Anda di halaman 1dari 46

KARYA TULIS ILMIAH

PENERAPAN TERAPI MUSIK KLASIK DAN SLOW DEEP BREATHING


UNTUK MENURUNKAN NYERI PADA PASIEN HIPERTENSI
DI KOTA BENGKULU
TAHUN 2021

DISUSUN OLEH:

GITA FEBRIANTI
NIM.P0 5120218009

KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA


POLTEKKESKEMENKES BENGKULU
JURUSAN KEPERAWATAN/PRODI DIII KEPERAWATAN
TAHUN AKADEMIK 2020/2021
KARYA TULIS ILMIAH
PENERAPAN TERAPI MUSIK KLASIK DAN SLOW DEEP BREATHING
UNTUK MENURUNKAN NYERI PADA PASIEN HIPERTENSI
DI KOTA BENGKULU
TAHUN 2021

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Menyelesaikan Program DiplomaIII

Keperawatan Pada Prodi DIII Keperawatan Bengkulu Jurusan Keperawatan


Poltekkes Kemenkes Bengkulu

GITA FEBRIANTI
NIM. P0 5120218009

KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA


POLTEKKES KEMENKES BENGKULU
JURUSAN KEPERAWATAN/PRODI DIII KEPERAWATAN
TAHUN AKADEMIK 2020/2021
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Tekanan darah tinggi (hipertensi) merupakan salah satu masalah
kesehatan utama setiap negeri karena bisa menimbulkan penyakit
jantung dan stroke otak yang mematikan. Hipertensi dianggap masalah
kesehatan serius karena kedatangannya seringkali tidak kita sadari dengan
sedikit, jika memang ada, gejala yang nyata. Penyakit ini bisa terus
bertambah parah tanpa disadari hingga mencapai tingkat yang mengancam
hidup pasiennya (Wade, 2016).
Hipertensi menurut Word Health Organization (WHO) adalah
suatu kondisi dimana pembuluh darah memiliki tekanan darah sistolik
diatas 140 mmHg atau tekanan darah diastolik diatas 90 mmHg.
Peningkatan tekanan darah tersebut terjadi sebagai tanda dari suatu
masalah kesehatan yang sedang dialami seseorang (WHO, 2015).
Menurut World Health Organization/WHO (2016). Sekitar 1
milyar penduduk di seluruh dunia menderita hipertensi dimana dua
pertiganya terdapat di negara-negara berkembang.Hipertensi menyebabkan
8 juta penduduk di seluruh dunia meninggal setiap tahunnya, dimana
hampir 1,5 juta penduduk diantaranya terdapat di kawasan Asia tenggara.
Hipertensi telah menjadi masalah utama dalam kesehatan masyarakat
sehingga WHO menunjukkan, di seluruh dunia sekitar 972 juta orang
penghuni bumi mengidap hipertensi. Kejadian hipertensi meningkat
disetiap negara dan dilihat dari prevalensi lansia yang menderita hipertensi
berjumlah lebih dari 600 juta orang (Triyanto, 2017).
Jumlah hipertensi di Indonesia berdasarkan hasil yang didapatkan
menurut usia ≥18 tahun sebesar 25,8%. Prevalensi hipertensi di Indonesia
yang diperoleh melalui kuesioner terdiagnosis oleh tenaga kesehatan
sebesar 9,4%. Didiagnosis oleh tenaga kesehatan yang sedang minum
obat sebesar 9,5%. Jadi terdapat 0,1% yang minum obat sendiri.
Responden yang mempunyai tekanan darah normal tetapi sedang minum
obat hipertensi sebesar 0,7%. Jadi jumlah hipertensi di Indonesia sebesar
26,5%. (Kemenkes RI, 2016).
Di Indonesia jumlah kasus hipertensi sebesar 63.309.620 orang dan
angka kematian di Indonesia akibat hipertensi sebesar 427.218 kematian.
Hipertensi terjadi pada kelompok dengan umur 31 sampai 44 tahun
sekitar (31,6%), umur 45 sampai 54 tahun (45,3%), umur 55 sampai 64
tahun (55,2%) (Rikesdas Kementerian Kesehatan RI, 2018)
Jumlah penduduk di Provinsi Bengkulu dengan penyakit hipertensi
disetiap tahunnya selalu masuk kedalam 10 besar penyakit yang diderita
masyarakat. Prevelensi hipertensi menurut data hasil Riskesdas tahun
2018 didapatkan persentase penduduk yang mengalami hipertensi dari
tahun 2007-2018 di Provinsi Bengkulu yaitu pada tahun 2007 tercatat
tercatat penderita hipertensi sebesar 22,2%, pada tahun 2013 meningkat
menjadi 25,8% dan data terakhir pada tahun 2018 sebesar 31,7%. Hal ini
menunjukkan angka kejadian hipertensi di Provinsi Bengkulu terus
meningkat (Riskesdas, 2018).
Prevalensi penyakit hipertensi di Kota Bengkulu berdasarkan data
dari Dinas Kesehatan Provinsi Bengkulu pada tahun 2015 sebanyak 3.297
(28,3%), tahun 2016 sebanyak 5.204 (14,7%), tahun 2017 sebanyak 4.254
(2%), tahun 2018 berjumlah 83.193 orang (9%) dan tahun 2019 sebanyak
60.732 orang penderita hipertensi. (Dinas Kesehatan Provinsi Bengkulu,
2019).
Tanda dan gejala hipertensi yang dikeluhkan penderita tidak
semuanya sama. Keluhan gampang marah-marah atau sering pusing
seperti yang selama ini dimitoskan juga bukan gejala khas dari hipertensi.
Sehingga terkadang penderita hipertensi yang datang ke dokter umumnya
sudah parah, karena tidak mengetahui bahwa dirinya mengidap hipertensi.
Jadi sangat penting bagi seseorang untuk berperilaku positif dengan
memeriksakan tekanan darah secara rutin atau berkala (British, 2012).
Hipertensi dapat mengakibatkan komplikasi seperti stroke,
kelemahan jantung, penyakit jantung koroner (PJK), gangguan ginjal dan
lain-lain yang berakibat pada kelemahan fungsi dari organ vital seperti
otak, ginjal dan jantung yang dapat berakibat kecacatan bahkan kematian.
Hipertensi atau yang disebut the silent killer yang merupakan salah satu
faktor resiko paling berpengaruh penyebab penyakit jantung
(cardiovascular). (Delta, 2010).
Pada umumnya pentalaksanaan pengobatan Hipertensi untuk
menurunkan nyeri dapat dilakuklan dengan Terapi farmakologis dan non
farmakologis. Untuk menurunkan nyeri secara farmakologi meliputi
analgesik dengan penggunaan opioid. Obat opioid ini berfungsi untuk
penghilang rasa sakit yang bekerja dengan reseptor opioid di dalam sel
tubuh, obat ini dibuat dari tanaman opium seperti morfin, dengan efek
samping memperlambat pernapasan dan detak jantung (Rahayuwati,
Ibrahim, & Komariah, 2018).
Sedangkan terapi non farmakologi salah satunya ialah terapi musik
dan teknik nafas dalam. Terapi musik merupakan suatu bentuk terapi
dibidang kesehatan yang menggunakan musik dan aktivitas musik untuk
mengatasi masalah dalam berbagai aspek fisik, psikologis, kognitif dan
kebutuhan sosial individu yang mengalami cacat fisik (Faridah, 2016).
Selain itu efek yang ditimbulkan seperti menurunkan nyeri dan membuat
relaksasi. Rangsangan musik meningkatkan pelepasan endorfin sehingga
mengurangi kebutuhan obat analgesik (Rilla, dkk. 2017).
Terapi musik merupakan salah satu tindakan untuk mengatasi
nyeri, individu yang mengalami kesakitan akan merasa rileks saat
mendengar music. Musik memberikan distraksi dan disasosiasi opiate
endogen dibeberapa fosi di dalam otak, termasuk hipotalamus dan system
limbik (Joyce & Hawks, 2014). New Zealand Society for Music Therapy
(NZSMT) menyatakan bahwa terapi music terbukti efektivitasnya untuk
implementasi pada bidang kesehatan, karena music dapat menurunkan
kecemasan, nyeri, stress,dan menimbulkan mood yang positif
(Economidou, 2012).
Terapi relaksasi nafas dalam (slow deep breathing) merupakan
salah satu bentuk asuhan keperawatan yang dalam hal ini perawat
mengajarkan pasien bagaimana cara melakukan nafas dalam,nafas lambat
(menahan inspirasi secara maksimal) dan bagaimana menghembuskan
nafas secara perlahan. Selain dapat menurunkan intensitas nyeri, teknik
relaksasi juga merupakan metode yang efektif untuk mengurangi
nyeripada pasien yang mengalami nyeri kronis. Relaksasi sempurna dapat
mengurangi ketegangan otot, rasa jenuh dan kecemasan sehingga dapat
menghambat stimulasi nyeri.
Penelitian terdahulu tentang relaksasi napas dalam terkait dengan
hipertensi yang pernah dilakukan sebelumya yaitu oleh Stania (2014)
dengan judul “Pengaruh Teknik Relaksasi Napas dalam dan Teknik
Distraksi Terhadap Perubahan Intensitas Nyeri Pada Pasien Post Operasi”.
Hasil dari penelitian ini adalah terdapat pengaruh bermakna dari teknik
relaksasi napas dalam terhadap perubahan intensitas nyeri pada pasien
post operasi.
Kemudian untuk penelitian lainnya yang dilakukan oleh Harun
Mulyadi Cecep Triwibowo, S,Kep.M.Sc (2019) tekait Hipertensi dengan
judul “Pengaruh Terapi Musik Klasik Terhadap Penurunan Intensitas
Nyeri Pada Post Operasi Fraktur Tertutup Pada Ekstremitas Bawah Di
Rsup H Adam Malik Medan Tahun 2019” didapatkan hasil yaitu: Intenitas
Nyeri Pasien Post Fraktur di RSUP H. Adam Malik Medan Tahun 2019
sebelum dilakukan terapi distraksi rata – rata sedang, Intensitas Nyeri
Pasien Post Fraktur di RSUP H. Adam Malik Medan Tahun 2019 Setelah
dilakukan terapi distraksi rata – rata sedang, Berdasarkan hasil analisis Uji
Wilcoxon maka terdapat adanya pengaruh Intensitas nyeri pasien post
operasi fraktur sebelum dan sesudah terapi music klasik di RSUP H.
Adam Malik Medan Tahun 2019 dengan nilai p = 0,000
Dari hasil analisa diatas penulis tertarik untuk meneliti terapi
music klasik dan slow deep breathing sebagai penerapan untuk
menurunkan nyeri kepala pada pasien hipertensi.

B. Rumusan Masalah
Bagaimana gambaran pelaksanaan Penerapan Terapi Musik Klasik
dan Slow Deep Breathing pada pasien Hipertensi di Kota Bengkulu tahun
2021
C. Tujuan Penulisan Studi Kasus
1. Tujuan Umum
Dapat mengetahui pengaruh pelaksanaan Penerapan Terapi
Musik Klasik dan Slow Deep Breathing pada pasien Hipertensi di
Kota Bengkulu tahun 2021
2. Tujuan Khusus
a. Mendeskripsikan karakteristik pasien Hipertensi di Kota
Bengkulu tahun 2021
b. Mendeskripsikan fase pra interaksi pelaksanaan Penerapan
Terapi Musik Klasik dan Slow Deep Breathing pada pasien
Hipertensi di Kota Bengkulu tahun 2021
c. Mendeskripsikan fase Orientasi pelaksanaan Penerapan Terapi
Musik Klasik dan Slow Deep Breathing pada pasien Hipertensi
di Kota Bengkulu tahun 2021
d. Mendeskripsikan fase interaksi pelaksanaan Penerapan Terapi
Musik Klasik dan Slow Deep Breathing pada pasien Hipertensi
di Kota Bengkulu tahun 2021
e. Mendeskripsikan fase terminasi pelaksanaan Penerapan Terapi
Musik Klasik dan Slow Deep Breathing pada pasien Hipertensi
di Kota Bengkulu tahun 2021

D. Manfaat Penulisan Studi Kasus

a. Bagi Pasien
Meningkatkan pengetahuan dan memandirikan pasien melalui
terapi Musik Klasik dan teknik Slow Deep Breathing pada pasien
Hipertensi.
b. Bagi Akademik
Bentuk pemberian kepada mahasiswa keperawatan sebagai
sumber bacaan untuk menambah wawasan dan bahan masukan
dalam kegiatan belajar mengajar yang berkaitan dengan pemberian
terapi Musik Klasik dan teknik Slow Deep Breathing pada pasien
Hipertensi

c. Bagi Peneliti Lain


Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi dasar untuk
melakukan penelitian yang lebih baik. Selain itu, diharapkan dimasa
yang akan datang akan lebih banyak lagi mahasiswa ataupun tenaga
kesehatan terlebih pada tenaga kesehatan keperawatan yang akan
membuat jurnal keperawatan berdasarkan pengalaman praktiknya
dalam memberikan asuhan keperawatan pada pasien Hipertensi.

d. Bagi Penulis

Memperoleh pengalaman dalam mengaplikasikan intevensi


keperawatan,dengan Terapi Musik Klasik dan Slow Deep Breathing
pada pasien Hipertensi.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Anatomi Fisiologi Sistem Kardiovaskular


1. Anatomi Sistem Kardiovaskular
a. Jantung
1. Besarnya sekepalan tinju
2. Terletak di rongga thoraks sekitar garis tengah antara sternum
disebelah anterior dan vertebra disebelah posterior.
3. Jantung memiliki dasar lebar diatas dan meruncing membentuk
titik diujungnya (apeks) dibagian bawah.

(Mc Milllan & Starr, 2010)


4. Ruang jantung
Terdiri dari 4 ruang jantung (2 atrium & 2 ventrikel) yang
tidak terpisahkan membentuk bejana yg berhubungan satu sama
lain (sirkulasi pulmonal, sistemik dan jantung itu sendiri)2
atrium Terletak di ruang atasKiri dan kananDipisahkan oleh
interatrial septum. 2 ventrikel Terletak di ruang bawah Kiri dan
kanan Dipisahkan oleh interventrikular septum.
5. Katup jantung
Jantung menjaga agar pergerakan darah berada dalam jalur
yang benar dengan cara hanya membuka satu katup ketika
dibutuhkan. Agar berfungsi dengan baik katup harus membuka
dengan sempurna agar aliran lancar dan menutup erat agar tidak
ada kebocoran. Terdapat empat buah katup : Trikuspid, mitral,
pulmonal& aorta. Katup membuka menutup dengan pasif
sesuai perubahan tekanan dlm bilik
6. Lapisan Jantung

1) Miokardium :Terdiri atas otot jantung. Gerakannya


involunter. Miokardium paling tebal berada pada bagian
apeks dan paling tipis di basal
2) Endokardium : melapisi bilik katup jantung. Mengkilat,
halus dan tipis untuk aliran darah
3) Perikardium : halus saat kontraksi Terdiri atas lapisan
fibrosa pd bagian luar & serosa pada bagian dalam.
Pembungkus fibrosa pd bagian luar kantung melekat ke
sekat jaringan ikat yg memisahkan paru. Lapisan serosa
mengeluarkan cairan kaya protein yg berfungsi sebagai
pelumas yg mencegah gesekan antara lapisan perikardium
setiap jantung berdenyut.
b. Pembuluh darah

1. Merupakan sistem tertutup


2. Terdiri dari : Arteri, vena & kapiler
3. Setiap pembuluh darah terdiri dari 3 lapisan: Tunika intima,
Tunika media, Tunika advensia (kapiler hanya 1 lapisan)
c. Darah
1. Cairan tubuh berwarna merah terdapat dalam jantung dan
pembuluh darah
2. Dalam arteri berwarna merah terang dan dalam vena
berwarna merah gelap
3. Viskositas (kekentalan) darah : 4,5-5,5 kali air
4. Berat jenis: 1,041-1,067
5. pH:7,35-7,45
6. Jumlah darah orang dewasa 1/12-1/13 BB dan volume
plasma 1/20 – 1/25 BB atau volume darah orang dewasa 5
liter.
2. Fisiologi Sistem Kardiovaskular
a. Jantung
Sebagai pompa yang menghasilkan gradien tekanan yang
dibutuhkan untuk mengalirkan darah ke jaringan.
b. Pembuluh darah
Sebagai saluran untuk mengalirkan darah ke seluruh tubuh.
c. Darah
Media pengangkut zat-zat yang dibutuhkan dan dikeluarkan
dari tubuh.

B. Konsep Gangguan Penyakit Hipertensi


1. Definisi
Hipertensi/tekanan darah tinggi adalah meningkatnya tekanan
darah atau kekuatan menekan darah pada dinding rongga dimana darah
itu berada. Tekanan kontraksi jantung akan diteruskan sebagai
gelombang yang merambat pembuluh arteri. Hal ini disebabkan karena
dinding arteri bersifat lentur (elastis). Adanya aliran darah ini dapat
menyebabkan perbedaan tekanan darah sewaktu jantung berkontraksi
(systole) dan sewaktu mengendur (diastole). Apabila diukur tekanan
darah ditemukan tekanan sistole 130 mmHg dan tekanan diastole 90
mmHg bisa dikatakan darah tinggi (Irianto, 2017).
Hipertensi atau darah tinggi adalah penyakit kelainan jantung dan
pembuluh darah yang ditandai dengan peningkatan tekanan darah.
WHO (World Health Organization) memberikan batasan tekanan
darah normal adalah 140/90 mmHg, dan tekanan darah sama atau
diatas 160/95 mmHg dinyatakan sebagai hipertensi. Batasan ini tidak
membedakan antara usia dan jenis kelamin (Marliani, 2007).
Hipertensi dapat di definisikan sebagai tekanan darah persisten dimana
tekanan sistoliknya di atas 140 mmHg dan diastolik di atas 90 mmHg.
Pada populasi lansia, hipertensi di definisikan sebagai tekanan sistolik
160 mmHg dan tekanan diastolik 90 mmHg (Rohaendi, 2008).

2. Klasifikasi Hipertensi
WHO (Word Health Organization) dan ISH (International
Hypertension) mengelompokkan hipertensi sebagai berikut : Tabel 2.1
Klasifikasi Hipertensi

Kategori Tekanan Tekanan


darah sistol darah diastol
(mmHg) (mmHg)
Optimal <120 <80
Normal <130 <85
Normal tinggi 130-139 85-89
Grade 1 (hipertensi ringan) 140-149 90-99
Sub group (perbatasan) 150-159 90-94
Grade 2 (hipertensi sedang) 160-179 100-109
Grade 3 (hipertensi berat) >180 >110
Hipertensi sistolik terisolasi >140 <90
Sub-group (perbatasan) 140-149 <90

Klasifikasi hipertensi menurut Shep (2005) terbagi menjadi


dua berdasarkan penyebabnya, yaitu :

a. Hipertensi primer
Sekitar 95% pasien dengan hipertensi merupakan hipertensi
esensial (primer). Penyebab hipertensi esensial ini masih belum
diketahui, tetapi faktor genetik dan lingkungan diyakini memegang
peranan dalam menyebabkan hipertensi esensial faktor genetik
dapat menyebabkan kenaikan aktivitas dari sistem renin
angiotensin-aldosteron dan sistem saraf simpatik serta sensitivitas
garam terhadap tekanan darah. Selain faktor genetik, faktor
lingkungan yang mempengaruhi antara lain yaitu konsumsi garam,
obesitas dan gaya hidup yang tidak sehat serta konsumsi alkohol
dan merokok. Penurunan ekskresi natrium pada keadaan tekanan
arteri normal merupakan peristiwa awal dalam hipertensi esensial.
Penurunan ekskresi natrium dapat menyebabkan meningkatnya
volume cairan, curah jantung, dan vasokonstriksi perifer sehingga
tekanan darah meningkat. Faktor lingkungan dapat memodifikasi
ekspresi gen pada peningkatan tekanan. Stres, garam dalam jumlah
besar dianggap sebagai faktor eksogen dalam kegemukan,
merokok, aktivitas fisik yang kurang, dan konsumsi hipertensi
(Shep, 2005).
b. Hipertensi sekunder
Hipertensi sekunder adalah hipertensi persisten akibat
kelainan dasar kedua selain hipertensi esensial. Hipertensi ini
penyebabnya diketahui dan menyangkut ±10% dari kasus
hipertensi. Hipertensi sekunder diderita sekitar 5% pasien
hipertensi. Hipertensi sekunder disebabkan oleh adanya penyakit
komorbid atau penggunaan obat-obat tertentu yang dapat
meningkatkan tekanan darah. Obat-obat tertentu, baik secara
langsung ataupun tidak, dapat menyebabkan hipertensi atau
memperberat hipertensi. Pengertian penggunaan obat tersebut atau
mengobati kondisi komorbid yang menyertainya merupakan tahap
pertama dalam penanganan hipertensi sekunder (Shep, 2005).

3. Etiologi
Beberapa penyebab hipertensi sesuai dengan tipe masing-masing
hipertensi, anatara lain yaitu :
a Hipertensi esensial atau hipertensi primer
Merupakan 90% dari seluruh kasus hipertensi adalah
hipertensi esensial yang didefinisikan sebagai peningkatan
tekanan darah yang tidak diketahui penyebabnya (idiopatik).
Beberapa faktor diduga berkaitan dengan berkembangnya
hipertensi esensial seperti berikut ini:
1) Genetik : individu yang mempunyai riwayat keluarga
dengan hipertensi, beresiko tinggi untuk mendapatkan
penyakit ini.
2) Jenis kelamin dan usia : laki-laki berusia 30 – 50 tahun
dan wanita pasca menoupous beresiko tinggi mengalami
hipertensi.
3) Diet : konsumsi diet tinggi garam atau lemak secara
langsung berhubungan dengan berkembangnya
hipertensi.
4) Berat badan : obesitas (>25% diatas BB ideal) dikaitkan
dengan berkembangnya hipertensi.
5) Gaya hidup:merokok dan konsumsi alkohol dapat
meningkatkan tekanan darah , bila gaya hidup menetap.
(Udjianti, 2010).
b Hipertensi sekunder
Pada hipertensi sekunder diperkirakan sekitar 5% - 10%
disebabkan oleh penyakit ginjal, kemudian sekitar 1% - 2%
diakibatkan oleh kelainan hormonal atau dapat juga diakibatkan
oleh pemakaian obat tertentu seperti pil KB. Selain itu, tumor
pada kelenjar adrenalin yang menhasilkan hormon epineprin
(adrenalin) noreprineprin (noradrenalin) yang sering disebut
feokromositoma, juga memberikan andil terhadap munculnya
hipertensi sekunder (Ridwan, 2009). Penyebab lain terjadinya
hipertensi sekunder, antara lain :
1) Penggunaan kontrasepsi hormonal (estrogen)
Oral kontrasepsi yang berisi estrogen dapat
menyebabkan hipertensi melalui mekanisme renin-
aldosteron-mediated volume expansion. Dengan oral
kontrasepsi, tekanan darah normal kembali setelah
beberapa tahun.
2) Penyakit parenkim dan vaskular ginjal
Merupakan penyebab utama hipertensi sekunder.
Hipertensi renovaskular berhubungan dengan
penyempitan satu atau lebih arteri besar yang secara
langsung membawa darah keginjal. Penyakit parenkim
ginjal terkait dengan infeksi, inflamasi, dan perubahan
struktur, serta fungsi ginjal.
3) Gangguan endokrin
Disfungsi medula adrenal atau korteks adrenal dapat
menyebabkan hipertensi sekunder. Adrenal-mediated
hypertension disebabkan kelebihan primer aldosteron,
kortisol, dan katekolamin (Udjianti, 2013)
c Faktor resiko
Hipertensi apabila tidak diobati dapat berakibat fatal, salah
satunya adalah kerusakan pada berbagai organ target seperti
otak, ginjal, aorta, pembuluh darah perifer sampai kerusakan
pada retina mata. Kerusakan ini diakibatkan oleh ambulatory
blood presure.
Faktor resiko pemicu penyakit hipertensi dapat disebabkan
oleh factor keturunan, usia yang semakin tua, massa tubuh yang
berlebihan, konsumsi garam melebihi ambang batas, keturunan
yang memiliki riwayat penyakit hipertensi, pola makan dan
gaya hidup yang kurang sehat, serta aktivitas olah raga yang
kurang. Salah satu pemicu munculnya penyakit hipertensi
adalah asupan bahan makanan yang kurang memenuhi syarat
sebagai mkanan sehat.
Penyakit hipertensi berbanding lurus dengan usia
seseorang. Oleh karena itu, salah satu factor resiko seseorang
terkena penyakit stroke adalah bertambahnya usia. Usia rawan
hipertensi biasanya berada pada kisaran 31 tahun – 55 tahun.
Penyakit hipertensi semakinmeningkat ketika seseorang
memasuki usia paruh baya sekitar 40 tahun bahkan bisa
berlanjut sampai usia lebih dari 60 tahun apabila tidak
ditanggulangi sedini mungkin. (Ridwan, 2009).

4. WOC
Sumber : Aspiani dkk 2016

Umur Jenis kelamin Gaya Hidup Obesitas

Elastisitas
Arteriosklerosis

Hipertensi

Kerusakan vaskuler pembuluh darah

Perubahan struktur

Penyumbatan pembuluh darah

Vasokontriksi

Gangguan sirkulasi

Otak Ginjal Pembuluh darah Obesitas

Vasokontrik Spasme
Resistensi Suplai si pembuluh sistemik koroner
arteriole
Pembuluh O2 Darah ginjal
Darah otak
vasokont iskemia
diplopia
Bload flow riksi
Nyeri Ganggui Nyeri
Akut an Respon RAA Afterloa akut Resiko
Pola d cedera
tidur Rangsangan
Aldosteron
sinkop
Fatique
Retensi Na Penuru
Resiko perfusi nan
Serebral tidak curah Intoleransi
Efektif Edema jantung aktivitas

5. Kelebihan
Patofisiologi
volume cairan
Mekanisme yang mengontrol kontriksi dan relaksasi pembuluh
darah terletak di pusat vasonator. Pada medula otak, dari pusat
vasomotor inilah bermula jaras saraf simpatis, yang berlanjut ke bawah
ke korda spinalis dan keluar dari kolumna, medula spinalis ganglia
simpatis di toraks dan abdomen. Rangsangan pusat vasomotor
dihantarkan dalam bentuk impuls yang bergerak ke bawah melalui
sistem saraf simpatis ke ganglia simpatis. Pada titik ini, neuron pre
ganglion melepaskan asetilkolin, yang akan merangsang serabut saraf
pasca ganglion ke pembuluh darah. Berbagai faktor seperti kecemasan
dan ketakutan dapat mempengaruhi respon pembuluh darah terhadap
rangsangan vasokontriksi. Individu dengan hipertensi sangat sensitif
terhadap norepinefrin, meski tidak diketahui dengan jelas mengapa
bisa terjadi hal tersebut. Pada saat yang bersamaan, sistem saraf
simpatis merangsang pembuluh darah sebagai respon rangsang emosi,
kelenjar adrenal juga terangsang. Hal ini mengakibatkan tambahan
aktifitas vasokontriksi, medula adrenal mensekresi epinefrin yang
menyebabkan vasokontriksi (Brunner & Suddart, 2001).

Korteks adrenal mensekresi kortisol dan steroid lainnya untuk


memperkuat respon vasokontriktor pembuluh darah. Vasokontriksi
mengakibatkan penurunan aliran ke ginjal dan memicu pelepasan
renin. Pelepasan renin inilah yang merangsang pembentukan
angiotensin I yang akan diubah menjadi angiotensin II, suatu
vasokontriktor kuat yang nantinya akan merangsang sekresi aldosteron
oleh korteks adrenal. Hormon aldosteron ini menyebabkan retensi
natrium dan air oleh tubulus ginjal, sehingga terjadi peningkatan
volume intra vaskular. Semua faktor ini dapat mencetus terjadinya
hipertensi.

Untuk pertimbangan gerontology. Perubahan structural dan


fungsional pada sistem pembuluh perifer bertanggung jawab pada
perubahan tekanan darah yang terjadi pada usia lanjut. Perubahan
tersebut meliputi aterosklerosis ,hilangnya alastisitas jaringan ikat dan
penurunan dalam relaksasi otot polos pembuluh darah,yang apada
gilirannya menurunkan kemampuan distensi dan daya regang
pembuluh darah . Konsekuensinya ,aorta dan arteri besar berkurang
kemampuannya dalam mengakomodasi volume darah yang di pompa
oleh jantung (volume sekuncup) , mengakibatkan penurunan curang
jantung dan peningkatan tahanan perifer (Brunner & Suddarth ,2002).
Pada usia lanjut perlu diperhatikan kemungkinan adanya “hipertensi
palsu” disebabkan kekakuan arteri brachialis sehingga tidak
dikompresi oleh cuff sphygmanometer (Aspiani, 2016).

6. Manifestasi klinis
Manifestasi klinis gejala umum yang ditimbulkan akibat menderita
hipertensi tidak sama pada setiap orang, bahkan terkadang timbul tanpa
gejala. Secara umum gejala yang dikeluhkan oleh penderita hipertensi
sebagai berikut :
a. Sakit kepala, pusing dan keletihan disebabkan oleh penurunan
perfusi darah akibat vasokonstriksi pembuluh darah
b. Nyeri kepala oksipital yang terjadi saat bangun dipagi hari karena
peningkatan tekanan intrakranial yang disertai mual dan muntah.
c. Rasa pegal dan tidak nyaman pada tengkuk
d. Perasaan berputar seperti tujuh keliling serasa jatuh
e. Jantung berdebar atau detak jantung terasa cepat
f. Telinga berdenging

Gejala lain yang umumnya terjadi pada penderita hipertensi,


yaitu pusing, muka merah, sakit kepala, keluar darah dari hidung secara
tiba-tiba, tengkuk terasa pegal dan lain-lain (Aspiani, 2016).

7. Komplikasi
Tekanan darah tinggi apabila tidak diobati dan ditanggulangi, maka
dalam jangka panjang akan menyebabkan kerusakan arteri di dalam
tubuh sampai organ yang mendapat suplai darah dari arteri tersebut.
Komplikasi hipertensi dapat terjadi pada organ-organ sebagai berikut :
a. Jantung

Tekanan darah tinggi dapat menyebabkan terjadinya gagal


jantung dan penyakit jantung coroner. Pada penderita hipertensi,
beban jantung akan meningkat, otot jantung akan mengendor dan
berkurang elastisitasnya, yang disebut dekompensasi. Akibatnya,
jantung tidak mampu lagi memompa sehingga banyak cairan
tertahan di paru maupun jaringan tubuh lain yang dapat
menyebabkan sesak napas atau edema, kondisi ini disebut gagal
jantung.

b. Otak

Komplikasi hipertensi pada otak, menimbulkan resiko


stroke, apabila tidak diobati resiko terkena stroke 7 kali lebih besar.

c. Ginjal

Tekanan darah tinggi juga menyebabkan kerusakan ginjal,


tekanan darah tinggi dapat menyebabkan kerusakan sistem
penyaringan di dalam ginjal akibatnya lambat laun ginjal tidak
mampu membuang zat-zat yang tidak dibutuhkan tubuh yang
masuk melalui aliran darah dan terjadi penumpukan di dalam
tubuh.

d. Mata

Pada mata hipertensi dapat mengakibatkan terjadinya


retinopati hipertensi dan dapat menimbulkan kebutaan (Wijaya,
2016).

8. Pemeriksaan Diagnostik hipertensi :


a. Hemoglobin / hematocrit
Bukan diagnostic tetapi mengkaji hubungan dari sel-sel
terhadap volume cairan (viskositas) dan dapat mengindikasikan
faktor-faktor resiko seperti hiperkoagulabilitas dan anemia.
b. BUN / kreatinin

Memberikan informasi tentang perufsi / fungsi ginjal.

c. Glukosa
Hiperglikemia (diabetes melitus adalah pencetus hipertensi)
dapat di akibatkan oleh peningkatan kadar katekolamin
(meningkatkan hipertensi).
d. Kalium serum

Peningkatan kadar kalsium serum dapat meningkatkan


hipertensi.

e. Kolestrol dan trigeliserida serum

Peningkatan kadar dapat mengindikasikan pencetus


untuk/adanya pembentuk plak ateromatosa (efek
kardiovaskuler).

f. Pemeriksaan tiroid

Hipertiroidisme dapat menimbulkan vasokontriksi dan


hipertensi.
g. Kadar aldosterone urine / serum

Untuk mengkaji aldosteronisme primer (penyebab).

h. Urinalisa

Darah, protein, glukosa mengisyaratkan difungsi ginjal


dan atau adanya penyebab diabetes.

i. VMA urine (metabolit katekolamin)

Kenaikan dapat mengindikasikan adanya


feokromositoma (penyebab). VMA urine 24 jam dapat
dilakukan untuk pengkajian feokromositoma bila hipertensi
hilang timbul.

j. Asam urat

Hiperurisemia telah menjadi implikasi sebagai faktor resiko


terjadinya hipertensi.

k. Steroid urine

Kenaikan dapat mengindikasikan hiperadrenalisme,


feokromositoma atau disfungsi ptuitary, sindrom Cushing’s dan
kadar renin dapat juga meningkat.

l. IVP

Dapat mengidentifikasi penyebab hipertensi, seperti


penyakit parenkim ginjal, batu ginjal / ureter.

m. Foto dada

Dapat menunjukkan obstruksi klasifikasi pada area


katup, deposit pada dan atau taktik aorta, perbesaran jantung.

n. CT scan

Mengkaji tumor serebral, CSV, ensefalopati, atau


feokromositoma.
o. EKG

Dapat menunjukkan pembesaran jantung, pola


regangan, gangguan konduksi. Catatan : luas, peninggian
gelombang P adalah salah satu tanda dini penyakit jantung
hipertensi (Doengoes, 2010).

9. Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan penunjang hipertensi menurut Aspiani, (2016)
adalah :
a. Laboratorium
1) Albuminaria pada hipertensi karena kelainan parenkim
ginjal
2) Kreatinin serum dan BUN meningkat pada hipertensi
karena parenkim ginjal dengan gagal ginjal akut
3) Darah perifer lengkap
4) Kimia darah (kalium, natrium, kreatinin, gula darah puasa).

b. EKG

1) Hipertropi ventrikel kiri


2) Iskemia atau infark miokard
3) Peninggi gelombang p
4) Gangguan konduksi

c. Foto Rontgen

1) Bentuk dan besar jantung


2) Perbandingan lebarnya paru
3) Hipertrofi parenkim ginjal
4) Hipertrofi vaskuler ginjal

10. Penatalaksanaan
a. Penatalaksanaan farmakologis yang diterapkan pada penderita
hipertensi adalah sebagai berikut :
1) Terapi oksigen
2) Pemantauan hemodinamik
3) Pemantauan jantung
4) Obat-obatan
a) Diuretik, bekerja melalui berbagai mekanisme untuk
mengurangi curah jantung dengan mendorong ginjal
meningkatkan ekskresi garam dan airnya, juga dapat
menurunkan TPR.
b) Penyekat saluran kalsium menurunkan kontraksi otot polos
jantung atau enzim dengan mengintevensi influx kalsium
yang dibutuhkan untuk kontraksi.
c) Penghambat enzim mengubah angiotensin II atau inhibitor
ACE berfungsi untuk menurunkan angiotensin II dengan
menghambat enzim yang diperlukan untuk mengubah
angiotensin I menjadi angiotensin II.
d) Antagonis (penyekat) respektor beta (β-blocker), terutama
penyekat selektif, bekerja pada reseptor beta di jantung
untuk menurunkan kecepatan denyut dan curah jantung.
e) Vasodilator arteriol digunakan untuk menurunkan TPR,
misalnya : natrium, nitroprusida, nikardipin, hidralazin,
nitrogliserin dll.
f) Antagonis reseptor alfa (α-blocker) menghambat reseptor
alfa

b. Penanganan secara non-farmakologi sebagai berikut :

1) Pemijatan untuk pelepasan ketegangan otot, memberikan relaksasi


dengan terapi musik klasik, dan teknik nafas dalam, meningkatkan
sirkulasi darah,dan inisiasi respon relaksasi. Pelepasan otot tegang
akan meningkatkan keseimbangan dan koodinasi sehingga tidur
bisa lebih nyenyak dan sebagai pengobat nyeri secara non-
farmakologi.
2) Menurunkan berat badan apabila terjadi gizi berlebih (obesitas).
3) Meningkatkan kegiatan atau aktifitas fisik.
4) Mengurangi asupan natrium
5) Mengurangi konsumsi kafein dan alkohol (Widyastuti, 2015).

C. Konsep Pemenuhan Kebutuhan Aman Nyaman


Rasa aman didefinisikan oleh Maslow dalam Potter & Perry (2006)
sebagai sesuatu kebutuhan yang mendorong individu untuk memperoleh
ketentraman, kepastian dan keteraturan dari keadaan lingkungannya yang
mereka tempati. Potter & Perry (2006), mengungkapkan kenyamanan /
rasa nyaman adalah suatu keadaan telah terpenuhinya kebutuhan dasar
manusia yaitu kebutuhan akan ketentraman (suatu kepuasan yang
meningkatkan penampilan sehari-hari), kelegaan (kebutuhan telah
terpenuhi), dan transenden (keadaan tentang sesuatu yang melebihi
masalah dan nyeri). Perubahan kenyamanan adalah dimana individu
mengalami sensasi yang tidak menyenangkan dan berespon terhadap
rangsangan yang berbahaya (Linda Jual, 2000). Gangguan rasa nyaman
adalah perasaan kurang senang,lega dan sempurna dalam dimensi fisik,
psikospiritual, lingkungan dan sosial.(SDKI,2016)
1. Pengertian Nyeri
Menurut Mc. Caffery (1979), nyeri didefinisikan sebagai
suatu keadaan yang memengaruhi seseorang, dan eksistensinya
diketahui bila seseorang pernah mengalaminya. Menurut Asosiasi
nyeri internasional (1979) disebutkan bahwa nyeri adalah suatu
pengalaman sensorik dan emosional yang tidak menyenangkan
yang berhubungan dengan adanya kerusakan jaringan baik secara
aktual maupun potensial (Tamsuri, 2012).
2. Klasifikasi Nyeri
Klasifikasi nyeri berdasarkan sifatnya menurut Kozier Erb (2011),
yaitu :
a. Nyeri akut
Nyeri yang berlangsung selama periode pemulihan
yang telah diperkirakan dan memiliki awitan mendadak
atau lambat tanpa memperhatikan intensitasnya.
b. Nyeri kronik
Nyeri yang berlangsung lama, biasanya bersifat
kambuhan atau menetap selama 6 bulan atau lebih dan
menggangu fungsi tubuh.

Klasifikasi nyeri berdasarkan asalnya menurut Kozier Erb (2011),


yaitu :
a. Nyeri kutaneus
Berasal dari kulit atau jaringan subkutan. Teriris
kertas yang menyebabkan nyeri tajam dengan sedikit rasa
terbakar
b. Nyeri somatik profunda
Berasal dari ligamen, tendon, tulang, pembuluh
darah, dan saraf. Nyeri somatik profunda menyebar dan
cenderung berlangsung lebih lama dibandingkan nyeri
kutaneus. Contoh nyeri somatik profunda adalah keseleo
pergelangan kaki.
c. Nyeri virasel
Berasal dari stimulasi reseptor nyeri di rongga
abdomen, cranium dan toraks. Nyeri viseral cenderung
menyebar dan sering kali terasa seperti nyeri somatik
profunda, yaitu rasa terbakar, rasa tumpul, atau merasa
tertekan. Nyeri viseral sering kali disebabkan oleh
peregangan jaringan, iskemia, atau spasme otot. Misalnya,
obtruksi usus akan menyebabkan nyeri viseral.
d. Nyeri menjalar
Dirasakan di sumber nyeri dan meluas ke jaringan-
jaringan di sekitarnya. Misalnya, nyeri jantung tidak hanya
dapat dirasakan di dada tetapi juga dirasakan di sepanjang
bahu kiri dan turun ke lengan.
e. Nyeri alih
Nyeri yang dirasakan di satu bagian tubuh yang
cukup jauh dari jaringan yang menyebabkan nyeri.
Misalnya, nyeri yang berasal dari sebuah bagian visera
abdomen dapat dirasakan di suatu area kulit yang jauh dari
organ yang menyebabkan rasa nyeri.
f. Nyeri tak tertahankan
Nyeri yang sangat sulit untuk diredakan. Salah satu
contohnya adalah nyeri akibat keganasan stadium lanjut.
Saat merawat seorang klien yang mengalami nyeri yang tak
tertahankan, perawat dituntut untuk menggunakan
sejumlah metoda, baik farmakologi maupun
nonfarmakologi, untuk meredakan nyeri klien.
g. Nyeri neuropatik
Nyeri akibat kerusakan sistem saraf tepi atau sistem
saraf pusat di masa kini atau masa lalu dan mungkin tidak
mempunyai sebuah stimulus, seperti kerusakan jaringan
atau saraf, untuk rasa nyeri. Nyeri neuropatik berlangsung
lama, tidak menyenangkan, dan dapat digambarkan sebagai
rasa terbakar, nyeri tumpul yang berke-panjangan episode
nyeri tajam seperti tertembak.
h. Nyeri bayangan
Rasa nyeri yang dirasakan pada bagian tubuh yang
telah hilang (mis, kaki yang telah diamputasi) atau yang
lumpuh akibat cedera tulang belakang, adalah contoh
neuropatik. Ini dapat dibedakan dari sensasi bayangan,
yaitu perasaan bahwa bagian tubuh yang telah hilang masih
ada. Insidensi nyeri bayangan dapat dikurngi jika analgesik
diberikan melalui kateter epidural sebelum amputasi.
3. Fisiologi Nyeri
Reseptor nyeri adalah organ tubuh yang berfungsi
menerima rangsangan nyeri, yang berperan adalah ujung saraf
bebas dalam kulit berespons hanya terhadap stimulus kuat yang
secara potensial merusak. Reseptor nyeri disebut juga Nosiseptor.
Berdasarkan letaknya, dikelompokkan dalam beberapa bagian
tubuh yaitu pada kulit (kutaneus), somatik dalam (deep somatic),
dan daerah viseral.
Reseptor jaringan kulit (kutaneus) terbagi dalam 2 komponen,
yaitu:
a. Serabut A delta: Merupakan serabut komponen cepat
(kecepatan transmisi 6-30 m/det) memungkinkan timbulnya
nyeri tajam.
b. Serabut C: Merupakan komponen lambat (kecepatan
transmisi 0,5-2 m/det) nyeri bersifat tumpul dan sulit
dilokalisasi.

Reseptor nyeri somatik meliputi nyeri yang terdapat pada


tulang, pembuluh darah, saraf, otot. Karena struktur reseptornya
kompleks, nyeri yang timbul dan sulit dilokalisasi. Reseptor
vaseral meliputi organ-organ vaseral seperti jantung, hati, usus,
ginjal. Nyeri yang timbul dari reseptor ini biasanya tidak sensitif
terhadap pemotongan organ, tetapi sangat sensitifterhadap
penekanan, iskemia dan inflamasi. (Tamsuri, 2012).
4. Factor Mempengaruhi Persepsi Nyeri
Faktor-faktor yang mempengaruhi persepsi tentang nyeri
pada seorang individu meliputi :
a. Usia
Usia merupakan variabel yang penting mempengaruhi
nyeri, khususnya pada lansia. Pada lansia yang mengalami
nyeri, perlu dilakukan pengkajian, diagnosis dan penanganan
secara agresif. Individu yang berusia lanjut memiliki resiko
tinggi mengalami situasi-situasi yang membuat merasakan
nyeri. Karena lansia hidup lebih lama, lansia memungkinkan
lebih tinggi untuk mengalami kondisi patologis yang menyertai
nyeri. Sekali pasien yang berusia lanjut menderita nyeri, maka
dapat mengalami gangguan fungsi yang serius.
b. Jenis kelamin
Secara umum, pria dan wanita tidak berbeda secara
bermakna dalam berespon terhadap nyeri. Diragukan apakah
hanya jenis kelamin saja yang merupakan suatu faktor dalam
pengekspresian nyeri. Beberapa kebudayaan yang
mempengaruhi jenis kelamin, misalnya menganggap bahwa
seorang anak laki-laki harus berani dan tidak boleh menangis,
sedangkan seorang anak perempuan boleh menangis dalam
situasi yang sama.
c. Budaya
Kebudayaan dan nilai-nilai budaya mempengaruhi cara
individu mengatasi nyeri. Individu mempelajari apa yang
diharapkan dan apa yang diterima oleh kebudayaan mereka.
Hal ini meliputi bagaimana bereaksi terhadap nyeri. Cara
individu mengekspresikan nyeri merupakan sifat kebudayaan.
d. Tingkat kecemasan
Hubungan antara kecemasan dan nyeri bersifat kompleks.
Kecemasan seringkali meningkatkan persepsi nyeri, tetapi
nyeri juga dapat menimbulkan suatu perasaan kecemasan.
Individu yang sehat secara emosional biasanya lebih mampu
mentoleransi nyeri sedang hingga berat daripada individu yang
yang memiliki status emosional yang kurang stabil.
e. Tingkat perhatian
Tingkat seorang klien memfokuskan perhatiannya pada
nyeri dapat mempengaruhi persepsi nyeri. Perhatian yang
meningkat dihubungkan dengan nyeri yang meningkat,
sedangkan upaya pengalihan dihubungkan dengan respon nyeri
yang menurun.
f. Pengalaman sebelumnya
Setiap individu belajar dari pangalaman nyeri yang lalu.
Pengalaman nyeri sebelumnya berarti bahwa individu tersebut
akan menerima nyeri dengan lebih mudah pada masa yang
akan datang. Apabila individu sejak lama sering mengalami
serangkaian episode nyeri tanpa tanpa pernah sembuh atau
menderita nyeri yang berat, maka ansietas bahkan rasa takut
dapat muncul.
g. Dukungan keluarga
Faktor lain yang bermakna yang mempengaruhi respon
nyeri adalah kehadiran orang-orang terdekat klien dan
bagaimana sikap mereka terhadap klien. Individu yang
mengalami nyeri seringkali bergantung terhadap anggota
keluarga atau teman dekat untuk memperoleh dukungan,
bantuan dan perlindungan. (Tamsuri A, 2012).
5. Intensitas Nyeri Kepala
a. Pengertian intensitas nyeri kepala
Intensitas nyeri adalah gambaran tentang seberapa
parah nyeri dirasakan individu-Individu yang termasuk rasa
tidak nyaman menyerang daerah tengkorak (kepala) mulai
dari kening kearah atas dan belakang, penilai terbaik dari
nyeri yang dialami dan karenanya harus diminta untuk
menggambarkan dan membuat tingkatannya. Penggunaan
skala intensitas nyeri adalah metode yang mudah dan
reliabel dalam menentukan intensitas nyeri. Sebagian skala
menggunakan kisaran 0-10 dengan 0 menandakan “tanpa
nyeri” dan angka tertinggi menandakan “kemungkinan
nyeri terburuk” untuk individu tersebut (Kozier, 2010).

b. Alat ukur Visual Analog Scale (VAS)


VAS merupakan suatu garis lurus yang mewakili
intensitas nyeri dan memiliki alat keterangan verbal pada
setiap ujungnya. VAS berbentuk garis horizontal sepanjang
10 cm, dan ujungnya mengindikasikan nyeri yang berat.
Pasien diminta untuk menunjuk titik pada garis yang
menunjukkan letak nyeri terjadi di sepanjang rentang
tersebut. Ujung kiri biasanya menandakan “tidak ada” atau
“tidak nyeri”, sedangkan ujung kanan menandakan “berat”
atau “nyeri yang paling buruk”. Untuk menilai hasil, sebuah
penggaris diletakkan sepanjang garis dan jarak yang dibuat
pasien pada garis dari “tidak ada nyeri” diukur dan ditulis
dalam sentimeter (Smeltzer, 2014).

0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Tidak ada nyeri nyeri ringan nyeri sedang nyeri hebat nyeri sangat
hebat
Gambar 2.1 b. Alat ukur visual analog scale (VAS) (Tamsuri, 2012)
Keterangan :
0: tidak merasakan nyeri
1: nyeri sedikit dan jarang dirasakan
2: merasaskan nyeri tetapi tidak mengganggu aktivitas
3: merasakan nyeri dan kadang-kadang mengganggu konsentrasi
4: merasakan nyeri dan mengganggu konsentrasi tetapi masih bisa
beraktivitas
5: nyeri yang dirasakan menghalangi beberapa aktivitas
6: nyeri yang dirasakan sangat mengganggu aktivitas biasa
7: perhatian terpusat pada nyeri sehingga menghalangi aktivitas
sehari-hari
8: merasa sangat nyeri dan kesulitan melakukan aktivitas
9: tidak dapat menahan rasa nyeri dan tidak dapat melakukan
aktivitas
10: nyeri yang dirasakan sangat hebat tidak peduli dengan keadaan
sekitar

D. Konsep Penerapan Prosedur Terapi Musik Klasik dan Slow Deep


Breathing
Terapi musik adalah penggunaan musik sebagai alat terapi untuk
memperbaiki, memelihara, meningkatkan keadaan mental, fisik dan emosi.
Bagi penderita hipertensi atautekanan darah tinggi, musik dapat dijadikan
sebagai terapi yang efektif untuk menurunkan tekanan darah (Ismarina,
2015).
Musik yang terdiri dari kombinasi ritme, irama, harmonik,dan
melodi sejak dahulu diyakini mempunyai pengaruh terhadap pengobatan
orang sakit. Seiring dengan perkembangan zaman ketertarikan para
peneliti terhadap musik dan bagaimana pengaruhnya terhadap kesehatan
juga mengalami perkembangan. Berdasarkan penelitian yang dilakukan
oleh Chafin (2004) mendengarkan musik klasik dapat mengurangi
kecemasan dan stres sehingga tubuh mengalami relaksasi, yang
mengakibatkan penurunan tekanan darah dan denyut jantung
(Klementinasaing, dalam Jasmarizal, 2013).
Latihan slow deep breathing adalah tindakan yang dilakukan secara
sadar untuk mengatur pernafasan secara secara lambat dan dalam sehingga
menimbulkan efek relaksasi (Tarwoto, 2011). Menurut Potter & Perry
(2006) relaksasi dapat diaplikasikan sebagai terapi non farmakologis untuk
mengatasi stress, hipertensi, ketegangan otot, nyeri dan gangguan
pernafasan. Terjadi perpanjangan serabut otot, menurunnya pengiriman
impuls saraf otak, menurunnya aktifitas otak dan fungsi tubuh lain pada
saat terjadinya relaksasi. Respons relaksasi ditandai dengan penurunan
tekanan darah , menurunnya denyut nadi, jumlah pernafasan serta
konsumsi oksigen ( Potter & Perry, 2006 dalam Tarwoto, 2011).

Latihan slow deep breathing yang terdiri dari pernafasan abdomen


(diagfragma) dan purse lip breathing dapat digunakan sebagai asuhan
keperawatan mandiri dengan mengajarkan cara melakukan nafas dalam
(menahan inspirasi secara maksimal), nafas lambat dan cara
menghembuskan nafas secara perlahan dengan metode bernafas fase
ekshalasi yang panjang (Smeltzer & Bare, 2008).

Berikut adalah tahap-tahap terapi musik klasik dan slow deep breathing:

1. Karakteristik pasien

Identitas pasien meliputi: Nama, jenis kelamin, umur, alamat,


agama, bangsa/suku, pekerjaan, status perkawinan, tanggal masuk rumah
sakit, diagnosa medis, keluarga yang dapat dihubungi, catat
keberangkatan, no registrasi rekam medik (Wilkinson, 2011)

2. Fase Prainteraksi

Fase Prainteraksi ini dimulai sebelum kontrak pertama dengan klien.


Perawat mengumpulkan data tentang klien, mengeksplorasi perasaan,
fantasi dan ketakutan diri dan membuat rencana pertemuan dengan klien
(Stuart & Sundeen, 1995)

Sebelum dilakukannya tindakan terapi musik klasik dan slow deep


breathing dilakukan pengkajian antara lain:
a) Keluhan Utama
Keluhan utama penderita Hipertensi adalah kepala terasa pusing
dan bagian kuduk terasa berat,tidak bisa tidur.
b) Riwayat kesehatan
1) Riwayat kesehatan sekarang
Biasanya pada saat dilakukan pengkajian pasien masih
mengeluh sakit kepala dan berat, penglihatan berkunang-
kunang, tidak bisa tidur.
2) Riwayat kesehatan dahulu
Biasanya penyakit hipertensi ini adalah penyakit yang
menahun yang sudah lama dialami oleh pasien, dan biasanya
pasien mengkonsumsi obat rutin seperti Captopril.
3) Riwayat kesehatan keluarga
Biasanya penyakit Hipertensi adalah penyakit keturunan.
c) Data dasar pengkajian pada pasien hipertensi
1) Aktivitas/ istirahat: kelemahan, letih, napas pendek, gaya
hidup monoton, frekuensi jantung meningkat, perubahan
irama jantung
2) Sirkulasi: riwayat hipertensi,aterosklerosis, penyakit jantung
coroner, penyakit serebrovaskuler, takikardi, perubahan warna
kulit, suhu dingin.
3) Integritas ego: riwayat peruabahan kepribadian, ansietas,
depresi, euphoria, factor stress multiple, gelisah, otot muka
tegang, pernapasan menghela, peningkatan pola bicara.
4) Eliminasi: gangguan ginjal saat ini atau lalu.
5) Makanan/ cairan: makanan yang disukai yang dapat
mencakup makanan tinngi garam, lemak dan kolestrol, BB
normal atau obesitas, adanya edema.
6) Neurosensory: keluhan pusing/pening, sakit kepala,
berdenyut, gangguan penglihatan, episode epistaksis,
perubahan orientasi, penurunan kekuatan genggaman,
perubahan retinal optic.
7) Nyeri/ketidaknyamanan: angina, nyeri hilang timbul pada
tungkai, sakit kepala oksipital berat, nyeri abdomen.
8) Pernafasan: dyspnea yang berkaitan dengan aktivitas,
takipnea, ortopnea,batuk dengan atau tanpa suptum, riwayat
merokok, distress respirasi/penggunaan otot aksesoris
pernapasan, bunyi napas tambahan, sianosis.
9) Keamanan: gangguan koordinasi, cara jalan, hipotensi
prostural.
10) Pembelajaran/penyuluhan: factor risiko keluarga
mis:hipertensi, aterosklerosis, penyakit jantung, DM, penyakit
ginjal, factor risiko etnik, penggunaan pil KB atau hormone.
d) Diagnosa yang dapat ditemukan pada pasien Hipertensi berdasarkan
respon pasien yang disesuaikan dengan SDKI 2016 yaitu :
1) Nyeri akut berhubungan dengan agen pecedera kimiawi
Definisi: pengalaman sensorik atau emosional yang berkaitan
dengan kerusakan jaringan actual atau fungsinal, dengan onset
mendadak atau lambat dan berintensitas ringan hingga berat
yang berlangsung kurang dari 3 bulan.
Prosedur yang dilakukan pada tahan prainteraksi penerapan terapi
musik klasik dan slow deep breathing yaitu:
a. Cek catatan keperawatan atau catatan medis klien
b. Identifikasi factor atau kondisi yang dapat menyebabkan
kontra indikasi
c. Persiapan alat:
1) Tape Musik/Handphone
2) Headset
3) Alat-alat musik yang sesuai
4) Spigmanometer
5) Stetoskop
d. Persiapan perawat:
1) Perawat mencuci tangan
2) Memakai masker
e. Persiapan lingkungan
1) Cukup cahaya
2) Terjaga privasi
3) Ruangan yang tenang dan nyaman bagi pasien

3. Fase Orientasi
Pada Fase ini dimulai saaat perawat bertemu dengan klien untuk
pertama kalinya. Hal utama yang perlu dikaji adalah alasan klien minta
pertolongan yang akan mempengaruhi terbinanya hubungan perawat-
klien. Dalam memulai hubungan tugas pertama adalah membina rasa
percaya, penerimaan dan pengertian komunikasi yang terbuka dan
perumusan kontrak dengan klien. Pada tahap ini perawat melakukan
kegiatan sebagai berikut: memberi salam dan senyum pada klien,
melakukan validasi (kognitif, psikomotor, afektif), memperkenalkan nama
perawat, menanyakan nama kesukaan klien, menjelaskan kegiatan yang
akan dilakukan, menjelaskan waktu yang dibutuhkan untuk melakukan
kegiatan, menjelaskan kerahasiaan (Stuart & Sundeen, 1995).
Menurut Stuart G. W, 2009 tugas perawat dalam tahap ini adalah:
1) Membina hubungan saling percaya, menunjukkan penerimaan dan
komunikasi yang terbuka.
2) Membuat kontrak (waktu, tempat pertemuan, dan topik
pembicaraan) dengan klien dan menjelaskan atau mengklarifikasi
kembali kontrak yang telah disepakati bersama.
3) Mengidentifikasi masalah klien yang umumnya dilakukan dengan
menggunakan teknik komunikasi pertanyaan terbuka.
4) Merumuskan tujuan interaksi dengan klien, penerapan terapi musik
klasik dan slow deep breathing dilakukan dengan tujuan
menurunkan nyeri pada pasien hipertensi. Tindakan terapi music
klasik dan slow deep breathing dilakukan dengan waktu yang
digunakan selama terapi 15 menit dalam sehari (pagi pukul 10.00)
dilakukan selama 7 hari.
Dalam fase orientasi, prosedur tindakan penerapan terapi music klasik dan
slow deep breathing yaitu:
a. Salam terapeutik
b. Evaluasi dan validasi
Menanyakan kabar pasien dan sesak yang dirasakan
c. Informed concent
1) Menjelaskan tindakan penerapan terapi musik klasik, tujuan,
manfaat, waktu dan persetujuan pasien.
2) Menjelaskan tindakan slow deep breathing, tujuan, manfaat,
waktu dan persetujuan pasien.
3) Memberikan kesempatan untuk bertanya.
4) Meminta persetujuan klien.

4. Fase Interaksi
Tahap interaksi/kerja dalam komunikasi terapeutik,yang dilakukan
adalah memberi kesempatan pada klien untuk bertanya, memulai kegiatan
dengan cara yang baik, melakukan kegiatan sesuai rencana. Perawat
memenuhi kebutuhan dan mengembangkan pola-pola adaptif klien.
Interaksi yang memuaskan akan menciptakan situasi/suasana yang
meningkatkan integritas klien dengan meminimalisasi ketakutan,
ketidakpercayaan, kecemasan dan tekanan pada klien (Stuart & Sundeen,
1995).
Pada fase interaksi penerapan terapi music klasik dan slow deep
breathing prosedur tindakan yang dilakukan yaitu:
1) Siapkan musik klasik di handphone
2) Beritahu pada pasien bahwa terapi music klasik dan slow deep
breathing akan segera dimulai
3) Atur pasien dengan posisi duduk dengan kedua tangan diletakkan
diatas perut
4) Lakukan pengkajian nyeri dengan skala 0-10
5) Batasi stimulasi external seperti suara berisik, panggilan telepon
selama terapi
6) Pastikan audio dalam keadaan baik dan suara volume tidak terlalu
kuat
7) Nyalakan musik
8) Kemudian anjurkan pasien melakukan napas secara perlahan dan
dalam melalui hidung
9) Tarik napas selama 3 detik, rasakan abdomen mengembang saat
menarik napas
10) Tahan selama 3 detik
11) Kerutkan bibir dengan membentuk huruf O, keluarkan melalui
mulut dan hembuskan napas secara perlahan.

5. Fase Terminasi
Pada fase terminasi dalam komunikasi terapeutik kegiatan yang
dilakukan oleh perawat adalah menyimpulkan hasil, tindak lanjut dengan
klien, melakukan kontrak (waktu, tempat dan topik), mengakhiri
wawancara dengan cara yang baik (Stuart & Sundeen, 1995).
Prosedur tindakan yang dilakukan pada fase ini adalah:
1) Mencuci tangan
2) Evaluasi klien terhadap tindakan yang dilakukan
3) Kontrak waktu untuk pertemuan selanjutnya
4) Atur kembali ruangan dan alat yang dipakai
BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

A. Rancangan Studi Kasus


Penelitian kualitatif ini menggunakan rancangan studi kasus yang
bertujuan untuk mengeksplorasi tahapan penerapan Terapi Musik Klasik
dan Slow Deep Breathing untuk menurunkan nyeri pada pasien Hipertensi.
Pendekatan yang digunakan pada studi kasus ini yaitu proses prosedur
tindakan yang meliputi salam terapeutik, fase pra interaksi, fase orientasi,
fase interaksi, dan fase terminasi.
B. Subyek Studi Kasus
Subyek penelitian dalam studi kasus ini yaitu pasien yang
mengalami nyeri kepala dengan penyakit hipertensi.. Jumlah subyek
penelitian yang direncanakan yaitu 2 orang pasien dengan minimal
perawatan selama 3 hari. Kriteria inklusi dan ekslusi yang ditetapkan pada
subyek penelitian yaitu:
1. Kriteria inklusi
a. Penderita hipertensi yang mempunyai tekanan darah lebih
atau sama dengan 140/90-159/99
mmHg
b. Belum meminum obat hipertensi pada hari pemeriksaan

c. Penderita Hipertensi dengan nyeri di kepala


d. Mampu berkomunikasi dengan baik dan pendengaran yang
baik
e. Penderita yang bersedia menjadi responden
2. Kriteria Eksklusi
a. Penderita yang dirawat kurang dari 3 hari
b. Penderita hipertensi dengan gangguan pendengaran
c. Penderita dengan komplikasi berat
d. Penderita tidak bersedia menjadi responden

C. Fokus Studi
Fokus studi pada kasus ini yaitu upaya perawat dalam pemenuhan
kebutuhan rasa nyaman yaitu nyeri pada pasien Hipertensi dengan inovasi
penerapan terapi musik klasik dan slow deep breathing dalam
meningkatkan rasa nyaman dalam menurunkan nyeri pada pasien
hipertensi.
D. Definisi Operasional Fokus Studi
1. Studi kasus ini didefinisikan sebagai suatu proses pelayanan
keperawatan dengan Penerapan Terapi Musik Klasik dan Slow
Deep Breathing pada pasien Hipertensi.
2. Pasien dalam studi kasus ini di definisikan sebagai orang yang
menerima pelayanan kesehatan di Provinsi Bengkulu dan
mendapat diagnosa medis hipertensi
3. Penerapan Terapi Musik Klasik dan Slow Deep Breathing dalam
studi kasus ini di defisnisikan sebagai suatu tindakan keperawatan
yang dilakukan untuk menurunkan nyeri kepala pada pasien
hipertensi.

E. Lokasi dan Waktu Penelitian


Studi kasus ini akan dilakukan Provinsi Bengkulu. Studi kasus ini
direncanakan akan dilaksanakan pada bulan Februari tahun 2020.

F. Prosedur Penelitian
Penelitian diawali dengan penyusunan usulan proposal studi kasus
tentang Pemberian terapi musik klasik dan slow deep breathing pada klien
hipertensi di Provinsi Bengkulu. Setelah proposal disetujui dewan penguji,
maka tahap yang akan dilakukan adalah pengurusan surat izin penelitian.
Selanjutnya penulis akan mulai melakukan gambaran karakteristik klien,
mendeskripsikan fase pra interaksi, fase orientasi, fase interaksi dan fase
terminasi.
Kemudian penulis menyusun prosedur tindakan berdasarkan riset :

1) Alat dan bahan yang digunakan adalah handphone,


headset/headphone, spigmanometer, stetoskop

2) Waktu yang digunakan selama terapi 15 menit dalam sehari


(pagi pukul 10.00) dilakukan selama 7 hari.

3) Tempat berlangsungnya terapi tempat yang bebas dari suara


kebisingan

4) Mengatur posisi dan tempat yang nyaman

5) Mengukur tekanan darah klien sebelum melakukan terapi


musik

6) Mengukur kembali tekanan darah setelah 15 menit setelah


terapi musik klasik dan slow deep breathing diberikan.

G. Teknik Pengumpulan Data Studi Kasus

1. Wawancara

Hasil anamnesis yang harus didapatkan berisi tentang


identitas klien, keluhan utama, riwayat penyakit sekarang, riwayat
penyakit dahulu, riwayat penyakit keluarga, riwayat psikologi,
pola-pola fungsi kesehatan. Data hasi wawancara dapat bersumber
dari klien, keluarga, dan dari perawat lainnya.

2. Observasi dan pemeriksaan fisik

Teknik pengumpulan data ini meliputi keadaan umum,


pemeriksaan kepala leher, pemeriksaan dada, pemeriksaan
ekstremitas, pemeriksaan neurologis(dengan pendekatan inspeksi,
palpasi, perkusi, dan auskultasi) pada sistem tubuh pasien. Data
folkus yang harus didapatkan adalah tekanan darah pasien.

3. Studi Dokumentasi

Studi dokumentasi dilakukan dengan mengambil data dari


MR (Medical Record), mencatat pada status pasien, mencatat hasil
laboratorium, melihat catatan harian perawat ruangan, mencatat
hasil pemeriksaan diagnostik.

4. Instrumen Pengumpulan Data

Alat atau instrumen pengumpulan data menggunakan form


pengkajian, alat tulis dan stetoskop.

H. Analisa Data dan Penyajian Data

Analisis data dilakukan dengan menyajikan data hasil pengkajian


keperawatan yang diperoleh dari hasil wawancara, observasi, pemeriksaan
fisik, dan studi dokumentasi hasil laboratorium dalam bentuk narasi.
Selanjutnya data pengkajian yang berhasil dikumpulkan tersebut akan
dianalisis dengan membandingkannya terhadap pengkajian teori yang telah
disusun. Analisis data terhadap diagnosa keperawatan, intervensi
keperawatan, implementasi, serta evaluasi keperawatan, yang dilaksanakan
pada studi kasus ini akan dianalisis dengan membandingkan antara hasil
dengan tahapan proses yang telah diuraikan pada tinjauan teori.
I. Etika Studi Kasus

Peneliti akan mempertimbangkan etik dan legal penelitian untuk


melindungi responden agar terhindar dari bahaya serta ketidaknyamanan
fisik dan psikologis. Ethical Clearance mempertimbangkan hal-hal berikut
ini:

1. Self Determinan

Dalam penelitian ini, peneliti memberikan kebebasan pada


responden untuk memilih dan memutuskan berpartisipasi, serta menolak
dalam penelitian ini tanpa ada paksaan.

2. Anonymity (Tanpa Nama)

Nama responden tidak perlu di cantumkan pada lembar observasi.


Penggunaan anonymity pada penelitian ini dilakukan dengan cara
menggunakan kode dan alamat responden pada lembar observasi dan
mencantumkan tanda tangan pada lembar persetujuan sebagai responden.
Peneliti menggunakan nama samaran (anonym) sebagai pengganti
identitas responden.

3. Confidentially (Kerahasiaan)

Kerahasiaan dapat diartikan sebagai semua informasi yang di


peroleh dari responden tidak akan disebarluaskan ke orang lain dan hanya
peneliti yang mengetahuinya. Informasi yang sudah terkumpul akan di
jamin kerahasiaannya. Pengelolaan data di input ke laptop peneliti dan
data diolah menggunakan software computer dan pemusnahan data
dilakukan setelah 3 bulan setelah penelitian.

4. Justice (Keadilan)

Pada penelitian ini akan menerapkan prinsip keadilan yang


meliputi the right to fair treatment dan the right to privacy atau setiap
responden mempunyai hak yang sama untuk mendapatkan perlakuan yang
adil sebelum, selama, dan sesudah penelitian tanpa adanya deskriminasi,
baik yang bersedia mengikuti penelitian maupun yang menolak untuk
menjadi reponden penelitian. Semua subjek dalam penelitian ini akan
diberikan hak sama dengan tetap memberikan asuhan ke petugas
kesehatan yang optimal sesuai standar prosedur operasional yang ada baik
yang bersedia maupun menolak untuk menjadi responden. Responden juga
mempunyai hak untuk menjaga privacynya dengan merahasiakan semua
data yang diambil saat penelitian. Data yang diberikan oleh responden
akan dijaga kerahasiaannya, mulai dari tahap pengambilan data, analisa
data, maupun saat publikasi.

5. Beneficiency (Asas Kemanfaatan)

Dalam asas kemanfaatan harus memiliki tiga prinsip yaitu bebas


penderitaan, bebas eksploitasi, dan bebas resiko. Bebas penderitaan bila
ada di dalam pemberian informasi dan pengetahuan yang tidak berguna,
sehingga merugikan responden, resiko yang dimaksudkan adalah peneliti
menghindarkan responden dari bahaya dan keuntungan kedepannya.
Tujuan dari penelitian adalah untuk member informasi tentang critical
pain observation tool maka dapat menambah pengetahuan, menerapkan
pengkajian sesak nafas pada pasien kritis serta berperan dalam mengurangi
hari lama rawat.

6. Maleficience

Peneliti tidak akan menimbulkan kerugian kepada responden,


peneliti akan menjamin kenyamanan, tidak akan menyakiti, dan tidak akan
membahayakan responden baik secara fisik maupun psikologis.
DAFTAR PUSTAKA

Andra Saferi Wijaya, Yessi Mariza Putri. (2013). KMB 1 Keperawatan Medikal
Bedah(Keperawatan Dewasa). Yogyakarta : Nuha Medika
Aspiani, R. Y. (2016). Buku Ajar Keperawatan Klien Gangguan Kardiovaskuler
Aplikasi NIC&NOC. Jakarta; EGC.
Brunner&Suddart, (2000). Buku Ajar: keperawatan Medikal Bedah Volume 2.
Jakarta: EGC.
Brunner&Suddart. (2013). Keperawatan Medikal Bedah Edisi 12. Jakarta : EGC
Dinas Kesehatan Provinsi Bengkulu. 2019. Profil Kesehatan Provinsi Bengkulu
2019. Dinkes Provinsi Bengkulu
Irianto,K. (2017). Anatomi Fisiologi (Edisi Revisi). Bandung: Alfabeta
Kemenkes RI. 2016. Profil Kesehatan Indonesia. Jakarta: Kemenkes
Mulyadi. 2015. Efektifitas Relaksasi Napas Dalam Pada Pasien Hipertensi
Dengan Gejala Nyeri Kepala Di Puskesmas Baki Sukoharjo
Mulyadi H. 2019. Pengaruh Terapi Musik Klasik Terhadap Penurunan Intensitas
Nyeri Pada Post Operasi Fraktur Tertutup Pada Ekstremitas Bawah Di
Rsup H Adam Malik Medan Tahun 2019
PPNI (2016). Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia: Definisi dan Indikator
Diagnostik, Edisi 1. Jakarta: DPP PPNI
Rizqi & Ricky. 2019. Penerapan Terapi Musik Klasik Dalam Menurunkan Nyeri
Pada Pasien Ca Mammae Literaure Review
Syahrial S. 2019. Pengaruh Terapi Musik Klasik Terhadap Penurunan Tekanan
Darah Pada Pasien Hipertensi Di Panti Sosial Tresna Werdha Teratai
Palembang Tahun 2019
Wade Carlson. 2016. Mengatasi Hipertensi. Bandung: Nuansa Cendikia.
WHO. 2015. Word Healt Organization e-journal keperawatan. Diakses 19
september 2018.

Anda mungkin juga menyukai