Anda di halaman 1dari 61

EVALUASI DAN OPTIMASI ESP TERPASANG MENGGUNAKAN

NODAL VARIASI STAGES PADA SUMUR “F” LAPANGAN “I”

PROPOSAL SKRIPSI

OLEH:
Adetya Putra Pratama
17.420.410.1204

JURUSAN TEKNIK PERMINYAKAN


FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS PROKLAMASI 45
YOGYAKARTA
2021
EVALUASI DAN OPTIMASI ESP TERPASANG MENGGUNAKAN
NODAL VARIASI STAGES PADA SUMUR “F” LAPANGAN “I”

PROPOSAL SKRIPSI

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana


Teknik Pada Jurusan Teknik Perminyakan FakultasTeknik
Universitas Proklamasi 45 Yogyakarta

DISUSUN OLEH:
Adetya Putra Pratama
17.420.410.1204

JURUSAN TEKNIK PERMINYAKAN


FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS PROKLAMASI 45
YOGYAKARTA
2021
HALAMAN PENGESAHAN

PROPOSAL SKRIPSI

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana


Teknik Pada Jurusan Teknik Perminyakan FakultasTeknik
Universitas Proklamasi 45 Yogyakarta

Disusun Oleh:
Adetya Putra Pratama
17.420.410.1204

Yogyakarta, Juni 2021


Mengetahui,

Koordinator Skripsi Ketua Program Studi

(Wirawan Widya Mandala, S.T.,M.T) (Lia Yunita, S.T., M.Pd., M.T)


KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas kuasa dan
rahmatnya, penulis dapat menyelesaikan proposal penelitian Skripsi dengan judul
“EVALUASI DAN OPTIMASI ESP TERPASANG MENGGUNAKAN
NODAL VARIASI STAGES PADA SUMUR “FAD” LAPANGAN “HIL””.
Maksud dan tujuan dari proposal penelitian Skripsi ini untuk memenuhi
persyaratan untuk memperoleh Gelar Sarjana di Jurusan Teknik Perminyakan,
Fakultas Teknik, Universitas Poklamasi 45 Yogyakarta.
Pada kesempatan ini, penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih
kepada:
1. Bapak Ir. Bambang Irjanto, M.BA selaku Rektor Universitas Proklamasi 45
Yogyakarta.
2. Bapak Dr. Ir. Sugeng Rhiyono M.Phil selaku Dekan Fakultas Teknik
Universitas Proklamasi 45 Yogyakarta.
3. Ibu Lia Yunita, S.T., M.Pd., M.T selaku Kepala Jurusan Teknik Perminyakan
Universitas Proklamasi 45 Yogyakarta.
4. Bapak Wirawan Widya Mandala, S.T.,M.T selaku dosen Koordinator Skripsi.
5. Segenap Dosen Teknik Perminyakan Fakultas Teknik Universitas Proklamasi
45 Yogyakarta.
6. Orangtua yang selalu memberikan dukungan moril dan materiil sehingga
proposal penelitian Skripsi ini dapat di selesaikan.
7. Rekan-rekan mahasiswa yang telah banyak memberi bantuan hingga
terselesaikannya proposal penelitian Skripsi ini.
Dalam proposal penelitian Skripsi ini, tentu ada kelemahan dalam teknik
pelaksanaan maupun tata cara penulisan, maka saran dan kritik yang membangun
sangat dibutuhkan guna menemukan refleksi peningkatan mutu dari proposal
serupa dimasa mendatang.
Yogyakarta, Juni 2021

Adetya Putra Pratama


I. JUDUL
“EVALUASI DAN OPTIMASI ESP TERPASANG MENGGUNAKAN
NODAL VARIASI STAGES PADA SUMUR “F” LAPANGAN “I””.

II. PENDAHULUAN
II.1. Latar Belakang
Industri migas dibagi menjadi dua kegiatan besar, yakni kegiatan hulu
(upstream) dan hilir (downstream). Kegiatan hulu meliputi kegiatan
eksplorasi dan produksi, sedangkan kegiatan hilir meliputi pengolahan,
pengangkutan, penyimpanan dan pemasaran. Produksi adalah suatu kegiatan
mengalirkan minyak dan gas bumi dari reservoir ke permukaan. Metode
Produksi dibagi menjadi tiga, yaitu Primary Recovery, Secondary Recovery
(Pressure Maintenance), dan Tertiary Recovery (Enhanced Oil Recovery).
Metode Primary Recovery terdiri dari Sembur Alam (Natural Flow) yaitu
kondisi dimana suatu sumur mampu mendorong fluida ke permukaan dengan
sendirinya karena memiliki tekanan reservoir yang lebih tinggi daripada
tekanan hidrostatik, dan Artificial Lift merupakan metode pengangkatan
buatan yang digunakan karena reservoir tidak mampu mendorong fluida ke
permukaan. Metode Artificial Lift terdiri dari Gas Lift dan Pompa. Pompa
terdiri dari Sucker Rod Pump (SRP), Electrical Submersible Pump (ESP),
Progressive Cavity Pump (PCP), dan Hydraulic Pump Unit (HPU). Pompa
ESP banyak digunakan pada sumur yang mempunyai laju produksi sedang
hingga tinggi, dan juga dapat digunakan pada sumur miring maupun
horizontal.
Electrical Submersible Pump (ESP) adalah pompa sentrifugal
berpenggerak motor listrik yang ditenggelamkan pada fluida reservoir yang
akan diangkat. Prinsip kerja pompa ESP adalah fluida diarahkan ke dasar
Impeller yang digerakkan oleh motor listrik dengan arah tegak, kemudian
energi kinetis fluida diubah menjadi energi potensial oleh diffuser, sehingga
fluida tersebut akan dapat dihisap oleh impeller pada stage yang berikutnya.
Proses ini berlangsung secara terus menerus hingga stage terakhir, sehingga
fluida akan dapat naik ke permukaan. Jika pompa bekerja melebihi
kapasitasnya, maka akan menimbulkan pengikisan pada upthrust, dan
sebaliknya jika pompa dioperasikan dibawah kapasitasnya akan menimbulkan
pengikisan pada downthrust yang dapat diketahui dengan melihat Pump
Performance Curve. Pump Performance Curve adalah kurva yang
menampilkan hubungan antara head capacity, motor load dan efisiensi
pompa. Nodal merupakan analisa kehilangan tekanan sepanjang produksi dari
reservoir ke permukaan, salah satunya dengan variasi stages. Setiap tingkat
(stage) yang digunakan akan sangat menentukan besarnya kapasitas produksi
pemompaan. Dalam penelitian Skripsi ini penulis akan menghitung Evaluasi
dan Optimasi ESP terpasang menggunakan nodal variasi stages pada sumur
“F” lapangan “I”.
Metode yang digunakan untuk mengevaluasi Electrical Submersible
Pump yaitu dengan cara menentukan efisiensi volumetris dan efisiensi
pompa. Apabila hasil evaluasi didapatkan kurang dari 50% atau pompa
berada dalam kondisi upthrust maupun downthrust maka perlu dilakukan
optimasi. Metode yang digunakan untuk mengoptimasi Electrical
Submersible Pump adalah dengan menghitung Productivity Index (PI)
selanjutnya membuat kurva Inflow Performance Relationship (IPR) sehingga
didapatkan laju alir maksimum (Qmax). Jika kurva IPR tersebut diplot
bersama kurva Tubing Intake, maka perpotongan yang dihasilkan merupakan
laju alir optimum. Kemudian melakukan pengaturan ulang Pump Setting
Depth, Total Dynamic Head (TDH), dan stages pompa yang disesuaikan
dengan kebutuhan.

II.2. Batasan Masalah


Batasan masalah pada penelitian Skripsi ini meliputi :
1. Perhitungan dan analisa untuk evaluasi ESP terpasang.
2. Perhitungan dan analisa Produktivitas Formasi (PI dan IPR).
3. Perhitungan dan analisa untuk mengetahui laju produksi optimum pada
sumur Electrical Submersible Pump dengan nodal variasi stages.
II.3. Maksud dan Tujuan
Adapun maksud dan tujuan dari penelitian Skripsi ini adalah sebagai
berikut:

II.3.1. Maksud
Maksud dari penelitian Skripsi ini adalah untuk menentukan
kemampuan produksi sumur yang diproduksi menggunakan Electrical
Submersible Pump dengan nodal variasi stages.

3.3.2. Tujuan
Tujuan dari penelitian Skripsi ini adalah menentukan laju alir
optimum sumur yang diproduksi menggunakan ESP dengan nodal
variasi stage.

II.4. Metodologi Penelitian


Metodologi yang dilakukan dalam penelitian Skripsi ini adalah
sebagai berikut :
2.4.1 Studi Pustaka
Merupakan metodologi yang difokuskan pada publikasi ilmiah
mengenai teori yang berhubungan dengan evaluasi dan optimasi
Electrical Submersible Pump (ESP).
2.4. 2 Pengambilan dan Pengumpulan Data
Pengambilan data dilakukan di PT.PERTAMINA HULU ENERGI
REGION 3 ZONA 9 , kemudian dilakukan tanya jawab langsung
kepada pihak yang bersangkutan mengenai hal-hal yang berhubungan
dengan penelitian.
2.4. 3 Pengolahan, Perhitungan, dan Analisa Data
Setelah memperoleh data, mendapatkan materi yang menunjang
penelitian, maka selanjutnya dilakukan pengolahan, perhitungan, dan
analisa dari data tersebut.

III. DASAR TEORI


III.1. Produktivitas Formasi
Produktivitas formasi adalah kemampuan suatu formasi untuk
memproduksikan fluida yang dikandungnya pada kondisi tekanan tertentu.
Sumur-sumur yang baru umumnya mempunyai tenaga pendorong alamiah
yang mampu mengalirkan fluida hidrokarbon dari reservoir ke permukaan
dengan tenaganya sendiri. Penurunan kemampuan produksi terjadi dengan
berjalannya waktu produksi dimana kemampuan dari formasi untuk
mengalirkan fluida tersebut akan mengalami penurunan yang besarnya sangat
tergantung pada penurunan tekanan reservoir.

Di dalam lapangan, laju produksi minyak yang melewati batas


maksimum akan merugikan reservoir dikemudian hari, karena akan
mengakibatkan terjadinya water atau gas coning dan kerusakan formasi
(formation demage).

Berdasarkan pengalamannya, Kermitz E Brown (1967) telah mencoba


memberikanbatasan terhadap besarnya produktivitas sumur, yaitu sebagai
berikut:
 PI rendah jika besarnya kurang dari 0,5
 PI sedang jika besarnya berkisar antara 0,5 sampai 1,5
 PI tinggi jika lebih dari 1,5
Kemampuan sumur untuk berproduksi lebih umum dinyatakan dalam bentuk
kurva IPR (Inflow Performance Relationship) kurva IPR yang linier
menunjukkan harga PI yang konstan, sedangkan untuk kurva IPR yang tidak
linear memberikan harga PI yang berubah pada masing-masing titik pada
kurva tersebut.
III.1.1.Aliran Fluida dalam Media Berpori.
Aliran fluida adalah suatu gejala perpindahan zat akibat gerakan-
gerakan massa materi zat, dimana fluida dapat berupa gas atau cair atau
kedua-duanya.
Fluida yang mengalir dari formasi ke lubang sumur dapat dipengaruhi
oleh beberapa faktor sebagai berikut :
a. Jumlah fasa yang mengalir
b. Sifat fisik fluida reservoir
c. Sifat fisik batuan reservoir
d. Konfigurasi disekitar lubang bor, seperti : adanya lubang perforasi,
Skin (kerusakan formasi), gravel pack, rekahan hasil perekahan
hidrolik
e. Kemiringan lubang sumur
f. Bentuk daerah pengurasan
Keenam faktor di atas, secara ideal harus mewakili dalam setiap
persamaan perhitungan kelakukan aliran fluida dari formasi ke lubang sumur.
Aliran fluida dalam media berpori telah dikemukakan oleh Darcy (1856),
dimana persamaan dibedakan berdasarkan sistem aliran dan jenis fluidanya.

a. Sistem Aliran Linier Horizontal


Laju alir dari sistem aliran linier horizontal dapat dituliskan dengan
persamaan sebagai berikut.
0.001127 kA( P1  P2 )
q
BL ........................................................(3-1)
Dimana :
q = laju alir, STB
k = permeabilitas, mD
A = luas, ft2
L = panjang media berpori, ft
P = tekanan, psi
B = faktor volume formasi, bbl/STB
 = viskositas fluida yang mengalir, cp

b. Sistem Aliran Linier Miring


Laju alir dari sistem aliran linier miring dapat dituliskan dengan
persamaan sebagai berikut :
 0.001127 kA  ( P2  P1 ) 
q   gL sin  
B  L  .............................(3-2)

c. Sistem Aliran Radial


Laju alir dari sistem aliran radial dapat dituliskan dengan persamaan
sebagai berikut :
0.00708kh( Pe  Pw )
q
B ln( re / rw ) ........................................................(3-3)
d. Sistem Aliran Linier Gas
Laju alir dari sistem aliran linier untuk gas dapat dituliskan dengan
persamaan sebagai berikut.
0.1118 kA 2 2
qsc  ( P1  P2 )
LZT ....................................................(3-4)
e. Sistem Aliran Radial Gas
Laju alir dari sistem aliran radial untuk gas dapat dituliskan dengan
persamaan sebagai berikut.
0.7032kh 2 2
qsc  ( Pe  Pw )
 ln( re / rw )TZ ............................................(3-5)
Dimana :
q = laju alir, STB
k = permeabilitas, mD
h = ketebalan lapisan, ft
P= tekanan, psi
A= luas, ft2
L= panjang media berpori, ft
α = sudut kemiringan lapiran, °
ρg = gradien tekanan fluida, 0.433 psi/ft (air tawar), 0.465 psi/ft (air asin)
B = faktor volume formasi, bbl/STB
 = viskositas fluida yang mengalir, cp
re = jari – jari pengurasan sumur, ft
rw = jari – jari sumur, ft
qsc = laju alir gas pada kondisi standar, SCF
Z = faktor devias gas
T = temperatur, °R

III.1.2. Produktivity Indeks (PI)


Indek Produktivitas (PI) merupakan indeks yang digunakan untuk
menyatakan kemampuan suatu sumur pada kondisi tertentu untuk berproduksi
atau merupakan perbandingan antara laju produksi yang dihasilkan oleh suatu
sumur pada suatu harga tekanan alir dasar sumur tertentu dengan perbedaan
tekanan dasar sumur dalam kondisi statis reservoir (Ps) dan tekanan dasar
sumur pada saat terjadi aliran (Pwf). Secara matematis dapat ditulis dalam
bentuk persamaan :
q
PI =
P s−P wf , .......................................................................(3-6)
dimana :
PI = Production Index, bbl/day/psi
q = laju produksi cairan total, bbl/day
Ps = tekanan statik reservoir, psi
Pwf = tekanan alir dasar sumur, psi
Secara teoritis harga PI dapat pula diperkirakan dari persamaan
Darcy yang disubsitusikan dengan Persamaan (4-2), menjadi :
kh
PI=7 , 08 x 10−3
μ o Bo ln(r e −r w ) .....................................................(3-7)

dimana :
PI = Production Index, bbl/day/psi
kh = Permeabilitas horizontal, cp
o = viscositas minyak, cp
Bo= Faktor volume formasi minyak. bbl/STB
re = jari-jari pengurasan sumur, ft
rw = jari-jari sumur, ft

III.2. Inflow Performance Relationship (IPR)


Inflow Performance Relationship (IPR) merupakan pernyataan PI
secara grafis yang menggambarkan perubahan-perubahan dari harga tekanan
alir dasar sumur (Pwf) versus laju alir (q) yang dihasilkan karena terjadinya
perubahan tekanan alir dasar sumur tersebut. Jarang fluida tersebut satu fasa,
bila tekanan reservoir di bawah tekanan bubble point minyak, dimana gas
semula larut akan terbebaskan, membuat fluida menjadi dua fasa.
Bentuk IPR pada kondisi tersebut melengkung, sehingga PI menjadi
suatu perbandingan antara perubahan laju produksi dq dengan perubahan
tekanan alir dasar sumur, Pwf.
Indeks Produktifitas yang telah disebutkan diatas hanya merupakan
gambaran secara kualitatif mengenai kemampuan suatu sumur untuk
berproduksi, maka harga PI dinyatakan secara grafis yang menunjukkan
hubungan antara tekanan aliran dasar sumur dengan laju produksi, yang
disebut kurva IPR.
Jadi grafik IPR merupakan grafik yang menyatakan perilaku aliran
fluida dari reservoir menuju sumur, sesuai nilai Produktivitas (PI)
formasinya. Grafik ini merupakan hubungan antara tekanan aliran (Pwf)
terhadap laju produksi (Q). Dibedakan sesuai jumlah fasa fluida yang
mengalir terdapat 3 jenis yaitu:
1.IPR Satu Fasa
2.IPR Dua Fasa
- Ps < Pb
- PS> Pb dan Pwf > Pb
- PS> Pb dan PWf < Pb
3.IPR Tiga Fasa

1. IPR Aliran Satu Fasa


Perhitungan aliran fluida satu fasa dari formasi ke dasar sumur
pertama kali dikembangkan oleh Darcy untuk aliran non-turbulent dan
dikembangkan oleh Jones, Blount dan Glaze untuk aliran turbulent. Pada
alian satu fasa, saat menurunkan atau menaikkan tekanan dasar sumur laju
produksi akan setara berbanding terbalik dengan penurunan atau kenaikan
Pwf tersebut, karena aliran fluida tidak di pengaruhi oleh aliran flida lain.
Index Produktivitas untuk aliran steady state bila digunakan konsep tekanan
reservoir rata-rata dapat ditentukan dengan persamaan berikut :
q
PI =
Pe −Pwf ...........................................................................(3-8)
dimana :
J= index produktivitas
Q= laju produksi, bbl
Pe= tekanan rata-rata reservoir, psi
Pwf= tekanan alir dasar sumur, psi
Sedangkan untuk menentukan besarnya laju produksi dapat digunakan
persamaan Darcy untuk aliran radial, yaitu :
k o h ( Pav −Pwf )
q=0 , 007082
μo B o {Ln (r e /r w )−0,5+S} ......................................(3-9)

Pada kondisi tekanan rata-rata ini PI dinyatakan sebagai :


ko h
q=0 , 007082
μo B o {Ln (r e /r w )−0,5+ S} ......................................(3-10)

Apabila sudut AOB adalah θ, maka :


OB Ps x PI
tan θ= =
OA Ps ....................................................................(3-11)
Dengan demikian harga PI menyatakan kemiringan kurva dimana
pada fluida satu fasa IPR berupa garis lurus dapat dilihat pada Tabel IV.1
pada halaman selanjutnya.

Gambar 3.1 Kurva IPR Satu Fasa(2)

2. IPR Untuk Aliran Fluida Dua Fasa


Untuk sumur yang telah berproduksi dimana tekanan dasar sumur
telah turun di bawah tekanan gelembung sehingga gas bebas ikut terproduksi,
maka kurva IPR tidak linier lagi tetapi berupa garis lengkung. Hal ini
disebabkan karena kemiringan kurva IPR akan berubah secara kontinyu untuk
setiap harga Pwf.
Berdasarkan pengamatan yang dilakukan Vogel terhadap sumur-
sumur yang berproduksi dari reservoir dengan mekanisme pendorong
solution gas drive, dibuat kurva IPR yang disebut dimensinless IPR. Untuk
tujuan praktis grafis IPR tak berdimensi tersebut dinyatakan dalam persamaan
berikut :
2
qo P P
qo
max
Pr ( ) ( )
=1−0,2 wf −0,8 wf
Pr
....................................................(3-12)
dimana :
qo = laju produksi minyak, bbl
qomax = laju produksi minyak maksimum, bbl
Pwf = tekanan alir dasar sumur, psi
Pr = tekanan reservoir rata-rata, psi
Persamaan ini digunakan untuk membuat IPR berdasarkan data uji tekanan
dari uji produksi dapat dilihat pada Tabel IV.2 pada halaman selanjutnya

Gambar 3.2 Kurva IPR Dua Fasa(2)

 IPR Metode Standing


Metode Standing merupakan modifikasi dari persamaan Vogel dimana
Pb > Pi, berdasarkan kenyataan bahwa untuk sumur yang mengalami
kerusakan maka terjadi tambahan kehilangan tekanan di sekitar lubang bor.
Tekanan aliran dasar sumur ideal, Pwf tidak dipengaruhi oleh adanya faktor
skin, sedangkan Pwfˈ adalah tekanan dasar sumur sebenarnya yang
dipengaruhi oleh faktor skin. Hubungan antara kedua tekanan alir dasar
sumur tersebut adalah :
Pwf’= Pwf + ∆Ps ..........................................................................(3-13)
2
qo  Pwf '   Pwf ' 
qo max  Ps   
...............= 1 – 0.2 – 0.8  Ps  ................(3-14)
Dimana :
qo = Laju produksi minyak, STB/d
qmax = Laju produksi maksimum pada Pwf=0, STB/d
Pwf = Tekanan alir dasar sumur, psi
Pwf’ = Tekanan alir dasar sumur yang dipengaruhi faktor skin,
psi
Ps = Tekanan statik, psi

FE (Efisiensi aliran) merupakan perbandingan antara Indeks


produktivitas nyata dengan Indeks produktivitas ideal. Dengan demikian FE
berharga lebih kecil dari satu apabila sumur mengalami kerusakan dan lebih
besar satu apabila mengalami perbaikan sebagai hasil operasi stimulasi.
Dengan menggunakan hubungan tersebut, maka harga tekanan alir
dasar sumur sebenarnya (yang dipengaruhi oleh faktor skin) diubah menjadi
tekanan alir dasar sumur ideal, sehingga dapat dimasukkan kedalam
persamaan Vogel.
Prosedur perhitungan kurva IPR untuk kondisi sumur yang
mempunyai faktor skin sama dengan pemakaian persamaan Vogel yang telah
diuraikan sebelumnya, hanya saja perlu ditambah satu langkah yang
mengubah tekanan alir dasar sumur sebenarnya menjadi tekanan alir dasar
sumur ideal.
Harga FE yang diperlukan dalam perhitungan ini dapat diperoleh dari
hasil analisa uji build-up atau drawdown. Harga laju produksi maksimum
yang dihasilkan adalah harga laju produksi maksimum pada harga skin sama
dengan nol, bukan laju produksi pada harga FE yang dimaksud.
Untuk menghitung harga laju produksi maksimum pada harga FE
yang dimaksud, maka harga tekanan alir dasar sumur sebenarnya, yang sama
dengan nol diubah menjadi tekanan alir dasar sumur pada kondisi ideal,
kemudian dihitung laju produksinya.
Kelemahan dari Metode Standing adalah dihasilkan kurva IPR, yang :
1. Hampir lurus, untuk harga FE < 1, meskipun kondisi aliran adalah
dua fasa.
2. Berlawanan dengan definisi kinerja aliran fluida dari formasi ke
lubang sumur.
Kedua hal tersebut di atas disebabkan penggabungan dua persamaan
yang tidak selaras, yaitu persamaan Vogel yang berlaku untuk kondisi aliran
dua fasa dengan definisi FE (efisiensi aliran ) yang berlaku untuk kondisi satu
fasa.

Gambar 3.3. Kurva IPR Berdasarkan FE(2)

3. IPR untuk Aliran Fluida Tiga Fasa


Kurva IPR Tiga Fasa Metode Pudjo Sukarno,asumsi yang digunakan
metode ini adalah :
1. Faktor skin sama dengan nol
2. Minyak, air dan gas berada pada satu lapisan dan mengalir bersama-sama
secara radial.
Umumnya kondisi sumur yang ada sudah merupakan sumur yang
memproduksikan fluida tiga fasa (air, minyak dan gas). Untuk membuat
kurva IPR pada kondisi yang demikian, maka Pudjo Sukarno
mengembangkan suatu metode perhitungan kinerja aliran fluida tiga fasa
yaitu gas, minyak dan air dari formasi ke lubang sumur. Metode ini
dikembangkan dengan menggunakan simulator reservoiryang sama, yang
juga digunakan untuk mengembangkan kurva IPR gas dan minyak. Anggapan
yang dilakukan pada saat pengembangan metode ini adalah skin faktor sama
dengan noldan gas, minyak, dan air berada dalam satu lapisan mengalir
bersama-sama secara radial.
Untuk menyatakan kadar air dalam laju produksi total digunakan
parameter “Water Cut” (WC), yaitu perbandingan antara laju produksi air
dengan laju produksi total cairan. Selain itu hasil simulasi menunjukkan
bahwa suatu saat tertentu yaitu pada harga tertentu, harga WC berubah sesuai
dengan perubahan Pwf. Dengan demikian perubahan WC sebagai fungsi Pwf,
perlu ditentukan.
Dalam pengembangan kinerja aliran tiga fasa dari formasi kelubang
sumur, telah digunakan 7 (Tujuh) kelompok hipotesis reservoir, yang mana
masing-masing kelompok dilakukan perhitungan kurva IPR untuk lima harga
WC yang berbeda, yaitu 20%, 40%, 60%, 80% dan 90%. Dari hasil
perhitungan diperoleh 385 titik data, dan titik data ini dikelompokkan sesuai
dengan WC-nya. Untuk masing-masing kelompok WC dibuat kurva IPR tak
berdimensi, yaitu antara qo/qmax terhadap Pwf/Pr dimana qmax adalah laju
aliran total maksimum, kemudian dilakukan analisa regresi.
Prosedur dalam perhitungan kinerja aliran tiga fasa dari formasi ke
lubang sumur adalah sebagai berikut:
1. Siapkan data-data penunjang yang meliputi:
- tekanan reservoir/tekanan statis sumur
- tekanan alir dasar sumur
- laju produksi minyak dan air
- water cut berdasarkan uji produksi
2. Hitung harga WC @Pwf= Ps dengan menggunakan persamaan :
Watercut
WC @Pwf=Ps = P exp( P2 Pwf /Pr )1 .............................................(3-15)
- Dimana harga P1 dan P2 dihitung dengan persamaan :
P1 = 1.606207 - 0,130447 ln (water cut) ................................(3-16)
P2 = -0.517792 + 0,11064 ln (water cut) ................................(3-17)
3. Berdasarkan harga WC @Pwf=Ps , hitung konstanta A0, A1 dan A2 dengan
menggunakan persamaan :
An = C0 + C1(WC) + C2(WC)2 ........................................................(3-18)

Tabel IV.1 Untuk masing-masing harga An11)


An Co C1 C2
A0 0,980321 -0,115661x10-1 0,17905x10-4
A1 -0,414360 0,392799x10-2 0,237075x10-5
A2 -0,564870 0,762080x10-2 -0,202079x10-4

4. Berdasarkan data uji produksi, tentukan laju produksi cairan total


maksimum dengan menggunakan persamaan berikut:
qo 2
Pwf Pwf
Qt max = A + A .
0 1
( )
Pr + A2.
( )
Pr .............................(3-19)
5. Berdasarkan harga Qt max dari langkah (4), dapat dihitung laju produksi
minyak untuk berbagai harga tekanan aliran dasar sumur.
6. Laju produksi air untuk setiap Water Cut pada tekanan alir dasar sumur,
dengan persamaan :

= x ...............................................(3-20)
7. Menentukan harga PI dengan mempergunakan persamaan :

PI = ................................................................................ (3-21)
Gambar 3.4 Kurva IPR Tiga Fasa(2)
III.2.1.Kelakuan Aliran Fluida dalam Pipa
Aliran fluida dalam pipa dipengaruhi oleh sifat fisik fluida, friction loss
serta gradien tekanan fluida. Sub bab ini akan membahas pengaruh tersebut
terhadap aliran fluida dalam pipa.
III.2.2.Sifat Fisik Fluida
Sifat fisik fluida (gas, minyak dan air) perlu diketahui karena merupakan
variabel utama aliran fluida dalam media berpori maupun dalam pipa. Sifat fisik
fluida yang akan dibahas adalah sifat fisika fluida yang mempengaruhi
perencanaan Gas Lift yaitu kelarutan gas dalam minyak (Rs), kandungan
aromatik, viskositas, densitas dan specific gravity fluida (SGmix).
A. Kelarutan Gas Dalam Minyak (Rs)
Sistem minyak pada tekanan yang tinggi, gas akan terlarut dalam minyak,
dengan demikian harga kelarutan gas meningkat dan sebaliknya apabila terjadi
penurunan tekanan, fasa gas akan terbebaskan dari larutan minyak. Jumlah gas
yang terlarut akan konstan, apabila tekanan mencapai tekanan saturasi (Bubble
Point Pressure-Pb).
B. Viskositas (µ)
Viskositas merupakan keengganan suatu fluida untuk mengalir. Harga
viskositas ini dipengaruhi oleh temperatur dan tekanan, pada temperatur yang
tinggi harga viskositas fluida akan mengecil dan sebaliknya pada temperatur
rendah harga viskositas akan semakin besar.
Gambar 3.5 Hubungan Viskositas Terhadap Tekanan(2)
C. Densitas dan Specific Gravity Fluida (SG)
Densitas suatu fluida adalah bilangan yang menunjukkan berapa berat
(gram atau lb) fluida tersebut dalam volume 1 cm 3 atau cuft, atau dinyatakan
dalam rumus sebagai berikut :
m
ρ=
A.h gr/cm3 atau lb/cuft....................................................................... (3-22)
Specific Gravity fluida (SG) adalah perbandingan antara densitas fluida
tersebut dengan fluida yang lain pada kondisi standar (14.7 psi, 60 oF). Untuk
menghitung besarnya SG fluida tertentu, biasanya air diambil sebagai patokan
densitas sebesar 62.40 lb/cuft. Sehingga specific gravity fluida secara sistematis
ditulis dengan persamaan :
ρ
SGf = 62. 40 ............................................................................................. (3-23)
Dalam teknik Perminyakan specific gravity sering dinyatakan dengan
o
API, dengan persamaan :
141. 5
o
SGoil = 131. 5+ API ................................................................................ (3-24)
Untuk fluida campuran, besarnya specific gravity dapat ditentukan dengan
persamaan berikut :
SGmix = ((1-WC) x SG oil) + (WC x SG water)..........................................(3-25)
Keterangan :
ρ = densitas fluida, gr/cm3 atau lb/cuft
m = berat fluida, gr atau lb
A = luasan, cm2 atau ft2
h = tinggi, cm atau ft
o
API = derajat API
SGf = specific Gravity fluida
WC = water cut, %

Gambar 3.6 Densitas dan Spesific Gravity Fluida(2)

D. Faktor Volume Formasi (FVF), Bo


Faktor volume formasi minyak adalah perbandingan relatip antara volume
minyak awal (reservoir) tehadap volume minyak akhir (tangki pengumpul), bila
dibawa ke keadaan standart.
Standing melakukan perhitungan Bo secara empiris :
Bo = 0.972 + 0.000147.F1.175..........................................................................(3-26)
γg

F = Rs.
( )
γo
.............................................................................................. (3-27)
Dimana :
Rs = kelarutan gas dalam minyak, scf/stb
γo = specific gravity minyak, lb/cuft
γg = specific grafity gas, lb/cuft
T = temperatur, oF
Harga Bo dipengaruhi oleh tekanan, dimana :
 Tekanan dibawah Pb (P < Pb), Bo akan turun akibat sebagian gas terbebaskan.
 Tekanan diantara Pi dan Pb (Pb < P < Pi), Bo akan naik sebagai akibat terjadinya
pengembangan gas.
Gambar 3.7 Faktor Volume Formasi (Bo) Terhadap Tekanan Minyak(2)
III.2.3.Aliran Laminar dan Turbulen dalam Pipa
Aliran fluida dapat dibedakan Menjadi aliran laminar dan aliran turbulen,
tergantung padajenis garis alir yang dihasilkan oleh partikel-partikel fluida. Jika
aliran dari seluruh partikel fluida bergerak sepanjang garis yang sejajar dengah
arah aliran (atau sejajar dengan garistengah pipa, jika fluida mengalir di dalam
pipa), fluida yang seperti ini dikatakan laminar.
Fluida laminar kadang-kadang disebut dengan fluida viskos atau fluida
garis alir (streamline). Kata laminar berasal dari bahasa latin lamina, yang berarti
lapisan atau plat tipis. Sehingga, aliran laminar berarti aliran yang berlapis-lapis.
Lapisan-lapisan fluida akan saling bertindihan satu sama lain tanpa bersilangan
seperti pada Gambar 3.8 dibawah ini menunjukkan aliran turbulen dan aliran
laminer.
Jika gerakan partikel fluida tidak lagi sejajar, mulai saling bersilangsatu
sama lain sehingga terbentuk pusarn di dalam fluida, aliran yang seperti ini
disebut dengan aliran turbulen, seperti yang ditunjukkan pada Gambar 3.8
dibawah ini
Gambar 3.8 Aliran Turbulent (atas) Aliran Leminer (bawah)(2)
Karakteristik struktur aliran internal (dalam pipa) sangat tergantung dari
kecepatan rata-rata aliran dalam pipa, densitas, viskositas dan diameter pipa.
Aliran fluida (cairan atau gas) dalam pipa mungkin merupakan aliran laminer atau
turbulen. Perbedaan antara aliran laminar dan turbulen secara eksperimen pertama
sekali dipaparkan oleh Osborne Reynolds pada tahun 1883. Eksperimen itu
dijalankan dengan menyuntikkan cairan berwarna ke dalam aliran air yang
mengalir di dalam tabung kaca. Jika fluida bergerak dengan kecepatan cukup
rendah, cairan berwarna akan mengalir didalam sistem membentuk garis lurus
tidak bercampur dengan aliran air.
Pada kondisi seperti ini, fluida masih mengalir secara laminar. Jadi pada
prinsipnya, jika fluida mengalir cukup rendah seperti kondisi eksperimen ini,
maka terdapat garis alir. Bila kecepatan fluida ditingkatkan, maka akan dicapai
suatu kecepatan kritis. Fluida mencapai kecepatan kritis dapat ditandai dengan
terbentuknya gelombang cairan warna. Artinya garis alir tidak lagi lurus, tetapi
mulai bergelombang dan kemudian garis alir menghilang, karena cairan berwarna
mulai menyebar secara seragam ke seluruh arah fluida air.
Perilaku ketika fluida mulai bergerak secara acak (tak menentu)
dalambentuk arus-silang dan pusaran, menunjukkan bahwa aliran air tidak lagi
laminar. Pada kondisi seperti ini garis alir fluida tidak lagi lurus dan sejajar.
Menurut Reynold, untuk membedakan apakah aliran itu turbulen atau
laminar dapat menggunakan bilangan tak berdimensi yang disebut dengan
Bilangan Reynold.
Bilangan ini dihitung dengan persamaan berikut :

Dimana:
Re=Bilangan Reynold (tak berdimensi)
V = kecepatan rata-rata (ft/s atau m/s)
D= diameter pipa(ft atau m)
v= /viskositas kinematik(m2/s)
Pada Re < 2300, aliran bersifat laminer.
Pada Re > 4000, aliran bersifat turbulen.
Pada Re = 2300-4000 terdapat daerah transisi.

III.2.4.Persamaan Darcy Untuk Fluida Satu Fasa


Aliran fluida satu fasa yang steady state, horizontal, incompressible dan
isothermis, Henry Darcy telah membuat persamaan sebagai berikut :
q
V=
A
=−
k
μ( )( dPdL ) ......................................................................(3-28)

dimana :
V = kecepatan aliran fluida, cm/detik
q = laju alir fluida, cm3/detik
A = luas penampang batuan, cm2
μ = viscositas fluida, cp
dP/dL = gradient tekanan dalam arah sama dengan v, atm/cm
k = permeabilitas batuan, darcy
Persamaan tersebut kemudian dikembangkan untuk kondisi aliran dari formasi ke
lubang sumur secara radial, menjadi :
k dP
q= ( )( )
μ dL ................................................................................(3-29)
Saat terjadi aliran, parameter yang berubah adalah tekanan dan jarak.
Dengan mengintegrasikan persamaan (4-22) diatas untuk kondisi aliran mantap :
r2 p2
q ∫r 1 ( dp/ r ) =2 π ∫p 1 h ( k / μ ) dp
.....................................(3-30)
Bila k dan  konstanta pada interval tekanan p1 dan p2, maka diperoleh :

k ( p 2− p 1 )
q=2 πh
[ ]
μ ln ( r 2 /r 1 ) ...............................................(3-31)
Untuk p1 = Pwf ; p2 = Pe ; r1 = rw dan r2 = re, maka persamaan diatas akan menjadi :
kh ( P e− P wf )
q=0 , 007082
μ o ln ( r e / r w ) ...............................................(3-32)

maka laju produksi dipermukaan untuk kondisi standart, qsc adalah :

kh ( Pe −Pwf )
q=0 , 007082
μo B o ln(r e /r w ) ...................................................(3-33)
dimana :
q = laju aliran, bbl/day
qsc = laju aliran fluida di permukaan, STB/day
h = ketebalan lapisan, ft
o = viscositas minyak, cp
Bo = faktor volume formasi minyak, bbl/stb
re = jari-jari pengurasan sumur, ft
rw = jari-jari sumur, ft
Untuk aliran gas kondisi standar dapat dihitung dengan persamaan :

kh ( Pe −Pwf )
q sc=0 ,703
μg T r Z ln(r e /r w ) ..........................................................(3-34)
dimana :
qsc = laju produksi gas, SCF/day
g = viscositas gas, cp
T = temperatur reservoir, F
Z = faktor kompresibilitas

III.2.5.Persamaan Darcy Untuk Aliran Fluida Dua Fasa


Aliran dua fasa adalah aliran yang dapat berupa minyak atau air dan gas
yang mengalir secara bersama-sama atau campuran antara cairan dan fasa gas.
1. Gas Oil Ratio
Merupakan perbandingan antara gas bebas masih terlarut dalam minyak itu
sendiri. Untuk suatu formasi produktif yang horisontal, homogen dan hanya
mermproduksikan minyak dan gas, maka Gas Oil Ratio secara matematis
dinyatakan:
qg μo k g
GOR= =
q o μ g k o ..........................................................................(3-35)
Persamaan diatas berlaku untuk kondisi formasi, sedangkan untuk kondisi

qg

permukaan laju produksi gas =


[]
Bg
dan laju produksi minyak =
qo
[]
Bo

ditambah dengan gas bebas yang semula terlarut dalam minyak sebesar Rs,
sehingga Persamaan (4-28) menjadi :

μ o Bo k g
GOR permukaan =R s +
( μgo B g k o ) ……………………………………...(3-
36)
dimana :
GOR = Gas Oil Ratio di reservoir, cuft/bbl
Rs = kelarutan gas dalam minyak, SCF/STB
o = viscostas minyak, cp
g = viscositas gas, cp
Bo = faktor volume formasi minyak, bbl/STB
Bg = faktor volume formasi gas, SCF/bbl
ko = permeabilitas efektif terhadap minyak, md
kg = permeabilitas efektif terhadap gas, md

2. Water Oil Ratio


Merupakan perbandingan laju produksi air dengan laju produksi minyak.
Pada kondisi reservoir, water oil ratio dapat ditulis dengan persamaan :
qw μo k w
WOR= =
qo μw k o ...............................................................................(3-

37)
Untuk kondisi di permukaan, maka volume minyak yang mengalir akan
mngecil. Hal ini disebabkan oleh adanya gas yang membebaskan diri dari minyak,
qo

sehingga untuk kondisi permukaan laju produksi minyak =


[]Bo
, sedangkan
kelarutan gas dalam air sangat kecil dan kompressibilitas air juga kecil, maka qw
dapat dianggap sama dengan laju produksi air dipermukaan.
Dengan demikian perbandingan laju produksi air terhadap produksi
minyak dipermukaan adalah :
μo k w
WOR permukaan=
μ g k B Bo .....................................................................(3-38)

dimana :
WOR = water oil ratio, cuft/STB
o = viscositas minyak, cp
g = viscositas gas, cp
kw = permeabilitas air, md
ko = permeabilitas minyak, md
Bo = faktor volume formasi minyak, bbl/stb

III.2.6.Friction Loss
Bila fluida mengalir di dalam pipa maka akan mengalami tegangan geser
(shear stress) pada dinding pipa, sehingga terjadi kehilangan sebagian tenaganya
yang sering di sebut dengan friction loss. Hazen-William membuat suatu
persamaan empiris untuk friction loss, yaitu:

Q 1,85
F=2.083

Keterangan :
100
[ ]
C
1,85

[ ]
( )
34.3
ID 4 ,8655 ....................................................(3-39)

F = Friction Loss / 1000 ft


C = konstanta dari bahan yang digunakan dalam pembuatan pipa
Q = laju produksi, BPD
ID = diameter dalam tubing, inchi
Berdasarkan persamaan tersebut, Hazen-William membuat Grafik
frictionloss seperti yang ditunjukkan dalam Gambar 4.6 di bawah ini.

Gambar 3.9 Grafik Friction Loss Hazen-William

III.2.7.Tekanan Head dan Gradien Tekanan


Tekanan hidrostatik suatu fluida adalah tekanan yang disebabkan oleh
suatu kolom fluida pada suatu luasan. Bila dinyatakan secara matematis :
1
P= ×ρ f ×h
144 , lb/in2.................................................................(3-40)
Pada suatu kolom fluida, tekanan pada suatu titik adalah sama dengan
tekanan pada permukaan fluida ditambah dengan tekanan akibat kolom fluida
setinggi titik tersebut dari permukaan. Ketinggian tersebut disebut Head.
P
H=
0 , 433 x SG f , ft................................................................... (3-41)
Gradien tekanan disebabkan oleh suatu kolom fluida pada satu unit
ketinggian, sehingga bila persamaan (4-8) dimasukkan P = 1 psi dan H = 1 ft,
maka gradien tekanan (Gf) adalah :
Gf =0 , 433 psi/ ft x SGmix ............................................................(3-42)
III.2.8.Aliran Gas Di Dalam Pipa Vertikal
Persamaan-persamaan yang dikembangkan untuk menentukan hubungan
antara laju alir gas dan penurunan tekanan pada pada gas kering. Acapkali,dalam
operasi produksi gas , fluida juga ikut mengalir bersama-sama dengan gas.
Sebagai contoh adalah aliran dari sumur gas yang berproduksi bersama - sama
dengan kondensat atau air atau terjadinya kondensasi selama aliran. Adanya fluida
tersebut menyebabkan meningkatnya penurunan tekanan. Adanya fluida ini ,
menyebabkan diperlukannya perhitungan penurunan tekanan untuk aliran dua fasa
dalam merencanakan sistem pemipaan.
Problema aliran dua fasa di dalam sumur dapat diselesaikan dengan
menggunakan korelasi - korelasi pada kondisi aliran dua fasa. Ada beberapa
korelasi yang umum digunakan , antara lain : korelasi Hagedorn dan Brown ,
Korelasi Poettmann dan Carpenter , Korelasi Orkiszewski dan Korelasi Dun dan
Ross. Disini hanya akan dibahas metode Hagedorn dan Brown saja.
Salah satu metode yang sederhana didalam persoalan aliran dua fasa
adalah mengganti yg dengan ym. Metode ini disebut metode gravitasi campuran.
Adapun persamaan untuk ym adalah sebagai berikut :

Ym = .......................................(3-43)
Dimana :
ym = gravity campuran
yg = gravity gas kering
YL = spesifik gravity liquid
R = gas - oil ratio , SCF/STB
Metode gravitasi campuran ini dapat digunakan jika sumur berproduksi
dengan gas - oil ratio yang tinggi. Jika gas - oil ratio kurang dari 10000 SCF/STB
maka korelasi metode ini tidak dapat digunakan dan harus digunakan korelasi
pada kondisi dua fasa. Salahsatu korelasi yang dapat digunakan adalah korelasi
Hagedorn dan Brown yang akan diterangkan berikut ini.
Hagedorn dan Brown menggunakan persamaan berikut dengan
mengabaikan akselerasi
= ⍴m cos Ꝋ + ......................................(3-44)
Untuk menentukan densitas campuran , ⍴m , dan faktor gesekan , 𝑓
digunakan persamaan - persamaan empirik. Parameter-parameter yang terlibat di
dalam Persamaan 4-36 didefinisikan sebagai berikut :
⍴m = ⍴L HL + ⍴g (1 - HL)
⍴L = densitas liquid
⍴g = densitas gas
HL = liquid holdup
□ = sudut kemiringan terhadap arah vertical
Vm = VsL + VsG
vsL = superficial liquid velocity = qL/ Ap
vsG = superficial gas velocity = qg/ Ap
Ap = luas dari pipa alir = π d2 /4
d = diameter pipa dalam
⍴f = ⍴n 2 / ⍴m
⍴n = ⍴L λ + ⍴g (1- λ)
λ = VsL/ Vm
Faktor gesekan dihitung menggunakan persamaan Jain atau menggunakan
diagram Moody dengan bilangan Reynold’s sebagai berikut:

NRem = ................................................................(3-45)
Dimana:
µm = µL HL µg ( 1-HL )
µL = viskositas liquid
µg = viskositas gas
Untuk menentukan HL dapat digunakan tiga korelasi empirik. Ketiga
korelasi tersebut dapat dilihat pada Gambar 3.7 , 3.8 dan 3.9. Dalam menentukan
HL dengan menggunakan gambar- gambar tersebut , bilangan tak berdimensi
berikut ini harus ditentukan dari data - data yang diketahui :
NLv = VsL ( ⍴L / g σ )0.25
Ngv = Vsg ( ⍴L / g σ )0.25
Nd = d ( ⍴L / g σ )0.5
NL = µL ( g /⍴L σ3 )0.25
dimana σ adalah tegangan permukaan antara gas dan liquid. Persamaan
diatas juga dapat ditulis dalam satuan lapangan sebagai berikut:
NLv = 1.938 VsL ( ⍴L / g σ )0.25
Ngv = 1.938 Vsg ( ⍴L / g σ )0.25
Nd = 120.872 d ( ⍴L / g σ )0.5
NL = 0.15726 µL ( g /⍴L σ3 )0.25
dimana masing masing parameter satuannya adalah sebagai berikut :
VSL , Vsg = ft/sec
⍴L = lbm/cu ft
σ = dynes/cm
d = ft
µL = cp
Untuk menggunakan persamaan tersebut , HL , harus ditentukan
berdasarkan prosedur sebagai berikut :
1. Menghitung NL
2. Menentukan C N dari Gambar 3.7
3. Menghitung

xH =
4. Menentukan

dari Gambar 3.8


5 . Menghitung

xψ =
6. Menentukan ψ dari Gambar 3.9
7. Menghitung HL = ψ ( HL / ψ )
Dengan diketahuinya harga HL dan faktor gesekan , f, maka gradien
tekanan dapat ditentukan.

Gambar 3.10 CNL Sebagai Fungsi NL(3)

Gambar 3.11 Korelasi Hold Up Faktor(3)


Gambar 3.12 Metode PA Alir(3)

III.3. Analisa Nodal


Analisa sistem nodal merupakan suatu cara pendekatan untuk optimisasi
produksi sumur minyak dan gas, dengan cara mengevaluasi secara menyeluruh
sistem produksi sumur. Secara lengkap tujuan analisa nodal untuk suatu sumur
yang mempunyai indeks produktivitas (IPR) dan sistem rangkaian tubing di dalam
sumur serta pipa salur di permukaan tertentu adalah menentukan laju produksi
yang dapat diperoleh secara sembur alam, menentukan kapan sumur mati,
menentukan saat yang baik untuk mengubah sumur sembur alam menjadi sumur
sembur buatan, optimisasi laju produksi, memeriksa setiap komponen dalam
sistem sumur produksi ditunjukkan Gambar 4.10 pada halaman berikutnya, untuk
menentukan adanya hambatan aliran.
Gambar 3.13 Production System Nodal (3)

System sumur produksi, yang menghubungkan antara formasi


produktif dengan separator, dapat dibagi menjadi enam komponen yaitu:
1. Komponen formasi produktif/ reservoir 
Dalam komponen ini fluida reservoir mengalir dari batas reservoir
menujuke lubang sumur, melalui media berpori.Kelakuan aliran fluida
dalam media berpori ini telah dibahas di modul II, yang dinyatakan dalam
bentuk hubungan antara tekanan alir di dasar sumur dengan laju produksi.

2. Komponen komplesi
Adanya lubang perforasi ataupun gravel pack di dasar lubang
sumur akan mempengruhi aliran fluida dari formasi ke dasar lubang
sumur. Berdasarkan analisa di komponen ini, dapat diketahui pengaruh
jumlah lubang perforasi ataupun adanya gravel pack terhadap laju
produksi sumur.
3. Komponen tubing
Fluida multifasa yang mengalir dalam pipa tegak maupun miring,
akan mengalami kehilangan tekanan yang besarnya antara lain tergantung
dari ukuran tubing. Dengan demikian analisa tentang pengaruh ukuran
tubing terhadap laju produksi dapat dilakukan dalam komponen ini
4. Komponen Pipa salur
Pengaruh ukuran pipa salur terhadap laju produksi yang dihasilkan
suatu sumur. Dapat dianalisa dalam komponen ini seperti halnya pengaruh
ukuran tubing, dalam komponen tubing.
5. komponen restriksi/ jepitan
Jepitan yang dipasang di kepala sumur atau di dalam tubing
sebagai safety valve, akan mempengruhi besar laju produksi yang
dihasilkan dari suatu sumur. Pemilihan ataupun analisa tentang pengaruh
ukuran jepitan terhadap laju produksi dapat dianalisa di komponen ini.
6. Komponen separator
Laju produksi suatu sumur dapat berubah dengan berubahnya
tekanan kerja separator.Pengaruh perubahan tekanan kerja separator
terhadap laju produksi untuk sistem sumur dapat dilakukan di komponen
ini.
Keenam komponen tersebut berpengaruh terhadap laju produksi
sumur yang akan dihasilkan. Laju produksi yang optimum dapat diperoleh dengan
cara memvariasikan ukuran tubing, pipa salur, jepitan, dan tekanan kerja
separator. Pengaruh kelakuan aliran fluida di masing-masing komponen terhadap
system sumur secara keseluruhan akan dianalisa, dengan menggunakan analisa
system nodal. Nodal merupakan titik pertemuan antara dua komponen, dimana di
titik pertemuan tersebut secara fisik akan terjadi keseimbangan masa ataupun
keseimbangan tekanan. Hal ini berarti bahwa masa fluida yang keluar dari suatu
komponen akan sama dengan masa fluida yang masuk ke dalam komponen
berikutnya yang saling berhubungan atau tekanan di ujung suatu komponen akan
sama dengan tekanan di ujung komponen yang lain yang berhubungan.
Dalam system sumur produksi dapat ditemui 4 titik nodal, yaitu :
1. Titik nodal di dasar sumur
Titik nodal ini merupakan pertemuan antara komponen formasi
produktif/reservoir dengan komponen tubing apabila komplesi sumur
adalah open hole atau pertemuan antara komponen tubing dengan
komponen komplesi yang diperforasi atau bergravel pack.
2. Titik nodal di kepala sumur 
Titik nodal ini merupakan titik pertemuan antara komponen tubing
dan pipa salur dalam hal sumur tidak dilengkapi dengan jepitan atau
merupakan pertemuan komponen tubing dengan komponen jepitan bila
sumur dilengkapi jepitan.
3. Titik nodal di separator
Pertemuan antara komponen pipa salur dengan komponen
separator merupakan suatu titik nodal.
4. Titik nodal di “upstream/ downstream”

Sesuai dengan letak jepitan, titik nodal ini dapat merupakan pertemuan antara
komponen jepitan dengan komponen tubing, apabila jepitandipasang di tubing
sebagai safety valve atau merupakan pertemuanantara komponen tubing di
permukaan dengan komponen jepitan apabila jepitan dipasang di kepala sumur.

III.4. Metode Produksi


Pada umumnya perolehan minyak (Oil Recovery) dari reservoir dapat
dibagi menjadi 3 tahap :
1. Metode Primer (Primary Recovery)
Metode Primer dibagi menjadi dua yaitu metode sembur alam
(Natural Flow) dan metode pengangkatan buatan (Artificial Lift).
a. Metode sembur alam (Natural Flow)
Natural Flow yaitu produksi sumur minyak dan gas bumi secara alami
tanpa bantuan peralatan-peralatan buatan. Sumur produksi ini
memiliki fluida yang dapat mengalir dengan sendirinya ke permukaan
melalui tubing karena memiliki tekanan reservoir yang lebih tinggi
daripada tekanan hidrostatik kolom fluida yang berada dalam lubang
sumur tersebut.
b. Metode pengangkatan buatan (Artificial Lift)
Artificial lift adalah metode pengangkatan buatan fluida dengan
menggunakan peralatan pengangkatan buatan. Pertimbangan untuk
memasang alat bantu tersebut karena kecilnya tekanan sumur yang
ada. Selain itu peralatan ini juga untuk mengejar target produksi,
sehingga sumur-sumur yang masih mengalir secara alami juga
dipasang peralatan artificial baru.
Kemampuan berproduksi suatu sumur minyak dan gas akan
mengalami penurunan sebagai akibat terjadinya perubahan kondisi
pengurasan. Perubahan ini disebabkan oleh penurunan dari
kemampuan reservoir untuk mengalirkan fluida ke lubang sumur.
Keadaan ini dapat menyebabkan sumur tidak berproduksi secara
natural flow atau mungkin masih mampu berproduksi secara natural
flow tetapi pada laju reaksi yang rendah. Jika minyak yang terdapat
dalam reservoir masih mempunyai nilai ekonomis, maka perlu
diusahakan untuk memproduksi sisa minyak tersebut dengan teknik
pengangkatan buatan (artificial lift).
Artificial lift sendiri dapat menggunakan pompa dan Gas Lift.
Untuk Primary recovery, minyak dapat diproduksikan hanya dengan
mengandalkan mekanisme pendorong alam yang ada dalam reservoir,
RF (Recovery Factor) untuk primary recovery umumnya berkisar
antara 5 – 20 % (tergantung karakteristik reservoir dan fluidanya).

2. Metode Sekunder (Secondary Recovery)


Pada tahap ini, minyak dapat diproduksikan dengan
menginjeksikan water/ gas (Immiscible gas) ke dalam reservoir. RF
untuk secondary recovery umumnya berkisar antara 20 – 40 %
(tergantung karakteristik reservoir dan fluidanya).
3. Metode Tersier (Tertiary Recovery/ EOR)
Pada tahap ini, minyak dapat diproduksikan dengan
menginjeksikan Chemical (Polymer/ Alkaline Surfactant Polymer),
Thermal (Steam), Miscible Gas (CO2 Injection). Pada tahap Secondary
dan EOR, umumnya ada fluida dari yg diinjeksikan ke dalam reservoir
melalui sumur sumur injeksi. RF untuk tertiaty recovery umumnya
berkisar antar 40-70% (tergantung karakteristik reservoir dan fluidanya).

III.5. Electric Submersible Pump (ESP)


Pompa benam listrik dibuat atas dasar pompa sentrifugal bertingkat
banyak dimana keseluruhan pompa dan motornya ditenggelamkan ke dalam
cairan. Pompa ini digerakkan dengan motor listrik dibawah permukaan
melalui suatu poros motor (shaft) yang memutar pompa, dan akan memutar
sudu-sudu (impeller) pompa. Perputaran sudu-sudu tersebut menimbulkan
gaya sentrifugal yang digunakan untuk mendoronh fluida ke permukaan.
Gambar 3.14 Instalasi Electric Submersible Pump(7)

Gambar 3.15 Skema Impeller dan Diffuser(7)

III.5.1. Peralatan Electric Submersible Pump (ESP)


Peralatan pompa benam listrik dapat dibagi menjadi dua bagian yaitu:
1. Peralatan diatas permukaan
2. Peralatan dibawah permukaan

III.5.1.1. Peralatan Atas Permukaan


Peralatan diatas permukaan terdiri atas : Wellhead, Junction Box,
Switchboard dan Transformer.
1. Wellhead
Wellhead atau kepala sumur dilengkapi dengan tubing hanger khusus
yang mempunyai lubang untuk cable pack off atau penetrator. Cable pack off
biasanya tahan sampai tekanan 3000 pso. Tubing hanger dilengkapi lubang
hidraulic control line, saluran cairan hidraulik untuk menekan subsurface ball
valve agar terbuka.
Wellhead juga harus dilengkapi dengan “seal” agar tidak bocor pada
lubang kabel dan tulang. Wellhead didesain untuk tahan terhadap tekanan 500
psi sampai 3000 psi.

Gambar 3.16 Cable Pack-Off pada Tubing Hanger(7)

2. Junction Box
Junction Box merupakan suatu tempat yang terletak antara switcboard
dan wellhead yang berfungsi untuk tempat sambungan kabel atau
penghubugn kabel yang berasal dari dalam sumur dengan kabel yang berasal
dari switchboard. Junction Box juga digunakan untuk melepaskan gas yang
ikut dalam kabel agar tidak menimblkan kebakaran di swictboard.
Gambar 3.17 Junction Box(7)

3. Switchboard
Switchboard adalah panel kontrol kerja dipermukaan saat pompa
bekerja yang dilengkapi motor controller, overload dan underload protection
serta alat pencatat (recording instrument) yang bisa bekerja secara manual
ataupun otomatis bila terjadi penyimpangan. Switchboard dapat digunakan
untuk tegangan 4400-4800 volt.
Fungsi utama dari switchboard adalah :
 Mengontrol kemungkinan terjadinya downhole problem seperti
overload atau underload current.
 Auto restart underload pada kondisi intermittent well.
 Mendeteksi unbalance voltage.
4. Transformer
Transformer merupakan alat untuk mengubah tegangan listrik, bisa
untuk menaikkan atau menurunkan tegangan. Alat ni terdiri dari core yang
dikelilingi oleh coil dari lilitan kawat tembaga. Keduanya, baik core maupun
coil direndam dengan minyak trafo sebagai pendingin dan isolasi. Perubahan
tegangan akan sebanding dengan jumlah lilitan kawatnya.
III.5.1.2. Peralatan Bawah Permukaan
Peralatan dibawah permukaan dari pompa benam listrik terdiri atas
pressure testing sensing instrument, electric motor, protector, intake, pump
unit dan electric cable serta alat penunjang lainnya.

1. PSI Unit (Pressure Sensing Instruments)


PSI (Pressure Sensing Instrument) adalah suatu alat yang mencatat
tekanan dan temperatur sumur. Secara umum PSI unut mempunyai 2
komponen pokok, yaitu :
a. PSI Down Hole Unit
Dipasang dibawah Motor Type Upper atau Center Tandem, karena alat
ini dihubungkan pada Wye dari Electric Motor yang seolah-olah
merupakan bagian dari motor tersebut.
b. PSI Surface Readout
Merupakan bagian dari system yang mengontrol kerja Down Hole Unit
serta menampakkan (Display) informasi yang diambil dari Down Hole
Unit.

Gambar 3.18 pressure Sensing Instrument(7)

2. Motor (Electric Motor)


Jenis motor ESP adalah motor listrik induksi 2 kutub 3 fasa yang diisi
dengan minyak pelumas khusus yang mempunyai tahan listrik tinggi. Tenaga
listrik untuk motor diberikan dari permukaan mulai kabel listrik sebagai
penghantar ke motor. Putaran Motor adalah 3400 RPM - 3600 RPM
tergantung besarnya frekuensi yang diberikan serta beban yang diberiukan
oleh pompa saat mengangkat fuida.
Secara garis besar motor ESP seperti juga motor listrik yang lain
mempunyai dua bagian pokok, yaitu :
- Rotor (bagian yang berputar)
- Stator (bagian yang diam)
Stator mengindukasi aliran listrik dan mengubah menjadi tenaga putaran
pada rotor, dengan berputarnya rotor maka poros (shaft) yang berada
ditengahnya akan ikut berputar, sehingga poros yang saling berhubungan
akan ikut berputar pula (poros pompa, intake dan protector).
Gambar 3.19 Motor Pompa Benam Listrik(7)

3. Protector
Protector seing juga disebut Sel Section. Alat ini berfungsi untuk
menahan masuknya fluida sumur kedalam motor, menahan thrust load yang
ditimbulkan oleh pompa pada saat pompa mengangkat cairan, juga untuk
menyeimbangkan tekanan yang ada didalam motor dengan tekanan didalam
annulus. Secara prinsip protector mempunyai 4 fungsi utama yaitu :
- Untuk mengimbangi tekanan dalam motor dengan tekanan diannulus.
- Tempat duduknya thrust bearing untuk meredam gaya axial yang
ditimbulkan oleh pompa.
- Menyekat masuknya fluida sumur kedalam motor.
- Memberikan ruang untuk pengembangan dan penyusutan minyak motor
akibat perubahan temperatur dalam motor pada saat bekerja dan pada
saat dimatikan.
Secara umum protector mempunyai dua macam type, yaitu :
1. Positive Seal atau Modular Type Protector
2. Labyrinth Type Protector

4. Intake (Gas Separator)


Intake atau Gas separator dipasangkan dubwah pompa dengan cara
menyambungkan sumbunya (shaft) memakai coupling. Intake ada yang
dirancang untuk mengurangi volume gas yang masuk ke dalam pompa,
disebut dengan gas separator, tetapi ada juga yang tidak. Untuk yang terakhir
ini disebut dengan intake saja atau standart intake.
Gambar 3.20 Jenis Labyrinth Type Protector(7)

5. Unit Pompa
Unit pompa merupakan Multistage Centrifugal Pump, yang terdiri dari:
impeller, diffuser, shaft (tangkai) dan housing. Didalam housing pompa
terdapat sejumlah stage, dimana tiap stage terdiri dari satu impeller dan satu
diffuser. Jumlah stage yang dipasang pada setiap pompa akan dikorelasi
langsung dengan Head Capavity dari pompa tersebut. Dalam pemasangannya
bisa menggunakan lebih dari satu (tandem) tergantung dari Head Capacity
yang dibutuhkan untuk menaikkan fluida dari lubang sumur ke permukaan.
Impeller merupakan bagian yang bergerak, sedangkan diffuser adalah bagian
yang diam.Seluruh stage disusun secara vertikal, dimana masing-masing
stage dipasangtegak lurus pada poros pompa yang berputar pada housing.
Gambar 3.21 Jenis Rotary Gas Separator(7)

6. Electric Cable
Tenaga Listrik untuk menggerakan motor yang berada didasar sumur
disuplai oleh kabel yang khsusu digunakan untuk pompa ESP. Kabel yang
dipakai adalah 3 jenis konduktor. Dilihat dari bentuknya ada dua jenis, yaitu
flat cable typr dan round cable type. Fungsi kabel tersebut adalah sebagai
media penghantar arus listrik dari switchboard sampai ke motor di dalam
sumur. Secara umum ada 2 jenis kabel yang lazim digunakan di lapangan ,
yaitu Low temperature cable danHigh temperature cable.
Kerusakan pada round cable merupakan hal yang sering kali terjadi
pada saat menurunkan dan mencabut rangkaian ESP. Untuk menghindari
atau memperkecil kemungkinan tersebut, maka kecepatan string pada saat
menurunkan rangkaian tidak boleh melebihi dari 1500 ft/jam dan harus
lebih pelan lagi ketika melewati deviated zone atau dog leg. Kabel harus
tahan terhadap tegangan tinggi, temperatur, tekanan migrasi gas dan tahan
terhadap resapan cairan dari sumur maka kabel harus mempunyai isolasi
dan sarung yang baik. Bagian dari kabel biasanya terdiri dari :
-Konduktor
-Isolasi
-Sarung (sheath) jaket

Gambar 3.22. Kabel(7)

7. Check Valve
Check valve dipasang pada tubing (2-3 joint) diatas pompa. Bertujuan
untuk menjaga fluida tetap berada diatas pompa. Jika Check valve tidak
dipasang untuk maka kebocoran fluida dari tubing (kehilangan fluida) akan
melalui pompa yang dapat menyebabkan aliran balik dari fluida yang naik
ke atas, sebab aliran balik (back flow) tersebut membuat putara impeller
berbalk arah, dan dapat menyebabkan motor terbakar dan rusak. Check
valve umumnya digunakan agar tubing tetap terisi penuh dengan fluida
sewaktu pompa mati dan mencegah supaya fluida tidak turun kebawah.

8. Bleeder Valve
Bleeder Valve dipasang satu joint diatas check valve, mempunyai
fungsi mencegah kinyak keluar pada saat tubing di cabut. Fluida akan keluar
melalui bleeder valve.

9. Centralizer
Berfungsi untuk menjaga kedudukan pompa agar tidak bergeser atau
selalu ditengah-tengah pada saat pompa beroperasi, sehingga kerusakan kabel
karena gesekan dapat dicegah.

III.5.2.Karakteristik Kinerja Electric Submersible Pump (ESP)


Motor Listrik berputar pada kecepatan relatif konstan, memutar pompa
(impeller) melewati poros (shaft) yang disambungkan dengan bagian
protector. Power disalurkan ke peralatan bawah permukaan melalui kabel
listrik konduktoryang di lem pada tubing, cairan memasuki pompa yang
sedang beroperasi.
Kelakuan pompa berada pada harga efisiensi tertinggi apabila hanya
cairanyang terproduksi. Tingginya volume gas bebas menyebabkan operasi
pompa tida efisien.

III.5.2.1. Kurva kelakuan Electric Submersible Pump (Pump


Performance Curve)
Beberapa kinerja dari berbagai pompa dihadirkan dalam bentuk katalog
yang diterbitkan oleh produsen. Kurva kinerja dari suatu pompa benam listrik
menampilkan hubungan antara : Head capacity, Rate Capity, Horse Power
danefisiensi pompa yang disebut dengan “Pump Performance Curve”.
Kapasitas berkaitan dengan volume, laju alir cairan yang diproduksikan,
termasuk juga gas bebas atau gas yang terlarut dalam minyak..
Head pompa benam listrik berkaitan dengan specific gravity
fluida,dimana jika head diubah menjadi tekanan maka harus dikalikan dengan
specific gravity fluida, maka dapat dinyatakan sebagai berikut :
Tek. Operasi Pompa = (head / stage) x (gradien tekanan fluida) x (jumlah
stage).
Bila gas dan cairan sedang dipompa, kapasitas dan head per stage juga
gradien tekanan fluida berubah sebagaimana tekanan fluida naik dari tekanan
intake ke tekanan discharge. Dengan demikian persamaan diatas dapat ditulis
sebagai berikut

d(P) = h (V) + Gf(V)+ d(St)..........................................................(3.46)

Dimana :

d(P) = perubahan tekanan yang dihasilkan pompa

h = head per stage, ft/stage

Gf(V) = gradien tekanan fluida, psi/ft

D(St) = perubahan jumlah stage

Tanda kurung dalam persamaan (3- ) merupakan fungsi dari kapasitas


(V) dan dinyatakan dalam persamaan : V = qsc x VF (aliran satu fasa). VF
merupakan Volume Factor untuk berbagai tekanan dan temperatur, dan
dinyatakan dengan persamaan :

VF = WC + (1-WC) Bo + [GLR – (1-WC) Rs] Bg.....................(3.47)

Tekanan alir dasar sumur (Pwf) diatas harga tekanan gelembung,


bentuk kurva IPR digambarkan dengan persamaan linier :

qsc = PI (Pr-Pwf)

Gradien tekanan fluida dalam berbagai tekanan dan temperatur


dinyatakan dalam persamaan :

Gf(V) = 0,433 x ρ(V) ........................................................................(3-48)

ρ(V) = W / 350 .................................................................................(3-49)


W adalah berat material pada berbagai tekanan dan temperatur,
yang mana sama berat dengan berat pada kondisi standart. Dituliskan dengan
persamaan :

qsc x ρf sc
ρ(V) ¿ .................................................................(3-50)
350 x V
Mensubstitusikan persamaan (3-48 ) kedalam persamaan (3-50)
didapatkan persamaan sebagai berikut :

0,433 qsc x ρf sc
Gf =(
350
) V
.......................................................(3-

51)

Pfsc adalah berat 1 bbl cairan ditambah gas yang terpompakan (per bbl
cairan) pada kondisi standart.

Pfsc = (350(WC)τwsc) + [350(1-WC) τosc] + (GIP)(GLR) pgsc

Dengan memasukkan persamaan (3-52) ke persamaan (3-53)


menghasilkan persamaan :

350 V
d (St) = ( )
0,433 x qsc x pfsc h ( V )
dp............................................(3-52)

jumlah stage total dari pompa didapat dengan mengintegrasikan


persamaan diatas abtara tekanan intake (P3) dan tekanan discharge (P2) :

P2 P2 ❑
1 hp ( V )
∫ d ( HP )=
P3
( 0,433 ) ∫ h (V ) dp .......................................................................(3-53)
P3

Atau

P2 ❑
1 hp ( V )
HP = ( 0,433 ) ∫ h ( V ) dp ........................................................(3-54)
P3

III.5.2.2. Kurva Intake Pompa


Peramalan kurva intake pompa Electric Submersible Pump
dipertimbangkan untuk dua hal yaitu :
 Memompa cairan
 Memompa cairan dan gas

Keduanya diasumsikan bahwa pompa diletakkan didasar sumur dan yang


tetap adalah tekanan wellhead dan ukuran tubing. Kasus kedua dianggap
semua gas dipompakan bersama-sama cairan. Variable yang terpengaruh
adalah jumlah stages pompa. Peramalan kurva intake untuk pompa benam
listrik adalah untuk kasus yang kedua.

A. Pompa benam Listrik Memompa Cairan


Karena cairan memiliki sedikit sifat kompresibilitas, volume cairan
produksi dapat dikatakan konstan dan sama hingga permukaan (qsc). Dengan
demikian head perstage akan konstan juga dari Persamaan (3-55) dapat
diintegrasikan menjadi :
St = (808,3141/hxpfsc) (p2-p3)..................................................(3-55)

Atau haega tekanan intake (P3) dapat ditulis :

P3 = P2 – (pfsc x h/ 808,3141) St. ....................................(3-56)

Sedangkan untuk persamaan (3- 57) bila diintegrasikan menjadi :

HP = (1/0433) hp/h (P2-P3)..........................................(3-57)

Dengan mensubtitusikan Persamaan (3-57 ) ke Persamaan (3-58 ) menjadi :

HP = hp x pfsc x St................................................................(3-58)

B. Pompa Benam Listrik Memompa Cairan dan Gas


Gas yang memiliki sifat kompresibilitas yang tinggi, sehingga
volume cairan V yang dihasilkan berubah akibat perubahan tekanan dari
tekanan intake (P2) sampai tekanan discharge (P3). Faktor volume (VF)
atara tekanan intake (P2) sampai tekanan discharge (P3) didapat dari
Persamaan (3-56) dan laju alir ditentukan dengan Persamaan (3-57) atau
Persamaan (3-58 ).

III.5.3.Dasar Perhitungan Electric Submersible Pump


Pada prinsipnya perencanaan atau desain suatu unit pompa benam listrik
untuk sumur-sumur dengan WC tinggi adalah sama seperti perencanaan
unit pompa benam listrik biasa, dimana dengan maksimalnya laju produksi
yang diinginkan maka maksimal juga produksi air yang terproduksi.
Kontrolnya dengan menghitung laju kritis dimana besarnya laju produksi
minyak yang diinginkan lebih besar dari laju kritis sehingga terjadi water
coning. Produksi tersebut terus dilakukan karena masih bernilai ekonomis
dan terjadinya water coning bersifat wajar untuk sumur-sumur tua yang
mempunyai water cut yang lebih besar dari 90%.

Gambar 3.23 Kurva Kelakuan Pompa Benam(8)

3.5.3.1. Perkiraan Laju Produksi Maksimum


Laju produksi suatu sumur yang diinginkan harus sesuai dengan
produktivitas sumur. Pada umumnya fluida yang mengalir dari formasi ke
lubang sumur lebih dari satu fasa. Seperti yang telah dijelaskan dalam sub-
bab sebelumnya, untuk aliran fluida dua fasa, Vogel membuat grafik kinerja
aliran fluida dari formasi ke lubang sumur berdasarkan data uji produksi.
Sedangkan untuk aliran tiga fasa, yaitu gas, minyak dan air, maka
dalam pengembangan kelakuan aliran tiga fasa dari formasi ke lubang sumur
dapat menggunakan analisis regresi dari metode Pudjo Sukarno sperti yang
telah dijelaskan sebelumnya.

3.5.3.2. Pemilihan Ukuran dan Tipe Pompa

Pada umumnya pemilihan tipe pompa didasarkan pada besarnya rate


produksi yang diharapkan pada rate pengangkatan yang sesuai dan ukuran
casing (Check clearances). Terproduksinya gas bersama-sama dengan cairan
memberikan pengaruh dalam pemilihan pompa, karena sifat kompresibilitas
gas yang tinggi, menyebabkan perbedaan volume fluida yang cukup besar
antara intake pompa dan discharge pompa. Hal ini akan mempengaruhi
efisiensi pompa ESP itu sendiri.

3.5.3.3. Perkiraan Pump Setting Depth

Perkiraan pump setting depth merupakan suatu batasan umum untuk


menentukan letak kedalaman pompa dalam suatu sumur adalah bahwa pompa
harus ditenggelamkan didalam fluida sumur. Sebelum perhitungan perkiraan
setting depth dilakukan, terlebih dahulu diketahui parameter yang
menentukannya, yaitu Static Fluid Level (SFL) dan Working Fluid Level
(WFL) dimana untuk menentukannya digunakan alat sonolog atau degan
operasi wirelnine, bila sumur tersebut tidak menggunakan packer.
A. Static Fluid Level
Static fluid level pada sumur dalam keadaan mati (tidak diproduksikan),
sehingga tidak ada aliran, maka tekanan didepan perforasi sama dengan
tekanan statik sumur. Sehingga kedalaman permukaan fluida di annulus
(SFL, ft) adalah :
SFL = Dmidperf – (Ps/ Gf + Pc/Gf), feet
B. Working Fluid Level/ Operating Fluid Level (WFL, ft)
Bila sumur diproduksikan dengan rate produksi sebesar q (bbl/D) dan
tekanan alir dasar sumur adalah pwf (psi), maka ketinggian (kedalaman bila
diukur dari permukaan) fluid di annulus adalah :
WFL = Dmidperf – (Pwf/ Gf + Pc/Gf), feet
Dimana :
SFL = Statik Fluid Level, ft
WFL = Working Fluid Level, ft
Ps = Tekanan Statik sumur, psi
Pwf = Tekann Alir dasar sumur, psi
q = Rate produksi, B/D
D = Kedalaman sumur, ft
Pc = Tekanan di casing, psi
Gf = Gradient Fluida sumur, psi/ft

C. Suction Head (Tinggi Hisap)


Suction head adalah silinder atau torak yang semula berada
dipermukaan cairan (dalam bak) air akan naik mengikuti torak sampai
pada mencapai ketinggian Hs, dimana :
Hs = 144 x P / ρ
Dimana :
Hs = suction head, ft
P = tekanan permukaan cairan, psi
ρ = densitas fluida, lb/cuft

D. Kavitasi dan Net Positive Suction Head (NPHS)


Tekanan absolut pada cairan pada suatu titik didalam pompa berada
dibawah tekanan saturasi pada temperatur cairan, maka gas semula terlarut
dalam cairan terbebaskan. Gelembung-gelembung gas ini akan mengalir
bersama-sama dengan cairan sampai pada daerah yang memiliki tekanan
tinggi akan dicapai dimana gelembung tadi akan mengecil. Fenomena ini
disebut sebagai kavitasi yang dapat menurunkan efisiensi dan merusak
pompa.
Kejadian ini berhubungan dengan kondisi penghisapan dan apabila
kondisi penghisapan berada diatas Pb, maka kavitasi tidak terjadi. Kondisi
minimum dikehendaki untuk mencegah kavitasi pada suatu pompa disebut
Net Positive Suction Head (NPHS). NPHS adalah tekanan absolut diatas
tekanan saturasi yang diperlukan untuk menggerakan fluida masuk kedalam
fluida.

3.5.3.3.1. Pump Setting Depth Minimum

Pump setting depth minimum merupakan keadaan yang diperlihatkan dalam


Gambar 3.15.A. Posisi minimum dalam waktu yang singkat akan terjadi pump-
off, oleh karena ketinggian fluida level diatas pompa relative sangat kecil atau
pendek sehingga hanya gas yang akan dipompakan. Pada kondisi ini Pump Intake
Pressure (PIP) akan menjadi kecil. PIP mencapai dibawah harga Pb, maka akan
terjadi penurunan efisiensi volumetris dari pompa (disebabkan terbebasnya gas
dari larutan). PSD minimum dapat ditulis dengan persamaan :

PSDmin = WFL + Pb/Gf + P/Gf , feet

3.5.3.3.2. Pump Setting Depth Maksimum

Merupakan keadaan yang ditunjukkan oleh Gambar 3.15.B. (Posisi


maksimum) juga kedudukan yang kurang menguntungkan. Keadaan ini
memungkinkan terjadinya overload, yaitu pengangkatan beban kolom fluida yang
terlalu berat. PSD maksimum dapat didefinisikan :

PSDmax = D – (Pb/Gf – Pc/Gf), feet


Gambar 3.24 Berbagai Posisi Pompa Pada Kedalaman Sumur(8)

3.5.3.3.3. Pump Setting Depth Optimum


Merupakan kedudukan yang diharapkan dalam perencanaan pompa benam
listrik seperti dalam gambar 3.15.C (Pompa dalam keadaan optimum) menentukan
kedalaman yang optimum tadi (agar tidak terjadi pump-off Dn overload serta
sesuai dengan kondisi rate yang dikehendaki), maka kapasitas pompa yang
digunakan harus disesuaikan dengan produktivitas sumur. Penentuan PSD
optimum ini dipengaruhi oleh terbuka dan tertutupnya casing head yang mana
akan memmpengaruhi tekanan casing atau tekanan yang bekerja pada permukaan
dari fluida di annulus. Kejadian ini mempengaruhi besarnya suction head pompa.

Untuk casing head tertutup, maka :

Kedalaman pompa optimum = WFL + PIP-Pc / Gf

Untuk casing head terbuka, maka :

Kedalaman pompa optimum = WFL + PIP-Patm /Gf

3.5.3.4. Perkiraan Jumlah Tingkat Pompa


Untuk menghitung jumlah tingkat pompa (stage), sebelumnya dihitung
dahulu Total Dynamic Head (TDH, ft) pada laju produksi yang diinginkan.
Diambil suatu harga rate produksi V, maka h akan berubah pada saat cairan
melewati pompa. Persamaan (3- ) dapat digunakan jika variabel V/h(V) dapat
dikurangi untuk menyederhanakan fungsi tekanan.
Keberadaan gas dibagian intake pompa dimana tekanan intake dibawah Pb
maka persamaan (3- ) harus dipecah menjadi dua yaitu :
Pb P2
A v A V
St = ∫ Gf + ∫ Gf ...............................(3-59)
qsc P 3 h ( V ) qsc Pb h ( V )
Dimana :
A = 808,3141 /ρfsc
Dengan melakukan integrasi numerik, Persamaan (3- 60) dapat ditulis dalam
bentuk sederhana :

n
Sti = ∑ Δ(Sti)..................................................................(3-60)
i=i

Dimana :
n
Sti = ∑ ( A . ΔP 3/qsc ) Vi/hi ..............................................(3-61)
1=i

Untuk mendapatkan tekanan intake P3.1 maka :


St1 = ΔSt1 = ( A . ΔP 3 /qsc )Vi/hi.............................................(3-62)
Untuk mendapatkan P3.2 maka :
St2 = ΔSt1 + ΔSt2 = ( A . ΔP 3 /qsc )(V1/h1 + V2/h2)..............(3-63)
Untuk mendapatkan P3.n maka :
St2 = ΔSt1 + ΔSt2+…+ ΔStn = ( A . ΔP 3 /qsc )(V1/h1 + V2/h2...+ Vn/hn).........(3-
64)

3.5.3.5. Pemilihan Motor dan Horse Power


Horse power diperoleh dengan cara integrasi Persamaan (3- ) antara
tekanan intake dan tekanan discharge. Karena variabel hp(V)/h(V) tidak dapat
diurai kebentuk fungsi yang lebih sederhana.
Interval tekanan intake dan tekanan discharge dibagi ke dalam tiap step
kenaikan tekanan atau dengan mengambil P3 konstanta, Persamaan (3- )
dapat ditulis sebagai berikut :
n
HPi = ∑ (ΔP 3 /0433) hpi/hi
i=1

Δ (HP)1 = (ΔP3/ 0,433) hpi/hi

Maka Persamaan (3- ) dapat ditulis kembali menjadi :

n
HP1 = ∑ Δ(HP )i
i=1

Pemilihan motor baik single motor maupun tandem didasarkan pada table
yang disediakan oleh pabrik pembuatnya terlampir. Besarnya horse power yang
dibutuhkan mtor pada hasil perhitungan tidak tersedia dalam table, maka dipilih
motor yang memiliki horse power lebih besar yang mendekati.

3.5.3.6. Pemilihan Switchboard dan Transformer


Menentukan switchboard yang akan dipakai perlu diketahui terlebih
dahulu berapa besarnya coltage yang akan bekerja pada switchboard tersebut.
Besarnya tegangan yang bekerja dapat dihitung dari persamaan berikut ini :
Vs = Vm + Vc, Volt
Vc = (L/100) x Voltage, Volt
Keterangan :
Vs = surface voltage, Volt
Vm = motor voltage, Volt
Vc = correction voltage, Volt
L = Panjang kabel, ft
Voltage drop = kehilangan voltage, volt/100
Menentukan besarnya tegangan transformer yang diperlukan dihitung dengan
persamaan berikut :
T = Vs x lm x 1,73 / 1000 , KVA
Keterangan :
T = ukuran transformer, KVA
Vs = Surface voltage, Volt
Im = Ampere motor, Ampere

IV. RENCANA TEMPAT DAN WAKTU PENELITIAN


Penelitian yang dilakukan penulis direncanakan selama kurang lebih
satu bulan dengan lokasi penelitian bertempat di PT. PERTAMINA HULU
ENERGI REGION 3 ZONA 9 pada tanggal 28 Juni 2021 – 28 Juli 2021
atau disesuaikan dengan waktu yang telah ditentukan oleh pembimbing dari
PT. PERTAMINA HULU ENERGI REGION 3 ZONA 9 . Adapun
rencana kegiatan yang diusulkan selama penelitian Skripsi ini selama satu
bulan (Empat minggu) adalah sebagai berikut :

Waktu Minggu Minggu Minggu Minggu


No.
Kegiatan ke-1 ke-2 ke-3 ke-4
1. Orientasi Kantor dan
Lapangan
Praktik Lapangan dan
2.
Pengumpulan Data
3. Analisis Data
4. Pembuatan Laporan
Dalam melakukan penelitian Skripsi ini, mahasiswa akan terjun
langsung ke bagian-bagian yang telah ditentukan perusahaan dalam
mengambil data yang diperlukan.

V. PENUTUP
Demikian proposal Skripsi yang akan dilaksanakan. Besar harapan
penulis, rencana penelitian Skripsi ini mendapat sambutan yang baik dari
perusahaan. Atas perhatian dan bantuan yang diberikan, penulis
mengucapkan terimakasih.

DAFTAR PUSTAKA

1. Abdassah, Doddy, 1998. “Teknik Gas Bumi”, Bandung : Jurusan Teknik


Perminyakan, Institut Teknologi Bandung.

2. Amyx, J.W., Bass, D.M. Jr., and Whiting, R.L., “Petroleum Reservoir
Engineering”, McGraw-Hill Book Company, New York, 1960.

3. Beggs, Dale H., 2003. “Production Optimization Using Nodal Analysis”,


United States of America : OGCI Inc.

4. Brown, K.E., 1984. ”The Technology of Artificial Lift Methods Volume


2a”, Tulsa, Oklahoma : PennWell Publishing Company.
5. Brown, K.E., 1984. ”The Technology of Artificial Lift Methods Volume 4”,
Tulsa, Oklahoma : PennWell Publishing Company.
6. Nadim, Fauzan., 2020. “Evaluasi dan Optimasi ESP Terpasang dengan
Nodal Variasi Frekuensi Menggunakan Variable Speed Drive (VSD)
Pada Sumur “F” lapangan “N””, Yogyakarta : Universitas Proklamasi
45.
7. Purwaka, Edi., 2011. “Electrical Submersible Pump”, Yogyakarta :
Universitas Proklamasi 45.
8. Sukarno, P., 1986. “Inflow Performance Relationship Curve in Two and
Three Phase Flow Conditions”, Oklahoma : The University of Tulsa.

Anda mungkin juga menyukai