu fisik dan
mikrobiologi daging sapi asal rumah potong hewan (RPH) Kota
Pekanbaru. Jurnal Peternakan, 10(1).

Kuswati. E. 2006. Evaluasi Total Bakteri, Water Holding Capacity dan Kadar Air
Daging Sapi di Pasar Salatiga. Skripsi. Fakultas Peternakan Universitas
Diponegoro, Semarang.

Lawrie R.A. 1991. Meat Science. Fifth Edition. University of Nottingham

Lawrie, RA. 2003. Ilmu Daging. Universitas Indonesia. Jakarta.

Lukman D. W., 2010. Nilai pH Daging. Bagian Kesehatan Masyarakat Vateriner.


Fakultas Kedokteran Hewan. Institut Pertanian Bogor.

Merthayasa JD, Suada IK, Agustina KK. 2015. Daya Ikat Air, pH, Warna, Bau
dan TeksturDaging Sapi Bali dan Daging Wagyu. Indonesia Medicus
Veterinus. 4(1): 16 -24.

Patriani,P. Hafid, H., Mirwandhono, E., Wahyuni, T.H. 2020. Teknologi


pengolahan daging. CV Anugerah Pangeran Jaya Press. Medan.

Prayitno AH, Suryanto, Zuprizal. 2010. Kualitas Fisik dan Sensoris Daging Ayam
Broiler yang Diberi Pakan dengan Penambahan Ampas Virgin Coconut Oil
(VCO). Buletin Peternakan. 34(1): 55-63.

Riyanto J. 2004. Tampilan Kualitas Fisik Daging Sapi Peranakan Ongole (PO).
Jurnal Pengembangan Tropis. 2: 28-32

Rosyidi D, Ardhana M, Santoso RD. 2000. Kualitas Daging Domba Ekor Gemuk
(DEG) Betina Periode Lepas Sapih dengan Perlakuan Docking dan
Tingkat Pemberian Konsentrat Ditinjau dari Kadar Air, Kadar Lemak dan
Kadar Protein. Jurnal Ilmu-Ilmu Peternakan. 7(2): 106-110.

Sembiring, U.R., Suada, I.K., Agustina, K.K. 2015. Kualitas Daging Kambing
yang Disimpan pada Suhu Ruang Ditinjau dari Uji Subjektif dan Objektif.
Indonesia Medicus Veterinus. Vol 4(2) : 155-162.

Sonbait, LY. 2011. Kesukaan Konsumen Terhadap Produk Olahan Daging Sapi di
Kota Manokwari. Agrinimal, 1 (2): 71-75.

Soeparno. (1992). Ilmu dan Teknologi Daging. Fakultas Peternakan Universitas


Gadjah Mada. Yogyakarta.

Soeparno. (1994). Ilmu dan Teknologi Daging. Gadjah Mada University Press.
Yogyakarta.

32
Soeparno. 2005. Ilmu dan Teknologi Daging. Cetakan Ke-4. Gadjah Mada
University Press. Yogyakarta.

Soeparno. 2009. Ilmu dan Teknologi Daging. Gadjah Mada University Press,
Yogyakarta

Soeparno. 2011. Ilmu dan Teknologi Daging Gadjah Mada University


Press. Yogyakarta.

Sriyani NLP, Artaningsih RNM, Lindawati SA, Oka AA. 2015. Studi
Perbandingan Kualitas Fisik Daging Babi Bali Dengan Babi Landrace
Persilangan Yang Dipotong Di Rumah Potong Hewan Tradisional.
Majalah Ilmiah Peternakan, 18(1)

Suardana, I.W dan I.B.N Swacita. 2009. Hygine Makanan. Udayana University
Press. Denpasar.

Subowo. 2002. Histologi Umum. 1st Ed. Bumi Aksara. Jakarta.

Suradi, K. 2006. Perubahan Sifat Fisik Daging Ayam Broiler Post Mortem Selama
Penyimpanan Temperatur Ruang. Jurnal Ilmu Ternak. 6(1): 23- 27

Yudistira. 2005. Mengenali Daging Sehat. http://www.google. com/

Suwarno, Gito. Rosyidi, Djalal. Thohari, Imam. 2015. Kualitas Fisik (pH, WHC,
Susuk Masak, Tekstur) dan Organoleptik Bakso Daging Kalkun.
Universitas Brawijaya, Malang.

Swacita, I. B. N., I. W. Suardana, I. K. Suada, I. M. Sukada, K. K. Agustina, M.


D. Rudyanto. 2017. Penuntun Praktikum Kesmavet II (Higiene Makanan).
Laboratorium Kesmavet Fakultas Kedokteran Hewan Universitas
Udayana.

Sonbait LY, Monim H, Woran D. 2008. Preferensi konsumen terhadap produk


olahan daging sapi di Kota Sorong. J Ilmu Peternakan 3(1): 87- 93.

Tabrany T. 2001. Pengaruh Proses Pelayuan Terhadap Keempukan Daging.


Makalah Falsafah Sains (PPs 702). Program Pasca Sarjana Institut
Pertanian Bogor.

Winarno, F. G., dan Koswara, S. 2002. Telur Komposisi, Penanganan dan


Pengolahannya. M-Brio Press, Bogor.

Winarno, F.G,. 2008. Kimia Pangan dan Gizi Edisi terbaru. Bogor,M-brio Press

Nurwantoro, V. P. Bintoro, A. M. Legowo, A. Purnomoadi., L. D. Ambara,


A.Prokoso dan S. Mulyani. 2012. Nilai pH, kadar air, dan total escherichia
coli daging sapi yang dimarinasi dalam jus bawang putih. Jurnal Aplikasi
Teknologi Pangan, 1(2): 20-22.

33
Zurriyati Y. 2011. Palatabilitas Bakso Dan Sosis Sapi Asal Daging Segar, Daging
Beku Dan Produk Komersial. Jurnal Peternakan 8(2) : 49-57.

34
LAMPIRAN

Uji Subjektif Kualitas Daging

Uji Objektif Kualitas Daging

35

Anda mungkin juga menyukai