Dokumen - Tips Toksisitas Sianida
Dokumen - Tips Toksisitas Sianida
Asam sianida merupakan senyawa racun yang dapat mengganggu kesehatan serta mengurangi
bioavailabilitas nutrien di dalam tubuh. Sianida sering dijumpai di dalam kacang almond, daun salam,
cherry, ubi. Di dalam koro atau tanaman dari keluarga kacang-kacangan dan ketela pohon (Utama,
2006). Sianida merupakan senyawa kimia yang toksik dan memiliki beragam kegunaan, termasuk
sintesis senyawa kimia, analisis laboratorium, dan pembuatan logam. Nitril alifatik (acrylonitrile dan
propionitrile digunakan dalam produksi plastic yang kemudian dimetabolisme menjadi sianida. Obat
vasodilator seperti nitroprusida melepaskan sianida pada saat terkena cahaya ataupun pada saat
metabolisme. Sianida yang berasal dari alam (amigdalin dan glikosida sinogenik lainnya) dapat
ditemukan dalam biji aprikot, singkong, dan banyak tanaman lainnya, beberapa diantaranya dapat
berguna, tergantung pada keperluan ethnobotanikal. Acetonitrile, sebuah komponen pada perekat
besi, dapat menyebabkan kematian pada anak-anak (Olson, 2007).
Hidrogen sianida (HCN) atau prussic acid atau sianida adalah senyawa kimia yang bersifat toksik dan
merupakan jenis racun yang paling cepat aktif dalam tubuh sehingga dapat menyebabkan kematian
dalam waktu beberapa menit (akut). Senyawa sianida yang ditemukan di alam umumnya dalam
bentuk sintetis, terutama dalam bentuk garam [NaCN, KCN, dan Ca(CN) 2]. Umumnya kasus
keracunan pada hewan di Indonesia disebabkan secara sengaja menambahkan racun sianida ke
dalam pakan (Yuningsih 2007).
Sianida dalam dosis rendah dapat ditemukan di alam dan ada pada setiap produk yang biasa kita
makan atau gunakan. Sianida dapat diproduksi oleh bakteri, jamur dan ganggan. Sianida juga
ditemukan pada rokok, asap kendaraan bermotor, dan makanan seperti bayam, bambu, kacang,
tepung tapioka dan singkong. Selain itu juga dapat ditemukan pada beberapa produk sintetik.
Sianida banyak digunakan pada industri terutama dalam pembuatan garam seperti natrium, kalium
atau kalsium sianida. Sianida yang digunakan oleh militer NATO (North American Treaty
Organization) adalah yang jenis cair yaitu asam hidrosianik (HCN).
Menurut Toxics Release Inventory (Cyanide 2000), industri logam di California dan Pennsylvania
pada tahun 1987 - 1993 membuang limbah senyawa sianida ke dalam tanah dan air hingga mencapai
0,75 juta kg. Oleh karena itu, Environmental Protection Agency (EPA) di Amerika Serikat menetapkan
nilai batas aman (maximum contaminant level, MCL) sianida dalam air minum sebesar 0,2 ppm.
Apabila kandungan HCN dalam air minum secara konsisten berada di atas nilai MCL, perlu dilakukan
pengolahan untuk menurunkan kandungan sianida sampai di bawah level MCL. Salah satu cara
pengolahannya yaitu dengan pertukaran ion, reverse osmosis, dan menggunakan klorin.
Bentuk terakhir senyawa sianida adalah sianida kompleks logam kuat. Sianida dalam bentuk ion dan
dibebaskan dengan cara reflux distillation yang menghasilkan sianida kuat. Sianida juga sering
ditemukan dalam air, yaitu sianida sintetis potas yang umumnya sengaja ditambahkan ke dalam air
minum untuk membunuh ternak. Adanya kandungan sianida dalam air dapat pula terjadi karena air
terkontaminasi buangan limbah asal industri plastik, pertambangan atau pelapisan logam tembaga
(Cu), emas (Au), dan perak (Ag).
Di Indonesia, penetapan nilai batas aman kandungan sianida dalam air minum didasarkan atas
kriteria kualitas baku mutu air dan levelnya disesuaikan dengan kebutuhan. Sebagai contoh, batas
aman kandungan sianida untuk peternakan dan perikanan harus di bawah 0,02 ppm (Kantor
Kementerian Kependudukan dan Lingkungan Hidup 1991).
Sianida dalam bentuk logam [AuCN, Hg(CN) 2] secara luas digunakan dalam industri pertambangan
dan pelapisan logam, terutama pada pertambangan emas, dan buangan limbahnya dapat
mencemari lingkungan karena masih mengandung sianida dan senyawa merkuri yang sangat
berbahaya atau dapat menyebabkan keracunan. Sianida dalam bentuk gas (HCN, CNCl) paling cepat
aktif dibandingkan dengan bentuk sianida lainnya. Namun, hingga kini belum ada informasi
mengenai penggunaannya sehingga belum ditemukan kasus keracunannya.
Natrium sianida dan kalium sianida berbentuk bubuk putih dengan bau yang menyerupai almond.
Natrium sianida dengan rumus kimia NaCN, merupakan padatan berbentuk kristal yang bersifat
racun, dengan titik leleh dan titik didih masing-masing 5630 oC dan 1490oC. Daya uap dari natrium
sianida adalah 1,1 x 106mg/m3 pada suhu kamar 25°C dan 2.6 x 106mg/m3 pada suhu 12.9°C.
Daya larut dalam air dan dalam bahan pelarut yang lain lengkap pada suhu 250° C. Dapat dicampur
sempurna pada bahan pelarut organik lainnya 6.9g/100mL pada 20°C. Dapat dicampur dengan
bahan atau senyawa organik lainnya tetapi campuran yang dihasilkan tidak stabil. Dekontaminasi
pada kulit bila terkena dengan air atau dengan air sabun.
Sianida merupakan racun yang bekerja cepat, berbentuk gas tak berbau dan tak berwarna, yaitu
hidrogen sianida (HCN) atau sianogen khlorida (CNCl) atau berbentuk kristal seperti sodium sianida
(NaCN) atau potasium sianida (KCN) (Utama, 2006). Hidrogen sianida merupakan gas yang mudah
dihasilkan dengan mencampur asam dengan garam sianida dan sering digunakan dalam pembakaran
plastik, wool, dan produk natural dan sintetik lainnya. Keracunan hidrogen sianida dapat
menyebabkan kematian, dan pemaparan secara sengaja dari sianida (termasuk garam sianida) dapat
menjadi alat untuk melakukan pembunuhan ataupun bunuh diri (Olson, 2007).
Angka Kejadian
Uap sianida dari bahan pemadam kebakaran yang digunakan untuk mengatasi kerusuhan di Putin’s
Rusia menyebabkan kematian lebih dari 17.000 orang selama tahun 2006 (Cyanide Poisoning
Treatment Coalition 2006).
Sebenarnya kasus keracunan sianida pada ternak jarang ditemukan di lapangan, kecuali karena
adanya unsur kesengajaan (kriminal) atau keteledoran peternak dalam pemberian pakan.
Kebanyakan kasus keracunan sianida terjadi karena pemberian sianida sintetis potas secara sengaja
ke dalam pakan. Biasanya potas yang digunakan berbentuk bubuk karena cukup murah, mudah
diperoleh, dan cukup efisien pada dosis rendah (1-2,5 mg/kg berat badan sudah dapat mematikan
hampir semua spesies) (Clarke dan Clarke 1977). Hampir 40% dari 35 kasus keracunan senyawa
toksik (sulfat, nitrat-nitrit, klorin, klorida, sianida, rodentisida seng fosfit, insektisida DDT, diazinon,
temik, klorin, dan klorida) pada hewan di Indonesia pada tahun 1992−2005 merupakan keracunan
sianida sintetis potas (Yuningsih 2007).
Kasus keracunan sianida alami (asal tanaman) biasanya disebabkan kelalaian peternak dalam
pemberian pakan hijauan. Keracunan tanaman angrung (Trema orientalis) pada salah satu
peternakan di Kalimantan Timur menyebabkan 26 ekor kambing mati. Hal ini disebabkan peternak
tidak mengetahui bahwa tanaman angrung mengandung sianida cukup tinggi (Yuningsih 2007) dan
terdesak kekurangan hijauan (musim kering), sehingga peternak memanfaatkan hijauan yang
tumbuh di sekitarnya sebagai pakan. Di Venezuela, terjadi kematian ternak babi akibat keracunan
sianida setelah mengonsumsi ubi kayu pahit asal sisa makanan anak-anak (umur 8-11 tahun) yang
menderita keracunan, dengan gejala lemah dan sesak nafas dan warna darahnya merah terang
(Espinoza et al.1992).
Masuknya sianida ke dalam tubuh tidak hanya melewati saluran pencernaan tetapi dapat juga
melalui saluran pernafasan, kulit dan mata. Yang dapat menyebabkan keracunan tidak hanya sianida
secara langsung tetapi dapat pula bentuk asam dan garamnya, seperti asam hidrosianik sekitar
2,500–5,000 mg.min/m3 dan sianogen klorida sekitar 11,000 mg.min/m 3.
Jika sianida yang masuk ke dalam tubuh masih dalam jumlah yang kecil maka sianida akan
diubah menjadi tiosianat yang lebih aman dan diekskresikan melalui urin. Selain itu, sianida akan
berikatan dengan vitamin B12. Tetapi bila jumlah sianida yang masuk ke dalam tubuh dalam dosis
yang besar, tubuh tidak akan mampu untuk mengubah sianida menjadi
tiosianat maupun mengikatnya dengan vitamin B 12.
Ketika kita kontak dengan racun, maka kita disebut terpejani racun. Efek dari suatu pemejanan,
sebagian tergantung pada berapa lama kontak dan berapa banyak racun yang masuk dalam tubuh,
sebagian lagi tergantung pada berapa banyak racun dalam tubuh yang dapat dikeluarkan. Selama
waktu tertentu pemejanan dapat terjadi hanya sekali atau beberapa kali. Pada dasarnya setelah zat
beracun masuk kedalam tubuh, suatu ketika dapat terdistribusi kedalam cairan ekstrasel dan
intrasel. Berdasarkan atas sifat dan tempat kejadiannya, mekanisme aksi toksik zat kimia dibagi
menjadi dua, yakni mekanisme luka intrasel dan ekstrasel. Setelah diketahui kadar sianida yang
masuk ketubuh dalam dosis besar, maka sianida menjadi toksik. Sianida menjadi toksik bila berikatan
dengan trivalen ferric (Fe3+). Tubuh yang mempunyai lebih dari 40 sistem enzim dilaporkan menjadi
inaktif oleh sianida. Yang paling nyata dari hal tersebut ialah non aktif dari dari sistem enzim
sitokrom oksidase yang terdiri dari sitokrom a-a3 komplek dan sistem transport elektron. Jika sianida
mengikat enzim komplek tersebut, transport elektron akan terhambat yaitu transport elektron dari
sitokrom a3 ke molekul oksigen di blok. Sebagai akibatnya akan menurunkan penggunaan oksigen
oleh sel dan mengikut racun PO 2. Sianida dapat menimbulkan gangguan fisiologik yang sama dengan
kekurangan oksigen dari semua kofaktor dalam sitorom dalam siklus respirasi. Sebagai akibat tidak
terbentuknya kembali ATP selama proses itu masih bergantung pada sitokrom oksidase yang
merupakan tahap akhir dari proses phoporilasi oksidatif. Selama siklus metabolisme masih
bergantung pada sistem transport elektron, sel tidak mampu menggunakan oksigen sehingga
menyebabkan penurunan respirasi serobik dari sel. Hal tersebut menyebabkan histotoksik seluler
hipoksia. Bila hal ini terjadi jumlah oksigen yang mencapai jaringan normal tetapi sel tidak mampu
menggunakannya. Hal ini berbeda dengan keracunan CO dimana terjadinya jaringan hipoksia karena
kekurangan jumlah oksigen yang masuk. Jadi kesimpulannya adalah penderita keracunan sianida
disebabkan oleh ketidakmampuan jaringan menggunakan oksigen tersebut.
Dalam konsentrasi rendah, sekitar 15-30 menit baru menimbulkan efek terhadap tubuh, sehingga
masih bisadi selamatkan dengan pemberian antidotum. Tanda awal dari keracunan sianida adalah :
- Hiperpnea sementara
- Nyeri kepala
- Dispnea
- Kecemasan
- Perubahan perilaku seperti agitasi dan gelisah
- berkeringat banyak, warna kulit kemerahan, tubuh terasa lemah dan vertigo juga dapat
muncul.
- susah bernafas
- denyut nadi cepat
- Lemah
- Tremor
- Mata Terbelalak
- Kembung dan kadang-kadang terjadi salivasi dan muntah
- Kejang-kejang
- Lapisan mukosa berwarna merah terang
- Inhalasi
Rokok mengandung gas sianida pada perokok pasif dapat ditemukan sekitar 0.06µg/mL
sianida dalam darahnya, sementara pada perokok aktif ditemukan sekitar 0.17 µg/mL
sianida dalam darahnya. Selain pada rokok sisa pembakaran produk sintesis yang
mengandung karbon dan nitrogen seperti plastik akan melepaskan sianida. Hidrogen sianida
sangat mudah diabsorbsi oleh paru, gejala keracunan dapat timbul dalam hitungan detik
sampai menit. Ambang batas g/ml tetapi angka minimal hidrogen sianida di udara adalah
0,02-0,20 ini belum dapat memastikan konsentrasi sianida yang berbahaya bagi orang
disekitarnya. Selain itu, gangguan dari saraf-saraf sensoris pernafasan juga sangat terganggu.
Berat jenis hidrogen sianida lebih ringan dari udara sehingga lebih cepat terbang ke angkasa.
Anak-anak yang terpapar hidrogen sianida dengan tingkat yang sama pada orang dewasa
akan terpapar hidrogen sianida yang jauh lebih tinggi.
Namun secara khusus Efek jangka panjang yang terjadi akibat terpajan sianida dapat dibagi menjadi
2 bagian yaitu :
- Efek toksik berdasarkan perubahan biokimia
reaksi zat beracun dengan reseptor atau tempat aktif enzim yang sifatnya terbalikkan dapat
mempengaruhi fungsi homeostasis tubuh. Hal tersebut dapat terjadi karena hambatan enzim yang
secara normal bertanggung jawab terhadap penawar racun neurotransmitter. Termasuk dalam jenis
wujud efek toksik ini diantaranya anoksia, gangguan pernafasan, gangguan sistem saraf, hiper atau
hipotensi, hiper atau hipoglikemia, perubahan keseimbangan cairan atau elektrolit, perubahan
kontraksi atau relaksasi otot atau hipo/hiperemi.
- Efek toksik berdasarkan perubahan struktural,
meliputi jenis wujud efek toksik yang berkaitan dengan perubahan morfologi sel yang akhirnya
terwujud sebagai kekacauan struktural yang terdapat tiga respon histopatologi dasar sebagai
tanggapan terhadap adanya luka sel, yakni degenerasi, profilerasi dan inflamasi atau perbaikan. Pada
perubahan struktural ini bersifat tak terbalikkan, misalnya degenerasi lemak.
Seperti telah diungkapkan, keberacunan (intensitas efek toksik) suatu bahan berbahaya di antaranya
ditentukan oleh keberadaan bahan berbahaya di tempat kerja yang melebihi harga KTM-nya lebih
lanjut, keadaan ini bergantung pada keefektifan absorpsi, distribusi, metabolisme, dan ekskresi
bahan berbahaya terkait. Perlu dicatat, strategi terapi antidot mana yang akan diambil, sepenuhnya
bergantung pada pengetahuan atau informasi tentang rentang waktu antara saat pemejanan bahan
berbahaya, saat timbulnya gejala-gejala toksik, dan saat penderita siap menjalankan terapi. Karena
pengetahuan ini diperlukan untuuk memprakirakan dominasi tahapan nasib bahan berbahaya di
dalam tubuh. Misal bahan berbahaya diprakirakan sudah terabsorpsi sempurna, maka tindakan
penghambatan absorpsi sudah tidak diperlukan. Dalam hal ini, mungkin yang diperlukan
penghambatan distribusi atau peningkatan eliminasinya. Masalahnya sekarang, bagaimana tata cara
pelaksanaan masing-masing strategi tersebut.
Ketiga strategi dasar terapi antidot tersebut dapat dikerjakan dengan metode yang tak khas atau
metode yang khas. Dimaksud dengan metode tak khas ialah metode umum yang dapat diterapkan
terhadap sebagian besar zat beracun. Metode khas ialah metode yang hanya digunakan bila zat
beracunnya telah tersidik jati dirinya serta zat antidotnya tersedia. Strategi dasar terapi antidot
meliputi penghambatan absorpsi dan distribusi (translokasi), peningkatan eliminasi, dan atau
penaikkan ambang toksik racun dalam tubuh.
Rhodanese
Rute utama detoksifikasi sianida dalam tubuh adalah mengubahnya menjadi tiosianat oleh
rhodanese, walaupun sulfurtransferase yang lain, seperti beta-merkaptopiruvat sulfurtransferase,
dapat juga digunakan. Reaksi ini memerlukan sumber sulfan sulfur, tetapi penyedia endogen
substansi ini terbatas.
Keracunan sianida merupakan proses mitokondrial dan penyaluran intravena sulfur hanya akan
masuk ke mitokondria secara perlahan. Natrium tiosulfat merupakan komponen kedua dari antidot
sianida. Antidot ini diberikan sebanyak 50 ml dalam 25% larutan. Tidak ada efek samping yang
ditimbulkan oleh tiosulfat. Namun tiosianat memberikan efek samping seperti gagal ginjal, nyeri
perut, mual, kemerahan, dan disfungsi pada SSP. Dosis untuk anak-anak didasarkan pada berat
badan.
nitrit
Sianida + Hemoglobin (Fe ++ ) metheboglobin ( Fe +++ ) Sianmethemoglobin
Hasil terapi dengan pemberian natrium nitrit secara teoritis akan menurunkan level methemoglobin
sebanyak 20 – 30%.
Meskipun demikian gejala efek toksik pada beberapa kelompok hewan uji pada penelitian ini banyak
yang tidak teramati, bisa disebabkan oleh karena cepatnya terjadi kematian hewan uji tanpa
melewati/memperlihatkan tanda-tanda gejala keracunan sianida, ataupun pada beberapa kelompok
masih bertahan hidup hingga waktu pengamatan selesai (24 jam). Dengan adanya hewan uji yang
kembali ke keadaan normal (hilangnya gejala efek toksik) maka dapat dikatakan bahwa kombinasi
natrium tiosulfat dosis 22.960 mg/KgBB dan natrium nitrit 62.460 mg/KgBB merupakan pilihan
antidot yang baik dalam menangani keracunan sianida dosis 26 mg/KgBB secara peroral. Hal ini
sesuai sifatnya di mana saat kadar racun sianida habis, reseptor kembali, artinya apabila sianida
dosis 26 mg/KgBB dalam tubuh sudah menurun bahkan sudah habis, maka reseptor yang mulanya
berikatan dengan sianida akan kembali ke reseptor semula dan berfungsi seperti semula. Efek toksik
juga cepat kembali normal, di mana sianida dosis 26 mg/KgBB peroral sangat cepat menimbulkan
efek toksik, namun secara cepat normal kembali atau sangat cepat pergi dari reseptor sasaran
dengan adanya kombinasi natrium tiosulfat dosis 22.960 mg/KgBB dan natrium nitrit dosis 62.460
mg/KgBB secara intraperitoneal.
Daftar Pustaka
Libertus Tintus H. 2008. Skripsi, Dosis Efektif Kombinasi Natrium Tiosulfat dan Natrium Nitrit sebagai
Antidot Keracunan Sianida Akut pada Mencit Jantan Galur Swiss. Yogyakarta.
Yuningsih. 2012. Keracunan Sianida pada Hewan. Jurnal Litbang Pertanian, 31(1). Balai Besar
Penelitian Veteriner: Bogor.