Anda di halaman 1dari 25

MAKALAH

TAFSIR TAHLILI
SURAH AL ANKABUT AYAT 45
Diajukan untuk memenuhi salah satu tugas
Mata Kuliah “TAFSIR TAHLILI”
Dosen Pengampu: Ilham Nawawi, M.Pd.

Disusun Oleh :

1. Indra Ari Irvan

2. Dwi Laduni

3. Khusnul Khotimah

PRODI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR


SEKOLAH TINGGI ILMU AL-QUR’AN (STIQ) AN-NUR
TEBING SULUH KEC. LEMPUING KAB. OKI
SEMATERA SELATAN
2020

b
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Warahmatullaahi Wabarakaatuh.

Dengan mengucapkan puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, yang 
telah memberikan rahmat, serta karunianya, sehingga kami dapat menyelesaikan
makalah sederhana ini.
Makalah ini disusun dalam rangka memenuhi tugas mata kuliah Tafsir
Tahlili yang berjudul “TAFSIR TAHLILI SURAH AL ANKABUT AYAT 45”.
Kami menyadari bahwa penyusunan makalah ini masih jauh dari sempurna.
Untuk itu kami sangat mengharapkan kritik dan saran yang sifatnya membangun
guna sempurnanya makalah ini.
Semoga dengan adanya makalah ini dapat bermanfaat bagi pembaca serta
dapat dijadikan acuan untuk membuat makalah lebih baik lagi kedepannya.

Wassalamu’alaikum Warahmatullaahi Wabarakaatuh.

Tebing Suluh, 16 Desember 2020

Penulis

i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ................................................................................... i
DAFTAR ISI................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN............................................................................... 1
A. Latar Belakang ........................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah....................................................................................... 2
C. Tujuan Penulisan........................................................................................ 2
BAB II PEMBAHASAN................................................................................. 3
A. Pengertian Metode Penafsiran Tahlili............................................................. 3
B. Sejarah Tafsir Tahlili.................................................................................. 7
C. Analisis Ayat Terhadap Qs. Al-Ankabut 29:45.......................................... 9
BAB III PENUTUP ....................................................................................... 19
A. Kesimpulan................................................................................................. 19
DAFTAR PUSTAKA...................................................................................... 21

ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pembahasan tafsir merupakan hal yang penting pada setiap waktu dan
tempat. Hal itu dikarenakan kebutuhan umat Islam akan petunjuk yang
terkandung di dalam al-Qur‟an al karim untuk menjalani kehidupan di dunia
ini. Adapun kebutuhan petunjuk manusia sangat beragam satu sama lainnya
dalam satu daerah, atau masa dahulu dengan masa kontemporer. Oleh karena
itu tafsir al-Qur‟an membutuhkan aktualisasi agar dapat mudah dipahami oleh
masyarakat Muslim dengan realita mereka yangberbeda-beda adat
kebiasaannya.
Para ahli tafsir pun berusaha untuk menafsirkan al Qur‟an dengan
pendekatan dan metode yang berbeda-beda antara satu ahli tafsir dengan
lainnya.Mengenai pendekatan tafsir yang melihat pada sumber penafsiran, ahli
tafsir mengkategorikan tafsir al-Qur‟an menjadi 4 kategori; pertama tafsir bil
ma‟tsur (riwayah).Kedua, tafsir bil ra‟yi (dirayah).Ketiga, tafsir bil-lughah
(bahasa).Keempat, tafsir isyari.
Adapun metode tafsir yang digunakan oleh para ahli tafsir dalam
penafsiran al Qur‟an dapat dikategorikan menjadi empat metode; Pertama,
Metode tafsir Ijmali.Kedua, metode tafsir tahlili.Ketiga, metode tafsir
maudhu‟i.Keempat, metode tafsir muqoron.Pembagian kategori ini
merupakan pengkategorian baru, karena kategori ini muncul setelah penelitian
pada buku-buku tafsiryang beragam, sehingga para ahli ilmu membagi metode
tafsir yang digunakan oleh para ahli tafsir menjadi 4 macam.
Metode tahlili merupakan metode penafsiran yang digunakan oleh para
ulama dahulu dan paling luas cakupan bahasannya. Hal itu dikarenakan
mufasir membagi beberapa jumlah ayat pada satu surat dan menjelaskannya
kata perkata secara rinci dan komprehensif.
Pada kesempatan ini, penulis berusaha untuk membahas metode tafsir
tahlili.Dari empat metode penafsiran yang dijelaskan di paragraph
sebelumnya, makalah ini membatasi pembahasannya pada metode penafsiran
tahlili

1
B. Rumusan Masalah
1. Apa Pengertian Metode Penafsiran Tahlili ?
2. Bagaimana Sejarah Tafsir Tahlili ?
3. Bagaimana Analisis Ayat Terhadap Qs. Al-Ankabut 29:45 ?
C. Tujuan Penlisan
1. Untuk Mengetahui Pengertian Metode Penafsiran Tahlili
2. Untuk Mengetahui Sejarah Tafsir Tahlili
3. Untuk Mengetahui Analisis Ayat Terhadap Qs. Al-Ankabut 29:45

2
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Metode Penafsiran Tahlili
Tafsir tahlili adalah suatu metode tafsir yang bermaksud menjelaskan
kandungan ayat-ayat al-Qur‟an dari seluruh aspeknya. 1 Tafsir tahlili ialah mengkaji
ayat-ayat al-Quran dari segala segi dan maknanya, ayat demi ayat dan surat demi
surat, sesuai dengan urutan dalam mushaf utsmani. Untuk itu, pengkajian metode ini
kosa kata dan lafazh, menjelaskan arti yang dikehendaki, sasaran yang dituju dan
kandungan ayat, menjelaskan apa yang dapat diistinbath-kan dari ayat serta
mengemukakan kaitan antara ayat-ayat dan relevansinya dengan surat sebelum dan
sesudahnya. Untuk itu, ia merujuk kepada sebab-sebab turun ayat, hadist-hadist
Rasulullah Saw. dan riwayat dari para sahabat dan tabi‟in.
Secara etimologis, metode tahlili berarti menjelaskan ayat-ayat al-Qur‟an
dengan meneliti aspeknya dan menyingkap seluruh maksudnya, mulai dari uraian
makna kosa kata, makna kalimat, maksud setiap ungkapan, kaitan antar pemisah
(munasabat), hingga sisi keterkaitan antar pemisah itu (wajh al munasabat) dengan
bantuan latar belakang turunnya ayat (asbab al nuzul), riwayat-riwayat yang berasal
dari Nabi Saw., Sahabat dan tabi‟in.2
Metode tafsir taḥlīlī adalah salah satu metode tafsir yang sistematis
karena kandungan al-Qur’an dijelaskan berdasarkan urutan ayat-ayat di dalam
mushaf yang ditinjau dari berbagai aspeknya meliputi mufaradāt ayat,
munāsabah ayat yaitu melihat hubungan antara ayat sebelum dan sesudahnya,
sebab turun ayat, makna ayat secara global, tinjauan hukum yang terkandung
dan tambahan penjelasan tentang qira’at, i’rab dan keistimewaan susunanan
kata-kata pada ayat-ayat yang ditafsirkan serta diperkaya dengan pendapat
imam mazhab.3 Metode tafsir taḥlīlī disebut juga metode tajzi’iyah oleh
Muhammad Baqir al-Shadr yang berarti “ tafsir yang menguraikan
berdasarkan bagian-bagian atau tafsir parsial”.4

1
1Abd. Al-Hayy al-Farmawi, Metode Tafsir Maudhu‟i (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada,
1996 ), 12.
2
Rosihon Anwar, Ilmu Tafsir (Bandung : Pustaka Setia Press, 1999), 159
3
M. Quraish Shihab, Kaidah Tafsir: Syarat, Ketentuan, dan Aturan yang Patut Anda Ketahui
dalam Memahami Ayat-Ayat al-Qur’an, (Jakarta: Lentera Hati, 2013), h. 378.
4
Muhammad Baqir al-Shadr, al Tafsir al Maudhū’I wa al-Tafsīr al-Tajzii fil Qur’anil karīm,
(Beirut: Dar al Ta’aruf), h. 9.

3
Metode taḥlīlī memliki ciri tersendiri dibandingkan dengan metode
tafsir yang lain. Berikut ini beberapa ciri-ciri dari metode tafsir taḥlīlī :
Membahas segala sesuatu yang menyangkut satu ayat itu. Tafsir taḥlīlī terbagi
sesuai dengan bahasan yang ditonjolkannya, seperti hukum, riwayat dan lain-
lain. Pembahasannya disesuikan menurut urutan ayat. Titik beratnya adalah
lafadznya. Menyebutkan munasābah ayat, sekaligus untuk menunjukkan
wihdah al-Qur’an. Menggunakan asbab nuzul ayat. Mufasir beranjak ke ayat
lain setelah ayat itu dianggap selesai meskipun masalahnya belum selesai,
karena akan diselesaikan oleh ayat lain. Persoalan yang dibahas tuntas.5
Oleh karena itu metode taḥlīlī memiliki ciri khas dibandingkan
metode tafsir yang lain yaitu penafsiran al-Qur’an dengan menggunakan
metode tahlili merupakan penafsiran yang bersifat luas dan menyeluruh
(komprehensif). Ciri yang paling dominan dari metode tafsir taḥlīlī ini tidak
hanya pada penafsiran al-Qur’an dari awal mushaf sampai akhir, melainkan
terletak pada pola pembahasan dan analisisnya.6
Metode tahlili adalah, metode yang dipergunakan kebanyakan ulama pada
masa-masa dahulu. Akan tetapi, di antara mereka ada yang mengemukakan ke
semua hal tersebut di atas dengan panjang lebar (ithnab), ada yang dengan
singkat (i‟jaz), dan ada pula yang mengambil langkah
pertengahan(musawwah). Mereka sama-sama menafsirkan al-Quran dengan
menggunakan metode tahlili, tetapi dengan corak yang berbeda.
Maka tafsir ini menekankan pada analisis redaksi ayat dan
dihubungkan dengan hukum yang berlaku dalam masyarakat.7
Ciri-ciri utama metode tafsir ini antara lain sebagai berikut:

1. Membahas segala sesuatu yang menyangkut ayat itu dari segala aspeknya.
2. Mengungkapkan asbab an-nuzul ayat yang ditafsirkannya, jika ayat
tersebut memang memiliki asbab an-nuzul.

3. Menafsirkan ayat per ayat secara berurutan, dalam pembahasannya selalu


melihat korelasi antar ayat, untuk menemukan makna penafsiran itu.

5
Rachmat Syafi’I, Pengantar Ilmu Tafsir, (Bandung: Pustaka SETIA, 2006), h. 241-242.
6
Zuailan, “Metode Tafsir Tahlili”, Diya al-Afkar, vol.iv, no.01, Juni 2016
7
Khoiruddin Nasution, Pengantar Studi Islam (Yogyakarta: Tazzafa, 2010 ), 125.

4
4. Tafsir tahlili dapat bercorak tafsir bi al-ma‟tsur, kalau titik tekan
pembahasannya pada riwayat, baik berupa hadis, atsar sahabat, atau
pendapat ulama, yang kemudian dikuatkan oleh rasio (ra‟yu). Sebaliknya,
bisa bercorak tafsir bi ar-ra‟yi, jika titik tekan uraiannya berdasarkan rasio,
sementara riwayat diposisikan hanya sebagai penguat asumsiasumsi logika
penafsiran tersebut.8
Para ulama membagi wujud tafsir al-Quran dengan metode tahlili
kepada tujuh macam, yaitu: tafsir bi al-ma‟tsur, tafsir bi al-ra‟yi, tafsir shufi,
tafsir falsafi, tafsir fiqih, tafsir „ilmi dan tafsir adabi.9 Atau metode tahlili
memiliki berbagai corak penafsiran, yaitu; al-ma‟tsur, ar-ra‟yi, ash-shufi, al-
fiqhi, alfalsafi, al-ilmi dan al-adabi al-ijtima‟i.10

1. Tafsir bi al-Ma’tsur.
Tafsir bi al-ma‟tsur adalah tafsir yang terbatas pada riwayat
Rasulullah Saw., para sahabat, murid-murid dari kalangan tabi‟in (orang-
orang yang dekat dengan sahabat nabi), dan tabi‟it tabi‟in.11 Penafsiran
(penjelasan) ayat al-Quran terhadap maksud ayat al-Quran yang lain.
Termasuk dalam tafsir bi al-ma‟tsur adalah penafsiran al-Quran dengan
hadist-hadist yang diriwayatkan dari Rasulullah Saw. Penafsiran al-Quran
dengan pendapat para sahabat berdasarkan ijtihad mereka, dan penafsiran
al-Quran dengan pendapat tabi‟in. Di antara kitab tafsir bi al-ma‟tsur
adalah kitab: Jami‟ al-Bayan fi Tafsir al-Quran, karangan Imam Ibnu Jarir
al-Thabari.

2. Tafsir bi al-Ra’yi Kedua


tafsir bi al ra‟yi, yaitu penafsiran al-Qur‟an dengan ijtihad,
terutama setelah seorang mufassir betul-betul mengetahui perihal Bahasa
Arab, asbab al nuzul, nasikh-mansukh dan beberapa hal yang diperlukan

8
Abd. Al-Hayy al-Farmawi, Metode Tafsir Maudhu‟i (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada,
1996), 12.
9
Moh. Nurhakim, Metode Studi Islam (Malang: Universitas Muhamadiyyah, 2004), 375
10
Badri Khaeruman, Sejarah Perkembangan Tafsir Al-Qur‟an (Bandung: CV. Pustaka Setia,
2004), 95
11
Yusuf Al-Qardhawi, Berinteraksi dengan Al-Qur‟an (Jakarta: Gema Insani Press, 1999),

5
oleh lazimnya seorang penafsir. Tafsir bi al-ra‟yi (rasional) juga dikenal
dengan tafsir bi al-dirayah12 .
Penafsiran yang dilakukan mufassir dengan menjelaskan ayat al-
Quran berdasarkan pendapat atau akal. Para ulama menegaskan bahwa
tafsir bi alra‟yi ada yang diterima dan ada yang ditolak. Suatu penafsiran
bi al-ra‟yi dapat dilihat dari kualitas penafsirannya. Apabila ia memenuhi
sejumlah persyaratan yang dikemukakan para ulama tafsir, maka
diterimalah penafsirannya. Jika tidak, maka ditolak penafsirannya. Di
antara kitab tafsir bi al-ra‟yi adalah kitab: Madarik Tanzil wa Haqaiq al-
Ta‟wil, karangan alUstadz Mahmud al-Nasafi.

3. Tafsir Shufi
Penafsiran yang dilakukan para sufi yang pada umumnya dikuasai
oleh ungkapan mistik. Ungkapan-ungkapan tersebut tidak dapat dipahami
kecuali oleh orang-orang sufi dan yang melatih diri untuk menghayati
ajaran tasawuf. Di antara kitab tafsir sufi adalah kitab: tafsir al-Qur‟an al-
Adzim, karangan Imam al-Austuri.

4. Tafsir Fiqih
Penafsiran ayat al-Quran yang dilakukan (tokoh) suatu mazhab
untuk dapat dijadikan sebagai dalil atas kebenaran mazhabnya. Tafsir fiqih
banyak ditemukan dalam kitab-kitab fiqih karangan imam-imam dari
berbagai mazhab yang berbeda, sebagaimana kita temukan sebagian ulama
mengarang kitab tafsir fiqih adalah kitab Ahkam al-Quran karangan al-
Jasshash.

5. Tafsir Falsafi
Penafsiran ayat-ayat al-Quran dengan menggunakan teori-teori
filsafat. Contoh kitab tafsir falsafi adalah kitab Mafatih al-Ghaib yang
dikarang alFakhr al-Razi. Dalam kitab tersebut ia menempuh cara ahli

12
Said Agil Husin Al Munawar, Al Qur‟an Membangun Tradisi Kesalehan Hakiki (Jakarta:
Ciputat Press 2003), 71-72.

6
filsafat ketuhanan dalam mengemukakan dalil-dalil yang didasarkan pada
ilmu kalam dan simantik (logika).

6. Tafsir Ilmi
Tafsir Ilmi yaitu penafsiran ayat-ayat kauniyah yang terdapat
dalam alQur‟an, dengan cara mengaitkannya dengan ilmu-ilmu
pengetahuan modern. Kajian tafsir ini adalah untuk memperkuat teori-teori
ilmiah dan bukan sebaliknya. Di antara kitab tafsir „ilmi adalah kitab al-
Islam Yata‟adda, karya Wahid al-Din Khan.13

7. Tafsir Adabi
Penafsiran ayat-ayat al-Quran dengan mengungkapkan segi
balaghah alQuran dan kemu‟jizatannya, menjelaskan makna-makna dan
sasaran yang dituju al-Quran, mengungkapkan hukum-hukum alam, dan
tatanan-tatanan kemasyarakatan yang dikandungnya. Tafsir adabi
merupakan corak baru yang menarik pembaca dan menumbuhkan
kecintaan kepada al-Quran serta memotivasi untuk menggali makna-
makna dan rahasia al-Quran. Maka tafsir ini menekankan pada analisis
redaksi ayat dan dihubungkan dengan hukum yang berlaku dalam
masyarakat.14 Di antara kitab tafsir adabi adalah kitab tafsir al-Manar,
karya Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha.
B. Sejarah Tafsir Tahlili
Jika dilihat sejarah tafsir taḥlīlī telah mengalami beberapa fase
perkembangannya. Pada fase Awal tafsir ini hanya terdiri dari tafsiran atas
kata-kata yang ambigu, aneh dan sulit. Tafsir taḥlīlī terhadap kata-kata secara
kebahasaan jarang sekali pada masa nabi karena tidak adanya kebutuhan
masyarakat terhadap model tafsir seperti ini karena kemampuan bahasa
mereka serta tidak bercampur dengan orang ‘Ajam/non-Arab sehingga
dikatakan bahwa pada era nabi belum ada tafsir secara kebahasaan.15

13
Rosihon Anwar, Ilmu Tafsir (Pustaka Setia Press, Bandung, 1999), 165-172
14
Khoiruddin Nasution, Pengantar Studi Islam (Yogyakarta: Tazzafa, 2010 ), 125.
15
Muhsin Abd al-Hamid, Tathawwur tafsīr al-Qur’an, (Darul Kutub wa an-Nasyar, 1989), h.
17.

7
Kemudian pada fase kedua terjadi perluasan penafsiran besarbesaran.
Hal itu menjadi kebutuhan primer bagi orang-orang yang baru masuk Islam, di
mana mereka tidak menyaksikan langsung turunnya wahyu sehingga mucul
kebutuhan terhadap tafsir bahasa sedikit demi sedikit hingga Islam menyebar
di timur dan Barat.16 Dalam perkembangan selanjutnya muncul tafsir tahlili
setelah ilmu-ilmu keIslaman dibukukan. Dan muncul ilmu baru yang
berkhidmat pada al-Qur’an al karim. Mulai analisa nash ayat al-Qur’an dengan
bentuk yang lebih luas. Pada masa ini muncul kamus-kamus kebahasaan dan
ilmu bahasa semakin berkembang seperti llmu nahwu, sharaf dan balaghah.
Dengan demikian muncul penjelasan nash ayat al-Qur’an secara lebih luas
dalam kerangka ilmu bahasa Arab yang bertujuan menjelaskan kata-kata yang
asing/gharīb dalam al-Qur’an. Oleh karena itu ditulislah bukubuku yang
menjelaskan makna kata dalam al-Qur’an secara khusus, misalnya kitab
majāzul Qur’an yang ditulis oleh Abu ‘Ubaidah (w.210 H) yang menafsirkan
petunjuk kata al-Qur’an, menjelaskan qira’at-qira’at serta membahas gaya
bahasa al-Qur’an dengan tafsir kebahasaan secara murni. Abu Ubaidah peletak
pertama kajian balaghah al-Qur’an dari sisi tasybih, Kināyah, Taqdīm dan
Takhīr.
Selain itu muncul kitab ma’ānil Qur’an yang ditulis Abu Zakaria al-
Fara’ (W.207) yang kosentrasi pada lafaz dari segi I’rab dan derivasinya.
Sementara Ma’ānil Qur’an karya Al-Akhfasy (w.215) lebih fokus pada al-
Aswāț al-Lughawiyah dan makhārijul Hurūf serta menjelaskan bentuk-bentuk
qira’at yang beragam. Ia juga menjelaskan lafaz dan posisinya dalam kalam
Arab secara bahasa, nahw, sharf dan balaghah. Kemudian terjadi
perkembangan dalam analisa istinbat penetapan hukum fiqh yang selanjutnya
mereka mulai mengkaji nash al-Qur’an dari aspek fiqh. Hal ini dibuktikan
dengan munculnya kitab Ahkāmul Qur’an karya Imam Syafi’i (w.204 H).
Demikian juga pengikut mazhab maliki menulis persoalan yang sama,
misalnya Isma’il bin Ishaq al-Qadhi (w.282 H) atau sama juga dengan yang
ditulis Imam al-Thahawi pengikut mazhab Hanafi. Pada era ini bermunculan
juga kitab tentang sebab turun ayat/ asbābun nuzūl seperti yang ditulis oleh
16
Musy’an Abdu Su’ud al-‘Isawi, Tafsīr Tahlīli Tārikh wa Tathawur, (al-Mu’tamar al’Ilmi as-
Tsani likuliyyatil ‘Ulumul Insaniyyah, 2013), h. 65.

8
Ali bin Al Madini (w.234H). Kitab tentang ilmu qira’at juga mulai ditulis
seperti kitab yang dikarang oleh Abi Ubaid bin al-Qasim bin Salam (w.224
H), Ahmad bin Zubair al-Kufi dan Ismail bin Ishaq al-Qadi (w.282 H). Begitu
juga pada era ini sudah ada pembukuan kitab ilmu nasikh mansūkh yang
dikarang oleh Qatadah bin Da’amah al-Sadusi (w.117 H), Ibnu Syihab al-
Zuhri (w.124 H) dan Muqatil bin Sulaiman (w.105H).
Seiring waktu karena kebutuhan terhadap tafsir yang mencakup
seluruh isi al-Qur’an maka pada akhir abad ke-3 dan awal abad ke-4 Hijrah
(ke-10 M) muncul tafsir yang mengkaji keseluruhan isi alQur’an dan membuat
model paling maju dari tafsir taḥlīlī seperti tafsir yang ditulis oleh Ibnu Majah,
al-Thabari.17
Metode tafsir taḥlīlī merupakan metode penafsiran al-Qur’an yang
digunakan oleh para mufassir klasik dan terus berkembang hingga kini. Dalam
perkembangannya kitab-kitab tafsir yang menggunakan metode ini ada yang
ditulis dengan sangat panjang seperti karya Ibnu Jarir al-Thabari, Fakhr al-Din
al-Razi dan tafsir karya al-Alusi. Sementara di antara karya tafsir dengan
mentode taḥlīlī yang ditulis dengan penjelasan sedang adalah seperti tafsir
karya al-Naisaburi dan Iman al-Baidhawi. Adapun contoh karya tafsir yang
menggunakan metode ini dengan penjelasan yang ringkas namun jelas dan
padat adalah kitab tafsir karya Jalal al-din Suyuthi.18

C. Analisis Ayat Terhadap Qs. Al-Ankabut 29:45


1. Kajian Nama Surah
Surah al-Ankabut yang berarti laba-laba adalah surah yang ke-29
dalam susunan al-Qur’an dan diturunkan di Mekah.19 Surah al-Ankabut
terdiri dari 69 ayat. Mayoritas ulama berpendapat bahwa semua ayatnya
turun sebelum Nabi Muhammad saw. berhijrah ke Madinah. Ada juga
riwayat yang menyatakan bahwa seluruh ayatnya justru turun sesudah
hijrah. Pendapat ketiga menyatakan, sebagian Makkiyah dan sebagian

17
M. Quraish Shihab dkk, Sejarah dan ‘Ulum al-Qur’an, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2008), h.
174.
18
M. Quraish Shihab dkk, Sejarah dan ‘Ulum al-Qur’an, h. 172-173.
19
Hamka, Tafsir al-Azhar, (Cet. I; t.tp: Pustaka Nasional Singapura, 1986), h. 6391.

9
lainnya Madaniyah. Penganut pendapat ini, antara lain menyatakan bahwa
ayat pertama sampai dengan ayat ketiga turun sesudah Nabi saw.
berhijrah. Ada pendapat lain menyatakan bahwa awal surah ini sampai
dengan ayat sebelas adalah ayat-ayat yang turun setelah hijrah. Ulama
menyatakan bahwa surah ini turun sebelum hijrah mengakui bahwa ia
merupakan surah Makkiyah yang terakhir.20
Nama al-Ankabut terambil dari kata tersebut yang terdapat pada
ayatnya yang ke-41. Tema utama surah ini adalah penjelasan tentang
hakikat iman, bahwa iman bukan sekedar ucapan dengan lidah, tetapi
hakikatnya tercermin pada keteguhan menghadapi gelombang siksa dan
penganiayaan dan godaan. Ini karena manusia tidak akan dibiarkan
mengucapkan, ‚Kami telah beriman‛, tanpa diuji untuk diketahui hakikat
iman yang bersemai dalam hati mereka. Hampir seluruh ayat surah ini
berkisar pada tema tersebut.21
Awal surah secara tegas berbicara tentang ujian hidup dan
keimanan, sambil menyinggung sikap orang mukmin dan munafik. Ini
disusul dengan kisah-kisah Nabi Nuh, Ibrahim, Luth, dan Syuaib as.
Demikian juga uraian tentang ‘Ad, Tsamud, Qarun, Fir’aun, dan Haman
yang dipaparkan secara sekilas, tetapi kesemuanya juga menggambarkan
aneka rintangan, ujian, dan penganiayaan yang terbentang di jalan dakwah
menuju keimanan, sepanjang generasi-generasi manusia, yang dilengkapi
dengan uraian tentang akidah dan kebatilan penyembahan berhala.22
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa tujuan utamanya agar
kaum Muslim tabah menghadapi aneka rintangan dan membuktikan
ucapan keimanan mereka dengan perjuangan dan pengamalan.
2. Munasabah Ayat
         
       
      

20
M. Quraish Shihab, Al-Lubab (Makna, Tujuan, dan Pelajaran dari Surah-Surah al-Qur’an),
(Cet. I; Jakarta: Lentera Hati, 2012), h. 89
21
M. I; Jakarta: Lentera Hati, 2012), h. 90.
22
Hamka, Tafsir al-Azhar, h. 6392.

10
Terjemahnya:
Bacalah apa yang telah diwahyukan kepadamu, Yaitu al-kitab (al-
Quran) dan dirikanlah shalat. Sesungguhnya shalat itu mencegah dari
(perbuatanperbuatan) keji dan mungkar. dan Sesungguhnya mengingat
Allah (salat) adalah lebih besar (keutamaannya dari ibadat-ibadat yang
lain). dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan.23
Ayat 45 berpesan kepada Nabi Muhammad saw. lebih-lebih
umatnya, bahwa bacalah apa yang telah diwahyukan kepadamu, yaitu al-
Kitab, yakni al-Qur’an dan laksanakanlah shalat secara bersinambung
sesuai dengan rukun, syarat dan sunnahsunnahnya. Sesungguhnya shalat,
yakni yang dilaksanakan sesuai tuntunan Allah swt. dan Rasul-Nya, dapat
mencegah yang melakukannya dari keterjerumusan dalam kekejian dan
kemungkaran.24
Hal ini disebabkan bahwa substansi shalat adalah mengingat Allah
swt. Siapa yang mengingat Allah swt., dia akan terpelihara dari
kedurhakaan, dosa, dan ketidakwajaran. Sesungguhnya mengingat Allah
swt. yakni shalat adalah lebih besar daripada ibadah-ibadah yang lain.
Allah swt. mengetahui apa yang kamu kerjakan, baik maupun buruk. Ayat
ini ada kaitannya dengan ayat-ayat sebelumnya meneganai penyembahan-
penyembahan terhadap berhala tepatnya pada ayat ke-41, yaitu:
       
       
     
Terjemahnya:
Perumpamaan orang-orang yang mengambil pelindung-pelindung
selain Allah adalah seperti laba-laba yang membuat rumah. dan
Sesungguhnya rumah yang paling lemah adalah rumah laba-laba kalau
mereka mengetahui.25
Pada ayat di atas memaparkan mengenai orang-orang yang
menyembah berhala lalu menjadikannya sebagai Tuhan contohnya seperti

23
Kementerian Agama RI, Al-Qur’an dan Maknanya, h. 401.
24
M. Quraish Shihab, Al-Lubab (Makna, Tujuan, dan Pelajaran dari Surah-Surah al-Qur’an),
(Cet. I; Jakarta: Lentera Hati, 2012), h. 113.
25
Kementerian Agama RI, al-Qur’an Tajwid Warna, Terjemah Per Kata, Terjemah Inggris, h.
401.

11
laba-laba. Perumpaan orang-orang yang dengan susah payah menjadikan
berhala-berhala sebagai pelindung-pelindung selain Allah swt. seperti
laba-laba yang membuat rumah untuk menjadi pelindung baginya. Padahal
sesungguhnya rumah yang paling rapuh ialah rumah laba-laba. Kalau
mereka mengetahui, maka pastilah mereka tidak menjadikannya sebagai
pelindung-pelindung.
Pada ayat 41 menjelaskan tentang penyembahan berhala dan itu
adalah seburuk-buruk perlakuan, lalu Allah swt. dalam firmannya pada
ayat 45 menegaskan bahwa hanya dengan menyembah Allah swt. lebih
besar keutamaannya dibandingkan peribadatan-peribadatan yang lain.
Sementara pada ayat 42, yaitu:
           
 
Terjemahnya:
Sesungguhnya Allah mengetahui apa saja yang mereka seru selain
Allah. dan Dia Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.26 Ayat ini bagaikan
menyatakan sesungguhnya Allah swt. mengetahui hakikat dan substansi
apa saja yang mereka seru selain Allah swt.,baik berhala, benda langit,
atau makhluk hidup, dan sebagainya. Semunya amat lemah, dan lagi-lagi
mereka tidak mengenal dirinya, bahkan berhala berhala itu adalah benda-
benda mati yang tidak mengenal dirinya sendiri, maka bagaimana mereka
dapat memberi perlindungan. Hanya Allah swt. yang Maha Mengetahui,
dan Dia yang Maha Perkasa, lagi Maha Bijaksana. Olehnya itu Allah
memperjelas pada ayat 45 bahwa Dialah sebaik-baik pelindung dari
segalanya.
3. Syarah Ayat
a. Teks Ayat dan Terjemahannya:
        
      
        
Terjemahnya:

26
Kementerian Agama RI, al-Qur’an Tajwid Warna, Terjemah Per Kata, Terjemah Inggris, h.
401.

12
Bacalah apa yang telah diwahyukan kepadamu, Yaitu Al kitab
(Al Quran) dan dirikanlah shalat. Sesungguhnya shalat itu mencegah
dari (perbuatan- perbuatan) keji dan mungkar. dan Sesungguhnya
mengingat Allah (shalat) adalah lebih besar (keutamaannya dari
ibadat-ibadat yang lain). dan Allah mengetahui apa yang kamu
kerjakan.27
b. Syarah Kosa Kata

Kata ‫ ا ْت ُل‬utlu terambil drai kata tilawah, yang pada mulanya


berarti mengikuti. Seorang yang membaca adalah seorang yang hati
atau lidahnya mengikuti apa yang terhidang dari lambang-lambang
bacaan, huruf demi huruf, bagian demi bagian, dari apa yang
dibacanya. Al-Qur’an membedakan kata ini dengan kata qara’a yang
juga mengandung pengertian yang sama. Kata tilawah dalam berbagai
bentuknya jika yang dimaksud adalah ‘membaca’ itu karena ada
makna lain dari kata ini. Maksudnya objek bacaan adalah sesuatu yang
agung dan suci ataupun benar. Adapun kata qira’ah, objeknya lebih
umum, mencakup yang suci atau tidak suci, kandungannya boleh jadi
positif atau negatif. Itu sebabnya ayat ini menggunakan kata utlu
karena objeknya adalah wahyu. Sedang, perintah membaca pada
wahyu pertama adalah iqra’ yang objeknya dapat mencakup segala
macam bacaan, termasuk wahyu-wahyu al-Qur’an. Boleh jadi juga
kata utlu, yang secara harfiah berarti ‘ikuti’ yang dipilih untuk teks-
teks yang objeknya suci atau benar untuk mengisyaratkan bahwa apa
yang dibaca itu hendaknya diikuti dengan pengamalan.

Huruf ‫ ما‬dalam ayat mer upakan maf’ul bih yang jumlahnya


musta’rifah. Huruf ini bermakna apa, yakni ayat yang diwahyukan
Allah kepada Nabi-Nya.

‫اوحي‬Kata Uhiya terdiri dari akar kata wa – ha dan ya yang


pada umumnya dalam kamus besar bahasa arab berarti wahyu, ilham,

27
Kementerian Agama RI, Al-Qur’an dan Maknanya, h. 401

13
isyarat, dan petunjuk. Wahyu merupakan masdar dan jamaknya
wuhiy.28 Terkait dengan makna dasar ini, Ibnu Faris juga
menambahkan bahwa yang dimaksud dengan kata wahaya adalah
penyampaian suatu ilmu secara tersembunyi antara satu dengan yang
lainnya.29
Manna’ al-Qatta menjelaskan dalam kitabnya Pengantar Studi
Ilmu alQur’an bahwa kata wahyu mempunyai 2 pengertian dasar, yaitu
tersembunyi dan cepat. Wahyu yang dimaksud adalah Kitab wa al-
Risalah, semua pada bab wahyu memberi artian bahwa wahyu adalah
isyarat cepat dan ada yang mengatakan wahyu adalah bunyi, suara.30
Oleh sebab itu, dikatakan ‚wahyu‛ ialah informasi secara tersembunyi
dan cepat yang khusus ditujukan kepada orang tertentu tanpa diketahui
orang lain.31 Menurut manna al-Qattan wahyu adalah isyarat cepat, itu
terjadi melalui pembicaraan yang berbentuk simbol atau lambang, dan
terkadang melalui suara dan terkadang melalui sebagian anggota
badan.

‫اليك‬Kata ‫الي‬ merupakan huruf jar yang berfungsi menjar


huruf setelahnya, sedangkan kata ‫ ك‬adalaah damir yang dijar tetap
atasnya fathah pada tempatnya jar. Ia bermakna kepdamu yang
ditunjuk kepada Nabi Muhammad saw.

‫الكتاب‬Al-Kitab adalah al-Qur’an. Al yang dibubuhkan pada


awal kata kitab dipahami dalam arti kesempurnaan. Dengan demikian,
al-Kitab adalah kitab yang paling sempurna. Sedemikian sempurnanya
sehingga tidak ada satu kitab yang wajar dinamai al-Kitab kecuali
kitab yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw., ini. Karena itu,
begitu kata tersebut terdengar maka pikiran seseorang akan langsung

28
M. Quraish Shihab, dkk., Ensiklopedia Al-Quran Kajian Kosa Kata (Cet. I; Jakarta: Lentera
Hati, 2007), h. 1052
29
Ahmad bin Faris bin Zakariya al-Qazwaini al-Razi, Abu al-Husain, Mu’jam Maqayis
alLugah, Juz VI (Cet. VI; Beirut: Dar al-Fikr, 1979M/1399H), h. 93.
30
Abu al-Husain Ahmad bin Faris bin Zakariya, Mu‘jam Maqayi@s al-Lugah, Juz VI, h. 93.
31
Manna’ al-Qattan, Pengantar Studi Ilmu Al-Qur’an (Cet 1, Jakarta : Pustaka Al-Kautsar),
2006, h. 34.

14
menuju pada al-Qur’an, walaupun dalam redaksinya tidak disebut
bahwa yang dimaksud adalah al-Qur’an.32

‫اقم‬Kata ini berasal dari akar kata qama yang berarti tegak atau
terus menerus dan tetap. Akan tetapi ketika kata ini dalam bentuk
aqama yuqimu maka kata ini digunakan dalam konteks shalat. Artinya
memelihara secara terus-menerus dan menegakkannya. Al-Qurtubi
menjelaskan sebagaimana yang dikemukakan oleh Quraish Shihab
bahwa kata yuqimu al-Salah artinya ‘menunaikan shalat dengan
memenuhi rukun, syarat, dan sunnahnya secara sempurna menurut
ketentuan waktunya’.33

‫الصالة‬Kata salah adalah bentuk masdar dari kata kerja yang


tersusun dari huruf-huruf sad, lam dan wauw. Susunan dari huruf-huruf
tersebut, menurut Ibnu Faris dan al-‘Asfahni, yaitu membakar dan
berdoa atau meminta.34 Abu ‘Urwah menjelaskan sebagaiman yang
dikutip oleh Quraish Shihab bahwa ada juga yang berpendapat bahwa
makna denotatifnya adalah silah yakni berhubungan. Karena shalat
menghubungkan anatar hamba dengan Tuhannya, atau sala salwan
yaitu tulang ekor. Karena ketika sujud tulang ekor tempatnya berada
paling tinggi; atau luzum yaitu tetap. Karena shalat berarti tetap
melakukan apa yang diwajibkan Allah. Namun, ketiga pendapat ini,
lanjut Abu ‘Urwah nampaknya dipengaruhi dengan terma shalat di
dalam Islam sehingga tidak dapat dijadikan hujjah. Intinya kata shalat
hanya digunakan untuk sesuatu bentuk ibadah yang diajarkan oleh
rasulullah saw., yaitu berupa sejumlah ucapan dan perbuatan yang
dimaksudkan untuk mengagungkan Allah swt., dimulai dengan takbir
dan diakhiri dengan salam dengan sejumlah syarat yang khusus yang
berkaitan dengannya.35

32
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah, Vol. I ( Cet. II; Jakarta: Lentera Hati, 2009), h. 88.
33
M. Quraish Shihab, dkk., Ensiklopedia Al-Quran Kajian Kosa Kata, h. 771.
34
76 hmad bin Faris bin Zakariya al-Qazwaini al-Razi, Abu al-Husain, Mu’jam Maqayis
alLugah, Juz III, h. 300.
35
M. Quraish Shihab, dkk., Ensiklopedia Al-Quran Kajian Kosa Kata, h. 896.

15
‫تنهي‬Kata tanha berasal dari kata naha yanhi yang berarti
mencegah, melarang dan mengharamkan sesuatu.36 Kata tanha jika
berbentuk masdar maka akan memiliki arti sampai batasnya, dari
sinilah kemudian terbentuk kata nihayah yang berarti akhir sesuatu dan
al-Muntaha yang berarti akhir atau tujuan.37 Dilihat dari hubungannya,
maka sesuatu yang dicegah dan dilarang menjadi akhir bagi hal
tersebut.

‫اء‬oo‫الفحش‬Kata al-Fahsya’ atau fahisyah berasal dari kata


fahusya yang berarti jelek, keji. Semua hal yang buruk, baik itu ucapan
maupun perbuatan. Dikatakan pula bahwa al-Fahsya’ adalah semua
perbuatan yang sangat tercela yang sangat buruk bagi pelakunya tetapi
juga bagi lingkungannya. Olehnya kata al-Fasya’ seringkali diartikan
sebagai perbuatan keji. ‘sesuatu yang melampaui batas dalam
keburukan dan kekejian, baik ucapan maupun perbuatan’. Kekikiran,
perzinaan, homoseksual, serta kemusyrikan seringkali ditujukan
dengan kata fahisyahfahsya’.38 Al-Fahsya’ terulang dalam al-Qur’an
sebanyak tujuh kali, sedang kata mungkar terulang sebanyak 15 kali.
Ada tiga ayat yang menggandengkan dua kata itu, yaitu QS. Al Nahl
16: 90, QS. al-Nur 24: 21, dan ayat al-‘Ankabut yang sedang dikaji ini.

‫المنكر‬Adapun mungkar berasal dari kata nakara yang berarti


mengingkari.39 Dalam bentuk masdarnya ia merupakan lawan kata dari
kata ma’ruf, sehingga mungkar berarti semua hal yang tidak diketahui,
dikenali dan diakui. Jika ma’ruf merupakan nama untuk semua
kebijakan, maka mungkar mengandung arti semua hal yang buruk dan
tidak baik. Ibnu Manzur mengungkapkan bahwa mungkar adalah
semua hal yang buruk menurut syariat, diharamkan dan dibencinya. 40

36
Ahmad Warson al-Munawwir, Kamus al-Munawwwir (Cet. IV; Surabaya: Pustaka
Progressif, 1997) h. 1571.
37
79 Ahmad bin Faris bin Zakariya al-Qazwaini al-Razi, Abu al-Husain, Mu’jam Maqayis
alLugah, h. 528.
38
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah , Vol. VI, h. 701.
39
Ibnu Faris, Mu’jam Maqayis al-Lugah, h. 581; Al-Ragib al-‘Asfahani, Mufradat alfaz
alQur’an (Beirut: Dar al-Ma’rifah, t.th), h, 823.
40
Ibnu Manzur, Lisan al-‘Arab, Juz VIII (Kairo: Dar al-Hadis, 2003), h. 695.

16
Lebih jauh lagi menurut beliau , jika al-Ma’ruf berhubungan dengan
al-‘Urf- segala kebajikan, maka alMungkar berhubungan dengan al-
Nukr yakni kebiasaan melakukan kejahatan dan keburukan. Menurut
ibnu Fauzan, al-Mungkar adaah apa yang dilarang syara’ baik dari segi
perkataan, perbuatan dan keyakinan.41 Al-Jibrin mengungkpakn bahwa
al- Mungkar ialah segala bentuk kedurhakaan, dan semua yang
diharamkan dan dilarang Allah swt.42
Dalam Tafsir al-Misbah, M. Quraish Shihab menjelaskan
bahwa mungkar adalah pada awalnya segala hal yang tidak dikenal
sehingga diingkari dan tidak disetujui. Lebih lanjut lagi menurut
beliau,mungkar merupakan kebalikan dari ma’ruf yakni semua hal
yang tidak dikenali, tidak dibenarkan oleh masyarakat, adat istiadat
dan tidak didukung nalar serta bertentangan dengan ajaran agama.
Olehnya, mungkar lebih luas cakupan maknanya dibanding ma’siyah
(kedurhakaan). Anak kecil yang meminum arak adalah mungkar
namun belum bisa dikatakan maksiat sebab anak kecil belum dibebani
tanggung jawab. Demikian juga hal yang mubah bisa saja menjadi
mungkar jika bertentangan dengan kebiasaan masyarakat/adat istiadat
setempat.43

‫لذكر‬Kata ini terdiri dari huruf z,k,r yang pada mulanya berarti
antonim dengan kata lupa. Sebagian yang lain memaknainya dengan
mengucapkan dengan lidah. Makna ini kemudian berkembang menjadi
mengingat,44 karena mengingat sesuatu seringkali mengantarkan lidah
untuk menyebutnya. Demikian juga, menyebut dengan lidah dapat
mengantar hati untuk mengingat lebih banyak lagi apa yang disebut-
sebut itu.

41
Al-Fauzan, al-Amr bi al-Ma’ruf wa al-Nahyu ‘an al-Mungkar wa As-arahuma fi Tahqiq ql-
‘Amm (Makkah al-Mukarramah; Dar al-Tayyibah al-Hudara’, 1424 H), h. 16.
42
Abdullah ibn ‘Abd al-Rahman al-Jibrin, H}ajat al-Basyar ila al-Amr bi al-Ma’ruf wa
alNahy ‘an al-Mungkar (Riyad: Dar al-Watan, 1998), h. 28.
43
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, Vol. VI, h. 702.
44
Adib Bisri, Munawwir A. Fatah; Kamus Indonesia-Arab al-Bisri (Surabaya: Pustaka
Progressif)., h. 221

17
Kata ‫اكبر‬ bermakna lebih besar, ia merupakan isim tafdil dari

kata ‫كبير‬ ) besar) dalam ayat ini ia berfungsi sebagai khabar.45

Kata Akbar terambil dari akar kata yang terdiri dari huruf-huruf
kaf, ba dan ra yang berarti ‚antonym kecil‛. Allah Maha Besar,
sementara ulama berpendapat bahwa kebesaran adalah ‚keagungan‛
dan ‚kekuasaan‛. Pendapat yang dikemukakan Al-Gazali jauh lebih
baik dan sempurna. Menurut Hujjatul Islam itu, kebesaran adalah
‚kesempurnaan zat‛, yang dimaksud dengan zat adalah Wujud-Nya
sehingga kesempurnaan zat-Nya adalah kesempurnaan wujud-Nya.
Selanjutnya, kesempurnaan wujud, ditandai oleh dua hal yaitu
keabadian dan sumber wujud.

‫تصنعون‬Tasna’un digunakan untuk menunjukkan perbuatan


yang dialkukan seseorang yang mahir dan terampil. Maksudnya
kemahiran dan keterampilan itu lahir dari berulang-ulangnya perbuatan
atau bahkan latihan sang pelaku. Atas dasar inilah agaknya sehingga
al-Biqa’i sebagaimana yang dikutip oleh Quraish Shihab bahwa kesan
dari kata tersebut bahwa shalat dan amal shaleh memerlukan latihan
kejiwaan dan pengulangan pengalaman agar ia menjadi kebiasaan yang
melekat.46

BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Metode Tafsir Taḥlīlī dalam perkembangannya dianggap muncul
setelah metode ijmālī karena pada masa sahabat, mayoritas sahabat tidak
membutuhkan penjelasan yang rinci, hal tersebut disebabkan kemampuan
bahasa Arab sahabat yang memadai sehingga tidak memiliki kesulitan
dalam memahami ayat Al Qur’an dan banyak para sahabat yang
menyaksikan bahkan terlibat langsung dengan kondisi saat ayat Al-Qur’an
45
Isma’il Mahmud al-Qasim, I’rab al-Qur’an al-Karim, Juz II (Cet. I; Damaskus: Dar alMunir
wa Dar al-Farabi, 1425), h. 456.
46
88 M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, Vol. X, h. 99.

18
diturunkan. Namun seiring perkembangan zaman, umat Islam jumlahnya
semakin bertambah tidak hanya dari orang Arab tapi juga non-Arab yang
membutuhkan penjelasan petunjuk Al-Qur’an secara lebih rinci. Oleh
karena itu Metode taḥlīlī hadir menyajikan tafsir Al-Qur’an berdasarkan
urutan ayat-ayat Al-Qur’an dalam mushaf ditinjau dari berbagai aspeknya.
Metode Tafsir Taḥlīlī ini dibagi oleh beberapa ulama menjadi
beberapa macam, yaitu tafsir bi al-Ma’tsūr, bi al-Ra’yi, Shūfī, Fiqhī,
Falsafī, ‘Ilmī, dan Adabī al-Ijtimā’ī. Semua bentuk tafsir taḥlīlī memiliki
ciri khasnya sendiri-sendiri. Tafsir bi al ma’tsūr adalah tafsir yang
penafsirannya dengan menggunakan ayat-ayat lain, riwayah Nabi SAW,
sahabat, dan tabi’in. Tafsir bi al-ra’yi adalah tafsir yang penafsirannya
menggunakan metode ijtihad dan penalaran. Tafsir shufi adalah tafsir yang
menekankan pada isyarat-isyarat yang terdapat pada ayat yang
dikemukakan oleh tasawuf. Tafsir fiqhī adalah tafsir yang menekankan
pada tinjauan hukum dari ayat yang ditafsir. Tafsir falsafī adalah tafsir
yang menafsirkan al-Qur’an dengan pendekatan filsafat. Tafsir ‘ilmī
adalah tafsir yang menggunakan pendekatan ilmiah atau teori-teori ilmu
pengetahuan. Tafsir yang terakhir adalah adabī alijtimā’ī , yaitu tafsir yang
menjelaskan kepada hubungan dengan kemasyarakatan.
Tafsir Taḥlīlī jika dibandingkan dengan metode tafsir lainnya
memiliki ciri khusus, ciri-ciri tersebut adalah: Pertama, Para Mufasir
menafsirkan ayat per ayat sesuai dengan urutan dalam mushaf utsmani,
yaitu dimulai dari surat Al-Fatihah dan diakhiri oleh surat an-Nas. Kedua,
Para Mufasir menjelaskan makna yang terkandung dalam al-Qur’an secara
komprehensif dan menyeluruh, baik makna harfiah setiap kata maupun
asbābun nuzulnya. Ketiga, Jika dilihat Bahasa yang digunakan metode
taḥlīlī tidak sesederhana yang dipakai metode tafsir ijmālī.
Seperti halnya metode tafsir yang lain, metode tafsif taḥlīlī ini juga
memiliki beberapa kelebihan dan kekurangan. Di antara kelebihan tafsir
ini adalah ruang lingkupnya luas, memuat berbagai ide dan masih banyak
lagi kelebihan dari tafsir ini. Sementara itu di antara kekurangan metode
ini yaitu al-Qur’an sebagai petunjuk terlihat menjadi parsial, menghasilkan

19
penafsiran yang subyektif, masuknya pemikiran isra’iliat, dan lain-lain.
Dalam sejarahnya Metode tafsir tahlili dalam dunia Islam dimulai sejak
ditulisnya tafsir Jamī’ul Bayān fī Tafsīr al-Qur’ān karya Ibnu Jarir at-
Thabari. Karya at-Thabari ini dianggap sebagai tafsir tertua yang
menggunakan metode tahlili. Imam at-Thabari dalam menjelaskan ayat-
ayat demi ayat dengan menunjuk kepada Hadist Nabi, ucapan sahabat,
aspek kebahasaan dan bebeberapa sumber lainnya untuk menjelaskan ayat
tersebut. Upaya penafsiran seperti ini kemudian banyak diikuti oleh
mufassir lain seperti Ibnu Katsir dan As Suyuthi.

DAFTAR PUSTAKA

Adz-Dzahabi, Muhammad Husain, Al Tafsīr wa al-Mufassirūn. Mesir: Dār al-


Kutub al-Haditsah, 1976), Jilid. 1, cet. 2.
Al-Farmawi, Abd Hayy. Al-Bidāyah fi al-Tafsīr al-Maudhū’i: Dirāsah
Manhajiyyah Maudhū’iyyah. terjemahan Rosihon Anwar, Metode Tafsir
Maudhū’I Dan Cara Penerapannya. Bandung: Pustaka Setia, 2002.
Hamid, Muhsin Abd, Tathawwur Tafsīr Al-Qur’an, Dārul Kutub Wa An-Nasyar,
1989.

20
Supiana dan M. Karman, ‘Ulumul Qur’an dan Pengenalan Metodologi Tafsir,
Bandung: Pustaka Islamika, 2012.
Syafi’i, Rachmat, Pengantar Ilmu Tafsir, Bandung: Pustaka SETIA, 2006
Abd Al-Rahman Al-Suyuti, Al Itqan Fi „Ulum Al-Qur‟an, (Madinah
Munawarah: Majma‟ Al-Malik Al-Fahd, 1426H)
Misy‟an Al-Aisawi, Al-Tafsir Al-Tahlili; Tarikh Wa Al-Tathawur, AlMu‟tamar
Al-Ilm Al-Thani Li-Kulliyah Al-Ulum Al-Islamiyah, 2012 M.
Nashruddin Baidan, Metodologi Penafsiran Al-Qur‟an (Jakarta: Pustaka Pelajar,
1988).
Al-Zarqani, Abd al ‘Azhim, Manāhil al-Irfan fi ‘Ulum al-Qur’an. Mesir: Mustafa
al-Babi al-Halabi, t.th), Jilid II.
Zuailan, “Metode Tafsir Taḥlīlī ”, dalam Diya al-Afkar, vol.iv, no.01, Juni 2016.
Saeful Rokim,“Mengenal Metode tafsir taḥlīlī ”, Jurnal staialhidayah, Bogor,
2017.
Saleh, Ahmad Syukri, Metodologi Tafsir al-Qur’an Kontemporer dalam
Pandangan Fazlur Rahman. Jakarta: Gaung Persada Press, 2007.
Sanaky, Hujair A. H., “Metode Tafsir(Perkembangan Metode Tafsirmengikuti
warna atau corak mufassirin”, Almawarid,vol.18, 2018.

21

Anda mungkin juga menyukai