Anda di halaman 1dari 15

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Pandemi Covid-19
1. Epidemologi Pandemi Covid-19
Virus Corona atau severe acute respiratory syndrome coronavirus
2 (SARS-CoV-2) adalah virus yang menyerang sistem pernapasan.
Penyakit karena infeksi virus ini disebut COVID-19. Virus Corona bisa
menyebabkan gangguan ringan pada system pernapasan, infeksi paru-
paru yang berat, hingga kematian (Kemenkes RI, 2020).
Severe acute respiratory syndrome coronavirus 2 (SARS-CoV-2)
yang lebih dikenal dengan nama virus Corona adalah jenis baru dari
coronavirus yang menular ke manusia. Walaupun lebih bayak menyerang
lansia, virus ini sebenarnya bias menyerang siapa saja, mulai dari bayi,
anak-anak, hingga orang dewasa, termasuk ibu hamil dan ibu menyusui.
Infeksi virus Corona disebut COVID-19 (Corona Virus Disease 2019) dan
pertama kali ditemukan di kota Wuhan, China pada akhir Desember 2019.
Virus ini menular dengan sangat cepat dan telah menyebar ke hampir
semua negara, termasuk Indonesia, hanya dalam waktu beberapa bulan
(Kemenkes RI, 2020).
COVID-19 pertama dilaporkan di Indonesia pada tanggal 2 Maret
2020 sejumlah 2 kasus (WHO, 2020). Data 31 Maret 2020 menunjukkan
kasus yang terkonfirmasi berjumlah 1.528 kasus dan 136 kasus kematian
(Kemenkes RI, 2020). Tingkat mortalitas COVID-19 di Indonesia sebesar
8,9%, angka ini merupakan yang tertinggi di Asia Tenggara (WHO, 2020).
Per tanggal 30 Maret 2020, terdapat 693.224 kasus dan 33.106
kematian di seluruh dunia. Eropa dan Amerika Utara telah menjadi pusat
pandemi COVID-19, dengan kasus dan kematian sudah melampaui
China. Amerika Serikat menduduki peringkat pertama dengan kasus
COVID-19 terbanyak dengan penambahan kasus baru sebanyak 19.332
kasus pada tanggal 30 Maret 2020 disusul oleh Spanyol dengan 6.549
kasus baru. Italia memiliki tingkat mortalitas paling tinggi di dunia, yaitu
11,3% (WHO, 2020).

7
8

2. Transmisi Covid-19
Saat ini, penyebaran SARS-CoV-2 dari manusia ke manusia
menjadi sumber transmisi utama sehingga penyebaran menjadi lebih
agresif. Transmisi SARS-CoV-2 dari pasien simptomatik terjadi melalui
droplet yang keluar saat batuk atau bersin (Han & Yang , 2019). Selain
itu, telah diteliti bahwa SARS-CoV-2 dapat viabel pada aerosol
(dihasilkan melalui nebulizer) selama setidaknya 3 jam (Doremalen,
2020). WHO memperkirakan reproductive number (R 0) COVID-19
sebesar 1,4 hingga 2,5. Namun, studi lain memperkirakan R 0 sebesar
3,28 (Liu, Gayle, Wilder-Smith & Rocklöv, 2020).
SARS-CoV-2 telah terbukti menginfeksi saluran cerna
berdasarkan hasil biopsi pada sel epitel gaster, duodenum, dan rektum.
Virus dapat terdeteksi di feses, bahkan ada 23% pasien yang dilaporkan
virusnya tetap terdeteksi dalam feses walaupun sudah tak terdeteksi
pada sampel saluran napas. Kedua fakta ini menguatkan dugaan
kemungkinan transmisi secara fekal-oral (Xiao, et al, 2020).
3. Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis pasien COVID-19 memiliki spektrum yang luas,
mulai dari tanpa gejala (asimtomatik), gejala ringan, pneumonia,
pneumonia berat, ARDS, sepsis, hingga syok sepsis. Sekitar 80% kasus
tergolong ringan atau sedang, 13,8% mengalami sakit berat, dan
sebanyak 6,1% pasien jatuh ke dalam keadaan kritis. Berapa besar
proporsi infeksi asimtomatik belum diketahui (WHO, 2020). Viremia dan
viral load yang tinggi dari swab nasofaring pada pasien yang
asimptomatik telah dilaporkan (Kam, et. al, 2020).
Gejala ringan didefinisikan sebagai pasien dengan infeksi akut
saluran napas atas tanpa komplikasi, bisa disertai dengan demam,
fatigue, batuk (dengan atau tanpa sputum), anoreksia, malaise, nyeri
tenggorokan, kongesti nasal, atau sakit kepala. Pasien tidak
membutuhkan suplementasi oksigen. Pada beberapa kasus pasien juga
mengeluhkan diare dan muntah (Huang et. al., 2020). Pasien COVID-19
dengan pneumonia berat ditandai dengan demam, ditambah salah satu
dari gejala: (1) frekuensi pernapasan >30x/menit (2) distres pernapasan
berat, atau (3) saturasi oksigen 93% tanpa bantuan oksigen. Pada
pasien geriatri dapat muncul gejala-gejala yang atipikal (WHO, 2020).
9

Sebagian besar pasien yang terinfeksi SARS-CoV-2


menunjukkan gejala-gejala pada sistem pernapasan seperti demam,
batuk, bersin, dan sesak napas (Rothan & Byrareddy, 2020).
Berdasarkan data 55.924 kasus, gejala tersering adalah demam, batuk
kering, dan fatigue. Gejala lain yang dapat ditemukan adalah batuk
produktif, sesak napas, sakit tenggorokan, nyeri kepala,
mialgia/artralgia, menggigil, mual/muntah, kongesti nasal, diare, nyeri
abdomen, hemoptisis, dan kongesti konjungtiva (WHO, 2020). Lebih dari
40% demam pada pasien COVID-19 memiliki suhu puncak antara 38,1-
39°C, sementara 34% mengalami demam suhu lebih dari 39°C (Huang,
2020).
Perjalanan penyakit dimulai dengan masa inkubasi yang
lamanya sekitar 3-14 hari (median 5 hari). Pada masa ini leukosit dan
limfosit masih normal atau sedikit menurun dan pasien tidak bergejala.
Pada fase berikutnya (gejala awal), virus menyebar melalui aliran darah,
diduga terutama pada jaringan yang mengekspresi ACE2 seperti paru-
paru, saluran cerna dan jantung. Gejala pada fase ini umumnya ringan.
Serangan kedua terjadi empat hingga tujuh hari setelah timbul gejala
awal. Pada saat ini pasien masih demam dan mulai sesak, lesi di paru
memburuk, limfosit menurun. Penanda inflamasi mulai meningkat dan
mulai terjadi hiperkoagulasi. Jika tidak teratasi, fase selanjutnya
inflamasi makin tak terkontrol, terjadi badai sitokin yang mengakibatkan
ARDS, sepsis, dan komplikasi lainnya (Huang, 2020).

B. Kepatuhan Protokol Covid-19


1. Pengertian Kepatuhan
Kepatuhan berasal dari kata “patuh” yang berarti taat, suka
menuruti, disiplin. Kepatuhan protokol kesehatan Covid-19 secara
umum didefinisikan sebagai tingkatan perilaku kepatuhan seseorang
dalam menaati prosedur yang berlaku sesuai peraturan pemerintah dan
WHO serta mematuhi tindakan seperti mencuci tangan saat keluar
dengan menggunakan air sabun, handsanitizier serta penggunaan alat
pelindung seperti masker dan menjaga jarak (physical distancing)
(Evarina, dkk, 2020).
10

2. Protokol Kesehatan
Beberapa protokol kesehatan terkait COVID-19 sudah diterbitkan
oleh Kemenkes (2020), antara lain:
a. Protokol Isolasi diri sendiri dalam penanganan COVID-19
b. Protokol Penanganan COVID-19 terdiri dari:
1) Protokol Komunikasi Publik
2) Protokol Kesehatan
3) Protokol di Area dan Transportasi Publik
4) Protokol di Area Institusi Pendidikan
5) Protokol di Pintu Masuk Wilayah Indonesia (Bandara,
Pelabuhan, dan PLBDN)
6) Protokol dalam Lingkup Khusus Pemerintahan (VVIP)
c. Protokol Pencegahan Penularan COVID-19 di Tempat Kerja
d. Protokol Pencegahan Penularan COVID-19 di Bidang Keolahragaan
e. Protokol di Tempat-Tempat Umum terdiri dari:
1) Protokol Pencegahan Penularan COVID-19 di Area Publik
2) Protokol Pencegahan Penularan COVID-19 di Transportasi
Publik
3) Protokol Pencegahan Penularan COVID-19 di Pasar
4) Protokol Pencegahan Penularan COVID-19 di Mass Gathering
5) Protokol Pencegahan Penularan COVID-19 di Restoran
6) Protokol Pencegahan Penularan COVID-19 di Sekolah
7) Protokol Pencegahan Penularan COVID-19 di Pesantren
8) Protokol Pencegahan Penularan COVID-19 di Masjid
f. Protokol Repatriasi WNA yang Menjadi Pasien Suspek dan/atau
Terpapar Positif COVID-19
g. Protokol Repatriasi WNA yang di Rawat di Rumah Sakit oleh Sebab
Penyakit Lainnya
h. Protokol Pemulangan Jenazah WNA yang Positif COVID-19
i. Protokol Karantina Diri Sendiri (Self Quarantine), Karantina Rumah
(Home Quarantine), Karantina Rumah Sakit (Hospital Quarantine),
Karantina Wilayah (Area Quarantine), dan Isolasi Mandiri (Self
Isolation)
11

3. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kepatuhan


Faktor yang mempengaruhi kepatuhan ditentukan oleh tiga faktor
utama, menurut Lawrence Green (2019), yaitu :
a. Faktor predisposing (faktor pendorong)
Faktor-faktor yang mempermudah atau mempredisposisi
terjadinya perilaku seseorang, antara lain :
1) Kepercayaan/keyakinan
Kepercayaan atau agama merupakan dimensi spiritual
yang dapat menjalani kehidupan. Penderita yang berpegang
teguh terhadap agamanya akan memiliki jiwa yang tabah dan
tidak mudah putus asa serta dapat menerima keadaannya,
demikian juga cara akan lebih baik. Kemauan untuk melakukan
control penyakitnya dapat dipengaruhi oleh kepercayaan
penderita dimana penderita yang memiliki kepercayaan yang
kuat akan lebih patuh terhadap anjuran dan larangan.
2) Perilaku kesehatan
Sikap merupakan hal yang paling kuat dalam diri
individu sendiri. Keinginan untuk tetap mempertahankan
kesehatannya sangat berpengaruh terhadap faktor-faktor yang
berhubungan dengan perilaku penderita dalam kotrol
penyakitnya.
3) Pengetahuan
Penderita dengan kepatuhan rendah adalah mereka
yang tidak teridentifikasi mempunyai gejala sakit. Mereka
berfikir bahwa dirinya sembuh dan sehat sehingga tidak perlu
melakukan kontrol terhadap kesehatannya.
b. Faktor reinforcing (Faktor pendukung)
Faktor-faktor yang mendorong atau memperkuat terjadinya
perilaku yang terwujud dalam sikap dan perilaku seseorang, antara
lain :
1) Dukungan keluarga
Keluarga merupakan bagian dari penderita yang paling
dekat dan tidak dapat dipisahkan. Penderita akan merasa
senang dan tentram apabila mendapat perhatian dan dukungan
dari keluarganya, karena dengan dukungan tersebut akan
12

menimbulkan kepercayaan dirinya untuk menghadapi atau


mengelola penyakitnya dengan baik, serta penderita mau
menuruti saran-saran yang diberikan oleh keluarga untuk
penunjang pengelolaan penyakitnya.
2) Peran dukungan tenaga kesehatan
Dukungan dari petugas kesehatan sangatlah besar
artinya bagi penderita sebab petugas adalah pengelola
penderita yang paling sering berinteraksi sehingga pemahaman
terhadap kondisi fisik maupun psikis lebih baik, dengan sering
berinteraksi, sangatlah mempengaruhi rasa percaya dan selalu
menerima kehadiran petugas kesehatan termasuk
anjurananjuran yang diberikan.
c. Faktor enabling (Faktor pemungkin)
Faktor-faktor yang memungkinkan atau memfasilitasi perilaku
dan tindakan. Yang dimaksud dengan faktor pemungkin adalah
sarana dan prasarana atau fasilitas untuk terjadinya perilaku
kesehatan, misalnya puskesmas, rumah sakit, posyandu, tempat
pembuangan sampah, sarana prasarana dan sebagainya.
4. Strategi untuk meningkatkan kepatuhan
Pendapat Smet (2019), berbagai strategi telah dicoba untuk
meningkatkan kepatuhan menjalankan protokol kesehatan Covid-19
adalah :
a. Dukungan profesional kesehatan
Dukungan profesional kesehatan sangat diperlukan untuk
meningkatkan kepatuhan, contoh yang paling sederhana dalam hal
dukungan tersebut adalah dengan adanya teknik komunikasi.
Komunikasi memegang peranan penting karena komunikasi yang
baik diberikan oleh professional kesehatan baik dokter/perawat
dapat menanamkan ketaatan bagi seseorang.
b. Dukungan sosial
Dukungan sosial yang dimaksud adalah keluarga. Para
profesional kesehatan yang dapat meyakinkan keluarga untuk
menunjang peningkatan kesehatan maka ketidakpatuhan dapat
dikurangi.
13

c. Perilaku sehat
Modifikasi perilaku sehat sangat diperlukan tentang
bagaimana cara untuk menghindari dari komplikasi lebih lanjut.
d. Pemberian informasi
Pemberian informasi yang jelas pada individu dan keluarga
mengenai penyakit serta cara pencegahannya.
5. Mengukur tingkat kepatuhan
Tingkat ketidakpatuhan seseorang dalam menjalankan
kepatuhan protokol kesehatan Covid-19 dapat diukur dengan beberapa
metode (Dinna, 2020), antara lain :
a. Metoda pengukuran langsung misalnya observasi lapangan
langsung,
b. Metoda pengukuran tidak langsung meliputi wawancara dengan
individu.

C. Kecemasan
1. Pengertian Kecemasan
Kecemasan adalah perasaan yang tidak menyenangkan atau
ketakutan yang tidak jelas dan hebat hebat. Hal ini terjadai sebagai
reaksi terhadap sesuatu yang dialami oleh seseorang. Kecemasan
kondisi yang paling langka dilaporkan karena tidak dianggap penting.
Sukar untuk mengira jumlah orang yang menderita kecemasan sebab
mayoritas penderita tidak konsultasi ke dokter (Ramaiah, 2013).
Menurut Syahputra (2013), kecemasan merupakan gejolak
emosi seseorang yang berhubungan dengan sesuatu diluar dirinya dan
mekanisme diri yang digunakan dalam mengatasi permasalahan, terlihat
jelas bahwa kecemasan ini mempunyai dampak terhadap kehidupan
seseorang, baik dampak positif maupun negatif. Menurut Kaplan &
Sadock, (2015) kecemasan adalah suatu sinyal yang menyadarkan,
memperingatkan adanya bahaya yang mengancam dan memungkinkan
seseorang mengambil tindakan untuk mengatasi ancaman. Kecemasan
merupakan respons terhadap suatu ancaman yang sumbernya tidak
diketahui, internal, samar-samar, atau konfliktual. Kecemasan tidak
dapat dihindarkan dari kehidupan individu dalam memelihara
keseimbangan. Pengalaman cemas seseorang tidak sama pada
beberapa situasi dan hubungan interpersonal.
14

Cemas berbeda dengan rasa takut, karakteristik rasa takut


adalah adanya suatu objek sumber yang spesifik dan dapat di
identifikasi serta dapat dijelaskan oleh individu sedangkan kecemasan
diartikan sebagai suatu kebingungan, kekhawatiran pada sesuatu yang
akan terjadi dengan penyebab atau objek yang tidak jelas dan
dihubungkan dengan perasaan tidak menentu dan tidak berdaya.
Sebagai contoh kekhawatiran menghadapi pandemi Covid-19 (misalnya
takut terpapar virus Covid-19) dan lain-lain (Nurjamiah, 2015).
2. Penyebab Kecemasan
Penyebab terjadinya kecemasan menurut Stuart (2013), dibagi
berdasarkan faktor predisposisi dan faktor presipitasi, sebagai berikut :
a. Faktor predisposisi
Faktor predisposisi adalah faktor risiko yang mempengaruhi
beberapa sumber yang dapat digunakan untuk mengatasi
kecemasan yang dialami. Faktor predisposisi yang menyebabkan
terjadinya kecemasan, yaitu:
1) Teori psikoanalitis
Menurut teori ini, kecemasan adalah konflik emosional
yang terjadi antaraid dan super ego. Id adalah stimulus insting
dan rangsangan primitif, sedangkan super ego
menggambarkan jiwa yang dikendalikan oleh norma budaya.
Egoo berfungsi menengahi id dan super ego yang bertentangan
dan fungsi kecemasan adalah mengingatkan ego bahwa ada
bahaya.
2) Teori interpersonal
Menurut teori interpersonal, kecemasan timbul karena
adanya ketakutan akan penolakan interpersonal. Kecemasan
juga berhubungan dengan perkembangan trauma, seperti
perpisahan atau kehilangan;
3) Teori perilaku
Menurut teori perilaku, kecemasan adalah hasil dari
frustasi yaitu segala sesuatu yang mengganggu kemampuan
individu untuk mencapai tujuan. Kecemasan adalah acuan atas
dasar keinginan diri untuk menghindari kesedihan. Ahli teori
konflik memandang kecemasan sebagai hubungan timbal balik
15

antara konflik dan kecemasan. Konflik menyebabkan


kecemasan, kecemasan menyebabkan rasa ketidakberdayaan,
dan pada tahap selanjutnya dapat meningkatkan konflik yang
dirasakan;
4) Kajian Keluarga
Menurut teori kajian keluarga, gangguan kecemasan
biasa terjadi dalam keluarga, namun terkadang masih tumpang
tindih dengan kejadian depresi baik yang disebabkan karena
miskomunikasi keluarga dan beberapa peranyang belum
tercapai dalam keluarga; dan
5) Kajian Biologis
Menurut teori kajian biologis, gangguan fisik biasa
menyertai kecemasan dan selanjutnya bisa menurunkan
kemampuan individu mengatasi stresor. Hal ini dikarenakan
otak manusia mengandung reseptor khusus untuk
benzodiasepin, obat-obatan yang meningkatkan neuro
regulator inhibisi asam gama-amino butirat (GABA) yang
berperan penting dalam mekanisme biologis yang berhubungan
dengan kecemasan.
b. Faktor presipitasi
Faktor presipitasi adalah stimulus yang dipersepsikan oleh
individu sebagai tantangan, ancaman atau tuntutan yang
membutuhkan energi lebih untuk koping. Faktor presipitasi
kecemasan dikelompokkan menjadi :
1) Faktor eksternal
a) Ancaman terhadap integritas fisik, seperti penurunan
kemampuan dalam menjalankan aktivitas sehari-hari
(penyakit, pandemi Covid-19, trauma fisik).
b) Ancaman terhadap sistem diri, meliputi harga diri, fungsi
sosial yang terintegrasi pada individu, termasuk segala
ancaman yang dapatmembahayakan identitas.
2) Faktor internal
a) Usia
Kecemasan lebih sering dialami oleh seseorang
yang mempunyai usialebih muda daripada usia tua, karena
16

kondisi emosi seorang pada usiamuda masih cenderung


belum stabil.
b) Jenis kelamin
Gangguan kecemasan lebih sering dialami oleh
wanita daripada laki-laki. Wanita lebih peka dengan
emosinya, sehingga lebih peka terhadap perasaan
cemasnya. Oleh karena itu, wanita memiliki tingkat
kecemasan yang lebih tinggi dibandingkan dengan laki-laki.
c) Tingkat pengetahuan
Pengetahuan akan mempengaruhi presepsi individu
dalam menurunkan kecemasan yang dialami. Pengetahuan
biasanya diperoleh berdasarkan informasi dan pengalaman
yang dialami individu.
d) Tipe kepribadian
Orang yang memiliki kepribadian A lebih mudah
mengalami gangguan kecemasan daripada orang dengan
kepribadian B. Ciri-ciri seseorang berkepribadian A adalah
tidak sabar, kompetitif, ambisius, dan selalu serba
sempurna. Sedangkan tipe kepribadian B berlawanan
dengan tipe kepribadian A.
e) Lingkungan dan situasi
Kecemasan seseorang lebih rendah tinggi ketika
berada dilingkungan yang biasa ditempati dibandingkan di
lingkungan yang asing.
3. Komponen Kecemasan
Menurut Stuart (2013), komponen-komponen kecemasan dapat
ditunjukkan secara langsung melalui perubahan fisiologis, psikologis,
kognitif dan afektif, sebagai berikut :
a. Respon fisiologis berhubungan dengan kecemasan terutama
dihubungkan olehsistem saraf otonom (saraf simpatis dan
parasimpatis). Berbagai respon fisiologis yang dapat diamati, yaitu:
1) kardiovaskular: palpitasi, peningkatan detak jantung, pingsan,
peningkatanatau penurunan tekanan darah, denyut nadi
menurun
17

2) pernafasan: napas menjadi cepat dan dangkal, dada terasa


tertekan dan leher terasa tercekik.
3) neuromuskular: peningkatan refleks, reaksi terkejut, mata
sering berkedip, gangguan tidur, tremor, rigiditas, gelisah,
wajah tegang, kelemahan umum, tungkai lemah, gerakan yang
janggal.
4) gastrointestinal: nafsu makan menurun, perut terasa tidak
nyaman, nyeri perut, mual muntah dan diare, serta nyeri di ulu
hati.
5) saluran perkemihan: sering atau tidak dapat menahan untuk
berkemih
6) Kulit: kemerahan pada wajah, berkeringat di seluruh tubuh atau
terlokalisasi (telapak tangan), gatal, perubahan suhu kulit, dan
wajah pucat.
b. Respon psikologis seperti gelisah, fisik tegang dan tremor, terkejut,
bicaracepat, menarik diri dari hubungan sosial, menghindar dari
masalah, hiperventilasi dan sangat waspada.
c. Respon kognitif seperti terganggunya konsentrasi, perhatian
menurun, mudah lupa, susah dalam berpikir dan memberikan
penilaian, menurunnya kreatifitas, produktivitas dan lapang
pandang, kebingungan, ketakutan, mimpi buruk, takut cedera atau
kematian.
d. Respon afektif seperti mudah terganggu, tidak sabar, gelisah,
tegang, gugup, ketakutan, khawatir, mati rasa, rasa bersalah dan
malu
4. Rentang Respon Kecemasan
Menurut Stuart & Sundeen (2014), rentang respon individu
terhadap cemas berfluktuasi antara respon adaptif dan maladaptif.
Rentang respon yang paling adaptif adalah antisipasi dimana individu
siap siaga untuk beradaptasi dengan cemas yang mungkin muncul.
Sedangkan rentang yang paling maladaptif adalah panik dimana individu
sudah tidak mampu lagi berespon terhadap cemas yang dihadapi
sehingga mengalami gangguan fisik, perilaku maupun kognitif.
18

Respon Maladaftif
Respon adaftif

Antisipasi Ringan Sedang Berat Panik

Gambar 2.1. Skema Rentang Respon Kecemasan


5. Tingkat Kecemasan
Menurut Stuart & Sundeen (2014), ada empat tingkat kecemasan
yang dialami oleh individu yaitu ringan, sedang, berat dan panik.
a. Kecemasan Ringan
Dihubungkan dengan ketegangan yang dialami sehari-hari,
individu masih waspada serta lapang presepsinya meluas,
menajamkan indra. Dapat memotivasi individu untuk belajar dan
mampu memecahkan masalah secara efektif dan menghasilkan
pertumbuhan.
b. Kecemasan Sedang
Memungkinkan individu untuk berfokus pada hal yang
penting dan mengesampingkan yang lain. Ansietas ini
mempersempit lapang presepsi individu. Dengan demikian, individu
mengalami tidak perhatian yang selektif namun dapat berfokus
pada lebih banyak area jika diarahkan untuk melakukannya.
c. Kecemasan Berat
Lapangan presepsi individu sangat sempit. Individu
cenderung berfokus pada sesuatu yang rinci dan spesifik serta tidak
berpikir tentang hal lain. Semua perilaku ditujukan untuk
mengurangi ketegangan. Individu tersebut memerlukan banyak
arahan untuk berfokus pada area lain.
d. Kecemasan Sangat Berat/Panik
Berhubungan dengan ketakutan, dan terror. Hal yang rinci
terpecah dari proporsinya. Karena mengalami kehilangan kendali,
individu yang mengalami panik tidak mampu melakukan sesuatu
walaupun dengan arahan. Panic mencakup disorganisasi
kepribadian dan menimbulkan peningkatan aktifitas motorik,
19

menurunnya kemampuan untuk berhubungan dengan orang lain,


persepsi yang menyimpang, dan kehilangan pemikiran yang
rasional. Tingkat ansietas ini tidak sejalan dengan kehidupan, jika
berlangsung terus dalam waktu yang lama, dapat terjadi kelelahan
dan kematian.
6. Alat Ukur Tingkat Kecemasan
Untuk mengetahui sejauh mana derajad kecemasan seseorang
apakah ringan, sedang, berat atau sangat berat orang menggunakan
alat ukur (instrumen) yang dikenal dengan nama Hamilton Rating Scale
for Anxiety (HRS-A). alat ukur ini terdiri dari 14 kelompok gejala yang
masing-masing kelompok dirinci lagi dengan gejala-gejala yang lebih
spesifik. Menurut Hawari (2011), kelompoknya adalah sebagai berikut :
a. Perasaan Cemas meliputi Cemas, takut, mudah tersinggung dan
firasat buruk
b. Ketegangan meliputi lesu, tidur tidak tenang, gemetar, gelisah,
mudah terkejut dan mudah menangis
c. Ketakutan meliputi akan gelap, ditinggal sendiri, orang asing,
binatang besar, keramaian lalulintas, kerumunan orang banyak
d. Gangguan Tidur meliputi sukar tidur, terbangun malam hari, tidak
puas, bangun lesu, sering mimpi buruk, dan mimpi menakutkan
e. Gangguan kecerdasan meliputi daya ingat buruk
f. Perasaan depresi meliputi kehilangan minat, sedih, bangun dini
hari, berkurangnya kesenangan pada hobi, perasaan berubah –
ubah sepanjang hari
g. Gejala somatic meliputi nyeri otot kaki, kedutan otot, gigi gemertak,
suara tidak stabil
h. Gejala sensorik meliputi tinnitus, penglihatan kabur, muka merah
dan pucat, merasa lemas, perasaan di tusuk – tusuk
i. Gejala kardiovakuler meliputi tachicardi, berdebar – debar, nyeri
dada, denyut nadi mengeras, rasa lemas seperti mau pingsan,
detak jantung hilang sekejap
j. Gejala Pernapasan meliputi rasa tertekan di dada, perasaan
tercekik, merasa napas pendek atau sesak, sering menarik napas
panjang
20

k. Gejala Saluran Pencernaan makanan meliputi sulit menelan, mual,


muntah, enek, konstipasi, perut melilit, defekasi lembek, gangguan
pemcernaan, nyeri lambung sebelum dan sesudah makan, rasa
panas di perut, berat badan menurun, perut terasa panas atau
kembung
l. Gejala Urogenital meliputi sering kencing, tidak dapat menahan
kencing
m. Gejala Vegetatif atau Otonom meliputi mulut kering, muka kering,
mudah berkeringat, sering pusing atau sakit kepala, bulu roma
berdiri
n. Perilaku sewaktu wawancara meliputi gelisah, tidak tenang, jari
gemetar, mengerutkan dahi atau kening, muka tegang, tonus otot
meningkat, napas pendek dan cepat, muka merah
Masing-masing kelompok gejala diberi penilaian angka (score)
antara 0-4, yang artinya adalah : (Hawari, 2011).
a. Nilai 0 = tidak ada (tidak ada gejala sama sekali)
b. Nilai 1 = gejala ringan (satu gejala dari pilihan yang ada)
c. Nilai 2 = gejala sedang (setengah dari gejala yang ada)
d. Nilai 3 = gejala berat (lebih dari setengah dari gejala yang ada)
e. Nilai 4 = gejala berat sekali (Semua gejala ada)
Masing-masing nilai angka (score) dari ke 14 kelompok gejala
tersebut dijumlahkan dan dari hasil penjumlahan tersebut dapat
diketahui derajat kecemasan seseorang, yaitu :
a. Score Kurang dari 14 = tidak ada kecemasan
b. Score 14-20 = kecemasan ringan
c. Score 21-27 = kecemasan sedang
d. Score 28-41 = kecemasan berat
e. Score 42-56 = kecemasan sangat berat
Setiap sistem yang diobservasi akan diberi 5 tingkatan skor mulai
dari 0 (Nol present) sampai dengan 4 (severe). Skor kuesioner diberi
skor dengan menilai tiap soal untuk menghasilkan jumlah skor antara 0-
56. Reliabilitas kuesioner inimenggunakan koefisien reliabilitas
spearman brown adalah 0,83 dan validitasnya adalah 0,77. Skala HARS
telah dibuktikan memiliki validitas dan reliabilitas cukup tinggi pada
penelitian trial clinic yaitu 0,93 dan 0,97. Hal ini menunjukkan bahwa
21

pengukuran kecemasan dengan menggunakan skala HARS akan


diperoleh hasil yang valid dan reliable (Mc Dowell dalam Huda, 2016).

D. Kerangka Teori
Gambar 2.2. Kerangka Teori
Faktor yang Mempengaruhi Kecemasan:
Pandemi Covid-19 Kecemasan Faktor eksternal
Ancaman terhadap integritas fisik
Ancaman terhadap sistem diri
Faktor internal
Komponen : Usia
Respon fisiologis Jenis kelamin
Respon psikologis Tingkat pengetahuan
Respon kognitif Tipe kepribadian
Respon afektif

Lingkungan dan situasi, seperti masa pandemi Covid-19


Kepatuhan Protokol Kesehatan Covid-19

Komponen :
Cuci tangan
Memakai Masker
Jaga Jarak
Isolasi diri sendiri

Sumber : Stuart (2013); Kemenkes (2020)

Keterangan :

:Diteliti

:Tidak diteliti

Anda mungkin juga menyukai