BHN Bab Ii
BHN Bab Ii
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Ginjal Normal
2.1.1 Fisiologi
6
7
& Handayono, 2017). Setelah diproses di nefron hasil urin akan dikeluarkan
melalui kaliks yang menyatu menjadi ureter dan akan ditampung di buli-buli atau
vesika urinaria, yang apabila terisi 150-500 cc urin, sfingter uretra akan relaksasi
dan muskulus detrus pada vesika urinaria akan berkontraki dan terjadilah proses
yang dikenal sebagai miksi (Standring et al., 2016).
2.1.2 Struktur Lapisan Glomerulus
Tempat pembentukan filtrat glomerulus, terdiri dari glomerulus, ruang
bowman, dan kapsul bowman. Glomerulus dibentuk oleh kapiler-kapiler yang
menuju nefron yang disebut dengan arteri aferen, darah yang mengalir di
glomerulus akan diarahkan menuju kapsul bowman yang akan difiltrasi, hanya
20% yang mengalami filtrasi pada kapsul bowman dan darah yang tidak difiltrasi
akan kembali ke aliran darah sistemik melalu arteri eferen (Sherwood, 2013).
ditentukan oleh tekanan darah tubuh. Sedangkan tekanan pada kapiler darah
ditentukan oleh resistensi pada arteri aferen, apabila arteri aferen menaikan
resistensinya maka aliran darah akan turun dan GFR akan turun. Begitupula
sebaliknya apabila arteri aferen menurunkan resistensinya maka aliran darah akan
semakin meningkat dan GFR akan meningkat (Sherwood, 2016).
2.2 Sindrom Nefrotik
2.2.1 Definisi Sindrom Nefrotik
Sindrom nefrotik merupakan suatu keadaan dimana seorang pasien memiliki
gejala klinis yaitu proteinuria (> 3.5 g/d), hipoalbuminemia, edema (dapat menjadi
edema anasarka), dan hiperlipidemia (Tjokroprawiro et al., 2015; Colvin, 2016).
Sindrom ini terjadi akibat adanya kelainan struktural pada filter glomerulus yang
menyebabkan kegagalan filtrasi glomerulus dalam menyaring protein yang akan
masuk ke dalam ruang bowman (Steddon et al., 2014).
Kelainan metabolik dan penyakit sistemik yang menyebabkan sindrom
nefrotik bekerja dengan cara mengubah jaringan matrik pada daerah podosit
dengan melakukan pengendapan komponen abnormal dan/atau mengubah
struktur. Perubahan yang terjadi akan menyebabkan gangguan pada fungsi khusus
dan sel yang berdiferensiasi (Turner et al., 2016).
2.2.2 Epidemiologi Sindrom Nefrotik
Angka kejadian sindrom nefrotik diseluruh dunia adalah 4,7 (kisaran 1,15 –
16,9) per 100.000 anak dalam penelitian dilaporkan dari 1946 hingga 2014, dan
proporsi dengan steroid resisten adalah 12,4% (kisaran 2,1 - 27,3%) dari tahun 1986
hingga 2014. Insiden sindrom nefrotik pada anak-anak 15 kali lebih tinggi dari pada
orang dewasa. Tingkat kejadian pada anak-anak dengan usia di bawah 16 tahun
adalah 2 sampai 7 kasus baru per 100.000, dengan tingkat prevalensi 16 per 100.000,
dimana insiden puncak terjadi pada usia antara 2-5 tahun dan jarang terjadi pada usia
di atas 8 tahun. Sindrom nefrotik lebih sering terjadi pada pria daripada wanita
dengan rasio 2:1. Mortalitas tertinggi pada sindrom nefrotik terjadi di Jepang yaitu
dengan 447 kematian setiap tahun. Mesir merupakan negara peringkat kedua dengan
kematian tertinggi sindrom nefrotik yaitu 243 kematian, diikuti dengan Amerika
Serikat sebagai peringkat ketiga dengan 153 kematian yang terjadi (Khider et al.,
2017; Banh et al., 2016; Chanchlani and Parekh, 2016).
10
Angka kejadian sindrom nefrotik bervariasi sesuai usia, ras, dan geografi.
Insiden steroid responsif sindrom nefrotik pada anak-anak di bawah usia 16 di
Amerika Serikat dan di Eropa diperkirakan 1-3 per 100.000 per tahun, dengan
kumulatif prevalensi 16 per 100.000 anak. Angka serupa juga dilaporkan di
Selandia Baru. Insiden tahunan sindrom nefrotik idiopati di wilayah Paris adalah
3,35 per 100.000 anak berusia antara 6 bulan dan 15 tahun. Kejadian bulanan
berkisar antara 2 hingga 13 kasus baru per bulan. Menurut studi retrospektif di
Kaukasia pada anak-anak menjukkan angka kejadian antara 1,2 dan 2,0 kasus per
100.000 per tahun, kendati demikian hasil studi retrospektif di Afrika dan Asian
menunjukkan angka kejadian yang lebih tinggi. Anak-anak di Asia berisiko enam
kali lebih tinggi mengalami sindrom nefrotik primer dibandingkan dengan di
Eropa. Asia Selatan dilaporkan memiliki kejadian sindrom nefrotik berkisar antara
7,4 hingga 16,9 per 100.000 orang dibandingkan dengan orang Eropa, Inggris juga
memiliki angka kejadian yang serupa. Sementara anak-anak berkulit hitam dan
hispanik melaporkan bahwa sindrom nefrotik dengan FSGS dan yang resiten
terhadap steroid lebih tinggi. Selain itu juga, di Afrika sindrom nefrotik primer
dengan sensitif steroid sangat rendah. Pola histologi pada anak-anak di India,
Pakistan dann Turki terlihat sama seperti studi di Eropa (Avner et al., 2016;
Chanchlani and Parekh, 2016; Dossier et al., 2016; Turner et al., 2016).
Sekitar 90% sindrom nefrotik yang terjadi pada anak-anak tidak disertai
penyakit ginjal sistemik atau penyakit ginjal lainnya. Penyebab nefrotik sindrom pada
anak-anak biasanya tidak diketahui atau idiopati, dengan meliputi minimal change
(85%), FSGS (10%), dan MN (<5%). Dalam studi di Amerika Serikat pada orang
dewasa menunjukkan FSGS (35%) dan MN (33%) merupakan histologi utama,
diikuti dengan minimal change (15%). Penyebab sekunder pada orang dewasa dengan
diabetik nefropati terjadi 50 kasus per 100.000, diikuti dengan lupus dan kemudian
amiloid (Khider, 2017; McCance, 2014; Avner, 2016; Turner, 2016).
Berdasarkan studi multicenter pada tahun 2000-2004 yang melibatkan tujuh
institusi pediatri di Indonesia, sindrom nefrotik termasuk dalam tiga penyakit ginjal
terbanyak pada anak-anak dan menempati urutan pertama dengan persentase 35%,
diikuti dengan glomerulonefritis poststreptokokus akut 26%, dan infeksi saluran
kemih 23% (Avner et al., 2016). Di Indonesia dilaporkan 6 per 100.000 per tahun
11
karena akibat sekunder seperti penyakit ginjal kronis (terkait dengan HIV atau
obat-obatan). Pada FSGS terdapat peningkatan matriks mesangial, hilangnya sel
endotel dan lumen kapiler karena adanya sklerosis dan gangguan pada podosit
(McCance et al., 2019). Penyakit ini merupakan penyebab sindrom nefrotik
tersering pada dewasa (Rosenberg & Kopp, 2017).
Patofisiologi penyakit ini diakibatkan karena cedera awal yang
menyebabkan penurunan podosit foot process, yang jika terjadi keparahan dapat
menyebabkan apoptosis pada podosit. Podosit umumnya tidak dapat melakukan
replikasi, sehingga pengurangan jumlah podosit mempengaruhi uncovered areas
pada glomerular basement membrane (GBM) dimana akan terjadi pembentukan
adesi antara GBM dan sel epitel parietal. Protein plasma yang difiltrasi akan
menumpuk pada area sel epitel parietal (ruang periglomerular) dan ruang
subendotelial, sehingga memicu peradangan interstitial, hialinosis, dan sklerosis
segmental. Akhirnya, akan ditandai dengan sklerosis global progresif dan fibrosis
interstitial. Mekanisme yang tepat yang mendasari cedera podosit di FSGS kurang
dipahami. Imunologis, inflamasi, faktor genetik, dan toksik mungkin memainkan
peran (Kher et al., 2017).
c. Membranous Nephropathy (MN)
kecil albumin yang masuk ke ruang kemih. Pada proteinuri, podosit terluka, yang
mengarah ke pembengkakan foot process dan cedera pada celah diafragma, dalam
situasi ini, protein jumlah besar (albumin) dapat melewati GBM dan celah di
antaranya foot process yang menyatu (McCance et al., 2019; Feehally et al., 2019).
Proteinuria
Meningkatkan aldosterone
Meningkatkan ADH
Edema
keadaan edema ini, hal ini mungkin multifaktorial bias karena kompensasi oleh
hormon aldosterone, stimulasi sistem saraf simpatik, dan pengurangan faktor
natriuritek (Robbins et al., 2010).
Sindrom
nefrotik
Underfill Overfill
Proteinuria
• Penurunan GFR
Penurunan serum albumin • Inflamasi Intersisial
• Peningkatan reabsopsi
natrium di tubulus
Penurunan tekanan onkotik plasma
Dua mekanisme underfill dan overfill, mungkin dapat digunakan pada edema
nefrotik, masing-masing mekanisme menghasilkan edema berbeda. Hipotesis
underfill dianggap sebagai penyebab utama edema pada sindrom nefrotik, hipotesis
ini seperti yang telah dijelaskan sebelumnya yaitu proteinuria menyebabkan
hipoalbuminemia yang mengakibatkan penurunan tekanan onkotik menyebabkan
perpindahan cairan dari kapiler ke jaringan interstisial, yang mana dianggap sebagai
hipovolemia oleh glumeulus ginjal. Sehingga ginjal melakukan kompensasi dengan
menaktifkan RAAS, stimulasi AVP, dan stimulasi sistem saraf simpatik, yang akan
menyebabkan edema berlanjut progresif serta air dan garam kembali direabsorbsi dari
ginjal. Hipotesis overfill biasanya terjadi pada orang dewasa dengan sindrom nefrotik
yang kompleks. Beberapa pasein mengalami hipertensi dan peningkatan volume
plasma selain volume plasma pada interstisial. Pada kasus ini biasanya
21
2.2.6.2 Infeksi
Infeksi adalah keadaan dimana mikroorganisme asing yang berproliferasi
pada jaringan tubuh manusia dan dapat menembus sistem pertahanan tubuh
manusia. Mikroorganisme ini mengganggu fungsi tubuh manusia dengan cara
mengeluarkan toksin dan berkolonisasi pada tubuh manusia (Xiu, 2012).
Sindrom nefrotik rentan terhadap infeksi. Pada edema, terdapat
peningkatan tekanan hidrostatik di interstitium yang menyebabkan penurunan
perfusi interstitium, sehingga mudah mengalami kerusakan kulit dan
mengakibatkan infeksi. Infeksi yang sering terjadi pada sindrom nefrotik adalah
selulitis, pneumonia, dan peritonitis. Infeksi virus dapat menjadi serius pada
sindrom nefrotik yang sedang mendapat kortikosteroid atau imunosupresan lain
(Pardede, 2017).
Infeksi merupakan penyebab signifikan angka kesakitan dan terkadang
kematian pada sindrom nefrotik, terutama pada negara berkembang. Enam dari
sepuluh kematian anak dengan Minimal Change Disease adalah akibat sepsis.
Pasien anak dengan sindrom nefrotik lebih rentan terkena infeksi dibanding
dewasa, walau keadaan ini tetap serius pada kedua kelompok usia. Streptococcus
pneumonia dan Escherachia coli merupakan bakteri yang paling sering ditemukan
pada pasien infeksi komplikasi dari sindrom nefrotik. Dilaporkan pula adanya
kenaikan insiden infeksi sistem pernafasan, urin, dan saraf pusat pada infeksi
komplikasi dari sindrom nefrotik (Turner et al., 2016).
Infeksi yang terjadi pada pasien sindrom nefrotik biasanya dikarenakan
gangguan imunitas humoral, selular, serta kerusakan sistem komplemen.
Turunnya IgG, IgA, dan gammaglobulin merupakan temuan lab yang umum pada
sindrom nefrotik, hal ini biasa dikarenakan pembentukan yang menurun atau
perombakan yang meningkat serta banyaknya yang mengalami pembuangan lewat
urin. Kadar sel T dalam darah juga menurun yang menandakan adanya kerusakan
imunitas selular. Kerusakan imunitas selular ini berkaitan dengan hilangnya
transferrin dan zinc lewat urin yang dibutuhkan oleh sel T sebagai antibodi
seluler. Hal lain yang dapat memicu infeksi ialah edema dalam jumlah besar yang
merupakan media tumbuh kembang baik bagi mikroorganisme penyebab infeksi,
rapuhnya kulit pasien juga akan memudahkan bakteri masuk (Setiati et al., 2014).
26
2.2.6.3 Tromboemboli
Tromboemboli merupakan keadaan penyumbatan suatu pembuluh darah
atau emboli akibat dari trombus yang terlepas dan bersikulasi secara bebas.
Trombus dibentuk melalui proses trombosis di mana merupakan terjadinya
penggumpalan darah di dalam pembuluh darah. Dengan kata lain adanya
tromboemboli merupakan sumbatan pembuluh darah akibat penggumpalan
pembuluh darah dari tempat lain (Xiu, 2012).
Pasien sindrom nefrotik beresiko mengalami komplikasi tromboemboli,
yang sangat berbahaya. Komplikasi ini biasa terjadi dalam 3 bulan pertama. Anak
dengan usia diatas 12 tahun memiliki resiko yang lebih tinggi mengalami
tromboemboli. Beberapa faktor yang mengakibatkan terjadinya tromboemboli
adalah keadaan hiperkoagulasi, infeksi, imobilisasi, hipovolemi, dan kemungkinan
ada keadaan genetik yang cenderung mudah mengalami penggumpalan darah.
Kejadian tromboemboli diperkirakan sekitar 3% dari seluruh kasus. Trombosis
pada pembuluh darah vena adalah yang paling sering dibanding pembuluh darah
lainnya (Avner et al., 2016).
Terjadinya tromboemboli paling sering diakibatkan karena keadaan pasien
yang hiperkoagulabel atau darah pasien yang mudah membeku. Hal ini dipicu
karena adanya kehilangan protein yang massif lewat proteinuria pada sindrom
nefrotik. Kehilangan protein ini termasuk hilangnya protein S dan protein C,
proetein yang sangat dibutuhkan untuk pembentukan antithrombin III, suatu
antikoagulan alami tubuh. Karena berkurangnya antikoagulan pada tubuh maka
respon tubuh ialah mudahnya terjadi penggumpalan darah (Schrier, 2018).
2.2.7 Penatalaksanaan Sindrom Nefrotik
Dalam penatalaksanaan, penting untuk mengetahui beberapa diagnosis sindrom
nefrotik untuk mengklarifikasi berbagai respon pasien terhadap pengobatan.
2
Diagnosis sindrom nefrotik ialah adanya edema, proteinuria masif (> 40 mgm /jam
atau rasio protein/kreatinin urin > 2,0 mg/mg), dan hipoalbuminemia (<2,5 g/dl).
Pada SN terdapat remisi yang ditandai dengan berkurangnya proteinuria (hingga < 4
2
mg/m /jam atau dipstik albumin urin 0 selama 3 hari berturut-turut), diikuti dengan
berhentinya edema dan normalnya serum albumin sampai pada setidaknya 3,5 g/dl.
Selanjutnya relaps didefinisikan sebagai kekambuhan
27
2
proteinuria massif (> 40 mg/m /jam, protein urin/rasio kreatinin > 2,0 mg/mg,
atau dipstick albumin urin ≥ 2 + pada 3 hari berturut-turut), hal ini sesuai dengan
terjadinya edema yang berulang. Relaps dikatakan sering jika dalam enam bulan
pertama terdapat dua atau lebih relaps atau lebih dari tiga kali kambuh dalam 12
bulan. Kemudian sindrom nefrotik sensitif steroid yaitu pasien mengalami remisi
sebagai respons terhadap pengobatan kortikosteroid, dan sindrom nefrotik resisten
steroid yaitu pasien yang gagal untuk mengalami remisi setelah 8 minggu
perawatan kortikosteroid. Selain itu terdapat dependent steroid atau
ketergantungan steroid ialah 2 kali kambuh berturut-turut selama terapi steroid
(Geary and Schaefer, 2008; Viswanath, 2013; Mandal and Prakash, 2014).
Tabel II. 2 Interpretasi Hasil Dipstik Urin (Singh, 2019)
0 Negatif
Trace 15–30 mg/dL
1+ 30–100 mg/dL
2+ 100–300 mg/dL
3+ 300–1000 mg/dL
4+ >1000 mg/dL
Terapi yang diberikan pada sindrom nefrotik biasanya merupakan terapi
simtomatik untuk meredakan gejala-gejala sehingga mampu memperbaiki kualitas
hidup pasien, seperti misalnya pada edema diberika diuretika dan pada
hiperlipidemia diberikan golongan statin (Tapia & Bhimji, 2017). Dibawah ini
merupakan terapi yang diberikan pada sindrom nefrotik sesuai dengan gejala yang
muncul
2.2.7.1 Proteinuria
Kortikosteroid adalah terapi utama untuk menginduksi remisi dari proteinuria
pada pasien SN dengan terutama dengan MCN, remisi dapat mencapai hingga 95%
pada anak dan 80-90% pada dewasa. Pada pasien sindrom nefrotik dengan MCN
terjadi penurunan fosforilasi nephrin di jaringan ginjal. Steroid bekerja dengan
meningkatkan fosforilasi nephrin pada podosit (Braine, 2016). Selain itu proteinuria
disebabkan karena gangguan pada membran glomerulus, gangguan pada membran
glomerulus ini sering kali terjadi karena proses inflamasi karena imun tubuh sendiri
yang merusak struktural ataupun fungsi dari glomerulus itu sendiri (Robbins et al.,
2010). Kortikosteroid dianggap bekerja dengan beberapa mekanisme, tetapi secara
keseluruhan mekanisme spesifik tidak sepenuhnya dipahami. Efek utama
28
Dosis losartan yang dapat diberikan ialah 100 mg / hari (Appel, 2006). Pada
percobaan randomize crossover menunjukkan bahwa enalapril dapat mengurai
proteinuria, enalapril dosis rendah mengurangi median rasio albumin / kreatinin
urin sebesar 33%, sedangkan dosis tinggi enalapril mengurangi rasio sebesar 52%
(Geary and Schaefer, 2008). Dosis enalapril per oral 0,2 hingga 0,6 mg/kg/hari
dalam 2 dosis terbagi (mulai dengan dosis terendah dan ditingkatkan secara
bertahap jika perlu sampai proteinuria berkurang). Pemantauan hiperkalemia jika
memadai perlu dilakukan (Gouzard et al., 2016). Terdapat studi yang
menunjukkan bahwa dosis supramaximal ARB (contoh Irbesartan 900 mg) dapat
sangat mengurangi proteinuria. Jika terjadi proteinuria berat persisten meskipun
menggunakan dosis maksimal dari salah satu terapi (ACE-Inhibitor atau ARB),
blokade ganda sistem RAA mungkin bermanfaat (De Seigneux and Martin, 2009).
2.2.7.2 Hipoalbuminemia
Pada sindrom nefrotik, hipoalbuminemia disebabkan oleh proteinuria massif
dengan akibat penurunan tekanan onkotik plasma sehingga cairan bergeser dari
intravaskular ke jaringan interstitium dan menjadi edema. Akibat penurunan tekanan
onkotik plasma dan bergesernya cairan plasma terjadi hipovolemia, dan ginjal
melakukan kompensasi dengan meningkatkan retensi natrium dan air.
Hipoalbuminemia dapat diperbaiki dengan kontrol proteinuria. Pembatasan asupan
protein 0,8-1,0 g/kgBB/hari dapat mengurangi proteinuria (Setiati et al., 2014; Arsita,
2017). Pada pasien dengan edema dan hipoalbuminemia terapi diuretik dan albumin
akan menginduksi diuresis dan natriuresis. Diketahui juga bahwa respons diuretik
bersifat kurang optimal pada sebagian pasien dengan hipoalbuminemia karena dapat
menyebabkan berkurangnya distribusi furosemid yang terikat albumin ke sel tubular
proksimal untuk sekresi ke dalam lumen tubular, walaupun menggunakan dosis tinggi
atau dalam kombinasi dengan diuretik yang lain. Respons yang terjadi tampaknya
terkait dengan volume intravaskular yang relatif rendah dan aktivasi terkait
neurohumoral (sistem saraf simpatis dan hormon antidiuretik) dan sistem renin-
angiotensin II-aldosteron. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa infus albumin
menginduksi diuresis dan natriuresis mungkin dengan meningkatkan volume
intravaskular dengan penekanan sistem hormonal yang telah dijelaskan diatas (Duffy
et al., 2015). Pemberian albumin intravena
30
pemberian loop diuretic furosemid menurut ikatan dokter anak Indonesia ialah 1-3
mg/kgbb/hari per oral atau dapat diberikan secara intavena dengan dosis 0,5 – 1
mg/kg tiap 6 – 12 jam, bila perlu dikombinasikan dengan spironolakton (antagonis
aldosteron, diuretik hemat kalium) 2-4 mg/kgbb/hari. Bila pemberian diuretik
tidak berhasil (edema refrakter), biasanya terjadi karena hipovolemia atau
hipoalbuminemia berat (≤ 1 g/dL), dapat diberikan infus albumin 20% dan/atau
25% dengan dosis 1 g/kgbb selama 2-4 jam untuk menarik cairan dari jaringan
interstisial dan diakhiri dengan pemberian furosemid intravena 1-2 mg/kgbb
(Trihono et al., 2012; Geary and Schaefer, 2008)
2.2.7.4 Hiperlipidemia
Pada sindrom nefrotik sentitif steroid, hiperlipidemia bersifat sementara dan
akan menurun seiring dengan remisi, biasanya tidak menyebabkan komplikasi dan
tidak memerlukan obat penurun lemak, cukup dengan diit rendah lemak. Pada
sindrom nefrotik resisten steroid, sering terjadi hiperlipidemia dengan berbagai risiko,
sehingga selain diit rendah lemak jenuh, dapat dipertimbangkan pemberian obat
penurun lemak seperti inhibitor HMG-coA reductase (statin: simvastatin, atorvastatin,
lovastatin) dan probucol. Statin menghambat secara kompetitif koenzim HMG-CoA
reduktase, yakni enzim yang berperan pada sintesis kolesterol, terutama dalam hati.
Penghambatan enzim ini menyebabkan penurunan konsentrasi kolesterol seluler
sementara, yang kemudian mengaktifkan kaskade sinyal seluler dan berpuncak pada
aktivasi protein pengikat elemen regulasi sterol (SREBP), yaitu faktor transkripsi
yang mengatur ekspresi gen yang mengkode reseptor low density lipoprotein (LDL).
Pemberian inhibitor HMG CoA reduktase direkomendasikan jika ditemukan kelainan
biokimiawi yang menetap selama 3-6 bulan, yakni kolesterol total > 200 mg/dL,
kolesterol LDL > 130 mg/dL, trigliserida > 100 mg/dL. Obat inhibitor HMG CoA
reductase antara lain lovastatin 0,4-0,8 mg/kgbb malam hari dan dosis dapat
dinaikkan setiap bulan dengan dosis maksimum 40 mg/12 jam. Atorvastatin 10-20 mg
per hari untuk anak > 5 tahun atau 0,2-1,6 mg/kgbb malam hari dan dosis dapat
dinaikkan setiap bulannya hingga dosis maksimum 80 mg setiap malam (Pardede,
2017; Dewi et al., 2017).
Fibrat, seperti gemfibrozil, clofibrate dan fenofibrate, adalah obat golongan
lain yang digunakan sebagai terapi lini kedua untuk pengobatan gangguan lipid
32
besar dibanding NSAID (Siswandono,2016; Clark et al., 2012; Bryant & Knights,
2015)
2.3.3 Efek Farmakologi Kortikosteroid
Efek farmakologi pada kortikosteroid ialah (1) Antiinflamasi dan
imunosupresan, glukokortikoid mencegah atau menekan reaksi inflamasi penuh
terhadap agen infeksi, fisik, atau imunologis, menghambat kejadian inflamasi awal
seperti edema, eksudasi seluler, deposisi fibrin, dilatasi kapiler, migrasi leukosit ke
dalam area, dan aktivitas fagositosis. (2) Efek metabolit, glukokortikoid
mempengaruhi metabolisme karbohidrat, protein, lemak, elektrolit, air dan kalsium.
(3) Efek pada metabolisme tulang, kortisol menghambat jumlah dan fungsi
osteoblas, dan sintesis kolagen. Osteoporosis adalah konsekuensi utama pemberian
glukokortikoid kronis. Pertumbuhan melambat pada anak-anak. (4) Efek sistem saraf
pusat, kenaikan puncak konsentrasi plasma kortisol terjadi pada saat bangun dan
terendah pada saat tidur. Secara umum, tingginya konsentrasi kortisol perlu
diwaspadai, tetapi gangguan suasana hati yang parah dapat terjadi dengan
ketidaknormalan kadar glukokortikoid yang tinggi. Konsentrasi yang rendah dapat
menyebabkan perasaan lesu. (5) Keseimbangan air dan elektrolit, efek utama
mineralokortikoid adalah regulasi ekskresi elektrolit di ginjal. Aldosteron
menghasilkan peningkatan reabsorpsi natrium dan peningkatan ekskresi kalium dan
hidrogen dalam tubulus ginjal. Efek serupa pada transportasi kation di sebagian besar
jaringan lainnya berperan dalam semua aktivitas sistemik mineralokortikoid.
(6) Aksi pada hematologis, glukokortikoid menyebabkan peningkatan jumlah
sirkulasi sel darah merah, trombosit, neutrofil dan penurunan jumlah limfosit,
monosit, eosinofil dan basofil dalam darah. (7) Efek pada saluran GI, glukokortikoid
menghambat sekresi prostasiklin dan meningkatkan basal keduanya dan sekresi asam
lambung nokturnal. (8) Efek pada sistem kardiovaskular, efek utama kortikosteroid
pada sistem kardiovaskular adalah akibat dari pengaruhnya terhadap volume plasma,
retensi elektrolit, sintesis epinefrin, dan kadar angiotensin, yang bersama-sama
menghasilkan pemeliharaan tekanan darah normal dan output
jantung. (9) Efek pada sistem endrokrin, selain efek pada sekresi ACTH,
kortikosteroid mempengaruhi kerja beberapa hormon lainnya. Kortisol
38
Polymyalgia rheumatica
Polymyositis / dermatomyositis
Poliarteritis
Vaskulitis
Oftalmologi : Uveitis
Keratoconjunctivitis
Lain-lain : Sklerosis multipel
Transplantasi organ
Sindrom nefrotik
Hepatitis aktif kronis
Edema serebral
2.3.5 Kontraindikasi Kortikosteroid
Kontraindikasi terhadap kortikosteroid bersifat relatif (Bennett et al., 2012).
Hipersensitivitas ialah kontraindikasi umum pada kortikosteroid (Yasir, 2018).
Pada glukokortikoid harus digunakan dengan sangat hati-hati pada pasien dengan
tukak lambung, penyakit jantung atau hipertensi dengan gagal jantung, pasti
penyakit menular seperti varisela dan TBC, psikosis, diabetes, osteoporosis, atau
glaucoma (Katzung et al., 2012). Selain itu, kontraindikasi pada kortikosteroid
menurut Yasir, (2018) ialah
Sistemik : Infeksi jamur sistemik
Administrasi intratekal
Malaria serebral
Diberikan bersama vaksin virus hidup atau vaksin virus
hidup yang dilemahkan (jika glukokortikoid digunakan
dalam dosis imunosupresif)
Purpura trombositopenik idiopatik (pemberian IM)
Digunakan pada bayi prematur (formulasi yang
mengandung benzil alkohol)
Topikal : Dermatologis: Infeksi bakteri, virus, atau jamur pada
mulut atau tenggorokan (triamcinolone)
40
bebas. CBG relatif memiliki afinitas yang tinggi terhadap kortisol dan afinitas
yang rendah untuk aldosteron dan metabolit steroid yang terkonjugasi glukuronid,
pada wanita hamil produksi CBG meningkat karena kenaikan estrogen. Level
aldosteron juga meningkat 3 hingga 10 kali pada kehamilan, membuktikan
kenaikan progesterone berfungsi sebagai MR antagonis karena progesteron juga
merupakan antogonis GR, hal ini mungkin menyebabkan kenaikan level kortisol.
Metabolisme dari steroid melibatkan penambahan atom O dan H secara
sekuensial, diikuti konjugasi untuk membentuk derivat yang larut air. Reduksi 3-
keton menjadi derivat 3-hidroksil, membentuk tetrahidrokortisol, terjadi di hati.
Hampir seluruh A ring-reduced steroid dikonjugasi melalui 3-hidroksil dengan
sulfat atau glukoronid lewat suatu reaksi enzimatik yang terjadi di hepar dan
kadang juga sebagian kecil di ginjal. Hasilnya adalah substansi larut air yang
diekskresikan di urin. Tidak ada bukti ekskresi melalui bilier ataupun fekal terjadi
pada ekskresi obat ini (Brunton et al., 2018).
Tiga obat pilihan untuk aktivitas glukokortikoid (anti-inflamasi) adalah
prednisolone (4 kali potensi dari hidrokortison), deksametason (30 kali) dan
betametason (30 kali), semua dengan aktivitas retensi natrium yang minimal.
Untuk aktivitas mineralokortikoid, obat pilihan adalah fludrokortison (150 kali
potensi hidrokortison), dengan aktivitas anti-inflamasi yang jauh lebih rendah.
Beberapa kortikosteroid yang biasa digunakan dibandingkan dalam tabel dibawah,
menunjukkan potensi relatif, dosis dan beberapa data farmakokinetik (Bryant &
Knights, 2015).
Tabel II. 3 Data Farmakokinetik Kortikosteroid (Brunton et al., 2018; Bryant and
Knights, 2015).
Kortikosteriod Dosis Potensi Potensi Durasi aksi
ekuivalen Anti- retensi t½
(mg) inflamasi Na plasma
(jam)
Short-acting
Kortison 25 0,8 0,8 0,5 8-12 jam
Hidrokortison 20 1 1 1,5-2 8-12 jam
42
Tabel II. 3 Data Farmakokinetik Kortikosteroid (Lanjutan dari halaman 41)
Intermediet-acting
Fludrocortison - 10 125 0,5-3 1-2 hari
Metilprednisolon 4 5 0,5 3-4 24-36 jam
Prednisolon 5 4 0,8 3-4 24-36 jam
Prednison 5 4 0,8 1 24-36 jam
Triamsinolon 4 5 0 2-5 18-36 jam
Long-acting
Betametason 0,75 25 0 3-6,5 2-3 hari
Dexametason 0,75 25 0 3-4 2-3 hari
2.3.7 Efek samping Kortikosteroid
Efek samping terkait dengan kerentanan individu, dosis dan durasi. Terapi
jangka panjang menyebabkan obesitas sentral dengan moon-face dan buffalo hump.
Striae pink kemerahan muncul di perut, pinggul dan daerah dada, dan kulit bisa
menjadi rapuh. Pasien dapat mengalami ekimosis spontan dan mudah memar
(Cushingoidism) (Satoskar et al., 2015). Efek kortikosteroid yang kuat dapat
menyebabkan kerusakan pada kelenjar adrenal menghasilkan produksi kortisol
berlebih. Potensi efek samping jangka panjang semakin terlihat seperti meningkatnya
nafsu makan dan penambahan berat badan, timbunan lemak di dada, wajah, punggung
atas, dan perut, retensi air dan garam yang menyebabkan pembengkakan/edema,
tekanan darah tinggi, diabetes, tanda hitam dan biru, memperlambat penyembuhan
luka, osteoporosis, katarak atau masalah penglihatan, jerawat, kelemahan otot,
penipisan kulit, peningkatan kerentanan infeksi, tukak lambung atau gangguan
gastrointestinal, hiperglikemi, mudah berkeringat, perubahan suasana hati, masalah
psikologis seperti depresi dan penekanan atau krisis pada adrenal, dan terhambatnya
pertumbuhan pada anak-anak. Selain itu pada mineralokortikoid dapat menyebabkan
hiperkalemi dan hipertensi. Efek samping dapat diminimalkan dengan mengikuti
perintah dokter dan
43
Pada sindrom nefrotik yang sering relaps atau dependen steroid pengobatan
lanjutan adalah pemberian steroid jangka panjang dan penggunaan kortikosteroid
sparing agent. Jika terjadi relaps sering diberi prednison dosis penuh sampai terjadi
remisi (paling sedikit 2 minggu) dilanjutkan dengan dosis alternating bersama dengan
obat kortikosteroid sparing agent. Setelah diberikan prednison dosis penuh diteruskan
dengan dosis 1,5 mg/kgbb secara alternating. Dosis ini kemudian diturunkan
perlahan/bertahap 0,2 mg/kgbb setiap 2 minggu. Penurunan dosis tersebut dilakukan
sampai dosis terkecil yang tidak menimbulkan relaps yaitu antara 0,1 – 0,5 mg/kgbb
alternating. Dosis ini disebut dosis threshold dan dapat dipertahankan selama 6-12
bulan, kemudian dicoba dihentikan. Bila relaps terjadi pada dosis prednison antara 0,1
– 0,5 mg/kgbb alternating, maka relaps tersebut diterapi dengan prednison 1 mg/kgbb
dalam dosis terbagi, diberikan setiap hari sampai terjadi remisi. Setelah remisi maka
prednison diturunkan menjadi 0,8 mg/kgbb diberikan secara alternating, kemudian
diturunkan 0,2 mg/kgbb setiap 2 minggu, sampai satu tahap (0,2 mg/kgbb) di atas
dosis prednison pada saat terjadi relaps yang sebelumnya atau relaps yang terakhir.
Bila relaps terjadi pada dosis prednison > 0,5 mg/kgbb alternating, tetapi < 1,0
mg/kgbb alternating tanpa efek samping yang berat, dapat dicoba dikombinasikan
sparing agent, seperti levamisol selang sehari 2,5 mg/kgbb selama 4-12 bulan, atau
langsung diberikan siklofosfamid (CPA). Bila relaps pada dosis > 1 mg/kgbb
alternating atau dosis < 1 mg/kgbb tetapi disertai efek samping steroid yang berat,
pernah relaps dengan gejala berat antara lain hipovolemia, trombosis, dan sepsis
diberikan siklofosfamid (CPA) dengan dosis 2-3 mg/kgbb/hari selama 8-12 minggu.
Pada SN idiopatik yang tidak responsif dengan pengobatan steroid dianjurkan untuk
pemberian siklosporin dengan dosis 4-5 mg/kgbb/hari (100-150 mg/m2 LPB). Dosis
tersebut dapat mempertahankan kadar siklosporin darah berkisar antara 150-250
mg/mL
(Trihono et al., 2012; Alatas et al., 2015).
50
2
minggu ke 20 dan akhirnya (1×9 mg/m ) PO perhari. Dalam kelompok B (29
pasien), pengobatan biasa yang terdiri dari metilprednisolon rute oral dengan dosis
2 2
awal 48 mg/m perhari kemudian dilakukan tappering off (1×33 mg/m ) PO
perhari dan akhirnya diberikan plasebo. Hasil dari pembagian kelompok diatas
menunjukkan rata-rata waktu yang untuk kambuh pertama adalah 114 hari untuk
kelompok A dan 75 hari untuk kelompok B. Perbedaan waktu untuk tanggapan
awal terhadap pengobatan dan hingga mencapai remisi antara kedua kelompok
tidak signifikan. Tidak ada perbedaan toksisitas steroid antara kedua kelompok.
Lamanya pengobatan memiliki dampak pada jumlah kambuh tanpa meningkatkan
toksisitas steroid.
Berdasarkan penelitian Sinha et al., 2014, yang menguji pada 181 pasien, 1–
12 tahun, dengan episode pertama sindrom nefrotik yang sensitif terhadap steroid.
Pasien dibagi menjadi dua grup yaitu 3 bulan dan 6 bulan pemberian prednisolon
rute oral. Pasien menerima terapi standar dengan prednisolon pada (1 x 2 mg/kg)
PO selama 6 minggu, kemudian (1 x 1,5 mg/kg) PO untuk 6 minggu selanjutnnya.
Hasil yang didapatkan pada analisis intention-to-treat dari jumlah relaps pada 1
tahun adalah 1,26 dalam kelompok 6 bulan dan 1,54 dalam kelompok 3 bulan
(selisih 0,28). Hasil menunjukkan bahwa perpanjangan terapi prednisolon awal
dari 3 bulan hingga 6 bulan tidak mengurangi frekuensi relaps pada anak-anak
dimana perbedaan tidak signifikan. Proporsi pasien yang mengalami relaps dan
keparahan dari penyakit tidak memberikan perbedaan yang berarti.
53
2.4.3.3 Metilprednisolon
Struktur
Oral, I.M., I.V: 0.75-9 mg / hari dalam dosis terbagi setiap 6-12 jam
Intra-artikular, intralesi, atau jaringan lunak: 0,4-6 mg / hari
Sediaan
Bimadex® (Bima Mitra Farma) kaplet 0,5 mg, 0,75 mg. Cardibu®
(Sampharindo Perdana) tablet 0,5 mg, 0,75 mg. Cortidex® (Sanbe Farma) tablet 0,5
mg, injeksi 5 mg/ml. Danasone® (Hexpharm Jaya) tablet 0,5 mg, injeksi 5 mg/ml.
Dexamethasone (Afi Farma) tablet 0,5 mg. Dexamethasone (Holi Pharma) tablet 0,5
mg. Dexamethasone (Indofarma) tablet 0,5 mg, injeksi 5 mg/ml. Dexanel® (Nellco)
tablet 0,5 mg. Dexicorta® (Zenith) tablet 0,5 mg. Etason® (Otto) tablet 0,5 mg,
injeksi 5 mg/ml. Flacoid (Yekartia Farma) kaplet 0,5 mg, 0,75 mg. Grathazon®
(Graha Farma) kaplet 0,5 mg. Hufadexon® (Gratia Husada Farma) kaplet 0,5 mg,
0,75 mg. Ifidex® (Imfarmind) kaplet 0,5 mg, 0,75 mg. Indexon® (Interbat) tablet 0,5
mg. Kalmethason® (Kalbe Farma) injeksi 4 mg/ampl, 5 mg/ampl, 30 mg/vial.
Kemotason® (PhyroKemoAgung) tablet 0,5 mg. Kokodex® (Afi Farma) kaplet 0,75
mg, 0,5 mg. Lanadexon® (Pertiwi Agung) kaplet 500mcg. Licodexon® (Berlico
Mulia Farma) kaplet 0,5 mg, 0,75 mg. Megasonum® (Mega Esa Farma) kaplet 0,5
mg,0,75 mg. Molacort® (Molex Ayus) tablet 0,5 mg, 0,75 mg. Novadex®
(Novapharin) kaplet 0,5 mg,0,75 mg. Nufadex® (Nufarindo) tablet 0,5 mg,0,75 mg.
Nufadex® M (Nufarindo) kaplet 500 mg. Omedesen® (Mutifa) tablet 0,5 mg.
Oradexon® (Quamed) tablet 0,5 mg. Prodexon® (Meprofarm) kaplet 0,5 mg.
Pycameth® (Tropica Mas) tablet 0,5 mg, 0,75 mg. Ramadexon® (Rama Emerald
MS) tablet 0,5 mg. Scandexon® (Tempo Scan Pasific) tablet 0,5 mg. Selexon®
(Sejahtera Lestari Farma) kaplet 0,5 mg. Tazimut® (Balatif) tablet 0,5 mg, 0,75 mg.
Trifason® (Trifa) tablet 0,5 mg. Zecaxon® (First Medipharma) tablet 0,5 mg, 0,75
mg (IAI, 2017).
Kontraindikasi
Infeksi jamur sistemik, penggunaan IM pada purpura trombositopenik
idiopatik, administrasi vaksin virus hidup, monoterapi topikal pada infeksi bakteri
primer, penggunaan intranasal pada infeksi lokal yang tidak diobati yang
melibatkan mukosa hidung, penggunaan oftalmik pada keratitis herpes simpleks
superfisial akut, penyakit jamur pada struktur okular, vaccinia, varisela, dan
tuberkulosis okular (Tatro, 2013).
61
Interaksi
Interaksi yang dapat terjadi menurut Ashley & Currie, 2019 adalah
− Aldesleukin: hindari penggunaan bersamaan.
− Antibakteri: metabolisme dipercepat oleh rifamycin, metabolisme mungkin
dihambat oleh eritromisin, konsentrasi isoniazid mungkin berkurang.
− Antikoagulan: kemanjuran coumarin dan fenindione dapat diubah.
− Antiepileptik: metabolisme dipercepat oleh carbamazepine, fosphenytoin,
phenobarbital, fenitoin dan primidon.
− Antijamur: peningkatan risiko hipokalaemia dengan amfoterisin, maka
dihindari, metabolisme mungkin terhambat dengan itraconazole dan
ketoconazole, caspofungin konsentrasi mungkin berkurang (mungkin perlu
ditingkatkan dosis).
− Antivirus: konsentrasi indinavir, lopinavir, saquinavir dan telaprevir
mungkin berkurang, hindari dengan rilpivirine; konsentrasi mungkin
meningkat ritonavir.
− Ciclosporin: terdapat laporan kejang pada pasien pada penggunaan
ciclosporin dan kortikosteroid dosis tinggi.
− Cobicistat: konsentrasi mungkin meningkat oleh cobicistat.
− Sitotoksik: mungkin menurunkan konsentrasi axitinib, meningkatkan dosis
axitinib.
− Diuretik: peningkatan efek hipokalemia dari acetazolamide, loop diuretik
dan diuretik thiazide.
− Netupitan: konsentrasi deksametason peningkatan dosis deksametason.
− Vaksin: kortikosteroid dosis tinggi dapat merusak respons imun terhadap
vaksin, hindari penggunaan bersamaan dengan vaksin hidup.