SKRIPSI
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana Program Studi Keperawatan
Oleh
DAVID OKTAVIANUS
NIM. 2020012343
0
PERSETUJUAN JUDUL/ TOPIK PENELITIAN
i
PERSETUJUAN PROPOSAL PENELITIAN
Menyetujui,
Pembimbing Utama
( Sholihul Huda )
NIDN 0621108606
ii
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL i
PERSETUJUAN TOPIK PENELITIAN i
PERSETUJUAN PROPOSAL PENELITIAN ii
DAFTAR ISI iii
DAFTAR TABEL viii
DAFTAR GAMBARixi
DAFTAR LAMPIRAN x
BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah 1
1.2. Rumusan Masalah 5
1.3. Tujuan Penelitian 5
1.4. Manfaat Penelitian 6
1.5. Ruang Lingkup Penelitian 7
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Coronavirus Disease-2019 (Covid-19) 8
2.1.1. Karakteristik Patogenik 8
2.1.2. Karakteristik Epidemologi 10
2.2. Instalasi Gawat Darurat 11
2.2.1. Standar Pelayanan di Instalasi Gawat Darurat 13
2.2.2. Alur Pelayanan di Instalasi Gawat Darurat 18
2.3. Response Time (Waktu Tanggap) 20
2.3.1. Pengertian Response Time (Waktu Tanggap) 20
2.3.2. Penerapan Response Time (Waktu Tanggap) 20
2.4. Penentuan Prioritas Perawatan (Triage) 21
2.5. Emergency Model of Care (Model Perawatan Gawat Darurat) 22
2.6. Model Perawatan dalam Emergency Model of Care 25
iii
2.6.1. Time Frame Model (2:1:1) 25
2.6.2. Triase dan Registrasi 26
2.6.3. Model Clinical Initiatives Nurse 27
2.6.4. Model Resusitasi 28
2.6.5. Model Perawatan Akut (Acute Care Model of Care) 29
2.6.6. Early ED Senior Assemssment and Streaming (ED – SAS) 29
2.6.7. Model Early Treatment Zone (ETZ) 31
2.6.8. Model Fast Track 32
2.6.9. Model Perawatan Sub-Akut 33
2.7. Kerangka Teori 35
BAB III KERANGKA KONSEPTUAL DAN HIPOTESIS PENELITIAN
3.1. Kerangka Konsep Penelitian 37
3.2. Variabel Penelitian 37
3.2.1. Varibel Bebas (Independent Variable) 37
3.2.2. Varibel Terikat (Dependent Variable) 38
3.3. Hipotesis Penelitian 38
3.4. Jenis dan Rancangan Penelitian 38
3.5. Lokasi dan Waktu Penelitian 39
3.6. Populasi, Teknik Sampling dan Sampel 39
3.6.1. Populasi 39
3.6.2. Teknik Sampling 39
3.6.3. Sampel 39
3.7. Definisi Operasional Penelitian 41
3.8. Instrumen Penelitian 42
3.9. Teknik dan Prosedur Pengumpulan Data42
3.10. Analisis Data 44
3.11. Kerangka Operasional Penelitian44
3.12. Etika Penelitian (Ethical Clearance) 45
3.13. Keterbatasan Penelitian 45
REERENSI
LAMPIRAN
iv
DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
v
Gambar 2.1 Alur Pelayanan Pasien IGD RS Mardi Rahayu 18
Gambar 2.2 Alur Ideal Pasien IGD 24
Gambar 2.3 Time Frime Guide ( 2 : 1 :1 ) 25
Gambar 2.4 Triage dan Registrasi 25
Gambar 2.5 Model Clinical Initiatives Nurse 26
Gambar 2.6 Resusitasi 27
Gambar 2.7 Model Perawatan Akut 28
Gambar 2.8 Model Early ED Senior Assesment and Streaming 29
Gambar 2.9 Model Early Treatment Zone 30
Gambar 2.10 Model Fast Track 31
Gambar 2.11 Model Perawatan Sub Akut 32
Gambar 2.12 Kerangka Alur Rujukan Penerimaan Pasien Covid-19 Di 33
Rumah Sakit
Gambar 2.13 Kerangka Hubungan Antara Response Time Di Instalasi 34
Gawat Darurat
Gambar 3.1 Kerangka Konseptual Penelitian 36
Gambar 3.2 Kerangka Operasional Penelitian 43
DAFTAR LAMPIRAN
vii
BAB I
PENDAHULUAN
1
haruslah mendapatkan perhatian utama sebagai langkah pertama bagi seluruh proses pelayanan
pasien di rumah sakit (Undang-Undang Nomor 44 tahun 2009 tentang Rumah Sakit).
Secara lebih spesifik, jika memperhatikan perannya yang sangat krusial pada pemberian
penanganan pertama di rumah sakit, maka instalasi gawat darurat dapat dipahami sebagai bagian
pertama dan terdepan dari fasilitas pelayanan kesehatan yang harus segera melaksanakan
tindakan pertama secara cepat, tepat, dan cermat dalam penanganan pasien kegawatdaruratan
untuk menjamin keselamatan dan menghindari terjadinya kematian atau kecacatan pasien.
Pemahaman ini mendapatkan peneguhannya dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI),
yang memberikan definisi instalasi gawat darurat sebagai bagian dari rumah sakit yang
menampung dan melayani pasien yang sangat gawat (atau luka parah). Oleh karena tingginya
tuntutan kinerja dalam penanganan pasien dan pesatnya perkembangan pengetahuan tentang
penanganan kegawatdaruratan, maka perawat harus turut memacu diri dalam meningkatkan
pengetahuan untuk memiliki kompetensi yang memadahi sebagai tenaga kesehatan yang
bertugas di lini terdepan fasilitas pelayanan kesehatan masyarakat.
Menurut Dewi (2013), Triase juga diartikan sebagai suatu tindakan pengelompokkan
penderita berdasarkan pada beratnya cedera yang diprioritaskan ada tidaknya gangguan pada
airway, breathing, dan circulation dengan mempertimbangkan sarana, sumber daya manusia,
dan probabilitas hidup penderita. Dalam pandangan Paula Krisanty (2014), sebagai seorang
spesialis keperawatan maternitas, perawat kegawatdaruratan harus memiliki pengetahuan dan
keterampilan dalam merespons pasien yang mengancam keselamatan pasien. Lebih jauh lagi,
Joint Commission for Accreditation of Healthcare Organization (JCA-HO) mensyaratkan
dokumentasi kompetensi klinis bagi perawat, kendati tidak menyebutkan secara spesifik
persyaratan untuk menjadi perawat triase. Bahkan, Standar praktik perawat menurut Emergency
Nurses Association (ENS) tahun 1999 menyatakan seorang perawat triase harus siaga 24 jam per
hari dan 7 hari dalam seminggu di Instalasi Gawat Darurat.
Dalam Keputusan Menteri Kesehatan tahun 2009, menegaskan bahwa response time atau
ketepatan waktu tanggap yang diberikan pada pasien yang datang ke Instalasi Gawat Darurat
memerlukan standar sesuai dengan kompetensi dan kemampuannya sehingga dapat menjamin
suatu penanganan dengan response time yang cepat dan penanganan yang tepat. Hal ini dapat
dicapai dengan meningkatkan sarana, prasarana, sumber daya manusia dan manajemen IGD
rumah sakit sesuai dengan standar (Kemenkes, nomor 856 tahun 2009). Dalam kecepatan waktu
2
tanggap tersebut, ketepatan juga merupakan hal penting, sebab penanganan yang serampangan
dapat menyebabkan terjadinya kematian ataupun kecacatan pasien. Obermeyer, dkk., (dalam
Hidayati, dkk., 2018:11) melaporkan dalam bulletin WHO, bahwa angka kematian pasien di
Instalasi Gawat Darurat (IGD) terutama di negara berkembang masih tinggi. Bahkan menurut
studi yang dilakukan Olsen (dalam Hidayati, dkk., 2018:11) menunjukkan bahwa angka
kematian pasien yang dirawat di IGD mengalami peningkatan sampai 26% dalam kurun waktu 2
(dua) tahun, yakni antara tahun 1998-2000. Adapun penyebab kematian terbanyak di IGD antara
lain yangberkaitan dengan penyakit jantung, trauma, cerebrovascular attact (CVA), dan sepsis.
Selain itu, mortalitas pasien yang dirawat di IGD dipengaruhi faktor usia, kondisi klinis pasien
saat tiba di IGD, dan manajemen terapi yang diberikan. Lamanya waktu perawatan dan lamanya
waktu tunggu pasien sebelum ditransfer/ dipindahkan ke ruang perawatan atau ke ICU serta
padatnya pasien yang dirawat di IGD dikaitkan juga dengan meningkatnya mortalitas pasien
IGD. Hal penting yang harus diperhatikan pula oleh perawat adalah, bahwa menurut hasil
penelitian Huang (dalam Hidayati, dkk., 2018:12) selain kecepatan dalam penanganan pasien,
ketepatan tindakan juga memiliki pengaruh yang signifikan, yang bukan hanya menurunkan
angka kematian, tetapi juga dapat menurunkan biaya perawatan dan lamanya perawatan pasien di
rumah sakit.
Sementara itu, jika mengamati jumlah pasien yang berkunjung ke IGD dari tahun ke
tahun terus mengalami peningkatan. Menurut Tang (2011), angka kunjungan ke IGD setiap
tahunnya meningkat, hampir 2 kali lipat dibanding kenaikan populasi di USA. Nasional Health
Servise (NHS) Inggris mengeluarkan data bahwa angka kunjungan di IGD naik sebesar 20% di
tahun 2007 – 2008 dan 2011-2012. Sedangkan di Amerika Serikat, angka kunjungan meningkat
23% antara tahun 1997 dan 2007 (Cowling et all, 2013). Sementara itu, data kunjungan tahun
2016 menurut Kemenkes (2016), kunjungan pasien instalasi gawat darurat terus bertambah setiap
tahunnya. Peningkatan terjadi 30% di seluruh IGD Rumah Sakit. Data kunjungan masuk pasien
ke IGD di indonesia adalah 12.603.811 pasien dengan kasus yang berbagai macam.
Sedangkan dalam catatan World Health Organization (WHO) 2012, terdapat data dari
beberapa penyakit yang dianggap penyakit gawat darurat dan menjadi penyumbang kematian
terbanyak di dunia di antaranya ialah penyakit jantung iskemik 7,4 juta (13,2%); stroke 76,7 juta
(11,9%); penyakit paru obstruktif kronik 3,1 juta jiwa (5,6%); infeksi pernafasan bawah 3,1 juta
(5,5%); dan kanker 1,6 juta (2,9%). Kasus cedera atau kecelakaan memberikan angka kematian
3
mencapai 1,2 juta. Banyaknya pasien dengan kasus gawat darurat yang masuk ke rumah sakit
sangat memerlukan pertolongan dengan segera agar tidak terjadi kecacatan dan kematian. Oleh
karena itu, jika permasalahan penanganan pasien di IGD ini tidak dilakukan secara ketat, cepat,
dan tepat, bukanlah tidak mungkin bila angka kematian atau kecacatan pasien justru akan
semakin meningkat. Untuk itu, permasalahan kegawatdaruratan di rumah sakit hendaknya
menjadi perhatian utama dalam manajemen penanganan pasien.
Menurut data yang dirilis Kemenkes tahun 2020 melalui KMK Nomor
HK.01.07/MENKES/104/2020, menyatakan bahwa telah terjadi peningkatan kasus
kegawatdaruratan yang secara spesifik berkaitan dengan penanganan Covid-19 berlangsung
sangat cepat dan menyebar dalam waktu yang relatif singkat. Selanjutnya, Kemenkes (2020),
menyebutkan bahwa sampai pada tanggal 9 Juli 2020, WHO melaporkan bahwa telah didapati
angka 1.184.226 kasus konfirmasi dengan 545.481 kematian di seluruh dunia (case fatality
rate/CFR 4,6%). Sedangkan jumlah kasus di Indonesia sampai tanggal 9 Juli 2020, Kemenkes
melaporkan telah didapati sebanyak 70.736 kasus konfirmasi covid-19 dengan 3.417 kasus
meninggal (case fatality rate/CFR 4,8%). Dengan jumlah kasus yang sedemikian besar, bahkan
bisa dinyatakan lebih tinggi dari kasus dunia, selanjutnya Presiden melalui Keppres Nomor 11
Tahun 2020 tentang Kedaruratan Kessehatan Masyarakat Corona Virus Disease-2019 (Covid-
19) menetapkan covid-19 sebagai jenis penyakit yang menimbulkan Kedaruratan Kesehatan
Masyarakat (KKM) dan menetapkan KKM Covid-19 di Indonesia yang wajib dilakukan upaya
penanggulangan sesuai peraturan perundang-undangan, sekaligus dinyatakan sebagai Bencana
Nasional.
Sementara di Kabupaten Kudus, sebagaimana yang disebutkan oleh Amad Muchamad,
dkk. (2019), dalam jurnal penelitiannya yang diambil dari data Dinas Kesehatan Kabupaten
Kudus mengungkapkan bahwa kasus kegawatdaruratan cenderung mengalami kenaikan, yakni
tahun 2016 sejumlah 1757 kasus, tahun 2017 sejumlah 2976 kasus, dan tahun 2018 sejumlah
3363 kasus. Secara lebih spesifik, jumlah kasus kedaruratan dapat pula dicermati yang terjadi di
Rumah Sakit Mardi Rahayu Kudus selama 4 (empat) tahun terakhir dengan catatan sebagai
berikut: pada tahun 2018 terdapat 294 pasien dari 314 kunjungan, tahun 2019 terdapat 339
pasien dari 375 kunjungan, tahun 2020 terdapat 241 pasien dari 271 kunjungan, dan tahun 2021
sampai pada bulan Mei tercatat ada 114 pasien dari 120 kunjungan.
4
1.2. Rumusan Masalah
Apakah ada hubungan antara Response Time, yang mencakup waktu assessment, waktu
review dan konsultasi, sampai pada waktu transfer pasien dengan Length of Stay pasien di
Instalasi Gawat Daruat (IGD) Rumah Sakit Mardi Rahayu Kudus dengan menggunakan
pendekatan Time Frame Guide Emergency Model of Care?
5
2. Institusi Rumah Sakit
Hasil penelitian dapat menjadi masukan dan evaluasi kinerja di Instalasi Gawat Darurat
Rumah Sakit Mardi Rahayu Kudus, dalam upaya peningkatan kualitas pelayanan kesehatan
masyarakat dan perawatan yang lebih efisien.
3. Institusi Pendidikan
Hasil penelitian ini dapat memberikan informasi ilmiah tentang hubungan antara faktor-faktor
dalam response time yang mencakup waktu assessment, waktu review dan konsultasi, sampai
pada waktu transfer pasien dengan Length of Stay pasien di Instalasi Gawat Darurat,
khususnya di Rumah Sakit Mardi Rahayu Kudus sekaligus menambah kasanah keilmuan
manajemen keperawatan gawat darurat melalui pendekatan Emergency Model of Care.
6
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
7
reseptor ACE2. Studi tersebut juga menemukan bahwa SARS-CoV-2 tidak menggunakan
reseptor virus corona lainnya seperti Aminopeptdase N (APN) dan Dipeptdyl peptdase-4 (DPP-
4).
Sebagaimana yang dinyatakan oleh Tim Kerja Kemendagri (2020:3), coronavirus
merupakan keluarga besar virus yang menyebabkan penyakit pada manusia dan hewan. Pada
manusia biasanya menyebabkan penyakit infeksi saluran pernapasan, mulai flu biasa hingga
penyakit yang serius seperti Middle East Respiratory Syndrome (MERS) dan Sindrom
Pernapasan Akut Berat/ Severe Acute Respiratory Syndrome (SARS). Penyakit ini terutama
menyebar melalui percikan hembusan pernapasan dari batuk dan bersin. Virus ini dapat tetap
bertahan hingga tiga hari pada plastik dan stainless steel atau dalam aerosol selama tiga jam.
Virus ini juga telah ditemukan pada feses, tetapi resiko penularan melalui feses diperkirakan
rendah (van Doremalen, 2020:1056).
Corona virus jenis baru yang ditemukan pada manusia sejak kejadian luar biasa muncul
di Wuhan China, pada Desember 2019, kemudian diberi nama Severe Acute Respiratory
Syndrome Coronavirus 2 (SARS-COV2), dan menyebabkan penyakit Coronavirus Disease-
2019 (COVID-19). Covid-19 termasuk dalam genus dengan lor elliptic dan sering berbentuk
pleomorik, dan berdiameter 60-140 nm. Virus ini secara genetik sangat berbeda dari virus
SARS-CoV dan MERS-CoV.
Penelitian yang telah dilakukan sejauh ini menunjukkan bahwa homologi antara Covid-
19 dan memiliki karakteristik DNA coronavirus pada kelelawar-SARS yaitu dengan kemiripan
lebih dari 85%. Ketika dikultur pada vitro, Covid-19 dapat ditemukan dalam sel epitel
pernapasan manusia setelah 96 jam. Sementara itu untuk mengisolasi dan mengkultur vero E6
dan Huh-7 garis sel dibutuhkan waktu sekitar 6 hari.
Paru-paru adalah organ yang paling terpengaruh oleh Covid-19, karena virus mengakses
sel inang melalui enzim ACE2, yang paling melimpah di sel alveolar tipe II paru-paru. Virus ini
menggunakan glikoprotein permukaan khusus, yang disebut “spike”, untuk terhubung ke ACE2
dan memasuki sel inang (Letko, dalam Pedoman Umum Menghadapi Pandemi Covid-19,
2020:8). Kepadatan ACE2 di setiap jaringan berkorelasi dengan tingkat keparahan penyakit di
jaringan itu dan beberapa ahli berpendapat bahwa penurunan aktivitas ACE2 mungkin bersifat
protektif. Dan seiring perkembangan penyakit alveolar, kegagalan pernapasan mungkin terjadi
dan kematian tidak dapat terhindarkan.
8
2.1.2. Karakteristik Epidemologi
Data yang ditunjukkan WHO sejak masa awal epidemi Desember 2019 sampai 3 Maret
2020 telah dilaporkan total 87.137 kasus yang dikonfirmasi di seluruh dunia. Dari jumlah
tersebut, 2977 (3,42%) telah berakibat kematian. Sekitar 92% (79.968) dari kasus yang
dikonfirmasi dicatat di China, lokasi di mana hampir semua kematian juga dicatat (2.873,
96,5%). Dari catatan tersebut, ditunjukkan pula bahwa kasus “terkonfirmasi” yang dilaporkan
antara 13 Februari 2020 dan 19 Februari 2020, termasuk pasien yang dikonfirmasi secara klinis
dan yang didiagnosis secara klinis berasal dari provinsi Hubei. Selanjutnya, data persebaran
Covid-19 per 2 Maret 2020 menunjukkan bahwa di luar China, ada 7169 kasus yang
dikonfirmasi di 59 negara. Sejak saat itu coronavirus masih terus berkembang dan secara laten
mengalami mutasi menjadi beberapa varian baru serta hingga saat ini telah menelan jutaan
korban di seluruh dunia meninggal dunia, tak terkecuali Indonesia.
a. Orang dalam pemantauan
Orang yang dikategorikan sebagai Orang Dalam Pemantauan (ODP) adalah seseorang
yang mengalami gejala demam (≥38°C) atau memiliki riwayat demam atau ISPA tanpa
pneumonia. Selain itu seseorang yang memiliki riwayat perjalanan ke negara yang terjangkit
pada 14 hari terakhir sebelum timbul gejala juga dimasukkan ke dalam kategori ini.
b. Pasien dalam pengawasan
1) Seseorang yang mengalami memiliki riwayat perjalanan ke negara yang terjangkit pada 14
hari terakhir sebelum timbul gejala-gejala Covid-19 dan seseorang yang mengalami gejala-
gejala, antara lain: demam (>38°C); batuk, pilek, dan radang tenggorokan, pneumonia ringan
hingga berat berdasarkan gejala klinis dan/atau gambaran radiologis; serta pasien dengan
gangguan sistem kekebalan tubuh (immunocompromised) karena gejala dan tanda menjadi
tidak jelas.
2) Seseorang dengan gejala demam >38°C atau ada riwayat demam atau ISPA ringan sampai
berat. Selanjutnya, pada 14 hari terakhir sebelum timbul gejala, memiliki salah satu dari
paparan berikut: riwayat kontak dengan kasus terkonfirmasi Covid-19, bekerja atau
mengunjungi fasilitas kesehatan yang berhubungan dengan pasien terkonfirmasi Covid-19,
9
memiliki riwayat perjalanan dari dan ke Provinsi Hubei, memiliki sejarah kontak dengan
orang yang memiliki riwayat perjalanan pada 14 hari terakhir ke Provinsi Hubei.
c. Mekanisme penularan
Covid-19 paling utama ditransmisikan oleh tetesan aerosol penderita dan melalui kontak
langsung. Aerosol kemungkinan ditransmisikan ketika orang memiliki kontak langsung dengan
penderita dalam jangka waktu yang terlalu lama. Konsentrasi aerosol di ruang yang relatif
tertutup akan semakin tinggi sehingga penularan akan semakin mudah.
d. Karakteristik klinis
Berdasarkan penyelidikan epidemiologi saat ini, masa inkubasi Covid-19 berkisar antara
1 hingga 14 hari, dan umumnya akan terjadi dalam 3 hingga 7 hari. Demam, kelelahan dan batuk
kering dianggap sebagai manifestasi klinis utama. Gejala seperti hidung tersumbat, pilek,
pharyngalgia, myalgia dan diare relatif jarang terjadi pada kasus yang parah, dispnea dan / atau
hipoksemia biasanya terjadi setelah satu minggu setelah onset penyakit, dan yang lebih buruk
dapat dengan cepat berkembang menjadi sindrom gangguan pernapasan akut, syok septik,
asidosis metabolik sulit untuk dikoreksi dan disfungsi perdarahan dan batuk serta kegagalan
banyak organ, dll. Pasien dengan penyakit parah atau kritis mungkin mengalami demam sedang
hingga rendah, atau tidak ada demam sama sekali. Kasus ringan hanya hadir dengan sedikit
demam, kelelahan ringan dan sebagainya tanpa manifestasi pneumonia.
Dari kasus yang ditangani saat ini, sebagian besar pasien memiliki prognosis yang baik.
Orang tua dan orang-orang dengan penyakit kronis yang mendasari biasanya memiliki prognosis
buruk sedangkan kasus dengan gejala yang relatif ringan sering terjadi pada anak-anak.
Secara jelas World Health Organization (WHO) menyatakan Covid-19 sebagai pandemik
global. Demikian halnya, Presiden Republik Indonesia secara resmi juga telah menyatakan
bahwa penyebaran Covid-19 sebagai Bencana Nasional (Bencana Non-Alam). Kedua penyataan
tegas tersebut, sekaligus telah terdapat jutaan korban yang meninggal dunia merupakan suatu
isyarat kuat bahwa kasus Covid-19 mengandung makna kedaruratan tingkat tinggi dan juga harus
mendapatkan respons tingkat tinggi dari seluruh elemen masyarakat, terlebih lagi pada kalangan
tenaga kesehatan yang berada pada barisan terdepan dalam menuntaskan kasus Covid-19 dan
menjamin keselamatan serta kelangsungan hidup manusia sebagai misi utamanya.
11
nyawa atau fungsi vital, namun tidak menuntut untuk segera ditangani dalam waktu dekat, meski
demikian perlu penanganan dan pemindahan yang bersifat tidak boleh terlambat; Prioritas III,
warna hijau yang berarti memerlukan penanganan seperti pelayanan biasa, tidak perlu segera/
tergesa-gesa; Prioritas 0, warna hitam, yang berarti kemungkinan untuk hidup sangat kecil, luka
sangat parah. Perawat wajib memahami hal ini sebagai pengetahuan dasar dalam praktik di
instalasi gawat darurat.
12
time yang cepat dan efisien dengan penanganan yang tepat. Kinerja tersebut akan dapat
dilaksanakan secara baik jika ditunjang dengan tersedianya sarana dan prasarana yang lengkap,
sumber daya manusia yang kompeten dan manajemen kegawatdaruratan yang sesuai standar
sebagaimana yang telah ditetapkan oleh kementerian kesehatan. Adapun standar baku dalam
pelayanan gawat darurat yang ditetapkan kementerian kesehatan melalui Kepmenkes RI No.
856/Menkes/SK/IX/2009 sebagai acuan dasar dalam pengembangan pelayanan di Instalasi
Gawat Darurat, antara lain:
Standar 1: Falsafah dan Tujuan
Instalasi gawat darurat dapat memberikan pelayanan gawat darurat kepada masyarakat
yang menderita penyakit akut dan mengalami kecelakaan sesuai dengan standar.
Kriteria:
1. Rumah Sakit menyelenggarakan pelayanan gawat darurat secara terus menerus selama 24
jam, 7 hari dalam seminggu.
2. Instalasi gawat darurat yang tidak terpisah secara fungsional dari unit-unit pelayanan lainnya
di rumah sakit.
3. Adanya kebijakan/ prosedur tertulis tentang pasien yang tidak tergolong akut gawat akan
tetapi datang untuk berobat di Instalasi Gawat Darurat.
4. Adanya evaluasi tentang fungsi Instalasi Gawat Darurat disesuaikan dengan kebutuhan
masyarakat.
5. Penelitian dan pendidikan akan berhubungan dengan fungsi Instalasi Gawat Darurat dan
kesehatan masyarakat harus diselenggarakan.
Standar 2: Administrasi dan Pengelolaan
Instalasi Gawat Darurat harus dikelola dan diintegrasikan dengan Instalasi/ Unit lainnya
di Rumah Sakit. Kriteria:
1. Adanya dokter terlatih sebagai kepala Instalasi Gawat Darurat yan gbertanggungjawab atas
pelayanan di Instalasi Gawat Darurat. Ada perawat sebagai penanggungjawab pelayanan
keperawatan gawat darurat. Semua tenaga dokter dan keperawatan mampu melakukan
teknik pertolongan hidup dasar (Basic Life Support).
2. Ada program penanggulangan korban massal, bencana (disaster plan) terhadap kejadian di
dalam rumah sakit ataupun di luar rumah sakit.
3. Semua staff/ pegawai harus menyadari dan mengetahui kebijakan dan tujuan dari Instalasi/
unit kerja.
13
4. Ada ketentuan tertulis tentang manajemen informasi medis (prosedur) rekam medik.
5. Semua pasien yang masuk harus melalui triase.
6. Rumah sakit yang hanya dapat memberi pelayanan terbatas pada pasien gawat darurat harus
dapat mengatur untuk rujukan ke rumah sakit yang lainnya dengan kriteria: ada ketentuan
tertulis indikasi tentang pasien yang dirujuk ke rumah sakit lainnya. Ada ketentuan tertulis
tentang pendamping pasien yang ditransportasi.
7. Pasien dengan kegawatan yang mengancam nyawa harus selalu diobservasi dan dipantau
oleh tenaga terampil dan mampu.
8. Tenaga cadangan untuk unit harus diatur dan disesuaikan dengan kebutuhan, dengan
kriteria: ada jadwal jaga harian bagi konsultan, dokter dan perawat serta petugas non-medis
yang bertugas di Instalasi Gawat Darurat.
9. Pelayanan radiologi, hematologi, kimia, mikrobiologi dan patologi, harus diorganisir/ diatur
sesuai kemampuan pelayanan rumah sakit; adanya pelayanan transfusi darah selama 24 jam.
10. Ada ketentuan tentang pengadaan peralatan obat-obatan Life Saving, cairan infus sesuai
dengan standar dalam Buku Pedoman Pelayanan Gawat Darurat Departemen Kesehatan
yang berlaku.
11. Pasien yang dipulangkan harus mendapat petunjuk dan penerangan yang jelas mengenai
penyakit dan pengobatan selanjutnya.
12. Rekam medik harus disediakan untuk setiap kunjungan dengan sistem yang optimum, yaitu
bila rekam medik unit gawat darurat menyatu dengan rekam medik rumah sakit.
13. Ada bagan/ struktur organisasi tertulis disertai uraian tugas semua petugas lengkap dan
sudah dilaksanakan dengan baik.
Standar 3: Staf dan Pimpinan
Instalasi Gawat Darurat dipimpin oleh dokter, dibantu oleh tenaga medis keperawatan
dan tenaga lainnya yang telah mendapat Pelatihan Penanggulangan Gawat Darurat (PPGD).
Kriteria:
Jumlah, jenis, dan kualifikasi tenaga yang tersedia di Instalasi Gawat Darurat harus sesuai
dengan kebutuhan pelayanan. Unit harus mempunyai bagan organisasi yang dapat menunjukkan
hubungan antara staf medis, keperawatan dan penunjang medis, serta garis otoritas dan garis
tanggungjawab. Instalasi Gawat Darurat harus memiliki bukti tertulis tentang pertemuan staf
yang dilakukan secara tetap dan teratur membahas masalah pelayanan gawat dan langkah
pemecahannya. Rincian tugas tertulis sejak awal penugasan, yakni saat mulai diterima sebagai
tenaga kerja harus selalu ada bagi setiap petugas. Supervisi penilaian kinerja seluruh staf harus
14
diberikan secara berkala sebagai umpan balik. Demikian pula dengan pimpinan yang harus
menyusun program kerja tahunan.
Standar 4: Fasilitas dan Peralatan
Fasilitas yang disediakan di Instalasi Gawat Darurat harus menjamin efektivitas dan
efisiensi bagi pelayanan gawat darurat dalam waktu 24 jam, 7 hari dalam seminggu secara terus-
menerus. Kriteria:
1. Di Instalasi Gawat Darurat harus ada petunjuk dan informasi yang jelas bagi masyarakat
sehingga menjamin adanya kemudahaan, kelancaran, dan ketertiban dalam memberikan
pelayanan kepada masyarakat.
2. Letak Instalasi Gawat Darurat harus diberi petunjuk jelas sehingga dapat dilihat dari jalan,
baik di dalam maupun di luar rumah sakit.
3. Ada kemudahan bagi kendaraan roda empat dari luar untuk mencapai lokasi Instalasi Gawat
Darurat di rumah sakit, serta kemudahan transportasi pasien dari dan ke Instalasi Gawat
Darurat dari dalam rumah sakit.
4. Ada pemisahan tempat pemeriksaan dan tindakan sesuai dengan kondisi penyakit.
5. Daerah yang tenang agar disediakan untuk keluarga yang berduka atau gelisah.
6. Besarnya rumah sakit menentukan perlu tidaknya ruang penyimpanan alat steril, obat cairan
infus, alat kedokteran, serta ruang penyimpanan lain; ruang kantor untuk staf, perawat, dan
lain-lain; ruang pembersihan dan ruang pembuangan; ruang rapat dan ruang istirahat.
7. Ada sistem komunikasi untuk menjamin kelancaran hubungan antara unit gawat darurat
dengan unit lain di dalam dan di luar rumah sakit terkait serta sarana kesehatan lain.
8. Pelayanan ambulans.
9. Unit pemadam kebakaran.
10. Konsulen SMF di Instalasi Gawat Darurat.
11. Harus ada pelayanan radiologi yang diorganisasi dengan baik serta lokasinya berdekata
dengan unit gawat darurat.
12. Tersedianya alat dan obat untuk life saving sesuai dengan standar pada Buku Pedoman
Pelayanan Gawat Darurat yang berlaku.
Standar 5: Kebijakan dan Prosedur
Di setiap unit harus ada kebijakan dan prosedur pelaksanaan secara tertulis yang selalu
ditinjau dan disempurnakan (bila perlu) dan mudah dilihat oleh seluruh petugas. Kriteria:
15
1. Ada petunjuk tertulis Standar Operasional Prosedur (SOP) untuk menangani: kasus
perkosaan, kasus keracunan, asuransi kecelakaan, lima besar gawat darurat murni (true
emergency) sesuai dengan data morbiditas di Instalasi Gawat Darurat dan kasus kegawatan
di ruang rawat inap (sistem code blue).
2. Ada prosedur media tertulis yang antara lain berisi: tanggungjawab dokter, batasan tindakan
medis, protokol medis untuk kasus-kasus tertentu yang mengancam jiwa.
3. Ada prosedur tetap mengenai penggunaan obat dan alat untuk life saving sesuai dengan
standar.
4. Ada kebijakan dan prosedur tertulis tentang ibu dala proses persalinan normal maupun tidak
normal.
Standar 6: Pengembangan Staff dan Program Pendidikan
Instalasi Gawat Darurat dapat dimanfaatkan untuk pendidikan dan pelatihan (in service
training) dan pendidikan berkelanjutan bagi petugas. Kriteria:
Ada program orientasi/ pelatihan bagi petugas baru yang bekerja di unit gawat darurat.
Ada program tertulis setiap tahun tentang peningkatan keterampilan bagi tenaga di Instalasi
Gawat Darurat. Ada latihan secara teratur bagi petugas Instalasi Gawat Darurat dalam keadaan
menghadapi berbagai bencana. Ada program tertulis setiap tahun bagi peningkatan keterampilan
dalam bidang gawat darurat untuk pegawai rumah sakit dan masyarakat.
Standar 7: Evaluasi dan Pengendalian Mutu
Ada upaya secara terus-menerus untuk menilai kemampuan dan hasil pelayanan Instalasi
Gawat Darurat. Kriteria:
1. Ada data an informasi mengenai jumlah kunjungan, kecepatan pelayanan (response time),
pola penyakit/ kecelakaan (10 terbanyak), dan angka kematian.
2. Instalasi Gawat Darurat harus menyelenggarakan evaluasi terhadap pelayanan kasus gawat
darurat, sedikitnya 1 (satu) kali dalam setahun.
3. Instalasi Gawat Darurat harus menyelenggarakan evaluasi terhadap kasus-kasus tertentu,
sedikitnya 1 (satu) kali dalam setahun.
Standarisasi Instalasi Gawat Darurat untuk mencapai mutu pelayanan saat ini menjadi
salah satu komponen penilaian penting dalam akreditasi rumah sakit. Selanjutnya, berdasarkan
Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 129 Tahun 2009, Standar Pelayanan Minimal (SPM)
16
rumah sakit untuk pelayanan Instalasi Gawat Darurat memiliki beberapa indikator sebagai
berikut:
Tabel 2.1
Key Performance Indicators Instalasi Gawat Darurat Rumah Sakit
(Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 129 Tahun 2009)
Jenis Indikator Standar
Pelayanan
Gawat Darurat 1. Kemampuan menangani live saving anak 100%
dan dewasa.
2. Jam buka pelayanan Gawat Darurat. 24 jam
3. Pemberian pelayanan gawat darurat 100%
yang bersertifikat yang masih berlaku
(BLS/PPGD/GELS/ALS)
4. Ketersediaan tim penanggulangan 1 (satu) Tim
bencana.
5. Waktu tanggap (response time) < 5 (lima) menit terlayani, setelah
pelayanan dokter di Gawat Darurat. pasien datang.
6. Kepuasan pelanggan. > 70%
7. Kematian pasien < 24 jam. < 2/1000 (dua per seribu) pindah ke
pelayanan rawat inap setelah 8 jam.
8. Khusus untuk RS Jiwa, pasien dapat 100%
ditenangkan dalam waktu < 48 jam.
9. Tidak adanya pasien yang diharuskan 100%
membayar uang muka.
17
Proses triage dilakukan ketika pasien datang pertama kali di Instalasi Gawat Darurat
(IGD) bersamaan dengan proses pendaftaran pasien yang dilakukan oleh keluarga pasien atau
pihak lain yang mendampingi kedatangan pasien. Proses triage dapat dibagi ke dalam 4 (empat)
tingkatan prioritas, antara lain:
Prioritas I (Label Biru): Resusitasi
Prioritas pertama adalah pasien dengan kondisi sangat gawat yang mengancam nyawa
dengan gangguan fungsi vital (Airway-Breathing-Circulation) dan memerlukan tindakan
resusitasi dan stabilisasi.
Prioritas II (Label Merah): Emergency
Prioritas kedua adalah pasien dena kondisi gawat dengan fungsi vital (Airway-Breathing-
Circulation) yang relative stabil.
Prioritas III (Label Kuning): Urgent
Prioritas ketiga adalah pasien dalam kondisi darurat yang berpotensi mengancam jiwa
atau fungsi vital bila tidak segera ditangani.
Prioritas IV (Label Hijau): Non-Emergency
Prioritas keempat adalah pasien gawat darurat semu (false emergency) yang tidak
memerlukan tindakan atau perawatan segera.
Adapun prinsip pelayanan di triage adalah “Triaging The Right Patient, To The Right
Place, At The Right Time” yang memuat makna bahwa pelayanan kegawatdaruratan harus
mampu memastikan pasien yang tepat untuk mendapatkan perawatan yang tepat dalam waktu
yang seefisien mungkin. Setelah melewati proses triage, pasien ditransfer ke ruang resusitasi
atau ruang medik atau ruang bedah untuk memperoleh penanganan lebih lanjut.
Langkah berikutnya adalah pasien akan mendapatkan assessment awal, intervensi dan
pemeriksaan penunjang (laboratorium, radiologi), yang kemudian akan dilanjutkan pada tahap
review oleh tim spesialis/konsultasi sampai adanya disposisi untuk KRS, MRS, operasi atau
tindakan khusus.
Gambar 2.1
Alur Pelayanan Pasien Instalasi Gawat Darurat
18
2.3. Response Time (Waktu Tanggap)
2.3.1. Pengertian Response Time (Waktu Tanggap)
Menurut Kepmenkes (2009), response time atau waktu tanggap yang diberikan pada
pasien yang datang ke Instalasi Gawat Darurat (IGD) memerlukan standar sesuai dengan
kompetensi dan kemampuannya sehingga dapat menjamin suatu penanganan dengan response
time yang cepat dan penanganan yang tepat. Hal ini dapat dicapai dengan meningkatkan sarana,
prasarana, kompetensi sumber daya manusia dan sistem manajemen IGD rumah sakit yang
sesuai dengan standar.
Sedangkan Suhartati (2011), secara lebih spesifik menegaskan bahwa response time
merupakan kecepatan dalam penanganan pasien, dihitung sejak pasien datang sampai dilakukan
perawatan. Waktu tanggap yang baik bagi pasien yaitu tidak lebih dari 5 (lima) menit.
Perawatan gawat darurat harus memegang prinsip time saving is live saving, bahwa
seluruh tindakan yang dilakukan pada saat kondisi gawat darurat harus benar-benar sesingkat
mungkin dengan tindakan yang tepat demi menyelamatkan kehidupan. Falsafah ini hendak
menegaskan bahwa pasien dapat kehilangan nyawa hanya dalam hitungan menit bahkan detik
dan oleh karena itu perawat harus bertindak cepat dan tepat.
2.3.2. Penerapan Response Time (Waktu Tanggap)
Response Time (waktu tanggap) pelayanan merupakan waktu keseluruhan dari waktu
tanggap awal yakni pada saat pasien tiba di depan pintu rumah sakit sampai mendapat
19
penanganan atau respons dari petugas Instalasi Gawat Darurat dengan waktu layanan yang
diperlukan bagi pasien sampai tuntas.
Response Time (waktu tanggap) pelayanan dapat diukur dalam hitungan waktu tertentu
(detik, menit, atau jam) dan hal ini sangat dipengaruhi oleh berbagai faktor, baik mengenai
jumlah tenaga yang tersedia maupun komponen-komponen lain yang mendukung seperti
pelayanan laboratorium, radiologi, farmasi dan administrasi. Response Time (waktu tanggap)
dikatakan tepat waktu atau tidak terlambat apabila waktu yang diperlukan tidak melebihi waktu
rata-rata standar yang ada (Haryatun, 2005).
Sudaryanto (2015), memiliki pandangan yang hampir sama dengan menyatakan bahwa
Response Time (waktu tanggap) merupakan waktu antara dari permulaan suatu permintaan
ditanggapi, dengan kata lain dapat disebut waktu tanggap. Waktu tanggap yang baik bagi pasien
yaitu tidak lebih dari 5 (lima) menit. Waktu tanggap pelayanan dapat dihitung dengan hitungan
menit dan sangat dipengaruhi oleh berbagai hal baik mengenai jumlah tenaga maupun
komponen-komponen lain yang mendukung seperti laboratorium, radiologi, farmasi dan
administrasi. Waktu tanggap dikatakan tepat waktu atau tidak terlambat apabila waktu yang
diperlukan tidak melebihi waktu rata-rata standar yang ada.
20
dengan mempertimbangkan sarana, sumber daya manusia, dan probabilitas hidup penderita (N.
Dewi Kartikawati, 2011). Adapun tujuan utama yang hendak dicapai pada proses triase, antara
lain:
a. Mengidentifikasi kondisi yang mengancam nyawa.
b. Memprioritaskan pasein menurut kondisi keakuratannya.
c. Menggali data yang lengkap tentang keadaan pasien.
d. Menempatkan pasien sesuai dengan tempatnya berdasarkan pengkajian yang akurat (N Dewi
Kartikawati, 2011).
Di samping itu, triase juga harus memuat prinsip-prinsip pokok berikut:
a. Triase harus dilakukan dengan segera dan singkat.
b. Kemampuan untuk menilai dan merespons secara cepat sehingga memungkinkan dapat
menyelamatkan pasien dari kondisi sakit atau cedera yang mengancam nyawa di IGD.
c. Pengkajian harus dilakukan secara adekuat dan akurat.
d. Keakuratan dan ketepatan data merupakan kunci dalam proses pengkajian.
e. Keputusan dibuat berdasarkan pengkajian.
f. Keselamatan dan keefektifan perawatan pasien dapat direncanakan jika terdapat data dan
informasi yang akurat dan adekuat.
g. Intervensi yang dilakukan berdasarkan kondisi kekuatan pasien.
h. Tanggung jawab yang paling utama dari proses triase yang dilakukan perawat adalah
keakuratan dalam mengkaji pasien dan memberikan perawatan sesuai dengan prioritas pasien.
i. Tercapainya kepuasan pasien:
1) Perawat triase harus menjalankan triase secara cepat dan langsung sesuai keluhan pasien.
2) Menghindari keterlambatan dalam perawatan pada kondisi yang kritis.
3) Memberikan dukungan emosional pada pasien dan keluarga.
j. Menempatkan pasien pada tempat benar dan waktu yang tepat dengan penyediaan pelayanan
yang benar (N. Dewi Kartikawati, 2011).
Sistem tingkat kedaruratan triase mempunyai arti yang penting karena pada dasarnya
triase merupakan suatu proses mengkomunikasikan kondisi kegawatdaruratan pasien di IGD.
Jika data hasil pengkajian triase dikumpulkan secara akurat dan konsisten, maka petugas IGD
dapat menggunakan keterangan tersebut untuk menilai dan menganalisis secara tepat, serta
21
menentukan suatu kebijakan, seperti berapa lama pasien dirawat di IGD, berapa hari pasien harus
dirawat di rumah sakit jika pasien diharuskan untuk rawat inap, dan sebagainya.
Instalasi Gawat Darurat (IGD) pada dasarnya senantiasa berada di bawah tekanan yang
semakin hari semakin meningkat karena tingginya permintaan layanan gawat darurat dan akses
tempat tidur rawat inap. Pada umumnya, kurangnya sumber daya yang tersedia di IGD untuk
memenuhi permintaan layanan gawat darurat menyebabkan kondisi crowding dan access block
yang mengakibatkan pasien mengantri berkepanjangan menunggu tersedianya tempat tidur rawat
inap. Salah satu upaya untuk memenuhi permintaan perawatan gawat darurat adalah dengan
mengoptimalkan IGD serta kapasitas tempat tidur rumah sakit. Situasi umum di rumah sakit
semacam ini rupanya telah lama menjadi perhatian dunia. Pada tahun 2000, Inggris telah
membuat kesepakatan reformasi kesehatan nasional yang kemudian diberlakukan di seluruh
Inggris Raya (United Kingdom), yakni sebuah kebijakan “Four Hour Rule Programme” atau
“Program Aturan Empat Jam”. Kebijakan ini utamanya dimaksudkan untuk memperbaiki akses
terhadap perawatan gawat darurat dengan mengurangi crowding dan access block serta hal-hal
negatif lain yang terkait dengan permasalah tersebut. Adapun isi kebijakan tersebut adalah
mengharuskan pasien IGD untuk dirawat, dirujuk, atau dipulangkan dalam waktu empat jam
setelah kedatangannya di IGD, yang secara klinis hal tersebut memungkinkan untuk dilakukan.
Selanjutnya, kebijakan ini kemudian diadopsi oleh pemerintah Australia pada tahun 2010 dan
ditetapkan sebagai National Emergency Access Target (NEAT). Pada tahap berikutnya, Menteri
Kesehatan The New South Wales mengeluarkan sebuah panduan model keperawatan di IGD
yang disebutnya sebagai Emergency Model of Care yang dikembangkan dari alur ideal pasien di
IGD pada tahun 2006 yang kemudian diperbaharui tahun 2013.
Jadi, Emergency Model of Care (MOC) adalah sebuah model perawatan di IGD yang
pertama kali dicetuskan di Inggris pada tahun 2000 dan menjadi sebuah aturan umum yang
dikeluarkan oleh kementerian kesehatan The New South Wales (NSW) tahun 2006, lalu diadopsi
oleh Australia pada tahun 2010 dan kemudian menyebar ke seluruh dunia yang diakui oleh
WHO. Model perawatan ini menjelaskan tentang permasalahan-permasalahan utama dalam
22
penyediaan layanan gawat darurat dan menekankan pada adanya alur ideal pasien (ideal patient
journey) di IGD untuk memberikan perawatan darurat yang tepat waktu dan berkualitas.
Prinsip utama dan mendasar dari model perawatan ini adalah mengutamakan pasien yang
memerlukan perawatan khusus dan bisa dilayani di IGD. Sedangkan pasien yang tidak
memerlukan pemeriksaan medis, resusitasi atau stabilisasi, namun dipandang memang perlu
masuk rumah sakit untuk perawatan lebih lanjut, sebaiknya langsung saja dan tidak perlu dirawat
melalui IGD. Adapun beberapa hal yang menjadi perhatian pada model perawatan ini antara lain:
a. Getting the right patient to the right place by the right resources, artinya menempatkan
pasien yang tepat di tempat yang tepat untuk segera mendapatkan perawatan dan
didukung oleh sumber daya yang tepat serta memastikan kelancaran alur masuk pasien di
IGD.
b. Early assesement and streaming to an appropriate MOC, yakni melakukan penilaian
secara cepat dan mengalihkan pasien sesuai Model of Care (MOC).
c. Designated specially MOC for patient cohorts, bahwa model ini dirancang secara khusus
menggunakan pendekatan kohort pasien.
d. Menekankan pada pendekatan kerja tim dalam merawat pasien.
e. Memastikan para perawat IGD melakukan tugas secara efisien tanpa adanya kerja
rangkap (efisiensi menyeimbangkan kualitas, biaya dan meminimalkan duplikasi
pekerjaan).
f. Perawatan pasien terkoordinasi secara baik, termasuk antara konsultan spesialis, layanan
diagnostik dan perawatan pasien.
g. Langkah pemantauan dan evaluasi yang ketat.
h. Kepatuhan terhadap prinsip-prinsip model perawatan MOC.
Jadi, aturan adanya alur ideal pasien di IGD tersebut digunakan untuk mengembangkan
model perawatan yang cepat dan efisien di rumah sakit. Alur tersebut dimaksudkan sebagai
model perawatan untuk memberikan kelancaran seluruh proses perawatan di IGD yang paling
tepat bagi pasien sedini mungkin, semakin cepat dan efisien. Tujuan itu dapat dicapai dengan
memberikan perhatian utama pada proses triase yang cepat dan menekankan penilaian awal yang
tepat, serta intervensi dan disposisi sesegera mungkin.
23
Alur ideal pasien di IGD dalam Emergency Model of Care ini memberikan beberapa hal
yang harus mendapatkan perhatian utama, yakni:
1. Awal masuk pasien.
2. Triase dan registrasi.
3. Resusitasi dan trauma.
4. Perawatan pasien akut yang disertai komplikasi, tidak dapat bergerak atau berpindah
tempat, dan pasien dengan tingkat kegawatan tinggi.
5. Penilaian cepat dilakukan oleh staff senior IGD dan proses pengalihan pasien pada proses
berikutnya sesuai alur Model of Care (MOC), mencakup penentuan diagnosis dini,
rencana manajemen klinis dan keputusan disposisi serta peran perawat senior di IGD.
6. Perawatan pasien dengan tingkat kegawatan rendah, yang disertai komplikasi, namun
tidak dapat bergerak atau berpindah tempat, termasuk dalam kategori sub-akut dan
ditempatkan pada area klinis awal multifungsi (Early Treatment Zone (ETZ)).
7. Perawatan pasien yang tidak disertai komplikasi dan dapat bergerak atau berpindah
tempat masuk pada perawatan jalur cepat (Fast Track).
8. Model Non-ED pada diagnosis dini dan perawatan dengan tingkat kegawatan rendah.
Gambar 2.2
Alur Ideal Pasien IGD
dalam konsep Emergency Model of Care (NSW Ministry of Health, 2012)
24
Karakteristik alur ideal pasien di IGD merupakan bagian dari pendekatan pasien-sentris
terhadap manajemen pengelompokan (cohort) pasien, yang bertujuan untuk memberikan akses
lebih cepat pada perawatan melalui pendekatan tim yang telah terkoordinasi terhadap perawatan
pasien, mengeliminasi duplikasi proses (proses ganda/ tumpang tindih), mengurangi masa tunggu
yang tidak produktif, mengurangi total waktu yang dihabiskann di IGD, standardisasi perawatan
untuk mengurangi variasi.
Gambar 2.3
Time Frame Guide (2:1:1)
dalam konsep Emergency Model of Care (NSW Ministry of Health, 2012)
25
dirujuk ke rumah sakit lain, atau pulang. Seluruh proses tersebut harus benar-benar
tuntas dalam kerangka waktu keseluruhan maksimal 4 (empat) jam.
2.6.2. Triase dan Registrasi
Triase dan registrasi disederhanakan untuk menfasilitasi proses yang
efisien dan tidak menimbulkan hambatan untuk penilaian lebih lanjut dan perawatan klinis.
Hanya fungsi triase yang penting yang harus dilakukan di titik triase, yang meliputi penentuan
keparahan (acuity) pasien dan tingkat urgensi, pertolongan pertama yang mendasar jika
diperlukan, dan rujukan ke area yang paling sesuai untuk perawatan. Hal ini diikuti dengan
proses pendaftaran yang cepat oleh petugas administrasi bersama dengan perawat triase yang
merupakan elemen penting dari proses tersebut. Sedangkan pendaftaran dan pengisian data
pasien secara lengkap dapat diselesaikan oleh staf administrasi di sisi tempat tidur atau lokasi
IGD lainnya.
Gambar 2.4
Triase dan Registrasi
dalam konsep Emergency Model of Care (NSW Ministry of Health, 2012)
Dengan memusatkan perhatian pada peran inti dari triase dan membatasi assessment
triase di bawah 5 (lima) menit, waktu yang dihabiskan untuk proses triase dapat dikurangi dan
akses pasien untuk perawatan yang tepat waktu dapat lebih meningkat. Hal ini juga dapat
mengurangi tekanan pada staf triase, mengurang beban kerja dengan membatasi assessment dan
intervensi pengobatan yang berlebihan. Beberapa kunci yang menjadi prinsip utama dari model
ini, antara lain:
a. Triase merupakan titik kontak pertama pasien pada saat kedatangan di IGD.
26
b. Untuk mengurangi antrian, proses triase dan registrasi dilakukan secara simultan atau
menggunakan pendaftaran mobile (di sisi tempat tidur pasien) oleh staf administrasi.
c. Promosikan “quick triage” (triase kilat) dengan beberapa hal berikut:
- Membatasi triase di bawah 5 (lima) menit.
- Meniadakan intervensi pasien pada triase, kecuali pertolongan pertama yang sangat
mendasar.
- Menghindari duplikasi proses oleh beberapa penyedia layanan (dokter, perawat) seperti
pengambil keputusan berdasar riwayat medis terperinci.
- Mematuhi waktu yang ditetapkan dengan segera mentransfer atau memindahkan pasien ke
proses klinis selanjutnya.
2.6.3. Model Clinical Initiatives Nurse
The Clinical Initiatives Nurse (CIN) adalah peran perawat senior dalam mengelola pasien
yang mengantri di ruang tunggu IGD.
Gambar 2.5
Model Clinical Initiatives Nurse
dalam konsep Emergency Model of Care (NSW Ministry of Health, 2012)
3 (tiga) prioritas peran CIN di ruang tunggu gawat darurat, antara lain:
a. Review pasien dalam waktu pastokan triase untuk memastikan mereka tetap
aman secara klinis.
b. Menyediakan komunikasi yang berkelanjutan dengan pasien.
c. Memulai diagnosis atau perawatan dengan penekanan khusus pada keluhan nyeri
pasien.
27
Model ini memungkinkan penanganan dini terhadap kondisi akut dan mengancam
kehidupan, serta mengurangi rasa sakit dan ketidaknyamanan pada pasien di ruang
tunggu IGD dimana petugas medis tidak segera tersedia.
2.6.4. Model Resusitasi
The Resuscitation Model of Care adalah seperangkat pedoman yang
menguraikan proses klinis dan persiapan yang paling tepat dan model tim yang harus
digunakan dalam resusitasi pasien IGD (termasuk manajemen trauma). Resusitasi
Model of Care (MOC) menggambarkan pendekatan terkoordinasi dan strategis untuk
mengelola pasien resusitasi tersebut. Hal ini memungkinkan IGD untuk secara tepat
mengalokasikan sumber daya untuk memberikan perawatan berkualitas dan
meminimalkan gangguan pada bagian IGD lainnya.
Gambar 2.6
Resusitasi
dalam konsep Emergency Model of Care (NSW Ministry of Health, 2012)
28
Model perawatan akut MOC adalah seperangkat prinsip dan proses yang
bertujuan untuk meningkatkan efisiensi dalam memulai, menilai, melakukan, dan
memindahkan pasien yang akut, berpotensi tidak stabil dengan komplikasi.
Gambar 2.7
Model Perawatan Akut
dalam konsep Emergency Model of Care (NSW Ministry of Health, 2012)
Kondisi akut yang dimaksud dalam model ini adalah pasien yang membutuhkan:
a. Monitoring jantung
b. Observasi ketat
c. Intervensi oleh spesialis
d. Perawatan dengan level tinggi
e. Rencana manajemen yang komprehensif
2.6.6. Early ED Senior Assessment and Streaming (ED-SAS)
Early ED Senior Assessment and Streaming (ED-SAS) merupakan model
perawatan yang fleksibel dan dapat beroperasi pada periode padat kunjungan. MOC
adalah proses penilaian dan perawatan yang berfokus pada penentuan diagnosis dini,
rencana manajemen klinis dan keputusan disposisi untuk pasien.
Gambar 2.8
Model Early ED Senior Assessment and Streaming
dalam konsep Emergency Model of Care (NSW Ministry of Health, 2012)
29
Komponen penting dari model ini adalah zona streaming, walaupaun model ini berfungsi
paling efektif dengan 3 (tiga) komponen inti utama, yaitu:
1. Triase dan Registrasi
a. Penilaian triase yang terbatas pada < 5 menit digunakan untuk menetapkan tingkat urgensi
pasien saja. Intervensi hanya terbatas untuk pertolongan pertama.
b. Elemen penting dari proses ini adalah pendaftaran cepat oleh petugas administrasi bersama
dengan perawat triase. Selanjutnya, pendaftaran lengkap pasien dapat diselesaikan pada
proses selalnjutnya oleh staf administrasi di sisi tempat tidur pasien atau di bagian lain dari
ruang IGD.
2. Streaming Zone (Physical Space and Appropriate Staff)
a. Pengambilan keputusan klinis dini oleh dokter senior IGD dan pengalihan dini pasien ke
area perawatan yang sesuai di dalam ataupun di luar ruang IGD kurang dari 10 menit.
b. Koordinator streaming (perawat) adalah bagian penting dari zona streaming. Mereka
bertanggungjawab untuk menjaga pengawasan menyeluruh dan pengelolaan umum zona
streaming dan memastikan bahwa aliran pasien dipertahankan stabil.
3. The Early Treatment Zone (ETZ)
The Early Treatment Zone (ETZ) merupakan area klinis multifungsi dan fleksibel yang dapat
digunakan dengan cara berikut:
a. Area klinis dimana pengelolaan pasien yang direncanakan dapat diimplementasikan dan
dituntaskan, kemudian dipulangkan dalam waktu 2 (dua) jam.
b. Area klinis dimana rencana pengelolaan pasien dapat dimulai sebelum pasien pindah
kearea lain di IGD, misalnya ke area akut.
c. Area yang digunakan untuk menunggu bagi pasien yang masih memerlukan observasi
sebelum dirawat atau menunggu hasil tes, seperti patologi.
30
The Early Treatment Zone (ETZ) adalah area klinis multifungsi dan fleksibel yang dapat
digunakan untuk:
a. Area klinis dimana rencana pengelolaan pasien dari zona streaming dapat diimplementasikan
dan dituntaskan kemudian pasien dipulangkan dalam waktu 2 (dua) jam.
b. Area klinis dimana rencana pengelolaan pasien dapat dimulai sebelum pasien pindah ke area
lain di IGD, misalnya ke area perawatan akut.
c. Area tunggu bagi pasien yang masih memerlukan observasi sebelum dipulangkan atau
menunggu hasil tes seperti patologi.
d. Area dimana tim rawat inap melakukan pengkajian pasien IGD. Hal ini sangat berguna bagi
pasien ambulans yang tidak perlu menempati tempat tidur IGD untuk tujuan pengkajian cepat
sebelum masuk, sehingga mempertahankan kapasitas tempat tidur IGD. Area ini tidak boleh
digunakan sebagai pengganti tempat tidur dari unit rawat inap atau lokasi rumah sakit lainnya
yang tidak memerlukan layanan IGD.
e. Sebagai penyangga untuk mempertahankan kapasitas tempat tidur ED akut.
Gambar 2.9
Model Early Treatment Zone (ETZ)
dalam konsep Emergency Model of Care (NSW Ministry of Health, 2012)
31
Gambar 2.10
Model Fast Track
dalam konsep Emergency Model of Care (NSW Ministry of Health, 2012)
Zona jalur cepat ini bertujuan untuk meningkatkan throughput IGD dengan:
a. Mempercepat perawatan pasien rawat jalan dengan keluhan yang kurang
mendesak.
b. Mengalihkan perhatian pasien yang memenuhi kriteris klinis tertentu melalui
arus terpisah di IGD.
c. Menggunakan area khusus yang dikelola oleh staf medis dan perawatan senior
yang berdedikasi.
d. Staf medis dan perawat senior yang berdedikasi yang berkerja untuk
mengoptimalkan kinerja sistem fast track karena mereka memiliki kemampuan
untuk membuat keputusan perawatan dan disposisi tepat waktu dengan sedikit
konsultasi.
e. Memberikan perawatan yang distandardisasi dan ditargetkan pada kondisi dan
luka tertentu.
Gambar 2.11
Model Perawatan Sub-Akut
dalam konsep Emergency Model of Care (NSW Ministry of Health, 2012)
32
Model perawatan sub-akut (Sub-acute Model of Care) adalah area di IGD yang ditujukan
untuk pasien:
a. Dengan tingkat kegawatan (acuity) rendah, tanda vital dalam batas normal dan tidak
memerlukan tempat tidur akut atau pemantauan jantung.
b. Berpotensi menimbulkan komplikasi, memerlukan sumber daya yang intensif, dan
memerlukan banyak penyelidikan, konsultasi, dana tau prosedur, dan karena hal itu pulalah
dinilai tidak memenuhi syarat untuk jalur cepat (fast track).
c. Pasien yang tidak bisa bergerak atau berpindah tempat dan perlu dirawat di tempat tidur untuk
perawatan.
Adapun kerangka alur rujukan penerimaan pasien covid-19 di rumah sakit sebagaimana
yang direkomendasikan kementerian kesehatan Republik Indonesia (2020), dalam program
Gerakan Masyarakat (GERMAS) adalah sebagai berikut:
Gambar 2.12.
Kerangka Alur Rujukan Penerimaan Pasien Covid-19 di Rumah Sakit
PASIEN DATANG
Mandiri Rujukan RS
Anamnesis TIDAK
PE (Checklist) Tes Konfirmasi
Pemeriksaan Fisik Covid-19
POSITIF
33
TIDAK
Gejala
DEKONTAMINASI Gangguan Respirasi
Resiko Kontak RR > 24 x/ menit
Usia > 60 thn
Penyakit Lain
Hidup Sendiri RONTGEN
LABORATORIUM
EDUKASI ODP (Darah lengkap, U/C, KONFIRMASI (+)
(Form KIE) (Cluster 1) GDS, SGOT, SGPT Rapid Covid-19
Test), RONTGEN, EKG (Cluster)
PULANG TIDAK
Pneumonia
TIDAK
ODP PDP sedang/berat,
(Cluster 1) (Cluster 2) dengan/tanpa
penyakit penyerta
Mampu mandiri
RT – PCR tanpa penyakit
penyerta RUJUK
KE RS RUJUKAN
TIDAK
RAWAT
YA
TIME FRAME 1
Throughput Time
Staffing Ratio
Fisik
System
Keterangan:
= Diteliti
= Tidak Diteliti
Gambar 2.13. menjelaskan tentang mekanisme faktor Input dan Output berhubungan
dengan Throughput pasien di IGD. Adapun faktor input meliputi setiap karakteristik atau kondisi
yang berkontribusui meningkatkan permintaan pelayanan gawat darurart, mengacu pada
peningkatan jumlah kunjungan dan tingkat keparahan (acuity) pasien yang berkunjung di IGD.
Model ini menyebutkan ada 3 kategori umum perawatan yang dirujuk ke IGD, yakni: (1)
Emergency Care (Perawatan Kegawatdaruratan); (2) Unscheduled Urgent Care (Perawatan
Mendesak Tidak Terjadwal); (3) Safety Net Care (Perawatan Jaringan Keselamatan).
Faktor throughput mengacu pada proses pelayanan mulai dari pendaftaran sampai adanya
disposisi dari dokter untuk MRS, KRS, atau tindakan khusus. Faktor throughput pasien di IGD
yang berfokus pada alur pasien (patient flow) dan pencapaian target waktu yang ditetapkan.
35
Emergency Model of Care membagi proses throughput pasien di IGD dalam 3 (tiga) kerangka
waktu yang manageable (the 2:1:1 time frame model), yaitu: 2 jam pertama untuk menyelesaikan
assessment awal dan rencana pengelolaan klinis; 1 jam berikutnya untuk review tim spesialis/
konsultasi dan disposisi; dan 1 jam terakhir untuk mentransfer pasien ke unit rawat inap, rujukan
atau perencanaan pulang.
Alur proses throutput pada time frame pertama, dimulai dari kedatangan pasien di IGD,
kemudian dilakukan triase/ pemilahan pasien berdasarkan tingkat kegawatan dan kasus.
Selanjutnya dilakukan pemeriksaan awal pada pasien, intervensi medis/ keperawatan, dan
pemeriksaan diagnosis penunjang jika diperlukan. Alur proses throughput pada time frame
kedua, adanya review tim spesialis, konsultasi, dan disposisi oleh dokter untuk MRS, KRS, atau
tindakan khusus. Alur proses throughput pada time frame ketiga, yakni transfer pasien keluar
IGD untuk MRS, operasi, atau tindakan khusus. Jadi, adapun yang dimaksud response time
dalam konteks ini adalah waktu keseluruhan yang dibutuhkan dalam penanganan pasien selama
proses throughput, mulai awal pendaftaran sampai pasien keluar dari IGD yang mencakup waktu
tanggap assessment, waktu tanggap review, sampai waktu tunggu transfer ke unit rawat inap.
Sedangkan, faktor output lebih mengacu pada hambatan alur pasien yang keluar dari IGD
setelah adanya disposisi dari dokter. Adapun alasan yang paling sering dikutip untuk kondisi
IGD crowding adalah ketidakmampuan untuk memindahkan pasien MRS dari IGD ke unit rawat
inap.
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
36
Kerangka konsep merupakan model konseptual yang berkaitan dengan bagaimana
seorang peneliti menyusun teori atau menghubungkan secara logis beberapa faktor yang
dianggap penting, yaitu membahas keterkaitan antar variabel yang dianggap perlu untuk
melengkapi dinamika situasi yang diteliti (Hidayat, 2013). Kerangka konseptual penelitian ini
adalah:
Triase
Assessment
Review
Konsultasi
Transfer
37
3.3. Hipotesis Penelitian
H1 : Ada hubungan antara response time (waktu tanggap) assesment IGD terhadap Length of
Stay pasien covid-19 di Instalasi Gawat Darurat Rumah Sakit Mardi Rahayu Kudus.
H2 : Ada hubungan antara response time (waktu tanggap) review dan konsultasi terhadap
Length
of Stay pasien covid-19 di Instalasi Gawat Darurat Rumah Sakit Mardi Rahayu Kudus.
H3 : Ada hubungan waktu tunggu transfer pasien covid-19 ke unit rawat inap setelah adanya
disposisi dari dokter terhadap Length of Stay di Instalasi Gawat Darurat Rumah Sakit
Mardi Rahayu Kudus.
38
Penelitian dilaksanakan di Instalasi Gawat Darurat Rumah Sakit Mardi Rahayu Kudus,
pada tanggal 2 – 14 September 2021.
39
a. Pasien yang tidak menjalani pemeriksaan diagnostik (laboratorium/ radiologi).
b. Pasien Death On Arrival (DOA)
c. Pasien Death After Arrival (DAA)
d. Pasien pulang paksa atau melarikan diri (left without being seen)
e. Pasien rujukan untuk keperluan pemeriksaan diagnostik
f. Besar sampel yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan rumus Isaac & Michael,
sebagai berikut:
N. z².p.q
n =
d²(N – 1) + z².p.q
1157.(1.96)².(0.5).(0.5)
40
1111,2
= = = 288,6
(0.05)²(1156) + (1.96)².(0.5).(0.5) 3,85
= 289 Responden
Keterangan:
n : Perkiraan besar sampel
N : Besar populasi (153)
p : Perkiraan proporsi (50%)
q : 1 – p (100% – p)
z : Nilai standar normal untuk α = 0.05 (1,96)
d : Tingkat kesalahan yang dipilih (α = 0.05)
Selama kurun waktu penelitian yang dilakukan pada tanggal 2 – 14 Agustus 2021,
didapatkan 84 pasien yang sesuai kriteria penelitian. Dari 84 pasien tersebut, 16 pasien
dikeluarkan dari penelitian oleh peneliti karena data tidak lengkap, sehingga tersisa 68 pasien
yang menjadi responden penelitian.
41
IGD menyelesaikan laboratorium ED Wait Menit
assessment IGD. Waktu pemeriksaan Time
radiologi Indicator
Calculation
Toolkit/
Stopwatch
42
Instrumen penelitian yang digunakan untuk mengukur variabel bebas (independent
variable) dan variabel terikat (dependent variable) menggunakan lembar observasi yang
dikembangkan dari ED Wait Time Indicator Calculation Toolkit (Canadian Institute for Health
Information, 2012) dan stopwatch/ digital timer, yakni jam yang menampilkan waktu dalam
bentuk angka (jam : menit : detik).
43
5. Mencatat waktu konsultasi (in-out).
6. Mencatat waktu disposisi akhir oleh dokter untuk MRS, KRS, atau tindakan khusus.
7. Mencatat waktu transfer pasien dari IGD ke unit rawat inap/ tindakan khusus.
Setelah semua data yang dibutuhkan berhasil terkumpul, selanjutnya peneliti mengukur dan
mengevaluasi:
1. Waktu tunggu assessment awal, yakni interval waktu pendaftaran dengan assessment
awal oleh dokter.
2. Waktu tunggu disposisi, yakni interval waktu pendaftaran dengan waktu disposisi oleh
dokter untuk pulang atau tindakan khusus.
3. Waktu tunggu transfer dari IGD ke unit rawat inap atau untuk memperoleh tindakan
khusus.
4. Waktu keseluruhan/ durasi waktu penanganan pasien atau length of stay, yakni interval
waktu pendaftaran sampai pasien secara fisik meninggalkan IGD.
3.10. Analisis Data
Data yang didapatkan oleh peneliti, selanjutnya diolah dengan menggunakan metode Uji
Regresi Logistik berganda dengan bantuan komputer dengan interval 95% atau margin error 5%
(α = 0.05).
Populasi:
Seluruh pasien covid-19 yang berkunjung ke IGD RS Mardi Rahayu Kudus
(rerata kunjungan mingguan pada semester kedua tahun 2021)
Consecutive Sampling
Sampel:
Sesuai dengan kriteria inkluasi – eksklusi
44
Melakukan Observasi:
Waktu assessment IGD
Waktu tunggu disposisi akhir
Analisis Data:
Editing
Coding
Tabulating data
Uji regresi logistic berganda
Hasil:
Penyajian dan kesimpulan hasil analisis data
45
Adapun yang dimaksud autonomy disini adalah bahawa responden memiliki
kebebasan sepenuhnya untuk menentukan sendiri keputusannya, apakah akan bersedia ikut
dalam penelitian atau tidak. Responden benar-benar terbebas dari pengaruh siapapun. Dengan
demikian, responden sungguh-sungguh memiliki hak sepenuhnya untuk menentukan sikap
pribadinya.
4. Confidentiality
Responden yang telah bersedia memberikan informasi bagi penelitian ini dijamin
sepenuhnya kerahasiaannya, baik menyangkut identitas responden maupun semua informasi
yang telah terkumpul.
46
Lampiran :
PENGESAHAN PROPOSAL PENELITIAN
Kudus, ………………..……..2021
Tim Penguji
47
Dosen Pembimbing Penguji 1
Penguji 2
Kudus………………………2021
Menyetujui,
Pembimbing Utama,
48
Sholihul Huda, S.Kep., Ns., M.N.S
NIDN. 0621108606
JADWAL KONSULTASI
No. Tanggal Materi Konsultasi Dosen Pembimbing Paraf
4. 6 September ACC
2021 Sholihul Huda
49
REFERENSI
_____. 2012. Emergency Department Models of Care. North Sydney: NSW Ministry of Health.
_____. 2002. Kamus Besar Bahasa Indonesia (Edisi Ketiga). Jakarta: Balai Pustaka.
Dalam Azrul, Azwar. 1996. Pengantar Administrasi Kesehatan (Edisi Ketiga). Jakarta: Bina
Aksara.
Hidayati, Afif N., dkk. (Ed.). 2018. Gawat Darurat Medis dan Bedah. Surabaya: Airlangga
University Press.
Hinson, J. S., et al. 2018. Accurcy of Emergency Department Triage Using The Emergency
Severity Indx an Independent Predictors of Undertriage and Over-Triage in Brazil: A
Retrospective Cohort Analysis. Internatinal Journal of Emergency Medicine.
DOI:10.1186/s12245-017-0161-8.
Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 129 Tahun 2009 tentang Standar Pelayanan Minimal
(SPM) Rumah Sakit.
Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 856/ Menkes/ SK/ IX/ 2009 tentang
Standarisasi Pelayanan Gawat Darurat.
Letko M, Marzi A, Munster V (2020). “Functional assessment of cell entry and receptor usage
for SARS-CoV-2 and other lineage B betacoronaviruses”. Nature Microbiology: 1–8.
doi:10.1038/s41564-020-0688-y, dalam Pedoman Pedoman Umum Menghadapi Pandemi
Covid-19.
50
Musliha. 2010. Keperawatan Gawat Darurat. Yogyakarta: Nuha Medika.
Nursalam. 2013. Manajemen Keperawatan; Aplikasi dalam Praktik Keperawatan Profesional.
Edisi 3. Jakarta: Salemba Medika.
Setiadi. 2013. Konsep dan Praktek Penulisan Riset Keperawatan (Ed. 2). Yogyakarta: Graha
Ilmu.
Sudaryanto, 2008 dalam e-Journal Keperawatan (eKp) Volume 3 Nomor 2, 2015
Tim Kerja Kementerian Dalam Negeri. 2020. Pedoman Umum Menghadapi Pandemi Covid-19.
Jakarta: Kementerian Dalam Negeri.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 44 tahun 2009 tentang Rumah Sakit.
van Doremalen N, Bushmaker T, Morris DH, Holbrook MG, Gamble A, Williamson BN, et al.
(March 2020). “Aerosol and Surface Stability of SARS-CoV-2 as Compared with SARS-
CoV-1”. The New England Journal of Medicine. Massachusetts Medical Society.
doi:10.1056/nejmc2004973. PMID 32182409
Xu H, Zhong L, Deng J, Peng J, Dan H, Zeng X, et al. (February 2020). “High expression of
ACE2 receptor of 2019-nCoV on the epithelial cells of oral mucosa”. International Journal
of Oral Science. 12 (1): 8. doi:10.1038/s41368-020-0074-x.
51
PENJELASAN PENELITIAN KEPADA RESPONDEN
Judul Penelitian
Hubungan Response Time dalam Penanganan Pasien Covid-19 Menggunakan Time Frame
Guide Emergency Model of Care di Instalasi Gawat Darurat Rumah Sakit Mardi Rahayu Kudus
Tujuan Penelitian
Tujuan Umum
Menganalisis faktor dominan yang mempengaruhi Length of Stay pasien di Instalasi Gawat
Darurat (IGD) Rumah Sakit Mardi Rahayu Kudus dengan menggunakan pendekatan Time
Frame Guide Emergency Model of Care.
Tujuan Khusus
a. Menganalisis pengaruh waktu assessment pada tanggapan penanganan awal terhadap
Length of Stay pasien di Instalasi Gawat Darurat Rumah Sakit Mardi Rahayu Kudus.
b. Menganalisis pengaruh waktu review pada tanggapan penanganan awal terhadap Length
of Stay pasien di Instalasi Gawat Darurat Rumah Sakit Mardi Rahayu Kudus.
c. Menganalisis pengaruh waktu tunggu transfer pasien dari Instalasi Gawat Darurat ke Unit
Rawat Inap setelah adanya disposisi dari dokter terhadap Length of Stay pasien di
Instalasi Gawat Darurat Rumah Sakit Mardi Rahayu Kudus.
52
Perlakuan yang Diterapkan pada Subjek Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif analitik dengan menggunakan desain Cross
Sectional. Pengumpulan data variable bebas dan variable tergantung dalam penelitian ini
menggunakan lembar observasi, sehingga tidak ada perlakuan apapun yang diberikan kepada
responden. Subjek sebatas turut serta sebagai responden dengan menjawab pertanyaan dan
didampingi oleh peneliti.
Manfaat
Manfaat penelitian ini bagi responden adalah menambah wawasan pengetahuan dan concern
lebih mendalam berkaitan dengan Hubungan response time di Instalasi Gawat Darurat Rumah
Sakit Mardi Rahayu Kudus. Demikian pula, responden yang terlibat dalam penelitian ini akan
memiliki kesempatan menyampaikan keluhan dan/ atau saran dengan jaminan kerahasiaan
identitas.
Bahaya potensial
Tidak ada bahaya potensial yang diakibatkan oleh keterlibatan subjek sebagai responden dalam
penelitian ini, karena tidak ada perlakuan apapun yang diberikan kepada subjek.
Jaminan Kerahasiaan
Semua data dan informasi yang berkaitan dengan identitas responden akan dijaga
kerahasiaannya, yakni dengan tidak mencantumkan identitas responden secara jelas, dan pada
laporan penelitian peneliti akan mengubah nama responden ke dalam bentuk kode.
53
PERMOHONAN MENJADI RESPONDEN PENELITIAN
Dengan hormat,
Bapak/ Ibu/ Saudara yang saya hormat, saya yang bertandatangan di bawah ini:
Nama : David Oktavioanus
NIM : 2020012343
Adalah mahasiswa pendidikan keperawatan di Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Cendekia Utama
Kudus yang akan melakukan penelitian tentang “Hubungan Response Time dalam Penanganan
Pasien Covid-19 Menggunakan Time Frame Guide Emergency Model of Care di Instalasi Gawat
Darurat Rumah Sakit Mardi Rahayu Kudus”. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis
penerapan waktu tanggap dengan berfokus pada permasalahan lamanya waktu pasien berada di
Instalasi Gawat Darurat Rumah Sakit Mardi Rahayu Kudus dan faktor-faktor yang
mempengaruhinya.
Sehubungan dengan pelaksanaan penelitian ini, maka bersama ini saya mohon kesediaan Bapak/
Ibu/ Saudara menjadi responden dalam penelitian ini. Semua informasi dan identitas responden
akan dirahasiakan dan hanya digunakan untuk kepentingan penelitian. Partisipasi Bapak/ Ibu/
Saudara dalam penelitian ini bersifat sukarela tanpa adanya unsur paksaan. Jika Bapak/ Ibu/
Saudara berkenan menjadi responden, maka dipersilakan menandatangani lembar persetujuan
ini.
54
Atas kesediaan dan partisipasi Bapak/ Ibu/ Saudara, saya mengucapkan terima kasih.
Kudus, …………………………….2021
Peneliti,
David Oktavianus
NIM: 2020012343
INFORMED CONSENT
PERNYATAAN PERSETUJUAN IKUT PENELITIAN
Setelah memperoleh penjelasan tentang penelitian yang akan dilaksanakan, maka saya yang
bertanda tangan di bawah ini:
Nama : …………………………………………………………
Alamat : …………………………………………………………
No.Telp/Handphone : …………………………………………………………
Telah memahami secara rinci dan jelas mengenai:
1. Penelitian yang berjudul “Hubungan Response Time dalam Penanganan Pasien Covid-19
Menggunakan Time Frame Guide Emergency Model of Care di Instalasi Gawat Darurat
Rumah Sakit Mardi Rahayu Kudus”.
2. Tujuan penelitian
3. Manfaat ikut terlibat sebagai responden penelitian
4. Perlakuan yang akan diterapkan pada responden
5. Bahaya yang akan ditimbulkan
6. Hak untuk undur diri
7. Jaminan kerahasiaan
55
Maka, dengan ini secara sukarela dan tanpa keterpaksaan menyatakan bersedia/tidak bersedia *)
ikut menjadi responden dalam penelitian ini.
Demikian persetujuan ini saya buat dengan penuh kesadaran dan tanggungjawab.
Kudus, ............................2021
Yang memberi penjelasan Yang membuat persetujuan,
(…………………………….) (…………………………….)
Catatan:
56
Konsultasi 1:
Konslutasi 2:
Waktu Disposisi:
Supervisi
Registrasi MRS/KRS
TRANSFER KE UNIT LAIN*)
Transporter:
Catatan:
TOTAL WAKTU ANALISIS
57