Anda di halaman 1dari 63

IDENTIFIKASI PROSPEK SEBARAN COAL BED METHANE (CBM)

MENGGUNAKAN METODE INVERSI ACOUSTIC IMPEDANCE PADA


FORMASI TARAKAN DI AREA “PDS” CEKUNGAN TARAKAN

SKRIPSI

Sebagai Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar


Sarjana Sains Bidang Studi Fisika

Oleh:

NI LUH KARMILA SARI


NIM.08021181621064

JURUSAN FISIKA
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS SRIWIJAYA
2020
LEMBAR PENGESAHAN

IDENTIFIKASI PROSPEK SEBARAN COAL BED METHANE (CBM)


MENGGUNAKAN METODE INVERSI ACOUSTIC IMPEDANCE PADA
FORMASI TARAKAN DI AREA “PDS” CEKUNGAN TARAKAN

SKRIPSI

Sebagai Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar


Sarjana Sains Bidang Studi Fisika

Oleh:
NI LUH KARMILA SARI
NIM. 08021181621064

Inderalaya, April 2020


Menyetujui,

Dosen Pembimbing II Dosen Pembimbing I

Dr. Azhar Kholiq Affandi, M.S. Sutopo, S.Si., M.Si.


NIP. 196109151989031003 NIP. 197111171998021001

i
MOTTO DAN PERSEMBAHAN

“Berbuatlah hanya demi kewajibanmu, bukan hasil perbuatan itu yang kau

pikirkan, jangan sekali-kali pahala jadi motifmu dalam bekerja, jangan pula

hanya berdiam diri tanpa kerja”

(Bhagavad Gita Bab II sloka 47)

“Kesuksesan bukanlah suatu akhir, kegagalan tidak berakibat fatal,

keberanianlah yang akan terus berlanjut”

(Winston Churchill)

“Tingkatkan Prestasi Junjung Tinggi Budi Pekerti”

Skripsi ini ku persembahkan kepada :


“Orang tuaku tercinta yakni Bapak Putu Tastre dan Ibu Kadek Suparti, Keluarga,
Pembimbing, Teman-teman, Almamater dan seluruh pihak yang terkait dalam proses
pembuatan skripsi ini”

ii
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat limpahan rahmat dan
karunia-Nya skripsi yang berjudul “Identifikasi Prospek Sebaran Coal Bed Methane
(CBM) Menggunakan Metode Inversi Acoustic Impedance Pada Formasi Tarakan
Di Area “PDS” Cekungan Tarakan” ini dapat diselesaikan dengan baik. Skripsi ini
dibuat dengan tujuan sebagai salah satu syarat untuk memenuhi kurikulum guna
memperoleh gelar Sarjana Sains di Jurusan Fisika Fakultas MIPA Universitas
Sriwijaya. Penulis menyadari dalam penyusunan skripsi ini bukanlah akhir dari proses
belajar, melainkan langkah untuk proses belajar selanjutnya.
Terselesaikannya laporan kerja praktek ini juga tidak terlepas dari bantuan
berbagai pihak, baik secara langsung maupun tidak langsung. Untuk itu penulis
menyampaikan ucapan terima kasih yang tak terhingga sekaligus penghargaan kepada :
1. Tuhan Yang Maha Esa yang senantiasa melindungi, memberikan kesehatan dan
kelancaran atas segalanya.
2. Orang Tua Bapak Putu Tastre, Ibu Kadek Suparti, Adik-adikku (Purba,Tantri dan
Winda), nenek, bibi, mendiang kakek, pakde-bude, Bli Wayan Andika dan
Seluruh Keluarga Penulis yang selalu menyayangi dan memberikan dukungan
serta do’a yang selalu diberikan selama ini serta adik tercinta yang selalu
menghibur dalam penyusunan skripsi ini.
3. Bapak Sutopo, S.Si., M.Si. dan Bapak Dr. Azhar Kholiq Affandi, M.S. selaku
Dosen Pembimbing I dan Pembimbing II yang bersedia memberikan nasehat,
bimbingan, saran, serta meluangkan waktu di tengah kesibukannya dalam
pengerjaan skripsi ini. Bapak Khoiruddin, S.Si., M,Si. selaku Pembimbing
penelitian tugas akhir di PT Patra Nusa Data, Serpong Tangerang Selatan yang
telah banyak memberikan pengajaran.
4. Bapak Dr. Frinsyah Virgo, S.Si., M.T., Ibu Erni, M.Si. dan Bapak Drs. M. Irfan,
M.T. selaku dosen penguji yang telah memberikan masukan, saran dan kritik yang
membangun guna menambah ilmu pengetahuan.
5. Bapak Prof. Dr. Iskhaq Iskandar, M.Sc. selaku Dekan Fakultas Matematika dan
Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Sriwijaya.
6. Bapak Dr. Frisnyah Virgo S,Si., M.T. selaku Ketua Jurusan Fisika Fakultas
Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Sriwijaya.

iii
7. Ibu Dra. Yulinar Adnan, M.T. selaku Dosen Pembimbing Akademik.
8. Seluruh dosen di Jurusan Fisika Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam
Universitas Sriwijaya, dan Seluruh Pendidik yang telah memberikan ilmu yang
bermanfaat kepada penulis selama menempuh pendidikan.
9. Bapak Ir. Agus Cahyono Adi, M.T. selaku Kepala PUSDATIN ESDM yang telah
memberi kesempatan untuk melaksanakan kerja praktek di PT. Patra Nusa Data.
10. Bapak Deni selaku Human Resource Development PUSDATIN ESDM yang telah
memberi kesempatan untuk melaksanakan kerja praktek di PT. Patra Nusa Data.
11. Bapak Ir. Hariyono selaku Direktur PT Patra Nusa Data Tangerang Selatan.
12. Bapak H.Yayan Mulya, S.Si, M.M. Head of Nasional data Management PT Patra
Nusa Data, Serpong Tangerang Selatan.
13. Bapak Widi Atmoko, S.T., M.Eng., bapak Joko, dan Kak Febi yang telah banyak
membantu dan juga membimbing serta seluruh staff serta karyawan PT Patra
Nusa Data, Serpong Tangerang Selatan.
14. I Wayan Andika Saputra, S.Si. yang selalu memberikan support, doa, kesabaran
dan sebagai teman curahan hati serta penyemangat selama hampir 4 tahun ini.
15. Auliyah dan Mbak Jum selaku sahabat dari semester awal hingga sekarang yang
selalu memberikan dukungan dan semangat.
16. Teman-teman seperjuang penelitian tugas akhir (Chika, Rehulina, Lintang dan
Santi) di PT Patra Nusa Data, Serpong Tangerang Selatan.
17. Chika, Rany, Lina selaku teman baik di KBI Geofisika Jurusan Fisika Universitas
Sriwijaya.
18. Jumatul Rahmayani dan Widya Permata Sandi selaku teman kosan yang
menemani selama duduk di bangku perkuliahan.
19. Teman-teman seperjuangan Fisika 2016 (F16HTER) Universitas Sriwijaya dan
seluruh teman-teman dari KMHDI yang telah membantu dan memberikan
semangat serta kebersamaan selama mengemban pendidikan.
20. Seluruh pihak terkait yang telah banyak membantu penulis dalam Penelitian tugas
akhir ini yang tidak bisa disebutkan satu per satu. Semoga segala kebaikan yang
diberikan mendapatkan balasan dari Tuhan Yang Maha Esa.
Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan skripsi ini masih terdapat
kekurangan serta jauh dari kesempurnaan yang disebabkan oleh keterbatasan

iv
pengetahuan yang dimiliki. Oleh sebab itu, penulis sangat berterima kasih atas
masukan, kritik dan saran yang telah diberikan dalam penyusunan skripsi ini. Semoga
skripsi ini dapat bermanfaat bagi pembaca dan menambah wawasan ilmu pengetahuan
bagi kita semua. Akhir kata penulis menyampaikan permohonan maaf apabila terdapat
kesalahan penulis, baik sengaja maupun tidak sengaja yang mungkin tidak berkenan di
hati pembaca.

Inderalaya, April 2020


Penulis

Ni Luh Karmila Sari


NIM. 08021181621064

v
IDENTIFIKASI PROSPEK SEBARAN COAL BED METHANE (CBM)
MENGGUNAKAN METODE INVERSI ACOUSTIC IMPEDANCE PADA
FORMASI TARAKAN DI AREA “PDS” CEKUNGAN TARAKAN

Oleh:
Ni Luh Karmila Sari
NIM.08021181621064

ABSTRAK
Formasi Tarakan pada Sub-cekungan Tarakan bagian dari Cekungan Tarakan
merupakan daerah yang menjadi target pada penelitian ini. Formasi Tarakan tersusun
atas batupasir, perselingan serpih dan batubara. Dalam hal ini batubara merupakan
source rock sekaligus reservoar dari Coal Bed Methane (CBM). Penelitian ini
menggunakan data seismik 3D PSTM (Post-Stack Time Migration) dan 1 data Sumur
(Sumur NI). Untuk mengidentifikasi adanya prospek sebaran CBM digunakan metode
inversi seismik yakni inversi impedansi akustik jenis model-based. Inversi model-based
ini menggunakan teknik soft constraint dengan diperoleh korelasi yang tinggi antara
seismogram sintetik dengan seismik sebenarnya sebesar 0,97312 dan error-nya
0,236786. Inversi tersebut menghasilkan peta sebaran impedansi akustik yang
menunjukkan adanya prospek sebaran reservoar batubara dari CBM pada zona target.
Hasil inversi menunjukkan bahwa reservoar batubara berada pada impedansi akustik
yang rendah terhadap sekelilingnya yaitu berkisar 2100-5900 (m/s)*(g/cc) di sekitar
Sumur NI pada zona target yang berada di posisi 190 ms di bawah Formasi Tarakan.

Kata Kunci: Coal Bed Methane, inversi seismik, impedansi akustik, inversi model-
based, Cekungan Tarakan.
Indralaya, April 2020
Menyetujui,

vi
PROSPECT IDENTIFICATION OF COAL BED METHANE (CBM)
DISTRIBUTION USING ACOUSTIC IMPEDANCE INVERSION METHOD AT
TARAKAN FORMATION IN THE “PDS” AREA OF THE TARAKAN BASIN

By:
Ni Luh Karmila Sari
NIM.08021181621064

ABSTRACT
Tarakan Formation at the Tarakan Sub-basin as a part of the Tarakan Basin is the target
area of this study. The Tarakan Formation is composed of sandstones, flakes and coal.
In this case, coal is a source rock and also a reservoir of Coal Bed Methane (CBM).
This research uses 3D PSTM (Post-Stack Time Migration) seismic data and 1 well (NI
well) data. To identify the prospect of CBM distribution, the seismic inversion method
has conducted using a model-based type of acoustic impedance inversion. This model-
based inversion uses a soft constraint technique with a high correlation between
synthetic seismogram and actual seismic in rate number 0,97312 and an error rate
0,236786. The inversion produces an acoustic impedance distribution map showing
possibility of the coal reservoir distribution prospect from CBM in the target zone. The
inversion results show that the coal reservoir is at a low acoustic impedance to its
surroundings, ranging from 2100-5900 (m/s)*)(g/cc) around the NI well in the target
zone located at 190 ms below the Tarakan Formation.

Keyword: Coal Bed Methane, seismic inversion, acoustic impedance, model-based


inversion, Tarakan Basin.
Indralaya, April 2020
Menyetujui,

vii
DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN................................................................................................i
MOTTO DAN PERSEMBAHAN ....................................................................................ii
KATA PENGANTAR .....................................................................................................iii
ABSTRAK ....................................................................................................................... vi
ABSTRACT ....................................................................................................................vii
DAFTAR ISI ..................................................................................................................viii
DAFTAR GAMBAR ........................................................................................................ x
DAFTAR TABEL ............................................................................................................ xi
BAB I PENDAHULUAN ................................................................................................. 1
1.1. Latar Belakang ................................................................................................... 1
1.2. Rumusan Masalah .............................................................................................. 2
1.3. Tujuan Penelitian ................................................................................................ 2
1.4. Batasan Masalah ................................................................................................. 2
1.5. Manfaat Penelitian .............................................................................................. 3
BAB II DASAR TEORI .................................................................................................... 4
2.1. Fisiografi Regional Cekungan Tarakan .............................................................. 4
2.2. Stratigrafi Regional Cekungan Tarakan ............................................................. 5
2.3. Tektonik Regional Cekungan Tarakan ............................................................. 10
2.4. Coal Bed Methane (CBM) ............................................................................... 12
2.5. Well Logging .................................................................................................... 15
2.6. Metode Seismik Refleksi.................................................................................. 18
2.7. Komponen Seismik Refleksi ............................................................................ 18
2.8. Inversi Seismik ................................................................................................. 21
2.9. Inversi Model Based ......................................................................................... 21
BAB III METODOLOGI PENELITIAN ........................................................................ 23
3.1. Waktu dan Tempat Penelitian .......................................................................... 23
3.2. Kegiatan Pelaksanaan Penelitian ...................................................................... 23
3.4. Data Penelitian ................................................................................................. 23
3.5. Pengolahan Data ............................................................................................... 25
3.6. Analisis Data Log ............................................................................................. 26
3.7. Tahap Interpretasi Seismik ............................................................................... 28

viii
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ........................................................................ 32
4.1. Hasil Interpretasi Litologi dan Zona Prospek CBM ......................................... 32
4.2. Hasil Well Seismic Tie ...................................................................................... 34
4.3. Analisis Hasil Picking Fault dan Horizon ........................................................ 35
4.4. Peta Struktur Waktu ......................................................................................... 37
4.5. Analisis Hasil Crossplot ................................................................................... 38
4.6. Analisis Hasil Inversi Impedansi Akustik Model-based .................................. 40
4.7. Analisis Hasil Slice Sebaran Coal Bed Methane .............................................. 43
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN .......................................................................... 45
5.1. Kesimpulan ....................................................................................................... 45
5.2. Saran ................................................................................................................. 45
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................................... 46
LAMPIRAN ....................................................................................................................xii

ix
DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1. Peta Wilayah Cekungan Tarakan yang terbagi menjadi empat sub-
cekungan, yaitu Tidung, Tarakan, Berau dan Muara........................................................4
Gambar 2.2. Kolom Stratigrafi Cekungan Tarakan ........................................................ 10
Gambar 2.3. Elemen tektonik di Cekungan Tarakan ...................................................... 12
Gambar 2.4. Polaritas menurut ketetapan Society of Exploration Geophysics (SEG) (a)
fase minimum (b) fase nol .............................................................................................. 20
Gambar 3.1. Contoh Data Sumur NI............................................................................... 24
Gambar 3.2. Contoh data Seismik 3D Post-Stack Time Migration.................................25
Gambar 3.3. Contoh tampilan kurva-kurva log pada Sumur NI.....................................27
Gambar 3.4. Diagram alir penelitian ............................................................................... 31
Gambar 4.1. Zona Prospek CBM .................................................................................... 33
Gambar 4.2.Wavelet use well hasil ekstraksi dari Sumur NI .......................................... 34
Gambar 4.3. Hasil well seismic tie pada sumur NI dengan nilai koefisien korelasi
sebesar 0,779 dan time shift 0..........................................................................................35
Gambar 4.4. Picking fault dan horizon inline 2253 yang melewati Sumur NI pada
penampang seismik..........................................................................................................36
Gambar 4.5. Peta Struktur Waktu ................................................................................... 37
Gambar 4.6. Analisis Crossplot antara log P-impedance terhadap log Gamma Ray pada
Sumur NI..........................................................................................................................39
Gambar 4.7. Cross-section Hasil Crossplot Log Gamma Ray terhadap Log Impedansi
Akustik.............................................................................................................................39
Gambar 4.8. Model Inisial...............................................................................................40
Gambar 4.9. Analisis pre-inversi model-based pada Sumur NI......................................41
Gambar 4.10. Hasil Inversi Impedansi Akustik pada Inline 2253 yang melewati Sumur
NI.....................................................................................................................................42
Gambar 4.11. Peta Horizon slice sebaran impedansi akustik pada batubara...................44

x
DAFTAR TABEL

Tabel 2.1. Perbedaan Gas Konvensional dengan Coal Bed Methane (CBM) ................ 13

Tabel 3.1. Jadwal Kegiatan Pelaksanaan Penelitian........................................................23

xi
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Indonesia merupakan negara berkembang yang mempunyai kebutuhan minyak
bumi yang cukup besar untuk sektor transportasi dan industri, akibatnya jumlah
cadangan minyak bumi menurun (Hamdiana dkk., 2012). Menurunnya cadangan
minyak bumi tersebut, memberikan suatu gagasan baru untuk memanfaatkan energi
alternatif lainnya. CBM (Coal Bed Methane) merupakan salah satu sumber energi
alternatif, maka dari itu dilakukan penelitian ini untuk mengidentifikasi prospek sebaran
dari CBM sebagai pengganti minyak bumi. CBM adalah batubara yang di dalamnya
terdapat gas metan, sehingga apabila terdapat lapisan batubara, gas metan tersebut
masih bisa diproduksi secara kontinu. Lapisan batubara yang baik sebagai reservoir
CBM terletak di bawah permukaan bumi pada kedalaman 500-1500 meter (Pahlevi
dkk., 2015).
Di Indonesia potensi cadangan CBM diperkirakan mencapai 337 TCF (Trilliun
Cubic Feet) yang tersebar di antara 11 cekungan batubara, salah satunya yaitu terdapat
di Cekungan Tarakan sebesar 20 TCF (Haris dkk., 2017). Namun, pada penelitian ini
hanya terfokus pada Formasi Tarakan yang merupakan Sub-cekungan Tarakan bagian
dari Cekungan Tarakan, Kalimantan Timur. Menurut kutipan dari Hamdiana dkk,
(2012) jumlah cadangan batubara yang terdapat pada Formasi Tarakan/Sajau
diperkirakan mencapai 225.000.000 ton dengan total ketebalannya sebesar 90 meter.
Jenis batubara pada formasi ini menunjukkan batubara jenis lignit. Dalam hal ini dapat
diindikasikan bahwa adanya gas metan yang terdapat di dalam batubara (CBM) dengan
prospek yang cukup besar.
Untuk mengidentifikasi prospek sebaran CBM digunakan metode inversi
impedansi akustik. Secara fisis batubara merupakan source rock sekaligus reservoar dari
CBM yang memiliki densitas dan kecepatan yang rendah sehingga kontras nilai
impedansi akustik pada batubara terhadap sekelilingnya akan dapat diidentifikasi
dengan menggunakan metode inversi impedansi akustik. Metode tersebut merupakan
metode seismik inversi. Metode seismik inversi dapat didefinisikan sebagai suatu teknik
untuk memperoleh model geologi bawah permukaan dengan data input-nya adalah data
seismik dan data pengontrolnya adalah data sumur (Sukmono, 2007). Model inversi

1
impedansi akustik merupakan salah satu atribut seismik yang dapat digunakan untuk
mengidentifikasi suatu reservoar yang mudah memperlihatkan batas-batas
perlapisannya dengan jelas dibandingkan seismic section.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Hamdiana, dkk (2012) metode inversi
impedansi akustik jenis model-based dengan teknik soft constraint dapat digunakan
untuk mengidentifikasi prospek sebaran reservoar CBM, yakni batubara. Metode
tersebut menunjukkan nilai error yang kecil dan korelasi yang besar antara trace
seismic sebenarnya dengan seismogram sintetik. Sehingga pada penelitian ini, metode
inversi impedansi akustik jenis model-based yang akan diterapkan untuk
mengidentifikasi prospek sebaran CBM pada Formasi Tarakan Sub-cekungan Tarakan
di Area “PDS” Cekungan Tarakan.

1.2. Rumusan Masalah


Cekungan Tarakan terdapat beberapa formasi salah satunya yaitu Formasi
Tarakan. Formasi tersebut terdapat coal yang mempunyai prospek sebagai CBM.
Berdasarkan sifat fisik, coal merupakan batuan yang porous dengan densitas yang kecil
atau bahkan sangat kecil (low density). Sehingga masalah yang dibahas pada penelitian
ini adalah bagaimana prospek sebaran CBM menggunakan metode Acoustic Impedance
berdasarkan kontras densitas coal dengan batuan sekitarnya di Formasi Tarakan ?

1.3. Tujuan Penelitian


Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi prospek sebaran CBM
berdasarkan kontras densitas coal dengan batuan sekitarnya menggunakan metode
Acoustic Impedance di Formasi Tarakan.

1.4. Batasan Masalah


Adapun permasalahan dalam peneltian ini dibatasi dengan menggunakan metode
inversi impedansi akustik jenis model based yang akan digunakan untuk
mengidentifikasi prospek sebaran CBM pada Formasi Tarakan dengan hasil akhir
berupa peta sebaran impedansi akustik pada batubara terhadap batuan sekitarnya. Dalam
structure map, peta yang digunakan yaitu time structure map dengan dilakukannya
picking horizon pada top dan bottom formasi yaitu Formasi Tarakan dan Formasi Tabul
pada penampang seismik. Data seismik yang digunakan adalah seismik 3D Post-Stack

2
Time Migration. Data sumur yang digunakan meliputi 1 data sumur saja yakni Sumur
NI.

1.5. Manfaat Penelitian


Manfaat dari penelitian ini diharapkan dapat mengidentifikasi dengan baik
mengenai adanya prospek sebaran CBM dengan menggunakan metode inversi
impedansi akustik jenis model-based pada Formasi Tarakan khususnya di Area “PDS”
yang merupakan sub-cekungan Tarakan bagian dari Cekungan Tarakan, Kalimantan
Timur.

3
BAB II
DASAR TEORI
2.1. Fisiografi Regional Cekungan Tarakan
Cekungan Tarakan berada pada bagian Timur Laut dari Pulau Kalimantan dengan
luas mencapai 68.000 km2. Pada bagian Utara dari cekungan ini dibatasi oleh Tinggian
Sampurna, di bagian Barat dibatasi oleh Tinggian Berau dan Sekatak, dan di bagian
Timur dibatasi oleh Selat Makasar. Sementara di bagian Selatan, cekungan ini dibatasi
oleh Tinggian Mangkalihat yang memisahkannya dengan Cekungan Kutai (Satyana
dkk., 1999). Cekungan Tarakan ini secara umum terbagi menjadi empat sub-cekungan,
yaitu Sub-cekungan Tidung di bagian Barat Laut, Sub-cekungan Berau di bagian Barat
Daya, Sub-cekungan Muara di bagian Tenggara, dan Sub-cekungan Tarakan di bagian
Timur Laut (Achmad dan Samuel, 1984). Tinggian Suikerboard yang terbentuk pada
Oligosen Akhir memisahkan antara Sub-cekungan Muara dengan Sub-cekungan Berau
serta Tinggian Sekatak memisahkan antara Sub-cekungan Berau dengan Sub-cekungan
Tidung. Sementara itu Sub-cekungan Tarakan berkembang hingga lepas pantai. Daerah
penelitian termasuk ke dalam beberapa area Coal Bed Methane (CBM) yang termasuk
ke dalam kawasan Sub-cekungan Tarakan. (Gambar 2.1) (Suwarna dkk., 2006).

Area “PDS”

Gambar 2.1. Peta wilayah Cekungan Tarakan yang terbagi menjadi empat
cekungan, yaitu Tidung, Tarakan, Berau dan Muara (Suwarna dkk.,
2006).

4
2.2. Stratigrafi Regional Cekungan Tarakan
Menurut Heriyanto dkk., (1992) membagi stratigrafi Cekungan Tarakan menjadi
lima siklus sedimentasi dimana terdapat ketidakselarasan pada pre-tersier dan batuan
dasar. Berikut adalah penjelasan dari masing-masing siklus sedimentasi tersebut.

2.2.1. Batuan Dasar (Kapur-Eosen Tengah)


Batuan dasar ekonomis terdiri dari sedimen berumur tua yang mengisi Cekungan
Tarakan. Batuan-batuan yang tidak dapat menghasilkan CBM tersebut adalah Formasi
Danau, Formasi Sembakung, dan Batulempung Malio. Batuan tersebut telah
terkompaksi, terlipatkan, dan tersesarkan secara intensif. Formasi tertua adalah Formasi
Danau yang terdiri atas kuarsit, batu sabak, serpih, filit, rijang radiolariaan, dan breksi
serpentinit. Secara tidak selaras di atas Formasi Danau terendapkan sedimen klastik dan
vulkaniklastik Formasi Sembakung yang berumur Paleosen/Eosen Awal. Kemudian
setelah itu terendapkan Batulempung Malio Eosen Tengah yang terdiri batulempung
karbonan dan banyak mengandung fosil.

2.2.2. Siklus-1 (Eosen Akhir – Oligosen)


Sedimen pada siklus-1 terdiri atas Formasi Sujau, Formasi Seilor, dan Formasi
Mangkabua. Ketiga formasi tersebut menumpang secara tidak selaras di atas batuan
dasar.

a. Formasi Sujau
Sedimen berumur Eosen Akhir diwakili oleh Formasi Sujau yang terendapkan
secara tidak selaras di atas formasi lebih tua. Formasi ini tersusun atas sedimen klastik
berukuran kasar (konglomerat, batupasir, dan vulkaniklastik). Lapisan batubara, sisipan
tipis batugamping, dan napal umum ditemukan. Ketebalan di bawah permukaan
Formasi Sujau antara 300 m - 450 m dengan lebih dari 80 m berupa batupasir.

b. Formasi Seilor
Formasi Seilor secara dominan tersusun atas batugamping mikritik dan secara
tidak selaras terendapkan di atas Formasi Sujau. Batuan formasi ini membentuk
carbonate platform dan tersebar luas di Cekungan Kalimantan Timur. Secara lokal pada

5
formasi ini ditemukan pula batugamping dolomitik. Kehadiran Nummulites, Eulepidina,
dan Lepidocyclina mengindikasikan umur Oligosen Awal (Achmad dan Samuel, 1984).
Ketebalan batugamping bervariasi antara 100 m – 500 m.

c. Formasi Mangkabua
Formasi Mangkabua tersusun atas napal masif dan tebal yang memiliki kontak
gradasional dengan Formasi Seilor di bawahnya. Marks dikutip dalam Achmad dan
Samuel (1984) mengemukakan bahwa pada formasi ini, hadir Nummulites fichteli yang
mengindikasikan umur Oligosen.

2.2.3. Siklus-2 (Oligosen Akhir – Miosen Tengah)


Sedimen siklus-2 terendapkan di atas sedimen siklus-1 secara tidak selaras
umumnya merupakan hasil sekuen trangresif dan hanya sedikit terkena tektonik. Siklus-
2 tersusun atas Formasi Tempilan, Formasi Tabalar dan Formasi Naintupo.

a. Formasi Tempilan
Formasi Tempilan tersusun atas lapisan tipis batupasir, tuf, serpih dan batubara
secara bergantian yang diendapkan secara tidak selaras di atas Formasi Mangkabua.
Formasi ini berumur Oligosen Akhir dengan ketebalan berkisar antara 45 m - 270 m.

b. Formasi Tabalar
Formasi batugamping Tabalar merepresentasikan suatu carbonate platform.
Formasi ini tersusun oleh batugamping mikritik yang berumur Oligosen Akhir – Miosen
Awal. Formasi ini diendapkan selaras di atas Formasi Tempilan dan di beberapa bagian
memiliki kontak tidak selaras dengan Formasi Seilor.

c. Formasi Naintupo/Formasi Birang


Batugamping Tabalar berubah menjadi serpih dan napal serta beberapa lapisan
batugamping secara gradual. Sekuen batugamping tersebut kaya akan foraminifera
planktonik yang mencirikan lingkungan pengendapan laut terbuka. Sekuen ini disebut
Formasi Birang di bagian Selatan cekungan dan disebut Formasi Naintupo di bagian
Utara cekungan. Kehadiran foraminifera planktonik di salah satu sumur di Sub-

6
cekungan Berau menunjukkan umur N9 – N10 (Tf Tengah). Ketebalan formasi ini
bervariasi yaitu 200 m – 400 m tetapi di Sub-cekungan Tarakan meningkat menjadi 600
m – 800 m.

2.2.4. Siklus-3 (Miosen Tengah – Miosen Akhir)


Sedimen siklus-3 tersusun atas sekuen regresif delta yang terbentuk setelah
tektonisme Miosen Awal. Siklus sedimentasi dapat dibagi menjadi tiga formasi yaitu
Formasi Latih/Meliat, Formasi Menumbar, Formasi Tabul, dan Formasi Santul.

a. Formasi Latih/Formasi Meliat


Formasi Latih diketahui dari singkapan yang terdapat di Sub-cekungan Berau.
Formasi ini diperkirakan terendapkan pada lingkungan delta, tersusun atas 900 m –
1100 m batupasir kasar dengan struktur silang siur, serpih karbonan, dan batugamping
tipis. Kehadiran foraminifera besar pada formasi ini menunjukkan umur Tf Tengah – Tf
Akhir (Miosen Tengah).
Satuan litologi yang ekuivalen di Sub-cekungan Tidung dan Sub-cekungan
Tarakan disebut Formasi Meliat. Kompleks delta Latih dan Meliat ke arah tengah
cekungan dan ke atas berubah menjadi serpih, napal, dan perselingan batugamping.
Formasi Meliat merepresentasikan formasi terdalam yang mampu ditembus sumur
pemboran di Pulau Bunyu, walaupun belum sepenuhnya tertembus. Berdasarkan data
sumur di Sub-cekungan Tarakan, formasi Meliat tersusun atas batulempung, serpih, dan
batulanau dengan lensa-lensa batupasir dimana sebagian telah tererosi terutama di Sub-
cekungan Tidung pada pengangkatan Miosen Akhir. Ketebalan total formasi ini ± 500
m dengan ketebalan batulempung mencapai 30 m, sementara lapisan maksimal
batupasir hanya 0,5 m – 2 m. Batupasir Bagian atas formasi ini memiliki kontak
gradasional dengan Formasi Tabul.

b. Formasi Menumbar
Formasi Menumbar disusun oleh batulempung karbonatan, napal, dan
batugamping di Sub-cekungan Muara. Nama Menumbar dikenalkan oleh Buchan dkk.
pada 1971 untuk mengindikasikan sedimen laut berumur Miosen Tengah – Miosen
Akhir. Di sub-cekungan Muara sedimen terendapkan secara tidak selaras di atas

7
Formasi Birang. Semakin ke atas, formasi ini secara gradual berkembang menjadi
batugamping mikritik. Di Timur Laut Sub-cekungan Tarakan bagian bawah Formasi
Menumbar terendapkan seperti lapisan batugamping yang ekuivalen dengan Formasi
Tabul di barat Sub-cekungan Tarakan dan Sub-cekungan Tidung.

c. Formasi Tabul
Nama Tabul pertama kali digunakan oleh Leopold pada tahun 1928 untuk
menunjukkan sekuen sedimentasi berumur Miosen Tengah – Miosen Akhir yang
ditemukan di singkapan Sub-cekungan Tidung. Formasi Tabul tersusun atas batupasir,
batulanau, dan sisipan batulempung serta muncul di Sub-cekungan Tarakan dan
sebagian Sub-cekungan Tidung secara lokal. Di beberapa sumur hadir limestone
stringer. Batulempung memiliki ketebalan 5 m – 20 m, sedangkan batupasir hanya
memiliki ketebalan maksimal 10 m. Ketebalan total formasi ini 1300 m - 2000 m.
Secara regional, formasi ini terbentuk dari delta progradasi yang mengarah ke Timur
dan memiliki kontak selaras dengan Formasi Meliat di bawahnya. Batas dengan
Formasi Santul yang berada di atasnya berupa kontak gradasional yang dicirikan oleh
kehadiran lapisan batubara tipis yang termasuk Formasi Santul.

d. Formasi Santul
Menurut Baggelaar dikutip dalam Achmad dan Samuel (1984) bagian atas
Formasi Tabul dapat diidentifikasi sebagai satuan terpisah dan disebut sebagai Formasi
Santul. Saat ini nama Formasi Santul digunakan untuk mengidentifikasi batupasir,
serpih, dan sisipan batubara berumur Miosen Akhir yang merupakan endapan delta
front hingga delta plain di Subcekungan Tarakan. Formasi Santul memiliki ketebalan
total 200 m - 600 m. Sisipan batubara tipis dengan tebal 1 m – 2 m terendapkan di
lingkungan delta plain hingga delta front pada Miosen Akhir. Ke arah tengah cekungan,
baik Formasi Tabul maupun Formasi Santul secara lateral berubah menjadi serpih,
napal, dan batugamping fasies prodelta atau laut terbuka yang ekuivalen dengan bagian
atas Formasi Menumbar di Sub-cekungan Muara.

8
2.2.5. Siklus-4 (Pliosen)
Siklus sedimentasi Pliosen ini terdiri dari dua formasi yaitu Formasi
Sajau/Tarakan dan Formasi Domaring.

a. Formasi Sajau/Tarakan
Formasi ini disebut sebagai Formasi Sajau di Sub-cekungan Muara dan Sub-
cekungan Berau dan disebut sebagai Formasi Tarakan di Sub-cekungan Tidung dan
Sub-cekungan Tarakan yang tersusun atas batupasir, perselang-selingan serpih dan
batubara berumur Pliosen. Dalam hal ini Formasi Tarakan yang menjadi target
penelitian yang memiliki ketebalan total 1000 m – 1700 m yang dicirikan oleh
peningkatan jumlah batupasir dan lapisan batubara (Achmad dan Samuel, 1984).

b. Formasi Domaring
Di Sub-cekungan Berau, di bagian barat Sub-cekungan Muara, di Daerah
Mangkalihat terendapkan fasies carbonate platform yang disebut sebagai Formasi
Domaring. Fasies ini berubah menjadi napal dan serpih yang terendapkan pada
lingkungan neritik luar.

2.2.6. Siklus-5 (Kuarter/Pleistosen)


Sedimen kuarter siklus-5 merupakan Formasi Bunyu dan Formasi Waru. Formasi
Bunyu ditemukan di Sub-cekungan Tarakan yang tersusun atas batupasir, serpih, dan
sisipan lignit. Formasi ini diendapkan pada fase transgresi Pleistosen dan menunjukkan
lingkungan pengendapan delta plain-fluvial. Di bagian selatan cekungan formasi yang
ekuivalen dengan Formasi Bunyu disebut sebagai Formasi Waru. Formasi ini
terendapkan di lingkungan laut dangkal dan tersusun atas napal dan perselingan
batugamping (Achmad dan Samuel, 1984).

9
Secara ringkas, urutan kolom stratigrafi Cekungan Tarakan dapat terlihat pada
Gambar 2.2. berikut ini.

Gambar 2.2. Kolom Stratigrafi Cekungan Tarakan (Heriyanto dkk., 1992).

2.3. Tektonik Regional Cekungan Tarakan


Pembentukan Cekungan Tarakan dan proses pengendapan pada cekungan ini
tidak terlepas dari gejala tektonik yang ada. Secara umum, sejarah tektonik cekungan ini
dibagi menjadi 3 fase tektonik yaitu sebagai berikut.

a. Fase Tektonik Eosen Tengah – Miosen Tengah


Menurut Hamilton dikutip dalam Lentini dan Darman (1996) pembentukan
Cekungan Tarakan pada akhir Eosen Tengah bersamaan dengan pembentukan Selat
Makasar yang disebabkan oleh rifting Sulawesi Utara dan Sulawesi Barat dari
Kalimantan Timur. Fase tektonik ekstensi dan subsiden terjadi selama Eosen Tengah
hingga Eosen Akhir dan berakhir pada akhir Miosen Awal. Fase ekstensi membuka

10
Cekungan Tarakan ke arah Timur yang ditandai dengan kehadiran enechelon block fault
yang berarah ke Timur.

b. Fase Tektonik Miosen Tengah - Pliosen


Pada fase tektonik Miosen Tengah hingga Pliosen ini Cekungan Tarakan
cenderung stabil dengan pengendapan di lingkungan delta. Selama fase ini, kombinasi
subsiden cekungan dan induksi gravitasi membentuk listric faulting (growth faults)
yang menyebabkan penambahan ruang akomodasi sehingga meningkatkan volume
sedimen delta pengisi cekungan. Growth faults berkembang intensif di Sub-cekungan
Tarakan. Sesar memiliki trend arah Utara-Selatan di bagian Selatan cekungan dan
berubah lebih ke arah Timur Laut di bagian Utara Pulau Bunyu. Perubahan orientasi
tersebut berhubungan dengan bagian tepi dari depocentre ke arah Utara pada Plio-
Pleistosen.

c. Fase Tektonik Pliosen - Resen


Fase tektonik terakhir ini merupakan reaktivasi pergerakan transform sepanjang
wrench fault yang memotong Selat Makasar dan dimulai sejak Pliosen hingga saat ini.
Terdapat tiga zona wrench fault dekstral mayor dan beberapa wrench fault minor
ditemukan di Cekungan. Zona sesar Sampurna adalah wrench fault yang berada di
paling Utara yang memisahkan produk vulkanik Sampurna Peninsula dari sedimen
Neogen di Pulau Sebatik. Zona sesar Maratua muncul sebagai zona kompleks
transpressional. Zona ini membentuk batas antara Sub-cekungan Tarakan dengan Sub-
cekungan Muara. Wrench fault besar ketiga membentuk batas paling selatan Sub-
cekungan Muara, sepanjang pantai Utara Mangkalihat Peninsula. Sesar ini merupakan
sesar ekstensional Palu-Koro di Sulawesi.
Transpressional selama fase ini membentuk lipatan menunjam besar. Lima lipatan
besar mendominasi bagian Barat dengan urutan dari Utara ke Selatan disebut Sebatik,
Ahus, Bunyu, Tarakan, dan Latih. Umur proses kompresi yang terjadi menjadi lebih
muda ke arah Utara dan seumur tetapi terpisah dari sistem ekstensional di Timur.
Intensitas lipatan meningkat ke arah Utara. Di beberapa tempat kompresi tersebut
menyebabkan inversi pada sesar turun menjadi sesar naik.

11
2.3. Elemen tektonik di Cekungan Tarakan (Lentini dan Darman, 1996).

2.4. Coal Bed Methane (CBM)


Coal Bed Methane (CBM) atau Gas Metana Batubara (GBM) adalah natural gas
yang di produksi oleh lapisan batubara, yakni mengandung 90 % gas metana (CH4) dan
10 % gas lainnya seperti carbon dioksida (CO2) & nitrogen (N2) dan air (H2O). Gas
terproduksi biasanya mempunyai laju dan tekanan yang rendah. Gas metana batubara
terbentuk akibat dari proses biologi dan proses thermal. Gas metana batubara sebanyak
90% terkonsentrasi di dalam matriks batubara, sedangkan 10% sisanya teradsorpsi di
dalam rekahan batubara (cleat) atau terlarut dalam air yang terjebak di dalam rekahan di
dinding. Metana yang muncul ke permukaan batubara akan di lepaskan, gas methane

12
akan mengalir ke rekahan dan sampai ke sumur bor atau bermigrasi ke permukaan. Gas
metana di batubara dapat berupa gas bebas, gas terlarut di dalam air dan batubara atau
gas yang meresap di permukaan batubara (Djohor dan Pramudito, 2017). Coal Bed
Methane merupakan salah satu gas bumi yang berdasarkan proses pembentukannya
dikategorikan sebagai gas hidrokarbon non-konvensional, dibandingkan dengan
pembentukan gas hidrokarbon yang lain. Gas ini terbentuk secara alami bersamaan
dengan proses pembentukan batubara (coalification) dan peatification (Santosa, 2013).
Terdapat beberapa perbedaan mendasar antara reservoir CBM dengan reservoir
gas alam konvensional. Diantaranya adalah reservoir CBM dengan batubara sebagai
source rock sekaligus reservoir. Reservoir CBM memiliki ukuran pori-pori yang lebih
kecil yaitu berkisar antara < 5 Å - 50 Å. Gas metana yang berada di dalam reservoir ini
juga tersimpan tidak seperti gas alam pada umumnya, melainkan teradsorpsi pada
permukaan dalam dari mikropori matriks batubara. Oleh karena itu, aliran gas yang
terjadi di dalam matriks batubara merupakan aliran secara difusi dan berupa aliran
Darcy di bagian rekahannya. Keadaan ini mengakibatkan beberapa perbedaan pada pola
produksinya. Perbandingan lainnya disampaikan pada Tabel 2.1.
Tabel 2.1. Perbedaan Gas Konvensional dengan Coal Bed Methane (CBM)
(Santosa, 2013).
Gas Konvensional Coal Bed Methane (CBM)
Gas mengalir sesuai dengan hk. Dengan difusi, melewati mikropori
Darcy ke lubang sumur sesuai dengan hk. Ficks, kemudian
mengalir sesuai dengan hk. Darcy
melewati rekahan
Gas tersimpan pada makropori Gas menempel pada permukaan
mikropori
Ukuran pori 1 µ - 1 mm Ukuran pori sebesar < 5 Å - 50 Å
Memiliki reservoir dan source Reservoir dan source rock adalah satu
rock yang berdiri sendiri kesatuan
Reservoir inorganik Reservoir organik

13
Aliran yang terjadi di matriks hanya aliran gas dimana air tidak dapat mengalir
karena ukuran pori batuan yang sangat kecil. Aliran gas yang terjadi pun bukan
merupakan aliran Darcy, tetapi aliran secara difusi. Aliran metana dari matriks ke cleat
ini mengikuti hukum Fick yang menyatakan bahwa pergerakan gas yang terjadi pada
matriks akibat perbedaan gradien konsentrasi, dimana persamaan tersebut lalu
dikembangkan oleh King dan Ertekin menjadi: (2.1)
𝑑𝑉𝑖
= −𝐷𝑖 𝑎(𝑉𝑖 − 𝑉𝐸 )
𝑑𝑡
1
Untuk 𝜏 = 𝐷 𝑎 sebagai konstanta waktu persamaan 2.1 menjadi:
𝑖

𝑑𝑉𝑖 1
= − 𝜏 (𝑉𝑖 − 𝑉𝐸 ) (2.2)
𝑑𝑡

Gas yang berasal dari matriks akan menuju ke cleat dan akan mengalir sepanjang
cleat. Persamaan aliran ini mengikuti persamaan Darcy sama seperti gas konvensional
pada periode pseudo steady state, dengan asumsi pengaruh tekanan telah mencapai
batas dan tidak ada aliran dari outer boundary. Persamaan Darcy aliran radial untuk gas
menggunakan konsep pseudo pressure:
𝑘𝑔 ℎ[𝑚(𝑃)−𝑚(𝑃𝑤𝑓 )]
𝑞𝑔 = 𝑟 3
(2.3)
(1422)𝑇[𝑙𝑛 𝑒 +𝑠]
𝑟𝑤 4

Selain gas, di dalam cleat juga terdapat air. Ketika diproduksikan, air akan
bergerak sepanjang cleat dan menuju lubang sumur. Persamaan aliran untuk air
merupakan persamaan Darcy. Pada periode yang sama dengan gas yaitu periode pseudo
steady state, persamaan Darcy untuk air sebagai berikut:
𝑘𝑤 ℎ[𝑃−𝑃𝑤𝑓 ]
𝑞𝑤 = 𝑟 3 (2.3)
141.2 𝜇𝑤 𝐵𝑤 𝑇[𝑙𝑛 𝑒 +𝑠]
𝑟𝑤 4

(Syufyan, 2009).
Karakteristik reservoir GMB memiliki perbedaan yang mendasar dibandingkan
dengan sistem gas konvensional. Pada sistem GMB, batubara berfungsi sebagai batuan
sumber (source rock) sekaligus sebagai reservoir gas. Batubara merupakan media
berpori yang anisotropik dan heteregenous yang dicirikan oleh adanya dua sistem
porositas yang berbeda (dual-porosity) yaitu macropores dan micropores. Macropores
yang dikenal juga sebagai cleat yang umum dijumpai pada lapisan batubara, sedangkan
micropore atau matrik adalah sebagai ruang simpan utama gas. Karakteristik yang unik
tersebut membuat GMB diklasifikasikan sebagai tipe sumber gas nonkonvensional.

14
Batubara mempunyai kemampuan menampung gas lebih besar 3 - 4 kali dari pada
reservoir konvensional. Hal tersebut disebabkan karena batubara mempunyai luas
permukaan yang besar, yaitu 2.150 - 3.150 ft2/gr. Gas yang tersimpan pada batubara
teradsorbsi pada luasan permukaan molekul batubara dan pada cleat batubara.
Kandungan gas pada batubara merupakan volume gas yang tersimpan dalam batubara
untuk tiap satuan massa batubara. Kandungan gas analogi dengan saturasi gas pada
reservoir gas konvensional yang terimplementasi pada rumus perhitungan volume gas.
Gas yang terkandung dalam batubara merupakan hasil dari coalification dan merupakan
fungsi dari rank batubara yang menunjukkan bahwa rank batubara bituminous
merupakan rank batu bara yang paling tinggi volume pembentukan gasnya (Rahmad
dkk., 2018).

2.5. Well Logging


Log adalah suatu grafik dalam satuan kedalaman atau waktu dari satu set kurva
yang menunjukkan parameter yang diukur secara berkesinambungan di dalam sebuah
sumur. Untuk mengukur sifat-sifat fisik batuan di dalam sumur kita menurunkan alat
pengukurnya yang disebut sonde atau log. Masing-masing log mengukur sifat-sifat
tertentu dari batuan sekitarnya dan memiliki karakteristik masing-masing.
Ada 4 (empat) jenis log yang sering digunakan dalam interpretasi yaitu :
- Log listrik, terdiri dari log resistivitas (mengukur tahanan jenis) dan log SP
(Spontaneous Potential).
- Log Radioaktif, terdiri dari log GR (Gamma Ray) dan Log Porositas terdiri dari log
densitas (RHOB) dan log neutron (NPHI).
- Log Akustik berupa log sonic.
- Log Mekanik berupa log caliper.

2.5.1. Log Resistivitas


Log resistivitas atau tahanan jenis adalah kemampuan bahan untuk melewatkan
arus listrik yang mengalir padanya. Bila bahan tersebut mudah mengalirkan arus listrik
maka resistivitasnya rendah dan jika bahan tersebut sukar dialiri arus listrik maka
resistivitasnya tinggi. Kegunaan utama dari log resistivitas adalah untuk mengukur
resistivitas dari formasi batuan. Suatu formasi yang mengandung sally water (air asin),

15
maka respon resistivitasnya akan rendah, berbeda dengan formasi yang sama namun
yang terkandung adalah hidrokarbon, maka akan memberikan respon yang tinggi.
Secara umum log resistivitas ini dapat digunakan dalam beberapa analisis diantaranya
analisis saturasi fluida, lithologi, dan lain-lain (Arohman, 2016).

2.5.2. Log Caliper


Log caliper menunjukan besar diameter lubang sumur, yang ideal caliper sama
besar dengan bit size. Pada kondisi ini lubang sumur bagus, pengaruh lumpur terhadap
pembacaan pad tool tidak ada. Bila caliper lebih kecil dari bit size, maka ini
menandakan adanya mud cake pada dinding lubang sumur. Bila caliper lebih besar dari
bit size, maka dinding lubang sumur mengalami kerusakan (runtuh, eroded,dll). Ini akan
mempengaruhi pembacaan pad tools, yaitu density log dan log MSFL, dimana densitas
dan MSFL akan membaca formasi dan mud. Interpretasi harus dimulai dengan
mempelajari kurva caliper (Adyendra, 2011).

2.5.3. Log Gamma Ray


Log gamma ray merupakan suatu rekaman nilai dari radioaktifitas alamiah
formasi batuan, terutama radiasi yang dihasilkan oleh keberadaan unsur uranium,
thorium dan potasium alami. Sebagian besar batuan mempunyai radioaktivitas tinggi,
baik batuan beku, metamorf dan sedimen. Diantara batuan sedimen-sedimen tersebut,
batulempung mempunyai nilai radioaktifitas paling tinggi tetapi tidak semua
batulempung mempunyai sifat radioaktif dan tidak semua batuan yang mempunyai sifat
radioaktif tinggi adalah batulempung. Sehingga secara umum pada kurva log GR zona
lempung akan menunjukkan nilai tinggi. Kuarsa, sebagai komponen dasar penyusun
batuan sedimen tidak menunjukkan adanya radioaktivitas dan menyebabkan nilai kurva
log GR rendah seperti dijumpai pada batupasir (Toisuta, 2011).
Log GR dinyatakan dalam satuan API (GAPI). Log gamma ray berguna untuk
mendefinisikan lapisan permeabel disaat SP tidak berfungsi, penentuan lithologi,
estimasi batas lapisan, korelasi antar sumur dan lain-lainnya.

16
2.5.4. Log Densitas
Prinsip kerja log ini adalah memancarkan sinar gamma energi menengah kedalam
suatu formasi sehingga akan bertumbukan dengan electron-elektron yang ada.
Tumbukan tersebut akan menyebabkan hilangnya energi sinar gamma yang kemudian
dipantulkan dan diterima oleh detektor yang akan diteruskan untuk direkam ke
permukaan. Hal ini mencerminakan fungsi dari harga rata-rata kerapatan batuan.
Kegunaan dari Log Densitas yang lain adalah menentukan harga porositas batuan,
mendeteksi adanya gas, menentukan densitas batuan dan hidrokarbon serta bersama-
sama log neutron dapat digunakan untuk menentuan kandungan lempung dan jenis
fluida batuan.

2.5.5. Log Neutron


Tingkat konsentrasi Hidrogen di setiap formasi berbeda (disebut dengan
Hydrogen Index = HI) dan berdasarkan hal ini neutron log bekerja. Neutron log dapat
dijadikan indikator porositas pada limestone, neutron porosity merupakan porositas
sesungguhnya pada batuan ini, tapi pada batuan yang lain diperlukan faktor konversi
tersendiri.

2.5.6. Log Sonik


Log Sonik adalah log yang bekerja berdasarkan kecepatan rambat gelombang
suara. Gelombang suara yang dipancarkan kedalam suatu formasi kemudian akan
dipantulkan kembali dan diterima oleh penerima. Waktu yang dibutuhkan gelombang
suara untuk sampai ke penerima disebut interval transit time. Besarnya selisih waktu
tesebut tergantung pada jenis batuan dan besarnya porositas batuan, sehingga log ini
bertujuan untuk mengetahui porositas suatu batuan dan selain itu juga dapat digunakan
untuk membantu interpretasi data seismik, terutama untuk mengkalibrasi kedalaman
formasi. Log ini bertujuan untuk menentukan jenis batuan terutama evaporit. Pada
batuan yang sarang, maka kerapatannya lebih kecil, sehingga kurva log sonik akan
mempunyai harga besar seperti pada serpih organik atau lignit. Apabila batuan
mempunyai kerapatan yang besar, maka kurva log sonik akan berharga kecil seperti
pada batugamping (Arohman, 2016).

17
2.6. Metode Seismik Refleksi
Metode seismik refleksi adalah sebuah metode geofisika yang merekam
penjalaran gelombang seismik yang dipantulkan dari batas antara kedua buah medium
batuan. Besar gelombang refleksi seismik berhubungan langsung dengan perubahan
impedansi akustik (AI) diantara dua medium batuan tersebut. Semakin besar kontras
antara dua medium tersebut, gelombang refleksinya akan semakin kuat. Seismik refleksi
menggunakan gelombang elastis yang dipancarkan oleh suatu sumber getar yang
biasanya berupa ledakan dinamit (pada umumnya digunakan di darat, sedangkan di laut
menggunakan sumber getar (pada media air menggunakan sumber getar berupa air gun,
boomer atau sparker) Gelombang yang dihasilkan dari ledakan tersebut menembus
sekelompok batuan di bawah permukaan yang nantinya akan dipantulkan kembali ke
atas permukaan melalui bidang reflektor yang berupa batas lapisan batuan. Gelombang
yang dipantulkan ke permukaan ini diterima dan direkam oleh alat perekam yang
disebut geophone (di darat) atau hydrophone (di laut) (Sanjaya dkk., 2014).

2.7. Komponen Seismik Refleksi


Terdapat beberapa komponen seismik refleksi yaitu sebagai berikut:

2.7.1. Impedansi Akustik


Impedansi akustik adalah parameter suatu batuan yang diperoleh dari perkalian
antara densitas dengan kecepatan gelombang seismik. Parameter ini biasanya
dipengaruhi oleh tipe litologi, porositas, cairan, kedalaman, tekanan dan temperatur.
Jadi nilai impedansi akustik dapat digunakan sebagai indikator litologi, porositas dan
karakteristik reservoir. Secara matematis impedansi akustik didefinisikan oleh :
𝐴𝐼 = 𝜌. 𝑣 (2.4)

Keterangan : AI = Acoustic Impedance (m/s)(kg/m3)


𝜌 = densitas batuan (kg/ m3)
v = kecepatan gelombang seismik (m/s) (Musto’in dkk., 2012).
Perubahan nilai AI dapat menandakan perubahan karakteristik batuan seperti
litologi, porositas kekerasan, dan kandungan fluida. AI dapat dianalogikan berbanding
lurus terhadap kekerasan batuan dan berbanding terbalik dengan porositas (Alifudin
dkk., 2016).

18
2.7.2. Koefisien Refleksi
Pemantulan gelombang seismik terjadi disebabkan oleh perubahan AI lapisan.
Perbandingan antara energi yang dipantulkan dengan energi datang pada keadaan
normal adalah :
(𝐴𝐼2 −𝐴𝐼1 )
𝐾𝑅 = (𝐴𝐼1 + 𝐴𝐼2 ) (2.5)
Keterangan : KR = Koefisien refleksi
AI1 = Impedansi akustik lapisan atas
AI2 = Impedansi akustik lapisan bawah (Sanjaya dkk., 2014).

2.7.3. Wavelet
Wavelet atau disebut juga sinyal seismik merupakan kumpulan dari sejumlah
gelombang seismik yang mempunyai amplitudo, frekuensi, dan fasa tertentu. Fasa
terdiri dari beberapa macam yaitu fasa nol, fasa minimum dan fasa maksimum. Fasa
minimum merepresentasikan wavelet dengan besar energi amplitudo terpusat diawal,
fasa nol merepresentasikan wavelet dengan besar energi amplitudo simetris di tengah-
tengah dan fasa maksimum merepresentasikan wavelet energi terpusat diakhir
(Sukmono, 1999).

2.7.4. Resolusi Seismik


Resolusi seismik merupakan parameter yang menunjukkan kemampuan
gelombang seismik untuk membedakan litologi batuan yang berdekatan. Macam-
macam resolusi seismik ada dua yaitu, resolusi vertikal dan resolusi horisontal/lateral.
Resolusi vertikal adalah kemampuan gelombang seismik/akustik untuk memisahkan
litologi batuan secara vertikal. Resolusi ini dicerminkan oleh suatu batas yaitu kedua
reflektor masih dapat dipisahkan dan besarnya tergantung pada ketebalan dan panjang
gelombang.
1 𝑣 (2.6)
𝑟𝑣 = 𝜆=
4 4𝑓
dengan, 𝑟𝑣 = resolusi vertikal 𝜆 = panjang gelombang (m) 𝑣 = kecepatan rata-rata (m/s)
𝑓 = frekuensi (Hz). Resolusi minimum yang masih dapat ditampilkan oleh gelombang
1
seismik adalah disebut juga tuning thickness, yaitu panjang gelombang minimum
4

yang masih dapat dibedakan oleh gelombang seismik. Sedangkan resolusi

19
horisontal/lateral adalah kemampuan untuk membedakan dua obyek atau jenis litologi
batuan pada satu reflektor yang sama (Sukmono, 1999).

2.7.5. Polaritas
Polaritas terbagi menjadi polaritas normal dan polaritas terbalik. Berdasarkan
gambar 2.3, Society Exploration Geophysics (SEG) mendefinisikan polaritas normal
sebagai berikut :
• Sinyal seismik positif akan menghasilkan tekanan akustik positif pada hidropon di
air atau pergerakan awal ke atas pada geopon di darat.
• Sinyal seismik yang positif akan terekam sebagai nilai negatif pada tape, defleksi
negatif pada monitor dan trough pada penampang seismik (Sukmono, 1999).

Gambar 2.4. Polaritas menurut ketetapan Society of Exploration Geophysics


(SEG) (a) fase minimum (b) fase nol (Sukmono, 1999).

2.7.6. Seismogram Sintetik


Seismogram sintetik merupakan rekaman seismik buatan yang dibuat dari data log
kecepatan dan densitas. Data kecapatan dan densitas menghasilkan koefisien refleksi
yang selanjutnya dikonvolusikan dengan wavelet (Sukmono, 1999).
Harga koefisien refleksi yang dikonvolusikan dengan wavelet untuk mendapatkan
seismogram sintetik yang sama dengan jejak seismik berdasarkan harga impedansi
model dengan rumusan :
𝑠(𝑡) = 𝑤(𝑡) ∗ 𝑟(𝑡) (2.7)

20
Keterangan : s(t) = seismogram sintetik
w(t) = wavelet
r(t) = deret koefisien refleksi (Tabah dan Danusaputro, 2010).

2.8. Inversi Seismik


Inversi seismik didefinisikan sebagai teknik pemodelan geologi bawah permukaan
menggunakan data seismik sebagai input dan data sumur sebagai kontrolnya (Sukmono,
2007). Proses inversi adalah kebalikan dari proses forwad modelling. Forward
modelling adalah proses konvolusi antara koefisien reflektifitas dengan wavelet yang
menghasilkan seismogram sintetik. Oleh karena itu, inversi seismik adalah proses
dekonvolusi dari seismogram sintetik dengan wavelet.
Metode inversi dibagi menjadi 2 kelompok, yaitu inversi pre-stack dan inversi
post-stack. Inversi pre-stack terdiri dari Tomography Time Inversion dan inversi
amplitude (AVO). Inversi post-stack terdiri dari amplitude inversion dan wavefield
inversion. Amplitude inversion terdiri dari Bandlimited Inversion, Sparse Spike
Inversion dan Model-Based Inversion (Russel, 1988).
Hasil inversi seismik berupa impedansi meliputi Acoustic Impedance (AI) dan
Shear Impedance (SI). Kedua impedansi tersebut merupakan parameter dari suatu
lapisan batuan (Sukmono, 2000). Namun, pada penelitian ini, menggunakan hasil
seismik inversi berupa Acoustic Impedance (AI).

2.9. Inversi Model Based


Metode inversi berdasarkan model disebut juga metode blocky karena impedansi
akustik tersusun atas blok-blok kecil. Konsep inversi dengan metode ini dimulai dengan
membuat model awal impedansi akustik dengan ukuran blok yang telah ditentukan.
Koefisien refleksi diturunkan dari impedansi akustik dan dikonvolusikan dengan
wavelet yang menghasilkan seismogram sintetik pada tiap-tiap trace. Seismogram
sintetik ini kemudian dibandingkan dengan trace seismik sebenarnya dan dihitung
kesalahannya. Proses ini dilakukan secara iteratif dengan memodifikasi blok trace
model hingga diperoleh hasil sintetik dengan kesalahan terkecil. Impedansi akustik hasil
modifikasi model awal inilah yang merupakan hasil akhir inversi (Hijria dan
Danusaputro, 2016).

21
Kelebihan metode inversi model based adalah hasil yang didapatkan memiliki
informasi yang lebih akurat dan jelas karena memasukkan komponen frekuensi rendah
(dari data log), dan nilai impedansi akustik yang didapat rata-rata memiliki harga
impedansi akustik yang kontras sehingga mempermudah dalam penentuan batas atas
(top) dan batas bawah (bottom) suatu lapisan reservoar (Tabah dan Danusaputro, 2010).
Selain itu kelebihannya adalah memiliki kontrol yang baik dari hasil yang
didapatkan karena tidak menginversi langsung dari seismik melainkan menginversi
model geologinya. Permasalahan atau kekurangan metode ini adalah sifat sensitif
terhadap wavelet, yang artinya dua wavelet berbeda dapat menghasilkan trace seismik
yang sama dan sifat ketidakunikan (non uni-uniqueness) untuk wavelet tertentu yang
semua hasil sesuai dengan trace seismik pada lokasi sumur yang sama (Hamdiana dkk.,
2012).

22
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN

3.1. Waktu dan Tempat Penelitian


Penelitian tugas akhir ini dilaksanakan pada tanggal 17 Juni - 31 Agustus 2019 di
PT. Patra Nusa Data, Kompleks Taman Tekno BSD, Sektor IX, blok G2/1, Setu,
Tangerang Selatan dan dilanjutkan pada tanggal 6 Desember - 13 Maret 2020 di
Laboratorium Geofisika Universitas Sriwijaya.

3.2. Kegiatan Pelaksanaan Penelitian


Tabel 3.1. Jadwal Kegiatan Pelaksanaan Penelitian
Jadwal Pelaksanaan
No Jenis Kegiatan Pekan
1 2 3 4 5 6 7 8
Studi literatur, pengumpulan
1
data dan analisis data
2 Well seismic tie
3 Picking fault dan horizon
4 Peta struktur waktu
5 Inversi Impedansi Akustik
6 Analisis prospek sebaran CBM

3.3. Perangkat Lunak Penelitian


Perangkat lunak yang digunakan pada penelitian ini yaitu:
1. Software Petrel 2015 yang akan digunakan untuk melakukan picking fault dan
horizon dan pembuatan peta struktur waktu.
2. Software Hampson-Russel yang digunakan untuk mengolah data sumur penelitian,
menyimpan data sumur penelitian, melakukan analisis data log (kurva-kurva log)
secara kualitatif, analisis litologi, ekstraksi wavelet, crossplot dan well seismic tie
serta picking horizon yang kemudian di-export ke software petrel serta proses
inversi seismik.

3.4. Data Penelitian


Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data log (sumur) dan data
seismik.

23
1. Data Log (Sumur)
Penelitian ini menggunakan 1 data sumur, yaitu sumur NI dalam format LAS
dapat ditunjukkan pada Gambar 3.1. Contoh data Sumur NI. Data log yang digunakan
berupa log gamma ray (GR), log caliper, log resistivity (log LLD, MSFL dan LLS), log
sonic (p-wave), log density (RHOB), log neutron porosity (NPHI). Sedangkan log p-
impedance diperoleh dari hasil perkalian log sonic dan log density. Di samping itu, di
dalamnya juga memuat marker yang ada yang digunakan untuk menentukan zona
lapisan target yang diteliti dan sebagai titik acuan dalam melakukan picking horizon dan
well seismic tie. Terdapat beberapa formasi pada sumur NI, namun pada penelitian ini
hanya terfokus pada satu formasi saja, yakni formasi Tarakan. Selain itu ada pula data
checkshot yang digunakan untuk mengikat data seismik (penampang seismik) dalam
domain waktu dengan data sumur NI dalam domain kedalaman.

Gambar 3.1. Contoh data Sumur NI.

24
2. Data Seismik
Data seismik yang digunakan pada penelitian ini adalah data seismik 3D Post-
Stack Time Migration (PSTM) yang ditunjukkan pada Gambar 3.2. Contoh data seismik
3D dengan tipe prosesnya Pre-Stack Time Migration yang merupakan data hasil proses
yang telah mengalami penguatan amplitude dan pemfilteran. Data seismik ini memiliki
sampling rate 2 ms dalam format SEGY dengan luas daerah penelitian 178 km2 yang
terdapat crossline pada daerah penelitian yaitu 10002-10624 dan pada inline daerah
penelitian 2002-2453. Lokasi daerah penelitian ini terletak di Area “PDS” Sub-
cekungan Tarakan Kalimantan Timur yang ditunjukkan pada base map di lampiran.

Sumur NI

Gambar 3.2. Contoh data seismik 3D Post-Stack Time Migration.

3.5. Pengolahan Data


Pengolahan data yang dilakukan pada penelitian ini untuk mendapatkan peta
sebaran impedansi akustik pada batubara yang di dalamnya terkandung gas metana
terdapat beberapa tahapan berupa loading data merupakan proses dilakukannya
penginputan data berupa data log (sumur) dan data seismik. Penginputan data log

25
dilakukan pada software Hampson-Russel yang di dalamnya terdapat menu Geoview.
Sebelum memasukkan data LAS, terlebih dahulu membuat project baru lalu diberikan
nama project yang diinginkan. Kemudian akan muncul window geoview dan window
explorer, melalui window explorer dapat dimasukkan data sumur dengan memilih
import data. Data sumur yang dimasukkan berupa data log yaitu log gamma ray, log
caliper, log resistivity (LLD, MSFL dan LLS), log density (RHOB), log neutron
porosity (NPHI) dan log sonic (p-wave). Sumur yang digunakan merupakan sumur
bertipe vertikal dengan kedalamannya telah dimasukkan bersamaan pada saat input data
log. Selain data log, ada pula data marker dan data checkshot. Penginputan data marker
dilakukan secara manual dengan mengetahui nama dan kedalaman markernya yang
menggunakan satuan meter. Penginputan data checkshot dilakukan sama seperti
penginputan data log. Sampai pada tahap ini data sumur telah berhasil dimasukkan.
Data log tersebut dilakukan analisis secara kualitatif untuk menentukan litologi dan
menentukan zona prospek CBM pada sumur yang diteliti.
Proses selanjutnya adalah melakukan penginputan data seismik yang dilakukan
pada menu geoview melalui strata dan software Petrel 2015. Data seismik tersebut
dilakukan interpretasi untuk menentukan lapisan reservoar CBM pada zona target yang
biasanya ditandai dengan adanya fenomena bright spot pada penampang seismik. Untuk
melakukan proses inversi impedansi akustik dilakukan pada software Hampson-Russel
yang akan diperoleh hasil akhir berupa peta sebaran impedansi akustik yang
menunjukkan prospek sebaran dari CBM. Sebaran tersebut dapat ditentukan
berdasarkan kontras nilai impedansi akustik pada batubara terhadap batuan sekitarnya
yang ditandai dengan nilai impedansi akustik yang rendah. Peta sebaran impedansi
akustik ditampilkan dalam bentuk slice yang dapat diketahui pola sebaran prospek CBM
dan dapat mengetahui rentang nilai impedansi akustiknya melalui skala pada peta
tersebut.

3.6. Analisis Data Log


Berdasarkan data log yang diperoleh, dapat dilakukan analisis data log secara
kualitatif. Analisis tersebut berupa interpretasi litologi dan menentukan zona prospek
CBM. Analisis data log digunakan 1 data sumur pada area yang diteliti yakni Sumur NI.

26
a. Interpretasi litologi
Berdasarkan informasi data sumur yang diteliti, Sumur NI berada di bagian
tinggian. Pada sumur tersebut terdapat Formasi Tarakan yang menjadi target penelitian.
Formasi Tarakan pada Sumur NI ada pada kedalaman 1008-1961 m yang ditunjukkan
pada Gambar 3.3. Contoh tampilan kurva-kurva log pada Sumur NI. Pada umumnya
litologi batubara ditandai dengan kurva log gamma ray nilainya rendah (defleksi ke
kiri), kurva log resistivitas nilainya tinggi (defleksi ke kanan), pada kurva log densitas
nilainya sangat rendah (defleksi ke kiri) dan kurva log neutron porosity nilainya rendah
(defleksi ke kanan).

Gambar 3.3. Contoh tampilan kurva-kurva log pada Sumur NI.

b. Penentuan Zona Prospek CBM


Dalam menentukan litologi batubara yang merupakan source rock sekaligus
reservoar dari CBM dapat dilihat pada kurva log densitas dan log neutron porosity.

27
Keterdapatan bahwa adanya prospek CBM dapat dilihat dari kombinasi antara log
Densitas dengan log neutron porosity yang ditandai dengan ada tidaknya crossover pada
kurva log tersebut.

3.7. Tahap Interpretasi Seismik


Adapun tahapan interpretasi seismik yang dilakukan pada penelitian ini adalah
sebagai berikut:
1. Ekstraksi Wavelet
Ektraksi wavelet dilakukan untuk memperoleh wavelet yang kemudian akan
digunakan dalam proses pembuatan seismogram sintetik. Pada proses well seismic tie
wavelet merupakan yang paling penting, sehingga apabila wavelet yang digunakan
cocok maka seismogram sintetik yang diperoleh akan menyerupai trace seismic
sebenarnya. Wavelet tersebut terdiri dari wavelet use well, wavelet statistical dan
wavelet ricker.

2. Well Seismik Tie


Setelah melakukan ekstraksi wavelet kemudian dilakukan proses well seismic tie
pada software Hampson-Russel untuk mengikat data seismik dalam domain waktu dan
data sumur dalam domain kedalaman. Proses ini menggunakan data checksot dan log
sonic (p-wave) yang dilakukan untuk menyamakan posisi data seismik dengan data
sumur. Seismogram sintetik pada sumur NI untuk proses well seismic tie sangat
diperlukan karena pada dasarnya proses ini dilakukan untuk menyamakan seismogram
sintetik dengan seismik riil. Seismogram sintetik ini diperoleh dari proses konvolusi
antara wavelet dengan koefisien refleksi. Koefisien refleksi itu sendiri didapatkan dari
data log Densitas dan log kecepatan (log Sonic) (Sukmono, 1999). Proses pengikatan ini
akan menghasilkan nilai korelasi atau kesesuaian antara seismogram sintetik dengan
seismik riil. Nilai korelasi yang baik dapat ditunjukkan dengan nilai di atas 0,5 atau
mendekati 1.

3. Picking Fault dan Horizon


Setelah melakukan well seismic tie dengan diperoleh korelasi yang baik
menunjukkan bahwa posisi sumur dengan posisi seismik telah sama (sesuai). Sehingga

28
dapat diketahui pada pola peak atau trough horizon akan di-picking. Sebelum
melakukan picking horizon terlebih dahulu dilakukan picking fault pada software Petrel
2015. Picking fault dapat dilakukan dengan cara melihat dan mengidentifikasi arah fault
baik pada fault major (utama) dan fault minor (kecil). Selanjutnya picking horizon
dilakukan di software Hampson-Russel yang hanya di-picking pada inline yang
melewati sumur saja yaitu pada inline 2253. Setelah selesai di-picking, hasil picking
tersebut di export ke software petrel 2015 untuk meneruskan picking pada inline-inline
dan crossline-crossline yang lain. Pada proses ini dilakukan dengan membuat garis pada
penampang seismik pada arah inline dan crossline dengan inline sebanyak 18 dan
crossline sebanyak 25 dengan interval increment 25 yang didasarkan pada kesamaan
bentuk dan kemenerusan reflektor seismik yang merupakan lapisan dari zona target
yang diteliti. Penelitian ini hanya terfokus pada Formasi Tarakan, namun untuk
melakukan inversi dilakukan picking horizon pada dua formasi yakni Formasi Tarakan
dan Formasi Tabul.

4. Peta Struktur Waktu


Setelah melakukan picking fault dan horizon proses selanjutnya dilakukan
mapping (pemetaan) yang menghasilkan bentuk peta struktur waktu. Peta Struktur
waktu ini akan digunakan untuk mengetahui keadaan bawah permukaan pada zona
target yang diteliti, yaitu Formasi Tarakan. Proses pemetaan bawah permukaan ini
dilakukan pada software petrel 2015. Pada proses ini dilakukan horizon dan fault
modelling yang bertujuan untuk menampilkan fault dan surface horizon pada peta
stuktur waktu. Hasil peta struktur waktu yang diperoleh sebelumnya telah dilakukan
interpolated dan smoothing. Tujuan dilakukannya smoothing agar hasil yang diperoleh
lebih halus atau lebih baik.

5. Pembuatan Crossplot
Pembuatan crossplot dilakukan pada software Hampson-Russel. Tujuan
pembuatan crossplot ini digunakan untuk mengetahui sensitivitas suatu batuan dari zona
target pada sumur NI. Kesensitivitasan tersebut dapat dilihat dari log p-impedance
terhadap log gamma ray. Selain itu, hasil dari crossplot ini juga dapat membedakan
lapisan reservoar dan non-reservoar.

29
6. Model Inisial
Sebelum melakukan inversi, terlebih dahulu dilakukan model inisial yang akan
digunakan sebagai kontrol dari hasil inversi yang akan dilakukan. Inversi yang akan
digunakan pada penelitian ini yaitu inversi jenis model-based. Pembuatan model inisial
bertujuan untuk memperoleh model awal dengan menggunakan 1 data sumur yaitu
sumur NI dan 2 horizon, yakni Horizon Tarakan dan Tabul. Untuk membuat model
inisial digunakan input data berupa log p-wave, log densitas dan log p-impedance.
Model inisial ini akan berpengaruh pada baik atau tidaknya hasil inversi yang diperoleh.

7. Analisis Pre-Inversi
Setelah membuat model inisial, tahap selanjutnya melakukan analisis pre-inversi.
Analisis yang digunakan pada penelitian ini yaitu analisis model-based pada Sumur NI.
Dari analisis tersebut maka akan diperoleh besar nilai korelasi dan error antara model
inisial yang telah diperoleh sebelumnya dengan hasil inversi yang digunakan. Proses ini
dilakukan secara iterasi untuk memperoleh model akhir dengan hasil korelasi yang
tinggi (mendekati 1) dan error yang kecil. Sehingga semakin besar korelasi yang
diperoleh maka hasil inversinya akan semakin baik.

8. Inversi Seismik
Tahap selanjutnya yaitu melakukan inversi seismik. Inversi seismik dapat
didefinisikan sebagai suatu teknik untuk memperoleh model geologi bawah permukaan
dengan data input-nya adalah data seismik dan data pengontrolnya adalah data sumur.
Hasil inversi seismik yang diperoleh berupa peta sebaran Impedansi akustik pada zona
target. Inversi impedansi akustik ini diperoleh dari perkalian data log densitas dengan
kecepatan yang dapat merepresentasikan sifat fisis dari suatu batuan. Sehingga akan
lebih mudah untuk mengidentifikasi adanya litologi batuan, dalam hal ini batuan
tersebut yakni batubara. Dari peta sebaran impedansi akustik tersebut dilakukan analisa
sehingga diperoleh prospek sebaran CBM pada Formasi Tarakan. Berdasarkan tahapan
penelitian yang telah diuraikan, maka dapat digambarkan secara ringkas melalui
diagram alir yang ditunjukkan pada Gambar 3.4.

30
Mulai

Studi Geologi Regional dan


pengumpulan data

Data Log Data Seismik 3D PSTM

Analisis Data Log Interpretasi Data Seismik

Analisis litologi

Ekstraksi Wavelet

Well Seismic Tie

Picking Fault dan Horizon

Peta Struktur Waktu

Pembuatan Crossplot

Model Inisial

Analisis Pre-inversi

Inversi AI

Peta sebaran AI

Analisa sebaran AI

Prospek Sebaran CBM

Selesai

Gambar 3.4. Diagram alir penelitian.

31
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Hasil Interpretasi Litologi dan Zona Prospek CBM


Berdasarkan interpretasi litologi yang dilakukan dengan menggunakan data log,
maka diperoleh zona prospek CBM yakni batubara. Litologi batubara tersebut ditandai
dengan kurva log gamma ray yang defleksi ke kiri (nilainya rendah), kurva log
resistivitas yang tinggi (defleksi ke kanan) dan kurva log densitas yang sangat rendah
(defleksi ke kiri) serta log neutron porosity yang defleksi ke kanan. Pada kedalaman
1310-1321 m terdapat peningkatan jumlah lapisan batubara yang ditandai dengan
defleksi kurva log densitas yang sangat kecil (ke kiri). Sedangkan pada kedalaman
1336-1392 m kurva log gamma ray nilainya tinggi (defleksi ke kanan) dan kurva log
resistivitas nilainya rendah (defleksi ke kiri) serta kurva log densitas bernilai tinggi
(defleksi ke kanan) yang merupakan ciri-ciri dari litologi batulempung atau serpih. Sifat
radioaktif dari batulempung sangat tinggi membuat kurva log gamma ray defleksi ke
kanan (nilainya tinggi).
Selain itu, berdasarkan hasil yang diperoleh pada interval 1288-1398 m terdapat
beberapa crossover yang menunjukkan adanya prospek CBM yang ditandai dengan
warna kuning, dapat dilihat pada Gambar 4.1. Zona prospek CBM. Crossover terbentuk
karena adanya separasi antara log densitas dengan log neutron porosity. Apabila
separasi kedua log tersebut besar maka terdapat kandungan gas tetapi jika separasinya
kecil maka terdapat kandungan minyak. Menurut Adyendra (2011), karakterisasi
reservoar dari CBM ditunjukkan dengan nilai densitas yang lebih rendah (<2,1 g/cc) dan
gamma ray yang relatif rendah (<75 API) serta log neutron porosity yang tinggi
daripada reservoar gas konvensional atau lebih sering dikenal dengan batupasir.
Sehingga crossover yang terbentuk pada gas metana sedikit berbeda dari gas
konvensional. Dari hasil yang didapatkan terdapat crossover dengan separasi yang besar
pada log densitas dan neutron porosity, nilai densitasnya sangat rendah yaitu rata-rata
berkisar <1,6 g/cc dan neutron porosity yang tinggi berkisar <0.7 yang menunjukkan
adanya kandungan CBM.
Pada kedalaman 1288-1293 m (zona 1) terdapat crossover dengan ketebalan CBM
berkisar ±5 m. Untuk zona 2 (1310-1321 m) diperoleh crossover dengan ketebalan
CBM yang diperoleh berkisar ±11 m. Pada zona 3 (1331-1334 m) terdapat crossover

32
dengan ketebalan CBM berkisar ±3 m. Sedangakan pada zona 4 (1394-1398 m)
diperoleh crossover dengan ketebalan CBM berkisar ±4 m. Dari keempat zona tersebut,
prospek CBM yang paling tinggi terdapat pada zona 1 dan 2 berada pada kedalaman
1288-1293 m dan 1310-1321 m dengan ketebalan CBM ±5 m dan ±11 m. Hal ini dapat
ditunjukkan pada data mudlog yang ada di lampiran pada Gambar 2. Data mudlog
tersebut menunjukkan bahwa sesuai dengan kedalaman pada zona 1 dan 2 terdapat
lapisan batubara yang merupakan reservoar dari CBM.

Zona 1

Zona 2

Zona 3

Zona 4

Gambar 4.1. Zona prospek CBM.

33
4.2. Hasil Well Seismic Tie
Pada window e-log terdapat tampilan seismogram sintetik pada sumur NI yang
ditunjukkan dengan warna biru dan trace seismic sebenarnya (seismik riil) yang
berwarna merah serta penampang seismik yang dilewati oleh sumur NI ditunjukkan
dengan warna hitam. Sehingga dengan adanya tampilan tersebut dapat dilakukan
korelasi yang bertujuan untuk memperoleh hasil semirip mungkin antara seismogram
sintetik dengan seismik riil. Berdasarkan hasil well seismic tie yang diperoleh, pada
Marker Tarakan proses picking horizon akan dilakukan di antara peak dan trough yang
dapat dilihat pada lampiran. Hal ini sesuai dengan hasil wavelet yang diperoleh yaitu
wavelet dengan fasa minimum yang besar energi amplitudonya terpusat di awal.
Wavelet yang digunakan untuk melakukan well tie seismic yaitu wavelet use well karena
menghasilkan korelasi yang lebih baik (mendekati 1). Wavelet ini diperoleh dari
mengekstraksi wavelet pada sumur NI dapat ditunjukkan pada Gambar 4.2.

Gambar 3.5. Wavelet use well hasil ekstraksi dari data sumur NI.

34
Nilai korelasi yang diperoleh pada sumur NI adalah 0,779 dengan time shift 0
ditunjukkan pada Gambar 4.3.

Gambar 4.3. Hasil well seismic tie pada sumur NI dengan nilai koefisien korelasi
sebesar 0,779 dan time shift 0.

4.3. Analisis Hasil Picking Fault dan Horizon


Dari hasil picking yang diperoleh pada inline 2253 di penampang seismik yang
melewati sumur NI, terdapat 4 fault (sesar) yang terdiri dari 1 fault major dan 3 fault
minor yang ditunjukkan pada Gambar 4.4. Dikatakan fault major apabila terdapat
kemenerusan fault tersebut disetiap inline pada penampang seismik. Sehingga fault
major ini dikatakan sebagai fault yang dominan. Sedangkan fault minor hanya terdapat
pada beberapa inline saja (tidak menerus) pada penampang seismik. dari keempat fault
tersebut menunjukkan bahwa sebagian besar fault-nya merupakan jenis normal fault
yang memiliki arah relatif timurlaut-baratdaya (NE-SW). Terbentuknya fault-fault
tersebut diakibatkan oleh pergerakan tektonik yang ada pada Cekungan Tarakan.

35
Sesar minor
Sesar minor

Sesar major Sesar minor

Gambar 4.4. Hasil picking fault dan horizon inline 2253 yang melewati Sumur NI
pada penampang seismik.
Dapat diinterpretasikan bahwa kemenerusan reflektor horizon warna hijau dan
biru cukup jelas, dalam hal ini frekuensi pada reflektor tersebut cukup besar. Semakin
besar frekuensi pada suatu reflektor maka akan semakin kontras (jelas) reflektornya
pada penampang seismik. Sehingga akan lebih mudah untuk dilakukan picking horizon.
Pada penampang seismik tersebut juga dapat dilihat adanya fenomena bright spot pada
reflektor tertentu (sangat kontras). Hal ini menunjukkan bahwa terdapat perbedaan pada
lapisan batuan. Bright spot tersebut dapat mengindikasikan bahwa adanya prospek gas
metana di dalam batubara pada lapisan target. Fenomena bright spot tersebut juga dapat
dilihat pada lampiran. Picking fault dan horizon ini akan digunakan untuk
menggambarkan struktur bawah permukaan dalam bentuk peta struktur waktu (time
structure map).

36
4.4. Peta Struktur Waktu
Berdasarkan hasil picking, maka diperoleh peta struktur waktu yang dapat
menggambarkan keadaan bawah permukaan pada lapisan target yang diteliti. Dapat
dilihat pada Gambar 4.5 yang menunjukkan bahwa pada bagian barat Formasi Tarakan
merupakan daerah tinggian (dangkal) yang memiliki elevasi yang tinggi yaitu pada time
800-1150 ms. Sedangkan pada bagian timur Formasi Tarakan diidentifikasikan sebagai
daerah rendahan (dalam) yang memiliki elevasi rendah yaitu pada time 1150-1625 ms.
Hal ini dapat dilihat berdasarkan skala warna pada peta struktur waktu. Semakin besar
time-nya maka daerah tersebut dapat diidentifikasikan sebagai daerah rendahan (dalam),
begitupun sebaliknya. Selain itu terdapat 1 patahan utama (major) yang memiliki arah
timurlaut-baratdaya dan beberapa patahan minor (kecil).

Gambar 4.5. Peta Struktur Waktu.

37
4.5. Analisis Hasil Crossplot
Hasil analisis crossplot akan menunjukkan zona reservoar dan non-reservoar.
Analisis crossplot ini dilakukan pada kedalaman 1200-1400 m yang merupakan zona
target pada Formasi Tarakan. Hal ini dilakukan untuk mengetahui kesensitivitasan
antara log p-impedance terhadap log gamma ray pada suatu batuan reservoar dalam hal
ini batubara. Untuk membedakan batuan reservoar dan non-reservoar dapat dilihat pada
nilai log gamma ray dan log impedansi akustiknya. Dalam hal ini jika pada suatu batuan
reservoar, nilai log gamma ray dan log impedansi akustiknya rendah (kecil), namun
untuk batuan non-reservoar nilai log gamma ray dan log impedansi akustiknya tinggi.
Sehingga apabila suatu batuan menunjukkan nilai radioaktif yang rendah maka batuan
tersebut dianggap sebagai batuan yang permeable (dapat mengalirkan fluida) tetapi jika
nilai radioaktifnya tinggi maka batuan tersebut merupakan batuan impermeable yang
tidak dapat mengalirkan fluida. Batuan non-reservoar (impermeable) ini biasanya
berupa serpih (shale). Berdasarkan Gambar 4.6 Batuan reservoar CBM yang
ditunjukkan dengan warna kuning memiliki nilai gamma ray yang rendah dan nilai
impedansi akustiknya juga rendah. Sedangkan pada warna hijau menunjukkan batuan
non-reservoar yaitu serpih memiliki nilai gamma ray dan impedansi akustik yang tinggi
dibandingkan dengan reservoar CBM. Dalam hal ini sumbu x ditunjukkan sebagai
gamma ray dan sumbu y ditunjukkan sebagai impedansi akustik
Pada crossplot juga terdapat indikator color yang digunakan, yaitu log densitas
yang menunjukkan kekompakan suatu batuan. Batuan reservoar CBM menunjukkan
nilai densitas yang sangat rendah yaitu <1,6 g/cc berbeda dengan reservoar batupasir
yang biasanya nilai densitas reservoar batupasir lebih besar dari reservoar batubara,
karena pada dasarnya batuan reservoar memiliki densitas yang sangat rendah atau
batuan tersebut tidak kompak sehingga nilai impedansi akustiknya juga rendah. Namun
pada batuan non-reservoar nilai densitasnya tinggi dan dikatakan sebagai batuan yang
kompak.
Terdapat cross-section yang menunjukkan adanya zona reservoar ditandai dengan
nilai gamma ray yang rendah dan impedansi akustiknya juga rendah. Hal ini
mengindikasikan bahwa reservoar tersebut adalah batubara. Sesuai dengan penentuan
zona prospek yang telah dilakukan sebelumnya diperoleh zona reservoar CBM berada
pada interval 1288-1334 m yang terdapat di Formasi Tarakan. Ada beberapa zona

38
reservoar batubara (warna kuning) yang dapat dilihat pada Gambar 4.7. Namun prospek
CBM yang paling tebal berada pada interval 1310-1321 m.

Gambar 4.6. Analisis Crossplot antara log P-impedance terhadap log Gamma Ray pada
Sumur NI.

Gambar 4.7. Cross-section Hasil Crossplot Log Gamma Ray terhadap Log Impedansi
Akustik.

39
4.6. Analisis Hasil Inversi Impedansi Akustik Model-based
Sebelum diperoleh hasil inversi maka model inisial sangat diperlukan untuk
membuat model awal. Dalam hal ini model awal yang akan digunakan sebagai acuan
dilakukannya inversi yang dapat dilihat pada Gambar 4.8.

Gambar 4.8. Model inisial.

Berdasarkan hasil analisis pre-inversi dapat dilihat pada Gambar 4.9 diperoleh
nilai korelasi yang tinggi antara trace seismik sebenarnya yang berwarna hitam dengan
trace sintetik yang berwarna merah yakni sebesar 0,97312, keduanya memiliki trend
yang sama dengan error-nya sebesar 0,236786 dan error impedansi akustiknya (P-
impedance) yakni sebesar 230,935. Dalam hal ini bentuk trend yang diperoleh antara

40
hasil trend model inisial (warna hitam) dengan hasil inversi model-based (warna merah)
yang ditunjukkan pada track kedua, keduanya memiliki trend yang hampir serupa.

1750,212 (Err= 230,935) 12290,115 (Corr= 0,97312) (Err= 0,236786)

Gambar 4.9. Analisis pre-inversi model-based pada Sumur NI.


Berdasarkan pembuatan model inisial dan analisis kontrol inversi yang telah
dilakukan maka diperoleh hasil inversi impedansi akustik jenis model-based
menggunakan teknik soft constraint yang dilakukan 10 iterasi untuk memperoleh model
akhir. Inversi ini dilakukan pada zona target dari Horizon Tarakan ke Horizon Tabul.
Hasil inversi yang diperoleh pada penelitian ini terlihat jelas (baik), sehingga akan lebih
mudah untuk mengidentifikasi prospek sebaran batubara yang merupakan reservoar dari
CBM. Hal ini karena pada analisis kontrol yang telah dilakukan memberikan nilai
korelasi yang baik antara trace sintetik dengan trace seismik sebenarnya sehingga hasil
inversi yang diperoleh juga baik dengan harga impedansi akustik yang kontras, karena
inversi model-based ini memiliki nilai frekuensi yang tinggi. Semakin besar
frekuensinya maka perlapisan pada penampang impedansi akustiknya akan semakin
terlihat dengan jelas. Namun frekuensi akan berkurang seiring dengan kedalaman target.
Frekuensi tersebut dapat dilihat pada lampiran.

41
Hasil inversi yang diperoleh dapat menunjukkan bahwa pada Formasi Tarakan
memiliki nilai impedansi akustik yang rendah, ditunjukkan oleh warna hijau hingga
kuning kemerahan dengan nilai impedansi akustiknya berkisar 2100-5900 (m/s)*(g/cc).
Nilai impedansi akustik yang rendah tersebut mengindikasikan bahwa adanya prospek
dari batubara sebagai reservoar CBM. Sedangkan untuk nilai impedansi akustik yang
tinggi ditunjukkan oleh warna merah terang hingga ungu dengan nilai impedansi
akustiknya berkisar 6000-11600 (m/s)*(g/cc). Hasil inversi tersebut dapat ditunjukkan
pada Gambar 4.10. Berdasarkan gambar tersebut, semakin ke bawah (dalam) nilai
inversi impedansi akustik yang diperoleh semakin tinggi. Hal ini dikarenakan semakin
ke bawah (dalam) suatu batuan akan semakin tight (padat/kompak), sehingga batuan
tersebut porositasnya kecil dan bukan termasuk batuan reservoar.

Gambar 4.10. Hasil Inversi Impedansi Akustik pada Inline 2253 yang melewati
Sumur NI.

42
4.7. Analisis Hasil Slice Sebaran Coal Bed Methane
Berdasarkan hasil inversi, maka akan dilakukan slicing pada Formasi Tarakan
untuk melihat prospek sebaran dari batubara yang merupakan reservoar dari CBM.
Horizon slice dilakukan pada posisi 190 ms di bawah Formasi Tarakan yang merupakan
zona target dan dilakukan smoothing agar dapat memperoleh hasil yang lebih halus
(baik) atau lebih jelas. Dari hasil slicing tersebut diperoleh peta sebaran impedansi
akustik pada batubara. Gambar 4.11 menunjukkan bahwa nilai impedansi akustiknya
sangat rendah (warna hijau kekuningan) berkisar 2100-5900 (m/s)*(g/cc) di sekitar
Sumur NI dibandingkan dengan sekelilingnya yang nilai impedansi akustiknya relatif
lebih tinggi. Hal ini dapat diidentifikasi bahwa pada zona dengan nilai impedansi
akustik yang rendah terdapat prospek sebaran batubara, karena pada dasarnya impedansi
akustik sangat dipengaruhi oleh densitas dan kecepatan gelombang seismik. Dapat
diketahui bahwa batubara itu sendiri memiliki densitas yang sangat rendah berasosiasi
dengan gamma ray yang rendah pula, hal ini dapat mengacu pada hasil analisis
crossplot yang diperoleh pada Gambar 4.6. Sehingga semakin rendah densitasnya maka
impedansi akustiknya akan semakin rendah dan kecepatan gelombang seismik yang
menjalar akan semakin lambat. Berdasarkan peta sebaran impedansi akustiknya prospek
sebaran batubara pada zona target penelitian konsentrasinya hanya berada di bagian
tengah yang arahnya relatif ke arah Timur dan Selatan dari Sumur NI. Namun pada
bagian Selatan sebarannya mengecil. Pada peta terdapat garis putus-putus yang
berbentuk elips (warna putih) menunjukkan perbandingan sebaran batubara utara-
selatan adalah 5:2 atau ke arah selatan sebarannya mengecil (menurun) ±60% dan pada
garis putus-putus berwarna hitam perbandingannya yaitu 7:3 atau ke arah selatan
sebarannya menurun ±57% yang artinya dalam hal ini sebarannya semakin mengecil ke
arah selatan. Sesuai dengan peta struktur waktu yang ditunjukkan pada Gambar 4.5
diketahui bahwa sebaran batubara berada pada daerah tinggian dan rendahan.

43
Gambar 4.11. Peta Horizon Slice Sebaran Impedansi Akustik pada Batubara.

44
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. Kesimpulan
1. Pada penelitian ini, zona target prospek CBM berada pada interval 1288-1398 m
pada Formasi Tarakan. Namun prospek CBM yang paling tebal berada pada
interval 1310-1321 m dengan ketebalan CBM ±11 m.
2. Hasil inversi menunjukkan bahwa adanya prospek sebaran batubara pada zona
target di posisi 190 ms di bawah Formasi Tarakan dengan nilai impedansi akustik
yang rendah yaitu berkisar 2100-5900 (m/s)*(g/cc) di sekitar Sumur NI.
3. Berdasarkan peta sebaran impedansi akustiknya prospek sebaran batubara pada
zona target penelitian konsentrasinya hanya berada di bagian tengah yang arahnya
relatif ke arah Timur dan Selatan dari Sumur NI. Namun pada bagian Selatan
sebarannya semakin mengecil dengan penurunan sekitar ±50% - 60%.

5.2. Saran
Berdasarkan hasil yang telah diperoleh, Area PDS di Sumur NI tepatnya pada
Formasi Tarakan dapat diidentifikasikan adanya prospek dari CBM, sehingga untuk
pengembangan lebih lanjut dapat disarankan tidak hanya dilakukan kegiatan eksplorasi
saja, tetapi juga dilakukan kegiatan eksploitasi pada area tersebut.

45
DAFTAR PUSTAKA

Achmad, Z., & Samuel, L., 1984. Stratigraphy and Depositional Cycles in The NE
Kalimantan Basin. Indonesian Petroleum Association 13th Annual Convention.
Jakarta.
Adyendra, G., 2011. Pemodelan Impedansi Akustik Untuk Karakterisasi Reservoar
Coal Bed Methane Pada Daerah X Riau. Skripsi Universitas Indonesia, Depok.
Alifudin, R. F. dkk., 2016. Karakterisasi Reservoir Karbonat Dengan Aplikasi Seismik
Atribut Dan Inversi Seismik Impedansi Akustik. Jurnal Geosaintek, 2(2): 107-108.
Arohman, Z., 2016. Karakterisasi Reservoar Migas Menggunakan Seismik Inversi
Impedansi Akustik Dan Analisis Seismik Multiatribut Pada Lapangan “Za”,
Formasi Baturaja, Cekungan Sumatera Selatan. Skripsi Universitas Lampung,
Lampung.
Djohor, D. S. dan Pramudito, H., 2017. Karakteristik Batubara Formasi Warukin
Dalam Pembentukan CBM Di Wilayah Kabupaten Tanah Bumbu, Provinsi
Kalimantan Selatan. Jurnal Penelitian dan Karya Ilmiah Lemlit, 1(2): 15.
Hamdiana, D. P., Supriyanto dan Ginting, A. S., 2012. Inversi Impedansi Akustik
dengan Model Based Inversion untuk Identifikasi Coal Bed Methane (CBM) pada
Formasi Sajau, Kalimantan Timur. Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan
Alam - Universitas Indonesia. 1-6.
Haris, A. dkk., 2017. Coal Bed Methane Properties Modeling Using Improved Seismic
Resolution For Estimating Gas Reserves: A Case Study Of East Kalimantan Field,
Indonesia. International Journal of GEOMATE, Vol. 13, Issue 40, pp.81.
Heriyanto, N., Satoto, W., & Sardjono, S. (1992). An Overview of Hydrocarbon
Maturity and Its Migration Aspects in Bunyu Island, Tarakan Basin. Proceedings
Indonesian Petroleum Association 21st Annual Convention. Jakarta.
Hijria, T. V. dan Danusaputro, H., 2016. Analisis Persebaran Zona Reservoir Lapangan
Dt-1 Menggunakan Metode Inversi Impedansi Akustik Dan Atribut Variansi.
Youngster Physics Journal, 1(5): 1 dan 3.
Lentini, M. R., & Darman, H., 1996. Aspect of The Neogene Tectonic History and
Hydrocarbon Geology of The Tarakan Basin. Proceedings Indonesian Petroleum
Association 25th Annual Convention, (hal. 241-251). Jakarta.

46
Musto’in, A. dkk., 2012. Physical Properties Analysis Of Limestone Reservoir Salawati
Basin Using Seismic Acoustic Impedance Inversion (Ai) Modelbased. Proceedings
Indonesian Petroleum Association 36th Annual Convention & Exhibition. Jakarta.
Pahlevi, R. R., Fathadiin, M. T. dan Nuraeni, S., 2015. Analisis Peramalan Produksi
Reservoir Gas Metana Batubara Menggunakan Software F.A.S.T. CBM Pada
Sumur Rrp Lapangan Levi. Seminar Nasional Cendekiawan ISSN: 2460-8696,
(hal. 404).
Rahmad, B. dkk., 2018. Rencana Pengembangan Lapangan Gas Metana Batubara
Dangkal (Shallow Cbm) Di Daerah Ida Manggala, Rantau, Kabupaten Hulu
Sungai Selatan Kalimantan Selatan. Jurnal OFFSHORE, 1(2): 20 dan 22-24.
Russell, B.H. 1988. Introduction to Seismic Inversion Methods. Calgary. Canada.
Society of Exploration Geophysicist.
Santosa, E. B., 2013. Upaya Produksi Gas Pada Reservoir Coalbed Methane (CBM)
Sumur P#X Di Kalimantan. Jurnal ESDM, 1(5): 40-41.
Sanjaya, D. N., Warnana, D. D. dan Sentosa, B. J., 2014. Analisis Sifat Fisis Reservoar
Menggunakan Metode Seismik Inversi Acoustic Impedance (AI) dan Multiatribut
(Studi Kasus Lapangan F3). Jurnal Sains Dan Seni Pomits, 2(3): 96-97.
Satyana, A. H., Nugroho, D., & Surantoko, I., 1999. Tectonic controls on the
hydrocarbon habitats of the Barito, Kutei, and Tarakan Basins, Easter
Kalimantan, Indonesia: major dissimilarities in adjoining basins. Journal of
Asian Earth Sciences vol. 17.
Sukmono, S., 1999. Interpretasi Seismik Refleksi. Geophysical Engineering, Bandung
Institute of Technology. Bandung.
Sukmono, S., 2000. Seismik Inversi untuk Karakteristik Reservoir. Bandung:
Departemen Teknik Geofisika Institut Teknologi Bandung.
Sukmono, S., 2007. Fundamental Of Seismic Interpretation. Geophysical Engineering,
Bandung Institute Technology. Bandung.
Suwarna, N. dkk., 2006. Coalbed methane potential and coal characteristics in the Lati
region, Berau basin, East Kalimantan. Jurnal Geologi Indonesia, 1 (1): 19 dan 24.
Syufyan, H., 2009. Prediksi Laju Alir Gas Dan Air Pada Reservoir Gas Metana
Batubara (CBM) Menggunakan Metode King Dan Seidle. Skripsi Institut
Teknologi Bandung, Bandung.

47
Tabah, F. R. dan Danusaputro, H., 2010. Inversi Model Based Untuk Gambaran
Litologi Bawah Permukaan. Jurnal Sains dan Matematika (JSM), 3(18): 88-89.
Toisuta, J., 2011. Pemetaan Bawah Permukaan Dan Perhitungan Cadangan Pada
Formasi Kais Bedasarkan Data Log Dan Data Seismik, Di Lapangan “Julia”,
Cekungan Bintuni. Skripsi Universitas Pembangunan Nasional “Veteran”,
Yogyakarta.

48
LAMPIRAN

Gambar 1. Base Map Lokasi Penelitian.

1288-1293 m
(zona 1)

1310-1321 m
(Zona 2)

Gambar 2. Data Mudlog.

xii
Gambar 3. Picking Horizon dilakukan di antara peak dan trough pada penampang

seismik setelah dilakukan Well Seismic Tie.

Gambar 4a. Fenomena Bright Spot crossline 10269 pada penampang seismik.

xiii
Gambar 3b. Fenomena Bright Spot inline 2203 pada penampang seismik.

Gambar 4. Frekuensi Inversi Model-based.

xiv

Anda mungkin juga menyukai