Anda di halaman 1dari 10

TUGAS INDIVIDU

MK : ETNOGRAFI PAPUA

DISUSUN OLEH :

NAMA : YAEL MURIB

NIM : 2020071014603

KELAS :C

PRODI : ILMU KESEHATAN MASYARAKAT


Bahasa Suku Dani:
Bahasa Dani terdiri dari 3 sub keluarga bahasa, yaitu:

Sub keluarga Wano di Bokondini

Sub keluarga Dani Pusat yang terdri atas logat Dani Barat dan logat lembah Besar Dugawa.

Sub keluarga Nggalik & ndash

Bahasa suku Dani termasuk keluarga bahasa Melansia dan bahasa Papua tengah (secara
umum).

Kepercayaan:
Dasar religi masyarakat Dani adalah menghormati roh nenek moyang dan juga
diselenggarakannya upacara yang dipusatkan pada pesta babi. Konsep
kepercayaan/keagamaan yang terpenting adalah Atou, yaitu kekuatan sakti para nenek
moyang yang diturunkan secara patrilineal (diturunkan kepada anak laki-laki). Kekuasaan
sakti ini antara lain:

kekuatan menjaga alam. Bagi mereka, alam Lembah Baliem tabu dan bertuah. Mereka
percaya bahwa menjaga alam sama halnya menghormati nenek moyang.

kekuatan menyembuhkan penyakit dan menolak bala

kekuatan menyuburkan tanah

Untuk menghormati nenek moyangnya, suku Dani membuat lambang nenek moyang yang
disebut Kaneka. Selain itu juga adanya Kaneka Hagasir yaitu upacara keagamaan untuk
menyejahterakan keluarga masyarakat serta untuk mengawali dan mengakhiri perang.

Sistem Kekerabatan:
Masyarakat Dani tidak mengenal konsep keluarga batih, di mana bapak, ibu, dan anak
tinggal dalam satu rumah. Mereka adalah masyarakat komunal. Maka jika rumah dipandang
sebagai suatu kesatuan fisik yang menampung aktivitas-aktivitas pribadi para penghuninya,
dalam masyarakat Dani unit rumah tersebut adalah sili.

Sistem kekerabatan masyarakat Dani ada tiga, yaitu kelompok kekerabatan, paroh
masyarakat, dan kelompok teritorial.

Kelompok kekerabatan yang terkecil dalam masyarakat suku Dani adalah keluarga luas.
Keluarga luas ini terdiri atas tiga atau dua keluarga inti bersama – sama menghuni suatu
kompleks perumahan yang ditutup pagar (lima).
Paroh masyarakat. Struktur masyarakat Dani merupakan gabungan beberapa ukul (klen
kecil) yang disebut ukul oak (klen besar)

Kelompok teritorial. Kesatuan teritorial yang terkecil dalam masyarakat suku bangsa Dani
adalah kompleks perumahan (uma) yang dihuni untuk kelompok keluarga luas yang
patrilineal (diturunkan kepada anak laki-laki).

Pernikahan:
Pernikahan orang Dani bersifat poligami diantaranya poligini. Keluarga batih ini tinggal di
satu – satuan tempat tinggal yang disebut silimo. Sebuah desa Dani terdiri dari 3 & ndash; 4
slimo yang dihuni 8 & ndash; 10 keluarga. Menurut mitologi suku Dani berasal dari
keuturunan sepasang suami istri yang menghuni suatu danau di sekitar kampung Maina di
Lembah Baliem Selatan. Mereka mempunyai anak bernama Woita dan Waro. Orang Dani
dilarang menikah dengan kerabat suku Moety sehingga perkawinannya berprinsip eksogami
Moety (perkawinan Moety / dengan orang di luar Moety).

Kesenian:
Kesenian masyarakat suku Dani dapat dilihat dari cara membangun tempat kediaman,
seperti disebutkan di atas dalam satu silimo ada beberapa bangunan, seperti: Honai, Ebeai,
dan Wamai. Selain membangun tempat tinggal, masyarakat Dani mempunyai seni kerajinan
khas, anyaman kantong jaring penutup kepala dan pegikat kapak. Orang Dani juga memiliki
berbagai peralatan yang terbuat dari bata, peralatan tersebut antara lain: Moliage, Valuk,
Sege, Wim, Kurok, dan Panah sege.

Pendidikan:
Sebagaimana suku – suku pedalaman Papua, seperti halnya suku Dani, umumnya tingkat
pendidikan (formal) rendah dan kesadaran untuk menimba ilmunya juga masih kurang.
Namun, sejak masa reformasi beberapa belas tahun silam suku Dani sudah banyak yang
menuntut ilmu ke luar daerahnya. Salah satunya adalah Meri Tabuni. Sebagian mereka
belum bisa membaca.
Politik dan Kemasyarakatan yang Bersahaja:
Masyarakat Dani senantiasa hidup berdampingan dan saling tolong menolong, kehidupan
masyarakat Dani memiliki ciri-ciri sebagai berikut:Masyarakat Dani memiliki kerjasama yang
bersifat tetap dan selalu bergotong royong

Setiap rencana pendirian rumah selalu didahului dengan musyawarah yang dipimpin oleh
seorang penata adat atau kepala suku

Organisasi kemasyarakat pada suku Dani ditentukan berdasarkan hubungan keluarga dan
keturunan dan berdasarkan kesatuan teritorial.

Suku Dani dipimpin oleh seorang kepala suku besar yaitu disebut Ap Kain yang memimpin
desa adat watlangka, selain itu ada juga 3 kepala suku yang posisinya berada di bawah Ap
Kain dan memegang bidang sendiri & ndash; sendiri, mereka adalah: Ap. Menteg, Ap. Horeg,
dan Ap Ubaik Silimo biasa yang dihuni oleh masyatakat biasa dikepalai oleh Ap. Waregma.
Dalam masyarakat Dani tidak ada sistem pemimpin, kecuali istilah kain untuk pria yang
berarti kuat, pandai dan terhormat.

Pada tingkat uma, pemimpinnya adalah laki-laki yang sudah tua, tetapi masih mampu
mengatur urusannya dalam satu halaman rumah tangga maupun kampungnya. Urusan
tersebut antara lain pemeliharaan kebun dan Bahi serta melerai pertengkaran.

Pemimpin federasi berwenang untuk memberi tanda dimulainya perang atau pesta lain.
Pertempuran dipimpin untuk para win metek. Pemimpin konfederasi biasanya pernah juga
menjadi win metek, meski bukan syarat mutlak, syarat menjadi pemimpin masyarakat Dani:
Pandai bercocok tanam, bersifat ramah dan murah hati, pandai berburu, memiliki kekuatan
fisik dan keberanian, pandai berdiplomasi, dan pandai berperang.

Perekonomian:
Sistem Ekonomi

Sistem ekonomi nenek moyang orang Dani tiba di Irian hasil dari suatu proses perpindahan
manusia yang sangat kuno dari daratan Asia ke kepulauan Pasifik Barat Irian Jaya.

Kemungkinan pada waktu itu masyarakat mereka masih bersifat praagraris yaitu baru mulai
menanam tanaman dalam jumlah yang sangat terbatas. Inovasi yang berkesinambungan
dan kontak budaya menyebabkan pola penanaman yang sangat sederhana tadi berkembang
menjadi suatu sistem perkebunan ubijalar, seperti sekarang.
Mata Pencaharian
Mata pencaharian pokok suku bangsa Dani adalah bercocok tanam dan beternak babi. Umbi
manis merupakan jenis tanaman yang diutamakan untuk dibudidayakan, artinya mata
pencaharian umumnya mereka adalah berkebun. Tanaman-tanaman mereka yang lain
adalah pisang, tebu, dan tembakau.

Kebun-kebun milik suku Dani ada tiga jenis, yaitu:

Kebun-kebun di daerah rendah dan datar yang diusahakan secara menetap

Kebun-kebun di lereng gunung

Kebun-kebun yang berada di antara dua uma

Kebun-kebun tersebut biasanya dikuasai oleh sekelompok atau beberapa kelompok kerabat.
Batas-batas hak ulayat dari tiap-tiap kerabat ini adalah sungai, gunung, atau jurang. Dalam
mengerjakan kebun, masyarakat suku Dani masih menggunakan peralatan sederhana
seperti tongkat kayu berbentuk linggis dan kapak batu.

Selain berkebun, mata pencaharian suku Dani adalah beternak babi. Babi dipelihara dalam
kandang yang bernama wamai (wam = babi; ai = rumah). Kandang babi berupa bangunan
berbentuk empat persegi panjang yang bentuknya hampir sama dengan hunu. Bagian dalam
kandang ini terdiri dari petak-petak yang memiliki ketinggian sekitar 1,25 m dan ditutupi
bilah-bilah papan. Bagian atas kandang berfungsi sebagai tempat penyimpanan kayu bakar
dan alat-alat berkebun.

Bagi suku Dani, babi berguna untuk:

dimakan dagingnya

darahnya dipakai dalam upacara magis

tulang-tulang dan ekornya untuk hiasan

tulang rusuknya digunakan untuk pisau pengupas ubi

sebagai alat pertukaran/barter

menciptakan perdamaian bila ada perselisihan

Suku Dani melakukan kontak dagang dengan kelompok masyarakat terdekat di sekitarnya.
Barang-barang yang diperdagangkan adalah batu untuk membuat kapak, dan hasil hutan
seperti kayu, serat, kulit binatang, dan bulu burung.
Rumah Adat:
Honai, rumah adat suku Dani ukurannya tergolong mungil, bentuknya bundar, berdinding
kayu dan beratap jerami. Namun, ada pula rumah yang bentuknya persegi panjang. Rumah
jenis ini namanya Ebe'ai (Honai Perempuan).

Perbedaan antara Honai dan Ebe'ai terletak pada jenis kelamin penghuninya. Honai dihuni
oleh laki-laki, sedangkan Ebe'ai (Honai Perempuan) dihuni oleh perempuan. Komplek Honai
ini tersebar hampir di seluruh pelosok Lembah Baliem yang luasnya 1.200 km2. Baik itu
dekat jalan besar (dan satu-satunya yang membelah lembah itu), hingga di puncak-puncak
bukit, di kedalaman lembah, juga di bawah naungan tebing raksasa.

Rumah bundar itu begitu mungil sehinggi kita tak bisa berdiri di dalamnya. Jarak dari
permukaan rumah sampai langit-langit hanya sekitar 1 meter. Di dalamnya ada 1 perapian
yang terletak persis di tengah. Tak ada perabotan seperti kasur, lemari, ataupun cermin.
Begitu sederhana namun bersahaja.

Atap jerami dan dinding kayu rumah Honai ternyata membawa hawa sejuk ke dalam Honai.
Kalau udara dirasa sudah terlalu dingin, seisi rumah akan dihangatkan oleh asap dari
perapian. Bagi suku Dani, asap dari kayu sudah tak aneh lagi dihisap dalam waktu lama.
Selama pintu masih terbuka (dan memang tak ada tutupnya), oksigen masih mengalir
kencang.

Selain jadi tempat tinggal, Honai juga multifungsi. Ada Honai khusus untuk menyimpan
umbi-umbian dan hasil ladang, semacam lumbung untuk menyimpan padi. Ada pula yang
khusus untuk pengasapan mumi. Fungsi yang disebut terakhir itu bisa ditemukan di Desa
Kerulu dan Desa Aikima, tempat 2 mumi paling terkenal di Lembah Baliem.

Dinding & Bukaan:

Honai mempunyai pintu kecil dan jendela-jendela yang kecil. Jendela-jendela ini berfungsi
memancarkan sinar ke dalam ruangan tertutup itu. Ada pula Honai yang tidak memiliki
jendela, Honai tanpa jendela pada umumnya dipergunakan untuk kaum ibu/perempuan.

Jika Anda masuk ke dalam honai ini, maka di dalam cukup dingin dan gelap karena tidak
terdapat jendela dan hanya ada satu pintu. Pintunya begitu pendek sehingga harus
menunduk jika akan masuk ke rumah Honai. Di malam hari menggunakan penerangan kayu
bakar di dalam Honai dengan menggali tanah di dalamnya sebagai tungku, selain menerangi
bara api juga bermanfaat untuk menghangatkan tubuh. Jika tidur, mereka tidak
menggunakan dipan atau kasur, mereka beralas rerumputan kering yang dibawa dari kebun
atau ladang. Umumnya mereka mengganti jika sudah terlalu lama karena banyak terdapat
kutu babi.
Ketinggian
Rumah Honai mempunyai tinggi 2,5-5 meter dengan diameter 4-6 meter. Rumah Honai
ditinggali oleh 5-10 orang dan rumah ini biasanya dibagi menjadi 3 bangunan terpisah. Satu
bangunan digunakan untuk tempat beristirahat (tidur). Bangunan kedua untuk tempat
makan bersama dimana biasanya mereka makan beramai-ramai dan bangunan ketiga untuk
kandang ternak terutama babi. Rumah Honai juga biasanya terbagi menjadi 2 tingkat. Lantai
dasar dan lantai satu di hubungkan dengan tangga yang terbuat dari bambu/kayu. Biasanya
pria tidur melingkar di lantai dasar, dengan kepala di tengah dan kaki di pinggir luarnya,
demikian juga cara tidur para wanita di lantai satu. Dalam peraturan adat Honai, pria dan
wanita (termasuk anak-anak) tidak boleh tidur disatu tempat secara bersamaan hukumnya
tabu.

Fungsi Honai
Rumah Honai mempunyai fungsi antara lain:

Sebagai tempat tinggal

Tempat menyimpan alat-alat perang

Tempat mendidik dan menasehati anak-anak lelaki agar bisa menjadi orang berguna pada
masa depan

Tempat untuk merencanakan atau mengatur strategi perang agar dapat berhasil dalam
pertempuran atau perang

Tempat menyimpan alat-alat atau simbol dari adat orang Dani yang sudah ditekuni sejak
dulu
Filosofi Honai
Filosofi bangunan Honai yang bentuknya bulat melingkar adalah:

Dengan kesatuan dan persatuan yang paling tinggi kita mempertahankan budaya yang telah
diperthankan oleh nene moyang kita dari dulu hingga saat ini.

Dengan tinggal dalam satu honai maka kita sehati, sepikiran dan satu tujuan dalam
menyelesaikan suatu pekerjaan.

Honai merupakan simbol dari kepribadian.

Bahan Pembuat

Kebiasaaan dari suku atau orang Dani dan Yali dalam membangun Honai yaitu mereka
mencari kayu yang memang kuat dan dapat bertahan dalam waktu yang lama atau
bertahun-tahun bahkan sampai ratusan tahun. Bahan yang digunakan sebagai berikut:

Kayu besi (oopihr) digunakan sebagai tiang penyangga bagian tengah Rumah Honai

Kayu buah besar

Kayu batu yang paling besar

Kayu buah sedang

Jagat (mbore/pinde)

Tali

Alang-alang

Papan yang dikupas

Papan alas dll.

Adat Menghormati Nenek Moyang:


Untuk menghormati nenek moyangnya, Suku Dani membuat lambang nenek moyang yang
disebut Kaneka. Selain itu, juga adanya Kaneka Hagasir yaitu upacara keagamaan untuk
mensejahterakan keluarga masyarakat serta untuk mengawali dan mengakhiri perang.
Tradisi Potong Jari:
Banyak cara menunjukkan kesedihan dan rasa dukacita ditinggalkan anggota keluarga yang
meninggal dunia. Butuh waktu lama untuk mengembalikan kembali perasaan sakit akibat
kehilangan. Namun berbeda dengan Suku Dani, mereka melambangkan kesedihan lantaran
kehilangan salah satu anggota keluarga yang meninggal. Tidak hanya dengan menangis,
tetapi memotong jari. Bila ada anggota keluarga atau kerabat dekat yang meninggal dunia
seperti suami, istri, ayah, ibu, anak dan adik, Suku Dani diwajibkan memotong jari mereka.
Mereka beranggapan bahwa memotong jari adalah symbol dari sakit dan pedihnya
seseorang yang kehilangan anggota keluarganya. Pemotongan jari juga dapat diartikan
sebagai upaya untuk mencegah ‘terulang kembali’ malapetaka yangg telah merenggut
nyawa seseorang di dalam keluarga yg berduka.

Mengapa Jari yang Dipotong?

Bagi Suku Dani, jari bisa diartikan sebagai simbol kerukunan, kesatuan dan kekuatan dalam
diri manusia maupun sebuah keluarga, walaupun dalam penamaan jari yang ada di tangan
manusia hanya menyebutkan satu perwakilan keluarga, yaitu ibu jari. Akan tetapi jika
dicermati perbedaan setiap bentuk dan panjang jari memiliki sebuah kesatuan dan kekuatan
kebersamaan untuk meringankan semua beban pekerjaan manusia. Jari saling bekerjasama
membangun sebuah kekuatan sehingga tangan kita bisa berfungsi dengan sempurna.
Kehilangan salah satu ruasnya saja, bisa mengakibatkan tidak maksimalnya tangan kita
bekerja. Jadi jika salah satu bagiannya menghilang, maka hilanglah komponen kebersamaan
dan berkuranglah kekuatan.

Alasan lainnya adalah “Wene opakima dapulik welaikarek mekehasik” atau pedoman dasar
hidup bersama dalam satu keluarga, satu marga, satu honai (rumah), satu suku, satu
leluhur, satu bahasa, satu sejarah/asal-muasal, dan sebagainya. Kebersamaan sangatlah
penting bagi masyarakat pegunungan tengah Papua. Kesedihan mendalam dan luka hati
orang yang ditinggal mati anggota keluarga, baru akan sembuh jika luka di jari sudah
sembuh dan tidak terasa sakit lagi. Mungkin karena itulah masyarakat pegunungan papua
memotong jari saat ada keluarga yang meninggal dunia.

Tradisi potong jari di Papua sendiri dilakukan dengan berbagai banyak cara, mulai dari
menggunakan benda tajam seperti pisau, kapak, atau parang. Ada juga yang melakukannya
dengan menggigit ruas jarinya hingga putus, mengikatnya dengan seutas tali sehingga aliran
darahnya terhenti dan ruas jari menjadi mati kemudian baru dilakukan pemotongan
jari.Selain tradisi pemotongan jari, di Papua juga ada tradisi yang dilakukan dalam upacara
berkabung. Tradisi tersebut adalah tradisi mandi lumpur. Mandi lumpur dilakukan oleh
anggota atau kelompok dalam jangka waktu tertentu. Mandi lumpur mempunyai arti bahwa
setiap orang yang meninggal dunia telah kembali ke alam. Manusia berawal dari tanah dan
kembali ke tanah.Beberapa sumber ada yang mengatakan Tradisi potong jari pada saat ini
sudah hampir ditinggalkan. Jarang orang yang melakukannya belakangan ini karena adanya
pengaruh agama yang mulai berkembang di sekitar daerah pegunungan tengah Papua.
Namun kita masih bisa menemukan banyak sisa lelaki dan wanita tua dengan jari yang telah
terpotong karena tradisi ini

Anda mungkin juga menyukai