Anda di halaman 1dari 22

INTENSITAS PENYAKIT LAYU FUSARIUM SERTA PERTUMBUHAN

CABAI DAN PRODUKSI PADA SISTEM TANAM TUMPANGSARI

(Proposal Penelitian)

Oleh

Gede Artawan

JURUSAN AGROTEKNOLOGI
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS LAMPUNG
2021
LEMBAR PENGESAHAN

Judul Penelitian : Intensitas Penyakit Layu Fusarium dan Pertumbuhan


serta Produksi Cabai pada Sistem Tanam Tumpangsari

Nama : Gede Artawan

NPM : 1814121035
Jurusan : Agroteknologi
Fakultas : Pertanian

MENYETUJUI,

Pembimbing I Pembimbing II

Dr. Ir. Suskandini RD, M.P. Ir. Kushendarto, M.S.,


NIP 1961105021987072001 NIP 195703251984031001

Ketua Jurusan Peternakan

Prof. Dr. ir. Sri Yusnaini, M. Sc.,


NIP 1963050881988112001
DAFTAR ISI

COVER.......................................................................................................I

LEMBAR PENGESAHAN.......................................................................II

DAFTAR ISI...............................................................................................III

DAFTAR GAMBAR..................................................................................IV

I. PENDAHULUAN..................................................................................1

1.1 Latar Belakang.................................................................................2

1.2 Tujuan Penelitian.............................................................................2

1.3 Landasan Teori dan Kerangka Pemikiran........................................3

1.4 Hipotesis...........................................................................................4

II. TINJAUAN PUSTAKA........................................................................5

2.1 Cabai................................................................................................5

2.2 Bawang Merah.................................................................................7

2.3 Tomat...............................................................................................10

2.4 Penyakit Layu Fusarium..................................................................14

2.5 Tumpang Sari dalam Menekan Pertumbuhan Patogen....................14

III. METODE PENELITIAN...................................................................15

3.1 Tempat dan Waktu Penelitian..........................................................15

3.2 Alat dan Bahan.................................................................................15

3.3 Metode Penelitian............................................................................15


3.4 Pelaksanaan Penelitian.....................................................................16

3.5 Pengamatan......................................................................................17

DAFTAR PUSTAKA.................................................................................18
DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Petak Percobaan......................................................................... 16


I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Cabai merupakan tanaman hortikultura yang miliki nilai ekonomi cukup tinggi di
indonesia. Cabai memiliki nilai ekonomi tinggi dan permintaan cabai senderung
meningkat, cabai banyak di budidayakan oleh sebagian petani di Indonesia. Untuk
memenuhi permintaan pasar yang semakin meningkat, usaha yang dapat
dilakukan guna peningkatan produksi cabai merah yang tinggi adalah melakukan
teknik budidaya yang baik dan benar sehingga hasil yang diperoleh optimal
(Satrio dkk, 2013).

Penyakit layu fusarium pada cabai menyebabkan kerugian yang yang besar hal ini
karena penyakit ini menyerang tanaman dari fase perkecambahan sampai dewasa.
Penyakit layu fusarium disebabkan oleh jamur Fusarium sp yang memiliki sifat
tular tanah yang mematikan. Penyakit ini pernah di temukan menyebabkan .
kerugian dan gagal panen hingga 50%. Patogen fusarium memiliki banyak spesies
yakni sekitar 100 jenis dan dapat menyebabkan kerusakan secara luas dalam
waktu yang singkat dengan intesitas serangan hingga 35 %.(putra dkk, 2009).

Salah satu teknik pengendalian ramah lingkungan yang dapat dilakukan adalah
dengan pengendalian secara kultur teknis seperti penanaman dengan sistem
tumpangsari, yang terbukti dapat menekan risiko dalam berbudidaya (Kolvanagh
& Shokati 2012). Tumpang sari (inter cropping) merupakan teknik budidaya
dengan membudidayakan lebih dari satu jenis tanaman dalam waktu dan lokasi
yang sama. Tumpangsari merupakan salah satu cara yang dapat dilakukan untuk
meningkatkan hasil produksi dan menjaga kesuburan tanah. Sistem tanam
tumpang sari ini bertujuan untuk mengoptimalkan penggunaan hara, air dan sinar
matahari untuk memperoleh hasil produksi yang maksimal. Kombinasi beberapa
jenis tanaman dapat menciptakan stabilitas biologis sehingga dapat menekan
serangan penyakit serta mempertahankan kelestarian sumber daya lahan dan
kesuburan tanah (Handayani, 2011). Teknik budidaya secara monokultur dan
dilakukan secara terus-menerus dapat berpengaruh terhadap kemelimpahan dan
intensitas penyakit tanaman (Sulastri dkk, 2013).

1.2 Tujuan
1. Mengetahui intensitas layu fusarium pada Cabai dengan menggunakan pola
tanam tumpang sari
2. Mengetahui hasil produksi cabai yang ditumpangsarikan dengan bawang merah
dan tomat.

1.3 Landasan Teori dan Kerangka Pemikiran


Penurunan produksi Cabai salah satunya disebakan oleh penyakit Layu Fusarium.
Penyakit ini merupakan penyakit tular tanah yang menyerang xylem tanaman
inang melalui penetrasi propagul spora dan masuk melewati luka pada akar.
Namun untuk upaya pengendalian yang digunakan saat ini masih ditekankan pada
pengendalian secara kimiawi yaitu dengan pestida sintetik. Hal itu tentu akan
berdampak buruk pada lingkungan apabila terus digunakan dalam jangka waktu
yang lama dan tanpa perhitungan yang benar. Sehingga upaya pengendalian yang
tepat salah satunya yaitu dengan sistem tanam tumpang sari.

Jamur fusarium juga memiliki kisaran inang yang luas (Hartati, dkk 2016).
Menurut Semangun (2004), jamur Fusarium memiliki banyak inang termasuk
tanaman bawang merah, cabai dan tomat.

Dengan demikian, diduga bahwa bawang merah, cabai, dan tomat yang ditanam
dengan sistem tumpang sari apakah juga memiliki kemungkinan terinfeksi oleh
jamur fusarium
Penurunan produksi cabai

Disebabkan oleh Penyakit layu fusarium

Pengendalian yang tidak ramah lingkungan

Meningkatnya
Terbunuhnya Pencemaran tanah
organisme resitensi dan air akibat
nontarget hama/penyakit residu bahan kimia

Tumpangsari cabai dengan bawang merah


Pengendalian
dengan sistem Tumpangsari cabai dengan tomat
tumpangsari
Tumpangsari bawang merah dengan tomat

Menurunkan intensitas Meningkatkan pertumbuhan


penyakit layu fusarium dan produksi cabai

1.4 Hipotesis
Terdapat perlakuan tumpangsari terbaik dalam menurunkan intensitas penyakit
layu fusarium sehingga dapat meningkatkan pertumbuhan dan produksi cabai
II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Cabai

2.1.1 klasifikasi Cabai

Tanaman cabai rawit adalah salah satu tanaman yang merupakan tumbuhan yang
berasal dari genus Capsicum.Tanaman cabai rawit tumbuh subur di Indonesia
khususnya pada daerah tropis maupun subtropis. Menurut Wiryanti (2005)
tanaman cabai rawit (Capsicum frutescens L.) dapat diklasifikasikan sebagai
berikut :
Kingdom : Plantae
Divisi : Spermatophyta
Kelas : Dicotyledoneae
Ordo : Solanales
Famili : Solanaceae
Genus : Capsicum
Spesies : Capsicum frutescens L.

2.1.2 Botani dan Morfologi Cabai

Tanaman cabai mempunyai akar yang cukup rumit dan hanya terdiri dari akar
serabut saja, biasanya diakar terdapat bintil yang merupakan hasil simbiosis
dengan beberapa mikroorganisme, tetapi tidak memiliki akar tunggang, namun
ada beberapa akar tumbuh ke arah bawah yang berfungsi sebagai akar tunggang
semu (Setiadi, 2005).
Batang tanaman cabai tegak dengan tinggi 50 – 100 cm dan sedikit mengandung
kayu, kayu terutama terdapat pada batang inti dekat dengan permukaan tanah
(Setiadi, 2005).

Daun cabai umumnya berwarna hijau muda sampai hijau gelap, tergantung pada
varietasnya. Daun cabai yang ditapong oleh tangkai daun mempunyai tulang
menyirip. Bentuk umumnya bulat telur, lonjong dan oval dengan ujung
meruncing, tergantung pada jenis dan varietasnya (Wiryanta, 2005).

Bunga cabai berkelamin dua (hermaprodit), yaitu dalam satu bunga terdapat
kelamin jantan dan kelamin betina. Bunga cabai tersusun atas tangkai bunga,
dasar bunga, kelopak bunga, mahkota, alat kelamin jantan dan kelamin betina,
letak bunga mengantung dan biasa tumbuh pada ketiak daun ada yang tunggal
atau bergerombol dalam tandan, biasanya dalam satu tandan terdapat 2 - 3 bunga,
warna bunga cabai bermacam-macam ada yang putih, putih kehijauan, dan ungu,
yang memiliki 6 kelopak bunga yang berdiameter 5 - 20 mm adapun panjang
bunga 1-1,5 cm dan panjang tangkainya 1 - 2 cm. Mahkota bunga akan gugur
pada saat buah mulai terbentuk, kelopak bunga tertinggal dan melekat dipangkal
calon buah (Nawangsih, 2003)

Buah cabai merupakan buah sejati tunggal, terdiri dari satu bunga dengan satu
bakal buah. Buah ini terdiri atas bagian tangkai buah, kelopak daun dan buah.
Bagian buah tersusun atas kulit buah berwarna hijau sampai merah, daging buah
dan biji, permukaan buah rata, licin dan yang telah masak berwarna merah
mengkilat (Nawangsih, 2003).

2.1.3 Syarat Tumbuh cabai

Daerah tumbuh cabai rawit yang paling cocok yaitu dataran dengan ketinggian
antara 0 - 500 m diatas permukaan laut (dpl), yang mepunyai iklim tidak terlalu
dingin dan tidak terlalu lembab. Adapun curah hujan yang diperlukan antara 1.500
– 2.500 mm / tahun, setiap varietas cabai hibrida mempunyai daya penyesuaian
diri terhadap lingkungan tumbuh (Rukmana, 2010).

Tanah tempat tumbuh cabai rawit secara umum harus subur (kaya bahan organik).
Derajat keasaman atau pH tanah berkisar 6,0 - 7,0. Tanah ini berstruktur remah
atau gembur agar peresapan air dan sirkulasi udara dalam tanah berjalan lancar.
Kelembaban tanah harus cukup dengan ditandai oleh kandungan air yang tidak
berlebihan dan tidak kekurangan (kapasitas lapang). Tanah tersebut juga
mempunyai suhu yang sedang, tidak terlalu panas dan tidak terlalu dingin
(Setiadi, 2007)

2.2Bawang Merah

2.2.1 klasifikasi Bawang Merah

Bawang merah merupakan salah satu dari sekian banyak jenis bawang yang ada
didunia. Bawang merah (Allium ascalonicum L.) merupakan tanaman semusim
yang membentuk rumpun dan tumbuh tegak dengan tinggi mencapai 15-40 cm
(Rahayu dkk, 2004). Menurut Tjitrosoepomo (2010), bawang merah dapat
diklasifikasikan sebagai berikut:
Divisio : Spermatophyta
Subdivisio : Angiospemae
Kelas : Monocotyledoneae
Famili : Liliaceae
Genus : Allium
Spesies : Allium ascalonicum L
2.2.2 Botani dan MorfologiBawang Merah

Tanaman bawang merah merupakan tanaman semusim yang jarang diperbanyak


dengan biji melainkan dengan umbinya (bulbus), pangkal batang umbi
membentuk cakram yang merupakan batang pokok yang tidak sempurna
(rudimenter) (Rahayu dkk, 2004). Dari bagian bawah cakram tumbuh akar-akar
serabut dan di bagian atasnya yaitu diantara kelopak-kelopak daun yang
membengkak 8 terdapat mata tunas yang dapat tumbuh menjadi tanaman baru.
Tunas ini dinamakan tunas lateral. Tunas inilah yang akan membentuk umbi lapis
tempat menyimpan fotosintat( Sunarjono dkk, 1983).

Akar tanaman bawang merah memiliki akar serabut dengan sistem perakaran
dangkal dan bercabang terpencar, pada kedalaman antara 15-20 cm di dalam
tanah. Jumlah perakaran tanaman bawang merah dapat mencapai 20-200 akar.
Diameter bervariasi antara 5-2 mm, akar cabang tumbuh dan terbentuk antara 3-5
akar (Suhaeni, 2007).

Batang tanaman bawang merah memiliki batang sejati atau disebut “discus” yang
berbentuk seperti cakram, tipis dan pendek sebagai tempat melekatnya akar dan
mata tunas (titik tumbuh), di atas discus terdapat batang semu yang tersusun dari
pelepah-pelepah daun dan batang semua yang berbeda di dalam tanah berubah
bentuk dan fungsi menjadi umbi lapis (Sudirja, 2007).

Daun tanaman bawang merah berbentuk silindris kecil memanjang antara 50-70
cm, berlubang dan bagian ujungnya runcing, berwarna hijau muda sampai tua, dan
letak daun melekat pada tangkai yang ukurannya relative pendek (Sudirja, 2007).

Bunga tanaman bawang merah memiliki tangkai bunga keluar dari ujung tanaman
(titik tumbuh) yang panjangnya antara 30-90 cm, dan di ujungnya terdapat 50-200
kuntum bunga yang tersusun melingkar (bulat) seolah berbentuk payung. Tiap
kuntum bunga terdiri atas 5-6 helai daun bunga yang berwarna putih, enam
benang sari berwarna hijau atau kekuning-kuningan, satu putik dan bakal buah
berbentuk hampir segitiga (Sudirja, 2007).

Umbi bawang merah merupakan umbi ganda ini terdapat lapisan tipis yang
tampak jelas, dan umbi-umbinya tampak jelas juga sebagai benjolan kekanan dan
kekiri, dan mirip siung bawang putih. Lapisan pembungkus siung umbi bawang
merah tidak banyak, hanya sekitar dua sampai tiga lapis, dan tipis yang mudah
kering. Sedangkan lapisan dari setiap umbi berukuran lebih banyak dan tebal
(Suparman, 2007).

2.2.3 Syarat TumbuhBawang Merah

Bawang merah dapat tumbuh dan berproduksi dengan baik pada iklim kering,
suhu udara antara 250C-320 C, tempat terbuka dengan pencahayaan ± 70 persen,
dan tiupan angin sepoi-sepoi berpengaruh baik terhadap laju fotosintesis dan
pembentukan umbinya (Firmanto, 2011).

Tanaman bawang merah sangat rentan terhadap curah hujan tinggi, curah hujan
yang sesuai untuk pertumbuhan tanaman bawang merah antara 300-2.500
mm/tahun, kelembaban udara antara 80-90%, Intensitas sinar matahari penuh
dengan panjang hari lebih dari 14 jam (BPPT, 2007). Tanaman bawang merah
dapat ditanam di dataran rendah maupun dataran tinggi, mulai dari ketinggian 0-
1.000 m dpl, ketinggian optimal adalah 0-400 m dpl. Secara umum tanah yang
dapat ditanami bawang merah adalah tanah yang bertekstur remah, sedang sampai
liat, drainase yang baik (Suhaeni, 2007 ). Jenis tanah yang baik untuk budidaya
bawang merah adalah Regosol, Grumosol, Latosol, dan Aluvial. Tanah yang baik
untuk bawang merah yaitu lempung berpasir atau lempung berdebu, pH tanah
antara 5,5 sampai 6,5, tata air (drainase) dan tata udara (aerasi) dalam tanah
berjalan baik, tidak boleh ada genangan (Firmanto, 2011).
2.3 Tomat

2.3.1 klasifikasi Tomat

Menurut Rismunandar (2001) tanaman tomat (Lycopersicum esculentum Miil)


diklasifikasikan sebagai berikut :
Divisio : Spermatophyta
Subdivisio : Angiospermae
Classis : Dicotyledonae
Ordo : Tubiflorae
Famili : Solanaceae
Genus : Lycopersicum
Spesies : Lycopersicum sculentum mill

2.3.2 Botani dan MorfologiTomat

Tomat memiliki akar tunggang yang menembus vertikal ke dalam tanah dan akar
serabut (akar samping) yang tumbuh menyebar ke segala arah. Kemampuan akar
menembus lapisan tanah terbatas, hanya mencapai kedalaman 30 – 70 cm. Sesuai
sifat perakarannya, tanaman tomat dapat tumbuh dengan baik dalam kondisi tanah
gembur dan mengikat air (Rismunandar, 2001).

Batang tanaman Tomat berwarna hijau dengan bentuk persegi empat hingga bulat.
Tekstur batang saat masih muda tergolong lunak, dan mengeras 5 setelah menua.
Permukaan batang ditumbuhi bulu halus dan diantara bulu tersebut terdapat
kelenjar yang dapat mengeluarkan bau khas ( Rismunandar, 2001 )

Daun Tomat berbentuk oval dengan panjang 20 – 30 cm dan bergerigi di bagian


tepinya serta membentuk celah yang menyirip. Pada umumnya, daun tomat
tumbuh di dekat ujung dahan dan berwarna hijau serta berbulu. Daun tanaman
tomat tergolong daun majemuk dan tersusun di setiap sisi ranting dengan jumlah
ganjil ( 5 atau 7 helai ) ( Rismunandar, 2001 ).

Bunga tomat berbentuk terompet dengan benang sari membentuk tabung. Bunga
Tomat Beef bersifat hermaprodite yaitu memiliki benang sari dan kepala putik
pada bunga yang sama, sehingga dapat melakukan penyerbukan sendiri, sekaligus
dapat pula melakukan penyerbukan silang dengan bantuan binatang penyerbuk,
seperti lebah. Penyerbukan silang pada tomat lebih sering terjadi di daerah
beriklim tropis ( Siswadi, 2008 ).

Bunga tomat berukuran kecil, dengan diameter 2 cm dan berwarna kuning cerah
yang tersusun dalam satu rangkaian dengan jumlah 5 – 10 bunga setiap dompol.
Dalam satu kuntum bunga tomat, terdapat 5 – 6 helai mahkota dengan ukuran
kurang lebih 1 cm, bertangkai pendek, dengan kepala sari sepanjang 5 mm.
Benang sari bunga tomat berjumlah enam buah dan berwarna sama dengan
mahkota bunga yaitu kuning cerah. Tangkai putik pada bunga Tomat berukuran
pendek dan menyebabkan kepala putik terletak berdekatan dengan tabung sari,
sehingga tomat cenderung lebih sulit untuk melakukan penyerbukan silang.
Persentase penyerbukan sendiri relatif tinggi ( Rismunandar, 2001 )

Buah Tomat berbentuk bulat, berukuran besar dan mempunyai beberapa ruang.
Buah ketika masih muda berwarna hijau dan berbulu, setelah masak, kulit buah
menjadi mengkilap dan berwarna merah kekuningan ( Joni, 2002 ). Buah tomat
mengandung likopen, yaitu salah satu zat pigmen yang berwarna kuning tua
hingga merah tua yang termasuk kelompok karotenoid. Likopen secara alami
terdapat pada buah atau sayur yang berwarna merah, likopen berfungsi sebagai
anti oksidan. Likopen terdapat pada bagian dinding sel tomat, oleh karena itu,
pemasakan dengan sedikit minyak dapat melepaskan komponen ini. Sebagai
tambahan, pemasakan tomat dengan minyak zaitun (olive oil) memudahkan tubuh
menyerap likopen dengan lebih baik ( Susila, 2008 ).
Biji tomat berukuran kecil, dengan lebar 2 - 4 mm dan panjang 3 - 5 mm, serta
berbentuk seperti ginjal, ringan, berbulu dan berwarna cokelat muda, dalam setiap
gram berisi 200 – 500 biji. Biji tomat saling melekat yang terselimuti daging buah
dan tersusun berkelompok. Biji digunakan sebagai bahan perbanyakan tanaman.
Biji tanaman tomat dapat tumbuh pada kisaran waktu 5 – 10 hari setelah masa
tanam ( Rismunandar, 2001

2.3.3 Syarat TumbuhTomat

Tanah Tanaman tomat dapat tumbuh dan berproduksi pada berbagai jenis tanah,
tetapi paling baik pada tanah liat berpasir. Keadaan tanah yang baik untuk
pertumbuhan tomat adalah tanah yang kaya humus, gembur, sirkulasi udara dan
tata yang baik ( Rismunandar, 2001 ).

Cahaya Tanaman tomat membutuhkan tempat terbuka dan penyinaran penuh


sepanjang hari, kekurangan sinar matahari akan menyebabkan pertumbuhan
memanjang, lemah dan pucat ( Rismunandar, 2001 ).

Suhu dan Kelembaban Menurut Rismunandar (2001), suhu yang baik bagi
tanaman tomat adalah 18ᵒC – 27ᵒC pada siang hari, sedangkan pada malam hari
suhunya 15ᵒC – 20ᵒC. Suhu yang tinggi diikuti kelembaban yang relatif tinggi
dapat menyebabkan berkembangnya penyakit, sedangkan kelembaban yang relatif
rendah dapat mengganggu pertumbuhan buah.

Curah Hujan Curah hujan yang optimum untuk tanaman tomat yaitu 100 – 200
mm/bulan. Waktu penanaman tanaman tomat yang baik adalah 2 bulan sebelum
musim hujan atau awal musim kemarau dan diusahakan pada waktu musim hujan
atau awal musim kemarau, dan diusahakan pasat musim hujan tiba tanaman tomat
dapat dipanen ( Rismunandar, 2001 )
2.4 Penyakit Layu Fusarium

Penyakit layu disebabkan oleh jamur Fusarium oxysporum yang berkembang


cepat pada kondisi tanah lembab terutama pada cabai yang ditanam musim
penghujan, penularan dilakukan dengan spora terutama melalui perantaraan aliran
air dan peralatan pertanian. Penyakit layu fusarium dapat menyebabkan matinya
tanaman sehingga mengakibatkan gagal panen/puso, selain itu penularan penyakit
berlangsung cepat terutama pada lahan yang bertopograi lereng karena patogen
/penyebab penyakit ditularkan melalui aliran air, penyakit ini disebabkan oleh
jamur dalam genus Fusarium oxysporum (Heriyanto, 2019).

2.5 Tumpang Sari dalam Menekan Pertumbuhan Patogen

Tumpang sari adalah penanaman lebih dari satu tanaman pada waktu yang

bersamaan atau selama periode tanam pada satu tempat yang sama. Beberapa

keuntungan dari metode tumpang sari antara lain pemanfaatan lahan kosong

disela-sela tanaman pokok, penggunaan cahaya, air serta unsur hara yang lebih

efektif, mengurangi resiko kegagalan panen, dan menekan pertumbuhan gulma.

(arfin dkk, 2017)

Pola tanam secara tumpangsari dapat meningkatkan produksi, hal ini disebabkan

karena berkurangnya hama dan penyakit dengan keadaan di atas keuntungan

usahatani tersebut dapat ditingkatkan. Pada pola tanam tumpangsari ada hal yang

juga perlu diperhatikan adalah sistem perakaran tanaman. Pola tanam tumpangsari

harus memiliki keserasian antar perakaran jenis tanaman yang akan ditanam

(Hermawati, 2016)
III. METODE PENELITIAN

3.1 Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini akan dilaksanakan di Laboratorium Penyakit Tumbuhan Fakultas


Pertanian dan di Laboratorium Lapangan Terpadu Universitas Lampung. Pada
tanggal Agustus-Oktober 2021

3.2 Alat dan Bahan

Alat yang digunakan pada penelitian ini yaitu cawan petri, autoklaf, mikroskop,
Laminar air Flow (LAF), erlenmeyer, bunsen, pinset, jarum ose, jarum ent, bor
gabus, kertas label, timbangan, alat tulis, cangkul,

Sedangkan bahan yang digunakan yaitu bibit bawang merah, cabai, dan tomat.
Tanaman bawang merah yang bergejala layu untuk mendapatkan isolat Fusarium
yang akan dianalisis, media PSA, aquades, alkohol 70%, tisu, kertas wrap,

3.3 Metode Penelitian

Penelitian yang dilakukan di lapang untuk mengetahui pengaruh tumpang sari


disusun dengan Rancangan Acak Kelompok (RAK) dengan perlakuan yaitu:
P0 = Tanaman tumpangsari bawang merah dengan cabai (sehat)
P1 = Tanaman tumpangsari bawang merah dengan tomat (sehat)
P2 = Tanaman tumpangsari cabai dan tomat (sehat)
P3 = Tanaman tumpangsari bawang merah dengan cabai (diinokulasi Fusarium
oxysporum)
P4 = Tanaman tumpangsari bawang merah dengan tomat (diinokulasi Fusarium
oxysporum)
P5 = Tanaman tumpangsari cabai dan tomat (diinokulasi Fusarium oxysporum)

Seluruh perlakuan diulang sebanyak 4 kali, sehingga terdapat 24 petak satuan


percobaan (Ganbar 1).

P0UI P1UI P2UI P3UI P4UI P5UI

P0U2 P1U2 P2U2 P3U2 P4U2 P5U2

P0U3 P1U3 P2U3 P3U3 P4U3 P5U3

P0U4 P1U4 P2U4 P3U4 P4U4 P5U4

Gambar 1. Petak Percobaan

3.4 Pelaksanaan Penelitian

Langkah yang akan dilaksanakan yaitu olah pengelolahan lahan dan penanaman
benih, kemudian dilakukan perbanyakan jamur fusarium di laboraturium penyakit
tumbuhan, yang kemudian penyakit tersebut ditularkan pada pada perlakuan
p3,p4, dan p5.
3.5 Pengamatan

Variabel pengamatan yang akan diamati pada penelitian ini terdapat dua, yaitu
variabel utama dan variabel pendukung. Variabel utama yang akan diamati adalah
intesitas layu fusarium pada tanaman cabai. Variabel pendukung yang akan
diamati pada pertumbuhan dan produksi tanaman cabai
DAFTAR PUSTAKA

Sulastri, Erlidawati, Syahrial, Nazar M, Andayani T. 2013. Aktivitas Antioksidan


Ekstrak Etanol Daun Ubi Jalar Ungu (Ipomea batatas L.) Hasil Budidaya
Daerah Saree Aceh Besar. Jurnal Rekayasa Kimia dan Lingkungan. 9(3): 126-
131.

Kolvanagh dan Shokati. 2012. Efect of Different Intercropping Patterns on Shoot


Parts of Dill and Fenugreek. International Journal of Plant, Animal and
Evironmental Sciences. 2(3): 115-120.

Handayani, 2011. Pengaruh Model Tumpang Sari terhadap Pertumbuhan dan


Hasil Tanaman Gandum dan Tembakau. Badan Penelitian Dan Perkembangan
Provinsi Jawa Tengah. Semarang, Jawa Tengah

Wiryanti, S. 2005. Taksonomi Tumbuhan Tinggi. Buku Ajar. Jurusan Biologi,


Fakultas FMIPA,UNM, Makasar.

Setiadi. 2005. Jenis dan Budidaya Cabai Rawit. Penebar Swadaya, Jakarta.
Wiryanta, W. T. Bernardinus. 2005. Bertanam Cabai Pada Musin Hujan.
Agromedia Pustaka, Jakarta, 165 Hal.

Nawangsih, A. A. Imdad, P. H, Wahyudi. A.2003. Cabai Hot Beauty. Penebar


Swadaya. Jakarta 128 Hal.

Rukmana, H. R. 2010. Usaha Tani Cabai Rawit. Kanisius, Yogyakarta

Tjitrosoepomo, G. 2010. Taksonomi Tumbuhan. Gajah Mada University.


Jogjakarta. 477 hlm.
Rahayu, E., Berlian, N. V. A. 2004. Bawang Merah. PT. Penebar Swadaya.
Jakarta.

Sunarjono, H dan Soedomo, P. 1983. Budidaya Bawang Merah. Sinar Baru.


Bandung.

Sudirja, 2007. Bawang Merah.http//www.lablink.or.id/Agro/bawangmerah/


Alternaria partrait.html diakses tanggal 06 januari 2016
Suhaeni, Neni. 2007. Petunjuk Praktis Menanam Bawang Merah. Bandung:
Nuansa Cendikia. 115 hlm.

Suparman, 2007. Bercocok Tanam Bawang Merah. Azka Press. Jakarta.

Firmanto, Bagus. 2011. Praktis Bertanam Bawang Merah Secara Organik.


Bandung: Penerbit Angkasa.

BPPT. 2007. Teknologi Budidaya Tanaman Bawang Merah. http


://iptek.net.id/ind/teknologi-bawang-merah/indek.php. (diakses tanggal 20
desember 2021)

Rismunandar. 2001. Tanaman Tomat. Sinar Baru Algensindo, Bandung.


Siswadi, 2008. Berbagai Formulasi Kebutuhan Nutirisi pada Tomat. INNOFARM
: Jurnal Inovasi Pertanian Vol. 7, No. 1, 2008 (103-110).

Heriyanto, 2019. Kajian Pengendalian Penyakit Layu Fusarium oxysporum


dengan Trichoderma sp. Pada Tanaman Cabai. Jurnal Ilmu-ilmu Pertanian
Volume 26 (2): 26-35.

Arifin , F. P., Faiza, L. L., Nurcholis, W.,Ridwan, T.,Batubara, I.,Susilowidodo,


A. R., dan Wisastra, R. 2017. Pengaruh Pola Tanam Tumpang Sari terhadap
Produktivitas Rimpang dan Kadar Senyawa Aktif Temulawak (Curcuma
xanthorrhiza Roxb.). Jurnal Jamu Indonesia 2(2) : 51-59

Diah Tri Hermawati, Tri, Diah. 2016. Kajian Ekonomi antara Pola Tanam
Monokultur dan Tumpangsari Tanaman Jagung, Kubis dan Bayam.
INOVASI, Volume 18(1) :66-67

Anda mungkin juga menyukai