DISUSUN OLEH:
GITA FEBRIANTI
NIM.P0 5120218009
GITA FEBRIANTI
NIM. P0 5120218009
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Tekanan darah tinggi (hipertensi) merupakan salah satu masalah
kesehatan utama setiap negeri karena bisa menimbulkan penyakit
jantung dan stroke otak yang mematikan. Hipertensi dianggap masalah
kesehatan serius karena kedatangannya seringkali tidak kita sadari dengan
sedikit, jika memang ada, gejala yang nyata. Penyakit ini bisa terus
bertambah parah tanpa disadari hingga mencapai tingkat yang mengancam
hidup pasiennya (Wade, 2016).
Hipertensi menurut Word Health Organization (WHO) adalah
suatu kondisi dimana pembuluh darah memiliki tekanan darah sistolik
diatas 140 mmHg atau tekanan darah diastolik diatas 90 mmHg.
Peningkatan tekanan darah tersebut terjadi sebagai tanda dari suatu
masalah kesehatan yang sedang dialami seseorang (WHO, 2015).
Menurut World Health Organization/WHO (2016). Sekitar 1
milyar penduduk di seluruh dunia menderita hipertensi dimana dua
pertiganya terdapat di negara-negara berkembang.Hipertensi menyebabkan
8 juta penduduk di seluruh dunia meninggal setiap tahunnya, dimana
hampir 1,5 juta penduduk diantaranya terdapat di kawasan Asia tenggara.
Hipertensi telah menjadi masalah utama dalam kesehatan masyarakat
sehingga WHO menunjukkan, di seluruh dunia sekitar 972 juta orang
penghuni bumi mengidap hipertensi. Kejadian hipertensi meningkat
disetiap negara dan dilihat dari prevalensi lansia yang menderita hipertensi
berjumlah lebih dari 600 juta orang (Triyanto, 2017).
Jumlah hipertensi di Indonesia berdasarkan hasil yang didapatkan
menurut usia ≥18 tahun sebesar 25,8%. Prevalensi hipertensi di Indonesia
yang diperoleh melalui kuesioner terdiagnosis oleh tenaga kesehatan
sebesar 9,4%. Didiagnosis oleh tenaga kesehatan yang sedang minum
obat sebesar 9,5%. Jadi terdapat 0,1% yang minum obat sendiri.
Responden yang mempunyai tekanan darah normal tetapi sedang minum
obat hipertensi sebesar 0,7%. Jadi jumlah hipertensi di Indonesia sebesar
26,5%. (Kemenkes RI, 2016).
Di Indonesia jumlah kasus hipertensi sebesar 63.309.620 orang dan
angka kematian di Indonesia akibat hipertensi sebesar 427.218 kematian.
Hipertensi terjadi pada kelompok dengan umur 31 sampai 44 tahun
sekitar (31,6%), umur 45 sampai 54 tahun (45,3%), umur 55 sampai 64
tahun (55,2%) (Rikesdas Kementerian Kesehatan RI, 2018)
Jumlah penduduk di Provinsi Bengkulu dengan penyakit hipertensi
disetiap tahunnya selalu masuk kedalam 10 besar penyakit yang diderita
masyarakat. Prevelensi hipertensi menurut data hasil Riskesdas tahun
2018 didapatkan persentase penduduk yang mengalami hipertensi dari
tahun 2007-2018 di Provinsi Bengkulu yaitu pada tahun 2007 tercatat
tercatat penderita hipertensi sebesar 22,2%, pada tahun 2013 meningkat
menjadi 25,8% dan data terakhir pada tahun 2018 sebesar 31,7%. Hal ini
menunjukkan angka kejadian hipertensi di Provinsi Bengkulu terus
meningkat (Riskesdas, 2018).
Prevalensi penyakit hipertensi di Kota Bengkulu berdasarkan data
dari Dinas Kesehatan Provinsi Bengkulu pada tahun 2015 sebanyak 3.297
(28,3%), tahun 2016 sebanyak 5.204 (14,7%), tahun 2017 sebanyak 4.254
(2%), tahun 2018 berjumlah 83.193 orang (9%) dan tahun 2019 sebanyak
60.732 orang penderita hipertensi. (Dinas Kesehatan Provinsi Bengkulu,
2019).
Tanda dan gejala hipertensi yang dikeluhkan penderita tidak
semuanya sama. Keluhan gampang marah-marah atau sering pusing
seperti yang selama ini dimitoskan juga bukan gejala khas dari hipertensi.
Sehingga terkadang penderita hipertensi yang datang ke dokter umumnya
sudah parah, karena tidak mengetahui bahwa dirinya mengidap hipertensi.
Jadi sangat penting bagi seseorang untuk berperilaku positif dengan
memeriksakan tekanan darah secara rutin atau berkala (British, 2012).
Hipertensi dapat mengakibatkan komplikasi seperti stroke,
kelemahan jantung, penyakit jantung koroner (PJK), gangguan ginjal dan
lain-lain yang berakibat pada kelemahan fungsi dari organ vital seperti
otak, ginjal dan jantung yang dapat berakibat kecacatan bahkan kematian.
Hipertensi atau yang disebut the silent killer yang merupakan salah satu
faktor resiko paling berpengaruh penyebab penyakit jantung
(cardiovascular). (Delta, 2010).
Pada umumnya pentalaksanaan pengobatan Hipertensi untuk
menurunkan nyeri dapat dilakuklan dengan Terapi farmakologis dan non
farmakologis. Untuk menurunkan nyeri secara farmakologi meliputi
analgesik dengan penggunaan opioid. Obat opioid ini berfungsi untuk
penghilang rasa sakit yang bekerja dengan reseptor opioid di dalam sel
tubuh, obat ini dibuat dari tanaman opium seperti morfin, dengan efek
samping memperlambat pernapasan dan detak jantung (Rahayuwati,
Ibrahim, & Komariah, 2018).
Sedangkan terapi non farmakologi salah satunya ialah terapi musik
dan teknik nafas dalam. Terapi musik merupakan suatu bentuk terapi
dibidang kesehatan yang menggunakan musik dan aktivitas musik untuk
mengatasi masalah dalam berbagai aspek fisik, psikologis, kognitif dan
kebutuhan sosial individu yang mengalami cacat fisik (Faridah, 2016).
Selain itu efek yang ditimbulkan seperti menurunkan nyeri dan membuat
relaksasi. Rangsangan musik meningkatkan pelepasan endorfin sehingga
mengurangi kebutuhan obat analgesik (Rilla, dkk. 2017).
Terapi musik merupakan salah satu tindakan untuk mengatasi
nyeri, individu yang mengalami kesakitan akan merasa rileks saat
mendengar music. Musik memberikan distraksi dan disasosiasi opiate
endogen dibeberapa fosi di dalam otak, termasuk hipotalamus dan system
limbik (Joyce & Hawks, 2014). New Zealand Society for Music Therapy
(NZSMT) menyatakan bahwa terapi music terbukti efektivitasnya untuk
implementasi pada bidang kesehatan, karena music dapat menurunkan
kecemasan, nyeri, stress,dan menimbulkan mood yang positif
(Economidou, 2012).
Terapi relaksasi nafas dalam (slow deep breathing) merupakan
salah satu bentuk asuhan keperawatan yang dalam hal ini perawat
mengajarkan pasien bagaimana cara melakukan nafas dalam,nafas lambat
(menahan inspirasi secara maksimal) dan bagaimana menghembuskan
nafas secara perlahan. Selain dapat menurunkan intensitas nyeri, teknik
relaksasi juga merupakan metode yang efektif untuk mengurangi
nyeripada pasien yang mengalami nyeri kronis. Relaksasi sempurna dapat
mengurangi ketegangan otot, rasa jenuh dan kecemasan sehingga dapat
menghambat stimulasi nyeri.
Penelitian terdahulu tentang relaksasi napas dalam terkait dengan
hipertensi yang pernah dilakukan sebelumya yaitu oleh Stania (2014)
dengan judul “Pengaruh Teknik Relaksasi Napas dalam dan Teknik
Distraksi Terhadap Perubahan Intensitas Nyeri Pada Pasien Post Operasi”.
Hasil dari penelitian ini adalah terdapat pengaruh bermakna dari teknik
relaksasi napas dalam terhadap perubahan intensitas nyeri pada pasien
post operasi.
Kemudian untuk penelitian lainnya yang dilakukan oleh Harun
Mulyadi Cecep Triwibowo, S,Kep.M.Sc (2019) tekait Hipertensi dengan
judul “Pengaruh Terapi Musik Klasik Terhadap Penurunan Intensitas
Nyeri Pada Post Operasi Fraktur Tertutup Pada Ekstremitas Bawah Di
Rsup H Adam Malik Medan Tahun 2019” didapatkan hasil yaitu: Intenitas
Nyeri Pasien Post Fraktur di RSUP H. Adam Malik Medan Tahun 2019
sebelum dilakukan terapi distraksi rata – rata sedang, Intensitas Nyeri
Pasien Post Fraktur di RSUP H. Adam Malik Medan Tahun 2019 Setelah
dilakukan terapi distraksi rata – rata sedang, Berdasarkan hasil analisis Uji
Wilcoxon maka terdapat adanya pengaruh Intensitas nyeri pasien post
operasi fraktur sebelum dan sesudah terapi music klasik di RSUP H.
Adam Malik Medan Tahun 2019 dengan nilai p = 0,000
Dari hasil analisa diatas penulis tertarik untuk meneliti terapi
music klasik dan slow deep breathing sebagai penerapan untuk
menurunkan nyeri kepala pada pasien hipertensi.
B. Rumusan Masalah
Bagaimana gambaran pelaksanaan Penerapan Terapi Musik Klasik
dan Slow Deep Breathing pada pasien Hipertensi di Kota Bengkulu tahun
2021
C. Tujuan Penulisan Studi Kasus
1. Tujuan Umum
Dapat mengetahui pengaruh pelaksanaan Penerapan Terapi
Musik Klasik dan Slow Deep Breathing pada pasien Hipertensi di
Kota Bengkulu tahun 2021
2. Tujuan Khusus
a. Mendeskripsikan karakteristik pasien Hipertensi di Kota
Bengkulu tahun 2021
b. Mendeskripsikan fase pra interaksi pelaksanaan Penerapan
Terapi Musik Klasik dan Slow Deep Breathing pada pasien
Hipertensi di Kota Bengkulu tahun 2021
c. Mendeskripsikan fase Orientasi pelaksanaan Penerapan Terapi
Musik Klasik dan Slow Deep Breathing pada pasien Hipertensi
di Kota Bengkulu tahun 2021
d. Mendeskripsikan fase interaksi pelaksanaan Penerapan Terapi
Musik Klasik dan Slow Deep Breathing pada pasien Hipertensi
di Kota Bengkulu tahun 2021
e. Mendeskripsikan fase terminasi pelaksanaan Penerapan Terapi
Musik Klasik dan Slow Deep Breathing pada pasien Hipertensi
di Kota Bengkulu tahun 2021
a. Bagi Pasien
Meningkatkan pengetahuan dan memandirikan pasien melalui
terapi Musik Klasik dan teknik Slow Deep Breathing pada pasien
Hipertensi.
b. Bagi Akademik
Bentuk pemberian kepada mahasiswa keperawatan sebagai
sumber bacaan untuk menambah wawasan dan bahan masukan
dalam kegiatan belajar mengajar yang berkaitan dengan pemberian
terapi Musik Klasik dan teknik Slow Deep Breathing pada pasien
Hipertensi
d. Bagi Penulis
TINJAUAN PUSTAKA
2. Klasifikasi Hipertensi
WHO (Word Health Organization) dan ISH (International
Hypertension) mengelompokkan hipertensi sebagai berikut : Tabel 2.1
Klasifikasi Hipertensi
a. Hipertensi primer
Sekitar 95% pasien dengan hipertensi merupakan hipertensi
esensial (primer). Penyebab hipertensi esensial ini masih belum
diketahui, tetapi faktor genetik dan lingkungan diyakini memegang
peranan dalam menyebabkan hipertensi esensial faktor genetik
dapat menyebabkan kenaikan aktivitas dari sistem renin
angiotensin-aldosteron dan sistem saraf simpatik serta sensitivitas
garam terhadap tekanan darah. Selain faktor genetik, faktor
lingkungan yang mempengaruhi antara lain yaitu konsumsi garam,
obesitas dan gaya hidup yang tidak sehat serta konsumsi alkohol
dan merokok. Penurunan ekskresi natrium pada keadaan tekanan
arteri normal merupakan peristiwa awal dalam hipertensi esensial.
Penurunan ekskresi natrium dapat menyebabkan meningkatnya
volume cairan, curah jantung, dan vasokonstriksi perifer sehingga
tekanan darah meningkat. Faktor lingkungan dapat memodifikasi
ekspresi gen pada peningkatan tekanan. Stres, garam dalam jumlah
besar dianggap sebagai faktor eksogen dalam kegemukan,
merokok, aktivitas fisik yang kurang, dan konsumsi hipertensi
(Shep, 2005).
b. Hipertensi sekunder
Hipertensi sekunder adalah hipertensi persisten akibat
kelainan dasar kedua selain hipertensi esensial. Hipertensi ini
penyebabnya diketahui dan menyangkut ±10% dari kasus
hipertensi. Hipertensi sekunder diderita sekitar 5% pasien
hipertensi. Hipertensi sekunder disebabkan oleh adanya penyakit
komorbid atau penggunaan obat-obat tertentu yang dapat
meningkatkan tekanan darah. Obat-obat tertentu, baik secara
langsung ataupun tidak, dapat menyebabkan hipertensi atau
memperberat hipertensi. Pengertian penggunaan obat tersebut atau
mengobati kondisi komorbid yang menyertainya merupakan tahap
pertama dalam penanganan hipertensi sekunder (Shep, 2005).
3. Etiologi
Beberapa penyebab hipertensi sesuai dengan tipe masing-masing
hipertensi, anatara lain yaitu :
a Hipertensi esensial atau hipertensi primer
Merupakan 90% dari seluruh kasus hipertensi adalah
hipertensi esensial yang didefinisikan sebagai peningkatan
tekanan darah yang tidak diketahui penyebabnya (idiopatik).
Beberapa faktor diduga berkaitan dengan berkembangnya
hipertensi esensial seperti berikut ini:
1) Genetik : individu yang mempunyai riwayat keluarga
dengan hipertensi, beresiko tinggi untuk mendapatkan
penyakit ini.
2) Jenis kelamin dan usia : laki-laki berusia 30 – 50 tahun
dan wanita pasca menoupous beresiko tinggi mengalami
hipertensi.
3) Diet : konsumsi diet tinggi garam atau lemak secara
langsung berhubungan dengan berkembangnya
hipertensi.
4) Berat badan : obesitas (>25% diatas BB ideal) dikaitkan
dengan berkembangnya hipertensi.
5) Gaya hidup:merokok dan konsumsi alkohol dapat
meningkatkan tekanan darah , bila gaya hidup menetap.
(Udjianti, 2010).
b Hipertensi sekunder
Pada hipertensi sekunder diperkirakan sekitar 5% - 10%
disebabkan oleh penyakit ginjal, kemudian sekitar 1% - 2%
diakibatkan oleh kelainan hormonal atau dapat juga diakibatkan
oleh pemakaian obat tertentu seperti pil KB. Selain itu, tumor
pada kelenjar adrenalin yang menhasilkan hormon epineprin
(adrenalin) noreprineprin (noradrenalin) yang sering disebut
feokromositoma, juga memberikan andil terhadap munculnya
hipertensi sekunder (Ridwan, 2009). Penyebab lain terjadinya
hipertensi sekunder, antara lain :
1) Penggunaan kontrasepsi hormonal (estrogen)
Oral kontrasepsi yang berisi estrogen dapat
menyebabkan hipertensi melalui mekanisme renin-
aldosteron-mediated volume expansion. Dengan oral
kontrasepsi, tekanan darah normal kembali setelah
beberapa tahun.
2) Penyakit parenkim dan vaskular ginjal
Merupakan penyebab utama hipertensi sekunder.
Hipertensi renovaskular berhubungan dengan
penyempitan satu atau lebih arteri besar yang secara
langsung membawa darah keginjal. Penyakit parenkim
ginjal terkait dengan infeksi, inflamasi, dan perubahan
struktur, serta fungsi ginjal.
3) Gangguan endokrin
Disfungsi medula adrenal atau korteks adrenal dapat
menyebabkan hipertensi sekunder. Adrenal-mediated
hypertension disebabkan kelebihan primer aldosteron,
kortisol, dan katekolamin (Udjianti, 2013)
c Faktor resiko
Hipertensi apabila tidak diobati dapat berakibat fatal, salah
satunya adalah kerusakan pada berbagai organ target seperti
otak, ginjal, aorta, pembuluh darah perifer sampai kerusakan
pada retina mata. Kerusakan ini diakibatkan oleh ambulatory
blood presure.
Faktor resiko pemicu penyakit hipertensi dapat disebabkan
oleh factor keturunan, usia yang semakin tua, massa tubuh yang
berlebihan, konsumsi garam melebihi ambang batas, keturunan
yang memiliki riwayat penyakit hipertensi, pola makan dan
gaya hidup yang kurang sehat, serta aktivitas olah raga yang
kurang. Salah satu pemicu munculnya penyakit hipertensi
adalah asupan bahan makanan yang kurang memenuhi syarat
sebagai mkanan sehat.
Penyakit hipertensi berbanding lurus dengan usia
seseorang. Oleh karena itu, salah satu factor resiko seseorang
terkena penyakit stroke adalah bertambahnya usia. Usia rawan
hipertensi biasanya berada pada kisaran 31 tahun – 55 tahun.
Penyakit hipertensi semakinmeningkat ketika seseorang
memasuki usia paruh baya sekitar 40 tahun bahkan bisa
berlanjut sampai usia lebih dari 60 tahun apabila tidak
ditanggulangi sedini mungkin. (Ridwan, 2009).
4. WOC
Sumber : Aspiani dkk 2016
Elastisitas
Arteriosklerosis
Hipertensi
Perubahan struktur
Vasokontriksi
Gangguan sirkulasi
Vasokontrik Spasme
Resistensi Suplai si pembuluh sistemik koroner
arteriole
Pembuluh O2 Darah ginjal
Darah otak
vasokont iskemia
diplopia
Bload flow riksi
Nyeri Ganggui Nyeri
Akut an Respon RAA Afterloa akut Resiko
Pola d cedera
tidur Rangsangan
Aldosteron
sinkop
Fatique
Retensi Na Penuru
Resiko perfusi nan
Serebral tidak curah Intoleransi
Efektif Edema jantung aktivitas
5. Kelebihan
Patofisiologi
volume cairan
Mekanisme yang mengontrol kontriksi dan relaksasi pembuluh
darah terletak di pusat vasonator. Pada medula otak, dari pusat
vasomotor inilah bermula jaras saraf simpatis, yang berlanjut ke bawah
ke korda spinalis dan keluar dari kolumna, medula spinalis ganglia
simpatis di toraks dan abdomen. Rangsangan pusat vasomotor
dihantarkan dalam bentuk impuls yang bergerak ke bawah melalui
sistem saraf simpatis ke ganglia simpatis. Pada titik ini, neuron pre
ganglion melepaskan asetilkolin, yang akan merangsang serabut saraf
pasca ganglion ke pembuluh darah. Berbagai faktor seperti kecemasan
dan ketakutan dapat mempengaruhi respon pembuluh darah terhadap
rangsangan vasokontriksi. Individu dengan hipertensi sangat sensitif
terhadap norepinefrin, meski tidak diketahui dengan jelas mengapa
bisa terjadi hal tersebut. Pada saat yang bersamaan, sistem saraf
simpatis merangsang pembuluh darah sebagai respon rangsang emosi,
kelenjar adrenal juga terangsang. Hal ini mengakibatkan tambahan
aktifitas vasokontriksi, medula adrenal mensekresi epinefrin yang
menyebabkan vasokontriksi (Brunner & Suddart, 2001).
6. Manifestasi klinis
Manifestasi klinis gejala umum yang ditimbulkan akibat menderita
hipertensi tidak sama pada setiap orang, bahkan terkadang timbul tanpa
gejala. Secara umum gejala yang dikeluhkan oleh penderita hipertensi
sebagai berikut :
a. Sakit kepala, pusing dan keletihan disebabkan oleh penurunan
perfusi darah akibat vasokonstriksi pembuluh darah
b. Nyeri kepala oksipital yang terjadi saat bangun dipagi hari karena
peningkatan tekanan intrakranial yang disertai mual dan muntah.
c. Rasa pegal dan tidak nyaman pada tengkuk
d. Perasaan berputar seperti tujuh keliling serasa jatuh
e. Jantung berdebar atau detak jantung terasa cepat
f. Telinga berdenging
7. Komplikasi
Tekanan darah tinggi apabila tidak diobati dan ditanggulangi, maka
dalam jangka panjang akan menyebabkan kerusakan arteri di dalam
tubuh sampai organ yang mendapat suplai darah dari arteri tersebut.
Komplikasi hipertensi dapat terjadi pada organ-organ sebagai berikut :
a. Jantung
b. Otak
c. Ginjal
d. Mata
c. Glukosa
Hiperglikemia (diabetes melitus adalah pencetus hipertensi)
dapat di akibatkan oleh peningkatan kadar katekolamin
(meningkatkan hipertensi).
d. Kalium serum
f. Pemeriksaan tiroid
h. Urinalisa
j. Asam urat
k. Steroid urine
l. IVP
m. Foto dada
n. CT scan
9. Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan penunjang hipertensi menurut Aspiani, (2016)
adalah :
a. Laboratorium
1) Albuminaria pada hipertensi karena kelainan parenkim
ginjal
2) Kreatinin serum dan BUN meningkat pada hipertensi
karena parenkim ginjal dengan gagal ginjal akut
3) Darah perifer lengkap
4) Kimia darah (kalium, natrium, kreatinin, gula darah puasa).
b. EKG
c. Foto Rontgen
10. Penatalaksanaan
a. Penatalaksanaan farmakologis yang diterapkan pada penderita
hipertensi adalah sebagai berikut :
1) Terapi oksigen
2) Pemantauan hemodinamik
3) Pemantauan jantung
4) Obat-obatan
a) Diuretik, bekerja melalui berbagai mekanisme untuk
mengurangi curah jantung dengan mendorong ginjal
meningkatkan ekskresi garam dan airnya, juga dapat
menurunkan TPR.
b) Penyekat saluran kalsium menurunkan kontraksi otot polos
jantung atau enzim dengan mengintevensi influx kalsium
yang dibutuhkan untuk kontraksi.
c) Penghambat enzim mengubah angiotensin II atau inhibitor
ACE berfungsi untuk menurunkan angiotensin II dengan
menghambat enzim yang diperlukan untuk mengubah
angiotensin I menjadi angiotensin II.
d) Antagonis (penyekat) respektor beta (β-blocker), terutama
penyekat selektif, bekerja pada reseptor beta di jantung
untuk menurunkan kecepatan denyut dan curah jantung.
e) Vasodilator arteriol digunakan untuk menurunkan TPR,
misalnya : natrium, nitroprusida, nikardipin, hidralazin,
nitrogliserin dll.
f) Antagonis reseptor alfa (α-blocker) menghambat reseptor
alfa
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Tidak ada nyeri nyeri ringan nyeri sedang nyeri hebat nyeri sangat
hebat
Gambar 2.1 b. Alat ukur visual analog scale (VAS) (Tamsuri, 2012)
Keterangan :
0: tidak merasakan nyeri
1: nyeri sedikit dan jarang dirasakan
2: merasaskan nyeri tetapi tidak mengganggu aktivitas
3: merasakan nyeri dan kadang-kadang mengganggu konsentrasi
4: merasakan nyeri dan mengganggu konsentrasi tetapi masih bisa
beraktivitas
5: nyeri yang dirasakan menghalangi beberapa aktivitas
6: nyeri yang dirasakan sangat mengganggu aktivitas biasa
7: perhatian terpusat pada nyeri sehingga menghalangi aktivitas
sehari-hari
8: merasa sangat nyeri dan kesulitan melakukan aktivitas
9: tidak dapat menahan rasa nyeri dan tidak dapat melakukan
aktivitas
10: nyeri yang dirasakan sangat hebat tidak peduli dengan keadaan
sekitar
Berikut adalah tahap-tahap terapi musik klasik dan slow deep breathing:
1. Karakteristik pasien
2. Fase Prainteraksi
3. Fase Orientasi
Pada Fase ini dimulai saaat perawat bertemu dengan klien untuk
pertama kalinya. Hal utama yang perlu dikaji adalah alasan klien minta
pertolongan yang akan mempengaruhi terbinanya hubungan perawat-
klien. Dalam memulai hubungan tugas pertama adalah membina rasa
percaya, penerimaan dan pengertian komunikasi yang terbuka dan
perumusan kontrak dengan klien. Pada tahap ini perawat melakukan
kegiatan sebagai berikut: memberi salam dan senyum pada klien,
melakukan validasi (kognitif, psikomotor, afektif), memperkenalkan nama
perawat, menanyakan nama kesukaan klien, menjelaskan kegiatan yang
akan dilakukan, menjelaskan waktu yang dibutuhkan untuk melakukan
kegiatan, menjelaskan kerahasiaan (Stuart & Sundeen, 1995).
Menurut Stuart G. W, 2009 tugas perawat dalam tahap ini adalah:
1) Membina hubungan saling percaya, menunjukkan penerimaan dan
komunikasi yang terbuka.
2) Membuat kontrak (waktu, tempat pertemuan, dan topik
pembicaraan) dengan klien dan menjelaskan atau mengklarifikasi
kembali kontrak yang telah disepakati bersama.
3) Mengidentifikasi masalah klien yang umumnya dilakukan dengan
menggunakan teknik komunikasi pertanyaan terbuka.
4) Merumuskan tujuan interaksi dengan klien, penerapan terapi musik
klasik dan slow deep breathing dilakukan dengan tujuan
menurunkan nyeri pada pasien hipertensi. Tindakan terapi music
klasik dan slow deep breathing dilakukan dengan waktu yang
digunakan selama terapi 15 menit dalam sehari (pagi pukul 10.00)
dilakukan selama 7 hari.
Dalam fase orientasi, prosedur tindakan penerapan terapi music klasik dan
slow deep breathing yaitu:
a. Salam terapeutik
b. Evaluasi dan validasi
Menanyakan kabar pasien dan sesak yang dirasakan
c. Informed concent
1) Menjelaskan tindakan penerapan terapi musik klasik, tujuan,
manfaat, waktu dan persetujuan pasien.
2) Menjelaskan tindakan slow deep breathing, tujuan, manfaat,
waktu dan persetujuan pasien.
3) Memberikan kesempatan untuk bertanya.
4) Meminta persetujuan klien.
4. Fase Interaksi
Tahap interaksi/kerja dalam komunikasi terapeutik,yang dilakukan
adalah memberi kesempatan pada klien untuk bertanya, memulai kegiatan
dengan cara yang baik, melakukan kegiatan sesuai rencana. Perawat
memenuhi kebutuhan dan mengembangkan pola-pola adaptif klien.
Interaksi yang memuaskan akan menciptakan situasi/suasana yang
meningkatkan integritas klien dengan meminimalisasi ketakutan,
ketidakpercayaan, kecemasan dan tekanan pada klien (Stuart & Sundeen,
1995).
Pada fase interaksi penerapan terapi music klasik dan slow deep
breathing prosedur tindakan yang dilakukan yaitu:
1) Siapkan musik klasik di handphone
2) Beritahu pada pasien bahwa terapi music klasik dan slow deep
breathing akan segera dimulai
3) Atur pasien dengan posisi duduk dengan kedua tangan diletakkan
diatas perut
4) Lakukan pengkajian nyeri dengan skala 0-10
5) Batasi stimulasi external seperti suara berisik, panggilan telepon
selama terapi
6) Pastikan audio dalam keadaan baik dan suara volume tidak terlalu
kuat
7) Nyalakan musik
8) Kemudian anjurkan pasien melakukan napas secara perlahan dan
dalam melalui hidung
9) Tarik napas selama 3 detik, rasakan abdomen mengembang saat
menarik napas
10) Tahan selama 3 detik
11) Kerutkan bibir dengan membentuk huruf O, keluarkan melalui
mulut dan hembuskan napas secara perlahan.
5. Fase Terminasi
Pada fase terminasi dalam komunikasi terapeutik kegiatan yang
dilakukan oleh perawat adalah menyimpulkan hasil, tindak lanjut dengan
klien, melakukan kontrak (waktu, tempat dan topik), mengakhiri
wawancara dengan cara yang baik (Stuart & Sundeen, 1995).
Prosedur tindakan yang dilakukan pada fase ini adalah:
1) Mencuci tangan
2) Evaluasi klien terhadap tindakan yang dilakukan
3) Kontrak waktu untuk pertemuan selanjutnya
4) Atur kembali ruangan dan alat yang dipakai
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
C. Fokus Studi
Fokus studi pada kasus ini yaitu upaya perawat dalam pemenuhan
kebutuhan rasa nyaman yaitu nyeri pada pasien Hipertensi dengan inovasi
penerapan terapi musik klasik dan slow deep breathing dalam
meningkatkan rasa nyaman dalam menurunkan nyeri pada pasien
hipertensi.
D. Definisi Operasional Fokus Studi
1. Studi kasus ini didefinisikan sebagai suatu proses pelayanan
keperawatan dengan Penerapan Terapi Musik Klasik dan Slow
Deep Breathing pada pasien Hipertensi.
2. Pasien dalam studi kasus ini di definisikan sebagai orang yang
menerima pelayanan kesehatan di Provinsi Bengkulu dan
mendapat diagnosa medis hipertensi
3. Penerapan Terapi Musik Klasik dan Slow Deep Breathing dalam
studi kasus ini di defisnisikan sebagai suatu tindakan keperawatan
yang dilakukan untuk menurunkan nyeri kepala pada pasien
hipertensi.
F. Prosedur Penelitian
Penelitian diawali dengan penyusunan usulan proposal studi kasus
tentang Pemberian terapi musik klasik dan slow deep breathing pada klien
hipertensi di Provinsi Bengkulu. Setelah proposal disetujui dewan penguji,
maka tahap yang akan dilakukan adalah pengurusan surat izin penelitian.
Selanjutnya penulis akan mulai melakukan gambaran karakteristik klien,
mendeskripsikan fase pra interaksi, fase orientasi, fase interaksi dan fase
terminasi.
Kemudian penulis menyusun prosedur tindakan berdasarkan riset :
1. Wawancara
3. Studi Dokumentasi
1. Self Determinan
3. Confidentially (Kerahasiaan)
4. Justice (Keadilan)
6. Maleficience
Andra Saferi Wijaya, Yessi Mariza Putri. (2013). KMB 1 Keperawatan Medikal
Bedah(Keperawatan Dewasa). Yogyakarta : Nuha Medika
Aspiani, R. Y. (2016). Buku Ajar Keperawatan Klien Gangguan Kardiovaskuler
Aplikasi NIC&NOC. Jakarta; EGC.
Brunner&Suddart, (2000). Buku Ajar: keperawatan Medikal Bedah Volume 2.
Jakarta: EGC.
Brunner&Suddart. (2013). Keperawatan Medikal Bedah Edisi 12. Jakarta : EGC
Dinas Kesehatan Provinsi Bengkulu. 2019. Profil Kesehatan Provinsi Bengkulu
2019. Dinkes Provinsi Bengkulu
Irianto,K. (2017). Anatomi Fisiologi (Edisi Revisi). Bandung: Alfabeta
Kemenkes RI. 2016. Profil Kesehatan Indonesia. Jakarta: Kemenkes
Mulyadi. 2015. Efektifitas Relaksasi Napas Dalam Pada Pasien Hipertensi
Dengan Gejala Nyeri Kepala Di Puskesmas Baki Sukoharjo
Mulyadi H. 2019. Pengaruh Terapi Musik Klasik Terhadap Penurunan Intensitas
Nyeri Pada Post Operasi Fraktur Tertutup Pada Ekstremitas Bawah Di
Rsup H Adam Malik Medan Tahun 2019
PPNI (2016). Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia: Definisi dan Indikator
Diagnostik, Edisi 1. Jakarta: DPP PPNI
Rizqi & Ricky. 2019. Penerapan Terapi Musik Klasik Dalam Menurunkan Nyeri
Pada Pasien Ca Mammae Literaure Review
Syahrial S. 2019. Pengaruh Terapi Musik Klasik Terhadap Penurunan Tekanan
Darah Pada Pasien Hipertensi Di Panti Sosial Tresna Werdha Teratai
Palembang Tahun 2019
Wade Carlson. 2016. Mengatasi Hipertensi. Bandung: Nuansa Cendikia.
WHO. 2015. Word Healt Organization e-journal keperawatan. Diakses 19
september 2018.