Anda di halaman 1dari 36

MAKALAH TENTANG

“DAGING DAN PENGOLAHANNYA”


D

OLEH:

ALEX SUTOYO (110802045)

FRISKA DEWI MARGARETHA (110802034)

HOTLAN HEBER SITUMEANG (110802040)

LIANTA TARIGAN (110802036)

MUHAMMAD HABIBI HIDAYATULLAH (110802044)

KIMIA S-1

DEPARTEMEN KIMIA

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

T.A. 2013/2014
KATA PENGANTAR

Segala puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena atas
limpahan karunia-Nya kami dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “ Daging dan
Pengolahannya ” ini dengan baik dan lancar.

Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Kimia Organik Parfum &
Flavor. Dalam makalah ini akan dibahas hal-hal yang menyangkut tentang pengertian daging,
komposisi kimia, bahan baku, proses dan akibat serta reaksi yang terjadi dalam pengolahan
daging. Maka dari itu makalah ini dapat dibaca oleh kalangan mahasiswa maupun masyarakat
umum, agar dapat menambah wawasan seputar materi yang akan dibahas.

Kami menyadari bahwa dalam penyusunan makalah ini masih banyak kekurangan -
kekurangan. Oleh sebab itu kami mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun
dari semua pihak demi kesempurnaan makalah-makalah kami selanjutnya. Semoga makalah
ini bermanfaat bagi kami penulis dan pembaca.

Medan, 02 Nopember 2013

Penulis,
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR........................................................................................................... i

DAFTAR ISI......................................................................................................................... ii

BAB I : PENDAHULUAN

1. Latar belakang....................................................................................................... 1

2. Rumusan Masalah..................................................................................................1

3. Tujuan ................................................................................................................... 1

4. Manfaat.................................................................................................................. 2

BAB II : PEMBAHASAN

A. Daging.................................................................................................................. 3

B. Komposisi Daging................................................................................................ 4

C. Pengujian Fisik, Kimia, dan Mikroorganisme Pada Daging................................. 5

C.1. Pengujian Fisik Pada Daging......................................................................... 5

C.2. Pengujian Kimia Pada Daging....................................................................... 6

C.3. Pengujian Mikroorganisme Pada Daging...................................................... 7

D. Efek Pengolahan Terhadap Protein, Karbohidrat, dan Lemak............................. 12

D.1. Efek Pengolahan Terhadap Protein............................................................... 12

D.2. Efek Pengolahan Terhadap Karbohidrat........................................................ 15

D.3. Efek Pengolahan Terhadap Lemak................................................................ 16

E. Proses Pengolahan................................................................................................. 18

E.1. Pemanggangan................................................................................................18

E.2. Pengolahan Dengan Bantuan Bahan Nitrit.....................................................21

E.3. Penggorengan................................................................................................. 23

F. Dampak Yang Disebabkan Oleh Pengolahan Daging Terhadap


Pengkonsumsiannya...............................................................................................25

F.1. Kolesterol........................................................................................................25
F.2. Kanker.............................................................................................................
26

F.3. Toksisitas Logam............................................................................................27

BAB III : KESIMPULAN DAN SARAN

1. Kesimpulan.......................................................................................................... 28
2. Saran.................................................................................................................... 30

DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................................... iv

LAMPIRAN JURNAL
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Daging merupakan salah satu bahan pangan yang menjadi sumber protein hewani.
Tingginya tingkat konsumsi daging disebabkan nilai gizi yang terkandung di dalam daging
lebih banyak bila dibandingkan dengan bahan pangan lainnya. Selain itu, daging mempunyai
asam amino essensial yang lebih lengkap bila dibandingkan dengan protein yang berasal dari
nabati.

Pengolahan daging lebih sulit dilakukan karena daging merupakan bahan pangan yang
mudah rusak. Banyak cara yang dilakukan untuk membuat hasil olahannya itu lebih lezat dan
menarik tanpa merusak tekstur daging itu sendiri. Penyimpanan yang salah akan mengurangi
cita rasa serta nilai gizi yang ada di dalamnya. Sama halnya seperti penyimpanan, proses
pengawetan daging juga harus sesuai dengan prosedur dan dilakukan secara hati-hati agar
terhindar dari kontaminasi bakteri.

Kandungan gizi serta penampilan daging dari masing-masing hewan berbeda-beda,


sehingga berbeda pula cara pengolahannya. Penampilan dan kandungan gizi pada daging
sangat menentukan kualitas dari daging itu sendiri. Kualitas daging bisa dilihat dari warna,
tekstur dan baunya. Sehingga sangat perlu dilakukan uji fisik serta uji organoleptis, kimia dan
mikroorganisme untuk mengetahui kualitas dari daging yang akan dikonsumsi.
B. Rumusan Masalah

Dalam hal ini, yang ingin diketahui dari suatu daging yaitu dilihat dari proses
pengolahan, akibat dari pengolahan tersebut, serta dampak serta reaksi yang terjadi atas
pengolahan tersebut. Apakah daging tersebut mempunyai komposisi yang sama sebelum dan
sesudah diolah? Berapa lama daging tersebut dapat tahan setelah dilakukan suatu proses
pengolahan? bagaimana kualitas daging yang dapat diproses? Dan efek pengkonsumsian dari
daging yang telah diolah.

C. Tujuan

- Untuk mengetahui komposisi daging


- Untuk mengetahui metode uji fisik, kimia dan mikroorganisme pada daging,
- Untuk mengetahui proses pengolahan daging,
- Untuk mengetahui dampak yang disebabkan oleh pengolahan daging terhadap
pengkonsumsiannya,
- Untuk mengetahui beberapa reaksi yang terjadi dalam proses pengolahan daging

D. Manfaat
- Dapat mengetahui komposisi daging
- Dapat mengetahui metode uji fisik, kimia dan mikroorganisme pada daging,
- Dapat mengetahui proses pengolahan daging,
- Dapat mengetahui dampak yang disebabkan oleh pengolahan daging terhadap
pengkonsumsiannya,
- Dapat mengetahui beberapa reaksi yang terjadi dalam proses pengolahan daging
BAB II
PEMBAHASAN

A. DAGING

Definisi daging adalah semua jaringan hewan dan produk olahannya yang sesuai dan
digunakan sebagai makanan. Daging terdiri dari empat jaringan utama, yaitu jaringan otot
(muscle), jaringan ikat, jaringan epitel dan jaringan saraf. Daging dapat diklasifikasikan
berdasarkan: intensitas warna, yaitu daging merah dan daging putih; dan asal daging. Daging
merah misalnya daging sapi, daging kerbau, daging babi, daging domba, daging kambing dan
daging kuda. Daging unggas misalnya daging ayam, itik dan angsa. Daging hasil laut
misalnya ikan, udang, kepiting, kerang. Daging hewan liar misalnya kijang, babi hutan.
Daging aneka ternak misalnya kelinci, burung puyuh, dan merpati (Nurwantoro et al, 2003).
Daging adalah salah satu bahan pangan sumber protein hewani yang sangat
dibutuhkan oleh manusia, karena zat-zat makanan yang dikandungnya sangat diperlukan
untuk kehidupan manusia, terutama bagi anak-anak yang sedang tumbuh. Menurut Food and
Drug Administration, daging merupakan bagian tubuh yang berasal dari ternak sapi, kambing
atau domba yang dipotong dalam keadaan sehat dan cukup umur, tetapi hanya terbatas pada
bagian muskulus yang berserat yaitu yang berasal dari muskulus skeletal atau lidah,
diafragma, jantung dan useofogus (yakni pembuluh makanan yang menghubungkan mulut
dengan perut) dan tidak termasuk bibir, hidung, atau pada telinga dengan atau tanpa lemak
yang menyertainya, serta bagian-bagian dari tulang, urat, urat syaraf dan pembuluh-pembuluh
darah.
Ada dua hal penting yang dipertimbangkan mengapa pengolahan pangan perlu
dilakukan. Yang pertama adalah untuk mendapatkan bahan pangan yang aman untuk
dimakan sehingga nilai gizi yang dikandung bahan pangan tersebut dapat dimanfaatkan
secara maksimal. Yang kedua adalah agar bahan pangan tersebut dapat diterima, khususnya
diterima secara sensori, yang meliputi penampakan (aroma, rasa, mouthfeel, aftertaste) dan
tekstur (kekerasan, kelembutan, konsistensi, kekenyalan, kerenyahan).
Di satu sisi pengolahan dapat menghasilkan produk pangan dengan sifat-sifat yang
diinginkan yaitu aman, bergizi dan dapat diterima dengan baik secara sensori. Di sisi lain,
pengolahan juga dapat menimbulkan hal yang sebaliknya yaitu menghasilkan senyawa toksik
sehingga produk menjadi kurang atau tidak aman, kehilangan zat-zat gizi dan perubahan sifat
sensori ke arah yang kurang disukai dan kurang diterima seperti perubahan warna, tekstur,
bau dan rasa yang kurang atau tidak disukai. Dengan demikian diperlukan suatu usaha
optimasi dalam suatu pengolahan agar apa-apa yang diinginkan tercapai dan apa yang tidak
diinginkan ditekan sampai minimal. Untuk itulah pentingnya pengetahuan akan pengaruh
pengolahan terhadap nilai gizi dan keamanan pangan. Walaupun demikian, hal yang lebih
penting adalah bagaimana seharusnya melakukan suatu pengolahan pangan agar bahan
pangan yang kita hasilkan bernilai gizi tinggi dan aman.

Jika kita berbicara pengolahan pangan maka sebenarnya kita berbicara suatu proses
yang terlibat dari mulai penanganan bahan pangan setelah bahan pangan tersebut dipanen
(nabati) atau disembelih (hewani) atau ditangkap (ikan) sampai kepada usaha-usaha
pengawetan dan pengolahan bahan pangan menjadi produk jadi serta penyimpanannya.
Disamping itu, dimaksudkan pula pengolahan yang biasa dilakukan oleh ibu-ibu di dapur
dalam menyiapkan masakan yang siap untuk dihidangkan. Pemahaman yang benar dalam
pengolahan makanan sangat dibutuhkan oleh ibu - ibu agar makanan yang disiapkannya aman
dikonsumsi dan tidak banyak berkurang gizinya.

B.     KOMPOSISI DAGING


Komposisi kimia daging terdiri dari air 56%, protein 22%, lemak 24%, dan substansi
bukan protein terlarut 3,5% yang meliputi karbohidrat, garam organik, substansi nitrogen
terlarut, mineral, dan vitamin. Daging merupakan bahan makanan yang penting dalam
memenuhi kebutuhan gizi, selain mutu proteinnya yang tinggi, pada daging terdapat pula
kandungan asam amino esensial yang lengkap dan seimbang (Lawrie, 1995). Protein
merupakan komponen kimia terpenting yang ada di dalam daging, yang sangat dibutuhkan
untuk proses pertumbuhan, perkembangan, dan pemeliharaan kesehatan.

Nilai protein yang tinggi di dalam daging disebabkan oleh asam amino esensialnya
yang lengkap. Selain kaya protein, daging juga mengandung energi, yang ditentukan oleh
kandungan lemak di dalam intraselular di dalam serabut-serabut otot. Daging juga
mengandung kolesterol, walaupun dalam jumlah yang relatif lebih rendah dibandingkan
dengan bagian jeroan maupun otak. Daging juga merupakan sumber vitamin dan mineral
yang sangat baik. Secara umum, daging merupakan sumber mineral seperti kalsium, fosfor,
dan zat besi serta vitamin B kompleks tetapi rendah vitamin C (Anonimus, 2004). Kualitas
daging dipengaruhi oleh beberapa faktor, baik pada waktu hewan masih hidup maupun
setelah dipotong.
C. PENGUJIAN FISIK, KIMIA DAN MIKROORGANISME PADA DAGING
C.1. Pengujian Fisik Pada Daging

1) Pemeriksaan Awal Pembusukan

Pemeriksaan awal pembusukan yang dilakukan dengan uji Eber. Jika terjadi
pembusukan, maka pada uji ini ditandai dengan terjadi pengeluaran asap di dinding tabung,
dimana rantai asam amino akan terputus oleh asam kuat (HCl) sehingga akan terbentuk
NH4Cl (gas). Pada daging sapi segar, dingin, dan beku yang diperiksa hasilnya negatif
dimana tidak terdapat NH4Cl setelah diuji dengan mengunakan larutan Eber karena pada
daging-daging tersebut belum terbentuk gas NH3 . Pada daging busuk jelas terlihat gas putih
(NH4Cl) pada dinding tabung karena pada daging busuk gas NH3 sudah terbentuk.

Selain uji Eber, bisa dilakukan uji Postma. Hasil pemeriksaan uji Postma
menunjukkan bahwa sampel daging segar belum mulai terjadi pembusukan, sampel daging
dingin dan daging beku juga menunjukkan hasil negatif. Hasil positif hanya ditunjukkan oleh
sampel daging busuk, yaitu dengan adanya perubahan warna kertas lakmus pada cawan petri.
Pada prinsipnya, daging yang sudah mulai membusuk akan mengeluarkan gas NH3. NH3
bebas akan mengikat reagen MgO dan menghasilkan NH3OH. Pada daging yang segar tidak
terbentuk hasil NH3OH karena belum adanya NH3 yang bebas. Jika tidak terjadinya
perubahan warna kertas lakmus karena MgO merupakan ikatan kovalen rangkap yang sangat
kuat sehingga walaupun terdapat unsur basa pada MgO tersebut, namun basa tersebut tidak
lepas dari ikatan rangkapnya. Jika adanya NH3 maka ikatan tersebut akan terputus sehingga
akan terbentuk basa lemah NH3OH yang akan merubah warna kertas lakmus dari merah
menjadi biru.

Dari hasil uji H2S pada sampel daging segar menunjukkan bahwa daging tersebut
belum terjadi pembusukan, sampel daging dingin dan daging beku juga menunjukkan hasil
negatif. Uji H2S pada dasarnya adalah uji untuk melihat H2S yang dibebaskan oleh bakteri
yang menginvasi daging tersebut. H2S yang dilepaskan pada daging membusuk akan
berikatan dengan Pb acetat menjadi Pb sulfit (PbSO3) dan menghasilkan bintik-bintik
berwarna coklat pada kertas saring yang diteteskan Pb acetat tersebut. Hanya kelemahan uji
ini, bila bakteri penghasil H2S tidak tumbuh maka uji ini tidak dapat dijadikan ukuran.
Pembusukan dapat terjadi karena dibiarkan di tempat terbuka dalam waktu relatif lama
sehingga aktivitas bakteri pembusuk meningkat dan terjadi proses fermentasi oleh enzim-
enzim yang membentuk asam sulfida dan amonia.
2) Pemeriksaan Organoleptis

Pada sampel daging segar yang diperiksa sangat jelas menunjukkan bahwa daging
tersebut masih segar kalau dilihat dari pemeriksaan secara organoleptik. Dimana baik
penampilan, warna, tekstur dan konsistensinya masih memenuhi kriteria daging yang masih
segar. Pada sampel daging dingin yang diperiksa setelah 24 jam menunjukkan bahwa daging
tersebut belum terjadi pembusukan, pada daging beku yang diperiksa setelah 7 hari juga
menunjukkan belum terjadinya pembusukan. Sampel daging busuk menunjukkan perubahan
yang sangat jelas, dimana bau sudah menjadi amis, warna merah kehitaman, berlendir dan
tekstur licin akibat pengeluaran lendir.

Warna daging pada daging segar disebabkan oleh adanya pigmen merah keunguan
yang disebut myoglobin yang berikatan dengan oksigen yang struktur kimianya hampir sama
dengan haemoglobin. Tekstur dan konsistensi dari daging sangat ditentukan oleh protein-
protein penyusunnya. Warna daging yang baru diiris biasanya merah ungu gelap. Warna
tersebut berubah menjadi terang (merah ceri) bila daging dibiarkan terkena oksigen,
perubahan warna merah ungu menjadi terang tersebut bersifat reversible (dapat balik).
Namun, jika daging tersebut terlalu lama terkena oksigen maka warna merah terang akan
berubah menjadi cokelat. Mioglobin merupakan pigmen berwarna merah keunguan yang
menentukan warna daging segar, mioglobin dapat mengalami perubahan bentuk akibat
berbagai reaksi kimia. Bila terkena udara, pigmen mioglobin akan teroksidasi menjadi
oksimioglobin yang menghasilkan warna merah terang. Oksidasi lebih lanjut dari
oksimioglobin akan menghasilkan pigmen metmioglobin yang berwarna cokelat. Timbulnya
warna coklat menandakan bahwa daging telah terlalu lama terkena udara bebas, sehingga
menjadi rusak. (Astawan, 2004).

C.2. Pengujian Kimia Pada Daging

1) Malachit Green Test

Pada uji Malachit Green test ini untuk mengetahui hewan disembelih dengan
sempurna atau tidak. Hasil uji yang dilakukan memberikan hasil negatif, yang berarti daging
tersebut berasal dari hewan yang disembelih sempurna. Penyembelihan dan pengeluaran
darah yang tidak sempurna akan diketahui, karena akan dijumpai banyak Hb dalam daging
sehingga O2 dari H2O2 3% tidak mengoksidasi Malachit Green menyebabkan warna larutan
hijau. Sebaliknya, jika tidak ada Hb, maka O2 akan mengoksidasi Malachit Green menjadi
warna biru. Pengeluaran darah yang tidak sempurna mengakibatkan daging cepat membusuk
serta mempengaruhi proses selanjutnya. Pengeluaran darah yang efektif hanya dapat
dikeluarkan 50% nya saja dari jumlah total darah (Lawrie, 1995).

Pengeluaran darah yang tidak sempurna mengakibatkan daging cepat membusuk serta
mempengaruhi proses selanjutnya. Pengeluaran darah yang efektif hanya dapat dikeluarkan
50% nya saja dari jumlah total darah (Lawrie, 1995).

2) Pengukuran pH Ekstrak Daging

Standar pH daging hewan sehat dan cukup istirahat yang baru disembelih adalah 7-7,2
dan akan terus menurun selama 24 jam sampai beberapa hari. Jika terjadi pembusukan maka
pH nya akan kembali ke 7. Jarak penurunan pH tersebut tidak sama untuk semua urat daging
dari seekor hewan dan antara hewan juga berbeda. Nilai pH daging post mortem akan
ditentukan oleh jumlah asam laktat yang dihasilkan dari glikogen selama proses glikolisis
anaerob dan akan terbatas bila hewan terdepresi karena lelah. Setelah hewan disembelih,
penyedian oksigen otot terhenti. Dengan demikian persediaan oksigen tidak lagi di otot dan
sisa metabolisme tidak dapat dikeluarkan lagi dari otot. Jadi daging hewan yang sudah
disembelih akan mengalami penurunan pH (Purnomo dan Adiono, 1985).

Hasil perhitungan pH daging segar adalah 7,2 yang berarti daging tersebut berasal
dari hewan yang sehat. Setelah 24 jam di dalam refrigerator pH daging mengalami penurunan
karena adanya aktivitas mikroba yang menyebabkan proses glikolisis menghasilkan asam
laktat. Begitu pula yang terjadi pada daging beku. Namun, pada daging busuk pH meningkat
karena penurunan aktivitas mikroba penghasil asam karena persediaan glikogen yang
semakin terbatas dan diikuti aktivitas mikroba penghasil senyawa basa

C.3. Pengujian Mikroorganisme Pada Daging

              Pengujian mikroorganisme indicator pada produk daging merah dan daging
biasanya dilakukan untuk beberapa tujuan seperti: 1) Menjamin keamanan produk pangan
secara mikroorganisme biologis, 2) Mengetahui kondisi sanitasi selama pengolahan, dan 3) 
Mengetahui daya awet dari produk pangan. Alasan dari pengguanaan indicator adalah untuk
memantau mutu bahan mentah yang digunakan, kondisi pengolahan, dan mutu produk pada
berbagai tahap pengolahan dan distribusi. Beberapa mikroorganisme indicator pada daging
merah dan unggas dapat dilihat pada Tabel berikut:
Tabel Mikroorganisme Indikator pada Produk Daging

Indikator Mikroorganisme

Keamanan Salmonella

Staphylococcus aureus

Clostridium perfringens

Clostridia mesofilik

Sanitasi Total hitungan cawan aerobik pada suhu 35-37°C

Kokiform

Eschericia coli

Enterokoki

Daya tahan simpan Total hitungan cawan aerobik pada suhu 4-10°C dan 20-30°C

Kapang dan khamir

Bakteri asam laktat (BAL)

Pseudomonad

Ada beberapa metode pegujian mikroorganisme :

I.  Sterilisasi

            Bahan atau peralatan yang digunakan dalam bidang mikrobiologi harus dalam
keadaan steril. Steril artinya tidak didapatkan mikroba yang tidak diharapkan kehadirannya,
baik yang mengganggu atau merusak media atau mengganggu kehidupan dan proses yang
sedang dikerjakan. Setiap proses baik fisika, kimia dan mekanik yang membunuh semua
bentuk hidup terutama mikroorganisme disebut sterilisasi. Ada beberapa metode sterilisasi,
yaitu:

a. Sterilisasi secara fisik

            Cara membunuh mikroba ini dengan memakai panas (Thermal kill). Panas tersebut
akan mendenaturasi protein, terutama enzim-enzim dan membran sel. Panas kering
membunuh bakteri karena oksidasi komponen-komponen sel. Daya bunuh panas kering tidak
sebaik panas basah. Hal ini dibuktikan dengan memasukkan biakan mikroba dalam air
mendidih akan cepat mati daripada dipanasi secara kering.

1). Pemanasan Basah

- Otoklaf

            Alat ini serupa tangki minyak yang dapat diisi dengan uap air. Dalam otoklaf, yang
mensterilkannya adalah panas basah, bukan tekanannya. Oleh karena itu setelah air di dalam
tangki mendidih dan mulai terbentuk uap air, maka uap air ini akan mengalir ke ruang
pensteril guna mendesak keluar semua udara di dalmnya.

- Tyndallisasi

            Metode ini berupa mendidihkan medium dengan uap beberapa menit saja. Setelah
didiamkan satu hari, selama itu spora-spora sempat tumbuh menjadi bakteri vegetatif, maka
medium tersebut dididihkan lagi selama beberapa menit. Akhirnya pada hari ketiga, medium
tersebut dididihkan sekali lagi. Dengan jalan demikian diperoleh medium steril, dan zat-zat
organik yang terkandung di dalamnya tidak mengalami perubahan.

- Pasteurisasi

            Pasteurisasi adalah suatu cara disinfeksi dengan pemanasan yang pertamakalinya
dilakukan oleh Pasteur dengan maksud untuk mengurangi jumlah mikroorganisme pembusuk
(perusak) di dalam anggur tanpa merusak anggur tersebut. Suhu yang dipergunakan pada
pasteurisasi adalah sekitar 69oC, dan waktu yang digunakan adalah 30 menit.

2). Pemanasan Kering

- Oven

            Sterilisasi ini menggunakan udara panas. Alat-alat yang disterilkan ditempatkan
dalam oven di mana suhunya dapat mencapai 160-180oC. Caranya adalah dengan
memanaskan udara dalam oven tersebut dengan gas atau listrik. Oleh karena daya penetrasi
panas kering tidak sebaik panas basah, maka waktu yang diperlukan pada sterilisasi cara ini
lebih lama yakni selama 1 – 2 jam. Sterilisasi cara ini baik dipergunakan untuk mensterilkan
alat-alat gelas seperti cawan petri, pipet, tabung reaksi, labu dan sebagainya.

II.  Metode Hitungan Cawan


Metode hitungan cawan merupakan metode yang paling sensitif untuk menentukan
jasad renik, dengan prinsip jika sel jasad renik yang masih hidup ditumbuhkan pada medium
agar maka sel jasad renik tersebut akan berkembang biak dan membentuk koloni yang dapat
dilihat langsung dan dihitung tanpa menggunakan mikroskop (Fardiaz, 1992).  Keuntungan
menggunakan metode hitungan cawan dalam menghitung jumlah koloni pada medium agar
adalah sebagai berikut:

1. Hanya sel yang masih hidup yang dihitung,

2. Beberapa jenis jasad renik dapat dihitung secara langsung,

3. Dapat digunakan untuk isolasi dan identifikasi jasad renik karena koloni yang terbentuk
mungkin berasal dari suatu jasad renik yang mempunyai penampakan pertumbuhan spesifik.

Selain keuntungan yang dimiliki seperti tersebut di atas, metode hitungan cawan juga
memiliki kelemahan seperti yang termuat dalam Fardiaz (1992), yaitu:

1. Hasil perhitungan tidak menunjukkan jumlah sel yang sebenarnya karena beberapa sel
yang berdekatan mungkin membentuk satu koloni,

2. Medium dan kondisi inkubasi yang berbeda mungkin menghasilkan nilai yang berbeda,

3. Jasad renik yang ditumbuhkan harus dapat tumbuh pada medium padat dan membentuk
koloni yang nampak dan jelas, tidak menyebar,

4. Memerlukan persiapan dan waktu inkubasi relatif lama sehingga pertumbuhan koloni dapat
dihitung.

Metode hitungan cawan dapat dibedakan dalam dua cara yaitu metode tuang (pour plate) dan
metode permukaan (surface plate) (Fardiaz, 1993).

1. Metode Tuang (Pour Plate)

Dari pengenceran yang dikehendaki, sebanyak 1 ml atau 0,1 ml larutan tersebut


dipipet ke dalam cawan petri menggunakan pipet 1 ml atau 1,1 ml. Sebaiknya waktu antara
dimulainya pengenceran sampai menuangkan ke dalam cawan petri tidak boleh lebih lama
dari 30 menit. Kemudian ke dalam cawan tersebut dimasukkan agar cair steril yang telah
didinginkan sampai 47-500C sebanyak 15-20 ml. Selama penuangan medium, tutup cawan
jangan dibiarkan dibuka terlalu lebar untuk menghindari kontaminasi dari luar. Segera setelah
penuangan cawan petri digerakkan di atas meja secara hati-hati, untuk menyebarkan sel-sel
secara merata, yaitu dengan gerakkan melingkar atau gerakan seperti angka delapan. Setelah
agar memadat, cawan-cawan tersebut dapat diinkubasikan di dalam incubator dalam posisi
terbalik (Fardiaz, 1993).

2. Metoda Permukaan (Surface/Spread Plate)

Pada pemupukan dengan metode permukaan, agar steril terlebih dahulu dituangkan ke
dalam cawan petri dan biarkan membeku. Setelah membeku dengan sempurna, kemudian
sebanyak 0,1 ml contoh yang telah diencerkan dipipet pada permukaan agar tersebut. Sebuah
batang gelas melengkung (hockey stick) dicelupkan ke dalam alcohol 95% dan dipijarkan
sehingga alcohol habis terbakar. Setelah dingin batang gelas tersebut digunakan untuk
digunakan untuk meratakan contoh di atas medium agar dengan cara memutarkan cawan petri
di atas meja. Selanjutnya inkubasi dan perhitungan koloni dilakukan seperti pada metode
penuangan. Tetapi harus diingat bahwa  jumlah contoh yang ditumbuhkan adalah 0,1 ml, jadi
harus dimasukkan dalam perhitungan “total count” (Fardiaz, 1993).

3. Pemeriksaan Mikrobiologi

Dari hasil pemeriksaan mikroba pada daging sapi segar didapat hasil Total Plate
Count (TPC) adalah 1,5 x 105 bakteri/ml, daging sapi yang telah di simpan di dalam
refrigerator selama 24 jam diperoleh 9,6 x 105 bakteri/ml, daging yang dibekukan selama 7
hari 2,3 x 106 bakteri/ml, dan pada daging busuk 1,2 x 107 bakteri/ml. Hasil perhitungan
TPC dari daging sapi segar dan daging sapi yang telah disimpan di dalam refrigerator selama
24 jam masih berada di bawah angka standar yang diperbolehkan untuk dikonsumsi, yaitu 1 x
106 bakteri/ml. Hasil perhitungan TPC pada daging yang disimpan di dalam freezer selama 7
hari dan daging busuk didapatkan hasil di atas angka standar yaitu 2,3 x 106 dan 1,2 x 107
bakteri/ml, berarti daging-daging tersebut sudah banyak mengandung bakteri sehinga tidak
baik lagi untuk dikomsumsi.

Hasil pemeriksaan mikroba yang dilakukan pada kulit ayam lebih tinggi dari angka
maksimum yang telah ditetapkan oleh pemerintah. Hasil perhitungan TPC kulit ayam adalah
8 x 107, padahal batas maksimum cemaran mikroba dalam karkas ayam mentah berdasarkan
SK Dirjen POM No. 03726/8/SK/VII/85 adalah 106 bakteri/ml dan harus negatif dari
Salmonella sp.
Menurut Lawrie (1995) mengatakan bahwa kontaminasi mikroba pada daging dapat
terjadi pada saat hewan tersebut masih hidup sampai sewaktu akan dikonsumsi. Sumber
kontaminasi dapat berasal dari tanah, kulit hewan, alat jeroan, air pencelupan, alat yang
dipakai selama proses persiapan karkas, kotoran hewan, udara dan dari pekerja.

Pada umumnya, faktor yang mempengaruhi pertumbuhan mikroorganisme pada


daging ada dua macam, yaitu (a). Faktor intrinsik termasuk nilai nutrisi daging, keadaan air,
pH, potensi oksidasi-reduksi dan ada tidaknya substansi pengahalang atau penghambat; (b).
Faktor ekstrinsik, misalnya temperatur, kelembapan relatif, ada tidaknya oksigen dan bentuk
atau kondisi daging (Fardiaz.dkk, 1992).

D. EFEK PENGOLAHAN TERHADAP PROTEIN, KARBOHIDRAT DAN LEMAK

D.1. Efek Pengolahan terhadap Protein

Tujuan pengolahan pada rumah tangga adalah :

a) meningkatkan daya cerna dan kenampakan,

b) memperoleh flavor,

c) merusak mikroorganisme dalam bahan pangan.

Sedangkan proses yang penting dalam pengolahan adalah :

a) perebusan,

b) pengukusan,

c) pengovenan,

d) penggorengan,

e) pembakaran,

f) pengalengan dan

g) dehidrasi.

Di dalam bahan pangan zat gizi makro tidak berdiri sendiri, melainkan saling
berdampingan, sehingga efek pengolahanpun terjadi juga karena efek yang bersamaan
dengan senyawa tersebut. Beberapa proses pemanasan seperti penggorengan, oven, perebusan
dilaporkan memberi efek yang merugikan terhadap nilai gizi seperti pada cerealia, minyak
biji kapas, dan pakan ternak. Efek tersebut karena reaksi antara amino group dari asam amino
esensial seperti lisin dengan gula reduksi yang terkandung bersama-sama protein dalam
bahan pangan, yang disebut reaksi Maillard. Pemanasan lebih lanjut dapat menyebabkan
asam amino : arginin, triptofan, dan histidin bereaksi dengan gula reduksi. Ketersediaan lisin
dan asam amino dari protein yang diproses dengan pemanasan lebih kecil daripada protein
yang tidak diproses karena terjadinya reaksi Maillard.

Pengolahan komersial melibatkan proses pemanasan, pendinginan, pengeringan,


penambahan bahan kimia, fermentasi, radiasi dan perlakuan-perlakuan lainnya. Dari semua
proses ini, pemanasan merupakan proses yang paling banyak diterapkan dan dipelajari. Oleh
karena itu pembahasan akan dititikberatkan pada pengaruh pemanasan pada sifat kimia dan
nilai gizi protein, khususnya pada pemanasan yang moderat.

Pemanasan protein dapat menyebabkan terjadinya reaksi-reaksi baik yang diharapkan


maupun yang tidak diharapkan. Reaksi-reaksi tersebut diantaranya denaturasi, kehilangan
aktivitas enzim, perubahan kelarutan dan hidrasi, perubahan warna, derivatisasi residu asam
amino, cross-linking, pemutusan ikatan peptida, dan pembentukan senyawa yang secara
sensori aktif. Reaksi ini dipengaruhi oleh suhu dan lama pemanasan, pH, adanya oksidator,
antioksidan, radikal, dan senyawa aktif lainnya khususnya senyawa karbonil. Beberapa reaksi
yang tidak diinginkan dapat dikurangi. Penstabil seperti polifosfat dan sitrat akan mengikat
Ca2+, dan ini akan meningkatkan stabilitas panas protein whey pada pH netral. Laktosa yang
terdapat pada whey pada konsentrasi yang cukup dapat melindungi protein dari denaturasi
selama pengeringan semprot (spray drying).

Kebanyakan protein pangan terdenaturasi jika dipanasakan pada suhu yang moderat
(60-90oC) selama satu jam atau kurang. Denaturasi adalah perubahan struktur protein dimana
pada keadaan terdenaturasi penuh, hanya struktur primer protein saja yang tersisa, protein
tidak lagi memiliki struktur sekunder, tersier dan quarterner. Akan tetapi, belum terjadi
pemutusan ikatan peptida pada kondisi terdenaturasi penuh ini. Denaturasi protein yang
berlebihan dapat menyebabkan insolubilisasi yang dapat mempengaruhi sifat-sifat fungsional
protein yang tergantung pada kelarutannya.

Dari segi gizi, denaturasi parsial protein sering meningkatkan daya cerna dan
ketersediaan biologisnya. Pemanasan yang moderat dengan demikian dapat meningkatkan
daya cerna protein tanpa menghasilkan senyawa toksik. Disamping itu, dengan pemanasan
yang moderat dapat menginaktivasi beberapa enzim seperti protease, lipase, lipoksigenase,
amilase, polifenoloksidase dan enzim oksidatif dan hidrolotik lainnya. Jika gagal
menginaktivasi enzim-enzim ini maka akan mengakibatkan off-flavour, ketengikan,
perubahan tekstur, dan perubahan warna bahan pangan selama penyimpanan. Sebagai contoh,
kacang-kacangan kaya enzim lipoksigenase. Selama penghancuran bahan, untuk mengisolasi
protein atau lipidnya, dengan adanya oksigen enzim ini bekerja sehingga dihasilkan senyawa
hasil oksidasi lipid yang menyebabkan off-flavour. Oleh karena itu, sering dilakukan
inaktivasi enzim dengan menggunakan pemanasan sebelum penghancuran. Sebagai
tambahan, perlakuan panas yang moderat juga berguna untuk menginaktivasi beberapa faktor
aninutrisi seperti enzim antitripsin dan lektin.

Reaksi Maillard (interaksi protein dan gula pereduksi)

Reaksi antara protein dengan gula-gula pereduksi merupakan sumber utama


menurunnya nilai gizi protein pangan selama pengolahan dan penyimpanan. Reaksi Maillard
ini dapat terjadi pada waktu pembuatan (pembakaran) roti, produksi “breakfast cereals”
(serpihan jagung, beras, gandum, dll) dan pemanasan daging terutama bila terdapat bahan
pangan nabati ; tetapi yang paling penting adalah selama pengolahan susu (sapi) dengan
pemanasan, karena susu merupakan bahan pangan berprotein tinggi yang juga mengandung
gula pereduksi (laktosa) dalam jumlah tinggi.

Pemasakan dirumah-rumah tangga dan pengalengan makanan secara komersil hanya


memberi sedikit pengaruh terhadap nilai gizi protein bahan pangan. Akan tetapi proses
industri lainnya, yang menyangkut penggunaan panas pada kadar air yang rendah, misalnya
selama pengeringan dan pembakaran (roti), serta proses penyimpanan selanjutnya dari
produk yang dihasilkan, dapat mengakibatkan penurunan gizi yang cukup besar.

Perubahan Kimia dan Nilai Gizi Asam Amino

Pada pengolahan dengan menggunakan panas yang tinggi, protein akan mengalami
beberapa perubahan. Perubahan-perubahan ini termasuk rasemisasi, hidrolisis, desulfurasi,
dan deamidasi. Kebanyakan perubahan kimia ini bersifat irreversibel, dan beberapa reaksi
dapat menghasilkan senyawa toksik.

Pengolahan panas pada pH alkali seperti pada pembuatan texturized foods dapat
mengakibatkan rasemisasi parsial dari residu L-asam amino menjadi D-asam amino. Laju
rasemisasi residu dipengaruhi oleh daya penarikan elektron dari sisi samping. Dengan
demikian, residu seperti Asp, Ser, Cys, Glu, Phe, Asn, dan Thr akan terasemisasi lebih cepat
dari residu asam amino lainnya. Laju rasemisasi juga dipengaruhi oleh konsentrasi ion
hidroksil, tetapi tidak tergantung pada konsentrasi protein itu sendiri. Sebagai tambahan,
karbanion yang terbentuk pada suhu alkali dapat mengalami reaksi â-eliminasi menghasilkan
dehidroalanin.

Rasemisasi residu asam amino dapat mengakibatkan penurunan daya cerna protein
karena kurang mampu dicerna oleh tubuh. Kerugian akan semakin besar apabila yang
terasemisasi adalah asam amino esensial. Pemanasan protein pada pH alkali dapat merusak
beberapa residu asam amino seperti Arg, Ser, Thr dan Lys. Arg terdekomposisi menjadi
ornithine. Jika protein dipanaskan pada suhu sekitar 200oC, seperti yang terjadi pada
permukaan bahan pangan yang mengalami pemanggangan, broiling, grilling, residu asam
aminonya akan mengalami dekomposisi dan pirolisis. Beberapa hasil pirolisis yang diisolasi
dari daging panggang ternyata bersifat sangat mutagenik. Yang paling bersifat mutagenik
adalah dari pirolisis residu Trp dan Glu. Satu kelas komponen yaitu imodazo quinoline (IQ)
merupakan hasil kondensasi kreatinin, gula dan beberapa asam amino tertentu seperti Gly,
Thr, Al dan Lys, komponen ini juga toksik. Senyawa-senyawa toksik ini akan jauh berkurang
apabila pengolahan tidak dilakukan secara berlebihan (suhu lebih rendah dan waktu yang
lebih pendek).

D.2. Efek Pengolahan terhadap Karbohidrat

Pemasakan karbohidrat diperlukan unutk mendapatkan daya cerna pati yang tepat,
karena karbohidrat merupakan sumber kalori. Pemasakan juga membantu pelunakan diding
sel sayuran dan selanjutnya memfasilitasi daya cerna protein. Bila pati dipanaskan, granula-
granula pati membengkak dan pecah dan pati tergalatinisasi. Pati masak lebih mudah dicerna
daripada pati mentah.

Dalam bahan pangan keberadaan karbohidrat kadang kala tidak sendiri melainkan
berdampingan dengan zat gizi yang lain seperti protein dan lemak. Interaksi antara
karbohidrat (gula) dengan protein telah dibahas, seperti tersebut diatas. Bahan pangan yang
dominan kandungan karbohidratnya seperti singkong, ubi jalar, gula pasir, dll. Dalam
pengolahan yang melibatkan pemanasan yang tinggi karbohidrat terutama gula akan
mengalami karamelisasi (pencoklatan non enzimatis). Warna karamel ini kadang-kadang
justru dikehendaki, tetapi jika dikehendaki karamelisasi yang berlebihan sebaliknya tidak
diharapkan .

Faktor pengolahan juga sangat berpengaruh terhadap kandungan karbohidrat,


terutama seratnya. Beras giling sudah barang tentu memiliki kadar serat makanan dan vitamin
B1 (thiamin) yang lebih rendah dibandingkan dengan beras tumbuk. Demikian juga
pencucian beras yang dilakukan berulang-ulang sebelum dimasak, akan sangat berperan
dalam menurunkan kadar serat. Pengolahan buah menjadi sari buah juga akan menurunkan
kadar serat, karena banyak serat akan terpisah pada saat proses penyaringan.

D.3. Efek Pengolahan Terhadap Lemak

Pemasakan yang biasa dilakukan pada rumah tangga sedikit sekali berpengaruh
terhadap kandungan lemak, tetapi pemanasan dalam waktu lama seperti penggorengan untuk
beberapa kali, maka asam lemak esensial akan rusak dan terbentuk produk polimerisasi yang
beracun. Lemak yang dipanaskan berulangkali dapat menurunkan pertumbuhan pada tikus
percobaan.

Dengan proses pemanasan, makanan akan menjadi lebih awet, tekstur, aroma dan rasa
lebih baik serta daya cerna meningkat.salah satu komponen gizi yang dipengaruhi oleh prose
pemanasan adalah lemak. Akibat pemanasan daging maka lemak dalam daging akan mencair
sehingga menambah palatabilitas daging tersebut.hal ini disebabkan oleh pecahnya
komponen-komponen lemak menjadi produksi volatil seperti aldehid, keton, alkohol, asam,
dan hidrokarbon yang sangat berpengaruh terhadap pembentukan flavor.

Selama penggorengan bahan pangan dapat terjadi perubahan-perubahan fisikokimiawi


baik pada bahan pangan yang digoreng, maupun minyak gorengnya. Apabila suhu
penggorengannya lebih tinggi dari suhu normal (168-196 oC) maka akan menyebabkan
degradasi minyak goreng berlangsung dengan cepat (antara lain titik asap menurun). Titik
asap minyak goreng tergantung pada kadar gliserol bebas. Titik asap adalah saat terbentuknya
akrolein yang tidak diinginkan dan dapat menimbulkan rasa gatal pada tenggorokan.

Lemak hewan (babi dan kambing) banyak mengandung asam lemak tidak jenuh
seperti oleat dan linoleat. Asam lemak ini dapat mengalami oksidasi, sehingga timbul bau
tengik pada daging. Proses penggorengan pada suhu tinggi dapat mempercepat proses
oksidasi. Hasil pemecahan dan oksidasi ikatan rangkap dari asam lemak tidak jenuh adalah
asam lemak bebas yang merupakan sumber bau tengik. Dengan adanya anti oksidan dalam
lemak seperti vitamin E (tokoferol), maka kecepatan proses oksidasi lemak akan berkurang.
Sebaliknya dengan adanya prooksidan seperti logam-logam berat (tembaga, besi, kobalt, dan
mangan) serta logam porfirin seperti pada mioglobin, klorofil, dan enzim lipoksidase maka
proses oksidasi pada lemak akan dipercepat.

Kecepatan oksidasi berbanding lurus dengan tingkat ketidak jenuhan asam lemak.
Asam linoleat dengan 3 ikatan rangkap akan lebih mudah teroksidasi daripada asam lemak
linoleat dengan 2 ikatan rangkapnya dan oleat dengan 1 ikatan rangkapnya. Pada minyak
kedelai kurang baik dijadikan minyak goreng, karena banyak mengandung linoleat.
Sedangkan minyak jagung baik digunakan sebagai minyak goreng, karena linoleatnya rendah.
Untuk mengatasi masalah pada minyak kedelai, maka dilakukan proses hidrogenasi sebagian
untuk menurunkan kadar asam linoleatnya.

Reaksi-reaksi yang terjadi selama degradasi asam lemak didasarkan atas penguraian
asam lemak. Produk degradasi terbentuk menjadi dua :

a. Hasil dekomposisi tidak menguap, yang tetap terdapat dalam minyak dan diserap oleh
bahan pangan yang digoreng.

b. Hasil dekomposisi yang dapat menguap, yang keluar bersama-sama uap pada waktu lemak
dipanaskan.

Pembentukan produk yang tidak menguap sebagian besar disebabkan oleh


autooksidasi, polimeriasai thermal, dan oksidasi thermal dari asam lemak tidak jenuh yang
terdapat pada minyak goreng. Reaksi-reaksi minyak dibagi atas tiga tahap, yaitu inisiasi,
propagasi (perambatan), dan terminasi (penghentian). Oksidasi dari hidroperoksida yang
lebih lanjut juga menghasilkan produk-produk degradasi dengan tiga tipe utama yaitu
pemecahan menjadi alkohol, aldehid, asam, dan hidrokarbon, dimana hal ini juga
berkontribusi dalam perubahan warna minyak goreng yang lebih gelap dan perubahan flavor,
dehidrasi membentuk keton, atau bentuk radikal bebas yang berbentuk dimer, trimer, epksid,
alkohol, dan hidrokarbon.

Seluruh komponen tersebut berkontribusi terhadap kenaikan viskositas dan


pembentukan fraksi NUAF (Nonurea Aduct Forming). Fraksi NUAF yang merupakan derifat
dari asam lemak yang tidak dapat membentuk kompleks dengan urea, bersifat toksis bagi
manusia. Pada dosis 2,5 % dalam makanan, fraksi ini dapat mengakibatkan keracunan yang
akut pada tikus setelah tujuh hari masa percobaan.
Jika minyak dipanaskan pada suhu tinggi dengan adanya oksigen, disebut oksidasi
thermal. Derajat ketidak jenuhan yang diukur dengan bilangan iod, akan berkurang selama
pemanasan, jumlah asam tak berkonjugasi misalnya linoleat akan berkurang dan asam
berkonjugasi (asam linoleat berkonjugasi) bertambah sampai mencapai maksimum, dan
kemudian berkurang karena proses penguraian.

Proses pemanasan dapat menurunkan kadar lemak bahan pangan. Demikian juga
dengan asam lemaknya, baik esensial maupun non esensial. Kandungan lemak daging sapi
yang tidak dipanaskan (dimasak) rata-rata mencapai 17,2 %, sedangkan jika dimasak dengan
suhu 60 oC, kadar lemaknya akan turun menjadi 11,2-13,2%.

Adanya lemak dalam jumlah berlebihan dalam bahan pangan kadang-kadang kurang
dikehendaki. Pada pengolahan pangan dengan teknik ekstrusi, diinginkan kadar lemak yang
rendah. Tepung yang kadar lemaknya telah diekstrak sebelum proses ekstrusi akan
menghasilkan produk yang mempunyai derajat pengembangan yang lebih tinggi. Kompleks
lemak dengan pati pada proses ekstrusi akan menyebabkan penurunan derajat pengembangan.

E. PROSES PENGOLAHAN
E.1. Pemanggangan

Banyak orang ingin menikmati makanan panggang, itu karena makanan panggang
memiliki rasa yang khas dengan aroma menggoda. Memanggang daging, ikan, sate atau
ayam pangang menyenangkan jika dilakukan bersama keluarga atau teman. Banyak restoran
juga memasukan makanan panggang dalam menu mereka.

Tetapi tahukah anda bahwa para ilmuwan mengatakan makanan yang diolah dengan
cara dibakar dapat memberikan dampak buruk pada kesehatan. Memasak makanan dengan
memanggang dapat meningkatkan risiko kanker hingga dua kali lipat, dibandingkan dengan
direbus, meskipun daging dimasak sampai matang. Dalam penelitian mereka, para ilmuwan
menyatakan bahwa daging yang diolah dengan cara digoreng atau dibakar dapat
menyebabkan mutasi karsinogenik pada permukaan makanan.

Sebuah studi yang dilakukan di Norwegian Institute of public health, sebagai


percobaan untuk menguji tikus yang diharapkan dapat mencerminkan kondisi serupa pada
manusia. Mereka menemukan bahwa manusia memiliki enzim tertentu yang disebut
sulfotransferases (sult) di beberapa bagian tubuh mereka. meskipun demikian, enzim ini
hanya ditemukan di hati tikus.
Sult enzim berfungsi untuk mengubah beberapa bahan dalam makanan yang
berbahaya. Selain itu, enzim ini juga memiliki kemampuan untuk mengubah isi dari makanan
menjadi karsinogenik atau menyebabkan kanker.

Para peneliti mengatakan “Tikus yang makan makanan yang terkontaminasi


kebanyakan ditemukan dalam ikan dan daging panggang,” “Kami ingin memeriksa
perkembangan tumor usus besar pada tikus yang sering makan makanan panggang dan
goreng dan membandingkannya dengan perkembangan tumor pada tikus normal yang diberi
makanan yang terkontaminasi yang sama,” kata para ilmuwan, seperti dikutip dari DailyMail.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa para ilmuwan menemukan tumor usus besar
meningkat 31-80 persen pada tikus yang makan daging panggang, sama seperti manusia.
Selain itu, para ilmuwan juga mencatat bahwa tikus percobaan tidak sempurna untuk
menggambarkan risiko usus kesehatan manusia melalui konsumsi makanan yang
terkontaminasi. Dikutip dari about Menurut direktur Konten Medis untuk American Cancer
Society, Dr Ted Gansler, makan dalam jumlah berlebihan ayam bakar atau daging panggang
dapat meningkatkan risiko kanker. Hal ini juga berlaku untuk tumis daging pada suhu tinggi.

Penelitian saat ini memberitahu kita bahwa daging terlalu matang atau yang gosong
menimbulkan risiko tertinggi. Hal ini terjadi karena memasak pada suhu yang sangat tinggi
memecah asam, creatine amino dalam daging. Ketika ini terjadi, heterosiklik amina (HAS)
dibentuk. HAS adalah kimia karsinogenik dan dihubungkan dengan kanker.

Kemudian Hanifah yang merupakan dosen dari Institut Pertanian Bogor telah
melakukan penelitian mengenai polisiklik aromatik hidrokarbon (PAH), yaitu senyawa
berbahaya yang ditemui pada makanan yang dibakar. IARC (International Agency for
Research on Cancer) sudah mengumumkan satu jenis komponen yang tedapat dalam PAH
yang disebut dengan benzo apyrene. Komponen ini sudah dianggap sebagai senyawa
karsenogenik tingkat 1 (paling tinggi) yang berbahaya bagi tubuh karena senyawa ini dapat
memutasi gen dan merusak DNA, bahkan menimbulkan kanker. Senyawa penyebab kanker
ini terdapat dalam reaksi kimia yang disebut pirolisis yang terjadi ketika proses
pemanggangan atau pembakaran makanan.

Ketika ditanya mengenai inovasi yang telah diteliti, Hanifah menjelaskan, “saya
mencari formula atau rumus matematika yang bisa menghitung jarak makanan terhadap api
dan lama pembakaran yang optimal. Kemudian keharusan penggunaan bumbu dalam makan
bakaran, karena tanpa bumbu, makanan tersebut semakin banyak kandungan senyawa
berbahaya,” katanya.

Dari hasil penelitian tersebut didapat kesimpulan, jarak pembakaran yang baik adalah
2-8 cm, lama pemanasannya sendiri 28-40 menit dan penggunan bumbu 15% dari berat
daging yang dibakar. Bumbu yang dimaksud adalah rempah-rempah tradisional, seperti
bawang merah, bawang putih, kunyit, jahe, dan lengkuas yang sebenarnya banyak
mengandung senyawa anti oksidan yang dapat membantu menghambat senyawa berbahaya
PAH.

Penelitian ini sendiri tidak memakai arang yang biasa, melainkan batu bara. Hanifah
menjelaskan bahwa batu bara baik digunakan untuk proses pembakaran makanan karena batu
bara hanya memberikan api dan panas, sedangkan asap yang muncul hanya berasal dari
daging yang dibakar, bukan dari batu bara yang dipakai. Sedangkan jika memakai kayu keras,
maka komponen senyawa berbahayanya akan lebih besar.

Kemudian jika menggunakan api kompor langsung juga berpotensi menimbulkan


senyawa berbahaya, karena senyawa ini sendiri tidak hanya muncul dari bahan pembakaran
yang digunakan, akan tetapi berasal dari reaksi yang terjadi pada proses pemanasan. Yang
terakhir, jika memakai oven, sebaiknya daging yang ingin dipanggang dibungkus dahulu
dengan aluminium foil agar tidak berbahaya.

Perlu diingat, memanggang boleh-boleh saja sesekali dalam waktu-waktu khusus


seperti tahun baru, atau sesekali saat berlibur. Konsumsi berlebihan makanan panggang
dimasak pada suhu yang sangat tinggi adalah faktor risiko untuk mengembangkan kanker.

Para ahli merekomendasikan untuk memasak makanan pada suhu yang lebih rendah,
bahkan jika itu berarti memanggang lebih lama . Pada pemanggang gas, coba naikkan rak
panggangan,sedikit menjauh dari api. Pada panggangan arang dengan membiarkan api untuk
turun setelah arang dinyalakan.

Menggunakan tusuk sate juga merupakan cara terbaik untuk membatasi jumlah
daging panggang dikonsumsi selama makan. Potongan kecil daging, dikombinasikan dengan
buah-buahan segar dan sayuran di atas panggangan membuat untuk makan yang menarik, dan
lezat.
Perlu diingat moderasi adalah kunci, bahwa sama seperti hal lainnya. Ada
peningkatan risiko kanker ketika kira mengkonsumsi makanan yang dipanggang atau
dimasak pada suhu tinggi dalam jumlah berlebihan. Anda masih dapat menikmati daging
panggang, tapi ketika dimasak pada suhu rendah dan hanya melakukannya dalam jumlah
yang tidak terlalu banyak.

E.2. Pengolahan Dengan Bantuan Bahan Nitrit

Nitrat dan nitrit merupakan bahan kuring yang umum digunakan di industri
pengolahan daging. Nitrit menjadi komponen pembeda antara produk olahan daging segar
dengan produk kuring. Nitrat dikonversi menjadi nitrit selama proses fermentasi atau selama
proses pemasakan.

Fungsi dari garam nitrit adalah:

- Untuk pembentukan warna (konsentrasi yang dibutuhkan sekitar 20 – 30 ppm).

Reaksi pembentukan warna:  Sodium nitrit direduksi menjadi nitrit oksida (NO). NO
akan berikatan dengan mioglobin (NO mengganti OH pada struktur heme dari mioglobin –
Gambar 1) membentuk nitrosomioglobin berwarna merah gelap yang tidak stabil dan bisa
teroksidasi menjadi metmioglobin. Proses pemanasan (70°C) atau penurunan pH daging
sampai dibawah 5.0 (selama proses fermentasi) akan mendenaturasi bagian globin dari
nitrosomioglobin membentuk nitrosohe-mokrom yang menghasilkan warna merah yang
stabil. Pada Gambar 2 dapat dilihat perubahan kimia mioglobin dan pembentukan warna
daging dengan penambahan nitrit.

Gambar 1. Penggantian OH mioglobin dengan NO


Gambar 2. Reaksi pembentukan warna dengan penggunaan nitrit

- Membentuk flavor khas daging kuring,


- Mencegah pembentukan flavor tengik dengan cara: menghambat reaksi oksidasi Fe
pada hemoglobin dan mengikat radikal bebas (bersifat antioksidan),
- Memberi efek pengawetan (efek hurdle) dengan kombinasi beberapa teknik
pengawetan yang lain:

5% NaCl plus 200 ppm NO2 memiliki efek pengawetan yang sama dengan 15%
garam. Berperan sangat penting untuk produk olahan daging kalengan, karena membantu
mencegah pertumbuhan spora bakteri C. Botulinum 100 ppm NO2 dibutuhkan untuk
menghambat pertumbuhan C. botulinum pada produk olahan daging yang dikemas vakum
dan disimpan dingin.

Efek pengawetan diberikan oleh garam nitrit sementara garam nitrat sendiri tidak
bersifat antimikroba. Mikroba yang sensitive terhadap nitrit adalah Pseudomonas, E. coli,
Bacillus dan C. botulinum. S. aureus agak resisten terhadap nitrit sementara Micrococcus dan
Lactobacillus tidak terhambat oleh nitirit. Hal ini menguntungkan karena penggunaan nitrit
dapat menghambat patogen tetapi disisi lain tidak membunuh maupun menghambat aktivitas
bakteri dari kelompok asam laktat yang dibutuhkan untuk proses fermentasi.

Dalam penggunaan nitrit, maka konsentrasi (dosis) yang digunakan harus dikontrol
secara ketat. Dosis penggunaan yang terlalu tinggi akan memberi efek negatif pada kesehatan
manusia sementara jika terlalu rendah maka efek pengawetan dan pembentukan wana yang
diharapkan tidak terpenuhi. Efek negatif dari penggunaan nitrit jika berlebihan:

- Bersifat toksin. Pada jumlah berlebih, NO akan berkompetisi dengan oksigen untuk
berikatan pada hemoglobin. Akibatnya, tubuh kekurangan oksigen –> badan membiru
–> bisa menyebabkan kematian. Toksisitas NO2 adalah 0.6 – 1.5 g pada orang dewasa
dan bersifat letal pada konsentrasi 12 g. Dosis letal pada anak-anak adalah 0.2 – 0.3
gram. Karena anak-anak lebih peka terhadap sifat toksik dari nitrit, maka tidak
dianjurkan untuk memberikan produk-produk kuring pada anak berusia kurang dari
satu tahun.
- Membentuk nitrosamin yang bersifat karsinogenik. Nitrosamin terbentuk jika
konsentrasi nitrit terlalu tinggi dan suhu pemasakan juga terlalu tinggi (di atas 150°C).
Reaksi antara senyawa turunan protein dengan nitrit. Contoh reaksi pembentukan
nitrosamin: HONO + Dimethylamine → Dimethyl nitrosamine + HOH

E.3. Penggorengan

Penggorengan merupakan salah satu proses olahan pangan yang sangat populer.
Penggorengan dapat didefinisikan sebagai proses pemasakan dan pengeringan produk dengan
media panas berupa minyak sebagai media pindah panas. Penggorengan dari segi ilmiah
sangat sulit karena terjadi perpindahan panas dan massa secara simultan. Ketika bahan
pangan digoreng menggunakan minyak goreng panas, banyak reaksi komplek terjadi di
dalam minyak dan pada saat itu minyak akan mulai mengalami
kerusakan.

Selama penggorengan minyak dalam kondisi suhu tinggi, adanya udara dan air yang
dikandung oleh bahan menyebabkan minyak mengalami kerusakan. Adanya interaksi antara
produk dan minyak menyebabkan terjadinya reaksi yang sangat komplek, akan terbentuk
senyawa volatile maupun nonvolatile yang akan memberikan tanda bahwa
minyak telah rusak.

Berdasarkan sifat fisikanya, kualitas minyak dapat diketahui dari kandungan asam
dienoat, warna, dielektrik konstan, titik asap, dan viskositas. Berdasarkan perubahan kimia
pada minyak, kandungan asam lemak bebas, bilangan karbon, penentuan total senyawa polar
dan viskositas dapat digunakan untuk pengujian kualitas minyak goreng. Kriteria minyak
goreng yang baik dapat diketahui dengan membandingkan beberapa sifat fisika-kimianya
seperti dieletrik konstan, bilangan peroksida, dan asam lemak bebas.

Asam lemak bebas terbentuk karena terjadinya hidrolisa minyak menjadi asam-
asamnya. Asam lemak bebas merupakan indikator kesegaran suatu minyak goreng, meskipun
bukan menjadi satu-satunya indikator kerusakan. Air dapat menghidrolisa minyak menjadi
gliserol dan asam lemak bebas. Proses ini dibantu oleh adanya asam, alkali, uap air,
temperatur tinggi dan enzim. Kandungan asam lemak bebas minyak meningkat selama
pemanasan, disebabkan peristiwa oksidasi dan hidrolisis. Pada proses ini terjadi pemutusan
rantai triglesirida menjadi asam-asam lemak bebas dan gliserol.

Kombinasi lamanya pemanasan dan suhu yang tinggi mengakibatkan terjadinya


beberapa reaksi penyebab kerusakan minyak. Reaksi-reaksi yang terjadi adalah hidrolisa,
oksidasi dan polimerisasi. Minyak yang rusak akibat dari proses hidrolisa, oksidasi dan
polimerisasi akan menghasilkan bahan dengan rupa yang kurang menarik dan cita rasa yang
tidak enak, serta kerusakan sebagian vitamin dan asam lemak esensial yang terdapat dalam
minyak. Minyak yang telah rusak tidak hanya mengakibatkan kerusakan nilai gizi, tetapi juga
merusak tekstur, flavor dari bahan pangan yang digoreng.

Reaksi oksidasi oleh oksigen terhadap asam lemak tidak jenuh akan menyebabkan
terbentuknya peroksida, aldehid, keton serta asam-asam lemak berantai pendek yang dapat
menimbulkan perubahan organoleptik yang tidak disukai seperti perubahan bau dan flavour
(ketengikan). Oksidasi disebabkan oleh udara yang ada disekitar saat pemanasan atau
penggorengan, umumnya proses ini berjalan lambat. Derajat oksidasi ditandai dengan
penyerapan oksigen, semakin lama dan tinggi suhu pemanasan, proses oksidasi berjalan
cepat. Oksidasi terjadi pada ikatan tidak jenuh dalam asam lemak. Oksidasi dimulai dengan
pembentukan peroksida dan hidroperoksida dengan pengikatan oksigen pada ikatan rangkap
pada asam lemak tidak jenuh.

Minyak mengalami oksidasi menjadi senyawa antara peroksida yang tidak stabil
ketika dipanaskan. Pemanasan minyak lebih lanjut akan merubah sebagian peroksida volatile
decomposition products (VDP) dan non volatile decomposition products (NVDP). Senyawa-
senyawa VDP dan NVDP yang dihasilkan oleh senyawa antara peroksida seperti aldehid,
keton, ester, alkohol, senyawa siklik dan hidrokarbon, secara keseluruhan membuat minyak
menjadi polar dibandingkan minyak yang belum dipanaskan.
F. DAMPAK YANG DISEBABKAN OLEH PENGOLAHAN DAGING TERHADAP
PENGKONSUMSIANNYA

F.1. Kolesterol

Kolesterol merupakan produk khas hasil metabolisme hewan. Dengan demikian


semua makanan yang berasal dari hewan, seperti kuning telur, daging, hati, dan otak sudah
jelas mengandung kolesterol (Murray, et. al., 1996 : 248). Biosintesis kolesterol terbanyak
berlangsung dalam jaringan hati, kulit, kelenjar lemak ginjal, kelenjar kelamin.

Kolesterol dapat larut dalam pelarut organik, misalnya eter, kloroform, benzene,
karbon disulfida, aseton, dan alkohol panas, tetapi tidak larut dalam air, asam atau basa. Pada
konsentrasi tinggi, kolesterol mengkristal dalam bentuk kristal tak berwarna, tidak berasa,
tidak berbau, dan memiliki titik lebur 150oC – 151oC (Anna Poedjiadi, 1994 : 147 - 150). Di
udara terbuka atau terkena sinar matahari langsung, kolesterol akan teroksidasi secara lambat
menjadi senyawa yang memiliki titik lebur lebih rendah dan akan berubah sifat reaksinya
(Otto, 1982 : 213 - 216). Reaksi yang terjadi dapat ditunjukkan sebagai berikut :

CuO

HO 300oC O

Kolesterol Kolestenon

Keberadaan kolesterol dalam suatu bahan makanan dapat diisolasi dengan cara
ekstraksi menggunakan pelarut organik. Sedangkan secara kualitatif dapat diidentifikasi
dengan menggunakan Uji Salkowski atau Uji Liebermann – Burchard. Ko-lesterol
mengalami reaksi adisi pada ikatan rangkapnya. Adisi dengan hidrogen membentuk
dihidrokolesterol, dan dengan halogen membentuk kolesterol dihalida. Adapun reaksi adisi
tersebut sebagai berikut :
Dihidrokolesterol
HO HO
OH

5,6-dibromo kolesterol
HO Br

Br

F.2. Kanker

Puru ayal atau kanker atau neoplasma ganas adalah penyakit yang ditandai dengan
kelainan siklus sel khas yang menimbulkan kemampuan sel untuk:

- tumbuh tidak terkendali (pembelahan sel melebihi batas normal)


- menyerang jaringan biologis di dekatnya.
- bermigrasi ke jaringan tubuh yang lain melalui sirkulasi darah atau sistem limfatik,
disebut metastasis.

Tiga karakter ganas inilah yang membedakan kanker dari tumor jinak. Sebagian besar
kanker membentuk tumor, tetapi beberapa tidak, seperti leukemia. Cabang ilmu kedokteran
yang berhubungan dengan studi, diagnosis, perawatan, dan pencegahan kanker disebut
onkologi. Kanker dapat menyebabkan banyak gejala yang berbeda, bergantung pada lokasi
dan karakter keganasan, serta ada tidaknya metastasis. Diagnosis biasanya membutuhkan
pemeriksaan mikroskopik jaringan yang diperoleh dengan biopsi. Setelah didiagnosis, kanker
biasanya dirawat dengan operasi, kemoterapi, atau radiasi.

Kebanyakan kanker menyebabkan kematian. Kanker adalah salah satu penyebab


utama kematian di negara berkembang. Kebanyakan kanker dapat dirawat dan banyak
disembuhkan, terutama bila perawatan dimulai sejak awal. Banyak bentuk kanker
berhubungan dengan faktor lingkungan yang sebenarnya bisa dihindari. Merokok dapat
menyebabkan banyak kanker daripada faktor lingkungan lainnya. Tumor (bahasa Latin;
pembengkakan) menunjuk massa jaringan yang tidak normal, tetapi dapat berupa "ganas"
(bersifat kanker) atau "jinak" (tidak bersifat kanker). Hanya tumor ganas yang mampu
menyerang jaringan lainnya ataupun bermetastasis. Kanker dapat menyebar melalui kelenjar
getah bening maupun pembuluh darah ke organ lain.

F.3. Toksisitas Logam

Toksisitas logam adalah terjadinya keracunan dalam tubuh manusia yang diakibatkan
oleh bahan berbahaya yang mengandung logam beracun. Zat-zat beracun dapat masuk ke
dalam tubuh manusia melalui pernapasan, kulit, dan mulut. Pada umumnya, logam terdapat di
alam dalam bentuk batuan, bijih tambang, tanah, air, dan udara. Macam-macam logam
beracun yaitu raksa/merkuri (Hg), kromium (Cr), kadmium (Cd), tembaga (Cu), timah (Sn),
nikel (Ni), arsene (As), kobalt (Co), aluminium (Al), besi (Fe), selenium (Se), dan zink (Zn).
[3]
Walaupun kadar logam dalam tanah, air, dan udara rendah, namun dapat meningkat apabila
manusia menggunakan produk-produk dan peralatan yang mengandung logam, pabrik-pabrik
yang menggunakan logam, pertambangan logam, dan pemurnian logam.

BAB III

KESIMPULAN DAN SARAN

A.    Kesimpulan
- Komposisi kimia daging terdiri dari air 56%, protein 22%, lemak 24%, dan substansi bukan
protein terlarut 3,5% yang meliputi karbohidrat, garam organik, substansi nitrogen terlarut,
mineral, dan vitamin.

- Metode uji fisik, kimia dan mikroorganisme pada daging :

A. Metode Uji Fisik Pada Daging :

1. Pemeriksaan Awal Pembusukan

2. Pemeriksaan Organoleptis

B. Metode Uji Kimia Pada Daging :

1. Malachit Green Test

2. Pengukuran PH Ekstrak Daging

C. Meode Uji Mikroorganisme Pada Daging :

1. Sterilisasi :

a. Sterilisasi secara fisik, terbagi atas 2 metode :

- Pemanasan Basah yaitu Otoklaf, Tyndallisasi, dan Pasteurisasi

- Pemanasan Kering yaitu Oven

2. Metode Hitungan Cawan :

a. Metode Tuang (Pour Plate)

b. Metode Permukaan (Surface/Spread Plate)

c. Pemeriksaan Mikrobiologi

- Proses pengolahan daging :

A. Pemanggangan

B. Pengolahan Dengan Bantuan Bahan Nitrit

C. Penggorengan

- Dampak yang disebabkan oleh pengolahan daging terhadap pengkonsumsiannya :

A. Kolesterol
B. Kanker

C. Toksisitas Logam

- Beberapa reaksi yang terjadi pada proses pengolahan daging :

A. Reaksi Maillard (interaksi protein dan gula pereduksi)

Reaksi antara protein dengan gula-gula pereduksi merupakan sumber utama


menurunnya nilai gizi protein pangan selama pengolahan dan penyimpanan. Reaksi Maillard
ini dapat terjadi pada waktu pembuatan (pembakaran) roti, produksi “breakfast cereals”
(serpihan jagung, beras, gandum, dll) dan pemanasan daging terutama bila terdapat bahan
pangan nabati ; tetapi yang paling penting adalah selama pengolahan susu (sapi) dengan
pemanasan, karena susu merupakan bahan pangan berprotein tinggi yang juga mengandung
gula pereduksi (laktosa) dalam jumlah tinggi.

B. Reaksi Oksidasi Pada Asam Lemak

Asam lemak dapat mengalami oksidasi, sehingga timbul bau tengik pada daging.
Proses penggorengan pada suhu tinggi dapat mempercepat proses oksidasi. Hasil pemecahan
dan oksidasi ikatan rangkap dari asam lemak tidak jenuh adalah asam lemak bebas yang
merupakan sumber bau tengik. Dengan adanya anti oksidan dalam lemak seperti vitamin E
(tokoferol), maka kecepatan proses oksidasi lemak akan berkurang. Sebaliknya dengan
adanya prooksidan seperti logam-logam berat (tembaga, besi, kobalt, dan mangan) serta
logam porfirin seperti pada mioglobin, klorofil, dan enzim lipoksidase maka proses oksidasi
pada lemak akan dipercepat.

C. Reaksi Perubahan Warna Daging Oleh Adanya Penambahan Nitrit

Reaksi pembentukan warna:  Sodium nitrit direduksi menjadi nitrit oksida (NO). NO
akan berikatan dengan mioglobin (NO mengganti OH pada struktur heme dari mioglobin –
Gambar 1) membentuk nitrosomioglobin berwarna merah gelap yang tidak stabil dan bisa
teroksidasi menjadi metmioglobin. Proses pemanasan (70°C) atau penurunan pH daging
sampai dibawah 5.0 (selama proses fermentasi) akan mendenaturasi bagian globin dari
nitrosomioglobin membentuk nitrosohe-mokrom yang menghasilkan warna merah yang
stabil. Pada Gambar 2 dapat dilihat perubahan kimia mioglobin dan pembentukan warna
daging dengan penambahan nitrit.
Gambar 1. Penggantian OH mioglobin dengan NO

Gambar 2. Reaksi pembentukan warna dengan penggunaan nitrit

B.     Saran

- Diharapkan konsumen sudah mulai konsen terhadap adanya potensi senyawa berbahaya
penyebab kanker dari makanan bakaran dan mengerti bahwa makanan bakaran yang terlalu
matang dan harum itu belum tentu sehat, jadi lebih bijaksana dalam memilih makanan yang
dikonsumsi dan lebih baik makanan atau daging tersebut dikukus setengah matang dahulu
sebelum dibakar.

DAFTAR PUSTAKA

Referensi Buku

Anna Poedjiadi. (1994). Dasar-dasar Biokimia. Yogyakarta : UGM Press.


Anonimus. (2004). Panduan Pelaksanaan Kegiatan Kesehatan Masyarakat Veteriner.

Apriantono, Anton. 2002. Pengaruh Pengolahan Terhadap Nilai Gizi dan Keamanan
Pangan. Makalah seminar Kharisma Online. Dunia Maya.

Astawan, M. (2004). Mengapa Kita Perlu Makan Daging. Departemen Teknologi Pangan
dan Gizi, IPB. http://www.gizi.net.
Fardiaz, S. (1992). Mikrobiologi Pengelolaan Pangan. Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi Pusat Antar Universitas Pangan dan
Gizi. Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Gamman P.M. dan K.B. Sherrington.(1992). Pengantar Ilmu Pangan, Nutrisi, dan
Mikrobiologi. Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
Gibson, J. M. (1996). Mikrobiologi dan Patologi Modern Untuk Perawat. Penerbit Buku
Kedokteran EGC, Jakarta.

Hurrel, R.F., 1984. Reaction of food protein during processing and storage and their
nutritional consequences. Di dalam B.J.F. Hudson (Ed). Development in food Protein.

Lawrie. (1995). Ilmu Daging. Penerjemah Parakkasi. UI Press, Jakarta.

Muchtadi, D., Nurheni Sri Palupi, dan Made Astawan. 1992. Metode kimia biokimia dan
biologi dalam evaluasi nilai gizi pangan olahan.
Hal.: 5-28, 82-92, dan 119-121.

Murray, Mayes, Peter, A., Robert, K., Daryl, K., Granner, Victor, W., Rodwel. (1996).
Biokimia Harper. Edisi 24. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran ECG.

Otto, M. W. K. (1982). Human Biochemistry. London : Morty Company London.

Swaminathan. M. 1974. Effect of cooking and heat processing on the nutritive value of food.
Di dalam Essentials of food and nutrion. Ganesh and Company Madras. India. Vol 1.

P. 384-387.

Referensi Artikel Internet

http://hariskal.wordpress.com/2009/05/09/kerusakan-minyak-goreng/

http://id.wikipedia.org/wiki/Kanker

http://id.wikipedia.org/wiki/Toksisitas_logam

http://jurnalmahasiswa.blogspot.com/2007/09/efek-pengolahan-terhadap-zat-gizi.html

http://tipskesehatan.web.id/makanan-panggang-bisa-menyebabkan-kanker
http://www.budiyexperience.blogspot.com/makalah-penujian-fisikkimia-dsan.html

http://www.deptan.go.id/Direktorat-Kesehatan-Masyarakat-Veteriner-Direktorat-Jenderal-
Bina-Produksi-Peternakan-Departemen-Pertanian.html

http://www.ristek.go.id/index.php/module/News+News/id/13941/print

http://www.wordpress.com/Peranan-Nitrit-Terhadap-Mutu-Olahan-Daging-Produk-Olahan-
Daging.html

Anda mungkin juga menyukai