Anda di halaman 1dari 64

PENUNTUN PRAKTIKUM

PARASITOLOGI
SEMESTER III 2021-2022

TIM PENYUSUN
I NYOMAN JIRNA, SKM., M.Si

IB OKA SUYASA, S.Si., M.Si

KEMEMTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA


POLITEKNIK KESEHATAN DENPASAR
JURUSAN TEKNOLOGI LABORATORIUM MEDIS
2021

KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis ucapkan kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa (Tuhan Yang

Maha Esa), karena berkat Beliaulah penulis dapat menyusun dan menyelesaikan Penuntun

Praktikum Parasitologi Semester III Reguler ini.

Penuntun Praktikum Parasitologi ini disusun sebagai acuan dan pegangan bagi

mahasiswa semester III Jurusan Teknologi Laboratorium Medis Poltekkes Denpasar dalam

melaksanakan perkuliahan praktikum.

Semoga Penuntun Praktikum ini dapat mempermudah mahasiswa dalam

melaksanakan perkuliahan praktikum. Penyusun menyadari masih ada kekurangan dalam

penyusunan Penuntun Praktikum ini, maka segala kritik dan saran dari berbagai pihak sangat

penyusun harapkan, demi penyempurnaan penuntun praktikum ini.

Sebagai akhir kata melalui kesempatan yang berbahagia ini sekali lagi penyusun

haturkan ucapan terima kasih banyak kepada semua pihak yang telah membantu penyelesaian

penuntun ini, dengan harapan semoga Tuhan Yang Maha Esa (Ida Sang Hyang Widhi Wasa )

memberikan karunia yang setimpal dengan jasa semua pihak yang membantu menyelesaikan

penuntun praktikum ini.

Denpasar, Agustus 21
Penyusun,
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR......................................................................................................... i
DAFTAR ISI....................................................................................................................... ii

MATERI I. Feses ......................................................................................................1


MATERI II. Nematoda ..............................................................................................8
MATERI III. Trematoda Usus......................................................................................14
MATERI IV. Trematoda Darah....................................................................................17
MATERI V. trematoda Paru........................................................................................22
MATERI VI Harada Mori...........................................................................................27
MATERI VII Larva Nyamuk.......................................................................................34
MATERI VIII Nyamuk……………............................................................. .................39
MATERI IX Lalat…………………………………………………………………….42
MATERI X Tikus……………………………………………………………………48
MATERI XI Prodedure Praktikum..............................................................................54
I. Praktikum Identifikasi Cacing….………………………………………………...54
II. Praktikum Harada Mori……..……………………………………………………55
III. Praktikum Teknik Floating……………………………………………………….56
IV. Praktikum Identifikasi Larva Nyamuk..………………………………………… 58
V. Praktikum Identifikasi Nyamuk……………………………………………… …60
VI. Pratikum Identifikasi lalat………………………………………………………. 61
VII. Pratikum Identifikasi Tikus dan Lalat.…………………………………………. 62

Daftar Pustaka......................................................................................................................65
MATERI I

FESES

Feses adalah sisa hasil pencernaan dan absorbs dari makanan yang dimakan yang
nantinya akan dikeluarkan melalui anus atau saluran cerna. Jumlah normal produksi 100-200
gram/hari. Terdiri dari air, makanan tak di cerna, sel epitel, debris, selulosa, bakteri dan
bahan patologis. Jenis makanan serta gerak peristaltic mempengaruhi bentuk, jumlah maupun
konsistensinya dengan frekuensi defekasi normal 3x / hari sampai 3x / minggu.
Syarat – syarat dalam pengumpulan sampel feses meliputi :
1. Wadah sampel bersih , kedap dan bebas urine.
2. Harus diperiksa 30- 40 menit sejak dikeluarkan jika ada penundaan dapat disimpan di
lemari es.
3. Diambil dari bagian yang paling patologis, misalnya bagian yang bercampur darah atau
lendir.
4. Paling baik dan defekasi spontan atau rectal toucher sebagai pemeriksaan tinja sewaktu-
waktu.
5. Pasien konstipasi dapat diberikan saline cathartic terlebih dahulu.
6. Wadah sampel feses harus bermulut lebar.
7. Untuk mengirim tinja, wadah yang baik adalah yang terbuat dari kaca atau dari bahan lain
yang tidak dapat ditembus seperti plastik, kalau konsisttensinya padat/keras doskarton
berlapis paraffin juga boleh digunakan.
8. Wadah tinja tidak mudah pecah dan bersumbat ulir (srew cap contamer)
Indikasi dilakukan pemeriksaan feses pada seorang pasien antara lain yaitu adanya
diare, konstipasi, adanya darah dalam tinja, adanya darah dalam tinja, adanya lendir dalam
feses, adanya gangguan pencernaan dan kecurigaan penyakit gastrointestinal.
Dalam pemeriksaan feses ini ada beberapa hal yang harus diperhatikan, yakni :
1. Tempat menampung feses harus bersih, bermulut lebar, dan dapat ditutup rapat. Bersih
tidak berarti harus steril
2. Tempat menampung feses tidak boleh terkontaminasi oeh urine.
3. Tempat menampung feses harus bebas pengawet, deterjen, dan ion logam
4. Jika pemeriksaan feses tersebut ditunda, feses harus diberi bahan pengawet agar unsure
feses tidak rusak.
5. Pada wadah sampel, harus diberi label yang berisi informasi tentang pasien (nama, umur,
jenis kelamin).
Object glass diberi label agar sampel yang diperiksa tidak tertukar. Sebagai pewarna
latar belakang, digunakan larutan eosin 2%, jadi sampel dengan latar belakang berwarna
merah. Pemeriksaan kali ini digunakan metode direct preparat atau pengamatan secara
langsung. Selain itu, digunakannya larutan eosin 2% agar pemisahan feses dari unsur-
unsurnya terlihat jelas dan untuk melihat flagellate dan pergerakannya secara jelas.
Feses adalah salah satu parameter yang digunakan untuk membantu dalam penegakan
diagnosis suatu penyakit serta menyelidiki suatu penyakit secara lebih mendalam. Meskipun
saat ini telah berkembang berbagai pemeriksaan laboratorium yang canggih, dalam beberapa
kondisi pemeriksaan feses masih sangat penting yang tidak dapat digantikan oleh
pemeriksaan lain. Pengetahuan mengenai berbagai macam penyakit yang memerlukan
pemeriksaan feses , cara pengumpulan sampel yang benar serta pemeriksan dan interpretasi
yang benar akan menentukan ketepatan diagnosis yang dilakukan oleh klinisi.
Feses merupakan spesimen yang penting untuk diagnosis adanya kelainan pada system
traktus gastrointestinal seperti diare, infeksi parasit, pendarahan gastrointestinal, ulkus
peptikum, karsinoma dan sindroma malabsorbsi.
Pemeriksaan feses dibagi menjadi 3 macam pemeriksaan yaitu pemeriksaan
makroskopis, mikroskopis dan kimia. Pemeriksaan makroskopis terdiri dari Pemeriksaan
jumlah, pemeriksaan warna, pemeriksaan bau, pemeriksaan konsistensi, pemeriksaan lendir,
pemeriksaan darah.pemeriksaan nanah, pemeriksaan parasit dan pemeriksaan adanya sisa
makanan. Pemeriksaan mikroskopis feses terdiri dari pemeriksaan terhadap Protozoa, telur
cacing, leukosit, eritrosit, epitel, kristal,makrofag,sel ragi, dan jamur. Pemeriksaan kimia
meliputi pemeriksaan Darah samar, urobilin, urobilinogen dan bilirubin.

 Interpretasi Pemeriksaan
a. Warna
1. Tinja normal kuning coklat dan warna ini dapat berubah mejadi lebih tua dengan
terbentuknya urobilin lebih banyak.
2. Selain urobilin warna tinja dipengaruhi oleh berbagai jenis makanan, kelainan dalam
saluran pencernaan dan obat yang dimakan. Warna kuning juga dapat disebabkan karena
susu,jagung, lemak dan obat santonin.
3. Tinja yang berwarna hijau dapat disebabkan oleh sayuran yang mengandung khlorofil
atau pada bayi yang baru lahir disebabkan oleh biliverdin dan porphyrin dalam
mekonium.
4. Warna kelabu mungkin disebabkan karena tidak ada urobilinogen dalam saluran
pencernaan yang didapat pada ikterus obstruktif, tinja tersebut disebut akholis. Keadaan
tersebut mungkin didapat pada defisiensi enzim pankreas seperti pada steatorrhoe yang
menyebabkan makanan mengandung banyak lemak yang tidak dapat dicerna dan juga
setelah pemberian garam barium setelah pemeriksaan radiologik.
5. Tinja yang berwarna merah muda dapat disebabkan oleh perdarahan yang segar dibagian
distal, mungkin pula oleh makanan seperti bit atau tomat.
6. Warna coklat mungkin disebabkan adanya perdarahan dibagian proksimal saluran
pencernaan atau karena makanan seperti coklat, kopi dan lain-lain. Warna coklat tua
disebabkan urobilin yang berlebihan seperti pada anemia hemolitik. Sedangkan warna
hitam dapat disebabkan obat yang yang mengandung besi, arang atau bismuth dan
mungkin juga oleh melena.

b. Bau
1. Pemeriksaan Bau Indol, skatol dan asam butirat menyebabkan bau normal pada tinja.
2. Bau busuk didapatkan jika dalam usus terjadi pembusukan protein yang tidak dicerna dan
dirombak oleh kuman.
3. Reaksi tinja menjadi lindi oleh pembusukan semacam itu. Tinja yang berbau tengik atau
asam disebabkan oleh peragian gula yang tidak dicerna seperti pada diare. Reaksi tinja
pada keadaan itu menjadi asam. Konsumsi makanan dengan rempah-rempah dapat
mengakibatkan rempah-rempah yang tercerna menambah bau tinja.

c. Konsistensi
1. Pemeriksaan Konsistensi Tinja normal mempunyai konsistensi agak lunak dan bebentuk.
2. Pada diare konsistensi menjadi sangat lunak atau cair, sedangkan sebaliknya tinja yang
keras atau skibala didapatkan pada konstipasi.
3. Peragian karbohidrat dalam usus menghasilkan tinja yang lunak dan bercampur gas.
Konsistensi tinja berbentuk pita ditemukan pada penyakit hisprung. feses yang sangat
besar dan berminyak menunjukkan alabsorpsi usus.

d. Lendir
1. Dalam keadaan normal didapatkan sedikit sekali lendir dalam tinja.
2. Terdapatnya lendir yang banyak berarti ada rangsangan atau radang pada dinding usus.
3. Lendir yang terdapat di bagian luar tinja, lokalisasi iritasi itu mungkin terletak pada usus
besar.
4. Lendir bercampur baur dengan tinja mungkin sekali iritasi terjadi pada usus halus.
5. Lendir saja tanpa tinja terjadi pada ada disentri, intususepsi dan ileokolitis .
6. Lendir transparan yang menempel pada luar feces diakibatkan spastik kolitis, mucous
colitis pada anxietas.
7. Tinja dengan lendir dan bercampur darah terjadi pada keganasan serta peradangan rektal
anal.
8. Tinja dengan lendir bercampur nanah dan darah dikarenakan adanya ulseratif kolitis,
disentri basiler, divertikulitis ulceratif, intestinal tbc.
9. Tinja dengan lendir yang sangat banyak dikarenakan adanya vilous adenoma colon.

e. Darah dan Nanah


1. Darah dalam tinja dapat berwarna merah muda,coklat atau hitam. Darah itu mungkin
terdapat di bagian luar tinja atau bercampur baur dengan tinja.
2. Pada perdarahan proksimal saluran pencernaan darah akan bercampur dengan tinja dan
warna menjadi hitam, ini disebut melena seperti pada tukak lambung atau varices dalam
oesophagus.
3. Pada perdarahan di bagian distal saluran pencernaan darah terdapat di bagian luar tinja
yang berwarna merah muda yang dijumpai pada hemoroid atau karsinoma rektum.
Semakin proksimal sumber perdarahan semakin hitam warnanya.
4. Pemeriksaan kimia tinja yang terpenting adalah pemeriksaan terhadap darah samar. Tes
terhadap darah samar dilakukan untuk mengetahui adanya perdarahan kecil yang tidak
dapat dinyatakan secara makroskopik atau mikroskopik. Adanya darah dalam tinja selalu
abnormal. Pada keadaan normal tubuh kehilangan darah 0,5 – 2 ml / hari. Pada keadaan
abnormal dengan tes darah samar positif (+) tubuh kehilangan darah > 2 ml/ hari
5. Pemeriksaan Nanah Pada pemeriksaan feses dapat ditemukan nanah. Hal ini terdapat pada
pada penyakit Kronik ulseratif Kolon , Fistula colon sigmoid, Lokal abses.
6. Pada penyakit disentri basiler tidak didapatkan nanah dalam jumlah yang banyak.

f. Parasit
Pemeriksaan Parasit Diperiksa pula adanya cacing ascaris, anylostoma dan spesies cacing
lainnya yang mungkin didapatkan dalam feses.
g. Sisa makanan
1. Hampir selalu dapat ditemukan sisa makana yang tidak tercerna, bukan keberadaannya
yang mengindikasikan kelainan melainkan jumlahnya yang dalam keadaan tertentu
dihubungkan dengan sesuatu hal yang abnormal.
2. Sisa makanan itu sebagian berasal dari makanan daun-daunan dan sebagian lagi makanan
berasal dari hewan, seperti serta otot, serat elastic dan zat-zat lainnya.
3. Untuk identifikasi lebih lanjut emulsi tinja dicampur dengan larutan Lugol maka pati
(amylum) yang tidak sempurna dicerna nampak seperti butir-butir biru atau merah.
Penambahan larutan jenuh Sudan III atau Sudan IV dalam alkohol 70% menjadikan
lemak netral terlihat sebagai tetes-tetes merah atau jingga.

h. Pemeriksaan mikroskopis
1. Pemeriksaan mikroskopik meliputi pemeriksaan protozoa, telur cacing, leukosit, eritosit,
sel epitel, kristal, makrofag dan sel ragi.
2. Protozoa Biasanya didapati dalam bentuk kista, bila konsistensi tinja cair baru didapatkan
bentuk trofozoit.
3. Telur cacing Telur cacing yang mungkin didapat yaitu Ascaris lumbricoides, Necator
americanus, Enterobius vermicularis, Trichuris trichiura, Strongyloides stercoralis dan
sebagainya.
4. Leukosit Dalam keadaan normal dapat terlihat beberapa leukosit dalam seluruh sediaan.
Pada disentri basiler, kolitis ulserosa dan peradangan didapatkan peningkatan jumlah
leukosit. Eosinofil mungkin ditemukan pada bagian tinja yang berlendir pada penderita
dengan alergi saluran pencenaan.
5. Eritrosit hanya terlihat bila terdapat lesi dalam kolon, rektum atau anus. Sedangkan bila
lokalisasi lebih proksimal eritrosit telah hancur. Adanya eritrosit dalam tinja selalu berarti
abnormal.
6. Epitel Dalam keadaan normal dapat ditemukan beberapa sel epite lyaitu yang berasal dari
dinding usus bagian distal. Sel epitel yang berasal dari bagian proksimal jarang terlihat
karena sel inibiasanya telah rusak. Jumlah sel epitel bertambah banyak kalau ada
perangsangan atau peradangan dinding usus bagian distal.
7. Kristal Kristal dalam tinja tidak banyak artinya. Dalam tinja normal mungkin terlihat
kristal tripel fosfat, kalsium oksalat dan asam lemak. Kristal tripel fosfat dan kalsium
oksalat didapatkan setelah memakan bayam atau strawberi, sedangkan kristal asam lemak
didapatkan setelah banyak makan lemak. Sebagai kelainan mungkin dijumpai kristal
Charcoat Leyden Tinja, Butir-butir amilum dan kristal hematoidin. Kristal Charcoat
Leyden didapat pada ulkus saluran pencernaan seperti yang disebabkan amubiasis. Pada
perdarahan saluran pencernaan mungkin didapatkan kristal hematoidin.
8. Makrofag Sel besar berinti satu dengan daya fagositosis, dalam sitoplasmanya sering
dapat dilihat bakteri selain eritrosit, lekosit .Bentuknya menyerupai amuba tetapi tidak
bergerak.
9. Sel ragi Khusus Blastocystis hominis jarang didapat.
10. Untuk membedakan antara Candida dalam keadaan normal dengan Kandidiasis adalah
pada kandidiasis, selain gejala kandidiasis, dari hasil pemeriksaan dapat ditemukan
bentuk pseudohifa yang merupakan bentuk invasif dari Candida pada sediaan tinja.
Timbulnya kandidiasis juga dapat dipermudah dengan adanya faktor risiko seperti
diabetes melitus, AIDS, pengobatan antikanker, dan penggunaan antibiotika jangka
panjang.
Kesalahan-kesalahan yang mungkin terjadi dalam pemeriksaan feses diantaranya :
1. Kesalahan praktikan. Kesalahan ini termasuk antara lain kesalahan saat melakukan
pemeriksaan, kesalahan menggunakan alat dan bahan dan kesalahan dalam
pengambilan feses saat praktikum
2. Jika hasil pemeriksaan negatif, kemungkinan pasien yang diperiksa negative terjangkit
flagellate usus atau sehat
3. Kesalahan pada saat pengambilan awal feses, apakah diambil pada tempat pembuangan
atau kolset atau tidak langsung dari perianal atau tercampur urine.
4. Kesalahan dalam penyimpanan feses
MATERI II

NEMATODA

Nematoda adalah hewan multiseluler yang paling banyak jumlahnya di bumi dan
terdapat hampir diseluruh habitat dan beberapa juga terdapat di tempat yang tidak biasa
seperti sumber mata air panas, es, laut dalam dan lingkungan berasam dengan kadar oksigen
rendah. Nematoda memiliki fungsi yang sangat penting dalam menjaga kelestarian tanah,
salah satunya adalah sebagai dekomposisi material racuan atau disebut bioremediasi. Nilai
nematoda sebagai bioremediasi tanah ini sangatlah penting. Jika dihitung dengan rupiah maka
akan didapatkan seberapa pentingnya hewan kecil ini bagi tanah dan manusia.
Nematoda mempunyai jumlah spesies yang terbesar diantara cacing-cacing yang
hidup sebagai parasit. Nematoda terdiri dari beberapa spesies, yang banyak ditemukan di
daerah tropis dan terbesar di seluruh dunia. Seluruh spesies cacing ini berbentuk silindrik
(gilig), memanjang dan bilateral simetris. Cacing-cacing ini berbeda-beda dalam habitat,
siklus hidup dan hubungan hospes-habitat ( host-parasite relationship). Cacing ini bersifat
uniseksual sehingga terdapat jenis jantan dan betina. Cacing yang menginfeksi manusia,
hewan dan lainnya dapat menimbulkan dampak akibat seperti anemia mikrositik, hipokromik,
karena nematoda dapat menyebabkan pendarahan di usus.
Nemathelminthes berasal dari kata Yunani, nematos yang berarti benang dan
helminthes yang artinya cacing atau cacing benang. Cacing ini sering disebut juga cacing
gilig. Cacing yang termasuk dalam filum ini sangat banyak sehingga dalam tanah halaman
terdapat jutaan jumlahnya. Namun demikian, peluang untuk melihatnya sangat kecil. Hal ini
disebabkan karena ukurannya sangat kecil seperti benang.
Nematoda ada yang hidup bebas dan ada yang hidup sebagai parasit. Jenis yang hidup
sebagai parasit terdapat pada tumbuhan, Mollusca, Annelida, Arthropoda dan Vertebrata.
Nematoda yang hidup sebagai parasit pada vertebrata sudah dikenal lebih dari 80.000 jenis.
Jenis yang hidup sebagai parasit pada manusia berukuran dari 2 mm – 1 meter. Alat
kelaminnya sudah terpisah, yang jantan lebih kecil daripada yang betina. Ujung postr=erior
yang jantan melengkung dan pasda beberapa jenis mempunyai spikula dan bursa.
Tubuhnya berbentuk memanjang dan simetris bilateral. Bagian ujung depan
dilengkapi dengan kaitan, gihi, lempang, seta dan papilla. Sistem saraf terdiri dari suatu
komisura (penghubung) yang menghubungkan ganglion melingkari esophagus. Organ
reproduksi jantan terdiri atas testis, vas deferens, vesika seminalis, dan duktus ejakulatorious.
Sedangkan organ reproduksi betina terdiri dari ovarium, oviduk, reseptakulum seminalis,
uterus dan vagina. Cacing betina dapat bertelur setiap hari 20-200.000 butir.
Sistem eksresi terdiri dari dua kenal lateral yang berhubungan dengan jembatan,
dimana saluran terminal membentuk lubang didaerah esophagus. Saluran pencernaan
merupakan pipa sederhana yang memanjang dari mulut sampai ke anus, terdiri dari mulut,
esophagus, usus, rectum dan anus. Tidak mempunyai sistem sirkulasi. Cairaan rongga badan
mengandung hemoglobin, glukosa, protein, garam dan vitamin. Hidup bebas di laut, di air
tawar daratan mulai dari daerah kutub sampai daerah tropic, termasuk padang pasir, pada
sumber-sumber air panas pegunungan yang tinggi.
Nematoda sendiri terbagi menjadi dua jenis secara umum yaitu nematona intestinal
atau terdapat pada tubuh manusia dan nematoda darah dan jaringan. Nematoda intestinal
sendiri terbagi menjadi beberapa spesies seperti Trichinella spiralis, Trichuris trichiura,
Ascaris lumbricoides, Enterobius vermicularis, Ancylostoma duodenale dan Necator
Americanus. Selain itu nematoda darah dan jaringan terbagi menjadi beberapa spesies
diantaranya Filaria, Wuchereria bancrofti, Filariasis, Asimptomatik, Filariasis
inflammatory, Filariasis obstruktif, Brugia, Loa-loa, Acanthocheilanoma perstans,
Onchocerca volvulus. Nematoda memiliki sistem organ seperti makhluk hidup lainnya seperti
sistem pencernaan makanan, sistem eksresi, sistem pernafasan, sistem saraf dan sistem
reproduksi.

Ascaris lumbricoides
Telur cacing Ascaris lumbricoides yang ditemuan adalah telur fertile dan non fertile.
Pada telur fertile (telah dibuahi) terdapat 3 lapisan, yaitu : lapisan albumoid, lapisan hyline
dan lapisan viteline. Sedangkan pada telur non fertile (tidak dibuahi) hanya terdapat 2
lapisan, yaitu : lapisan hyline dan lapisan viteline.
Ascaris lumbricoides atau cacing usus atau cacing perut atau cacing gelang
merupakan nematode usus / intestinal. Manusia merupakan hospes definitif dari cacing ini.
Penyakit yang disebabkan oleh Ascaris lumbricoides disebut Askariasis.
Ascaris lumbricoides jantan berukuran 10-30 cm sedangkn betina 22-35 cm. cacing
betina dapat bertelur sampai 100.000-200.000 butir sehari. Telur yag dihasilkan terdiri dari
telur fertile maupun non fertile.
Dalam lingkungan yang sesuai, telur fertile tumbuh menjadi infektif dalam waktu
kurang lebih 3 minggu. Bentuk infektif bila tertelan manusia akan menetas menjadi larva di
usus halus, larva tersebut menembus dinding usus menuju pembuluh darah atau saluran limfe
dan dialirkan ke jantung lalu mengikuti aliran darah ke paru-paru menembus dinding
pembuluh darah, lalu melalui dinding alveolus masuk rongga alveolus kemudian naik ke
trakea melalui bronkeolus dan bronkus. Dari trakea larva menuju ke faring, sehingga
menimbulkan rangsangan batuk, kemudian tertelan masuk ke esophagus lalu menuju ke usus
halus, tumbuh menjadi cacing dewasa. Proses tersebut memerlukan waktu kurang lebih 2
bulan sejak tertelan sampai menjadi cacing dewasa.
Apabila larva masuk ke paru-paru maka akan dapat menyebabkan gangguan yaitu
perdarahan pada dinding alveolus yang disebut sindroma loeffter. Gangguan lain yang dapat
terjadi adalah mual, nafsu makan berkurang, diare dan konstipasi. Pada infeksi berat terutama
pada anak-anak dapat terjadi gangguan penyerapan makanan (malabsorbsi). Keadaan yang
serius, bila cacing menggumpal dalam usus sehingga terjadi penyumbatan pada usus (ileus
obstructive).

Trichuris trichiura
Telur Trichuris trichiura yang ditemukan berbentuk oval dan terdapat operculum
dibagian ujungnya, kanan dan kiri.
Trichuris trichiura disebut, cacing cambuk atau whip worm, cacing ini merupakan
nematode usus / intestinal. Manusia merupakan hospes definitif dari cacing Trichuris
trichiura. Trichuris trichiura jantan berukuran 4 cm sedangkan yang betina 5 cm. cacing
betina dapat menghasilkan telur sekitar 3000-5000 butir sehari. Telur yang dihasilkan
berukuran 50x25µ.
Telur Trichuris trichiura yang dibuahi dikeluarkan dari hospes bersama tinja, telur
menjadi matang (berisi larva dan infektif) dalam waktu 3-6 minggu di dalam tanah yang
lembab dan teduh. Infeksi terjadi jika telur matang tertelan oleh manusia, kemudian larva
akan keluar dari telur dan masuk ke dalam usus halus sesudah menjadi dewasa, cacing turun
ke usus bagian distal dan masuk ke kolon asendens dan sekum. Masa pertumbuhan mulai
tertelan sampai menjadi cacing dewasa dan siap bertelur sekitar 30-90 hari.
Infeksi yang ringan biasanya tidak memberikan gejala klinis yang jelas atau sama
sekali tanpa gejala. Sedangkan infeksi berat dan menahun terutama pada anak-anak
menimbulkan gejala seperti diare, disentri, anemia, berat badan menurun dan kadang-kadang
terjadi prolapsus rectum. Infeksi cacing Trichuris trichiura yang berat juga disertai dengan
infeksi cacing lainnya atau protozoa.

Taenia saginata
Telur Taenia saginata yang ditemukan berbentuk bulat dan memiliki lapisan luar
yang tebal.Taenia saginata disebut juga cacing pita sapi dan juga kerbau yang merupakan
klas cestoda. Manusia merupakan hospes definitive dari cacing ini. Penyakit yang disebabkan
akibat Taenia saginata adalah Taeniasis saginata.
Taenia saginata adalah salah satu cacing pita yang berukuran besar dan panjang
terdiri atas kapala (skoleks), leher dan strobila yang merupakan rangkaian ruas-ruas
proglotid, sebanyak 1000-2000 buah. Panjang cacing 4-12 m, skoleks hanya berukuran 1-2
mm, mempunyai batil isap dengan otot-otot yang kuat tanpa kait. Bentuk leher sempit ruas-
ruas tidak jelas dan di dalamnya tidak terlihat struktur tertentu. Strobila terdiri dari rangkaian
proglotid yang belum dewasa (imatur), proglotid yang dewasa (matur) dan proglotid yang
mengandung telur atau disebut gravid.
Telur cacing Taenia saginata yang telah dibuahi dan telah terisi embrio pada tubuh
hospes akan keluar bersama feses. Bila telur termakan sapi mka akan tumbuh dan
berkembang menjadi larva onkoster di usus. Larva onkoster lalu menembus usus dan masuk
ke dalam pembuluh darah atau pembuluh limfa, kemudin sampai ke otot lurik dan
membentuk kista yang disebut Cysticercus bovis. Kista akan membesar dan membentuk
gelembung yang disebut Cysticercus. Manusia akan tertular cacing ini apabila memakan
daging sapi mentah atau setengah matang. Dinding Cysticercus akan dicerna di lambung
sedangkan larva dengan skoleks menempel pada uus manusia. Kemudian larva akan tumbuh
membentuk proglotid yang dapat menghasilkan telur. Bila proglotid masak, maka akan keluar
bersama feses dan dapat terjadi siklus hidup seperti pada awal.
Cacing dewasa Taenia saginata biasanya menyebabkan gejala klinis yang ringan
seperti sakit ulu hati, perut merasa tidak enak, mual, muntah, diare, pusing atau gugup. Gejala
tersebut disertai dengan ditemukannya proglotid cacing yang bergerak lewat dubur bersama
dengan tinja. Gejala ang lebih berat dapat terjadi, apabila proglotid masuk ke apendiks,
terjadi ileus yang disebabkan obstruksi usus oleh strobila cacing.

Telur Cacing Trichuris Trichiura Ciri-ciri


1. Berbentuk seperti buah lemon
2. Memiliki 2 lapisan
3. Simetris
4. Warna kuning tenggulik
5. Terdiri dan 2 kutub
6. Kulit transparan inti tebal

Telur Cacing Ascaris Lumbricoides Ciri-ciri


Terdiri dari 3 lapisan
-Lapisan 1 = Albumin,Hyalin,
-Telur ada3 :
-Fertil = Lapisan Albumin
-Non Fertil = Albumin tipis Granula
-Decorticated = Telur di buahi
kehilangan lapisan albumin

Telur Cacing Ancylostoma Duodenale Ciri-ciri


1. Betuknya lonjong simetris
2. Kulit telur bagian luar tipis
3. Antara kulit telur dan sel telur terdapat
cairan yang bening
4. Mempunyai sel lapis kulit hyaline
yang tipis dan transparan
5. Telur segar yang baru keluar
mengandung 2-8 sel
MATERI III
TREMATODA USUS

A. Pengertian Fasciola Buski


Fasciolopsis buski adalah salah satu trematoda usus yang bersifat hermaprodit yang
dapat menimbulkan penyakit fasciolopsiasis. Fasciolopsis buski merupakan salah satu
parasit trematoda terbesar dengan ukuran panjang 2-7,5 cm, lebar 0,8-2 cm dan tebal
sekitar 3 mm. Menginfeksi manusia karena berada di dalam lumen usus. Siklus hidup
cacing ini dimulai dengan menghasilkan telur, selanjutnya menetas menjadi
mirasidium, keluar mencari dan menginfeksi spesies keong/siput (hospes perantara). Di
dalam keong, mirasidium berubah bentuk menjadi sporokista, redia, dan terakhir
serkaria. Serkaria akan mengadakan enkistasi pada tumbuhan air, tahan dengan kondisi
temperatur air yang dingin (10-20º C) namun tidak tahan terhadap kekeringan.

B. Klasifikasi
Taksonomi Fasciolopsis buski:
Kingdom :Animalia
Phylum : Platyhelminthes
Kelas :Trematoda
Ordo :Echinostomida
Family :Fasciolidae
Genus :Fasciolopsis
Spesies :Fasciolopsis buski

C. Hospes dan Nama Penyakit


Selain manusia babi yang dapat menjadi hospes definitive cacing tersebut, hewan
lain seperti anjing dan kelinci juga dapat dihinggapi. Penyakit yang disebabkan cacing
ini disebut fasiolopsiasis. Melekat terutama pada dinding duodenum dan jejunum. Pada
infeksi berat dapat ditemukan pada pylorus atau usus besar. Yang bertindak sebagai
hospes perantara I, yaitu keong air tawar Hippeutis, Gyraulus, Segmentina, Lymnaea,
sedangkan sebagai hospes perantara II adalah tumbuhhan air di antaranya Trapa
bicornus, Trapa natans, Eliocharis tuberose (water chestnut), Salvinia natans,
Eichornia (eceng gondok) dan Zizania (bamboo air).
Sebenarnya Fasciolopsiasis hanya tergantung dari pada pola perubahan dalam
kebiasaan makan, praktek-praktek sosial dan pertanian, pendidikan kesehatan,
industrialisasi, dan perubahan lingkungan. Penyakit ini merupakan penyakit parasitik
yang dikatagorikan sebagai penyakit yang kurang mendapat perhatian (neglected
disease). Kalau dilihat secara morfologi cacing ini merupakan salah satu parasit
Trematoda terbesar. Dan ukuran cacing ini panjang 2-7.5 cm, lebar 0.8-2 cm dan tebal
± 3 mm. (Sehatman, Hendriek ES. 2015).
Gejala Fasciolopsiasis tidak begitu jelas bila terinfeksi cacing ringan, sedangkan
infeksi lebih berat gejalanya tampak jelas. Misalnya: sakit perut, demam, assites,
anasarka dan obstruksi usus. Cacing ini mampu hidup sampai 12 bulan. Tetapi pada
pemeriksaan laboratriumnya terlihat bila infeksi yang lebih berat cacing dapat
ditemukan dilambung dan bagian usus lainnya. Proses malabsorbsi terjadi apabila
jumlah tinja sangat banyak dan berisi banyak makanan yang belum dicerna. Pada
penderita dapat mengakibatkan kematian bila jumlah cacing yang banyak. (Sehatman,
Hendriek ES. 2015)

D. Morfologi dan Daur Hidup


Morfologi Cacing dewasa yang ada pada manusia mempunyai ukuran panjangnya
20-75 mm dan lebar 8-20 mm. Bentuknya agak lonjong dan tebal. Kutikulum biasanya
ditutupi oleh duri-duri kecil yang melintang letaknya, dan sering rusak akibat cairan
usus. Ukuran dari batil isap kepala kira-kira seperempat ukuran dari batil isap perut.
Saluran pencernaan terdiri dari prefaring yang pendek, faring yang menggelembung,
esophagus yang pendek, serta sepasang sekum yang tidak bercabang dengan dua
indentasi yang khas. Dua buah testis yang bercabang-cabang letaknya agak tandem di
bagian posterior cacing. Vitelaria letaknya lebih lateral dari sekum. Ovarium bentuknya
agak bulat. Uterus berpangkal pada ootip, berkelok-kelok ke arah anterior badan
cacing. Telurnya berbentuk agak lonjong, berdinding tipis transparan, dengan sebuah
operkulum yang nyaris terlihat pada sebuah kutubnya. Berukuran panjang 130-140
mikron dan lebarnya 80-85 mikron.

E. Patologi dan Gejala Klinis


Perubahan patologi yang disebabkan oleh cacing ini ada tiga bentuk yaitu toksik,
obstruksi dan traumatik. Terjadinya radang di daerah gigitan, menyebabkan
hipersekresi dari lapisan mukosa usus sehingga menyebabkan hambatan makanan yang
lewat. Sebagai akibatnya adalah ulserasi, haemoragik dan absces pada dinding usus.
Terjadi gejala diaree kronis. Toksemia terjadi sebagai akibat dari absorpsi sekresi
metabolit dari cacing, hal ini dapat mengakibatkan kematian.
Cacing dewasa fasciolopsis buski,melekat denan perantara batil isap perut pada
mukosa usus muda seperti duodenum dan yeyenum,cacing ini memakan isi
usus,maupun permukaan mukosa usus,pada tempat pelekatan cacing tersebut terdapat
peradangan ,tukak (ulkus),maupun abses,apabila terjadi erosi kapiler pada tempat
tersebut ,maka timbul pendarahan,cacing dalam jumlah besar dapat menyebabkan
sumbatan yang menimbulkan gejala ileus akut.
Gejala klinis yang dini pada akhir masa inkubasi adalah diare dan nyeri,uluhati
(epigastrium) diare yang mulanya di selingi konstipasi,kemudian menjadi
persisten,warna tinja menjadi hijau kuning,berbau busuk dan berisi makanan yang tidak
di cerna,pada beberapa pasien nafsu makan cukup baik atau berlebihan walaupun ada
yang mengalami gejala mual,muntah,atau tidak memiliki selera (semua ini tergantung
dari berat ringanya penyakit).

F. Pengobatan
Cara menghindari atau mencegah penyakit F. buski, misalkan:
a. Cara berperilaku dan kebiasaan hidup sehat dengan mencuci makanan dan
memasak makanan yang akan dimakan sampai matang.
b. Mencuci tangan sebelum makan dan sesudah melakukan aktivitas (bekerja).
c. Memakai alas kaki dan mandi tiap hari pagi dan sore untuk menghindari infeksi F.
buski.
d. Dilakukan pemeriksaan cacing dan pengobatan secara rutin.
e. Diberikan pengetahuan tentang siklus hidup F. buski.
f. Pengobatan yang perlu dianjurkan adalah Praziquantel yang diberikan sebagai
dosis tunggal sebesar 15mg/kg berat badan. Obat-obat lain yang dapat diberikan
adalah: Tetrakloretilen, Heksilresorkinol, Stilbazium iodide, Diklorofe dn
Niklosamid. (Chin J., 2000)

.
MATERI IV
TREMATODA DARAH

A. Latar Belakang
Bilharziasis adalah infestasi tubuh manusia oleh Schistosoma yang masuk ke
tubuh lewat kulit atau membran mukosa. Penyakit ini juga dikenal sebagai
schistosomiasis, demam siput, dan demam Katayama. Bilharziasis pertama kali
ditemukan trematoda dewasa oleh Theodor Bilharz pada tahun 1851 di vena
messenterica pada manusia di Kairo, Mesir. Diduga penyakit Ini juga merupakan
penyebab hematuria endemic di Mesir yang telah dilaporkan kejadiannya sejak zaman
Fir’aun.
Bilharziosis atau Schistomiasis pada manusia disebabkan oleh tiga macam spesies
Trematoda yang tergolong dalam genus Schistosoma;
a. Schistosoma haematobium Bilharz (1852), penyebab bilharziosis vesikal.
b. Schistosoma mansoni Sambon (1907), penyebab bilharzioziz usus.
c. Schistosoma japanicum Katsurada (1904), penyebab bilharziosis Asia.

B. Morfologi dan Siklus Hidup


Cacing yang jantan berbentuk memanjang seperti daun, mempunyai suatu
keanehan yaitu dapat menggulungkan sisi badan membentuk suatu tabung dan dalam
gulungan ini terletak betina (lintah sejoli). Itulah sebabnya badan yang jantan
kelihatan seperti terbelah memanjang. Cacing ini berbeda dengan Trematoda lain,
adalah uniseks. Cacing dewasa (tergantung pada spesies, 10-20 mm panjang) hidup
terutama di dalam saluran darah mesenterium dari usus dan juga dalam vena hati
(Schistosoma mansoni dan Schistosoma japonicum) dalam saluran darah kandung
kencing (Schistosoma haematobium = lintah darah).
Telur masuk kapiler dan menembus dinding usus atau kandung kencing
sampai ke rongga usus atau kandung kencing, karena itu mereka akhirnya ditemukan
di tinja atau urine dan bebas di alam luar.
Telur spesies Schistosoma mansoni ukuran kira-kira 150 mikron yang keluar
bersama tinja, mempunyai ciri-ciri khas yaitu adanya duri lateral, sedangkan telur
Schistosoma haematobium kira-kira 135 mikron mempunyai duri terminal.
Telur Schistosoma japonicum kira-kira 85 mikron lebih besar dan kebanyakan
berbentuk agak bulat hanya mempunyai duri lateral yang kecil; berhubung karena
permukaan telur yang agak lengket, partikel-partikel tinja melekat padanya, dengan
demikian telur ini sukar dibedakan dengan telur Schistosoma mansoni.
Pertumbuhan dari ketiga spesies ini adalah sama dan selalu tergantung pada
adanya keong air tertentu (hospes perantara). Telur yang keluar bersama erekta selalu
mengandung larva yang dinamakan mirasidium. Dalam air mirasidium keluar dari
telur, tapi ia hanya dapat hidup selama 48 jam. Larva harus menemui keong yang
cocok untuk dapat melanjutkan pertumbuhannya lebih lanjut menjadi sporokista
induk yang berbentuk tabung. Dalam sporokista induk ini terbentuklah sporokista
anak secara partenogenesis.
Hanya stadium inilah yang menghasilkan stadium larva infektif yang khas dan
dinamakan serkaria (serkaria berekor garpu). Serkarria ini keluar bebas melalui
lubang pernapasan keong dan kembali mencapai air. Untuk pertumbuhan selanjutnya
serkaria harus menembus kulit hsopes akhir. Di sini ia melepaskan ekornya. Bila
mereka tidak berhasil menembus hospes akhir dalam beberapa jam, mereka akan
mati. Cacing muda terbawa secara pasif melalui daerah vena kulit sampai ke vertikel
atau kamar kanan jantung, dari sini dengan melewati alveoli paru-paru dan vena
pulmo ke kamar kiri jantung dan kemudian sampai ke arteri badan.
Cacing betina tidak akan menjadi dewasa seks sampai ia mendapat pasangan
dan kemudian mereka migrasi keluar sistem atau susunan portal hepar untuk
meletakkan telur dalam saluran mesenterium. Telur yang dikeluarkan ditemukan
dalam kapiler dan menyebabkan perubahan inflammatory dalam dinding usus.
Akhirnya mereka lewat ke dalam lumen usus dan dapat ditemukan dalam tinja.

C. Perbedaan Morfologi Schistosoma


S. haematobium S. Mansoni S.japonicum
Telur

Ukuran : 150 mikron. Ukuran : 85 mikron


Ukuran : 135 mikron. tapi lebih lebar dan
Ciri khas : duri lateral agak bulat.
Ciri khas : duri
Ciri khas : duri
terminal lateral kecil
Mirasidiu
m

Cacing
dewasa
jantan dan
betina

Terdapat tuberkul kasar


Tidak terdapat tuberkul kasar
Tidak terdapat
tuberkul kasar
Jantan

Panjang : 10 – 15 mm Panjang : 8 – 10 mm Panjang: 12 – 20 mm


Betina

Panjang : 20 mm Panjang : 14 mm Panjang : +26 mm


Daerah Afrika timur Afrika timur, barat, Asia Timur
Penyebara tengah dan Amerika
n selatan dan tengan
Hospes Bulinus (Physopsis dan Biomphalaria dan Oncomelania
hupensis
perantara Planorbarius) Australorbis
Hospes Manusia dan babon Manusia dan babon Manusia & hewan
definitif domestik

D. Patofisiologi
1.Schistosomiasis Akut (sindrom Katayama)
Adalah penyakit seperti serum, serum sickness yang berkembang setelah
beberapa minggu individu dengan infeksi schistosom. Ini mungkin sesuai dengan
siklus pertama deposisi telur dan berhubungan dengan eosinofilia perifer yang
ditandai dan beredar kompleks imun. Paling umum adalah infeksi S japonicum
dan S mansoni dan kemungkinan besar terjadi pada orang yang terinfeksi berat
setelah infeksi primer. Gejala biasanya hilang dalam beberapa minggu, tetapi
sindrom ini bisa berakibat fatal. Pengobatan dini dengan obat-obat cidal dapat
memperparah sindrom ini dan memerlukan terapi glukokortikoid bersamaan.
Turis dan pelancong paling mungkin hadir di UGD di Amerika Serikat dengan
sindrom ini. Riwayat kontak pasien dengan air segar, seperti melalui berenang,
berperahu, arung jeram, atau ski air, harus diperoleh. Lesi kulit ringan,
maculopapular dapat berkembang pada infeksi akut dalam beberapa jam setelah
terpapar serkaria. Dermatitis yang signifikan jarang terjadi pada patogen
schistosomal manusia mayor, mungkin karena serkaria invasif dan invasif
minimal imunogenik. Namun, infeksi manusia yang gagal dengan spesies
schistosomal yang bergantung pada inang primer lainnya dapat menyebabkan
dermatitis. Proses yang terbatas sendiri ini dapat muncul kembali secara lebih
intens dengan keterpaparan berikutnya pada spesies yang sama.
2.Schistosomiasis Kronis.
Patologi schistosomiasis kronis, jauh lebih umum daripada infeksi akut,
hasil dari respon imun yang diinduksi oleh telur, pembentukan granuloma, dan
perubahan fibrotik terkait. Meskipun cercarial dan cacing dewasa minimal
imunogenik, telur schistosom sangat imunogenik dan menginduksi respons imun
yang kuat di sirkulasi dan lokal. (Telur mungkin memerlukan respons kekebalan
yang intens untuk membantu migrasi mereka melalui tubuh.) Cacing dewasa dapat
menyerap protein inang. Jika tidak diserang oleh sistem kekebalan tubuh, mereka
dapat hidup selama bertahun-tahun dalam aliran darah karena mereka dilapisi
dengan antigen tuan rumah. Retensi telur dan pembentukan granuloma di dinding
usus (biasanya S mansoni atau S japonicum) dapat menyebabkan diare berdarah,
kram, dan, akhirnya, poliposis kolon inflamasi. Pasien dengan keterlibatan
dinding usus berat memiliki peningkatan tingkat infeksi Salmonella rekuren,
umumnya dengan kultur darah positif dan kultur tinja negatif. Schistosomiasis
usus kronis dapat hadir dengan komplikasi akut usus buntu, perforasi, dan
perdarahan lama setelah eksposur terkait perjalanan (atau endemik). Perforasi
rektum yang disebabkan oleh haematobium S juga telah dijelaskan dalam laporan
kasus. Telur dapat menembus usus yang berdekatan dengan pembuluh
mesenterika di mana cacing dewasa berada. Telur-telur yang tidak dilepaskan,
yang tersapu kembali ke sirkulasi portal, tinggal di sana dan menyebabkan reaksi
granulomatosa di saluran-saluran portal. Infestasi berat lebih mungkin
menghasilkan penyakit hati. Akhirnya, fibrosis periportal berat dalam pola
pipestem karakteristik (Symmers pipestem fibrosis) dapat terjadi. Meskipun
fungsi hepatoseluler terhindar, fibrosis periportal dapat menyebabkan hipertensi
portal dengan sekuele potensial yang biasa, termasuk splenomegali, asites,
perdarahan varises esofagus, dan pengembangan agunan portosystemic. Melalui
kolateral ini (atau langsung dari vena cava inferior dalam kasus schistosomiasis
dinding kandung kemih), telur dapat mencapai sirkulasi pulmonal.
Granulomatosis paru yang dihasilkan dan fibrosis dapat menyebabkan hipertensi
pulmonal dan korona pulmonal terang dengan tingkat mortalitas yang tinggi.
Dalam satu seri, hipertensi pulmonal ditemukan pada 18,5% pasien dengan
schistosomiasis hepatosplenik yang diketahui. Koinfeksi dengan hepatitis B atau
hepatitis C dapat mempercepat disfungsi hati dan meningkatkan risiko karsinoma
hepatoselular di luar yang terlihat dengan hepatitis saja. Selain itu, kanker
kandung empedu mungkin berhubungan dengan infeksi schistosomal. Retensi
telur dan pembentukan granuloma di saluran kemih (S haematobium) dapat
menyebabkan hematuria, disuria, polip kandung kemih dan bisul, dan bahkan
uropati obstruktif. Infeksi haematobium juga dikaitkan dengan peningkatan
tingkat kanker kandung kemih, biasanya sel skuamosa daripada sel transisional.
Deposisi telur ektopik dapat menyebabkan sindrom klinis tambahan, termasuk
keterlibatan kulit, paru-paru, otak, otot, kelenjar adrenal, alat kelamin, dan mata.
Keterlibatan CNS dapat menghasilkan mielitis transversa (paling tepat untuk S
haematobium dan S mansoni) dan / atau penyakit serebral (paling sering terjadi
pada infeksi S japonicum). Invasi jaringan lokal telur membawa tentang pelepasan
racun dan enzim dan memprovokasi respon imun TH-2-mediated.

MATERI V

TREMATODA PARU
A. Latar Belakang
Trematoda adalah cacing yang secara morfologi berbentuk pipih seperti daun. Pada
umumnya cacing ini bersifat hermaprodit, kecuali genus Schistosoma. Pada dasarnya daur
hidup trematoda ini melampaui beberapa beberapa fase kehidupan dimana dalam fase
tersebut memerlukan hospes intermediet untuk perkembangannya. Fase daur hidup tersebut
adalah sebagai berikut:
Telur--- meracidium --- sporocyst --- redia --- cercaria — metacercaria --- cacing
dewasa.
Genus dari trematoda

(1) Schistosoma
(2) Paragonimus
(3) Clonorchis
(4) Echinostoma
Menurut lokasi berparasitnya cacing trematoda dikelompokkan sebagai berikut:

1) Trematoda pembuluh darah: Schistosoma haematobium, S. mansoni, S. japonicum


2) Trematoda paru: Paragonimus westermani

3) Trematoda usus: Fasciolopsis buski, Echinostoma revolutum, E. ilocanum

4)    Trematoda hati: Clonorchis sinensis, Fasciola hepatica, F. gigantic

Cacing daun yang dikenali merupakan jenis cacing yang tergolong dalam kelas
Trematoda filum Platyhelmintes. Cacing daun ini bersifat parasit. Pada umumnya cacing ini
bersifat hermafrodit, kecuali cacing schistosoma. Spesies yang menjadi parasit pada manusia
merupakan golongan subkelas Dignea, yang hidup sebagai endoparasit.

Cacing ini menular melalui beberapa hospes antara yaitu kucing, anjing, kambing,
sapi, babi, tikus, burung, musang, harimau, dan manusia. Trematoda Trematoda Paru/Lung
fluks (Paragonimus westermani) parasit yang menyebabkan penyakit paragonimus .

Cacing ini biasanya berbentuk pipih dorsoventral, simetri dan tidak mempunyai
rongga badan. Ukurannya bervariasi mulai dari 1 mm sampai 75 mm. Ciri khas cacing ini
adalah terdapat dua batil isap yaitu batil isap mulut dan batil isap perut ada juga spesies yang
memiliki batil isap genital. Trematoda memiliki saluran pencernaan berbentuk huruf Y
terbalik dan pada umumnya tidak memiliki alat pernapasan khusus karena hidup secara
anaerob. Saluran ekskresi terdapat simetris bilateral dan berakhir di bagian posterior. Susunan
saraf dimulai dengan ganglion di bagian dorsal esofagus, kemudian terdapat saraf yang
memanjang di bagian dorsal, ventral dan lateral badan. Cacing dewasa hidup di dalam tubuh
hospes defenitif. Telur diletakan dalam saluran hati, rongga usus, paru, pembulug darah atau
di jaringan tempat cacing hidup dan telur biasanya keluar bersama tinja, dahak atau urin.
Kebanyakan sel telur yang terdapat dalam telur dan pada beberapa spesies telur sudah
mengandung mirasidium (M) yang mempunyai bulu getar. Telur matang yang sudah
mengandung mirasidium menetas dalam air.

Proses pematangan spesies telur trematoda yang mengandung sel telur berlangsung
selamakurang lebih 2-3 minggu. Pada beberapa spesies tramatoda, telur matang menetas bila
ditelan hospes perantara (keong) dan keluarlah mirasidium yang masuk dalam jaringan
keong; atau telur langsung dapat menetas dan mirasidium berenang di air. Untuk dapat
melanjutkan perkembangannya mirasidium harus dapat menemukan keong air (hospes
perantara pertama (HP I) dalam waktu kurang dari 24 jam. Ketika berada dalam keong air
mirasidium berkembang menjadi sporokista (S) yaitu sebuah kantong yang mengandung
embrio, bentuknya berupa kantong yang sudah memilik mulut, faring, dan sekum. Sporokista
ini dapat mengandung sporokista lain atau redia (R). Dalam sporokista II atau redia (R), larva
berkembang menjadi serkaria (SK). Serkaria kemudian keluar dari keong air dan mencari
hospes perantara II yang berupa ikan, tumbuh – tumbuhan air, ketam, udang batu dan keong
air lainnya atau dapat menginfeksi hospes defenitif lainnya seperti pada Schistosoma. Dalm
hospes perantara II serkaria berubah menjadi metaserkaria yang berbentuk kista. Hospes
defenitif yang memakan memakan hospes perantara II yang mengandung metaserkaria akan
terinfeksi jika tidak dimasak atau diolah dengan baik. Cacing Schistosoma menginfeksi hopes
defenitif dengan cara serkaria menembus kulit, kemudian berubah menjadi skistosomula lalu
berkembang menjadi cacing dewasa dalam tubuh hospes.

Kelainan yang disebabkan oleh cacing daun tergantung dari lokalisasi cacing di dalam
tubuh hospes. Selain itu rangsangan setempat dan zat toksin yang dikeluarkan oleh cacing
turut berpengaruh. Reaksi sistemik terjadi karena tubuh menyerap toksin yang dikeluarkan
oleh cacing tersebut yang kemudian akan menimbulkan gejala alergi, demam, sakit kepala
dan lain-lain. Sementara cacing daun yang hidup dalam rongga usus biasanya tidak memberi
gejala atau hanya gejala gastrointestinal ringan seperti mual, muntah, sakit perut dan diare.
Cacing daun yang hidup di paru seperti Paragonimus, bisa menimbulkan gejala batuk, sesak
napas dan batuk berdarah (hemoptisis).
B. Taksonomi Paragonimus westermani
Kingdom : Animalia
Filum : Platyhelminthes
Kelas : Trematoda
Ordo : Plagiorchiida
Famili : Troglotrematidae
Genus : Paragonimus
Spesies : Paragonimus westermani

C. Definisi Paragonimus westermani


Paragonimus westermani adalah salah satu trematoda paru-paru yang bersifat
hermaprodit yang dapat menimbulkan penyakit paragonimiasis. Trematoda ini mempunyai
nama lain the lung fluke, Distoma westermani, dan Paragonimus ringeri. Hospes definitif :
manusia, anjing, kucing Hospes intermedier 1 : keong air tawar (Melania sp.) Hospes
intermedier 2 : kepiting (Potamon sp., Paratelphusa sp., Sesarma sp.) udang air tawar
(Astacus sp., Cambarus sp.)

Paragonimus westermani merupakan cacing paru yang berasal dari kelas Trematoda,
dimana bagian tubuh yang paling utama diserang adalah bagian paru. Paragonimus
westermani ini pertama kali ditemukan terdapat pada tubuh dua harimau yang mati, yang
berada di benua Eropa pada tahun 1878, dan pada beberapa tahun kemudian barulah cacing
paru ini terinfeksi pada manusia yang ditemukan di Formosa, banyak cara bagaimana cacing
paru tersebut dapat menular pada manusia,dan penyebarannya pun yang sangat
beranekaragam.

(Metaserkaria)
D. Morfologi Paragonimus westermani

Ciri-ciri cacing dewasa :


 Cacing dewasa tebal berbentuk seperti biji kopi
 Berwarna coklat kemerahan
 Ukuran : panjang 7 – 12 mm, lebar 4 – 6 mm, dan ketebalan 3 mm
 Oral sucker terletak subterminal, ventral sucker di bagian tengah tubuh. Oral dan ventral
sucker mempunyai ukuran yang sama besarnya
 Testis dua buah berlekuk dalam saling berdampingan, terletak di ½ posterior badan
 Ovarium besar berlekuk dalam di sebelah lateral dari testis
 Kelenjar vitelaria meluas di seluruh daerah lateral
 Porus genitalis terletak di dekat tepi belakang ventral sucker

Ciri-ciri telur :

 Telur berbentuk oval


 Ukuran  : panjang 80 – 120 μm dan lebar 50 – 60 μm
 Mempunyai operculum yang khas berdinding tebal
 Telur berisi sel-sel ovum (belum matang)
E. Gejala Klinis Paragonimiasis
Gejala paru-paru :
 Berupa kerusakan jaringan
 Tampak juga infiltrasi sel jaringan
 Reaksi jaringan membentuk kapsul fibrotik (kista), di dalamnya terdapat cacing dan juga
telur, jika kista ini berada di brokus maka oleh suatu hal dapat pecah. Gejala mula-mula batuk
kering, kemudian batuk darah.
Ektopik infeksi :

 Di otak → gejala cerebral (epilepsi)


 Di usus → abses dengan gejala diare
 Di jaringan otot → ulcerrosa
 Di hati, dinding usus, pulmo, otot, testis, otak, peritoneum, pleura terdapat bentuk kista
Gejala yang muncul dapat dikelompokkan menjadi 3 tahap, yaitu :
1. Stadium ringan : tidak ditemukan gejala.
2. Stadium progresif : terjadi penurunan nafsu makan, perut     terasa penuh, diare.
3. Stadium lanjut : didapatkan sindrom hipertensi portal yang terdiri dari
pembesaran hati, ikterus, oedema dan sirosis hepatis

MATERI VI
TEKNIK HARADA MORI

Harada Mori adalah teknik yang digunakan untuk menemukan dan mengidentifikasi
larva cacing Ancylostoma duodenale, Necator americanus, Strongyloides stercoralis, dan
Trichostrongylus sp. Dengan teknik ini telur cacing dapat berkembang menjadi larva
infektif pada kertas saring basah. Kemudian larva akan ditemukan di dalam air yang
terdapat pada ujung tempat. Larva dapat diambil dengan pipet dan kemudian dibuat
preparat untuk diamati di mikroskop.
Air merupakan komponen yang sangat penting dalam teknik ini. Air menentukan
kelembaban yang dibutuhkan untuk telur supaya menetas, air juga membantu
menurunkan suhu ketika suhu terlalu panas. Kertas saring digunakan karena memiliki
kapilaritas yang tinggi dan menyebabkan air dapat masuk melalui celah-celah kecil.
Teknik ini mengharapkan larva cacing yang telah menetas nanti dapat bergerak & masuk
ke dalam air. Metode Harada Mori merupakan pemeriksaan secara kuantitatif.
Metode harada mori digunakan untuk menentukan dan mengidentifikasi larva cacing
Ancylostoma duodenale, Necator americanus, Strongyloides stercolaris dan
Trichostronngilus spatau yang didapatkan dari feses. Teknik ini memungkinkan telur
cacing dapat berkembang menjadi larva infektif pada kertas saring basah selama kurang
lebih 7 hari, kemudian larva akan ditemukan di dalam air yang terdapat pada ujung
tabung sedimen yang digunakan saat praktikum. Ada beberapa hal yang perlu
diperhatikan saat praktikum kultur harada mori, yaitu :
a. tabung yang digunakan yaitu tabung berulir
b. penutupan tabung tidak boleh terlalu rapat agar adanya oksigen
c. saat penumbuhan, bila air dalam tabung berkurang maka ditambahkan air dengan
menggunakan pipet pasteur lewat dinding tabung
d. bila sampel berupa suspensi dapat diteteskan saja pada kertas saring, namun apabila
sampel berupa feses dapat dioleskan pada kertas saring
e. kelembaban selalu dijaga
Setelah inkubasi dirasa cukup, selanjutnya dilakukan pembuatan preparat dan untuk
mengetahui hasilnya dapat diamati di bawah mikroskop. Pembuatan preparat dapat
dilakukan dengan menggunakan pewarna eosin 2% atau lugol. Pertama-tama, pewarna
dapat diteteskan pada objek glass yang telah diberi label. Kemudian sampel biakan
diambil menggunakan pipet tetes, diambil pada bagian dasarnya. Pengambilan harus
dengan hati-hati, tidak boleh adanya gelembung pada air agar didapat sampel yang
diinginkan. Selanjutnya sampel diteteskan pada objek glass yang telah berisi pewarna dan
dihomogenkan menggunakan lidi. Objek glass ditutup menggunakan cover glass dengan
sangat hati-hati agar tidak terdapat gelembung pada preparat yang dibuat. Selanjutnya
preparat dapat diamati di bawah mikroskop.
 Pembiakan /Kultur telur dan larva cacing dengan metode Harada-Mori

Tutup tabung sedimen

Sampel Feses yang telah dioleskan


Tabung sedimen

3 ml/3Cc Aquadest

3 mm
Sampel Feses pada kertas saring

40 mm

120 mmtelur dan larva cacing dengan metode Harada-Mori


 Pengamatan hasil kultur

Hari ke-2 Hari ke-5

Aquadest
Aquadest
Keterangan: Keterangan:

-Jumlah airr dalam tabung berkurang -Jumlah air dalam tabung berkurang

-Kertas saring dalam keadaan basah - Kertas saring dalam keadaan basah

-Warna sampel feses yang - Warna sampel feses yang


dioleskan menjadi lebih pudar dioleskan menjadi lebih pudar
dari hari kedua
-Air dalam tabung tidak berwarna
-Air dalam tabung tidak berwarna

 Pembuatan sediaan basah Harada-Mori

A.
Mr X /L/20th

Pada objek glass ditetesi


B.
pewarna eosin 2% dengan
pipet tetes

Diberi label pada objek


glass yang bersih

Dipipet bagian
Mr X/L/20 th

dasar sampel
biakan Harada-
Mori

Diteteskan pada objek glass yang telah


diberi pewarna eosin 2% dan
dihomogenkan dengan lidi
Mr X/L/20th

Ditutup cover glass yang bersih

 Pengamatan pada mikroskop

Pada pembesaran lensa objektif 40 x


DENGAN potongan tubuh cacing dari
larva Rabditiform dengan pewarnaan
eosin 2%

Pada pembesaran lensa objektif


40 x dengan larva cacing
Filariform
Kertas saring yang telah disiapkan tidak boleh diletakkan sembarangan untuk
menghindari kontaminasi mikroorganisme lain yang mungkin dapat tumbuh pada perangkat
kultur Harada-Mori dan menggangu proses pengamatan.Sampel feses yang dioleskan tidak
boleh terlalu banyak dan tebal sebab adanya feses yang terlalu tebal akan dapat menyebabkan
feses jatuh kebawah dan akan mengenai air sehingga menjadi keruh, sampel yang dioleskan
juga harus terletak 1/3 dari bagian atas kertas saring.
Pada praktikum kali ini digunakan aquadest yang tidak steril dimana menurut literatur
(Shorb.1937) aquadest yang sebaiknya digunakan pada metode Harada-Mori adalah aquadest
steril untuk menghindari kontaminasi jamur,lumut,dan larva/jentik nyamuk yang mungkin
dapat tumbuh dan mengganggu pengamatan.
Kertas saring yang telah diolesi sampel feses dimasukkan pada tabung yang telah diisi
aquadest,bagian ujung kertas saring yang runcing hanya dicelupkan 1 cm pada aquadest
dengan alasan agar tersedia tempat berupa aquadest yang tidak dicelupkan kertas saring
sebagai tempat tumbuhnya larva cacing ,alasan pengunaan tabung sedimen adalah agar larva
terkonsentrasi pada ujung tabung yang runcing.
Inkubasi dilakukan pada suhu ruangan ditempat gelap selama 7-9 hari,dimana pada
hari ke-2 terjadi pengurangan volume aquadest pada tabung sedimen kultur Harada-
Mori.Akibat diserap oleh kertas saring,warna olesan feses pada kertas saring menjadi lebih
pudar akibat terekstraksi oleh aquadest dan aquadest pada tabung sedimen warnanya tetap
(tidak berwarna)kertas saring masih dalam keadaan tercelup pada aquadest .Padahari ke-5
inkubasi kultur Harada-Mori terjadi pengurangan volume aquadest pada tabung sedimen
akibat diserap oleh kertas saring,warna olesan feses pada kertas saring menjadi lebih pudar
dari hari ke-2 akibat terekstraksi oleh aquadest ,warna aquadest pada tabung tetap dan kertas
saring masih dalam keadaan basah dan sedikit tercelup .Pada hari ke-5 dilakukan
penambahan aquadest pada tabung sedimen sampai volume 3ml/3Cc.
Pada identifikasi telur dan larva cacing hasil kultur dengan metode Harada-Mori yang
telah diinkubasi selama 7 hari di tempat gelap.Sebelum memulai proses identifikasi praktikan
menggunakan APD agar tidak terinfeksi oleh larva yang ada pada hasil kultur karena larva
dalam keadaan hidup.Identifikasi telur dan larva cacing dimulai dengan pembuatan preparat
basah (sampel hasil kultur Harada-Mori)yang diwarnai dengan eosin 2% atau lugol 1% .Saat
pembuatan sediaan (ditutup cover glass)diusahakan agar tidak ada gelembung yang
terperangkap antara objek glass dan cover glass agar tidak ada yang mengganggu proses
pengamatan,yang paling penting adalah saat merapikan cairan berlebih yang melebar
melebihi cover glass harus dilakukan dengan hati-hati karena mengandung larva infeksius.
Secara makroskopis tidak terdapat perubahan pada aquadest yang ada pada tabung
kultur telur dan larva cacing teknik Harada-Mori.Namun harus tetap waspada pada saat
handling dan processing spesimen ini bersifat infeksius.
Pada saat pengamatan preparat basah denga pewarna lugol 1% dan eosin 2% dari
kultur Harada-Mori didapat hasil yang positif,berupa larva Filariform dengan pewarna lugol
1%dengan ciri-ciri bentuk yang kurus,ukuran pendek warna bening yang menyatu dengan
latar belakang pewarna dan juga ditemukan larva Rhabditiform dengan pewarna eosin 2%
dengan ciri-ciri bentuk gemuk,ukuran pendek dan tidak berwarna melainkan menyatu dengan
latar belakang merah akibat eosin 2% ,namun pada larva ini tidak terdapat cadangan makanan
karena kondisi lingkungan dan jangka waktu penyimpanan.

MATERI VII

LARVA NYAMUK

Nyamuk merupakan vector yang bertanggung jawab atas berbagai penyakit yang
disebabkan oleh parasit dan virus (Soulsby.1982), terutama didaerah tropis dan subtropics
(Brotowidjoyo.1987). bahkan diantaranya ada yang zoonosis. Ada dua sub familia nyamuk
yang umum terdapat dipemukiman penduduk yaitu , Culicinae dan Anophelinae. Culicinae
terdiri atas dua genus penting , yaitu Culex dan Aedes, sedangkan Anophelinae dengan genus
terpenting , yaitu Anopheles (Levine.1994)
Nyamuk memiliki 4 tahap metamorphosis diantaranya , telur , larva , pupa, dan
nyamuk dewasa. Nyamuk betina dewasa biasanya meletakkan telur mereka di air yang
mempunyai permukaan seperti rawa payau, danau, genangan air. Penangkaran tanaman air ,
atau penampung air buatan seperti ember plastic buatan. Jika tahap metamorphosis awal,
yaitu telur, larva, dan pupa semuanya terjadi di media air dan berlangsung ± 5-14 hari
tergantung jenis spesies dan temparaturnya. Telur akan menetas menjadi larva lalu berubah
menjadi pupa. Pada akhirnya, nyamuk dewasa akan keluar dari pupa yang ada dipermukaan
air. Nyamuk dewasa, hidup sekitar 4-8 minggu.(Soedarto.1996)
Larva bernafas melalui spiracies yang terletak dibagian abdomen ke-8, atau melalu
siphon. Selain itu, larva seringkali muncul ke permukaan untuk mengambil udara. Larva
menghabiskan banyak waktu mereka untuk mengkonsumsi bakteri alga dan mikroorganisme
yang ada dipermukaan air. Larva-larva ini menyelam saat mereka merasa terganggu.
Perkembangan larva ini terdiri dari 4 tahap atau yang disebut dengan instar. Ditiap fase akhir
fase instar , larva akan berganti kulit untuk perkembangan selanjutnya (Sutherland.2000)
Larva (jentik) pada nyamuk Anopheles, Aedes, dan Culex memiliki bentuk dasar
yang sama, akan tetapi ukuran tubuh dan bulu-bulu pada syphonnya berbeda. Untuk
pengidentifikasian menggunakan instar III atau instar IV. Pertumbuhan dan perkembangan
larva (jentik) ini dipengaruhi oleh beberapa factor seperti termperatur, bahan makanan , dan
predator. Stadium larva berlangsung selama 4 – 10 hari tergantung pada kondisi
lingkungannya.
Stadium larva (jentik) pada nyamuk Anopheles, Aedes, dan Culex memiliki cirri-ciri
yang berbeda-beda untuk setiap nyamuk, ketiga jenis stadium larva dapat dijabarkan sebagai
berikut :
1. Larva Nyamuk Aedes
Stadium larva nyamuk Aedes berlangsung selama 5-7 hari. Perkembangan larva
tergantung pada temperature air, kepadatan larva dan tersedianya makanan. Larva ini
hidup dengan memakan organism-organisme kecil. Larva akan mati pada suhu
dibawah 100C dan diatas suhu 360C.
 Larva Aedes spp.memiliki kepala yang cukup besar serta torak dan abdomen yang
cukup jelas
 Hidup pada air jernih
 Larva nyamuk Aedes berwarna putih atau bening
 Menggantungkan diri agak tegak lurus pada permukaan air untuk mendapatkan
oksigen
 Memiliki kebiasaan menyaring mikroorganisme dan partikel-partikel lainnya dalam
air
 Biasanya larva melakukan pergantian kulit sebanyak 4 kali
 Ukuran larva nyamuk Aedes hampir sama dengan Culex tetapi lebih besar ukurannya
dibandingkan dengan larva naymuk Anopheles.
 Larva nyamuk Aedes hampir sama dengan larva nyamuk Culex dimana kedua larva
tersebut tanpa rambut dibadan, tetapi memiliki tabung udara (siphon) pada ekornya.
 Larva nyamuk Aedes apabila beristirahat dalam air tubuhnya akan membentuk sudut
± 450 dengan permukaan air dengan keadaan kepala dibawah.
 Bentuk siphon (tabung udara) pada larva nyamuk Aedes adalah pendek dan tumpul
serta memiliki satu kumpulan bulu pada siphonnya
 Pada siphon larva juga terdapat pectin (sisir)
 Larva nyamuk Aedes memiliki comb scale pada segmen ke 8
 Namun, pada segmen abdomen (ke-3) tidak adanya bulu kipas (palmate hair)
 Pada segmen-segmen abdomennya tidak terdapat utar-utar atau lempeng terkit.

Nyamuk Aedes yang sering menjadi vector di Indonesia adalah nyamuk Aedes
aegypty dan Aedes albopictus. Secara mikroskopis , perbedaan larva tersebut adalah
sebagai berikut :
a. Larva Nyamuk Aedes aegypti
 pada kepala (head) terdapat 2 bulu tunggal, yaitu bulu atas (upped head hair) dan bulu
bawah (lower head hair)
 lateral spine pada thorax terlihat jelas
 pada setiap sisi abdomen segmen ke-8 terdapat comb scale sebanyak 8-12 buah atau
berjajar 1-3 buah dalam satu baris yang bentuknya bergerigi dan median comb
runcing serta kokoh
 terdapat zat tanduk pectin yang pendek bergerigi pada siphon (air tube) dengan jumlah
7-14 buah dan mempunyai 1 buah vanteral tuff (bulu siphon)
 mempunyai corong udara pada segmen yang terakhir
 pada segmen abdomen tidak ditemukan adanya rambut-rambut berbentuk kipas
(Palmatus Hairs)
 terdapat sepasang rambut serta jumbai pada corong (siphon)
 bentuk individu dari comb scale seperti duri
 pada sisi thorax terdapat duri yang panjang dengan bentuk kurva
 tubuhnya langsing dengan perbandingan setimbang
 bersifat antiphoto tropis (bergerak menghindari cahaya) bila disorot dengan cahaya
lampu senter
 sangat tahan lama dibawah jauh permukaan air
 gerakannya cepat dengan membengkok-bengkokkan tubuhnya mirip sudut siku-siku.
Namun, saat istirahat membentuk sudut 450 dengan permukaan air.
 Terdapat 4 tingkatan perkembangan (instar) larva sesuai dengan pertumbuhan
larvanya yaitu :
- Larva instar 1 : berukuran 1-2 mm, duri-duri (spinae) pada dada belum jelas dan
corong pernapasan pada siphon belum jelas.
- Larva isntar 2 : berukuran 2,5-3,5 mm , duri-duri belum jelas , corong kepala mulai
menghitam
- Larva instar 3 : berukuran 4-8 mm , duri-duri dada mulai jelas dan corong pernapasan
berwarna cokelat kehitaman
- Larva instar 4 : berukuran 5-6 mm dengan warna kepala gelap

b. Larva Nyamuk Aedes albopictus


 Pada kepala mempunyai 1 bulu
 Lateral spine pada thorax tidak terlihat
 Pada abdomen segmen ke-8 terdapat comb scale dengan jumlah 8-12 buah. Dalam
satu baris bentuknya tidak bergerigi dan medium dari comb scale adalah runcing
 Zat tanduk hampir menutupi seluruh lapisan anal gills
 Terdapat pectin yang panjang bergerigi pada siphon (air tube) dengan jumlah 12-18
buah dan mempunyai satu buah ventral tuff (bulu siphon)

2. Larva nyamuk Culex


Setelah kontak dengan air , telur Culex akan menetas dalam waktu 2-3 hari. Pertumbuhan
dan perkembangan larva dipengaruhi oleh factor temparatur , tempat perindukan dan ada
tidaknya hewan predator. Pada kondisi optimum waktu yang dibutuhkan mulai dari
penetesan sampel dewasa ±5 hari.
 Larva Culex terdiri dari 3 bagian yaitu bagian kepala (head) , thorax , abdomen
(segmen-segmen) dimana larva Culex terdiri dari 8 segmen (ruas) yaitu segmen 1-
8
 Larva Culex hidup di air kotor
 Ukuran tubuhnya agak besar, lebih besar jika dibandingkan dengan ukuran tubuh
larva Anopheles
 Posisi saat istirahat membentuk sudut ±450 pada permukaan air dengan kepala
dibawah
 Memiliki siphon panjang, langsing, runcing (kecil) yang terdapat pada abdomen
terakhir
 Mempunyai beberapa kumpulan bulu siphon
 Tidak terdapat pecten (sisir) pada siphon
 Bentuk comb tidak beraturan
 Tidak terdapat comb scale pada segmen ke-8
 Tidak terdapat bulu kipas pada segmen abdomen ke-3
 Tidak terdapat utar-utar dan lempeng terkit pada segmen abdomen
 Larva berwarna agak cokelat
Untuk mempertahankan hidupnya maka larva membutuhkan oksigen dari udara dan
zat makanan yang diambil dari tumbuhan kecil dan bahan sisa dalam air.

3. Larva nyamuk Anopheles


 tempat hidup larva nyamuk Anopheles umumnya adalah air payau atau sawah
 ukuran tubuh larva lebih kecil jika dibandingkan dengan larva namuk Aedes dan
Culex
 larva berwarna hitam atau gelap
 apabila larva beristirahat maka posisi larva akan sejajar dengan permukaan air
 larva nyamuk Annopheles tidak memiliki siphon
 pada segmen ke-8 tidak terdapat comb scale
 pada segmen ke-8 terdapat lubang udara
 pada setiap segmen atau abdomen terdapat utar-utar atau lempeng terkit
 bulu kipas (palmate hair) terdapat pada segmen abdomen ke-3
 pada bagian thorax terdapat stoot spine
Larva nyamuk Anopheles memiliki 4 tingkatan yang disebut dengan instar, yakni
meliputi instar I dan II kecil bulu sederhana sedangkan instar III dan IV bulu
sempurna, 1 meter dibawah permukaan air dan waktunya 7,8 hari dengan cirri-ciri :
 panjang 5 mm
 bulu selukung depan (dalam) berjauhan
 bulu kipas segmen 1 sempurna
 bulu selukung dalam sempurna dan sederhana
 terdapat 7-8 bulu lubang udara
 pada ruas perut ke 10 terdapat duri-duri kasar berpigmen, bentuknya kerucut tidak
berhamburan yang berpigmen ±76%

MATERI VIII

NYAMUK

Nyamuk mengalami empat tahap dalam siklus hidup: telur, larva, pupa, dan
dewasa. Tempo tiga peringkat pertama bergantung kepada spesies - dan suhu. Hanya
nyamuk betina saja yang menyedot darah mangsanya. dan itu sama sekali tidak ada
hubungannya dengan makan. Sebab, pada kenyataanya, baik jantan maupun betina
makan cairan nektar bunga. sebab nyamuk betina memberi nutrisi pada telurnya.
Telur-telur nyamuk membutuhkan protein yang terdapat dalam darah untuk
berkembang. Fase perkembangan nyamuk dari telur hingga menjadi nyamuk dewasa
sangat menakjubkan. Telur nyamuk biasanya diletakkan pada daun lembap atau
kolam yang kering. Pemilihan tempat ini dilakukan oleh induk nyamuk dengan
menggunakan reseptor yang ada di bawah perutnya. Reseptor ini berfungsi sebagai
sensor suhu dan kelembapan. Setelah tempat ditemukan, induk nyamuk mulai
mengerami telurnya. Telur-telur itu panjangnya kurang dari 1 mm, disusun secara
bergaris, baik dalam kelompok maupun satu persatu. Beberapa spesies nyamuk
meletakkan telur-telurnya saling berdekatan membentuk suatu rakit yang bisa terdiri
dari 300 telur. Selesai itu, telur berada pada masa periode inkubasi (pengeraman).
Pada periode ini, inkubasi sempurna terjadi pada musim dingin. Setelah itu larva
mulai keluar dari telurnya semua dalam waktu yang hampir sama. Anak Nyamuk atau
ENCU Sampai siklus pertumbuhan ini selesai secara keseluruhan. Larva nyamuk akan
berubah kulitnya sebanyak 2 kali.
Selesai berganti kulit, nyamuk berada pada fase transisi. Fase ini dinamakan
"fase pupa". Pada fase ini, nyamuk sangat rentan terhadap kebocoran pupa. Agar tetap
bertahan, sebelum pupa siap untuk perubahan kulit yang terakhir kalinya, 2 pipa
nyamuk muncul ke atas air. pipa itu digunakan untuk alat pernapasan.

Nyamuk dalam kepompong pupa yang cukup dewasa dan siap terbang dengan semua
organnya seperti antenaa, belalai, kaki, dada, sayap, perut, dan mata besar yang
menutupi sebagian besar kepalanya. lalu kepompong pupa disobek di atas. Tingkat
ketika nyamuk yang telah lengkap muncul ini adalah tingkat yang paling
membahayakan. Nyamuk harus keluar dari air tanpa kontak langsung dengan air,
sehingga hanya kakinya yang menyentuh permukaan air. Kecepatan ini sangatlah
penting, meskipun angin tipis dapat menyebabkan kematiannya. Akhirnya, nyamuk
tinggal landas untuk penerbangan perdananya setelah istirahat sekitar setengah jam.
Culex tarsalis bisa menyelesaikan siklus hidupnya dalam tempo 14 hari pada
20 °C dan hanya sepuluh hari pada suhu 25 °C. Sebagian spesies mempunyai siklus
hidup sependek empat hari atau hingga satu bulan. Larva nyamuk dikenal sebagai
jentik dan didapati di sembarang bekas berisi air. Jentik bernafas melalui saluran
udara yang terdapat pada ujung ekor. Pupa biasanya seaktif larva, tetapi bernafas
melalui tanduk thorakis yang terdapat pada gelung thorakis. Kebanyakan jentik
memakan mikroorganisme, tetapi beberapa jentik adalah pemangsa bagi jentik spesies
lain. Sebagian larva nyamuk seperti Wyeomia hidup dalam keadaan luar biasa. Jentik-
jentik spesies ini hidup dalam air tergenang dalam tumbuhan epifit atau di dalam air
tergenang dalam pohon periuk kera. Jentik-jentik spesies genus Deinocerites hidup di
dalam sarang ketam sepanjang pesisir pantai.
a. Nyamuk aedes aegepti
Nyamuk Aedes aegypti dewasa memiliki ukuran sedang dengan tubuh berwarna
hitam kecoklatan. Tubuh dan tungkainya ditutupi sisik dengan gari-garis putih
keperakan. Di bagian punggung (dorsal) tubuhnya tampak dua garis melengkung
vertikal di bagian kiri dan kanan yang menjadi ciri dari spesies ini. Sisik-sisik pada
tubuh nyamuk pada umumnya mudah rontok atau terlepas sehingga menyulitkan
identifikasi pada nyamuk-nyamuk tua (Nursakinah, 2008). Nyamuk ini hidup di
dalam dan di sekitar rumah. Nyamuk betina lebih menyukai darah manusia
(anthropophilic) daripada darah binatang. Nyamuk ini memiliki kebiasaan menghisap
darah pada jam 08.00-12.00 WIB dan sore hari antara 15.00-17.00 WIB. Kebiasaan
menghisap darah ini dilakukan berpindah-pindah dari individu satu ke individu lain
(Gandahusada, 1998).
 Nyamuk Aedes albopictus
Nyamuk A. albopictus memiliki kesamaan morfologi dengan A.aegypti. Perbedaan
keduanya terletak pada garis putih yang terdapat pada bagianscutumnya. Scutum
A.albopictus berwarna hitam hanya berisi satu garis putih tebal di bagian dorsalnya
(Gandahusada, 1998). Nyamuk betina aktif di luar ruangan yang teduh dan terhindar
dari angin. Nyamuk ini aktif menggigit pada siang hari. Puncak aktivitas menggigit
ini bervariasi tergantung habitat nyamuk meskipun diketahui pada pagi hari dan
petang hari (Lestari, 2009).

b. Nyamuk Anopheles
Sering orang mengenalnya sebagai salah satu jenis nyamuk yang menyebabkan
penyakit malaria. Ciri nyamuk ini adalah hinggap dengan posisi menukik atau
membentuk sudut Warnanya bermacam-macam, ada yang hitam, ada pula yang
kakinya berbercak-bercak putih. Waktu menggigit biasanya dilakukan malam hari
(Gandahusada, 1998).
Aktivitas menggigit nyamuk Anopheles di dalam rumah terjadi peningkatan pada
pukul 23.00 WIB kemudian turun dan meningkat lagi pada pukul 02.00 dan 03.00 dini
hari, sedangkan aktivitas menggigit di luar rumah terjadi peningkatan pada pukul
24.00 WIB dan kemudian turun dan meningkat lagi pada pukul 05.00 dini hari.(Rosa,
2009)

c. Nyamuk Culex
Nyamuk C. quinquefasciatus memiliki tubuh berwarna kecokelatan,proboscis
berwarna gelap tetapi kebanyakan dilengkapi dengan sisik berwarna lebih pucat pada
bagian bawah, scutum berwarna kecoklatan dan terdapat warna emas dan keperakan
di sekitar sisiknya. Sayap berwarna gelap, kaki belakang memiliki femur yang
berwarna lebih pucat, seluruh kaki berwarna gelap kecuali pada bagian persendian.
(Lestari, 2009). Nyamuk C. quinquefasciatus bisa hidup baik di dalam maupun luar
ruangan (Russel, 1996). Spesies ini sering ditemukan di dalam rumah dan nyamuk
betina merupakan nyamukyang aktif pada malam hari. Nyamuk ini lebih menyukai
menggigit manusia setelah matahari terbenam (Lestari, 2009).

d. nyamuk mansonia
 Warna kuning, palpus maxilaris tidak sama panjang dengan proboscis
 Waktu istirahat sejajar dengan tumbuhan yang dihinggapi
 Scutellum trilobi

MATERI IX
LALAT

a. Definisi
Lalat adalah jenis serangga yang berasal dari subordo Cyclorrapha
ordo Diptera . Secara morfologi lalat dibedakan dari nyamuk (subordo
Nematocera) berdasarkan ukuran antenanya ; lalat memiliki antena pendek dan
memiliki mata majemuk.Karena itu lalat sangat mengandalkan penglihatan untuk
bertahan hidup. Mata majemuk lalat terdiri atas ribuan lensa dan sangat peka
terhadap gerakan.Lalat juga memiliki sepasang sayap untuk dapat terbang dan
juga sepasang sayap kecil sebagai penyeimbang.
Siklus hidup lalat dimulai dari telur.Telur-telur lalat itu perlu waktu 1 (satu) hari
untuk menetasnya larva dan diperlukan waktu 3 –5 hari untuk berubah dari larva
menjadi pupa atau kepompong dan pada hari ke 7 (tujuh) pupa tersebut  berubah 
bentuk menjadi lalat dewasa.Lalat dewasa dapat  hidup kurang lebih selama 21
hari.Tapi pada kondisi yang sejuk umur lalat dapat mencapai 3 bulan.
           Tempat berkembangbiak (breeding site) dari lalat adalah tempat-tempat
yang kotor seperti kotoran manusia/hewan dan sampah dari sisa makanan, sisa
daging, sisa ikan ataupun sisa sayuran yang membusuk juga bangkai. Ini
disebabkan adanya proses fermentasi menarik perhatian lalat.Namun lalat  juga
hewan yang menyukai makanan manis.

b. Jenis-jenis Lalat
Terdapat beberapa jenis lalat. jenis-jenis lalat ini berbeda dari ciri fisik,
pola hidup, maupun kebiasaaan serta penyakit yang ditularkan.
Jenis-jenis lalat yang sudah diklasifikasikan adalah sebagai berikut:
1. Lalat rumah (Musca domestica)

Ini jenis lalat yang paling banyak terdapat diantara jenis-jenis lalat rumah.
Karena fungsinya sebagai vektor tranmisi mekanis dari berbagai bibit penyakit
disertai jumlahnya yang banyak dan hubungannya yang erat dengan lingkungan
hidup manusia, maka jenis lalat Musca domestica ini merupakan jenis lalat yang
terpenting ditinjau dari sudut kesehatan manusia. 
Dalam waktu 4-20 hari setelah muncul dari stadium larva, lalat betina
sudah bisa mulai bertelur. Telur-telur putih, berbentuk oval dengan ukuran
panjang ± 1 mm. Setiap kali bertelur diletakkan 75-150 telur. Seekor lalat
biasanya diletakkan dalam retak-retak dari medium pembiakan pada bagian-
bagian yang tidak terkena sinar matahari. Pada suhu panas telur-telur ini menetas
dalam waktu 12-24 jam dan larva-larva yang muncul masuk lebih jauh ke dalam
medium sambil memakannya.
Setelah 3-24 hari, biasanya 4-7 hari, larva-larva itu berubah menjadi pupa.
Larva - larva akan mati pada suhu yang terlalu panas. Suhu yang disukai ± 30-
35°C, tetapi pada waktu akan menjadi pupa mereka mencari tempat-tempat yang
lebih dingin dan lebih kering.
Pupa berbentuk lonjong ± 7 mm panjang, dan berwarna merah coklat tua.
Biasanya pupa terdapat pada pinggir medium yang kering atau didalam tanah.
Stadium pupa berlangsung 4-5 hari, bisa juga 3 hari pada suhu 35°C atau beberapa
minggu pada suhu rendah.
Lalat dewasa keluar dari pupa, kalau perlu menembus keluar dari tanah,
kemudian jalan-jalan sampai sayap-sayapnya berkembang, mengering dan
mengeras. Ini terjadi dalam waktu 1 jam pada suhu panas sampai 15 jam untuk ia
bisa terbang. Lalat dewasa bisa kawin setiap saat setelah ia bisa terbang dan
bertelur dalam waktu 4-20 hari setelah keluar dari pupa. Jangka waktu minimum
untuk satu siklus hidup lengkap 8 hari pada kondisi yang menguntungkan.
Lalat dewasa hidup 2-4 minggu pada musim panas dan lebih lama pada
musim dingin, mereka paling aktif pada suhu 32,5°C dan akan mati pada suhu
45°C. Mereka melampaui musim dingin (over wintering) sebagai lalat dewasa,
dan berkembang biak di tempat-tempat yang relatif terlindung seperti kandang
ternak dan gudang-gudang (Santi, 2001).

2. Lalat kecil (Fannia canicularis)

Lalat rumah kecil ini menyerupai lalat rumah biasa, tetapi ukuran mereka
jauh lebih kecil. Mereka membiak di kotoran manusia dan hewan dan juga
dibagian- bagian tumbuhan yang membusuk, misalnya di tumpukan rumput yang
membusuk. 

3. Lalat kandang (Stomaxys calaitrans)


Mereka menyerupai lalat rumah biasa, tetapi mereka mempunyai
kebiasaan untuk menggigit. Tempat pembiakan hanya di tumbuhan-tumbuhan
yang membusuk. Siklus hidupnya 21-25 hari. Jenis lalat ini tidak penting untuk
tranmisi penyakit manusia tetapi mereka bisa memindahkan penyakit-penyakit
pada binatang.

4. Lalat hijau (Lucilia sertica)

Jenis-jenis ini meletakkan telur-telur


mereka pada daging. Jenis-jenis lalat ini lebih jarang masuk dalam rumah-rumah
dan restoran-restoran daripada lalat rumah biasa, karena itu mereka dianggap tidak
terlalu penting sebagai vektor penyakit manusia. 

5. Lalat daging (Sarcophaga)


Jenis-jenis lalat ini termasuk dalam genus Sarcophaga, artinya pemakan
daging. Ukuran mereka besar dan terdapat bintik meraka pada ujung badan
mereka. 
Larva dari banyak jenis-jenis lalat ini hidup dalam daging, tetapi
pembiakan bisa juga terjadi dalam kotoran binatang. Beberapa jenis tidak bertelur
tetapi mengeluarkan larva. Mereka jarang masuk dalam rumah-rumah dan
restoran-restoran dan karena itu mereka tidak penting sebagai vektor mekanis
penyakit manusia. Tetapi mereka bisa menyebabkan myasis pada manusia.

c. Pola Hidup
Lalat memiliki pola hidup yang dapat dipelajari. Mempelajari pola hidup
lalat sangat penting untuk menghindari penyabaran lalat yang tidak terkendali
yang dapat disebabkan oleh lalat. Lalat dapat menyerbarkan berbagai jenis
penyakit yang sangat merugikan bagi manusia.
Adapun pola hidup lalat adalah sebagai berikut (Depkes RI, 1992):

Tempat Perindukan
Tempat yang disenangi lalat adalah tempat basah, benda-benda organik,
tinja, sampah basah, kotoran binatang, tumbuh-tumbuhan busuk. Kotoran yang
menumpuk secara kumulatif sangat disenangi oleh larva lalat, sedangkan yang
tercecer yang dipakai sebagai tempat berkembang biak lalat.

Jarak Terbang
Jarak terbang lalat sangat tergantung pada adanya makanan yang tersedia.
Jarak terbang efektif adalah 450-900 meter. Lalat tidak kuat terbang menantang
arah angin, tetapi sebaliknya lalat akan terbang mencapai 1 km.

Kebiasaan Makan
Lalat dewasa sangat aktif sepanjang hari, dari makanan yang satu ke
makanan yang lain. Lalat sangat tertarik pada makanan yang dimakan oleh
manusia sehari-hari, seperti gula, susu dan makanan lainnya, kotoran manusia
serta darah. Sehubungan dengan bentuk mulutnya, lalat hanya makan dalam
bentuk cair atau makan yang basah, sedangkan makanan yang kering dibasahi
oleh ludahnya terlebih dahulu lalu dihisap.

Tempat Istirahat
Pada siang hari bila lalat tidak makan, mereka akan beristirahat pada
lantai, dinding, langit-langit, jemuran pakaian, rumput-rumput, kawat listrik, serta
lalat menyukai tempat-tempat tepi yang tajam dan permukaannya vertikal.
Biasanya tempat istirahatnya terletak berdekatan dengan tempat makanannya atau
tempat berbiaknya dan biasanya terlindung dari angin. Tempat istirahat tersebut
biasanya tidak lebih dari 4,5 meter dari atas permukaan tanah.
Lama Hidup
Lama kehidupan lalat sangat tergantung pada makanan, air dan
temperature. Pada musim panas berkisar antara 2-4 minggu, sedangkan pada
musim dingin bisa mencapai 70 hari.
Temperatur
Lalat mulai terbang pada temperatur 15°C dan aktivitas optimumnya pada
temperatur 21°C. Pada temperatur dibawah 7,5°C tidak aktif dan di atas 45°C
terjadi kematian pada lalat.
Kelembaban
Kelembaban erat hubungannya dengan temperatur setempat. Dimana
kelembaban ini berbanding terbalik dengan temperatur. Jumlah lalat pada musim
hujan lebih banyak daripada musim panas. Lalat sangat sensitif terhadap angin
kencang, sehingga kurang aktif untuk keluar mencari makan pada waktu
kecepatan angin yang tinggi.
Cahaya
Lalat merupakan serangga yang bersifat fototropik (menyukai cahaya).
Pada malam hari tidak aktif, namun bisa aktif dengan sinar buatan. Efek sinar
pada lalat tergantung sepenuhnya pada temperatur dan kelembaban.

d. Siklus Hidup Lalat


Untuk mengatasi perkembangan lalat, maka kit perlu mengetahui siklus
hidup lalat. Siklus hidup lalat mengalami metamorfosis sempurna, dengan stadium
telur, larva atau tempayak, pupa atau kepompong dan lalat dewasa. Perkembangan
lalat memerlukan waktu antara 7-22 hari, tergantung dari suhu dan makanan yang
tersedia. Lalat betina telah dapat menghasilkan telur pada usia 4-8 hari, dengan
jumlah telur sebanyak 75-150 butir dalam sekali bertelur. Semasa hidupnya seekor
lalat bertelur 5-6 kali.

MATERI X
TIKUS

Tikus dan mencit termasuk familia Muridae dari kelompok mamalia (hewan
menyusui). Para ahli zoologi (ilmu hewan) sepakat untuk menggolongkannya kedalam
ordo Rodensia (hewan yang mengerat), subordo Myomorpha, famili Muridae, dan sub
famili Murinae.
1. Morfologi Tikus
Tabel 1. Morfologi Tikus
No TingkatanTakson Golongan
.
1. Dunia Animalia
2. Phyllum (Filum) Chordata
3. Sub filum Vertebrata
(Craniata)
4. Kelas Mammalia
5. Sub kelas Theria
6. Infra Kelas Eutheria
7. Ordo Rodentia
8. Sub ordo Myomorpha
9. Famili Muridae
10. Sub family Murinae
11. Genus Bandicota

2. Mengenali Tanda Kehidupan Tikus


Keberadaan tikus dapat dideteksi dengan beberapa cara, paling umum
adalah adanya kerusakan barang atau alat. Tanda berikut merupakan penilaian
adanya kehidupan tikus
a. Gnawing (bekas gigitan)
b. Burrowa (galian/ lubang tanah )
c. Droppling (kotoran tikus)
d. Runways (jalan tikus)
e. Foot print (bekas telapak kaki)
f. Tanda lain (adanya bau tikus, bekas urine dan kotoran tikus, suara, bangkai
tikus).
3. Kebiaaan dan Habitat Tikus
Tikus dikenal sebagai binatang kosmopolitan yaitu menempati hampir
disemua habitat. Habitat dan kebiasaan jenis tikus yang dekat hubungnnya
dengan manusia adalah sebagai berikut :
a. R. norvegicus
Menggali lubang, berenang dan menyelam, menggigit benda-benda
kerasseperti kayu bangunan, aluminium dsb. Hidup dalam rumah, toko
makanan dan gudang, diluar rumah, gudang bawah tanah, dok dan saluran
dalam tanah/ riol/ got.
b. R. ratus diardii
Sangat pandai memanjat, biasanya disebut sebagai pemanjat yang ulung,
menggigit benda-benda yang keras. Hidup dilobang pohon, tanaman yang
menjalar. Hidup dalam rumah tergantung pada cuaca.
c. M. musculus
Termasuk rondensia pemanjat, kadang-kadang menggali lobang, menggigit
hidup di dalam dan di luar rumah.
4. Kemampuan Alat Indera dan Fisik Tikus
Rodensia termasuk binatang nokturnal, keluar sarangnya dan aktif pada
malam hari untuk mencari makan. Untuk itu diperlukan suatu kemampuan yang
khusus agar bebas mencari makanan dan menyelamatkan diri dari predator
(pemangsa) pada suasana gelap.
a. Kemampuan alat indera
1) Membau
Rodensia mempunyai daya cium yang tajam, sebelum aktif/ keluar
sarangnya ia akan mencium dengan menggerakkan kepala kekiridan
kekanan. Mengeluarkan jejak bau selama orientasi sekitar sarangnya sebelum
meninggalkannya. Urin dan sekresi genital yang memberikan jejak bau yang
selanjutnya akan dideteksi dan diikuti olehtikus lainnya. Bau penting untuk
Rodensia karena dari bau ini dapat membedakan antara tikus sefamili atau
tikus asing. Bau juga memberikan tanda akan bahaya yang telah dialami.
2) Menyentuh
Rasa menyentuh sangat berkembang dikalangan rodensia komensal, ini untuk
membantu pergerakannya sepanjang jejak dimalam hari. Sentuhan badan dan
kibasan ekor akan tetap digunakan selama menjelajah, kontak dengan lantai,
dinding dan benda lain yang dekat sangat membantu dalam orientasi dan
kewaspadaan binatang ini terhadap ada atau tidaknya rintangan didepannya.
3) Mendengar.
Rodensia sangat sensitif terhadap suara yang mendadak. Disamping
iturondesia dapat mendengar suara ultra. Mengirim suara ultrapun dapat.
4) Melihat.
Mata tikus khusus untuk melihat pada malam hari, Tikus dapat mendekteksi
gerakan pada jarak lebih dari 10 meter dan dapat membedakan antara pola
benda yang sederhana dengan obyek yang ukurannya berbeda-beda. Mampu
melakukan persepsi/ perkiraan pada jarak lebih 1 meter, perkiraan yang tepat
ini sebagai usaha untuk meloncat bila diperlukan.
5) Mengecap.
Rasa mengecap pada tikus berkembang sangat baik. Tikus dan mencit dapat
mendekteksi dan menolak air minum yang mengandung phenylthio
carbamide 3 ppm, pahit. Senyawa racyu.
b. Kemampuan fisik.
1) Menggali
R. norvegicus adalah binatang penggali lubang. Lubang digali untuk tempat
perlindungan dan sarangnya. Kemampuan menggali dapat mencapai 2-3
meter tanpa kesulitan.
2) Memanjat.
R. komensal adalah pemanjat yang ulung. Tikus atap atau tikus rumahyang
bentuk tubuhnya lebih kecil dan langsing lebih beradaptasi untuk memanjat
dibandingkan dengan tikus riol/got. Namun demikian kedua spesies tersebut
dapat memanjat kayu dan bangunan yang permukaannya kasar. Tikus riol/got
dap memanjat pipa baik di dalam maupun di luar.
3) Meloncat dan melompat.
R.norvegicus dewasa dapat meloncat 77 cm lebih (vertikal). Dari keadaan
berhenti tikus got dapat melompat sejauh 1,2 meter. M.musculus meloncat arah
vertikal setinggi 25 cm.
4) Menggerogoti.
Tikus menggerogoti bahan bangunan/ kayu, lembaran almunium maupun
campuran pasir, kapur dan semen yang mutunya rendah.
5) Berenang dan menyelam.
Baik R. norvegicus, R. rattus dan M. musculus adalah perenang yang baik.
Tikus yang disebut pertama adalah perenang dan penyelam yang ulung,
perilaku yang semi akuatik, hidup disaluran air bawah tanah, sungai dan areal
lain yang basah.
5. Interaksi Pinjal dengan Tikus
Tikus dan pinjal berinteraksi secara ektoparasit obligate sementara. Dalam
interaksi ini pinjal dewasa selalu hidup menempel pada permukaan tubuh inang,
sedangkan stadium pra dewasa tumbuh terlepas dari inangnya. Interaksi ini lebih
bersifat leluasa, tidak seperti kutu (Anoplura) yang menetap selama hidupnya di tubuh
tikus.
Istilah inang sejati (true host) sering digunakan untuk menandai suatu inang tunggal
atau inang pilihan yang dianggap paling utama jika seandainya satu jenis pinjal
menempati beberapa jenis inang. Inang utama yaitu inang yang cocok atau sesuai
untuk kelanjutan reproduksi pinjal dalam jangka waktu yang tidak terbatas. Istilah ini
dipakai untuk mengungkapkan hubungan asal nenek moyang.
Pada umumnya pinjal menyukai mamalia yang hidup didalam sarang, lubang
dan gua yang terinfeksi pinjal. Amalia yang membuat sarang terbuka atau tidak
terlindung dan terkena sinar matahari tidak disukai oleh pinjal, namun beberapa jenis
pinjal ditemukan hidup parasit pada enguin dan burung laut yang sarangnya berada di
pantai atau di pulau-pulau terpencil tanpa pepohonan. Pinjal umumnya ditemukan
pada mamalia ordo Monotremata, Marsupialia, Insektivora, Chiroptera, Edentata,
Pholidota, Lagomarpha, Rodentia, Carnivora, Hyracoidea dan Astiodaetyla, tetapi
jarang ditemukan pada mamalia ordo Dermoptera, Primata, Tubii dentate,
Proboscidia, atau Perissodactyla.

6. Identifikasi tikus
Identifikasi tikus merupakan penetapan atau penentuan jenis tikus berdasarkan
ciri-ciri atau identitas tertentu.

Tabel 2. Jenis Tikus


Keterangan Tikus got Tikus rumah Tikus nying-nying
R.norvegicus R. rattus Musmussulus
BADAN Besar, kuat Langsing, lincah, lebih Kecil ramping
kecil daripada rikus got
UKURAN 300 g 200 g • 15 g
BADAN 190-250 mm 150-220 mm • 60-90 mm
DEWASA 150-220 mm 180-250 mm • 70-100 mm
Berat rata-rata;
panjang kepala,
badan sampai
ujung ekor
MONCONG Tumpul Lancip • Lancip
HIDUNG
TELINGA • Kecil tertutup dengan • Besar tanpa rambut pendek Besar
rambut pendek
MATA Kecil Besar, menonjol Kecil
EKOR • Bagian atas gelap Polosgelap • Kecil, polosgelap
bagian bawah terang
RAMBUT Rambut kasar berwarna • Abu-bausampaihitam, • Coklat mengkilat
coklat dengan rambut rambuthalus abu-abu mengkilat
kasar coklat tersebar tak
teratur di seluruh
badan: rambut perut
abu-abu sampai putih
Feses/ • Bentukkapsul (20mm) • Gelendong (12 mm) Balok (3-6 mm)
Kotoran
INDERA; • Kurang baik, buta• Kurang baik, buta warna,• Kurang baik, buta
Penglihatan, warna, baik baik warna, baik
penciuman,
pengecap,
pearasa dan
pendengar
MAKANAN • Omnivorous, memakan• Omnivorous, terutama;• Lebihmenyukaibijise
segala makanan: daging, buah-buahan, kacang real (3 gr/hari)
ikan, biji-bijian dll sayuran, biji-bijian dll
(28g/hari) (28g/hari)
KELEBIHAN • Dapat memanjat, tetapi• Lincah, aktifmemanjat Pemanjatulung
kurang lincah
SARANG • Membuatliang • Celah dinding, atap dan Di almari pakaian,
pohon buku, atau tempat
penyim-panan
barang lainnya.
DAYA • Luas :150-390 mm • Luas :150-390 mm • Sempit : 30-
JELAJAH 60 mm
MATERI XI

PROSEDURE PRAKTIKUM

I. PRAKTIKUM IDENTIFIKASI CACING

A. Tujuan
1. Untuk mengetahui klasifikasi, spesies, ruang lingkup, dan silkus hidup nematode
2. Untuk mengidentifikasi stadium-stadium pada nematode
3. Untuk mengidentifikasi nematode yang patogen pada manusia
B. Metode
Preparat perbesaran 10x perbesaran 40x intepretasi hasil
C. Prinsip
Preparat, pengamatan, intepretasi hasil
D. Alat dan Bahan
1. Alat
Beaker Glass, Batang Pengaduk, Mikroskop, Kaca objek
2. Bahan
Sampel faeses dan Suspensi telur cacing, Tissue lensa, Larutan eosin/lugol/Nacl
0,85%
E. Cara Kerja/ Prosedur
1. Digunakan APD dengan baik, benar, dan lengkap
2. Disiapkan semua alat dan bahan yang akan digunakan
3. Dipastikan semua alat dan bahan dalam keadaan baik dan siap digunakan
4. Disiapkan sampel faeses / suspense cacing, kemudian dibuat preparat suspense cacing pada
kaca objek
5. Dihidupkan mikroskop, preparat diletakkan pada meja mikroskop dan dijepit
6. Dicari lapang pandang dengan perbesaran objekif 10x
7. Diamati preparat dengan memindahkan lensa objektif ke perbesaran 40x
8. Diidentifikasi hasil pengamatan preparat dan diintepretasikan hasilnya pada hasil pengamatan
9. Setelah menggunakan mikroskop dibersihkan dan dikembalikan pada posisi semula
10. Disimpan mikroskop pada lemari penyimpanan

II. PRAKTIKUM TEKNIK HARADA MORI


A. Tujuan
1. Tujuan Umum
a. Mahasiswa mampu mengetahui prosedur dan pembacaan/identifikasi telur dan
larva cacing ( teknik harada-mori )
b. Mahasiswa mampu menjelaskan prosedur dan pembacaan/identifikasi telur dan
larva cacing ( teknik harada-mori )
2. Tujuan Khusus
a. Mahasiswa mampu mengidentifikasi / melakukan pembacaan telur dan larva
cacing ( teknik harada-mori )
b. Mahasiswa mampu mengidentifikasi dan membedakan unsure-unsur mikroskopis
pada sampel ( teknik harada-mori )

B. Metode
1. Kultur ( penumbuhan dan penanaman )
2. Dirrect preparat ( preparat langsung )
C. Prinsip
Sampel ( feses atau tinja )  dioleskan pada kertas saring  dimasukkan ke dalam
tabung sediaan yang telah berisi aquades  inkubasi ± 7-9 hari  diamati

D. Alat dan Bahan


1. Alat
Tabung sedimen, Rak tabung sedimen, Gunting, Penggaris, Lidi, Mikroskop, Cover
glass, Objek glass
2. Bahan
Sampel ( feses atau tinja ), Aquadest, Kertas saring, Lugol 1 %, Eosin 2 %, Tissue,
Tissue lensa

E. Cara Kerja
1. APD dipakai dengan baik, benar dan lengkap.
2. Disiapkan semua alat dan bahan yang akan digunakan
3. Dipastikan semua alat dan bahan yang akan digunakan dalam keadaan siap dipakai
4. Dibuat kertas saring dengan ukuran 13 X 120 mm dengan ujung meruncing
5. Diisi 3 ml/3 cc aquadest ke dalam tabung reaksi
6. Dioleskan sampel/feses/tinja ke kertas saring pada 1/3 bagian
7. Dimasukkan kertas saring yang sudah diisi sampel ( feses/tinja ) ke dalam tabung
sedimen yang telah diisi aquadest.
8. Diletakkan kertas saring pada dinding tabung sedimen
9. Bagian kertas saring yang sisa dilekukkan
10. Ditutup tabung menggunakan tutupnya
11. Tabung sedimen diinkubasi pada suhu ruang ditempat yang gelap selama 7-9 hari
dengan dicek ± 3 hari untuk aquadest yang terdapat pada tabung sedimen.
12. Diberi label pada objek glass
13. Diteteskan larutan warna Lugol 1 % atau Eosin 2 % ke dalam objek glass
menggunakan pipet tetes
14. Diteteskan sampel harada mori
15. Diamati dengan mikroskop
16. Setelah selesai mikroskop dibersihkan.
III. PRAKTIKUM TEKNIK FLOATING

A. TUJUAN
- UMUM
1. Mahasiswa mampu mengertahui prosedur dan pembacaan/identifikasi telur dan larva
cacing (teknik floating).
2. Mahasiswa mampu menjelaskan prosedur dan pembacaan/identifikasi telur dan larva
cacing (teknik floating).
- KHUSUS
1. Mahasiswa mampu melakukan/identifikasi telur dan larva cacing (teknik floating).
2. Mahasiswa mampu mengidentifikasi dan membedakan unsur-unsur mikroskop pada
sampel (teknik floating).
B. METODE
Pemeriksaan telur dan larva cacing secara kualitatif.
C. PRINSIP
Sampel tanah dimasukkan ke tabung centrifuge ditambahkan 2/3 aquadest
disentrifugasi 2 kali dibuang aquadest ditambahkan NaCI jenuh
(larutan brine) 2/3 bagian ditunggu 45 menit ditambahkan NaCI hingga
penuh ditutup cover glass 10 menit diamati.

D. ALAT DAN BAHAN


ALAT
1. Tabung centrifuge 6. Botol semprot
2. Rak tabung 7. Pipet tetes
3. Beaker glass 8. Mikroskop
4. Cover glass 9. Centrifuge
5. Objek glass 10. Spatel
BAHAN
1. Tanah
2. Aquadest
3. Tissue
E. CARA KERJA
1. APD (Alang Pelindung Diri( digunakan dengan baik ,lengkap dan benar.
2. Disiapkan semua alat dan bahan yang akan digunakan.
3. Dipastikan semua bahan dan alat yang akan digunakan dalam keadaan siap
digunakan.
4. Sampel (tanah) dimasukkan kedalam tabung centrifuge sebanyak 1 gram.
5. Ditambahkan aquadest sebanyak 2/3 tabung centrifuge.
6. Dicentrifuge sebanyak 2 kali.
7. Dibuang aquadest yang terdapat pada sampel yang telah disentrifugasi.
8. Ditambahkan NaCI jenuh sebanya 2/3 bagian tabung dan ditunggu selama 45
menit.
9. Kemudian ditambahkan kembali dngan NaCI jenuh hingga berisi penuh dan tutup
dengan cover glass kemudian ditunggu hingga 10 menit.
10. Diamati preparat dengan mikroskop menggunakan lensa objektif 10x untuk
menentukan lapang pandang.
11. Dilanjutkan pengamatan dengan lensa objektif 40x untuk memperjelas unsur-
unsur yang akan diamati.
12. Dilaporkan hasil yang didapat.
Dibersihkan meja kerja dan alat serta bahan yang digunakan dirapikan

IV. PRAKTIKUM IDENTIFIKAS LARVA NYAMUK

A. TUJUAN
a. Tujuan Umum
1. Mahasiswa dapat mengetahui dan menjelaskan prosedur pembuatan preparat
awetan
2. Mahasiswa mampu mengetahui prosedur dan pembacaan/identifikasi larva
nyamuk
3. Mahasiswa mampu menjelaskan prosedur dan pembacaan/identifikasi larva
nyamuk
b. Tujuan Khusus
1. Mahasiswa dapat membuat preparat awetan
2. Mahasiswa mampu melakukan pembacaan/identifikasi larva nyamuk
3. Mahasiswa mampu mengidentifikasi dan membedakan unsure-unsur
mikroskopis pada sampel (larva nyamuk)

B. METODE
Direct preparat
Metode yang digunakan pada pengamatan ini yaitu metode mikroskopis
dengan sediaan basah.

C. PRINSIP
Larva nyamuk ditetesi dengan chloroform  diletakkan pada objek glass 
ditetesi gliserol 5 %  ditutup dengan cover glass  dilapisi dengan Canada
balsam  didiamkan selama ± 7 hari  diamati pada mikroskop perbesarab 10 x.

D. ALAT DAN BAHAN


a. Alat
Mikroskop, Objek glass, Cover glass, Pinset/lidi, Petridish/cawan petri,
Beaker glass, Pipet tetes
b. Bahan
Aquades, Kloroform, Sampel jentik nyamuk, Gliserol 5 %, Canada balsam,
Tissue, Aluminium foil

E. CARA KERJA
1. Memakai semua APD (Alat Pelindung Diri) dengan baik dan benar
2. Menyiapkan semua alat dan bahan yang akan digunakan
3. Memastikan semua alat dan bahan yang disiapkan dalam keadaan siap
digunakan
4. Sampel jentik nyamuk dipindahkan dari botol kecil ke cawan petri
5. Ditambahkan 3 tetes kloroform pada cawan petri untuk membunuh jentik
nyamuk
6. Ditutup dengan tissue atau aluminium foil dan ditunggu ±3 menit
7. Setelah jentik nyamuk mati, dipindahkan dengan menggunakan pipet tetes ke
objek glass
8. Dipastikan tidak terjadi kerusakan organ jentik
9. Jentik diletakkan pada posisi melintang pada objek glass
10. Diteteskan dengan gliserol 5% ± 2 tetes
11. Ditutup dengan cover glass
12. Sisi cover glass dilapisi dengan Canada balsam
13. Preparat didiamkan selama ± 7 hari untuk proses pengeringan
14. Preparat diamati dibawah mikroskop dengan perbesaran 10x
15. Dicocokkan dengan kunci identifikasi
16. Membersihkan meja kerja dan merapikan alat juga bahan yang digunakan.

V. PRAKTIKUM IDENTIFIKASI NYAMUK

A. TUJUAN
a. Tujuan Umum
1. Mahasiswa mampu mengetahui prosedur dan pembacaan/identifikasi nyamuk.
2. Mahasiswa mampu menjelaskan prosedur dan pembacaan/identifikasi
nyamuk.
b. Tujuan Khusus
1. Mahasiswa mampu melakukan pembacaan/identifikasi nyamuk.
2. Mahasiswa mampu mengidentifikasi dan membedakan unsur-unsur
mikroskopis pada nyamuk.

B. METODE
Identifikasi morfologi secara mikro dengan menggunakan mikroskop dan
dicocokkan dengan kunci identifikasi nyamuk.

C. PRINSIP
Disiapkan alat, bahan dan nyamuk nyamuk dibius dengan kloroform
bagian thorax nyamuk ditusuk dengan jarum seksi diamati dengan dissecting
mikroskop.

D. ALAT DAN BAHAN


a) ALAT
Disecting mikroskop, , Roll kabel, Petri dish, Pinset, Loop, Jarum seksi
b) BAHAN
Kloroform, Aquadest, Nyamuk, Kapas
E. CARA KERJA
1. Digunakan alat pelindung diri (APD) dengan baik, benar dan lengkap.
2. Disiapkan dan dipastikan alat dan bahan siap digunakan.
3. Kapas dibasahi dengan kloroform.
4. Dimasukkan kedalam tempat nyamuk.
5. Bila nyamuk sudah mati dipindahkan dengan pinset diletakkan diatas petridish dan
bisa juga nyamuk ditusuk bagian thoraxnya dengan jarum seksi, diamati dengan
loop.
6. Petridish ditaruh dalam dissecting mikroskop.
7. Lalu diamati.
8. Dicocokkan dengan kunci identifikasi.

VI. PRAKTIKUM IDENTIFIKASI LALAT

A. TUJUAN
Untuk mengetahui jenis/spesies kecoa secara morpologis.

B. METODE
Direct preparat

C. PRINSIP
Kecoa dimatikan dengan kloroform, lalu ditusuk thorax kecoa, kemudian
diamati dibawah mikroskop

D. ALAT DAN BAHAN


a. Alat
Jarum seksi, Petridish , Kaca pembesar, Dissecting mikroskop

b. Bahan
Kapas, Kloroform, Lalat

E. CARA KERJA
1. Alat dan bahan disiapkan.
2. Lalat ditangkap degan menggunakan umpan.
3. Dimasukkan kedalam beaker glassdengan dimasukkan kapas yang telah berisi
kloroform.
4. Lalat yang sudah mati ditusuk dengan jarum seksi pada bagian thorax.
5. Diamati dibawah dissecting mikroskop.
6. Dicocokkan dengan kunci identifikasi.

VII. IDENTIFIKASI TIKUS DAN PINJAL

A. TUJUAN
a. Tujuan Umum
1. Mahasiswa mampu mengetahui prosedur dan pembacaan/identifikasi
tikus dan pinjal.
2. Mahasiswa mampu menjelaskan prosedur dan pembacaan/
identifikasi tikus dan pinjal.
b. Tujuan Khusus
Mahasiswa mampu melakukan pembacaan/identifikasi tikus dan pinjal.
B. METODE
Direct preparat
C. PRINSIP
Tikus dimatikan dengan kloroform → Dilakukan penyisiran terhadap tikus →
diidentifikasi tikus → pinjal yang ditemukan dijadikan preparat → Diamati dan
diidentifikasi pinjal yang ditemukan.
D. ALAT DAN BAHAN
1.1. Alat dan Bahan
Timbangan , Jangka, Penggaris,   Pipet ,   Balep ,    Kantong plastic,  Timer ,cairan
kloroform
1.2. Bahan
Clorofom, Kertas putih, Alat tulis menulis,  Kapas

E. PROSEDUR KERJA
a. Pre Biting
1. Pasanglah berbagai makanan di halaman rumah dan di dapur yang akan dipasang
perangkap tikus. Hindarkankemungkinan termakan oleh binatang.
2. Biarkan selama sehari semalam, kemudian amati jenis makanan yangpaling banyak
dimakan oleh tikus.
b. Trapping
1. Pasanglah perangkap dibeberapa tempat dengan menggunakan umpan ikan asin
atau pindang.
2. Waktu pemasangan dilakukan sore atau siang hari, dilakukan secara kondisional.
c. Identifikasi Tikus
1. Siapkan alat dan bahan yang akan digunakan
2. Mengamati warna bulu dan mata tikus yang akan di periksa
3. Lakukan pembiusan pada tikus dengan cara masukkan tikus kedalam kantong
plastik/toples lalu pipet 2-3 ml clorofom kedalam kantong plastik/toples tersebut,
setelah itu diamkan sekitar 5-10 menit.
4. Amati tikus yang ada dalam kantong plastik/toples selama pembiusan berlangsung
jangan sampai tikus kaku (susah pengukurannya).
5. Keluarkan tikus dari kantong plastik/toples dan timbang. Catat hasil pengukuran.
6. Sisir bulu tikus (untuk mengetahui ada atau tidaknya pinjal).
7.   Letakkan tikus diatas kertas putih yang telah disiapkan. Amati jenis kelamin dan
jumlah tetek tikus yang diperiksa. Catat
8.  Ukur berapa panjang seluruhnya (total length) dari ujung moncong sampai panjang
ekor disingkat TL.
9.     Ukur panjang kepala dan badan (head & body) dari ujung moncong sampai ke
anus yang disingkat HB
10. Ukur panjang ekor (tail) dari pangkal ekor/anus sampai ujung ekor yang disingkat
T.
11. Ukur panjang telapak kaki belakang (hind foot) dari tumit sampai ujung
kuku/cakar yang disingkat HF.
12. Ukur panjang telinga (ear) dari lekukan dibelakang telinga sampai ujung daun
telinga yang disingkat E.
13. Ukur tengkorak (skull) dari ujung tulang hidung sampai tonjolan dibelakang
kepala yang disingkat Sk.
Daftar Pustaka

Adriyani, Yunilda. 2006, Trichomonas vaginalis, Departemen Parasitologi Fakultas


Kedokteran Universitas Sumatera Utara

Entjang, I . 2003. Mikrobiologi dan Parasitologi untuk Akademi Keperawatan dan Sekolah
Menengah Tenaga Kesehatan yang Sederajat. Citra Aditya Bakti, Bandung

Gandoesoebrata, R. 1985. Penuntun Laboratorium Klinik. Jakarta : Dian Rakyat

Hadidjaja, DR. Pinardi. 2000. Penuntun Laboratorium Parasitologi Kedokteran. Jakarta


UI Press

Natadisastra dkk. 2005. Parasitologi Kedokteran. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC

Irianto, Koes. 2009. Parasitologi. Bandung: CV. Yrama Widya

Safar, Rosdiana. 2009. Parasitologi Kedokteran. Bandung: CV. Yrama Widya

Anonim. 2012. Giardia Lamblia. Online. h t t p : / / l a b o r a t o r I u m – a n a l I s y s –


r a f s a n . blogspot.com/2012/07/giardia-lamblia.html.

Maksum, Rasyid-Al. 2012. Giardia Lamblia. Online. h t t p : / / m a k s u m p r o c e d u r


e.blogspot.com/2012/05/giardia-lamblia.html.
Sumanto, Dididk. 2012. Pembuatan Sediaan Malaria. http:// id.scribd.com/doc/167905219/

Pratiwi,Aniza Putri . 2014 . Sediaan Apus Darah Kel.1 . Online . http://scribd.com .

Irwan Rizky. 2013. Laporan Praktikum Pemeriksaan Feses. Online.


http://mayosinau.blogspot.com/2013/11/laporan-pemeriksaan-feses.html

Anda mungkin juga menyukai